Depresi dan Penyakit Jantung

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Depresi dan Penyakit Jantung
Leonirma Tengguna, Andri
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana,
Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Penyakit kardiovaskuler dan depresi adalah dua masalah kesehatan umum pada jutaan orang di seluruh dunia. Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa depresi adalah faktor risiko penyakit jantung yang signifikan pada kasus baru dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penyakit jantung. Berbagai penelitian telah mempelajari mekanisme hubungan depresi dengan penyakit jantung, termasuk
ketidakseimbangan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, gangguan irama jantung, inflamasi, hiperkoagulabilitas, dan efek perilaku. Morbiditas
dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler masih sering dikaitkan dengan pengobatan depresi. Memahami dampak dan mekanisme
hubungan depresi dan penyakit jantung akan membantu pengembangan terapi yang bertujuan mengurangi prognosis buruk yang disebabkan
kedua penyakit komorbid ini.
Kata kunci: Depresi, penyakit kardiovaskuler, morbiditas
ABSTRACT
Cardiovascular disease and depression are two of the most common health problem that affect millions of people worldwide. Studies have
shown that depression is a significant risk factor for newly diagnosed heart disease and increases morbidity and mortality in established
heart disease. Hypotheses and mechanisms that linked depression and heart disease include hypothalamic-pituitaryadrenal axis imbalance,
heart rhythm disorder, inflammation, hypercoagulability, and psychosocial factors. Treatment of depression is still associated with morbidity
and mortality of cardiovascular disease. Understanding the impact and mechanisms behind the association of depression and heart disease
may allow development of treatments aimed at reducing bad outcomes caused by these comorbid illnesses. Leonirma Tengguna, Andri.
Depression and Heart Disease
Keywords: Depression, cardiovascular disease, comorbidity
PENDAHULUAN
Depresi merupakan problem kesehatan
masyarakat yang cukup serius. World Health
Organization (WHO) menyatakan depresi
berada pada urutan keempat penyakit di
dunia. Depresi mengenai sekitar 20% wanita
dan 12% laki-laki pada suatu waktu dalam
kehidupan.1
Gangguan depresi memiliki prevalensi
tinggi pada pasien penyakit jantung, Salah
satunya sindrom koroner akut. Penelitian
menunjukkan bahwa depresi juga merupakan faktor risiko signifikan pada kasus
baru dan dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas penyakit jantung. Meskipun
prevalensinya tinggi dan memiliki efek serius,
gejala depresi sering kali tidak dikenali dan
tidak diterapi pada sebagian besar pasien
Alamat korespondensi
118
sindrom koroner akut, sehingga beberapa
gejalanya menetap selama berbulan-bulan.2
Makalah ini menjelaskan depresi dan
komorbiditasnya dengan penyakit jantung, khususnya sindrom koroner akut, diharapkan dapat memberikan lebih banyak
pengetahuan untuk menurunkan mortalitas
dan morbiditas penyakit ini.
Faktor-faktor Risiko Depresi
1. Jenis Kelamin
Depresi lebih sering pada wanita, diduga
karena lebih sering mencari pengobatan
sehingga lebih sering terdiagnosis. Selain
itu, ada yang menyatakan bahwa wanita
lebih sering terpajan stresor lingkungan dan
ambangnya terhadap stresor lebih rendah
daripada pria. Ketidakseimbangan hormon
juga menambah tingginya prevalensi depresi
pada wanita, seperti adanya depresi prahaid,
postpartum, dan postmenopause.1,3
2. Usia
Depresi lebih sering terjadi pada usia muda.
