Sosiologi Komunikasi & Informasi “ Sosiologi Media “ 1 1.1 Konsep Sosiologi Sosiologi sendiri berasal dari bahsa latin, yaitu "socius" yang berarti kawan atau teman sedangkan "logos" berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan pertama kalinya dalam buku yang berjudul Cours De Philosophie Positive karangan August Comte (17981857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi, pada umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dan perilakunya, serta perilaku sosial manusia dengan cara mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai suatu ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol oleh orang lain atau umum. Ini adalah definisi sosiologi menurut beberapa tokoh: - Max Weber : Sosiologi ilmu yang mempelajari tentang tindakan social atau perilakuperilaku manusia. - Pitirim Sorokin : Mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya); hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya); dan ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial. - Roucek dan Warren : Mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. - William F.Ogburn dan Meyer F.Nimkoff : Berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil. - Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi : Menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Dengan demikian, Sosiologi adalah ilmu yang hendak mengerti dan menjelaskan tindakan-tindakan social manusia yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Sosiologi merupakan suatu ilmu social, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan kerohanian. Sebagai suatu ilmu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap persoalan penilaian, artinya sosiologi tidak menetapkan kearah sana mengenai sesuatu yang seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan kemasyarakatan dan politik. Akan tetapi, pandanganpandangan sosiologis tidak dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar atau salah, serta segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sosiologi dapat menetapkan bahwa suatu masyarakat pada suatu waktu dan 2 tempat memiliki nilai-nilai tertentu, tetapi selanjutnya tak dapat ditentukan bagaimana nilai-nilai tersebut seharusnya. Di sini, sosiologi berbeda dengan filsafat kemasyarakatan, filsafat politik, etika, dan agama. Menurut Harry M.Johnson (1967), sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah : 1. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, serta hasilnya tidak bersifat spekulatif. 2. Sosiologi bersifat teoritis yang berarti ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori. 3. Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori yang lama. 4. Sosiologi bersifat non-etis yang berarti yakni dipersoalkan bukanlah baikburuknya fakta tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis Sosiologi mempelajari tindakan manusia dalam kelompok hidupnya. Selanjutnya dalam kehidupan kelompok, manusia pada umumnya mengikuti kehidupan kelompoknya untuk mengikuti ketentuan yang berlaku. Usaha individu atau kelompok untuk menyesuaikan diri ataupun melawan usaha keseragaman oleh kelompok ataupun masyarakat luaslah yang merupakan bahan penelitian bagi berbagai ilmu sosial lainnya. Menurut Pellegrin (1964:17), sosiologi meneliti berbagai bidang yang ditemukan secara berulang dalam kehidupan manusia dan telah merupakan keteraturan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Masyarakat; Kebudayaan; Lembaga-lembaga dan kelengkapannya; Diferensiasi sosial; Kehidupan kelompok; Pengawasan dan pengandalian sosial; Perubahan masyarakat; Berikut ini merupakan objek yang dibahas dalam sosiologi; 3 1. Objek meterial yaitu kehidupan sosial, gejala-gejaladan proses hubungan antar manusia yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri; 2. Objek formal lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat. Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan sosial antarmanusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat; 3. Objek budaya merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi hubungan satu dan lainnya; 4. Objek agama yang dapat menjadi pemicu dalam hubungan sosail masyarakat, dan banyak juga aspek lain atau pun dampak yang memengaruhi hubungan manusia. Konsep-konsep dalam sosiologi memiliki ciri khas tersendiri untuk dikaji sehingga memiliki karakteristik yang berbeda. Aguste Comte pun mengatakan sosiologi sebagai “ratu ilmu sosial”. 