analisis keterkaitan indeks harga saham gabungan bursa

advertisement
ANALISIS KETERKAITAN INDEKS HARGA SAHAM
GABUNGAN BURSA EFEK JAKARTA DENGAN INDEKS
BURSA SAHAM REGIONAL
OLEH
ANNA MUSTIKAATI
H14103095
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
RINGKASAN
ANNA MUSTIKAATI. Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan
Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional (dibimbing oleh
HERMANTO SIREGAR).
Pasar modal memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian
Indonesia, dimana pasar modal berperan sebagai lembaga intermediasi dana dari
pihak pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Intermediasi tersebut
dapat meningkatkan produktivitas perekonomian melalui aktivitas investasi. Pasar
modal merupakan bagian dari perekonomian di banyak negara. Dengan
diberlakukannya kebijakan perekonomian terbuka, pasar bebas dan perkembangan
teknologi yang pesat, investor akan menjadi mudah mengakses pasar modal di
seluruh dunia. Fakta menunjukkan bahwa pasar modal merupakan salah satu
indikasi perkembangan perekonomian suatu negara sehingga mengisyaratkan
betapa pentingnya pasar modal di suatu negara (Setyastuti, 2004).
Sejak dimulainya liberalisasi pasar modal pada tahun 1989 di Indonesia,
pasar modal mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada saat pertengahan
tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia dan telah
memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia pada umumnya dan
pasar modal pada khususnya. Krisis ekonomi juga menimbulkan contagion effect
(efek penularan) terhadap kawasan lain. Adanya efek penularan tersebut
menyebabkan terjadinya hubungan atau interaksi pasar modal yang akan
membentuk suatu integrasi pasar modal. Pengintegrasian pasar modal
menunjukkan bahwa pasar dapat berinteraksi dengan pasar di negara lain.
Perkembangan pasar modal dapat dilihat dari salah satu indikator pasar
modal yaitu instrumen saham. Perkembangan transaksi harga saham dari tahun ke
tahun cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk
menanamkan investasi di pasar modal semakin besar. Pergerakan saham di
Indonesia yaitu IHSG mempunyai keterkaitan dengan pergerakan saham di negara
lain. Indonesia dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Hongkong
dengan Indeks Hangseng dan Singapura dengan STI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor
ekonomi yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham
Regional dan menganalisis besaran faktor-faktor ekonomi tersebut dalam
mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional.
Dalam penelitian ini variabel makroekonomi yang digunakan adalah
Money Market Rate (MMR) yang merefleksikan tingkat suku bunga dan
Consumer Price Index (CPI) yang merefleksikan tingkat inflasi. Untuk melihat
keterkaitan bursa saham Indonesia (IHSG) dengan Indeks Bursa Saham Regional
penulis hanya menggunakan bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham
Hongkong (Hangseng) sebagai variabel yang mewakili bursa saham regional.
Bursa saham Singapura dan Hongkong adalah bursa saham terdekat dan
berpengaruh terhadap bursa saham Indonesia (IHSG). Data penelitian dibatasi
mulai Januari tahun 2000 sampai dengan Juni tahun 2006.
Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, maka metode yang
digunakan adalah metode Vector Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan
metode analisis Vector Error Correction Model (VECM).
Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka pendek,
Hangseng, STI, MMR Indonesia dan CPI Singapura signifikan mempengaruhi
IHSG. Hal ini mengindikasikan relatif terintegrasinya IHSG dalam jangka pendek
dengan Indeks Bursa Saham dan perekonomian Regional. Dalam jangka panjang,
Hangseng, STI, MMR Indonesia dan CPI Hongkong signifikan
mempengaruhi IHSG, yang mengindikasikan relatif terintegrasinya IHSG dengan
Indeks Bursa Saham dan perekonomian Regional.
Bursa saham terdekat yang paling besar pengaruhnya terhadap Bursa Efek
Jakarta adalah bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham Hongkong
(Hangseng). Oleh karena itu faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap
IHSG adalah STI dan Hangseng.
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa fluktuasi IHSG sangat
dipengaruhi oleh Hangseng, STI, MMR Indonesia, CPI Singapura dan CPI
Hongkong. Oleh karena itu faktor yang paling mungkin dijaga oleh pemerintah
Indonesia adalah MMR Indonesia atau tingkat suku bunga Indonesia agar
pergerakannya tetap konstan dan tidak berfluktuatif, sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan investor dan pemilik modal terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
Untuk pemerintah Indonesia menjaga tingkat suku bunga dengan cara
mengendalikan jumlah uang beredar, mengendalikan tingkat inflasi, melakukan
koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang jauh lebih baik dengan
mengurangi utang luar negeri dan mendorong masuknya FDI. Untuk penelitian
lanjutan sebaiknya dimasukkan faktor lain yang dapat mempengaruhi IHSG
seperti Foreign Direct Investment (FDI) dan Exchange Rate (Nilai Tukar)
sehingga hasil yang didapat lebih baik.
ANALISIS KETERKAITAN INDEKS HARGA SAHAM
GABUNGAN BURSA EFEK JAKARTA DENGAN INDEKS
BURSA SAHAM REGIONAL
Oleh
ANNA MUSTIKAATI
H14103095
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa
: Anna Mustikaati
Nomor Register Pokok
: H14103095
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul
: Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham
Gabungan Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks
Bursa Saham Regional
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
NIP. 131 803 656
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.
NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2007
Anna Mustikaati
H14103095
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anna Mustikaati lahir pada tanggal 3 Mei 1985 di Bogor,
sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Penulis anak tunggal dari
pasangan Atjeng Mukhlis Syarief dan Nanan Nurdjannah. Jenjang pendidikan
penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Bina
Insani, kemudian melanjutkan ke SLTP Bina Insani dan lulus pada tahun 2000.
Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 2 Bogor dan lulus pada tahun
2003.
Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih
tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan
besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir penulis.
Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima sebagai salah satu mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan
Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional”. Saham adalah
salah satu instrumen pasar modal yang penting bagi perekonomian Indonesia.
Pergerakan saham di Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan saham
di luar negeri dilihat dari faktor-faktor ekonomi. Karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan topik ini. Adapun skripsi ini merupakan syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih dan
penghargaan penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar
dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan
baik.
2. Bapak Dr.Ir. Noer Azam Achsani, M.S dan Bapak Syamsul H. Pasaribu,
SE, M.Si selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah
memberi saran-saran dan ilmu yang bermanfaat.
3. Bapak Andriansyah, M.Sc yang telah memberikan izin pengambilan data
melalui Bloomberg di BAPEPAM Departemen Keuangan.
4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief,
MSAE dan Ibunda Ir. Nanan Nurdjannah, APU atas cinta kasih, kesabaran
dan dorongan serta dukungannya. Terima kasih juga kepada Aji Setyo
Nugroho sekeluarga atas doa dan perhatian yang diberikan selama ini.
5. Sahabat-sahabat tercinta Ionk, D’Dj “Wida, Weni, Ratih, Abah, Yogie,
Wiwit, Mimi, Kakek”, temen seperjuangan PS “Girie, Nur, Rico, Aga”,
teman-teman Undip (Dena, Bowo, Hexos, dll), Dewi, teman-teman KPM
“Tika, Tiwie, dll”, Echa, Ka Fikri, Mas Suhendy, Mbill, Anita, Beby,
Onye, Amel, Abank, Heny, Bety, Ria, Dp, Lea, Maiva, Jo, Spog, Ao,
Ryan, Nie..(thanx 4 all...), Gilman, Rizal, Dio, Hilman, Gala, Meta, Budie,
dan seluruh teman-teman angkatan 40.
6. Untuk semua keluarga besar Sutakaria, keluarga besar Syarief serta
seluruh keponakanku tercinta.
7. Untuk seluruh anggota tata usaha Departemen Ilmu Ekonomi.
8. Dan yang terakhir untuk anggota keluarga dirumah yang selalu setia “ Nyi,
Mang Enda, Passha.”
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak
kekurangan. Dengan kerendahan hati, penulis meminta maaf dan mengharapkan
kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan penulis. Semoga hasil dari
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang
membutuhkan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bogor, Juli 2007
Anna Mustikaati
H14103095
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL....…………………….....................……..……......…...............v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….....................vi
DAFTAR LAMPIRAN….............................................................................. ........vii
I.
PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah.............................................................................. 9
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................10
1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................10
1.5 Ruang Lingkup Penelitian...................................................................11
II.
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................12
2.1 Teori Investasi.....................................................................................12
2.2 Pasar Modal.........................................................................................13
2.2.1 Definisi Pasar Modal.................................................................13
2.2.2 Instrumen Pasar Modal............................................................. 16
2.3 Bursa Efek............................................................................................18
2.4 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)..............................................19
2.5 Teori Tingkat Suku Bunga...................................................................21
2.6 Teori Inflasi..........................................................................................21
2.7 Indeks Harga Konsumen (IHK)...........................................................23
2.8 Hubungan Inflasi, Suku Bunga dengan Harga Saham.........................23
2.9 Globalisasi Ekonomi............................................................................25
2.10 Integrasi Ekonomi..............................................................................26
2.11 Hubungan IHSG dengan Indeks Regional.........................................28
2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu...........................................................30
2.13 Kerangka Pemikiran...........................................................................33
2.14 Hipotesis.............................................................................................35
III. METODE PENELITIAN.................................................................................36
3.1 Jenis dan Sumber Data.........................................................................36
3.2 Metode Analisis Data...........................................................................36
3.2.1 Model Umum Vector Autoregression.......................................39
3.2.2 Uji Stasioneritas........................................................................40
3.2.3 Penetapan Lag Optimum………………………………...........41
3.2.4 Uji Kointegrasi…………………………………………..........41
3.2.5 Model Umum Vector Error Correction………………............42
3.2.6 Variance Decomposition (VD)……………………………… 43
3.2.7 Impulse Response Function (IRF)…………………………….44
3.3 Model Penelitian……………………………………………………..44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………............46
4.1 Hasil Estimasi VAR….............………………………………………46
4.1.1 Kestasioneran Data…………………………….…….……….46
4.1.2 Penentuan Lag Optimum Menggunakan Akaike
Information Criteria (AIC).......................................................48
4.1.3 Kointegrasi...............................................................................48
4.2 Integrasi Indeks Harga Saham Gabungan Dengan Indeks Bursa
Saham Regional........................................………………………….. 50
4.3 Hasil Estimasi Model Vector Error Correction...................................52
V. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................66
5.1. Kesimpulan........................................................................................ 66
5.2. Saran....................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................68
LAMPIRAN...........................................................................................................71
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Indikator Pasar Modal (Tahun 1995-2003)........................................................ 4
2. Indeks Harga Saham (Tahun 1996-2006)……………………………………... 7
3. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data…...…………………………………. 36
4. Uji Stasioneritas.................................................................................................47
5. Perhitungan Akaike Information Criteria..........................................................48
6. Johansen Cointegration Test ........................................................................... 49
7. Hasil Estimasi ECM pada variabel saham (IHSG, Hangseng, STI), tingkat
suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS)
dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang........................................................54
8. Hasil Variance Decomposition (VD) .........................………………………...62
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Grafik Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan Periode
Januari 2000 – Januari 2006................................................................................2
2. Kerangka Pemikiran ..........................................................................................34
3. Grafik Impulse Response Function (IRF)..........................................................65
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Uji Stasioneritas pada Level ..............................................................................71
2. Uji Stasioneritas pada First Difference ............................................................ 72
3. Penentuan Lag Optimum ...................................................................................74
4. Uji Kestabilan VAR ………………………………………………………......75
5. Johansen Cointegration Test Summary …………………………………….....75
6. Johansen Cointegration Test ……………………………………………….....76
7. Correlation Matrix …………………………………………………………....77
8. Estimasi Model Vector Error Correction ………………………………….....78
9. Variance Decomposition (VD) …………………………………………….....81
10. Impulse Response Function (IRF) ……………….…………………………..83
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia cukup pesat dan telah
mengubah pola pikir masyarakat di bidang ekonomi umumnya dan bidang
investasi pada khususnya. Investasi merupakan salah satu indikator yang dapat
mempengaruhi perekonomian di suatu negara. Investasi dapat dikatakan
mempengaruhi perekonomian apabila investasi tersebut digunakan untuk
melakukan pembiayaan pada sektor riil sehingga apabila sektor riil telah
berkembang dengan baik maka output nasional akan meningkat. Pembiayaan
sektor riil dapat dilakukan melalui sektor perbankan dan sektor keuangan lainnya
seperti pasar modal.
Pasar modal memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian
Indonesia, dimana pasar modal berperan sebagai lembaga intermediasi dana dari
pihak pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Intermediasi tersebut
dapat meningkatkan produktivitas perekonomian melalui aktivitas investasi. Pasar
modal merupakan bagian dari perekonomian di banyak negara. Dengan
diberlakukannya kebijakan perekonomian terbuka, pasar bebas dan perkembangan
teknologi yang pesat, investor akan menjadi mudah mengakses pasar modal di
seluruh dunia. Fakta menunjukkan bahwa pasar modal merupakan salah satu
indikasi perkembangan perekonomian suatu negara sehingga mengisyaratkan
betapa pentingnya pasar modal di suatu negara (Setyastuti, 2004).
Sejak dimulainya liberalisasi pasar modal pada tahun 1989 di Indonesia,
pasar modal mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan pasar
modal dapat dilihat dari salah satu indikator pasar modal yaitu instrumen saham.
Apabila harga saham meningkat maka mengindikasikan terjadinya pertumbuhan
yang positif dari pasar modal. Perkembangan positif dari pasar modal akan
meningkatkan sumber modal dalam negeri. Apabila sumber modal dalam negeri
meningkat maka diharapkan tersedia dana untuk melakukan pembangunan
ekonomi sehingga perekonomian dapat berkembang ke arah yang positif.
Perkembangan transaksi saham dari tahun ke tahun cenderung meningkat,
hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menanamkan investasi di
pasar modal semakin besar. Perkembangan IHSG menunjukkan peningkatan
jumlah pemegang saham, nilai perdagangan saham dan dana yang dihimpun dari
saham. Perkembangan IHSG dari tahun 2000 hingga tahun 2006 dapat dilihat
pada (Gambar 1).
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Ja
n0
6
Ja
n0
5
Ja
n0
4
Ja
n0
3
Ja
n0
2
IHSG
Ja
n0
1
Ja
n0
0
IHSG
Grafik Pe rk e m bangan IHSG
Pe riode 2000 - 2006
Sumber: Bloomberg (2000-2006)
Gambar 1. Grafik Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan Periode
Januari 2000 – Januari 2006
Saat ini Indonesia mempunyai berbagai hubungan kerjasama baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan keamanan dengan beberapa
negara yang berada di kawasan Asia. Negara Indonesia termasuk ke dalam
anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Pada saat pertengahan
tahun 1997 terjadi krisis ekonomi mata uang yang melanda kawasan Asia dan
telah memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia pada umumnya
dan pasar modal pada khususnya. Krisis ekonomi mata uang yang melanda
kawasan Asia Tenggara menimbulkan contagion effect (efek penularan) terhadap
kawasan lain.
Ketika mata uang bath Thailand jatuh pada 2 Juli 1997, tidak ada yang
menyangka bahwa peristiwa ini merupakan awal dari terjadinya krisis ekonomi
yang terhebat sejak era Great Depression. Krisis ini menyebar tidak hanya
wilayah Asia tapi juga ke Rusia dan Amerika Latin dan mengancam seluruh
dunia. Selama sepuluh tahun belakangan mata uang bath diperdagangkan di
kisaran 25 per dollar, tapi dalam satu malam merosot tajam kira-kira 25 persen.
Currency speculators pun akhirnya menyebar dan menghantam Malaysia, Korea,
Filipina dan Indonesia.
Secara teoritis karakter penyebaran krisis Asia ini dapat dijelaskan karena
adanya dampak spillover sebagai akibat dari keterkaitan perdagangan (trade
linkages), di mana devaluasi di suatu negara akan berimbas kepada partner
dagangnya. Indonesia sendiri negara yang paling parah terkena dampak krisis.
Pasar modal jatuh dari 80 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dollar jatuh 75
persen (Hadi, 2004). Selanjutnya, gejolak di kawasan Asia ini menimbulkan
goncangan di bursa saham Wall Street, New York, AS. Jadi, memang tampak
seperti rentetan persoalan yang meledak secara berurutan dari satu kawasan
menjalar ke kawasan lain.
