SINKRONISASI EMBRIO-UTERUS DAN INTERAKSINYA DALAM

advertisement
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
SINKRONISASI EMBRIO-UTERUS DAN INTERAKSINYA
DALAM KEBUNTINGAN
ENDANG TRIWULANNINGSIH
BalaiPenelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK
Untuk mendapatkan persentase kebuntingan yang tinggi pada teknik inseminasi buatan dan
transfer embrio,maka llanis ada suatu hubungan yang unik antara calon anak (embrio/fetus)
dengan endometrium induk . Suatu zat yang secara biokimia disekresi oleh calon fetus/embrio
untuk iueniaga supaya tidak terjadi luteolisis sehingga corpus luteum (CL) tetap menghasilkan
progesteron untuk mempertallankau kebuntingan . Sekresi embriouik tersebut dikenal sebagai
interferon (IFN) yang lianya disekresikan pada saat menjelang implantasi pada endometrium
induk . Sedangkan endometrium juga mensekresikan berbagai ballan kimia termasuk faktor
pertumbuhan dan nutrisi untuk menunjaug kehidupan embrio/fetus . Saat yang tepat antara sekresi
embrio dan endometrium ini mempakan faktor yang sangat penting untuk keberhasilan
kebuntingan .
Kata kunci : Sinkronisasi, kebuntingan
PENDAHULUAN
Sapi dan susu masili tiada hentinya diimpor dalam volume yang besar, hal ini terjadi akibat
perinintaan konsumsi protein hewani asal ternak ruminansia (susu dan daging) yang meningkat
terns karena pertambalian jumlah penduduk dan nieningkatnya daya beli masyarakat. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih
rendah, yaitu 3,61 gram/ kapita/Iiari atau sekitar 80,2% dari target konsumsi protein liewani asal
ternak menurut nornia gizi yang sebesar 4,5 gram/kapita/hari (ANONYMOUS, 1994) .
Fokus penibangunan dalam PJP 11 adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
sehingga perbaikan gizi masyarakat sangat penting, khususnya peningkatan konsumsi protein
hewani asal ternak .
Guna mencapai tujuan tersebut diatas maka usaha peningkatan populasi dan kualitas ternak
Indonesia
ntelalui teknologi inseminasi buatan dan embrio transfer saat ini sedang digalakkan ;
di
demikian juga untuk inengetahui dan mengatasi kendala yang diliadapi .
Salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah meningkatkan persentase
kebuntingan ternak akseptor IB (inseminasi buatan) dan ternak resipien embrio . Namun demikian
salah satu faktor keberhasilannya adalah adanya sinkronisasi antara embrio dan uterus ternak
resipien sebab umur embrio hanus sesuai dengan kesiapan uterus resipien dalam menerima embrio,
termasuk di dalamnya adanya corpus lutheum yaug mendukung keberhasilan kebuntingan .
SYARAT UNTUK SINKRONISASI
Pada prosedur embrio transfer ternak, diperlukan kesiapan uterus resipien uutuk menerima
embrio, guna tujuan tersebut dilakukan sinkronisasi estrus antara ternak donor dan resipien,
184
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1999
sehingga embrio yang dikeluarkan dari ternak donor (recovery) sesuai umurnya dengan keadaan
uterus resipien supaya embrio tersebut dapat berkembang dengan baik sebab status phisiologi dan
biokimia uterus ternak donor dan resipien adalah sama.
LEESE (1991) menyatdkan baliwa penambahan pyruvate, phosphoenolpyruvate
dan
oaaloacetate dapat disubstitusi untuuk perkembangan embrio 2 sel . Selanjut-nya dikatakan baliwa
untuuk pertuunbuhan blastosist dikeuakan 10 asam amino essensial dan glucosa penting untuk
hatching blastosist. Umumnya derajat protein turnover berlangsung lambat pada awalnya dan
dikontrol oleh genome induk, dan pada phase berikutnya aktivasi dari embryonic genome, bila
protein turnover meningkat secara dramatis . Salah satu akibat peningkatan sintesa protein adalah
proliferasi plasnla dan membran lntraselulalr, dan pada puncak-nya adalah perkembangan formasi
dari awal epithelium atau trophectoderm .
