BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tekanan Darah
2.1.1
Definisi
Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk menekan dinding pembuluh
darah (American Heart Association, 2012). Tekanan darah juga didefinisikan
sebagai kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan
tekanan dari jantung (Potter dan Perry, 2005). Saat jantung berdetak terjadi
kontraksi pada otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh. Tekanan
tertinggi saat ventrikel berkontraksi disebut dengan tekanan darah sistolik dan
tekanan darah saat jantung beristirahat disebut dengan tekanan darah diastolik
(Ariyani, 2011). Tekanan sistolik dan diastolik inilah yang diukur ketika
memeriksa tekanan darah. Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi untuk tiap
individu, namun menurut
Divine (2012) tekanan darah orang dewasa
diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu:
Tabel 2. 1 Klasifikasi tekanan darah (Divine, 2012)
Klasifikasi tekanan darah
Tekanan darah sistolik
(mmHg)
Tekanan darah
sistolik (mmHg)
Optimal
<120
<80
Normal
<130
<85
Prahipertensi
130-139
85-89
7
8
2.1.2
Hipertensi tahap I
140-159
90-99
Hipertensi tahap II
160-179
100-109
Hipertensi tahap III
>180
>110
Fisiologi Tekanan Darah
Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena perubahan tekanan dari
daerah yang tekanannya tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Tekanan darah
dinyatakan dalam millimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa
merupakan rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah (Guyton & Hall, 2008).
Tekanan darah menggambarkan interelasi dari curah jantung, tahanan vaskuler
perifer, volume darah dan elastisitas arteri (Hamarno, 2010).
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa oleh tiap ventrikel
per menit dan dipengaruhi oleh volume sekuncup (volume darah yang di pompa
ventrikel per detik) dan frekuensi jantung. Tekanan darah tergantung pada curah
jantung dan tahanan vaskuler perifer. Jika curah jantung meningkat, darah yang
dipompakan terhadap dinding arteri lebih banyak dan menyebabkan tekanan darah
naik. Curah jantung dapat meningkat sebagai akibat dari peningkatan frekuensi
jantung, kontraktilitas yang lebih besar dari otot jantung atau peningkatan volume
darah (Hamarno, 2010).
Resistensi merupakan ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui
suatu pembuluh yang ditimbulkan oleh suatu friksi antara cairan yang mengalir
dan dinding pembuluh darah yang stasioner. Sirkulasi darah melalui jalur arteri,
arteriol, kapiler, venula dan vena. Ukuran arteri dan arteriol dapat berubah untuk
9
mengatur aliran darah bagi kebutuhan jaringan lokal. Tonus otot vaskuler dan
diameter pembuluh darah dapat mempengaruhi tahanan pembuluh darah perifer.
Semakin kecil lumen pembuluh darah maka semakin besar tahanan vaskuler
terhadap aliran darah.Resistensi tergantung pada tiga faktor yaitu viskositas
(kekentalan) darah, panjang pembuluh dan diameter pembuluh darah (Guyton &
Hall, 2008).
2.1.3
Mekanisme Reflex Untuk Mempertahankan Tekanan Arteri Normal
Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan
pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan
mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi
diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah
melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan
serebrum) (Mayuni, 2013). Sistem pengaturan tekanan arteri oleh baroreseptor
dimulai oleh reseptor regang yang disebut baroreseptor (presoreseptor) yang
terletak secara spesifik pada dinding beberapa arteri sistemik besar. Hampir semua
arteri besar di daerah toraks dan leher terdapat sejumlah kecil baroreseptor.
Baroreseptor sangat banyak terdapat di dalam dinding arkus aorta dan dinding
setiap arteri karotis interna yang terletak sedikit diatas bifurkasio karotis, daerah
yang dikenal sebagai sinus karotis. Sinyal dari baroreseptor karotis dijalarkan
melalui saraf hering menuju saraf glosovaringeus dan kemudian ke traktus
solitarius di daerah batang otak. Sinyal dari baroreseptor aorta, di arkus aorta
dijalarkan melalui saraf vagus menuju traktus solitarius yang sama di medula.