Di Indonesia, kondisi pasar modal yang sempat mengalami peningkatan
yang pesat juga mengalami penurunan yang diakibatkan oleh krisis tersebut.
Memburuknya kondisi perekonomian pada tahun 1997 dan 1998 telah membawa
dampak berupa penurunan kinerja pada pasar modal Indonesia. Penurunan kinerja
emiten telah membawa akibat berupa kerugian yang dialami oleh sejumlah
investor, sehingga banyak investor yang menarik kembali dananya dari pasar
modal Indonesia. Berdasarkan data pada Tabel 1., dapat dilihat kinerja pasar
modal Indonesia beserta beberapa indikator yang mempengaruhinya.
Tabel 1. Indikator Pasar Modal (Tahun 1995-2003)
Tahun
IHSG (poin)
Nilai Kapitalisasi Pasar
Rp (Milyar)
1995
513.84
152246.46
1996
637.43
215026.08
1997
401.71
159929.86
1998
398.03
175728.98
1999
676.91
451814.92
2000
416.32
259620.96
2001
392.03
239258.73
2002
424.94
268422.78
2003
691.89
460365.96
Nilai Perdagangan
Saham Rp (Milyar)
32357.50
75729.89
120385.17
99684.70
147879.99
122774.76
97522.82
120762.78
125437.61
Sumber : Bursa Efek Jakarta (BEJ)
Tabel 1. menunjukkan nilai kapitalisasi pasar yang mengalami kenaikan
drastis pada tahun 1999 sebesar 157.1 persen dan menghasilkan nilai perdagangan
saham sebesar Rp 147879.99 Milyar. Nilai perdagangan saham dari hasil transaksi
di bursa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tetapi pada tahun 1997
terjadi penurunan sebesar 9.4 persen dari nilai volume perdagangan sebelumnya.
Hal ini disebabkan pada pertengahan tahun 1997, Indonesia dilanda krisis moneter
sebagai akibat dari krisis keuangan yang terjadi di Thailand. Selain itu pula,
terjadi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 45.77 persen
atau penurunan poin dari 401.71 poin menjadi 398.03 poin. Tetapi setelah itu
aktivitas perdagangan di pasar bursa berangsur-angsur membaik, terlihat dari
tahun 1998 nilai volume perdagangan mengalami peningkatan kembali.
Di negara-negara ASEAN (Indonesia dan Singapura) dan negara Asia
(Hongkong) sistem keuangan didasarkan pada sektor perbankan, adanya krisis ini
mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup rumit. Para pemimpin ASEAN
menempatkan perubahan keuangan sebagai kebijakan ekonomi yang paling utama
dimana yang terjadi di Thailand dengan cepat menularkan kepada negara tetangga
(Hongkong dan Singapura) yang memiliki karakteristik dalam hal pokok
makroekonomi. Penularan tersebut menyebabkan terjadinya hubungan antar pasar
modal dan dapat mengembangkan pasar obligasi ASEAN (Indonesia dan
Singapura) dan pasar obligasi negara Asia (Hongkong). Adanya pengembangan
pasar obligasi negara-negara tersebut dalam pasar uang mengakibatkan besarnya
jumlah aliran modal yang masuk pada wilayah ini. Pasar uang dengan aliran
modal yang besar akan membiayai penanaman modal dalam negeri dalam rangka
menaikkan pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut.
Krisis
ekonomi
mulai
terjadi
di
dalam
negeri
dan
kemudian
membentangkan ke negeri lainnya melalui keuangan dan pasar modal. Hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi interaksi dinamis di antara pasar modal ASEAN
(Indonesia dan Singapura) dan pasar modal negara Asia (Hongkong). Secara
operasional, pengintegrasian pasar modal mengacu pada tingkat bahwa pasar
memungkinkan dan mewajibkan untuk berinteraksi dengan pasar di negara lain
dengan menggunakan semua peluang dan informasi yang tersedia. Integrasi pasar
keuangan global yang terjadi sangat rentan dan mengandung ketidakpastian yang
tinggi. Dengan adanya suatu informasi yang tersedia dan cukup mengenai kondisi
dan pergerakan pasar maka dapat membuat suatu keputusan yang tepat untuk
pasar berintegrasi, sedangkan pengintegrasian pasar uang digambarkan dengan
kaitan dengan saling ketergantungan harga antar pasar.
Di negara-negara maju, pasar modal demikian terintegrasi sehingga para
investor dapat melakukan investasi maupun diversifikasi internasional. Pasar
modal Singapura mempunyai derajat integrasi yang tinggi. Para peneliti
menggolongkan negara tersebut sebagai pasar obligasi kelas dunia. Singapura
memiliki bank investasi, korporasi multinasional dan bank pembangunan regional
yang secara konsisten menaikkan modal dalam mata uang lokal. Beberapa
hambatan (barriers) tetap berlaku untuk meningkatkan likuiditas dalam pasar
sekunder. Sebelum pasar regional diguncang krisis, harus dilakukan penyelarasan
agar tercapai pengintegrasian atau penyatuan yang sepadan. Pasar obligasi
regional perlu dikembangkan untuk meningkatkan pasar modal. Sektor perbankan
menjadi tiang yang paling utama didalam sistem keuangan ASEAN, sehingga
perubahan perbankan sangat perlu agar tujuan kebijakan perekonomian tercapai.
Pergerakan transaksi saham dapat saling berkaitan antar negara. Terlebih
dengan adanya pasar obligasi ASEAN (Indonesia dan Singapura) dan pasar
obligasi negara Asia (Hongkong) maka pergerakan saham di Indonesia yaitu
IHSG mempunyai keterkaitan dengan pergerakan di negara lainnya. Negara
Indonesia dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta,
Hong Kong dengan Hangseng dan Singapura dengan STI.
Ada kalanya kenaikan pada bursa regional diikuti penurunan IHSG dan
pelemahan pada bursa regional justru direspons dengan penguatan IHSG.
Sementara, pada bursa regional yang tidak bergerak tetapi IHSG pergerakannya
luar biasa. Pergerakan saham tersebut akan ditunjukkan pada (Tabel 2).
Pergerakan
IHSG
dapat
diamati
melalui
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, diantaranya adalah kondisi makroekonomi, politik, keamanan
dan globalisasi. Kondisi makroekonomi semakin kondusif, dimana semakin
banyak investor yang percaya untuk investasi di Indonesia, baik melalui investasi
langsung maupun investasi portofolio.
Tabel 2. Indeks Harga Saham (Tahun 1996-2006)
Tahun
IHSG
Hangseng
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
637.43
401.71
398.03
676.91
416.32
392.03
424.94
691.89
822.11
1111.11
1493.34
11832.99
13375.79
9498.45
13542.42
16076.70
11787.77
10006.24
10504.34
13079.39
14505.72
17395.10
STI
1982.96
1796.25
1206.49
2046.88
2023.60
1585.95
1512.39
1527.76
1936.95
2251.64
2630.87
Sumber : Bursa Efek Jakarta (BEJ)
Dana yang mengalir ke BEJ dapat mengakibatkan meningkatnya IHSG.
Dan jika kondisi makroekonomi mengkhawatirkan, banyak investor yang
meninggalkan pasar modal dengan
menarik modalnya dari BEJ yang
mengakibatkan penurunan pada IHSG. Selain faktor ekonomi dan keuangan, ada
faktor lain yang dapat mempengaruhi pergerakan IHSG faktor tersebut adalah
politik dan keamanan. Pada bulan Agustus 2000 terjadi ledakan bom di BEJ dan
mengakibatkan penurunan IHSG yang sangat tajam. IHSG meningkat secara
tajam pada saat Presiden SBY dilantik pada Oktober 2004. Hal ini menandakan
bahwa faktor politik dapat mempengaruhi pergerakan IHSG (Nachrowi, 2006).
Adanya globalisasi telah mengubah dunia menjadi tanpa batas. Karena
yang terjadi di suatu tempat akan cepat diketahui di tempat lain yang jaraknya
beribu-ribu mil. Aktivitas ekonomi tentunya tidak akan terlepas dari pengaruh
globalisasi. Perubahan kondisi di Timur Tengah dapat dengan cepat mengubah
harga minyak dunia dan meledaknya bom di suatu tempat akan mengancam
pariwisata di tempat tersebut dengan cepat. Situasi ini akan terjadi dalam pasar
modal.
Pasar modal merupakan salah satu cermin kondisi perekonomian suatu
negara. Akibat globalisasi, kondisi perekonomian dunia akan mempengaruhi
perekonomian negara.
Lebih dari itu bursa saham pengintegrasian dipengaruhi oleh beberapa
faktor
seperti
:
1)
Pengintegrasian
ekonomi
yang
berarti
semakin
mengintegrasikan ekonomi suatu negara, dimana dapat mengintegrasikan
kekayaan pasar obligasi mereka, 2) Berbagai daftar bursa saham yang
menyiratkan bahwa suatu goncangan di dalam bursa saham tertentu akan
mengakibatkan menularnya pada bursa saham negara lainnya, 3) Adanya regulasi
dan penghalang informasi, 4) Institusionalisasi, dimana memindahkan dana luar
negeri maka pengintegrasian akan dipromosikan, 5) Adanya contagion effect,
dimana harga antar bursa saham dapat bergerak bersama-sama dalam kaitan
dengan efek penularan dan efek ini menentukan hubungan yang dinamis antara
bursa saham internasional.
Sehubungan dengan adanya pengintegrasian pasar modal, dalam penelitian
ini akan dilihat faktor ekonomi apa yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan
Indeks Bursa Saham Regional dan seberapa besar faktor tersebut mempengaruhi
integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Indikator yang akan
digunakan sebagai cermin kondisi perekonomian makro negara adalah indeks
harga saham, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi.
1.2 Perumusan Masalah
Pergerakan saham pada bursa regional akan memberikan pengaruh pada
setiap negara. Penguatan indeks pada bursa regional memberikan sentimen positif
dan negatif di pasar saham PT. Bursa Efek Jakarta (BEJ). Demikian pula
sebaliknya, pergerakan bursa saham Indonesia akan memberikan pengaruh
terhadap pergerakan bursa saham regional (Singapura dan Hongkong). Naik
turunnya IHSG dan bursa saham lainnya disebabkan oleh beberapa faktor
ekonomi dan non ekonomi. Melalui analisis ini akan diketahui faktor ekonomi apa
yang berpengaruh terhadap integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional
dan seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh faktor ekonomi tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia sejak pertengahan tahun 1997
telah membuat pasar modal dan perekonomian di setiap negara mengalami
goncangan khususnya di Indonesia dan kawasan Asia lainnya. Adanya krisis
ekonomi akan menimbulkan contagion effect terhadap kawasan lain. Dengan
adanya efek penularan maka negara-negara berinteraksi dan akan menciptakan
suatu integrasi pasar di kawasan Asia. Integrasi pasar akan meningkatkan kinerja
pasar modal dan meningkatkan perekonomian di masing-masing negara.
Indonesia memiliki hubungan keterkaitan pergerakan harga saham dengan negaranegara kawasan Asia (Hongkong dan Singapura). Oleh karena itu, hal-hal yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Faktor ekonomi apa yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks
Bursa Saham Regional ?
2. Seberapa besar faktor ekonomi tersebut berpengaruh terhadap integrasi
IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi integrasi IHSG
dengan Indeks Bursa Saham Regional.
2. Menganalisis
besaran
faktor-faktor
ekonomi
tersebut
dalam
mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang analisis keterkaitan IHSG dengan Indeks Bursa Saham
Regional berguna untuk mengetahui faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi
integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Setelah itu mengetahui
besaran faktor-faktor ekonomi tersebut dalam mempengaruhi integrasi IHSG
dengan Indeks Bursa Saham Regional.
Hasil penelitian ini dapat memberikan suatu ilmu yang berharga
khususnya tentang bursa saham yang sangat menarik untuk dipelajari. Terakhir,
penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi
penelitian selanjutnya sebagai salah satu literatur untuk penelitian yang
bertemakan pasar modal.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini variabel makroekonomi yang digunakan adalah
Money Market Rate (MMR) yang merefleksikan tingkat suku bunga dan
Consumer Price Index (CPI) yang merefleksikan tingkat inflasi. Untuk melihat
keterkaitan bursa saham Indonesia (IHSG) dengan Indeks Bursa Saham Regional
penulis hanya menggunakan bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham
Hongkong (Hangseng) sebagai variabel yang mewakili bursa saham regional.
Bursa saham Singapura dan Hongkong adalah bursa saham terdekat dan
berpengaruh terhadap bursa saham Indonesia. Data penelitian dibatasi mulai
Januari tahun 2000 sampai dengan Juni tahun 2006.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Investasi
Menurut Mankiw (2003), investasi adalah barang-barang yang dibeli oleh
individu dan perusahaan untuk menambah persediaan modal mereka. Menurut
Lipsey, Courant, Purvis dan Steiner (1997) investasi adalah pengeluaran barang
yang tidak dikonsumsi saat ini dimana berdasarkan periode waktunya, investasi
dapat terbagi menjadi tiga diantaranya: investasi jangka pendek, investasi jangka
menengah dan investasi jangka panjang.
Investasi merupakan komitmen sejumlah dana suatu periode untuk
mendapatkan pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang sebagai
kompensasi unit yang diinvestasikan, mencakup waktu yang digunakan, tingkat
inflasi yang diharapkan dan ketidakpastian masa mendatang (Sumanto, 2006).
Pada dasarnya setiap orang atau perusahaan yang melakukan investasi
akan mempunyai tujuan yang sama, yaitu memperoleh kesejahteraan bagi dirinya
atau perusahaan tersebut. Hal ini juga berlaku sama bagi perusahaan emiten yang
berinvestasi di pasar modal. Perusahaan yang berinvestasi di pasar modal
berharap dapat memperoleh keuntungan dalam bentuk capital gain yang pada
akhirnya dapat digunakan untuk meningkatkan investasi perusahaannya sehingga
pendapatan perusahaan akan meningkat.
2.2 Pasar Modal
2.2.1 Definisi Pasar Modal
Pasar modal adalah tempat bertemunya pihak yang membutuhkan dana
(borrower) dengan pihak yang kelebihan dana (lender). Dalam hal ini lenders
akan memberikan dananya pada borrower, sedangkan lenders akan memperoleh
surat bukti (sekuritas) yang memiliki klaim atas aset-aset perusahaan. Umumnya
produk-produk (sekuritas) yang ditawarkan di pasar modal adalah saham biasa,
saham preferen, dan berbagai jenis obligasi, serta produk-produk derivatif. Pasar
modal menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1995 adalah
kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek,
yaitu perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta
lembaga atau profesi yang berkaitan dengan efek. Adapun efek yang dimaksud
disini adalah surat berharga atau saham.
Sedangkan menurut Usman dalam Anoraga dan Pakarti (2006), pasar
modal adalah pelengkap sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu
bank dan lembaga pembiayaan. Pasar modal memberikan jasanya yaitu
menjembatani hubungan antara pemilik modal dalam hal ini disebut sebagai
pemodal (investor) dengan peminjam dana dalam hal ini disebut dengan emiten
(perusahaan yang go public).
Sebagaimana fungsinya yang menjembatani hubungan antara pemilik dana
dan pengguna dana, maka tujuan pasar modal adalah mengadakan alokasi
tabungan secara efisien dari pemilik dana (saver) kepada pemakai dana terakhir
(ultimate user). Dengan adanya pasar modal maka perusahaan yang membutuhkan
dana akan memperoleh dana yang mereka butuhkan untuk meningkatkan
investasinya sehingga kapasitas produksinya akan bertambah dan pada akhirnya
akan meningkatkan produksi barang dan jasa serta memperluas lapangan kerja
(Anwar, 2005).
Pasar modal dibedakan menjadi pasar perdana dan pasar sekunder. Pasar
perdana adalah pasar bagi sekuritas atau efek yang pertama kali diterbitkan atau
diumumkan dalam pasar modal. Sedangkan pasar sekunder adalah pasar bagi efek
yang sudah ada, dan sudah diperdagangkan dalam pasar modal. Pada pasar
sekunder harga efek ditentukan oleh mekanisme pasar.
Perkembangan pasar modal secara langsung dipengaruhi oleh banyaknya
jumlah perusahaan yang menjual saham atau obligasi melalui pasar modal, jumlah
emisi, perkembangan perusahaan-perusahaan yang telah memasyarakatkan saham,
serta kegiatan jual beli saham atau obligasi antar anggota masyarakat yang
dilakukan setiap hari di pasar sekunder. Pada pasar sekunder ini harga saham akan
terbentuk
atas
dasar
kekuatan
permintaan
dan
penawaran,
sehingga
mencerminkan bagaimana penilaian investor atau calon investor terhadap
pendapatan dan risiko dari masing-masing saham yang diperdagangkan. Hal ini
secara tidak langsung mencerminkan penilaian investor terhadap perusahaan
emiten.
