Oseana, Volume XIII, Nomor 4 : 153 – 164, 1988

advertisement
www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XIII, Nomor 4 : 153 – 164, 1988.
ISSN 0216–1877
PENGARUH SUHU AIR
TERHADAP KEHIDUPAN ORGANISME LAUT
oleh
Horas P. Hutagalung l)
ABSTRACT
THE EFFECT OF WATER TEMPERATUER ON MARINE ORGANISMS.
Most of marine organisms do not regulate their body temperature. They have the
some body temperature as the sea water in which they live. The rates of growth,
reproduction, respiration, production of marine organisms increased with
increasing water temperature. Since the marine organisms have upper and lower
thermal tolerance limit, so temperature at higher and lower than tolerance limit
would cause death thermal of marine organisms. Unlike the organisms of
subtrophic and polar regions, tropical organisms normally live at temperature
only a few degrees below their lethal limit, therefore the release of heated waste
water in most stressful in the tropic.
Uptake of pollutants by marine organisms increased with increasing water
temperature. Toxic pollutants should also be more toxic at higher temperature.
PENDAHULUAN
perubahan suhu yang besar sudah sering
terjadi. Sebagai contoh adalah kematian 11
spesies dari 13 spesies binatang karang di
Hawaii akibat kenaikan suhu air laut sekitar
5° – 6°C. Hal yang sama juga pernah terjadi
di perairan Karibia, Samoa dan Guam
(MAYER dalam ZIEMAN & WOOD 1975).
Kasus kematian massal organisme perairan
ini menunjukkan bahwa suhu merupakan
salah satu faktor abiotik yang sangat penting
dalam menunjang kelangsungan hidup organisme perairan. Dalam tulisan ini penulis
mencoba mengulas berbagai pengaruh perubahan suhu air terhadap kehidupan organisme laut.
Semua organisme laut (kecuali mammalia) adalah bersifat poikilotermik yaitu
tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu
tubuh organisme poikilotermik ini sangat
tergantung pada suhu air tempat hidupnya.
Oleh karena itu adanya perubahan suhu air
akan berakibat buruk terhadap organisme
perairan. Perubahan suhu air yang lebih tinggi dari suhu ambang batas atas (upper lethal
limit) atau lebih rendah dari ambang batas
bawah (lower lethal limit) akan mengakibatkan kematian massal organisme. Kematian
massal berbagai organisme perairan akibat
1) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
153
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
SUHU AIR LAUT
Suhu adalah suatu besaran fisika yang
menyatakan banyaknya panas yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah
sumber utama panas dalam air laut adalah
matahari. Setiap detik matahari memancarkan panas sebanyak 1026 kalori dan setiap
tempat di bumi yang tegak lurus ke matahari
akan menerima panas sebanyak 0,033 kalori
perdetik (CHARNOCK & DEACON 1978).
Suhu air laut terutama di lapisan permukaan
sangat tergantung pada jumlah panas yang
diterimanya dari matahari. Daerah-daerah
yang paling banyak menerima panas dari
matahari adalah daerah-daerah yang terletak
pada lintang 0°. Oleh karena itu suhu air
laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah
sekitar equator (Gambar 1) (WEIL 1970).
Jumlah panas yang diserap oleh air laut pada
suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya
semakin mendekati kutub, atau dengan
perkataan lain lokasi yang letak lintangnya
semakin tinggi. Sebagai contoh suhu air permukaan pada lokasi-lokasi di Samudra Atlantik yang terletak antara 60° – 70° L.U adalah 5,6°C, sedangkan antara 40°– 30° L.U
mempunyai suhu air rata-rata 20,4°C (Tabel 1)
(KING 1979). Suhu air permukaan biasanya berkisar antara 27° – 29°C (tropik)
dan 15° – 20°C (subtropik). Suhu ini menurun secara teratur sesuai dengan pertambahan kedalaman. Namun pada lapisan air tertentu suhu air menurun dengan tajam walaupun pertambahan kedalaman hanya sedikit. Lapisan ini disebut termoklin. Setelah
lapisan termoklin, suhu air laut menurun
kembali secara teratur sesuai dengan pertambahan kedalaman. Pada kedalaman melebihi 1000 m suhu air laut relatif konstan
dan biasanya berkisar antara 2° – 4°C.
