MAKALAH FARMAKOTERAPI OSTEOPOROSIS Dosen Pembimbing: Disusun oleh : Kelompok I/Profesi Minat Rumah sakit Lestyorini Dewi Pratiwi (FA/07169) Yohan Wahyudhi (FA/07514) Eka Yuliyanti (FA/07740) Elisabeth Yoana Marrie Adelina (FA/07841) Dhigna Luthfiyani Citra Pradana (FA/8888/P) FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011 1 OSTEOPOROSIS A. EPIDEMIOLOGI Osteoporosis sebenarnya merupakan kondisi yang dapat dicegah, namun dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan umum yang mengganggu. Penurunan massa, kualitas, dan kekuatan tulang berkontribusi meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur. Patah tulang (fraktur) yang berkaitan dengan osteoporosis umumnya menyebabkan nyeri, kifosis, keterbatasan fisik, bahkan kematian. Prevalensi tepatnya tidak diketahui, namun hampir separuh dari penduduk amerika usia 50 tahun ke atas ,atau 44 juta orang, memiliki massa tulang yang rendah. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga lebih dari 60 juta orang selama 15 tahun ke depan. Kejadiannya sangat bervariasi dalam subpopulasi dan tergantung dari banyak faktor risiko, daerah rangka yang diukur, dan teknologi radiologi yang digunakan. Pada akhir tahun 1990an, berdasarkan pengukuran densitas mineral tulang (BMD) periferal, 40% wanita postmenopause mengalami osteopenia dan 7% mengalami osteoporosis. Saat klasifikasi BMD WHO diaplikasikan pada data dari National Health and Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III, dari tahun 1988-1994), prevalensi osteopenia dan osteoporosis pada penduduk Amerika adalah sebagai berikut : - Wanita non hispanic kulit putih : 52% dan 20% - Wanita non hispanik kulit hitam : 35% dan 5% - Wanita Amerika-meksiko : 49% dan 10% - Pria dari segala ras : 47% dan 6%, menggunakan rerata BMD pria usia muda - Pria dari segala ras : 33% dan 4%, menggunakan rerata BMD wanita usia muda Kejadian osteoporosis meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi osteoporosis bahkan lebih tinggi pada penghuni panti jompo. Ratusan dan ribuan 2 fraktur terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Risiko seumur hidup wanita kulit putih mengalami fraktur adalah 50%. Risiko fraktur meningkat seiring meningkatnya usia dan rendahnya massa densitas tulang. B. DEFINISI Osteoporosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan kepadatan tulang, penurunan kekuatan tulang, dan mengakibatkan tulang rapuh. Arti osteoporosis secara harfiah adalah terjadinya keropos tulang membentuk porusporus seperti spons. Gangguan ini melemahkan tulang dan mengakibatkan sering terjadinya patah tulang (Ikawati, 2011). WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan T-scores. T-scores merupakan bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral tulang pada populasi muda normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-score lebih besar dari -1, osteopenia memiliki nilai T-score -1 sampai -2,5, sedangkan osteoporosis memiliki nilai T-score kurang dari -2,5 (Dipiro et al, 2005). Tulang yang terkena osteoporosis dapat patah (fraktur) karena cedera kecil yang biasanya tidak akan menyebabkan tulang patah. Fraktur tersebut dapat berupa retak/remuk, seperti patah tulang pinggul, atau patah (seperti pada tulang belakang. Bagian punggung, pinggul, rusuk, dan pergelangan tangan merupakan daerah umum terjadinya patah tulang akibat osteoporosis, meskipun fraktur osteoporosis dapat terjadi pada semua tulang rangka (Ikawati, 2011). C. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor risiko. Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan umum dijumpai adalah : 1. Osteoporosis postmenopause Dalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan 3 menurunnya sekresi sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF α yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF β yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang mengalami penyerapan oleh osteoklas. Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah menopause meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru dan memperpanjang masa hidup osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang melebihi pembentukannya (Dipiro et al, 2005). 2. Osteoporosis terkait usia Hampir separuh masa hidup terjadi mekanisme penyerapan dan pembentukan tulang. Selama masa anak-anak dan dewasa muda pembentukan tulang jauh lebih cepat dibanding penyerapan tulang. Titik puncak massa tulang terjadi pada usia sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi lebih jauh lebih cepat dibanding pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan mikroarsitektur tulang, terutama pada tulang trabekular. Progresifitas resorpsi tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan. Peristiwa ini diawali pada antara dekade 3 sampai 5 kehidupan. Perkembangan resorpsi tulang lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada wanita akan mengalami percepatan menjelang menopause. Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan fungsi organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus, meningkatnya hormon paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi vitamin D yang lazim terjadi seiring proses penuaan. 4 3. Osteoporosis sekunder Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang. Terapi dengan glukokortikoid secara terus menerus juga menyebabkan efek samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan hilangnya kalsium tulang. Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang pasien untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis. D. GEJALA DAN TANDA 1. Gejala : Nyeri Imobilitas Depresi, ketakutan, dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik 2. Tanda Pemendekan tinggi badan (> 1,5 inchi), kifosis, atau lordosis Fraktur tulang punggung, panggul, pergelangan tangan Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi E. DIAGNOSIS Untuk mendiagnosa osteoporosis pada pasien diperlukan : 1. Riwayat penyakit dan pengobatan pasien 2. Identifikasi faktor risiko 3. Pemeriksaan fisik lengkap 5 4. Tes laboratorium untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis sekunder. Parameter laboratorium yang umum digunakan adalah kadar 25 (OH) vitamin D serum, sebagai indikator status vitamin D total tubuh. Kadar 25 (OH) vitamin D serum dalam berbagai kondisi : Normal : ≥ 30 ng/mL Insufisiensi : 11 – 29 ng/mL Defisiensi vit D : < atau sama dengan 10 ng/mL 5. Pengukuran massa tulang Terdapat berbagai metode pengukuran massa tulang, namun yang menjadi standar diagnosis osteoporosis saat ini adalah pengukuran densitas mineral tulang sentral (tulang punggung dan panggul) dengan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA). Tulang punggung dan pinggul dikelilingi berbagai jaringan halus, termasuk lemak, otot, pembuluh darah, dan organorgan perut. DXA memungkinkan untuk melakukan pengukuran massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih dalam. Densitas mineral tulang dari pengukuran tersebut dapat dinyatakan dengan T-score. Nilai T-score dalam berbagai kondisi : Tulang normal : ≥ -1 (10% di bawah SD rata-rata atau lebih tinggi) Osteopenia : -1 sampai -2,5 (10-25% di bawah SD rata-rata) Osteoporosis : < atau samadengan – 2,5 (25% di bawah SD rata-rata) F. PROGNOSIS Prognosisnya baik dalam pencegahan osteoporosis setelah menopause jika terapi farmakologi dengan estrogen atau raloxifen dimulai sedini mungkin dan bila terapi dipertahankan dengan baik dalam jangka waktu yang panjang (bertahun-tahun). Penggunaan bifosfonat dapat memperbaiki keadaan osteoporosis pada penderita, serta mampu mengurangi risiko terjadinya patah tulang. Patah pada tulang pinggul dapat mengakibatkan menurunnya mobilitas pada pasien. Pada penelitian Hannan et al (2001) dilaporkan bahwa nilai mortalitas 6 pada subjek penelitian (571 orang dengan usia 50 tahun atau lebih) dalam 6 bulan setelah mengalami patah pada tulang pinggul adalah sekitar 13.5% dan sejumlah penderita membutuhkan bantuan secara sepenuhnya dalam mobilitas mereka setelah mengalami patah tulang