Menurut Haditomo (2005), perkembangan pasar modal juga dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian secara umum, karena keadaan ekonomi secara
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan dunia usaha.
Situasi ekonomi yang lesu berakibat banyak perusahaan yang menderita rugi,
sehingga pendapatan bagi pemegang saham menurun atau bahkan perusahaan
tidak mampu membayar deviden. Kondisi yang demikian akan menurunkan minat
masyarakat untuk melakukan investasi dalam bentuk saham, karena pendapatan
saham berupa deviden sangat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba. Keadaan yang sebaliknya akan terjadi apabila situasi ekonomi
akan membaik.
Suta (1996) mengatakan bahwa pasar modal di Indonesia mempunyai
jangkauan dan misi yang lebih luas. Jangkauan yang hendak dirangkum adalah
mencakup tiga aspek mendasar. Ketiga aspek tersebut adalah :
1. Mempercepat proses perluasan pengikutsertaan masyarakat dalam
pemilikan saham perusahaan,
2. Aspek pemerataan pemilikan saham perusahaan dan
3. Menggairahkan partisipasi masyarakat dalam penghimpunan dana untuk
digunakan secara produktif.
Kehadiran pasar modal di Indonesia harus dapat didayagunakan untuk
memberikan manfaat bagi pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Bagi
pemerintah dampak positifnya adalah adanya pemupukan modal dalam negeri.
Selain memperkecil pelarian modal keluar negeri, pasar modal bermanfaat dalam
hubungan dengan perbankan dengan mengendalikan ekspansi kredit yang selalu
meningkat. Dengan adanya pasar modal minimal ekspansi kredit dapat diperkecil
sehingga perusahaan yang memerlukan dana dapat mencarinya melalui penjualan
saham dan pengeluaran obligasi.
Sedang untuk masyarakat, daya tarik dan manfaat yang diperoleh adalah
upaya untuk menambah nilai uang. Oleh karenanya, pasar modal di Indonesia
merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan disamping sumbersumber lain seperti tabungan pemerintah, kredit perbankan, PMA, PMDN,
bantuan luar negeri dan investasi dalam perusahaan.
Dengan pemindahan modal dari pihak asing menjadi milik Indonesia,
melalui pemilikan saham diharapkan sebagian laba yang mengalir keluar negeri
dapat disedot dan dinikmati oleh Indonesia. Meskipun pasar modal di Indonesia
berbeda mekanismenya, tapi fungsinya tetap sama dengan pasar modal di luar
negeri. Ciri pasar modal di Indonesia seperti proses Indonesianisasi pemilikan
saham, tidak terdapat dalam pasar modal di luar negeri. Sebagai contoh pasar
modal di Jepang, Hongkong dan London (Inggris) tidak terdapat prinsip dan misi
demikian. Negara Jepang tidak merasa perlu adanya misi Jepangnisasi. Ini tidak
lain sebagai akibat dari ciri negara yang sudah maju, karena dalam negara maju
jarang terdapat perusahaan asing (PMA).
2.2.2 Instrumen Pasar Modal
Menurut Anoraga dan Pakarti (2006), pasar modal memperdagangkan
instrumen pasar modal, yaitu semua surat-surat berharga (securities) yang
diperdagangkan di bursa. Instrumen pasar modal tersebut antara lain saham,
obligasi dan lain-lain.
a. Saham
Menurut Anoraga dan Pakarti (2006), saham dapat didefinisikan sebagai
surat berharga bukti penyertaan atau pemilikan individu maupun institusi dalam
suatu perusahaan. Dengan memiliki saham di suatu perusahaan maka manfaat
yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Deviden, adalah bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan
kepada pemilik saham.
2. Capital gain, adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan
harga belinya.
3. Manfaat non-finansial yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan
memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.
Dari berbagai saham yang dikenal di bursa, maka saham dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu saham biasa (common stock) dan saham
preferen (preferred stock). Saham biasa merupakan saham yang tidak memperoleh
hak istimewa. Pemegang saham biasa mempunyai hak untuk memperoleh deviden
sepanjang perseroan memperoleh keuntungan, sedangkan saham preferen
merupakan saham yang diberikan atas hak untuk mendapatkan deviden atau
bagian kekayaan pada saat perusahaan dilikuidasi terlebih dahulu dari saham
biasa, disamping itu mempunyai preferensi untuk mengajukan usul pencalonan
direksi atau komisaris (Anoraga dan Pakarti, 2006).
b. Obligasi
Obligasi merupakan bukti pengakuan utang dari perusahaan. Obligasi
mengandung suatu perjanjian atau kontrak yang melibatkan kedua belah pihak,
antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Penerbit obligasi menerima
pinjaman dari pemegang obligasi dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur,
baik mengenai jatuh tempo pelunasan utang, bunga yang dibayarkan, besarnya
pelunasan dan ketentuan-ketentuan tambahan lainnya (Anoraga dan Pakarti,
2006).
2.3 Bursa Efek
Bursa efek adalah lembaga atau perusahaan yang menyelenggarakan atau
menyediakan fasilitas sistem (pasar) untuk mempertemukan penawaran jual dan
beli efek antar berbagai perusahaan atau perorangan yang terlibat dalam tujuan
perdagangan efek perusahaan-perusahaan yang telah tercatat di Bursa Efek.
Menurut Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 menjelaskan bahwa
bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan
atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek kepada pihakpihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara mereka (Darmadji dan
Fakhruddin, 2006).
Di Indonesia, saat ini terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta
(BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). Pemegang saham Bursa Efek adalah
perusahaan efek yang telah memperoleh izin usaha sebagai perantara pedagang
efek (Darmadji dan Fakhruddin, 2006).
Sebagai fasilitator, menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006), bursa efek
mempunyai tugas yang harus dilakukan kepada calon investor agar dapat
menjadikan bursa efek lebih dikenal oleh publik, yaitu :
1. Menyediakan sarana perdagangan efek,
2. Mengupayakan likuiditas instrumen yaitu mengalirnya dana secara
cepat pada efek-efek yang dijual,
3. Menyebarluaskan informasi bursa ke seluruh lapisan masyarakat,
4. Memasyarakatkan pasar modal untuk menarik investor dan perusahaan
yang go public dan
5. Menciptakan instrumen dan jasa baru.
Sedangkan sebagai Self Regulatory Organization (SRO), menurut Darmadji dan
Fakhruddin (2006), bursa efek memiliki tugas sebagai berikut:
1. Membuat peraturan yang berkaitan dengan kegiatan bursa,
2. Mencegah praktek transaksi yang dilarang melalui pelaksanaan fungsi
pengawasan dan
3. Ketentuan bursa efek mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi
pelaku pasar modal.
2.4 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Berbicara tentang kegiatan pasar modal saat ini tidak terlepas dari apa
yang disebut Indeks Harga Saham. Untuk mengetahui bagaimana kegiatan
ekonomi bergerak, naik dan turun, banyak orang akan melihatnya dari sisi indeks
yang dicapai pada saat itu.
Secara sederhana, indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk
membandingkan suatu peristiwa dengan suatu peristiwa lainnya (Anoraga dan
Pakarti, 2006). Demikian juga dengan indeks harga saham, indeks di sini akan
membandingkan perubahan harga saham dari waktu ke waktu. Apakah suatu
harga saham mengalami penurunan atau kenaikan dibandingkan dengan suatu
waktu tertentu.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan harga
saham secara umum yang tercatat di bursa efek. Indeks inilah yang paling banyak
digunakan dan dipakai sebagai acuan tentang perkembangan kegiatan di pasar
modal. IHSG bisa dipakai untuk menilai situasi pasar secara umum atau
mengukur apakah harga saham mengalami kenaikan atau penurunan. IHSG
melibatkan seluruh harga saham yang tercatat di bursa (Anoraga dan Pakarti,
2006).
Untuk perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan ini kita harus
menjumlahkan seluruh harga saham yang tercatat. Rumus untuk menghitung
Indeks Harga Saham Gabungan adalah sebagai berikut:
IHSG =
∑ Ht
∑ H0
X 100%
(1)
dimana:
∑ Ht = Total harga semua saham pada waktu yang berlaku
∑ H0 = Total harga semua saham pada waktu dasar
Dari angka indeks inilah kita bisa melihat apakah kondisi pasar sedang
ramai, lesu atau dalam keadaan stabil. Jika angka IHSG menunjukkan diatas 100
berarti kondisi pasar sedang ramai, sedangkan pada saat IHSG menunjukkan
dibawah 100 berarti pasar sedang lesu. Dan jika IHSG menunjukkan angka 100
maka pasar dikatakan stabil (Anoraga dan Pakarti, 2006).
2.5 Teori Tingkat Suku Bunga
Para ekonom menyebutkan tingkat suku bunga yang dibayar bank sebagai
tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli
masyarakat sebagai tingkat suku bunga riil (real interest rate) (Mankiw, 2003).
Jika i menyatakan tingkat suku bunga nominal, r tingkat suku bunga riil dan πe
tingkat inflasi harapan, maka hubungan di antara ketiga variabel ini dapat ditulis
sebagai berikut :
r = i – πe
(2)
Tingkat suku bunga riil adalah perbedaan di antara tingkat suku bunga nominal
dan tingkat inflasi harapan.
Tingkat suku bunga adalah tingkat bunga deposito bank-bank pemerintah
bulanan. Dimana hubungan negatif antara tingkat suku bunga dan harga saham
adalah semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin rendah investasi (biaya
modal yang semakin tinggi) yang pada akhirnya berdampak semakin turunnya
harga-harga saham.
2.6 Teori Inflasi
Definisi inflasi banyak ragamnya. Keanekaragaman definisi (pengertian)
tersebut terjadi karena luasnya pengaruh inflasi terhadap berbagai sektor
perekonomian. Hubungan yang erat dan luas antara inflasi dan berbagai sektor
perekonomian tersebut melahirkan berbagai perbedaan pengertian dan persepsi
kita tentang inflasi. Demikian pula dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan
untuk solusinya. Inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin
melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil
(intrinsik) mata uang suatu negara (Permana, 2004).
Menurut Friedman dalam Mankiw (2003) inflasi selalu dan dimanapun
merupakan suatu fenomena moneter dan terjadi apabila kenaikan jumlah uang
yang beredar lebih cepat daripada output. Menurut Lipsey et al., (1997) inflasi
adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga. Kadang-kadang, kenaikannya
terus-menerus dan berkepanjangan sehingga harus dibatasi. Naiknya harga-harga
secara umum ini mengakibatkan nilai riil dari suatu mata uang terhadap barang
dan jasa atau yang lebih dikenal dengan istilah daya beli menurun.
Inflasi adalah kecenderungan barang-barang naik secara umum dan dalam
jangka waktu yang tertentu. Hubungan positif antara inflasi dan harga saham
adalah semakin tinggi inflasi maka semakin tinggi barang dan jasa yang pada
akhirnya meningkatkan profit perusahaan dan harga sahamnya (Marciano, 2004).
Sementara tingkat harga merupakan rata-rata tertimbang harga barang dan
jasa di perekonomian yang diperoleh dengan bantuan indeks harga. Indeks harga
yang banyak digunakan adalah indeks harga konsumen (IHK) atau Consumer
Price Index (CPI), PDB deflator dan Whole Price Index (WPI). Namun hampir
semua negara dalam perhitungan inflasi menggunakan IHK.
Inflasi dapat dibedakan antara inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan
moneter, yaitu inflasi inti (core inflation) dan inflasi yang tidak dipengaruhi oleh
kebijakan moneter, yaitu inflasi sesaat (noise). Adapun indikator inflasi yaitu:
1. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum
digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK
dari waktu ke waktu menunjukkan harga dari paket barang dan jasa
yang dikonsumsi masyarakat.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) merupakan indikator yang
menggambarkan
pergerakan
harga
dari
suatu
komoditi yang
diperdagangkan di suatu daerah.
2.7 Indeks Harga Konsumen (IHK)
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), sering
digunakan untuk menentukan biaya hidup dan dahulu disebut cost-of-living index,
mengukur perubahan harga untuk suatu kombinasi belanja barang dan jasa. Jika
GDP mengubah jumlah berbagai barang dan jasa menjadi sebuah angka tunggal
yang mengukur nilai produksi, maka IHK mengubah harga berbagai barang dan
jasa menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga. IHK
juga dapat didefinisikan sebagai harga sekelompok barang dan jasa relatif
terhadap harga sekelompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar
(Mankiw, 2003).
2.8 Hubungan Inflasi, Suku Bunga dengan Harga Saham
Variabel yang berhubungan dengan harga saham adalah tingkat inflasi.
Besar kecilnya laju inflasi akan mempengaruhi suku bunga riil. Hal ini cukup
berpengaruh bagi instrumen-instrumen pasar modal. Bila inflasi mengalami
kenaikan maka pemerintah akan berusaha untuk menurunkannya dengan cara
mengendalikan jumlah uang beredar. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat
suku bunga riil. Dengan meningkatnya tingkat suku bunga riil maka akan
menyebabkan investor cenderung untuk mengurangi kegiatan investasinya. Dana
investasi akan cenderung untuk diendapkan dalam bentuk deposito karena return
yang ditawarkan deposito lebih besar dibandingkan dengan return yang
ditawarkan pasar saham. Dengan berkurangnya transaksi di pasar saham tersebut
maka akan menyebabkan turunnya harga saham (Vimala, 2005).
Inflasi ↑→ pemerintah
mengendalikan
JUB → tingkat
suku
bunga
riil ↑→ investasi ↓→ IHSG ↓
Hubungan antara suku bunga dengan harga saham dapat dilihat dari
hubungan antara suku bunga dengan investasi. Investasi sangatlah dipengaruhi
oleh tingkat suku bunga. Bila suku bunga mengalami kenaikan maka masyarakat
cenderung untuk tidak berinvestasi karena memilih untuk menanamkan modalnya
dalam tabungan atau deposito. Hal ini dikarenakan dengan tingkat suku bunga
yang tinggi maka return yang akan diterima akan lebih tinggi dibandingkan
dengan berinvestasi dalam pasar modal. Ini menyebabkan berkurangnya transaksi
di pasar modal terutama pasar saham sehingga akan menyebabkan penurunan
harga saham.
Bila hal sebaliknya yang terjadi, dengan menurunnya tingkat suku bunga
maka akan menyebabkan masyarakat tidak menanamkan modalnya dalam
tabungan atau deposito. Masyarakat akan menginvestasikan modalnya pada
instrumen investasi dengan imbalan hasil yang lebih tinggi dan salah satu pilihan
adalah dengan berinvestasi dalam pasar modal. Hal ini menyebabkan transaksi
pasar modal akan meningkat dan menyebabkan harga saham ikut mengalami
peningkatan.
2.9 Globalisasi Ekonomi
Globalisasi secara sederhana diartikan sebagai integrasi perekonomian
suatu negara ke dalam perekonomian dunia (global). Proses integrasi
perekonomian global itu sendiri, antara lain dicerminkan oleh adanya liberalisasi
perdagangan dan investasi (ekonomi) (Darwin, 2005).
Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi dan
perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antarbangsa.
Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan
antarnegara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga
batas-batas antarnegara dalam berbagai praktik dunia usaha atau bisnis seakanakan dianggap tidak berlaku lagi (Halwani, 2005).
Lebih lanjut Halwani (2005) menjelaskan bahwa globalisasi ekonomi
ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara
nasional, regional ataupun internasional. Hal itu disebabkan oleh adanya hal-hal
berikut ini:
1. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih.
2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas.
3. Ekonomi negara yang makin terbuka.
4. Penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif tiap-tiap negara.
5. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang makin
efisien.
6. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir
seluruh dunia.
Dua kata kunci di dalam globalisasi adalah interaksi dan integrasi, yakni
interaksi ekonomi antar negara dan tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi antar
negara mencakup arus perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi
berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara secara efektif
merupakan bagian yang tidak otonom dari satu perekonomian tunggal dunia. Jadi
pengertian integrasi lebih keras atau tegas dibandingkan interaksi. Berdasarkan
kedua kata kunci tersebut pengertian globalisasi ekonomi adalah bahwa suatu
kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi kedalam satu
perekonomian tunggal yang bersifat global (Thoha, 2001).