10
Baroreseptor lebih banyak merespon terhadap tekanan yang berubah cepat
daripada tekanan yang menetap (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 1 Sistem baroreseptor untuk mengendalikan tekanan arteri
(Sumber: Guyton & Hall, 2008)
Setelah sinyal baroreseptor memasuki traktus solitarius medula, sinyal
sekunder menghambat vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat
parasimpatis vagus dengan efek vasodilatasi vena dan arteriol di seluruh sistem
sirkulasi perifer serta berkurangnya frekuensi denyut jantung dan kekuatan
kontraksi jantung. Jadi perangsangan baroreseptor akibat tekanan tinggi di dalam
arteri secara refleks menyebabkan penurunan tekanan arteri akibat penurunan
tahanan perifer dan penurunan curah jantung (Guyton & Hall, 2008).
11
Sistem pengaturan tekanan arteri oleh vasomotor, bagian lateral dari pusat
vasomotor mengirimkan impuls eksitasi melalui serabut saraf simpatis ke jantung
bila tubuh perlu untuk menaikkan frekuensi serta kontraktilitas jantung.
Sedangkan bila tubuh perlu untuk menurunkan pompa jantung, maka medial pusat
vasomotor mengirimkan sinyal ke nucleus motoric dorsalis nervus vagus yang
kemudian mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke jantung
untuk menurunkan frekuensi dan kontraktiltas jantung. Oleh karena itu pusat
vasomotor dapat meningkatkan atau menurunkan aktivitas jantung. Frekuensi dan
kekuatan kontraksi jantung biasanya meningkat saat terjadi vasikontriksi dan
biasanya menurun pada saat vasokontriksi dihambat (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 2 Area di otak yang berperan penting dalam pengaturan
sirkulasi oleh saraf.
(Sumber: Guyton & Hall, 2008)
12
2.1.4
Pengukuran Tekanan Darah
Alat
yang
digunakan
untuk
mengukur
tekanan
darah
adalah
sphygmomanometer. Sphygmomanometer ada tiga jenis, ada yang jenis air raksa,
aneroid dan jenis digital. Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa
(mmHg) (Palmer, 2007). Tekanan darah diukur dan dicatat dengan menggunakan
tekanan sistolik dan diastolik dari pasien. Mengukur tekanan darah sangat penting
dilakukan sebelum, pada saat latihan dan sesudah memberikan latihan kepada
pasien untuk melihat adanya respon dari latihan yang diberikan (Lippincott &
Wilkins, 2009). Posisi saat melakukan pengukuran tekanan darah adalah
punggung dan kaki pasien harus didukung, kaki tidak menyilang, dan kaki
bertumpu pada permukaan yang keras. Lengan yang akan diukur harus dibebaskan
dari pakaian atau dilonggarkan agar tidak mengganggu aliran darah dan posisi
manset sejajar dengan jantung. Manometer ditaruh sejajar di tingkat mata praktisi
kesehatan yang melakukan pengukuran. Penempatan manset harus ditempatkan
pada lengan yang bebas dari pakaian dan kira-kira 2 cm diatas lipatan siku,
dengan garis tengah kantong diatas arteri brakialis. Pemasangan harus pas tetapi
tetap memungkinkan 2 jari untuk masuk di bawah manset (Adhitya, 2014).
Untuk menghindari suara asing selama deflasi manset, pastikan bahwa
stetoskop tidak bersentuhan dengan pakaian pasien atau dengan manset tekanan
darah dan tempatkan bel stetoskop di atas arteri brakialis, menggunakan tekanan
yang cukup untuk menyediakan transmisi suara yang bagus tanpa terlalu
mengompresi arteri. Setelah tekanan nadi-obliterasi ditentukan, memulai
auskultasi pengukuran tekanan darah dengan cepat menggembungkan manset ke
13
tingkat 20 sampai 30 mmHg di atas tekanan nadi-obliterasi. Kemudian
menurunkan manset pada tingkat 2 mmHg per detik dibarengi mendengarkan
suara korotkoff. Saat manset mengempis, aliran darah bergejolak melalui arteri
brakialis menghasilkan serangkaian suara (Lippincott & Wilkins, 2009).
