INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA

advertisement
INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI
JAKSA PENGACARA NEGARA
(Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia)
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Gerry Pamungkas
1110048000038
KONSENTRASI KELEMBAGAAN
PROGRAM
STUDI ILMU
NEGARA
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI
JAKSA PENGACARA NEGARA
(Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Oleh :
GERRY PAMUNGKAS
1110048000038
KONSENTRASI KELEMBAGAAN
PROGRAM
STUDI ILMU
NEGARA
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
i
ABSTRAK
PERAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA
(Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia)
Penegasan pertama kali yang menyebutkan Kejaksaan sebagai satu
Departemen dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang disahkan pada
tanggal 30 Juni 1961, yang mana sebelumnya kejaksaan berada satu atap dengan
kehakiman. Hal ini memantapkan kedudukan, organisasi, jabatan, tugas dan
wewenang Kejaksaan. Dikeluarkannya Undang-Undang Kejaksaan tersebut
dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis agar Kejaksaan lebih mampu dan
berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Kesimpulan dan saran dalam penulisan skripsi ini adalah kedudukan dan
peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan
dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah
Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang
penuntutan di lingkungan peradilan umum, Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh
kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara
atau instansi lain. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara bahwa ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman;” Pelaksanaan fungsi
pengacara negara oleh kejaksaan harus dilaksanakan dalam kerangka negara hukum
guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara
Indonesia, Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara hendaknya selalu berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Kata Kunci : Kejaksaan, Pengacara, Negara.
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Ismail Hasani
Abu Tamrin
: Tahun 1993 sampai tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu dicurahkan kepada Baginda
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para tabi’in serta
kamu muslimmin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir
zaman dan membawa manusia keluar dari kubangan lumpur Jahiliyah menuju
jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan
untuk menadapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H). Penulis berharap semoga
skripsi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis betul-betul menyadari adanya
rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya
tidak terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak
membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada
penulis guna menyempurnakan skripsi ini.
Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, H. JM. Muslimin, MA, Ph.D.
v
2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA. Dan Arip Purkon, SH.I, MA.
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi
Hukum Kelembagaan Negara
3. Ismail
Hasani,SH.
MH.
Dosen
Pembimbing
I,
dan
Abu
Tamrin,SH.,M.Hum. Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar
dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada
penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain
ucapan terima kasih dan doa semoga Allah SWT membalasnya.
4. Seluruh dosen Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan
utama dan perpustakaan fakultas yang telah memfasilitasi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang tua tercinta, Ayahanda Samadi dan Ibunda Sumiyati yang telah
mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, tak henti-hentinya
memberikan nasehat, dukungan baik moriil dan materiil yang tak
terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk
penulis, memberikan semangat kepada penulis sehingga bias
menyelesaikan studi S1 ini.
6. Kakak-kakak
tersayang,
Widiyanto
Nugroho,SH.,MH.,
Dini
Mayasari,M.Si., Widyowati Rahayu,Amg., Mochammad Fitri
Adhi,SH., Taufiqurahman,S.Kom., Cut Wardah,SH,.MH, Edy
Prabudy,SH yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam
menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini..
vii
7. Teman-teman yang tak pernah terlupakan yang juga memberikan
dukungan tanpa henti kepada penulis, teman-teman Ilmu Hukum 2010,
, Serigala, Kosan Pesanggarahan,.
8. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian
skripsi ini dan tidak dapat disebut satu persatu
Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dan
semoga amal kebajikan mereka semua diterima disisi-Nya dan diberikan pahala
yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, dan masyarakat umumnya.
Jakarta,
Desember 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
iv
ABSTRAK........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ......................................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 8
1. Pembatasan Masalah .............................................................. 8
2. Perumusan Masalah................................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 9
1. Tujuan Penelitian ................................................................... 9
2. Manfaat Penelitian ................................................................. 9
D. Review (kajian) Studi Terdahulu ................................................ 10
E. Metode Penelitian ...................................................................... 12
1. Pendekatan Masalah ............................................................. 12
2. Sumber Data dan Kriteria Data ............................................. 12
3. Metode Pengumpulan Data................................................... 14
4. Metode Analisis ................................................................... 14
5. Kerangka Teori dan Definisi Operasional ............................. 15
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 18
ix
BAB II
KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN REPUBLIK
INDONESIA .................................................................................. 20
A. Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia ......................... 20
1. Sebelum Reformasi ............................................................... 20
2. Masa Reformasi .................................................................... 24
B. Kedudukan dan Peranan Kejaksaan Republik Indonesia ............. 30
1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia ............................ 30
2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia ..................................... 32
3. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia............................................................................... 34
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI PENGACARA NEGARA OLEH
KEJAKSAAN ................................................................................ 42
A. Syarat-Syarat Menjadi Jaksa ...................................................... 42
B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ............................................... 46
C. Pelaksanaan Fungsi Pengacara Negara Oleh Kejaksaan .............. 53
BAB IV
INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM MELAKSANAKAN
TUGAS SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA ................ 57
A. Independensi Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Sistem
Negara Hukum Di Indonesia ...................................................... 57
B. Independensi Fungsional Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan
Kinerja Dalam Penegakan Hukum ............................................. 63
BAB V
PENUTUP ...................................................................................... 72
A. Kesimpulan ................................................................................ 72
B. Saran.......................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT PENULIS
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dalam
semangat globalisasi telah menghantarkan masyarakat pada perubahan
paradigma berfikir yang lebih baik, termasuk terhadap praktek-praktek
penyelenggaraan pemeritahan. Jika berbicara mengenai Kejaksaan, hal
pertama yang terpikir adalah tentang lembaga yang menangani permasalahanpermasalahan pidana atau kejahatan. Hal-hal yang ditangani Kejaksaan
merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan perbuatan tindak pidana,
namun disisi lain masih banyak hal-hal yang belum banyak diketahui
masyarakat, seluk beluk aktivitas apa saja yang sebenarnya ditangani oleh
instansi tersebut.1
Dalam system peradilan pidana peranan kejaksaan sangat sentral karena
kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus
diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah
sesorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan
dan tuntutan yang dibuatnya. Sedemikian pentingnya posisi jaksa bagi proses
penegakan hokum sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang
professional dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan lembaga kejaksaan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
1
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum,
(Bandung : Mandar Maju, 2001), h. 92.
1
2
Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa
kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan
dilakukan oleh kejaksaan. Selain berperan dalam peradilan pidana, kejaksaan
juga memiliki peran lain dalam bidang hokum, perdata dan tata usaha Negara,
yaitu mewakili Negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan TUN.2
Istilah “Jaksa” sudah berabad-abad lamanya digunakan yang berasal dari
bahasa Sanskerta adhyaksa. Sebutan ini dipakai untuk gelar pendeta paling
tinggi di Kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, dan terutama dipakai untuk
gelar hakim kerajaan yang tertinggi. Menurut ejaan yang paling tua pada
zaman pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie / Perserikatan
Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (selanjutnya
disingkat VOC) diabad keenam belas ditulis sebagai “j-a-x-a”. Sejak zaman
itu sampai dengan pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1942, “jaxa” dan
kemudian “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi
Putera yang hampir sama dengan seorang magistrate dan sejak zaman
pendudukan Militer Jepang pada tahun 1942-1945, “jaksa” pada masa itu
ditulis djaksa adalah gelar bagi para pejabat hukum yang berwenang menuntut
perkara-perkara pidana.3
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai
salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
2
Hamzah,Andi, 1990. Pengatur Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
h. 70.
3
Hamzah, Andi, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1995), h.3.
3
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan
hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN). Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh
Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala
Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga
Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam
pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi
filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta
juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan.Sehingga,
Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus
dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah
menurut Hukum Acara Pidana.
Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi
pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam
perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan
Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata
4
dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai
pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum
serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan
Undang-Undang.4
Penuntutan merupakan langkah penting dalam proses penindakan pidana
karena penuntutan itu dihubungkan penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa bertindak baik sebagai Jaksa
Pengacara Negara maupun sebagai pengacara masyarakat. Jaksa merupakan
pelindung kepentingan umum. Oleh karena itu sikap seorang Jaksa terhadap
tersangka/terdakwa dan orang-orang yang diperiksanya harus objektif dan
tidak memihak. 5
Kejaksaan sebagai satu lembaga pemerintahan, dasarnya bukan hanya
Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat
UUD 1945), tetapi juga Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yaitu bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945,
hal mana sejalan dengan Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Jaksa
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pada tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya
disingkat
KUHAP)
diberlakukan,
yang
pada
saat
itu
menyebabkan berkurangnya salah satu fungsi kejaksaan dalam bidang
4
Kejaksaan, PengertiaKejaksaan,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1,
diakses Senin, 01 maret 2014. Jam 10.00 WIB
5
Andi Hamzah, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1995), h.10.
5
penyelidikan yang dialihkan kepada kepolisian. Dengan terjadinya pergeseran
peran jaksa terutama di bidang pidana yaitu tidak dapat melakukan
penyelidikan lagi, namun tugas jaksa tidak berarti menjadi lebih sedikit atau
ringan melainkan munculnya peran kejaksaan dalam bidang Perdata dan Tata
Usaha Negara menurut dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu bahwa “Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara,
kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah. Yang pada akhirnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia tugas penyidikan itu dapat kembali dilakukan oleh Jaksa
terhadap perbuatan-perbuatan yang diindikasikan tindak pidana / melanggar
hukum.