Selain dipengaruhi oleh matahari, suhu
air laut dipengaruhi juga oleh musim. Pengaruh musim terhadap suhu air laut tergantung
pada lokasi air laut. Lokasi-lokasi di sekitar
equator merupakan lokasi yang paling sedikit dipengaruhi musim, sehingga suhu airnya relatif stabil, biasanya berkisar antara
27° – 29°C. Pengaruh musim semakin besar
dengan kenaikan angka lintang suatu lokasi.
Namun setelah mencapai angka 40° L.U
dan 40° L.S, pengaruh musim terhadap
suhu air laut menurun bila angka lintang
meningkat.
Tabel 1. Suhu air permukaan Samudra Atlantik berdasarkan letak lintang (KING 1979)
Lintang Utara
70°–60°
60°–50°
50°–40°
40°–30°
30°–20°
20°–10°
10°–00°
Suhu air, °C
Lintang Selatan
Suhu air, °C
5,60
8,66
13,16
20,40
24,16
25,81
26,66
70°–60°
60°–50°
50°–40°
40°–30°
30°–20°
20°–10°
10°–00°
–1 , 3 0
1,76
8,68
16,90
21,20
23,16
25,18
154
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
Gambar 1. Sebaran suhu air laut permukaan pada bulan Januari (WEIL 1970).
www.oseanografi.lipi.go.id
155
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
di Denmark. Pada saat itu musim dingin selama 2 bulan telah menyebabkan air laut
membeku. Pembekuan air laut ini mengakibatkan terjadinya kematian massal beberapa
jenis organisme laut seperti polychaeta,
Scoloplos armiger, moluska, Mytilus edulis,
Scrobicularia plana dan Littorina littorea,
Aremicola marina, Cardium edule, cacing,
Nereis diversicolor dan Macoma baltica
(BLEGVAD dalam MOORE 1966).
Daya tahan organisme terhadap perubahan suhu air tergantung pada besarnya
perubahan suhu, jenis biota dan lama pemaparan. Hasil penelitian BRETT (1952) di
laboratorium menunjukkan ikan salmon,
Onchorhynchus tshawytscha dan O.kisutch
lebih tahan terhadap perubahan suhu air
dibanding tiga jenis lainnya yaitu O.gorbuscha, O.keta dan O.nerka. Penelitian MITHURSKI dan KENNEDY (dalam LEVINTON 1982) terhadap 6 jenis krustasea juga
menunjukkan hasil yang sama dengan
BRETT (Gambar 2). Selanjutnya BRETT
menyatakan ikan salmon, O. tshawytscha
dapat hidup selama 640 menit dalam air
yang bersuhu 25°C, sedangkan dalam suhu
26°C ikan tersebut hanya dapat hidup selama
90 menit. Dalam Tabel 2 dicantumkan nilai
ambang batas suhu berbagai jenis organisme
yang hidup di sekitar hutan mangrove.
Disamping tingkat suhu, jenis organisme dan lama pemaparan, letak lokasi perairan –tropik atau subtropik– juga turut
mempengaruhi daya tahan biota terhadap
perubahan suhu air laut. Peneliti pertama
yang membuktikan bahwa biota yang hidup
di perairan tropik lebih rentan terhadap
perubahan suhu air dibandingkan dengan
biota yang hidup di perairan subtropik
adalah MAYER (dalam ZIEMAN & WOOD
1975). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa titik kematian algae di Puerto Rico
adalah 32° – 35°C, suhu ini hanya 4°– 6°C.
