VERONA SHAQILA EFMARALDA-FKIK

advertisement
iii
iv
v
ABSTRAK
Nama
: Verona Shaqila Efmaralda
NIM
: 1112102000035
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Pengaruh Drug Related Problem Terhadap Outcomes Klinik
Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di
Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan
secara terus-menerus sehingga berdampak terjadinya interaksi obat. Interaksi obat
merupakan salah satu dari drug related problem yang diidentifikasi sebagai kejadian
atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi potensi interaksi obat pada
pasien DM tipe 2, proporsi pasien yang mencapai outcome klinik, dan hubungan
interaksi obat terhadap outcome klinik berupa tercapainya target pengendalian
glukosa darah. Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik dengan rancangan
cross-sectional. Subjek penelitian adalah pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat
inap di RS X di Tangerang Selatan pada bulan Juli 2014-Juni 2015. Pengambilan
data dilakukan secara retrospektif melalui data rekam medis dari 90 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi. Analisis data hubungan kerasionalan terapi dan outcome
klinik menggunakan Chi-square. Hasil penelitian ditemukan 52 pasien yang
mengalami kejadian potensi interaksi obat dengan frekuensi potensi interaksi
57.78%. Interaksi paling banyak adalah interaksi metformin dan ranitidin sebanyak
17 kasus (22.67%). Pasien yang mencapai outcome klinik yaitu tercapainya target
glukosa darah puasa dan atau glukosa darah sewaktu ada 52.22%. Hasil analisis yang
dilakukan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara interkasi obat terhadap
outcome klinik pasien yang berupa tercapainya target pengendalian glukosa darah
(p=0.000).
Kata kunci : DM tipe 2, interaksi obat, outcome klinik
vi
ABSTRACT
Name
: Verona Shaqila Efmaralda
NIM
: 1112102000035
Major Study
: Farmasi
Title
: Effect of Drug Related Problem Against Clinical Outcome in
Patients with Diabetes Mellitus in the X Hospital South
Tangerang period July 2014 - June 2015
Diabetes mellitus (DM) is a chronic disease that requires continuous treatment and it
can affect the occurrence of drug interactions. Drug interaction is a one of drug
related problem which identified as an occurence or state of drug therapy which able
to affect patients clinic outcomes. The purpose of this study was to determine the
frequency of potential drug interactions in patients with diabetes mellitus type 2, the
proportion of patients who achieved clinical outcome, and relationship drug
interaction against clinical outcomes such as achievement of blood glucose control
targets. This research was conducted with the analytical method with cross-sectional
design. Subjects were patients with type 2 diabetes are outpatients in the X Hospital
South Tangerang in July 2014 to June 2015. Data were collected retrospectively
through medical records of 90 patients who met the inclusion criteria. Data analysis
therapeutic relationship rationality and clinical outcomes using Chi-square. The
results showed that 52 medical records experienced the incidence of potential drug
interactions with frequencies of potential interaction is 57.78%. The most interaction
is the interaction of metformin and ranitidin were 17 cases (22.67%). Patients who
achieve clinical outcomes namely the achievement of a target fasting blood glucose
or blood glucose when there is 52.22% of patients. Results of the analysis carried out
suggests that there is a relationship between drug interaction to the clinical outcome
of patients who achieved the target in the form of blood glucose control (p=0.000)
Keywords: type 2 diabetes, drug interaciton, clinical outcomes.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada saya. Shalawat serta salam tidak lupa
penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan para sahabat. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Drug Related Problem Terhadap
Outcomes Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di
Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015”. Skripsi ini penulis susun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penlitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan
terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan doa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Yardi., Ph.D, Apt dan ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes Apt selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam
penlitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran,
dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga
terselesaikannya skripsi ini.
2. Dr. H. Arif Sumantri S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Nurmeilis M.Si, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap Bapak/Ibu dosen program studi Farmasi yang telah memberikan
ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.
5. Kepala Instalasi Farmasi RS X di Tangerang Selatan, dan seluruh civitas
Farmasi RS X di Tangerang Selatan yang telah memberikan kesempatan dan
kemudahan untuk melakukan penelitian.
6. Kedua orang tua tercinta, mami Thelma Aries dan papi Haryo Abrianto yang
tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil,
viii
cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga
saati ini.
7. Adik tersayang Zerelda Azzahra, dan kakak terkasih Edo Alfiando, serta
seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis.
8. Teman seperjuangan penelitian, Nabilah Urwatul, Anissa Florensia, dan
Rouli Meparia atas masukan, bantuan, kesabaran, dan semangat selama masa
penelitian hingga penyusunan skripsi. Sahabat-sahabat tersayang Nita
Fitriani, Ade Rachma, dan Nurul Fitri, atas kebersamaan, persaudaraan,
persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan
mendengarkan penulis.
9. Teman-teman Farmasi 2012 khususnya Farmasi BD 12 atas kebersamaan,
serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan
10. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan
penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis berharap kritik dan saran atas
kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat
untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia
kefarmasian.
Jakarta, Juni 2016
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Verona Shaqila Efmaralda
NIM
: 1112102000035
Program Studi : S-1 Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan
judul:
PENGARUH DRUG RELATED PROBLEM TERHADAP OUTCOMES
KLINIK PASIEN DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RS
X DI TANGERANG SELATAN PERIODE JULI 2014 – JUNI 2015
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 25 Juni 2016
Yang menyatakan,
(Verona Shaqila Efmaralda)
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ..................................................................v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL............................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................4
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................6
2.1 Diabetes Mellitus (DM) ........................................................................6
2.1.1 Definisi DM.................................................................................6
2.1.2 Etiologi ........................................................................................6
2.1.3 Epidemiologi ...............................................................................7
2.1.4 Faktor Resiko ..............................................................................8
2.1.5 Klasifikasi....................................................................................9
2.1.6 Patofisiologi ..............................................................................10
2.1.7 Gejala Klinis ..............................................................................11
2.1.8 Diagnosis ...................................................................................13
xi
2.1.9 Komplikasi ................................................................................13
2.1.10 Kriteria Pengendalian DM .......................................................16
2.1.11 Penatalaksanaan .......................................................................18
2.2 Drug Related Problem ........................................................................28
2.3 Drug Related Problem Terkait Interaksi Obat ....................................30
2.3.1 Definisi Interaksi Obat ..............................................................30
2.3.2 Mekanisme Interaksi Obat ........................................................30
2.4 Outcomes Klinik .................................................................................34
2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit ..........................................................37
2.6 Rekam Medik ......................................................................................43
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...............44
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................44
3.2 Definisi Operasional ............................................................................45
BAB 4. METODE PENELITIAN .......................................................................47
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................47
4.2 Desain Penelitian .................................................................................47
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..........................................................47
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel ..................................................48
4.5 Prosedur Penelitian ..............................................................................48
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................51
5.1 Hasil ....................................................................................................51
5.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian .....................................51
5.1.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes .......................................52
5.1.3 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien ...................53
5.1.4 Gambaran Interaksi Obat pada Pasien ......................................54
5.1.5 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes ............59
5.1.6 Hubungan Subjek Penelitian dengan Potensi Interaksi
Obat Antidiabetes ......................................................................59
5.1.7 Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes
pada Pasien DM Tipe 2..............................................................60
5.2 Pembahasan .......................................................................................62
5.2.1 Karakteristik Pasien...................................................................62
5.2.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes .......................................64
xii
5.2.3 Karakteristik Potensi Interaksi Obat pada Pasien DM ..............70
5.2.4 Gambaran Interaksi Obat pada Pasien berdasarkan
Mekanisme dan Tingkat Keparahan .........................................71
5.2.5 Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ......................71
5.2.6 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Antidiabetes .......................73
5.2.7 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes ............74
5.2.8 Hubungan Subjek Penelitian dengan Potensi Interaksi
Obat Antidiabetes .....................................................................75
5.2.9 Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes .............76
5.2.10 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan DM ...........................76
5.3 Keterbatasan Penelitian ....................................................................82
5.3.1 Kendala......................................................................................82
5.3.2 Kekuatan....................................................................................82
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................83
6.1 Kesimpulan..........................................................................................83
6.2 Saran ....................................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................85
LAMPIRAN ..........................................................................................................94
xiii
DAFTAR ISTILAH
AACE
: American Association of Clinical Endocrinologists
ACE
: Angiotensin converting enzyme inhibitor
ADA
: American Diabetes Associaton
AGE
: AdvancegGlycosilation end products
AKI
: Acutek kidney injury
ARB
: Angiotensin receptor blockers
AT
: Angiotensin
CAD
: Coronary arteri disease
CHF
: Chronic heart failure
CKD
: Chronic kidney disease
DAK
: Diabetic ketoacidosis
DHF
: Dengue haemorrhagic fever
DM
: Diabetes mellitus
DPP IV
: Dipeptidyl peptydase IV
DRP
: Drug related problem
EPO
: Evaluasi penggunaan obat
FPG
: Fasting plasma glukose
GDP
: Glukosa darah puasa
GDS
: Glukosa darah sewaktu
GIP
: Gastric inhibitory polypeptide
GLP-1
: Glucagon-like peptide-1
HbA1c
: Hemoglobin A1c
HDL
: High density lipoprotein
IDDM
: Insulin dependent diabetes mellitus
IDF
: Internatonal Diabetes Federation
IFG
: Impaired fasting glucose
ISDN
: Isosorbit dinitrat
ISK
: Infeksi saluran kemih
KGD
: Kadar glukosa darah
KHNK
: Hiperosmoler non ketotik
xiv
LDL
: Low density lipoprotein
MESO
: Monitoring efek samping obat
NIDDM
: Non insulin dependent diabetes mellitus
NSAID
: Non steroid anti inflammatory drugs
PDGM
: Pemantauan glukosa darah mandiri
PGE
: Prostaglandin
PIO
: Pelayanan informasi obat
PKOD
: Pemantauan kadar obat dalam darah
PPAR
: Peroxisome proliferator activated reseptor
PTO
: Pemantauan terapi obat
PVD
: Peripheral vascular disease
ROTD
: Reaksi obat yang tidak dikehendaki
SPSS
: Statistical Package for the Social Sciences
TB Paru
: Tubercolosis paru
WHO
: World Health Organization
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis DM .......................................................18
Tabel 2.2 Target Pengendalian DM......................................................................18
Tabel 2.3 Target Penatalaksanaan DM.................................................................26
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ...........................................................51
Tabel 5.2 Data Distribusi Penyakit Penyerta Pasien DM Tipe 2 .........................52
Tabel 5.3 Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes...........................................53
Tabel 5.4 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien DM Tipe 2 ...........53
Tabel 5.5 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hipoglikemia pada
Pasien DM Tipe 2 .................................................................................54
Tabel 5.6 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hiperglikemia pada
Pasien DM Tipe 2 .................................................................................57
Tabel 5.7 Obat Antidiabetes yang Memiliki Potensi Interaksi.............................58
Tabel 5.8 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ................58
Tabel 5.9 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi..................................59
Tabel 5.10 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Klinik ...........59
Tabel 5.11 Analisis Hubungan Usia dengan Interaksi Obat..................................60
Tabel 5.12 Analisis Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan
Interaksi Obat ......................................................................................60
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Jumlah Obat dengan Interaksi Obat.....................61
Tabel 5.14 Analisis Hubungan Interaksi Obat dengan Outcomes Klinik
Pasien DM Tipe 2 ................................................................................61
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM ......................................................26
Gambar 2.2 Terapi Antihiperglikemik pada Pasien DM Tipe 2..........................27
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian dari Prodi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .....................................................91
Lampiran 2 Jawaban Surat Permohonan Izin Penelitian dari RS X di
Tangerang Selatan ............................................................................92
Lampiran 3 Data Sampel .....................................................................................93
Lampiran 4 Data Interaksi Obat dan Manajemen .............................................123
Lampiran 5 Analisis Hubungan Usia dengan Interaksi Obat ............................131
Lampiran 6 Analisis Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan
Interaksi Obat ................................................................................132
Lampiran 7 Analisisi Hubungan Jumlah Obat dengan Interaksi Obat ..............133
Lampiran 8 Analisis Hubungan Interaksi Obat dengan Outcomes ...................134
xviii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan kronik pada
metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, disebabkan oleh
defisiensi insulin relatif atau absolut (Novitasari, et al., 2011).
Jumlah penderita DM terus meningkat dan merupakan salah satu
ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21 (Novitasari, et
al., 2011). Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federation
(IDF) tingkat prevalensi global penderita DM pada tahun 2012 sebesar 8,4
% dari populasi penduduk dunia, dan mengalami peningkatan menjadi 382
kasus pada tahun 2013. Penyakit DM juga merupakan salah satu penyakit
yang menarik perhatian di Indonesia karena penderitanya terus bertambah
banyak. Global status report on NCD World Health Organization (WHO)
tahun 2010 melaporkan bahwa DM menduduki peringkat ke-6 sebagai
penyebab kematian. Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat DM dan 4
persen meninggal sebelum usia 70 tahun. Menurut hasil RISKESDAS 2013
yang dipublikasikan dari Departemen Kesehatan terjadi peningkatan
penderita DM dari 1,1% (2007) menjadi 2,4% (2013) (Riskesdas, 2013).
Peningkatan insidensi
DM menyebabkan peningkatan insiden
komplikasi dan penyakit penyerta (Waspadji, 2010). Di Indonesia menurut
IDF terdapat 1785 penderita DM yang mengalami komplikasi neuropati
(63,5%), retinopati (42%), nefropati (7,3%), makrovaskuler (16%),
mikrovaskuler (6%), luka kaki diabetik (15%) (Purwanti, 2013).
Berdasarkan survey Medical Expenditure Panel, kebanyakan pasien
DM dewasa mempunyai setidaknya satu penyakit penyerta (komorbid)
kronis dan 40%-nya memiliki setidaknya 3 penyakit kronis (Piette & Kerr,
2006). Dari hasil studi yang dilakukan pada 22.694 pasien DM, didapatkan
hasil bahwa pasien DM memiliki rata-rata 6 kondisi medis yang berlainan,
1
2
dengan 49% pasien dari sampel memiliki ≥ 5 komorbid, dan 19% pasien
memiliki ≥ 10 komorbid (Cipolle et al., 2013).
Komplikasi DM
jangka lama termasuk penyakit kardiovaskuler
(risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan
retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat
menyebabkan impotensi dan ganggren dengan risiko amputasi. Komplikasi
yang lebih serius dan meningkatknya penyakit lain dapat terjadi bila kontrol
kadar gula darah buruk (Purnamasari, 2009). Dengan banyaknya penyakit
komplikasi dan komorbid terhadap DM, hal ini dapat menimbulkan Drug
Related Problem (DRP).
Drug Related Problem (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan
yang melibatkan terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi
pasien mencapai hasil yang optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk
dari DRP adalah interaksi obat (Parthasarathi, et al., 2005). Suatu interaksi
terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal,
makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Hasilnya
dapat berbahaya jika interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat.
(Stockley, 2008). Interaksi obat didefinisikan oleh Mateti, et al. (2009)
sebagai dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga
efektivitas atau toksisitas salah satu atau lebih obat berubah. Rambhade, et
al. (2012) menemukan bahwa polifarmasi menyebabkan interaksi antar obat
di pusat pelayanan kesehatan di Bhopal, India tahun 2009. Sari, et. al.
(2008) juga menemukan 41,69% resep obat antidiabetik oral memiliki
interaksi di rumah sakit X Depok, Indonesia. Se lain itu, menurut Elmiati
(2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Drug Related Problems (DRPs)
Pada Pasien Rawat Inap Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Umum Kabuten
Karanganyar” diperoleh 26,7% pasien mengalam interaksi obat yang cukup
bermakna.
Banyaknya interaksi yang ditimbulkan pada pasien DM, maka
diperlukan tindakan untuk mencegah timbulnya komplikasi dan penyakit
lain, yaitu dengan melakukan kontrol kadar gula darah, latihan jasmani,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
konsumsi obat anti diabetik, dan perawatan kaki diabetik yang penting
dilakukan oleh penderita DM (Purwanti, 2013).
Beberapa penelitian tentang kontrol glukosa darah pada pasien rawat
inap menyatakan bahwa pasien yang mencapai outcome klinik atau
tercapainya pengendalian glukosa darah masih sangat rendah. Berdasarkan
standar ADA (American Diabetes Association), nilai kontrol plasma
postprandial pada pasien DM adalah < 180 mg/dl dan menurut standard
AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) nilai kontrol
plasma postprandial adalah < 140 mg/dl. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Cina, pasien yang mencapai target kriteria ADA hanya 40,2%.
Penelitian di Amerika menyatakan bahwa tidak lebih dari 36% pasien yang
mencapai target plasma postprandial < 180 mg/dl. Pengendalian glukosa
darah secara ketat mampu mengurangi komplikasi mikrovaskuler pada DM
tipe 2 dengan kadar plasma postprandial < 180 mg/dl berdasarkan ADA dan
plasma postprandial < 140 mg/dl berdasarkan AACE (Yan Bi et al., 2010 ;
Ajayi et al., 2010).
Berdasarkan data-data laporan yang telah diuraikan di atas, diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai kejadian Drug Related Problems (DRP)
dalam penanganan pasien DM, serta meneliti korelasi antara kejadian DRP
terhadap outcomes (keberhasilan terapi) pasien. Kategori DRP yang diteliti
yaitu mengenai interaksi obat pada pasien DM dengan/tanpa penyakit
penyerta.
1.2
Rumusan Masalah
a. Kasus penyakit DM masih menjadi masalah yang serius dan terus
meningkat jumlahnya, dengan presentase kejadian 2,4% di Indonesia
pada tahun 2013 (Riskesdas,2013).
b. Dari beberapa penelitian, banyaknya jumlah penggunaan obat dan
adanya penyakit penyerta (komorbid) pada pasien DM menjadi salah
satu faktor resiko terjadinya DRP terkait interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
c. Terapi dengan obat biasanya akan menimbulkan beberapa hal selain
kesembuhan, yaitu terjadi DRP yang dapat berpengaruh terhadapat
outcomes klinik pasien DM.
d. Pemantuan terapi obat sangat penting guna untuk mengetahui masalah
yang mungkin ditimbulkan dari suatu pengobatan, salah satunya terkait
pengaruh interaksi obat terhadap outcomes pasien DM di RS X di
Tangerang Selatan.
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum:
Untuk mengetahui pengaruh Drug Related Problem (DRP) ditinjau dari
interaksi obat terhadap outcomes klinik pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang
Selatan pada periode Juli 2014 – Juni 2015.
1.3.2
Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui angka kejadian Drug Related Problem (DRP) pada
pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan
berdasarkan mekanisme interaksi obat.
b. Untuk mengetahui angka kejadian Drug Related Problem (DRP) pada
pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan
berdasarkan tingkat keparahan interaksi obat.
c. Untuk mengetahui pengaruh potensi interaksi obat terhadap outcome
klinik pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang
Selatan.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan tentang pengaruh Drug Related Problem (DRP) ditinjau dari potensi
terjadinya interaksi obat terhadap outcome klinik pasien DM tipe 2.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.4.2
Secara Metodologi
Metode penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan diharapkan dapat
dijadikan referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di
RS X di Tangerang Selatan.
1.4.3
Secara Aplikatif
Secara aplikatif penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
pertimbangan ataupun kebijakan dalam peresepan obat DM tipe 2 di instalasi
rawat inap RS X di Tangerang Selatan dan dapat memberikan saran bagi dokter
dan tenaga kefarmasian dalam meningkatkan pemberian terapi optimal sehingga
diperoleh terapi yang efektif, aman dan efisien.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
a. Penelitian dengan judul “Pengaruh Drug Related Problems (DRPs)
Terhadap Outcome Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat
Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015”
b. Masalah yang berkaitan dengan Drug Related Problem (DRPs)
sangatlah luas, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi pada kajian
Drug Related Problem (DRPs) mengenai studi interaksi obat terhadap
outcomes klinik (tercapainya target pengendalian kadar glukosa darah
dan tekanan darah) pasien di RS X di Tangerang Selatan.
c. Besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 sampel.
d. Pada penelitian ini desain yang dilakukan adalah cross sectional dengan
pendekatan retrospektif.
e. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Juni di Instalasi Rawat
Inap RS X di Tangerang Selatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus
2.1.1
Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit karena tubuh tidak mampu
mengendalikan jumlah gula, atau glukosa dalam aliran darah. Ini menyebabkan
hiperglikemia, suatu keadaan gula darah yang tingginya sudah membahayakan
(Setiabudi, 2008). Faktor utama pada DM ialah insulin, suatu hormon yang
dihasilkan oleh kelompok sel beta di pankreas. Insulin memberi sinyal kepada sel
tubuh agar menyerap glukosa. Insulin, bekerja dengan hormon pankreas lain yang
disebut glukagon, juga mengendalikan jumlah glukosa dalam darah. Apabila
tubuh menghasilkan terlampau sedikit insulin atau jika sel tubuh tidak
menanggapi insulin dengan tepat terjadilah DM (Setiabudi, 2008). DM biasanya
dapat dikendalikan dengan makanan yang rendah kadar gulanya, obat yang di
minum, atau suntikan insulin secara teratur (Setiabudi, 2008).
2.1.2
Etiologi
Penyebab DM sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi
umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor
herediter memegang peranan penting. Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut
Juvenille Diabetes, gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia
(meningkatnya kadar gula darah) (Bare&Suzanne,2002). Faktor genetik dan
lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih
tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan
streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan
dalam terjadinya DM ( Bare & Suzanne, 2002). Virus atau mikroorganisme akan
menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan
produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri
akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan
peran munculnya penyakit ini (Bare & Suzanne, 2002). Pada Non Insulin
6
7
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) virus dan kuman leukosit antigen tidak
nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran
yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan
terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight
membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat
pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat
jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat
dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang
besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal.
Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet.
Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada
tahap awal tanda-tanda atau gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan
haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih
dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila
ditemukan peningkatan gula darah ( Bare & Suzanne, 2002).
2.1.3
Epidemiologi
Menurut data terkini dari International Diabetes Federation (IDF),
sebanyak 285 juta orang di seluruh dunia menghidap DM. Angka ini
dikemukakan pada 20th World Diabetes Congress di Montreal, Canada. Hanya di
Asia Tenggara saja sebanyak 59 juta orang menghidap DM. Dari jumlah itu
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus DM yang paling tinggi yaitu
sebanyak 7 juta orang (International Diabetes Federation, 2008). Menurut data
Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam
jumlah penderita DM (Waspada Online, 2009). Pada tahun 2009 ini diperkirakan
terdapat lebih dari 14 juta orang dengan DM, tetapi baru 50% yang sadar
mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur
(Waspada Online, 2009). Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi
masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata,
diperkirakan tingkat kejadian penyakit DM akan makin meningkat. Penyakit ini
dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian
epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado
didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan
prevalensi 5,7% (Hiswani, 2001). Melihat pola pertambahan penduduk saat ini
diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia
di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 2 %, akan didapatkan
3,56 juta pasien DM, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh
para ahli DM (Hiswani, 2001).
2.1.4
Faktor Resiko
Faktor-faktor risiko terjadinya DM menurut ADA dengan modifikasi
terdiri atas:
1. Faktor risiko mayor:
a. Riwayat keluarga DM.
b. Obesitas.
c. Kurang aktivitas fisik.
d. Ras/Etnik.
e. Sebelumnya teridentifikasi sebagai IFG (Impaired Fasting Glucose).
f. Hipertensi.
g. Tidak terkontrol kolesterol dan HDL (High Density Lipoprotein).
h. Riwayat DM pada kehamilan.
2. Faktor risiko lainnya:
a. Faktor nutrisi.
b. Konsumsi alkohol.
c. Kebiasaan mendengkur.
d. Faktor stress.
e. Kebiasaan merokok.
f. Jenis kelamin.
g. Lama tidur.
h. Intake zat besi.
i. Konsumsi kopi dan kafein.