Penambahan dari fungsi pidana ke perdata ini juga telah ditindaklanjuti
dengan kebijakan kejaksaan dengan dibentuknya suatu lembaga baru dalam
lingkungan organisasi kejaksaan agung melalui Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1992, yaitu dengan adanya Jaksa Agung
Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat JAMDATUN),
organisasi ini juga dibentuk dalam tingkat Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan
Negeri.
Faktor pendorong kejaksaan menjalankan fungsinya dibidang perdata dan
tata usaha negara yaitu melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat,
dimana terdapat permasalahan yang sangat rumit, misalnya tentang
6
penguasaan tanah/asset Negara yang dilakukan oleh masyarakat, disini
pemerintah membutuhkan bantuan hukum untuk penyelesaian masalah
pengembalian tanah/asset negara tersebut. Disinilah pemerintah dapat
menggunakan jasa kejaksaan, dan dalam hal ini peranan kejaksaan sebagai
jaksa pengacara pemerintah diharapkan dapat mengembalikan asset Negara
tersebut, baik dengan penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi. Peran
kejaksaan di bidang perdata diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan
masyarakat yang semakin maju seiring dengan zaman, dimana dengan
pemikiran hukum yang semakin maju masyarakat mengetahui, menuntut, dan
mempertahankan hak-haknya.
Fakta lain yang dapat dirasakan saat ini dengan adanya peranan
kejaksaan di bidang perdata sangat memberikan kontribusi yang cukup besar
kepada masyarakat luas juga. Kontribusi yang dimaksud yaitu didalam
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat guna menyelesaikan
sengketa antar masyarakat maupun antar kelompok masyarakat, kejaksaan
dengan saran atau pendapat hukum yang diberikan dapat memberikan solusi
kepada masyarakat dalam penyelesaian suatu masalah sehingga tidak perlu
diselesaikan melalui proses pengadilan, sedang peranan Kejaksaan untuk
pemerintah di bidang perdata dapat memberikan pendapat hukum atau bantuan
hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dimana permasalahan dimaksud
dapat diselesakan melalui litigasi maupun non litigasi namun dari pada itu
Kejaksaan di dalam menjalankan tugasnya sebagai pengacara negara harus
tetap mampu menjaga keseimbangan/keserasian tugas di dalam Kejaksaan itu
sendiri, yang dimaksudkan misalnya menghidari terjadinya conflict of interest
(konflik kepentingan), sehingga tidak mengganggu fungsi utama kejaksaan di
7
bidang penuntutan.6 Sebagai contoh permasalahan yang didalamnya terdapat
perbenturan kepentingan ini terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO
dengan warga di Makassar.
Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi dalam proses perkara
pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak
sebagai jaksa penuntut umum menuntut warga melakukan tindak pidana
penyerobotan berdasarkan laporan dari PT.Pelindo, namun majelis hakim
memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan perbuatan pidana dan
menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, dengan pertimbangan
bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam sidang perkara
perdata.Setelah itu, pihak Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas
sebagai Jaksa Pengacara Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan
pemanggilan kepada satu-persatu warga (termasuk mantan Terdakwa yang
diputus lepas) untuk melakukan negosiasi mengenai objek tanah yang
disengketakan. Dalam contoh kasus tersebut sangat jelas terjadi "konflik
kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan bertindak sebagai Jaksa Penuntut
Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum pidana materiil secara
objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada kasus pokok yang sama
bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili kepentingan keperdataan
PT. Pelindo.7
6
Djoko Prakoso, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan,( Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1984), h. 9.
7
Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan
Permasalahannya, http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php, diakses Senin, 01 maret 2014.
Jam 10.00 WIB
8
Dengan munculnya peranan
jaksa selain sebagai penuntut umum,
dimana harus mampu menjalankan peran pada masing-masing tugas yang
dihadapkan secara profesional, maka penulis memilih judul “Peran
Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara (Studi di Kejaksaan Agung
RI)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Banyak peran dan tugas dari instansi Kejaksaan ini dalam penegakan
hukum di Indonesia, agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu
meluas, maka penelitian ini hanya dibatasi pada peran dan fungsi
Kejaksaan Agung beserta Independensi kejaksaan tersebut dalam
pelaksanaan tugasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah dan Pembatasan masalah yang
terlah diuraikan diatas, maka untuk lebih mengarah pada pokok
permasalahan penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia?
b. Bagaimana pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan
Agung?
c. Apakah
Kejaksaan
Agung
memeliki
independensi
dalam
melaksanakan tugas sebagai Jaksa Pengacara Negara?
d. Faktor
apa
yang
mendukung independensi
kejaksaan dalam
melaksanakan tugas sebagai Jaksa Pengacara Negara?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan fungsi pengacara
Negara oleh Kejaksaan khususnya di Kejaksaan Agung.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji independensi Kejaksaan Agung
dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara Negara.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis, dapat memberikan atau menambah khazanah ilmu
pengetahuan kepada mahasiswa tentang Peranan Kejaksaan selain
sebagai penuntut umum didalam sistem peradilan pidana namun juga
bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara
b. Secara Praktis, dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa
maupun setiap orang yang membaca skripsi ini mengenai luasnya
ruang lingkup kerja Kejaksaan yang tidak hanya mempunyai peran
sebagai penuntut umum dalam fungsinya sebagai penegakkan hukum
di Indonesia dan memberikan wawasan mengenai struktur kerja
Kejaksaan secara luas.
10
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang
berkaitan dengan yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti
berbeda. Dari penelitian ini penulis, menemukan sumber kajian yang lain
yang telah terlebih dahulu membahas terkait Jaksa Pengacara Negara.Yang
dibahas oleh :
1. IKA SETHIANINGRUM yang berjudul “Pelaksanaan Tugas Jaksa
Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata Terkait Upaya
Pemulihan dan Penyelamatan Kekayaan Negara” Pada Tahun 2011 di
Kejaksaan Tinggi Riau).Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang
2012.
Yang dalam penelitiannya menitik beratkan pada proses pemulihan
dan penyelamatan kekayaan Negara oleh Jaksa Pengacara Negara
sebagaimana temaktub dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
tanggal 25 Maret 1992, yaitu dengan adanya Jaksa Agung Muda Perdata
dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat JAMDATUN).
2. ACHMAD BUSRO yang berjudul “Optimalisasi Peran Jaksa Pengacara
Negara Dalam Pengembalian Keuangan Dan Atau Aset Negara Hasil
Tindak Pidana Korupsi Maupun Atas Dasar Kerugian Keperdatan.”
Universitas Diponegoro Semarang 2011.
Yang dalam penelitiannya penulis melihat kinerja para Jaksa
Pengacara Negara dalam proses pengembalian Keuangan dan atau Aset
Negara yang berasal dari suatu tindak Pidana Korupsi maupun yang
11
berasal atas dasar kerugian Keperdataan yang dialami oleh Negara.
3. EVY LUSIA EKAWATI “Peranan Jaksa Pengacara Negara dalam
Penanganan Perkara Perdata” Dalam bukunya menjelaskan Peranan Jaksa
Pengcara Negara dalam Nota Kesepahaman yang dibuat antara Kejaksaan
Negeri Yogyakarta dengan PLN wilayah Jogja dalam menekan jumlah
pelanggan PLN yang nakal dan menangangi tunggakan tagihan pelanggan
untuk selanjutnya dilakukan tindakan persuasif oleh Jaksa Pengacara
Negara.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, semakin jelaslah dasar hukum bagi
kejaksaan untuk bertindak dalam bidang keperdataan sebagai pihak
penggugat dan tergugat dalam pengembalian aset hasil korupsi dan bertindak
sebagai pengacara negara meskipun masih terdapat kontroversi dalam hal
penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara.Maka penulis mengambil
kesimpulan terhadap kajian pustaka tersebut diatas, bahwa jaksa dapat
bertindak mewakili negara didalam maupun diluar pengadilan dengan surat
kuasa khusus.
Dan perbedaan dengan tema dan arah tujuan dalam penelitian ini ialah
Independensi seorang Jaksa selain sebagai Penuntut Umum namun juga
sebagai Jaksa Pengcara Negara yang dapat bertindak sebagai penggugat
ataupun tergugat dengan surat khusus dapat bertindak didalam maupun diluar
Pengadilan mewakili Negara khususnya di Kejaksaan Agung.
12
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Terdapat beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian yaitu
pendekatan undang-undang (statute approach) , pendekatan kasus (case
approach), pendekatan sejarah (history approach), pendekatan komparativ
(comparativ
approach),
dan
pendekatan
konseptual
(conceptual
approach).8Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, dimana
dengan pendekatan-pendekatan tersebut akan mendapat informasi dari
berbagai aspek mengenai peran Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya
sebagai Jaksa Pengacara Negara Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach).
2. Sumber Data dan Kriteria Data
Yang dimaksud dalam sumber data dalam penelitian ini adalah
sumber dimana data diperoleh, berdasarkan jenis datanya, yaitu data
sekunder. Maka dalam penelitian ini yaitu:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri
dari:
1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana, 2009), h.22.
13
Pidana Korupsi.