Sinkronisasi estrus ini adalah penting untuk keberhasilan embrio transfer terutama dalam
usaha meningkatkan derajat kebuntingan resipien. Perkembangan embrio hanis disesuaikan
dengan fiungsi endokrinologi ternak resipien dan fimgsi uterus yang sering ditetapkan secara relatif
dengan waktu estrus atau LH surge. Walaupun demikian keadaan biokimia yang komplek antara
perkembangan embrio dan protein, prostaglandin dan steroid secara bersama-sanua dengan steroid
dari ovary (indung telur) memodifikasi secara biokimia dan morfologi uterus. Keadaan yang tidak
tepat hubungan antar faktor-faktor tersebut atau ketidaksinkronnya dapat menyebabkan kenuatian
embrio .
PENGARUH EMBRIO PADA FUNGSI UTERUS
Penganuatan pada komposisi protein dari sekresi uterus antar siklus dan ternak bunting
unenunjukkan baliwa keadaan endokrin ternak bunting atau kehadiran embrio dalam uterus
memodifikasi biokimia uterus (ASHWO RTH, 1992) . Interaksi biokimia antara perkembangan
kebuntingan dan endometrium diteliti secara in vitro menampakkan bahwa blastosist dapat
memodifikasi sekresi protein endometrium pada minggu kedua kebuntingan hingga scat
implantasi. Sekresi konsepsi pada domba dan sapi mengatur protein selama periode kebuntingan
induk. Protein yang dominan pada domba disebut ovine tropoblost protein-one (oTP-1) dan pada
sapi disebut bovine tropoblast protein-one (bTP-1), protein ini bertanggung jawab pada
pencegalian regresi corpus lutheum, oleh penipisan uterine lutheolvsis prostaglandin F2a(PGF,-(x) .
Menurut ROBERTS (1989) yang dikutip olelu ASHWORTH (1992), protein ini adalah menupakan
subfaunili dari interferon dan berpotensi mengaktifkan antiviral dan antiprolirerative .
Kepastian keberhasilan kebuntingan adalah suatu lual yang penting, ditunjukkan dengan
produk konsepsi yang disekresikan dalam junulah dan waktu yang tepat. GRIES et al., (1989) di
dalaIn ASHWORTH (1992) inelaporkan baliwa percobaan pada babi yang diinjeksi estradiol pada
hari ke-9 dan 10 kebuntingan di uterus mengakibatkan tidak dapatnya embrio bertalian hidup pada
hari ke-14 . Seperti halnya penganuh embriotoxic pada premature uterine dipercaya adanya
hubungan antara alterasi dalanu sintesa protein endometrium dan hilangnya uterine ephithelial
glycocalix selama periode implantasi .
Placenta nuenipenganihi pertunubuhan fetus mulai aNval kebuntingan dan selama peride
kebuntingan melalui metabolisme dan mekanisme endokrin (RO BINSON et al., 1995) . Untuk tujuan
tersebut, placenta mengatur nutrisi, signal endokrin, cvtokines dan faktor pertumbuluan
fetus .Selanjutnya dikatakan bahwa nutrisi dan status hormonal induk sejak awal dan beberapa hari
185
Seminar Nosional Peternakan don Veteriner 1999
setelah fertilisasi dapat mempenganihi pertunibuhan plasenta dan fetus dan juga lamanya masa
kebuntingan . Variasi pada lingkungan maternal dan gangguan metabolik serta lingkungan
endokrin memberikan konsekuensi pada lingkungan plasenta dan fetus yang mengakibatkan resiko
penyakit pada saat individu tersebut dewasa .
