1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan antara negara merupakan hubungan yang paling tua dalam studi hubungan internasional dimana, hubungan internasional telah memunculkan aktor-aktor baru selain negara dalam interaksi internasional. Perkembangan ini berakibat pada lahirnya paradigma atau paham baru oleh para penstudi HI dalam mengkaji fenomena-fenomena internasional yang terjadi. Paham tersebut antara lain paham realism, pluralism, strukturalisme, dan globalisme. Dominasi aktor negara pada awal perkembangan HI menurut kaum realis di gugat oleh kaum pluralis dan menganggap bahwa actor dalam HI tidak hanya di dominasi oleh negara tetapi juga di lakukan oleh MNC , individu , NGO, serta kelompok teroris. Sementara pendekatan strukturalisme lebih memandang interaksi hubungan internasional sebagai ketergantungan negara kecil terhadap negara besar dan dominasi negara kuat terhadap negara lemah.1Adanya faktor tunggal dalam HI pada awal perkembangannya membuat tata hubungan internasional pada saat itu hanya diwarnai oleh interaksi antar negara saja. Dominasi peran antar negara tersebut kemudian menjadikannya sebagai aktor utama dalam HI dan tatanan internasional terbentuknya sesuai dengan keinginan negara , khususnya negara besar. 1 Suwardi Wiraatmaja, Pengantar Hubungan Internasional, 1996 , Rafika Adikarya Bandung hal 13 2 Sifat-sifat penguasa di negara-negara tertentu yang represif dan cenderung otoriter, melahirkan rasa kekecewaan bagi rakyatnya karena keinginan untuk turut berpartisipasi dalam bidang politik tidak dapat tersalurkan bahkan cenderung di kekang. Ketika jalur-jalur penyampaian aspirasi politik tidak berjalan baik, maka partisipasi tersebut kemudian diwujudkan melalui gerakan-gerakan radikal yang pada akhirnya akan melahirkan kekerasan-kekerasan sipil. Pasca perang dunia II, kekerasan sipil merupakan gejala yang sangat menarik perhatian. Dibanding perang sebenarnya yaitu perang antarnegara, kekerasan sipil jauh lebih banyak jumlahnya. Surat kabar New Yeork Times mencatat selama kurun waktu 1946-1959 saja, telah terjadi 1.200 kekerasan sipil yang meliputi perang saudara, aksi-aksi gerilya, huru-hara, kekacauan-kekacauan luas, terorisme, pemberontakan dan kudeta. Peristiwa-peristiwa kekerasan itu terutama sangat mencuat dalam dasawarsa 1960-an yang terjadi tidak saja di negara berkembang, melainkan juga di negara-negara maju.2 Kekerasan sipil mencakup suatu spectrum yang sangat luas, mulai dari unjuk rasa, atau protes dengan menggunakan kekerasan, pemberontakan spontan, pemberontakan berencana dan berlanjut, kudeta bahkan sampai ke revolusi. Perang Saudara termasuk kekerasan politik sementara perang antar negara tidak. Kekerasan sipil berbentuk terorisme dapat dilakukan oleh penguasa atau negara terhadap rakyatnya sendiri atau terorisme negara, maupun oleh rakyat terhadap penguasanya. Terorisme digunakan sebagai senjata defensive maupun afensif untuk memelihara status quo atau untuk merusak sistem yang ada. Setelah 2 Philips Jusario Vermonte, di terjemahkan oleh Nasution, Politik dan Kekerasan, Pustaka Gramedia Jakarta 1990 hal 34 3 berakhirnya Perang Dingin, berbagai kekerasan sipil termasuk terorisme internasional tampak semakin menjadi-jadi. Perang Saudara, terorisme dalam berbagai bentuk, pemberontakan, pemboman, peracunan, pembantaian, penyandraan, demonstrasi berdarah dan sebagainya memenuhi media cetak maupun elektronik. Amerika Serikat sebagai salah satu negara korban terorisme internasional, seperti yang kita ketahui bahwa Amerika merupakan negara Adi Kuasa yang terkadang memenuhi standar ganda dalam melihat suatu fenomena atau dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya bila berkaitan dengan isu Arab Israel, menjadikannya objek kemarahan dari pihak-pihak yang dianggap dirugikan ataupun tidak senang dengan kebijakan standar ganda tersebut. Hal tersebut membuat Amerika Serikat menjadi sasaran terorisme internasional. Terdapat banyak serangan terorisme yang dilakukan ke tempat-tempat kepentingan Amerika Serikat, baik itu di dalam dan di luar negeri, mulai dari aksi pemboman terhadap sebuah botel di Yaman yang banyak di huni oleh warga Amerika Serikat (1992), gedung World Trade Center New York (1993). Kampung Militer di Riyadh Arab Saudi (1993) basis militer AS di Dahran Arab Saudi (1996). Kedutaan Besar AS di Kenya Tanzania (1998), kapal perang AS USS Cole di Yaman (2000) dan yang terakhir dan sangat berdampak terhadap bangsa dan negara Amerika Serikat yakni serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon dengan menggunakan pesawat terbang komersil yang menjadi tragedy nasional bagi bangsa dan negara Amerika Serikat.3 Trauma yang sangat 3 Kusnanto Anggoro, Terorisme Terhadap Amerika, Jurnal CSIS Vol.36.No.1 2007 4 mendalam sebagai akibat aksi dari serangan-serangan terorisme tersebut membuat Amerika Serikat sangat reaksioner dalam sikapnya menghadapi issu terorisme yang berkembang saat ini. Amerika Serikat sangat cepat merespon terhadap setiap issu terorisme. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan politik luar negerinya yang berusaha mencari simpati dunia internasional dalam kampanye pemberantasan jaringan terorisme. Hal ini sejalan dengan pendapat William D.Coplin bahwa : “Politik luar negeri suatu negara merupakan substansi dari hubungan internasional terselenggara sebagai sarana interaksi antar negara demi pencapaian tujuan nasional.”4 Sebelum mengadakan serangkaian tindakan dalam hubungan luar negerinya, suatu negara terlebih dahulu harus menentukan pola politik luar negerinya berdasarkan atas kebutuhan nasional sehingga kepentingan nasional berperan sebagai kontrol dalam setiap pelaksanaan politik luar negerinya. Di sini, tujuan nasional Amerika adalah berusaha melindungi seluruh warga dan kepentingan di dalam dan di luar negeri sedangkan instrument yang digunakan adalah cenderung kepada politik. Menciptakan rasa aman bagi warganya dinilai sebagai kebutuhan yang mendesak, mengingat warga dan kepentingannya tersebar ke seluruh belahan dunia. Isu terrorisme, ternyata bukan hanya konsumsi wilayah regional tertentu saja seperti Timur Tengah, namun telah menyebar ke wilayah-wilayah regional lainnya yang memiliki potensi konflik dan instabilitas seperti halnya kawasan regional Asia Tenggara. Konflik intern di negara kawasan tersebut, bisa saja memancing jaringan internasional untuk melakukan aksi-aksi teror di kawasan 4 William D Coplin, Pengantar Politik Internasional , Bandung : Pustaka Bersama 1992 hal 32 5 tersebut. Sebagai contoh aksi terror yang di lakukan oleh gerilyawan Moro di Philipina Selatan. Pada perkembangannya dinilai dapat membahayakan keselamatan warga dan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara. Kemudian di Singapura 25 anggota Jemaah Islamiyah, di Malaysia dan Singapura di duga merupakan suatu jaringan terorisme internasional yang terkait dengan jaringan Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Laden. Bersama penangkapan tersebut ditemukan beberapa dokumen yang berisi rencana penyerangan terhadap kepentingan-kepentingan AS di Asia Tenggara seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Selanjutnya ledakan kecil di sekitar konsulat AS di Bali, kemudian hal ini semakin membuat kawasan tersebut rawan terhadap isu serangan aksi teroris. Dari pemaparan tadi penulis tertarik untuk meneliti kebijakan Amerika Serikat dalam merespon issu terorisme di kawasan Asia Tenggara dalam suatu bentuk skripsi dengan judul “Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Terorisme Di Asia Tenggara” B. Batasan dan Rumusan Masalah Mengingat dalam judul yang sudah di kemukakan di atas mencakup berbagai aspek dengan kompleksitas masalah maka dalam hal ini , penulis perlu membatasi yaitu hanya berkisar kepada respon pemerintah AS dalam bentuk pernyataan, aksi, dan pola kebijakan di Kawasan Asia Tenggara terutama dalam hubungannya dengan isu terorisme internasional di kawasan tersebut. Dari pembatasan tersebut, maka penulis merumuskannya ke dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut : 6 1. Bagaimana respon dan wujud kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam merespon terorisme di kawasan Asia Tenggara ? 2. Bagaimana peluang dan tantangan Amerika Serikat dalam menghadapi Terorisme di Asia Tenggara ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan respon serta kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam merespon terorisme di kawasan Asia Tenggara. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan peluang dan tantangan yang di hadapi Amerika Serikat dalam menghadapi terorisme di Asia Tenggara . 2. Kegunaan Penelitian 1. Apakah tujuan tersebut dapat tercapai, maka penelitian ini Di harapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah Indonesia dalam menyikapi fenomena terorisme internasional dan dapat dijadikan referensi bagi upaya antisipasi masuk atau munculnya kelompok terorisme internasional di Indonesia. 2. Hasil penelitian ini juga Diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi para pemerhati masalah-masalah internasional, khususnya bagi para penstudi Ilmu Hubungan Internasional dalam rangka pengembangan Ilmu Hubungan Internasional. 7 D. Kerangka Konseptual Dalam masalah ini, konsep yang digunakan adalah teori atau konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional. Politik luar negeri cenderung dimaknai sebagai sebuah identitas yang menjadi karakteristik pembeda negara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Politik luar negeri adalah sebuah posisi pembeda. Politik luar negeri adalah paradigma besar yang dianut sebuah negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia. Politik luar negeri adalah wawasan internasional. Oleh karena itu politik luar negeri cenderung bersifat tetap. Kebijakan luar negeri adalah segala tindakan suatu pemerintah terhadap negara lain dalam politik internasional, dengan di dasarkan pada serangkaian asumsi dan tujuan tertentu, serta dimaksudkan untuk menjamin keamanan nasional. Kebijakan luar negeri dapat dijalankan melalui berbagai cara, namun tiga yang paling umum adalah perang, perdamaian, dan kerjasama ekonomi. Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan beberapa definisi lain dari berbagai ahli. Hugh Heglo menyatakan bahwa : “kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Definisi Heglo ini kemudian di uraikan oleh Jones dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama yaitu, tujuan. Disini yang dimaksud adalah 8 tujuan tertentu yang di kehendaki untuk di capai. Bukan suatu tujuan yang sekedar di inginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukan tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. Sampai saat ini belum ada definisi yang baku mengenai terorisme. Dikalangan pakar Sosial Politik Barat sendiri sebenarnya ada kesepakatan tentang definisi Terorisme. Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai 9 sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.5 Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya. Menurut Black’s Law Dictionary : Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah, mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.6 Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme : Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: 1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara Rikard Bagun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”, 17 November 2002 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III 5 6 10 meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)7 2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).8 Dari definisi-definisi di atas, yang menjadi ciri dari suatu tindakan terorisme adalah : 1. Adanya rencana untuk melakukan tindakan tersebut 2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu 3. Menggunakan kekerasan 4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah 5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama . Dalam berinteraksi dengan negara/aktor hubungan internasional lain suatu negara harus selalu berlandaskan pada pencapaian kepentingan nasionalnya. Konsep kepentingan nasional ini merupakan buatan manusia dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para ahli teori politik dan dipatuhi oleh masyarakat karena disangkutkan kepada situasi social dan mencerminkan adanya 7 8 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 6. Ibid., pasal 7. 11 nilai-nilai, ide-ide kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya.9 Karena itu kepentingan nasional adalah yang paling utama yang mendasari sikap perumusan kebijaksanaan luar negeri suatu negara. Seperti yang di ungkapkan oleh Holsti bahwa ide kepentingan nasional mungkin mengacu pada serangkaian tujuan ideal yang sebenarnya diusahakan untuk diwujudkan oleh suatu negara bangsa dalam tindakan luar negerinya.10 Terhadap kaitannya dengan masalah terorisme Internasional, rumusan kebijakan politik luar negeri AS merupakan hasil dari proses politik dalam menyikapi fenomena terorisme internasional yang aksi-aksinya dapat mengancam kepentingan nasionalnya. Hasil dari rumusan itulah menjadi dasar dari segala tindakan AS terhadap terorisme internasional. Sebagaimana konsep kebijakan luar negeri yang di ungkapkan oleh Miriam Budiardjo sebagai berikut : “Kebijakan adalah suatu kumpulan apa yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok dalam usaha memiliki tujuan, kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.”11 Dari pendapat tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa wujud dari kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang kemudian menjadi dasar serangkaian tindakan. Kebijakan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut telah dipilih sebelumnya termasuk cara-cara mencapainya. Kebijakan itu dibuat oleh pihak tertentui yg memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya. 9 Sufri Yusuf Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri Jakarta: Dunia Pustaka hal 77 K.J.Holsti Politik Internasional Kerangka Untuk Internasional Terjemahan T.Ashari Erlangga hal 138 11 Meriam Budiardjo Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hal 12 10 12 Aktualisasi dari kebijakan merupakan sekumpulan keputusan-keputusan yang dituangkan dalam bentuk undang undang. Dimana kemudian UndangUndang itu menjadi dasar tindakan atas suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Adapun pihak yang berperan dalam pembuat suatu kebijakan yaitu pemerintah karena pemerintah yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, kebijakan luar negeri suatu negara menunjukkan dasar-dasar umum yang dipakai pemerintah untuk bereaksi terhadap lingkungan internasional. Karena kebijakan luar negeri dapat juga di artikan sebagai strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau hubungan internasioanl lainnya. 13 E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dimana penulis mencoba menggambarkan dan menjelaskan tentang Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat terhadap terorisme di Asia Tenggara. 2 Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku, jurnal, dokumen, dan bahan dari internet. Data tentang kebijakan politik luar negeri dan tentang terorisme pada penelitian ini didapatkan dari beberapa buku, jurnal, dan internet. 3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka (library research) yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi dari literatur yang berkaitan dengan masalah yang di bahas. Selain itu juga mengunjungi beberapa situs di internet untuk melengkapi data yang penulis kumpulkan. 4 Teknik Analisa Data Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dimana, data yang dikumpulkan melalui penelitian lapang dilakukan dengan metode kualitatif, karena sifat data penelitian ini merupakan informasi kualitatif. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskrpitif berupa kata-kata tertulis maupun yang terucapkan dari para pelaku yang diamati. 14 5. Definisi Operasional Untuk menghindari salah penafsiran terhadap berbagai istilah atau konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah atau konsep diberi batasan pengertian dalam bentuk definisi operasional : 1. Pertama, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi-kondisi nyata dalam negeri. Politik luar negeri cenderung dimaknai sebagai sebuah identitas yang menjadi karakteristik pembeda suatu negara dengan negara-negara lain yang ada di dunia. Politik luar negeri adalah paradigma besar yang dianut sebuah negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia. 2. Kedua, Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang saat ini menjadi salah satu aktor utama dalam perang global melawan terorisme berdasarkan atas resolusi DK-PBB 1373 tentang : setiap negara harus ikut berperan serta dalam perang gobal melawan aksi teroris. 