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai sejumlah keterangan atau fakta dengan cara
mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa buku-buku, dokumendokumen, laporan-laporan, majalah, peraturan perundang-undangan,
surat kabar dan sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan
permasalahan yang diteliti9 yaitu Independensi Jaksa Pengacara Negara.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti bahan dari internet, kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif dan sebagainya yang memberi penjelasan akan permasalahan
yang diteliti10 Independensi Jaksa Pengcaara Negara di Kejaksaan
Agung.
3. Metode Pengumpulan Data
Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal
ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki validitas
dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal
beberapa jenis teknik pengumpulan data yaitu;
a. Observasi, yaitu suatu pengamatan yang khusus serta pencatatan yang
9
Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985),h.25.
10
1985),26
Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
14
sistematis yang ditujukan pasa satu atau beberapa fase masalah di dalam
rangka penelitian, dengan maksud untuk mendapatkan data yang
diperlukan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Penggunaan
metode ini diharapkan mendapat gambaran secara objektif keadaan
yang diteliti yaitu langsung dari kantor Kejaksaan Agung.
b. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data-data dan bahan-bahan berupa
dokumen. Data-data tersebut berupa arsip-arsip yang ada di Kejaksaan
Agung dan juga buku-buku tentang pendapat, teori, hukum-hukum serta
hal-hal lain yang sifatnya mendukung dalam penyusunan skripsi ini.
4. Metode Analisis
Analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. 11Penyusun menggunakan
metode analisa kualitatif, yakni memperkuat analisa dengan melihat
kualitas data yang diperoleh. Data yang terkumpul, selanjutnya dianalisa
menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari
teori atau kaidah yang ada. Metode ini digunakan untuk menganalisa
bagaimana Independensi Kejaksaaan Agung dalam melakasanakan
perannya sebagai Jaksa Pengacara Negara.
F. Metode Penulisan
1. Kerangka Teori
Untuk mengetahui tentang peran kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara
Negara (JPN), didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori
11
Hadi Sutrino, Metodelogi Research Untuk Penulisan Paper, Thesis dan Disertasi,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1992), h.62.
15
yang belakangan merupakan reaksi atau umpan balik ataupun perbaikan
dari teori sebelumnya. Teori yang digunakan adalah teori negara hukum
(rechtsstaat), teori tujuan hukum dan teori penegakan hukum (law
enforcement).
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat),bukan Negara
kekuasaan belaka (machtsstaat). Franz Magnis Suseno,12mengatakan
kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar
hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan
negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.
Berkenaan
dengan
tujuan
hukum,
Mochtar
Kusumaatmadja
mengatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah
ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang
dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat
dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di
lingkungan masyarakat tempat ia hidup.13
Eksistensi kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep
rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia.
Kehadiran kejaksaan Republik Indonesia dalam dunia peradilan adalah;
pertama, sebagai upaya preventif, membatasi, mengurangi atau mencegah
kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang
12
Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 295.
13
Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), h. 2-3.
16
diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan, baik rakyat maupun
pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak kesewenagwenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan Republik
Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang
mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam
penegakan hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian
hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas
penuntutan dalam proses peradilan.
Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto,
merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan
karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan
hukum yang diharapakan.14 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu
kiranya mendudukkan kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional
agar mandiri dan independen dalam perspektif teori negara hukum dan
teori pembagian kekuasaan.. Kemudian konsep negara hukum Indonesia
bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat
yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.
2. Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah konstruksi secara internal pada pembaca
yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan
tinjauan kepustakaan. Definisi Operasional ini dibuat untuk menghindari
14
Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali, 1983), h. 5.
17
pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam
penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa
definisi yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.15
b. Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dalam ruang lingkup lembaga
kejaksaan yang diberi wewenang di bidang perdata dan tata usaha
negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.16
c. Pengacara atau Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.17
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi skripsi ini, maka
akan diuraikan secara singkat sistematika penulisan yang akan dibahas dalam
skripsi ini dengan urian sebagai berikut :
15
Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
16
AridonaBustari,Selayang Pandang Jaksa Pengacara Negara, http://datunkejaritakengon.
blogspot.com/p/artikel-hukum.html,diakses 22 Desember 2014
17
Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
18
Bab I :
Pendahuluan, pada bab
ini merupakan pendahuluan yang
menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II :
Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia, pada bab ini
akan dibahas mengenai sejarah lahirnya Kejaksaan Republik
Indonesia, Tempat dan kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia,
peran Kejaksaan Republik Indonesia dan susunan organisasi dan
tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Bab III : Pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan, pada bab ini
akan dibahas mengenai dasar hukum Kejaksaan sebagai jaksa
pengacara
Negara,
Syarat-syarat
Kejaksaan
sebagai
jaksa
pengacara Negara dan fungsi, tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagai jaksa pengacara Negara. Hambatan Kejaksaan sebagai
jaksa pengacara negara dalam penyelesaian kasus dan Upaya
Kejaksaan sebagai jaksa pengacara negara dalam penyelesaian
kasus.
Bab IV: Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara
negara,
pada bab
ini akan dibahas mengenai
independensi kejaksaan dalam kaitan dengan tata hukum Indonesia
(kelembagaan) dan independensi kejakasaan secara fungsional.
Bab V : Penutup, pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia
1. Sebelum Reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada
zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari
bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Menurut W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat
negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam
Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M).
18
Dhyaksa adalah hakim yang
diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan.
Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi
yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini
didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa
adhyaksa
adalah
pengawas
(opzichter)
atau
hakim
tertinggi
(oppenrrechter).19
Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan
menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga
18
W.F. Stutterheim, “Sejarah”, http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3,
diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
19
H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_
Indonesia, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
19
20
adalah seorang adhyaksa.20 Pada masa pendudukan Belanda, badan yang
ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar
Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan
sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad
(Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan
Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten
Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai
perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan
Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung
antara lain :21
a.
Mempertahankan segala peraturan Negara
b.
Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c.
Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya
dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen
yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi
difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman
pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh
20
Krom dan Van Vollenhoven, “Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia”,
http://lotus bougenville.wordpress.com/2010/06/16/kejaksaan-agung/, diakses Sabtu, tanggal 09
Agustus 2014.
21
EtymZuafria. Amd,“Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/2010_05_01_archive
.html, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
21
Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944.
Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni
sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan
Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara
resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :22
a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
b.
Menuntut Perkara
c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal
d.
Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan
dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah
Dulu. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia
membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku.
Secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia
(selanjutnya
disingkat
PPKI)
diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik
Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
22
Just another WordPress, “Sejarah Kejaksaan RI Sebelum Reformasi”, http://cabjaribrandan.
wordpress.com/, diakses Senin, tanggal 11 Agustus 2014.
22
Kejaksaan
Republik
Indonesia
terus
mengalami
berbagai
perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun
waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya,
hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh
dua) periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan
sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta
tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga juga mengalami
berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Menyangkut
Undang-Undang
Kejaksaan,
perubahan
mendasar
pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, undang-undang ini menegaskan
Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai
penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan
dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang
diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang
Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan
dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut
Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari UndangUndang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
23
1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga
mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara
institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
2. Masa Reformasi
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa
reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kehadiran
undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap
sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 2 Ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan
Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses
perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan
hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti
24
yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang
Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana
putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga
negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan.
Mengacu
pada
Undang-Undang
tersebut,
maka
pelaksanaan
kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan
secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka artinya bahwa
dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan
tugas profesionalnya.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
a. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
25
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
4) Melaksanakan
penyidikan
terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan
atas nama negara atau pemerintah.
c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan :
1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) Pengamanan peredaran barang cetakan;
4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan dapat
meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah
26
sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal
yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan
wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi
tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal
33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum
dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34
menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam
bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan
hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab.
Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini
mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi
korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap
tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja
dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian Republik Indonesia
dan badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain :
1) Modus operandi yang tergolong canggih
2) Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau temantemannya
27
3) Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan
berbagai peraturan
4) Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
5) Manajemen sumber daya manusia
6) Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak
hukum yang ada)
7) Sarana dan prasarana yang belum memadai
8) Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan
penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan
pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap
mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. UndangUndang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini diatur beban
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi
yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan
undang-undang ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para
koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam undang-undang
tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan
penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh undang-undang
ini.
Akhirnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam penjelasannya secara tegas
28
menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa
melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan
luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai
(extraordinary crime).
Sehingga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan
pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk
penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 (empat)
Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni
Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan
Pengaduan masyarakat.
Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan
penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian
dan Kejaksaan Republik Indonesia. Sementara khusus untuk penuntutan,
tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK
menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain
di bidang penyidikan.
29
B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia
Mengenai kedudukan dan peranan kejaksaan Kejaksaan Republik
Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD
1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga
Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang
penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan
sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan
mewakili
dan
mempertahankan
kekuasaan
negara,
memperjuangkan
kepentingan umum yang sangat membutuhkan ketertiban dan ketentraman
dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral,
didalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam
penanganan perkara selama proses di Pengadilan.
1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia
Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan
fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di
Indonesia. Sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini
baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum
maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan artinya Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi
supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum
berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan
30
oleh kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Supremasi hukum akan
selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.23
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
Pasal 2 :
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan
kekuasaan negara
di bidang
penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan
secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu dan tidak
terpisahkan.
Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan
negeri.
Pasal 4
(1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara
Republik Indonesia.
23
Wijatobone,“KedudukanKejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimali
sasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasi-hukum/, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus
2014.
31
(2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi.
(3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia
UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara
hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahtraan bagi
setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu,
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut
setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Kejaksaan yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih
menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan.
Pelaksanaan kekuasaan negara dalam Undang-Undang tersebut harus
dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia,
bahwa
Kejaksaan
adalah
lembaga
pemerintah
yang
32
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka
dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Ketentuan ini betujuan melindungi profesi Jaksa dalam
melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga
penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan
supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan KKN.
Kejaksaan
harus
mampu
terlibat
sepenuhnya
dalam
proses
pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan
adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut
menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta
melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis
Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa.
Dasar hukum pelaksanaan kedudukan dan peranan Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan
badan-badan penegak hukum dan keadilan dijabarkan pada Pasal 5 Ayat
(1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu :
Pasal 5 Ayat (1)
Presiden memegang kekuasaan membentuk UndangUndang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat
33
3. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :
a. Jaksa Agung;
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai
berikut :
1) Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan
tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan
agar berdaya guna dan berhasil guna;
2) Menetapkan dan
mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan
penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif
yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan
tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4) Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan
instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta
melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan
oleh Presiden;
5) Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang
terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke
luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia,
34
peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban
umum,
penyalahgunaan
dan/atau
penodaan
agama
serta
pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban
masyarakat
dan
negara
berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan;
6) Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha
negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam dan di luar
pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di
dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden;
7) Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan
kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam
perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, mengajukan
pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam
pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan
kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana
mati berdasarkan peraturan perundang-undangan;
8) Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara
bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani
perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
9) Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan
melaksanakan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden;
35
10) Membentuk Satuan Tugas di Pusat dan di Daerah yang terdiri dari
instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana
tertentu sesuai dengan kebutuhan;
11) Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga
pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan
organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul
terutama yang menjadi tanggung jawabnya.
Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang
wakil Jaksa Agung.
b. Wakil Jaksa Agung;
Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu :
1) Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan
organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis
operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna;
2) Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan
tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan
Kejaksaan di daerah;
3) Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan;
4) Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa
Agung.
Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung
jawab kepada Jaksa Agung.
36
c. Jaksa Agung Muda Pembinaan;
Jaksa Agung Muda Pembinaan adalah unsur pembantu pimpinan
dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
Kejaksaan di bidang pembinaan yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan
sarana
dan
prasarana,
pengelolaan
keuangan,
kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana, melakukan
penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan perundangundangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi
tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan teknis dan
administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan dalam rangka
memperlancar pelaksanaan tugas.
d. Jaksa Agung Muda Intelijen;
Jaksa Agung Muda Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan
dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab
langsung kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang
melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik,
ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung
kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun
37
represif, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban
dan ketenteraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan
hasil-hasilnya
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur pembantu
pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta
fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana umum
yang diatur di dalam dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disingkat KUHP) yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas dan
wewenang
melakukan
prapenuntutan,
pemeriksaan
tambahan,
penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan
tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung.
f. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu
pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta
fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus
yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.
38
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan
wewenang
melakukan
penyelidikan,
penyidikan,
pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi,
tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Jaksa Agung.
g. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur
pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan
wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai perkara
perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan
dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang
perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara
dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa
Agung.
h. Jaksa Agung Muda Pengawasan;
Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu pimpinan
dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi
39
Kejaksaan di bidang pengawasan yang bertanggung jawab langsung
kepada Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan
semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
i. Pusat;
1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur
penunjang kegiatan Kejaksaan
2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara.
j. Kejaksaan di Daerah :
Kejaksaan di daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan
Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas
dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi
dan Kejaksaan Negeri diatur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendayagunaan aparatur negara.
1) Kejaksaan Tinggi
2) Kejaksaan Negeri.
40
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal
34 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia yaitu:
Semua satuan organisasi Kejaksaan dalam melaksanakan
tugasnya diwajibkan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan
sinkronisasi baik dalam lingkungan Kejaksaan sendiri maupun dalam
hubungan antar departemen, lembaga pemerintah non departemen,
lembaga negara, dan instansi-instansi lain untuk kesatuan gerak yang
sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang
serta fungsinya aparat Kejaksaan bertanggung jawab secara hirarkis
kepada
pimpinan
satuan
organisasi
masing-masing.
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya satuan-satuan
organisasi Kejaksaan berpedoman kepada asas satu kesatuan dan tidak
terpisah-pisahkan.
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI PENGACARA NEGARA OLEH KEJAKSAAN
A. Syarat-Syarat Menjadi Jaksa
Adapun syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa terdapat
dalam Pasal 9 sampai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu sebagai berikut :
Pasal 9
(1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah :
1) Warga negara Indonesia;
2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
4) Berijazah paling rendah sarjana hukum;
5) Berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi
35 (tiga puluh lima) tahun;
6) Sehat jasmani dan rohani;
7) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
8) Pegawai negeri sipil.
(2) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk dapat diangkat
menjadi jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat atau petunjuk
pelaksanaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan
41
42
jaksa sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Pasal 10
(1) Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya di hadapan Jaksa Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berbunyi
sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji”.
Pasal 11
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang
merangkap menjadi :
a. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah,
atau badan usaha swasta
b. Advokat
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang
dirangkap selain jabatan atau pekerjaan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari sini kita bisa tahu bahwa syarat menjadi jaksa adalah salah satunya
berijazah paling rendah sarjana hukum. Ini artinya, seseorang yang bergelar
magister ilmu hukum atau S2 ilmu hukum tentu saja bisa mencalonkan diri
sebagai jaksa, asalkan ia telah menempuh strata satu (S1) di bidang hukum
(mengingat S2 hukum bisa saja S1 yang diambil sebelumnya bukan dari
bidang hukum). Namun, walaupun ia bergelar S2 di bidang ilmu hukum, ia
wajib memenuhi persyaratan-persayaratan lainnya sebagai jaksa sebagaimana
ditentukan dalam UU Kejaksaan di atas.
43
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Jalan Berliku
Seorang Jaksa, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung (yang saat itu
dijabat) Babul Khoir Harahap menegaskan bahwa proses rekrutmen menjadi
seorang jaksa itu tidak mudah dan panjang. Ia menyatakan syarat-syaratnya
telah diatur dalam UU Kejaksaan dan Peraturan Jaksa Agung (Perja).
Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang dimaksud adalah Peraturan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor: Per-064/A/JA/07/2007 tentang Rekrutmen
Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia
(“Perja Per-064/A/Ja/07/2007”).
Bagi yang ingin menjadi jaksa, ia harus mengikuti Rekrutmen Calon
Jaksa, yakni serangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan dan pengisian
formasi, pengumuman, pendaftaran, pembuatan soal seleksi, seleksi dan
pengolahan hasil seleksi serta penetapan kelulusan, pengumuman hasil seleksi,
pengiriman peserta hasil seleksi calon jaksa ke lembaga Pendidikan dan
Pelatihan (Pasal 14 jo. Pasal 1 angka 7 Perja Per-064/A/JA/07/2007).
Tujuan rekrutmen calon jaksa adalah untuk mencari sumber daya
manusia Jaksa yang memiliki kemampuan intelektual, profesional, integritas
kepribadian
serta
memiliki
disiplin
tinggi
(Pasal
13
Perja
Per-
064/A/JA/07/2007). Adapun Peserta seleksi Calon Jaksa Kejaksaan Republik
Indonesia menurut Pasal 1 angka 10 Perja Per-064/A/JA/07/2007 adalah
Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan yang memenuhi persyaratan rekrutmen Calon
Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia. Jadi, selain memenuhi syarat-syarat
dalam UU Kejaksaan yang kami sebutkan di atas, ia juga wajib menjadi
Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan terlebih dahulu.
44
Persyaratan untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan
Jaksa adalah: (Pasal 19 Perja Per-064/A/JA/07/2007)
a) Pegawai Kejaksaan dengan masa kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun.
b) Sarjana Hukum.
c) Berpangkat serendah-rendahnya Yuana Wira/golongan III/a.
d) Usia serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya
35 (tiga puluh lima) tahun pada saat dilantik menjadi Jaksa.
e) Berkelakuan tidak tercela.
f) Sehat fisik dan mental dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan
secara lengkap (general check up) pada rumah sakit yang ditunjuk,
mempunyai postur badan yang ideal dan keterangan bebas dari narkoba
yang dibuktikan dengan hasil laboratorium.
g) Memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam melaksanakan jabatan
jaksa yang dinyatakan secara obyektif oleh atasan minimal eselon III.
h) Telah membantu melaksanakan proses penanganan perkara baik dalam
perkara pidana, perdata dan tata usaha negara serta dibuktikan dengan
sertifikasi oleh Kepala Kejaksaan setempat dengan standar yang
ditentukan.
i) Lulus penyaringan yang diselenggarakan oleh Panitia Rekrutmen Calon
Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa juga wajib
senantiasa menjunjung tinggi kode etik untuk menjaga kehormatan dan
martabat profesinya. Kode Etik Jaksa atau Kode Perilaku Jaksa adalah
45
serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam
menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya
serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya.