Pada sapi dan domba sekresi protein konsepsi menstimulasi sekresi spesifik dari
endometrium protein (GROSS et al ., 1988 di dalam ASHWORTH, 1992) pemberian oTP-1
menjelaskan sekresi pada hari ke-11 sampai 28 protein endometrium telah dipelajari. Saat ini telall
dilaporkan baliwa oTP-1 juga menstimulasi kenaikan 40% produuksi endometrial dari Beta-2
microglobulin-like protein, a Class-1 antigen (VALLENT et al ., 1991 di dalam ASHWORTH, 1992)
dari endometrium domba pada hari ke-16 kebuntingan . Pada babi estrogen yang disekresikan pada
saat kebuntingan ditunjukkan dengan kenaikan uterine arterial blood flow (FORD, 1989 dalam
ASHWORTH, 1992), periuiabilitas vascular uterine dan ditunjukkan dengan tingkat protein, Ca,
PGF 2 alfa, PGE 2 dan plasntin inhibitor pada sekresi uterus. Keadaan ini menstimulasi
peningkatan lipatan endometrial dan formasi dari glycocalix coating pada mikrovili uterus yang
diperlukan untuk implantasi .
PENGARUH ENDOMETRIUM PADA PERKEMBANGAN EMBRIO
Penganuh yang merusak pada embrio transfer yang tidak sinkron dapat diatasi dengan
perlakuan hormonal yang tepat pada ternak resipien. Sebagai contoh domba betina diinjeksi
dengan progesteron pada hari ke-0 sampai 3 setelah estrus memberikan lingkungan yang tepat di
uterus pada hari ke-6 untuk embrio umur 10 hari (LAWSON dan CAHILL, 1983 dalam ASHWORTH
1992). Telah diketalmi bahwa modiikasi progresteron yang disekresikan oleh beberapa protein
endome-trial dan mungkin diduga baliwa pada pertukaran lingkiuigan uterus mempenganuhi daya
hidup embrio . Perbedaan penganuh jaringan endometrial secara biokimia dapat diamati secara in
vitro, tergantung pada species dan status kebuntingan yang diteliti. Co-culture pada blastosist
domba hari ke-l 1 dan 12 dengan sel epitel uterus mencegah embrionic DNA dan sintesa protein
(GuILLOmO T et al., 1989 dalain Asworth, 1992) . Walaupun pada hari ke-16 jaringan endometrium
ditunjukkan dengan stimulasi sekresi oTP-1, tetapi tidak meinpenganihi sekresi protein uterus
yang lain. RICE et al . (1981) di dalam ASHWORTH (1992) menemukan bahvva sekresi protein
blastosist babi rueningkat oleh adanya jaringan endome-trium. Walaupun kini, jaringan
endometrial ternak bunting memperlihatkan adanya pengurangan aktifitas antiviral dari pada
sekresi konsepsi pada ternak persilangan .
MANI et al. (1994) nielaporkan balnva pada penelitian pemberian pakan pada ternak kambing
Angora resipien yang dibagi dalam 3 kelompok . Kelompok A duberi pakan terbatas (25% dari
kebutuhan hidup pokok) selama 35 hari sebelum ditransfer embrio dan diberi pakan sesuai hidup
pokok setelah ditansfer selauna 60 hari, kelompok B diberi pakan cukup (100% kebutuhan hidup
pokok) selama 35 hari dan pakan terbatas setelah transfer selama 60 hari dan kelompok C diberi
pakan cukup sebelum dan sesudah transfer embrio . Ternak tersebut dipotong pada hari ke-60
setelah kebuntingan dan junilah fetus dan corpus lutheum dihitung, maka ternyata bahwa derajat
kebuntingan pada kelompok A, B dan C adalah 33,3%; 20,0% ; dan 66,7% . Persentase fetus yang
hidup pada kelompok A, B dan C masing- masing adalah 25%, 5% dan 57,9% . Dari penelitian ini
dapat disimpulkan baliwa pemberian pakan yang baik pada ternak resipien akan meningkatkan
derajat kebuntingan dan daya tahan hidup embrio, hal ini penting dalam usalua mening-katkan
keberhasilan program embrio transfer.
18 6
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
Pada penelitian sapi potong yang diinjeksi hCG sebanyak 1500 IU pada hari ke-6 s-telah
estrus (5 ekou), kenludian dipotong pada hari ke-12 sampai 14 (Group A), dibandingkan dengan
sapi yang diinjeksi saline (kontrol) pada hari ke-6 setelah estrus (5 ekou) dan dipotong pada hari
ke-12 sampai 14 (Group B) dar group C adalah sapi yang dipotong pada hari ke-5 sampai 7
setelah estrus (4 ekou), maka ternyata ballwa sapi yang diinjeksi hCG, konsentrasi plasma
progesteron meningkat secara in vivo, tetapi tidak ada perbedaan pada DNA, RNA ataupun
konsentrasi protein dari corpora luthea yang dikoleksi dari ternak yang diinjeksi hCG ataupun
saline, demikian FRIECKE et al. (1993) melaporkan .