Umur rata-rata awitan sekitar 20-40 tahun. Hal
ini mungkin berkaitan dengan meningkatnya
penggunaan alkohol serta penyalahgunaan
obat pada kelompok usia ini.1,3
3. Status perkawinan
Gangguan depresi berat lebih sering dialami individu yang bercerai atau berpisah
dibandingkan dengan yang menikah atau
lajang. Wanita lajang lebih jarang menderita
depresi daripada wanita menikah. Sebaliknya,
pria menikah lebih jarang menderita depresi
daripada pria lajang.1,3
email: [email protected]
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
TINJAUAN PUSTAKA
4. Geografis
Di negara maju, depresi lebih sering terjadi
pada wanita. Penduduk kota lebih sering
menderita depresi daripada penduduk desa.1
5. Riwayat keluarga
Risiko depresi makin tinggi bila ada riwayat
genetik dalam keluarga.1
6. Kepribadian
Seseorang dengan kepribadian lebih tertutup, mudah cemas, hipersensitif, dan lebih
bergantung pada orang lain lebih rentan
terhadap depresi.1
7. Stresor sosial
Peristiwa kehidupan, baik yang akut maupun
kronik, dapat menimbulkan depresi. Persepsi
seseorang terhadap suatu stresor juga ikut
menentukan pengaruh stresor terhadap
orang tersebut.1
8. Dukungan sosial
Seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam
masyarakat cenderung menderita depresi.1
9. Tidak bekerja
Suatu survei terhadap wanita dan pria di
bawah 65 tahun yang tidak bekerja selama
sekitar enam bulan melaporkan terjadinya
depresi tiga kali lebih sering.1
Komorbiditas Depresi dengan Penyakit
Jantung
Beberapa hal penting yang perlu diingat
pada komorbiditas depresi dengan penyakit
jantung, antara lain: 1) pasien yang pertama
kali mendapat serangan jantung hampir
selalu menyangkal bahwa gejala-gejala
penyakit yang dirasakannya berasal dari
jantung; 2) depresi dan stres emosi lain
dapat mempresipitasi gejala jantung akut
atau kematian mendadak; 3) psikofarmaka
dapat memberikan efek samping berupa
gangguan jantung, tetapi klinikus tidak
perlu takut menggunakannya; 4) depresi
merupakan faktor risiko tersendiri pada
coronary artery disease (CAD), baik pada lakilaki maupun wanita; 5) depresi setelah infark
jantung dikaitkan dengan peningkatan
risiko infark berulang dan kematian
(depresi memperburuk prognosis CAD);
6) depresi dapat menyebabkan kematian
mendadak melalui aktivitas nervus vagus
yang mempengaruhi denyut jantung; 7) penurunan serotonin yang dikaitkan dengan
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
depresi dapat menyebabkan perubahan
platelet; 8) risiko kematian setelah serangan
jantung pada pasien depresi adalah 2-4
kali lipat dibandingkan pasien yang tidak
menderita depresi.1
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, depresi mengenai hampir
tujuh belas juta penduduk tiap tahun. Biaya
pengobatan depresi baik langsung maupun
tidak langsung, yaitu sekitar 43 milyar dolar
per tahun. Biaya tersebut bertambah besar,
karena depresi sering berkomorbiditas dengan
penyakit fisik lain, salah satunya adalah
coronary artery disease (CAD). Sekitar 20-45%
penderita CAD menderita depresi.1
Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita,
penelitian menunjukkan bahwa sekitar
57,4% penderita pasca-infark miokard akut
(IMA) dengan kepribadian tipe A menderita
depresi. Proporsi gangguan depresi tertinggi
ditemukan pada kasus IMA derajat berat
dan sangat berat. Selain itu, juga terdapat
hubungan positif antara derajat keparahan
IMA dengan derajat berat depresi.1
Hubungan Depresi dan Ketidakpatuhan
dengan CAD
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan
dapat memperburuk prognosis CAD. Risiko
kematian setelah infark jantung meningkat
2-3 kali pada pasien yang tidak patuh.
Selain itu, mereka juga tidak patuh terhadap
program rehabilitasi.1
Ketidakpatuhan
terhadap
pengobatan
mengakibatkan buruknya prognosis. Suatu
studi analisis melaporkan bahwa ketidakpatuhan terhadap plasebo dikaitkan dengan
risiko morbiditas dan mortalitas tinggi.