B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakin dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan
pengawasan terhadap
pelaksanaan
putusan
pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan bersyarat;
d. Melaksanakan
penyelidikan
terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan Undang-Undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
Negara atau pemerintah
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan :
46
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan
masyarakat dan Negara;
e. Pencegahan peyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta
kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat
perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu
berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang
lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang
tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Selanjutnya Pasal 33 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan
serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan
bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum
47
kepada instalasi pemerintah lainnya. Segenap tugas dan wewenang Kejaksaan
tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran
Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indonesia, agar
kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh.
Sebagaimana diketahui berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan adalah lembaga
penegak hukum yang merupakan bagian dari salah satu sistem dalam
peradilan pidana terpadu (ICJS: Integreted Criminal Justice System). Selain
itu diatur pula tugas di bidang Datun dimana kejaksaaan dapat mewakili
pemerintah/negara. Jaksa yang sedang melaksanakan tugas ini disebut Jaksa
Pengacara Negara, yakni bertindak seperti advokat bagi yang menguasakan
untuk mewakilinya.
Tidak semua jaksa otomatis menjadi Jaksa Pengacara Negara karena
penyebutan itu hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional
melaksanakan tugas-tugas Datun. Istilah ini bukan baru muncul saat bidang
Perdata dan Tata usaha Negara dibentuk secara struktural di Kejaksaan Agung
pada 1992, namun telah dikenal sejak 1922 (vide: Stb 1922 Nomor 522,
Vertegenwoordige van den Lande in Rechten). Dalam Pasal 2 Stb 1922 No.
522 disebutkan, “Dalam suatu proses (atau sengketa) yang diadili dengan
prosedur perdata, bertindak untuk Pemerintah Indonesia sebagai penanggung
jawab negara di pengadilan adalah opsir justisi atau jaksa” (vide Pasal 2 huruf
b dan seterusnya). Bahkan di negeri Belanda, para Jaksa Agung Muda disebut
Advocaten General baik Kejaksaan di Hoge Raad maupun di Gerechtshoven
48
(vide: art 3 RO. Bld), sebagai konsekuensi penugasannya untuk membela
kepentingan negara dan publik, baik dalam proses pidana maupun masalah
perdata dan ekstra yudisial lainnya.24
Bahwa akibat bergulirnya reformasi telah membuat perubahan mendasar
terhadap pola pikir dan tata laku warga masyarakat. Realitas demikian juga
membawa konsekuensi dalam reformasi hukum, khususnya bidang Datun,
lebih fokusnya atas keberadaan Jaksa Pengacara Negara. Hal ini terkait
dengan meningkatnya kesadaran hukum atau merebaknya keberanian warga
masyarakat menggugat berbagai kebijakan pemerintah/negara. Beberapa
contoh konkret di antaranya :
Pertama, pada 2005 ada class action (gugatan perwakilan kelompok)
yang diadukan oleh sekitar 20 juta mantan anggota Partai Komunis Indonesia
terhadap presiden dan mantan presiden Republik Indonesia. Penggugat
mendalilkan bahwa pemerintah Republik Indonesia telah melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pelanggaran hak asasi manusia terhadap
mereka. Penggugat menuntut agar pemerintah Republik Indonesia dihukum
untuk membayar ganti rugi minimum Rp. 400 juta per penggugat, sehingga
jumlah keseluruhannya Rp. 8.000 triliun. Pemerintah Republik Indonesia
selanjutnya menugaskan Jaksa Agung cq Jaksa Pengacara Negara menghadapi
gugatan tersebut. Atas usaha keras para Jaksa Pengacara Negara, pemerintah
Republik Indonesia akhirnya terhindar dari kewajiban membayar ganti rugi
tersebut.
24
Duniakontraktor, Landasan Hukum Jaksa Pengacara Negara”, http://duniakontraktor.
wordpress.com/2011/03/07/landasan-hukum-jaksa-pengacara-negara/, diakses Sabtu, tanggal 09
Agustus 2014.
49
Kedua, terindikasinya usaha-usaha untuk merugikan negara dengan cara
mengajukan gugatan perdata. Kekayaan negara yang paling rawan dalam
hubungan ini adalah aset dalam bentuk tanah. Penggugat mendalilkan bahwa
tanah dimaksud adalah miliknya seperti yang terjadi pada tanah hak PT
Telkom Sorong-Papua, tanah kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, tanahtanah yang digunakan oleh Kejaksaan Tinggi Gorontalo dan lain sebagainya.
Namum berkat berbagai alat bukti maupun saksi serta kontribusi Jaksa
Pengacara Negara, semua dalil gugatan terbantah sehingga terselamatkan asetaset tersebut.
Ketiga, munculnya strategi menggunakan gugatan perdata untuk
mengusahakan agar tindakan-tindakan kejaksaan dalam rangka pemberantasan
korupsi, dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum atau tidak sah. Contoh
dalam kasus terpidana korupsi David Nusa Wijaya. Sanak saudara terpidana
menggugat dengan mendalilkan bahwa, penyitaan dan perampasan barang
yang dilakukan kejaksaan adalah perbuatan melanggar hukum karena barang
barang tersebut milik penggugat, bukan milik terpidana. Setelah melalui
persidangan perdata yang cukup panjang, akhirnya kejaksaan diwakili Jaksa
Pengacara Negara dapat memenangkan perkara tersebut.
Keempat, banyak sudah pemerintah daerah, BUMN maupun BUMD
mangadakan/membuat naskah kerja sama (Memorandum of Understanding/
MoU) dengan institusi kejaksaan, yang maksudnya adalah kerja sama dalam
pemerian bantuan hukum dengan mengunakan Jaksa Pengacara Negara jika
terjadi gugatan terhadap lembaga pemerintah maupun badan usahanya.
50
Beberapa contoh tersebut di atas, sebenarnya sudah menunjukan
kontribusi eksitensi mupun peran serta Jaksa Pengacara Negara dalam bidang
Datun. Namun ada beberapa hambatan di antaranya :25
1. Minim atau sangat kurangnya kegiatan sosialisasi menyangkut keberadaan
Jaksa Pengacara Negara.
2. Terbatasnya jumlah personel jaksa yang secara khusus mendapatkan bekal
tambahan pendidikan/pelatihan menuju profesionalisasi sebagai Jaksa
Pengacara Negara.
3. Kecenderungan adanya keengganan mengunakan ataupun menugaskan
Jaksa Pengacara Negara. Institusi pemerintah/negara jika mendapat
gugatan Datun, biasanya lebih "sreg" menugaskan bagian/biro hukumnya
atau malahan advokat untuk menghadapi gugatan tersebut.
4. Dalam memberikan bantuan hukum perdata, sering dipermasalahkan dan
dipersidangan mendapat semacam eksepsi dari Advokat. Mereka (para
Advokat) menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat, bantuan hukum hanya dapat diberikan
oleh advokat. Beruntungnya selama ini dalam persidangan Hakim selalu
mengabaikan, atau menolak eksepsi tersebut dengan menyatakan bahwa
Jaksa Pengacara Negara adalah penugasan khusus bersifat kasuistis
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
25
Kabarindonesia,“JPNsebagaiPengacaraNegara,http://kabarindonesia.com/berita.php?p
il= 20&jd=JPN+sebagai+Pengacara+Negara&dn, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
51
5. Masih sering timbul pertanyaan tentang BUMN/BUMD termasuk bagian
pemerintah/negara atau tidak.
6. Masalah Surat Kuasa Khusus. Bersarkan Pasal 30 Ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
secara tegas menyatakan, bahwa di bidang hukum Datun kejaksaan dapat
mewakili pemerintah/negara Republik Indonesia baik di dalam maupun di
luar pengadilan.
7. Tidak adanya anggaran dana operasional yang mencukupi dalam hal
mengajukan gugatan untuk pemulihan keuangan negara. Kedelapan,
kurangnya
literatur
menyangkut
Datun,
publikasi
maupun
kegiatan/pelatihan yang mendukung.
Contoh kasus yang lainnya dimana Kejaksaan pernah memberikan
bantuan hukum perdata kepada PT Jamsostek (Persero), padahal pada saat
yang sama Direksi PT Jamsostek (Persero) sedang diperiksa oleh Penyidik
Tindak Pidana Khusus berdasarkan sangkaan terjadinya tindak pidana korupsi.
B. Pelaksanaan Fungsi Pengacara Negara Oleh Kejaksaan
Selama ini banyak pihak beranggapan bahwa Kejaksaan hanya bertugas
menangani perkara pidana atau sebagai Penuntut Umum, padahal disamping
tugas tersebut Kejaksaan juga berwenang menangani perkara perdata, yang
dasar hukum dan pelaksanaannya telah ada sejak perundang-undangan Hindia
Belanda yaitu Staatsblaad 1922 Nomor 522 dan peraturan perundangundangan yang tersebar dalam BW, Ardonansi Catatan Sipil dan Ordonansi
Kepailitan.
52
Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut
dilaksanakan
secara
merdeka.
Oleh
karena
itu,
Kejaksaan
dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa
Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara
independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan
demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya
merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara
untuk keberhasilan penuntutan.
Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai
jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, ditentukan
bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun
jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam
puluh dua) tahun.
Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana
tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-Undang
yang
memberikan kewenangan kepada
Kejaksaan untuk melakukan
penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
53
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai
kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat
atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan
pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.
Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas melakukan
dan/atau pengendalian kegiatan penegakan, bantuan, pertimbangan dan
pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan
masyarakat di Sidang perdata dan tata usaha negara.
Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara
menyelenggarakan fungsi :26
1. Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang perdata dan tata
usaha negara berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan
teknis;
2. Pengendalian kegiatan penegakan hukum, bantuan pertimbangan dan
mewakili kepentingan negara dan pemerintah;
3. Pelaksanaan gugatan uang pengganti atas putusan pengadilan, gugatan
ganti kerugian dan tindakan hukum lain terhadap perbuatan yang melawan
hukum yang merugikan keuangan negara;
4. Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang menyangkut
pemulihan dan perlindungan hak dengan memperhatikan kepentingan
umum sepanjang negara atau pemerintah tidak menjadi tergugat;
26
Query,“Perdata dan TataUsaha Negara”,http://kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=
organisasi-datun, diakses Sabtu, 09 Agustus 2014.
54
5. Pelaksanaan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan
mewakili kepentingan keperdataan dari negara pemerintah dan masyarakat
baik berdasarkan jabatan maupun kuasa khusus;
6. Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait serta
memberikan bimbingan dan petunjuk teknis dalam penanganan masalah
perdata dan tata usaha negara di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan;
7. Pemberian saran konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan hukum
Jaksa Agung mengenai perkara perdata dan tata usaha negara dan masalah
hukum lain dalam kebijakan penegakan hukum;
8. Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat
tindak pidana khusus di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan.
BAB IV
INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM MELAKSANAKAN TUGAS
SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA
A. Independensi Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Sistem Negara
Hukum Di Indonesia
Kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif tetap dipertahankan
hingga orde reformasi. Padahal salah satu agenda reformasi hukum adalah
mereformasi institusi hukum dan perundang-undangan. Kedudukan kejaksaan
dalam pasal 24 ayat (3) UUD 1945 hanya dijadikan badan-badan yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kedudukan dan kewenangan
kejaksaan dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara Inplisit sebagai bagian
integral dari kekusaan kehakiman Pengaturan kedudukan tersebut juga
tercantum dalam konsideran menimbang Undang-Undang kejaksaan. Padahal
dalam secara international kedudukan konstitusional lembaga peradilan harus
dijamin oleh Konstitusi. The United
Nations Basic Principles on
Independence of The Judiciary yang dikeluarkan majelis umum PBB 1985
pada pasal 1 menyatakan :
The Independence of the judiciary shall be guaranteed by the state and
enshirined in the constitusion or the law of country. It is the duty of all
govermental and other institusions to respect and observe the independence of
the judiciary
Independensi peradilan harus dijamin oleh Negara dan diabadikan dalam
Konstitusi atau hukum negara.Ini adalah tugas dari semua pemerintah dan
55
56
lainnya lembaga untuk menghormati dan mengamati independensi peradilan.
Pengaturan kejaksaan dalam Undang-Undang dasar (constitution) suatu negara
bukanlah merupakan hal yang baru,karena ternyata di dunia ini terdapat
hampir 90 (sembilan puluh) negara yang mengatur lembaga Kejaksaan
dan/atau Jaksa Agungnya dalam Undang-Undang dasar.
Pada hakekatnya dalam prinsip negara hukum keberadaan kekuasaan
yudisial merupakan kekuasaan yang bertujuan untuk mengawasi jalannya
pemerintahan agar tetap berjalan pada kerangka hukum. Keberadaan
kekuasaan yudusial
yang independen merupakan jaminan bagi tegaknya
supremasi hukum. Independensi lembaga penegak hukum akan menghindari
terjadinya penyimpangan fungsi lembaga penegak hukum dan keadilan
sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh sebuah rezim tertentu.
Melihat hal tersebut maka peran strategis lembaga penegak hukum
dalam sistem ketatanegaraan dan mewujudkan prinsip negara hukum
merupakan sesuatu yang krusial. Maka dari itu keberadaan lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan yudisial termasuk kategori sebagai organ
negara utama (auxilary organ). Sebagai organ negara utama maka sumber
atribusi kewenangan lembaga yudisial sepatutnya harus diatur secara jelas di
dalam konstitusi.
Atribusi kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Badan
Pemeriksa Keuangan diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Atribusi
langsung dari konstitusi meletakkan keberadaan MA dan BPK sejajar dengan
lembaga eksekutif dan legislatif. Sehingga fungsi pengawasan yang dimiliki
57
oleh MA dan BPK menjadi seimbang dalam
prinsip pendistribusian
kekuasaan yang diterapkan di negara Indonesia.
Keadaan
inilah yang
menciptakan check and balances antar lembaga negara. Sebagai lembaga yang
sama-sama lahir dan mendapat atribusi kewenangan dari konstitusi maka
secara hierarki keberadaan MA dan BPK tidak berada lebih rendah dari
Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif).
Dilain pihak Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
kejaksaan menyatakan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan Undang-Undang. Kekuasaan Pemerintahan dalam UUD 1945
diartikan sebagai kekuasaan pemerintah dalam arti yang sempit yaitu sebagai
kekuasaan Presiden.
Ketidak pastian
konstitusional dan
kebingunan
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengakibatkan
tidak jelasnya kedudukan kejaksaan sebagai yudikatif yaitu yaitu badan yang
terjait dengan kekuuasaan kehaiman atau sebagai kekuasaan pemerintahan
yang berada sebagai sub ordinat dari kekuasaan presiden. Ketidak pastian ini
menimbulkan kemerdekaan yang secara filosofis diatemukan dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tidak dapat sebagai mana mestinya.
Dengan beragamnya posisi Kejaksaan di seluruh dunia, maka
pertanyaan letak kejaksaan yang ideal juga belum terjawab. Pada intinya tidak
ada satu pandangan pun yang mengharuskan Institusi Kejaksaan wajib
ditempatkan pada cabang kekuasaan mana, apakah eksekutif, legislatif
ataupun Yudikatif.
Bahkan perkembangan
terakhir
ada kepentingan
58
konstitusional (constitutional importance) untuk mendirikan pilar kekuasaan
keempat yang independen dan berdiri sendiri di luar tiga kekuasaan
sebelumnya. Kekuasaan ke empat ini adalah pilar yang berfungsi sebagai
kontrol eksternal bagi ketiga pilar sebelumnya. Pilar keempat ini bisa terdiri
dari Institusi Kejaksaan, Judicial Commision, dan Ombudsman.27
Soal Independensi ini sebenarnya mesti dibagi menjadi dua aspek, yakni :
1. Independensi secara institusional (kelembagaan)
2. Independensi secara fungsional. Independensi Secara lembaga berarti
bahwa kejaksaan itu ditempatkan dalam posisi yang independen secara
kelembagaan. Kejaksaan memang semestinya lebih baik ditempatkan
secara mandiri secara kelembagaan dan lepas dari kekuasaan manapun.
Adapun Independensi Lembaga Kejaksaan dalam kaitannya dengan
sistem Negara Hukum di Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. Kejaksaan tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945,
namun pengertian Kejaksaan dan Jaksa Agung sudah termasuk dalam
ruang lingkup ”kekuasaan kehakiman.” Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 menyebutkan bahwa, ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke
Macht) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman;” bukan lain-lain badan pengadilan.
2. Kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan adalah merupakan
penuntut umum dalam perkara pidana yang mewakili Negara dan
masyarakat, maupun sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam perkara
perdata dan tata usaha negara;
27
Lihat Relationship between the Public Prosecutor and the Minister of Justice,
<http://www.euro-justice.com/member_states/slovak_rep/country_report/2841/>,diakses
09
Agustus 2014
59
3. Keberadaan Kejaksaan adalah menempati posisi sentral dan fungsinya
yang strategis dalam proses penegakan hukum, di mana Kejaksaan
diharapkan mandiri dan independen serta mempunyai aparatur yang
profesional sebagai pelaksana kekuasaan Negara di bidang penegakan
hukum secara proporsional.Peranan Kejaksaan dalam penyelenggaraan
peradilan pidana ini, termuat dalam (United Nations) Guidelines on the
Role of the Prosecutors pada tahun 1990. (“Pedoman (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) Tentang Para Jaksa”);
4. Kedudukan dan peran lembaga Kejaksaan dalam sistem penegakan hukum
di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ditemukan suatu ambivalensi
antara kedudukan kelembagaan (yaitu Kejaksaan sebagai lembaga
pemerintahan/eksekutif (sebagai unsur pemerintah/pembantu presiden)
dengan tugas pokok fungsi dan wewenang di bidang penuntutan yang
masuk dalam yudikatif;
5. Doktrin dominus litis telah diakui secara universal dan tercermin di dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang, yang dilaksanakan
secara independent.”
6. Sejalan dengan prinsip bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan
(een en ondeelbaar), maka tidak ada suatu lembaga pemerintah manapun
60
yang dapat melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama
negara;
7. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa Penuntut
Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan”. Hal ini berarti kewenangan penuntutan yang
dimaksud dan diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK.