PENGARUH LANGSUNG SUHU AIR
Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik yaitu tidak
dapat mengatur suhu tubuhnya (LEVINTON
1982). Selama hidupnya suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu
air laut tempat hidupnya. Oleh karena itu
adanya perubahan suhu air akan membawa
akibat yang kurang menguntungkan bagi
organisme perairan. Akibat yang kurang
menguntungkan ini bisa menyangkut kematian, menghambat proses pertumbuhan, mengganggu proses respirasi dan lain-lain.
Penyebab kematian organisme
Suhu adalah salah satu faktor abiotik
yang sangat menentukan kelangsungan hidup
organisme perairan. Kematian massal organisme biasanya terjadi bila suhu air laut lebih
tinggi dari ambang batas atas (upper lethal
limit) atau lebih rendah dari ambang batas
bawah (lower lethal limit). EDMONSON (dalam JOHANNES 1975) sudah pernah melaporkan kematian massal 11 spesies dari
13 spesies binatang karang yang terdapat di
perairan Hawaii akibat kenaikan suhu air
laut sekitar 5° – 6°C. Hal yang sama juga
sudah pernah terjadi di perairan Guam, Karibia dan Samoa (MAYER dalam ZIEMAN
& WOOD 1975), dan Teluk Biscayne, Florida, Amerika Serikat. Kenaikan suhu air
ini disebabkan masuknya limbah air panas
yang berasal dari Pembangkit listrik. Penurunan suhu air juga merugikan bagi organisme. Bila terjadi penurunan suhu air maka
organisme berusaha melindungi diri dengan
cara mensintesa senyawa glikoprotein. Senyawa ini dapat mencegah pembekuan larutan yang terdapat dalam tubuhnya. Namun penurunan suhu air laut yang terlalu
rendah akan mengakibatkan kematian organisme air, seperti yang sudah pernah terjadi
156
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
lebih tinggi dari suhu rata-rata musim panas
yaitu 28°C. Sedangkan di pantai utara Perancis kematian algae terjadi pada suhu 27°
– 30°C, suhu ini sekitar 10,5° – 13,5°C
lebih tinggi dari suhu maksimum saat musim
panas yaitu 16,5°C. Oleh karena Indonesia
terletak di daerah tropik, maka untuk menjaga kelangsungan hidup berbagai organisme
perairan laut, Pemerintah Indonesia menetapkan batas perubahan suhu air laut akibat
limbah panas tidak boleh melebihi 2°C dari
variasi alami.
Penyebab kematian biota perairan akibat pengaruh suhu, menurut LEVINTON
(1982) masih sulit dipastikan. la memperkirakan ada dua penyebabnya yaitu kekurangan oksigen sehingga organisme sukar bernafas atau terjadinya penggumpalan protein,
sehingga enzim-enzim dalam tubuh organisme tidak dapat berfungsi.
Tabel 2. Ambang batas atas suhu berbagai jenis organisme (JOHANNES 1975)
Organisme
Ambang batas suhu, °C
blue green algae
37
barnacle
tree Oyster, Isognomon alatus
sponges
tunicates, bryozoans, polycheta, crassostrea, rhizophora,
green-brown and red algae
37
36,5
36
34,5
Gambar 2. Daya tahan krustasea terhadap suhu air (MITHURSKI & KENNEDY dalam
LEVINTON 1982).
157
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan
Pada umumnya laju pertumbuhan meningkat bila suhu air naik. Hasil penelitian
EPPLEY (dalam LEVINTON 1982) di laboratorium menunjukkan kenaikan suhu air
sampai tingkat tertentu menyebabkan laju
pertumbuhan fitoplankton meningkat. Kenaikan suhu seterusnya akan memperlambat laju pertumbuhan dan pada suhu yang
lebih tinggi lagi laju pertumbuhan menjadi
nol. Dari Gambar 3 terlihat suhu optimum
yang menyebabkan laju pertumbuhan maksimum dari fitoplankton, Detonula confervacea adalah 12°C, sedangkan untuk fitoplankton jenis lain seperti Chlorella pyrenoidosa adalah 40°C. Peneliti-peneliti lain
seperti REEVE dan WALTER; SHELBOURN et al; DIAL; DAVIS dan CALABRESE (dalam VALIELA 1984) telah meneliti pengaruh perubahan suhu terhadap per-
tumbuhan kopepoda Calanus pacificus;
chaetognath Sagitta hispida; ikan salmon
Onchorhynchus nerka; dan kerang Marcenaria marcenaria. Hasilnya sama dengan
hasil penelitian EPPLEY di atas.