pinggul. Patah tulang belakang memiliki pengaruh lebih rendah terhadap mortalitas, serta dapat mengakibatkan nyeri kronis yang berat dan sulit untuk dikontrol. Meskipun jarang terjadi, patah tulang belakang yang parah dapat mengakibatkan bungkuk (kyphosis) yang kemudian dapat menekan organ dalam tubuh dan mengganggu sistem pernafasan dari penderita. G. SASARAN TERAPI Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30 tahun adalah mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu dengan kategori usia diatas 30 tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan meminimalkan keropos pada tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan post-menopause. Pencegahan terjadinya osteoporosis penting dilakukan pada individu dengan keadaan osteopenia (keadaan dimana kepadatan mineral tulang dibawah nilai normal), karena individu yang telah mengalami osteopenia dapat memiliki kemungkinan berlanjut menjadi osteoporosis bila tak ditangani sedini mungkin. Sedangkan untuk penderita osteoporosis dengan risiko patah tulang, sasaran terapinya adalah meningkatkan kepadatan mineral tulang, menghindari terjadinya keropos tulang lebih lanjut dan menjaga agar tidak sampai terjadi patah tulang atau menghindari kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi menyebabkan patah tulang, contohnya olahraga berat. Bagi individu yang mengalami patah tulang berkaitan dengan osteoporosis, sasaran terapi adalah untuk mengontrol rasa nyeri, memaksimalkan proses rehabilitasi untuk mengembalikan kualitas hidup dan kemandirian pasien, serta mencegah terjadinya patah tulang kembali atau bahkan kematian (Wells, 2006). 7 H. STRATEGI TERAPI Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan : 1. mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi 2. pemeliharaan dan meningkatkan densitas mineral tulang 3. mencegah pengeroposan tulang 4. mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis (Chisholm-burns et.al , 2008). I. TATA LAKSANA TERAPI 1. Terapi Non Farmakologi a. Nutrisi Pasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara densitas tulang. Nutrisi tersebut dapat berupa vitamin D yang bisa didapatkan dari brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan salmon, susu, kuning telur, hati dan sardine serta paparan sinar matahari. b. Olahraga Olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara kekuatan tulang (Chisholm-burns et.al , 2008). Prinsip latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan (Anonim, 2011). 8 2. Terapi Farmakologi Algoritma Pencegahan Osteoporosis Semua orang sepanjang hidup seharusnya mendapat: - Nutrisi yang tepat (mineral dan elektrolit, vitamin, protein, karbohidrat). - Suplemen Ca dan vitamin D bila perlu untuk meningkatkan asupan yang memadai - Aktivitas fisik yang optimal (berat badan, penguatan otot, ketangkasan, keseimbangan) - Gaya hidup yang sehat (tidak merokok, tidak minum alcohol, dan kafein). - Pencegahan terhadap kecelakaan atau trauma 9 Algoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi menjadi dua yaitu: 1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density) Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD : Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide 2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density) Populasi yang perlu pengukuran BMD : Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko osteoporotis Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005). Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka pilihan pengobatannya parenteral, Teriparatide, Raloxifene dan Calcitonin. 