3. Ketiga, Terorisme secara akademik merupakan segala bentuk tindak kejahatan berbagai bentuk, seperti pemberontakan, pemboman, peracunan, pembantaian, penyandraan, demonstrasi berdarah. Secara birokrasi merupakan tindakan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Politik Luar Negeri Interaksi antarnegara dalam paradigma hubungan internasional banyak ditentukan oleh politik luar negeri negara tersebut. Politik luar negeri tersebut merupakan kebijaksanaan suatu negara untuk mengatur hubungan luar negerinya. Politik luar negeri ini merupakan bagian dari kebijaksanaan nasional negara tersebut dan semata-mata dimaksudkan untuk mengabdi kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk kurun waktu yang sedang dihadapi, dan hal tersebut lazimnya disebut kepentingan nasional. Tujuan politik luar negeri merupakan mewujudkan kepentingan nasional negaranya. Tujuan tersebut memuat gambaran atas keadaan negara di masa mendatang dan kondisi masa depan yang diinginkan. Dalam membahas politik luar negeri, pengertian dasar yang harus diketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepntingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.12 Politik luar negeri pada dasarnya merupakan kebijakan suatu negara yang ditujukan kepada negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula, 12 DR. Anak Agung Banyu Perwira & DR. Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Remaja Rosdakary, Bandung 2005 hal 35. 16 nilai, sikap dan arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional didalam percaturan dunia internasional.13 Dalam pelaksanaan tentang politik luar negeri terdapat tiga determinan yang harus di perhatikan. Pertama adalah kepentingan nasional, dimana politik luar negeri adalah pencerminan dari kepentingan nasional suatu negara terhadap lingkungan luarnya. Politik luar negeri sebagai pencerminan dari kepentingan nasional dikemukakan oleh J. Frankel : Politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri, yang tidak terpisah dari keseluruhan tujuan nasional, dan tetap merupakan komponen atau unsur dari kondisi dalam negeri.14 Yang perlu diperhatikan dalam keterkaitan kepentingan nasional dan politik luar negeri adalah bahwa pelaksanaan politik luar negeri tersebut semaksimal mungkin dapat menguntungkan bagi kepentingan nasional, baik di ukur dari kepentingan keselamatan dan keamanan nasional, maupun diukur dari peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan nasional. Determinan kedua yang berhubungan dengan politik luar negeri adalah kemampuan nasional. Kemampuan nasional adalah kemampuan yang dimiliki suatu bangsa, baik secara actual maupun bersifat potensial. Dengan kemampuannya, segenap daya bangsa baik yang manifest maupun latent yang meliputi segala sumber daya yang melekat pada bangsa yang bersangkutan. Strategi politik luar negeri adalah output. Sedangkan input berasal dari kondisi-kondisi lingkungan ekstern dan intern yang dikonversi menjadi input, melalui proses pemahaman situasi yang dikaitkan dengan penentuan tujuan yang akan dicapai, mobilisasi untuk 13 Perwita dan Yani, Pengantar Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2005 hal 47 14 J. Frankel, Hubungan Internasional, ANS Sungguh Barsaudara, Jakarta, 1990, hal 55. 17 mencapai tujuan tersebut dan upaya-upaya merealisasikan tujuan yang sudah ditetapkan.15 nyata dalam Politik luar negeri sebagai rangkaian atau sekumpulan komitmen, mengacu kepada strategi, kepentingan dan tujuan-tujuan khusus (spesificgoals) serta saranasarana (means) untuk pencapaiannya. Komitmen dan rencana tindakan ini dapat ditelaah dari kondisi riil dan situasi nyata yang sedang berlangsung, sehingga dapat lebih mudah diamati dan dianalisa. Determinan ketiga adalah kondisi internasional dengan sifatnya yang dinamis. Setiap negara merumuskan kebijakan politik luar negeri, tetapi tidak akan mungkin mengatur dan menetapkan proses dinamika internasional sebagai akibat dari interaksi yang terus menerus antara bangsa-bangsa di dunia. Politik luar negeri berhubungan dengan semua usaha dari sistem politik nasioanl untuk beradaptasi dengan lingkungan geopolitiknya dan untuk menetapkan tindakan pengendalian terhadap lingkungannya agar dapat memenuhi nilai-nilai yang terdapat dalam sistemnya.16 Sufri Yusuf memberikan sebuah definisi standar menyatakan bahwa politik luar negeri itu adalah politik untuk mencapai tujuan nasional dengan menggunakan segala kekuasaan dan kemampuan yang ada.17 Karena situasi dan kondisi dunia yang tidak statis, tetapi mengalami dinamika yang terus berkembang, maka kebijaksanaan politik suatu negara selalu mengalami penyusunan atau peyesuaian dengan kondisi politik luar negeri, karena politik luar negeri merupakan perpanjangan tangan dari politik dalam negeri. Oleh sebab itu kebijaksanaan politik luar negeri sangat ditentukan oleh kondisi obyektif politik 15 K.J. Holtsi, Politik Internasional : Kerangka Analisis Pedoman Ilmu, Jakarta, 1987, hal 88. Ibid, Hal. 133 17 Sufri Yusuf, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah Analisis Teoritis dan Uraian Pelaksanaanya, Pustaka Sinar, Jakarta, 1989, hal 110. 16 18 dalam negeri. Apa yang dirumuskan pada politik dalam negeri, akan menjadi acuan untuk perumusan politik luar negeri yang di tujukan pada dunia internasional. Amerika Serikat sendiri dalam pelaksanaan politik luar negeri tentunya juga berorientasi pada kepentingan nasional yang di dasarkan pada kondisi obyektif baik di dalam negeri maupun kondisi politik internasional yang berkembang saat ini. Bila ditinjau dari segi filsafat politik, politik luar negeri AS tampak unik dalam menggabungkan kepraktisan yang selalu hati-hati dengan idealisme yang utopis. Di satu sisi politik luar negeri Amerika Serikat dapat berperan untuk melindungi negara lain dengan cara memperluas kepentingan AS di seluruh dunia, disisi lain AS mempunyai tugas mengubah system internasional sedapat mungkin seperti keinginannya yang di dasarkan atas kemauan dan citranya sendiri dan AS menginginkan kedua cara itu dalam politik luar negerinya. Sifat yang dapat dikatakan tidak taat azas itu menyebabkan politik luar negeri AS menunjukkan ciri khas yang bertentangan. Seperti yang kita ketahui, kepentingan nasional suatu negara bersumber dari budaya bangsanya, yaitu hidup bangsa, pola pikir dan sikap yang terbentuk melalui proses pengalaman sejarah yang diwariskan dari bangsa itu sendiri. Karena politik luar negeri suatu negara merupakan kelanjutan atau perjuangan dari kepentingan nasionalnya, maka AS sebagai negara besar dan satu-satunya negara adi kuasa sejak berakhirnya Perang Dingin memfokuskan politik luar negerinya terhadap penciptaan tata politik internasional yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya. 19 B. Konsep Kepentingan Nasional Dalam sistem internasional, pola interaksi yang terjadi antara negara-negara pada umumnya di landasi oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin dicapai oleh setiap negara. Masing-masing negara dalam sistem internasional berkewjiban memberikan tanggapan-tanggapan atas situasi internasional dalam berbagai tujuan nasional yang diinginkan sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Kebutuhan dan tujuan dari berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain dari setiap negara dirumuskan dalam bentuk kepentingan nasional. Kepentingan nasional merupakan konsep yang paling populer dalam analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, maupun menganjurkan perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku suatu negara.18 Kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum tetapi merupakan unsur yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi negara. Unsur tersebut mencakup kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer dan kesejahteraan ekonomi sehingga pperlu suatu usaha untukmemperoleh kepentingan tersebut. Kepentingan nasional memberikan ukuran konsistensi yang diperlukan dalam kebijakan nasional. Suatu negara sangat memperhatikan kepentingan nasionalnya dalam situasi yang sangat cepat berubah, akan lebih cenderung untuk mempertahankan keseimbangannya dan 18 Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal 139 20 selalu melanjutkan usaha ke arah tujuannya dari pada mengubah kepentingannya dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru di lingkungan sekitarnya.19 Kepentingan nasional bukanlah suatu teori yang terinci akan tetapi lebih banyak digunakan pada waktu-waktu pemilihan apa saja dalam bentuk simbol atau slogan. Kepentingan nasional dibentangkan kepada rakyat sebagai doktrindoktrin, dan dalam suatu negara, kepentingan nasional itu dapat berubah-ubah sesuai waktu, situasi, dan kondisi.20 Berkembangnya persaingan antar negara dalam konteks internasional menekankan arti penting untuk menggunakan formula kepentingan nasional sebagai kerangka untuk mencapai tujuan-tujuan kebijaksanaan politik luar negeri. Dengan mengesampingkan kenyataan bahwa kita sekarang berada dalam sistem internasional yang ketergantungan, negara, bangsa tetap mendasarkan keputusan kebijaksanaan luar negerinya pada kepentingan nasional mereka. Maka James Rosenan menandaskan bahwa : Sebagai alat analitik, kepentingan nasional dipergunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, atau mengevaluasi sumber-sumber atau kelayakan kebijaksanaan politik luar negeri suatu negara sebagai instrument dari tindakan politik, konsep tersebut berfungsi sebagai alat untuk membenarkan, mengabaikan atau mengusulkan kebijaksanaankebijaksanaan.21 Morgenthau telah mendefinisikan kepentingan nasional sebagai power (kekuatan). Dalam konteks ini, konsep kepentingan nasioanl disamakan dengan konsep kelangsunagn hidup (National Survival). Jadi, kepentingan nasional, merupakan esensi dari politik. Defenisinya mengenai kepentingan nasional ini 19 Jack C Plano & Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, Edisi Ketiga, Putra A Bardir, Jakarta, 1999, hal 7. 20 Sufri Yusuf, Op Cit., hal 47 21 Dahlan Nasution Politik Internasional Konsep dan Teori Erlangga Jakarta 1989 hal 26 21 konsisten dengan teori kekuatan politik, dimana sasaran dari negara-negara adalah mempengaruhi actor lain dalam rangka mencapai kepentingan-kepentingan negaranya.22 Kemampuan untuk mencapai kepentingan nasional sangat bergantung pada kekuatan nasional yang dimiliki. Secara konvensional, kekuatan nasional terbagi kedalam tiga kategori yaitu : instrument ekonomi, politik, dan militer.23 Beberapa analisis politik internasional seperti Robert Gilpin dan Hendry Kissinger menambahkan onstrmen-instrumen lain, seperti geografis, demografi, dan kehendak nasional pada sumber-sumber kekuatan nasional. Tiga komponen diatas bermanfaat bagi tujuan analitik, sedangkan pada prakteknya ketiga bentuk kekuatan itu saling berhubungan satu sama lain. Instrumen kekuatan ekonomi atan ekonomi berkenaan dengan digunakannya bantuan ekonomi atau ancaman ekonomi untuk membuat seseorang atau satu negara menuruti kebijaksanaan negara yang pertama. Misalnya Amerika Serikat dapat menawarkan untuk menaikkan tingkat bantuan ekonominya atau sebaliknya mengancam untuk menarik bantuannya terhadap suatu bangsa, sehubungan dengan mau atau tidaknya negara tersebut menuruti garis kebijaksanaan Amerika Serikat. Instrumen kekuatan politik atau diplomatik meliputi segala aktivitas yang terukur dan terampil dari pada diplomat suatu negara yang berusaha meyakinkan pihak lain akan garis kebijaksanaan negaranya. Keberhasilan AS dalam menggalang kerjasama global dalam memberantas terorisme internasional, sangat 22 23 Ibid, hal 27. Ibid, hal 29. 22 bergantung pada kekuatan politik atau diplomasinya. Keberhasilan instrument ini secara murni relative sulit dicapai apabila tidak didukung oleh kekuatan ekonomi atau militer. Kekuatan militer, baik itu ancaman maupun penggunaan sesungguhnya, merupakan instrument yang ketiga dan terakhir. Dalam budaya Amerika, penggunaan kekuatan militer adalah pilihan yang terakhir, suatu jalan yang di ambil apabila jalan lainnya telah gagal. Penggunaan ketiga instrument di atas tergantung sepenuhnya pada situasi dan kondisi. Ketiga instrument inilah yang kemudian dijadikan senjata bagi AS untuk memberantas terorisme internasioanl. Seperti embargo ekonomi kepada negara-negara yang menjadi sponsor terorime, tekanan maupun lobi diplomatik, dan penggunaan kekuatan militer dalam memberantas terorisme internasional. C. Konsep Terorisme sebagai Kejahatan Transnasional 1. Sejarah dan Perkembangan Terorisme Wacana tentang terorisme aksi terror, sejauh yang dapat direkam sejarah, sudah berlangsung sejak era Yunani Kuno. Sejarahwan Yunani, Xenophon (430349 SM) pernah mengulas tentang manfaat dan efektifitas perang urat syaraf untuk menakut-nakuti musuh.24 Tetapi sulit diketahui, kapan aksi terror mulai dilakukan. Ada yang berpendapat, aksi terror seusia dengan sejarah peradaban manusia sendiri. Bahaya terorisme pun berkembang semakin kompleks seiring dengan kemajuan peradaban dan teknologi. Serangan terorisme 11 September 2001 di New York dan Washington mempelihatkan penggunaan teknologi tinggi oleh kaum teroris. Aksi terorisme di 24 Rene L Pattiradjawane Terorisme : Mekanisme Melawan Ketidakadilan, Pustaka Kompas Jakarta 2001 23 AS itu menjadi sebuah tragedy yang dipertontonkan di depan publik dunia. Efek publikasi oleh media massa sangatlah tinggi. Sampai abad ke 18, tindakan teror masih berkisar pada tindakan penyiksaan. Pembuangan, penculikan, pembunuhan, dan penyitaan harta benda. Ironisnya, penguasa sering menggunakan terror untuk mematahkan kekuatan masyarakat yang dinilai membangkang. Bahkan istilah teror dan terorisme digunakan sebagai suatu yang positif dalam pemerintahan Perancis tahun 17931794.25 Meski istilah teror atau terorisme baru mulai populer pada abad ke-18, namun fenomena yang di tunjukkannya bukanlah baru. Menurut Grand Wardlaw dalam buku Political Terorism, manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.26 Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia, dan Amerika. Mereka percaya bahwa cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh.27 Sementara itu, organisasi terorisme telah bermunculan dimana-mana di dunia dengan berbagai alasan. Terorisme benar-benar menjadi gejala global. Gerakan kelompok terdahulu seringkali memberi inspirasi bagi pembentukan dan kegiatan kelompok 25 Ibid, hal 8. Rikard Bagun, “Indonesia di Peta Terorisme Global”,17 November 2010 27 History of Terrorism, http://www.terrorismfiles.org/encyclopaedia/history_of_terrorism.html 26 24 yang lebih kemudian. Bahkan, dikalangan kelompok terorisme itu terdapat jalinan kerjasama. Sindikat itu dimungkinkan oleh sistem komunikasi internasional yang lancar, cepat, dan massal. Terorisme secara potensial terdapat di berbagai masyarakat dunia. Hanya aktualisasinya sangat tergantung pada kerawanan kondisi, ekonomi, politik, dan psikologis. Kehidupan sosial politik yang timpang menimbulkan frustasi dan keputusasaan yang mendorong orang menjadi agresif dan melakukan terror. Sementara itu, tidak sedikit yang menggunakan teror sebagai senjata perjuangan untuk mengejar tujuan politik. Tidak jarang, aksi terorisme juga dilakukan oleh fanatik atau militant yang bersifat religius. Sikap militansi ini bias timbul dalam setiap agama, tanpa terkecuali. Kelompok militan, fanatic dan radikal bias timbul di lingkunagn agama Hindu, Budha, Sikh, Yahudi, Katolik, Kristen, Islam, dan sebagainya. Golongan fanatic ini cenderung menegasikan yang lain.28 2. Pengertian Terorisme Istilah teror atau dalam bahasa Perancis, terreur adalah istilah yang digunakan para pejuang revolusi perancis atas tindakan anarkis, kebuasan atau pembunuhan yang dilakukan secara sewenang-wenang ketika berlangsungnya revolusi perancis dari tahun 1793-1794. Sedangkan terorisme adalah usaha-usaha atau aktivitas untuk menciptakan rasa takut yang mendalam melalui upaya-upaya pembunuhan, penculikan, pemboman dan tindak kekerasan yang lainnya. Sedangkan PBB mengkategorikan terorisme kedalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against Humanity) karena setiap aksi terorisme dinilai 28 Hinayahtullah Hasin Gerakan Terorisme di Timur Tengah Penerbit Mizan Bandung 1999 hal 27. 