Etnografi, Inovasi di Dunia Marketing SOFYAN ANSHORI Alliance, Groups & Communities Manager of PDMA Indonesia, Praktisi Etnografi [email protected] “Ultimately, what’s interesting about ethnography is that it gets under the skin” — Claire Evans (Head of Genre Management, BBC) Saban tahun, setiap perusahaan mengeluarkan biaya untuk mendapatkan insight terkini dan terakurat dari konsumen lewat marketing research mengenai produk/jasa yang mereka hasilkan. Akan tetapi, riset pasar dinilai mulai memasuki tahap menjemukan karena gambaran yang dihasilkan lebih padat di permukaan dan tidak menyentuh dasar dari isu yang ingin dilihat. Mark Healey, kontributor The Globe and Mail, menyimpulkan bahwa dalam konteks kekinian“…traditional research had failed to unearth meaningful insights”. Fenomena praktisi marketing yang ‘kegerahan’ seperti ini tidak hanya berlangsung di luar negeri, tetapi juga di Indonesia. Dalam kata pengantar untuk buku karya Amalia E. Maulana (2009) “Consumer Insight via Ethnography”, CEO LKBN Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf menceritakan, “…pada tahun 2006…CEO PT Bintang Toedjoe bertutur bahwa riset pasar yang ditawarkan berbagai perusahaan jasa kurang akurat menggambarkan perilaku pelanggannya. Ia kerap kali kecewa dengan riset pasar yang hanya mengulang-ulang potret perilaku pasar…” Lebih lanjut, Ahmad Mukhlis Yusuf menambahkan bahwa CEO PT Bintang Toedjoe ini bukan satu-satunya yang merasa kecewa. Ia menuturkan bahwa CEO PT Masima Corporation (Holding perusahaan media seperti Prambors, Female, Delta) juga menilai riset pasar yang ada sekarang tidak mengena pada bisnisnya dan hanya cocok bagi industri FMCG (Fast Moving Consumer Goods). Bagi penulis, kekhawatiran para pelaku industri sangat beralasan, karena di tengah persaingan global yang semakin cepat dan meruncing, perusahaan tidak dapat lagi hanya mengandalkan insight yang ‘so-so’. Riset pasar konvensional sepertinya tidak lagi http://microsite.katadata.co.id/ppm-manajemen menjanjikan keunggulan bersaing karena telah menjadi standar atau ‘order qualifier’ dalam industri. Dengan demikian, semua pemain memiliki sumber insipirasi yang identik sehingga wawasan pasar yang dipahami ‘itu-itu saja’ dan seolah sudah dihapal di luar kepala. Pada titik ini diperlukan sebuah inovasi dalam metode riset untuk mengembalikan market research ke tempat yang strategis, sekaligus menghasilkan rekomendasi tepat sasaran. Untuk mengatasi semua kejenuhan dan keringnya inspirasi dari riset pasar standar tersebut, etnografi lah jawabannya. Etnografi dan Etnografi (dalam) Marketing Etnografi merupakan sebuah studi untuk melihat kehidupan masyarakat dengan pendekatan pengamatan yang membuat penelitinya terlibat dan menjadi bagian dari masyarakat yang diamatinya. Disiplin ilmu ini dirintis beradad silam oleh para petualang, misionaris, dan pedagang melalui catatan rinci pengalaman mereka tentang orang-orang yang ditemui—yang pada saat itu dinilai “eksotis” karena sangat berbeda dengan bangsa Eropa. Ilmu ini mulai benar-benar berkembang saat Franz Boas, Bronislaw Malinowski, Margaret Mead, dan Ruth Benedict menerbitkan karya-karya hasil penelitian mereka tentang masyarakat di Kepulauan Pasifik pada awal abad ke-20 (lihat juga Mariampolski, 2006 “Ethnography for Marketers: A Guide to Consumer Immersion”). Singkat cerita, sejak saat itu etnografi diperhitungkan sebagai metode kualitatif yang mempu memberikan gambaran menyeluruh mengenai sebuah masyarakat dari sudut pandang ‘native’. Setelah lama hanya digunakan oleh para antropolog, etnografi akhirnya menarik minat disiplin ilmu lain. Mariampolski (2006) dalam bukunya menjelaskan bahwa etnografi mulai diadopsi sebagai pendekatan marketing pada tahun 1980-an dengan tujuan mencoba menggali informasi tentang peran konsumen dan ikatan mereka dengan sebuah brand. Sejak itu, walau belum dikenal luas, etnografi mulai digunakan dalam riset pasar untuk memperoleh wawasan yang tidak dapat diperoleh melalui metode konvensional. Tentu saja http://microsite.katadata.co.id/ppm-manajemen para pemasar tak sepenuhnya mempraktikkan etnografi seperti halnya antropolog, tetapi memodifikasinya agar sesuai dengan tuntutan bisnis. Robert Berner dalam businessweek.com (2006) menjelaskan: ”Companies use it [ethnography] to gain insights into the culture and behavior of their customers. But the demands of business are different from those of an anthropologist doing field research. The most obvious is speed. Where anthropologists may take years to do one study, businesses need results in weeks.” Etnografi: Lebih Dari Sekedar Kulit Kelebihan etnografi dibanding pendekatan lain adalah kemampuannya dalam memberikan gambaran tentang konsumen yang lebih kompleks, dalam, dinamis, dan tidak berjarak. Keunggulan tersebut jelas tidak dimiliki oleh metode survei, analisis statistik atau pun FGD biasa. Survei dan statistik memang memiliki kelebihan dalam memberikan rona pasar yang lebih luas, tetapi tidak dapat menangkap persepsi, kesan atau perasaan konsumen dengan akurat. Sementara itu, FGD umumnya mampu menggali pemahaman konsumen secara lebih dinamis, tetapi seringkali konsumen sendiri bingung dengan apa yang diucapkannya dan tentu sulit memastikan respons mereka pada setting yang artifisial tersebut (lihat juga Amalia E. Maulana, 2009 “Consumer Insight via Ethnography”). Keunggulan etnografi diperoleh melalui pengamatan dan wawancara pada situasi keseharian: ibu-ibu yang sedang memasak, interaksi keluarga ketika sarapan, obrolan di kampus, perbincangan teman-teman kantor, permainan di lapangan dan berbagai jenis situasi lainnya yang natural. Metode etnografi umumnya dilakukan dengan teknik-teknik antara lain: 1. Pengamatan terlibat: Melakukan pengamatan dengan berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat/komunitas/kelompok dalam kurun waktu tertentu. 2. Wawancara mendalam: Wawancara yang dilakukan hingga detil, melibatkan emosi, dan mendapatkan cerita yang tidak pernah diungkapkan terhadap suatu fenomena tertentu. http://microsite.katadata.co.id/ppm-manajemen 3. Shadowing: Mengikuti seluruh kegiatan konsumen sejak bangun tidur hingga tidur lagi. 4. Foto dan Video: Mengambil foto dan video berbagai kegiatan dan lingkungan konsumen. 5. Netnography: Berbaur dan berinteraksi dengan suatu komunitas/kelompok melalui internet; biasanya dalam forum-forum diskusi. (untuk referensi lainnya, lihat Amalia E. Maulana, 2009 “Consumer Insight via Ethnography”) Etnografi: Jalan Menuju Inovasi Melalui pendekatan yang dapat menangkap berbagai hal seputar perilaku konsumen, fungsi etnografi sebagai riset pasar menjadi amat luas dan dapat diterapkan mulai dari tahap product discovery, product design, hingga product evaluation. Salah satu produk yang lahir dari riset etnografi adalah Ipod yang dikeluarkan oleh Apple. Dengan menangkap aspirasi dan kebutuhan konsumen, Apple berhasil menelurkan produk inovatif yang ‘laris-manis’. Tim pengembangan produk Apple sukses menghasilkan ide dan mengeksekusinya dari interpretasi atas data-data etnografi tentang perasaan dan pengalaman dalam mendengarkan musik. Selain Apple, perusahaan lain juga telah merintis berbagai produknya dengan memanfaatkan hasil riset etnografi untuk inovasi produk mereka, yaitu antara lain Intel, Unilever, Harley-Davidson, P&G, 3M, dan Lenovo. Di Indonesia sendiri, etnografi baru mulai dikenal dan digunakan pada medio 2000-an. Meski terbukti dapat menuai insight yang lebih dalam, metode ini baru digunakan oleh segelintir praktisi karena berbagai alasan praktis. Padahal, sejak awal 2000-an, para ahli marketing di dunia telah merekomendasikan etnografi sebagai instrumen baru dalam pengambilan keputusan. Etnografi muncul sebagai metode inovatif bagi dunia marketing yang saat ini masih didominasi pendekatan kuantitatif dan analisis statistik. Tentu, untuk menghasilkan produk/jasa yang inovatif, diperlukan sebuah metode yang tidak biasa atau standar. Sebuah pendekatan yang inovatif rasanya layak dicoba untuk menghasilkan ide segar dan berbeda. http://microsite.katadata.co.id/ppm-manajemen Mungkin memang sudah saatnya para pemasar mengenal dan menggunakan etnografi dalam riset pasar mereka. Dengan melihat peta persaingan saat ini, penulis sepakat dengan pendapat Bruce Nussbaumm, bahwa “Ethnography Is The New Core Competence” bagi praktisi pemasaran. Cobalah menyelami konsumen Anda dengan etnografi dan rasakan perbedaannya. Selamat berinovasi! http://microsite.katadata.co.id/ppm-manajemen