2.10 Integrasi Ekonomi
Integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial atau perdagangan yang
secara diskriminatif mengurangi atau menghapuskan hambatan-hambatan
perdagangan hanya di antara pihak tertentu saja, yakni di negara-negara yang
memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut.
Menurut Djamalius dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan
penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan
menghapuskan semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap
bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan memasukkan semua bentuk-
bentuk kerja sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk
mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional.
Menurut Zarwin dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi internasional
didefinisikan sebagai proses dan alat yang dipakai oleh sebuah kelompok negara
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Integrasi ini dapat terwujud apabila
kerja sama antar negara, baik itu negara lemah maupun kuat, dapat mencapai
tujuan yang dikehendaki dengan lebih efisien dibandingkan dengan kebijakan
lainnya. Integrasi membutuhkan pembagian buruh dan kebebasan pergerakan
barang dan jasa antar negara anggota, lebih lanjut integrasi memerlukan
kebebasan mobilitas faktor-faktor produksi antar negara anggota dan penerapan
proteksi terhadap faktor-faktor ini dengan negara di luar negara anggota.
Dalam penelitian ini integrasi IHSG dengan indeks bursa saham regional
mempunyai arti sebagai penyatuan bursa-bursa saham dengan menganalisis
keterkaitan atau hubungannya dilihat dari harga saham, suku bunga dan tingkat
inflasi. Adapun negara-negara yang akan diteliti adalah Indonesia, Hongkong dan
Singapura.
Suku bunga, tingkat inflasi dan harga saham Indonesia memiliki
keterkaitan dengan suku bunga, tingkat inflasi, harga saham Hongkong dan
Singapura. Indeks Bursa Saham (IHSG) berkorelasi positif dan negatif dengan
Indeks Bursa Regional (Hangseng dan STI). Adanya penyatuan atau integrasi ini
dapat mempengaruhi pertumbuhan pasar modal di masing-masing negara.
Saham di bursa-bursa Asia melemah terpengaruh anjloknya saham Wall
Street. Di Hong Kong, indeks Hangseng turun dan indeks STI mengalami
penurunan terendah dalam dua tahun terakhir mengikuti penurunan indeks Dow
Jones. Menurut para investor, penurunan tingkat suku bunga bisa mengangkat
ekonomi karena bisa menurunkan harga barang konsumen (Hariyanto, 2001).
Contoh lain, menjelang akhir tahun 2006 lalu, dapat dilihat bahwa Bursa
Efek Jakarta bersama dengan bursa Shanghai China dan Mumbai India merupakan
trio bursa di Asia dengan kinerja paling baik. Ketiganya bersama-sama
memecahkan rekor indeksnya masing-masing. Diketahui bahwa pertumbuhan
indeks sebesar 57.25 persen dicapai bursa Jakarta, 65.05 persen oleh bursa
Shanghai dan 48.64 persen oleh bursa Mumbai.
Memasuki masa peralihan semester pertama dan kedua sempat terjadi
penurunan indeks akibat ketidakpastian tingkat suku bunga global. Tetapi, setelah
itu indeks di BEJ terus melaju dan sempat mencapai level 1.800. Inflasi yang
terkendali dan tingkat suku bunga yang terus menurun membuat optimisme ke
lantai bursa. Dimana para investor tertarik untuk membeli saham di bursa.
2.11 Hubungan IHSG dengan Indeks Regional
Globalisasi adalah salah satu penyebab dari korelasi antara IHSG dengan
berbagai indeks yang ada di berbagai belahan dunia. Investor, baik perseorangan
maupun yang tergabung dalam sebuah fund yang dikelola oleh seorang fund
manager, bisa dengan bebas melakukan alokasi aset tanpa melihat batas-batas
negara. Secara khusus, fund manager ini membuat IHSG berhubungan dengan
bursa yang lain. Maraknya pembentukan fund regional yang menggunakan indeks
yang terdiri dari saham-saham yang ada dalam satu regional sebagai benchmark,
adalah penyebab dari semakin besarnya korelasi antara IHSG dengan berbagai
indeks regional.
Fund manager regional bisa dengan bebas memasukkan portofolio
regionalnya dari satu negara ke negara yang lain. Fund manager bisa saja keluar
dari suatu negara untuk menginvestasikan dana yang dimilikinya selama kedua
bursa tersebut masih berada dalam satu regional. Sebagai contoh, untuk 2006, arus
dana asing memang cenderung untuk keluar dari bursa Korea dan Taiwan, tapi
masih masuk untuk bursa Indonesia dan India.
Beberapa fund manager menggunakan indeks regional sebagai benchmark
dari prestasinya dalam melakukan investasi. Indeks regional ini adalah indeks
yang komponennya terdiri dari saham-saham yang listed di beberapa negara.
Fund manager yang menggunakan indeks regional sebagai benchmark bisa jadi
cenderung untuk keluar dari seluruh region apabila terjadi guncangan di satu
negara yang menjadi tujuan investasinya (Utomo, 2007).
Contoh indeks regional ini adalah MSCI Asia Ex Japan yang berisi sahamsaham yang diperdagangkan di bursa-bursa utama Asia di luar Jepang, atau FTSE
atau ASEAN 40 Index yang berisi saham-saham yang ada di bursa ASEAN.
Selain itu Nikkei 225 Bursa Saham Jepang, Hangseng Bursa Saham Hongkong,
Strait Times Bursa Saham Singapura, SET Bursa Saham Thailand dan lain-lain.
2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang telah dilakukan oleh Atmadja (2005) tentang ”Are The
Five ASEAN Stock Price Indices Dynamically Interacted ?“, bertujuan meneliti
interaksi dinamis antara indeks harga saham yang terdapat di lima negara
ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand yang terjadi
selama masa krisis finansial Asia tahun 1997 dan periode sesudahnya. Dengan
menggunakan data time series bulanan indeks harga saham dari kelima negara
tersebut selama periode penelitian, suatu Vector Error Correction Model (VECM)
diaplikasikan untuk meneliti secara empiris interaksi dinamis yang terjadi diantara
berbagai variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Dari hasil penelitian ditemukan dua vektor kointegrasi selama masa
penelitian, dan analisa inovasi akuntansi menunjukkan adanya interaksi dinamis
jangka pendek diantara pasar saham tersebut. Implikasi penting yang mungkin
perlu diperhatikan dari penemuan ini adalah bahwa diversifikasi portofolio saham
pada lima pasar saham tersebut agaknya tidak akan signifikan mengurangi tingkat
resiko investasi. Hal ini dikarenakan oleh tingginya tingkat integrasi diantara
pasar saham tersebut.
Selain itu, Vimala (2005) menganalisis hubungan antara pasar modal
dengan variabel makroekonomi yang terdiri dari Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG), uang beredar, inflasi, suku bunga deposito, suku bunga SBI dan nilai
tukar. Dalam penelitian ini, digunakan model ekonometrika yang dianalisis
dengan menggunakan alat analisis Vector Autoregression (VAR).
Setelah dilakukan pengolahan diperoleh adanya hubungan antara pasar
modal yang diasumsikan dengan menggunakan IHSG dengan variabel
makroekonomi yang terdiri dari jumlah uang beredar, inflasi, suku bunga
deposito, nilai tukar dan suku bunga SBI. Hubungan yang signifikan terjadi antara
IHSG dengan jumlah uang beredar, inflasi dan nilai tukar.
Penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) periode setelah krisis antara tahun 2000-2004
dilakukan oleh Goerdie (2005). Penelitian ini menggunakan variabel IHSG dan
variabel-variabel ekonomi seperti jumlah uang beredar, nilai tukar, suku bunga
SBI dan GDP.
Penelitian ini diolah dengan menggunakan software E-views dengan alat
analisis Ordinary Least Square (OLS). Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa
jumlah uang beredar dan GDP mempunyai hubungan positif terhadap IHSG.
Sedangkan nilai tukar dan suku bunga SBI mempunyai hubungan yang negatif
terhadap IHSG.
Eprianti (2005), melakukan penelitian tentang ”Integrasi Pasar Modal
dengan Perbankan Dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”.
Metode yang digunakan adalah metode Vector Autoregression (VAR) dan
dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) , dengan
menggunakan variabel nilai volume perdagangan saham, Gross Domestic Product
(GDP), suku bunga deposito, IHSG dan NPL. Penelitian ini menganalisis integrasi
pasar modal dan perbankan di Indonesia dilihat dari sudut pandang sebagai
lembaga pembiayaan sektor riil, kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Hasil penelitian bahwa berdasarkan hasil uji kointegrasi, terdapat satu
persamaan kointegrasi. Mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang dalam
model. Dari hasil estimasi VECM, indikator pasar modal signifikan terhadap
indikator perbankan. Pengujian estimasi VECM juga memperlihatkan signifikansi
dari indikator perbankan dalam mempengaruhi nilai indikator pasar modal. Hasil
uji kausalitas multivariat menunjukkan bahwa semua variabel dalam model
mempunyai hubungan dengan pertumbuhan ekonomi pada taraf satu persen.
Adanya hubungan kausalitas tersebut mengindikasikan bahwa terintegrasinya
pasar modal dengan perbankan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Penelitian ini dapat dibedakan dengan penelitian sebelumnya dalam
pembuktian
tentang
integrasi
pasar
modal
dengan
perbankan
dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat dari variabel
yang digunakan.
Pengertian integrasi indeks harga saham gabungan dengan indeks bursa
saham regional dalam penelitian ini adalah penyatuan IHSG tersebut dengan
Indeks Bursa Saham Regional. Sedangkan bursa saham regional yang dimaksud
adalah bursa saham Hangseng (Hongkong) dan bursa saham Strait Times
(Singapura).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression
(VAR) dilanjutkan dengan estimasi Vector Error Corection Model (VECM).
Analisis data menggunakan software eviews versi 4.1.
2.13 Kerangka Pemikiran
Pada saat terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 1997, perekonomian Indonesia benar-benar mengalami
keterpurukan. Krisis moneter tersebut ditandai dengan adanya depresiasi mata
uang rupiah yang berlangsung secara terus-menerus. Depresiasi mata uang rupiah
tersebut mengakibatkan tingkat inflasi mengalami kenaikan dan semakin
memperburuk perekonomian Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah
melakukan pengetatan uang beredar dengan mengurangi jumlah uang beredar di
masyarakat. Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar, salah satu langkah
yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meningkatkan tingkat suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan meningkatnya tingkat suku bunga SBI
menyebabkan tingkat suku bunga deposito juga mengalami kenaikan. Selain
faktor ekonomi makro juga ada beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi
saham yaitu faktor politik, faktor keamanan dan arus globalisasi.
Adanya krisis moneter dapat menimbulkan contagion effect (efek
penularan), pada saat kondisi perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan,
kondisi pasar modal juga mengalami penurunan yang ditandai dengan
melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan. Begitu juga dengan pergerakan
saham di negara lain (Hongkong dan Singapura) yang akan terpengaruh karena
adanya krisis moneter tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis integrasi Indeks Harga
Saham Gabungan dengan Indeks Bursa Saham Regional. Dengan menggunakan
faktor-faktor ekonomi akan diketahui faktor ekonomi apa yang mempengaruhi
integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dan seberapa besar faktor
ekonomi tersebut mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham
Regional.
Dari penjelasan di atas, dapat dibuat skema secara sistematis kerangka
pemikiran pada (Gambar 2).
Pasar Modal
1. Inflasi (CPI)
2. Suku Bunga
(MMR)
IHSG
Indeks Saham
3. Faktor politik
4. Faktor keamanan
5. Globalisasi
Bursa Saham Regional
(Hangseng dan STI)
•
Integrasi
•
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Metode VAR/
VECM
Deskriptif
2.14 Hipotesis
Penelitian mengenai Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan
Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional ini memiliki empat
hipotesis, yaitu :
1a. Tingkat inflasi (consumer price index) memiliki hubungan negatif
dengan harga saham.
1b. Tingkat suku bunga (money market rate) memiliki hubungan negatif
dengan harga saham.
1c. Pergerakan bursa saham IHSG dipengaruhi oleh pergerakan bursa
saham regional (Bursa saham Singapura dan bursa saham Hongkong).
2. Diduga bahwa besaran faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi
integrasi IHSG dengan bursa regional berbeda-beda.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data time series dari bulan Januari 2000 sampai Juni 2006. Data yang
digunakan adalah data Indeks Harga Saham (IHSG, Hangseng dan STI), data
consumer price index (CPI Indonesia, CPI Hongkong dan CPI Singapura) yang
merefleksikan tingkat inflasi dan data money market rate ( MMR Indonesia,
MMR Hongkong dan MMR Singapura) yang merefleksikan tingkat suku bunga.
Data-data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar
Modal (BAPEPAM).
Tabel 3. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data
No
Jenis Data
Satuan
Simbol
1. Indeks harga saham
IHSG, Hangseng,STI
2. Consumer price index
CPII, CPIH, CPIS
3. Money market rate
persen
MMRI, MMRH, MMRS
Sumber
BAPEPAM
BI
BI
Sumber: BI dan BAPEPAM (2007)
3.2 Metode Analisis Data
Penelitian ini akan menggunakan alat analisis Vector Autoregression
(VAR). Jika data yang digunakan stasioner dan tidak terkointegrasi atau dengan
menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) jika data
yang digunakan tidak stasioner namun terkointegrasi.
Vector
Autoregression
(VAR) adalah salah satu
bentuk
model
ekonometrika yang menjadikan suatu peubah sebagai fungsi linear dari konstanta
dan lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang terdapat dalam
suatu sistem persamaan tertentu.
Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometri
konvensional adalah :
1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang
kompleks
keseluruhan
(multivariat),
sehingga
dapat
menangkap
hubungan
variabel di dalam persamaan itu.
2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindari parameter yang bias
akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem
persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous.
4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai
batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan
palsu (spurious variable endogenty and exogenty) di dalam model
ekonometri konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga
menghindari penafsiran yang salah.
Namun model VAR juga memiliki banyak kritik sehingga terdapat banyak
beberapa kelemahan. Menurut Gujarati (1978), kelemahan VAR antara lain:
1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi
dari teori-teori terdahulu;
2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan (forecasting), maka
model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan;
3. Tantangan terberat dalam VAR adalah pemilihan panjang lag yang
tepat;
4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner;
5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan.
Secara keseluruhan, metode yang akan digunakan dalam penelitian ini
terbagi dalam empat tahap:
1. Pengujian nonstasioneritas data dengan menggunakan uji Augmented
Dickey Fuller (ADF).
2. Apabila hasil uji ADF mengandung akar unit, maka dilakukan
penarikan differensial sampai data stasioner. Jika variabel dalam
analisis tidak stasioner pada level, maka pendekatan VAR harus
dikombinasikan dengan VECM.
3. Menentukan lag optimal dengan menggunakan kriteria Akaike
Information
Criteria
Johansen untuk
(AIC).
Kemudian
digunakan
pendekatan
memperoleh rank kointegrasi dengan tujuan
mendapatkan persamaan kointegrasi jangka panjang. Setelah jumlah
rank ditentukan maka dapat dilakukan pendekatan VECM untuk
memperoleh persamaan jangka pendek dan jangka panjang.
4. Perilaku guncangan suatu variabel dan peran masing-masing
guncangan terhadap variabel tertentu dengan menggunakan Impulse
Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD).
