ETIKA DAN KEKUASAAN: PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

advertisement
ETIKA DAN KEKUASAAN:
PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS
ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh :
Haikal Mujahid
106033201175
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./ 2011 M.
ABSTRAK
Haikal Mujahid
ETIKA DAN KEKUASAAN:
PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS ETIKA DAN
KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK
Etika adalah sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia
untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus
hidupdan bertindak. Sedangkan, kekuasaan adalah merupakan usaha seorang
individu atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan keinginan
si pelaku.
Etika dan Kekuasaan merupakan kedua hal yang amat penting posisinya
dalam bingkai politik. bahkan kedua istilah ini sudah dibahas semenjak zaman
Yunani kuno, karena keduanya dapat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan.
Karena bila kedua istilah ini dipergunakan tidak dalam kapasitasnya, hal ini akan
berakibat pada ketidakstabilan sebuah Negara, atau bahkan melahirkan sebuah
pemberontakan.
Machiavelli sebagai tokoh politik zaman Renaissance telah berhasil
membuat sebuah karya yang mengelaburasikan antara system kerajaan (monarki)
dan Republik, yang dia beri judul The Prince dan The Discaurses, meski pada
awalnya kedua literatur itu adalah ditujukan kepada keluarga Medici yang
kembali menguasai Florence. Dari kedua bukunya ini bisa diambil pelajaran
bagaimana seharusnya seorang leader (Raja) mengontrol, memenej, dan
mengurus para staf, serta rakyatnya agar tercipta sebuah negara sejahtera, dan bisa
mencapai kejayaan, serta disegani oleh rakyat dan negara-negra lain.
Konsep “menghalalkan segala cara” yang banyak dikenal orang dari
Machiavelli ini seolah-olah sudah menjadi lebel baginya. Padahal kita sendiri
belum mencoba mempelajari konsep politik Machiavelli secara mendetail. Dan
kita pun tidak tahu kenapa banyak para diktator dunia yang memakai konsep
Machiavelli dalam merealisasikan politik praktis dalam negaranya, yang
diterapkan dengan tangan besi mereka. Apakah mereka sebenarnya mengunakan
konsep Machiavelli ini secara kaffah (menyeluruh), ataukah hanya setengah hati
demi melestarikan kekuasaan mereka saja? Karena Machiavelli pernah berkata
bahwa tujuan dari kekuasaan hanyalah demi keberlangsungan kesetabilan, dan
kesejahtraan negaranya, bukan hanya untuk kepentingan individu.
i
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji serta syukur patutlah disuarakan hanya kepada dzat
yang telah memberikan kehidupan dan ilmu kepada seluruh umat manusia yaitu
Alloh swt. Karena dengan pertolongan yang begitu besar, perlindungan, dan
rahmat, serta taqdirnyalah penulis dapat menyeleseikan proses penulisan skripsi
ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada pahlawan
revolusi Islam
yang tiada kata lelah, cercaan, serta hinaan yang dilontarkan
kepadanya, beliau tetap konsisten dalam perjuangan demi tegaknya Islam yaitu
Nabi Muhammad saw.
Alhamdulillah kami ucapkan, meski itu tidaklah sepadan dengan apa yang
telah diberikan oleh Alloh swt. Usaha dalam penulisan ini dapat terrelisasi hingga
selesei atas pertolongan-Nya, melalui banyak tangan.
Dengan kerendahan hati, penulis akui bahwa penulisan ini tidak terlepas
dari bantuan, kawan-kawan. Oleh karena itu, kami haturkan banyak termakasih
atas bantuan serta motivasi saudara-saudara sekalian. Maka pantaslah bila penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu dan Ayah ku tercinta, terimakasih atas bantuannya baik dalam segi
moril dan materilnya. Juga kepada kaka (teh Yeni), dan adik-adik ku
tersayang Inda, Rika, Imam, dan vivi untuk tawa, canda, dan
dukungannya, telah menghibur penulis.
2. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. selaku pembimbing yang selalu
mendampingi penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau
sebagai kepala jurusan Ilmu Politik.
3. Prof. Dr. Bahtiar Efendi, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik beserta para stafnya.
iii
4. Terimakasih kepada para dosen-dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik yang telah menambah khaznah keilmuan penulis dalam
memandang dunia khususnya dalam kaca mata politik.
5. Untuk seseorang di hati penulis yang begitu amat spesial, yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya. Terimakasih atas pengertian, do’a dan
supportnya kepada penulis.
6. Kepada kawan-kawan KPK (Kosan Pedro dan Kawan-kawan); bang Ham,
bang Ubz, bang Pips, bang Pedro, bang Ari, bang Fadli, bang Ipunk, bang
Borang, bang Roy, bang Ulmanto, bang Adam, Muso yang telah
memberikan kritik dan sarannya kepada penulis.
7. Kepada kawan-kawan KM UIN Jakarta (Komunitas Mahasiswa
Universitas Islam Negri); Adit, Barkowi, Oi, Aang, N-Chek, Yandi,
Repal, dkk. yang memberikan semangat kepada penulis.
8. Terimakasih banyak kepada kawan-kawan FSC (FISIP Study Club).
Teman-teman FISIP; Anwar, Bara, Rif’at, Eko, Yebi, Rikih, Ario,
Hawasi, Rido, Yana, Ais, Rahmat, Torik, Ikhwan, untuk dorongannya
agar penulis segera menyeleseikan penulisan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Sang Maha melihat, Pencipta, dan Maha Kuasa
yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi, penulis serahkan atas segala
jasa orang-orang yang telah membantu penulis. Mudah-mudahan Alloh swt
membalas senua jasa mereka, dan ditulis sebagai amal kebaikan dan menjadi
bekal mereka di akhirat kelak.
Mudah-mudahan penulisan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis,
dan bagi para pembaca umumnya. Dan kami harapkan kritik dan sarannya kepada
iv
para pembaca demi membangun keintelektualan generasi musilim yang
berkualitas.
Jakarta, 08 Maret 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................6
D. Metodologi Penelitian...........................................................................7
E. Sistematika Penulisan ...........................................................................9
BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI
A. Riwayat Hidup .....................................................................................12
1. Kondisi Lingkungan ........................................................................14
2. Pendidikan.......................................................................................18
3. Karir dalam Kancah Politik..............................................................19
B. Karya Tulis ...........................................................................................21
1. The Prince .......................................................................................23
2. The Discourses ................................................................................27
BAB III DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN
A. Asal-usul Etika .....................................................................................31
vi
1. Definisi Etika ..................................................................................35
2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara ..................................38
B. Asal-usul Kekuasaan ............................................................................40
1. Definisi Kekuasaan ..........................................................................41
2. Mempertahankan Kekuasaan ...........................................................44
C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan .................................................46
BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO
MACHIAVELLI
A. Etika dalam Persepektif Machiavelli .....................................................52
1. Raja Harus Bisa Menyeimbangkan Anatara Ditakuti dan Dicintai....58
2. Bermartabat dan Memiliki Rasa Nasionalisme .................................61
B. Kekuasaan Persepektif Niccolo Machiavelli .........................................65
1. Metode Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan ...................66
1.1. Posisi Agama dalam Negara....................................................66
1.2. Penguasa dan Korupsi .............................................................68
1.3. Mengelola Tentara ..................................................................69
1.4. Memilih Aparatus Negara .......................................................71
C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara .................................72
1. Macam-macam Republik .................................................................73
vii
2. Monarki diterapkan dalam Situsi Florence yang Kacau ....................74
3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Negara ............................................76
D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap
Etika dan Kekuasaan ............................................................................77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................83
B. Saran ....................................................................................................86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Niccolo Machiavelli adalah seorang tokoh filsapat dan politikus, yang
hidup di era abad ke-18. Tokoh ini sangat terkenal dengan sebutan bapak politik
moderen yang berhasil membuka keran belenggu politik dari kungkungan Gereja
pada waktu itu. Machiavelli banyak menuturkan tentang etika dalam berpolitik
dalam karyanya. Tetapi disisi lain Machiavelli pun dikenal sebagai politikus yang
menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Padahal bila didalami secara
objektif, ada faktor-faktor penyebab tokoh ini harus menuangkan idenya seperti
itu. Sehingga timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemikiran
politik Machiavelli, sehingga dia menulis karyanya The Prince dan The
Discourses?