25 melanggar hak-hak asasi (Human Right) seperti hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari rasa takut dan keamanan. Mendefinisikan terorisme merupakan perkara yang rumit, sebab ia merupakan persoalan moral, dan penilaiannya sangat beragam bagi tiap orang. Upaya pendefinisian terorisme telah diupayakan oleh berbagai pihak, terutama Amerika Serikat yang sangat berkepentingan dalam upayanya dengan apa yang dinamakan “Perang Global Melawan Terorisme”.29 Defenisi yang umum digunakan yaitu penggunaan kekerasan oleh individu/kelompok demi suatu kepentingan yang lebih besar, biasanya kepentingan politik. Defenisi ini digunakan untuk menggambarkan aksi-aksi teror dilakukan oleh sekelompok minoritas yang merasa telah diabaikan hak atau mendapat perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas. Ketidakmampuan untuk melawan secara langsung membuat mereka melakukan aksi-aksi teror agar keinginan mereka dapat dipenuhi. Terorisme menurut Konvensi PBB tahun 1937 merupakan segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud dan tujuan menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.30 Adapun beberapa defenisi tentang terorisme dari berbagai lembaga maupun para ahli antara lain sebagai berikut : a. Terrorism Act 2000, UK 29 Manajemen Krisis Dalam Menanggulangi Terorisme, Drs. Sudarto http://www.dephan.go.id/modules. php?name=Sections&op=viewarticle&artid=56. 30 Loudewijk F. Paulus, 2006. Terorisme http://buletinlitbang.dephan.go.id 26 Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri : a. aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik. b. penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi. c. penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. b. Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations.31 Terorisme adalah The unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives. (28 C.F.R. Section 0.85) c. Menurut Konvensi PBB tahun 1937.32 Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. 31 32 Definition of Terrorism, http://www.terrorismfiles.org diakses 20 Januari 2011 Loudewijk F. Paulus, 2006. Terorisme http://buletinlitbang.dephan.go.id diakses 20 Februari 2011 27 d. Menurut sekjen PBB Koffi Annan, dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana terorisme(UU Anti Terorisme), buku putih Dephan.33 Terorisme merupakan suatu ancaman dan negara-negara harus melindungi warga negaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi, atau membenarkan pelanggaran HAM. Pakar terorisme internasional Steven Den Besk mendefinisikan terorisme sebagai suatu tindakan yang menimbulkan ketakutan (rasa takut) kepada suatu kelompok orang melalui tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu.34. Sedangkan Erich Fromm berpendapat bahwa terorisme merupakan cara-cara memperjuangkan kepentingan melalui aktivitas yang militant tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.35 Disisi lain aktivitas terorisme sering menyita perhatian khalayak baik itu secara local maupun internasional. Hal ini sesuai dengan pendapat Ali Khan seorang pakar terorisme internasional dari Westborn University School of Law Amerika Serikat bahwa para pelaku terorisme sengaja menciptakan suasana takut dan mencekam atau teror untuk menarik perhatian masyarakat mengenai apa-apa yang mereka inginkan atau perjuangan mereka.36 33 Petrus R. Golose, 2009. Deradikalisasi Terorisme : Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput. Hal : 5 34 Maryani Katoppo, Terorisme dan Sejarah Kekerasan Manusia Disertasi Program Master Ilmu Sejarah Program Magister Ilmu Sejarah FISIP UI, 2000 hal 32. 35 Ibid. 36 Ibid,. Hal 33 28 Teroris merupakan pelaku aksi-aksi terror yang biasanya gerakannya berbasis pada ideologi anarkisme, revolusioner, dan nihilisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Seven Den Besk bahwa para teroris biasa memperjuangkan kepentingannya melalui cara-cara anarki dan revolusioner.37 Menurut analisis Anthony Storr, pelaku teror umumnya penderita psikopat agresif. Gangguan psikologis yang parah membuat pelaku aksi terror menjadi manusia yang kehilangan nurani, bersikap kejam, agresif, sadistis, dan tanpa ampun. Seluruh perasaan takut seolah dibunuh habis, termasuk perasaan takut terhadap kematian atas dirinya sendiri, apalagi kematian orang lain.38 Aksi terorisme itu merupakan kombinasi antara kecerdasan, keberanian, kenekatan, dan pilihan mati secara tragis. Kombinasi yang sangat aneh bagi penentang terorisme tapi bukan bagi kaum teroris.39 Spekturm terror bisa mulai dari non-violence sampai violence, tetapi tujuannya sama, yakni menciptakan pengaruh tidak melalui ketakutan. Buku pegangan atau handbook yang digunakan oleh para teroris terbentang mulai dari penyebaran sianida, virus, sampai pengeboman. Teknologi teror mengalami pencanggihan bersamaan dengan perkembangan teknologi persenjataan. Bahkan, banyak senjata kini diproduksi tanpa mengacu pada humanitarian principle. Artinya, senjata-senjata itu sebenarnya di peruntukkan bagi para teroris untuk melakukan terrorizing, misalnya bom surat atau racun yang berpengaruh langsung pada kerja jantung. Teroris memang lebih rileks disbanding para intel karena tinggal mencuri teori-teori yang dikembangkan operasi intelejen yang tidak kalah 37 Loc cit Loc cit 39 Ibid,. Hal 34 38 29 biadab. Itulah mengapa saat ini ada gerakan untuk mengatur operasi intelegen pada batas-batas humanitarian yang diperkenalkan melalui undang-undang dan peraturan pemerintah. Berdasarkan literature ilmu politik, politik teror meiliki empat komponen yaitu : Pertama, kekerasan adalah bagian yang dibutuhkan dalam membuat aksi politik. Kekerasan, apalagi yang dramatis, menjadi strategi yang dianggap paling efektif untuk merebut perhatian dunia. Semakin dunia memberi perhatian, semakin sukses aksi politik terror. Pesan politik yang hendak mereka sampaikan jauh lebih bergema setelah perhatian public dapat diraih. Kedua, tujuan menghalalkan cara. Seringkali dibalik terror aneka aksi terror ada tujuan mulia. Tujuan itu dapat berupa misi ideology, bahkan keagamaan. Mungkin pula tujuannnya adalah bagian dari perjuangan politik sebuah kelompok yang tertindas untuk dapat meraih apa yang menjadi haknya. Namun politik terror menghalalkan segala cara sejauh itu efektif untuk mencapai tujuan. Bahkan jika untuk mencapai tujuan itu diperlukan korban manusia, termasuk korban dari rakyat tidak berdosa, itupun dapat di tempuh. Komponen yang ketiga adalah gerakan terselubung. Aksi terror dilakukan dalam sebuah jaringan kerja yang secara sengaja disembunyikan dibawah permukaan. Mereka tidak mempercayai mekanisme politik konvensional dapat memenuhi tercapainya aspirasi polotik yang mereka perjuangkan. Politik non konvensional dipilih karena dianggap satu-satunya mekanisme yang tersedia untuk turut bicara dan didengar. 30 Keempat, militansi dan fanatisme pelaku. Berbeda dengan politik konvensional, politik terror di dukung personel yang tingkat militansinya amat tinggi. Apalagi jika misi utama kelompok itu berwarna keagamaan atau kemnerdekaan sebuah bangsa. Aksi nekat yang berakhir dengan kematian pelaku seperti bunuh diri adalah hal yang biasa.40 Bagi politisi biasa, nyawanya adalah harga tertinggi. Mereka tak mau menukar nyawa mereka baik dengan jabatan ataupun harta. Namun bagi pelaku aksi terror, ada cita-cita tinggi yang membuat mereka bersedia mengorbankan nyawa. 3. Terorisme Internasional Jangkauan gerakan terorisme terus meluas, melampaui batas-batas wilayah negara. Mobilitas kaum teroris meningkat tajam akibat kemajuan transportasi dan komunikasi. Kerjasama di antara gerakan terorisme membentuk jaringan terorisme regional dan international. Hampir setiap kawasan memiliki organisasi terorisme. Organisasi terorisme yang pernah terkenal di Amerika Latin misalnya FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia) di Kolombia, CAL (Comandos Armados de Liberacion) di Puerto Rico Sendero Luminoso (Jalan Terang) di Peru, dan lain-lain. Di Kanada pernah terkenal FLQ (Front de Liberacion du Quebec).41 Secara kualitatif, kiprah kaum teroris sudah banyak berubah di bandingkan dengan masa lalu, terutama karena kemajuan teknologi. Perkembangan dramatis 40 Meriam Budiardjo, Teror dalam Tatanan Struktur Politik PT. Gramedia Jakarta 2001 hal 52. 41 Maryani Katoppo, Op Cit. Hal 40 31 mulai terjadi pada abad ke-20 dan sekitaran tahun 1960-an dan 1970-an, ketika kaum teroris meningkatkan pembajakan pesawat sebagai salah satu bentuk aktifitasnya. Imbasnya kemudian terasa di Indonesia tahun 1981 ketika pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesia dibajak dan dipaksa mendarat di Penang (Malaysia) dan kemudian Don Muang, Bangkok (Thailand).42 Fenomena terorisme betambah menarik karena semula muncul dari kondisi social cultural tertentu, tetapi berkembang pula dimensi internasionalnya. Grant Wardlaw bahkan menyatakan terorisme merupakan sesuatu yang bisa diekspor. Terrorism is now an export industry.43 Bahkan, Collin Wilson menyebut terorisme sebagai The Worlds Most Sinister Growth Industry. Dalam praktiknya, internasionalisasi terorisme tidak hanya berarti bahwa organisasi terorisme yang satu menjadi inspitrasi bagi idea tau kegiatan untuk kelompok lain, tetapi juga ada hubungan timbal balik dalam bidang latihan, dukungan logistik, personal, dan bahkan orientasi ideologis yang sama. Pada perkembangannya istilah terorisme di pakai dalam space yang lebih luas. Karena aksi yang dilakukan oleh para teroris semakin meluas melewati batas-batas satu wilayah negara, akibatnya ancaman kekerasan yang menyertai aksinya dirasakan lebih mengglobal, artinya wilayah-wilayah ikut merasa terancam. Terorisme Internasional juga merupakan ekses dari berakhirnya Perang Dunia II, dimana keamanan negara tidak lagi diukur secara konvensional. Keamanan negara juga sangat memperhitungkan isu-isu lain diluar perang 42 43 Ibid hal 41 Ibid hal 42 32 antarnegara, seperti konflik internal, globalisasi, pasar bebas, termasuk ancaman terorisme. Terorisme Internasional adalah bentuk kekerasan politik yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara. Ia juga dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan diluar ketentuan, diplomasi internasional dan perang. Terminologi terorisme internasional seringkali digunakan dengan tidak hati-hati dalam arti bahwa terorisme tidak hanya masalah-masalah melibatkan antar-wilayah saja, tetapi setiap terorisme mempunyai pengaruh dalam persoalan internasional, tidak peduli apakah ia hanya kelompok marginal atau kelompok teroris secara tidak langsung. Persoalan terminologi ini juga mengalami perdebatan dimana ada penulis yang menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut tidak perlu, karena kata “internasional” tidak pernah secara eksklusif di artikan sebagai hubunganhubungan antar-pemerintah, sebagai contoh internasional secara umum juga dipergunakan untuk budaya, ekonomi, dan aktivitas-aktivitas lain serta transaksitransaksi lain yang melibatkan warga dari negara yang berlainan. Sehingga beberapa penulis lebih suka memakai kata “transnational” bagi kelompok teroris yang secara internasional beroperasi dengan tujuan jangka panjang revolusi global atau menciptakan revolusi dunia. Contoh-contoh gerakan transional terorisme atau terorisme internasional antara lain I.R.A yang menyerang London, Bakkunist Anarchist International yang katif di Eropa pada 1870-an, gerakan Japanese United Army (JPR) yang 33 mempunyai tujuan menciptakan “world revolution”, juga yang terjadi di Taliban dengan Al-Qaidah nya yang menyerang gedung WTC dan Pentagon di AS. Tindakan terorisme juga dapat dikatakan internasional jika ia secara diamdiam berkolaborasi atau beraliansi sesama teroris dan pemerintah, serta dengan gerakan terorime di negara lain. Singkatnya, terorisme menjadi internasional dengan beberapa tindakan atau yang mendukungnya, antara lain: 1. Secara langsung di luar negeri atau dengan target luar negeri; 2. Diselenggarakan oleh pemerintah atau faksi lebih dari satu negara; 3. Juga mempunyai tujuan untuk mempengaruhi kebijakan negara-negara lain.44 44 http://dewitri.wordpress.com/2008/02/01/teroris-sebagai-non-state-actor-baru-dalam-hubunganinternasional/ Diakses tanggal 10 Juni 2011 34 BAB III GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP TERORISME DI ASIA TENGGARA A. Kebijakan Polugri Amerika Serikat Terhadap Terorisme Asia Tenggara Dalam kajian politik luar negeri, perkembangan dan bahkan perubahan baik yang terjadi di lingkungan internasional (eksternal) dan internal suatu negara merupakan faktor-faktor signifikan yang perlu di perhatikan oleh para pengambil keputusan. Perubahan-perubahan fundamental yang terjadi dalam hubungan internasional beberapa waktu terakhir ini, seperti berakhirnya Perang Dingin, bubarnya Uni Soviet, secara faktual telah memaksa aktor negara-bangsa untuk mengubah agenda politik luar negerinya. Secara teoritis, perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem internasional terjadi ketika aktor negara-negara besar melalui politik luar negeri yang di jalankannya, mengubah aturan dan normanorma dalam interaksi internasional mereka. Pola hubungan diplomatik antar negara dengan demikian, tidak saja mempengaruhi hierarki dan stuktur aktor tetapi akan memunculkan pula tingkat yang berbeda dalam tindakan (outcomes) politik luar negerinya. Kendati Amerika Serikat kini muncul sebagai satu-satunya negara adikuasa, namun para pengambil keputusan politik luar negeri Amerika Serikat merasa perlu untuk terus menerus menyesuaikan agenda politik luar negerinya sesuai dengan perubahan sistemik dan situasional yang terjadi di lingkungan eksternal dan internalnya. Dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencerminkan pandangan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal di 35 dunia yang saling membutuhkan dan bergantung dengan negara-negara lain. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai hubungan kerjasama Amerika Serikat dengan berbagai negara di dunia dalam rangka mencapai berbagai tujuan dan kepentingan Amerika Serikat. Pelaksanaan strategi tersebut terutama untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya, Amerika Serikat dapat memanfaatkan sumber daya, seperti perekonomiannya, sekutu-sekutu di bawah kepemimpinan yang tegas dapat menunjang politik luar negerinya. Kekuatan militer yang besar dan diplomasi. Pada kawasan Asia Tenggara, Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat tampaknya tidak berbeda dengan dekade sebelumnya, yaitu kebijakan luar negeri yang ditujukan untuk menghadapi ancaman musuh Amerika Serikat. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara merupakan usaha Amerika Serikat untuk mempertahankan kepentingan dunia bebas dan ancaman ideologi komunis pada saat menghangatnya Perang Dingin. Di tinjau dari sudut kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat tentu tidak dapat membiarkan kekuatan lain ingin menguasai kawasan Asia Tenggara karena tertanamnya modal Amerika Serikat yang tidak sedikit di negara Asia Tenggara yang kaya akan bahan baku dan letaknya yang sangat strategis antara dua benua dan dua samudera. Oleh karena itu maka Asia Tenggara merupakan wilayah yang terus diperhitungkan oleh Amerika Serikat, termasuk juga Indonesia. Terdapat 3 (tiga) kemungkinan bagi Amerika Serikat untuk memainkan peranannya di Asia Tenggara. Pertama, menciptakan stabilitas sambil menguasai dan membawa Asia Tenggara dalam pengaruh Amerika Serikat. Yang kedua, ikut 36 menstabilkan wilayah tersebut secara bersama-sama dengan bangsa-bangsa Asia Tenggara sambil mengimbangi pengaruh-pengaruh komunis yang ingin mempengaruhi kawasan tersebut. Dan yang ketiga seperti yang diinginkan oleh bangsa-bangsa ASEAN agar Asia Tenggara menjadi negara yang aman, damai, bebas, dan netral.45 Secara umum, kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat dalam menghadapi terorisme di kawasan Asia Tenggara adalah sebagai berikut : 1. Mengeluarkan kebijakan Travel Advisory dan Travel Warning terhadap negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki potensi menjadi target serangan teroris seperti Filiphina, Malaysia, Singapura, dan Indonesia bagi warga Negara Amerika Serikat yang akan bepergian ke luar negeri terutama lagi pasca serangan bom Bali di Indonesia. 