2.2 Perspektif Sosiologi Terhadap Media 4 Perspektif sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses social kehidupan di dalamnya. Dalam ilmu sosiologi terdapat dua perspektif besar yang memandang masyarakat dari sisi yang berlawanan yaitu positivisme dan fenomenologi. Kedua perspektif ini merupakan cikala bakal ataupun ataupun akar dari berbagai perspektif sosiologi lainnya. positivisme yang dipelopori Aguste Comte memandang bahwa semua pengetahuan harus berdasarkan pada ilmu semua pengetahuan harus berdasarkan pada ilmu (science) atau dengan pemikiran ilmiah dengan tujuan untuk menemukan hukum-hukum umum. Adapun teori-teori yang paling dominan dalam perspektif makro adalah teori-teori yang menekankan integrasi dan harmoni dan teori-teori yang menekankan konflik. Positivisme masuk kedalam kelompok besar strukturalisme yang mengacu pada analaisis sosiologi makro yang melihat masyarakat secara keseluruhan, dan bagaimana masyarakat tersebut terstruktur dengan asumsi pokok bahwa ada suatu sistem nilai dalam masyarakat yang mengatur perilaku masyarakat. Setiap individu mempelajari berbagai aturan norma dan kepercayaan melalui proses sosialisasi di masyarakat sampai akhirnya mengalami proses internalisasi mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku baik atau buruk benar atau salah dan sebagainya. Ketaatan pada aturan tersebut merupakan prasyarat masyarakat agar dapat bertahan secara terintegrasi, stabil dan dinamis. Sedangkan fenomenologi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schutz menentang pendekatan positivisme, karena hukum-hukum seperti itu bersifat ilusif, yang akhirnya terjarat pada determinisme. Menurut ahli fenomenologi, perilaku manusia tidaklah sepenuhnya di atur oleh hukum-hukum ekternal. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara pendekatan Positivisme dan fenomologi diantaranya adalah pada Positivisme melihat sesuatu dengan pendekatan struktur atau pendekatan makro, yaitu bagaiman struktur memengaruhi perilaku manusia. Sedangkan pendekatan fenomonologi mengambil sekala kecil sebagai point of entry, dengan menekankan pada sosial action, bukan pada struktur yang abstrak. Perspektif sosiologi dapat mempengaruhi jalannya media. Media ini bisa banyak macam dari media cetak maupun media elektronik. Dalam berbagai tayanggannya media dapat berisi berbagai konten yang dipengaruhi oleh perspektif sosiologi. 2.3 Perspektif Fungsionalis 5 Emile Durkheim memandang bahwa masyarakat terdiri atas banyak bagian, yang masingmasing mempunyai fungsi sendiri. Jika semua bagian masyarakat menjalankan fungsinya, maka masyarakat berada dalam keadaan “normal” jika sebaliknya maka dalam keadaan “abnormal” atau “patalogis’’. Bahwa masyarakat, seperti halnya tumbuhan atau bintang, berisi system-sistem yang beraksi bersama untuk menopang kehidupan organism. Perspektif fungsionalis menekankan keteraturan (order) dan stabilitas (stability) dalam masyarakat. • Ciri-Ciri perspektif fungsional: 1. Dalam perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisir yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut separangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagaian besar masyarakat tersebut. 2. Masyarakat dipandang sebagai suatu system yang stabil dengan suatu kecenderungan kearah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan system kerja yang selaras dan seimbang. 3. Menurut Talcott Parsons (1937) Kingsley Davis (1937) dan Robert Merton (1957), setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tetentu dan terus-menerus, karena hal itu fungsional. 4. Perubahan social mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru. 5. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional; bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional. 6. Dalam suatu Negara demokratis, partai-partai politik adalah fungsional, sedangkan pemboman, pembunuhan terorisme politik adalah ganguan fungsional dan perubahan dalam lambang adalah tidak fungsional. 