INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA (Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia) Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Gerry Pamungkas 1110048000038 KONSENTRASI KELEMBAGAAN PROGRAM STUDI ILMU NEGARA HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 INDEPENDENSI KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA (Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia) Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Oleh : GERRY PAMUNGKAS 1110048000038 KONSENTRASI KELEMBAGAAN PROGRAM STUDI ILMU NEGARA HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 i ABSTRAK PERAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA (Studi di Kejaksaan Agung Republik Indonesia) Penegasan pertama kali yang menyebutkan Kejaksaan sebagai satu Departemen dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang disahkan pada tanggal 30 Juni 1961, yang mana sebelumnya kejaksaan berada satu atap dengan kehakiman. Hal ini memantapkan kedudukan, organisasi, jabatan, tugas dan wewenang Kejaksaan. Dikeluarkannya Undang-Undang Kejaksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis agar Kejaksaan lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kesimpulan dan saran dalam penulisan skripsi ini adalah kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lain. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara negara bahwa ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman;” Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh kejaksaan harus dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indonesia, Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara negara hendaknya selalu berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kata Kunci : Kejaksaan, Pengacara, Negara. Pembimbing Daftar Pustaka : Ismail Hasani Abu Tamrin : Tahun 1993 sampai tahun 2014 v KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu dicurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, para tabi’in serta kamu muslimmin yang tetap berpegang teguh kepada risalahnya hingga akhir zaman dan membawa manusia keluar dari kubangan lumpur Jahiliyah menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menadapatkan gelar S1 Sarjana Hukum (S.H). Penulis berharap semoga skripsi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari berbagai pihak yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna menyempurnakan skripsi ini. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, H. JM. Muslimin, MA, Ph.D. v 2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA. Dan Arip Purkon, SH.I, MA. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 3. Ismail Hasani,SH. MH. Dosen Pembimbing I, dan Abu Tamrin,SH.,M.Hum. Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan terima kasih dan doa semoga Allah SWT membalasnya. 4. Seluruh dosen Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan fakultas yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Orang tua tercinta, Ayahanda Samadi dan Ibunda Sumiyati yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, tak henti-hentinya memberikan nasehat, dukungan baik moriil dan materiil yang tak terhingga, motivasi serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat kepada penulis sehingga bias menyelesaikan studi S1 ini. 6. Kakak-kakak tersayang, Widiyanto Nugroho,SH.,MH., Dini Mayasari,M.Si., Widyowati Rahayu,Amg., Mochammad Fitri Adhi,SH., Taufiqurahman,S.Kom., Cut Wardah,SH,.MH, Edy Prabudy,SH yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini.. vii 7. Teman-teman yang tak pernah terlupakan yang juga memberikan dukungan tanpa henti kepada penulis, teman-teman Ilmu Hukum 2010, , Serigala, Kosan Pesanggarahan,. 8. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini dan tidak dapat disebut satu persatu Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dan semoga amal kebajikan mereka semua diterima disisi-Nya dan diberikan pahala yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, dan masyarakat umumnya. Jakarta, Desember 2014 Penulis viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv ABSTRAK........................................................................................................ v KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 8 1. Pembatasan Masalah .............................................................. 8 2. Perumusan Masalah................................................................ 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 9 1. Tujuan Penelitian ................................................................... 9 2. Manfaat Penelitian ................................................................. 9 D. Review (kajian) Studi Terdahulu ................................................ 10 E. Metode Penelitian ...................................................................... 12 1. Pendekatan Masalah ............................................................. 12 2. Sumber Data dan Kriteria Data ............................................. 12 3. Metode Pengumpulan Data................................................... 14 4. Metode Analisis ................................................................... 14 5. Kerangka Teori dan Definisi Operasional ............................. 15 F. Sistematika Penulisan ................................................................ 18 ix BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA .................................................................................. 20 A. Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia ......................... 20 1. Sebelum Reformasi ............................................................... 20 2. Masa Reformasi .................................................................... 24 B. Kedudukan dan Peranan Kejaksaan Republik Indonesia ............. 30 1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia ............................ 30 2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia ..................................... 32 3. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia............................................................................... 34 BAB III PELAKSANAAN FUNGSI PENGACARA NEGARA OLEH KEJAKSAAN ................................................................................ 42 A. Syarat-Syarat Menjadi Jaksa ...................................................... 42 B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ............................................... 46 C. Pelaksanaan Fungsi Pengacara Negara Oleh Kejaksaan .............. 53 BAB IV INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM MELAKSANAKAN TUGAS SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA ................ 57 A. Independensi Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Sistem Negara Hukum Di Indonesia ...................................................... 57 B. Independensi Fungsional Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Kinerja Dalam Penegakan Hukum ............................................. 63 BAB V PENUTUP ...................................................................................... 72 A. Kesimpulan ................................................................................ 72 B. Saran.......................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT PENULIS x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dalam semangat globalisasi telah menghantarkan masyarakat pada perubahan paradigma berfikir yang lebih baik, termasuk terhadap praktek-praktek penyelenggaraan pemeritahan. Jika berbicara mengenai Kejaksaan, hal pertama yang terpikir adalah tentang lembaga yang menangani permasalahanpermasalahan pidana atau kejahatan. Hal-hal yang ditangani Kejaksaan merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan perbuatan tindak pidana, namun disisi lain masih banyak hal-hal yang belum banyak diketahui masyarakat, seluk beluk aktivitas apa saja yang sebenarnya ditangani oleh instansi tersebut.1 Dalam system peradilan pidana peranan kejaksaan sangat sentral karena kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah sesorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuatnya. Sedemikian pentingnya posisi jaksa bagi proses penegakan hokum sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang professional dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan lembaga kejaksaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang 1 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2001), h. 92. 1 2 Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Selain berperan dalam peradilan pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam bidang hokum, perdata dan tata usaha Negara, yaitu mewakili Negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan TUN.2 Istilah “Jaksa” sudah berabad-abad lamanya digunakan yang berasal dari bahasa Sanskerta adhyaksa. Sebutan ini dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi di Kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, dan terutama dipakai untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi. Menurut ejaan yang paling tua pada zaman pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie / Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (selanjutnya disingkat VOC) diabad keenam belas ditulis sebagai “j-a-x-a”. Sejak zaman itu sampai dengan pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1942, “jaxa” dan kemudian “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi Putera yang hampir sama dengan seorang magistrate dan sejak zaman pendudukan Militer Jepang pada tahun 1942-1945, “jaksa” pada masa itu ditulis djaksa adalah gelar bagi para pejabat hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana.3 Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam 2 Hamzah,Andi, 1990. Pengatur Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. h. 70. 