Walaupun produksi blastosist secara in vitro telah berkembang pesat, nanlun derajat
kebuntingan masill bervariasi (MONSON et al., 1992) . Selanjutnya dilaporkan bahwa telah
dilakukan FIV (Fertilisasi In Vitro) dengan nlenlbandingkan co-culture BOEC (Bovine Oviduct
Epithelial Cells) dan CRI ,,, maka persentase blastosist yang dillasilkan 10% dan 8,8% masingmasing pada hari ke-7 dan 8 yang dikultur dengan BOEC, dibandingkan dengan yang dikultur
dengan CRIa,, adalah 22% dar 18% nlasing-nlasing pada hari ke-7 dan 8 . Jumlah oocytes yang
didewasakan secara in vitro adalah 2 .073 buall dan yang berhasil nlenjadi transferable blastosist
adalah 395 buah atau sekitar 19%. Embrio tersebut telah ditransfer pada F, (FH vv Hereford) dara
yang sebelunlnya telah disinkronisasi estnusnya, secara ipsilateral untuk yang tunggal dan pada
setiap tanduk uterus untuk yang kenlbar, ternyata ballwa persentase kebuntingan yang tunggal
adalah 57% (l2/21) dan 37% (7/19) nlasing-nlasing untuk enlbrio umur 7 dar 8 hari dan dikultur
dengan BOEC, sedangkan yang dikultur dengan Cr, adalah 78% (14/18) dan 44% (11/25)
nlasing-nlasing untuk embrio unlur7dan 8 hari, tetapi bila ditransfer dua buall enlbrio maka
persentase kebuntingan menjadi 71% (12/17) dan 64% (16/25) . Perneriksaan kebuntingan pada
hari ke-40-50 untuk yang tunggal dengan palpasi rektal dan dengan USG (ultrasonogra-phy) untuk
yang kernbar. Disini terlillat ballwa penganuh endoinetrium induk sangat besar terhadap
perkembangan embrio sejak saat implantasi .
SINKRONISASI ANTAR ANAK
Tidak hanya hubungan antara enlbrio dan uterus yang lianas tepat untuk menjaga
keberhasilan kebuntingan, tetapi juga hubungan antar embrio yang nlenernpati uterus yang sama.
Penelitian nlengenai embrio transfer menunjukkan faktor kompetisi antar embrio pada status
perkembangan berbeda dalain uterus yang sama. Bila sebuall enlbrio mnllr 4 hari dan 8 hari
ditransfer pada donlba resipien pada hari ke-6 setelah estrus, maka 70% dari enlbrio umur 8 hari
akan tetap hidup sanlpai hari ke-34, sebaliknya hanya 25% perkembangan enlbrio tertunda
(WILMUT et al., 1988 dalanl ASHWORTH, 1992). Ini mungkin refleksi dari kenyataan ballwa makin
banyak sekresi oTP-1 pada awalnya, stinlulasi perubahan dalam lingkungan uterus nnulgkin
inengakibatkan kenusakan pada enlbrio yang lebill muda.