2. Meningkatkan kuantitas jumlah personil Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Dari jumlah 82.000 personil militer ditingkatkan menjadi 100.000 personil militer Amerika Serikat yang bertugas di seluruh kawasan Asia karena pemerintah Amerika Serikat menilai bahwa di kawasan Asia Tenggara terdapat negara-negara sponsor terorisme dan negara-negara yang dinilai mempunyai gerakan fundamental/militan yang agresif terhadap kemungkinan serangan aksi terorisme. Pemerintah Amerika Serikat juga memprakarsai pertemuan 22 Komandan Militer se Asia Pasifik di Singapura. 45 Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Diplomatic Year Book,1994, Washington DC. Hal 14-15. 37 3. Menggiatkan kampanye Anti Terorisme melalui forum-forum kerjasama regional/internasional seperti APEC (dimana sebagian besar negara-negara kawasan Asia Tenggara menjadi anggotanya) yang melahirkan pernyataan bersama pemimpin Negara anggota APEC yakni tertuang dalam Statementon Recent Acts of Terorism in APEC Member Economics dan APEC leader Statement on Fighting Terorism and Promoting Growth. 4. Selanjutnya, dengan ASEAN, pemerintah AS membuat kesepakatan anti terorisme, dalam ASEAN-US Join Declaration for Corporation to Combat International Terorism yang akan merupakan kerjasama antara Amerika Serikat dengan 10 negara anggota ASEAN mengenai pertukaran informasi intelejen, kerjasama teknis dan upaya bersama menghentikan sumber keuangan jaringan terorisme internasional. Secara khusus, pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan kebijakan yang bersifat bilateral di kawasan Asia Tenggara, yakni : 1. Dengan Malaysia yaitu, pemerintah Amerika Serikat akan membentuk pusat koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Malaysia. Dimana Malaysia bersama-sama dengan Amerika Serikat akan menjadi kordinator untuk semua aktifitas untuk mencegah aksi terorisme di kawasan tersebut. Hal itu merupakan rangkaian penghargaan pemerintah Amerika Serikat terhadap Malaysia atas kerjasama kedua negara memerangi terorisme. Kemudian secara bilateral, kedua negara juga menandatangani kesepakatan anti terorisme ketika kedua pemimpin negara tersebut bertemu di Amerika Serikat pada tanggal 22 Mei 2002. 38 2. Dengan Filiphina. Sebagai salah satu negara sekutu terdekat Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara yang akan menjadi negara penyangga keamanan aset-aset property Amerika Serikat di Kawasan Asia Tenggara maka Amerika Serikat secara bilateral mempunyai kebijakan khusus dengan pemerintah Filiphina yakni : kerjasama militer dalam hal ini latihan bersama yang terintegrasi dengan operasi penyelamatan dua sandera warga negara Amerika Serikat dan sejumlah negara lainnya yang ditawan oleh kelompok terorisme MILF (Kelompok Abu Sayaf di Filiphina Selatan). Kelompok tersebut ditenggarai mempunyai hubungan dengan jaringan terorisme internasional Al-Qaedah dan Operasi Balikatan (Bahu membahu) merupakan wujud dari operasi pelatihan angkatan bersenjata AS-Filiphina dengan 166 personil khusus angkatan bersenjata. Kerjasama militer tersebut tergolong besar untuk sebuah latihan militer bersama yang melibatkan kurang lebih 10.000 personil militer yang diantaranya 4568 serdadu Amerika Serikat, 6 kapal perang yang dimiliki kedua negara dan pesawat pengintai maritim. Kerjasama militer ini berlangsung dari bulan Mei hingga Juli 2002. Di samping itu Filiphina dan Amerika Serikat saling mendukung kebijakan politik luar negeri masing-masing yang berkaitan dengan upaya kedua negara dalam memerangi terorisme. 3. Selanjutnya dengan Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat berusaha dengan hati-hati mewujudkan kebijakan-kebijakan dengan hati-hati untuk memerangi jaringan terorisme di wilayahnya. Dimana Indonesia di mata pemerintah Amerika Serikat merupakan mata rantai yang lemah dalam 39 rangkaian kampanye. Washington memerangi terorisme di Kawasan Asia Tenggara. Hal ini di sebabkan pemerintah Indonesia harus menghadapi resistendi/penolakan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terhadap kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang dinilai mendiskreditkan umat dan kelompok-kelompok fundamental/militan islam di Indonesia yang diduga terkait dengan jaringan terorisme internasional, sehingga pemerintah Amerika Serikat melalui perwakilan resminya terlebih dahulu harus mendekati simpul-simpul kekuatan muslim di Indonesia seperti Ormas Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Kemudian, pemerintah Amerika Serikat juga menitikberatkan kerjasama bilateral di sector militer yang mana di khususkan kepada upaya-upaya perang melawan terorisme internasional yang diduga telah masuk di wilayah Indonesia. Dalam kerjasama tersebut termasuk pemberian dana hibah sebesar 50 juta USD yang akan dialokasikan untuk sector tersebut. Dari 31 juta USD dana tersebut akan dipergunakan untuk pelatihan polisi dan program-program pendukung lainnya (persenjataan dan termasuk teknologi pendukung), 19 juta lainnya untuk pembentukan unit-unit satuan anti terror baru yang lebih professional. Hal ini kembali mencairkan hubungan Amerika Serikat dan Indonesia yang telah beku pasca pelanggaran HAM Timor Timor. Selain itu paska peledakan bom Bali yang juga konsulat Amerika Serikat juga menjadi sasaran semakin mengintensifkan kedua negara menjalankan kerjasama bilateral dalam usaha memerangi terorisme internasional seperti kerjasama antara kepolisian dan intelejen. 40 Dalam masa sebelum terjadinya tragedi 11 September, Indonesia bisa dikatakan tidak menjadi bagian penting dalam Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Ada dua alasan utama mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena faktor historis. Dalam kadar tertentu, perhatian yang kecil dari pembuat kebijakan Amerika Serikat terhadap Indonesia sebenarnya merefleksikan sikap public Amerika Serikat pada umumnya. Jika dibandingkan dengan Filiphina dan Vietnam, publik Amerika memang tidak memiliki sentiment historis yang kuat dengan Indonesia. Indonesia tidak mempunyai pengalaman di bawah pemerintahan Amerika Serikat seperti yang pernah dialami Filiphina. Publik Amerika juga tidak memiliki pengalaman historis yang getir dengan Indonesia seperti dialami tentara Amerika Serikat pada perang Vietnam di awal 1970-an Kedua, karena faktor struktural. Harus diakui, kapabilitas power yang dimiliki Indonesia baik dari dimensi ekonomi, militer, dan politik amat tidak signifikan di tingkat internasional. Untuk kawasan Asia, Amerika Serikat sebenarnya jauh lebih member perhatian kepada China, Jepang, dan India. Secara ekonomi, misalnya, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Jepang.46 Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tragedi 11 September telah mengubah pola Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat termasuk terhadap Indonesia. Secara keseluruhan ada beberapa potensi yang dimiliki Indonesia sehingga menimbulkan ketertarikan Amerika Serikat sehubungan keterlibatan Indonesia dalam kampanye anti terorisme Amerika Serikat. Potensipotensi tersebut adalah : Makmur Keliat, “Hubungan Indonesia-Amerika Serikat”. http://www.kompas.com/Diakses 20 Februari 2011 46 41 a. Penduduk muslim Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Sebagaimana yang diketahui kampanye global anti terorisme Indonesia secara mayoritas ditujukan pada kelompok-kelompok islam radikal seperti Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Potensi yang dimiliki Indonesia ini sangat penting bagi pelaksanaan kampanye anti terorisme Amerika Serikat karena pabila mendapat dukungan dari Indonesia, Amerika Serikat dapat memperbaiki sentiment yang ditujukan pada negara tersebut sebagai negara anti muslim oleh kebanyakan kelompok-kelompok pro Islam di dunia. Sebaliknya, jika Indonesia berada dalam sikap konfrontasi akan meyulitkan posisi Amerika Serikat. b. Indonesia adalah negara penganut sistem demokrasi terbesar ketiga. Bahkan jika melihat berdasarkan jumlah hasil pemilihan umum tahun 1999, Indonesia menjadi negara dengan tingkat partisipasi terbesar kedua setelah India dengan jumlah pemilih 90%.47 Hal ini bisa dijadikan sarana untuk membangun kesamaan antara Indonesia dengan Amerika Serikat sehingga dalam rangka mengimbangi kebertolakbelakangan tentang gerakan radikal islam. c. Frekuensi serangan teroris di Indonesia cukup besar mulai dari dua kali pengeboman di Bali, JW Marriot, Kedutaan Besar Australia, dan beberapa tempat lainnya. Beberapa kejadian itu menjadi indikasi 47 www.kpu.go.id 42 kuat bahwa ada kelompok teroris yang sedang beroperasi di Indonesia. d. Peran strategis Indonesia di Asia Tenggara cukup besar. Kestabilan politik dan keamanan di Indonesia akan mempengaruhi negaranegara Asia Tenggara sehingga juga berpengaruh pada kepentingan Amerika Serikat di wilayah tersebut.48 e. Kondisi dunia Internasional saat ini meningkatkan arti penting Indonesia. Saat ini, mayoritas negara-negara Islam termasuk Indonesia yang seharusnya dekat dengan Amerika Serikat justru tidak digarap dengan baik oleh Amerika Serikat sehingga mulai merapat ke Rival Amerika Serkat yaitu Cina dan Rusia. Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke cina yang disusul dengan kunjungannnya ke Rusia membuat Amerika Serikat terusik. Hal ini disebabkan setelah kunjungan ke Cina dan Rusia, Indonesia dapat menjajaki kemungkinan paket non ekonomi seperti pembelian senjata dan peralatan militer yang tentunya akan membuat Amerika Serikat semakin risau.49 Faktor-faktor tersebut kemudian dijakdikan sebagai bagian dari kepentingan politis Amerika Serikat yang harus ditangani secara tepat dalam kebijan politik luar negerinya. Oleh karena itu, pemerintah Amerika Serikat merasa perlu terlibat dalam penanganan terorisme di Asia tenggara. Wiryono Sastrohandoyo. “US-Indonesia Relations Post 11 September”. http://www.eias.org/publications/briefing/2001/usindonesia911.pdf. Diakses 31 Maret 2011 49 “Isu Terorisme Cermin Kepentingan AS” http://www.beritasore.com/.. Diakses 2 Februari 2011 48 43 B. Bentuk-Bentuk Terorisme di Asia Tenggara Asia Tenggara semakin mendapat sorotan dunia internasional lantaran sejumlah peristiwa teror yang terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah besar dan target serangan yang merupakan simbol-simbol Barat merupakan persamaan dari serentetan teror yang terjadi di Indonesia, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pelaku teror ditengarai suatu kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di Afghanistan, bernama Jemaah Islamiyah. Padahal AQ diindikasikan sebagai kelompok yang bertanggungjawab atas teror 11 November 2001 di AS. Teror memang bukan hal baru di Asia Tenggara, sebab ada beberapa kelompok pemberontak yang kerap menggunakan kekerasan sehingga menyebarkan ketakutan di masyarakat. Berikut ini adalah beberapa kelompok pemberontak dan teroris yang ada di Asia Tenggara. 44 Tabel 1 Kelompok Terorisme di Thailand No Kelompok Terorisme Negara 1 Pattani United Liberation Organisation (PULO) 2 Guragan Mujahiden Islam Pattani Tujuan Pemisahan diri, membentuk Negara islam Thailand Thailand Keterangan Status Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan ASG. Pemisahan diri, membentuk Negara Islam Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI Pemisahan diri, Thailand membentuk Negara Islam Motivasi keagamaan, diduga memiliki hubungan dengan AQ and JI 3 Wae Ka Raeh Sumber : Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/site-resources/image/Gunaratna-Terrorism_in_Southeast/Asia-Threat_and_Response.pdf 45 No. Tabel 2 Kelompok Terorisme di Kamboja Kelompok Teroris Negara Tujuan 1 Kamboja Politik lokal Kamboja Politik lokal Kegiatan Status Cambodian Freedom Fighters (CFF) 2. Khmer Rouge Sumber: Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/siteresources/image/Gunaratna-Terrorism_in_Southeast/AsiaThreat_and_Response.pdf Tabel 3 Kelompok Terorisme di Filiphina No. Kelompok Negara Tujuan Kegiatan Teroris 1. Abu Sayyaf Filipina Pemisahan Motivasi Group Selatan diri, keagamaan, (ASG) membentuk terkait dengan Negara Islam AQ 2. 3. Moro Islamic Liberation Front (MILF) Moro National Liberation Front (MNLF) Filipina Selatan Filipina Selatan Tuntutan Otonomi, pemisahan diri, dan pembentukan negara Islam Tuntutan Otonomi, pemisahan diri Filipina Politik lokal Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS Motivasi keagamaan, terkait dengan JI Ethnonationalis 4. New People’s Army Status Komunis Dimasukkan dalam daftar organisasi teroris oleh AS 46 Tabel 4 Kelompok Terorisme di Myanmar No Kelompok Negara Tujuan Kegiatan Status Teroris 1. Karen National Tuntutan Union otonomi/ Myanmar Ethnonationalis pemisahan diri 2. Kachin Defense Tuntutan Army otonomi/ Myanmar Ethnonationalis pemisahan diri 3. Tuntutan Eastern Shan otonomi/ Myanmar Ethnonationalis State Army pemisahan diri 4. Tuntutan Ommat otonomi/ Myanmar Ethnonationalis Liberation Front pemisahan diri 5. Tuntutan Kawthoolei otonomi/ Muslim Myanmar Ethnonationalis pemisahan Liberation Front diri 6. Muslim Tuntutan Liberation otonomi/ Myanmar Ethnonationalis Organization of pemisahan Burma diri Sumber : Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/siteresources/image/Gunaratna-Terrorism_in_Southeast/AsiaThreat_and_Response.pdf Selain negara-negara di atas, masih ada beberapa negara lagi yang didiami oleh kelompok jaringan terorisme seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di negara ini terdapat kelompok atau jaringan terorisme yaitu Jamaah Islamiah. Di kawasan Asia Tenggara peristiwa teror banyak terjadi di Indonesia, Filipina dan Thailand. JI diduga berada di balik teror yang melanda Indonesia, 47 sedangkan Abu Sayyaf bertanggunggawab atas teror yang terjadi di Filipina, dan kelompok pemberontak adalah pihak yang kerap menebar ketakutan lewat sejumlah aksi kekerasan di Thailand. Tidak mengherankan jika 3 kelompok tersebut, utamanya JI, paling sering disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggungjawab apabila terjadi insiden teror. a. Jamaah Islamiyah Kelompok ini berakar dari Darul Islam, yakni sebuah gerakan yang menginginkan diterapkannya hukum Islam di Indonesia. Darul Islam berkembang di akhir tahun 1940an dan terus berupaya melawan pemerintahan RI. Pada 1969, Abu Bakar Ba’asyir bersama dengan Abdullah Sungkar diduga melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam. Menurut PG Rajamohan dalam tulisannya tentang JI, di era pemerintahan Soeharto, Ba’asyir pernah dijebloskan ke penjara tanpa peradilan lantaran dinilai membahayakan. Karenanya usai keluar dari penjara, Ba’asyir memilih pergi ke Malaysia pada 1985 dan menjadi guru mengaji. Saat itulah dia dianggap sebagai pendiri JI, di mana pengikutnya tersebar hingga di luar Malaysia. Ba’asyir bahkan merekrut sukarelawan untuk berjuang melawan Brigade anti-Muslim Soviet di Afghanistan. Pada 1990, Ba’asyir bertemu Hambali, seorang pria yang menginginkan berdirinya kekhalifahan Islam di Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunai dan Kamboja. Kemudian Ba’asyir 48 menjadi pemimpin politik organisasi tersebut, sedangkan Hambali menjadi pemimpin militer. Bahkan Hambali mendirikan perusahaan Konsojaya untuk memfasilitasi pencucian uang sebagai bentuk dukungan pada keuangan dan logistic JI. Meski demikian Ba’asyir menyatakan dirinya tidak terkait dan tidak tahu menahu tentang JI. Rajamohan berpendapat, JI mendukung gerakan Islam di seluruh dunia. Berdasarkan laporan AS, banyak pemimpin JI yang mendapat pelatihan di camp teroris Pakistan dan Afghanistan. Karena itulah mereka memiliki hubungan dekat dengan Al Qaeda dan Taliban. Lebih dari itu, AQ juga diyakini sebagai sumber pendana utama bagi JI dan menyediakan logistik untuk mendukung kegiatan teroris. Peneliti terorisme Sydney Jones memaparkan, JI dibagi dalam 4 wilayah operasi di Asia Tenggara, yakni: Mantiqi 1: Malaysia, Singapura dan Thailand Selatan. Menitikberatkan pada pendanaan. Mantiqi 2: Indonesia (Jawa dan Sumatera). Dititikberatkan sebagai wilayah jihad. Mantiqi 3: Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia Timur, Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi). Dititikberatkan sebagai daerah pelatihan. Mantiqi 4: Australia. Menitikberatkan pada