2.4 Perspektif Konflik Konflik menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Manusia tidak akan pernah terlepas dari 6 konflik, karena manusia hidup bermasyarakat dan dalam bermasyarakat itu sendiri terdapat struktur yang mengatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu tatanan masyarakat yang kompleks. Selain itu, interaksi sosial yang terjadi dalam bermasyarakat juga menjadi pemicu terjadinya konflik. Interaksi didalamnya juga diatur oleh struktur sosial yang mengatur perilaku dan mempengaruhi personal seseorang atau bahkan membentuknya. Kesimpulannnya, interaksi sosial yang diatur oleh struktur sosial akan menimbulkan konflik dan akan membentuk personalitas manusia. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, berikut akan di ulas mengenai perspektif konfik secara ringkas dalam pandangan tokoh-tokoh sosiologi. Antara lain: Karl Marx Karl Marx memandang konflik sebagai sisi lain dari sudut pandang bidang ekonominya. Hal ini nampak terlihat dari teori-teorinya, misal tentang nilai kerja. Menurut Marx, aplikasi kerja manusia merupakan hasil transformasi dari seluruh sumber nilai (Collins, th-. 53). Selain itu, dalam karyanya yang lain yakni Das Kapital, Marx menunjukan bahwa kapitalisme suatu saat akan runtuh walaupun dengan berbagai cara melakukan produksi (Sindhunata, 1982: 41). Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan. Sebagaimana dalam masyarakat kapitalis, konflik selalu terjadi antara kaum yang memiliki dan menguasai alat-alat produksi dan dengan yang tidak, yakni borjuis dan proletar. Ketika borjuis dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi tentu ada legitimasi atau tanda kepemilikan legal yang diberikan oleh negara, karena negara juga memiliki kepentingan. Sehingga borjuis memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang akan diproduksi. Menurut Marx, dalam konteks ini hukum lebih banyak berfihak pada kaum borjuis dibanding proletar, baginya negara merupakan komite eksekutif kaum borjuis (Cuff & Payne, 1984: 92). Selain itu, terdapat stratifikasi antara kaum borjuis dan kaum proletar dan terbentuklah kelas-kelas sosial yang mendukung terjadinya perubahan sistem sosial yang menimbulkan konflik. Marx membagi kelas-kelas sosial tersebut antara lain kelas yang memiliki kepentingan dan kelas yang ingin mengubah sistem sosial. Max Weber Lain halnya dengan Karl Marx, Weber lebih cenderung memandang fenomena konflik berdasarkan pemikiran rasionalitas. Weber membagi rasionalitas dalam empat tipe antara lain: pertama, rasionalitas praktis yakni lebih memandang dan menilai aktivitas sosial yang berhubungan dengan kepentingan dirinya secara pragmatis dan egoistik. Kedua, rasionalitas teoritis, yakni lebih memahami terlebih dahulu realitas yang ada. Ketiga, rasionalitas substansif, yakni mengikut sertakan cara-cara untuk mencapai tujuan. Keempat, rasionalitas formal, yakni mengkalkulasikan cara-cara untuk mencapai tujuan. Selain dasar pemikiran rasionalitas, Weber juga mengkaji fenomena konflik dalam kajian deterministik ekonomi dan stratifikasi sosial yang dibaginya menjadi kelas, status dan partai. Dimana seluruhnya juga saling berpengaruh. Cuff & Payne (1984: 96), Weber mengatakan bahwa posisi Marx lebih menekankan bahwa perubahan memerlukan tindakan sosial. Dalam hal ini, Weber tergugah untuk menemukan tindakan apa yang paling tepat yang 7 dapat membawa perubahan. Dalam karyanya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, ia mengkaji bagaimana awal kapitalisme terjadi dan berkembang pesat di negara barat, yakni karena adanya ajaran Calvinisme. Calvinisme merupakan ajaran dari agama Protestan yang mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja keras mencari uang dan berhemat serta hidup sederhana agar semakin dekat dengan Tuhan atau menjadi pilihan Tuhan. Dengan kata lain, menumpuk harta agar dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi sehingga ia dapat bekerja lebih efisien dan lebih mendapatkan keuntungan. Dari sini lah, semangat kapitalis di negaranegara barat muncul dan terus berkembang karena ide religius tersebut telah memotivasi individu-individu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Weber membuktikan bahwa perubahan sosial tidak hanya didasari oleh konteks ekonomi saja, tetapi religiusitas juga dapat mendorong perubahan. Ralf Dahrendorf Setelah membahas perspektif konflik Karl Marx dan Max Weber, perspektif konflik yang selanjutnya adalah perspektif konflik dari Ralf Dahrendorf. Dahrendorf melalui karyanya Clas and Conflict Class in Industrial Society berupaya memodifikasi konsep teori konflik Marx. Ia beranggapan bahwa konsep-konsep konflik Marx hanya berlaku pada saat masyarakat kapitalis