Ada 5 fase untuk menentukan dan mencatat tekanan darah, tahap pertama
ditandai dengan jelas, suara ketukan yang berulang, bertepatan dengan
kemunculan denyut nadi yang diraba. Kemunculan awal suara fase pertama sama
dengan tekanan darah sistolik. Selama fase kedua, murmur terdengar dalam
sadapan yang telah terdengar. Fase ketiga dan keempat, perubahan diredam saat
ketukan suara sedang berlangsung (biasanya dalam 10 mmHg dari tekanan
diastolik yang sebenarnya) sebagai pengukuran tekanan mendekati tekanan
diastolik. Fase kelima benar-benar tidak ada sebuah suara, ini menunjukkan
hilangnya suara dan sama dengan tekanan darah diastolik. Untuk memastikan
diastole yang telah tercapai, kempiskan tekanan manset dengan tambahan 10
mmHg melampaui korotkoff suara kelima. Lakukan minimal dua pengukuran
tekanan darah pada interval minimal 1 menit. Catat rata-rata pengukuran sebagai
tekanan darah (Lippincott & Wilkins, 2009).
2.2
2.2.1
Hipertensi
Definisi
Hipertensi lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Hipertensi
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik pada tingkat 140 mmHg
atau lebih tinggi dan tekanan darah diastolik pada tingkat 90 mmHg atau lebih
14
tinggi yang didasarkan dari rata-rata 2 atau lebih pengukuran dalam waktu yang
berkala (LeMone & Burke, 2008). Tekanan darah orang dewasa di klasifikasikan
kedalam beberapa tingkatan, yaitu : (1) optimal dengan tekanan darah sistolik <
120 dan diastolik < 80, (2) normal dengan tekanan darah sistolik < 130 dan
diastolik < 85, (3) prahipertensi dengan tekanan darah sistolik 130-139 dan
diastolik 85-89, (4) hipertensi tahap I dengan tekanan darah sistolik 140-159 dan
diastolik 90-99, (5) hipertensi tahap II dengan tekanan darah sistolik 160-179 dan
diastolik 100-109, (6) hipertensi tahap III dengan tekanan darah sistolik > 180 dan
diastolik > 110 (Divine, 2012).
2.2.2
Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua jenis yaitu
(Cahyani, 2014):
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer, merupakan hipertensi yang
penyebabnya tidak jelas. Sekitar 90% penderita hipertensi termasuk
kedalam hipertensi esensial. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi
esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebabnya bersifat multi
faktor, yang terdiri dari genetik dan lingkungan. Faktor genetik sangat
mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres,
reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan yaitu diet, kebiasaan
merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain.
15
2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan penyebab yang diketahui.
Sekitar 5-10% penderita hipertensi mengalami hipertensi sekunder yang
penyebabnya adalah penyakit ginjal dan sekitar 1-2% penyebabnya adalah
kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu. Penyebab hipertensi
sekunder lainnya adalah feokromositoma yaitu tumor pada kelenjar
adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin dan noreprinefrin, namun
kasus ini jarang ditemukan.
2.2.3
Patofisiologi
Curah jantung dan resisten perifer total merupakan penentu utama tekanan
darah arteri rata-rata. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap-tiap
ventrikel per menit. Curah jantung dipengaruhi oleh dua faktor penentu yaitu
kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah
yang dipompa per denyut) (Haryati, 2011).
Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula batang otak. Bermula dari jaras saraf
simpatis di pusat vasomotor ini, kemudian berlanjut ke bawah ke medula spinalis
dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Serat saraf
simpatis mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak.
Noradrenalin yang dikeluarkan dari ujung-ujung saraf simpatis berikatan dengan
reseptor
adrenergik
α
di
otot
polos
vaskuler
sehingga
menimbulkan
vasokonstriksi. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan juga dapat
16
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Saat
bersamaan sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi dan kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi beberapa hormon seperti
adrenalin dan noradrenalin
yg
secara ekstrinsik
juga turut mempengaruhi
diameter arteriol dengan memperkuat sistem saraf simpatis di sebagian besar
jaringan (Cahyani, 2014).
Gambar 2. 3 Persarafan simpatis pada sirkulasi sistemik
(Sumber: Guyton & Hall, 2008)
Secara khusus, adrenalin selain berikatan dengan reseptor α, juga berikatan
dengan reseptor β2 yang terdapat di arteriol jantung dan otot rangka. Pengaktifan
reseptor β2 menimbulkan vasodilatasi. Selama aktivitas simpatis, adrenalin yang
dikeluarkan berikatan dengan reseptor β2 di jantung dan otot rangka untuk
memperkuat mekanisme vasodilator lokal di jaringan-jaringan ini, sementara
arteriol di tempat lain seperti saluran pencernaan dan ginjal yang hanya dilengkapi
oleh reseptor α, tidak berespons terhadap adrenalin. Dengan demikian, arteriol di
organ-organ ini, yang hanya dipengaruhi oleh noradrenalin dari sistem saraf
17
simpatis, mengalami vasokonstriksi yang lebih kuat daripada pembuluh di jantung
dan otot rangka (Haryati, 2011).Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensis I yang kemudian diubah menjadi angiotensis II, suatu
vasokonstriktor kuat yang pada akhirnya akan merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon ini yang menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan volume intavaskular. Semua faktor tersebut
cenderung nyebabkan keadaan hipertensi (Cahyani, 2014).