Dalam membatasi ruang kajian tentang karya-karya Niccolo Machiavelli,
difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikirannya terhadap etika dan
kekuasaan yang dimana ada beberapa alasan yang melatar belakanginya: pertama,
proses transisi di Negara Florence yang terjadi di masa Niccolo Machiavelli,
melahirkan beberapa gagasannya yang merupakan hasil kajiannya selama
menjabat sebagai aparatus di Florence.
Kedua, dalam situasi dan kondisi Negara Florence Machiavelli mengalami
beberapa perlakuan poitik dari pemerintahnya yang acap kali terjadi perpindahan
kekuasaan antara penguasa pertama dengan keluarga Medici yang memenangkan
peperangan. Sehingga posisi Machivelli selalu berubah-ubah kadang menjadi
aparatus Negara yang begitu penting, dan kadangkala mengalami perlakuan buruk
2
sampai dia sendiri harus diasingkan kesuatu desa yang jauh dari kehidupan
kerajaan atau lebih parah lagi dia mengalamai masa tahanan selama beberapa
tahun1.
Ketiga, tokoh Machiavelli sendiri sudah terlanjur dikenali oleh dunia
politik sebagai bapak kelicikan politik. bahkan pada titik ekstrimnya ia dikenal
sebagai par excellence penipuan dan penghianatan politik, sebagai inkarnasi dari
kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik, dan sebagai penggagas
totalitarianisme moderen2. Padahal bila dibaca secara objektif dan tidak setengahsetengah antara The Prince dan The Discaurses, akan didapat bahwa konsep etika
bermartabat dalam politik yang didengungkannya adalah politik yang penuh
dengan nilai-nilai etika, dengan tidak digerakan semata-mata oleh nafsu untuk
meraih kekuasaan3. Etika menurutnya memancar dari tindakan otentik yang penuh
dengan kedaulatan dari seorang pemimpin yang berkarakter. Itulah sesungguhnya
ide yang diberikan oleh Machiavelli untuk demi kelangsungan dan kesetabilan
negaranya yang mengalami krisis politik. Namun sayang justru konsep etika dan
kekuasaan yang bermartabat inilah seringkali kurang dicermati oleh para pembaca
karya-karya Machiavelli.
Keempat, kekuasaan memang perlu dipertahankan dan dikokohkan dengan
kuat, sedangkan etika itu sendiri tidak perlu dikedepankan dalam politik karena
hal itu hanya akan memperlemah negara (menghalalkan segla cara demi
kestabilan Negara). Sedangkan menurut para sejarawan politik, Inovasi
1
Ibid., h. 87
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 247.
3
F. Budi Hardiman, ”Politik Yang Bermartabat”, Kompas, Edisi Jum’at 15 Oktober
2010, h. 6
2
3
Machiavelli dalam buku The Discaurses dan The Prince adalah memisahkan teori
politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari
teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran
Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam
pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil
dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan
manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la
stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan
berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah
dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.
Hal ini senada dengan situasi dan kondisi di Florence, waktu itu
mengalami degradasi dan perebutan kekuasaan yang mengakibatkan keadaan
negara tidak stabil sehingga akhirnya, efek jera dari perebutan kekuasaan itu
menjadikan rakyat tertindas dan Negara pun mengalami krisis multidimensional.
Sehingga Florence menjadi Negara yang lemah dan diserang oleh Negara-negara
yang ada disekitarnya4.
Maka pantaslah bila Machiavelli menganugrahkan gagasannya bagi
penguasa di negrinya yang kala itu di pegang oleh keluarga Medici, dengan tujuan
agar Florence tidak hancur dan jatuh. Sekalipun memang ada unsur bahwa dengan
menyuguhkan konsepnya itu, Machiavelli pun menginginkan kembali jabatannya
di arena politik5.
Namun ide Machiavelli ini terlanjur oleh para intelektual, dan poitisi
dianggap sebagai ide yang digunakan oleh para penguasa dunia yang otoriter dan
4
5
Niccolo Machiavelli, The Prince, (Srabaya: Selasar Publishing, 2008), h. xii
Ibid., h. 177
4
bersifat menindas rakyatnya. Ini terindikasi dari berbagai pengakuan mereka,
bahwa mereka mengakui memegang dan mempelajari karya The Prince Niccolo
Machiavelli. Seperti Hitler pemimpin NAZI di Jerman menyimpan The Prince
disamping tempat tidurnya, Napoleon Bonaparte mengemukakan bahwa hanya
karya politik The Prince yang layak dibaca, bahkan Musolini berani secara terangterangan di depan rakyatnya mengatakan bahwa Machiavelli sebagai godfather
spiritual dan intelektual, dan masih ada lagi para penguasa otoriter selain mereka6.
Dan inilah yang menjadi alasan orang-orang yang menganggap Machiavelli
sebagai politikus yang jahat.
Berangkat dari itu semua maka penulis berusaha menggali dan membuka
kembali literatur-literatur karya Machiavelli, khususnya The Prince dan The
Discourses, juga dari buku-buku lain yang memiliki relevansi dengan masalah
etika dan kekuasaan Machiavelli, untuk berusaha memahami esensi sesungguhnya
bahwa perlu adanya etika bermartabat dalam sebuah negara menurut Machiavelli.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah Etika merupakan problem dunia saat ini, apalagi sesudah masuk
ranah kekuasaan. Hal ini tercermin bagaimana seorang kepala negara bisa
memimpin sebuah negara, agar negara itu bisa tetap stabil. Sehingga diambilah
langkah-langkah yang menurut pikiran mereka bahwa etika yang mereka pakai
adalah demi kepentingan negara. Sehingga tidak sedikit manusia yang pernah
menguasai sebuah negara dari pasca perang dunia I sampai saat ini mempelajari
6
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 248.
5
etika kekuasaan para tokoh terkemuka seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquines,
Niccolo Machiavelli, dan yang lainnya.
Tetapi justru kabanyakan orang telah mengenal Machiavelli hanya dengan
membaca The Prince. Dan hal ini menjadi kontroversi ketika mendengar atau
membaca karyanya The Discourses, bahwa jelaslah Niccolo ini sebagai seorang
republikan. Sederhananya bila kita membaca The Prince, maka asumsi yang
keluar adalah Machiavelli sebagai seorang politikus yang jahat, bahkan dia
disebut juga sebagai old nick atau iblis7. Boleh disebut The Discourses ini sebagai
testamen politik Machiavelli yang terlengkap.8 Karena di dalamnya jelaslah
bahwa Machiavelli memberikan konsep yang jelas-jelas menunjukan dia adalah
seorang republikan.