saja, tetapi tidak pada masyarakat pasca kapitalis atau ia meyebutnya dengan masyarakat modern industrial. Menurut Dahrendorf, konflik pada masyarakat modern industrial tidak hanya dalam konteks pemilik alat-alat produksi yang selalu disangkut-pautkan Marx dengan ekonomi, politik dan sosial. Modifikasi yang ia lakukan adalah dengan membangun pemahaman baru tentang perubahan struktur sosial masyarakat pasca kapitalis antara lain, dekomposisi kapital, dekomposisi pekerja, perkembangan kelas menengah baru, pertumbuhan mobilitas sosial dan pertumbuhan persamaan. Kelima hal tersebut menjelaskan proses perubahan masyarakat modern industrial tentang struktur kelas pekerja. Singkat kata, profesi-profesi yang muncul dikalangan masyarakat modern industrial menjadi tergolong sebagai pekerja tanpa harus memiliki alat-alat produksi. Hal ini yang menjadi kritik Dahrendorf tentang konsep-konsep konflik Marx tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern indusrtial karena para pekerja telah menempatkan profesi-profesi mereka dan telah terlegitimasi. Cuff & Payne (1984: 103) menyebutkan bahwa menurut Dahrendorf konflik yang terjadi dalam kelompok-kelompok kepentingan harus dipahami terlebih dahulu. Konflik dalam masyarakat pasca kapitalis telah terlembaga atau di ‘setting’. Menurutnya, konflik telah diatur sedemikian rupa oleh kelompok yang memiliki kepentingan dan konflik tidak lagi merusak sistem sosial. Kelompok kepentingan artinya kelompok yang saling terhubung satu sama lain karena keterikatannya (Dahrendorf, 1986: 222). Selain itu, Dahrendorf mengatakan bahwa dalam masyarakat pasca kapitalis terdapat dua jenis kelompok yang mempengaruhi pembentukan kelas yakni kelompok potesial dan kelompok kepentingan, dan konflik hanya muncul pada kedua kelompok tersebut (Dahrendorf, 1986: 305-306). Demikian penjelasan singkat perspektif konflik dari tiga tokoh sosiologi diatas. Dahrendorf dalam kritiknya terhadap konsep pemikiran Karl Marx seakan terlalu terburu-buru dalam membangun pemahaman baru terhadap masyarakat industrial modern. Karena kenyataannya kapitalis masih menguasai sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki modal untuk usahanya atau tidak mampu untuk mencari pekerjaan apapun profesinya itu, profesi yang dijadikan suatu pekerjaan sebelumnya juga memiliki proses yang panjang untuk mendapatkan profesi tersebut. Sebagai contoh jika seorang anak miskin ingin menjadi seorang pilot atau dokter atau guru atau yang lain sebagainya, maka ia harus terlebih dahulu meraih pendidikan yang 8 sesuai dan setara dengan profesi yang di inginkan tersebut. Oleh karena itu, bidang ekonomi menjadi salah satu konsepsi konflik baik dalam masyarakat kapitalis maupun masyarakat modern industrial sekalipun, karena saai ini yang namanya pekerjaan apapun membutuhkan modal walau sekecil apapun. Kesimpulannya adalah konflik yang terjadi dalam masyarakat disebabkan karena adanya interaksi sosial yang telah dipengaruhi oleh struktur sosial dan terdapat kepentingan-kepentingan kelompok masing-masing didalamnya serta didominasi oleh pengaruh-pengaruh lain seperti ekonomi, sosial dan sebagainya. Konflik memang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Disisi lain, keberadaan konflik seharusnya memang ada, guna membangun kesatuan yang lebih kokoh dalam suatu kelompok. • Ciri-ciri perspektif konflik: 1. Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), yang melihat pertantangan dan eksploitasi kelas sebagai pengerak utama kekuatankekuatan dalam sejarah. 2. Menurut C. Wright Mils (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957) dan Collines (1975), bilaman para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, maka para teoritis konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas. 3.Teoritis konflik melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, dimana orang-orang muncul sebagai pengetengah kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin. 4.Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. Mereka mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar; sebaliknya konsesus tersebut adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang. 2.5 Perspektif Feminis Feminisme adalah sebuah paham yang muncul ketika wanita untuk menuntut kesetaraan hak yang sama dengan pria. Istilah ini pertama kali di gunakan di dalam debat politik di 9 perancis di akhir abad ke 19. Menurut June Hannam di dalam buku feminism, kata feminisme bisa diartikan sebagai: 1. Pengakuan tentang ketidak seimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan peranan wanitadi bawah pria. 2. Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentu secara sosial maka dari itu dapat di ubah. 3. Penekanan pada otonomi wanita. Orang yang menganut paham feminisme ini disebut degan feminis. Sebagai sebuah faham, feminisme berupaya untuk memperjuangkan transformasi sosial guna mewujudkan dunia dengan pranata sosail yang adil secara gender (jenis kelamin). Feminisme sebagai salah satu teori sosial adalah untuk menganalisis dan menjelaskan akar penyebab, dinamika dan struktur penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain feminisme mempermasalahkan penyebab ketimpangan dan ketidak adilan dalam pola relasi kuasa yang terjadi antara perempuan dengan laki-laki, maupun anatara perempuan dengan perempuan anatar lintas kelas. Sebagai teori sekaligus gerakan, feminisme adalah alat untuk akar penyebab pola relasi yang simetri antara laki-laki dan perempuan, penyebab terjadinya penindasan terhadap perempuan, sekaligus reaksi dan perlawanan terhadap situasi yang menindas dan tidak adil terhadap perempuan. Di Indonesia, feminisme telah berkembang sebagai perspektif dengan cukup luas. Tokohtokoh feminisme di Indonesia tidak hanya hadir dari kalangan perempuan, tetapi juga lakilaki. Perspektif feminisme itu digunakan dalam berbagai ruang akademik. Tokoh-tokoh seperti Siti Musdah Mulia, Gadis Arivia, KH. Husein Muhammad, Faqih Abdul Qadir, telah banyak mempublikasikan pandangan-pandangan feminismenya di Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, kelompok feminis meluncurkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotyp gender lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat. Kaum feminis ini terbagi menjadi beberapa aliran, yang secara umum dapat di kelompokan kedalam tiga aliran yaitu anatara lain yaitu diantaranya feminisme liberal, feminisme radikal dan feminisme marxit/sosialis. 1. Feminisme liberal Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara atau dengan yang lainnya. Dalam hal ini wanita juga seharusnya mempunyai kesempatan yang sama dengan pria untuk menjadi sukses di dalam suatu masyarakat. Feminisme liberal di inspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kehususan. Menurut paham ini keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri. Hal yang harus diperhatikan diantaranya. 10 - Pertama, peraturan untuk permainannnya harus adil. Kedua, pastikan tidak ada pihak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan sistem yang dipakai seharusnya sistematis serta tidak ada yang dapat dirugikan. Walaupun menganut paham feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal. Dalam beberapa hal terutama yang berhubungan dengan reproduksi, aliran ini masih memandang perlunya ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki mereka menghendaki agar perempuan di integrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di luar rumah. Meraka memandang organ reproduksi bukan penghalang terhadap peran-peran tersebut. 2. Feminisme Radikal Aliran ini muncul di permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar yaitu menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan, karena jalas-jelas ini menguntungkan laki-laki. Feminis Radikal merupakan julukan untuk para feminis revolusioner yang memperkenalkan cara berpikir baru dengan cara praktek meningkatkan kesadaran. Para wanita akan berkumpul bersama di dalam sebuah kelompok kecil dan saling berbagi pengalaman pribadi mereka sebagai wanita. Feminis radikal ini menganggap sistem patrialisme terbentuk oleh kekuasaan,dominasi, hirarki dan kompetisi. Namun hal tersebut tidak bisa di reformasi dan bahkan pemikirannya harus di rubah. Kelompok feminis radikal ini fokus kepada jenis kelamin, genderdan reproduksi sebagai tempat untuk mngembangkan pemikiran fasisme mereka. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilai merupakan penindasan yang teramat panjang yang ada di dunia. Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, yaitu dilihat dari lima aspek: - Dilihat dari sejarah, wanita adalah kelompok pertama yang tertindas. - Penindasan wanita adalah penindasan yang paling banyak tersebar luas, dan dapat dilihat secara nyata di setiap kelompok masyarakat yang kita tahu. - Penindasan wanita adalah bentuk penindasan yang paling sulit dibasmi dan tidak dapat dihilangkan dengan penggantian status sosial lainnya seperti penghapusan kelas masyarakat. - Penindasan wanita menyebabkan penderitaan yang terburuk bagi korbannya, baik secara kualitas maupun jumlahnya, walaupun korban yang bertahan seringkali tidak dianggap dikarenakan penilaian berdasarkan jenis kelamin dari si penindas dan korban. - Penindasan wanita menyediakan contoh konseptual untuk mengerti penindasan dalam bentuk lainnya. 11 Feminisme radikal menekankan para wanita untuk menyeimbangkan sifat feminim dan maskulin di dalam dirinya atau sering disebut dengan istilah androgini. Wanita yang memiliki sifat androgini adalah wanita yang memiliki karakter baik dari sifat-sifat maskulin dan feminim di dalam dirinya atau lebih ekstrimnya lagi, mempunyai campuran sifat maskulin dan feminim, baik atau buruk sesuai dengan apa yang mereka sukai. 3. Feminisme Marxis-Sosilis Aliran ini berusaha untung menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran anatara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Sebagai salah satunya adalah wanita di anggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah di dalam masyarakat tradisional jika dibandingkan dengan laki-laki. Karena latar belakang sejarah dan latar belakang biologis suatu masyarakat. Pada dasarnya dari ketiga aliran feminisme di atas, mempunyai tujuan yang utama di dalamnya yaitu untuk memperjuangkan kemerdekaan atau persamaan status dan peran sosial antara perempuan dan laki-laki sehingga kedepannya kita tidak lagi mendengar adanya kasus atau masalah ketimpangan gender. Salah satu contoh Konstruksi media terhadap identitas dan peran melalui film yaitu, Pertentangan yang memperlihatkan pemikiran Disney Corporation terhadap wanita yang konfliktual dengan stand point feminisme muncul disebabkan oleh informasi dalam konten film yang sering disebut sebagai moral of the story, berimplikasi pada pembentukan karakter anak-anak perempuan dimasa awal. Opsi yang ditunjukkan oleh Disney dengan dongeng puteri kerajaannya adalah perempuan bisa bermimpi dan berharap datangnya seseorang yang menyelamatkan hidupnya, bukan berusaha dan berjuang untuk hidupnya sendiri. Hal ini sangat tidak kondusif bagi pembentukan kesadaran diri perempuan, dan berimplikasi pada sikap yang dependent, termasuk pada laki-laki ketika perempuan menghadapi persoalan dalam kehidupan. Dengan melihat sudut pandang Disney lewat film-filmnya para feminist merespon dengan berbagai kritikan tajam dan kemudian mempengaruhi dinamika hubungan keduanya. Interaksi antara para feminis dengan Disney corporation menghasilkan berbagai transaksi satu dan teramifikasi ke transaksi seterusnya. Sebagai penggambaran di media. Terutama di televisi. Wanita yang menjadi objek seringkali berada pada posisi dimana wanita dilihat dari sosok yang bersifat biologis saja, yakni kecantikan wajahnya, keindahan rambutnya, kemolekan dan kesensualan tubuhnya, kemerduan suaranya dan unsur sejenis lainnya. 12 Unsur-unsur itulah yang di anggap sebagai komoditas yang amat laku pada industri pertelevisian. Perempuan dalam kondisi demikian bisa berupa bintang iklan, bintang sinetron dan lain-lain. kabanyakan iklan yang menunjukan perempuan sebagai citra maupun metode persuasinya lebih cenderung menampilkan sosok biologis mereka baik kecantikan, keindahan rambut dan lain-lain. Sosok non biologis seringkali tidak begitu di tonjolkan atau mungkin tidak pernah di tonjolkan seperti intelektual, keterampilan dan keahlian dan profesionalitas perempuan. Posisi demikian perempuan yang demikian melahirkan protes masyarakat terhadap televisi. Gerakan feminis pada 1960 an muncul karena adanya kekecewaan dan protes terhadap citra perempuan yang demikian yang selalu di tampilkan di televisi. Mereka hawatir itu akan menjadi budaya kedepannya. Dan menganggap perempuan hanya bisa di kembangkan dalam bidang biologisnya dan tidak mempunyai banyak kemampuan di bidang non biologis. Namun di sisi lain, gerakan feminis di lain sisi di untungkan juga dengan adanya media.Perkembangan media akhir-akhir ini tidak dapat di pungkiri berlangsung secara cepat, terutama media cetak seperti Televisi. Peranan mediapun bermacam-macam. Dari peranan utamanya yaitu berfungsi sebagai sarana yang informatif, edukatif