8. Terdapat kerancuan antara KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia berkaitan dengan Pasal 38,
Pasal 39 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun yurisprudensi MA
mengakui semua proses penuntutan KPK dan Kejaksaan.28
Independensi Kejaksaan juga semestinya diartikan sebagai “kekuasaan
penuntutan yang merdeka” dalam arti tidak memiliki keterkaitan atau
terpengaruh oleh pihak manapun serta memiliki kemampuan untuk
memutuskan tindakannya di bidang penuntutan secara fair dan obyektif, yang
mana hendaknya lembaga seperti KPK mengikuti apa yang diamanatkan
UNCAC 2003 sehingga tidak bersifat ad hoc, namun fungsi KPK yang ada
Indonesia sama dengan di Malaysia diberikan kewenangan penuntutan.
28
Kejaksaan Republik Indonesia, “Pengkajian”, http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.
php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=1543&bc=, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014
61
Padahal ide dasarnya adalah untuk melakukan fungsi preventif dan supervisi
serta monitoring. Sedangkan fungsi represif seharusnya tetap dibebankan
kepada Kepolisian dan Kejaksaan, namun saat ini justeru sebaliknya KPK
lebih mengedepankan fungsi represif.
B. Independensi Fungsional Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Kinerja
Dalam Penegakan Hukum
Yang terpenting dari persoalan independensi bukanlah independensi
kelembagaan melainkan independensi fungsional. Independensi Fungsional
adalah bahwa Jaksa itu bisa bebas dan merdeka dalam menjalankan tugasnya
untuk menuntut ataukah tidak menuntut. Sebagaimana dinyatakan di atas, Jika
secara kelembagaan Kejaksaan Tidak Independen, bukanlah masalah,
sepanjang Secara fungsional kejaksaan bisa bebas menjalankan fungsinya
tanpa intervensi.
Kejaksaan Perancis, Belanda dan Jepang misalnya meletakkan institusi
kejaksaan di bawah eksekutif. Tapi apakah kejaksaan mereka tidak
independen? Kejaksaan tiga negara tersebut terbukti tetap bisa independen.
Ketiga nya bahkan tidak kalah independen dengan Kejaksaan Italia yang dipuji
sebagai model kejaksaan yang dianggap paling independen karena meletakkan
institusi kejaksaan dalam bagian kekuasaan kehakiman dan mampu berfungsi
tanpa tekanan siapapun. Sebaliknya Kejaksaan Indonesia, telah lama tidak
independen semenjak lahirnya hingga prakteknya hari ini. 29
29
http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksaagung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-uud-1945-oleh-prof-dr-yusril-ihza-mahendrapendahuluan-hampir-seluruh-negara-modern-di-du/,diakses 22 Desember 2014.
62
Dengan demikian, adalah benar bahwa independensi secara kelembagaan
jelas mempengaruhi independensi fungsional Jaksa. Namun jika Kejaksaan
ditempatkan dalam posisi yang independen secara kelembagaan apakah bisa
dipastikan bahwa Kejaksaan bisa independen secara fungsional? Belum tentu
jawabnya. Karena itu, indikator independensi yang sesungguhnya adalah pada
independensi
fungsional
bukan
independensi
institusional.
Ruh
dari
independensi kejaksaan yang sesungguhnya mengatakan bahwa : tidak ada
satu orang atau institusi manapun yang bisa mengintervensi kejaksaan untuk
menuntut atau tidak menuntut suatu perkara. Beberapa faktor yang
mempengaruhi independensi jaksa pengacara negara dalam melaksanakan
tugas yang berkaitan dengan moralitas diantaranya :
1.
Arogan
Sikap Arogan hampir melekat pada setiap individu yang memiliki
jabatan/kedudukan disetiap profesi, dan sifat ini dalam agama sungguh
sanggat tidak terpuji karena dari sifat ini timbul sifat-sifat lain seperti,
sombong,penguasa,
dan
sifat-sifat
buruk
lainnya.
Firman Allah surat Lukman ayat 18 menyebutkan :
‫ل َﻓﺨُﻮ ٍر‬
ٍ ‫ﻞ ﻣُﺨﺘَﺎ‬
‫ﺐ ﻛُ ﱠ‬
‫ﺤ ﱡ‬
ِ ُ‫ﻻﯾ‬
َ ‫ﷲ‬
َ ‫نا‬
‫ض َﻣ َﺮﺣًﺎ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ﺶ ﻓِﻲ ا ﻷَر‬
ِ ‫ﻻﺗَﻤ‬
َ ‫س َو‬
ِ ‫ك ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬
َ ‫ﺧ ﱠﺪ‬
َ ‫ﺼﻌﱢﺮ‬
َ ‫ﻻُﺗ‬
ََ
“Sesungguhnya Allah swt tidak suka kepada setiap orang yang sombong
lagi membangga-banggakan diri”
2.
Ghulûl
Ghulûl adalah tindakan seorang aparat atau pejabat mengambil sesuatu
secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya.
63
Rasulullah SAW menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin
Amirah al-Kindi, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian
yang
kami tugaskan untuk suatu
pekerjaan (urusan),
lalu
dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu
adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (HR.
Muslim)
3. Risywah (suap)
Risywah atau suap adalah suatu pemberian yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi keputusan yang bathil atau tidak sah yang menguntungkan
pihak pemberi. Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa suap atau
risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada
orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia
memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya. Risywah
merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’
Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan
penghubungnya.
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Rasulullah melaknat orang yang menyuap
dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Turmuzi)
4. Hadiah (gratifikasi)
Hadiah adalah pemberian kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan
dan sebagainya. Hadiah dapat juga disebut hibah. Pada dasarnya hadiah
merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling
memberi hadiah.
64
Akan tetapi jika memberi hadiah (gratifikasi) untuk kepentingan tertentu,
seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan,
kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang.
Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah
kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Rasulullah SAW
melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda, “Hadiah
bagi para pekerja (di luar hak yang telah ditetapkan) adalah ghulul
(korupsi).” (HR. Ahmad)
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, menyatakan bahwa apabila
seorang warga masyarakat memberi hadiah kepada pejabat, maka
bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh – melalui atau dari
pejabat itu – suatu hak, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk
menerima hadiah tersebut.
5. Khianat
Khianat adalah pengingkaran seseorang terhadap suatu janji atau suatu
amanat yang dipercayakan kepadanya. Khianat dalam konteks korupsi
adalah pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan.
Allah SWT sangat membenci dan melarang berkhianat. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanatamanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. AlAnfal ayat 27)
65
6. Sariqah
Sariqah adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi
atau mencuri. Dalam konteks korupsi, sariqoh dikonotasikan sebagai
tindakan mencuri harta kekayaan negara atau korporasi. Pencurian uang
negara biasanya dilakukan dengan cara sistematis dengan merekayasa
kebijakan atau mempermainkan anggaran dengan manipulasi dalam
berbagai macam bentuknya. Jadi pada intinya tidak jadi soal Kejaksaan
mau ditempatkan dimana, mau dibawah eksekutif, di bawah parlemen, di
bagian Kekuasaan kehakiman atau bahkan dibentuk lembaga negara
tersendiri yang independen, yang pasti harus bisa dipastikan bahwa hukum
kita bisa menjamin jaksa bisa bebas menjalankan fungsinya tanpa di
intervensi siapapun.
Dalam melaksanakan perannya sebagai jaksa pengacara negara, tidak
jarang menemui hambatan seperti benturan kepentingan atau disebut dengan
conflict of interst ditubuh kejaksaan. Contoh : Pada bidang pidana khusus atau
intelejen mengindikasi adanya unsur tindak pidana korupsi atau perbuatan
melawan hukum disalah satu instansi pemerintah, maka jaksa pada bidang
pidana khusus atau intelejen dengan wewenangnya berhak melakukan
penyelidikan atas indikasi tindak pidana tersebut.Sedangkan instansi tersebut
sudah melakukan kerjasama dengan kejakasaan agung.Pada susunan organisasi
kejaksaan bidang perdata dan tata usaha mempunyai tugas untuk membangun
kerjasama dengan instansi pemerintah lain dalam hal penyuluhan hukum dan
bantuan hukum. Namun, sejalan dengan tujuan hukum positif saat ini dalam
pemberantasan korupsi. Bidang pidana khusus dan intelejen mempunyai tugas
66
pokok ialah dalam penegakan hukum. Maka kejaksaan dalam hal ini tetap
melakukan penyelidikan terkait indikasi tindak pidana korupsi diinstansi
tersebut, karena kerjasama yang dijalin antara kedua belah pihak ialah dalam
bidang hukum perdata dan tata usaha negara dalam rangka tindakan preventif
apakah terdapat unsur tindak pidana korupsi pra pelaksanaan program kerja
instansi tersebut. Maka instansi yang menjalin kerjasama dapat meminta saran
kepada Jaksa Pengacara Negara ada atau tidaknya indikasi tindak pidana
korupsi dalam rencana pelaksanaan program instansi bersangkutan yang
selanjutnya Jaksa Pengacara Negara memberi saran kepada instansi tersebut
berupa legal opinion atau pertimbangan hukum.