3.2.1 Model Umum Vector Autoregression
Hubungan kausalitas antar variabel di dalam sistem persamaan multivariat
lebih rumit dibandingkan dengan bivariat. Persamaan VAR yang dapat dibentuk
adalah sebagai berikut:
⎡ Yt ⎤
⎡ a11 ( L) a12 ( L) a13 ( L) ⎤ ⎡ Yt ⎤
⎢ Xt ⎥ = ⎢a ( L) a ( L) a ( L)⎥ ⎢ Xt ⎥ +
22
23
⎥ ⎢ ⎥
⎢ ⎥
⎢ 21
⎢⎣ Zt ⎥⎦
⎢⎣ a31 ( L) a32 ( L) a33 ( L) ⎥⎦ ⎢⎣ Zt ⎥⎦
⎡ ut ⎤
⎢ vt ⎥
⎢ ⎥
⎢⎣ wt ⎥⎦
(3)
Hsiao dalam Natassyari (2006) secara terperinci telah membuat teorema
pola hubungan antara variabel dalam sistem variabel berdasarkan nilai dalam aij
sebagai berikut :
1. Bila variabel X tidak mempengaruhi Z, syaratnya adalah :
a32(L) = 0
2. Bila variabel X mempengaruhi Z, syaratnya adalah :
a32(L) ≠ 0
3. Hubungan timbal balik antara variabel X dan Z, bila :
a32(L) ≠ 0 dan a23 (L) ≠ 0
4. Hubungan tidak langsung dari variabel X dan Z melalui Y, syaratnya :
a32 (L) = 0 ; a31 (L) ≠ 0 ; a12 (L) ≠ 0
Hubungan palsu jenis I dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika
terdapat
kondisi :
a21 (L) = 0 ; a32 (L) ≠ 0, untuk semua panjang lag
5. Hubungan palsu jenis II dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika
terdapat kondisi :
a32 (L) = 0 ; a12 (L) = 0, untuk semua panjang lag k dan
a31 (L) ≠ 0 ; a21 (L) ≠ 0, untuk semua panjang lag k
3.2.2 Uji Stasioneritas
Banyak studi empiris yang menunjukkan bahwa variabel time series tidak
stasioner. Sehingga salah satu hal penting yang berkaitan dengan studi atau
penelitian yang menggunakan data time series adalah uji stasioneritas. Data time
series dikatakan stasioner jika secara stokastik data menunjukkan pola yang
konstan dari waktu ke waktu, atau dengan kata lain, tidak terdapat pertumbuhan
atau penurunan pada data, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu
waktu. Data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham
dan dua variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi dan tingkat suku bunga.
Uji stasioneritas dapat dilakukan dalam beberapa metode. Metode yang
paling banyak digunakan adalah menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF)
Test. Berdasarkan ADF test, jika didapat nilai ADF statistik lebih kecil daripada
nilai kritis McKinnon maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
Namun jika uji ADF dilakukan dan data time series tersebut diketahui tidak
stasioner maka perlu dilakukan difference non stasionary processes atau uji
stasioneritas pada tingkat difference.
3.2.3 Penetapan Lag Optimum
Penetapan lag optimum merupakan bagian penting dalam VAR. Untuk
memperoleh lag optimum yang tepat dapat dilakukan dalam beberapa bentuk
pengujian. Pada tahap pertama dapat dilihat selang maksimal dari model VAR
yang stabil. Untuk memperoleh selang maksimal dapat dilakukan dengan
mengestimasi model VAR pada tingkat lag yang berbeda-beda sampai ditemukan
selang maksimum yang stabil.
Selanjutnya lag optimum dapat dicari dengan menggunakan kriteria
informasi yang tersedia. Kriteria informasi yang biasa digunakan dalam penentuan
lag optimum adalah Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Information
Criteria (SIC). Lag optimum dapat diperoleh dengan membandingkan nilai AIC
dan SIC. Nilai AIC dan SIC yang terkecil yang dipakai sebagai patokan nilai lag
optimum karena AIC dan SIC minimum menggambarkan residual (error) yang
paling kecil.
3.2.4 Uji Kointegrasi
Dalam VAR semua variabel yang digunakan harus stasioner. Apabila
variabel tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Kointegrasi
menggambarkan kombinasi linier dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Jika
variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel
dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang
stabil (Enders, 2004).
Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan dengan menggunakan lag
optimum sesuai dengan pengujian sebelumnya. Sementara penentuan asumsi
deterministik yang melandasi pembentukan persamaan kointegrasi didasarkan
pada nilai kriteria informasi AIC dan SIC. Berdasarkan asumsi deterministik
tersebut akan diperoleh informasi mengenai banyaknya hubungan kointegrasi
antar variabel sesuai metode Trace dan Max.
Dari uji Johansen akan didapat rank kointegrasi (r). Rank kointegrasi dari
vektor yt adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Untuk itu akan
diuji hipotesis sebagai berikut:
H 0 : rank ≤ r
H 1 : rank > r
Jika rank kointegrasi yang didapat lebih besar dari nol, maka model yang
digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Jika rank kointegrasi
sama dengan nol maka model yang digunakan adalah VAR dengan
pendifferensian sampai lag ke-d.
3.2.5 Model Umum Vector Error Correction
Model VECM dapat dilakukan apabila rank kointegrasi yang didapat lebih
besar dari nol. Model VECM ordo p dan rank kointegrasi r ditulis sebagai:
p −1
Δy t = A0 + πy t −1 + ∑ Φ ∗i Δy t −1 + ε t
i =1
dimana:
π = αβ
β = vektor kointegrasi berukuran r x 1
α = vektor kointegrasi berukuran r x 2
Φ ∗i = -
p
∑A
j =i +1
j
(4)
3.2.6 Variance Decomposition (VD)
Metode Variance Decomposition (VD) dapat menjelaskan seberapa jauh
peranan suatu variabel ekonomi dalam menjelaskan guncangan variabel ekonomi
lainnya. Metode ini dapat pula digunakan untuk melihat kekuatan dan kelemahan
dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun
waktu yang panjang.
Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen
dalam model. Dengan menghitung persentase squared prediction error dari
sebuah variabel akibat guncangan dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat
seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu
sendiri dan variabel-variabel lainnya.
3.2.7 Impulse Response Function (IRF)
Pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan dapat dianalisis melalui
Impulse Response Function (IRF) secara ortogonal. Analisis ini menunjukkan
respon dinamis jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu guncangan
(shock) tertentu sebesar satu standar deviasi pada setiap persamaan. Respon
dinamis yang dihasilkan tidak hanya dalam jangka pendek tetapi dapat juga
melihat respon beberapa bulan ke depan sebagai informasi jangka panjang.
3.3 Model Penelitian
Dalam penelitian ini, analisis hubungan antara bursa saham Indonesia
dengan bursa saham regional (Hongkong dan Singapura) dilihat dengan
menggunakan indeks harga saham, tingkat inflasi (consumer price index) dan
tingkat suku bunga (money market rate). Berdasarkan hal tersebut model
penelitian dapat ditulis sebagai berikut:
⎡ ln_ ihsg ⎤ ⎡ a 0 ⎤ ⎡ a11
⎢ ln_ cpis ⎥ ⎢ ⎥ ⎢
⎢
⎥ ⎢ b0 ⎥ ⎢a 21
⎢ ln_ cpii ⎥ ⎢ c 0 ⎥ ⎢a31
⎢
⎥ ⎢ ⎥ ⎢
⎢ ln_ sti
⎥ = ⎢ d 0 ⎥ + ⎢a 41
⎢ln_ hangseng ⎥ ⎢ e ⎥ ⎢a
⎢
⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎢ 51
mmrs
⎢
⎥ ⎢ f 0 ⎥ ⎢a61
⎢
⎥ ⎢ g ⎥ ⎢a
mmrh
⎢
⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎢ 71
⎢ ln_ cpih ⎥ ⎢ h0 ⎥ ⎢ a81
⎢
⎥ ⎢ i ⎥ ⎢a
mmri
⎣
⎦ ⎣ 0 ⎦ ⎣ 91
a12
a 22
a13
a 23
a14
a 24
a15
a 25
a16
a 26
a17
a 27
a18
a 28
a32
a 42
a52
a 62
a33
a 43
a53
a 63
a34
a 44
a54
a64
a35
a 45
a55
a 65
a36
a 46
a56
a 66
a37
a 47
a57
a 67
a38
a 48
a58
a 68
a 72
a82
a92
a 73
a83
a93
a74
a84
a94
a 75
a85
a95
a 76
a86
a 96
a 77
a87
a97
a 78
a88
a98
a19 ⎤
a 29 ⎥⎥
a39 ⎥
⎥
a 49 ⎥
a59 ⎥
⎥
a 69 ⎥
a 79 ⎥
⎥
a89 ⎥
a99 ⎥⎦
⎡ ln_ ihsg t −i ⎤ ⎡ e 1 t ⎤
⎢ ln_ cpis
⎥ ⎢e ⎥
t −i
⎢
⎥ ⎢ 2t ⎥
⎢ ln_ cpii t −i ⎥ ⎢ e 3 t ⎥
⎥
⎢
⎥ ⎢
ln_ sti t −i
⎢
⎥ + ⎢ e 4 t ⎥ (5)
⎢ln_ hangseng t − i ⎥ ⎢ e 5 t ⎥
⎥
⎢
⎥ ⎢
mmrs t −i
⎢
⎥ ⎢ e6t ⎥
⎢
⎥ ⎢e ⎥
mmrh t −i
⎢
⎥ ⎢ 7t ⎥
⎢ ln_ cpih t −i ⎥ ⎢ e 8 t ⎥
⎢
⎥ ⎢e ⎥
mmri t − i
⎣
⎦ ⎣ 9t ⎦
dimana:
ln_ihsg
: indeks harga saham gabungan Indonesia
ln_cpis
: consumer price index Singapura
ln_cpii
: consumer price index Indonesia
ln_sti
: indeks strait times Singapura
ln_hangseng : indeks hangseng Hongkong
mmrs
: money market rate Singapura(%)
mmrh
: money market rate Hongkong (%)
ln_cpih
: consumer price index Hongkong
mmri
: money maket rate Indonesia (%)
Dalam metode yang digunakan pada penelitian ini, semua data yang
diestimasi adalah dalam bentuk logaritma natural kecuali variabel-variabel yang
sudah dalam persen. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menganalisis
Variance Decomposition maupun Impulse Respon Function. Dengan demikian
semua data dalam penelitian ini diubah dalam bentuk logaritma natural.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Estimasi VAR
4.1.1 Kestasioneran Data
Uji kestasioneran data merupakan tahap yang penting dalam menganalisis
data time series untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung diantara
variabel sehingga hubungan antara variabel dalam persamaan menjadi valid dan
tidak spurious atau menghasilkan regresi palsu. Dalam banyak kasus ditemukan
jika data time series yang tidak stasioner dapat menghasilkan pola hubungan
regresi palsu (Gujarati, 1978). Menurut Irawan dalam Natassyari (2006), regresi
palsu (Spurious Regression) adalah regresi yang menggambarkan hubungan dua
variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik, padahal
kenyataannya tidak atau tidak sebesar sebagaimana yang nampak dari regresi
yang dihasilkan tersebut, sehingga dapat mengakibatkan misleading dalam
penelitian terhadap suatu fenomena ekonomi yang sedang terjadi.
Salah satu cara untuk menghindari regresi palsu pada variabel adalah
dengan memastikan bahwa variabel tersebut stasioner, dengan melakukan uji unit
root pada tingkat first difference. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengukur keberadaan stasioneritas, salah satunya adalah dengan menggunakan
Augmented Dickey Fuller (ADF). Berdasarkan uji tersebut, jika nilai ADF statistik
dari masing-masing variabel lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon maka
dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
Tabel 4. Uji Stasioneritas
Variabel
Level
Nilai ADF
Keterangan
Ln_IHSG
-2.991245
Tidak
stasioner
Ln_CPIS
-2.317714
Tidak
stasioner
Ln_CPII
-1.761000
Tidak
stasioner
Ln_STI
-1.901858
Tidak
stasioner
Ln_HANGSENG
-1.317138
Tidak
stasioner
MMRS
-0.186148
Tidak
stasioner
MMRH
-0.407040
Tidak
stasioner
Ln_CPIH
0.111940
Tidak
stasioner
MMRI
-2.009372
Tidak
stasioner
First Difference
Nilai ADF
Keterangan
-7.464644
Stasioner
-11.50991
Stasioner
-5.479503
Stasioner
-9.128501
Stasioner
-7.627125
Stasioner
-7.736863
Stasioner
-4.069578
Stasioner
-7.408636
Stasioner
-14.68338
Stasioner
Sumber: Lampiran 1 dan Lampiran 2
Keterangan: Uji akar unit dilakukan dengan menggunakan E-views 4.1, nilai kritis MacKinnon
pada level adalah 1%, 5%, 10% adalah -4.081666;-3.469235;-3.161518, nilai kritis Mackinnon
pada first difference adalah 1%, 5%, 10% adalah -2.595745;-1.945139;-1.613983.
Berdasarkan hasil pengujian, semua variabel mengandung unit root (tidak
stasioner pada level). Hal ini dapat dilihat dari nilai statistik ADF kesembilan
variabel tersebut lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon. Sehingga untuk
mencegah adanya regresi palsu perlu dilakukan uji unit root pada tingkat first
difference.
Berdasarkan hasil pengujian pada tingkat first difference diperoleh hasil
bahwa semua variabel stasioner pada tingkat ini. Hal ini karena nilai statistik ADF
semua variabel lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon (lampiran 2). Sehingga
diketahui bahwa semua variabel stasioner pada hasil uji derajat integrasi satu I(1).
4.1.2 Penentuan Lag Optimum Menggunakan Akaike Information Criteria
(AIC)
Penentuan lag optimum sangat diperlukan karena variabel eksogen yang
digunakan tidak lain adalah lag dari variabel endogen dan juga variabel
eksogennya. Untuk menetapkan lag optimum digunakan nilai Akaike Information
Criteria (AIC). Hasil dari perhitungan Akaike Information Criteria (AIC) pada
Tabel 5. diperoleh lag optimum adalah lag 2. Hal ini terjadi karena pada
perhitungan nilai AIC yang didapat memperlihatkan nilai minimum AIC berada
pada saat lag 2 yaitu pada saat nilai AIC sebesar -26.02879. Maka dapat
disimpulkan bahwa lag optimum yang digunakan pada model VECM adalah lag
2.
Tabel 5. Perhitungan Akaike Information Criteria
AIC
lag
0
-25.98179
1
-26.02567
2
-26.02879*
3
-25.34881
4
-25.50490
Sumber: Lampiran 3
* merupakan lag optimum
4.1.3 Kointegrasi
Keberadaan variabel yang tidak stasioner meningkatkan kemungkinan
adanya hubungan kointegrasi antar variabel. Untuk itu perlu dilakukan uji
kointegrasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kointegrasi tersebut dan
memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel harga saham, tingkat suku
bunga dan tingkat inflasi.
Semua variabel stasioner pada derajat yang sama, yaitu derajat satu
(lampiran 2). Oleh karena itu uji kointegrasi dapat dilakukan melalui uji Johansen
Cointegration Test dengan menggunakan panjang lag optimum 2.
Tabel 6. Johansen Cointegration Test
Hypothesized
Eigenvalue
Trace Statistic Critical Value
No. of CE(s)
5%
None**
0.619113
243.4015
192.89
At most 1**
0.473803
171.0075
156.00
At most 2
0.357543
122.8515
124.24
At most 3
0.300267
89.66737
94.15
At most 4
0.272321
62.88810
68.52
At most 5
0.230248
39.04598
47.21
At most 6
0.141412
19.41949
29.68
At most 7
0.099644
7.984564
15.41
At most 8
0.001494
0.112156
3.76
Critical
value 1%
204.95
168.36
133.57
103.18
76.07
54.46
35.65
20.04
6.65
Sumber: Lampiran 6
Catatan :**signifikan pada taraf nyata 5% dan 1%
Tabel 6. menunjukkan hasil Johansen Cointegration Test yang digunakan
untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi yang terdapat di dalam sistem.
Jika Trace Statistic > Critical Value maka persamaan tersebut terkointegrasi.
Dengan demikian Ho = non kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H =
kointegrasi. Jika Trace Statistic > Critical Value maka kita tolak Ho atau terima
H yang artinya terjadi kointegrasi. Hasil uji Johansen menunjukkan terdapat dua
persamaan kointegrasi (r = 2) yaitu saat nilai Trace Statistic lebih besar daripada
nilai kritisnya. Diketahui r = 2 maka model yang digunakan adalah VECM.
4.2 Integrasi Indeks Harga Saham Gabungan Dengan Indeks Bursa Saham
Regional
Integrasi
ekonomi
merupakan
penciptaan
struktur
perekonomian
internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-
pembatasan yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dengan jalan
memasukkan semua bentuk-bentuk kerja sama dan unifikasi. Integrasi dapat
dipakai sebagai alat untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan nasional (Djamalius dalam Hanie (2006)),
sedangkan menurut Zarwin dalam Hanie (2006), integrasi adalah sebagai proses
dan alat yang dipakai oleh sebuah kelompok negara untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama. Integrasi ini dapat terwujud apabila ada kerja sama antar
negara, baik itu negara lemah maupun kuat.