dan hiburan. media juga berperan dalam sosialisasi feminisme dan media pendukung terjadinya gerakan feminisme. Dalam wacana mengenai perempuan, media selalu mengangkat berita mengenai kekerasan perempuan dalam rumah tangga, penyiksaaan tenaga kerja wanita di luar negeri dan ketangguhan perempuan dalam kemelut hidup. Melalui media, perempuan memberikan seruan, melalui media pula perempuan menuntut adanya persamaan gender, penghapusan diskriminasi dan perbedaan gender, baik dalam pekerjaan (ekonomi), rumah tangga, politik, sosial maupun budaya. Media yang menjadi salah satu media komunikasi informasi kepada masyarakat di suatu bangsa atau di lingkup internasional. Media dapat memberikan bantuan pada pergerakan kaum feminisme. Media sebagai wadah negoisasi kaum feminis, tempat pergulatan wacana kritis persoalan feminisme, yang berisikan pro dan kontra terhadap gerakan feminisme. Mengangkat suatu tema perempuan dalam setiap sudut pergerakannya. Pada suatu wacana pada harian Kompas, mengangkat sebuah tema perjuangan perempuan. Wacana ini menceritakan tentang seorang perempuan janda paruh baya bernama Marni, yang berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan bertani cabai. Dalam wacana tersebut diilustrasikan bagaimana Marmi menjalani kehidupan seharihari dan kehebatannya dalam menghadapi tuntutan hidup. Marmi yang harus bergelut 13 dengan tanah dan lumpur, belum lagi jika panas matahari mulai menyengat kulitnya. Bagaimana marni harus menggarap lahan sendirian, tanpa suami dan anak yang mendampinginya. Halitu dapat membuka mata orang yang membaca cerita tersebut dapat berpikir bahwa wanitapun dapat melakukan hala yang sekarang ini sering di presepsikan hanya kaum laki-laki yang hanya bisa melakukannya. Kaum feminis percaya bahwa media sering menyajikan perempuan sebagai pembersih, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga memberikan kenyamanan dan dukungan untuk laki-laki, pria objek seks untuk kebutuhan seksual pria layanan, dll. Kaum feminis percaya bahwa keterwakilan gender ini merupakan aspek patriarki. Kaum feminis percaya bahwa media menunjukkan peran-peran ini yang alami dan normal. Kaum feminis melihat ini sebagai contoh patriarki ideologi-seperangkat keyakinan yang mendistorsi realitas dan mendukung dominasi laki-laki. Tapi disisi lain pentingnya media dalam menampilkan suatu wacana feminisme sangat membantu dalam pergerakan kaum feminis tersebut dalam menunjukan eksistensinya. Para feminis bisa mengeluarkan seruan-seruannya melalui media yang berperan sebagai sarana pergerakan dan negosiasi kaum feminisme akan kesetaraan gender, pengkritikan ketidakadilan gender, bahkan sampai dengan pengangkatan tematik ke khalayak ramai mengenai perempuan melalui media. Contoh lainnya adalah jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam atau di luar negeri. Dan kasus tersebut di muat di media, maka akan cepat berdampak pada para pembacanya. Yang akan merasa simpati ataupun lebih dari itu yaitu sikap empati untuk melakukan gerakan-gerakan yang menolak kekerasan terhadap tenaga kerja tersebut dan mendesaknya untuk para pemimpin agar dapat cepat menyelesaikan persoalan tersebut. 2.6 Psikologi Sosial Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok. Para ahli dalam bidang interdisipliner ini pada umumnya adalah para ahli psikologi atau sosiologi, walaupun semua ahli psikologi sosial menggunakan baik individu maupun kelompoksebagai unit analisis mereka. 14 Psikologi sosial sempat dianggap tidak memiliki peranan penting, tetapi kini hal itu mulai berubah. Dalam psikologi modern, psikologi sosial mendapat posisi yang penting. psikologi sosial telah memberikan pencerahan bagaimana pikiran manusia berfungsi dan memperkaya jiwa dari masyarakat kita. Melalui berbagai penelitian laboratorium dan lapangan yang dilakukan secara sistematis, para psikolog sosial telah menunjukkan bahwa untuk dapat memahami perilaku manusia, kita harus mengenali bagaimana peranan situasi, permasalahan, dan budaya. Walaupun terdapat banyak kesamaan, para ahli riset dalam bidang psikologi dan sosiologi cenderung memiliki perbedaan dalam hal tujuan, pendekatan, metode dan terminologi mereka. Mereka juga lebih menyukai jurnal akademik dan masyarakat profesional yang berbeda. Periode kolaborasi yang paling utama antara para ahli sosiologi dan psikologi berlangsung pada tahuntahun