aspek ekonomi dan pendanaan.50 Tujuan utama dari JI adalah membentuk Negara Islam yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina. Aksi teror yang dilakukan 50 http://www.nctc.gov/site/groups/asg.html Diakses 10 Juni2011 49 JI seperti terlihat dalam pengeboman di Bali dan di Jakarta adalah tipikal AQ, di mana yang menjadi target serangan adalah kepentingan AS dan sekutunya. Sejak tahun 2000, JI aktif melakukan teror yang antara lain dengan melakukan pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005, pengeboman Kedubes AS di Jakarta, pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta pada 2004, dan yang terbaru adalah pengeboman Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta pada pertengahan 2009. Deplu AS menyatakan, pada 2001 diperkirakan ada 200 kegiatan yang dilakukan anggota JI di Malaysia. Di saat yang sama, pemerintah Singapura memperkirakan total anggota JI hampir 5.000 orang. b. Abu Sayyaf Group (ASG) Kelompok Abu Sayyaf terbentuk pada 1991 dan berlokasi di Filipina selatan. Pendirinya adalah Abduragak Abubakar Janjalani yang tewas tertembak oleh polisi pada 1998. Pemimpin selanjutnya yakni Khaddafi Janjalani pernah masuk dalam daftar teroris paling dicari oleh FBI sebelum tewas pada 2006. Jumlah anggotanya kadang menurun dan di waktu lain meningkat tajam, bahkan pernah tercatat ada 4.000 orang yang menjadi anggota aktif. Tujuan kelompok ini adalah mendirikan negara Islam di Mindanao Barat dan di Kepulauan Sulu untuk selanjutnya mendirikan pan negara Islam di Asia Tenggara. ASG dikenal sebagai kelompok separatis paling keras. Mereka menggunakan teror untuk mendapatkan keuntungan finansial ataupun dalam menyerukan jihad. Kelompok ini tidak segan-segan menculik, mengebom, membunuh, dan juga pemerasan. ASG ditengarai memiliki keterkaitan dengan JI 50 karena mereka pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota JI dari Indonesia yang menjadi buron. Aksi kekerasan di Filipina juga dilakukan kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang beroperasi di Mindanao, Kepulauan Sulu, Basilan dan Jolo. Sejak 1978 kelompok ini telah melakukan pemberontakan bersifat militer terhadap pemerintahan Filipina. Anggota organisasi ini sebelumnya tergabung Moro National Liberation Front (MNLF). Pemisahan dilakukan karena MNLF bersedia berdamai dengan pemerintah. Seperti halnya dengan ASG, MILF juga memiliki hubungan istimewa dengan JI. MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kampkamp yang dimilikinya. Kelompok ini juga kerap memberikan bantuan kepada ASG yang beroperasi di Basilan dan Jolo. 51 Tabel 5 Keterkaitan Kelompok Pengguna Teror di Asia Tenggara Kelompok ASG MILF Pemberontak di Thailand MILF telah memberikan izin untuk dilakukannya latihan militer bagi anggota JI di kamp-kamp Bersama dengan JI, yang dimilikinya. ASG pernah kelompok memberikan tempat pemberontak WKR perlindungan bagi Mantiqi 3 yang juga bergabung dan JI anggota JI dari meliputi Filipina Selatan berjuang bersama Indonesia yang memiliki hubungan dekat kaum Mujahidin di menjadi buron. dengan MILF dalam Afghanistan. mendapatkan senjata dan bahan peledak untuk mendukung pelatihan dan operasi. MILF pernah mengirimkan sekitar 700 anggotanya untuk mengikuti pelatihan Pendiri ASG adalah militer dan bergabung teman dari petinggi dengan mujahidin di AQ, Osama bin Laden Afghanistan. dna telah mengikuti pelatihan pada akhir MILF mendapatkan 1980 di dekat Khost, pbantuan pelatihan dari WKR membantu Afghanistan. AQ yang dilakukan di mujahidin berjuang AQ Mindanao dan Afghanistan. Pada Desember 1991 Afghanistan. hingga Mei 1992, seorang anggota Al Salah satu anggota AQ Qaeda mendapat tugas membuat organisasi amal melatih anggota ASG di Filipina untuk untuk membuat bom. menyediakan bantuan melalui pendanaan pembangunan di bawah kontrol MILF. Sumber : Rohan Gunaratna, 2006. Terroris in Southeast Asia : Threat and Response. http://counterterrorismblog.org/site-resources/image/Gunaratna-Terrorism_in_Southeast/Asia-Threat_and_Response.pdf 52 Peristiwa kelam 11 September 2001, menjadi amanat bahwa tidak satu negara pun yang luput dari ancaman terorisme jika meninggalkan kewaspadaan sekalipun negara sekaliber Amerika Serikat. Peristiwa 11 September, juga mengungkap sisi internasional dari sebuah aksi terorisme, yaitu para pelakunya yang tidak hanya terdiri dari satu kewarganegaraan saja, melainkan sebuah jaringan hydranik yang terpencar ke berbagai pelosok dunia. Peristiwa itu juga menyadarkan dunia bahwa kelompok islam radikal atau militant dapat menjadi ancaman potensial bagi stabilitas keamanan global. Serangan teroris atas sasaran sipil dan militer di Amerika Serikat tersebut telah meningkatkan kekhawatiran terhadap keberadaan perkembangan kelompok-kelompok islam militant di seluruh penjuru dunia, termasuk Asia Tenggara. Hampir seluruh negara di ASEAN merasakan adanya pengaruh negative dari keberadaan kelompok-kelompok militant di wilayahnya. Indonesia sebagai negara ASEAN dengan jumlah umat islam terbesar memang selama ini menjalankan syariah islam dengan moderat. Namun, tentu diantara moderatnya 200-an juta penduduk muslim Indonesia, keberadaan minoritas tetap di rasakan mengganjal dan siap menjadi titik api konflik di kemudia hari. Terbukti kemudian dalam peristiwa rentetan terror bom dari bom Bali, bom hotel, dan baru-baru ini bom buku yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia yang menelan korban yang tidak sedikit. Demikian pula dengan Filiphina. Negara tetangga Indonesia ini sudah kurang lebih 35 tahun berperang dengan Gerilyawan muslim Moro. Bahkan kebijakan keras Manila terhadap islam ekstrimis pimpinan Nur Misuari tersebut berkali-kali menganggu hubungan diplomatiknya dengan Negara-negara lainnya. 53 Thailand dan Malaysia juga sempat berselisih paham mengenai keberadaan kelompok radikal islam yang kerap melakukan aksi terror di kedua negara tersebut. Kelompok militant Radiatul Amien tersebut terkonsentrasi di wilayah selatan Thailand, akan tetapi di motori oleh tokoh-tokoh berkewarganegaraan Malaysia. Namun berbeda dengan kawasan Timur Tengah dan Amerika Serikat, aksi terorisme di wilayah Asia Tenggara tergolong minim. Hal ini di duga erat kaitannya dengan genesis terorisme yang pada hakikatnya adalah semangat pembebasan dan imprealisme, sedang Negara-negara Asia Tenggara sendiri identik sebagai korban kolonialisasi dan imprealisme di masa lalu. Sejauh ini memang jika di tinjau dari segi kuantitas, Asia Tenggara tidak separah kawasann lain. Dalam sebuah survey di sebutkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, Asia Tenggara hanya mengalami 186 kali aksi terorisme. Angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan 2.073 kejadian di Negara Eropa, 1.621 kejadia di Amerika Latin, 1292 kejadian di Asia Barat , atau 1.362 kejadian di Afrika. Itu pun dari segi kualitas aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara kurang mendapat ekspos ketimbang aksi terror di kawasan-kawasan lainnya. Kalaupun sempat terjadi aksi terorisme mengejutkan seperti pembajakan pesawat di kawasan Asia Tenggara, maka satu-satunya peristiwa adalah pembajakan pesawat milik Garuda Indonesia di Don Muang, Thailand 28 Maret 1981. Aksi tersebut dilakukan oleh lima orang yang menklaim diri sebagai bagian dari kelompok islam garis keras Indonesia “Komando Jihad”, yang sudah 54 melakukan berbagai aksi sabotase terhadap fasilitas-fasilitas milik pemerintah Indonesia semenjak pertengahan 1970-an. Semula Thailand menolak dengan halus penggunaan militer asing di wilayah teritorialnya. Akan tetapi setelah melalui tekanan Amerika Serikat dan berkat pengertian semangat kebersamaan ASEAN, Thailand memperbolehkan Indonesia melakukan operasi komando di teriotorialnya guna membebaskan para penumpang dan awak pesawat tersebut. Operasi militer yang di eksekusi oleh 35 pasukan khusus Indonesia itu berhasil membebaskan semua sandera kendati menewaskan pilot pesawat dan melukai seorang anggota regu penyelamat. Sejak peristiwa pembajakan tersebut, praktis tidak ada tindak terorisme yang mengejutkan di wilayah Asia Tenggara hingga dekade 2000-an. Pasca perubahan struktural di Indonesia, pertengahan 1998 barulah terdengar kembali tindak kekerasan bernuansa terorisme yang menelan korban jiwa. Bulan Agustus 2000 sebuah bom plastic C4 menghancurkan kedutaan besar Filiphina, beberapa hari sebelum sebuah bom berkekuatan besar sedang meledak di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) menewaskan 10 orang. Tiga bulan kemudian serangkaian ledakan bom di berbagai kota terjadi pada malam 24 Desember 2000. Beberapa waktu kemudian giliran Graha Cijantung di ledakkan tak lama berselang dengan serankaian ledakan bom serupa di Makati, Filiphina, Juni 2000. Atas maraknya aksi terror di wilayah Asia Tenggara, mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, pada surat kabar The Strait Times mengungkapkan keprihatinannya atas sikap lamban pemerintah Indonesia yang 55 belum juga menangkap tokoh-tokoh teroris yang berada di Indonesia. Lee juga menyebut bahwa aksi pengeboman di sebuah pusat perbelanjaan Singapura pada awal Juli 2002 akibat tidak adanya kerjasama antar Negara sekawasan untuk mengantisipa aksi terorisme. Salah satu indikasi pelaku peledakan adalah warga Negara Malaysia dengan bahan peledak yang sejenis dengan bom Atrium Senen dan Balaikota Makati. Pernyataan pejabat senior Singapura tersebut ditanggapai keras oleh Indonesia hingga hubungan bilateral keduanya sempat mendingin. Hanya berselang beberapa waktu setelah peristiwa gedung kembar World Trade Center di Amerika Serikat, Asia Tenggara kembali di kejutkan oleh aksi terorisme spektakuler. Ledakan bom di Kuta, Bali yang menelan korban jiwa ratusan orang adalah tindak terorisme terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Peristiwa tersebut seolah menyadarkan semua pihak bahwa tindak terorisme bisa terjadi kapan dan dimana saja. Tindak terorisme tidak memilih-milih tempat, apakah ia dilakukan di Negara yang sedang bermusuhan dengan Negara asal pelaku terorisme ataukah di Negara yang selama ini sudah di pusingkan dengan urusan dalam negeri, seperti Indonesia. Peristiwa bom Bali 12 Oktober 2001, telah meninggalkan pesan bahwa tidak ada satu pun kawasan di dunia ini yang aman dari serangan teroris. Itu berarti Asia Tenggara termasuk salah satu kawasan yang rawan akan serangan maupun tindak pidana terorisme lainnya. Pada peristiwa bom Bali, yang mengejutkan masyarakat internasional sebenarnya merupakan suatu peristiwa yang dapat di perkirakan sebelumnya andaikata negara-negara ASEAN telah 56 menerapkan kerjasama intelejen untuk mengantisipasi aksi terorisme yang dimaksud resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373. Indikasi-indikasi ke arah tersebut sebenarnya sudah nampak. Beberapa hari sebelum peristiwa ledakan, Pemerintah Amerika Serikat sudah mengingatkan akan ada serangan teroris kepada kedutaan-kedutaan besarnya di negara-negara Asia Tenggara. Dua hari sebelum kejadian, Amerika Serikat mengancam akan menarik seluruh korps diplomatiknya di Indonesia jika Indonesia tidak serius menanggapi peringatannya. Duta Besar Amerika Serikat, yang di dampangi Direktur CIA untuk kawasan Asia Tenggara menyampaikannya secara langsung kepada Panglima TNI. Sayangnya, reaksi para elit pemerintahan Indonesia cenderung negatif. Permintaan bantuan keamanan ekstra dari sejumlah kilang minyak milik Amerika Serikat di tanggapi dingin. Selang beberapa hari setelah ledakan bom Bali Otoritas keamanan Singapura menahan para Tokoh Rabiatul Mujahedeen, yang di golongkan sebagai sel jaringan Al-Qaeda. Menurut pemerintah Singapura dari pengakuan tersangka tersebut di sebutkan aksi-aksi terrorisme di Asia Tenggara erat kaitannya dengan upaya penciptaan Pan Islam yang meliputi Singapura, Malaysia, Filipjina, dan Indonesia. Untuk melancarkan rencana tersebut mereka akan mengadakan terror terhadap kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara dan mengobarkan isu-isu rasialis, etnisitas, agama, dsb, karena cara-cara itulah yang dipandang efektif untuk menghancurkan wibawa status quo. 57 Malaysia tidak ketinggalan dengan negara tetangganya. Selang beberapa hari setelah tragedy bom Bali Dr. Mahatir Mohammad memerintahkan penangkapan terhadap tokoh-tokoh Jamaah Islamiyah (JI) di negara itu. Malaysia, Singapura, dan Filiphina menyebut Jamaah Islamiyah sebagai sel jaringan Al Qaedah di Asia Tenggara. Di kawasan Asia Tenggara ini, Jamaah Islamiyah menghimpun sembilan organisasi radikal islam dari tiga Negara yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura, termasuk Rabiatul Mujahideen. Menurut Deputi Perdana Menteri Malaysi pada waktu itu, Tengku Abdullah Ahmad Badawi, Jamaah Islamiyah di duga kuat berupaya mendirikan kekhalifaan islam raya di Asia Tenggara yang nantinya merupakan gabungan wilayah Indonesia, Malaysia, dan Filiphina. Untuk itu, pemerintahan sekuler harus di gulingkan. Lebih lanjut, Ahmad Badawi juga mengingatkan Bahwa Malaysia cukup potensial menjadi pusat konsentrasi baru kegiatan terorisme mengingat semakin meningkatnya kegiatan kaum militan (islam) di negara tersebut. Pernyataan ini disampaikan Deputi Perdana Menteri tidak lama setelah pihak kepolisian Malaysia menyergap 13 orang penyelundup senjata di lepas Pantai Tawau, Sabah, pada tanggal 6 Juli 2002. Dari penyergapan tersebut ditemukan senapan serbu buatan Amerika Serikat jenis M16 sebanyak 15 pucuk, 2 pistol jenis Glock dan ribuan butir amunisi 7.62mm. Dua diantara penyelundup itu belakangan diketahui warga Negara Indonesia anggota Majelis Mujahidin dan sisanya adalah warga Negara Malaysia anggota Rabiatul Mujahideen. Selang beberapa hari kemudian pemerintah Malaysia menangkap 10 orang anggota Majelis Mujahideen yang menurut pemerintah setempat ingin membentuk 58 sebuah negara islam yang mirip dengan pemerintahn Taliban di Afghanistan. Dari kesepuluh orang tersebut sasaran utama Malaysia adalah tokoh muda Majelis Mujahidin bernama Adli Nik Abdul Aziz yang diduga kuat merencanakan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mahatir, dan terlibat dalam pengiriman Laskar Jihad Malaysia ke Maluku, Indonesia, yang tengah di landa konflik SARA. Bersama Sembilan orang rekannya, Abdul Aziz dikenakan hukuman dua tahun penjara berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang memang mengijinkan pemerintah melakukan penahanan terhadap setiap pelaku ancaman tanpa perlu proses hukum. Tragedi Bali pada akhirnya menjadi semacam lonceng yang dengan suara lantang menegaskan bahwa memang terorisme ada di kawasan Asia Tenggara, di negara ASEAN. Tidak ada satupun pemimpin negara ASEAN, bisa dikatakan demikian, yang berani menyatakan bahwa tidak ada aksi terorisme di negaranya. Filiphina dicengkam ketakutan setelah terjadi ledakan lima bom hampir bersamaan di Metropolitan Manila yang menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 200 orang lainnya. Itulah sebabnya, Pemerintah Filiphina secara tegas juga menyatakan perang terhadap terorisme. Aaparat keamanan sendiri kemudian membekuk Dompol Ijajil Faisal yang dituduh sebagai pelaku pengeboman tersebut. Dari hasil pemeriksaan di ketahui bahwa tersangka Faisal adalah salah seorang anggota Abu Sayyaf . Tidak berapa lama kemudian, aparat keamanan Filiphina kembali melakukan penangkapan. Kali ini giliran warga Negara Indonesia bernama Fathur Rahman Al-Ghozi yang diciduk di perkampungan muslim Manila. Al Ghozi ditahan, meski berhasil melarikan diri atas 59 keanggotannya di Jamaah Islamiyah disamping tuduhan menyelundupkan bahan peledak dan senjata api ke Filiphina. Indonesia justru melakukan hal yang sebaliknya. Yang terjadi Indonesia malah melakukan kampanye anti barat termasuk aksi sweeping terhadap warga Negara asing di berbagai kota. Setelah ledakan terjadi, tudingan segera diarahkan pada badan intelejen America Serikat atau CIA atau Mossadnya Israel sebagai pelaku bom Bali. Lebih tepatnya opini yang berkembang dari elit politik hingga masyarakat umumnya mengarah pada kerjasama elemen-elemen tertentu yang tidak puas di tubuh militer (TNI) dengan CIA atau Mossad. Tujuannya yaitu mempermalukan pemerintah saat ini. Maka iniloah jalan bagi kalangan militer pro Amerika Serikat dan Yahudi untuk kembali ke tahta kekuasaan.Opini umum lainnya yang tak kalah simplitis menyebut elemen-elemen garis keras di tubuh militer (TNI) yang justru bekerjasama