10 adalah Biphosphonate Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide. 11 Obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis, yaitu : A. Kalsium Mekanisme kerja obat Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk kontraktilitas jantung normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan eksokrin Data farmakokinetik 1. Absorpsi 12 Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan dengan difusi pasif dan transpor aktif. Kalsium harus dalam bentuk larut dan terionisasi agar bisa diabsorpsi. Vitamin D diperlukan untuk absorpsi lasium dan meningkatkan mekanisme absorpsi. Absorpsi meningkat dengan adanya makanan. Ketersediaan oral pada orang dewasa berkisar dari 25% hingga 35% jika diberikan dengan sarapan standar. Absorpsi dari susu sekitar 29% dalam kondisi yang sama. 2. Distribusi Kalsium secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium menembus plasenta dan mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah fetah dibanding darah ibu. Kalsium juga didistribusikan dalam susu. 3. Ekskresi Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat. Kontraindikasi Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi ventrikuler Efek samping Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan gastrointestinal ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi intravena (Anonim, 2008). B. Vitamin D Mekanisme kerja obat Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber alami (minyak hati ikan) atau dari konversi provitamin D (7-dehidrokolesterol dan ergosterol). Pada manusia, suplai alami vitamin D tergantung pada sinar ultraviolet untuk konversi 7-dehidrokolesterol menjadi vitamin D3 atau ergosterol menjadi vitamin D2. Setelah pemaparan terhadap sinar uv , vitamin D3 kemudian diubah menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal. Vitamin D dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3 (25[OH]- D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25- 13 dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan 24,25- dihidroksikolekalsiferol. Kalsitriol dipercaya merupakanbentuk vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus dan fosfat. Kontraindikasi Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas vitamin D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal. Efek samping efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu sakit kepala, mual, muntah, mulut kering dan konstipasi. C. Biofosfonat Mekanisme kerja obat Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi utamanya adalah inhibisi resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti bahwa biofosfonat dimetabolisme. Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis harus dengan dosis yang tepat dan meminimalkan resiko efeksamping terhadap saluran pencernaan. Semua bifosfonat sedikit diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%). Efek samping Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat yaitu mual, nyeri abdomen dan dyspepsia (Anonim, 2008). D. Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs) Raloxifene merupakan agonis estrogen pada jaringan tulang tetapi merupakan antagonis pada payudara dan uterus. Raloxifen meningkatkan BMD tulang belakang dan pinggul sebesar 2-3% dan menurunkan fraktur tulang belakang. Fraktur nonvertebral tidak dapat dicegah dengan raloxifene. Mekanisme kerja Raloxifene merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang dan menurunkan pembengkokan tulang. Data farmakokinetik 14 1. Absorpsi Raloxifene diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral dengan sekitar 60% dosis oral absorpsi. 2. Distribusi Volume distribusi nyata sebesar 2348L/kg dan tidak tergantung dosis. sekitar 95% raloxifene dan konjugat monoglukoronid terikat pada protein plasma. 3. Metabolisme Raloxifene mengalami metabolisme lintas pertama menjadi konjugat glukoronid dan tidak dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450. 