Selain itu menurut Atmadja (2005) dalam jurnalnya berjudul “Are The
Five Asean Stock Price Indices Dynamically Interacted ? ” yang meneliti interaksi
dinamis antara indeks harga saham yang terdapat di lima negara ASEAN, yaitu
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand menunjukkan adanya
interaksi dinamis jangka pendek diantara pasar saham tersebut. Implikasi penting
yang mungkin perlu diperhatikan dari penemuan ini adalah bahwa diversifikasi
portofolio saham pada lima pasar saham tersebut agaknya tidak akan secara
signifikan mengurangi tingkat resiko investasi. Hal ini dikarenakan oleh tingginya
tingkat integrasi diantara pasar saham tersebut.
Menurut Oemar (2007), persaingan di tingkat ASEAN juga didasari oleh
suatu kepastian hukum dan persaingan yang sehat di antara pelaku bisnis di
kawasan ASEAN. Perlunya dikembangkan sistem hukum yang efektif untuk
mendorong peningkatan persaingan kegiatan bisnis di kawasan tersebut.
Dalam pasar yang terintegrasi, menurut Oemar (2007) seperti AFTA
(Asean Free Trade Area) memerlukan hukum khusus persaingan yang mengatur
perjanjian horizontal dan vertikal, posisi dominan serta penyalahgunaan posisi
dominan di kawasan ASEAN. Melalui hukum persaingan Asean akan bisa
mendorong perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik, menjamin kepastian
hukum dan memberikan persaingan sehat bagi semua pelaku bisnis.
Pendirian Asean antara lain bertujuan untuk memperkuat integrasi
ekonomi ditingkat regional. Dalam kondisi seperti itu, diperlukan satu sistem
hukum untuk mendorong pelaksanaan liberalisasi investasi dan perdagangan di
kawasan Asean. Singapura dan Vietnam merupakan negara yang telah
mengembangkan hukum persaingan di negara mereka masing-masing sejak tahun
2004 dan mulai berlaku efektif pada bulan Juli 2005.
Beberapa negara anggota Asean seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan
Myanmar yang selama ini menganut sistem ekonomi tertutup sudah mulai masuk
ke ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi pasar, maka diperlukan kepastian
hukum persaingan supaya tidak ada diskriminasi terhadap pelaku usaha yang akan
melakukan kegiatan bisnis di kawasan Asean (Oemar, 2007).
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasar saham Indonesia, Singapura
memiliki tingkat integrasi yang tinggi. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai
acuan yang menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan atau hubungan integrasi
yang tinggi antara pasar saham Indonesia dan Singapura.
Integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dalam penelitian ini
adalah penyatuan bursa-bursa saham. Selain dilihat dari faktor harga saham juga
dilihat dari faktor tingkat inflasi dan faktor tingkat suku bunga. Negara yang
dianalisis selain Indonesia dan Singapura adalah Hongkong. Adanya penyatuan
atau integrasi ini dapat mempengaruhi perkembangan pasar modal di masingmasing negara.
Harga saham, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi di Indonesia
berpengaruh terhadap ketiga faktor tersebut di negara lainnya. Misalnya harga
saham di Hongkong (Hangseng) mengalami penurunan, begitupun dengan harga
saham di Singapura (STI) yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga saham
di Indonesia (IHSG).
4.3 Hasil Estimasi Model Vector Error Correction
Dari hasil estimasi VECM didapat koefisien regresi jangka pendek dan
jangka panjang antara harga saham Indonesia (IHSG) dengan harga saham bursa
regional (Hangseng dan STI)1, tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan
tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS). Sehingga pada estimasi ini variabel dependen
adalah IHSG sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah harga
saham (Hangseng dan STI), tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan
tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS) (lampiran 8).
Pada analisis jangka pendek untuk IHSG, terdapat dugaan parameter
koreksi kesalahan persamaan kointegrasi pertama (IHSG) sebesar -0.10 persen
yang secara statistik signifikan (Tabel 7). Sedangkan pada persamaan kointegrasi
kedua (CPIS) terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan yang secara statistik
tidak signifikan.
1
Indeks Harga Saham Nikkei 225 sudah dicoba dimasukkan kedalam model, tapi hasil
estimasinya tidak signifikan.
Hasil estimasi VECM jangka pendek menunjukkan bahwa CPI Indonesia
tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. MMR Indonesia pada
lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara negatif
sebesar -0.01, artinya jika MMR Indonesia mengalami peningkatan sebesar satu
persen, maka IHSG akan mengalami penurunan sebesar -0.01 persen. Hal ini
sesuai dengan hipotesis yaitu tingkat suku bunga yang direfleksikan dengan
MMRI berhubungan negatif dengan harga saham. Kenaikan tingkat suku bunga
mengakibatkan orang lebih memilih untuk menyimpan dananya di perbankan
dengan return yang lebih tinggi dibanding dengan menginvestasikan dananya di
pasar modal, sehingga menyebabkan investasi pasar modal dan harga saham
menurun.
Selain itu suku bunga sebagai salah satu instrumen moneter sering
digunakan oleh bank sentral sebagai sarana pengendalian moneter, yang terlihat
bahwa variabel tingkat suku bunga sangat signifikan. Peningkatan tingkat suku
bunga akan menggeser kuva LM kekiri sehingga terjadi kontraksi moneter, selain
itu naiknya tingkat suku bunga juga menurunkan investasi yang dalam jangka
panjang akan menurunkan pendapatan nasional dan produksi barang dan jasa.
Sehingga dampak meningkatnya suku bunga bagi perusahaan selain mengalami
penurunan dalam penjualan, juga menanggung biaya modal yang meningkat
sehingga membuat laba perusahaan dan harga saham akan menurun (Marciano,
2004).
Tabel 7.
Hasil Estimasi ECM pada variabel saham (IHSG, Hangseng, STI),
tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan tingkat inflasi
(CPII, CPIH, CPIS) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Variabel
Koefisien
T-statistik
Jangka Pendek
D(LNIHSG(-1))
D(LNIHSG(-2))
D(LNCPIS(-1))
D(LNCPIS(-2))
D(LNCPII(-1))
D(LNCPII(-2))
D(LNSTI(-1))
D(LNSTI(-2))
D(LNHANGSENG(-1))
D(LNHANGSENG(-2))
D(MMRS(-1))
D(MMRS(-2))
D(MMRH(-1))
D(MMRH(-2))
D(LNCPIH(-1))
D(LNCPIH(-2))
D(MMRI(-1))
D(MMRI(-2))
C
CointEq1
CointEq2
0.083014
-0.143220
-6.690040
-0.156788
0.237555
0.297340
0.042488
0.702315
0.255870
-0.549398
-0.009827
0.050608
-0.006500
0.011800
1.267315
2.147385
-0.007674
-0.007201
0.012857
-0.104329
0.030980
0.55993
-1.15072
-3.04263*
-0.07012
0.33647
0.39221
0.18091
3.00178 *
1.22698
-2.74927 *
-0.21455
1.12513
-0.37352
0.75672
0.66986
1.09998
-1.77789*
-1.76617*
1.16412
-1.84888*
0.03415
0.857031
-1.584456
3.826286
-0.014410
0.010423
-18.59412
0.067592
62.06178
1.31186
-2.29039 *
4.91780 *
-0.12131
0.24413
-3.65019 *
4.46275 *
-
Jangka Panjang
LNCPII(-1)
LNSTI(-1)
LNHANGSENG(-1)
MMRS(-1)
MMRH(-1)
LNCPIH(-1)
MMRI(-1)
C
Sumber: Lampiran 8
Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata 10 %
Hangseng pada lag kedua signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10
persen secara negatif sebesar -0.55, artinya jika Hangseng mengalami peningkatan
sebesar satu persen, maka IHSG akan mengalami penurunan sebesar -0.55 persen.
Hal ini terjadi karena perekonomian Hongkong lebih kuat dibandingkan dengan
perekonomian Indonesia. Para investor lebih memilih untuk menanamkan
modalnya di Hongkong dengan resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan
berinvestasi di Indonesia. Oleh karena itu investasi di Indonesia menurun
sehingga harga saham di Indonesia ikut menurun. Selain itu juga indeks Hangseng
lebih fleksibel dan berpengaruh terhadap pergerakan saham global dibandingkan
dengan IHSG. Bursa saham Hongkong juga menempati posisi sebagai bursa
saham terbesar kedua di Asia oleh karena itu bursa saham Hongkong lebih banyak
diminati oleh para investor (Bloomberg, 2007). CPI Hongkong tidak signifikan
mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. MMR Hongkong tidak signifikan
mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen.
STI pada lag kedua signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen
secara positif sebesar 0.70, artinya jika terjadi peningkatan pada STI sebesar satu
persen, akan menyebabkan peningkatan pada IHSG sebesar 0.70 persen. Hal ini
terjadi karena Indonesia dan Singapura adalah dua negara yang saling
mempengaruhi, dilihat dari letak kedua negara yang berada pada satu regional
atau satu kawasan. Selain itu bursa saham Singapura adalah bursa saham terdekat
yang paling besar pengaruhnya terhadap bursa saham Indonesia.
CPI Singapura pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada
taraf 10 persen secara negatif sebesar -6.69, artinya jika CPI Singapura
mengalami kenaikan sebesar satu persen, maka IHSG akan mengalami penurunan
sebesar -6.69 persen. Adanya kenaikan harga di Singapura akan menyebabkan
pemerintah Singapura menurunkannya dengan cara mengendalikan jumlah uang
beredar, sehingga terjadi peningkatan tingkat suku bunga. Dengan meningkatnya
tingkat suku bunga maka terjadi penurunan pada investasi, dengan menurunnya
tingkat investasi di Singapura maka akan berpengaruh langsung terhadap investasi
di Indonesia. Dengan demikian akan mengakibatkan menurunnya harga saham di
Indonesia. MMR Singapura tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10
persen.
Pada hasil estimasi VECM jangka panjang menunjukkan bahwa CPI
Indonesia tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. MMR
Indonesia pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen
secara positif sebesar 0.07, artinya setiap terjadi peningkatan pada MMR
Indonesia sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan pada IHSG
sebesar 0.07 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori, dimana tingkat suku bunga
yang direfleksikan dengan MMRI seharusnya berhubungan negatif dengan harga
saham.
Namun pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2006, terdapat faktor-faktor
lain yang membuat harga saham mengalami peningkatan. Pada saat itu para
investor tetap menginvestasikan dananya di Indonesia karena faktor kondisi
keamanan negara yang cukup kondusif. Juga meskipun tingkat suku bunga
meningkat, pada saat itu para investor tetap menerima return, sehingga mereka
tetap menginvestasikan dananya di Indonesia. Selain itu adanya faktor jaminan
hukum bagi para investor untuk berinvestasi di Indonesia, yang membuat para
investor tersebut merasa aman dan nyaman untuk menanamkan modalnya dan
adanya faktor birokrasi yang tidak berbelit-belit dan tidak membutuhkan waktu
lama dalam hal perizinan berinvestasi. Hal-hal tersebut yang membuat investor
tetap menanamkan modalnya di Indonesia.
Hangseng pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10
persen secara positif sebesar 3.83, artinya jika Hangseng mengalami peningkatan
sebesar satu persen, maka akan menyebabkan peningkatan pada IHSG sebesar
3.83 persen. Hal ini disebabkan perekonomian Hongkong mempengaruhi
perekonomian Indonesia. Apabila terjadi peningkatan pada indeks saham
Hongkong maka indeks saham Indonesia pun akan ikut meningkat. Selain itu,
perekonomian Hongkong merupakan perekonomian yang berorientasi keluar atau
outward-oriented dengan ekspor barang dan jasanya berjumlah satu setengah kali
PDB-nya. Pertumbuhan ekonominya rata-rata sebesar 8 persen selama dua puluh
lima tahun yang lalu. Dan pendapatan per kapita negara itu dewasa ini sebesar
US$ 12.000, yaitu merupakan yang kedua tertinggi di Asia sesudah Jepang. Oleh
karena itu, perekonomian Hongkong kuat dan mempengaruhi perekonomian
Indonesia (Kamaluddin, 1992).
CPI Hongkong pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada
taraf 10 persen secara negatif sebesar -18.59, artinya setiap terjadi peningkatan
pada CPI Hongkong sebesar satu persen maka akan menyebabkan penurunan pada
IHSG sebesar -18.59 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan harga di
Hongkong akan menyebabkan pemerintah Hongkong mengendalikan jumlah uang
beredar, sehingga tingkat suku bunga di Hongkong meningkat dan menyebabkan
investasi Hongkong menurun. Karena perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh
perekonomian Hongkong, maka investasi Indonesia pun akan ikut turun dan pada
akhirnya IHSG pun menurun. MMR Hongkong tidak signifikan mempengaruhi
IHSG pada taraf 10 persen.
STI pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen
secara negatif sebesar -1.58, artinya setiap terjadi kenaikan pada STI akan
menyebabkan penurunan pada IHSG sebesar -1.58 persen. Hal ini karena para
investor lebih memilih untuk menginvestasikan dana dalam jangka panjang di
Singapura. Adanya return yang lebih tinggi dan resiko lebih kecil merupakan
salah satu alasan para investor untuk menanamkan modalnya di Singapura. Oleh
karenanya banyak para investor yang menanamkan modal di Indonesia kemudian
beralih ke Singapura sehingga menyebabkan penurunan investasi di Indonesia dan
mengakibatkan harga saham Indonesia pun ikut menurun. MMR Singapura tidak
signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen (Tabel 7).
Integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dapat dilihat melalui
analisis Variance Decomposition (VD). Analisis ini dapat menjelaskan seberapa
jauh peranan suatu variabel ekonomi dalam menjelaskan guncangan variabel
ekonomi lainnya. Analisis Variance Decomposition (VD) dapat pula dipakai
untuk melihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam
mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang.
Hasil VD menunjukkan bahwa Varians CPI Indonesia tidak dominan
mempengaruhi varians IHSG. Pada periode 7 sampai periode terakhir varians CPI
Indonesia terus menurun hingga sebesar 0.02 persen pada periode 65. Varians
MMR Indonesia mempengaruhi varians IHSG sebesar 0.40 persen hingga 0.10
persen pada periode 25 dan pada periode selanjutnya varians MMR Indonesia
menurun dan pada periode 65 varians MMR Indonesia sebesar 0.04 persen.
Varians STI dapat menjelaskan variasi IHSG pada urutan kedua sebesar
17.18 persen hingga 19.39 persen pada periode 65. Varians CPI Singapura
mempengaruhi variasi IHSG sebesar 4.68 persen hingga 4.98 persen pada periode
13. Lalu pada periode selanjutnya sampai periode terakhir varians CPI Singapura
mempengaruhi variasi IHSG sebesar 5.14 persen hingga 5.33 persen. Varians
MMR Singapura mempengaruhi varians IHSG sebesar 1.36 persen hingga 1.59
persen pada periode 20. Lalu pada periode selanjutnya varians MMR Singapura
meningkat dan pada periode 65 varians MMR Singapura sebesar 1.71 persen.
Varians Hangseng dapat menjelaskan variasi IHSG pada urutan ketiga
sebesar 10.06 persen hingga 13.05 persen pada periode 20. Lalu pada periode
selanjutnya sampai periode terakhir varians Hangseng meningkat sampai sebesar
13.95 persen pada periode 65. Varians CPI Hongkong mempengaruhi variasi
IHSG sebesar 0.11 persen hingga 0.28 persen pada periode 30. Lalu pada periode
selanjutnya sampai periode terakhir varians CPI Hongkong meningkat sampai
sebesar 0.30 persen pada periode 65. Varians MMR Hongkong mempengaruhi
varians IHSG sebesar 0.21 persen hingga 0.30 persen pada periode 20. Lalu pada
periode selanjutnya varians MMR Hongkong meningkat dan pada periode 65
varians MMR Hongkong sebesar 0.33 persen.
Dari hasil analisis Variance Decomposition (VD) diatas dapat dilihat
bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap IHSG adalah STI. Hal ini terjadi
karena perekonomian Singapura sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Bursa saham Singapura adalah bursa saham terdekat yang paling berpengaruh
terhadap Bursa Efek Jakarta. Selain itu juga dilihat dari letak kedua negara,
memungkinkan untuk terjadinya kerjasama baik dalam bidang ekonomi, politik,
keamanan, sosial dan budaya. Lalu diurutan kedua adalah Hangseng. Hal ini
mengindikasikan bahwa bursa saham Hongkong dan Singapura mempengaruhi
bursa saham Indonesia.
Dengan demikian jika terjadi integrasi antara IHSG, STI dan Hangseng
maka perkembangan
pasar
modal
di
Singapura dan Hongkong akan
mempengaruhi kegiatan pasar modal di Indonesia, dimana pengaruh kegiatan
pasar modal di Singapura akan lebih besar dari pada pasar modal di Hongkong
(Tabel 8).