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan penanda depresi atau penanda
buruknya perilaku kesehatan yang mengakibatkan buruknya prognosis.1
Hubungan Depresi dan Beberapa Faktor
Risiko dengan CAD
- Merokok
Merokok dikaitkan dengan tingginya
angka CAD. Di Amerika Serikat sekitar 49%
penderita depresi merokok, sedangkan
pada populasi umum hanya 20-30%. Peneliti
lain melaporkan prevalensi selama hidup
merokok pada pasien depresi adalah 30-45%,
sedangkan pada populasi umum 5-10%.
Penderita depresi yang merokok sering
gagal dalam program berhenti merokok dan
mereka lebih sering mengalami gejala putus
zat selama usaha berhenti merokok. Keadaan
ini membuat penderita depresi lebih sering
merokok daripada populasi tidak depresi.1
- Hipertensi
Peningkatan tekanan darah diastolik 10
mmHg di atas nilai normal dikaitkan dengan
peningkatan risiko CAD, sedangkan sebuah
penelitian longitudinal (20 tahun) melaporkan risiko menderita CAD lebih tinggi pada
kelompok yang menderita depresi sejak awal
penelitian dibandingkan dengan kelompok
yang tidak menderita depresi.
- Diabetes Melitus (DM)
Depresi menyebabkan tingginya kadar
glukosa, dan berpengaruh terhadap pengontrolan kadar gula darah.1 Risiko CAD
dan kematian akibat CAD meningkat 3/4
kali pada pasien DM. Depresi lebih sering
pada penderita DM dibandingkan dengan
populasi umum.
- Hiperkolesterolemia
Kematian CAD meningkat 9% untuk kenaikan 10 mg/dL plasma kolesterol. Kematian
tersebut 3 kali lebih sering pada individu
yang kolesterolnya tinggi bila dibandingkan
dengan yang kolesterolnya rendah. Walaupun demikian, depresi tidak dikaitkan dengan
kolesterol tinggi, tetapi dengan yang rendah.
Ada laporan bahwa zat-zat yang menurunkan
kolesterol dapat menyebabkan depresi.
Laki-laki yang secara kronik mengalami
hipokolesterol lebih sering depresi dibandingkan kontrol. Perbaikan klinik terjadi
setelah kadar kolesterol naik mencapai nilai
normal.1
Asam lemak berkompetisi dengan triptofan
(prekursor serotonin) untuk berikatan
dengan albumin. Apabila asam lemak bebas
dalam darah sedikit, albumin yang tersedia
lebih banyak, sehingga ikatannya dengan
triptofan menjadi lebih banyak. Akibatnya
triptofan yang diubah menjadi serotonin
berkurang. Depresi dikaitkan dengan rendahnya serotonin.1
- Obesitas
Obesitas juga suatu faktor risiko CAD.