4. Ekskresi Raloxifene terutama diekskresikan pada feses dan urin. Kontraindikasi Kontraindikasi pada SERMs ini yaitu pada wanita hamil dan menyusui. hipersensitif raloxifene (Anonim, 2008). E. Kalsitonin Mekanisme kerja Bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur homeostasis Ca dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroidketika terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Efek samping Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah, flushing (Anonim, 2008). F. Estrogen dan terapi hormonal Mekanisme kerja Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH secara periferal, meningkatkan konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Penggunaan estrogen dalam jangka waktu lamatanpa diimbangi progesteron meningkatkan risiko kanker endometrium pada wanita yang uterusnya utuh. 15 Kontraindikasi Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogenindependent (Anonim, 2008). G. Fitoestrogen Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen dimana efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen tulang atau efek terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon menggunakan dosis yang lebih besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi tulang dan sedikit meningkatkan densitas (Anonim, 2008). H. Testosteron Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan pencernaan dan terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini dapat meningkatkan BMD dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien osteoporosis laki-laki (Dipiro et.al , 2005). I. Teriparatide Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk tulang. Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34 asam amino pertama dalam PTH manusia. Teriparatide meningkatkan formasi tulang, perubahan bentuk tulang dan jumlah osteoblast beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan meningkat. Teriparatide disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan laki-laki yang memiliki resiko tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat meningkatkan BMD. PTH analog sangat penting dalam pengelolaan pasien osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH merangsang pembentukan tulang baru. Kontraindikasi teriparatide ini yaitu pada pasien hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang lainnya dan kanker otot (Dipiro et.al , 2005). Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa obat teriparatide berperan lebih baik dibanding alendronate dalam meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi patah 16 tulang belakang pada pasien dengan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid (glucocorticoid-induced osteoporosis) (Anonim, 2010). J. Diuretik Tiazid Diuretik tiazid meningkatkan reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian pasien yang mengkonsumsi diuretik tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan fraktur yang lebih sedikit. Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis dengan glukokortikoid yang lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang dikeluarkan dalam urin selama lebih dari 24 jam (Dipiro et.al , 2005). J. KASUS KASUS OSTEOPOROSIS Ny AK (54th) seorang ibu rumahtangga istri dari seorang pengusaha, sejak 1 bulan yang lalu mengeluh nyeri pada punggung dan tulang belakang. Siklus menstruasinya sudah berhenti sekitar 3 tahun yang lalu. Untuk mengatasi keluhannya, dia minum Natrium Diklofenak tablet 2X50 mg sehari. Beberapa saat nyeri bisa berkurang, namun kemudian sering kambuh lagi. Riwayat Penyakit Sebelumnya Hipertensi sejak 10 th yang lalu Memiliki riwayat ulcer dan perdarahan lambung Pernah mengalami perdarahan per vagina (vaginal bleeding) setahun yang lalu Riwayat Keluarga Ibunya meninggal karena kanker payudara Riwayat Pengobatan Kaptopril 3X12,5 mg sehari 17 Nifedipin 3X10 mg sehari Pemeriksaan fisik Tekanan Darah 160/100 Tek Nadi dan RR dbn (dalam batas normal) Pemeriksaan Laboratorium Kolesterol total 237 Serum kreatinin 0,9 Kalsium 9,0 Phosphor 4,0 BUN 30 Pemeriksaan urin Protein 0 Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan hysterocopic : Normal Pemeriksaan penunjang lain Hasil pap smear dan mammogram : Normal Diagnosa Osteoporosis post menopause Soal 1. Bagaimana etiologi terjadinya osteoporosis pada pasien tersebut ? Pemeriksaan (laboratorik / radiologi) apa yang perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis ditegakkan ? 2. Bagaimana tata laksana dan monitoring terapi kasus ini ? 