2.2.4
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (LeMone & Burke, 2008)
a. Riwayat Keluarga
Hipertensi dihasilkan dari banyak gen dan faktor dalam seseorang
dalam suatu keluarga yang menderita hipertensi. Faktor genetik
membuat keluarga menderita hipertensi berkaitan dengan peningkatan
jumlah sodium di intraseluler dan penurunan rasio potasium dan
sodium. Pasien dengan kedua orangtuanya menderita hipertensi lebih
besar risikonya terjadi pada usia muda.
b. Usia
Hipertensi pada umumnya muncul antara usia 30-50 tahun. Angka
kejadian meningkat pada usia 50-60 tahun. Studi epidemiologi
18
menyatakan prognosis lebih buruk apabila pasien menderita hipertensi
pada usia muda.
c. Jenis Kelamin
Secara umum, angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dari
pada wanita sampai usia 55 tahun, namun perubahan hormonal yang
sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung
memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita
untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller, 2010).
Risiko kejadian hipertensi antara usia 55-74 tahun hampir sama,
setelah usia 74 tahun wanita lebih besar resikonya.
d. Etnik
Angka kematian pada hipertensi orang dewasa, berturut-turut terjadi
paling rendah pada wanita kulit putih yaitu 4,7%, pria kulit putih 6,3%,
pria kulit hitam 22,5%, dan yang paling tinggi adalah wanita kulit
hitam yaitu 29,3%. Alasan peningkatan pada wanita berkulit hitam itu
tidak jelas, tetapi peningkatan ini didukung oleh tanda jumlah rennin
yang lebih rendah, sensitivitas vasopresin lebih tinggi, pemasukan
garam lebih tinggi dan stres lingkungan yang lebih tinggi.
19
2. Faktor yang dapat dimodifikasi (LeMone & Burke, 2008):
a. Stres
Faktor lingkungan, tipe personal
dan fenomena fisik
dapat
menyebabkan stres. Stres meningkatkan tahanan vaskuler perifer,
cardiac output dan merangsang aktivitas sistem saraf simpatis,
selanjutnya hipertensi dapat terjadi. Bila stres sering terjadi dan
berkelanjutan dapat menyebabkan hipertropi otot polos vaskuler dan
mempengaruhi koordinasi pusat di otok.
b. Kegemukan
Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50% individu
dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada kasus obesitas belum sepenuhnya dipahami,
tetapi telah diketahui bahwa pada orang yang mengalami obesitas
terdapat peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan
meningkatkan tekanan darah (Angraini, 2014). Indeks masa tubuh
(IMT) yang normal adalah 18,5-24,9 kg/m2. Penurunan berat badan 10
kg dapat menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg.
c. Zat Makanan
Mengkonsumsi asupan tinggi sodium dapat menjadi fakrot penting
terjadinya hipertensi. Diet tinggi garam mungkin merangsang
pengeluaran
hormon
natriuretik
yang
secara
tidak
langsung
20
meningkatkan tekanan darah. Muatan sodium juga merangsang
mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat.
d. Penyalahgunaan Zat
Merokok, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, penggunaan obat
terlarang merupakan faktor terjadinya hipertensi. Nikotin dan obatobatan seperti kokain dapat menyebabkan tekanan darah meningkat
segera dan menjadi ketergantungan sehingga dapat menyebabkan
hipertensi dilain waktu. Angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada
pasien yang minum lebih dari 30 cc etanol setiap hari.