Kelebihan berat badan atau body mass
index (BMI) 25-29,9 dan obesitas (BMI ≥
119
TINJAUAN PUSTAKA
30) dikaitkan dengan risiko relatif CAD bila
dibandingkan dengan berat normal (BMI 18,524,9). Pada wanita, obesitas dikaitkan dengan
depresi.1
- Homosistein plasma
Peningkatan homosistein plasma dikaitkan
dengan CAD. Penurunan kadar homosistein
dengan suplementasi vitamin B dapat
mengurangi CAD. Pada pasien depresi terdapat peningkatan kadar homosistein.1
Hubungan Depresi dan CABG
Pada pasien yang menjalani CABG (Coronary
Artery Bypass Graft), depresi dikaitkan dengan
rawat inap yang lebih lama, fungsi diri yang
buruk, komplikasi perioperatif yang lebih
banyak, kualitas hidup yang lebih buruk,
terjadinya aterosklerosis, tingginya angka
rawat inap kembali, dan mortalitas.4
Pengaruh Fisiologik Depresi Terhadap
Penyakit Jantung
a) Hypothalamic-Pituitary-Adrenocortical Axis
(HPA) dan Simpatoadrenal (SA)
Hiperaktivitas HPA dapat mempercepat
terjadinya CAD. Peningkatan kadar kortisol
menyebabkan arterosklerosis, hipertensi,
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Hiperaktivitas HPA juga menyebabkan
terjadinya hiperaktivitas SA melalui jaras
sentral. Akibatnya, terjadi peningkatan
plasma katekolamin yang akhirnya menimbulkan vasokonstriksi, peningkatan
denyut jantung, dan aktivitas platelet yang
Gambar 1. Skema peningkatan HPA dan SA5
120
dapat merusak sistem kardiovaskuler. Pada
pasien depresi terjadi peningkatan HPA
yang ditandai dengan tingginya kadar
corticotropin-releasing factor (CRF) dalam
cairan cerebrospinal. Selain itu, respons
adrenocorticotropin hormone (ACTH) terhadap CRF berkurang. Terdapat pula
hiperkortisolemia, pelebaran kelenjar adrenal,
dan hipofisis.1
b) Gangguan Irama Jantung
Gangguan irama jantung dikaitkan dengan
buruknya prognosis CAD. Sebagian besar
kematian mendadak pada pasien CAD
disebabkan aritmia ventrikel. Pasien CAD
dengan depresi lebih sering memperlihatkan episode takikardi ventrikel dibandingkan
dengan mereka yang tidak depresi. Sekitar
30% penderita depresi dikaitkan dengan
penurunan sensitivitas barorefleks. Pasien
depresi mayor mengalami peningkatan
aktivitas sistem SA dan disregulasi aksis HPA,
kombinasi kedua hal ini dapat meningkatkan
aktivitas simpatis dan menurunkan aktivitas
parasimpatis. Kedua keadaan ini dapat pula
meningkatkan risiko terjadinya aritmia fatal
pada pasien depresi pasca-infark jantung.
Berdasarkan data ini disimpulkan bahwa
depresi memberikan dampak buruk terhadap
prognosis CAD dengan mempengaruhi irama
jantung.1
c) Inflamasi
Sitokin proinflamatori berperan dalam
patogenesis arterosklerosis dan terjadinya
CAD. Kerusakan dinding arteri koronaria
menyebabkan pelepasan sitokin proinflamatori, seperti interleukin (IL)-1, IL-2,
dan TNF-α. Kemudian makrofag dan sel T
menginvasi pembuluh darah dan makin
mengaktivasi sitokin. Selain itu, terjadi
pula peningkatan pelepasan growth factor.
Akibatnya, sel otot polos intima berproliferasi
dan terbentuk plak aterosklerosis. Degradasi
matriks plak menyebabkan terjadinya
trombus yang dapat menyumbat pembuluh
darah.1,2
Pasien depresi baik yang berkomorbiditas
dengan CAD maupun yang tidak, memperlihatkan peningkatan kadar plasma
marker inflamatori. Depresi dikaitkan dengan
peningkatan IL-1. Stresor juga meningkatkan
sekresi IL-6 melalui mekanisme HPA aksis dan
reseptor β-adrenergik.1,2
Sebaliknya, inflamasi dapat pula menyebabkan depresi. Ada kemungkinan IL-1
dan sitokin lain dapat mempengaruhi onset
dan progresivitas depresi, yaitu melalui efek
sistemik bukan melalui kerusakan endotel
lokal. Pasien yang diobati dengan IL-1 atau
IFN-α cenderung mengalami depresi, seperti
anoreksia dan menarik diri secara sosial,
tetapi data yang mendukung pendapat ini
sangat sedikit. Tidak bisa ditentukan apakah
inflamasi terjadi akibat depresi atau berkontribusi dalam patogenesis depresi.1,2
d) Hiperkoagulabilitas
Ada empat komponen hemostasis, yaitu
koagulasi darah, antikoagulasi, aktivitas
platelet, dan fibrinolisis yang berperan dalam
patogenesis dan prognosis CAD. Apabila
komponen ini mengalami disregulasi, dapat
terjadi hiperkoagulasi. Penumpukan fibrin
di dinding pembuluh darah menambah
progresifnya CAD. Begitu pula, peningkatan
faktor koagulasi lain seperti faktor VII, VIII, dan
fibrinogen menyebabkan sindrom koronaria,
seperti angina tak stabil, infark miokard, dan
kematian jantung mendadak. Antikoagulansia
dan fibrinolitik berperan dalam pengobatan
sindrom koroner akut atau kronik.1,2
Kadar
fibrinogen
dikaitkan
dengan
depresi. Individu depresi memperlihatkan
peningkatan fibrinogen dan faktor VIIc.