Menurut Prof Dr Dimyati Harton dalam seminar sehari 25 Agustus 1997
di Semarang menyangkut lembaga Kejaksaan sebagai Kantor Pengacara
Negara, bahwa tidaklah tepat bila jaksa sebagai pengacara negara dan
Kejaksaan dilembagakan sebagai Kantor Pengacara Negara. Dalam arti,
pelaksana tugas-tugas yang bersifat hukum publik yang dapat menimbulkan
conflict of interest, karena tugas sebagai pengacara negara dapat juga
dilaksanakan oleh pengacara berprofesi advokat, di samping jaksa dalam
kapasitas sebagai pengacara yang mewakili negara, bukan dalam kapasitas
sebagai penuntut umum. Dengan demikian, fungsi jaksa sebagai pengacara
negara harus mengarah kepada kecenderungan global dan kebijakan nasional.30
Berdasarkan laporan kinerja Kejaksaan Agung tahun 2013 berbagai
bentuk kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk Memorioum of
30
Tentang Jaksa Pengacara Negara di Indonesia Negara, http://persatuan- jaksaindonesia.
org/view.php?do=pji_jpn&w=inc#.VI4ZP_mSyg1,diakses 09 November 2014.
67
Understanding dilaksanakan dengan berbagai instansi pemerintahan dalam
rangka penyelesaian masalah perdata dan tata usaha negara maupun guna
melaksanakan fungsi pengacara negara dalam memberi bantuan hukum,
adapun jumlah perkara yang ditangani kejaksaan dalam bidang perdata dan
tata usaha negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan begitupun
uang negara yang berhasil diselamatkan oleh kejaksaan melalui jaksa
pengacara negara.Sebagaimana laporan hasil kinerja Kejakasan pada bidang
tata usaha negara berhasil melampaui capaian target/program kerja pada tahun
2013, ditentukan sebanyak 1.452 perkara/kegiatan, sedangkan capaian program
kinerja pada Tahun 2013 sebanyak 3.788 perkara/kegiatan.Sehingga mencapai
atau melampaui dari target, yaitu sebesar 260% dan Jumlah uang negara yang
berhasil
diselamatkan
atau
dipulihkan
pada
tahun
2013
mencapai
Rp.118.647.041.238 (seratus delapan belas milyar enam ratus empat puluh
tujuh juta empat puluh satu ribu dua ratus tiga puluh delapan rupiah) sedangkan
pada tingkat Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri pada tahun 2013
mencapai Rp.1.245.638.119.133.93 (satu triliyun dua ratus empat puluh lima
milyar enam ratus tiga puluh delapan juta seratus sembilan belas ribu seratus
tiga puluh tiga sen)
Dengan demikian, data tersebut diatas menggambarkan bahwa kejaksaan
memiliki independensi secara fungsional dalam melaksanakan perannya. Dan
tentu saja dapat menepiskan pandangan khalayak umum yang beranggapan
bahwa kejakasaan tidak dapat independen sejak adanya penambahan fungsi
dibidang perdata dan tata usaha negara dalam melaksanakan fungsinya baik
68
sebagai penutut umum maupun menjadi pengacara negara.Karena secara
fungsional Jaksa Penuntut Umum bertindak mewakili kepentingan negara dan
masyarakat sedangkan Jaksa Pengacara Negara bertindak dengan surat kuasa
khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan mewakili negara.
Menurut Alfitra “Dalam pelaksanaan fungsi Jaksa Pengacara Negara
pasti dijumpai benturan kepentingan atau yang disebut dengan Conflict of
Interest didalam Instansi Kejaksaan yang mempunyai wewenang baik sebagai
Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara Negara.Terlebih dalam sebuah perkara
yang terdapat unsur pidana dan unsur perdata yang terdapat peran jaksa
pengacara negara sebagai efek dari pada nota kesepahaman dengan instansi
lain. Namun hal itu dapatlah dihindari apabila dari masing-masing pribadi
dapat memegang teguh sumpah atau janji sesuai dengan tupoksi jabatan
mereka” sehingga sudah tentu independensi dapat tercapai ditubuh kejaksaan. 31
31
Alfitra.(ahli hukum pidana) Wawancara di Universitas Islam Negeri pada Tanggal 07
November 2014
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka
untuk menjawab dari rumusan masalah pada penelitian ini dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem
pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
yang
menyatakan bahwa
kedudukan kejaksaan
adalah
Lembaga
Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang
penuntutan di lingkungan peradilan umum, kejaksaan mewakili dan
mempertahankan kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum
yang sangat membutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan.
2. Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh kejaksaan dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan
badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lain.
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada
instansi pemerintah lainnya.
3. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara bahwa “Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht)
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman”,
bukan lain-lain badan pengadilan, kedudukan Kejaksaan dalam sistem
69
70
ketatanegaraan adalah merupakan penuntut umum dalam perkara pidana
yang mewakili Negara dan masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan diatas, penulis
mengusulkan sebagai berikut :
1. Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia diharapkan mampu
bertindak secara netral di dalam menangani perkara yang harus
dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara sela proses di
Pengadilan.
2. Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh kejaksaan harus dilaksanakan
dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam
penegakan supremasi hukum di negara Indonesia, agar kesetabilan dan
ketahanan bangsa dapat semakin kokoh.
3. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
pengacara negara hendaknya selalu berdasarkan Undang-Undang yang
berlaku, selain itu Kejaksaan dapat meningkatkan profesionalisme dalam
tahapan prapenuntutan dan meningkatkan koordinasi dengan penyidik
untuk membantu penyidik melengkapi Berkas Perkara dengan memberi
petunjuk-petunjuk kelengkapan Berkas Perkara.
4. Dalam melaksanakan tugas sebagai pengacara negara dalam hal
penyuluhan hukum dan langkah-langkah mediasi terhadap perkara perdata
hendaknya lebih digiatkan mengingat masih banyak masyarakat yang
belum mengetahui peran dan keberadaan jaksa pengacara negara.
71
5. Mengingat masih minimnya tenaga jaksa yang memiliki bekal khusus
dalam bidang perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara
negara.Kejaksaan dalam hal pembentukan jaksa sudah saatnya menambah
personil dan bekal-bekal khusus dalam pendidikan pembetukan jaksa yang
bergerak dibidang perdata dan tata usaha negara untuk menjadi jaksa
pengacara negara.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Atmasasmita Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan
Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Hamzah Andi, 1995, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya,
Sinar Grafika, Jakarta.
RM. Surachman, 1995, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta.
Hendra A.A. Oka, 1993, Memantapkan Kedudukan dan Peranan Kejaksaan,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Manan Bagir, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat
Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, Bandung.
Marbun BN., 2006, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Prakoso Djoko, 1984, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Sianturi SR. dan EY. Kanter, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia
Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif (
Suatu Tinjauan Singkat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sunggono Bambang, 2001, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Supriadi., 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta.
Waluyo Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta.
Zul Fajri Em dan Ratu Aprillia Senja, 2008, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Difa Publisher, Jakarta.
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2013, h.12.
Mardjono Reksodiputro (2), Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Kumpulan Karangan. Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.84-85.
B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
C. Internet
Duniakontraktor, Landasan Hukum Jaksa Pengacara Negara”, http://duniakon
traktor.wordpress.com/2011/03/07/landasan-hukum-jaksa-pengacaranegara/, diakses Jum’at, tanggal 09 Agustus 2014.
Ety Zuafria. Amd, “Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/
2010_05_01_archive.html, diakses Jum’at, tanggal 09 Agustus 2014.
H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/
Kejaksaan_Indonesia, diakses Jum’at, tanggal 09 Agustus 2014.
Jimmy Wales, Kejaksaan Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_
Indonesia, diakses Selasa, 09 April 2014.
Just another WordPress, “Sejarah Kejaksaan RI Sebelum Reformasi”, http://
cabjaribrandan.wordpress.com/, diakses Senin, tanggal 11 Agustus
2014.
Kabarindonesia, “JPN sebagai Pengacara Negara, http://kabarindonesia.com/
berita.php?pil=20&jd=JPN+sebagai+Pengacara+Negara&dn, diakses
Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
Kejaksaan,PengertianKejaksaan,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaa
n. php?id=1, diakses Senin, 09 April 2014.
KejaksaanRepublikIndonesia,“Pengkajian”,http://www.kejaksaan.go.id/unit_k
ejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=1543&bc=,
diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014
Krom dan Van Vollenhoven, “Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik
Indonesia”,
http://lotusbougenville.wordpress.com/2010/06/16/kejaksaan-agung/,
diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014.
MuslimMuis,http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view
= article&id, Sabtu, 09 Agustus 2014
Query, “Perdata dan Tata Usaha Negara”, http://kejari-jaksel.go.id/static
page.php?page=organisasi-datun, diakses Sabtu, 09 Agustus 2014..
Waspada, Aset Negara diselamatkan”, http://www.waspada.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=158975:rp11-t-aset-negaradisela-matkan-&catid=77:fokusutama&Itemid =131, Sabtu, 09 Agustus
2014
W.F.Stutterheim,“Sejarah”,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php
? id=3, Sabtu, 09 Agustus 2014.
Wijatobone, “Kedudukan Kejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/
10/21/optimali
sasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasihukum/, diakses Sabtu, 09 Agustus 2014
Relationship between the Public Prosecutor and the Minister of Justice,
<http://www.eurojustice.com/member_states/slovak_rep/country_report/
2841/>, diakses 09 Agustus 2014
http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisijaksa-agung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-uud-1945-oleh-profdr-yusril-ihza-mahendra-pendahuluan-hampir-seluruh-negara-moderndi-du/,diakses 22 Desember 2014.
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III
TABEL 1
TABEL 2
TABEL 3
TABEL 3
Download