dengan jaringan Al-Qaedah di Asia Tenggara (Jamaah Islamiyah) untuk mendongkel kalangan pro Amerika Serikat dan Israel. Kerjasama ini telah terbina sejak konflik kemanusiaan di Maluku dan Poso dengan metode yang sama untuk menurunkan pemerintah yang di anggap korup dan tak berwibawa. Tidak heran jika insiden pecah di Ambon dan Poso sesaat ledakan bom di Kuta. Proses disinformasi ini berkembang demikian cepat sehingga tersebar sebagai persepsi umum dan membentuk opini publik di Indonesia. Amerika pun menjadi berang dan sebagai tanda kemarahannya Amerika Serikat memanggil pulang sebagian besar staf kedutaan, menghentikan segala bentuk kerjasama kemitraan yang mengakibatkan dipulangkannya empat instruktur tamu asal 60 Amerika Serikat di kepolisian Sumatra Selatan, dan menghimbau seluruh warga negaranya untuk meninggalkan Indonesia. Belum cukup, Amerika juga memindahkan impor produk tekstilnya ke RRC, sehingga membuat dunia tekstil Indonesia tenggelam dalam krisis. Dampak terburuk yang diterima Indonesia bukan hanya sektor tekstil, melainkan kehancuran industry pariwisata. Para wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali dalm kondisi normal mencapai 5000 orang, kini hanya sekitar 1500 orang. Jika dikalkulasi selama ini seorang wisatawan membelanjakan ratarata 400 USD, maka Indonesia kehilangan pendapatan pariwisata sebesar 600.000 USD atau sekitar 5,4 miliar rupiah setiap harinya. Angka yang tidak kecil. Angka tersebut belum termasuk kerugiaan gulung tikarnya industry pariwisata seperti berbagai home industry cindera mata, perusahaan-perusahaan penyewaan, dan menurunnya tingkat hunian hotel yang berujung pada pemutusan hubungan kerja. Reaksi positif Indonesia terhadap pemberantasan terorisme walau dinilai lamban akhirnya muncul. Menanggapi tuntutan internasional akan perlunya sebuah perangkat hukum untuk menjerat para pelaku terorisme pemerintah Negara itu pun mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/2002 tentang pemberantasan tindak terorisme . Salah satu tindakan nyata yang diambil adalah penangkapan terhadap pimpinan pusat Majelis Mujahidin Abdullah Abu Bakar Ba’asyir. Menurut kepolisian, Ba’asyir di tangkap atas tuduhan melakukan perintah aksi-aksi terorisme dan rencana pembunuhan terhadap Mantan Presiden Megawati. Sedangkan oleh Malaysia dan Singapura Ba’asyir dituduh sebagai dalang berbagai peristiwa terror yang dilancarkan oleh kelompok Jamaah 61 Islamiyah dan sel Al-Qaeda lainnya bersama pucuk pimpinan lainnya bernama Ridwan Isamuddin alias Hambali yang diringkus oleh Badan Intelejen Amerika Serikat (CIA) di New York. Menurut CIA, Hambali diduga kuat adalah komandan operasi Al-Qaeda untuk kawasan Asia Tenggara. 62 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Respon Amerika Serikat Terhadap Terorisme di Asia Tenggara Dalam merespon serangan terorisme tanggal 11 September, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan. Hal ini pada gilirannya telah mempebgaruhi konstelasi politik internasional. Respon AS memang cukup keras, Presiden George Walker Bushmenegaskan hal tersebut dengan pernyataannya bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan aksi-aksi ini dan pihak yang melindungi mereka.51 Dengan sikapnya yang keras ini, Amerika Serikat tampaknya ingin melahirkan semacam struktur bipolar baru yang memperumit pola-pola hubungan antar negara. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you are wit the terrorist”, secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.52 Tragedi 11 September, juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan Amerika Serikat dalam menentukan penilaiannya terhadap negara lain. Sekarang ini, Amerika Serikat memiliki kecenderungan untuk lebih menghoraukan masalah terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa Presiden Perves Musharraf di Pakistan naik ke panggung kekuasaan melalui kudeta militer, misalnya, tidak lagi menjadi Rensselaer Lee and Raphael Perl. “Terorism, the Future, and US Foreign Policy”. CRS Issue Brief for Congress, 2002 hal 1. 52 Rizal Sukma. “Keamanan Internasional Pasca 11 September : Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional” hal 4. 51 63 penghalang bagi Amerika Serikat untuk menjalin aliansi anti-terorisme dengan negara itu.53 Dengan kata lain, Amerika Serikat tampaknya cenderung menjadikan “komitmen” melawan terorisme-dibandingkan dengan komitmen terhadap demokrasi dan HAM-sebagai alat menilai siapa lawan dan kawan. Akibatnya, telah terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan HAM menjadi perang melawan terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan Amerika Serikat secara langsung. Akumulasi dari pandangan-pandangan inilah yang digunakan Amerika Serikat sebagai landasan paradigm anti-terorismenya yang kemudian menjadi awal “kebangkitan” negara tersebut. Meskipun sebelum tanggal tragedi 11 September, telah ada indikator menuju hal tersebut, akan tetatpi pada akhirnya tragedi 11 September, inilah yang telah memberikan sebuah titik balik kepada pemerintah Amerika Serikat melalui pelaksanaan kampanye anti-terorisme secara luas. Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai kejahatan politik. Definisi itu diberikan pemerintah Amerika Serikat mengenai terorisme adalah “the unlawful use or threat of violence against persons or property to futher political or social objectives”. Untuk itu sejak awal pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas, tidak melakukan kompromi, dan menolak melakukan negosiasi dengan kelompok terorisme karena menganggap negosiasi hanya akan memperkuat posisi kelompok terorisme tersebut. Pemerintah Amerika 53 ibid 64 Serikat menolak setiap upaya negosiasi dengan kelompok teroris, baik itu berupa upaya pembayaran tebusan, perubahan kebijakan, penukaran atau pembebasan tawanan. Sikap Amerika Serikat ini kemudian diikuti oleh negara barat sekutunya. Sikap tegas pemerintah Amerika Serikat terhadap masalah terorisme ini juga di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terorisme dianggap sangat membahayakan kepentingan nasional Amerika Serikat. Terutama karena seringnya warga negara, gedung kedutaan maupun perusahaan milik Amerika Serikat menjadi sasaran tindakan terorisme. Antara tahun 1995-2000, 109 warga negara Amerika Serikat terluka setiap tahunnya akibat terorisme. Kedua, tindakan terorisme juga seringkali dianggap mengganggu proses perdamaian yang telah diupayakan Amerika Serikat selama lebih dari dua puluh tahun di Timur Tengah dalam masalah konflik Arab-Israel. Ketiga, terorisme juga mengancam stabilitas keamanan di negara-negara yang menjadi aliansi Amerika Serikat. Keempat, terorisme selalu terkait dengan tindakan kekerasan sehingga dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM. Dengan keempat faKtor di atas yang dianggap sangat merugikan kepentingan Amerika Serikat, maka negara ini merasa berhak berada di posisi paling depan dalam upaya melawan terorisme internasional. Sejak 25 Desember 2001, Amerika Serikat memberlakukan UU baru yang di sebut Patriot Act 2001. Undang-undang ini dengan keras menyatakan menentang terorisme dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau bersentuhan dengan aksi terorisme dinyatakan dilarang. Terutama, larangan pemberian bantuan dana pada jaringan terorisme harus diberlakukan. Dalam upaya melawan 65 terorisme ini, Amerika Serikat juga menggunakan kekuatan ekonominya sebagai senjata, selain dengan cara embargo ekonominya sebagai senjata yang sudah lazim dipergunakan di dalam hubungan internasional, Amerika Serikat juga berusaha mematikan seluruh jaringan bisnis dari kelompok yang di curigainya sebagai kelompok teroris dan pendukungnya di seluruh dunia. Meskipun diyakini Undang-Undang ini belum sempurna, karena dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan hak kebebasan sipil warga negara sebab memberikan kekuasaan kepada polisi dan pihak intelejen untuk melakukan semua tindakan yang dianggap perlu demi memberantas terorisme dan pihak yang diduga melindungi dan memberikan bantuan keuangan terhadap gerakan ini. Kongres bersedia mengesahkan dalam waktu singkat. Terorisme merupakan kejahatan terhadap sipil, karena pada akhir rakyat yang tidak berdosa yang menjadi korban paling banyak dalam setiap kejahatan teroris, untuk itu perang terhadap terorisme tidak dapat di tangguhkan lagi dan tragedy Black Tuesday tidak boleh terulang kembali.54 Hal ini menjadi factor. Kongres Amerika Serikat menyetujui anggaran sebesar 14 milyar dollar untuk program pemberantasan terorisme, termasuk dalam usaha ini adalah bantuan pembaruan hukum kepada negara lain sehingga setiap negara yang mendukung pemberantasan terorisme memiliki landasan dalam tindakannya. Pembaharuan bidang hukum itu lebih diutamakan, sebab Amerika Serikat ingin pemberantasan terorisme di seluruh dunia harus tetap mengacu pada hukum. Terorisme dianggap bukan sekedar ancaman fisik atau keamanan, melainkan tindakan multi sektor, 54 Collin Powel, A Strategy of Patnership, Foreign Affairs, 2004, hal.22 66 sehingga harus dihadapi dari berbagai bidang secara bersama-sama. Pembaharuan hukum itu, terutama diarahkan untuk menghadapi dan membekukan financing terrorism. Setiap negara diharapkan mempercepat pembuatan peraturan yang melarang perijinan money loundering , dan menghalangi masuknya uang teroris ke dalam industri legal di Amerika Serikat dengan pasal hukum yang disebut Willfull Blindes. Amerika Serikat juga menggunakan beberapa strategi containment policy yang pernah digunakan dalam era Perang Dingin, yaitu pemberian bantuan social dan ekonomi dengan tujuan pembangunan semacam Marshal Plan di Eropa setelah Perang Dunia II berakhir. Penyebarluasan nilai-nilai demokrasi yang dianut Amerika Serikat melalui berbagai kerjasama antara LSM dan organisasiorganisasi pemerintahan Amerika Serikat, maupun pembentukan pemerintahan baru yang pro demokrasi. Kemiskinan dianggap merupakan salah satu factor yang menyebabkan kelompok-kelompok teroris di negara berkembang. Dengan menguatnya ekonomi dan menyebarluaskan kemakmuran di wilayah-wilayah yang rentan terhadap terorisme dianggap dapat membantu menciptakan stabilitas dan perdamaian dunia. Meskipun dianggap kurang efektif dibandingkan penggunaan kekuatan militer, strategi semacam ini tetap perlu dilakukan demi kepentingan jangka panjang. Sebagian pihak bahkan menyanggah kemiskinan sebagai factor yang melahirkan terorisme juga lahir di negara-negara maju dan relative makmur. 67 Osama Bin Laden sendiri lahir dari keluarga kaya dan berpengaruh di Arab Saudi. Sehingga, upaya perlawanan terhadap terorisme melalui upaya pengentasan kemiskinan oleh Marshal Plan dianggap kurang efektif. Kebijakan Amerika Serikat yang cukup kontroversial lainnya adalah UU The Anti-Terorism dan Efektive Death Penalty Act tahun 1996, yang secara umum melegitimasi setiap kebijakan pemerintah memerangi terorisme di dalam dan di luar negeri. Termasuk dalam kewenangan pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan UU ini adalah melakukan ekstradisi bagi para teroris yang melakukan penyerangan terhadap warga negara dan property Amerika Serikat untuk diadili di Amerika Serikat, dan pemerintah Amerika Serikat juga berhak membekukan aset keuangan pihak-pihak yang dicurigai melakukan kegiatan terorisme di Amerika Serikat. Hal itu tentu saja menimbulkan polemik dalam hubungan bilateral Amerika Serikat dengan negara lain yang tidak mudah diselesaikan karena tidak semua negara mau menyerahkan warga negaranya untuk di adili di Amerika Serikat, terlebih lagi karena berdasarkan UU yang terbukti bersalah melakukan terorisme dapat dijatuhi hukuman mati. Amerika Serikat bergabung dengan banyak negara untuk melawan teroris. Kerjasama atau koalisi pemberantasan teroris ini berlandaskan empat prinsip. Pertama, tidak ada konsesi terhadap terorisme dan akan menolak untuk tawarmenawar dengan mereka. Kedua, bertujuan unuk membawa teroris guna diadili terhadap kejahatan yang telah dilakukannya. Ketiga, akan mengisolasi terorisme agar mau mengubah sifatnya. Keempat, akan memperkuat kemampuan antiterorisme diantara negara yang mau bekerjasama dan yang membutuhkan 68 bantuan. Amerika Serikat mempunyai program pelatihan anti-terorisme yang di tawarkan kepada sejumlah negara sahabat. Hingga tahun 2001 telah lebih dari 15.000 personel dari 80 negara pernah ikut serta dalam pelatihan ini. Berbagai upaya melawan terorisme internasional ini terus diambangkan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena organisasi teroris juga semakin beragam dalam memotivasi kegiatannya juga semakin canggih baik dalam persenjataan dan pengorganisasiannya. Secara sepihak, upaya yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah pertama, mengisolasi negara memberikan dukungan terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua, memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak upaya tawar menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris. Kebanyakan tindakan terorisme terhadap Amerika Serikat ditujukan kepada Amerika Serikat dilakukan diluar negeri, sehingga upaya melawan terorisme internasional ini Amerika Serikat jelas memerlukan dukungan negara-negara lain karena masalah terorisme internasional ini sangat kompleks dan harus ditanggulangi dengan kerjasama. Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau melindungi kelompok terorisme. Hal ini penting dilakukan karena selama masih ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok persenjataan, maupun memberikan bantuan logistic maka upaya pemberantasan terorisme akan sulit dilaksanakan. 69 Setiap tahun Amerika Serikat melakukan pemetaan dan menganalisa kebijakan setiap negara terhadap terorisme dalam tiga kelompok, yaitu negara sponsor terorisme dan negara-negara tidak sungguh-sungguh menanggulangi kegiatan terorisme. Kebijakan yang diterapkan apakah itu tekanan ekonomi, diplomatic, maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait. Contoh upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam melawan terorisme dalam melalui tekanan ekonomi. Amerika Serikat akan memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor internasional kepada negara pendukung terorisme. Sehingga, negara-negara tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk melakukan pembangunan nasionalnya. B. Strategi Kebijakan Amerika Serikat Dalam Menghadapi Terorisme Di Asia Tenggara Peristiwa peledakan bom di Legian, Bali (2002), telah membawa makna tersendiri bagi masyarakat akan bahaya perkembangan teror-teror dalam entitas masyarakat sipil di Indonesia. Tragedi yang memiliki dampak sangat besar serta membawa trauma yang mendalam bagi pemerintah (khususnya pada saat itu Pemerintahan Megawati) dan masyarakat dalam melihat perkembanganperkembangan tindakan terorisme. Dalam menangani aksi teroris itu, Indonesia perlu meyakinkan masyarakatnya bahwa ancaman teroris sudah mencapai tahap yang sangat membahayakan. Oleh karena itu Indonesia melakukan langkah pro aktif untuk 70 memerangi aksi teror tersebut. Sedangkan dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia harus menunjukkan keseriusan dan konsistensinya dalam melakukan kerjasama bilateral, regional maupun multilateral untuk memerangi bahaya atau ancaman terorisme global. Sejak insiden di Bali, Indonesia cenderung dituding sebagai wilayah bagi kegiatan Al-Qaeda dengan jaringannya Jamaah Islamiyah. Para ahli mengatakan bahwa serangan-serangan teroris di Indonesia, termasuk pengeboman gereja dan pusat pembelanjaan (masing-masing terjadi pada tahun 2000 dan 2001) berkaitan dengan kegiatan terorisme internasional. Mengenai tuduhan bahwa Indonesia menjadi tempat bagi kegiatan Al-Qaeda, Menteri Pertahanan Indonesia pernah menggarisbawahi bahwa kegiatan Al-Qaeda memang eksis di Indonesia. Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono juga pernah menyebutkan bahwa teroris asing pernah berlatih di Sulawesi. Meskipun demikian, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menanggapi pernyataan beberapa negara Barat itu. Pada intinya Indonesia dan Amerika Serikat sepakat dengan tegas untuk memerangi aksi terorisme internasional. Dalam kerangka kerjasama anti terorisme, pihak Administrasi Amerika Serikat merencanakan akan mengajukan anggaran sebesar US$ 14 juta untuk Indonesia tahun 2005. Kerjasama ini lebih diarahkan kepada pihak Kepolisian Indonesia (Polri). Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan masyarakat internasional dalam menangani masalah pasca bom di Bali pada Oktober 2002, dinilai berhasil dan merupakan contoh bagi upaya membangun kekuatan melawan terorisme. Dalam pernyataannya yang dikeluarkan Deplu AS di Washington, Rabu, Realuyo 71 mengatakan, setelah peristiwa di Bali tersebut komunitas internasional bersamasama membantu Indonesia untuk menghadapi masalah terorisme. “Setelah bom yang mengejutkan itu, Indonesia tanpa kenal lelah bekerja dengan pihak internasional untuk memperkuat pertahanan melawan ancaman terorisme, termasuk upaya untuk menghentikan aliran dana teroris,” katanya. Dalam menjalankan kebijakan anti terorismenya, Amerika Serikat menggunakan platform kebijakan preemptive dan preventive.55. Kebijakan preemptive adalah kebijakan jangka pendek yang ditujukan untuk mengantisipasi secara cepat potensi serangan terorisme. Sedangkan kebijakan preventive adalah kebijakan jangka menegah dan jangka panjang yang sifatnya tidak terlalu agresif. Inti dari kebijakan preemptive adalah penerapan strategi menyerang sebelum diserang. Melalui doktrin ini, Amerika Serikat secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa yang di persepsikannya sebagai kemungkinan ancaman terror terhadap kepentingan Amerika Serikat kapanpun dan dimanapun. Di sisi lain, kebijakan preventive merupakan strategi untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang dapat mendukung kemunculan, perkembangan dan pertumbuhan organisasi terorisme. Kebijakan ini mencakup antara lain peningkatan pertahanan keamanan, penegakan hukum dan demokrasi, mengurangi tingkat kemiskinan dan lain-lain. Scott Moore “The Preemptive and Preventive Use of Force in the Age ogf Global Terror”. http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd. Diakses 22 Mei 2011 55 72 Selanjutnya, sejalan dengan doktrin preemptive dan preventive, Amerika Serikat kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang meyakini bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik yang dapat dilakukan dalam usaha memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya.56 Penekanan kepada pendekatan militer itu terlihat juga melalui peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan dalam pemerintah Amerika Serikat sejak tragedy 11 September, peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri, dan peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negara-negara yang di harapkan Amerika Serikat dapat menjadi mitra dalam perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Filiphina, Indonesia, dan negaranegara lain di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Diselaraskan dengan dua platform kebijakan tersebut, kebijakan anti terorisme Amerika Serikat secara konseptual meliputi empat pilar utama, yaitu defeating, denying, diminishing, dan defending. Empat pilar tersebut dijabarkan sebagai berikut : a. Defeating: bersama dengan sekutu-sekutunya, Amerika Serikat mengalahkan teroris dengan cara menyerang markas, pemimpin, dan seluruh infrastruktur gerakan mereka. b. Denying : menentang dan menolak segala bentuk bantuan, dukungan serta perlindungan terhadap teroris. Tujuan utama strategi ini adalah untuk menjaga agar negara lain menghalanhi segala usaha-usaha tersebut dalam wilayah kekuasaan mereka. Rizal Sukma . “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional” Hal5 56 73 c. Diminishing : memperbaiki kondisi yang mendukung munculnya terorisme dengan mendukung pertumbuhan ekonomi, perkembangan politik, penciptaan erkonomi berbasis pasar, dan penegakan hukum. d. Defending : melindungi warga negara dan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di dalam dan di luar negeri termasuk perlindungan infrastruktur dan cyber.57 Empat pilar tersebut dikombinasikan dengan penggunaan sarana-sarana startegis Amerika Serikat berupa : a. Pendekatan Diplomasi : Penggunaan diplomasi untuk membantu menciptakan koalisi global anti-terorisme merupakan komponen utama dalam kebijakan anti-terorisme Pemerintah Amerika Serikat. Dalam hal ini, media massa juga menjadi sarana diplomasi yang kuat dalam menghadapi teroris dengan cara membangun ketertarikan dan mempengaruhi cara berfirik masyarakat. b. Sanksi Ekonomi : Jika sebelumnya saksi ekonomi hanya diberikan kepada negara yang aktif mendukung atau mensponsori terorisme internasional, maka pada saat sekarang, sanksi dapat juga dikenakan pada asset-aset yang dikelola langsung kelompok terorisme, seperti pembekuan asset pribadi para tersangka terorisme. c. Bantuan Ekonomi : Tindakan ini merupakan bentuk usaha mengubah kondisi social ekonomi yang mendukung berkembangnya terorisme. Raphael Perl. “US Anti-Terror Strategy and the 9/11 Commission Report”. CRS Report for Congres 2004 hal 3 57 74 Dengan pengurangan angka kemiskinan diyakini akan dapat mengubah pola hidup dan menekan potensi-potensi terorisme. d. Aksi Tertutup : Tindakan ini meliputi pengumpulan data intelejen, penyergapan kelompok teroris, dan operasi militer bersifat rahasia. Sebagian besar tindakan ini ditujukan untuk mengawasi dan mencari tahu tujuan, kemampuan atau bahkan rencana strategis organisasi teroris e. Penawaran hadiah untuk informasi yang berguna : Model ini dipakai karena terbukti berhasil dalam menangani penyelundupan obat-obatan terlarang dan pemberontakan di beberapa negara. f. Kerjasama dalam penegakan hukum dan ekstradisi : Kerjasama internasional di bidang penegakan hukum, pengawasan, dan kegiatan intelejen termasuk dalam bagian esensial dari kebijakan antiterorisme pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan ekstradisi dalam hal ini termasuk yang krusial mengingat banyak negara yang membatasi perjanjian ekstradisi khususnya yang sifatnya politis. g. Kekuatan militer : Penggunaan kekuatan militer bukanlah hal yang menjadi kendala bagi negara dengan kekuatan militer seperti Amerika Serikat. Untuk penanganan terorisme di tingkatan domestic maupun internasional, Amerika Serikat di dukung oleh kepemilikan senjata canggih dan mutakhir. h. Konversi Internasional : Amerika Serikat bersama dengan komunitas internasional telah dan sedang mengembangkan 75 konvensi-konvensi internasional dalam penanganan terorisme. Konvensi-konvensi tersebut mengajak keterlibatan dalam sebuah misi menghukukm para pelaku terror atau mengekstradisi mereka ke negara tempat aksi berlangsung.58 Sarana yang dimiliki Amerika Serikat dalam kampanye anti terorismenya kemudian diimasukkan dalam kebijakan anti terorisme Amerika Serikat untuk skala internasional dan menghasilkan strategi-strategi pengamanan bagi kepentingan Amerika Serikat di luar negeri. Dari strategi-strategi tersebut, beberapa diantaranya memiliki dampak luas dalam konstalasi politik internasional. Strategi yang diamksud adalah penolakan terhadap segala bentuk bantuan kepada terorisme. Dalam hal ini targetnya adalah menjaga agar negara lain mengambil langkah yang sama dengan Amerika Serikat dalam wilayah kekuasaan mereka. Implementasi dari strategi ini meliputi : a. Merumuskan kebijakan yang dapat membuat negara sponsor teroris mengubah kebijakan mereka. b. Membentuk dan mengkampanyekan standarisasi internasional dalam mengangani terorisme. c. Memusnahkan tempat perlindungan teroris d. Menghalangi lalu lintas darat, air, udara, dan cyber dalam rangka memutuskan akses teroris terhadap senjata, pendanaan.59 CRS Issue Brief for Conggress : Terrorism, the future, and U.S. Foreign Policy.” http://www.iwar.orang.uk/news-archive/crs/9040.pdf Diakses tanggal 22 Mei 2011 59 Raphael Perl. “U.S. Anti-Teror Stategy and the 9/11 Commission Report http://www.fpc.state.gov/documents/organizations/44943.pdf. Diakses 22 Mei 2011 58 76 Peran Amerika Serikat Dalam Mengatasi Munculnya Terorisme Dalam hal ini Amerika Serikat bukan sedang mengincar umat Islam, melainkan terorisme. Hanya, kebetulan teroris itu beragama Islam. Pemerintah Amerika Serikat memang tidak bermaksud untuk memproduksi makna Islam dengan terorisme. Juga tidak berniat untuk menciptakan benturan antar peradaban, sebagaimana diteorikan Samuel P. Huntington “Dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Peningkatan interaksi ini, selain mempertajam kesadaran dan rasa perbedaan peradaban antara orang-orang atau masyarakat yang berbeda, juga mempertajam kesadaran akan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam peradaban-peradaban itu. Terorisme, menurut Martha Crenshaw, pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan guna mengekspresikan strategi politik. Tindakan tersebut memiliki motif-motif politik. Teroris dan Islam adalah dua term yang seringkali secara tidak disadari dipadukan sehingga menimbulkan kesan bahwa Al-Qaeda dan Osama adalah representasi kekuatan Islam yang sedang menggeliat dan memberontak dengan menggunakan aksi teror atau kekerasan. Pemaduan ini menjadi berbahaya dan tidak kondusif bagi perkembangan keduanya, Barat dan Islam. Sebab, masing-masing akan terjebak pada stereotipe yang tidak menguntungkan bagi masa depan peradaban global. Perang melawan terorisme adalah perang yang tidak bisa hanya dilakukan di medan perang, melainkan di berbagai bidang. Selain melalui diplomasi, perang bisa dilakukan dengan menggalang kerja sama intelijen, pembekuan aset financial, 77 hingga pencegahan imigrasi illegal. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ralph L Boyce, dalam kuliah umum berjudul “US-Indonesian Relations in the Post-September 11 World” di Universitas Paramadina, Jakarta, menjelaskan bahwa terorisme itu harus diperangi melalui bidang diplomatik, melalui kerja sama intelijen dan saling berbagi informasi serta membangun koalisi. Di bidang finansial, harus ada kerja sama untuk membekukan asaet-aset teroris serta kerja sama domestik dan internasional untuk mencegah praktik pencucian uang dan imigrasi illegal. Strategi Amerika Serikat bukan sekedar menangani ancaman nyata. Yang lebih tandas dari itu adalah mengalahkan sumber ancaman itu. Namun, sayangnya, fokus yang amat terarah ke garis depan dalam memerangi terorisme membuat orang sulit memahami strategi Amerika Serikat. Walau Pemerintah Amerika Serikat tampaknya berhasil mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang masuk akal, tak mudah membuat orang mengerti kebijakan tersebut. Kemudian dalam visi pemerintahan Bush-Powell kembali menjelaskan persoalan itu secara lebih luas. Presiden Bush mempunyai banyak strategi yang pertama kali dijabarkan secara tebuka pada September 2002 dalam Strategi Keamanan Nasional AS (National Security Strategy of the United State/NSS). Dalam dokumen setebal hampir 40 halaman itu, NSS menjabarkan prioritas kebijakan AS menjadi delapan bab sebagai sebuah strategi yang terintegrasi secara luas dan dalam, sesuai kesempatan maupun tantangan yang dihadapi AS. Tentu saja sebuah dokumen strategi yang ditujukan bagi publik tak akan bisa sepenuhnya terbuka supaya tidak diketahui musuh-musuh kami. Meskipun demikian, dokumen ini 78 dengan jujur merefleksikan kepribadian presiden, yang dengan konsistensinya mengatakan apa yang dia maksudkan dan meyakini apa yang dia katakanya. Peristiwa WTC bagi Amerika Serikat sendiri merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang” terhadap terorisme. Hal ini tentunya juga membuka mata bagi negara lainnya, ini menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedy WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam bentuk terorisme) dan hegemoni AS sebagai adidaya tunggal. Serangan menara kembar dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk merubah kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS, dan akan mempengaruhi politik dunia internasional. Pertama, dengan sikap kerasnya, AS tampak ingin melahirkan semacam struktur bipolar baru. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you with terrorist”, secara jelas menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Kedua, tragedy 11 September, juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai seuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih mengkhawatirkan masalah terorisme daripada isu demokrasi dan hak asasi manusia. 79 Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan islam dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam ataupun negara dengan penduduk mayoritas islam. Keempat, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS membentuk sebuah doktrin baru,yakni doktrin preemption. Melalui doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer, untuk menghancurkan apa yang dianggapnya berpotensi sebagai ancaman terror terhadap kepentingan AS dimana saja, termasuk Asia Tenggara. Doktrin Preemption tersebut jelas meresahkan banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai dan norma-norma hubungan antarnegara. Dalam konteks doktrim preemption, prinsip kedaulatan negara, arti penting dan peran institusi-institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan. Kelima, AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan kepentingannya. Aksi serangan militer ke Afghnaistan dan invasi ke Irak merupakan contoh nyata dari pendekatan ini.60 Dari strategi yang di terapkan AS di atas, tersirat bahwa AS berusaha untuk menunjukkan hegemoninya kepada dunia dan adanya keinginan untuk memerangi Rizal Sukma . “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional” Hal 6-7 60 80 teroris yang sampai dengan saat ini identik dengan dunia islam. Penggiringan opini bahwa pelaku adalah umat islam, terlepas dari tanpa bukti dan fakta, menyebabkan antipati publik terhadap islam. Terlebih lagi beberapa kelompok islam yang dituding sebagai pelaku tindak terorisme menunjukkan indikasi membenarkan aktivitas-aktivitas tersebut. Asia Tenggara dengan jumlah muslim terbanyak tentunya menjadi sorotan bagi Amerika Serikat dalam penerapan kebijakannya. Malaysia memberlakukan Undang-Undang yang akan memungkinkan negosiasi perjanjian bantuan hukum timabal balik dengan negara lain. Malaysia telah menandatangani deklarasi anti terorisme dari kerjasama dengan Amerika Serikat, dan menyetujui pembentukan pusat pelatihan anti-terorisme regional di Kuala Lumpur. Indonesia, pada tahun 2005 Bush menyetujui partisipasi Indonesia Military Education and Training (IMET). Dan diteruskan dengan keputusannya Bush pada Mei 2005 untuk mengaktifkan kembali non-lethal Foreign Military Sales (FMS) di Indonesia dan November 2005 diputuskan juga untuk membatasi Foreign Military Financing (FMF) karena kekhawatiran keamanan nasional AS. Filiphina, Pemerintahan Bush mendukung kebijakan pemerintah Filiphina menerapkan militer untuk menekan Abu Sayyaf dan mencari penyelesaian yang di negosiasikan dengan MILF. Pada tahun 2002, Amerika memasukkan 1.300 pasukan ke Filiphina Selatan untuk membantu Filiphina dalam Operasi melawan Abu Sayyaf di Pulau Brasilian daya Mindanao. Thailand, Pembentukan Counter Terrorism Intellegence Center (CTIC) tahun 2001 yang merupakan kerjasama Thailan dengan dinas Intilejen AS, CIA. 81 Tekad AS memerangi terorisme bukanlah sebuah ungkapan kemarahan semata. Kesungguhan AS dalam hal ini terlihat jelas ketika AS menjadikan “war against terrorism” sebagai salah satu bagian dari Strategi Keamanan Nasional AS 2002 (National Security Strategy/NSS). Dan upaya AS memberantas terorisme ini tidak terbatas pada wilayah teritorial AS saja, tetapi juga diseluruh penjuru dunia, dimana kelompok-kelompok militan dan teroris bersembunyi. Afganistan bukanlah satu-satunya wilayah dimana AS berusaha menangkap dan menghancurkan kelompok taliban dan Al-Qaeda. Tetapi ribuan kelompok teroris yang terlatih secara militer dan sebagian besar diantaranya merupakan jaringan Al-Qaeda, telah tersebar di berbagai kawasan seperti belahan benua Amerika utara dan selatan, Eropa, Afrika, Timur Tengah, serta Asia.61 Hal tersulit yang ditemukan dalam perang melawan terorisme adalah untuk menemukan musuh. Karena musuh disini bukan lagi negara, tetapi kelompokkelompok orang yang membentuk jaringan-jaringan teroris. Untuk itu AS menegaskan bahwa dibutuhkan kerjasama yang baik antar negara dan kawasan agar kampanye ini menjadi efektif.62 Akan tetapi, meyakinkan dunia bahwa war against terorrism juga merupakan upaya AS untuk menciptakan keamanan dan perdamaian masyarakat internasional yang lebih baik, bukanlah hal yang mudah. Penyebab utamanya adalah karena terjadi perdebatan diantara negara-negara mengenai terminologi terorisme itu sendiri, termasuk pro dan kontra mengenai kategori kelompokkelompok yang ditetapkan sebagai teroris internasional. 