2.2.5
Manifestasi Klinik
Tidak ada manifestasi klinik yang dirasakan oleh pasien pada tahap awal
perkembangan hipertensi. Kadang-kadang tekanan darah akan naik dan jika tidak
dilakukan pemeriksaan dengan rutin, maka pasien tidak sadar tekanan darahnya
meningkat. Jika hal tersebut tidak terdiagnosa maka tekanan darah akan
meningkat terus menerus dan muncul manifestasi klinik. Pasien akan melaporkan
keluhan seperti nyeri kepala yang menetap, kelelahan, pusing, berdebar-debar dan
penglihatan kabrur (Black & Hawk, 2005). Dapat pula terjadi perubahan retina
akibat perdarahan dan eksudat, penyempitan arteri dan infark kecil sampai terjadi
edema pupil pada hipertensi yang berat. Penyakit arteri koronaria seperti angina
pectoris dan infark myokard juga dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya
hipertensi. Hopertropi ventrikel kiri juga dapat terjadi sebagai akibat peningkatan
kerja ventrikel melawan tekanan sistemik yang meningkat, gagal jantung,
21
kerusakan ginjal dan gangguan vaskuler di otak juga dapat terjadi (Hamarno,
2010).
2.2.6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk mengembalikan tekanan darah
agar mendekati normal dan meningkatkan kualitas hidup penderita hipertensi.
Penatalaksanaan
hipertensi
meliputi
terapi
non-farmakologis
dan
terapi
farmakologis.
1. Terapi farmakologis
Terapi farmakologi yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII
yaitu diuretik, beta blocker, calcium channel blocker, Angiotensin
Converting
Enzyme
Inhibitor
(ACEI),
Angiotensin
II
Receptor
Blocker(ARB) (Aziza, 2008).
a. Diuretik
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi Natrium Chlorida
(NaCl) di tubulus ginjal. Penurunan awal curah jantung karena
penurunan volume plasma dan volume cairan ekstra seluler.
b. Penghambat Adrenergic
Penghambat adrenergic merupakan sekelompok obat yang terdiri dari
alfa-blocker, beta blocker, dan alfa-beta-blocker. Beta-blocker bekerja
dengan menurunkan denyut jantungdengan menurunkan curah jantung
dan kontraktilitas otot jantung, menghambat pelepasan renin ginjal dan
meningkatkan sensitifitas barorefleks. Sedangkan alfa-blocker bekerja
22
menurunkan aliran balik vena tetapi tidak menyebabkan takikardi.
Curah jantung tetap atau meningkat dan volume plasma biasanya tidak
berubah. Karena efek antihipertensi alfa-blocker didasarkan pada
vasodilatasi arteriol perifer maka lebih efektif pada pasien dengan
aktivitas simpatis kuat.
c. ACE Inhibitor
Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
sehingga mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan aldosteron
menurun, volume cairan menurun dan terjadi vasodilatasi.
d. Calcium Channel Blocker (CCB)
CCB menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel melalui
channel-L. CCN dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu nondihidropiridin
dan
dihidropiridin.
Golongan
non-dihidropiridin
mempengaruhi sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan
denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan
penurunan resistensi perifer sedangkan golongan dihidropiridin
terutama bekerja pada arteri.
e. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARB bekerja seperti ACE-I, yaitu mengganggu sistem RAA.
Golongan ini menghambat ikatan angiotensin II pada salah satu
reseptornya. ARB lebih aman dan tolerable dibandingkan ACE-I.
2. Terapi nonfarmakologis
23
Dengan
pola
hidup
yang
sehat
penting
untuk
mencegah
dan
mengembalikan tekanan darah agar tetap normal yang merupakan bagian
dari tatalaksana hipertensi. Beberapa modifikasi pola hidup yang
disarankan untuk dijadikan terapi secara definitif digaris pertama
sekurang-kurangnya 6-12 bulan setelah diagnosis awal adalah (LeMone &
Burke, 2008):
a. Penurunan berat badan
Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50%
individu dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah.
Indeks masa tubuh (IMT) yang normal adalah 18,5-24,9 kg/m2.