Hubungan antara faktor koagulansia
dengan depresi dimediasi oleh aksis HPA
dan hiperaktivitas SA. Kedua faktor ini
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
TINJAUAN PUSTAKA
merangsang koagulasi darah. Hiperkortisol
menyebabkan peningkatan faktor VIII dan
faktor von Willebrand, serta penurunan
aktivitas fibrinolitik.1,2
Pasien depresi yang tidak mendapat
pengobatan menunjukkan peningkatan
aktivitas platelet lebih tinggi 40% bila dibandingkan kontrol normal; derajat aktivitasnya sama dengan pasien arterosklerosis
pembuluh darah besar. Beberapa penelitian
melaporkan pasien depresi memperlihatkan
penurunan agregasi platelet ketika berespons
dengan serotonin. Oleh karena itu, serotonin
berperan pada aktivitas platelet pada
pasien depresi. Sertraline dan metabolitnya
menghambat aktivitas platelet. Pasien CAD
dengan depresi yang menggunakan sertraline
mendapat perbaikan berupa revaskulerisasi.
Aktivitas platelet lebih rendah pada pasien
pengguna sertraline. Paroxetine pada pasien
depresi dengan CAD juga bermanfaat
menurunkan aktivitas platelet yang signifikan
setelah enam minggu. Sebaliknya, dengan
nortriptilin tidak memberikan efek serupa.1,2
e) Efek perilaku
Selain efek fisiologis, depresi terkait dengan
pencegahan sekunder yang buruk di antara
pasien iskemia akut. Pasien pasca-infark
miokard yang depresi, dibandingkan dengan
pasien infark miokard yang tidak depresi,
lebih sedikit dalam hal takaran diet rendah
lemak, pengurangan kolesterol, berolahraga,
berhenti merokok, atau mengurangi stres
kehidupan, semua hal tersebut meningkatkan risiko kekambuhan kelainan jantung.2
PENATALAKSANAAN
Depresi berdampak buruk terhadap CAD.
Mortalitas meningkat pada pasien depresi
yang mengalami CAD. Oleh karena itu,
depresi pada CAD harus segera dikenali
dan diobati. Obat-obat antidepresan trisiklik
(TCA) dan selective serotonin reuptake inhibitor
(SSRI) efektif mengobati depresi pada CAD.