3 Hamzah, Andi, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.3. 3 menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004). Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan.Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata 4 dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.4 Penuntutan merupakan langkah penting dalam proses penindakan pidana karena penuntutan itu dihubungkan penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa bertindak baik sebagai Jaksa Pengacara Negara maupun sebagai pengacara masyarakat. Jaksa merupakan pelindung kepentingan umum. Oleh karena itu sikap seorang Jaksa terhadap tersangka/terdakwa dan orang-orang yang diperiksanya harus objektif dan tidak memihak. 5 Kejaksaan sebagai satu lembaga pemerintahan, dasarnya bukan hanya Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), tetapi juga Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yaitu bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945, hal mana sejalan dengan Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pada tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) diberlakukan, yang pada saat itu menyebabkan berkurangnya salah satu fungsi kejaksaan dalam bidang 4 Kejaksaan, PengertiaKejaksaan,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1, diakses Senin, 01 maret 2014. Jam 10.00 WIB 5 Andi Hamzah, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.10. 5 penyelidikan yang dialihkan kepada kepolisian. Dengan terjadinya pergeseran peran jaksa terutama di bidang pidana yaitu tidak dapat melakukan penyelidikan lagi, namun tugas jaksa tidak berarti menjadi lebih sedikit atau ringan melainkan munculnya peran kejaksaan dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara menurut dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu bahwa “Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah. Yang pada akhirnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tugas penyidikan itu dapat kembali dilakukan oleh Jaksa terhadap perbuatan-perbuatan yang diindikasikan tindak pidana / melanggar hukum. Penambahan dari fungsi pidana ke perdata ini juga telah ditindaklanjuti dengan kebijakan kejaksaan dengan dibentuknya suatu lembaga baru dalam lingkungan organisasi kejaksaan agung melalui Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1992, yaitu dengan adanya Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat JAMDATUN), organisasi ini juga dibentuk dalam tingkat Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Faktor pendorong kejaksaan menjalankan fungsinya dibidang perdata dan tata usaha negara yaitu melihat perkembangan yang terjadi di masyarakat, dimana terdapat permasalahan yang sangat rumit, misalnya tentang 6 penguasaan tanah/asset Negara yang dilakukan oleh masyarakat, disini pemerintah membutuhkan bantuan hukum untuk penyelesaian masalah pengembalian tanah/asset negara tersebut. Disinilah pemerintah dapat menggunakan jasa kejaksaan, dan dalam hal ini peranan kejaksaan sebagai jaksa pengacara pemerintah diharapkan dapat mengembalikan asset Negara tersebut, baik dengan penyelesaian secara litigasi maupun non litigasi. Peran kejaksaan di bidang perdata diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat yang semakin maju seiring dengan zaman, dimana dengan pemikiran hukum yang semakin maju masyarakat mengetahui, menuntut, dan mempertahankan hak-haknya. Fakta lain yang dapat dirasakan saat ini dengan adanya peranan kejaksaan di bidang perdata sangat memberikan kontribusi yang cukup besar kepada masyarakat luas juga. Kontribusi yang dimaksud yaitu didalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat guna menyelesaikan sengketa antar masyarakat maupun antar kelompok masyarakat, kejaksaan dengan saran atau pendapat hukum yang diberikan dapat memberikan solusi kepada masyarakat dalam penyelesaian suatu masalah sehingga tidak perlu diselesaikan melalui proses pengadilan, sedang peranan Kejaksaan untuk pemerintah di bidang perdata dapat memberikan pendapat hukum atau bantuan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dimana permasalahan dimaksud dapat diselesakan melalui litigasi maupun non litigasi namun dari pada itu Kejaksaan di dalam menjalankan tugasnya sebagai pengacara negara harus tetap mampu menjaga keseimbangan/keserasian tugas di dalam Kejaksaan itu sendiri, yang dimaksudkan misalnya menghidari terjadinya conflict of interest (konflik kepentingan), sehingga tidak mengganggu fungsi utama kejaksaan di 7 bidang penuntutan.6 Sebagai contoh permasalahan yang didalamnya terdapat perbenturan kepentingan ini terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO dengan warga di Makassar. Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi dalam proses perkara pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum menuntut warga melakukan tindak pidana penyerobotan berdasarkan laporan dari PT.Pelindo, namun majelis hakim memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan perbuatan pidana dan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, dengan pertimbangan bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam sidang perkara perdata.Setelah itu, pihak Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas sebagai Jaksa Pengacara Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan pemanggilan kepada satu-persatu warga (termasuk mantan Terdakwa yang diputus lepas) untuk melakukan negosiasi mengenai objek tanah yang disengketakan. Dalam contoh kasus tersebut sangat jelas terjadi "konflik kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum pidana materiil secara objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada kasus pokok yang sama bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili kepentingan keperdataan PT. Pelindo.7 6 Djoko Prakoso, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan,( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), h. 9. 7 Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan Permasalahannya, http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php, diakses Senin, 01 maret 2014. Jam 10.00 WIB 8 Dengan munculnya peranan jaksa selain sebagai penuntut umum, dimana harus mampu menjalankan peran pada masing-masing tugas yang dihadapkan secara profesional, maka penulis memilih judul “Peran Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara (Studi di Kejaksaan Agung RI)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Banyak peran dan tugas dari instansi Kejaksaan ini dalam penegakan hukum di Indonesia, agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka penelitian ini hanya dibatasi pada peran dan fungsi Kejaksaan Agung beserta Independensi kejaksaan tersebut dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang Masalah dan Pembatasan masalah yang terlah diuraikan diatas, maka untuk lebih mengarah pada pokok permasalahan penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia? b. Bagaimana pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan Agung? c. Apakah Kejaksaan Agung memeliki independensi dalam melaksanakan tugas sebagai Jaksa Pengacara Negara? d. Faktor apa yang mendukung independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai Jaksa Pengacara Negara? 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui dan mengkaji kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia. b. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan khususnya di Kejaksaan Agung. c. Untuk mengetahui dan mengkaji independensi Kejaksaan Agung dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara Negara. 2. Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis, dapat memberikan atau menambah khazanah ilmu pengetahuan kepada mahasiswa tentang Peranan Kejaksaan selain sebagai penuntut umum didalam sistem peradilan pidana namun juga bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara b. Secara Praktis, dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa maupun setiap orang yang membaca skripsi ini mengenai luasnya ruang lingkup kerja Kejaksaan yang tidak hanya mempunyai peran sebagai penuntut umum dalam fungsinya sebagai penegakkan hukum di Indonesia dan memberikan wawasan mengenai struktur kerja Kejaksaan secara luas. 10 D. Kajian (Review) Studi Terdahulu Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini penulis, menemukan sumber kajian yang lain yang telah terlebih dahulu membahas terkait Jaksa Pengacara Negara.Yang dibahas oleh : 1. IKA SETHIANINGRUM yang berjudul “Pelaksanaan Tugas Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Perkara Perdata Terkait Upaya Pemulihan dan Penyelamatan Kekayaan Negara” Pada Tahun 2011 di Kejaksaan Tinggi Riau).Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang 2012. Yang dalam penelitiannya menitik beratkan pada proses pemulihan dan penyelamatan kekayaan Negara oleh Jaksa Pengacara Negara sebagaimana temaktub dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1992, yaitu dengan adanya Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat JAMDATUN). 2. ACHMAD BUSRO yang berjudul “Optimalisasi Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Keuangan Dan Atau Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi Maupun Atas Dasar Kerugian Keperdatan.” Universitas Diponegoro Semarang 2011. Yang dalam penelitiannya penulis melihat kinerja para Jaksa Pengacara Negara dalam proses pengembalian Keuangan dan atau Aset Negara yang berasal dari suatu tindak Pidana Korupsi maupun yang 11 berasal atas dasar kerugian Keperdataan yang dialami oleh Negara. 