(ADA, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
2.1.5
Klasifikasi
2.1.5.1 Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM
tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh
reaksi autoimun. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe
sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α
memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin.
Namun demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon
yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia
akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM
tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia,
hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapatkan terapi insulin.
2.1.5.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang
dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal, keadaan ini disebut resistensi insulin. Disamping resistensi insulin, pada
penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan
produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM
tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya
bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas yang pada umumnya menyebabkan
gangguan pada kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain
terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada
sebagian besar dengan pasien DM tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula
suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap
glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuver-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.1.5.3 Diabetes Melitus Gestasional
DM gestasional adalah keadaaan DM yang timbul selama masa kehamilan,
dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi karena
pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin
(Tandra, 2008).
2.1.6
Patofisiologi
2.1.6.1 Diabetes Melitus Tipe I
Pada DM tipe I terdapat ketidakmampuan pankreas menghasilkan insulin
karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan
hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial (Corwin, 2000). Dengan
tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia) (Corwin, 2000).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga
terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan
(polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya
berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu
keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000).
2.1.6.2 Diabetes Melitus Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang
dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa (Corwin, 2000).
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang
berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000).
2.1.7
Gejala
Gejala DM pada umumnya yaitu :
1.
Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl
2.
Konsentrasi glukosa plasma ≥200mg/dl
3.
2 jam setelah pemberian glukosa pada postprandial ≥200 mg/dl
4.
HbA1c >5,9-6,0 % (Dipiro, dkk., 2009).
Gejala berdasarkan klasifikasi DM yaitu:
a.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
b.
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Soegondo, dkk.,2005).
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan
gejala kronik.
2.1.7.1 Gejala Akut Diabetes Melitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi
bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli),
yaitu:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
a.
Banyak makan (poliphagia).
b.
Banyak minum (polidipsia).
c.
Banyak kencing (poliuria).
Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
a.
Banyak minum.
b.
Banyak kencing.
c.
Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun
5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu).
d.
Mudah lelah.
e.
Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan
jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik
2.1.7.2 Gejala Kronik Diabetes Melitus
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah sebagai
berikut:
1.
Kesemutan.
2.
Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
3.
Rasa tebal di kulit.
4.
Kram.
5.
Capai.
6.
Mudah mengantuk.
7.
Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8.
Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
9.
Gigi
mudah
goyah
dan
mudah
lepas
kemampuan
seksual
menurun,bahkan impotensi.
10. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg
2.1.8
Diagnosis
Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
sewaktu ≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 2.1. Kriteria Penegakan Diagnosis DM
Glukosa plasma puasa
Glukosa Plasma 2 jam setelah
makan
Normal
<100 mg/dL
<140 mg/dL
Diabetes
≥126 mg/dL
≥200 mg/dL
Sumber: International Diabetes Federation
2.1.9
Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi
akut
menurut
Soegondo,
2005
yakni
hipoglikemia,
hiperglikemia dan ketoasidosis merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi
pada perjalanan penyakit DM.
1.
Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini ringan berupa gelisah sampai berat, koma
dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Tanda hipoglikemia mulai
timbul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia
bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari
hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang. Hipoglikemia
ditandai dengan lemas, gemetar, pusing, pandangan berkunang-kunang, keluar
keringat dingin pada muka terutama dihidung, detak jantung meningkat dan
kehilangan kesadaran.
2.
Hiperglikemia
Secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan,
penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas
adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat.
3.
Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu
perjalanan penyakit DM. Keadaan komplikasi akut ini memerlukan pengelolaan
tepat. Timbulnya komplikasi ini merupakan ancaman kematian bagi penyandang
DM. faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut adalah:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
a.
Terlambat ditegakkannya diagnosis karena biasanya penyandang DM
dibawa setelah koma
b.
Pasien belum tahu mengidap DM
c.
Sering ditemukan bersam-sama dengan komplikasi lain yang berat
misalnya: sepsis, renjatan, infark miokard, dan CVD
d.
Kurangnya keterampilan menangani kasus-kasus ketoasidosis karena
belum adanya protokol yang baik.
Sedangkan komplikasi kronis yang dipaparkan oleh Suzanna Ndraha
(2014), bahwa yang dapat terjadi akibat DM yang tidak terkendali adalah:
a. Kerusakan saraf (neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik. Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidakbisa mengirim atau
menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat
kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang
terkena.
b. Kerusakan ginjal
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.
Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk
ke dalam tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat
dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke
luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan
darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Gangguan ginjal pada penderita DM juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf.
c. Kerusakan mata (retinopati)
Penyakit DM bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh DM,
yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah
kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh
darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi
keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan
adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan
dalam bola mata sehingga merusak saraf mata.
d. Penyakit jantung koroner (PJK)
DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan
lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya
suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga
kematian mendadak bisa terjadi.
e. Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe1 dan 2) berkisar 1.0%
s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada
populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3%
dengan DM tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan DM tipe 2.
f. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat
hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan
ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat
apabila penderita DM juga terkena hipertensi.
g. Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau ditangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita DM daripada orang yang tidak menderita
DM. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Bila DM berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat
mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping di ikuti
gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien
biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
h. Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita DM tidak makan gula
dapat mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu
akibat penyakit DM itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita DM,
penderita DM lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C.
Oleh karena itu, penderita DM harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena
mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis
kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau
radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada
penderita DM adalah perlemakan hati atau fattyliver, biasanya (hampir 50%) pada
penderita DM tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa
merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.
i. Penyakit paru
Pasien DM lebih mudah terserang infeksi tuberculosis paru dibandingkan
orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosio ekonomi cukup.
DM memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa
darah.
j. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita DM disebabkan karena kontrol
glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai
saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena
infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai
pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal
serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare
juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan
usus. Keluhan gangguan saluran makan biasa juga timbul akibat pemakaian obatobatan yang diminum.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
k. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam
menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita DM mudah terkena
infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru,
kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin.Kadar glukosa darah yang tinggi
juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap
adanya infeksi (Ndraha, 2014).
2.1.10 Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada
tabel 2.2 (Ndraha, 2014).
Tabel 2.2. Target Pengendalian DM (Ndraha, 2014).
Parameter
Tekanan darah sistolik/diatolik (mmHg)
Nilai Target
<130/80
Glukosa Darah Puasa (mg/dl)
<100
Glukosa darah 2 jam PP (mg/dl)
<140
HbA1c (%)
<7
Kolesterol LDL (mg/dl)
<100
Kolesterol HDL (mg/dl)
Pria >40
Wanita >50
Trigliserid (mg/dl)
<150
2.1.11 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik
oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.1.11.1 Terapi Non Farmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan DM. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada DM adalah:
a.
Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati kadar normal.
b.
Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c.
Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d.
Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien DM, yang
terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal
dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian
utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β
terhadap stimulus glukosa.
2. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal
dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa
contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.1.11.2 Terapi Farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel. Macam-macam sediaan insulin:
a.
Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru
sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin,
Humulin Regular.
b. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke
dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin
dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh:
Monotard Human.
c.
Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan,
contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien
yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah
insulin (Waspadji, 2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja dengan menstimulasi pelepasan insulin. Sulfonilurea
memiliki aksi menutup kanal ion K+ ATP sehingga meningkatkan pemasukan
kalium ke dalam sel dan meningatkan sekresi pada sel beta pankreas. Peningkatan
sekresi insulin akan menekan produksi glukosa di hati (Triplitt et al., 2005). Obat
golongan ini merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan berat badan normal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
dan kurang, karena efek samping dari obat ini adalah menaikkan berat badan
pasien (Perkeni, 2011).
Semua obat yang termasuk dalam golongan sulfonilurea memiliki
efektivitas yang sama dalam menurunkan kadar glukosa darah. Obat golongan ini
dapat menurunkan A1c 1,5-2 % dan penurunan FPG (Fasting Plasma Glukose)
60 hingga 70 mg/dl. Efek samping utama obat ini adalah hipoglikemia dan
kenaikan berat badan. Efek samping lain berupa hiponatremia banyak terjadi pada
penggunaan tolbutamid dan klorpropamid (Wells et al., 2012).
Sulfonilurea Generasi Pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati.
Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung,
2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini
diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan
Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,
masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan
masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam
hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat
albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa
hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
Sulfonilurea Generasi Kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali
lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak
efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu
menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
(Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit
diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko
dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme
dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan
melalui ginjal (Katzung, 2002).
Glimepirid dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling
rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepirid mempunya
waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk
yang tidak aktif (Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga
berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang
overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Metformin dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk semua pasien
DM tipe 2 kecuali pada pasien yang mempunyai kontraindikasi dengan obat
tersebut misalnya gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, gagal jantung
kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia, dan pengguna alkohol
(Kurniawan, 2010).
Metformin bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada hati
dan otot sehingga meningkatkan pengambilan glukosa di hati. Metformin dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan kadar insulin (Triplitt et al.,
2005), serta tidak merangsang pelepasan insulin dari pankreas dan pada umumnya
tidak menyebabkan hipoglikemia, bahkan dalam dosis besar (Brunton et al.,
2008).
c. Golongan Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitason) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Reseptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak (Perkeni, 2011). Selain itu tiazolidindion dapat memperbaiki berbagai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
marker fungsi sel β pankreas antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi
insulin selama 6 bulan, tetapi efek tersebut hanya bersifat sementara karena
setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion akan terjadi penurunan fungsi sel β
pankreas (Kurniawan, 2010).
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I-IV karena dapat memperberat edema dan juga pada gangguan faal hati
(Perkeni, 2011). Pioglitazon dan rosiglitason berisiko menimbulkan gagal jantung,
bahkan rosiglitason dapat memicu kejadian iskemia miokard (Kurniawan, 2010).
Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat golongan α glukosidase inhibitor bekerja dengan cara mencegah
pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di usus halus, sehingga absorbsi
karbohidrat diperlambat. Obat golongan ini dapat menurunkan konsentrasi
glukosa posprandial sebesar 40-50 mg/dL, tetapi tidak menurunkan kadar glukosa
puasa secara signifikan. Pasien yang tepat mendapatkan obat golongan ini adalah
pasien dengan nilai A1c yang mendekati normal dan nilai FPG yang mendekati
normal. Penurunan A1c karena penggunaan obat ini adalah 0,3-1% (Wells et al.,
2012). Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).
e. DPP IV Inhibitor
Hormon pencernaan glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan gastric
inhibitory polypeptide (GIP) merupakan hormon inkretin yang dilepaskan secara
posprandial, hormon tersebut berfungsi menambah sekresi insulin yang
terstimulasi glukosa melalui sensitisasi aksi sel β terhadap glukosa. Glucagon Like
Peptide-1 juga menunjukkan efek penting terhadap homeostasis glukosa lainnya,
yaitu menghambat sekresi glukagon, penundaan pengosongan lambung, dan
menstimulasi biosintesis insulin. Efek tersebut secara potensial dapat meningkatan
aksi insulin perifer. Glucagon Like Peptide-1 dapat menurunan kadar glukosa
darah puasa dan posprandial pada pasien DM tipe 1 dan 2, tetapi GLP-1 secara
cepat terdegradasi dalam plasma oleh enzim dipeptidyl peptydase IV (DPP-IV),
enzim yang dapat ditemukan pada tubuh baik dalam plasma ataupun dinding
endotel pada beberapa organ seperti ginjal, hati, dan usus. Enzim DPP-IV ini
memecah beberapa peptida yang aktif secara biologis termasuk GLP-1, dan juga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
GIP melalui mekanisme yang hampir sama. Efek degradasi GLP-1 oleh enzim
DPP-IV adalah terjadinya penurunan waktu paruh GLP-1 < 1 menit (Triplitt et al.,
2005).
Salah satu cara agar GLP-1 terjaga ketersediaannya di dalam tubuh
adalah dengan cara menghambat enzim DPP-IV. Penghambatan enzim DPP-IV
dapat meningkatan waktu paruh hormon inkretin, dalam hal ini adalah GLP-1 dan
juga GIP. NVP DPP728 merupakan suatu senyawa yang aktif secara oral dan
selektif menghambat enzim DPP-IV. Berdasarkan data farmakodinamik dan
farmakokinetik pada subyek sehat, total dosis harian yang dapat diberikan yaitu
300 mg (Triplitt et al., 2005). Obat-obat golongan DPP-IV inhibitor rata-rata
dapat menurunkan A1c sekitar 0,7%-1% pada dosis 100 mg per hari (Dipiro et al.,
2009).
f. Meglitinid
Glinid merupakan obat yang memiliki cara kerja sama dengan
sulfonilurea, yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Meglitinid
dapat meningkatkan sekresi dan sistesis insulin oleh kelenjar pankreas. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat) dan
nateglinid (derivat fenilalanin). Obat golongan glinid diabsorbsi dengan cepat
setelah pemberian peroral dan diekskresikan secara cepat melalui hati, dosis
penggunaan repaglinid adalah 0,5-1,6 mg/hari sedangkan nateglinid adalah 120360 mg/hari (Triplitt et al., 2005).
2.1.11.3 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2
American Diabetes Association (2015) telah mengeluarkan algoritma
penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut:
a.
Tahap 1
Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup
(konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.).
Apabila
perubahan
gaya
hidup
saja
tidak
cukup
untuk
mempertahankan tujuan glikemik, monoterapi metformin harus
ditambahkan apabila tidak intoleransi dan dikontraindikasikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai untuk
DM tipe 2.
b. Tahap 2
Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan
monoterapi, metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu
dari agen berikut: sulfonilurea, thiazolidindion, inhibitor DPP-4,
agonis reseptor GLP-1, penghambat SGLT-2, atau insulin basal.
Pilihan obat didasarkan pada variasi pasien, penyakit, karakteristik
obat, dengan sasaran menurunkan KGD dan meminimalisir efek
samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan lain, misalnya αglukosidase inhibitor, kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena
biasa digunakan pada keadaan spesifik, tetapi tidak diutamakan
disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi pemberian, dan/atau efek
sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat HbA1C ≥9%.
c.
Tahap 3
DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan
semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin
akhirnya banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi
kombinasi dengan insulin dimulai saat KGD ≥300-350mg/dL (16,719,4 mmol/L) dan/atau HbA1C ≥10-12%. Insulin basal sendiri adalah
regimen insulin awal yang cocok. Insulin basal biasanya diresepkan
dengan metformin dan kemungkinan dengan satu tambahan agen
noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD puasa
dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi
terapi injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani
fluktuasi glukosa postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor
GLP1-1 atau insulin saat makan, yang terdiri dari satu sampai tiga
injeksi analog insulin kerja ultra pendek (lispro, aspart, glulisine)
dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat menggunakan
insulin campuran (formulasi NPH-regular premixed 70/30, 70/30
asprat mix). Alternatif terapi “basal-bolus” dengan multipel injeksi
harian (insulin pump) jarang digunakan dan relatif lebih mahal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan
pertimbangan seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial,
resiko hipoglikemia, dan preferensi pasien.
Tabel 2.3 Target Pelaksanaan DM (Dipiro, dkk., 2009)
Parameter
ADA
ACE dan AACE
Kadar plasma preprandial
90-130 mg/dl
< 110 mg/dl
Kadar plasma postprandial
< 180 mg/dl
<140 mg/dl
Kadar hemoglobin A1c
< 7%
≤ 6,5%
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM (Dipiro, dkk., 2009)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Gambar 2.2
Terapi Antihiperglikemik pada Pasien DM Tipe 2: Rekomendasi
Umum (ADA, 2015)
Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1-RA, reseptor agonis
GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure (gagal jantung); Hipo, hipoglikemia; SGLT2-i,
inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. * Pertimbangkan memulai tahap ini saat
A1C ≥9%. ** Pertimbangkan mulai tahap ini saat KGD ≥300-350 mg/dL (16,7-19,4 mmol/L)
dan/atau A1C ≥10-12%, terutama apabila tanda atau ciri katabolik muncul (penurunan berat
badan, ketosis), dalam hal ini insulin basal + insulin waktu makan lebih disukai sebagai regimen
awal (ADA, 2015).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
2.2
Drug Related Problem
Drug related problem (DRP) adalah sebuah kejadian atau problem yang
melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. DRP
merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau
diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan
penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, 1998).
DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut
dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan
mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya
menurut standar disajikan sebagai berikut
1.
Membutuhkan Terapi Tambahan Obat
a.
Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal
pada obat.
b.
Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat
berkesinambungan.
c.
Pasien
mempunyai
kondisi
kesehatan
yang
membutuhkan
parmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potesiasi.
d.
Pasien dalam keadaan risiko pengembangan kondisi kesehatan baru
yang dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegah penyakit pada
terapi obat dan / atau tindakan paramedis.
2.
Terapi Obat yang Tidak Perlu
a.
Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi
pada waktu itu.
b.
Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun
dari obat atau kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu.
c.
Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.
d.
Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.
e.
Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana
hanya satu terapi obat yang terindikasi.
f.
Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak tepat
dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan
pengobatan lainnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
3.
Terapi Obat Salah
a.
Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi
pengobatan.
4.
b.
Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.
c.
Bentuk sediaan obat tidak tepat.
Dosis Terlalu Rendah
a.
Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon
kepada pasien.
b.
Konsentrasi obat dalam darah pasien dibawah batas teurapetik yang
diharapkan.
c.
Jarak dan waktu pemberian obat terlalu jarang untuk menghasilkan
respon yang diinginkan.
5.
Reaksi Obat yang Merugikan
a.
Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.
b.
Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau
makanan pasien
c.
Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak
dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis.
d.
6.
Penggunaan obat yang kontraindikasi.
Dosis Terlalu Tinggi
a.
Dosis terlalu tinggi untuk pasien.
b.
Pasien dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas teurapetik
obat yang diharapkan.
7.
c.
Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien.
d.
Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.
Kepatuhan
a.
Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan,
pengobatan, pemberian, pemakaian).
b.
Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.
c.
Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.
d.
Pasien tidak mengambil beberapa obat-obat yang diresepkan karena
kurang mengerti.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
e.
Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah
merasa sehat.
2.3
Drug Related Problems (DRP) terkait Interaksi Obat
2.3.1 Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan satu dari tujuh kategori Drug Related Problems
(DRPs) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien (Piscitelli, 2005).
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya (Stockley, 2008).
2.3.2 Mekanisme Interaksi Obat
Pemberian satu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat terjadi
melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik (terjadi perubahan
konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja reseptor) dan interaksi
farmakodinamik (terjadi modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah
konsentrasinya dalam cairan jaringan). Selain dua mekanisme tersebut masih ada
yang disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro sehingga
satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip farmakologi yang
terlibat dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara fisika atau kimia.
(Hashem, 2005).
2.3.2.1 Interaksi Farmakokinetika
Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang dapat mempengaruhi proses
absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi (Baxter, 2008). Perubahan ini pada
dasarnya adalah terjadi modifikasi konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat
bersifat homergic jika memiliki efek yang sama dalam organisme dan heterergic
jika efeknya berbeda (Anonim, 2012).
1.
Interaksi pada Level Absorpsi Obat
Absorpsi
gastrointestinal
diperlambat
oleh
obat
yang
menghambat pengosongan lambung, seperti atropin atau opiat, atau
dipercepat oleh obat (misalnya metoklopramid) yang mempercepat
pengosongan lambung. Atau, obat A dapat berinteraksi dengan obat B
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
dalam usus sedemikian rupa untuk menghambat penyerapan obat B
(Hashem, 2005). Selain itu dapat juga terjadi karena dampak
perubahan pH pencernaan, adsorpsi, khelasi dan mekanisme kompleks
lainnya, perubahan motilitas gastrointestinal, induksi atau inhibisi
protein transporter obat, dan malabsorpsi disebabkan oleh obat
(Baxter, 2008).
Beberapa contoh interaksi absorpsi obat:
a.
Kalsium (dan juga besi) membentuk kompleks tak larut dengan
tetrasiklin dan menghambat penyerapan obat,
b.
Penambahan
epinefrin
pada
suntikan
bius
lokal
yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperlambat penyerapan
obat bius, akibatnya memperpanjang efek lokal obat bius tersebut
(Hashem, 2005).
2.
Interaksi pada Level Distribusi Obat
Mekanisme interaksi utama pada level distribusi adalah
terjadinya kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma. Dalam
kasus ini, obat yang tiba pertama berikatan dengan protein plasma
akan meninggalkan obat lain yang larut dalam plasma, sehingga
memodifikasi konsentrasi yang obat bebas (Anonim, 2012).
Distribusi obat ke dalam otak dan beberapa organ lainnya seperti
testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein.
Protein aktif ini mengangkut obat keluar dari sel ketika obat telah
secara pasif menyebar masuk ke dalam sel. Ada beberapa obat dapat
menghambat transporter ini sehingga meningkatkan penyerapan obat
(Baxter, 2008).
Beberapa contoh interaksi disitribusi obat:
a.
Salisilat menggantikan metotreksat pada tapak ikat albumin dan
mengurangi sekresinya ke dalam nefron.
b.
Quinidine dan beberapa obat lainnya termasuk antidisritmia
verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin pada tapak ikatjaringan sekaligus mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas digoxin (Hashem,
2005).
3.
Interaksi pada Level Metabolisme Obat
Interaksi pada Level Metabolisme terjadi karena metabolisme
obat objek dirangsang atau dihambat oleh obat presipitasi. Terikat
dengan metabolisme ini ada dua hal penting. Pertama, diantara obat
yang berinteraksi ada yang menginduksi enzim dan yang kedua ada
yang menghambat aktivitas enzim (Hashem, 2005).
a.
Induksi Enzim
Induksi enzim adalah perangsangan atau induksi enzim
yang terjadi dalam retikulum endoplasik sel hati dan sitokrom P
450 (CYP) oleh obat tertentu, sehingga aktivitas metabolik
bertambah. Akibatnya metabolisme obat menjadi lebih aktif dan
konsentrasi obat objek dalam plasma berkurang, sehingga
efektivitasnya pun menurun (Hashem, 2005).
b.
Inhibisi Enzim
Inhibisi enzim adalah apabila suatu obat menghambat
metabolisme
obat
lain,
sehingga
memperpanjang
atau
meningkatkan aksi obat. Sebagai contoh, allopurinol mengurangi
produksi asam urat akibat hambatannya terhadap enzim santin
oksidase, pada waktu yang sama metabolisme beberapa obat yang
berpotensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin juga
dihambat. Penghambatan santin oksidase secara bermakna
meningkatkan efek obat-obat tsb. Sehingga jika diberikan
bersama allopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus
diturunkan sampai 1/3 atau ¼ dosis biasanya (Anonim, 2011).
4.
Interaksi pada Level Ekskresi Obat
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat
diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal
disepanjang arteri renal, pertama kali akan dikirim ke glomeruli
tubulusmo dan molekul-molekul kecil akan melewati membran
glomerulus (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel
darah akan ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain
tubulus ginjal sehingga terjadi transport aktif yang memindahkan obat
dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian
melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk
mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi
aktif di tubulus ginjal, perubahan pH, dan perubahan aliran darah
ginjal (Anonim, 2011).
2.3.2.2 Interaksi Farmakodinamika
Interaksi farmakodinamik dapat terjadi dalam berbagai cara. Berikut ini
beberapa interaksi yang perlu dipertimbangkan. Antagonis β-adrenoseptor
mengurangi efektivitas agonis β-reseptor, seperti salbutamol atau terbutaline.
Beberapa diuretik dapat menurunkan konsentrasi plasma kalium, sehingga
meningkatkan efek digoksin dan menyebabkan risiko toksisitas glikosida tersebut.
Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah norepinefrin yang
disimpan dalam terminal saraf noradrenergik dan interaksinya dengan obat lain
akan berbahaya, seperti efedrin atau tiramin yang bekerja melepaskan
norepinefrin. Ini juga dapat terjadi dengan makanan kaya tiramin seperti keju hasil
fermentasi misalnya keju Camembert. Warfarin bersaing dengan vitamin K,
mencegah sintesis hepatik berbagai faktor koagulasi. Jika produksi vitamin K
dalam usus dihambat (misalnya dengan antibiotik), aksi antikoagulan warfarin
meningkat. Obat yang menyebabkan perdarahan dengan mekanisme yang berbeda
(misalnya aspirin, yang menghambat biosintesis tromboksan A2 trombosit dan
dapat merusak lambung) akan meningkatkan risiko perdarahan yang disebabkan
oleh warfarin. Sulfonamid mencegah sintesis asam folat oleh bakteri dan
mikroorganisme
lainnya;
trimetoprim
menghambat
pengurangan
untuk
tetrahydrofolate. Jika diberikan bersama dengan obat yang memiliki aksi sinergis
dalam mengobati Pneumocystis carinii. Non-steroid anti-inflammatory drugs
(NSAID),
seperti
ibuprofen
atau
indometasin,
menghambat
biosintesis
prostaglandin, yang bersifat sebagai vasodilator ginjal / natriuretik prostaglandin
(PGE2, diikuti PGI2). Jika diberikan kepada pasien yang menerima pengobatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
untuk hipertensi, akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan jika
diberikan kepada pasien yang menerima diuretik untuk gagal jantung kronis akan
menyebabkan retensi garam dan air dan dekompensasi jantung. Antagonis
reseptor H1, seperti mepiramin, sering menyebabkan rasa kantuk sebagai efek
yang tidak diinginkan. Ini lebih parah jika obat tersebut diberi bersamaan dengan
alkohol, dan dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja atau di jalan
(Hashem, 2005).
2.3.3
Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkantingkatan
keparahanan : minor, moderate, atau major.
1. Keparahan minor
Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara
klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah
interaksi hidralazin dan furosemid. Dimana efek farmakologis furosemid dapat
meningkat jika diberikan bersamaan dengan hidralazin, tetapi secara klinis tidak
signifikan. Interaksi obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen pengobatan.
2.
Keparahan moderate
Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan
pemantauan. Contohnya, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat menyebabkan
peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Namun, kombinasi ini masih sering
digunakan dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim hati.
3.
Keparahan major
Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan,
karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius. Contohnya, ketokonazol
yang dapat menyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat memperpanjang
interval QT dan mengancam jiwa. Sehingga kombinasi ini tidak disarankan untuk
digunakan (Atkinson, dkk., 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
2.4
Outcomes Klinik
Outcomes klinik pada pasien DM yaitu tercapainya kontrol glukosa darah
dipengaruhi oleh faktor lain seperti gaya hidup, edukasi tentang DM, dan durasi
DM. Gaya hidup pasien seperti pola makan dan olahraga secara signifikan
berhubungan dengan outcome klinik pasien DM (Sanal et al., 2011).
Berdasarkan Standards of Medical Care for Diabetes-2014 pada Diabetes
Care Volume 37 parameter untuk target pengendalian glukosa pada pasien DM
antara lain:
1.
Kontrol Kadar Glukosa
HbA1c yang ditargetkan untuk pasien pada umumnya adalah <
7%. Kadar glukosa darah prepandialnya 70-130 mg/dl (3,9 -7,2
mmol/l) dan kadar glukosa darah postprandialnya < 180 mg/dl
(<10,00 mmol/l).
2.
Tekanan Darah
Tekanan darah harus diukur setiap kali kunjungan dilakukan.
Target tekanan darah untuk pasien DM adalah < 140/80 mmHg.
Target tekanan darah < 130/80 mmHg dilakukan untuk pasien tertentu
seperti pasien yang masih muda.
3.
Kadar Lipid
Target LDL < 100 mg/dl, kadar trigliserid < 150 mg/dl, dan
HDL > 40 mg/dl untuk laki-laki dan > 50 mg/dl untuk perempuan.
Hasil terapi DM tipe 2 harus dimonitor terus-menerus dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan Perkeni tahun 2011 pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain :
a.
Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan dari dilakukannya pemeriksaan glukosa darah adalah :
ï‚· Untuk mengetahui pencapaian sasaran terapi
ï‚· Untuk melakukan penyesuaian dosis obat jika sasaran terapi
belum tercapai.
Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, 2 jam postprandial,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
atau kadar glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala
sesuai dengan kebutuhan.
b.
Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan
HbA1c
bertujuan
untuk
menilai
efek
perubahan terapi 8-12 minggu pengobatan. Pemeriksaan HbA1c
merupakan tes hemoglobin terglikosilasi atau disebut juga
glikohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi (Perkeni, 2011).
Frekuensi pemeriksaan nilai HbA1c tergantung pada kondisi
klinis, regimen terapi yang digunakan, dan diagnosis dokter
(ADA, 2014).
4.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan bervariasi tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu
yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan, menjelang waktu tidur, dan di antara siklus tidur.
PDGM terutama dianjurkan pada :
a.
Pasien DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
b.
Pasien DM dengan terapi insulin berikut yaitu pasien dengan
HbA1c yang tidak mencapai target setelah terapi, wanita yang
merencanakan hamil, wanita hamil dengan hiperglikemia, dan
kejadian hipoglikemia berulang.
5.
Pemeriksaan Glukosa Urin
Pemeriksaan ini hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat
atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi
glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL. Hasil pemeriksaan sangat
bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk
menilai keberhasilan terapi.
6.
Pemantauan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada pasien DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar
glukosa darah >300mg/dL). Tes benda keton urin mengukur kadar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
asetoasetat, sedangkan benda keton yang penting adalah asam beta
hidroksibutirat. Pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam
darah dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan strip
khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/l (normal),
di atas 1,0 mmol/l (ketosis), dan melebihi 3,0 mmol/l (indikasi
diabetik ketoasidosis).
2.5
Peran Apoteker di Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyebutkan bahwa peran Apoteker di
Rumah Sakit salah satunya adalah melakukan Pelayanan Farmasi
Klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien
(patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (PMK
Nomor 58, 2014).
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
A. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap
tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian obat (medication error).
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat,
bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep
sesuai
persyaratan
administrasi,
persyaratan
farmasetik,
dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
a Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien.
b Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter
c Tanggal resep
d Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
a Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan
b Dosis dan jumlah obat
c Stabilitas
d Aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
a Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
b Duplikasi pengobatan
c Alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki
d Kontraindikasi
e Interaksi obat
B. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain
yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat
diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat:
a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan obat
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh
tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan
c. Mendokumentasikan adanya alergi dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD)
d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
e. Melakukan
penilaian
terhadap
kepatuhan
pasien
dalam
menggunakan obat
f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat
yang digunakan
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat.
C. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan prosesmembandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication
error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada
pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar
ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan
pasien
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi
dokter.
D. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan
Informasi
Obat
(PIO)
merupakan
kegiatan
penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang
independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang
dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah
sakit
b. Menyediakan
informasi
untuk
membuat
kebijakan
yang
berhubungan dengan oba/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi
c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.
E. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau
saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien
dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun
rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif
apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.
Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan
hasil terapi, meminimalkan risiko ROTD, dan meningkatkan costeffectiveness
yang
pada
akhirnya
meningkatkan
keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
F. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap
yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga
kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan
mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat
yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan
menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional
kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar
Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan
program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan pelayanan
kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
G. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif
dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas
terapi dan meminimalkan risiko ROTD.
Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons
terapi, ROTD.
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
H. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang
terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
MESO bertujuan:
a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama
yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang
b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan
yang baru saja ditemukan
c. Mengenal
semua
faktor
yang
mungkin
dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO
d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
e. Mencegah
terulangnya
kejadian
reaksi
obat
yang
tidak
dikehendaki.
I.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program
evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan
secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat
b. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu
tertentu
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat
d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
e. Kegiatan praktek EPO:
f. Mengevaluasi pengggunaan obat secara kualitatif
g. Mengevaluasi pengggunaan obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. Indikator peresepan
b. Indikator pelayanan
c. Indikator fasilitas
J.
Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya
serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan:
a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk
c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya
d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
K. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari
dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas
usulan dari apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan:
a. Mengetahui kadar obat dalam darah; dan
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD
b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan PKOD
c. Menganalisis hasil PKOD dan memberikan rekomendasi (PMK
Nomor 58, 2014).
2.6
Rekam Medik
Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara
rekam medik dan memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita
rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik ini harus secara
akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah
ditelusuri kembali (retrieving) dan lengkap informasi. Rekam medik
adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan
penderita, ditulis dari sudut pandang medik.
Definsi rekam medik menurut surat keputusan Direktur jenderal
pelayanan medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan tindakan
dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama
dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar dan
Lia, 2003).
Kegunaan dari rekam medik :
a. Digunakan sebagai dasar perencanaan berkelanjutan perawatan
penderita.
b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap
professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.
c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan
atau penderita dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal
di rumah sakit.
d. Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi
perawatan yang diberikan kepada pasien.
e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah
sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
f. Menyediakan atau untuk digunakan dalam penelitian dan
pendidikan.
g. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data rekam
medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya
pengobatan seorang penderita (Siregar dan Lia, 2003).
2.7
Review Literatur
2.7.1
Drug Related Problem
Drug Related Problems (DRP) merupakan situasi tidak ingin dialami oleh
pasien yang disebabkan oleh terapi obat sehingga dapat berpotensi menimbulkan
masalah bagi keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. Suatu kejadian dapat
disebut DRPs bila memenuhi komponen-komponen. Komponen tersebut adalah
kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien berupa keluhan medis, gejala,
diagnosis, penyakit, dan ketidakmampuan (disability) serta memiliki hubungan
antara kejadian tersebut dengan terapi obat dimana hubungan ini dapat berupa
konsekuensi dari terapi obat atau kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai
solusi maupun preventif (Cipolle et al., 2004). Masalah terkait obat dapat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak
juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care Network Europe
mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait
dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis
kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
2.7.2
Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat
adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat
menghasilkan efek yang memang dikehendaki (desirable drug interaction), atau
efek yang tidak dikehendaki (undesirable/adverse drug interactions) yang
lazimnya
menyebabkan
efek
samping
obat
dan/atau
toksisitas
karena
meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar
obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal.
Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi (Ament PW,
2000).
Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat
lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-inap
dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadangkadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara teoretik
selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi (Peng,
CC, et al, 2003). Di Indonesia, data yang pasti mengenai insidens interaksi obat
masih belum terdokumentasi antara lain juga karena belum banyak studi
epidemiologi dilakukan di Indonesia untuk hal tersebut. Sebagian besar informasi
diperoleh dari laporan-laporan kasus terpisah, uji-uji klinik, dan/atau studi-studi
farmakokinetik pada subyek sehat dan usia muda yang tidak sedang menggunakan
obat-obat lainnya, sehingga untuk menetapkan risiko efek samping akibat suatu
interaksi obat pada seorang pasien tertentu seringkali tidak dapat secara langsung.
Profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah
digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi
pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut.
2.7.3
Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan/atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara, yaitu rusaknya sel-sel
B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,dll); penurunan reseptor
glukosa pada kelenjar pankreas; atau kerusakan reseptor insulin di jaringan
perifer. Penderita DM biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia
(banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering
kencing di malam hari) nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan
cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah lelah, dan kesemutan. Kejadian
DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2008 prevalensi DM di Indonesia membesar hingga
57%. Peningkatan Kejadian DM tipe 2 di timbulkan oleh faktor faktor seperti
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
riwayat diabetes melitus dalam keluarga, umur, obesitas, tekanan darah tinggi,
dyslipidemia, toleransi glukosa terganggu, kurang aktivitas, riwayat DM pada
kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan
gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl,
glukosa darah puasa >126 mg/dl. Penatalaksanaan DM dapat dilakukan dengan
pemilihan obat oral hiperglikemik dan insulin serta modifikasi gaya hidup seperti
diet, dan olahraga teratur untuk menghindari komplikasi seperti ketoasidosis
diabetik, koma hiperosmoler non ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis,
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongetif, stroke, nefropati, diabetik
retinopati (kebutaan), neuropati, dan ulkus diabetikum (Fatimah, Restyana Noor.,
2015).
2.7.4
Interaksi Obat DM tipe 2
Interaksi Obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
(drug related problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi
obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat
terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuuuh diubah
oleh kehadiran suatu enzim yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Interaksi obat
adalah suatu intekasi yang terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.
Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan
yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang
laiinya (Baxter, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nazria Sabella (2015) yang
berjudul Studi Potensi Interaksi Obat pada Pasien DM Tipe 2 di RSUD dr.
Zainoel Abidin, Banda Aceh, ditemukan sebanyak 62,3% resep yang memiliki
potensi interaksi obat, dimana potensi interaksi obat paling tinggi terjadi pada
pasien dengan usia> 45 tahun (62,9%). Interaksi obat yang paling banyak terjadi
adalah antara insulin dengan metformin sebanyak 46 kasus (22,28%), diikuti
dengan glimepirid dan simvastatin sebanyak 21 kasus (10,45%). Mekanisme
interaksi obat metformin dan insulin diduga melibatkan peningkatan mekanisme
seluler yang dikendalikan oleh insulin seperti uptake glukosa, sintesis glikogen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
protein dan lipid. Kejadian potensi interaksi antara glimepirid dan simvastatin
diketahui simvastatin meningkatkan efek hipoglikemia dengan mekanisme yang
tidak diketahui. Namun apabila terjadi interaksi solusinya adalah dengan
menurunkan dosis sulfonilurea.
Selain itu, berdasarkan penelitian oleh Ovilia Della (2015) yang berjudul
Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap DM Tipe 2 di RSUD
dr. Pirngadi, Medan Juli-Desember 2014, diketahui profil penggunaan obat
antidiabetes pada pasien rawat inap DM tipe 2 Juli- Desember 2014 tertinggi
adalah insulin aspart 41,30%, insulin detemir 24,78%, dan metformin 18,70%.
Persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes menunjukkan hasil yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 68,90%. Obat antidiabetes yang sering berpotensi
interaksi adalah insulin aspart 38,40%, metformin 30%, dan insulin detemir
20,80%, dengan mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes tertinggi adalah
farmakodinamik 72%, serta tingkat keparahan potensi interaksi obat antidiabetes
yang teringgi adalah moderate 82,40%. Dari hasil penelitian di RSUD dr.
Pirngadi, Medan terdapat hubungan bermakna antara usia dengan potensi interaksi
obat dan ada hubungan bermakna antara jumlah obat dengan potensi interaksi
obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Rekam Medik Pasien DM Tipe
2 Periode Juli 2014 – Juni 2015
(90 sampel)
a. Obat DM tipe 2
b. Obat Lain
Karakteristik Pasien:
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Penyakit Penyerta
d. Jumlah Penggunaan Obat
Drug Related
Problems
Interaksi Obat
Ada Interaksi Obat
Tidak Ada Interaksi Obat
Presentase
Interaksi Obat
Mekanisme
Interaksi Obat
Tingkat Keparahan
Interaksi
Outcomes pasien:
GDS
GDP
Terkendali
Tidak
terkendali
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
47
Terkendali
Tidak
terkendali
48
3.2. Definisi Operasional
No
Nama Variable
1
Karakteristik
Pasien :
1)Jenis kelamin
2)Usia
3)Penyakit
penyerta
4)Jumlah obat
3
Obat DM tipe 2:
a.Sulfonilurea
b.Biguanida
c.Tiazolidindion
d.Inhibitor alfa
glukosidase
e.DPP IV
inhibitor
f.Meglitinid
g.Insulin
4
Drug Related
Problem:
1)
Interaksi
obat
Definisi Operasional
Cara
Pengukuran
Skala
ukur
Kategori
1)Kondisi fisik yang
menentukan status
seseorang laki-laki atau
perempuan
2)Lamanya hidup
seseorang dilihat dari
tanggal lahir atau ulang
tahun terakhir.
3)Keadaan klinis dimana
timbulnya penyakit lain
pada pasien DM tipe 2
Membaca data
rekam medis
pasien
Nominal
1: laki-laki
2:perempuan
Membaca data
rekam medis
pasien
Nominal
1: < 45 tahun
2: ≥45 tahun
Melihat data
rekam medis
pasien
Nominal
4)Banyaknya obat DM tipe
2 dan obat penyakit
penyerta yang digunakan
pasien DM tipe 2
Obat yang digunakan
dalam pengobatan DM tipe
2 baik itu obat-obatan
kimiawi ataupun non
kimiawi.
Melihat data
rekam medis
pasien
Nominal
1: <5 Penyakit
Penyerta
2: ≥ 5 Penyakit
Penyerta
1: < 5 Obat
2: ≥ 5 Obat
Dengan
membaca data
rekam medis
pasien
Pasien
mendapat
pengobatan DM
tipe 2
Masalah yang timbul
karena penggunaan obat
yang telah diresepkan,
ditinjau dari Interaksi
Obat.
Dengan
melihat rekam
medis
Nominal
Keadaan yang terjadi
ketika menggunakan 2 atau
lebih jenis obat.
Melihat
referensi pada
Drugs.com,
Medscape,
Cipolle dan
Drug
Information
Handbook.
1: Terdapat
interaksi obat
2: Tidak terdapat
Interaksi obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
5
Outcomes
pasien DM tipe
2
Keberhasilan terapi yang
dinilai berdasarkan
parameter nilai target GDP
(70-130 mg/dl ) dan/atau
GDS (< 180 mg/dl).
Dengan
melihat rekam
medis
Nominal
1: Tercapai nilai
target GDP
dan/atau GDS
2: Tidak tercapai
nilai target GDP
dan/atau GDS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RS X di Tangerang Selatan, yang terletak di
Tangerang Selatan, Banten 15417.
4.1.2
Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli
2016.
4.2
Desain Penelitian
Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional, yaitu
pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran Drug Related Problems
pada pasien DM tipe 2 sebagai variabel terikat, dengan teknik pengambilan data
secara retrospektif, melalui pengamatan data dari rekam medik pasien di RS X di
Tangerang Selatan pada periode bulan Juli 2014 – Juni 2015.
4.3
Populasi dan Sampel
4.3.1
Populasi
Populasi adalah seluruh unsur yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pasien DM yang dirawat inap RS X di Tangerang Selatan Juli
2014 – Juni 2015. Jumlah populasi berdasarkan hasil studi pendahuluan yaitu
sebanyak 147 sampel.
4.3.2
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi yaitu sebanyak 90 sampel, sehingga besar sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 90 sampel. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah total sampling, yaitu semua rekam medis pasien yang
memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai penelitian.
4.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
4.4.1
Kriteria Inklusi
1. Rekam medik pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di
Tangerang Selatan.
2. Pasien DM tipe 2 dengan atau tanpa penyakit penyerta dan/atau
komplikasi, berupa neuropati, nefropati, retinopati, penyakit jantung
koroner, stroke, hipertensi, gangguan hati, gangguan ginjal, penyakit
paru, dan infeksi.
3. Pasien dengan rekam medis dan status pasien yang lengkap (memuat
informasi dasar yang diperlukan dalam penelitian).
4.4.2
Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang tidak memiliki rekam medis lengkap dan jelas (42 sampel).
Lengkap dan jelas seperti terdapat nomor rekam medis, identitas pasien
( nama, jenis kelamin, dan usia), tanggal perawatan pasien.
2. Wanita hamil (2 sampel).
3. Pasien pulang paksa (13 sampel).
4.5
Prosedur Penelitian
4.5.1
Persiapan
1. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian
dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Kepala Instalasi RS X di
Tangerang Selatan.
2. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RS X di Tangerang Selatan
kepada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.5.2
Pengumpulan Data
1. Penelusuran pada data pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di
Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015.
2. Proses pemilihan pasien yang termasuk ke dalam kriteria inklusi.
3. Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam medis, berupa :
a. Nomor rekam medis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
b. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur ).
c. Diagnosa penyakit, riwayat penyakit pasien dan keluhan pasien.
d. Penggunaan obat (jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan).
e. Outcomes pasien (kadar GDP dan GDS).
4. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan
kesimpulan dari penelitian
4.5.3
Pengolahan Data (Notoatmodjo, 2012)
1. Editing data.
Sebelum melakukan penilaian pada data mentah, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan
mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.
2. Coding data.
Coding berupa kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Penelitian melakukan coding
terhadap data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah
analisis di program Microsoft Excel.
3. Entry data.
Setelah dilakukan coding lalu data dimasukan ke dalam program
Microsoft Excel dalam bentuk tabel.
4. Cleaning data.
Data yang sudah dimasukan diperiksa kembali sebelum dilakukan
analisis lebih lanjut, untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau
kesalahan data.
4.5.4
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel
2010 dan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences).
Variabel dianalisis dengan menggunakananalisa univariat dan bivariat.
1. Analisis univariat.
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis
setiap variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti secara
deskriptif.
Tujuannya adalah untuk melihat sebaran data setiap variabel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Adapun pengolahan data dengan menggunakan analisis univariat adalah
karakteristik pasien, yang meliputi:
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Penggunaan obat DM tipe 2
d. Outcomes pasien (kadar GDP dan GDS).
2. Analisis bivariat.
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan / berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan
antara variabel. Adapun pengolahan data dengan menggunaan analisis
bivariat ialah :
Karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, penggunaan
obat DM tipe 2) terhadap DRP yang meliputi interaksi obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil
5.1.1
Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Demografi pasien dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, jenis
penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat. Jumlah pasien DM tipe 2 di RS X
di Tangerang Selatan pada tahun 2014 dan 2015 adalah 147 pasien dan kemudian
dipilih 90 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.
Tabel 5.1 Karakteristik Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Jenis kelamin, Usia, Jumlah Penyakit
Penyerta, dan Jumlah Penggunaan Obat di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No.
1
2
3
4
Karakteristik Subjek
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
Usia
a. < 45 tahun
b. ≥45 tahun
Jumlah Penyakit Penyerta
a. < 5 Penyakit Penyerta
b. ≥ 5 Penyakit Penyerta
Jumlah Penggunaan Obat
a. < 5 Obat
b. ≥ 5 Obat
Jumlah Rekam Medik (n=90)
Presentase
(%)
18
72
20,0
80,0
17
73
18,8
81,1
69
21
76,6
23,3
34
56
37,7
62,2
Berdasarkan Tabel 5.1, diperoleh gambaran mengenai karakteristik umum
subjek penelitian. Gambaran umum karakteristik subjek yang dominan antara lain
80% perempuan; 81,11% usia pasien berusia ≥45 tahun; 76,6% pasien menderita
<5 penyakit penyerta; serta 62,2% pasien menerima ≥5 obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Tabel 5.2 Distribusi Penyakit Penyerta Pasien DM Tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan Periode
Juli 2014 – Juni 2015
No
Penyakit Penyerta
Frekuensi
Presentase (%)
1
2
3
Hipertensi
Dispepsia
CHF
17
12
10
14,1
10,0
8,3
4
Ulkus
10
8,3
5
6
CKD
Anemia
10
9
8,3
7,5
7
8
9
10
Stroke, Infark, Hemiprasedektra
DKA
TB Paru
AKI
7
6
6
5
5,8
5,0
5,0
4,1
11
12
Febris
Gastropati diabetikum
5
4
4,1
3,3
13
14
Hiperglikemia
CAD
4
3
3,3
2,5
15
Hepatitis
3
2,5
16
17
DHF
Nefropati
2
2
1,6
1,6
18
Sirosis
2
1,6
19 ISK
2
1,6
20 Hiponatremia
1
0,8
Keterangan: AKI = Acute Kidney Injury; CAD = Coronary Arteri Disease; CHF = Chronic Heart
Failure; CKD = Chronic Kidney Disease; DAK = Diabetic Ketoacidosis; DHF= Dengue
Haemorrhagic Fever; ISK = Infeksi Saluran Kemih; TB Paru = Tubercolosis Paru
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis penyakit penyerta yang paling banyak
terjadi pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan adalah hipertensi
sebanyak 17 pasien (14,16%); diikuti dispepsia sebanyak 12 pasien (10%); CHF,
ulkus, dan CKD sebanyak 10 pasien (8,33%); anemia sebanyak 9 pasien (7,5%),
serta penyakit lainnya yang berada dibawah 7%. Selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 5.2
5.1.2
Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Persentase penggunaan obat antidiabetes di RS X di Tangerang Selatan
periode Juli 2014 - Juni 2015 yang diambil dari 90 rekam medik. Terdapat 115
penggunaan obat antidiabetes ditunjukkan oleh Tabel 5.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Tabel 5.3 Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Pasien Rawat Inap DM Tipe 2 di RS X di
Tangerang Selatan Periode Juli 2014 - Juni 2015
No.