Namun dalam pembahasaan skripsi ini bukan bermaksud untuk membela
Machiavelli, ini dimaksudkan untuk merangsang pembaca agar mempelajari tokoh
ini secara lebih mendalam dan objektif. Supaya dalam memandang Machiavelli
tidak hanya dari sisi negatif yang sudah umum. Tetapi melihat sisi-sisi positif
yang di kandung olehnya.
Berdasarkan acuan tersebut, agar pembahasan skripsi ini tidak melebar
dan terjebak pada kurang terfokusnya pembahasan serta kesimpulan, maka penulis
membatasi perrmasalahannya pada: konsep
etika dan kekuasaan
yang
dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli.
Pertanyaan yang dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut:
7
Joseph Losco dan Leonardo Wiliams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer,
(Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005), h. 561.
8
Niccolo Machiavelli, The Discourses, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), h. vi
6
1.
Bagaimana konsep etika dan kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendalami konsep etika dan kekuasaan menurut
Niccolo Machiavelli
2. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan penulis.
Adapun manfaat dari penelitian yakni :
A. Manfaat Akademis
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan
strata satu (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Politik pada
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Manfaat Praktis
1. Menambah Wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi
pada khususnya bahwa Etika dan Kekuasaan yang diargumentasikan oleh
Niccolo Machiavelli ini memiliki konsep yang masih eksis dan bahkan bisa di
realisasikan dengan baik sesuei dengan cita-cita untuk mensejahtrakan
kehidupan bernegara, sehingga perlu pengkajian secara mendetail dan objektif
tanpa memilah-milah. Meskipun dia sendiri adalah seorang tokoh politik
barat, yang berbeda agama dengan kita dan penulis khususnya.
2. Bagi
Fakultas,
diharapkan
memberi
sumbangan
kepustakaan
dalam
pengembangan wacana civitas akademika di Jurusan Ilmu Politik.
3. Sebagai Bahan Masukan kepada Pemegang Kebijakan Kampus (Rektorat)
guna memformulasikan konsep tersebut agar keberlangsungan kepemimpinan
di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sesuei dengan kode etik yang
7
diharapkan dapat menjadikan mahasiswa yang memiliki peradaban dengan
etika yang baik, terlebih untuk pendidikan politik mahasiswa pada umumnya.
D. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik
pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa,
ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang di tuju. Namun yang
tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang
ditemukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian
yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut
kajian literatur9.
Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari generalisasi
empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut
dideskripsikan dan di analisis secara kompherenshif, holistic, dan komparatif.
Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga dideskripsikan dan ditelaah
secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.
Menurut Bogdan dan Taylor (1973),10 penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku
yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung
dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga,
9
Mohamad Kasiram, Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan
Penguasaan Metodologi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.
10
Burhan Bungin, metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke Arah
Ragam Farian Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 31.
8
atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi
hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistic).
Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang merupakan salah
satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode yang digunakan
untuk meneliti subjek penelitian akan mempengaruhi cara pandang subjek
tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa
dan menginterpretasi tokoh Machiavelli secara kritis. Melalui metode ini juga,
dapat dikenali secara mendalam bagaimana sang tokoh secara pribadi dengan
melihat konsep dia, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan
pemikiran, karya, dan prilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba
menggeneralisasikan tokoh Niccolo Machiavelli, dari sisi pemikiran politiknya
khususnya tentang etika dan kekuasaan.
Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib
bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan,
merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar
teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan data, maupun dalam menafsirkan
data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif
secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang di peroleh. Jadi, penelaahan ini
tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi,
memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan sistematika
penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta agar penulisan ini menjadi lebih sistematis, maka
9
skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub
yang terdiri sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Penulisan ini dimulai bab pertama, yang menjelaskan latar belakan
masalah. Dimana didalamnya berbicara tentang konsep etika dan
kekuasaan Niccolo Machiavelli yang harus dimiliki oleh seorang raja
dalam sebuah negara republik. Dimana penilaian terhadap Niccolo
Machiavelli ini begitu jelek seakan-akan dia adalah seseoran politikus
yang mengajarkan kejelekan cara dalam berpolitik, bahkan dia di nilai
sebagai seorang old nick. Sehingga sangat disayangkan, karena hal ini
sudah melekat dalam jati diri para pembaca karya Machiavelli khususnya
The Prince. Padahal bila kita ingin cermat dan menilai Machiavelli secara
objektif, maka akan didapatkan bahwa Machiavelli ini adalh seorang
republikan yang semata-mata menulis tentang etika dan kekuasaan itu
demi kesetabilan negrinya. Hal inilah yang kemudian penulis jadikan
sebagai batasan dan rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini.
Selanjutnya isi dari bab ini adalah mengenai tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI
Selanjutnya dalam bab kedua, berisi mengenai ruang lingkup kehidupan
Niccolo Machiavelli mulai dari kondisi lingkungan, latar pendidikannya,
sampai kepada keikutsertaannya dalam kancah politik. Dimana itu semua
mempengaruhi terhadap karya yang telah ditulisnya itu. Pada bab ini juga
ditulis sedikit tentang substansi dari The Prince dan The Discourses, juga
10
karakter Niccolo Machiavelli dalam memandang kondisi politik di
negrinya yang korup dan sarat dengan konflik politik, sehingga
mempengaruhi kondisi fisikologis Niccolo Machiavelli yang membuatnya
berpikir untuk tetap mempertahankan kekuasaan dengan konsepnya11.
Sikap yang lahir dari Machiavelli ini sebenarnya adalah di dorong oleh
rasa cintanya terhadap negara Florence.

BAB III DESKRIFSI ETIKA DAN KEKUASAAN
Selanjutnya pada bab ketiga, menjelaskan definisi dari etika dan
kekuasaan, serta relasi anatar konsep etika dan kekuasaan dalam sebuah
republik. Karena sebelum mendalami konsep etika dan kekuasaan
Machiavelli ini, perlulah untuk mengetahui apa itu etika dan kekuasaan.
Agar ketika beranjak untuk membahas tentang konsep etika dan kekuasaan
Niccolo ini, tidak kabur dan salah paham dalam menanggapi konsepnya.

BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO
MACHIAVELLI
Pada bab keempat, masuk pada bab pembahasan masalah, dimana
didalamnya penulis menjelaskan tentang konsep etika yang dikenalkan
oleh Machiavelli kepada para penguasa, khususnya penguasa Florence.
Dimana Machiavelli disini menjelaskan bahwa seorang penguasa
seharusnya memiliki dua sifat gabungan antara ditakuti dan dicintai, dan
memiliki etika yang bermartabat agar disegani rakyat. Di bab ini ditulis
bagaimana Machiavelli juga memberikan siasat agar kekuasaan bisa
dipertahankan, dan negara tetap stabil. Machiavelli mengingatkan agar itu
11
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 254-256.
11
semua dilakukan jangan semata-mata untuk kepentingan pribadi, tapi itu
semua untuk kepentingan negara. Juga dijelaskan tentang sistem negara
ideal menurutnya yang dapat menopang kestabilan kekuasaan adalah
negara dengan bentuk republik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Selanjutnya dalam bab ke lima adalah bab penutup, dimana dalam bab ini
penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini, serta tidak
lupa menambah saran, agar penulisan skripsi ini lebih bermakna
khususnya bagi penulis dan umumnya untuk para pembaca.