Situasi yang mirip terjadi pada babi . Bila embrio umur 5 hari dan 7 hari ditransfer pada
resipien umur 6 hari, maka embrio yang lebill tua akan lebill berkembang (POPE et al., 1982 dalarn
ASHWORTH, 1992) . Suatu gejala keberadaan anak nlengikuti keadaan alanliall . bila litter-mates
umur 6 hari dari embrio babi dikelompokkan menunit status perkembangan enlbrio yang sama dan
dikeinbalikan pada daerall yang sama dalam uterus, maka sedikit enlbrio yang dapat berkembang
baik, sedikit yang dapat bertahan hidup dan hanya embrio yang paling baik dapat bertahan hidup
(WILMUT et al., 1985 dalanl ASHWORTH, 1992). Hal tersebut tidak hanya diperlillatkan ballwa
penundaan perkembangan embrio, yang relatif kurang dapat terlillat, penundaan bertahan hidup
187
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999
embrio sesuai dengan perkembangan litter-mates pada resipien yang estrus sehari kemudian dari
donor (WILDE et al ., 1988 dalam ASHWORTH, 1992) . Mekanisme bertalian hidup dari pada embrio
yang kurang berkembang menjadi berbahaya pada uterus. Pada babi relatif sekresi blastosist lebih
banyak estradiol dibandingkan dengan perkembangan litter-mates (POPE et al., 1988 dalam
ASHWORTH, 1992). Perubalian uterus disebabkan oleh sekresi estrogen dari embrio yang lebih tua
mungkin ineracuni pada enibrio yang lebili muda. Hal ini mengesankan bahwa variasi dalam
perkembangan embrio antar litter menyebabkan hilangnya enibrio tidak dapat dihindarkan dan
sebalikknya litter yang relatif seragam populasi einbrionya akan lebih fertil . Suatu tanda
pengamatan pada babi Chinese 1111eishan yang prolifik menunjukkan ballwa kenningkinan lebih
banyak yang seragain, pada ukuran diameter blastosist antar Meishan enibrio (BAZER et al ., 1988
dalam ASHWORTH, 1992), untuk itu perlu penelitian lebih lanjut .
Perkembangan placenta yang normal sangat diperlukan untuk perkembangan fetus yang
normal dan hormon amat penting dalain mengontrol pertumbuhan fetus. FOWDEN (1995)
menyatakan bahwa hormon fetus sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan yang
normal dari pada fetus. Insulin diperlukan terutauna pads pertumbuhan jaringan fetus pada akhir
mass kebuntingan . Defsiensi hormon insulin akin menghambat pertumbuhan fetus, peningkatan
sekresi hormon ini tenitama berperan pada bobot badan fetus. Hormon thyroid berpenganuh pada
pertumbuhan jaringan dan deferensiasi dari pada fetus, tetapi didalam uterus kebutuliannya
berbeda untuk setiap species dan usia kebuntingan . Defisiensi hormon ini berakibat pada
pertumbuhan yang abnormal individu tsb . Insuline-like growth factors (IGFs) berperan pada
aktivitas metabolik, initogenic dan defrensiasi baik pada sebelum maupun setelah kelahiran fetus.
Pituitary growth hormone (GH) penting untuk perkembangan secara linier setelah ternak tersebut
lahir tapi sedikit mengontrol sebelum kelahiran walaupun konsentra-sinya tinggi di dalam uterus.
Kekurangan pituitary hormone tidak berpenganuh pada konsentrasi IGF pada fetus tikus dan
kelinci . Produksi fetal IGF dikontrol secara hormonal dan faktor nutrisi . IGF meningkatkan sintesa
protein dan glikogen pada jaringan fetus.
PENGARUH KEADAAN YANG TIDAK SINKRON DENGAN LINGKUNGAN UTERUS
TERHADAP KETAHANAN HIDUP EMBRIO (EMBRIO SURVIVAL)
Keadaan yang tidak sinkron antara konsepsi dan endometrium dapat terjadi pada transfer
enibrio ke resipien yang estrus berbeda seliari dengan donor, exogenous hormone atau konlblnasl
antar keduanya . Pada beberapa species perbe-daan derajat ketidak sinkronnya masih dapat
ditoleransi, keadaan ini dapat pula menusak enibrio dan perkembangan enibrio menjadi relatif
tertunda karena persiapan akomodasi uterus resipien . Pada domba dan hampir semua ternak yang
tidak menjadi bunting disebabkan karena perbedaan 3 hari antara estrus donor dan resipien ;
perbedaan sampai 2 hari dapat menyebabkan penuninan derajat konsepsi (WILMUT et al ., 1985
dalam ASHWORTH, 1992). Penoniena ini nnungkin dapat diterangkati dengan penganiatan bahwa
perkembangan enibrio domba yang ditransfer ke resipien yang estrus 3 hari setelah donor menjadi
terlambat . Nanuin bila enibrio ditransfer pada betina yang berbeda 2 hari setelah donor akan
menstimulasi fungsi uterus, karena profil sekresi endoinetrial digainbarkan oleh umur enibrio yang
lebih dekat (perbedaan uunur embrio tidak jauh) antara status enibrio dan resipien (ASHWORTH dan
BAZER, 1989 dalam ASHWORTH, 1992). Demikian pula uterus dapat menstimulasi perkembangan
enibrio dari donor yang estrus 2 hari setelah resipien . SCHALUE-FRANCIS et al . (1991) dalam
ASHWORTH (1992) mentujiukkan ballwa inieksi bovine interferon-a-1 meningkatkan ketahanan
hidup embrionik pada domba bunting dan ini mengitreprestasikan penyelamatan embrio yang
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1999
tertunda perkembangannya yang mungkin secara normal tidak dapat memberikan tanda
kehadirannya dengan mencegah regresi corpus lutheum .