Nama Obat
Jumlah Penggunaan
Presentase
(n=115)
(%)
1
2
3
4
5
Insulin Aspart (Novorapid)
Insulin Glargline (Lantus)
Metformin
Glimepirid
Acarbosa
47
34
23
11
1
40,8
29,5
20,0
9,5
0,8
Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa persentase tertinggi penggunaan
obat antidiabetes yakni insulin aspart 40,8%; insulin glargline 29,5%; metformin
20,0%; glimepirid 9,5%; dan acarbosa 0,8%.
5.1.3
Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien
Berdasarkan penelitian terhadap 90 rekam medik pada periode Juli 2014 Juni 2015, diperoleh jumlah interaksi obat sebanyak 57,7% dengan karakteristik
kelompok usia ≥45 tahun (48,8%); pasien dengan <5 penyakit penyerta (51,1%);
dan mendapat terapi ≥5 obat (50%). Gambaran umum kejadian interaksi obat secara
keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan
periode Juli 2014 – Juni 2015
No.
Karakteristik Subjek
Berinteraksi
Tidak berinteraksi
1
2
3
Usia
a. < 45 tahun
b. ≥ 45 tahun
Jumlah Penyakit Penyerta
a. < 5 penyakit penyerta
b. ≥ 5 penyakit penyerta
Jumlah Penggunaan Obat
a. < 5obat
b. ≥ 5 obat
Frekuensi
(n=52)
%
(n=57,7)
Frekuensi
(n=38)
%
(n=42,2)
8
44
8,8
48,9
10
28
11,1
31,1
46
6
51,1
6,6
18
20
20,0
22,2
7
45
7,7
50,0
27
11
30,0
12,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
5.1.4
Gambaran Interaksi Obat pada Pasien Berdasarkan Mekanisme dan
Tingkat Keparahan
Analisis terhadap 90 rekam medik menunjukkan hasil persentase potensi
interaksi obat antidiabetes yaitu 57,7%, dari 165 resep ditemukan 115 resep
memiliki potensi interaksi obat, yang terdiri dari 20 jenis kasus interaksi obat yang
berpotensi menyebabkan hipoglikemia dan 6 jenis kasus interaksi yang berpotensi
menyebabkan hiperglikemia (Tabel 5.5 dan Tabel 5.6). Obat yang paling sering
mengalami potensi interaksi adalah metformin 38,6%, glimepirid 33,3%, insulin
aspart 20%, dan insulin glargline 8% (Tabel 5.7), dengan mekanisme interaksi
farmakokinetik 48%, farmakodinamik 38,6%, dan unknown 13,3% (Tabel 5.8).
Tingkat keparahan potensi interaksi obat antara lain minor 13,9%, moderate 86%,
dan major 0% (Tabel 5.9).
Tabel 5.5 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hipoglikemia/Menurunkan Kadar Gula Darah pada
Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No Nama Obat
Pola Mekanisme Tingkat
Mekanisme Interaksi
Jumlah
%
Interaksi
Keparahan
Kejadian
Interaksi
(n=64)
1
Glimepirid +
unknown
Moderate
Asam mefenamat
1
1,3
asam
meningkatkan efek
mefenamat
glimepirid melalui
mekanisme yang tidak
diketahui. Beresiko
hipoglikemia.
2
Glimepirid +
farmakokinetik
Moderate
Aspirin dapat
1
1,3
aspirin
menstimulasi sekresi
insulin atau
meningkatkan
konsentrasi plasma dari
glimepirid dengan
menggantinya dari situs
pengikatan protein
dan/atau menginhibisi
metabolismenya .
beresiko hipoglikemia
3
Glimepirid +
farmakodinamik Moderate
Captopril meningkatkan
1
1,3
captopril
efek glimepirid oral
melalui sinergisme
farmakodinamik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
(peningkatan sensitivitas
insulin)
4
Glimepirid +
ciprofloxacin
farmakodinamik
Moderate
5
Glimepirid +
insulin aspart
(Novorapid)
farmakodinamik
Moderate
6
Glimepirid +
ketorolak
unknown
Moderate
7
Glimepirid +
natrium
diklofenak
farmakokinetik
Moderate
8
Glimepirid +
omeprazole
farmakokinetik
Moderate
9
Glimepirid +
ranitidin
farmakokinetik
Moderate
Ciprofloxacin
meningkatkan efek
glimepirid melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Glimepirid, insulin
aspart. Salah satunya
meningkatkan efek yang
lain melalui sinergisme
farmakodinamik
Ketorolac meningkatkan
efek glimepirid melalui
mekanisme yang tidak
diketahui. Beresiko
hipoglikemia.
Na Diclofenac dapat
menstimulasi sekresi
insulin atau
meningkatkan
konsentrasi plasma dari
glimepirid dengan
menggantinya dari situs
pengikatan protein
dan/atau menginhibisi
metabolismenya .
beresiko hipoglikemia
1
1,3
4
5,3
1
1,3
1
1,3
Penghambatan
metabolisme CYP2C9
sulfonilurea. Konsentrasi
sulfonilurea serum dapat
meningkat,
meningkatkan efek
hipoglikemia
Antagonis reseptor H2
seperti simetidin dan
ranitidin dapat
meningkatkan efek
hipoglikemik.
Mekanismenya diduga
berhubungan dengan
inhibisi metabolisme
5
6,7
9
12,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
10
Glimepirid +
simvastatin
unknown
Minor
11
Insulin aspart
(Novorapid) +
aspirin
farmakodinamik
Moderate
12
Insulin aspart
(Novorapid) +
captopril
farmakodinamik
Moderate
13
Insulin aspart
(Novorapid) +
ciprofloxacin
farmakodinamik
Moderate
14
Insulin
glargline
(Lantus) +
metformin
farmakodinamik
Moderate
15
Metformin +
asam folat
unknown
Minor
16
Metformin +
ciprofloxacin
farmakodinamik
Moderate
17
Metformin +
digoxin
farmakokinetik
Moderate
sulfonilurea di hati oleh
simetidin sehingga
meningkatkan efeknya.
Konsentrasi sulfonilurea
meningkat,
meningkatkan efek
hipoglikemia
Aspirin meningkatkan
efek insulin aspart
dengan sinergisme
farmakodinamik
(peningkatan sekresi
insulin)
Captopril meningkatkan
efek insulin aspart oral
melalui sinergisme
farmakodinamik
(peningkatan sensitivitas
insulin)
Ciprofloxacin
meningkatkan efek
insulin aspart melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Beresiko hiperglikemia
Metformin dapat
meningkatkan efek
hipoglikemik insulin
glargine dengan
meningkatkan
mekanisme kontrol
selular oleh insulin atau
efek pada reaksi
biokimia komplementer.
Metformin menurunkan
level asam folat melalui
mekanisme interaksi
yang tidak diketahui
Ciprofloxacin
meningkatkan efek
metformin melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Beresiko hiperglikemia
Digoxin akan
meningkatkan level/efek
1
1,3
1
1,3
5
6,6
3
4,0
5
6,6
2
2,6
1
1,3
2
2,6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
18
Metformin +
diltiazem
farmakokinetik
Minor
19
Metformin +
furosemid
unknown
Moderate
20
Metformin +
ranitidin
farmakokinetik
Moderate
metformin dengan
kompetisi pembasaan
obat untuk kliren tubular
renal. Beresiko asidosis
laktat.
Diltiazem akan
meningkatkan level/efek
metformin dengan
kompetisi pembasaan
(kationik) obat untuk
klirens renal tubular.
Furosemid meningkatkan
level metformin,
beresiko hipoglikemia
Ranitidin akan
meningktkan level/efek
metformin melalui
penurunan klirens
ginjal/kompetisi
transport tubular renal.
1
1,3
2
2,6
17
22,6
Tabel 5.6 Interaksi Obat-Obat yang Berpotensi Hiperglikemia/Meningkatkan Kadar Gula Darah
pada Pasien DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni
2015
No Nama Obat
Pola Mekanisme Tingkat
Mekanisme Interaksi
Jumlah
%
Interaksi
Keparahan
Kejadian
Interaksi
(n=11)
1
Insulin aspart
farmakodinamik Moderate
Dexamethasone
2
2,6
(Novorapid) +
menurunkan efek insulin
dexamethasone
aspart melalui
antagonism
farmakodinamik. Dapat
menyebabkan
hiperglikemia dan
intoleransi glukosa.
2
Insulin aspart
farmakodinamik Moderate
Levofloxacin
1
1,3
(Novorapid) +
menurunkan efek insulin
levofloxacin
aspart melalui
antagonism
farmakodinamik.
Beresiko hiperglikemia.
3
Insulin aspart
farmakodinamik Moderate
Metilprednisolon
3
4,0
(Novorapid) +
menurunkan efek insulin
metil
aspart melalui
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Prednisolon
4
5
6
Insulin
glargline
(Lantus) +
metil
prednisolon
Metformin +
dexamethasone
farmakodinamik
Moderate
farmakodinamik
Moderate
Metformin +
ISDN
unknown
Minor
antagonisme
farmakodinamik
Metilprednisolon
menurunkan efek insulin
glargline melalui
antagonisme
farmakodinamik
Dexamethasone
menurunkan efek
metformin melalui
antagonism
farmakodinamik. Dapat
menyebabkan
hiperglikemia dan
intoleransi glukosa.
ISDN menurunkan level
metformin mekanisme
interaksi tidak diketahui.
1
1,3
1
1,3
3
4,0
Tabel 5.7 Distribusi pasien DM tipe 2 yang memiliki potensi interaksi obat berdasarkan jenis obat di
RS X di Tangerang Selatan periode Juli 2014 – Juni 2015
No.
Nama obat
Jumlah
%
(n=75)
1
Metformin
29
38,6
2
3
4
Glimepirid
Insulin aspart
Insulin glarlgine
25
15
6
33,3
20,0
8,0
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antidiabetes yang sering
memiliki potensi interaksi obat adalah metformin 38,6%, dan glimepirid 33,3%
(Tabel 5.7). Hasil yang diperoleh dipengaruhi dari tingginya peresepan obat yang
melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan.
Tabel 5.8 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe 2 di RS
X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No
Jenis interaksi
Jumlah
%
(n=75)
1
Farmakokinetik
36
48,0
2
Farmakodinamik
29
38,6
3
Unknown
10
13,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang paling banyak
terjadi
adalah
interaksi
farmakokinetik
sebesar
48%,
diikuti
interaksi
farmakodinamik sebesar 38,6%, serta interaksi unknown sebesar 13,3%.
Tabel 5.9 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM Tipe
2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No
Jenis interaksi
Jumlah (n=75)
%
1
Moderate
68
86
2
Minor
7
13,9
Berdasarkan tingkat keparahan, interaksi obat yang terjadi mayoritas
mempunyai tingkat keparahan moderate 86%, dan tingkat keparahan minor 13,9%.
Data ditunjukkan pada Tabel 5.9.
5.1.5
Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Pasien Diabetes
Mellitus
Berdasarkan penelitian terhadap 90 rekam medik pada periode Juli 2014 Juni 2015, diketahui terdapat 42 pasien (46,6%) yang memiliki potensi interaksi
obat, yang mengakibatkan tidak tercapainya outcomes klinik pasien (kontrol gula
darah).
Tabel 5.10 Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Klinik Pasien DM tipe 2 di RS X
di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
No.
Interaksi Obat
Berinteraksi
1
2
3
4
5.1.6
Outcomes Klinik
Tidak
berinteraksi
√
√
Outcomes tidak
tercapai
√
√
√
Hubungan
Outcomes
tercapai
√
Subjek
√
√
Penelitian
dengan
Jumlah
(n= 90)
%
10
42
37
1
11,1
46,6
41,1
1,1
Potensi
Interaksi
Obat
Antidiabetes
Peneliti melihat dari hasil analisa data crosstabs, apakah nilai p> 0,05 atau
nilai p> 0,05. Jika nilai p> 0,05 maka uji dapat dikatakan tidak memiliki hubungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
yang signifikan. Jika nilai p< 0,05 maka uji dapat dikatakan memiliki hubungan
yang signifikan pada kedua variabel.
5.1.6.1 Hubungan Usia dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan analisis hubungan antara usia dengan interaksi obat
menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.11 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien DM
Tipe2 di RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015
Intekasi Obat
Nilai P
Usia
Berinteraksi
Tidak Berinteraksi
Jumlah
%
Jumlah
%
< 45 tahun
8
8,8
10
11,1
0,200
≥ 45 tahun
44
48,8
28
31,1
Total
52
57,7
38
42,2
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya
hubungan yang tidak bermakna antara variabel usia dan interaksi obat antidiabetes,
dimana nilai p=0,200 (p>0,05).
5.1.6.2 Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Potensi Interaksi Obat
Antidiabetes
Berdasarkan analisis hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan
interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.12 Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan Interaksi Obat Antidiabetes
Interaksi Obat
Nilai P
Penyakit
Berinteraksi
Tidak berinteraksi
penyerta
Jumlah
%
Jumlah
%
< 5 penyakit
46
52,2
18
20,0
penyerta
0,000
≥ 5 penyakit
6
6,6
20
22,2
penyerta
Total
52
57,7
38
42,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya
hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penyakit penyerta dan kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
5.1.6.3 Hubungan Jumlah Obat dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Berdasarkan analisis hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan
interaksi obat menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan Interaksi Obat Antidiabetes
Interaksi Obat
Nilai P
Jumlah obat
Berinteraksi
Tidak berinteraksi
Jumlah
%
Jumlah
%
< 5 obat
7
7,7
27
30,0
0,000
≥ 5obat
45
50,0
11
12,2
Total
52
57,7
38
42,2
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya
hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penggunaan obat dan kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
5.1.7
Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2
Berdasarkan analisis hubungan antara interaksi obat dengan outcomes klinik
menggunakan metode chi-square dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 5.14 Analisis Hubungan Antara Interaksi Obat dengan Outcomes Klinik Pasien DM Tipe 2
Outcomes klinik
Nilai P
interaksi
Tercapai
Tidak tercapai
Jumlah
%
Jumlah
%
Interaksi
10
11,1
42
46,6
0,000
Tidak
37
41,1
1
1,1
berinteraksi
Total
47
52,2
43
47,7
Hasil analisis Chi Square dengan program IMB SPSS 16 diperoleh adanya
hubungan yang bermakna antara variabel interaksi obat dan outcomes klinik pasien
DM tipe 2 dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
5.2
Pembahasan
5.2.1
Karakteristik Pasien
5.2.1.1 Karakteristik Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pasien DM perempuan lebih banyak
daripada pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan data RISKESDAS tahun 2013 yang
menyatakan bahwa pasien DM pada wanita lebih banyak (1,7%) dibandingkan pada
laki-laki (1,4%). Pernyataan tersebut juga didukung dengan penelitian lainnya,
dimana setelah usia 30 tahun, wanita memiliki risiko terkena DM lebih tinggi
dibandingkan pria (Ramaiah, 2007). Kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tigauw, et al., (2014) menunjukkan pasien DM perempuan lebih banyak
(66,7%) daripada laki-laki (33,3%). Namun, penelitian yang dilakukan oleh
ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia menunjukkan jenis kelamin lakilaki menderita DM lebih tinggi daripada perempuan (Pramudiarja, 2011).
Penyakit DM lebih banyak terjadi pada perempuan disebabkan karena pada
perempuan memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.
Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang
membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses
hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2 (Sustrani, 2006).
5.2.1.2 Karakteristik Umum Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian, penderita DM tipe 2 di RS X di Tangerang
Selatan usia pasien yang paling muda adalah 23 tahun, dan yang paling tua adalah
89 tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia penderita DM
paling banyak terjadi pada usia ≥ 45 tahun.
Riskesdas (2013) melaporkan bahwa usia penyakit DM dominan terjadi
pada usia 55-64 tahun dan cenderung menurun setelah usia ≥65 tahun. Penelitian
yang dilakukan oleh Kekenusa, et al. (2006) juga menunjukkan bahwa pasien DM
tipe 2 didominasi kelompok usia ≥45 tahun. Usia ≥45 tahun memiliki resiko 8 kali
lebih besar terkena penyakit DM tipe 2 dibandingkan usia <45 tahun. Hal ini dapat
terjadi karena pada lansia terjadi perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh yang
mempengaruhi kemampuan fisik dan menurunkan kekebalan tubuh, serta proses
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
metabolisme yang menurun yang tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas
fisik (Maryam, et al., 2008).
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis
menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. DM sering muncul setelah seseorang
memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun (Irawan, 2010).
Menurut Waspadji (2008), usia lanjut mengalami peningkatkan produksi insulin
glukosa dari hati (hepatic glucose production), cenderung mengalami resistensi
insulin, dan gangguan sekresi insulin akibat penuaan dan apoptosis sel beta
pankreas. Pada usia lanjut dengan indeks tubuh normal, gangguan lebih banyak
pada sekresi insulin di sel beta pankreas, sementara pada usia lanjut dengan
obesitas, gangguan lebih banyak pada resistensi insulin di jaringan perifer seperti
sel otot, sel hati, dan sel lemak (adiposit) (Pramono, 2010).
5.2.1.3 Karakteristik Umum Berdasarkan Penyakit Penyerta
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penderita DM paling banyak
memiliki ≤5 penyakit penyerta. Menurut literatur, dikatakan bahwa pasien DM
mengalami rata-rata 5 penyakit penyerta (Cipolle, et al., 2013). Jenis penyakit
penyerta yang dialami pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di RS X di Tangerang
Selatan yang paling banyak adalah hipertensi dan dispepsia.
Penyakit Hipertensi pada pasien DM adalah komplikasi makroangiopati
(kelainan pada pembuluh darah besar) (Carlisle,2005). Tingginya penyakit penyerta
hipertensi yang dialami pasien DM tipe 2 dikarenakan terjadinya peningkatan kadar
gula darah pada pasien DM yang dapat menyebabkan hiperfiltrasi glomeruler dan
albuminuria. Hiperglimia dapat menyebabkan perubahan jalur metabolisme dan
feedback tubuloglomeruler akibat stres oksidatif dan agregasi AGE (Advance
Glycosolation End Product). Perubahan feedback tubuloglomeruler dapat
menyebabkan perubahan hemodinamik dalam ginjal, termasuk hiperfiltrasi,
vasodilatasi renal, dan peningkatan aliran darah ginjal. Adanya tekanan glomeruler
dapat meningkatkan aktivasi sistem renin-angiotensin dan endotelin yang dapat
meningkatkan tekanan darah sistemik (Schutta, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Penyakit hipertensi juga dapat disebabkan karena pasien DM tipe 2 umumnya
memiliki usia ≥ 45 tahun, dimana dengan bertambahnya usia maka tekanan darah
juga akan meningkat. Setelah usia 45 tahun dinding arteri akan mengalami
penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot sehingga
pembuluh darah berangsur angsur akan mengalami penyempitan dan menjadi kaku
(Anggraini, dkk., 2009; Manroe, 2007; Yusnidar, 2007).
Penyakit penyerta dispepsia juga termasuk penyakit penyerta terbanyak
setelah hipertensi, yang diderita oleh pasien DM tipe 2. Gangguan fungsi saluran
cerna merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita DM, dimana hal ini
berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut atau
kelainan motilitas lambung yang memicu terjadinya dispepsia (Sutadi, 2003). DM
juga dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga muncul keluhan rasa
penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah (Hadi, 2002).
5.2.1.4 Karakteristik Umum Berdasarkan Jumlah Obat
Berdasarkan
jumlah
obat
yang
digunakan,
diperoleh
data
yang
menunjukkan bahwa peresepan ≥5 obat memiliki persentase yang lebih tinggi
dibandingkan peresepan <5 obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mayasari (2013), menunjukkan bahwa pada pasien DM lebih dari 50%
menerima obat ≥5. Hal ini dapat terjadi karena pada penderita DM tipe 2 terjadi
resistensi insulin dan sekresi insulin yang semakin rendah dari waktu ke waktu.
Kebanyakan individu dengan DM tipe 2 menunjukkan sindrom resistensi insulin
atau sindrom metabolik. Karena kelainan ini, pasien dengan DM tipe 2 beresiko
mengalami komplikasi (Triplitt, et al., 2008). Hal tersebut menyebabkan pasien
membutuhkan terapi lebih dari satu obat atau memerlukan terapi kombinasi untuk
mendapatkan kontrol yang baik (Shastry, et al., 2015).
5.2.2
Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Profil penggunaan obat bertujuan untuk mengetahui obat apa saja yang
digunakan oleh pasien DM di RS X di Tangerang Selatan. Berdasarkan penelitian
ini, obat antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah insulin aspart.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Penggunaan insulin ini diberikan pada kondisi pasien DM telah mengalami
ketidaksadaran atau memiliki kadar glukosa darah yang sangat tinggi. Pasien
dengan kadar glukosa yang tinggi menunjukkan bahwa pasien telah mengalami
komplikasi lainnya. Banyaknya penggunaan insulin aspart disebabkan karena
memiliki kerja yang cepat (rapid acting) serta memiliki keunggulan dalam hal
penyuntikannya. Insulin dapat disuntikkan 15 menit sebelum makan dan insulin
regular dapat disuntikkan 30 menit sebelum makan.
Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomatunnisa (2014) juga menunjukkan
bahwa insulin merupakan salah satu obat antidiabetes injeksi yang banyak
digunakan pada pasien rawat inap DM. Penggunaan insulin diberikan jika kondisi
pasien memiliki kadar glukosa yang sangat tinggi dan mengalami komplikasi. Jika
kadar glukosa darah sudah relatif stabil maka dapat dilakukan evaluasi terhadap
penyakit komplikasi yang diderita oleh pasien. Insulin aspart banyak digunakan
karena memiliki kerja onset kerja cepat dan menurunan kadar glukosa postprandial
lebih cepat dibandingkan insulin regular. Penderita DM Tipe 2 tertentu
kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan
tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah, seperti ketika penderita mengalami
stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut
atau stroke, ketoasidosis diabetik. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral
atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi
yang
meningkat,
secara
bertahap
memerlukan
insulin
eksogen
untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal ketika terjadi peningkatan
kebutuhan insulin (Depkes RI, 2005).
Penggunaan obat diabetes oral yang paling banyak digunakan adalah
metformin, yang termasuk dalam golongan biguanida, sedangkan sisanya berasal
golongan sulfonilurea yaitu glimepirid. Pemilihan obat yang digunakan dalam
terapi sudah sesuai dengan tatalaksana pengobatan DM dimana lini pertama terapi
menggunakan obat golongan biguanida, dan lini kedua menggunakan golongan
sulfonilurea (Mclntosh, et al 2001).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Metformin dapat meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga
absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis
dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer (Tjay dan
Rahardja, 2007). Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas (Schteingart,
2005). Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL
kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan
HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian tunggal, metformin
dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% (Waspadji, 2004).
