MODUL PERKULIAHAN Pendidikan Agama Islam dan Masyarakat Madani Fakultas Program Studi Tatap Muka 14 Kode MK Disusun Oleh MK90002 Rusmulyadi, M.Si. Abstract Kompetensi Pokok bahasan dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian masyarakat madani (civil society) dan kerangka masyarakat madani dalam Islam Tujuan instruksional pembelajaran yang hendak dicapai adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian masyarakat madani dan mampu menguraikan bangunan masyarakat madani dalam Islam Islam dan Masyarakat Madani 1. Masyarakat Madani dan Demokrasi Masyarakat madani seringkali disebut juga civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban (Gelner, 1995). Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah mencapai peradaban maju. Konsepsi seperti ini, menurut Nurcholish Madjid (1995), pada awalnya lebih merujuk kepada dunia Islam yang ditunjukkan oleh masyarakat kota Arab. Gellner (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud ketika terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Masyarakat madani adalah gambaran dari komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani. Sementara itu, Seligman (dikutip oleh Mun’im: 1994), mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antar individu, masyarakat dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994) adalah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan sebuah gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monopolistik. Istilah madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal atau membangun. Kemudian berubah menjadi istilah madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil dan yang bersifat sipil. Pendapat yang sama 2016 2 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan dalam kehidupan sosial. Hefner (1998) menyebutkan bahwa masyarakat madani merupakan modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Masyarakat madani timbul karena faktor-faktor: Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam segala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga masyarakat tidak memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara demokratis merupakan suatu entitas yang diharapkan warga negara dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melaksanakan transaksitransaksi politik tanpa ada kekhawatiran. Masyarakat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia menghajatkan unsur- unsur sosial yang menjadi prasayarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktorfaktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang dimiliki oleh masyarakat madani adalah: Wilayah publik yang bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan keadilan social (social justice). Masyarakat madani yang dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar warga negara dengan negara atas dasar prinsip saling menghormati. Masyarakat madani yang tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, namun juga harus menghormati dan memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama. 2016 3 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya bersifat ko-eksistensi. Artinya, hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar. Menurut Nucholish Madjid, masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun, demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunyai “rumah” maka rumahnya adalah masyarakat madani. Kuatnya hubungan antara masyarakat madani dengan demokratisasi, sehingga masyarakat madani dapat dijadikan sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan dalam menjalankan demokrasi. Selain itu, dapat juga dipakai sebagai cara pandang untuk memahami universalitas fenomena demokratisasi diberbagai kawasan dan negara. Larry Diamond, menyebutkan secara sistematis ada 6 konstribusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi, yaitu: o Masyarakat madani menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara. o Pluralisme dalam masyarakat madani bila diorganisir akan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. o Memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. o Ikut menjaga stabilitas negara. o Tempat menggembleng pimpinan politik. o Menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim. Dalam masyarakat madani, warga negara mempunyai posisi sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. Oleh karena itu diperlukan adanya ruang publik yang bebas, sehingga setiap individu masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan kemampuannya dalam mengelola wilayah. Kemandirian yang mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. 2016 4 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Arief, proses pemberdayaan antara masyarakat madani dengan demokrasi akan terjadi jika: Berbagai kelompok masyarakat madani mendapat peluang untuk lebih banyak berperan, baik pada tingkat negara ataupun masyarakat. Jika posisi kelas tertindas berhadapan dengan kelas yang dominan menjadi lebih kuat yang berarti juga terjadinya proses pembebasan rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan. Berkaitan dengan demokrasi ini, M. Dawam Rahardjo menyatakan ada beberapa asumsi yang berkembang : Demokrasi bisa berkembang apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri, melalui perlawanan terhadap negara atau melalui proses pemberdayaan (termasuk oleh pemerintah ). Demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan efisiensi institusi melalui interaksi , perimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat antara negara dengan pemerintah sendiri. Demoratisasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian atau independensi masyarakat madani dari tekanan dan kooptasi negara 2. Masyarakat Madani dalam Islam Masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa alRasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1). 2016 5 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah). Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi-ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya. Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudianmengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq 2016 6 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia. Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan. Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama.Ketiga, mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok. Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural. Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yangdapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua 2016 7 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak. Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antar sesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah.Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun hukum. Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara. 2016 8 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah. Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itumengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al- Rasyidun sampai menjelang runtuhnyaDinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum. Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW. 2016 9 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka 1. Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyrakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003 2. Din Syamsudin, Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999 3. Harun Nasution, Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1995 4. Hujair A.H. Sanaky, 2002. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press. 5. M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. 1999. cet. ke.1, 1996 6. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996 7. Nurcholish Madjid, Islam: Pendidikan, Langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas, dalam Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Paramadina & Logis Wacana Ilmu, 2001 8. Srijanti, Purwanto S.K. dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern, Jakarta: Graha Ilmu, 2007 2016 10 Pendidikan Agama Islam Rusmulyadi, M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id