3. EVY LUSIA EKAWATI “Peranan Jaksa Pengacara Negara dalam Penanganan Perkara Perdata” Dalam bukunya menjelaskan Peranan Jaksa Pengcara Negara dalam Nota Kesepahaman yang dibuat antara Kejaksaan Negeri Yogyakarta dengan PLN wilayah Jogja dalam menekan jumlah pelanggan PLN yang nakal dan menangangi tunggakan tagihan pelanggan untuk selanjutnya dilakukan tindakan persuasif oleh Jaksa Pengacara Negara. Berdasarkan uraian tersebut diatas, semakin jelaslah dasar hukum bagi kejaksaan untuk bertindak dalam bidang keperdataan sebagai pihak penggugat dan tergugat dalam pengembalian aset hasil korupsi dan bertindak sebagai pengacara negara meskipun masih terdapat kontroversi dalam hal penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara.Maka penulis mengambil kesimpulan terhadap kajian pustaka tersebut diatas, bahwa jaksa dapat bertindak mewakili negara didalam maupun diluar pengadilan dengan surat kuasa khusus. Dan perbedaan dengan tema dan arah tujuan dalam penelitian ini ialah Independensi seorang Jaksa selain sebagai Penuntut Umum namun juga sebagai Jaksa Pengcara Negara yang dapat bertindak sebagai penggugat ataupun tergugat dengan surat khusus dapat bertindak didalam maupun diluar Pengadilan mewakili Negara khususnya di Kejaksaan Agung. 12 E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Terdapat beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) , pendekatan kasus (case approach), pendekatan sejarah (history approach), pendekatan komparativ (comparativ approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).8Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan-pendekatan tersebut akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai peran Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach). 2. Sumber Data dan Kriteria Data Yang dimaksud dalam sumber data dalam penelitian ini adalah sumber dimana data diperoleh, berdasarkan jenis datanya, yaitu data sekunder. Maka dalam penelitian ini yaitu: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: 1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana, 2009), h.22. 13 Pidana Korupsi. 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai sejumlah keterangan atau fakta dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa buku-buku, dokumendokumen, laporan-laporan, majalah, peraturan perundang-undangan, surat kabar dan sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan permasalahan yang diteliti9 yaitu Independensi Jaksa Pengacara Negara. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti bahan dari internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya yang memberi penjelasan akan permasalahan yang diteliti10 Independensi Jaksa Pengcaara Negara di Kejaksaan Agung. 3. Metode Pengumpulan Data Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal beberapa jenis teknik pengumpulan data yaitu; a. Observasi, yaitu suatu pengamatan yang khusus serta pencatatan yang 9 Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),h.25. 10 1985),26 Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 14 sistematis yang ditujukan pasa satu atau beberapa fase masalah di dalam rangka penelitian, dengan maksud untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Penggunaan metode ini diharapkan mendapat gambaran secara objektif keadaan yang diteliti yaitu langsung dari kantor Kejaksaan Agung. b. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data-data dan bahan-bahan berupa dokumen. Data-data tersebut berupa arsip-arsip yang ada di Kejaksaan Agung dan juga buku-buku tentang pendapat, teori, hukum-hukum serta hal-hal lain yang sifatnya mendukung dalam penyusunan skripsi ini. 4. Metode Analisis Analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. 11Penyusun menggunakan metode analisa kualitatif, yakni memperkuat analisa dengan melihat kualitas data yang diperoleh. Data yang terkumpul, selanjutnya dianalisa menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari teori atau kaidah yang ada. Metode ini digunakan untuk menganalisa bagaimana Independensi Kejaksaaan Agung dalam melakasanakan perannya sebagai Jaksa Pengacara Negara. F. Metode Penulisan 1. Kerangka Teori Untuk mengetahui tentang peran kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN), didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori 11 Hadi Sutrino, Metodelogi Research Untuk Penulisan Paper, Thesis dan Disertasi, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), h.62. 15 yang belakangan merupakan reaksi atau umpan balik ataupun perbaikan dari teori sebelumnya. Teori yang digunakan adalah teori negara hukum (rechtsstaat), teori tujuan hukum dan teori penegakan hukum (law enforcement). Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat),bukan Negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Franz Magnis Suseno,12mengatakan kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. Berkenaan dengan tujuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat tempat ia hidup.13 Eksistensi kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia. Kehadiran kejaksaan Republik Indonesia dalam dunia peradilan adalah; pertama, sebagai upaya preventif, membatasi, mengurangi atau mencegah kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang 12 Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 295. 13 Mochtar Kusumaatmadja., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), h. 2-3. 16 diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak kesewenagwenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan Republik Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan dalam proses peradilan. Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan sebahagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan.14 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu kiranya mendudukkan kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen dalam perspektif teori negara hukum dan teori pembagian kekuasaan.. Kemudian konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial. 2. Definisi Operasional Definisi Operasional adalah konstruksi secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan. Definisi Operasional ini dibuat untuk menghindari 14 Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 5. 17 pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa definisi yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.15 b. Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dalam ruang lingkup lembaga kejaksaan yang diberi wewenang di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.16 c. Pengacara atau Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.17 G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi skripsi ini, maka akan diuraikan secara singkat sistematika penulisan yang akan dibahas dalam skripsi ini dengan urian sebagai berikut : 15 Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 16 AridonaBustari,Selayang Pandang Jaksa Pengacara Negara, http://datunkejaritakengon. blogspot.com/p/artikel-hukum.html,diakses 22 Desember 2014 17 Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. 18 Bab I : Pendahuluan, pada bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia, pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia, Tempat dan kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia, peran Kejaksaan Republik Indonesia dan susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Bab III : Pelaksanaan fungsi pengacara Negara oleh Kejaksaan, pada bab ini akan dibahas mengenai dasar hukum Kejaksaan sebagai jaksa pengacara Negara, Syarat-syarat Kejaksaan sebagai jaksa pengacara Negara dan fungsi, tugas dan wewenang Kejaksaan sebagai jaksa pengacara Negara. Hambatan Kejaksaan sebagai jaksa pengacara negara dalam penyelesaian kasus dan Upaya Kejaksaan sebagai jaksa pengacara negara dalam penyelesaian kasus. Bab IV: Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara negara, pada bab ini akan dibahas mengenai independensi kejaksaan dalam kaitan dengan tata hukum Indonesia (kelembagaan) dan independensi kejakasaan secara fungsional. Bab V : Penutup, pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran. BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia 1. Sebelum Reformasi Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Menurut W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). 18 Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter).19 Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga 18 W.F. Stutterheim, “Sejarah”, http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 19 H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_ Indonesia, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 19 20 adalah seorang adhyaksa.20 Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen. Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung antara lain :21 a. Mempertahankan segala peraturan Negara b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang. Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh 20 Krom dan Van Vollenhoven, “Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia”, http://lotus bougenville.wordpress.com/2010/06/16/kejaksaan-agung/, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 21 EtymZuafria. Amd,“Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/2010_05_01_archive .html, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 21 Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :22 a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran b. Menuntut Perkara c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah Dulu. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disingkat PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman. 22 Just another WordPress, “Sejarah Kejaksaan RI Sebelum Reformasi”, http://cabjaribrandan. wordpress.com/, diakses Senin, tanggal 11 Agustus 2014. 