5.2.2.1 Profil Obat
Profil obat merupakan seluruh kelompok obat yang digunakan oleh pasien
DM tipe 2 yang terdiri dari beberapa golongan obat dan mempunyai masing-masing
tujuan pengobatan yang sama yang diberikan kepada pasien, yang digunakan untuk
mengobati penyakit komplikasi dan penyerta yang diderita pasien. Penggolongan
obat ini dilakukan berdasarkan formularium RS X di Tangerang Selatan. Dari hasil
penelitian di atas dapat diketahui bahwa obat antidiabetes digunakan oleh semua
pasien. Obat yang paling banyak digunakan pertama yaitu obat gastrointestinal,
sedangkan obat kardiovaskular diurutan kedua. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Maria Fea Fessy tahun 2010, dimana frekuensi
penggunaan obat terbanyak setelah obat antidiabetes yaitu obat kardiovaskular.
Penggolongan obat pada pasien geriatri penderita DM tipe 2
yang
mendapat obat hipoglikemia kombinasi ini terdiri dari 10 kelas terapi yang
meliputi:
a.
Obat Susunan Saraf
Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) merupakan obat yang
hampir semua obat SSP bekerja pada reseptor khusus yang mengatur transmisi
sinaps. Obat susunan saraf terdiri dari beberapa golongan yaitu analgesikantipiretik,
antiinflamasi
nonsteroid
dan
anti
reumatik,
preparat
gout,
antisiolitik/antiansietas, antipsikosis, hipnotik-sedatif, nootropik dan neurotonik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
antiepilepsi-antikonvulsi, antidepresi, anti emetik, dan relaksan otot. Namun
terdapat golongan yang tidak terdapat pada penelitian yaitu golongan antidepresi.
Obat analgesik antipiretik serta obat NSAID merupakan salah obat yang
banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Salah satu fungsi dari
golongan seperti golongan antiinflamasi nonsteroid-antipiratik untuk penyakit
artritis rheumatoid, osteoatrhtritis, dan spondilitis. Tetapi harus diingat bahwa obat
ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan
penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah
jaringan pada kelainan muskoskeletal (Gunawan, dkk., 2009). Contoh obat yang
digunakan adalah meloksikam yang diindikasikan untuk menangani penyakit
penyerta yang diderita oleh pasien geriatri penderita DM tipe 2, seperti nyeri dan
radang, gangguan skelet dan osteoatritis. Pasien usia lanjut memiliki kerentanan
terhadap efek samping obat golongan NSAID yaitu gangguan saluran cerna, untuk
itu diperlukan pemantauan yang lebih.
b.
Obat Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular merupakan masalah yang sangat penting pada usia
lanjut. Karena hal ini dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyakitpenyakit lainnya sehingga harus cepat ditangani. Penggunaan obat kardiovaskular
oleh pasien berada diurutan nomor dua terbanyak yang digunakan oleh pasien. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Fea Fessy tahun 2010,
dimana penggunaan obat kardiovaskular pada pasien geriatri dengan DM terbanyak
yaitu golongan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs). Golongan ini bekerja
dengan cara menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT 1 dan tidak di
reseptor AT2 . AT1 bloker juga tidak menimbulkan efek samping batuk kering
(Gunawan, dkk., 2009). Obat-obat golongan ini tidak memiliki efek terhadap
metabolisme bradikinin sehingga merupakan penghambat yang lebih selektif
terhadap efek angiotensin dibandingkan dengan penghambat ACE. Mereka juga
memiliki potensi untuk menghambat kerja angiotensin secara lebih menyeluruh
dibandingkan dnegan penghambat ACE sebab terdapat enzim-enzim lain selain
ACE yang dapat menghasilkan angiotensin II. Obat golongan ini mempunyai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
keuntungan sama seperti obat golongan penghambat golongan ACE. Dan efek
samping keduanya pun mirip yaitu tidak boleh digunakan selama kehamilan
(Katzung, 2010). Penggunaan obat golongan obat anti hipertensi cukup banyak, hal
ini sesuai seperti yang digambarkan pada karakteristik subjek penelitian
berdasarkan penyakit komplikasi yang paling banyak diderita yaitu hipertensi
(Gunawan, dkk., 2009).
c. Obat Saluran Pernapasan
Terdapat 2 golongan obat yang digunakan pada obat saluran pernapasan ini
yaitu antitusif/ mukolitik dan anti asma. Obat-obat saluran penapasan khususnya
untuk asma, memiliki efek farmakologi penting dalam pengobatannya yaitu
melemaskan otot polos saluran napas dan menghambat pelepasan mediator
bronkokonstriksi dari sel-sel mast. Salbutamol dapat menyebabkan bronkodilatasi
yang setara dengan yang dihasilkan isoproterenol. Salbutamol mengandung
albuterol yang juga merupakan golongan obat selektif β 2 yang paling banyak
digunakan dalam pengobatan asma (Katzung, 2010).
Sedangkan obat mikolitik ialah obat yang dapat mengencerkan sekret
saluran
napas
dengan
jalan
memecah
benang-benang
mukoprtein
dan
mukopolisakarida dari sputum (Gunawan, dkk., 2009). Contoh obat yang
digunakan oleh pasien DM tipe 2 pada penelitian adalah ambroksol.
d. Obat Saluran Cerna
Obat saluran cerna merupakan obat yang paling banyak digunakan oleh
pasien rawat inap geriatri DM tipe 2 di RS X di Tangerang Selatan. Obat saluran
cerna yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat golongan antiulkus
peptikum, anti spasmodik, laksatif, antasida, anti diare, pencahar, serta enzim
pencernaan. Obat-obat tersebut digunakan untuk mengatasi efek samping yang
timbul dari penggunaan obat antidiabetik, serta obat lainnya yang digunakan oleh
pasien untuk mengatasi keluhan lainnya.
Salah satunya, obat kelompok antagonis histamin H2 yaitu ranitidin
digunakan oleh banyak pasien. Mekanisme kerja ranitidin yaitu dengan cepat
menyerap di usus, ranitidin mengalami metanolisme lintas-pertama di hati sehingga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
membuat biovailabilitasnya manjadi sekitar 50%.Antagonis H 2 menunjukkan
inhibisi kompetitif di reseptor H2 sel parietal dan menean sekresi asam, baik eksresi
asam basal maupun yang di rangsang oleh makanan, secara linear dan bergantung
pada dosis. Obat ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H 1 dan H2
volume sekresi lambung dan kadar pepsin berkurang (Katzung, 2010).
e.
Cairan Untuk Keseimbangan Air, Elektrolit, Dialisis dan Nutrisi
Obat yang digunakan pada golongan obat ini yaitu KSR yang diberikan
dalam bentuk sediaan tablet. Kedua obat ini digunakan untuk membantu
meningkatkan kadar ion kalium dalam darah yang kurang.
f.
Anti Infeksi
Penggunaan antiinfeksi sebagai agen antibakteri pada pasien DM sangat
penting karena jika terjadi luka akan lebih sukar sembuh. Hal ini karena pada
lingkungan yang mengandung kadar glukosa yang tinggi merupakan tempat
perkembangan bakteri yang baik. Obat yang digunakan pada penelitian terdapat
beberapa golongan yaitu golongan penicillin, sefalosforin, antifungi dan golongan
lain. Salah satu yang banyak digunakan adalah siprofloksasin yang termasuk dalam
kelompok kuinolon. Siprofloksasin dapat melawan bakteri gram positif dan negatif.
Antibiotik ini diindikasikan untuk mengobati pneumonia dan beberapa beberapa
stafilokokus. Mekanisme aksi obat siprofloksasin ini dengan menyekat sintesis
DNA bakteri dengan menghambat topoisomerase II (DNA girase) dan
topoisomerase IV bateri. DNA girase mencegah relaksasi DNA supercoiled positif
yang diperlukan untuk trasnkripsi dan replikasi normal sehingga sintesis DNA
terganggu (katzung, 2010).
g.
Vitamin dan Mineral
Vitamin dan beberapa mineral penting untuk metabolisme. Vitamin
merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil untuk
mempertahankan kesehatan dan sering kali bekerja sebagai kofaktor untuk enzim
metabolisme. Sedangkan mineral merupakan senyawa anorganik yang merupakan
bagian penting dari enzim, mengatur berbagai fungsi fisiologis, dan dibutuhkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan termasuk tulang (Gunawan, dkk.,
2009).
h. Obat Penyakit Kulit
Obat yang digunakan untuk penyakit kulit yaitu fluconazol golongan
imidazol. Obat fluconazol digunakan secara topikal (seperti kulit), atau pada
membran mukosa untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh fungi. Fluconazol
terutama efektif untuk histoplasmolisis paru, tulang, sendi, dan jaringan lemak.
Mekanisme kerjanya dengan cara fluconazol masuk kedalam sel jamur dan
menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap zat intrasel
meningkat. Sedangkan obat kemisetin umumnya bersifat bakteriostatik. Obat ini
terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman,
mekanisme ini juga diduga dapat menyebabkan efek toksik pada obat ini
(Gunawan, dkk., 2009).
5.2.3
Karakteristik Potensi Interaksi Obat pada Pasien Diabetes Melitus
5.2.3.1 Karakteristik Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh potensi interaksi obat paling tinggi
terjadi pada pasien dengan usia ≥ 45 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang, pasien DM yang berusia ≥ 45
tahun lebih berisiko mengalami interaksi obat dibandingkan dengan pasien yang
berusia < 45 tahun (Putro, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivva, et al.
(2015) juga menunjukkan hal serupa, kelompok usia lansia adalah usia yang
terbanyak mengalami interaksi obat, secara umum pasien lansia memiliki resiko
terjadinya interaksi obat karena mereka kebanyakan memiliki banyak penyakit dan
polifarmasi yang biasanya muncul dengan meningkatnya durasi dari kondisi
penyakit dan perubahan fisiologi (Aravind, et al., 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
5.2.3.2 Karakteristik Berdasarkan Jumlah Penyakit Penyerta dan Jumlah
Penggunaan Obat
Berdasarkan jumlah penyakit penyerta dan jumlah penggunaan obat, potensi
interaksi obat lebih tinggi pada pasien yang mengalami ≤ 5 Penyakit Penyerta dan
pasien yang menerima ≥ 5 obat. Kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin
besar dengan adanya penyakit penyerta dan meningkatnya kompleksitas obat-obat
yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan praktik polifarmasi
(Tatro, 2009). Suatu survey yang dilaporkan pada tahun 1977 pada penderita yang
dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita
yang mendapat 0-5 jumlah obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20
jumlah obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat ini diperkirakan akibat
terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2007).
Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan meningkatnya penyakit
penyerta, sehingga juga meningkatkan jumlah obat yang digunakan oleh individu.
Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami
penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak
daripada populasi umum. Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien
rawat inap yang diresepkan banyak pengobatan (Tatro, 2009).
5.2.4
Gambaran Interaksi Obat pada Pasien berdasarkan Mekanisme dan
Tingkat Keparahan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antidiabetes yang sering
memiliki potensi interaksi obat adalah
metformin, kemudian diikuti oleh
glimepirid. Hasil yang diperoleh dipengaruhi dari tingginya peresepan obat yang
melibatkan obat-obat tersebut di RS X di Tangerang Selatan.
Dari data penelitian, dapat dilihat pula bahwa potensi interaksi yang paling
banyak adalah interaksi metformin dengan ranitidin. Mekanisme interaksi
metformin dan ranitidin adalah farmakokinetik dimana ranitidin merupakan obat
bersifat kationik dan secara teori dapat menurunkan ekskresi metformin dengan
berkompetisi pada transport tubular ginjal (drugs.com, 2016)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Potensi interaksi obat antara glimepirid dan ranitidin juga cukup banyak
terjadi. Diketahui bahwa antagonis reseptor H2 seperti simetidin dan ranitidin dapat
meningkatkan efek hipoglikemik. Mekanismenya diduga berhubungan dengan
inhibisi metabolisme sulfonilurea di hati oleh ranitidin sehingga meningkatkan
efeknya. Maka diperlukan pemantauan kadar glukosa darah, gejala hipoglikemia
dan penyesuaian dosis sulfonilurea (drugs.com, 2016).
5.2.5
Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Subjek Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang paling banyak
terjadi adalah interaksi farmakokinetik, diikuti interaksi farmakodinamik, serta
interaksi unknown.
a. Mekanisme Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah jenis interaksi obat yang paling banyak
terjadi. Dalam penelitian ini salah satu obat yang mempunyai potensi terjadinya
interaksi obat secara farmakokinetik adalah interaksi antara metformin dan
ranitidin. Mekanisme dari potensi interaksi obat antara metformin dan ranitidin,
diketahui ranitidin akan meningktkan level/efek metformin melalui penurunan
klirens ginjal/kompetisi transport tubular renal. Peningkatan level metformin dapat
meningkatkan resiko asidosis laktat. Oleh karena itu titrasi dosis metformin
direkomendasikan. Monitoring kadar glukosa darah dan tanda-tanda asidosis laktat
seperti malaise, myalgia, gangguan pernapasan, hiperventilasi, detak jantung lambat
atau tidak normal, kantuk, tidak nyaman pada perut, atau tanda-tanda tidak biasa
lainnya (drugs.com, 2016).
b. Mekanisme Farmakodinamik
Berdasarkan penelitian ini, beberapa obat mempunyai potensi interaksi
dengan mekanisme farmakodinamik seperti insulin-metformin dan insulin-aspirin.
Kejadian potensi interaksi antara insulin dan metformin diketahui metformin dapat
meningkatkan efek hipoglikemik insulin dengan meningkatkan mekanisme kontrol
selular oleh insulin atau efek pada reaksi biokimia komplementer (drugs.com,
2016). Efeknya berhubungan dengan penurunan konsentrasi glukosa pada pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
dengan DM, sementara toleransi glukosa secara umum tidak diubah pada individu
normal (Tatro, 2009). Tanda-tanda hipoglikemia termasuk sakit kepala, pusing,
kantuk, kegugupan, bingung, tremor, nausea, lapar, lemah, perspirasi, palpitasi, dan
detak jantung cepat. Penyesuaian dosis dan monitoring kadar glukosa darah secara
ketat diperlukan pada pasien yang menerima terapi metformin dengan insulin
(drugs.com, 2016).
c. Mekanisme Tidak Diketahui (Unknown)
Selain interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik, potensi interaksi obat
yang terjadi dapat berupa interaksi yang tidak diketahui mekanismenya (unknown)
seperti glimepirid-asam mefenamat dan glimepirid-ketorolac. Kejadian interaksi
antara glimepirid dan asam mefenamat diketahui asam mefenamat meningkatkan
efek glimepirid melalui mekanisme yang tidak diketahui dan beresiko
menyebabkan hipoglikemia (drugs.com, 2016). Penggunaan kombinasi kedua obat
ini perlu penyesuaian dosis glimepirid atau memantau risiko hipoglikemia
(Medscape, 2016).
5.2.6
Tingkat Keparahan Interaksi Obat Antidiabetes pada Subjek
Penelitian
Berdasarkan tingkat keparahan, potensi interaksi obat yang terjadi pada
penilitian ini mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate. Beberapa interaksi
lainnya memiliki tingkat keparahan minor.
Tingkat keparahan dari interaksi penting dalam menilai resiko dan
keuntungan dari suatu alternatif terapi. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau
modifikasi jadwal pemberian, efek negatif kebanyakan interaksi dapat dihindari
(Tatro, 2009). Dalam penelitian ini ditemukan tingkat keparahan antara lain minor
dan moderate. Suatu interaksi termasuk kedalam tingkat keparahan minor efeknya
biasanya ringan, konsekuensinya dapat mengganggu atau tidak terlihat tetapi
seharusnya tidak mempengaruhi keberhasilan terapi secara signifikan. Perlakuan
tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi
kategori minor pada penelitian ini sangat sedikit terjadi, salah satu contohnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
adalah interaksi antara metformin dengan ISDN. Diketahui ISDN dapat
menurunkan level metformin dengan mekanisme interaksi tidak diketahui. Perlu
dilakukan pemantau KGD, simptom hiperglikemia, serta pengaturan dosis
(drugs.com, 2016).
Interaksi kategori moderate menyebabkan penurunan status klinis pasien.
Pengobatan
tambahan, rawat inap, atau perpanjang perawatan di rumah sakit
mungkin diperlukan (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi kategori moderate
yang banyak ditemukan adalah metformin dengan ranitidin, diketahui ranitidin
merupakan obat bersifat kationik dan secara teori dapat menurunkan eksresi
metformin dengan berkompetisi untuk transport tubular ginjal. Peningkatan level
metformin dapat meningkatkan resiko asidosis laktat. Oleh karena itu titrasi dosis
metformin direkomendasikan. Monitoring kadar glukosa darah dan tanda-tanda
asidosis laktat seperti malaise, myalgia, gangguan pernapasan, hiperventilasi, detak
jantung lambat atau tidak normal, kantuk, tidak nyaman pada perut, atau tandatanda tidak biasa lainnya (Medscape, 2016).
5.2.7
Potensi Interaksi Obat yang Mempengaruhi Outcomes Pasien Diabetes
Mellitus
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas pasien yang memiliki
potensi interaksi obat, memiliki kadar glukosa darah tidak mencapai nilai yang
direkomendasikan (outcome klinik tidak tercapai). Berdasarkan efek yang
mempengaruhi outcomes klinik pasien, potensi interaksi obat yang terjadi dapat
mengakibatkan hipoglikemia, hiperglikemia dan beberapa diantaranya mengalami
efek interaksi obat yang tidak diketahui.
Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa darah pasien mengalami
penurunan glukosa darah >80-85 mg/dL atau kadar glukosa darah <100mg/dL
(Restu, et al., 2015). Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang mengalami
hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang sehingga
pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula darahnya
rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat akibat dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk
meningkatkan kadar gula darahnya (Restu, et al., 2015). Salah satu contoh potensi
interaksi obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia yang paling banyak terjadi
adalah interaksi antara ranitidin dan metformin. Ranitidin akan meningktkan
level/efek metformin melalui penurunan klirens ginjal/kompetisi transport tubular
renal, sehingga beresiko menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia juga dapat
terjadi karena penggunaan antidiabetes oral yang memiliki cara kerja meningkatkan
sekresi
insulin
pada
pankreas,
sehingga
dapat
menyebabkan
terjadinya
hipoglikemia. Obat – obat tersebut antara lain dipeptidil peptidase-4 inhibitor,
glucagon-like peptide-1, golongan glinid, golongan sulfonilurea: glibenklamid,
glimepirid (Hirao, 2015).
Pada beberapa pasien juga terjadi hiperglikemia, yaitu keadaan dimana
kadar gula di dalam darah meningkat yaitu kadar gula darah 2 jam setelah makan di
atas 200 mg/dL (Tandra, 2009). Salah satu contoh potensi interaksi obat yang dapat
menyebabkan hiperglikemia yang paling banyak terjadi adalah interaksi antara
insulin aspart dan metil prednisolon. Metilprednisolon menurunkan efek insulin
aspart melalui antagonisme farmakodinamik,sehingga dapat menyebabkan resiko
hiperglikemia (drugs.com, 2016).
5.2.8 Hubungan
Antidiabetes
Subjek
Penelitian
dengan
Potensi
Interaksi
Obat
5.2.8.1 Hubungan Usia dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai
signifikansi yang diperoleh = 0,200. Hal ini menunjukkan bahwa p>0,05, yang
berarti adanya hubungan yang tidak bermakna antara variabel usia dan kejadian
potensi interaksi obat antidiabetes.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Harding., et al (2003) dalam jurnal penelitannya yang berjudul Dietary Fat
and The Risk of Clinic Type 2 Diabetes, yang menyatakan bahwa umur mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 dan memberikan risiko
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
kejadian DM tipe 2 sebesar 0,84 kali. Perbedaan hasil yang diperoleh pada
penelitian ini, dapat disebabkan perbedaan tempat penelitian dan terbatasnya
jumlah sampel yang diteliti.
5.2.8.2 Hubungan Jumlah Penyakit Penyerta dengan Potensi Interaksi Obat
Antidiabetes
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai
signifikansi yang diperoleh = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa p<0,05, yang
berarti adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penyakit penyerta
dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes (p<0,05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Manley, H. J., et al (2003) yang menunjukkan bahwa DRP berkorelasi positif
dengan jumlah penyakit penyerta pasien. Jumlah DRP meningkat pada masingmasing pasien sama dengan meningkatnya jumlah penyakit penyerta (Manley, H.
J., et al., 2003).
5.2.8.3 Hubungan Jumlah Obat dengan Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai
signifikansi yang diperoleh = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa p<0,05, yang
berarti adanya hubungan yang bermakna antara variabel jumlah penggunaan obat
dan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes (p<0,05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Belaiche, S., et al (2012) di Perancis, yang menyatakan resiko kejadian DRP
meningkat signifikan terhadap kondisi lanjut usia (p=0,0027) dan jumlah
pengobatan (p=0,049) (Belaiche, S., et al., 2012).
5.2.9
Pengaruh Kejadian Interaksi Obat terhadap Outcomes pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2
Hasil analisis chi square dengan program IMB SPSS 16, diketahui nilai
signifikansi yang diperoleh = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa p<0,05, yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
berarti adanya hubungan yang bermakna antara variabel potensi interaksi obat dan
outcomes klinik pasien DM tipe 2 (p<0,05).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah. N,. (2011)
yang menyatakan bahwa DRP memiliki hubungan dengan outcomes pasien DM,
dimana DRP yang berkorelasi paling besar terhadap outcomes pasien berturut-turut
adalah indikasi tanpa obat, interaksi obat, dan salah dosis. Namun, penelitian oleh
Ruspandi. S., et al (2015) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara DRP
yang terjadi pada pasien DM tipe 2 dengan outcomes pasien (p=0,719).
5.2.10 Peran Apoteker Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Depkes RI,
2005)
Penatalaksanaan DM yang berhasil membutuhkan kerjasama yang erat dan
terpadu dari penderita dan keluarga dengan para tenaga kesehatan yang
menanganinya, antara lain dokter, apoteker, dan ahli gizi. Dalam penatalakasanaan
DM, para apoteker terlibat dalam berbagai aspek farmakoterapi atau yang
berhubungan dengan obat, dan dapat terlibat dalam berbagai tahap dan aspek
pengelolaan DM, mulai dari skrining DM sampai dengan pencegahan dan
penanganan komplikasi.
Kebanyakan pasien dengan DM tidak mendapatkan perawatan optimal,
seringkali kadar gula tidak terkontrol dengan baik. Masalah ini memberikan
kesempatan kepada apoteker untuk memberikan kontribusinya dalam perawatan
pasien dengan DM. Menurut The National Community Pharmacists Association’s
National Institute for Pharmacist Care Outcome di USA, kontribusi apoteker
berfokus kepada pencegahan dan perbaikan penyakit, termasuk mengidentifikasi
dan menilai kesehatan pasien, memonitor, mengevaluasi, memberikan pendidikan
dan konseling, melakukan intervensi, dan menyelesaikan terapi yang berhubungan
dengan obat untuk meningkatkan pelayanan ke pasien dan kesehatan secara
keseluruhan. Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit,
berarti mencakup terapi obat dan non-obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
a.
Mengidentifikasi dan menilaian kesehatan pasien
Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari kalau
mereka menderita DM. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan resiko
tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 45 tahun, pasien dengan tekanan darah
tinggi atau dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga DM, dan pasien yang
mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak dengan berat badan >
4,5 kg. Pasien-pasien ini dapat di identifikasi pada saat mereka mengambil obat di
apotik/rumah sakit. Apoteker dapat menyarankan pasien untuk memeriksakan kadar
gula darahnya. Menilai status kesehatan pasien dengan diabetes dan membuat
rencana jangka pendek dan jangka panjang merupakan suatu tantangan bagi
apoteker, terutama di farmasi komunitas dimana akses ke data laboratorium
terbatas. Berdasarkan ADA disarankan untuk menilai keperluan pasien dan
meyakinkan agar perawatan standar terpenuhi.
b.