Suhu air dapat juga mempengaruhi
perkembangan embrionik. Sebagai contoh
perkembangan embrionik bulu babi Strongylocentrotus drobacchiensis menjadi tidak
normal bila suhu air naik melebihi 11°C, teripang Cucumaria frondosa pada suhu >
13°C; "nudibranch" Dendronatus frondosus
pada suhu > 14°C serta kerang biru, Mytilus
edulis dan bulu babi Echinus esculentus
pada suhu > 16°C. Udang Palaemonetes
intermedus tidak dapat berkembang biak
bila dipelihara dalam air yang bersuhu 35°,
karena telur udang tersebut tidak dapat
menetas pada suhu > 34° C (BADER et al.
1972).
○ Detonula confervacea
● Chlorella pyrenoidosa
∆ Skeletonema costatum
▲ Dunaliella tertiolecta
□ Ditylum brightwelli
Gambar 3. Pengaruh suhu terhadap laju pertumbuhan fitoplankton (EPPLEY dalam
LEVINTON 1982).
158
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Setiap organisme membutuhkan sejumlah waktu untuk proses perkembangan
hidupnya. Pada umumnya perkembangan
telur-telur dan juvenil lebih cepat dalam air
yang lebih panas. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh kenaikan
suhu terhadap proses perkembangan hidup
adalah kuantitatif, misalnya setiap kenaikan
suhu 6°C akan mengurangi usia chaetognath
sebanyak 2,5 kali (SAMEOTO; KINNE
dalam VALIELA 1984). Hal inilah yang
menyebabkan usia organisme yang hidup di
perairan tropik akan lebih singkat dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan
subtropik atau dingin.
Pengaruh terhadap respirasi
Proses respirasi dan fotosintesis tidak
terlepas dari pengaruh suhu. BAYNE et al.
(1977) telah mengamati kecepatan respirasi
kerang biru, Mytilus edulis selama 14 hari
pada suhu air yang berbeda-beda yaitu 10°,
15°, 20° dan 25°C. Hasilnya menunjukkan bahwa kecepatan respirasi semakin
tinggi bila suhu air meningkat. Beberapa
peneliti lain juga telah mengamati pengaruh
suhu air terhadap respirasi, misalnya HAQ,
ANRAKU, PARANJAPE, IVLEVA (dalam
VALIELA 1984) terhadap organisme kopepoda Metridia luceus; M. longa; Euphausia
pacifica; Cacing Nereis diversicolor dan
udang Leander adspersus. Hasilnya juga menunjukkan bahwa kenaikan suhu air disertai
oleh kenaikan kecepatan respirasi (Gambar 4).
Biasanya jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme dalam proses respirasi
meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10°C. Banyaknya pertambahan
kebutuhan oksigen untuk setiap pertambahan
10°C disebut Q-10. Dalam percobaan di
laboratorium. Q-10 ini dapat dihitung dari
persamaan :
Q-10 = (rl/r2) 10/(tl-t2)
rl
= kecepatan konsumsi O2 pada suhu t1
r2 = kecepatan konsumsi O2 pada suhu t2
Untuk biota poikilotermik nilai Q-10 biasanya terletak antara 2 dan 3. Seperti pada
proses pertumbuhan yang berhenti pada
suhu yang tinggi, proses respirasi juga berhenti bila suhu air sudah lebih tinggi dari
nilai ambang batas suhu masing-masing organisme.