22 Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 (dua puluh dua) periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan. Menyangkut Undang-Undang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, undang-undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari UndangUndang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 23 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991. 2. Masa Reformasi Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 Ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti 24 yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka artinya bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu : a. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1) Melakukan penuntutan; 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah 25 memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat; 4) Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : 1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3) Pengamanan peredaran barang cetakan; 4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 6) Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal. Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah 26 sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya. Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian Republik Indonesia dan badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain : 1) Modus operandi yang tergolong canggih 2) Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau temantemannya 27 3) Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan 4) Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan 5) Manajemen sumber daya manusia 6) Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada) 7) Sarana dan prasarana yang belum memadai 8) Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum. Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. UndangUndang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini diatur beban pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan undang-undang ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam undang-undang tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh undang-undang ini. Akhirnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam penjelasannya secara tegas 28 menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai (extraordinary crime). Sehingga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 (empat) Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat. Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan Republik Indonesia. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan. 29 B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia Mengenai kedudukan dan peranan kejaksaan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan mewakili dan mempertahankan kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral, didalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara selama proses di Pengadilan. 1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia. Sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan artinya Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan 30 oleh kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.23 Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : Pasal 2 : (1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. (2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan secara merdeka. (3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan. Pasal 3 Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan negeri. Pasal 4 (1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. 23 Wijatobone,“KedudukanKejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimali sasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasi-hukum/, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 31 (2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. (3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota. 2. Peran Kejaksaan Republik Indonesia UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahtraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Kejaksaan yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara dalam Undang-Undang tersebut harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang 32 melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini betujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN. Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Dasar hukum pelaksanaan kedudukan dan peranan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan dijabarkan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu : Pasal 5 Ayat (1) Presiden memegang kekuasaan membentuk UndangUndang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat 33 3. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : a. Jaksa Agung; Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai berikut : 1) Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna; 2) Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4) Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; 5) Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, 34 peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan peraturan perundang- undangan; 6) Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam dan di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden; 7) Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan; 8) Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan; 9) Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; 35 10) Membentuk Satuan Tugas di Pusat dan di Daerah yang terdiri dari instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan; 11) Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya. Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung. b. Wakil Jaksa Agung; Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu : 1) Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna; 2) Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan Kejaksaan di daerah; 3) Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan; 4) Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. 36 c. Jaksa Agung Muda Pembinaan; Jaksa Agung Muda Pembinaan adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang pembinaan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan keuangan, kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana, melakukan penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan perundangundangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan teknis dan administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas. d. Jaksa Agung Muda Intelijen; Jaksa Agung Muda Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik, ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun 37 represif, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketenteraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana umum yang diatur di dalam dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas dan wewenang melakukan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. f. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. 38 Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. g. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai perkara perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. h. Jaksa Agung Muda Pengawasan; Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi 39 Kejaksaan di bidang pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. i. Pusat; 1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur penunjang kegiatan Kejaksaan 2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. j. Kejaksaan di Daerah : Kejaksaan di daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri diatur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. 1) Kejaksaan Tinggi 2) Kejaksaan Negeri. 40 Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 34 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu: Semua satuan organisasi Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Kejaksaan sendiri maupun dalam hubungan antar departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, dan instansi-instansi lain untuk kesatuan gerak yang sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya aparat Kejaksaan bertanggung jawab secara hirarkis kepada pimpinan satuan organisasi masing-masing. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya satuan-satuan organisasi Kejaksaan berpedoman kepada asas satu kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan. BAB III PELAKSANAAN FUNGSI PENGACARA NEGARA OLEH KEJAKSAAN A. Syarat-Syarat Menjadi Jaksa Adapun syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa terdapat dalam Pasal 9 sampai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu sebagai berikut : Pasal 9 (1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah : 1) Warga negara Indonesia; 2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4) Berijazah paling rendah sarjana hukum; 5) Berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun; 6) Sehat jasmani dan rohani; 7) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; 8) Pegawai negeri sipil. (2) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan 41 42 jaksa sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan oleh Jaksa Agung. Pasal 10 (1) Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Jaksa Agung. (2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji”. Pasal 11 (1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi : a. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta b. Advokat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain jabatan atau pekerjaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah. Dari sini kita bisa tahu bahwa syarat menjadi jaksa adalah salah satunya berijazah paling rendah sarjana hukum. Ini artinya, seseorang yang bergelar magister ilmu hukum atau S2 ilmu hukum tentu saja bisa mencalonkan diri sebagai jaksa, asalkan ia telah menempuh strata satu (S1) di bidang hukum (mengingat S2 hukum bisa saja S1 yang diambil sebelumnya bukan dari bidang hukum). Namun, walaupun ia bergelar S2 di bidang ilmu hukum, ia wajib memenuhi persyaratan-persayaratan lainnya sebagai jaksa sebagaimana ditentukan dalam UU Kejaksaan di atas. 43 Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Jalan Berliku Seorang Jaksa, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung (yang saat itu dijabat) Babul Khoir Harahap menegaskan bahwa proses rekrutmen menjadi seorang jaksa itu tidak mudah dan panjang. Ia menyatakan syarat-syaratnya telah diatur dalam UU Kejaksaan dan Peraturan Jaksa Agung (Perja). Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang dimaksud adalah Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-064/A/JA/07/2007 tentang Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia (“Perja Per-064/A/Ja/07/2007”). Bagi yang ingin menjadi jaksa, ia harus mengikuti Rekrutmen Calon Jaksa, yakni serangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan dan pengisian formasi, pengumuman, pendaftaran, pembuatan soal seleksi, seleksi dan pengolahan hasil seleksi serta penetapan kelulusan, pengumuman hasil seleksi, pengiriman peserta hasil seleksi calon jaksa ke lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Pasal 14 jo. Pasal 1 angka 7 Perja Per-064/A/JA/07/2007). Tujuan rekrutmen calon jaksa adalah untuk mencari sumber daya manusia Jaksa yang memiliki kemampuan intelektual, profesional, integritas kepribadian serta memiliki disiplin tinggi (Pasal 13 Perja Per- 064/A/JA/07/2007). Adapun Peserta seleksi Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia menurut Pasal 1 angka 10 Perja Per-064/A/JA/07/2007 adalah Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan yang memenuhi persyaratan rekrutmen Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia. Jadi, selain memenuhi syarat-syarat dalam UU Kejaksaan yang kami sebutkan di atas, ia juga wajib menjadi Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan terlebih dahulu. 44 Persyaratan untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa adalah: (Pasal 19 Perja Per-064/A/JA/07/2007) a) Pegawai Kejaksaan dengan masa kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun. b) Sarjana Hukum. c) Berpangkat serendah-rendahnya Yuana Wira/golongan III/a. d) Usia serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat dilantik menjadi Jaksa. e) Berkelakuan tidak tercela. f) Sehat fisik dan mental dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan secara lengkap (general check up) pada rumah sakit yang ditunjuk, mempunyai postur badan yang ideal dan keterangan bebas dari narkoba yang dibuktikan dengan hasil laboratorium. g) Memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam melaksanakan jabatan jaksa yang dinyatakan secara obyektif oleh atasan minimal eselon III. h) Telah membantu melaksanakan proses penanganan perkara baik dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara serta dibuktikan dengan sertifikasi oleh Kepala Kejaksaan setempat dengan standar yang ditentukan. i) Lulus penyaringan yang diselenggarakan oleh Panitia Rekrutmen Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa juga wajib senantiasa menjunjung tinggi kode etik untuk menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Kode Etik Jaksa atau Kode Perilaku Jaksa adalah 45 serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya. B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu : (1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakin dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan bersyarat; d. Melaksanakan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah (3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : 46 a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; e. Pencegahan peyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal. Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Selanjutnya Pasal 33 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum 47 kepada instalasi pemerintah lainnya. Segenap tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh. Sebagaimana diketahui berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan adalah lembaga penegak hukum yang merupakan bagian dari salah satu sistem dalam peradilan pidana terpadu (ICJS: Integreted Criminal Justice System). Selain itu diatur pula tugas di bidang Datun dimana kejaksaaan dapat mewakili pemerintah/negara. Jaksa yang sedang melaksanakan tugas ini disebut Jaksa Pengacara Negara, yakni bertindak seperti advokat bagi yang menguasakan untuk mewakilinya. Tidak semua jaksa otomatis menjadi Jaksa Pengacara Negara karena penyebutan itu hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas Datun. Istilah ini bukan baru muncul saat bidang Perdata dan Tata usaha Negara dibentuk secara struktural di Kejaksaan Agung pada 1992, namun telah dikenal sejak 1922 (vide: Stb 1922 Nomor 522, Vertegenwoordige van den Lande in Rechten). Dalam Pasal 2 Stb 1922 No. 522 disebutkan, “Dalam suatu proses (atau sengketa) yang diadili dengan prosedur perdata, bertindak untuk Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab negara di pengadilan adalah opsir justisi atau jaksa” (vide Pasal 2 huruf b dan seterusnya). Bahkan di negeri Belanda, para Jaksa Agung Muda disebut Advocaten General baik Kejaksaan di Hoge Raad maupun di Gerechtshoven 48 (vide: art 3 RO. Bld), sebagai konsekuensi penugasannya untuk membela kepentingan negara dan publik, baik dalam proses pidana maupun masalah perdata dan ekstra yudisial lainnya.24 Bahwa akibat bergulirnya reformasi telah membuat perubahan mendasar terhadap pola pikir dan tata laku warga masyarakat. Realitas demikian juga membawa konsekuensi dalam reformasi hukum, khususnya bidang Datun, lebih fokusnya atas keberadaan Jaksa Pengacara Negara. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran hukum atau merebaknya keberanian warga masyarakat menggugat berbagai kebijakan pemerintah/negara. Beberapa contoh konkret di antaranya : Pertama, pada 2005 ada class action (gugatan perwakilan kelompok) yang diadukan oleh sekitar 20 juta mantan anggota Partai Komunis Indonesia terhadap presiden dan mantan presiden Republik Indonesia. Penggugat mendalilkan bahwa pemerintah Republik Indonesia telah melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pelanggaran hak asasi manusia terhadap mereka. Penggugat menuntut agar pemerintah Republik Indonesia dihukum untuk membayar ganti rugi minimum Rp. 400 juta per penggugat, sehingga jumlah keseluruhannya Rp. 8.000 triliun. Pemerintah Republik Indonesia selanjutnya menugaskan Jaksa Agung cq Jaksa Pengacara Negara menghadapi gugatan tersebut. Atas usaha keras para Jaksa Pengacara Negara, pemerintah Republik Indonesia akhirnya terhindar dari kewajiban membayar ganti rugi tersebut. 24 Duniakontraktor, Landasan Hukum Jaksa Pengacara Negara”, http://duniakontraktor. wordpress.com/2011/03/07/landasan-hukum-jaksa-pengacara-negara/, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 49 Kedua, terindikasinya usaha-usaha untuk merugikan negara dengan cara mengajukan gugatan perdata. Kekayaan negara yang paling rawan dalam hubungan ini adalah aset dalam bentuk tanah. Penggugat mendalilkan bahwa tanah dimaksud adalah miliknya seperti yang terjadi pada tanah hak PT Telkom Sorong-Papua, tanah kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, tanahtanah yang digunakan oleh Kejaksaan Tinggi Gorontalo dan lain sebagainya. Namum berkat berbagai alat bukti maupun saksi serta kontribusi Jaksa Pengacara Negara, semua dalil gugatan terbantah sehingga terselamatkan asetaset tersebut. Ketiga, munculnya strategi menggunakan gugatan perdata untuk mengusahakan agar tindakan-tindakan kejaksaan dalam rangka pemberantasan korupsi, dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum atau tidak sah. Contoh dalam kasus terpidana korupsi David Nusa Wijaya. Sanak saudara terpidana menggugat dengan mendalilkan bahwa, penyitaan dan perampasan barang yang dilakukan kejaksaan adalah perbuatan melanggar hukum karena barang barang tersebut milik penggugat, bukan milik terpidana. Setelah melalui persidangan perdata yang cukup panjang, akhirnya kejaksaan diwakili Jaksa Pengacara Negara dapat memenangkan perkara tersebut. Keempat, banyak sudah pemerintah daerah, BUMN maupun BUMD mangadakan/membuat naskah kerja sama (Memorandum of Understanding/ MoU) dengan institusi kejaksaan, yang maksudnya adalah kerja sama dalam pemerian bantuan hukum dengan mengunakan Jaksa Pengacara Negara jika terjadi gugatan terhadap lembaga pemerintah maupun badan usahanya. 50 Beberapa contoh tersebut di atas, sebenarnya sudah menunjukan kontribusi eksitensi mupun peran serta Jaksa Pengacara Negara dalam bidang Datun. Namun ada beberapa hambatan di antaranya :25 1. Minim atau sangat kurangnya kegiatan sosialisasi menyangkut keberadaan Jaksa Pengacara Negara. 2. Terbatasnya jumlah personel jaksa yang secara khusus mendapatkan bekal tambahan pendidikan/pelatihan menuju profesionalisasi sebagai Jaksa Pengacara Negara. 3. Kecenderungan adanya keengganan mengunakan ataupun menugaskan Jaksa Pengacara Negara. Institusi pemerintah/negara jika mendapat gugatan Datun, biasanya lebih "sreg" menugaskan bagian/biro hukumnya atau malahan advokat untuk menghadapi gugatan tersebut. 