Merujuk pasien
Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk pasien
kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi, poliklinik mata,
pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi juga sering dijumpai pada
pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan.
c.
Memantau penatalaksanaan DM
Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat
pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan
melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan
untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong penderita
untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya
sesegera mungkin. Apoteker harus bekerja sama dengan tim kesehatan lainnya
dalam penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral (OHO). Kebanyakan morbiditas
dan mortalitas pada pasien diabetes disebabkan karena komplikasi, antara lain
komplikasi makrovaskular. Hasil penelitian menunjukkan, penurunan kadar gula
saja tidak dapat menurunkan komplikasi makrovaskular. Oleh karena itu ada hal
lain pada pasien diabetes yang harus diperhatikan untuk menurunkan mortalitas dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
morbiditas secara keseluruhan, antara lain adalah tekanan darah (target < 130/80
mm Hg); LDL kolesterol (target < 100 mg/dl); penggunaan aspirin untuk pasien
DM dengan hipertensi dan resiko jantung, pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun);
vaksinasi influenza dan pneumokokal
d.
Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi
Salah satu faktor utama kegagalan sebuah terapi adalah ketidakpatuhan
terhadap terapi. Apoteker dapat memegang peran penting dalam membantu pasien
mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, apoteker harus mengerti
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan ketidakpatuhan pasien
terhadap terapi, antara lain regimen yang kompleks; kurang pengetahuan pasien
terhadap penyakitnya; kurang keyakinan pasien terhadap terapi; kebingungan
tentang petunjuk cara minum obat; biaya pengobatan yang cukup tinggi bagi
pasien; ada gangguan psikologi terutama depresi; ada gangguan kognitif; serta
kurangnya dukungan sosial dari keluarga atau kerabat.
Mencermati hal-hal tersebut, maka salah satu upaya penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah konseling dan pemberian
informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Di dalam hal ini,
farmasis/apoteker sangat penting untuk memberikan penjelasan umum maupun
khusus tentang terapi yang dijalani pasien, baik farmakoterapi maupun
nonfarmakoterapi.
e.
Membantu penderita mencegah dan mengatasi komplikasi ringan
Mencegah dan mengatasi komplikasi diabetik adalah salah satu hal penting
dalam pengelolaan diabetes. Informasi mengenai komplikasi yang mungkin muncul
menyertai diabetes sangat penting disampaikan kepada penderita dan keluarganya
agar dapat melakukan antisipasi seperlunya. Disamping itu, apoteker juga dapat
terlibat
langsung dalam
tindakan-tindakan
pencegahan
dan
pengendalian
komplikasi yang muncul.
f.
Menjawab pertanyaan penderita dan keluarga mengenai DM
Seorang apoteker dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penderita dan
keluarganya tentang segala hal menyangkut diabetes dan pengelolaannya, sesuai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
dengan kompetensinya, misalnya tentang penyebab penyakit dan bagaimana gejalagejala yang harus diwaspadai, tentang berbagai pemeriksaan diagnostik yang harus
dilakukan, hal-hal apa yang harus dihindari untuk mencegah atau memperlambat
perkembangan penyakit, tentang terapi obat dan efek samping obat, tentang
komplikasi dan pencegahannya, sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi
dan lain sebagainya.
g.
Memberikan pendidikan dan konseling
Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan
dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pendidikan
mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat.
Konseling dalam penatalaksanaan diabetes sangat penting sebab diabetes
merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya dengan gaya hidup. Konseling
diberikan kepada penderita untuk mendapatkan hasil penatalaksanaan diabetes yang
maksimal. Keberhasilan penatalaksanaan diabetes sangat bergantung pada kerja
sama penderita dan keluarganya dengan petugas kesehatan. Kepatuhan penderita
terhadap program penatalaksanaan sangat bergantung pada tingkat pemahamannya
tentang penyakit tersebut. Penderita DM yang memiliki pengetahuan yang cukup
tentang DM umumnya dapat mengendalikan perilakunya sehingga dapat mencapai
kualitas hidup yang lebih baik
5.4
Keterbatasan Penelitian
5.4.1 Kendala
1.
Pengambilan data dan jumlah sampel
Pada proses pengambilan data ada beberapa data pasien yang kurang
lengkap dan tulisan yang kurang jelas, serta adanya pasien yang sedang
dirawat kembali sehingga tidak dapat diambil data pasien dan menyebabkan
sampel menjadi semakin sedikit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
2.
Diagnosis data
Hasil laboratorium untuk pemeriksaan kadar gula darah sewaktu tidak rutin
dilaksanakan sehingga tidak dapat melihat perkembangan gula darah
sewaktu pasien perhari. Dan hasil laboratorium lainnya juga tidak dilakukan
secara rutin.
5.4.2 Kelemahan
Penelitian ini memiliki kekurangan, diantaranya:
1.
Penelitian deskriptif retrospektif
Pada penelitian deskriptif hanya dapat dilakukan demografi berupa hasil
analisis ketepatan untuk mengetahui pengaruh DRP terhadap outcomes pada
terapi yang digunakan oleh pasien. Selain itu metode retrospektif, dimana
waktu kejadian sudah terjadi, tidak dapat dilakukan pertanyaan secara
langsung pada pasien.
2.
Penelitian ini tidak dapat dikatakan seutuhnya rasional, dikarenakan
penilaian diagnosis pasien tidak secara langsung, melainkan menarik
kesimpulan dari diagnosis yang tercatat di rekam medis.
5.4.3
Kekuatan
Penelitian ini sebelumnya belum pernah dilakukan di RS X di Tangerang
Selatan. Maka, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dan gambaran
hubungan Drug Related Problem terhadap outcomes klinik pada pasien rawat inap
dengan DM tipe 2.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pengaruh Drug Related
Problems (DRP) Terhadap Outcome Klinik Pasien Diabetes Melitus di Instalasi
Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014 – Juni 2015, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pasien DM tipe 2 mayoritas berusia ≥ 45 tahun, dan berjenis kelamin
perempuan. Pasien umumnya menderita < 5 penyakit penyerta, dengan jenis
penyakit penyerta yang paling banyak adalah hipertensi. Dari segi jumlah
penggunaan obat, mayoritas pasien mendapat ≥ 5 obat .
2. Antidiabetes yang paling banyak digunakan adalah insulin aspart, diikuti
oleh insulin glargline, kemudian metformin, glimepirid, dan acarbosa.
3. Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada periode Juli 2014 – Juni
2015 adalah 57,78%.
4. Obat antidiabetes yang paling sering berpotensi interaksi adalah metformin,
kemudian glimepirid, insulin aspart dan
insulin glargline. Mekanisme
potensi interaksi obat antidiabetes yang tertinggi adalah farmakokinetik dan
tingkat keparahan potensi interaksi obat antidiabetes yang teringgi adalah
moderate.
5. Terdapat pengaruh yang tidak bermakna antara usia dengan DRP terkait
interaksi obat pada pasien DM tipe 2.
6. Terdapat pengaruh yang bermakna antara jumlah obat penyerta dengan DRP
terkait interaksi obat, dan jumlah penyakit penyerta dengan DRP terkait
interaksi obat pada pasien DM tipe 2.
7. DRP terkait interaksi obat berkorelasi secara signifikan terhadap outcomes
pasien DM tipe 2. Interaksi obat menunjukkan korelasi yang kuat terhadap
outcomes pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
6.2
Saran
1. Perlu adanya monitoring dan evaluasi penggunaan antidiabetik secara
sistematis yang dilaksanakan secara teratur untuk mengatasi DRP terkait
interaksi obat.
2. Perlu adanya monitoring dan evaluasi hasil laboratorium pasien yang
dilakukan secara berkelanjutan selama perawatan, baik tes kadar gula darah,
dan hasil laboratorium lainnya yang terkait untuk mengatasi DRP terkait
interaksi obat.
3. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter, apoteker,
dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga didapatkan terapi yang
tepat, efektif, dan aman.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
DAFTAR PUSTAKA
Ajayi, E.A., A.O. Ajayi, O.E. Olalekan, 2010, Treatment to targets in type 2
diabetics: analysis of out-patients practice at a remote Western Nigerian
hospital, Internet Journal of Medical Update, 5 (2), Halaman 8-14.
Al-Mahroos F., Al-Roomi K., dan McKeigue P.M., 2000, Relation of high blood
pressure to glucose intolerance, plasma lipid, and educational status in an
Arabian Gulf population, International Journal Of Epidemiology, 29,
Halaman 71- 76.
Almeida, S. M., C. S. Gama., N. Akamine. 2007. Prevalence and Calssification of
drug-drug interaction in Intensive Care Patient. Einstein. 5(4): Halaman 347351.
American Diabetes Association (ADA), 2011. Diagnosis and Classification of
Diabetes
Mellitus.
Diakses
pada
10
Maret
2016
dari:
www.care.diabetesjournals.org/content/34/Supplement_1/S62.full
American Diabetes Association (ADA), 2013. Standards of Medical Care in
Diabetes-2013.
Diakses
pada
10
Maret
2016
dari:
http://care.diabetesjournals.org/content/36/Supplement_1/S11.full.pdf+html
American Diabetes Association, (ADA), 2015. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus, Diabetes Care, Vol 38, Supplement 1.
Anggraini, A.D., Asputra, H., Siahaan. S.S., Situmorang, E., and Warren, A., 2009.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan kejadian Hipertensi pada Pasien
yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang. FK UNRI.
Aravind, G., Bhowmik, D., Duraivel, S., & Harish, G., 2013, Traditional and
Medicinal Uses of Carica papaya, Journal of Medicinal Plants Studies, 1 (1),
7-15.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI(2013).
Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS 2013). Jakarta: Depkes
RI.Available
from:
http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%2020
13.pdf(Accessed 30 Maret 2016)
Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi
8), EGC Jakarta.
Barclay L, 2010. Diabetes Diagnosis & Screening Criteria Reviewed. Available
from : http://www. medscape.com. [Accessed 14 April 2016]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Baxter, K. (2008). Stockley’s Drug Interactions.
Pharmaceutical Press. Halaman 285-291
Eighth
Edition.
UK:
Belaiche, Stephanie, et al. (2012). Pharmaceutical Care in Chronic Kidney
Disease: experience at Grenoble University Hospital from 2006 to 2010.
Journal Nephrol. 25, (4), 558-565.
Benowitz, N. L., 2007, Obat Antihipertenasi, dalam Katzung, B. G., Farmakologi
Dasar dan Klinik (Basic & Clinical Pharmacology), diterjemahkan oleh
Dwipa Sjabana, Buku 1, edisi 10, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakata
Brunton, L.L., dan Parker, K.L. (2008). Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutic.. New York: Mc Graw Hill. Halaman
563 – 579.
Carlisle, 2005. Karakteristik Diabetes Melitus. [Accessed 4 Mei 2010]. Available
from:
http//prevalensi/Pusat%20Data%20&%20Informasi%20PERSI.htm
Cyber Nurse. 2009. Konsep Diabetes Melitus. Available from: [Accessed 4
April 2016].
Charles, J., dan Ivar, F. (2011). Relationship Polychlorinated Byphenyls With
Diabetes Tipe 2 and Hipertesion. Environmental Monitoring of The Journal.
13(4): Halaman 241-251.
Chobanian, A. V., Bakris, G.L., Black , H.R., Chusman, W.L., Green I.A., Izzo,
J.L, Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S, Wrihat, J.T. 2003, JNC VII
Express: The Seventh Report of the Joint National Commite on Preventian,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure, U.S. Deparment
of Health and Human Services, Halaman 12-33.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice,
McGraw-Hill, New York.
Coons, S.J., 2005, Health Outcomes and Quality of Life, in Dipiro, J.T (Eds),
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, sixth edition, 1-5, Appleton
and Lange, Standford Connecticut.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisologi edisi 3. EGC : Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Undang-undang nomor 44 tahun
2009 tentang rumah sakit. Jakarta, 2009.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., dan Posey, L.M.
(2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: The
McGraw-Hill Companies. Halaman 747.
Dipiro, J. T., Wells, G.B., Schwinghammer, T. L., Hamiton, C. W., 2000,
Pharmacotherapy Handbook, Second Edition, 94, McGraw-Hill, USA.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 37- 49.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 25-43.
Elmiati, L. (2007). Drug Related Problem Pada Pasien Rawat Inap Diabetes
Dengan Komplikasi Hipertensi Rumah Sakit Umum Kabupaten Karanganyar.
Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Simpson, A., dan Morgan, J.M. (2006). Lecture Notes
On Cardiology. Edisi 4. Jakarta: Erlangga. Halaman 57.
Gunawan, dkk., 2007.Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
Handoko, T., dan Suharto B. (1995), Insulin Glukagon dan Antidiabetik Dalam
Farmakologi dan Terapi, edisi IV, editor: Sulistia G. Ganiswara, Jakarta,
Gaya Baru. Halaman 469, Halaman 471-472.
Harding, Anne Helen., et al. 2003. “Dietary Fat and The Risk of Clinic Type 2
Diabetes”. American Journal Of Epidemiology. Vol. 159, No. 1. 2003.
Hashem. (2005). Drug-Drug Herb-Drug & Food-Drug Interaction. Kairo: Faculty
of Medicine Cairo University. Halaman 3.
Hiswani, 2001. Penyuluhan Kesehatan pada penderita Diabetes Mellitus. USU
Repository,
2006.
Available
from:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmhiswani3.pdf. [Accessed 10 Maret
2016]
International Diabetes Federation, 2008 : Latest diabetes figures paint grim global
picture. Available from: http://www.idf.org/latest-diabetes-figurespaint-grimglobal-picture. [Accessed 10 Maret 2016]
Irawan, D. 2010. Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di
Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007). Tesis.
Depok : FKM UI.
Istiqomatunissa.2014. (Skripsi) Rasionalitas Obat Antidiabetes dan Evaluasi Beban
Biaya.Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
James, P.A., Oapril, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Himmelfarb, C.D., Handler,
J., et al. 2013, 2014, Evidence-Based Guideline for the Management of High
Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the
Eight Joint National Commite (JNC 8), JAMA, doi: 10.1001.
Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba
Medika. Halaman 671, 677-678.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Kekenusa j., Ratag B. T & Wuwungan, G., 2006. Analisis Hubung antara Umur
dan Riwayat Keluarga Menderita DM dengan Kejadian DM Tipe 2 pada
Pasien Rawat Jalan di Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado.
Kurniawan, 2010, Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut, Majalah Kedokteran
Indonesia, 60:12, Halaman 576-584.
Lucas, C.P., Estigarriba J.A., Darga L.L., dan Reaven G.M., 1985, Insulin and
blood pressure in obesity, Hypertension, 7, Halaman 702-706.
Mansjoer, Arif, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.
Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika
Mateti, U.V., Rajakannan, T., Nekkanti, H., Rajesh, V., Mallaysamy, S.R., dan
Ramachandran, P.. (2009). Drug-Drug Interaction in Hospitalized Cardiac
Patients. Journal of Young Pharmacists. 3(4): 329.
Ndraha, S., 2014, Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini, MEDICINUS,
vol. 27, no.2
Novitasari, D., Sunarti, dan Arta, F. (2011). Emping Garut (Maranta arundinacea
Linn) Sebagai Makanan Ringan dan Kadar Glukosa Darah Angiostensin II
Plasma Serta Tekanan Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
(DMT2). Media Medika Indonesia. 45(1): Halaman 53-57.
Parthasarathi, G., Karin, N.Y., dan Milap, C.N.. (2005). Clinical Pharmacy
Practice. Chennai: Orient Longman Private Ltd. Halaman 222.
Perkeni, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. PB. Perkeni : Jakarta
Piette, J.D. & Kerr, E.A., 2006, The Impact of Comorbid Chronic Conditions on
Diabetes Care, Diabetes Care, 29 (3), 725-731
Piscitelli, S. C., and Rodvold, K. A. (2005). Drug Interaction in Infection Disease.
Second Edition. New Jersey : Humana Press. Halaman 1-9.
Pramono, Laurentius Aswin. 2010. Prevalensi dan Faktor-faktor Prediksi Diabetes
Melitus Tidak Terdiagnosa pada Penduduk Usia Dewasa di Indonesia. Tesis
FKMUI. Jakarta
Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Suroyo, A.
W., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Jilid III. Jakarta:
InternaPublishing, 1880-1883.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
Purwanti, O.S. 2013. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Kaki pada
Pasien Diabetes Mellitus di RSUD DR.Moewardi Surakarta, Prosiding
Seminar
Ilmiah
nasional,
ISSN:
2338-2694,
http://journal.ui.ac.id/index.php/jkepi/article/view/2763, diakses tanggal 30
Maret 2016.
Putro, W. (2011) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr.
Kariadi). Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro
Ramaiah, S. 2007. Diabetes, Cara Mengetahui Gejala Diabetes dan Medeteksinya
sejak Dini Ed 2. Jakarta : T. Bhuana Ilmu Populer.
Rambhade, S., Anup, C., Anand, S., Umesh, K., dan Ashish, R.. (2012). A Survey
on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications. Toxicology
International Journal. 19(1). Halaman 68-73.
Sari, S. P., Mahdi, J., dan Dini, P.S.. (2008). Analisis Interaksi Obat Antidiabetik
Oral Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit X Depok. Departemen
Farmasi FMIPA Universitas Indoneisa. Jurnal Farmasi Indonesia. 4(1): 8.
Sassen, J.J., dan Carter, B.L. (2005). Hypertension. Pharmacotherapy: A
Phatophysiologic Approach. Editor: Joseph Dipiro, Robert Talbert, Gary Yee,
Gary Matzke, Barbara Wells, dan Michael Posey. Edisi 8. New York:
Appleton and Lange. Halaman 186-217.
Schutta, M.H., 2007, Diabetes and Hypertension: Epidemiology of the Relationship
nd Pathophysiology of Factor Associated With These Comorbid Conditition,
JCMC Spring, 2:124-130.
Setiawati, A.. (2013). Interaksi Obat. Dalam: Gunawan, S.E. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Halaman 862.
Siregar, C. J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Terapan. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta. Halaman 17-20.
Sivasankari, V., Manivannan, E., Priyadarsini, S.P., 2013, Drug Utilization Pattern
of Antidiabetic Drugs in A Rural Area of Tamildanu, South India- A
Prospective, Observational Study, International Journal of Pharma and Bio
Sciences, 4 (1), Halaman 514-519.
Skvrce1, Nikica Mirošević., Viola Macolić Šarinić1., Iva Mucalo2., Darko Krnić1.,
Nada Božina3., Siniša Tomić4., 2011, Adverse drug reactions caused by
drug-drug interactions reported to Croatian Agency for Medicinal Products
and Medical Devices: a retrospective observational study, Halaman 604 –
606.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
Soegondo S. Diagnosis dan Kalsifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Soegondo
S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI.
Jakarta. 2005.
Stockley, L.H. (1999). Drug Interaction. Edisi 5. London: Pharmaceutical Press.
Halaman 72.
Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain:
Pharmaceutical Press. Halaman 1-9.
Sustrani, L., S. Alam., dan I. Hadibroto. Diabetes. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama; 2004.
Tandra, hans. (2008). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum
Tatro, D.S., 2009, Drug Interaction Facts, Wolters Kluwers Health. Inc, California.
Tigauw, H., 2014. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Kadar Adiponektin
Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kota Manado.
Tjay, T.H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo. Halaman 540-541.
Triplitt, C. L., Reasner, C. A., Isley, W. L., 2005. Diabetes Mellitus, 1333 dalam
Dipiro J. T., et al.,., Eds, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,
edisi keenam, McGraw-Hill Companies, USA.
Wade, A Hwheir, D N Cameron, A. 2003. Using a Problem Detection Study
(PDS)to Identify and Compare Health Care Privider and Consumer Views of
Antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, Jun Vol 17 Issue
6, Halaman 397.
Waspada Online, 2009. Medan, Terbanyak Penderita Diabetes. Available from:
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7117
5:-medan-terbanyak-penderita-diabetes&catid=14:medan&Itemid=27
[Accessed 10 Maret 2016]
Waspadji, S. (2010). Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru
Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti
Setiati. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Halaman 1922-1933.
Wells, William, Jhon Burnett, Sandra Moriarty. Advertising, Principles and
Practice, sixth edition. New Jersey: Pearson Education, Inc, 2003.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
Yan Bi, Zhu, D., Cheng, J., Zhu, Y., Xu, N., Cui, S., Li, W., Cheng, X., Wang, F.,
Hu, Y., Shen, S., Weng, J., 2010, The Status of Glycemic Control: A CrossSectional Study of Outpatients With Type 2 Diabetes Mellitus Across
Primary, Secondary, and Tertiary Hospital in the Jiangsu Province of China,
Clinical Therapeutics, 32 (5), Halaman 973-983.
Yogiantoro, M. (2010). Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru
Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti
Setiati. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Halaman 1079.
Yulianto. (2012). Penderita Diabetes Hipertensi Indonesia Berada Di Peringkat 12
Dunia. http:// palembang.tribunews.com. [Accessed 12 Maret 2016]
Yusnidar, 2007. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian PJK
pada wanita usia > 45 tahun, Tesis Mahasiswa PPS Magister Epidemiologi
UNDIP, Semarang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian dari UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
Lampiran 2. Surat Jawaban Permohonan Data dan Izin Penelitian dari RS X di
Tangerang Selatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
Lampiran 3. Data Sampel
N
o
L
/
P
Usi
a
1
P
65
2
L
65
Hasil Laboratoirum
Obat
nama generik
Rute
Dosis obat
Ket.