PENGARUH TIDAK LANGSUNG
KENAIKAN SUHU AIR
Dalam pembahasan terdahulu terlihat
bahwa pengaruh langsung suhu air dapat mematikan, menghentikan proses perkembangan hidup, mempercepat atau menghambat
laju pertumbuhan organisme perairan. Disamping berpengaruh langsung, kenaikan
suhu air dapat juga secara tidak langsung
berpengaruh terhadap kehidupan organisme
perairan, melalui peningkatan daya akumulasi, daya racun berbagai zat kimia serta
penurunan kadar oksigen dalam air laut.
Peningkatan daya akumulasi
Berbeda dengan bahan cemaran kimia,
cemaran panas (thermal pollutant) tidak bisa
diakumulasi. Namun cemaran panas dapat
meningkatkan daya akumulasi zat kimia oleh
organisme perairan. Pada tahun 1970 AIREY (dalam BROEK et al. 1981) mengamati
kandungan raksa (Hg) dalam 2 jenis ikan
yang sama-sama terdapat di perairan Australia dan Selandia Baru. Suhu air di Australia
lebih tinggi dari suhu air di Selandia Baru.
Ternyata kadar raksa dalam ikan Resea
solandri dan Macruronus novaczelandiae dari
Australia lebih tinggi dibanding dengan kadar
Hg dalam ikan sejenis yang berasal dari
Selandia Baru. Hasil penelitian AIREY ini
159
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 4. Pengaruh suhu terhadap respirasi (VALIELA 1984). A=kopepoda Euphausia
pacifica B=cacing Nereis diversicolor C=udang Leander adspersus.
160
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
mendorong para peneliti lain untuk mengadakan percobaan di laboratorium. SOMERO et al. (1977) mengadakan percobaan dengan ikan Gillichthys mirabilis. Beberapa
ekor ikan tersebut ditaruh dalam tiga akuarium dengan kadar Pb yang sama, namun
suhu airnya berbeda. Suhu air dalam akuarium pertama adalah 5°C (sebagai kontrol),
akuarium kedua 10°C, sedangkan akuarium
ketiga mempunyai suhu air 20° – 25°C.
Ternyata daya akumulasi ikan Gillichthys
mirabilis semakin tinggi bila suhu air meningkat (Tabel 3). CARTER dan NICHOLAS
(1978) mengadakan percobaan dengan
menggunakan organisme lain yaitu burayak
serangga Similium ornatipes. Hasilnya juga
menunjukkan kenaikan suhu air mengakibatkan kenaikan daya akumulasi Zn oleh burayak serangga tersebut.
Menurut SOMERO et al. (1977), ada
empat faktor yang menyebabkan daya akumulasi logam berat oleh organisme perairan
semakin tinggi bila suhu air meningkat,
yaitu :
1.
2.
3.
kecepatan gerak air dan ion-ion melalui selaput insang makin tinggi bila
suhu air meningkat.
kecepatan berbagai proses metabolisme dalam tubuh organisme semakin
tinggi bila suhu air meningkat.
reaksi antara ion logam berat dengan
protein adalah bersifat "exothermix"
(membutuhkan panas).
4.
kelarutan logam dalam air meningkat
bila suhu naik.
Hasil-hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kenaikan suhu air mengakibatkan daya akumulasi deterjen, minyak
bumi, fenol dan pestisida oleh organisme
perairan semakin meningkat pula. Salah satu
contoh adalah hasil penelitian MATSUMURA (1977) yang menunjukkan daya akumulasi DDT oleh ikan Phimephales promelas
semakin tinggi bila suhu air meningkat
(Gambar 5).
Proses peningkatan daya akumulasi
logam berat dan pestisida oleh organisme
perairan sebagai akibat kenaikan suhu adalah berbeda. Proses peningkatan daya
akumulasi logam berat oleh organisme terjadi karena reaksi kimia antara logam berat
dengan gugus sulfuhidril (-SH) dari protein.
Sedangkan peningkatan daya akumulasi pestisida terjadi karena pestisida yang masuk
ke dalam tubuh organisme akan larut dalam
lemak. Daya larut pestisida dalam lemak
menjadi lebih tinggi bila suhu air naik.