Selain itu, psikoterapi sangat diperlukan
untuk memberikan pengobatan holistik
supaya penyembuhan lebih cepat. Tidak ada
perbedaan respons terapi pada pasien depresi
baik dengan CAD maupun tanpa CAD.1
Pengaruh TCA terhadap Depresi pada
CAD
Obat-obat TCA meningkatkan denyut
jantung sekitar 11%, menginduksi hipotensi
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
ortostatik (sehingga pasien bisa jatuh
dan patah tulang), dan memperlambat
hantaran jantung. Pemanjangan interval
QT, PR, dan QRS yang berpotensi memblok
jantung baik primer, sekunder, maupun
tersier dapat terjadi. Peningkatan denyut
jantung dan pemanjangan QT meningkatkan
risiko kematian mendadak pada pasien
depresi dengan atau tanpa CAD karena
fibrilasi ventrikel. Ambang fibrilasi ventrikel
turun dengan peningkatan input simpatis
dan meningkat bila tonus parasimpatis
ditingkatkan, sehingga menurunkan risiko
fibrilasi ventrikel.1
hantaran jantung dan tidak menyebabkan
hipotensi ortostatik. Denyut jantung mungkin
sedikit turun (1-3 kali per menit), tetapi klinis
tidak bermakna. Kematian akibat TCA
sering terjadi, sedangkan akibat SSRI sangat
jarang atau hampir tidak ada. Beberapa
penelitian secara konsisten melaporkan
TCA menurunkan denyut jantung dan
meningkatkan interval QT, sebaliknya SSRI
tidak. Karena efektivitasnya yang tinggi dan
efek sampingnya yang ringan serta efek
terhadap jantung relatif ringan, penelitian
SSRI untuk pasien depresi dengan penyakit
jantung cukup banyak dilakukan.1
Obat TCA mempunyai efek antiaritmia yang
signifikan karena profil elektrofisiologiknya
sama dengan komponen antiaritmia tipe
A (quinidine dan moricizine). Mortalitas
akibat overdosis TCA dikaitkan dengan efek
antiaritmia.1
Sertraline dan citalopram merupakan terapi
antidepresan lini pertama untuk pasien
depresi dengan penyakit jantung koroner.
Pasien depresi rekuren yang sebelumnya
memiliki respons dengan antidepresan lain
dapat melanjutkan konsumsi obat tersebut,
kecuali jika kini dikontraindikasikan. Sebagai
contoh, TCA dan monoamine oxidase inhibitor
(MAO-I) dikontraindikasikan pada pasien
penyakit jantung karena efek kardiotoksiknya.
Jika farmakoterapi hendak dimulai, pasien perlu
diobservasi selama dua bulan pertama dan
dilakukan monitor risiko bunuh dirinya secara
teratur, memastikan kepatuhan pengobatan,
dan mendeteksi efek samping.5
Penggunaan TCA bersama diuretik, vasodilator, dan benzodiazepine dapat sangat
berlebihan menurunkan tekanan darah.
TCA dapat meningkatkan denyut jantung,
menginduksi hipotensi ortostatik, dan memperlambat hantaran jantung. Karenanya,
penggunaan TCA untuk pengobatan depresi
pada CAD tidak dianjurkan.1
Pengaruh SSRI Terhadap Depresi pada
CAD
Obat-obat golongan SSRI efektif mengobati
depresi yang berkomorbiditas dengan
CAD, karena obat-obat ini jarang sekali menyebabkan efek samping kardiovaskuler.
Karena SSRI juga merupakan antiplatelet
yang signifikan, mortalitas dapat berkurang.1
Pasien depresi mengalami disregulasi sistem
SA dilihat dengan tingginya kadar plasma
epinefrin. Peningkatan aktivitas katekolamin
meningkatkan aktivasi dan agregasi platelet,
sehingga pembentukan trombus juga
meningkat. Pasien depresi tanpa CAD dan
pasien depresi dengan CAD sama-sama menunjukkan peningkatan agregasi platelet
dibandingkan kontrol tidak depresi. Obat
SSRI mempengaruhi akumulasi serotonin
di platelet, mampu menormalisasi aktivitas
dan agregasi platelet pada pasien depresi
dengan CAD.1
Efek antiplatelet dapat mengurangi risiko
iskemia. Obat SSRI tidak memperlambat
Efek Psikiatri Obat-obat Jantung Lain
Obat-obat jantung dapat menimbulkan
depresi atau efek psikiatrik lain. Penggunaan
obat-obat di bawah ini berpotensi menimbulkan efek psikiatrik, antara lain:1,6
1. Antiaritmia (prokainamid, flecainide,
disopyramide mexiletine), obat-obat ini dapat
menimbulkan depresi dan kebingungan
2. Beta bloker, efek yang sering yaitu depresi.
Mimpi menakutkan atau manifestasi psikotik
merupakan efek samping yang jarang. Obatobat beta bloker terbaru seperti atenolol
dan metorprolol lebih kardioselektif, efek
psikiatriknya sangat sedikit.