Azitromicin
Azitromicin
oral
1x500mg
antibiotik
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
antihipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
antiansietas
antidiabetik
injeksi
Ranitidin
Asam
Mefenamat
Ranitidin
Asam
Mefenamat
iv
2x0,5mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
2x1ampul
(25mg/ml)
oral
3x500mg
NSAID
Glimepirid
Glimepirid
oral
antidiabetik oral
Ketorolac
Ketorolac
oral
1x1mg
2x1 ampul
(10mg/ml)
Nimotop
Nimodipin
oral
2x250mg
antihipertensi
Citicolin
Citicolin
oral
2x1 gr
vasodilator perifer
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Omeprazol
Metil
prednisolon
Omeprazol
Metil
prednisolon
oral
2x20mg
lambung
oral
2x125mg
kortikosteroid
IVFD RL
IVFD RL
iv
tiap 12 jam
cairan infus
Manitol
Manitol
iv
3x150cc
diuretik osmotik
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Pro renal
Natrium
diklofenak
oral
3x1tablet
vitamin
Natrium
diklofenak
oral
2x50mg
NSAID
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x100mg
NSAID
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
4x5mg
kortikosteroid
GDS masuk
193
GDS keluar
187
outcomes klinik
Interaksi
Penyakit Penyerta
tidak tercapai
ada
HT gr II, sups CFD
tidak tercapai
ada
ulkus DM, HT,
dyspepsia
lambung
analgesik
269
Meninggal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
3
4
P
P
72
57
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Carbamazepin
Carbamazepin
oral
2x200mg
antikonvulsan
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
antibiotik
antidiabetik
injeksi
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr
1 unit/kg BB tiap
4jam
2x1ampul
(25mg/ml)
Meropenem
Meropenem
oral
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
3x20mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
oral
3x1tablet
vitamin
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
1 unit/kg BB tiap
4jam
anti diabetik oral
antihipertensi
Pro renal
lambung
antihipertensi
Metformin
Metformin
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
Mycardis
Telmisartan
oral
Lasix
Furosemid
iv
1x80mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
lambung
287
189
tidak tercapai
ada
CKD S + IV nefropati,
CHF
292
201
tidak tercapai
ada
Stroke Infark,HT
lambung
antidiabetik
injeksi
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1ampul
(25mg/ml)
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Aspirin
Aspirin
oral
3x80mg
antiplatelet
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x20mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
lambung
antidiabetik
injeksi
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
antidiabetik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
injeksi
5
6
P
P
50
58
Pro renal
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Pro renal
7
P
40
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,8mg
vitamin
Clonidin
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
antihipertensi
Lasix
Furosemid
iv
1x8mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
antibiotik
antidiabetik
injeksi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Vitamin C
Vitamin C
oral
1x30mg
vitamin
NaCl 0.9%
NaCl 0.9%
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
28tpm
1 unit/kg BB tiap
4jam
cairan infus
antidiabetik
injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Humalog
Insulin lispro
oral
antibiotik
antidiabetik
injeksi
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr
sliding scale tiap 2
jam
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
265
194
tidak tercapai
ada
CKD
273
168
tercapai
tidak ada
ht grade 2,dyspepsia
low intake
182
120
tercapai
tidak ada
antihipertensi
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
8
9
1
0
P
P
P
28
73
40
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
Ulsafat
Sukralfat
oral
3x15cc
antidiare
anti ulkus
peptikum
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
iv
Transamin
Ranitidin
Asam
traneksamat
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
Vitamin K
Vitamin K
oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
lambung
antidiabetik
injeksi
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Ambroxol
Ambroxol
oral
3x10ml
mukolitik
Meloxicam
Meloxicam
oral
1x15mg
NSAID
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x300mg
NSAID
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
3x500mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Bicnat
asam folat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
oral
3x1tablet
vitamin
iv
2x1ampul
lambung
Pro renal
Ranitidin
Ranitidin
oral
254
165
tercapai
tidak ada
anemia
ec.hematemesis
melena
341
178
tercapai
tidak ada
HT,CHF,tine cruris
614
315
tidak tercapai
ada
Hiperglikemi ec susp
KAD
lambung
menghentikan
perdarahan
vitamin
antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
(25mg/ml)
1
1
1
2
1
3
1
4
P
P
P
L
55
37
63
52
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
Paracetamol
Paracetamol
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
Lantus
Insulin glarglin
Pro renal
2x250mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antibiotik
antidiabetik
injeksi
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
antipiretik
sc
3x4mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
sc
1x15unit
antiemetik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Bisoprolol
Bisoprolol
oral
1x2,5mg
beta blocker
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Cefixim
Cefixim
oral
2x100mg
Lansoprazol
Lansoprazol
oral
2x30mg
antibiotik
pompa proton
inhibitor
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
Ulsafat
Sukralfat
oral
antiemetik
anti ulkus
peptikum
Metformin
oral
3x500mg
Transamin
Metformin
Asam
traneksamat
anti diabetik oral
menghentikan
perdarahan
Vitamin K
Vitamin K
oral
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
vitamin
antidiabetik
injeksi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
168
tercapai
tidak ada
dyspepsia, TB paru,
DHF
447
220
tidak tercapai
ada
kad , dhf perbaikan
282
185
tidak tercapai
ada
KAD, Abd. Pain e.c.
Ileus
245
176
tercapai
tidak ada
Selulitis,Susp.DM AKI
Riflle
lambung
Metformin
oral
238
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
1
5
1
6
P
P
72
43
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr
2x2ampul
(20mg/2ml)
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
ISDN
Isosorbit
Dinitrat
oral
antiangina
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x5mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
ISDN
P
57
antihipertensi
antidiabetik
injeksi
oral
3x5mg
antiangina
oral
1x25mg
obat jantung
Bicnat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,8mg
vitamin
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Ascardia
Asetosal
oral
1x80mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiplatelet
antidiabetik
injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1 gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x8mg
antiemetik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ranitidin
Ranitidin
iv
IVFD RL
IVFD RL
iv
2x1ampul
(25mg/ml)
271
Meninggal
tidak tercapai
ada
CAD fc III-IV,DM tipe
II,anemia
tidak tercapai
ada
H T emergency,
CKD,CAD
tidak ada
Syndrom Fatiqe pd
Geriatri ,AKI Rifle R
e.c. dehidrasi dd/
infark celebri
lambung
Digoxin
Natrium
bikarbonat
Digoxin
1
7
Isosorbit
Dinitrat
antibiotik
lambung
222
525
193
118
tercapai
cairan infus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
1
8
1
9
2
0
P
L
P
25
75
59
Novorapid
Insulin aspart
sc
1 unit/kg BB tiap
4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
iv
2x1gr
Transamin
Ceftriaxone
Asam
traneksamat
Novorapid
Insulin aspart
sc
Ranitidin
Metil
prednisolon
Ranitidin
Metil
prednisolon
iv
1 unit/kg BB tiap
4jam
2x1ampul
(25mg/ml)
antibiotik
menghentikan
perdarahan
antidiabetik
injeksi
oral
2x125mg
oral
286
207
tidak tercapai
ada
lambung
kortikosteroid
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Captopril
Captopril
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x25mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antihipertensi
antidiabetik
injeksi
Aspilet
oral
1x80mg
NSAID
ISDN
Asetosal
Isosorbit
Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Digoxin
Digoxin
oral
1x25mg
Musin
Sukralfat
oral
obat jantung
anti ulkus
peptikum
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
vitamin
antidiabetik
injeksi
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x8mg
antiemetik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
321
226
tidak tercapai
ada
HT gr II, low intake,
dyspepsia, vomitus,
anemia, ulkus
326
276
tidak tercapai
ada
HT emergency on CKD
Fatigue
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
asam folat
asam folat
Pro renal
2
1
2
2
2
P
P
P
52
54
48
oral
1x0,6mg
vitamin
oral
3x1tablet
1 unit/kg BB tiap
4jam
vitamin
antidiabetik
injeksi
antiemetik
Novorapid
Insulin aspart
sc
Ondancentron
Ondancentron
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x4mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Laxadin
Bisakodil
oral
laksatif
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x5ml
2x1ampul
(25mg/ml)
Aspilet
oral
1x80mg
NSAID
Neurodex
Asetosal
pyridoxine thiamine
hydrochloride
oral
3x1tablet
vitamin
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Dulcolax
oral
1x5mg
laksatif
ISDN
Bisakodil
Isosorbit
Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Clonidin
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x500mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antibiotik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x50mg
antihipertensi
lambung
259
237
tidak tercapai
ada
H T II, DM II, Fatigue,
Dyspepsia
259
264
tidak tercapai
ada
CVD, infark, HT grade I
244
164
tercapai
tidak ada
CHF, CKD,
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
104
3
Ascardia
Asetosal
oral
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
2
4
2
5
P
P
53
70
1x80mg
antiplatelet
antiplatelet
Vitamin B12
Vitamin B13
oral
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
vitamin
New diatab
Attapulgit
oral
antidiare
Lasix
Furosemid
iv
3x2tablet
2x2ampul
(20mg/2ml)
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
ISDN
Asam
Mefenamat
Clonidin
Isosorbit
Dinitrat
Asam
Mefenamat
oral
3x5mg
antiangina
oral
3x500mg
NSAID
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x4mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiemetik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
antihipertensi
254
178
tercapai
ada
A bses Cervikal
ada
DM Tipe II tak
terkontrol,Riw. KAD,
Asma akut sedang pd
APR,CAP dg
sepsis,Hipernatremi
lambung
Azitromicin
Azitromicin
oral
1x500mg
antibiotik
Acetylcystein
Acetylcystein
oral
3x200mg
antiplatelet
532
459
tidak tercapai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
105
2
6
2
7
P
L
76
54
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
Citicolin
Citicolin
oral
2x500mg
vasodilator perifer
Ceftazidim
Ceftazidim
oral
1x1 gr
antibiotik
NaCl 0.9%
NaCl 0.9%
iv
cairan infus
Pulmicort
Pulmicort
oral
28tpm
0,125mg tiap 5
jam
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Metyl cobalt
Metyl cobalt
oral
Nistatin
Nistatin
oral
4x1ml
antijamur
Aspilet
Asetosal
oral
NSAID
Lasix
Furosemid
iv
1x80mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Curcuma
Curcuma
oral
Novorapid
Insulin aspart
Spironolakton
Spironolakton
Propanolol
Propanolol
oral
Vostrin
Erdostein
oral
lambung
antiradang
274
145
tercapai
ada
ulkus diabetikum
ada
Bronchitis dd/ TB, DM
tipe II, Susp Sirosis
hepatis,anemia
vitamin
antihipertensi
lambung
sc
3x20mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
vitamin
antidiabetik
injeksi
oral
1x50mg
antihipertensi
376
meinggal
tidak tercapai
beta blocker
mukolitik
Lasix
Furosemid
iv
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x2ampul
(20mg/2ml)
2x1ampul
(25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
1x1 ampul
analgesik
antihipertensi
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
106
(10mg/ml)
2
8
2
9
3
0
P
P
P
41
57
25
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
2x5mg
kortikosteroid
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Vitamin C
Vitamin C
oral
Vitamin K
Vitamin K
oral
Eritromisin
Eritromisin
oral
2x500mg
antibiotik
Levofloxacin
Metil
prednisolon
Levofloxacin
Metil
prednisolon
oral
1x500mg
antibiotik
oral
2x125mg
kortikosteroid
Nebulizer
Salbutamol
oral
Nifedipin
Nifedipin
oral
1x5mg
antihipertensi
Ibuprofen
Ibuprofen
oral
3x200mg
NSAID
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Neurodex
Candesartan
pyridoxine thiamine
hydrochloride
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
NSAID
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x80mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiemetik
antidiabetik
injeksi
165
105
tercapai
tidak ada
451
265
tidak tercapai
ada
CHF, DM tipe II
vitamin
vitamin
inhaler
lambung
anti ulkus
peptikum
Ulsafat
Sukralfat
oral
New diatab
oral
Transamin
Attapulgit
Asam
traneksamat
vitamin K
vitamin K
oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
NaCl 0.9%
NaCl 0.9%
iv
28tpm
cairan infus
3x2tablet
oral
254
169
tercapai
tidak ada
Gastropati diabetikum
+ infeksi sekunder +
DM tipe II
antidiare
menghentikan
perdarahan
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
107
3
1
3
2
3
3
3
4
P
P
L
P
53
52
75
34
Neurodex
pyridoxine thiamine
hydrochloride
oral
3x1tablet
vitamin
Codipront
Codipront
oral
3x1tablet
expectorant
Metronidazole
Metronidazole
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x500mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
lantus
sc
1x10unit
Neurodex
Insulin glarglin
pyridoxine thiamine
hydrochloride
antibiotik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x10unit
1 unit/kg BB tiap
4jam
antibiotik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
vitamin
Pro renal
Asam folat
Asam folat
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x0,8mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Paracetamol
Natrium
diklofenak
Paracetamol
Natrium
diklofenak
oral
3x500mg
antipiretik
oral
2x50mg
NSAID
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr
2x2ampul
(20mg/2ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Clonidin
Clonidin
oral
2x0,5mg
antihipertensi
Dm tipe II, Abses pedis
sinistra
393
276
tidak tercapai
ada
251
161
tercapai
tidak ada
284
212
tidak tercapai
ada
Ulkus Pedis, HT, CKD,
Anemia pro transfusi
312
261
tidak tercapai
ada
Hipertensi urgency,
DM tipe II
lambung
antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
108
3
5
L
47
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Bisoprolol
Bisoprolol
oral
1x2,5mg
beta blocker
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
KSR
oral
2x600mg
obat hipokalemia
ISDN
KSR
Isosorbit
Dinitrat
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x5mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antiangina
antidiabetik
injeksi
IVFD RL
IVFD RL
iv
cairan infus
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Spironolakton
Spironolakton
oral
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x100mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr
2x2ampul
(20mg/2ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
Lantus
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Metil
prednisolon
Insulin aspart
Metil
prednisolon
333
348
tidak tercapai
ada
DM tipe II tak
terkontrol,KAP,Tromb
ositopenia
lambung
antihipertensi
sc
1x10unit
1 unit/kg BB tiap
4jam
cairan infus
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
oral
2x125mg
kortikosteroid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
109
3
6
3
7
P
L
39
46
anti ulkus
peptikum
Musin
Sukralfat
oral
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
1x500mg
antibiotik
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ulsafat
Sukralfat
oral
Curcuma
Curcuma
oral
3x20mg
vitamin
Lactulac
Lactulac
oral
1x15cc
laksatif
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
antidiare
anti ulkus
peptikum
421
172
tercapai
tidak ada
Dyspepsia sindrome
dd/ gastropati
NSAID,anemia ringan
e.c. susp hepatitis, DM
tipe II tak terkontrol,
Dislipidemia
187
125
tercapai
tidak ada
DM tipe II,Sirosis
hepatis
259
192
tidak tercapai
ada
Malnutrisi, Infark
cerebri
oral
3
8
P
84
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Cefotaxim
oral
2x250mg
Transamin
Cefotaxim
Asam
traneksamat
antibiotik
menghentikan
perdarahan
vitamin k
vitamin k
oral
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Neurodex
Amlodipin
pyridoxine thiamine
hydrochloride
oral
3x1tablet
Ulsafat
Sukralfat
oral
vitamin
anti ulkus
peptikum
Fenitoin
Fenitoin
oral
2x100mg
antiepilepsi
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
oral
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
110
3
9
4
0
4
1
P
P
P
34
58
53
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
2x5mg
kortikosteroid
Manitol
Manitol
iv
diuretik osmotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x150cc
2x1ampul
(25mg/ml)
1 unit/kg BB tiap
4jam
Amoxicillin
oral
3x500mg
antibiotik
Methergin
Amoxicillin
Methylergomet
rine
oral
3x0,125mg
uteretonik
Musin
Sukralfat
oral
Domperidon
Domperidon
oral
Metoklopramid
Metoklopramid
oral
Omeprazol
oral
Transamin
Omeprazol
Asam
traneksamat
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
vitamin k
vitamin k
oral
lambung
antidiabetik
injeksi
anti ulkus
peptikum
3x10mg
217
162
tercapai
tidak ada
457
177
tercapai
tidak ada
Gastropati DM tipe II
tidak ada
Febris hr 2 e.c. Susp
BP, dyspneu e.c. CHF,
DM tipe II
antiemetik
antiemetik
2x20mg
lambung
menghentikan
perdarahan
2x250mg
antibiotik
oral
vitamin
Paracetamol
Paracetamol
oral
Vostrin
Erdostein
oral
3x500mg
antipiretik
Ambroxol
Ambroxol
oral
3x10ml
mukolitik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Metronidazole
Metronidazole
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x500mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antibiotik
antidiabetik
injeksi
292
146
tercapai
mukolitik
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
111
4
2
L
30
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
iv
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
Ranitidin
Ranitidin
Dexamethasone
Dexamethasone
oral
4x5mg
Fenitoin
kortikosteroid
Fenitoin
oral
3x100mg
antiepilepsi
Eritromisin
Eritromisin
oral
2x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
Aminofillin
Aminofillin
oral
1x100mg
antibiotik
antidiabetik
injeksi
bronkodilator
santin
Salbutamol
Salbutamol
oral
oral
sliding scale tiap 2
jam
bronkodilator
antidiabetik
injeksi
Humalog
4
3
4
4
P
P
49
48
Insulin lispro
Pro renal
273
171
tercapai
tidak ada
Obs. Kejang susp
meningitis TB, DM tipe
II, TB on OAT bln 9
tidak tercapai
ada
DM Type II, AKI
tidak tercapai
ada
DM Tipe II, ISK
lambung
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Trombopop
Trombopop
oral
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Furosemid
Furosemid
oral
1x40mg
antihipertensi
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x8mg
antiemetik
KSR
KSR
oral
2x600mg
obat hipokalemia
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
462
Meninggal
antiradang
lambung
287
193
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
112
4
5
4
6
P
P
34
45
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1ampul
(25mg/ml)
lambung
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Neurodex
Metformin
pyridoxine thiamine
hydrochloride
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x1tablet
1 unit/kg BB tiap
4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
vitamin
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
NaCl 0.9%
iv
28tpm
cairan infus
ISDN
NaCl 0.9%
Isosorbit
Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Candesartan
Candesartan
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x8mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antihipertensi
antidiabetik
injeksi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x2 gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
Humalog
Insulin lispro
oral
3x4mg
sliding scale tiap 2
jam
antiemetik
antidiabetik
injeksi
Pro renal
275
153
tercapai
tidak ada
CHF ec CAD syndrome
nefrotik, DM type II
belum terkontrol
372
158
tercapai
tidak ada
DM II, Abses, ISPA
lambung
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
NSAID
antidiabetik
injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
113
4
7
4
8
4
9
5
0
P
L
P
L
59
58
64
74
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
Erdostein
Erdostein
oral
Digoxin
Digoxin
oral
Lasix
Furosemid
iv
Ranitidin
Ranitidin
iv
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
Paracetamol
Amlodipin
obat jantung
sc
3x4mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antiemetik
antidiabetik
injeksi
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
antiplatelet
Ranitidin
Ranitidin
iv
1X75mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x8mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antiemetik
antidiabetik
injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antibiotik
antidiabetik
injeksi
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x8mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Captopril
oral
174
tercapai
ada
chf,gea low intake dm
tipe 2
198
164
tercapai
tidak ada
Febris, HT, AKI, HW
283
194
tidak tercapai
ada
Anemia, DM, ulkus
diabetikum
ada
CHF FC 3-4, Dyspepsia
Low Intake, Dm Tipe 2,
Penaikan Transmirase
expectorant
1x25mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
2x1ampul
(25mg/ml)
Captopril
282
2x12,5mg
antihipertensi
lambung
lambung
lambung
antihipertensi
214
194
tidak tercapai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
114
5
1
5
2
L
P
56
50
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Glucodex
Glikazid
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Furosemid
Furosemid
oral
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x40mg
2x1ampul
(25mg/ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
Pro renal
antidiabetik oral
lambung
cairan infus
oral
3x1tablet
vitamin
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x100mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Nistatin
Nistatin
oral
Humalog
oral
Transamin
Insulin lispro
Asam
traneksamat
vitamin k
vitamin k
oral
Furosemid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x4mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
oral
Glikazid
oral
tidak ada
ada
CHF Fc IV, Acute Long
Oedeme + Asid
Metabolit, CKD Stg III
ec. Nefropati DM, DM
II Tdk Terkontrol
vitamin
Lasix
Metformin
tercapai
antijamur
antidiabetik
injeksi
menghentikan
perdarahan
2x2ampul
(20mg/2ml)
Glucodex
163
antiplatelet
4x1ml
sliding scale tiap 2
jam
oral
Metformin
244
DM Tipe II, Riwayat
Hiperglikemia, CKD,
Ulkus Pedis Sinistra
3x500mg
antihipertensi
lambung
antidiabetik oral
382
218
tidak tercapai
antidiabetik oral
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
115
Pro renal
oral
3x1tablet
vitamin
oral
1x0,6mg
vitamin
ISDN
Asam folat
Isosorbit
Dinitrat
oral
antiangina
Lasix
Furosemid
iv
3x5mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
IVFD RL
IVFD RL
iv
cairan infus
Nebulizer
Salbutamol
oral
inhaler
Captopril
Captopril
oral
2x25mg
antihipertensi
Cefixim
Cefixim
oral
2x100mg
antibiotik
Acarbosa
Acarbosa
oral
Musin
Sukralfat
oral
Ondancentron
Ondancentron
oral
Ranitidin
Ranitidin
Ceftriaxone
Ceftriaxone
lantus
Asam folat
5
3
5
4
P
P
24
58
antihipertensi
268
193
tidak tercapai
ada
DM Tipe II, ISK, Susp.