12
BAB II
BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI
A. Riwayat Hidup
Niccolo Machiavelli dilahirkan di Kota Florence di Italia pada 1469, pada
zaman renaissance (abad pencerahan)1. Pada masa itu Italia terbagi menjadi lima
negara; kerajaan Neples di sebelah selatan, kepangeranan Milan di sebelah barat,
republik Venice di timur, Negara Paus di tengah, dan republik Florence yang
diduduki Machiavelli2. Machiavelli dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang
termasyhur. Ayahnya Bernardo Machiavelli adalah seorang pengacara yang
terkadang menangani urusan publik di negara-kota Florence. Ayahnya membantu
Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence,
karena ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang terkemuka,
sehingga pantas bila ayahnya mendidik Machiavelli untuk mempelajari ilmu-ilmu
kemanusiaan3.
Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus
dengan ide-ide yang konkrit, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas
tindakan, bahkan disebut oleh para politikus bahwa Machiavelli adalah seorang
politikus realisme. Pada usia 25 tahun, dia telah berkecimpung dengan kehidupan
politik. Machiavelli pernah menjabat kedudukan tinggi dalam bidang diplomatik,
dalam mengatur organisasi ketentaraan, serta mengurus korespondensi resmi
negaranya. Machiavelli pernah dipenjara dan dibuang karena dianggap sebagai
1
Soehino S.H., Ilmu Politik, (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), h.70
Dr. Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 105.
3
Ibid., h. 106.
2
13
komplotan anti pemerintahan tahun 15134. Setelah dibebaskan kembali dia
memencilkan diri di sebuah tanah pertanian di luar kota. Disanalah dia
menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam bentuk tulisan, mulai dari seri tentang
politik, sampai kepada komedi salah satu karya politiknya adalah The Discourses
dan The Prince (Sang Pangeran).
Kejadian-kejadian politik semenjak dia menganyaman pendidikan sampai
ketika dia diasingkan oleh keluarga Medici sehingga meninggalkan kesan yang
mendalam pada Machiavelli. Tokoh politik ini menyaksikan runtuhnya kekuasaan
keluarga Medici yang sudah memerintah Negara Florence selama beberapa
generasi sekitar seratus tahun. Dia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan
Republik Florence yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa, dan itu
semua menjadi pengalaman politik yang berharga baginya, sehingga dia
menuangkan kejadian itu semua dalam karya politiknya.
Dalam
karya-karyanya,
Machiavelli
mengakui
bahwa
dia
menggeneralisasikan konsepnya itu berdasrkan fakta, bukan seperti penulispenulis pada zamanya yang lebih menekankan penulisan konsep-konsep yang
sepenuhnya berdasarkan kajian-kajian kuno warisan dari Plato dan Aristoteles.
Machiavelli menulis karyanya berdasarkan situasi dan kondisi Florence kala itu5.
Dimana dia menginginkan dari karyanya itu agar Flornce tidak menjadi daerah
jajahan negara lain dan berada dalam penindasaan dalam negrinya sendiri.
Ide-ide atau gagasannya lahir tidak semata-mata karena ambisinya untuk
menjadi seorang politisi praksis, namun gagasannya lahir karena beberapa sebab.
4
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negri Barat, h. 67.
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 258.
5
14
seperti kondisi lingkungan, pengaruh pendidikan, dan juga berdasarkan
pengalaman politiknya. Seperti yang dikatakan oleh pakar sosiolog Islam yaitu
Ibnu Khaldun, yang menyatakan bahwa watak politik seseorang itu dipengaruhi
juga oleh kondisi geografis, seperti cuaca, kondisi politik, dan kondisi lingkungan
sekitarnya6. Hal ini pun senada dengan apa yang terjadi pada Machiavelli dimana
watak politiknya, hingga bisa melahirkan karya sebesar The Prince, dan The
Discourses. Dimana hal ini dipengaruhi beberapa sebab diantaranya:
1. Kondisi Lingkungan
Menulusuri kehidupan Machiavelli, maka pembahasannya pun tidak akan
terlepas dari kondisi Italia, dan khususnya Florence, tempat dimana tokoh ini
hidup. Kondisi kehidupan masa itu ditandai dengan adanya proses transisi
kekuasaan Paus kepada para Raja secara penuh, dalam arti Gereja tidaklah boleh
ikut campur terhadap urusan negara. Era ini sering disebut oleh sejarahwan
sebagai zaman Renaissance.
Abad Renaissance merupakan periode transisi pemikiran dan tata
pemerintahan khususnya di dunia Eropa. Periode ini ditandai dengan terlepasnya
segala
unsur
pemerintahan
dari
kungkungan
Gereja
(zaman
sebelum
Renaisasance juga sering disebut the Dark Age jaman kelamnya negeri Eropa)7
periode ini juga sering disebut Reformasi di Eropa. Selain itu hal ini juga memberi
manfaat pada dunia barat karena selama ini, barat didominasi oleh doktrin Gereja.
Maka lahirlah paham kebebasan dan kemauan untuk maju. Era Renaissance ini
terindikasi dari manusia-manusianya kala itu yang sudah berpikir mengunakan
6
7
h. 23.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 160.
Umar Abdullah, Kapitalisme: The Stanic Of Ideology, (Bogor: El-Moesa Press, 2007),
15
akal sehatnya tanpa ada pengaruh dari pihak agama, yaitu Kristen, dan terlepasnya
mereka dari paham Skolastik.
Selama masa Renaissance inilah hidup seorang Machiavelli. Ketika era itu
sedang mengalami titik klimaksnya, kebebasan dan reformasi dari sistem
kepausaan menjadi sistem republik Italia, disamping itu terjadi perebutan
hegemoni kekuasaan antara Gereja dan para Raja. Para politikus dan filosup
waktu itu terlibat untuk memikirkan bagaimana menstabilkan kondisi Italia dan
negara-negara kota didalamnya, dan konsep ideal apa yang harus diterapkan
dalam negaranya, termasuk Florence.
Namun hal yang sangat disayangkan masa itu adalah pemikiran Niccolo
Machiavelli dianggap tidak didasarkan pada asas moral, bahkan tidak ada nilainilai etika didalam pemikirannya. Karena pada waktu itu, pemikiran akan etika
hanya dikaitkan dengan perilaku manusia tentang hal-hal yang normatif. Padahal
secara real pada masa itu, Eropa terfokus pada kemajuan negara yang jauh dari
dogmatisme terhadap agama, karena para pemikir dan sarjana kala itu merasa
lelah akan konsep etika dan moral yang diajarkan oleh Gereja (relativisme etika)
terhadap para raja, yang pada akhirnya menjatuhkan negara dan memasukannya
pada kondisi yang buruk. Sehingga menimbulkan ketidakpedulian mereka
terhadap etika. Kondisi politik saat itu dipenuhi oleh penghianatan, kecurigaan,
nafsu untuk berkuasa, dan sisat-siasat licik pun silih berganti bermunculan demi
mendapatkan tampuk kekuasaan8. Menurut Machiavelli, negara tidak boleh
dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu,
Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya
8
Soehino S.H., Ilmu Politik, h.68.
16
besar. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh
negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state).
Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan9.