3. Informasi apa yang bisa anda berikan kepada pasien terkait dengan terapinya ? 18 Analisis kasus Pasien dicurigai menderita osteoporosis dari keluhan nyeri pada punggung dan tulang belakang, yang tidak menghilang meskipun sudah diberikan Na diklofenak. Ditambah pula dengan adanya faktor resiko terjadinya osteoporosis pada pasien yaitu: Bertambahnya umur yang berdampak pada defisiensi vit D, kalsium dan hormon yang akan menurunkan pembentukan osteoblast. Wanita yang memiliki ukuran tulang yang lebih kecil, massa tulang puncak lebih rendah dan insidensi jatuh lebih banyak daripada pria. Menopause yang merupakan penurunan sirkulasi estrogen dan peningkatan resorpsi tulang sehingga menyebabkan percepatan kehilangan massa tulang. Tipe osteoporosis pada pasien ini adalah postmenopausal osteoporosis. Menopause diartikan sebagai hilangnya fungsi ovarium. Hal tersebut menyebabkan produksi estrogen endogen dari ovarium tidak ada. Tidak adanya estrogen dari ovarium disertai dengan hilangnya massa tulang. Estrogen dikaitkan dengan stimulasi sekresi kalsitonin, sehingga menghambat resorpsi tulang. Tabel Nilai Normal Pemeriksaan Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan Tekanan darah 160/100 120/80 Tinggi Tekanan Nadi dan Normal Dalam batas normal RR dbn Kolesterol total 237 150-199 Tinggi mg/dL LDL 135 <100 Cukup tinggi HDL 60 ≥60 Tinggi Trigliserida 160 <150 Cukup tinggi Serum kreatinin 0,9 0,5-1 mg/dL Normal Kalsium 9,0 9-11 mg/dL Normal Phospor 4,0 2,5-4,5 mg/dL Normal BUN 30 8-25 mg/dL Tinggi 19 Pemeriksaan urin: 0 Normal Normal Normal Normal Normal Protein Pemeriksaan radiologis: Pemeriksaan hysterocopic Pemeriksaan penunjang lain: Hasil pap smear dan mammogram Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan: Pemeriksaan laboratorium, yang berupa: - Hormon paratiroid (normal: 10-60 pg/ml) - Total alkaline pospatase (normal: 25-80 IU/L) - 25 (OH) D3 (normal: 20-30 ng/mL) - 1,25 (OH)2D3 (normal: 2-5 mg/ml). Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan laboratorium seperti yang disebut di atas, biasanya masih dalam batas normal untuk keadaan osteoporosis. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu penentuan massa tulang secara radiologis dengan pesawat X-ray absorptiometry: densitometer DEXA (Dual Energy Xray Absorptiometry). Pertimbangan memilih DEXA dibandingkan dengan alat diagnosa lain adalah: - Merupakan gold standar untuk pemeriksaan osteoporosis pada pada wanita postmenopause maupun pria. - Hanya menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. 20 - Dapat mengukur dari banyak lokasi seperti anterior dan lateral sehingga presisi pengukuran lebih tajam jika dibandingkan dengan DPA (Dual Photon Absorptiometry). Hasil yang diperoleh berupa T-score: Normal : T-score ≥ -1 Osteopenia : -2,5 <T-score < -1 Osteoporosis : T-score <-2,5 Osteoporosis lanjut: T-score <-2,5 dengan satu atau lebih patah tulang. Pada kasus ini, T-score yang diperoleh dari pengukuran dengan DEXA adalah -2,8 yang artinya pasien menderita osteoporosis. Terapi Non Farmakologi a. Olahraga Olahraga merupakan bagian yang sangat penting pada pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Jenis olahraga untuk pengobatan adalah adalah jalan kaki, berenang dan senam air. b. Diet Kalsium Salah satu kegunaan kalsium dalam tubuh adalah untuk proses mineralisasi tulang dan juga berfungsi sebagai agen antiresorpsi dengan cara meningkatkan kadar kalsium dalam darah dan menekan kadar hormon paratiroid. Makanan yang mengandung tinggi kalsium antara lain produk susu, sarden, jus yang kaya kalsium, sayuran-sayuran seperti brokoli, sawi hijau. c. Meningkatkan paparan sinar matahari Produk vitamin D3 secara alami terjadi di dalam kulit memerlukan paparan sinar ultraviolet. 