3. Reserpin jarang digunakan, dapat menimbulkan depresi.
4. Metildopa, penggunaan jangka lama
kadang-kadang
dapat
menyebabkan
depresi, halusinasi, paranoid, dan penurunan
konsentrasi.
5. Klonidin, efek samping obat ini sama
dengan obat di atas tetapi lebih ringan.
6. Calcium channel blockers dapat menyebabkan depresi dan bingung.
7. Prazosin dapat mengakibatkan ansietas
121
TINJAUAN PUSTAKA
dan depresi.
8. ACE
inhibitor
mempunyai
efek
ketegangan, depresi, dan penurunan libido.
9. Preparat digitalis dapat menimbulkan
depresi, halusinasi, dan delirium.
10. Statin dulu diduga menyebabkan
depresi atau bahkan bunuh diri. Akan tetapi,
penggunaan jangka panjang statin justru
menunjukkan psikologi yang sehat, walaupun
mungkin disebabkan perubahan gaya hidup
atau efek dari rendahnya kolesterol.
Psikoterapi
Untuk mempercepat penyembuhan dan
mengurangi angka kekambuhan, psikoterapi
sangat berperan. Salah satu psikoterapi
adalah cognitive behavioral therapy (CBT).
Terapi ini jangka pendek, terstruktur, biasanya
berorientasi terhadap problem saat ini dan
bersifat individu. Kerjasama antara pasien dan
terapis sangat diperlukan.1,6
minggu untuk mencapai remisi pada
depresi sedang hingga berat.6
Pemilihan Farmakoterapi dan Psikoterapi
CBT lebih diutamakan jika terdapat kondisi
berikut: 1) depresi tidak berat; 2) depresi
tidak kronik; 3) tidak ditemukan ciri psikotik;
4) terdapat respons positif terhadap CBT
pada terapi episode depresi sebelumnya;
5) pelayanan CBT tersedia; 6) terdapat
kontraindikasi terhadap obat; 7) terapi obat
saja tidak efektif; 8) terdapat faktor psikososial yang rumit.
Sebaliknya, terapi antidepresan perlu dipertimbangkan pada kondisi berikut: 1)
depresi berat; 2) depresi kronik atau berulang;
3) terdapat ciri psikotik; 4) terdapat respons
positif terhadap terapi sebelumnya; 5)
terdapat riwayat depresi herediter; 6) pasien
tidak dapat mengikuti psikoterapi.8
Tujuan CBT adalah untuk mengubah cara
berpikir, menghilangkan sindrom depresi,
dan mencegah kekambuhan. Hal ini dapat
dicapai dengan cara membantu pasien
mengidentifikasi kondisi negatif, mencarikan
alternatif, membuat skema menjadi lebih
fleksibel, mencari perilaku baru yang lebih
adaptif.1,6 Kognisi negatif dapat meliputi ide
yang salah tentang diri sendiri, dunia, dan
masa depan. Terapis harus dapat membawa
pasien kepada fase penerimaan. Persepsi diri
sebagai orang yang mempunyai defek, tidak
adekuat, dan tidak berharga harus dihilangkan.
Sikapnya yang melihat dunia sebagai tempat
yang tidak lagi menyenangkan, hukuman,
deprivasi, dan kegagalan masa depan harus
diubah.1
Kombinasi Farmakoterapi dengan Psikoterapi
Antidepresan dapat memperbaiki mood,
fungsi vegetatif seperti nafsu makan,
tidur, dan gairah seksual serta anhedonia.