Penurunan berat badan 10 kg daapt menurunkan tekanan darah
sistolik 5-20 mmHg. Maka dari itu manajemen berat badan sangat
penting dalam mengontrol tekanan darah.
b. Modifikasi diet lemak dan sodium
Diet lemak dapat menurunkan lemak jenuh dan meningkatkan
lemak tak jenuh sehingga memberikan dampak penurunan tekanan
darah tetapi juga menurunkan tingkat kolesterol. Rekomendari
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertentsion) bahwa diet
yang dianjurkan adalah kaya buah-buahan, sayur-sayuran, kacangkacangan dan makanan rendah lemak. Hampir 40% orang dengan
hipertensi peka terhadap sodium. Diet garam 2,4 gram atau 6 gram
bisa menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Pembatasan
24
sedang pemasukan sodium (6 gram) dapat menurunkan tekanan
darah pada beberapa kasus hipertensi tingkat 1.
c. Aktivitas fisik
Seseorang dengan aktivitas fisik yang rendah beresiko terkena
hipertensi 30-50%. Rutin olahraga minimal 30 menit per hari bisa
menurunkan tekanan darah sistolok 4-9 mmHg. Tekanan darah
dapat diturunkan dengan aktifitas sedang seperti aerobik dan jalan
cepat.
d. Pembatasan alkohol dan kafein
Konsumsi lebih dari 30 cc perhari meningkatkan risiko hipertensi.
Menghindari konsumsi alkohol dapat menurunkan teknan darah
sistolik 2-4 mmHg. Kafein dapat memacu jantung untuk bekerja
lebih cepat sehingga lebih banyak mengalirkan cairan pada setiap
detiknya.
e. Berhenti merokok
Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan jumlah
nadi dan menghasilkan vasokontriksi perifer yang mana tekanan
darah dapat meningkat dalam waktu pendek atau setelah merokok.
Dengan tidak merokok maka hal tersebut dapat di cegah.
25
f. Teknik relaksasi
Berbagai terapi relaksasi seperti relaksasi otot progresif, meditasi
transcendental,
yoga,
biofeedback
dan
psikoterapi
dapat
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.
2.3
Stres dan Hipertensi
Stres adalah reaksi non spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan
baik secara fisik maupun psikologis. Stres merupakan sutu reaksi adaptif yang
bersifat sangat individual sehingga bagi seseorang suatu stres belum tentu sama
tanggapannya dengan orang lain. Stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana
kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidak
seimbangan. Stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan
reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres (Mashudi, 2011).
Reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis.
Secara simultan hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem saraf otonom
untuk merangsang respon yang segera terhadap stres. Sistem saraf otonom terbagi
dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggung
jawab terhadap adanya stimulus stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung,
nafas yang cepat dan penurunan aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf
parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan
denyut jantung, perlambatan nafas dan peningkatan aktivitas gastrointestinal
(Smeltzer, et al ., 2008).
26
Secara fisiologi, keadaan stres akan mengaktivasi hipotalamus yang
selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan
sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatis memberikan respon terhadap impuls
saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos
yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya meningkatkan kecepatan
denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal
untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah (Sherwood, 2010).
Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung sehingga akan berdampak pada perubahan tekanan
darah yaitu peningkatan tekanan darah secara intermiten atau tidak menentu
(Nasution, 2011). Dr. Shigeo Haruyama, dalam bukunya “The Miracle of
Endorphin”,menyatakan, ketika kita teramat stres munculah hormon noradrenalin.
Jika hormon noradrenalin diproduksi dalam jumlah tepat, maka akan menjalankan
fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Namun, saat hormon noradrenalin dirpoduksi
secara berlebihan akan mempersempit aliran darah ke jantung dan meningkatkan
tekanan darah. Hal ini akan dengan mudah membuat pembuluh darah menjadi
tersumbat. Hormon beta-endorfin membantu mengembalikan kondisi pembuluh
darah menjadi normal seperti semula dan menjaga agar darah dapat mengalir
dengan mudah dan bebas hambatan. Beta-endorfin penangkal stres akan terbentuk
jika seseorang merasa nyaman atau rileks (Haruyama, 2011).
27
2.4
Progressive Muscle Relaxation (PMR)
2.4.1
Definisi
PMR merupakan salah satu metode relaksasi sederhana yang melalui dua
proses yaitu menegangkan dan merelaksasikan otot tubuh pada satu bagian tubuh
pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot secara progresif ini dilakukan secara
berturut-turut. Latihan PMR ini dapat dilakukan secara mandiri sehingga
mempermudah seseorang untuk melakukan latihan tanpa perlu bantuan dari orang
lain. Selain itu teknik latihan dari PMR juga dapat dilakukan dalam posisi duduk
maupun tidur sehingga dapat dilakukan dimana saja. PMR merupakan teknik
relaksasi yang sederhana dan efektif untuk mengurangi keteganagn otot,
menurunkan stres dan menurunkan tekanan darah (Kumutha, 2014).