21 Terapi Farmakologi yang diberikan kepada Nyonya AK, meliputi : 1. Terapi Osteoporosis Untuk mengatasi osteoporosis postmenopauseal yang diderita nyonya AK, diberikan Raloxifene, dengan keterangan sebagai berikut : Raloxifene Nama Sediaan : Evista® diproduksi oleh Eli Lilly Dosis : 60 mg/hari (1 tablet/hari) Aturan pakai : dikonsumsi 1 tablet, setiap pukul 8 pagi, setiap hari Biaya : Tab 60 mg x 2 x 14 (Rp. 495.000,-) Mekanisme aksi : Agonis estrogen di jaringan tulang, namun bekerja sebagai antagonis estrogen di jaringan payudara dan uterus. Efek samping : Hot flashes, tromboemboli vena Interaksi obat :- Alasan pemilihan : Raloxifene bekerja sebagai agonis estrogen di jaringan tulang Meningkatkan 2-3% BMD tulang punggung dan panggul, serta menurunkan fraktur tulang punggung Nyonya AK memiliki faktor risiko kanker payudara secara genetik, sehingga panggunaan Raloxifene aman untuk Nyonya AK karena Raloxifene bekerja sebagai antagonis estrogen di jaringan payudara dan uterus tidak menyebabkan kanker payudara dan kanker uterus Kadar kolesterol Nyonya AK 237 mg/dL, berarti di atas normal raloxifene dapat menurunkan kadar total kolesterol dan LDL. Nyonya AK memiliki riwayat ulcer dan perdarahan lambung tidak dapat menggunakan obat golongan bifosfonat, karena efek samping bisfosfonat adalah nyeri abdomen, dispepsia, dan iritasi GI Riwayat vaginal bleeding 1 tahun lalu Tamoxifene tidak dipilih karena memiliki efek samping risiko terjadi vaginal bleeding sebesar 23% Risiko kanker payudara Nyonya AK melalui genetik terapi hormon estrogen tidak dipilih karena dapat meningkatkan risiko kanker payudara 22 2. Suplemen Tulang Kalsium dan Vitamin D Nama Sediaan : Vitacal-D® (Ca Carbonate 400 mg, Mg Oxide 150 mg, Vit D3 100 iu) diproduksi oleh Otto Dosis : 1 tablet/hr Aturan pakai : diminum 1 tablet per hari sebelum atau sesudah makan Biaya : 3 x 10 (Rp.34.000,-) Mekanisme aksi : Kalsium menguatkan tulang & vitamin D meningkatkan penyerapan kalsium dari usus Efek samping : konstipasi Interaksi obat :- Alasan pemilihan : Merupakan terapi tambahan untuk meningkatkan densitas tulang dan penurunan patah tulang pada wanita menopause 3. Antinyeri Na Diklofenak a. Untuk mengatasi nyeri punggung dan tulang belakang yang dialami nyonya AK tetap dipilih Na Diklofenak dengan bentuk sediaan gel. Nama Sediaan : Valto® diproduksi oleh Nufarindo Dosis : Oleskan 3x/hr Aturan pakai : Dioleskan 3 kali per hari pada punggung dan tulang belakang. Biaya : Gel 10 mg/g x 15 mg (Rp.11.385,-) Mekanisme aksi: Menghambat pembentukan prostaglandin secara central. Efek samping : Ruam kulit, edema periferal Interaksi obat : Alasan pemilihan: Nyonya AK memiliki riwayat ulcer dan perdarahan lambung Natrium diklofenak yang digunakan sebagai antinyeri dapat menyebabkan 23 iritasi GI, sehingga dipilih Na diklofenak dengan sediaan gel yang berefek lokal dan tidak memperparah ulcer. Tidak dapat menggunakan obat antinyeri golongan NSAID yang bekerja menghambat COX-2 karena golongan tersebut tidak dapat digunakan bagi penderita yang memiliki penyakit kardiovaskulker karena dapat menyebabkan vasokonstriktor (penyempitan pembuluh darah). Tidak menggunakan golongan Oksikam yang memiliki resiko lebih kecil terhadap lambung dibanding Na diklofenak, karena golongan tersebut berinteraksi dengan obat antihipertensi yang dapat menurunkan efek antihipertensi tersebut. b. Antihipertensi Terapi antihipertensi pasien sebelumnya, tetap diteruskan untuk mengendalikan tekanan darah, dan karena tidak ada keluhan atau masalah yang timbul dari penggunaan obat. Kaptopril Nama Sediaan : Captensin® diproduksi oleh Kalbe Farma Dosis : 12,5 mg 3x/hari (1 tab 3x/hr) Aturan pakai : Diminum 3 kali sehari saat perut kosong 1 jam sebelum makan Biaya : 12,5 mg x 10 x 10 (Rp.181.500,-) Mekanisme aksi : Menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron. Efek samping : Batuk kering, hipotensi, ruam kulit Interaksi obat :- Alasan pemilihan : Dalam kasus, hipertensi yang diderita pasien termasuk stage 2 dimana pengobatannya dengan menggunakan kombinasi terapi obat antihipertensi. Dari riwayat penyakit yang diketahui, bahwa pasien tidak mengalami 24 batuk kering yang merupakan efek samping dari Kaptopril, maka pemberian Kaptopril tetap diberikan. Nifedipin Nama Sediaan : Farmalat® diproduksi