Maka bisa dimengeri bila saat itu Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil,
berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris10.
Machiavelli merupakan salah satu tokoh yang ikut andil didalamnya, dia
menginginkan negaranya menjadi negara yang kuat, tanpa ada jajahan dari negara
lain. Dan menurutnya, kekuatan ini bisa dibangun dengan memisahkan antara
kehidupan gereja dan kehidupan politik. Selain itu tokoh ini pun menganjurkan
agar tentara yang dibangun di Florence jangan mengandalkan tentara bayaran,
tentara bayaran mudah berhianat, haus akan kekuasaan, tidak memiliki
tanggungjawab, tidak memiliki rasa takut kepada Allah, dan tidak memiliki rasa
loyalitas terhdap negara. Pemikiran ini dituangkan dalam sebuah tulisan, bahwa
Machiavelli memandang dari kejadian Vitelli. Vitelli yaitu seorang komandan
tentara yang dibayar Florence untuk menyerang Piza, namun yang terjadi adalah
para tentara itu berhianat, karena negara Piza mampu membayar lebih besar. Dan
ini merupakan hal yang memalukan bagi republik Florence. Maka Machiavelli
berasumsi bahwa sebuah negara harus mampu membuat tentara yang direkrut dari
kalangan warga negaranya11.
Masa Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang
masyhur, Lorenzo yang terpuji. Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492.
9
Senelson Jhon, “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011
dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.
10
Charles Ricahrdodi, “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober 2009
dari http://politiksaman.com/2009/02/15.
11
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 135.
17
Beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence, Florence menjadi
republik (Republik Florentine) di bawah Soderini pada tahun 1498 sampai 1512.
Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan, dan penguasa Medici kembali
pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dicopot dari posisinya, dan di tahun
berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa
Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya
dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah
perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence. Dari penagsingan ini
lah Machiavelli menuangkan pemikiran politiknya dalam beberapa karya yang
diantaranya adalah The Discourses dan The Prince.
Dalam kondisi yang sulit dimana Florence mengalami krisis politik yang
berupa konflik internal antara berbagai negara kota. Para penguasanya bersaing
untuk mengontrol negara. Dan di lain sisipun Italia mengalami situasi yang lebih
berat dimana Italia menjadi rebutan antara Prancis, Jerman, dan Spanyol yang
berusaha menghegemoni Italia, sehingga demi meraih perlindungan dari negaranegara besar. Sehingga negar-negara kota Italia biasanya bersekutu dengan salah
satu negara besar tadi yang pada akhirnya terjadi perpecahan dan peperangan
didalamnya12. seperti inilah Machiavelli melahirkan konsep-konsepnya tentang
etika dan kekuasaan, sehingga keadaan seperti ini menjadi pola pikir, serta
mempengaruhi tindak-tanduk, dan strategi politiknya. Dengan posisi Machiavelli
itu maka pantas bila dia menulis karyanya The Prince dan The discaurses. Dengan
demikian, pada dasarnya abad Renaissance ini mendorong orang mengelabui atau
menipu orang lain. Dalam hubungan dengan penguasa seperti yang digambarkan
12
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 249.
18
Machiavelli dalam The Prince, agar penguasa mengelabui rakyat, yang pada
akhirnya juga untuk kepentingngan kesejahtraan rakyat dan kemakmuran negara
itu sendiri13, karena pada akhirnya rakyat hanya akan peduli dengan hasil akhir
yaitu kesejahtraan, sedangkan sedikit kekerasan yang dilakukan oleh raja akan
terlupa.
2. Pendidikan
Tidak begitu banyak literature yang membicarakan riwayat pendidikan
Machiavelli. Hal ini dikarenakan lebih banyak orang yang memfokuskan pada
karya-karyanya. Namun dalam beberapa buku dituliskan bahwa Niccolo
Machiavelli mengikuti pendidikan yang diarahkan oleh ayahnya, karena ayahnya
menginginkan Machiavelli menjadi seorang terkemuka. Bisa disebut batu pertama
yang ditanamkan dalam pendidikan Machiavelli adalah dari ayahnya sendiri.
Karena ayahnya, Bernardo Machiavelli adalah seorang pengagum karya-karya
klasik Yunani dan Romawi seperti karya Cicero “Phillipus dan On Moral
Obligation, dan The Making Of an Orator”, serta karya Livius yaitu “History”
dimana hasil didikan ayahnya ini menjadi peletak batu pertama pemikiran
politiknya14. Meskipun di lain sisi diriwayatkan bahwa ibunya menginginkan
Machiavelli menjadi seorang rohaniawan.
Selain itu Machiavelli pun menganyam pendidikan formal, dimana
pengaruh pertama yang mempengaruhi pola pikirnya adalah pendidikan liberal
yang biasanya diberikan kepada angota kelasnya15. Dalam salah satu tulisan
13
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, h. 89.
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 126.
15
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 248.
14
19
ayahnya, dalam usia empat belas tahun Machiavelli yang dibwah asuhan Paulo,
mampu membuat sebuah karya humnis dengan gaya penulisan klasik16.
Dalam usia mudanya dia telah mempelajari bahasa Latin, dan ilmu-ilmu
tentang humaniora melalui seorang guru yang bernama Paulo Ronsiglione dengan
pemikiran dan kajian tentang humanisme17. Pada fase berikutnya Machiavelli
melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi Universitas Florence.
3. Karir dalam Kancah Politik
Karir politik Machiavelli tergolong cepat. Dia merupakan orang yang
memiliki jabatan tinggi di usia mudanya. Hal ini terbukti dengan kepercayaan
yang diberikan oleh penguasa Republik Florence di masa Machiavelli muda.
Dalam usia 25 tahun, Machiavelli pernah dipercaya dalam salah satu jabatan
publik karena kemampuannya menarik perhatian Gorfalonier Piero Soderini
sebelum dia diangkat menjadi penguasa dalam Republik Florence. Ketika tampuk
kepemimpinan Republik Florence yang di pegang oleh Gorfalonier Piero Soderini
pada 1498 sampai 1512, Machiavelli dianggap menjadi orang kepercayaan
Soderini, sampai-sampai para musuh Soderini menyebut dia “kacung Soderini”18.
Dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun
memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Niccolo
Machiavelli pun masuk dalam kelompok kaselir yang terdiri atas majelis sepuluh,
yaitu sebuah lembaga penting republik Florence, dimana badan ini memiliki
sejumlah kekuasaan diplomasi, masalah peperangan, dan lain-lain. Dan tokoh ini
16
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 127.
17
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, h. 107.
18
Mirza Gultom, “Peta Politik Niccolo Machiavelli Mengenai Negara,” artikel diakses
pada 30 desember 2010 dari http: //www. tokohpolitikmirza.org/2010/1230/machiavelli.html.
20
sering terlibat dalam pelbagai missi diplomatik atas namanya, melakukan
perjalanan ke Perancis dan Jerman. Di Florence, dia meraih kesuksesan di mata
penguasa. Termasuk ketika berhasil merebut Pisa dan mengembalikannya ke
dalam kekuasaan Republik Firenze tahun 1508. Bahkan sebagian sejarawan ada
yang menatakan bahwa Machiavelli pernah menjadi sekertaris di republik
Florence19. Nicolo Machiavelli menjabat sebagai aparatus negara republik
Forence selama empat belas tahun.