Selain analisis Variance Decomposition, ada analisis lain yang dapat
menunjukkan pengaruh masing-masing variabel terhadap integrasi IHSG dengan
Indeks Bursa Saham Regional yaitu analisis Impulse Response Function. Analisis
ini menunjukkan respon dinamis jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu
guncangan (shock) tertentu sebesar satu standar deviasi pada setiap persamaan.
Hasil IRF menunjukkan bahwa Inovasi (guncangan) dari CPI Indonesia
pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami peningkatan sampai
dengan periode 15 dan selanjutnya pada periode 31 pergerakan cenderung
persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan)
dari MMR Indonesia pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami
penurunan sampai pada periode 4 dan selanjutnya meningkat sampai periode 8
dan setelah itu pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai pada akhir periode
inovasi (periode 65).
Inovasi (guncangan) dari Hangseng pengaruhnya terhadap IHSG pada
awal periode mengalami peningkatan sampai periode 15 dan selanjutnya pada
periode 20 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi
(periode 65).
Tabel 8. Hasil Variance Decomposition (%)
Variance Decomposition of LNIHSG
Period
1
S.E.
0.060271
LNIHSG
100.0000
LNCPIS
0.000000
LNCPI
0.000000
LNSTI
0.000000
LNHANGSENG
0.000000
MMRS
0.000000
MMRH
0.000000
LNCPIH
0.000000
MMRI
0.000000
7
0.226025
68.17676
4.677690
0.098237
14.90535
10.05825
1.365988
0.207925
0.111876
0.397919
13
0.325263
63.27744
4.978312
0.058268
17.18345
12.29907
1.491611
0.277601
0.230838
0.203414
20
0.413457
61.29035
5.136975
0.041734
18.19067
13.05508
1.590606
0.301870
0.262606
0.130109
25
0.466482
60.57788
5.196089
0.035891
18.55031
13.32448
1.626631
0.310013
0.274181
0.104528
30
0.514068
60.11581
5.234025
0.032102
18.78412
13.49852
1.650446
0.315347
0.281664
0.087958
35
0.557608
59.79236
5.260696
0.029443
18.94774
13.62024
1.667147
0.319102
0.286905
0.076362
40
0.597987
59.55328
5.280407
0.027478
19.06870
13.71017
1.679513
0.321875
0.290781
0.067792
50
0.671500
59.22354
5.307609
0.024767
19.23553
13.83419
1.696567
0.325699
0.296125
0.055973
60
0.737723
59.00688
5.325481
0.022986
19.34514
13.91567
1.707774
0.328211
0.299637
0.048207
65
0.768698
58.92422
5.332301
0.022307
19.38697
13.94677
1.712050
0.329170
0.300976
0.045244
Sumber: Lampiran 9
Inovasi (guncangan) dari CPI Hongkong pengaruhnya terhadap IHSG
pada awal periode mengalami penurunan sampai dengan periode 10 dan pada
periode selanjutnya pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode
inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan) dari MMR Hongkong pengaruhnya
terhadap IHSG pada awal periode mengalami penurunan sampai pada periode 20
dan selanjutnya pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai pada akhir
periode inovasi (periode 65).
Inovasi (guncangan) dari STI pengaruhnya terhadap IHSG pada awal
periode mengalami peningkatan sampai periode 15 dan selanjutnya pada periode
20 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode
65). Inovasi (guncangan) dari CPI Singapura pengaruhnya terhadap IHSG pada
awal periode mengalami penurunan sampai dengan periode 10 dan pada periode
selanjutnya pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi
(periode 65). Inovasi (guncangan) dari MMR Singapura pengaruhnya terhadap
IHSG pada awal periode mengalami peningkatan sampai periode 10 setelah itu
pada periode 22 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode
inovasi (periode 65).
Dari hasil Impulse Response Function dapat dilihat bahwa inovasi atau
guncangan dari STI pengaruhnya terhadap IHSG mengalami peningkatan dan
sangat besar, selanjutnya inovasi atau guncangan dari Hangseng mengalami
peningkatan namun tidak sebesar STI. Hal ini mengindikasikan bahwa IHSG
memiliki respon dinamis yang kuat apabila kedua bursa saham (STI dan
Hangseng) diguncang atau mengalami shock. Hal ini dapat terjadi karena kedua
bursa ini merupakan bursa saham terdekat yang memiliki pengaruh yang kuat
terhadap IHSG. Dengan adanya integrasi bursa-bursa saham tersebut setiap
guncangan pada tiap bursa saham akan mempengaruhi perkembangan pasar
modal di masing-masing negara (Gambar 3).
Dari studi yang telah dilakukan oleh Maysami dan Sim Koh dalam
Marciano (2004), Model Vektor Koreksi Kesalahan Johansen (Johansen’s Vector
Error Correction Model-VECM) digunakan sebagai model ekuilibrium jangka
panjang untuk menganalisis hubungan variabel-variabel makroekonomi ( inflasi,
tingkat suku bunga ) terhadap pasar modal di Singapura. Hasil penelitian ini
menggambarkan bahwa variabel-variabel makroekonomi (inflasi, tingkat suku
bunga) merupakan variabel yang dapat menggerakkan harga saham. Anggapan
tersebut adalah sesuai dengan teori yang dapat diterima secara umum. Studi
tentang hubungan variabel yang sama juga pernah dilakukan oleh Mukherjee dan
Naka dalam Marciano (2004) untuk kasus Jepang.
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LNIHSG to LNIHSG
.08
Response of LNIHSG to LNHANGSENG
Response of LNIHSG to LNSTI
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.06
.04
.02
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.04
10
20
30
40
50
60
-.04
10
Response of LNIHSG to LNCPI
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
-.04
10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRI
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
-.04
10
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to LNCPIH
-.04
10
30
40
50
60
Response of LNIHSG to LNCPIS
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
-.04
20
-.04
10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRH
10
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
10
20
30
40
50
60
Sumber: Lampiran 10
Gambar 3. Grafik Impulse Response Function (IRF)
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRS
.08
-.04
20
-.04
10
20
30
40
50
60
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dibuat
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka pendek,
Hangseng,
STI, MMR Indonesia dan CPI Singapura signifikan
mempengaruhi IHSG. Hal
ini mengindikasikan relatif terintegrasinya
IHSG dengan Indeks Bursa Saham dan perekonomian Regional. Dalam
jangka panjang, Hangseng, STI,
MMR Indonesia dan CPI Hongkong
signifikan mempengaruhi IHSG. Hasil-
hasil
estimasi
tersebut
mengindikasikan relatif terintegrasinya IHSG dengan
Indeks
Saham dan perekonomian Regional dalam jangka pendek
maupun
Bursa
jangka panjang.
2.
Bursa saham terdekat yang paling besar pengaruhnya terhadap Bursa Efek
Jakarta adalah bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham Hongkong
(Hangseng). Oleh karena itu faktor yang paling dominan berpengaruh
terhadap IHSG adalah STI dan Hangseng.
5.2 Saran
1.
Berdasarkan
penelitian,
diketahui
bahwa
fluktuasi
IHSG
sangat
dipengaruhi
oleh Hangseng, STI, MMR Indonesia, CPI Singapura dan
CPI Hongkong. Oleh karena itu faktor yang paling mungkin dijaga oleh
pemerintah Indonesia adalah MMR Indonesia atau tingkat suku bunga
Indonesia agar pergerakannya tetap konstan dan tidak berfluktuatif,
sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor dan
pemilik
modal
terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
2.
Untuk pemerintah Indonesia menjaga tingkat suku bunga dengan cara
mengendalikan jumlah uang beredar, mengendalikan tingkat inflasi,
melakukan koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang
jauh lebih baik dengan mengurangi utang luar negeri dan mendorong
masuknya FDI.
3.
Untuk penelitian lanjutan sebaiknya dimasukkan faktor lain yang dapat
mempengaruhi IHSG seperti Foreign Direct Investment (FDI) dan
Exchange Rate (Nilai Tukar) sehingga hasil yang didapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P. dan P. Pakarti. 2006. Pengantar Pasar Modal. Rineka Cipta, Jakarta.
Anwar, J. 2005. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi. PT.
Alumni, Bandung.
Atmadja, A.S. 2005. ”Are The Five ASEAN Stock Price Indices Dynamically
Interacted”. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol.7, No.1, Mei 2005: 43-60.
Bank Indonesia. Beberapa Edisi. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank
Indonesia, Jakarta.
Bloomberg, 2007. Bursa Hongkong akan ekspansi ke produk komoditas. Bisnis
Indonesia, Jakarta.
Darwin , 2005. ” Posisi Indonesia Dan Negara-Negara APEC Dalam Globalisasi :
Analisis Perkembangan Perdagangan Luar Negeri Dan Investasi”. Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan (JEP), XIII (1) 2005.
Darmadji, T dan H. M. Fakhruddin. 2006. Pasar Modal di Indonesia Pendekatan
Tanya Jawab. Salemba Empat, Jakarta.
Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series. Second Edition. Jhon Wiley and
Sons, Canada.
Eprianti, F. 2005. Analisis Integrasi Pasar Modal Dengan Perbankan Dalam
Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia [skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Goerdie, A. P. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Indeks Harga
Saham Gabungan Pasca Krisis Tahun 2000-2004 [skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.
Hadi, S. 2004. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF: Edisi 1. Granit,
Jakarta.
Haditomo, H.A. 2005. Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap
Kinerja Pasar Modal Pada Bursa Efek Jakarta [skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Halwani, H. 2005. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi. Penerbit
Ghalia Indonesia, Bogor.
Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal Dan Riil Diantara Negara-Negara
ASEAN-5, Jepang Dan Korea Selatan [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hariyanto, S. 2001. Bursa Regional Bursa Asia terpengaruh Wall Street. Bisnis
Indonesia, Jakarta.
Kamaluddin, R. 1992. Perekonomian Dunia dan Pembangunan di Luar Negeri.
Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta.
Lipsey R.G, P.N. Courant, D.D. Purvis dan P.O. Steiner. 1997. Pengantar
Makroekonomi. Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makro Ekonomi Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
Marciano, D. Suyanto. 2004. ” Hubungan Jangka Panjang dan Jangka Pendek
Ekonomi Makro dan Pasar Modal di Indonesia : Error Correction Model
(ECM)”. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen – November 2004.
Nachrowi, N.D. 2006. Pendekatan Popular dan Praktis Ekonometrika Untuk
Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Natassyari, M. 2006. Analisis Hubungan Antara Pasar Modal Dengan Nilai
Tukar, Cadangan Devisa, Dan Ekspor Bersih [skripsi]. Fakultas Ekonomi
dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Oemar, S. 2007. Hukum persaingan Asean, mungkinkah ?. Bisnis Indonesia,
Jakarta.
Permana, D. 2004. Analisis Faktor-faktor Penentu Laju Inflasi Dilihat Dari Sisi
Penawaran dan Ekspektasi dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas
[skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Plummer, M.G, dan R.W.Click. 2005. ”Bond Market Development And
Integration In Asean”. International Journal Of Finance And Economics.
Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang Tentang Pasar Modal No. 8 Tahun
1995.
Setyastuti, R. 2004. Krisis Ekonomi dan Kausalitas antara Fluktuasi Nilai Tukar
Rupiah, Tingkat Suku Bunga dan Indeks Harga Saham di Indonesia.
Parallel Session 1A Pelajaran dari Krisis Moneter Indonesia, Yogyakarta.
Sumanto, E. 2006. Analisis Pengaruh Perkembangan Pasar Modal Terhadap
Perekonomian Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suta, I.P.G.A. 1996. Menuju Pasar Modal Modern. Yayasan SAD Satria Bhakti,
Jakarta.
Thoha, M. 2001. Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi
Kerakyatan. P2E-LIPI, Jakarta.
Utomo, S. 2007. Mengamati korelasi IHSG dengan indeks regional. Bisnis
Indonesia,
Jakarta.