Walaupun resipien domba dan sapi (ALBIHN et al., 1991 dalam ASHWORTH, 1992) relatif
lebih toleran pada embrio yang lebih masak atau lebih muda umurnya sama baik, embrio babi yang
lebih tua relatif lebih toleran pada resipien dengan ketahanan hidup yang tertunda (POPE et al.,
1986 dalam ASHWORTH, 1992). Hal ini mungkin mengharapkan bahwa perkawianan secara alami,
umur embrio yang relatif lebih masak lebih tahap hidup. Walaupun pada embrio babi toleransinya
sehari kebelakang terhadap uterus resipien, fimgsi uterus dibantu oleh exogenous estrogen
membuktikan embryocidal (MORGAN et al., 1987 dalam ASHWORTH, 1992).
KONTRIBUSI YANG POTENSIAL PADA KEADAAN YANG TIDAK SINKRON
TERHADAP MORTALITAS EMBRIO
Beberapa faktor lingkungan termasuk stres iklim dan status nutrisi yang mengurangi fertilitas
mungkin dapat mengacaukan hubungan antara konsepsi dan endometrium . Stress panas pada
jaringan konsepsi pada sapi dan babi (PUTNEY et al., 1988, WATTERMANN et al., 1988 dalam
ASHWORTH, 1992) menyebabkan sekresi PGFZat endometrium ternak bunting dan sintesa protein
berkurang ; pada sapi memproduksi 72% lebili rendah bTP-1 dari pada kontrol .
Kebalikannya hubungan antara status nutrisi dan konsentrasi progesteron telah diamati pada
domba dan babi, dengan kebalikan dari nutrisi dapat menyebabkan pengurangan progesteron yang
mendukung peningkatan fertilitas (PARR et al., 1987 dalam ASHWORTH, 1992) . Pemberian pakan
yang baik pada ternak resipien akan meningkatkan derajat kebuntingan dan daya tahan hidup
embrio (MANi et al., 1994). Namun sedikit kejadian yang berpengaruh langsung terhadap status
nutrisi terhadap fungsi uterus atau perkembangan embrio (ROBINSON, 1990 dalam ASHWORTH,
1992) . Nutrisi menyebabkan perubahan pada konsentrasi progesteron yang berhubungan dengan
embrio dan uterus .
Embrio yang hilang antara hari ke-30 sampai 60 setelah inseminasi dan pengaruh dari
palpasi rektal untuk mendeteksi kebuntingan dilaporkan oleh Alexanderet al. (1995) . Penelitian
dilakukan terhadap 1358 ekor sapi FH dara yang disinkronisasi estrus dengan injeksi 25 mg
PGFZaL, kenludlan diinsemnasi dengan menggunakan sperma dari 5 ekor pejantan . Darah dikoleksi
pada hari ke-30, 45 dan 60 setelah inseminasi dan serum dievaluasi dengan RIA untuk mendeteksi
kebuntingan berdasarkan persentasi dari binding bPSPB. Derajat konsepsi pada deteksi hari ke-30
dan 45 setelah IB adalah 63,5% atau 816 ekor, dari junilah tersebut, 9,3% tidak terdeteksi dengan
palpasi rektal . Embrio yang hilang antara hari ke-30 dan 60 setelah IB adalah 5,3%. Sapi dara
yang dipalpasi pada hari ke-30 sampai 45 ternyata embrionya hilang 6,5% dibandingkan yang
tidak dipalpasi maka embrio yang hilang 4,3%. Ternyata bahwa persentase embrio yang hilang
meningkat bila sapi dara tersebut dipalpasi pada awal kebuntingan .