Pada waktu menjadi sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine,
Machiavelli mendapatkan pengalaman dengan seringnya pergi ke negara-negara
lain menemui para penguasa dan tokoh pentingnya, seperti kepada Paus, kaisar
dari Jerman dan Raja Perancis, yang mana Machiavelli pernah memberikan
stetmen bahwa di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut
pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” polity).
Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap
hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada
saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan
dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari
parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali
dapat dieliminasi20.
Dengan jatuhnya pemerintahan republik Florence di bawah Soderini oleh
keluarga Medici di bawah Lorenzo II, Machiavelli pun ikut diberhentikan dari
jabatan publiknya. Meskipun sebelumnya Machiavelli berusaha untuk tetap
19
Kasman Singodimejo dan Mohamad Saleh, Machiavelli, (Jakarta: Permata Jakarta,
1973), h. 7.
20
Ibid, h. 9.
21
bertahan, dengan meyakinkan keluarga Medici dengan pengalamannya sebagai
aparatus negara yang gemilang. Karena Machiavelli sendiri tidak memiliki sifat
penjilat ulung atau menurut ahli sejarah Dr. J.F. Oten Machiavelli ini disebut juga
doortrapte vleier21 .
Akhir dari jabatan Machiavelli sendiri tergolong buruk, karena sesudah dia
dipenjarakan, dia dituduh sebagai komplotan yang mencoba menggulingkan
pemerintah. Namun dia tetap tidak mengakui akan hal itu, dan juga dia tidak
terbukti, maka tokoh politik dan penulis ini akhirnya dibebaskan, tetapi
pembebasannya ini berupa pengasingan terhadapnya ke wilayah terpencil daerah
pertanian di San Casciano.
C. Karya Tulis
Niccolo Machiavelli adalah seorang politikus ulung, lihai, dengan
pandangan politik yang tajam. Tetapi karena kejatuhannya dari politik praktis
maka, dia menuangkan dan merealisasikan konsep dan keintelektuallannya dari
hasil pengalaman diplomasi, dan studi komparasinya di luar negri selama empat
belas tahun yaitu dalam bentuk tulisan. Ataupun kalau menurut Ahmad Suhelmi,
Machiavelli ketika menghadapi masa pengasingannya itu dia merasa memasuki
arena purbakala dengan mencoba berdialog dengan para philosuf dan politikus
pendahulunya dengan menanyakan kenapa strategi politik mereka seperti itu,
dengan menyerap dan menggeneralisasikannya sehingga terealisasikannya
beberapa tulisan darinya22, dimana tujuan penulisan literaturnya ini memiliki dua
tujuan.
21
J.F. Otten, Konsep Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 1963), h. 6.
Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 129.
22
22
Pertama, tokoh ini menginginkan dari tulisannya itu agar pemerintahan
Medici bisa mengelola negara dengan baik jauh dari korupsi, penindasaan
terhadap rakyat. Seorang Raja harus mementingkan kehidupan negaranya
dibandingkan individu dan keluarganya (nasionalis). Kedua, terlepas dari itu
Machiavelli pun adalah seorang manusia biasa yang menginginkan sebuah
kehormatan, dan jabatan. Sehingga penulisannya pun tak terlepas, bahwa dia
menginginkan kembali jabatan publik di era pemerintahan Medici.
Tetapi selain itu dia juga menulis karya-karya lain baik berupa komedi,
strategi perang, sejarah Florence dan karya-karya lain sampai tokoh ini akhirnya
meninggal dalam keadaan dikelilingi oleh literatur-literatur hasil karyanya di
pengasingan.
Kontribusi Niccolo Machiavelli dalam pemikiran politik sangatlah penting
dan berharga. Bahkan tokoh ini disebut-sebut sebagai bapa politik moderen yang
mengeluarkan kungkungan area politik dari wilayah kepausan Gereja. Khususnya
buku yang dia beri judul The Prince dan The Discourses atau bisa disebut sebagai
buku pedoman bernegara khususnya Florence. Tetapi jauh dari pemikiran
Machiavelli, justru literaturnya diacuhkan oleh penguasa masa itu, dan juga
dilarang penerbitannya oleh Gereja pada berikutnya, justru mendapat sambutan
hangat di era moderen. Maka amatlah penting untuk mengetahui apa substansi dan
relevansi dari The Prince dan The Discourses itu?
1. The Prince
The Prince yang terdiri dari 26 bab yang berisi beberapa pembahasan
tentang macam-macam pemerintahan, ketentaraan, posisi agama dalam negara,
23
mempertahankan dan melindungi kekuasaan, dan tatacara memilih aparatus
Negara23.
The Prince adalah sebuah literatur pembuka keran liberalisasi politik yang
bebas
dari
kungkungan
Gereja,
yang
isinya
menyangkut
bagaimana
memprtahankan, merebut, dan memperluas kekuasaan. Di mana asumsi-asumsi
yang lahir dari padanya adalah aktualisasi dari hasil riset pengalamannya selama
empat belas tahun dengan memformulasikannya dengan situasi dan kondisi Italia
yang hancur kala itu. Sehingga isi dari The Prince ini menggeneralisasikan
metode politik yang lihai, cerdik, penuh dengan strategi untuk mempertahankan
kekuasaan demi stabilitas Negara yang sedang mengalami titik rendah kehancurn,
yang penuh dengan penindasaan, kekuasaan Gereja yang ingin menghegemoni
Negara, korupsi yang merajalela. Sehingga tak heran bila isi dari The Prince yang
sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, karena memang isi dari
argumentasi Machiavelli ini ibarat penawar yang ditawarkannya bagi Italia
khususnya, dan umumnya dipakai juga oleh para pemimpin dunia.
Karya ini bisa disebut sebagai karya paling fenomenal yang ditulis oleh
seorang Machiavelli, menjadi sorotan, serta pertentangan para sejarahwan, kaum
intelektual, para politikus, dan akademisi. Dimana dari isi literatur ini
menggambarkan konsep realitas politik demi mempertahankan kekuasaan yang
ditelitinya secara komparatif anatara kondisi politik dulu dengan masa Italia yang
terpecah belah menjadi Negara kota waktu itu. Tidak sedikit orang yang membela
isi dari The Prince dan juga ada yang menyalahkannya, sampai-sampai disebutnya
tokoh ini sebagai bapak kejahatan politik. Namun yang paling penting isi dari The
23
Machiavelli, The Prince, h. xi
24
Prince ini Tidak seperti apa yang ditulis oleh para pemikikir sebelumnya, atau
pemikir yang sejamanan dengan Machiavelli, yang hanya menyandarkan idenya
secara dogmatisme berdasarkan penulisaan klasik yunani dan Romawi, tanpa
dikritisi dan ditafsirkan secara menyeluruh. Shingga bisa disebut para pemikir
yang sejaman dengan tokoh ini hanya melihat karya-karya klasik secara tekstual24.
Sedangkan penulis The Prince ini melihat Italia dan sejarah terdahulu
adalah dengan metode komparatif kritis. Karena didalamnya menjelaskan
berbagai
sejarah
pemerintahan
yang
dilakukan
oleh
raja-raja
dengan
membandingkan antara Raja yang memperoleh kemenangan, dengan Raja yang
mengalami kekalahan seperti yang diceritakan Machiavelli tentang kisah Duke of
Ferrara yang mampu bertahan dari serangan kaum Venesia25. Karena menurut
Machiavelli sendiri sejarah sebuah negara amat berguna untuk pelajaran bagi
seorang penguasa, untuk menjadi bahan komparatif seorang penguasa. agar dalam
memainkan perananannya dia harus mampu mengontrol Negara dengan baik,
meski harus berbuat yang amoral atau bersifat kikir, atau harus siap setiap saat
dengan menyelipkan senjata di dekatnya. Karena itu semua dilakukan hanyalah
demi keutuhan Negara.