oleh Fahrenheit Dosis : 10 mg 3x/hr (1 tab 3x/hr) Aturan pakai : Diminum 1 tablet 3 kali sehari sesudah makan dan hindari jus grapefruit Biaya : 10 mg x 10 x 10 (Rp.33.000,-) Mekanisme aksi : Antagonis kalsium dengan menghambat arus ion kalsium masuk ke dalam otot jantung dari luar sel. Efek samping : hipotensi, palpitasi Interaksi obat :- Alasan pemilihan : Dalam kasus, hipertensi yang diderita pasien termasuk stage 2 dimana pengobatannya dengan menggunakan kombinasi terapi obat antihipertensi. Nifedipin tetap diberikan karena tekanan darah pasien tetap terjaga tetapi belum mencapai target. MONITORING dan FOLLOW UP 1. Tekanan darah, target 140/90 mmHg 2. Kolesterol, target < 200 mg/dL 3. Efek samping Raloxifene hot flashes & tromboemboli 4. Nyeri punggung, sudah berkurang atau masih terasa 5. Efek samping suplemen kalsium konstipasi Komunikasi Informasi Edukasi 1. Aturan penggunaan obat : Raloxifene : 1 tablet, setiap pukul 8 pagi, setiap hari Suplemen : 1 tablet per hari sebelum atau sesudah makan 25 Na diklofenak gel: dioleskan 3 kali sehari di punggung dan tulang belakang Kaptopril : 1 tablet 3 kali sehari saat perut kosong 1 jam sebelum makan Nifedipin : 1 tablet 3 kali sehari sesudah makan dan hindari jus grapefruit 2. Informasi kemungkinan terjadi efek samping konstipasi, hot flashes, dan tromboemboli pada pasien, bila terjadi diharapkan segera menghubungi apoteker 3. Menyarankan pasien untuk meningkatkan aktivitas fisik, seperti olahraga atau aktivitas lain sesuai usia dan kondisi tubuh. Dosis olahraga harus tepat karena jika terlalu ringan akan kurang bermanfaat, dan jika terlalu berat akan meningkatkan risiko patah tulang. Disarankan juga untuk tidak diam (imobilisasi) terlalu lama, karena penggunaan raloxifene yang dapat menimbulkan tromboemboli, terutama pada 4 bulan pertama pemakaian 4. Menyarankan pasien untuk meningkatkan konsumsi sayuran, dan air putih, untuk mengantisipasi efek samping kontstipasi dari suplemen kalsium 5. Menyarankan pasien untuk meningkatkan konsumsi makanan kaya kalsium dan vitamin D seperti susu, sarden, brokoli, lele, bayam, tahu, dan yogurt. 6. Menyarankan pasien mengendalikan stres karena nyeri maupun gejala menopause yang terasa dengan aktivitas yang disukai K. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008a, ISO Farmakoterapi, Jakarta : PT ISFI Penerbitan. Anonim, 2008b, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 8 2008/2009, Jakarta: Info Master. Anonim, 2010, Teriparatide Padatkan Tulang Lebih Baik , Majalah Farmacia Edisi Januari 2010 Vol.9 No.6, http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1540, diakses tanggal 22 September 2011. Anonim,2011,SenamOsteoporosis,http://www.medistra.com/index.php?option=c om_content&view=article&id=45:Senam%20Osteoporosis, diakses tanggal 22 September 2011. Chisholm-burns, Marie A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L., Malone, Patrick M., Kolesar, Jill M., Rotschafer, John C., Dipiro, Joseph 26 T., 2008, Pharmacotherapy principles and practice, United States of America : McGraw-Hill Companies, Inc. Dipiro, Joseph T., Talbert , Robert L.,Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., Posey, L. Michael., 2005, Pharmacotheraphy a Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition, United States of America : McGraw-Hill Companies, Inc. Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L. Michael Posey. 2006. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New York. Mc Graw Hill Medical. Hannan, E.L., Magaziner, J., Wang, J.J., Eastwood, E.A., Silberzweig, S.B., Gilbert, M., Morrison, R.S., McLaughlin, M.A., Orosz, G.M., Siu, A.L., 2001, Mortality and locomotion 6 months after hospitalization for hip fracture: risk factors and risk-adjusted hospital outcomes, JAMA, 285(21):2736-42. Ikawati, Z., Mari Melangkah Dengan Pasti di Tahun 2011 (tanpa osteoporosis), http://zulliesikawati.wordpress.com/2011/01/03/mari-melangkah-denganpasti-tanpa-osteoporosis/, diakses tanggal 22 September 2011. 27