Peningkatan daya racun zat kimia
Seperti daya akumulasi zat kimia,
daya racun zat kimia terhadap organisme
perairan juga semakin tinggi bila suhu air
meningkat. Hasil penelitian O'HARA
(dalam BRYAN 1976) menunjukkan bahwa pada suhu air 10°C nilai LC-50 kadmium
Tabel 3. Pengaruh suhu terhadap daya akumulasi Pb oleh ikan Gillichthys mirabilis (SOMERO et al.
1977)
Suhu
air
Kandungan Pb (ug/g) berat kering
daging
limpa
insang
sirip
usus
kulit
hati
Kontrol
0,23
2,25
3,00
3,42
1,70
1,34
0,31
10°C
20°–25°C
2,74
6,24
64,46
91,09
68,1
146,20
68,27
140,80
34,63
59,02
31,26
61,81
5,11
101,9
161
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 5. Pengaruh suhu terhadap daya akumulasi DDT oleh ikan Phimephales promelas (MATSUMURA 1977).
Gambar 6. Pengaruh suhu terhadap daya racun kadmium (Cd) pada kepiting Uci pugilator (O'HARA dalam BRYAN 1976).
162
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
terhadap kepiting Uci pugilator adalah 42
ppm, sedangkan pada suhu air 30°C nilai
LC50 kadmium terhadap udang tersebut
adalah 2 ppm (Gambar 6). Kenaikan suhu
air dapat juga menyebabkan perpindahan
logam berat dalam organ-organ tubuh.
VERNBERG dan O'HARA (dalam BRYAN
1976) menemukan kadar raksa (Hg) dalam
hati kepiting Uci pugilator yang dipelihara
pada suhu 10°C adalah tiga kali lebih rendah
dibanding kadar Hg dalam insang. Tetapi
ketika kepiting tersebut dipindahkan ke air
yang suhunya 33°C kepiting tersebut mati.
Setelah dianalisa ternyata kadar Hg dalam
hati kepiting yang mati ini lebih tinggi dari
kadar Hg dalam insang. Hasil penelitian ini
menunjukkan kenaikan suhu air menyebabkan raksa berpindah dari insang ke hati
melalui aliran darah. Hati lebih rentan
terhadap daya racun raksa dibandingkan dengan insang. Menurut VERNBERG
dan O'HARA, adanya perpindahan raksa
inilah yang menyebabkan kepiting tersebut mati. Logam berat yang masuk ke
tubuh organisme akan bereaksi dengan gugus
sulfu-hidril (-SH) yang terdapat dalam enzim membentuk senyawa merkaptida. Reaksi ini semakin cepat bila suhu air meningkat. Terbentuknya senyawa merkaptida mengakibatkan enzim tidak dapat berfungsi.
Daya racun zat kimia lainnya seperti sianida,
amonia, deterjen, pestisida dan minyak bumi
juga semakin tinggi bila suhu meningkat
(SYLVA dalam JOHANNES 1985).
Kenaikan suhu air akan mengurangi
kelarutan gas-gas dalam air. Salah satu gas
terlarut yang memegang peranan penting
untuk menunjang kehidupan organisme adalah oksigen. Gas oksigen yang terdapat dalam air dimanfaatkan oleh organisme perairan dalam proses respirasi. Masuknya
limbah panas ke lingkungan laut akan menye-
babkan kadar oksigen dalam air menurun.
Hal ini dapat mengakibatkan organisme mati
karena kekurangan oksigen. Berbeda dengan
oksigen, kenaikan suhu air akan menaikkan
kadar garam. Dalam keadaan normal, kadar
garam dalam tubuh organisme adalah sama/
hampir sama dengan kadar garam dalam air
laut. Kenaikan kadar garam dalam air laut
mengakibatkan adanya perbedaan tekanan
osmotik, sehingga larutan garam dari laut
akan mengalir ke tubuh organisme melalui
sekat semipermeabel. Organisme laut bersifat
osmoconformers atau homeoosmotik yaitu
dapat mengatur kadar garam dalam tubuhnya apabila kadar garam dalam air laut meningkat. Namun kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan kadar garam
dalam air ada batasnya. Kenaikan kadar
garam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian organisme perairan.