4. Dalam memberikan bantuan hukum perdata, sering dipermasalahkan dan dipersidangan mendapat semacam eksepsi dari Advokat. Mereka (para Advokat) menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bantuan hukum hanya dapat diberikan oleh advokat. Beruntungnya selama ini dalam persidangan Hakim selalu mengabaikan, atau menolak eksepsi tersebut dengan menyatakan bahwa Jaksa Pengacara Negara adalah penugasan khusus bersifat kasuistis berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 25 Kabarindonesia,“JPNsebagaiPengacaraNegara,http://kabarindonesia.com/berita.php?p il= 20&jd=JPN+sebagai+Pengacara+Negara&dn, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. 51 5. Masih sering timbul pertanyaan tentang BUMN/BUMD termasuk bagian pemerintah/negara atau tidak. 6. Masalah Surat Kuasa Khusus. Bersarkan Pasal 30 Ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara tegas menyatakan, bahwa di bidang hukum Datun kejaksaan dapat mewakili pemerintah/negara Republik Indonesia baik di dalam maupun di luar pengadilan. 7. Tidak adanya anggaran dana operasional yang mencukupi dalam hal mengajukan gugatan untuk pemulihan keuangan negara. Kedelapan, kurangnya literatur menyangkut Datun, publikasi maupun kegiatan/pelatihan yang mendukung. Contoh kasus yang lainnya dimana Kejaksaan pernah memberikan bantuan hukum perdata kepada PT Jamsostek (Persero), padahal pada saat yang sama Direksi PT Jamsostek (Persero) sedang diperiksa oleh Penyidik Tindak Pidana Khusus berdasarkan sangkaan terjadinya tindak pidana korupsi. B. Pelaksanaan Fungsi Pengacara Negara Oleh Kejaksaan Selama ini banyak pihak beranggapan bahwa Kejaksaan hanya bertugas menangani perkara pidana atau sebagai Penuntut Umum, padahal disamping tugas tersebut Kejaksaan juga berwenang menangani perkara perdata, yang dasar hukum dan pelaksanaannya telah ada sejak perundang-undangan Hindia Belanda yaitu Staatsblaad 1922 Nomor 522 dan peraturan perundangundangan yang tersebar dalam BW, Ardonansi Catatan Sipil dan Ordonansi Kepailitan. 52 Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-Undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 53 Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat. Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas melakukan dan/atau pengendalian kegiatan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan masyarakat di Sidang perdata dan tata usaha negara. Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara menyelenggarakan fungsi :26 1. Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang perdata dan tata usaha negara berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis; 2. Pengendalian kegiatan penegakan hukum, bantuan pertimbangan dan mewakili kepentingan negara dan pemerintah; 3. Pelaksanaan gugatan uang pengganti atas putusan pengadilan, gugatan ganti kerugian dan tindakan hukum lain terhadap perbuatan yang melawan hukum yang merugikan keuangan negara; 4. Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang menyangkut pemulihan dan perlindungan hak dengan memperhatikan kepentingan umum sepanjang negara atau pemerintah tidak menjadi tergugat; 26 Query,“Perdata dan TataUsaha Negara”,http://kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page= organisasi-datun, diakses Sabtu, 09 Agustus 2014. 54 5. Pelaksanaan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan mewakili kepentingan keperdataan dari negara pemerintah dan masyarakat baik berdasarkan jabatan maupun kuasa khusus; 6. Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait serta memberikan bimbingan dan petunjuk teknis dalam penanganan masalah perdata dan tata usaha negara di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan; 7. Pemberian saran konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara perdata dan tata usaha negara dan masalah hukum lain dalam kebijakan penegakan hukum; 8. Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. BAB IV INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM MELAKSANAKAN TUGAS SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA A. Independensi Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Sistem Negara Hukum Di Indonesia Kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif tetap dipertahankan hingga orde reformasi. Padahal salah satu agenda reformasi hukum adalah mereformasi institusi hukum dan perundang-undangan. Kedudukan kejaksaan dalam pasal 24 ayat (3) UUD 1945 hanya dijadikan badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kedudukan dan kewenangan kejaksaan dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara Inplisit sebagai bagian integral dari kekusaan kehakiman Pengaturan kedudukan tersebut juga tercantum dalam konsideran menimbang Undang-Undang kejaksaan. Padahal dalam secara international kedudukan konstitusional lembaga peradilan harus dijamin oleh Konstitusi. The United Nations Basic Principles on Independence of The Judiciary yang dikeluarkan majelis umum PBB 1985 pada pasal 1 menyatakan : The Independence of the judiciary shall be guaranteed by the state and enshirined in the constitusion or the law of country. It is the duty of all govermental and other institusions to respect and observe the independence of the judiciary Independensi peradilan harus dijamin oleh Negara dan diabadikan dalam Konstitusi atau hukum negara.Ini adalah tugas dari semua pemerintah dan 55 56 lainnya lembaga untuk menghormati dan mengamati independensi peradilan. Pengaturan kejaksaan dalam Undang-Undang dasar (constitution) suatu negara bukanlah merupakan hal yang baru,karena ternyata di dunia ini terdapat hampir 90 (sembilan puluh) negara yang mengatur lembaga Kejaksaan dan/atau Jaksa Agungnya dalam Undang-Undang dasar. Pada hakekatnya dalam prinsip negara hukum keberadaan kekuasaan yudisial merupakan kekuasaan yang bertujuan untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berjalan pada kerangka hukum. Keberadaan kekuasaan yudusial yang independen merupakan jaminan bagi tegaknya supremasi hukum. Independensi lembaga penegak hukum akan menghindari terjadinya penyimpangan fungsi lembaga penegak hukum dan keadilan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh sebuah rezim tertentu. Melihat hal tersebut maka peran strategis lembaga penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan dan mewujudkan prinsip negara hukum merupakan sesuatu yang krusial. Maka dari itu keberadaan lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan yudisial termasuk kategori sebagai organ negara utama (auxilary organ). Sebagai organ negara utama maka sumber atribusi kewenangan lembaga yudisial sepatutnya harus diatur secara jelas di dalam konstitusi. Atribusi kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Atribusi langsung dari konstitusi meletakkan keberadaan MA dan BPK sejajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Sehingga fungsi pengawasan yang dimiliki 57 oleh MA dan BPK menjadi seimbang dalam prinsip pendistribusian kekuasaan yang diterapkan di negara Indonesia. Keadaan inilah yang menciptakan check and balances antar lembaga negara. Sebagai lembaga yang sama-sama lahir dan mendapat atribusi kewenangan dari konstitusi maka secara hierarki keberadaan MA dan BPK tidak berada lebih rendah dari Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif). Dilain pihak Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang kejaksaan menyatakan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. Kekuasaan Pemerintahan dalam UUD 1945 diartikan sebagai kekuasaan pemerintah dalam arti yang sempit yaitu sebagai kekuasaan Presiden. Ketidak pastian konstitusional dan kebingunan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengakibatkan tidak jelasnya kedudukan kejaksaan sebagai yudikatif yaitu yaitu badan yang terjait dengan kekuuasaan kehaiman atau sebagai kekuasaan pemerintahan yang berada sebagai sub ordinat dari kekuasaan presiden. Ketidak pastian ini menimbulkan kemerdekaan yang secara filosofis diatemukan dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tidak dapat sebagai mana mestinya. Dengan beragamnya posisi Kejaksaan di seluruh dunia, maka pertanyaan letak kejaksaan yang ideal juga belum terjawab. Pada intinya tidak ada satu pandangan pun yang mengharuskan Institusi Kejaksaan wajib ditempatkan pada cabang kekuasaan mana, apakah eksekutif, legislatif ataupun Yudikatif. Bahkan perkembangan terakhir ada kepentingan 58 konstitusional (constitutional importance) untuk mendirikan pilar kekuasaan keempat yang independen dan berdiri sendiri di luar tiga kekuasaan sebelumnya. Kekuasaan ke empat ini adalah pilar yang berfungsi sebagai kontrol eksternal bagi ketiga pilar sebelumnya. Pilar keempat ini bisa terdiri dari Institusi Kejaksaan, Judicial Commision, dan Ombudsman.27 Soal Independensi ini sebenarnya mesti dibagi menjadi dua aspek, yakni : 1. Independensi secara institusional (kelembagaan) 2. Independensi secara fungsional. Independensi Secara lembaga berarti bahwa kejaksaan itu ditempatkan dalam posisi yang independen secara kelembagaan. Kejaksaan memang semestinya lebih baik ditempatkan secara mandiri secara kelembagaan dan lepas dari kekuasaan manapun. Adapun Independensi Lembaga Kejaksaan dalam kaitannya dengan sistem Negara Hukum di Indonesia yaitu sebagai berikut : 1. Kejaksaan tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun pengertian Kejaksaan dan Jaksa Agung sudah termasuk dalam ruang lingkup ”kekuasaan kehakiman.” Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, ”Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman;” bukan lain-lain badan pengadilan. 2. Kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan adalah merupakan penuntut umum dalam perkara pidana yang mewakili Negara dan masyarakat, maupun sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara; 27 Lihat Relationship between the Public Prosecutor and the Minister of Justice, <http://www.euro-justice.com/member_states/slovak_rep/country_report/2841/>,diakses 09 Agustus 2014 59 3. Keberadaan Kejaksaan adalah menempati posisi sentral dan fungsinya yang strategis dalam proses penegakan hukum, di mana Kejaksaan diharapkan mandiri dan independen serta mempunyai aparatur yang profesional sebagai pelaksana kekuasaan Negara di bidang penegakan hukum secara proporsional.Peranan Kejaksaan dalam penyelenggaraan peradilan pidana ini, termuat dalam (United Nations) Guidelines on the Role of the Prosecutors pada tahun 1990. (“Pedoman (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Tentang Para Jaksa”); 4. Kedudukan dan peran lembaga Kejaksaan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ditemukan suatu ambivalensi antara kedudukan kelembagaan (yaitu Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan/eksekutif (sebagai unsur pemerintah/pembantu presiden) dengan tugas pokok fungsi dan wewenang di bidang penuntutan yang masuk dalam yudikatif; 5. Doktrin dominus litis telah diakui secara universal dan tercermin di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang, yang dilaksanakan secara independent.” 6. Sejalan dengan prinsip bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en ondeelbaar), maka tidak ada suatu lembaga pemerintah manapun 60 yang dapat melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama negara; 7. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Hal ini berarti kewenangan penuntutan yang dimaksud dan diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 8. Terdapat kerancuan antara KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia berkaitan dengan Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun yurisprudensi MA mengakui semua proses penuntutan KPK dan Kejaksaan.28 Independensi Kejaksaan juga semestinya diartikan sebagai “kekuasaan penuntutan yang merdeka” dalam arti tidak memiliki keterkaitan atau terpengaruh oleh pihak manapun serta memiliki kemampuan untuk memutuskan tindakannya di bidang penuntutan secara fair dan obyektif, yang mana hendaknya lembaga seperti KPK mengikuti apa yang diamanatkan UNCAC 2003 sehingga tidak bersifat ad hoc, namun fungsi KPK yang ada Indonesia sama dengan di Malaysia diberikan kewenangan penuntutan. 28 Kejaksaan Republik Indonesia, “Pengkajian”, http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan. php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=1543&bc=, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014 61 Padahal ide dasarnya adalah untuk melakukan fungsi preventif dan supervisi serta monitoring. Sedangkan fungsi represif seharusnya tetap dibebankan kepada Kepolisian dan Kejaksaan, namun saat ini justeru sebaliknya KPK lebih mengedepankan fungsi represif. B. Independensi Fungsional Kejaksaan Dalam Kaitannya Dengan Kinerja Dalam Penegakan Hukum Yang terpenting dari persoalan independensi bukanlah independensi kelembagaan melainkan independensi fungsional. Independensi Fungsional adalah bahwa Jaksa itu bisa bebas dan merdeka dalam menjalankan tugasnya untuk menuntut ataukah tidak menuntut. Sebagaimana dinyatakan di atas, Jika secara kelembagaan Kejaksaan Tidak Independen, bukanlah masalah, sepanjang Secara fungsional kejaksaan bisa bebas menjalankan fungsinya tanpa intervensi. Kejaksaan Perancis, Belanda dan Jepang misalnya meletakkan institusi kejaksaan di bawah eksekutif. Tapi apakah kejaksaan mereka tidak independen? Kejaksaan tiga negara tersebut terbukti tetap bisa independen. Ketiga nya bahkan tidak kalah independen dengan Kejaksaan Italia yang dipuji sebagai model kejaksaan yang dianggap paling independen karena meletakkan institusi kejaksaan dalam bagian kekuasaan kehakiman dan mampu berfungsi tanpa tekanan siapapun. Sebaliknya Kejaksaan Indonesia, telah lama tidak independen semenjak lahirnya hingga prakteknya hari ini. 29 29 http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksaagung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-uud-1945-oleh-prof-dr-yusril-ihza-mahendrapendahuluan-hampir-seluruh-negara-modern-di-du/,diakses 22 Desember 2014. 62 Dengan demikian, adalah benar bahwa independensi secara kelembagaan jelas mempengaruhi independensi fungsional Jaksa. Namun jika Kejaksaan ditempatkan dalam posisi yang independen secara kelembagaan apakah bisa dipastikan bahwa Kejaksaan bisa independen secara fungsional? Belum tentu jawabnya. Karena itu, indikator independensi yang sesungguhnya adalah pada independensi fungsional bukan independensi institusional. Ruh dari independensi kejaksaan yang sesungguhnya mengatakan bahwa : tidak ada satu orang atau institusi manapun yang bisa mengintervensi kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara. Beberapa faktor yang mempengaruhi independensi jaksa pengacara negara dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan moralitas diantaranya : 1. Arogan Sikap Arogan hampir melekat pada setiap individu yang memiliki jabatan/kedudukan disetiap profesi, dan sifat ini dalam agama sungguh sanggat tidak terpuji karena dari sifat ini timbul sifat-sifat lain seperti, sombong,penguasa, dan sifat-sifat buruk lainnya. Firman Allah surat Lukman ayat 18 menyebutkan : ل َﻓﺨُﻮ ٍر ٍ ﻞ ﻣُﺨﺘَﺎ ﺐ ﻛُ ﱠ ﺤ ﱡ ِ ُﻻﯾ َ ﷲ َ نا ض َﻣ َﺮﺣًﺎ ِإ ﱠ ِ ﺶ ﻓِﻲ ا ﻷَر ِ ﻻﺗَﻤ َ س َو ِ ك ﻟِﻠﻨﱠﺎ َ ﺧ ﱠﺪ َ ﺼﻌﱢﺮ َ ﻻُﺗ ََ “Sesungguhnya Allah swt tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri” 2. Ghulûl Ghulûl adalah tindakan seorang aparat atau pejabat mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya. 63 Rasulullah SAW menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim) 3. Risywah (suap) Risywah atau suap adalah suatu pemberian yang dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan yang bathil atau tidak sah yang menguntungkan pihak pemberi. Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa suap atau risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya. Risywah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan penghubungnya. Dari Abu Hurairah ra. Berkata: “Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Turmuzi) 4. Hadiah (gratifikasi) Hadiah adalah pemberian kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan dan sebagainya. Hadiah dapat juga disebut hibah. Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling memberi hadiah. 64 Akan tetapi jika memberi hadiah (gratifikasi) untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Rasulullah SAW melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda, “Hadiah bagi para pekerja (di luar hak yang telah ditetapkan) adalah ghulul (korupsi).” (HR. Ahmad) Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberi hadiah kepada pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh – melalui atau dari pejabat itu – suatu hak, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk menerima hadiah tersebut. 5. Khianat Khianat adalah pengingkaran seseorang terhadap suatu janji atau suatu amanat yang dipercayakan kepadanya. Khianat dalam konteks korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Allah SWT sangat membenci dan melarang berkhianat. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanatamanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. AlAnfal ayat 27) 65 6. Sariqah Sariqah adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi atau mencuri. Dalam konteks korupsi, sariqoh dikonotasikan sebagai tindakan mencuri harta kekayaan negara atau korporasi. Pencurian uang negara biasanya dilakukan dengan cara sistematis dengan merekayasa kebijakan atau mempermainkan anggaran dengan manipulasi dalam berbagai macam bentuknya. Jadi pada intinya tidak jadi soal Kejaksaan mau ditempatkan dimana, mau dibawah eksekutif, di bawah parlemen, di bagian Kekuasaan kehakiman atau bahkan dibentuk lembaga negara tersendiri yang independen, yang pasti harus bisa dipastikan bahwa hukum kita bisa menjamin jaksa bisa bebas menjalankan fungsinya tanpa di intervensi siapapun. Dalam melaksanakan perannya sebagai jaksa pengacara negara, tidak jarang menemui hambatan seperti benturan kepentingan atau disebut dengan conflict of interst ditubuh kejaksaan. Contoh : Pada bidang pidana khusus atau intelejen mengindikasi adanya unsur tindak pidana korupsi atau perbuatan melawan hukum disalah satu instansi pemerintah, maka jaksa pada bidang pidana khusus atau intelejen dengan wewenangnya berhak melakukan penyelidikan atas indikasi tindak pidana tersebut.Sedangkan instansi tersebut sudah melakukan kerjasama dengan kejakasaan agung.Pada susunan organisasi kejaksaan bidang perdata dan tata usaha mempunyai tugas untuk membangun kerjasama dengan instansi pemerintah lain dalam hal penyuluhan hukum dan bantuan hukum. Namun, sejalan dengan tujuan hukum positif saat ini dalam pemberantasan korupsi. Bidang pidana khusus dan intelejen mempunyai tugas 66 pokok ialah dalam penegakan hukum. Maka kejaksaan dalam hal ini tetap melakukan penyelidikan terkait indikasi tindak pidana korupsi diinstansi tersebut, karena kerjasama yang dijalin antara kedua belah pihak ialah dalam bidang hukum perdata dan tata usaha negara dalam rangka tindakan preventif apakah terdapat unsur tindak pidana korupsi pra pelaksanaan program kerja instansi tersebut. Maka instansi yang menjalin kerjasama dapat meminta saran kepada Jaksa Pengacara Negara ada atau tidaknya indikasi tindak pidana korupsi dalam rencana pelaksanaan program instansi bersangkutan yang selanjutnya Jaksa Pengacara Negara memberi saran kepada instansi tersebut berupa legal opinion atau pertimbangan hukum. Menurut Prof Dr Dimyati Harton dalam seminar sehari 25 Agustus 1997 di Semarang menyangkut lembaga Kejaksaan sebagai Kantor Pengacara Negara, bahwa tidaklah tepat bila jaksa sebagai pengacara negara dan Kejaksaan dilembagakan sebagai Kantor Pengacara Negara. Dalam arti, pelaksana tugas-tugas yang bersifat hukum publik yang dapat menimbulkan conflict of interest, karena tugas sebagai pengacara negara dapat juga dilaksanakan oleh pengacara berprofesi advokat, di samping jaksa dalam kapasitas sebagai pengacara yang mewakili negara, bukan dalam kapasitas sebagai penuntut umum. Dengan demikian, fungsi jaksa sebagai pengacara negara harus mengarah kepada kecenderungan global dan kebijakan nasional.30 Berdasarkan laporan kinerja Kejaksaan Agung tahun 2013 berbagai bentuk kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk Memorioum of 30 Tentang Jaksa Pengacara Negara di Indonesia Negara, http://persatuan- jaksaindonesia. org/view.php?do=pji_jpn&w=inc#.VI4ZP_mSyg1,diakses 09 November 2014. 