BSK
246
156
tercapai
ada
chf,dm tipe 2
antidiabetik oral
anti ulkus
peptikum
antiemetik
iv
3x4mg
2x1ampul
(25mg/ml)
iv
2x1gr
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x12unit
1 unit/kg BB tiap
4jam
antibiotik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
ISDN
Simvastatin
Isosorbit
Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Digoxin
Digoxin
oral
obat jantung
Lasix
Furosemid
iv
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x25mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
2x1ampul
(25mg/ml)
1 unit/kg BB tiap
4jam
lambung
antihipertensi
lambung
antidiabetik
injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
116
5
5
5
6
5
7
P
P
P
53
31
59
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
CaCO3
CaCO4
oral
Diltiazem
Diltiazem
oral
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x2 gr
2x2ampul
(20mg/2ml)
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Bicnat
Metformin
Natrium
bikarbonat
oral
antasida
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
2x250mg
antibiotik
Glimepirid
Glimepirid
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x1mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antidiabetik oral
antidiabetik
injeksi
Captopril
Captopril
oral
2x25mg
antihipertensi
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Aminofluid
Aminofluid
iv
465
253
tidak tercapai
ada
DM tipe II, HT grade II
285
194
tidak tercapai
ada
HT gr II, Hipokalemia
ada
Hemiparese
dektra,DM type II tak
terkontrol,Stroke lama
antasida
ca chanel blocker
antihipertensi
lambung
cairan infus
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
319
272
tidak tercapai
antiplatelet
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
117
5
8
P
46
Lasix
Furosemid
iv
2x2ampul
(20mg/2ml)
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
IVFD RL
IVFD RL
iv
Amlodipin
Amlodipin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x10mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x8unit
anti hipertensi
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
oral
Pro renal
5
9
6
0
P
P
65
48
cairan infus
3x1tablet
vitamin
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr
2x2ampul
(20mg/2ml)
Citicolin
Citicolin
oral
2x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
vasodilator perifer
antidiabetik
injeksi
Clindamicin
Clindamicin
oral
Ambroxol
Ambroxol
oral
Vostrin
Erdostein
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Cotrimoxazol
Cotrimoxazol
oral
175
tercapai
ada
194
165
tercapai
tidak ada
278
177
tercapai
ada
antihipertensi
antijamur
3x10ml
254
Apasia motorik ec
susp stroke,
hiperglikemi, DM type
II, AKI dd akut on CKD,
anemia, HT Dyspneu
ec CHF
mukolitik
mukolitik
General weakness,
GEA, DM type II
antibiotik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
118
6
1
6
2
P
P
58
54
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
antidiare
Spironolakton
Spironolakton
oral
antihipertensi
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x100mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Aminofluid
Aminofluid
iv
Nifedipin
Nifedipin
oral
1x5mg
antihipertensi
Ibuprofen
Ibuprofen
oral
NSAID
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x200mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
lantus
sc
1x10unit
Neurodex
Insulin glarglin
pyridoxine thiamine
hydrochloride
antihipertensi
antidiabetik
injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Vitamin B1
Vitamin B2
oral
vitamin
Mertigo
Mertigo
oral
antivertigo
Aspilet
oral
1x80mg
NSAID
ISDN
Asetosal
Isosorbit
Dinitrat
oral
3x5mg
antiangina
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Laxadin
Bisakodil
oral
1x5ml
laksatif
Micardis
Telmisartan
oral
Allopurinol
Allopurinol
oral
1x100mg
NSAID
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x50mg
antihipertensi
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
lambung
cairan infus
375
247
tidak tercapai
ada
DM tipe II + ulkus
diabetikum
341
178
tercapai
tidak ada
chf dm tipe 2
lambung
antiplatelet
antihipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
119
6
3
6
4
6
5
6
6
L
P
P
P
49
64
60
76
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Citicolin
Citicolin
oral
2x500mg
vasodilator perifer
Lapibal
Lapibal
oral
vitamin
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1ampul
(25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Aminofluid
Aminofluid
iv
lantus
Insulin glarglin
sc
Humalog
Insulin lispro
oral
1x12unit
sliding scale tiap 2
jam
cairan infus
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Bisoprolol
Bisoprolol
oral
1x2,5mg
beta blocker
Paracetamol
Paracetamol
oral
antipiretik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
lambung
antidiabetik
injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x4mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antiemetik
antidiabetik
injeksi
Aminofluid
Aminofluid
iv
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Digoxin
Digoxin
oral
obat jantung
Ranitidin
Ranitidin
iv
1x25mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Aminofluid
Aminofluid
pyridoxine thiamine
iv
Neurodex
oral
lambung
DM + Hemiparase
Dextra ec. Stroke
Infark dd/SH
245
174
tercapai
tidak ada
274
168
tercapai
tidak ada
324
174
tercapai
tidak ada
dm, kad
276
152
tercapai
ada
dm type 2, general
weakness
cairan infus
lambung
cairan infus
3x1tablet
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
120
hydrochloride
6
7
6
8
6
9
P
L
P
65
57
61
Novorapid
Insulin aspart
sc
1 unit/kg BB tiap
4jam
antidiabetik
injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Hp pro
Fructus
Schizandrae
oral
Allopurinol
Allopurinol
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
lambung
antidiabetik
injeksi
Spironolakton
Spironolakton
oral
1x100mg
antihipertensi
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
1X75mg
antiplatelet
Nitrokaf
Nitrokaf
oral
Captopril
Captopril
oral
2x25mg
antihipertensi
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Laxadin
Bisakodil
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x5ml
1 unit/kg BB tiap
4jam
laksatif
antidiabetik
injeksi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
Lasix
Furosemid
iv
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
2x2ampul
(20mg/2ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Mertigo
Mertigo
oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
vitamin
262
165
tercapai
tidak ada
Obs. Febris, DM Tipe
II, HT Stage I
305
153
tercapai
tidak ada
DM Tipe II + KAD
231
167
tercapai
ada
Myalgia, DM Tipe II,
HT
NSAID
antiangina
lambung
antihipertensi
cairan infus
antivertigo
2x1ampul
(25mg/ml)
lambung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
121
7
0
7
1
7
2
L
P
P
49
67
54
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x4mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antiemetik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
Paracetamol
Paracetamol
oral
antipiretik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
3x8mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
antiemetik
antidiabetik
injeksi
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Aminofluid
Aminofluid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Aminofluid
Aminofluid
iv
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Metformin
Metformin
oral
anti diabetik oral
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ulsafat
Sukralfat
oral
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Simvastatin
Simvastatin
oral
1x20mg
antikolesterol
Betahistin
Betahistin
oral
Ulsafat
Sukralfat
oral
Alprazolam
Alprazolam
oral
2x0,5mg
anti ansietas
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x10unit
1 unit/kg BB tiap
4jam
antibiotik
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
483
348
tidak tercapai
ada
375
286
tidak tercapai
ada
442
248
tidak tercapai
tidak ada
lambung
cairan infus
2x1gr
antibiotik
cairan infus
lambung
anti ulkus
peptikum
Dm Tipe II Tdk
terkontol, Vertigo
histamin analog
anti ulkus
peptikum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
122
7
3
P
71
Captopril
Captopril
Pro renal
7
4
7
5
P
P
38
66
oral
2x12,5mg
antihipertensi
oral
3x1tablet
vitamin
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
1x500mg
antibiotik
analgesik
Ketorolac
Ketorolac
oral
3x1 ampul
(10mg/ml)
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x1mg
antidiabetik oral
Cefixim
Cefixim
oral
2x100mg
antibiotik
Aminofluid
Aminofluid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x2 gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Candesartan
Candesartan
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x8mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antihipertensi
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Betahistin
263
148
tercapai
tidak ada
247
206
tidak tercapai
ada
dyspepsia,dm tipe 2
ada
selulitis pedis
sinistra,dm
tipe2,vertigo,dyspepsi
a
cairan infus
oral
Neurodex
Betahistin
pyridoxine thiamine
hydrochloride
histamin analog
oral
3x1tablet
vitamin
Meloxicam
Meloxicam
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
1x15mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
NSAID
antidiabetik
injeksi
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
lambung
Ketorolac
Ketorolac
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x40mg
2x1 ampul
(10mg/ml)
1 unit/kg BB tiap
4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x15unit
antidiabetik
254
142
tercapai
analgesik
antidiabetik
injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
123
injeksi
7
6
L
59
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1 gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ketorolac
Ketorolac
oral
3x4mg
3x1 ampul
(10mg/ml)
oral
3x1tablet
vitamin
Pro renal
7
7
7
8
P
P
52
42
loratadin
loratadin
oral
IVFD RL
IVFD RL
iv
135
tercapai
tidak ada
,dm tipe2
analgesik
antihistamin
Humalog
Insulin lispro
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
sliding scale tiap 2
jam
1 unit/kg BB tiap
4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
Pro renal
194
cairan infus
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
oral
3x1tablet
vitamin
Bicnat
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,8mg
vitamin
Aminofluid
Aminofluid
iv
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Furosemid
Furosemid
oral
1x40mg
antihipertensi
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Curcuma
oral
3x20mg
Transamin
Curcuma
Asam
traneksamat
Novorapid
Insulin aspart
sc
vitamin
menghentikan
perdarahan
antidiabetik
injeksi
268
176
tercapai
tidak ada
gastropati diabetik,dm
tipe2,abses tungkai
kiri
286
142
tercapai
tidak ada
susp.dbd grade
2,febris,dm
cairan infus
oral
1 unit/kg BB tiap
4jam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
124
7
9
P
63
Nistatin
Nistatin
oral
CaCO3
oral
Hp pro
CaCO4
Natrium
bikarbonat
Fructus
Schizandrae
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
Bicnat
Pro renal
8
0
8
1
P
P
49
60
oral
4x1ml
antijamur
antasida
3x500mg
oral
225
154
tercapai
tidak ada
286
175
tercapai
ada
fatique,dm tipe 2
tidak ada
obs.abd.pain anemia
sedang ec.gastrisis
erosif,dm tipe 2
antasida
vitamin
oral
3x1tablet
vitamin
Aspilet
Asetosal
oral
1x80mg
NSAID
Clopidogrel
Clopidogrel
oral
antiplatelet
Lasix
Furosemid
iv
1X75mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
1x500mg
antibiotik
Citicolin
Citicolin
oral
vasodilator perifer
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ibuprofen
Ibuprofen
oral
3x200mg
NSAID
Ciprofloxacin
Ciprofloxacin
oral
2x500mg
antibiotik
KSR
KSR
oral
2x600mg
obat hipokalemia
New diatab
Attapulgit
oral
3x2tablet
antidiare
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
2x1ampul
(25mg/ml)
antihipertensi
lambung
lambung
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
Ulsafat
Sukralfat
oral
antipiretik
anti ulkus
peptikum
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
321
154
tercapai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
125
8
2
8
3
8
4
P
L
P
43
63
72
Cefotaxim
Cefotaxim
oral
2x250mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
antibiotik
Lasix
iv
Transamin
Furosemid
Asam
traneksamat
oral
antihipertensi
menghentikan
perdarahan
Aminofluid
Aminofluid
iv
cairan infus
Ambroxol
Ambroxol
oral
3x10ml
mukolitik
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x250mg
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x40mg
lambung
Ondancentron
Ondancentron
oral
3x4mg
antiemetik
Hp pro
Fructus
Schizandrae
oral
Curcuma
Curcuma
oral
Musin
Sukralfat
oral
Alprazolam
Alprazolam
Ambroxol
Ambroxol
vitamin K
vitamin K
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
2x20mg
lambung
Ondancentron
oral
3x4mg
Transamin
Ondancentron
Asam
traneksamat
Novorapid
Insulin aspart
sc
1 unit/kg BB tiap
4jam
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antiemetik
menghentikan
perdarahan
antidiabetik
injeksi
antidiabetik
injeksi
Asam folat
Asam folat
oral
1x0,6mg
vitamin
CaCO3
CaCO4
oral
Pro renal
vitamin
3x20mg
vitamin
anti ulkus
peptikum
oral
2x0,5mg
anti ansietas
oral
3x10ml
mukolitik
148
tercapai
tidak ada
294
175
tercapai
tidak ada
hiperglikemia,dm
tipe2,tb paru on oat
364
215
tidak tercapai
ada
ckd,ht emergency,dm
tipe2
vitamin
oral
oral
224
dm tipe
2,dyspepsia,tb.paru
dalam pengobatan
antasida
3x1tablet
vitamin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
126
Captopril
8
5
8
6
P
L
78
69
oral
2x25mg
antihipertensi
Bicnat
Captopril
Natrium
bikarbonat
oral
3x500mg
antasida
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Gluneoran
Gluneoran
oral
sliding scale tiap 2
jam
antidiabetik oral
antidiabetik
injeksi
Humalog
Insulin lispro
oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
Lasix
Furosemid
iv
Novorapid
Insulin aspart
Candesartan
antibiotik
sc
2x1gr
2x2ampul
(20mg/2ml)
1 unit/kg BB tiap
4jam
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
antibiotik
Ranitidin
Ranitidin
iv
2x1gr
2x1ampul
(25mg/ml)
Metronidazole
Metronidazole
oral
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
3x500mg
2x1 ampul
(10mg/ml)
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Aminofluid
Aminofluid
iv
antihipertensi
antidiabetik
injeksi
487
178
tercapai
tidak ada
DM Tipe II, GDS Tidak
Terkontrol, Ulkus DM
tidak ada
Dm tipe
2,vomitus,post
debridement,ulkus
femur dexstra
lambung
analgesik
cairan infus
Paracetamol
Paracetamol
oral
Betahistin
Betahistin
oral
3x500mg
antipiretik
histamin analog
Cefoperazin
Cefoperazin
oral
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Ondancentron
Ondancentron
oral
antiemetik
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x4mg
2x1ampul
(25mg/ml)
Ulsafat
Sukralfat
oral
244
164
tercapai
analgesik
lambung
anti ulkus
peptikum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
127
8
7
8
8
8
9
P
L
P
48
82
53
Omeprazol
Omeprazol
oral
Heparin
Heparin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
Ondancentron
Ondancentron
oral
Ranitidin
Ranitidin
Ceftriaxone
Ceftriaxone
Metronidazole
2x20mg
lambung
1 unit/kg BB tiap
4jam
antikoagulan
antidiabetik
injeksi
antiemetik
iv
3x4mg
2x1ampul
(25mg/ml)
iv
2x1 gr
antibiotik
Metronidazole
oral
3x500mg
lantus
Insulin glarglin
sc
1x10unit
antibiotik
antidiabetik
injeksi
Captopril
Captopril
oral
2x12,5mg
antihipertensi
Aspirin
Aspirin
oral
3x80mg
antiplatelet
Furosemid
Furosemid
oral
1x40mg
antihipertensi
Meropenem
Meropenem
oral
2x30mg
antibiotik
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Glimepirid
Glimepirid
oral
1x2mg
antidiabetik oral
Amoxicillin
Amoxicillin
oral
3x500mg
antibiotik
Metformin
Metformin
oral
Novorapid
Insulin aspart
sc
anti diabetik oral
antidiabetik
injeksi
Ranitidin
Ranitidin
iv
3x500mg
1 unit/kg BB tiap
4jam
2x1ampul
(25mg/ml)
Paracetamol
Paracetamol
oral
3x500mg
antipiretik
Domperidon
Domperidon
oral
3x10mg
antiemetik
Metformin
Metformin
oral
3x500mg
anti diabetik oral
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Omeprazol
Omeprazol
oral
lambung
Ranitidin
Ranitidin
iv
Novorapid
Insulin aspart
sc
2x20mg
2x1ampul
(25mg/ml)
1 unit/kg BB tiap
4jam
285
194
tidak tercapai
ada
274
186
tidak tercapai
ada
338
214
tidak tercapai
ada
dm tipe 2,ulkus pedis
sinistra
lambung
lambung
febris leukositosis,dm
tipe 2
lambung
antidiabetik
injeksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
128
9
0
P
72
lantus
Insulin glarglin
sc
1x12unit
antidiabetik
injeksi
Fluconazol
Fluconazol
oral
1x150mg
antijamur
Amlodipin
Amlodipin
oral
1x10mg
anti hipertensi
Candesartan
Candesartan
oral
1x8mg
antihipertensi
Ceftriaxone
Ceftriaxone
iv
2x1gr
antibiotik
Ketorolac
Ketorolac
oral
Metronidazole
Metronidazole
oral
3x500mg
antibiotik
Levofloxacin
Levofloxacin
oral
antibiotik
Lasix
Furosemid
iv
1x500mg
2x2ampul
(20mg/2ml)
IVFD RL
IVFD RL
iv
lantus
Insulin glarglin
sc
241
193
tidak tercapai
ada
analgesik
1x12unit
antihipertensi
cairan infus
antidiabetik
injeksi
Outcomes Klinik: Kadar Glukosa Darah Sewaktu <180mg/dL (American Association Diabetes, 2015)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
129
Lampiran 4. Data Interaksi Obat dan Manajemen
No
Nama Obat
Pola
Mekanisme
Interaksi
Tingkat
Keparahan
Interaksi
Jumlah
Kejadian
Mekanisme
Interaksi
Managemen
1
Glimepiride +
unknown
Moderate
1
Asam
mefenamat
meningkatkan
efek glimepiride
melalui
mekanisme yang
tidak diketahui.
Beresiko
hipoglikemia.
Pantau kadar
glukosa
darah
farmakokinetik
Moderate
1
Aspirin dapat
menstimulasi
sekresi insulin
atau
meningkatkan
konsentrasi
plasma dari
glimepirid
dengan
menggantinya
dari situs
pengikatan
protein dan/atau
menginhibisi
metabolismenya
. beresiko
hipoglikemia
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
1
Captopril
meningkatkan
efek glimepirid
oral melalui
sinergisme
farmakodinamik
(peningkatan
sensitivitas
insulin)
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
1
Ciprofloxacin
meningkatkan
efek glimepirid
Pengaturan
dosis dan
kontrol
asam
mefenamat
2
Glimepiride +
aspirin
3
Glimepiride +
captopril
4
Glimepiride +
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
130
ciprofloxacin
5
Glimepiride +
Glimepiride +
Moderate
4
Glimepirid,
insulin aspart.
Salah satunya
meningkatkan
efek yang lain
melalui
sinergisme
farmakodinamik
Perlu adj
dosis pada
penggunaan
kombinasi
saat
memulai
/menghentik
an terapi
unknown
Moderate
1
Ketorolac
meningkatkan
efek glimepirid
melalui
mekanisme yang
tidak diketahui.
Beresiko
hipoglikemia.
Pantau
KGD,
simptomp
hipoglikemi
a,
pengaturan
dosis
antidiabetes
jika perlu.
farmakokinetik
Moderate
1
Na Diclofenac
dapat
menstimulasi
sekresi insulin
atau
meningkatkan
konsentrasi
plasma dari
glimepirid
dengan
menggantinya
dari situs
pengikatan
protein dan/atau
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikem
ketorolac
7
Glimepiride +
natrium
diklofenak
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi,
atau
hiperglikem
ia
farmakodinamik
insulin aspart
(Novorapid)
6
melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Hiper dan
hipoglikemia
telah dilaporkan
padapasien yang
dirawat
bersamaan
dengan
quinolones dan
agen
antidiabetes
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
131
menginhibisi
metabolismenya
. beresiko
hipoglikemia
8
Glimepiride +
farmakokinetik
Moderate
5
Penghambatan
metabolisme
CYP2C9
sulfonilurea.
Konsentrasi
sulfonilurea
serum dapat
meningkat,
meningkatkan
efek
hipoglikemia
Berdasarkan
data yang
tersedia,
tidak ada
tindakan
pencegahan
khusus
diperlukan.
Jika terjadi
interaksi,
sesuaikan
dosis
sulfonilurea
farmakokinetik
Moderate
9
Antagonis
reseptor H2
seperti simetidin
dan ranitidin
dapat
meningkatkan
efek
hipoglikemik.
Mekanismenya
diduga
berhubungan
dengan inhibisi
metabolisme
sulfonilurea di
hati oleh
simetidin
sehingga
meningkatkan
efeknya.
Memantau
kadar
glukosa
darah, gejala
hipoglikemia
dan
penyesuaian
dosis
sulfonilurea.
unknown
Minor
1
Konsentrasi
sulfonilurea
meningkat,
meningkatkan
efek
Berdasarkan
data yang
tersedia,
tidak ada
tindakan
omeprazole
9
Glimepiride +
ranitidine
10
Glimepiride +
simvastatin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
132
11
Insulin aspart
(Novorapid) +
Insulin aspart
(Novorapid) +
Moderate
1
Aspirin
meningkatkan
efek insulin
aspart dengan
sinergisme
farmakodinamik
(peningkatan
sekresi insulin)
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
5
Captopril
meningkatkan
efek insulin
aspart oral
melalui
sinergisme
farmakodinamik
(peningkatan
sensitivitas
insulin)
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi
farmakodinamik
Moderate
3
Ciprofloxacin
meningkatkan
efek insulin
aspart melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Hiper,
hipoglikemia
telah dilaporkan
pada
penggunaan
quinolones dan
antidiabetes.
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi
/hiperglike
mi.
captopril
13
Insulin aspart
(Novorapid) +
ciprofloxacin
pencegahan
khusus
diperlukan.
Penurunan
dosis
sulfonilurea
mungkin
diperlukan
jika interaksi
terjadi.
farmakodinamik
aspirin
12
hipoglikemia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
133
14
Insulin aspart
(Novorapid) +
farmakodinamik
Moderate
2
Dexamethasone
menurunkan
efek insulin
aspart melalui
antagonism
farmakodinamik.
Dapat
menyebabkan
hiperglikemia
dan intoleransi
glukosa.
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hiperglikem
ia
farmakodinamik
Moderate
1
Levofloxacin
meningkatkan
efek insulin
aspart melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Hiper dan
hipoglikemia
telah dilaporkan
padapasien yang
dirawat
bersamaan
dengan
quinolones dan
agen
antidiabetes.
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi,
atau
hiperglikem
ia
farmakodinamik
Moderate
3
Metilprednisolon
menurunkan
efek insulin
aspart melalui
antagonisme
farmakodinamik
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hiperglikem
ia
dexamethasone
15
Insulin aspart
(Novorapid) +
levofloxacin
16
Insulin aspart
(Novorapid) +
metil
prednisolon
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
134
17
Insulin
glargline
(Lantus) +
farmakodinamik
Moderate
5
Metformin dapat
meningkatkan
efek
hipoglikemik
insulin glargine
dengan
meningkatkan
mekanisme
kontrol selular
oleh insulin atau
efek pada reaksi
biokimia
komplementer.
Monitor
ketat
tandatanda
hipoglikemi
a,
pengaturan
dosis dapat
diperlukan
saat
memulai/
menghentik
an terapi
farmakodinamik
Moderate
1
Metilprednisolon
menurunkan
efek insulin
glargline melalui
antagonisme
farmakodinamik
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hiperglikem
ia
unknown
Minor
2
Metformin
menurunkan
level asam folat
melalui
mekanisme
interaksi yang
tidak diketahui
Tidak
memerlukan
manajemen
khusus
farmakodinamik
Moderate
1
Ciprofloxacin
meningkatkan
efek metformin
melalui
sinergisme
farmakodinamik.
Hiper dan
hipoglikemia
telah dilaporkan
padapasien yang
dirawat
bersamaan
dengan
quinolones dan
agen
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hipoglikemi,
atau
hiperglikem
ia
metformin
18
Insulin
glargline
(Lantus) +
metil
prednisolon
19
Metformin +
asam folat
20
Metformin +
ciprofloxacin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
135
antidiabetes.
21
Metformin +
farmakodinamik
Moderate
1
Dexamethasone
menurunkan
efek metformin
melalui
antagonism
farmakodinamik.
Dapat
menyebabkan
hiperglikemia
dan intoleransi
glukosa.
Pengaturan
dosis dan
kontrol
KGD secara
teratur,
pantau
tanda-tanda
hiperglikem
ia
farmakokinetik
Moderate
2
Digoxin akan
meningkatkan
level/efek
metformin
dengan
kompetisi
pembasaan obat
untuk kliren
tubular renal.
Beresiko
asidosis laktat.
Titrasi
sangat
lambat dan
hati-hati
metformin,
dosis
maksimal
metformin
sebaiknya
diturunkan,
pantau
gejala
asidosis
laktat
farmakokinetik
Minor
1
diltiazem akan
meningkatkan
level/efek
metformin
dengan
kompetisi
pembasaan
(kationik) obat
untuk klirens
renal tubular.
Tidak
memerlukan
manajemen
khusus
unknown
Moderate
2
Furosemid
meningkatkan
level metformin
mekanisme
interaksi tidak
diketahui.
metformin
Pantau ketat
bukti bahwa
salah satu
obat diubah.
Monitor
KGD dan
tanda-tanda
dexamethasone
22
Metformin +
digoxin
23
Metformin +
diltiazem
24
Metformin +
furosemid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
136
25
Metformin +
Metformin +
ranitidine
asidosis
laktat
unknown
Minor
3
ISDN
menurunkan
level metformin
mekanisme
interaksi tidak
diketahui.
Pantau
KGD,
simptom
hiperglikem
ia,
pengaturan
dosis jika
perlu
farmakokinetik
Moderate
17
Ranitidin akan
meningktkan
level/efek
metformin
melalui
penurunan
klirens
ginjal/kompetisi
transport tubular
renal.
Titrasi
sangat
lambat dan
hati-hati
metformin,
dosis
maksimal
metformin
sebaiknya
diturunkan,
pantau
gejala
asidosis
laktat
ISDN
26
menurunkan
level furosemid
melalui
mekanisme
interaksi yang
tidak diketahui.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
137
Lampiran 5. Analisis Hubungan Antara Usia dengan Interaksi Obat
Antidiabetes
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
usia * interaksi
Missing
Percent
90
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent
90
100.0%
usia * interaksi Crosstabulation
Count
interaksi
berinteraksi
usia
tidak berinteraksi
Total
< 45 tahun
8
10
18
> 45 tahun
44
28
72
52
38
90
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.640a
1
.200
Continuity Correction
1.028
1
.311
Likelihood Ratio
1.621
1
.203
b
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
b
.286
1.621
1
.203
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,60.
b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Exact Sig. (1sided)
.155
138
Lampiran 6. Analisis Hubungan Antara Jumlah Penyakit Penyerta dengan
Interaksi Obat Antidiabetes
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
penyakit_penyerta * interaksi
Missing
Percent
90
N
98.9%
Total
Percent
1
N
1.1%
Percent
91
100.0%
penyakit_penyerta * interaksi Crosstabulation
Count
interaksi
1
penyakit_penyerta
2
Total
< 5 penyakit penyerta
46
18
64
> 5 penyakit penyerta
6
20
26
52
38
90
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Asymp. Sig. (2sided)
df
18.047a
1
.000
Continuity Correction
16.102
1
.000
Likelihood Ratio
18.441
1
.000
b
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
b
.000
17.847
1
.000
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,98.
b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Exact Sig. (1sided)
.000
139
Lampiran 7. Analisis Hubungan Antara Jumlah Obat dengan Interaksi Obat
Antidiabetes
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
jumlah_obat * interaksi
Missing
Percent
90
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent
90
100.0%
jumlah_obat * interaksi Crosstabulation
Count
interaksi
berinteraksi
jumlah_obat
tidak berinteraksi
Total
>5 obat
7
7
14
<5 obat
45
31
76
52
38
90
Total
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
30.979a
1
.000
Continuity Correctionb
28.578
1
.000
Likelihood Ratio
32.519
1
.000
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
b
.000
30.635
1
.000
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,36.
b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Exact Sig. (1sided)
.000
140
Lampiran 8. Analisis Hubungan Antara Interaksi Obat dengan Outcomes
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
interaksi * outcomes
Missing
Percent
90
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
Percent
90
100.0%
interaksi * outcomes Crosstabulation
Count
outcomes
outcomes tidak
outcomes tercapai
interaksi
tercapai
Total
berinteraksi
10
42
52
tidak berinteraksi
37
1
38
47
43
90
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
53.726a
1
.000
Continuity Correctionb
50.640
1
.000
Likelihood Ratio
64.427
1
.000
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Casesb
.000
53.129
1
.000
90
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,16.
b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
.000
Download