Vimala, A. 2005. Analisis Hubungan Antara Variabel Makroekonomi Dengan
Harga Saham Di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Uji Stasioneritas pada Level
Null Hypothesis: LNIHSG has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.991245
-4.081666
-3.469235
-3.161518
0.1414
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LNCPIS has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.317714
-4.083355
-3.470032
-3.161982
0.4193
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LNCPI has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.761000
-4.081666
-3.469235
-3.161518
0.7140
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LNSTI has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.901858
-4.081666
-3.469235
-3.161518
0.6440
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LNHANGSENG has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.317138
-4.081666
-3.469235
-3.161518
0.8763
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: MMRS has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.186148
-4.081666
-3.469235
-3.161518
0.9923
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: MMRH has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.407040
-4.086877
-3.471693
-3.162948
0.9856
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LNCPIH has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
0.111940
-4.081666
-3.469235
-3.161518
0.9969
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: MMRI has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.009372
-4.083355
-3.470032
-3.161982
0.5867
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Stasioneritas pada First Difference
Null Hypothesis: D(LNIHSG) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.464644
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNCPIS) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
t-Statistic
Prob.*
-11.50991
-2.595745
0.0000
5% level
10% level
-1.945139
-1.613983
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNCPI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.479503
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNSTI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.128501
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNHANGSENG) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.627125
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(MMRS) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.736863
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(MMRH) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LNCPIH) has a unit root
t-Statistic
Prob.*
-4.069578
-2.596586
-1.945260
-1.613912
0.0001
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.408636
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(MMRI) has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-14.68338
-2.595745
-1.945139
-1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 3. Penentuan Lag Optimum
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: D(LNIHSG) D(LNCPIS) D(LNCPI) D(LNSTI) D(LNHANGSENG)
D(MMRS) D(MMRH) D(LNCPIH) D(MMRI)
Exogenous variables: C
Date: 01/06/02 Time: 23:01
Sample: 2000:01 2006:06
Included observations: 73
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
957.3354
NA
4.21E-23
-25.98179
-25.69941*
-25.86926*
1
1039.937
142.5724
4.09E-23*
-26.02567
-23.20181
-24.90031
2
1121.051
120.0044*
4.48E-23
-26.02879* -20.66347
-23.89062
3
1177.231
69.26366
1.15E-22
-25.34881
-17.44202
-22.19781
4
1263.929
85.50973
1.72E-22
-25.50490
-15.05664
-21.34109
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 4. Uji Kestabilan VAR
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LNIHSG) D(LNCPIS) D(LNCPI) D(LNSTI) D(LNHANGSENG)
D(MMRS) D(MMRH) D(LNCPIH) D(MMRI)
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 2
Date: 01/06/02 Time: 23:00
Root
Modulus
0.704922
0.704922
-0.235851 + 0.662165i
0.702914
-0.235851 - 0.662165i
0.702914
0.104296 + 0.674950i
0.682960
0.104296 - 0.674950i
0.682960
-0.405047 - 0.543010i
0.677439
-0.405047 + 0.543010i
0.677439
-0.564976 - 0.271372i
0.626770
-0.564976 + 0.271372i
0.378050 + 0.486462i
0.378050 - 0.486462i
-0.506895 + 0.132453i
-0.506895 - 0.132453i
0.044951 + 0.467799i
0.044951 - 0.467799i
0.460418
0.161731 - 0.397668i
0.161731 + 0.397668i
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
0.626770
0.616090
0.616090
0.523914
0.523914
0.469954
0.469954
0.460418
0.429298
0.429298
Lampiran 5. Johansen Cointegration Test Summary
Date: 01/06/02 Time: 23:03
Sample: 2000:01 2006:06
Included observations: 75
Series: LNIHSG LNCPIS LNCPI LNSTI LNHANGSENG MMRS MMRH LNCPIH MMRI
Lags interval: 1 to 2
Data Trend:
None
None
Linear
Linear
Quadratic
Rank or No Intercept Intercept
Intercept
Intercept
Intercept
No. of CEs No Trend
No Trend
No Trend
Trend
Trend
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns)
Trace
5
5
2
4
3
Max-Eig
1
1
1
1
1
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
0
1123.642
1123.642
1139.622
1139.622
1149.957
1
1154.007
1160.955
1175.819
1176.039
1184.098
2
1177.845
1186.511
1199.897
1200.287
1208.205
3
1196.674
1207.775
1216.489
1218.933
1226.660
4
1210.779
1223.166
1229.879
1234.171
1241.134
5
1222.071
1235.152
1241.800
1247.136
1254.044
6
1229.673
1245.357
1251.613
1258.447
1264.143
7
1235.895
1252.610
1257.331
1268.108
1272.287
8
1240.562
1257.909
1261.267
1273.157
1276.262
9
1240.657
1261.323
1261.323
1276.987
1276.987
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
0
-25.64377 -25.64377 -25.82993 -25.82993
-25.86551
1
-25.97352 -26.13213 -26.31518 -26.29438
-26.29595
2
-26.12921 -26.30697 -26.47726* -26.43432
-26.45880
3
-26.15130 -26.36735 -26.43971 -26.42487
-26.47093
4
-26.04743 -26.27110 -26.31677 -26.32456
-26.37691
5
-25.86855 -26.08405 -26.15467 -26.16364
-26.24118
6
-25.59127 -25.84951 -25.93635 -25.95859
-26.03049
7
-25.27721 -25.53628 -25.60882 -25.70955
-25.76765
8
-24.92166 -25.17091 -25.23378 -25.33753
-25.39366
9
-24.44420 -24.75528 -24.75528 -24.93300
-24.93300
Lampiran 6. Johansen Cointegration Test
Date: 01/06/02 Time: 23:03
Sample(adjusted): 2000:04 2006:06
Included observations: 75 after adjusting endpoints
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: LNIHSG LNCPIS LNCPI LNSTI LNHANGSENG MMRS MMRH LNCPIH MMRI
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized
Trace
5 Percent
1 Percent
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Critical Value
None **
0.619113
243.4015
192.89
204.95
At most 1 **
0.473803
171.0075
156.00
168.36
At most 2
0.357543
122.8515
124.24
133.57
At most 3
0.300267
89.66737
94.15
103.18
At most 4
0.272321
62.88810
68.52
76.07
At most 5
0.230248
39.04598
47.21
54.46
At most 6
0.141412
19.41949
29.68
35.65
At most 7
0.099644
7.984564
15.41
20.04
At most 8
0.001494
0.112156
3.76
6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Lampiran 7. Correlation Matrix
LNIHSG
LNHANGSENG
LNSTI
LNCPI
LNCPIH
LNCPIS
MMRI
MMRH
MMRS
LNIHSG
1.000000
0.536282
0.773277
0.814645
-0.522272
0.841374
-0.563474
-0.141748
0.380680
LNHANGSENG
0.536282
1.000000
0.914131
0.033085
0.307755
0.310761
-0.191230
0.584043
0.779022
LNSTI
0.773277
0.914131
1.000000
0.347063
0.026461
0.544496
-0.286342
0.385491
0.722616
LNCPI
0.814645
0.033085
0.347063
1.000000
-0.793562
0.885402
-0.464007
-0.457379
0.060447
LNCPIH
-0.522272
0.307755
0.026461 -0.793562
1.000000
-0.605236
0.624186
0.834247
0.474686
LNCPIS
0.841374
0.310761
0.544496
0.885402
-0.605236
1.000000
-0.462843
-0.246675
0.291559
MMRI
-0.563474
-0.191230
-0.286342 -0.464007
0.624186
-0.462843
1.000000
0.421194
0.116556
MMRH
-0.141748
0.584043
0.385491 -0.457379
0.834247
-0.246675
0.421194
1.000000
0.793143
MMRS
0.380680
0.779022
0.722616
0.474686
0.291559
0.116556
0.793143
1.000000
0.060447
Lampiran 8. Estimasi Model Vector Error Correction
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/06/02 Time: 23:04
Sample(adjusted): 2000:04 2006:06
Included observations: 75 after adjusting endpoints
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
LNIHSG(-1)
LNCPIS(-1)
LNCPI(-1)
C
1.000000
0.000000
-0.857031
(0.65329)
[-1.31186]
1.584456
(0.69178)
[ 2.29039]
-3.826286
(0.77805)
[-4.91780]
0.014410
(0.11879)
[ 0.12131]
-0.010423
(0.04269)
[-0.24413]
18.59412
(5.09402)
[ 3.65019]
-0.067592
(0.01515)
[-4.46275]
-62.06178
0.000000
1.000000
0.051371
(0.03160)
[ 1.62583]
-0.208533
(0.03346)
[-6.23262]
0.209351
(0.03763)
[ 5.56333]
-0.021789
(0.00575)
[-3.79251]
0.002955
(0.00206)
[ 1.43097]
0.272314
(0.24637)
[ 1.10529]
0.002436
(0.00073)
[ 3.32570]
-6.519117
Error Correction:
D(LNIHSG)
D(LNCPIS)
CointEq1
-0.104329
(0.05643)
[-1.84888]
0.030980
(0.90716)
[ 0.03415]
0.083014
(0.14826)
[ 0.55993]
-0.143220
(0.12446)
[-1.15072]
-6.690040
(2.19877)
[-3.04263]
-0.156788
(2.23586)
[-0.07012]
0.237555
(0.70602)
[ 0.33647]
-0.003003
(0.00344)
[-0.87294]
-0.084174
(0.05531)
[-1.52198]
-0.001966
(0.00904)
[-0.21752]
0.001428
(0.00759)
[ 0.18814]
-0.300447
(0.13405)
[-2.24133]
-0.061320
(0.13631)
[-0.44986]
0.045321
(0.04304)
[ 1.05294]
LNSTI(-1)
LNHANGSENG(-1)
MMRS(-1)
MMRH(-1)
LNCPIH(-1)
MMRI(-1)
CointEq2
D(LNIHSG(-1))
D(LNIHSG(-2))
D(LNCPIS(-1))
D(LNCPIS(-2))
D(LNCPI(-1))
D(LNCPI(-2))
D(LNSTI(-1))
D(LNSTI(-2))
D(LNHANGSENG(-1))
D(LNHANGSENG(-2))
D(MMRS(-1))
D(MMRS(-2))
D(MMRH(-1))
D(MMRH(-2))
D(LNCPIH(-1))
D(LNCPIH(-2))
D(MMRI(-1))
D(MMRI(-2))
C
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
Determinant Residual Covariance
Log Likelihood
Log Likelihood (d.f. adjusted)
0.297340
(0.75812)
[ 0.39221]
0.042488
(0.23485)
[ 0.18091]
0.702315
(0.23397)
[ 3.00178]
0.255870
(0.20854)
[ 1.22698]
-0.549398
(0.19983)
[-2.74927]
-0.009827
(0.04580)
[-0.21455]
0.050608
(0.04498)
[ 1.12513]
-0.006500
(0.01740)
[-0.37352]
0.011800
(0.01559)
[ 0.75672]
1.267315
(1.89190)
[ 0.66986]
2.147385
(1.95221)
[ 1.09998]
-0.007674
(0.00432)
[-1.77789]
-0.007201
(0.00408)
[-1.76617]
0.012857
(0.01104)
[ 1.16412]
-0.041558
(0.04622)
[-0.89914]
0.000944
(0.01432)
[ 0.06595]
-0.014248
(0.01426)
[-0.99892]
0.009291
(0.01271)
[ 0.73083]
0.002551
(0.01218)
[ 0.20940]
0.001743
(0.00279)
[ 0.62407]
-0.003797
(0.00274)
[-1.38460]
-3.77E-05
(0.00106)
[-0.03553]
0.001243
(0.00095)
[ 1.30724]
0.155706
(0.11534)
[ 1.34997]
-0.231362
(0.11902)
[-1.94395]
0.000524
(0.00026)
[ 1.99056]
0.000589
(0.00025)
[ 2.36894]
0.000732
(0.00067)
[ 1.08659]
0.450571
0.247079
0.196163
0.060271
2.214191
116.5658
-2.548420
-1.899523
0.010791
0.069460
0.391109
0.165594
0.000729
0.003674
1.734290
326.3745
-8.143321
-7.494424
0.000532
0.004023
1.97E-24
1199.897
1089.027
Akaike Information Criteria
Schwarz Criteria
-23.52072
-17.12446
Lampiran 9. Variance Decomposition (%)
S.E.
LNIHSG
LNCPIS
0.060271
0.101909
0.131876
0.157886
0.181794
0.205014
0.226025
0.244445
0.261696
0.278644
0.295234
0.310754
0.325263
0.339163
0.352602
0.365587
0.378137
0.390261
0.402012
0.413457
0.424602
0.435450
0.446032
0.456371
0.466482
0.476380
0.486077
0.495582
0.504909
100.0000
88.61062
81.73262
78.03639
74.06312
70.17482
68.17676
67.20450
66.11008
65.18266
64.41725
63.76088
63.27744
62.89551
62.52945
62.20642
61.93643
61.69680
61.48216
61.29035
61.11794
60.96273
60.82260
60.69506
60.57788
60.47002
60.37108
60.27969
60.19470
0.000000
3.630154
4.131931
4.749896
4.917515
4.756858
4.677690
4.704271
4.811677
4.832979
4.876102
4.945185
4.978312
5.009510
5.046380
5.065387
5.083616
5.106420
5.122597
5.136975
5.151978
5.164425
5.175717
5.186577
5.196089
5.204816
5.213020
5.220538
5.227531
Variance Decomposition of LNIHSG:
LNCPI
LNSTI
LNHANGSENG
MMRS
MMRH
LNCPIH
MMRI
0.000000
0.070189
0.486823
1.343205
1.365078
1.396334
1.365988
1.325131
1.357079
1.423908
1.443780
1.459602
1.491611
1.514766
1.530309
1.545883
1.558524
1.569134
1.580491
1.590606
1.598876
1.606660
1.614071
1.620666
1.626631
1.632179
1.637269
1.641961
1.646359
0.000000
0.049382
0.078020
0.175293
0.209718
0.184967
0.207925
0.262070
0.253543
0.255598
0.270266
0.271988
0.277601
0.285703
0.287830
0.290606
0.294826
0.297257
0.299540
0.301870
0.303734
0.305531
0.307197
0.308652
0.310013
0.311243
0.312389
0.313469
0.314437
0.000000
0.033530
0.046507
0.039817
0.075578
0.094259
0.111876
0.138070
0.182697
0.205812
0.211410
0.221778
0.230838
0.236148
0.242419
0.247789
0.251464
0.255717
0.259666
0.262606
0.265358
0.267939
0.270185
0.272267
0.274181
0.275909
0.277513
0.279004
0.280385
0.000000
0.009497
0.989470
0.733593
0.591085
0.471107
0.397919
0.350055
0.308386
0.272743
0.245007
0.222258
0.203414
0.187795
0.174763
0.163328
0.153355
0.144741
0.137032
0.130109
0.123952
0.118386
0.113316
0.108725
0.104528
0.100664
0.097113
0.093832
0.090787
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
0.000000
0.001972
0.023262
0.106219
0.089022
0.077648
0.098237
0.088100
0.076914
0.070423
0.067796
0.062851
0.058268
0.054861
0.051744
0.049083
0.047101
0.045137
0.043250
0.041734
0.040371
0.039062
0.037909
0.036865
0.035891
0.035011
0.034204
0.033447
0.032748
0.000000
2.080087
7.773766
9.888990
12.09687
13.90308
14.90535
15.16644
15.64582
16.21110
16.62875
16.93582
17.18345
17.38319
17.56069
17.72877
17.86630
17.98284
18.09154
18.19067
18.27729
18.35541
18.42663
18.49106
18.55031
18.60498
18.65500
18.70115
18.74416
0.000000
5.514572
4.737599
4.926602
6.592018
8.940925
10.05825
10.76136
11.25381
11.54478
11.83964
12.11963
12.29907
12.43252
12.57642
12.70273
12.80838
12.90196
12.98373
13.05508
13.12051
13.17986
13.23238
13.28013
13.32448
13.36519
13.40241
13.43691
13.46889
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
0.514068
0.523066
0.531912
0.540613
0.549176
0.557608
0.565915
0.574101
0.582172
0.590132
0.597987
0.605740
0.613395
0.620955
0.628425
0.635807
0.643104
0.650319
0.657455
0.664514
0.671500
0.678413
0.685257
0.692032
0.698743
0.705389
0.711973
0.718497
0.724962
0.731370
0.737723
0.744021
0.750266
0.756460
60.11581
60.04234
59.97363
59.90936
59.84908
59.79236
59.73897
59.68862
59.64102
59.59597
59.55328
59.51276
59.47425
59.43760
59.40268
59.36938
59.33758
59.30718
59.27810
59.25024
59.22354
59.19792
59.17332
59.14968
59.12694
59.10505
59.08397
59.06366
59.04406
59.02515
59.00688
58.98924
58.97217
58.95567
5.234025
5.240070
5.245748
5.251043
5.256010
5.260696
5.265093
5.269243
5.273175
5.276888
5.280407
5.283752
5.286928
5.289950
5.292832
5.295579
5.298201
5.300709
5.303108
5.305406
5.307609
5.309722
5.311752
5.313702
5.315578
5.317383
5.319122
5.320798
5.322415
5.323975
5.325481
5.326937
5.328345
5.329706
0.032102
0.031498
0.030933
0.030404
0.029909
0.029443
0.029004
0.028590
0.028199
0.027828
0.027478
0.027145
0.026828
0.026527
0.026240
0.025966
0.025705
0.025455
0.025216
0.024987
0.024767
0.024557
0.024354
0.024160
0.023973
0.023793
0.023620
0.023453
0.023292
0.023137
0.022986
0.022841
0.022701
0.022565
18.78412
18.82128
18.85602
18.88855
18.91905
18.94774
18.97476
19.00024
19.02431
19.04710
19.06870
19.08920
19.10869
19.12723
19.14489
19.16174
19.17783
19.19321
19.20793
19.22202
19.23553
19.24849
19.26094
19.27290
19.28440
19.29548
19.30614
19.31642
19.32634
19.33590
19.34514
19.35407
19.36271
19.37106
13.49852
13.52620
13.55207
13.57623
13.59890
13.62024
13.64033
13.65927
13.67717
13.69411
13.71017
13.72541
13.73990
13.75368
13.76681
13.77934
13.79130
13.80273
13.81367
13.82415
13.83419
13.84382
13.85308
13.86197
13.87052
13.87875
13.88668
13.89432
13.90169
13.90881
13.91567
13.92231
13.92873
13.93494
1.650446
1.654225
1.657770
1.661104
1.664219
1.667147
1.669910
1.672514
1.674974
1.677305
1.679513
1.681608
1.683600
1.685496
1.687301
1.689024
1.690669
1.692241
1.693745
1.695186
1.696567
1.697893
1.699165
1.700388
1.701564
1.702696
1.703787
1.704838
1.705851
1.706829
1.707774
1.708687
1.709570
1.710423
0.315347
0.316210
0.316999
0.317744
0.318448
0.319102
0.319720
0.320307
0.320857
0.321379
0.321875
0.322345
0.322791
0.323216
0.323621
0.324007
0.324376
0.324729
0.325066
0.325389
0.325699
0.325996
0.326281
0.326555
0.326819
0.327073
0.327317
0.327553
0.327780
0.328000
0.328211
0.328416
0.328614
0.328805
0.281664
0.282852
0.283967
0.285010
0.285986
0.286905
0.287771
0.288587
0.289359
0.290089
0.290781
0.291437
0.292062
0.292656
0.293222
0.293761
0.294277
0.294769
0.295241
0.295692
0.296125
0.296540
0.296939
0.297322
0.297691
0.298045
0.298387
0.298716
0.299034
0.299341
0.299637
0.299923
0.300199
0.300467
0.087958
0.085324
0.082861
0.080557
0.078395
0.076362
0.074449
0.072643
0.070937
0.069323
0.067792
0.066340
0.064959
0.063646
0.062394
0.061200
0.060060
0.058971
0.057928
0.056930
0.055973
0.055055
0.054173
0.053325
0.052510
0.051726
0.050970
0.050242
0.049539
0.048862
0.048207
0.047574
0.046963
0.046371
64
65
0.762604
0.768698
58.93969
58.92422
5.331024
5.332301
0.022434
0.022307
19.37914
19.38697
13.94095
13.94677
1.711250
1.712050
0.328991
0.329170
0.300726
0.300976
0.045798
0.045244
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of LNIHSG to LNIHSG
.08
Response of LNIHSG to LNHANGSENG
Response of LNIHSG to LNSTI
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.06
.04
.02
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.04
10
20
30
40
50
60
-.04
10
Response of LNIHSG to LNCPI
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
-.04
10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRI
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
-.04
10
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to LNCPIH
-.04
10
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRH
10
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
Lampiran 10. Impulse Response Function (IRF)
20
30
40
50
60
50
60
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRS
.08
10
40
-.04
.08
-.04
30
Response of LNIHSG to LNCPIS
.08
-.04
20
-.04
10
20
30
40
50
60
Download