Hal-hal yang diperhatikan saat latihan relaksasi otot progresif adalah
(Hamarno, 2010):
a. Latihan ditempat yang tenang untuk membantu konsentrasi pada
kelompok otot,
b. Melepaskan sepatu dan pakaian tebal yang dapat menggangu proses
latihan,
c. Hindari makan, merokok dan minum-minuman keras sesaat sebelum
latihan,
d. Latihan dilakukan dengan posisi duduk atau tidur dalam keadaan yang
paling nyaman,
e. Jangan menegangkan otot secara berlebihan karena dapat melukai otot
tersebut.
28
2.4.2
Indikasi
PMR dapat diberikan kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi dan
kemampuan pengelolaan diri. Latihan ini dapat membantu mengurangi
ketegangan otot, stres, menurunkan tekanan darah, menurunkun kadar gula darah,
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, sehingga fungsional dan
kualitas hidup meningkat (Smeltzer, et al ., 2008). Teknik relaksasi pada tekanan
darah tinggi telah dikatakan memiliki efek positif yang telah di buktikan oleh
Dickinson, et al (2008) menyampaikan 60-90 % klien yang konsultasi ke dokter
keluarga yang terkait dengan stres sebagian besar memiliki tekanan darah tinggi
sehingga manajemen stres dianggap penting sebagai pengobatan anti-hipertensi,
dengan teknik relaksasi yang tepat salah satunya adalah relaksasi otot progresif.
1.4.3
Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan otot seperti cidera akut, peningkatan tekanan
intrakranial, dan penyakit arteri koronaria yang berat seharusnya tidak melakukan
relaksasi otot progresif (Hamarno, 2010).
1.4.4
Prosedur
Prosedur PMR terdiri dari 15 gerakan berturut-turut, yaitu (Mashudi,
2011):
29
Tabel 2. 2 Aplikasi Progressive Muscle Relaxaion (PMR)
No.
Progressive Muscle
Gambaran Pelaksanaan
Relaxatin
1.
Melatih otot tangan
Peserta
duduk
mengepalkan
rileks
tangan.
kemudian
Peserta
diminta
membuat kepalan semakin kuat sambil
merasakan sensasi ketegangan yang terjadi,
tahan selama 5 detik kemudian lepaskan
kepalan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
2.
Melatih otot lengan bawah
Peserta duduk rileks dengan menekuk
pergelangan tangan (dorso fleksi wrist)
hingga dapat dirasakan ketegangan, tahan
selama
5
detik
perlahan-lahan
dalam dan
kemudian
disertai
lepaskan
menarik
nafas
merasakan rileks selama 10
detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
3.
Melatih otot lengan atas
Peserta
duduk
rileks
kemudian
mengepalkan kedua tangan dan menekuk
siku (fleksi elbow) hingga dapat dirasakan
ketegangan, tahan selama 5 detik kemudian
30
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
4.
Melatih otot-otot bahu
Peserta duduk rileks kemudian mengangkat
kedua bahu (elevasi shoulder) setinggitingginya
ketegangan,
hingga
tahan
dapat
dirasakan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
5.
Melatih otot-otot dahi
Peserta
duduk
rileks
kemudian
mengerutkan dahi dan alis hingga dapat
dirasakan ketegangan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
6.
Melatih otot-otot mata
Peserta duduk rileks kemudian menutup
mata hingga dirasakan ketegangan, tahan
31
selama 5 detik
perlahan-lahan
kemudian lepaskan
disertai
menarik
nafas
dalam dan merasakan rileks selama 10
detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
7.
Melatih otot-otot rahang
Peserta
duduk
rileks
kemudian
mengatupkan rahang dengan menggigit
gigi hingga dirasakan ketegangan disekitar
rahang, tahan selama 5 detik
kemudian
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
8.
Melatih otot-otot bibir
Peserta
duduk
rileks
dimoncongkan
kemudian
hingga
bibir
dirasakan
ketegangan disekitar mulut, tahan selama 5
detik
disertai
kemudian lepaskan perlahan-lahan
menarik
merasakan
rileks
nafas
selama
dalam
10
dan
detik.
Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
9.
Melatih
otot-otot
bagian belakang
leher Peserta
duduk
menekankan
kepala
rileks
pada
kemudian
permukaan
32
bantalan
kursi
hingga
dirasakan
ketegangan pada bagian belakang reher dan
punggung atas, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
10.