tak lama setelah Perang Dunia II. Walaupun ada peningkatan dalam hal isolasi dan spesialisasi dalam beberapa tahun terakhir, hingga tingkat tertentu masih terdapat tumpang tindih dan pengaruh di antara kedua disiplin ilmu tersebut. Ruang Lingkup Psikologi Sosial Psikologi Sosial yang menjadi objek studinya adalah segala gerak gerik atau tingkah laku yang timbul dalam konteks sosial atau lingkungan sosialnya. Oleh karenanya masalah pokok yang dipelajari adalah pengaruh sosial atau perangsang sosial. Hal ini terjadi karena pengaruh sosial inilah yang mempengaruhi tinghkah laku individu. Berdasarkan inilah Psikologi Sosial membatasi diri dengan mempelajari dan menyelidiki tingkah laku individu dalam hubungannya dengan situasiperangsang sosial (Ahmadi, 2005) Objek pembahasan dari Psikologi Sosial tidaklah berbeda dengan psikologi secara umumnya. Hal ini bisa dipahami karena Psikologi Sosial adalah salah satu cabang ilmu dari psikologi. Bila objek pembahasan psikologia dalah manusia dan kegiatannya, maka Psikologi Sosial adalah kegiatan-kegiatan sisoalnya. Masalah yang dikupas dalam psikologi umum adalah gejala-gejala jiwa seperti perasaan, kemauan, dan berfikir yang terlepas deri alam sekitar.Sedangkan dalam Psikologi Sosial masalah yang dikupas adalah manusia sebagai anggota masyarakat, seperti hubungan individu dengan ndividu yang lain dalam kelompoknya. Psikologi Sosial dalam membicarakan objek pembahsannya dapat pula bersamaan dengan sosiologi. Masalah-masalah sosial yang dibicarakan dalam sosiologia dalah kelompok-kelompok manusia dalam satu kesatuan seperti macam-macam kelompok, perubahan-perubahannya, dan macam-macam kepemimpinannya. Sedangakan dalam Psikologi Sosial adalah meninjau hubungan individu yang sati dengsan yang lainnya seperti bagaimana pengaruh terhadap pimpinan, pengaryh terhadap anggota, pengaruh terhadap kelompok lainnya. Persamaan-persamaan pembahasan sebagaimana penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pembahasan Psikologi Sosial berada pada ruang antara psikologi dan 15 sosiologi. Titik persinggungan inilah yang dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan memunculkan ilmu baru dalam lapanagn psikologi, yakni Psikologi Sosial. Psikologi Sosial merupakan bagian dari psikologi yang secara khusus mempelajari tingkah laku manusia atau kegiatan-kegiatan manuisa dalam hubungannya denagn situasi-situasi sosialnya. (Ahmadi, 2002) Tujuan Psikologi Sosial Sama halnya tujuan dalam bidang-bidang yang lain, tujuan pembelajaran Psikologi Sosial bertumpu pada tujuan yang lebih tinggi. Secara hirarki, tujuan Pendidikan Nasional pada tataran operasional dijbarkan dalam tujuan institusioanl tiap jenis dan jenjeang pendidikan .selanjutnya pencapaian tujuan institusional ini, secara praktis dijabarkan dalam tujuan kurikuler atau tujuan mata pelajaran. Akhirnya tujuan kurikuler ini, secara praktis operasional dijabarkan dalam tuuan instruksional atau tujuan pembelajaran.dalam sub bahasan ini, dibatasi pada uraian tujuan kurikuler bidang studi Psikologi Sosial. Tujuan kurikuler Psikologi Sosial yang harus dicapai sekurang-kurangnay meliputi lima tujuan berikut : 1. Membekali peserta didik dengan pengetahuan Psikologi Sosial sehinggat tidak terpenagruh, tersugesti, atau terpengaruh oleh situasi sosial yang selamanya tidak bernilai baik. 2. Membekali peserta didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisa dan menyusun alternatif pemecahan masalah-masalah sosial secara tetap dan sisitematis mengenai proses kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan bersama. 3. Membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat sehingga memudahkan dalam melakukan pendekatan untuk mewujudkan perubahan dan pengrahan kepada tujuan denagn sebaik-baiknya. 4. Membekali peserta didik denagn kesadaran terhadap lingkungan sosial sehingga mampu merubah sifat dan sikap sosialnya. 5. Membekali peserta didik denagn kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keimuan psikologi sosial sesuai dengan perkembangan kehidupan, perkembanagn masyarakat, perkembangan ilmu, dan perkembangan teknologi. Kelima tujuan di atas menjadi tanggung jawab yang harus dicapai dalam pelaksanaan kurikulum Psikologi Sosial di berbagai lembaga pendidikan. Tentu denagn keluasan, kedalaman, dan bobot yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang dilaksanakan. 16