Psikoterapi mampu memperbaiki hubungan
keluarga dan perkawinan, fungsi sosial,
dan pekerjaan. Selain itu, psikoterapi dapat
mengubah skema negatif pasien serta
mampu memperbaiki gaya hidup (seperti
merokok dan diet). Melalui psikoterapi
suportif, motivasi untuk rehabilitasi dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, penatalaksanaan
depresi yang berkomorbiditas dengan CAD
hendaklah menggabungkan psikoterapi dan
farmakoterapi.1
Dalam suatu penelitian, setidaknya diperlukan 12 dari 16 sesi CBT selama 12
Latihan dan Rehabilitasi Jantung
Latihan aerobik dan rehabilitasi jantung
dapat mengurangi gejala depresi dan
memperbaiki fungsi kardiovaskuler. Depresi
dapat menghalangi partisipasi dalam
rehabilitasi jantung dan program latihan,
pasien depresi dibantu mengatasi rintangan
ini dengan menawarkan dorongan dan
kontak berkelanjutan. Bantuan pasangan
atau anggota keluarga dan teman - teman
diperlukan untuk memicu kepatuhan.
Pemberian latihan harus didasarkan pada
status jantung dan toleransi latihan masing masing individu.2,6
Uji latihan (30 menit terus menerus berjalan/
jogging untuk mencapai target denyut
jantung, 3 kali per minggu selama 16
minggu) pada pasien depresi menemukan
bahwa latihan reguler sama efektifnya
seperti sertraline dalam pengobatan depresi.
Pada pemantauan enam bulan setelah akhir
penelitian, ditemukan perbaikan depresi
pasien di kelompok latihan yang bertahan
lebih panjang daripada yang menerima
antidepresan. Selain itu, program - program
rehabilitasi jantung dapat memberikan
dukungan sosial yang dapat sangat membantu pasien dengan stres psikologis.2,6
SIMPULAN
Depresi memiliki prevalensi tinggi di antara
pasien penyakit jantung terkait risikonya,
termasuk kematian. Meskipun prevalensinya
tinggi dan memiliki efek serius, gejala
depresi sering tidak dikenali dan tidak
diterapi, sehingga beberapa gejalanya
menetap selama berbulan-bulan. Terapi
dapat berupa farmakoterapi, psikoterapi, dan
rehabilitasi jantung. Dalam farmakoterapi,
perlu dipilih obat yang aman untuk jantung
pada pasien dengan komorbiditas. Prognosis
ditentukan dari kepatuhan pasien menjalani
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Amir N. Penatalaksanaan komorbiditas depresi dengan coronary artery disease (CAD). In: Amir N, ed. Depresi aspek neurobiology diagnosis dan tatalaksana. Jakarta: FKUI;2005.h.24-6,115-
2.
Widiyanti M. Hubungan antara depresi, cemas, dan sindrom koroner akut [Internet]. 2014 Mei 25. Available from: http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4881/3667.
3.
Sadock BJ, Sadock VA. Gangguan mood/suasana perasaan. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Buku ajar psikiatri klinis. 2nd ed. Jakarta: EGC;2010.h.189-96.
4.
Huffman JC, Celano CM, Beach SR, Motiwala SR, Januzzi JL. Depression and cardiac disease: Epidemiology, mechanisms, and diagnosis [Internet]. 2013 [cited 2014 June 2]. Available from:
5.
Musselman DL, Evans DL, Nemeroff CB. The relationship of depression to cardiovascular disease [Internet]. 1998 [cited 2014 June 2]. Available from: http://www.qpdpanel.com/downloads/
6.
Lichtman JH, Bigger JT, Blumenthal JA, Frasure-Smith N, Kaufmann PG, Lesperance F, et al. Depression and coronary heart disease. Circulation 2008;118:1768-75.
7.
Pozuelo L, Tesar G, Zhang J, Penn M, Franco K, Jiang W. Depression and heart disease: What do we know and where are we headed [Internet]. 2009 [cited 2014 June 1]. Available from:
8.
Dimos AK, Stougiannos PN, Kakkavas AT, Trikas AG. Depression and heart failure. Hellenic J Cardiol. 2009; 50: 410-7.
32.
http://www.hindawi.com/journals/cpn/2013/695925/.
depression_cardiovascular.pdf.
http://ccjm.org/content/76/1/59.full.pdf+html.
122
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
Download