Dalam menguasai Negara, si penguasa harus mengendalikan dalam
melakukan kekejaman dengan tidak melakukannya tiap hari dan siapapun
penguasa yang bergerak aktif dalam Negara atau diluar Negara harus siap dengan
24
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 250-251.
25
Machiavelli, The Prince, h. 37.
25
pisau ditangan, karena kita tidak tahu hal yang merugikan apa yang bakal
menimpa seorang raja dalam tindakan politiknya26.
Dari karyanya itu Machiavelli mengnginkan Florence menjadi Negara
yang kuat, sejahtra, dan aman dari penjajahan negara lain. Dan itu semua menurut
Machiavelli bisa di dapat dengan cara bagaimana seorang penguasa dalam
bersikap terhadap negaranya. Hal ini mengindikasikan bahwa The Prince telah
memberikan gambaran kepada para raja dalam sebuah Negara, sehingga dikenal
bahwa raja itu haruslah memiliki dua sifat seperti rubah dan seperti singa. karena
Rubah pandai bisa menghindar dari jebakan, dan singa memiliki kekuatan untuk
melawan,
bahkan
ditakuti.
Statmen
ini
bukan
berarti
Machiavelli
menganugrahkan buku kejahatan bagi seorang pangeran, tetapi maksud dari
karyanya ini adalah demi kepentingan stabilitas negaranya.
Seperti apa yang dia nyatakan dalam bukunya The Prince:
“Saya tahu setiap orang akan mengakui seorang penguasa patut
dipuji bila memiliki semua kualitas yang baik. Namun semua itu tidak bisa
dimiliki atau dijalankan karena kondisi manusia tidak memungkinkannya.
Perlu bahwa manusia harus cukup bijak untuk menghindari sifat-sifat
buruk yang bisa membuatnya kehilangan Negara. Namun bila tidak
mampu, sang pangeran bisa mengikuti dengan sedikit keberatan. Dan dia
tidak boleh keberatan melakukan sifat-sifat buruk itu, tanpa hal-hal yang
akan sulit untuk menyelamatkan negara. Karena bila orang menganggap
baik, akan ditemukan beberapa hal yang tampaknya baik, bila diikuti akan
menuju pada keruntuhan seseorang. Sebaliknya hal-hal yang tampak buruk
bisa memberikan keamanan dan kesejahtraan lebih besar27”.
Pemikiran etika dan kekuasaan yang sulit dipisahkan. Machiavelli
menekankan bahwa risetnya ini murni bertujuan menciptakan kestabilan
kekuasaan yang dimana etika hanyalah alat untuk mempertahankannya karena
maksud dari semuanya adalah memberlakukan peraturan yang perlu diandalakan
26
27
Machiavelli, The Prince, h. 77.
Ibid., h. 112.
26
oleh penguasa secara penuh, agar negara Italia bisa bersatu, dan tidak berpecah
belah. Pemisahan antara wilayah etika dan kekuasaan yang dilakukan Machiavelli
dalam karyanya ini, karena dorongan situasi Italia waktu itu yang berada dalam
posisi krisis, serta perpecahan yang melanda negara itu, dengan kondisi itu
Machiavelli ingin membebaskan Italia, dan mempersatukannya kembali. Dan ini
semua bisa didapatkan dengan cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan
oleh sang pangeran demi memajukan kepentingan negara dan rakyat. Metode
pertahanan kekuasaan yang dikenalkan Machiavelli ini masihlah relevan dengan
konteks politik kekuasaan yang dihadapi saat ini. Karyanya ini menempatkan dia
sebagai tokoh pakar politik kekuasaan atau disebut Max Lerner sebagai bapak
politik kekuasaan28.
Terlihat dari sekumpulan konsep yang ada didalamnya tokoh ini
memberikan agar para pembacanya sekumpulan prinsip atau kaidah nyata bahwa
seorang penguasa bila menginginkan keberhasilan dalam memenej negaranya
maka dia arus mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi, sehingga tidak
salah dalam bertindak, meskipun dengan berprilaku yang agak bejat asalkan yang
perlu digaris bawahi jangan sampai merebut hak kebanyakan rakyat, karena itu
bakal menjadikan rakyat tidak mendukungnya, karena rakyatlah yang akan selalu
mendukungnya asalakan jangan pernah menyakiti dan menindas rakyat, atau
harus diusahakan agar rakyat ini dijadiknnya sebagai teman29.
Tidak berhenti sampai disitu, selain strategi mempertahankan kekuasan,
merebut kekuasaan, atau menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan, buku
28
Max Lerner, Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses, (New York:
Moderen Library, 1950), h. 33.
29
Machiavelli, The Prince, h. 35.
27
The Prince ini juga dikenal sebagai buku paling kontroversial, The Prince adalah
sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar
Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersamasama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population
(Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler),
Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin),
dan buku-buku hebat lainnya30.
2. The Discourses
Karya ini disebut sebagai sinar bagi para pembaca The Prince, karena
dengan membacanya, pembaca The Prince tidak hanya mengtahui bahwa
Machiavelli adalah seorang par excellence. Tetapi The Discaurses merupakan
jawaban bahwa Machiavelli adalah seorang republikan, yang menginginkan
sebuah tatanan negara republik bagi kebaikan warga negaranya, sebagai demokrat
besar, dan sebagai pemikir yang memberi sumbangsih besar pada kebebasan
politik dari belenggu Gereja31. Dimana rakyat dan penguasanya saling
bekerjasama, sehingga terciptalah negara yang beretika.
Karya ini menggeneralisasikan tentang ungkapan Machiavelli yang dia
ketahui tentang sejarah politik khususnya tentang berdirinya sebuah republik dan
juga hasil pengalamannya yang telah dia pelajari dalam waktu yang lama. Karya
ini terbagi menjadi tiga buku; Buku Kesatu terdiri dari enam puluh bab berisi
tentang analisis urusan-urusan dalam negeri bangsa Romawi; Buku Kedua berisi
tiga puluh tiga bab berbicara tentang urusan-urusan militer dan luar negeri; Buku
30
Bruce Warner, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2 Januari
2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.
31
Henry, J. Filsafat Politik, h. 247.
28
Ketiga berisi empat puluh sembilan bab menjelaskan tentang sumbangan bagi
kebesaran Romawi yang diberikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
sejumlah warga negaranya yang terkemuka.
Judul asli karya ini adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio,
judul ini sesuai dengan bahasa asli Machiavelli sendiri yaitu Italia atau dalam
bahasa Inggris dikenal sebagai The Discourses on Livy, diskursus yang berarti
Sebagai seorang penasehat rezime pemerintahan republik yang saat itu tengah
menghadapi berbagai ancaman politik, Machiavelli memberikan nasehat-nasehat
realistik terhadap pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan ditengah
gempuran dan ancaman intrik-politik. Nasehat-nasehat inilah yang banyak
tertuang dalam risalahnya The Prince kemudian diinterpretasikan sebagai akar
pemikiran mazhab realis32. Sedangkan karya diskursusnya ini menampilkan wajah
yang berbeda dengan The Prince dalam konteks pandangannya untuk menjaga
spirit dari pemerintahan republik, mendorong gairah patriotisme dari warga
negara untuk mencintai dan membela tatanan politik Republik Roma yang
tertuang dalam karyanya The Discourses on Livy yang menempatkannya sebagai
filsuf besar pendiri mazhab pemikiran Civic Republicanism.