Sejumlah kematian embrional dengan kejadian yang diakibatkan oleh keadaan yang tidak
tepat hubungan antara embrio dan uterus dalam kehadiran agent anti fertilitas yang jelas tetap
merupakan spekulasi .Pada species yang politococous seperti halnya pada babi, mungkin ada
beberapa embrio yang menjadi kurang berkembang dibandingkan dengan litter-mates, mungkin
tidak tepat status perkembangan lingkungan uterus. Kejadian pada domba mengesankan bahwa
kematian embrio pada awal kebuntingan terjadi karena perbedaan profil progesteron selama 2
minggu pertama setelah perkawinan . Hal ini mungkin pada species itu mempunyai dua ovulasi,
189
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1999
mungkin konsentrasi progesteron yang menyebabkan perubahan lingkungan uterus tidak tepat
untuk perkembangan embrio .
Telah dilaporkan (WILMLIT et al., 1985 ; DZIUK, 1987 dalam ASHWORTH, 1992) bahwa tidak
semua kematian embrionic disebabkan oleh keadaan yang tidak sinkron akan dianggap tidak
menyenangkan, tetapi mungkin tnenggambarkan adaptivitas betina terhadap hidup dam reproduksi
mempunyai range yang luas terhadap lingkungan . Variasi pada status embrio dalam litter
mungkin mening-katkan kemungkinan bahwa sekalipun tidak semua embrio akan dapat bertahan
hidup . Seperti halnya perubahan lingkungan uterus dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi
progesteron llngklnlgan, banyak embrio akan menjadi cocok dengan status perkembangan tersebut
dan bertahan hidup .
DAFTAR PUSTAKA
ASHWORTH, C .J . 1992 . Synchrony embryo-uterus . Clinical Trends And Basic Research In Animal
Reproduction . Elsevier. Amsterdam-London-New York-Tokyo .
ANONYMOUS . 1994 . Buku Statistik Peternakan . Direktorat Jenderal Peternakan . Departemen Pertanian .
ALEXANDER, B .M., M.S . JOHNSON, R .O . GUARDIA, W .L . VAN DE GRAAF,P .L . SENGER, and R .G . SASSER . 1995 .
Embryoni c loss from 30 to 60 days post breeding and the effect of palpation per rectum on pregnancy .
Theriogenology 43 : 551-556
FRICKE, P.M ., L.P . REYNOLDS, and D .A. REDMER . 1993 . Effect of human chorionic gonado-tropin
administered early in the estrous cycle on ovulation and subsequent luteal function in cows. J. Anim.
Sci.73 : 1242-1246 .
FOWDEN, A .L. 1995 .Endocrine regulation of fetal growth . Progress in Perinatal Physiology. CSIRO . Australia.
LEESE, H.J. 1991 . Metabolism of The Preimplantation Mammalian Embryo. Oxford Reviews of Reproductive
Biology 13 :35-72 . Oxford Univ . Press .
MONSON, R .D ., D.L . NORTHEY, R . GOTTFREDSON, D .R . PESCHEL, J .J . RUTLEDGE, and D .M . SCHAEFER . 1992 .
Pregnanc y rates of in vitro produced bovine embryos following nonsurgical transfer. Theriogenologv
37 : 261 .
MANI, A .U ., E .D . WATSON, and W .A .C . MC'KELVEY . 1994 . The effect of subnutrition before or after embryo
transfer on pregnancy rate and embryo survival in does. Theriogenology 41 : 1673-1678 .
ROBINSON, J., S . CHIDZANJA, K . KIND, F . Lox, P . OWENS, and J . OWENS . 1995 . Placental control of fetal
growth . Progress in Perinatal Physiology. CSIRO . Australia.
Download