61 62 The National Security Strategy of The United States of America.2002 hal 5 Ibid. hal 6 82 Oleh karena itu AS memandang perlu mengadakan perang terhadap pemikiran-pemikiran untuk memenangkan pertempuran melawan terorisme internasional. Cara-cara yang akan dilakukan AS meliputi: Dengan mempergunakan pengaruh besar AS dan bekerjasama dengan negara-negara sahabat dan sekutu, Menegaskan bahwa seluruh tindakan terorisme adalah “haram” sehingga terorisme akan dipandang setara dengan perbudakan, pembajakan, serta pembunuhan masal. Dengan demikian tidak ada negara yang dapat menghargai atau mendukung prilaku teroris, sebaliknya harus ditentang. Mendukungi pemerintahan moderat dan modern khususnya dikawasan dengan penganut mayoritas muslim, untuk menjamin bahwa tidak ada tempat dimana kondisi dan ideologi yang membantu kemajuan perkembangan terorisme Mengurangi kondisi-kondisi yang menimbulkan terorisme dengan cara membuat masyarakat internasional untuk fokus terhadap sumber-sumber yang menimbulkan kondisi tersebut Mempergunakan diplomasi publik yang efektif untuk memajukan aliran informasi yang bebas untuk membangkitkan harapan-harapan dan aspirasi kebebasan dalam lingkungan yang ruled by the sponsors of global terorism.63 63 Ibid. hal 6 83 C. Peluang dan Tantangan Amerika Serikat dalam Menghadapi Terorisme di Asia Tenggara Peristiwa ledakan bom di Gedung WTC 11 September 2001 yang lalu cukup memberikan pengaruh pada situasi politik internasional belakangan ini. Menyusul ledakan WTC ini. Presiden AS, George W. Bush berpidato, “Amerika beikut sahabat dan aliansi kami akan bergabung dengan semua pihak yang menginginkan perdamaian dan keamanan di dunia ini. Kita akan bersama-sama berdiri melawan dan memenangkan peperangan terhadap terorisme”. Masalah memberantas ini kemudian menjadi urusan bersama dunia. Tak pelak lagi, hampir seluruh kepala negara-negara di dunia, termasuk penguasa di negeri-negeri Islam, tunduk pada tuntutan AS. Perang melawan ‘terorisme‘, kini telah menjadi kebijakan politik luar negeri AS yang dominan. Pada masa kepemimpinan yang baru, Obama menggunakan pendekatan baru dalam mengelola perang terhadap terorisme. Strategi baru ini menurutnya adalah pendekatan realis yang di rancang untuk memperbaiki reputasi moral Amerika Sekaligus memperkuat keamanan nasionalnya, tidak seperti kebijakan Bush yang divergen sebelumnya. Obama berusaha memisahkan dua tantangan yang diidentifikasinya saling terkait tetapi keduanya sangat berbeda. Tantangan pertama adalah apa yang disebutnya immediate-near term challenge yakni persistent-evolving Al-Qaedah and its affliation. Terhadap tantangan ini, Obama menegaskan sikapnya pada inagurasi “our nation is at war against a far-reaching network of violence and hatred. And to win this war against Al-Qaedah, the administration continues to be 84 unrelenting, using every tool in its toolbox and every arrow its quiver”. Untuk menghadapinya, Presiden Amerika Serikat ini mengoptimalkan kekuatan militer termasuk meningkatkan kapabilitas terutama angkatan darat dan angkatan laut, memimpin rezim global nonproliferasi, adaptasi, dan penguatan komunitas intelijen termasuk peningkatan kemampuan linguistic-kultural, kolaborasi dan koordinasi dengan partner intelijen luar negeri. Adapun tantangan kedua adalah apa yang disebutnya sebagai long term challenge-the threat of violent extremism generally, termasuk factor-faktor politik, ekonomi dan sosial yang dinilai menjadikan banyak individu berada dalam jalur kekerasan, maka pendekatan militer, operasi intelijen dan penegakan hukum saja menurutnya tidak akan mampu mengatasi masalah ini. Ada lima elemen pendekatan Obama untuk mengatasi masalah ini, yaitu : 1. Perlawanan terhadap teroris, khususnya di kawasan Asia Tenggara diletakkan pada posisi yang tidak lagi mendistorsi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS tetapi menjadi bagian penting dari kebijakankebijakannya yang lebih luas tersebut. 2. Obama tidak lagi menggunakan War On Terrorism untuk mendefinisikan tantangan AS karena menurutnya terorisme tidak lain adalah taktik atau alat untuk mencapai tujuan. 3. Obama menolak istilah “jihadist” pada teroris muslim, khususnya di kawasan Asia Tenggara karena akan memberikan legitimasi relijius dan pada saat yang sama memneri kesan AS sedang berperang dengan islam. Definisi tantangan yang dikembangkan pemerintah Obama adalah AS 85 sedang berperang dengan “Violent extremism” dan “Ideologies of Violences”. 4. Mengatasi faktor-faktor hulu pemicu “violent extremism” dengan menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti keamanan, pendidikan, lapangan pekerjaan untuk mengisolasi ekstrimis dari masyarakat luas yang hendak mereka layani. Para ekstrimis dininilai memanfaatkan kemiskinan masyarakat untuk merekrut mereka melalui jaminan sosial yang mereka tawarkan lalu mengindoktrinisasi masyarakat untuk melakukan tindakan terror. Dengan mengatasi faktor-faktor hulu ini di harapkan opini yang salah-yang dikembangkan para ekstrimis-bahwa AS sebenarnya ingin menjadikan masyarakat tetap melarat dan lemah akan bisa dihapuskan. Selanjutnya, masyarakatlah yang kemudian akan mengisolasi para ekstrimis dan bukan AS yang harus melakukannya. 5. Menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk mengatasi penyebab dan kondisi pemicu berbagai ancaman termasuk violent extremism.64 Sejumlah rekomendasi kebijakan asistensi keamanan Amerika Serikat di Asia Tenggara dalam rangka menjaga kepentingannya dilakukan melalui langkahlangkah : 1. Mengintegrasikan secara lebih baik strategi Counerterorisme, hukum dan peraturan serta kebijakan-kebijakan pembangunan untuk mengatasi isu-isu korupsi di wilayah ini. Hal ini dinilai krusial agar para pejabat terpilih dan 64 http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/05/26/obama-dan-narasi-baru-terorisme/ Diakses tanggal 5 Juni 2011 86 birokrat mampu memenangkan kepercayaan komunitas mereka sendiri dan dengan cara demikian mengabaikan teroris dan pengaruh politik mereka. 2. Melanjutkan reformasi polisi di Filiphina dan Thailand. 3. Membantu menciptakan wilayah yang tidak terlalu ramah bagi para terorisme di Asia Tenggara melalui peningkatan dukungan terhadap institusi-institusi regional seperti ASEAN, ASEAN Regional Forum, APEC, dan EAS (East Asia Summit). Penyaluran bantuan keamanan, dan pendampingan counterterorisme melalui kerangka kolaboratif semacam ini diharapkan akan mengurangi persepsi bahwa terorisme adalah kepentingan khusus Amerika Serikat. 4. Menekan kesepuluh negara ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasi seluruh (16) konvensi PBB terkait counterterorisme.65 Kebijakan AS untuk memimpin perang melawan terorisme sepertinya semakin berhasil dengan dikeluarkannya resolusi DK PBB No.1373 Tahun 2001. Resolusi tersebut memuat langkah-langkah dalam menanggulangi terorisme dan mendukung tindakan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Dengan demikian, AS semakin memiliki kemudahan dalam mendapatkan akses untuk menghadirkan militernya di luar negeri dengan dalih terorisme. Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran banyak negara, terutama mereka yang tidak cukup kuat untuk menolak penetrasi militer AS kedalam wilayahnya. Seperti yang selalu ditekan pemerintah AS bahwa perang ini tidak 65 http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/05/26/obama-dan-narasi-baru-terorisme/ Diakses tanggal 5 Juni 2011 87 berhenti sampai disini (afghanistan), maka kecenderungan pasca perang di Afghanistan dan Iraq adalah melanjutkan dengan memberikan perhatian terhadap aktivitas terorisme di belahan lain dunia, dalam hal ini berdasarkan dokumen dan rekaman kaset video yang ditemukan dalam markas Al-Qaeda di Afghanistan.66 Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat merasakan dampak langsung dari langkah-langkah AS tersebut. Karena tidak lama setelah AS menyerang Afghanistan, pejabat pemerintahan Bush mengumumkan: adanya upaya Osama Bin Laden dan pengikutnya untuk memperluas kegiatan-kegiatan mereka di Asia Tenggara, tidak hanya di filipina, tetapi juga di Singapura dan Indonesia.67Berbagai media cetak AS juga banyak mengeluarkan artikel mengenai potensi teror dari gerakan-gerakan kelompok Islam radikal yang berkembang dengan subur di Asia Tenggara. Implikasi lebih jauh yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika PBB resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai organisasi teroris internasional. Keputusan PBB ini tentu saja sangat mempengaruhi Asia Tenggara, dimana selama ini AS selalu menekankan bahwa Jamaah Islamiah merupakan perpanjangan tangan Al-Qaeda, dan jaringannya menyebar di Malaysia, Singapura, serta Indonesia. Sehingga AS mempunyai kekuatan untuk menekan pemerintahan negara-negara Asia Tenggara agar lebih aktif bekerjasama dalam memberantas terorisme seperti yang diinginkan AS. 66 67 http://www.nbr.org/publications/analysis Diakses 10 Juni 2011 http://www.afsc.org/pwork/0112/011214.htm. Diakses 10 Juni 2011 88 Pada akhirnya “War on Terrorism”, menjadi instrumen AS untuk dapat menghadirkan kekuatan militernya diluar teritorialnya. Khususnya bagi Asia Tenggara, indikasi menjadi “second front” dari perang melawan terorisme semakin terlihat jelas. AS telah menempatkan Asia Tenggara menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri-nya setelah sekian lama kawasan ini menghilang dari layar radar AS. Sebagai kawasan dengan tingkat prioritas kepentingan yang tinggi, maka AS perlu memastikan kehadiran kekuatan militernya di Asia Tenggara untuk menjaga kepentingan-kepentingan tersebut. Dibawah spanduk “global war on terrorism”, pemerintahan presiden Amerika Serikat (AS) pada waktu itu, George W. Bush mulai mendorong kepala pemerintahan negara-negara Asia Tenggara untuk bekerjasama dengan AS. Ada pendapat yang berkembang, bahwa kemunduran pengaruh AS di kawasan Asia Tenggara selama beberapa dekade sebelumnya melatarbelakangi pemikiran untuk menghadirkan kembali militernya di kawasan ini. Namun yang pasti, setelah serangan militer pertama dimulai dengan menyerang Al-Qaeda dan rezim Taliban di Afghanistan pada 7 Oktober 2001, dan spekulasipun dengan cepat menggunung, bahwa operasi-operasi selanjutnya akan segera dilakukan di tempat lain. Hal ini muncul tidak lama setelah Asia Tenggara disebut-sebut sebagai “Second Front in the war on terrorism”.68 Ada beberapa alasan yang tidak mungkin dilepaskan mengapa Asia Tenggara menjadi fokus AS dalam memberantas terorisme, antara lain: 68 Mathew. “US may turn attention to far east terror groups”, The Guardian, 11 Oktober 2001 89 1. Seperti yang diberitakan, ada koneksitas antara Asia Tenggara dengan serangan 11 September. Beberapa pembajak, termasuk petinggipetingginya yaitu Mohhammad Atta dan Zacarias Moussaoui yang sejauh ini diklaim AS memiliki keterlibatan dengan serangan 11 september, dimana mreka diketahui telah mengadakan pertemuan di kuala Lumpur untuk membicarakan rencana-rencana mereka. 2. Sebelum serangan 11 September terjadi, AS telah memperingatkan mengenai operasi kelompok-kelompok militan Islam radikal di kawasan Asia Tenggara, termasuk beberapa diantaranya berhubungan langsung dengan jaringan Al-Qaedah. Antara lain Al-Ma’unah (Malaysia), Laskar Jihad (Indonesia), beberapa cabang Moro (Filipina). 3. Asia Tenggara adalah rumah dari umat Muslim, dimana Indonesia dan Malaysia mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dengan Jumlah penduduk yang besar, batas-batas wilayah yang rawan serta lemahnya institusi negara, membuat AS telah lama mengindentifikasi Kawasan ini potensial menjadi surganya teroris.69 Dengan ketiga faktor diatas, kemudian dengan peristiwa Bom BaliIndonesia, 12 Oktober 2002, memperkuat kesan bahwa Asia Tenggara akan menjadi kawasan penting dalam perjuangan melawan para militan Islamis.70 Rizal Sukma mengemukan beberapa faktor mengapa diskursus mengenai kemungkinan Asia Tenggara menjadi “the second front” dari perang melawan terorisme muncul kepermukaan: 69 70 http://www.ceri-sciences-po.org Diakses tanggal 10 Juni 2011 Ibid 90 1. Adanya fakta bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan dengan jumlah penduduk muslim yang sangat signifikan. Bahkan Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Fakta ini kemudian dikaitkan dengan adanya pandangan bahwa kebanyakan dari teroris dan kelompok-kelompok militan identik dengan ideologi islam radikal. Sehingga ketika kemunduran kondisi ekonomi dan sosial yang dialami Asia Tenggara pasca krisis ekonomi serta kerusuhan politik yang terjadi di indonesia, menciptakan lingkungan yang sangat ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan aktivitas teroris, kelompok radikal, serta kelompok-kelompok separatisme. 2. Eksistensi pergerakan kelompok separatis di Asia Tenggara ini mendorong kemungkinan hadirnya terorisme dan jaringan teroris di sekitar daerah pusat gerakan tersebut terjadi. 3. Meningkatnya peran serta pengaruh kelompok-kelompok islam militan di Indonesia {Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)}, Malaysia {Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM)}, dan Singapura {Jemaah Islamiah (JI)}. 4. Berkenaan dengan 3 faktor diatas, diperkuat dengan ditangkapnya orangorang dari kelompok-kelompok tersebut yang disinyalir memiliki keterlibatan dengan aktivitas terorisme, semakin meyakinkan bahwa adanya jaringan terorisme di Asia Tenggara. 5. Ancaman-ancaman teroris di kawasan Asia Tenggara yang terus meningkat acapkali memperlihatkan sentimen anti-amerika dikalangan 91 komunitas muslim setelah peristiwa 11 September dan serangan militer AS ke Afghanistan.71 Rizal Sukma, “The Second Front Discourse: Southeast Asia & The Problem of Terrorism”, dalam Asia Pacific Security: Uncertainty in a Changing World Order” (Kuala Lumpur, 2002), hal. 78-80 71 92 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan hasil penelitian, maka penulis menarik beberapa kesimpulan yang dianggap merupakan sebagai hasil elaborasi dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Dalam menghadapi terorisme, khususnya di Asia Tenggara, Pemerintah Amerika Serikat memilih untuk bersikap tegas, tidak melakukan kompromi, dan menolak secara tegas untuk melakukan negosiasi dengan kelompok terorisme, baik itu berupa tebusan, perubahan kebijakaan, penukaran atau pembebasan tawanan. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan Undang-Undang baru yaitu Patriot Act 2001 yang berisi menentang terorisme dan berbagai kegiatan yang mendukungnya atau bersentuhan dengan aksi terorisme yang dilarang, seperti larangan pemberian bantuan dana pada jaringan terorisme. 2. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan politik luar negeri secara umum dalam menghadapi terorisme internasional di kawasan Asia Tenggara yakni, mengeluarkan Kebijakan travel advisory dan travel warning terhadap Negara-negara yang potensial mendapat serangan terorisme di Kawasan Asia Tenggara. Meningkatkan kuantitas personil militer di kawasan Asia untuk melindungi kepentingan dan warga negaranya. Menggiatkan kampanye anti terorisme internasional melalui forum kerjasama regional seperti APEC dan ASEAN. 93 3. Kebijakan luar negeri secara khusus yang bersifat bilateral antara pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan Malaysia berupa kerjasama pembentukan pusat koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Malaysia. Bersama Filiphina melakukan kerjasama latihan militer. Dengan Indonesia, pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan dana sebesar 50 juta USD untuk membiayai pelatihan dan pembentukan satuan anti terror yang profesional. B. Saran 1. Perlunya dibuat suatu kerangka kerjasama yang progresif dan terintegrasi dengan system hokum internasional mengenai penanganan dan pemberantasan terorisme antara PemerintaH Amerika Serikat dan Negaranegara Asia Tenggara. 2. Diharapkan kepada negara-negara di Kawasan Asia Tenggara untuk meningkatkan pengawasannya terhadap jaringan-jaringan terorisme yang ada di kawasan tersebut. 3. Perlunya koordinasi antara aparat terkait dalam hal ini pihak keamanan dan intelejen antara pemerintah Amerika Serikat dan Negara Asia Tenggara sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap aksi-aksi terror yang terjadi di kawasan tersebut.