DAFTAR PUSTAKA
BADER. R.G; M.A. ROESSLER dan A.
THORHAUG 1972. Thermal pollution of
a tropical marine estuary. Dalam "Marine
pollution and sea life" (M. RUIVO ed.)
Fishing News (Book) ltd. England. 425 –
428.
BAYNE B; J. WIDDOWS dan C. WORRALL
1977 Some temperature relationships in
the physiology of two ecologically distinct bivalve populations. Dalam "Physiological responses of marine biota to
pollutant" (F.J. VERNBERG; A. CALABRESE; F.P.THURBERG dan W.B.
VERNBERG eds.) Acad. Press Inc. NY
San Fransisco London. 379–400.
BRETT J.R. 1952. Temperature tolerance
in young Pacipic salmon, Genus oncorhynchus Fish. Res. Bd. Can. J. 9 (6) : 265 –
309.
163
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
www.oseanografi.lipi.go.id
environments" (M.Aq. Khan edt). Environmental Science Research. Vol. 10.
Plenum Press. NY. London : 77 105.
BROEK van der W.L.F; S.R.B. SOLLY
and M. AVRAHAMI 1981. Mercury
levels in some New Zealand sea fishes.
New Z.J. Mar. Freshw. Res. 5 : 137 –
146
MOORE H.B. 1966 Marine ecology. John
Wiley and Sons. Inc. NY– London-Sydney.; 1–493.
BRYAN G.W. 1976. Heavy metal contamination in the sea. Dalam "Marine pollution" (R. JOHNSTON edt). Acad. Press.
London. 185–293. CARTER J.G.T dan
CARTER J.G.T dan W.L.NICHOLAS 1978.
Uptake of zinc by the aquatic larvae of
Similium ornatipes (Diptera : Nematocera) Aust. J. Mar. Freshw. Res. 29 : 299
– 309.
SOMERO, G.N; TJ.CHOW; P.H. YANCEY
and C.B.SNYDER 1977. Lead accumulation rates in tissues of the estuarine
teleost fish, Gillichthys mirabilis : salinity
and temperature effects. Arch.EnvironContamToxicol. : 6 : 1286–1297.
VALIELA I. 1984. Marine ecological procesees. Springer Verlag Berlin Heidelberg
Tokyo: 1–443.
JOHANNES R.E. 1975 Pollution and degradation of coral reef communities.
Dalam "Tropical marine pollution"
(E.J.F.WOOD & R.E. JOHANNES eds.).
Chapter 2. Els. Sci. Publish. Co. Amsterdam, Oxford, NY. : 13–50.
WEIL P.K. 1970 Oceanography, an introduction to the marine environment.
John Wiley & Son Inc. NY Toronto
Sydney. Hal 78.
KING C.A.M 1979 Introduction to physical
and biological oceanography. Vol. 2.
2nd edt. The English book society and
Edward Arnold (Publisher). Ltd. London.
29–33.
WILLIAMS J. 1979. Introduction to marine
pollution control. A volume in ocean
engineering. John Wiley & Son. NY Schichester Brisbane Toronto. Hal 132.
ZIEMAN J.C. dan E.J.F.WOOD 1975.
Effects of thermal pollution in tropical
type estuaries, with emphasis on Biscayne
Bay. Florida. Dalam "Tropical marine
pollution" (E.J.F.WOOD & R. J. JOHANNES eds.). Else. Oceanog. Series. 75–97.
LEVINTON J. S. 1982. Marine ecology.
Prentice - Hall Inc. Englewood clipps.
New Yersey. 1 – 526. MATSUMURA F.
1977. Absorption, accumulates and elimination of pesticides by aquatic organisms. Dalam "Pesticides in aquatic
164
Oseana, Volume XIII No. 4, 1988
Download