67 Understanding dilaksanakan dengan berbagai instansi pemerintahan dalam rangka penyelesaian masalah perdata dan tata usaha negara maupun guna melaksanakan fungsi pengacara negara dalam memberi bantuan hukum, adapun jumlah perkara yang ditangani kejaksaan dalam bidang perdata dan tata usaha negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan begitupun uang negara yang berhasil diselamatkan oleh kejaksaan melalui jaksa pengacara negara.Sebagaimana laporan hasil kinerja Kejakasan pada bidang tata usaha negara berhasil melampaui capaian target/program kerja pada tahun 2013, ditentukan sebanyak 1.452 perkara/kegiatan, sedangkan capaian program kinerja pada Tahun 2013 sebanyak 3.788 perkara/kegiatan.Sehingga mencapai atau melampaui dari target, yaitu sebesar 260% dan Jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan atau dipulihkan pada tahun 2013 mencapai Rp.118.647.041.238 (seratus delapan belas milyar enam ratus empat puluh tujuh juta empat puluh satu ribu dua ratus tiga puluh delapan rupiah) sedangkan pada tingkat Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri pada tahun 2013 mencapai Rp.1.245.638.119.133.93 (satu triliyun dua ratus empat puluh lima milyar enam ratus tiga puluh delapan juta seratus sembilan belas ribu seratus tiga puluh tiga sen) Dengan demikian, data tersebut diatas menggambarkan bahwa kejaksaan memiliki independensi secara fungsional dalam melaksanakan perannya. Dan tentu saja dapat menepiskan pandangan khalayak umum yang beranggapan bahwa kejakasaan tidak dapat independen sejak adanya penambahan fungsi dibidang perdata dan tata usaha negara dalam melaksanakan fungsinya baik 68 sebagai penutut umum maupun menjadi pengacara negara.Karena secara fungsional Jaksa Penuntut Umum bertindak mewakili kepentingan negara dan masyarakat sedangkan Jaksa Pengacara Negara bertindak dengan surat kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan mewakili negara. Menurut Alfitra “Dalam pelaksanaan fungsi Jaksa Pengacara Negara pasti dijumpai benturan kepentingan atau yang disebut dengan Conflict of Interest didalam Instansi Kejaksaan yang mempunyai wewenang baik sebagai Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara Negara.Terlebih dalam sebuah perkara yang terdapat unsur pidana dan unsur perdata yang terdapat peran jaksa pengacara negara sebagai efek dari pada nota kesepahaman dengan instansi lain. Namun hal itu dapatlah dihindari apabila dari masing-masing pribadi dapat memegang teguh sumpah atau janji sesuai dengan tupoksi jabatan mereka” sehingga sudah tentu independensi dapat tercapai ditubuh kejaksaan. 31 31 Alfitra.(ahli hukum pidana) Wawancara di Universitas Islam Negeri pada Tanggal 07 November 2014 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka untuk menjawab dari rumusan masalah pada penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, kejaksaan mewakili dan mempertahankan kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan. 2. Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lain. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. 3. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara negara bahwa “Kekuasaan Kehakiman (Rechtelijke Macht) dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman”, bukan lain-lain badan pengadilan, kedudukan Kejaksaan dalam sistem 69 70 ketatanegaraan adalah merupakan penuntut umum dalam perkara pidana yang mewakili Negara dan masyarakat. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan diatas, penulis mengusulkan sebagai berikut : 1. Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia diharapkan mampu bertindak secara netral di dalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara sela proses di Pengadilan. 2. Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh kejaksaan harus dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh. 3. Independensi kejaksaan dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa pengacara negara hendaknya selalu berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, selain itu Kejaksaan dapat meningkatkan profesionalisme dalam tahapan prapenuntutan dan meningkatkan koordinasi dengan penyidik untuk membantu penyidik melengkapi Berkas Perkara dengan memberi petunjuk-petunjuk kelengkapan Berkas Perkara. 4. Dalam melaksanakan tugas sebagai pengacara negara dalam hal penyuluhan hukum dan langkah-langkah mediasi terhadap perkara perdata hendaknya lebih digiatkan mengingat masih banyak masyarakat yang belum mengetahui peran dan keberadaan jaksa pengacara negara. 71 5. Mengingat masih minimnya tenaga jaksa yang memiliki bekal khusus dalam bidang perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara negara.Kejaksaan dalam hal pembentukan jaksa sudah saatnya menambah personil dan bekal-bekal khusus dalam pendidikan pembetukan jaksa yang bergerak dibidang perdata dan tata usaha negara untuk menjadi jaksa pengacara negara. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Atmasasmita Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung. Hamzah Andi, 1995, Jaksa di berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta. RM. Surachman, 1995, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta. Hendra A.A. Oka, 1993, Memantapkan Kedudukan dan Peranan Kejaksaan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Manan Bagir, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, Bandung. Marbun BN., 2006, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Prakoso Djoko, 1984, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sianturi SR. dan EY. Kanter, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta. Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sunggono Bambang, 2001, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Supriadi., 2006, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Waluyo Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Zul Fajri Em dan Ratu Aprillia Senja, 2008, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher, Jakarta. Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013, h.12. Mardjono Reksodiputro (2), Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan. Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.84-85. B. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat C. Internet Duniakontraktor, Landasan Hukum Jaksa Pengacara Negara”, http://duniakon traktor.wordpress.com/2011/03/07/landasan-hukum-jaksa-pengacaranegara/, diakses Jum’at, tanggal 09 Agustus 2014. Ety Zuafria. Amd, “Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/ 2010_05_01_archive.html, diakses Jum’at, tanggal 09 Agustus 2014. H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/ Kejaksaan_Indonesia, diakses Jum’at, tanggal 09 Agustus 2014. Jimmy Wales, Kejaksaan Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_ Indonesia, diakses Selasa, 09 April 2014. Just another WordPress, “Sejarah Kejaksaan RI Sebelum Reformasi”, http:// cabjaribrandan.wordpress.com/, diakses Senin, tanggal 11 Agustus 2014. Kabarindonesia, “JPN sebagai Pengacara Negara, http://kabarindonesia.com/ berita.php?pil=20&jd=JPN+sebagai+Pengacara+Negara&dn, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. Kejaksaan,PengertianKejaksaan,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaa n. php?id=1, diakses Senin, 09 April 2014. KejaksaanRepublikIndonesia,“Pengkajian”,http://www.kejaksaan.go.id/unit_k ejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=1543&bc=, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014 Krom dan Van Vollenhoven, “Sejarah lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia”, http://lotusbougenville.wordpress.com/2010/06/16/kejaksaan-agung/, diakses Sabtu, tanggal 09 Agustus 2014. MuslimMuis,http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view = article&id, Sabtu, 09 Agustus 2014 Query, “Perdata dan Tata Usaha Negara”, http://kejari-jaksel.go.id/static page.php?page=organisasi-datun, diakses Sabtu, 09 Agustus 2014.. Waspada, Aset Negara diselamatkan”, http://www.waspada.co.id/index.php? option=com_content&view=article&id=158975:rp11-t-aset-negaradisela-matkan-&catid=77:fokusutama&Itemid =131, Sabtu, 09 Agustus 2014 W.F.Stutterheim,“Sejarah”,http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php ? id=3, Sabtu, 09 Agustus 2014. Wijatobone, “Kedudukan Kejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/ 10/21/optimali sasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakan-supremasihukum/, diakses Sabtu, 09 Agustus 2014 Relationship between the Public Prosecutor and the Minister of Justice, <http://www.eurojustice.com/member_states/slovak_rep/country_report/ 2841/>, diakses 09 Agustus 2014 http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisijaksa-agung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-uud-1945-oleh-profdr-yusril-ihza-mahendra-pendahuluan-hampir-seluruh-negara-moderndi-du/,diakses 22 Desember 2014. LAMPIRAN I LAMPIRAN II LAMPIRAN III TABEL 1 TABEL 2 TABEL 3 TABEL 3