Melatih
otot-otot
leher Peserta
bagian depan
duduk
rileks
kemudian
mendekatkan dagu ke dada (fleksi leher)
hingga dirasakan ketegangan pada leher
bagian depan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
11
Melatih otot-otot punggung
Peserta duduk tanpa bersandar kemudian
busungkan dada (seperti postur lordosis)
hingga
dirasakan
ketegangan
pada
punggung, tahan selama 5 detik kemudian
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
33
12
Melatih otot-otot dada
Peserta duduk rileks kemudian tarik nafas
dalam hingga dada terlihat mengembang
tahan selama sesaat, kemudian lepaskan
keteganagn secara perlahan dan peserta
dapat bernafas seperti semula.
Lakukan
gerakan yang sama 2 kali.
13
Melatih otot-otot perut
Peserta duduk rileks kemudian tarik perut
kedalam hingga dirasakan ketegangan pada
sekitar
perut,
tahan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
14
Melatih otot-otot tungkai
Peserta duduk rileks dengan kedua kaki
diluruskan kemudian tekuk pergelangan
kaki (dorso fleksi ankle) hingga dirasakan
ketegangan,
tahan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
15
Melatih otot-otot betis
Peserta duduk rileks dengan kedua kaki
34
diluruskan kemudian tekuk pergelangan
kaki (plantar fleksi ankle) hingga dirasakan
ketegangan,
tahan
selama
5
detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
1.4.5
Mekanisme Progressive Muscle Relaxation dalam Menurunkan Tekanan
Darah
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
stres dengan peningkatan tekanan darah sehingga manajemen stres dianggap
penting sebagai pengobatan hipertensi. Relaksasi mampu menghambat stres atau
ketegangan jiwa yang dialami seseorang. Relaksasi merupakan suatu teknik
pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus
stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung, nafas yang cepat dan penurunan
aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf parasimpatis membuat tubuh kembali
ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan nafas dan
peningkatan aktivitas gastrointestinal (Smeltzer, et al ., 2008). Pengaruh saraf
parasimpatis pada sirkulasi yang paling penting adalah pengaturan frekuensi
jantung melalui serabut-serabut saraf parasimpatis yang menuju jantung melalui
nervus vagus. Perangsangan saraf-saraf parasimpatis yang menuju ke jantung
35
(vagus) menyebabkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung saraf vagus.
Asetilkolin yang dilepaskan pada ujung saraf vagus sangat meningkatkan
permeabilitas membran serabut terhadap ion kalium. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan
kenegatifan
di
dalam
serabut
(hiperpolarisasi).
Keadaan
hiperpolarisasi akan menurunkan potensial membran, sehingga akan menurunkan
frekuensi irama nodus sinus dan akan menurunkan eksitabilitas serabut-serabut
penghubun A-V yang terletak diantara otot-otot atrium dan nodus A-V, sehingga
akan memperlambat perjalanan impuls jantung yang menuju ke ventrikel (Guyton
& Hall, 2008).
Gambar 2. 4 Anatomi pengaturan sirkulasi oleh saraf simpatis dan
parasimpatis ke jantung
(Sumber: Guyton & Hall, 2008)
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan total
peripheral resistance dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis.
Teknik relaksasi membuat otot-otot pembuluh darah arteri dan vena
36
bersamaan dengan otot-otot lain dalam tubuh menjadi rileks. Terjadinya
relaksasi otot-otot dalam tubuh ini berpengaruh terhadap penurunan kadar
norepinefrin dalam tubuh (Shinde, et al ., 2013). Dalam keadaan otot-otot
yang rileks juga menyebarkan stimulus ke hipotalamus sehingga jiwa dan
organ dalam tubuh manusia benar-benar merasakan ketenangan dan
kenyamanan yang kemudian akan menekan sistem saraf simpatis sehingga
terjadi penurunan produksi hormon epinefrin dan norepinefrin. Menurut
Black & Hawk (2005), relaksasi juga mengakibatkan regangan pada arteri
akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteri & vena difasilitasi oleh pusat
vasomotor, ada beberapa macam vasomotor yang salah satunya adalah
reflek baroreseptor. Reflek baroreseptor saat relaksasi akan menurunkan
aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan saraf parasimpatis
sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup menurun,
serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu curah jantung,
resistensi perifer total juga menurun sehingga tekanan darah turun.
Download