Dalam bukunya ini, justru Machiavelli terlihat sebagai seorang pemikir
politik yang mencita-citakan negara ideal yang penuh dengan kearifan,
kedamaian, dan kesejahtraan. Sehingga tokoh ini secara jelas menempatkan posisi
rakyat dalam perpolitikan negara yang dia sebut Republik, Machiavelli
menguraikan bahwa partisipasi warga dalam arena politik untuk menentukan yang
baik dalam kehidupan bersama adalah aktivitas termulia dari setiap warganegara.
32
Kasman Singodimejo, dan Mohammad Soleh, Machiavelli, h.13.
29
Dalam irama argumentatif yang positif, Machiavelli menuangkan argumentasinya,
bahwa tujuan dari tatanan politik republik adalah menghadirkan keadaban publik,
sehingga disinilah pemerintahan oleh rakyat lebih luhur daripada pemerintahan
monarkhi yang dipimpin oleh seorang raja. Selanjutnya dengan paparan negatif, ia
menegaskan bahwa keruntuhan kehidupan republik bermula ketika setiap
warganegara mulai meninggalkan dan mencibir kearifan (dalam pandangan politik
Machiavelli, kearifan merupakan sentral dari pemikiran politiknya) yang telah
menjadi tradisi dari para pendiri republik.
Oleh karena itu, maka pantaslah jika substansi dari The Discourses
memposisikan kehidupan publik
di Negara Republik memang menempati
wilayah yang utama bagi Machiavelli, tidak saja dalam pikirannya bahkan dalam
spiritualitasnya. Dalam karyanya ini, Machiavelli mengkritik berbagai bentukbentuk ekspresi keagamaan yang hanya mengejar asketisme penyelamatan diri.
Menurutnya spiritualistik seperti ini akan membawa individu pada karakter
egoistik yang tersamar dalam bentuk pemujaan kepada yang transendental. Bagi
Machiavelli, keutamaan pandangan keagamaan justru terletak pada ekspresi
kegairahan untuk menjaga keadaban diwilayah publik, kearifan warganegara
untuk hadir dalam wilayah politik. Dalam arti pentingnya posisi agama adalah
eksistensi fondasinya, dimana agama yang dipercaya oleh masyarakat dapat
menjadikan mereka beretika yang merupakan respon dari titah Ilahi dan para
Nabi33.
Karena sangat pentingnya etika dalam sebuah tatanan republik dalam
pandangan Machiavelli, sehingga ketika virtu (kearifan) telah ditinggalkan dan
33
Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h.53.
30
dianggap sebagai tradisi zaman lampau oleh warganegara, maka karakter yang
bersemai dalam tatanan republik diambang keruntuhan. Watak apakah yang
menjadi virus yang menyebar diantara warganegara pada senjakala republik.
Menjawab pertanyaan ini, Machiavelli memberikan tekanan pada karakter
koruptif yang menyebar baik dalam tindakan para elite pemimpin maupun
warganegara, setelah kearifan publik meredup sebagai pintu pembuka bagi
kehancuran republik34. Machiavelli memiliki pandangan menarik tentang korupsi
yang menarik untuk diulas, tokoh ini mengartikan korupsi dalam perspektif yang
luas sebagai tindakan apapun yang menempatkan kepentingan personal diatas
kepentingan publik. Perspektif Machiavelli tentang korupsi ini lebih luas dan
lebih radikal daripada pengertian modern tentang korupsi sebagai penyalahgunaan
kekuasaan atau menggunakan uang negara untuk kepentingan sendiri maupun
kepentingan orang lain.
34
73.
Iseult Honohan, Civic Republicanism: Negara Republik (Jakarta: Erlangga, 2002), h.
31
31
BAB III
DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN
A. Asal-usul Etika
Kajian etika memang sudah dibahas sejak zaman Yunani Kuno, yang di
mulai Aristoteles. Akan tetapi meskipun sudah dibahas, masalah etika ini masih
menjadi pertentangan. Karena istilah etika yang dikemukakan oleh para ahli
filsafat masih dalam tataran mengenai prinsip-prinsip moral dasar. Sehingga
Moore menyebutnya sebagai fallacy (kekeliruan)1.
Etika dan kekuasaan memang berasal dari kata yang berbeda. Dan kata ini
memiliki disiplin ilmu tersendiri. Namun krisis yang telah melanda dunia saat ini
salah satunya adalah tidak diindahkannya masalah etika di dalam segala urusan,
khususnya urusan kekuasaan. Problem Etika dan Kekuasaan sangat sensitif karena
dua unsur ini selalu melengkapi satu dengan yang lainnya. Banyak literature yang
menuliskan tentang etika, baik itu berupa etika politik, pilsafat etika, etika bisnis,
ataupun relativisme etika, bahkan tentang etika pemerintahan atau juga etika
kekuasaan.
Dengan mengglobalnya masalah etika, bukan berarti menambah kapasitas
manusia-manusia yang menjunjung tinggi etika. Justru masalah etika di dunia saat
ini semakin kompleks. Hal ini dikarenakan istilah etika sendiri kadang hanya
dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan, ini terlihat dari berbagai tindaktanduk para elit politik dalam merealisasikan politik praksisnya.
Etika dan kekuasaan sudah menjadi dua istilah identik dalam tatanan
kehidupan bernegara. Dimana etika menjadi salah satu mata pengontrol dalam
1
Mohammad Ali, Relativisme Etika, (Bandung: Serambi, 2005), h. 31.
32
merealisasikan kekuasaan. Namun cara pandang etika inilah yang justru banyak
perbedaan para philosuf dalam memberikan definisi istilah etika. Karena, etika
seringkali menjadi baik di sebuah komunitas, atau Negara, tetapi belum tentu
Negara lain menganggap baik hal tersebut2. Etika pun sering diartikan sebagai tata
kesopanan yang timbul dalam hati nurani manusia yang melahirkan prilaku baik
atau buruk dalam jati diri seseorang termasuk penguasa, yang sering juga disebut
peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar,
dalam bernegara3.
Masalah etika ini termasuk pada masalah relatif yang masuk pada ranah
normatif, dimana etika itu dipandang dari berbagai sudut yang kesemua sudut itu
memiliki argument tersendiri4. Menurut George Edward Moore bahwa teori etika
itu dipaparkan oleh masing-masing para ahli mulai dari Aristoteles sampai pada
David Hume hanya bersifat menerapkan kata etika yang disesuaikan dengan sifat
atauciri tertentu. Sehingga moore menyatakan hal itu dengan disebut fallacy
(kekeliruan)5. Jadi apabila etika ini disandingkan dengan kekuasaan maka dapat
dipastikan bahwa Moore melihatnya dari segi bagaimana sang penguasa itu
melakukan tindakan etika dalam arti kebaikan primer (simple)6
Cara pandang para pemikir pun berbeda dalam mengartikulasikan antara
etika dan kekuasaan, karena ada pihak yang berargumen bahwa dalam
pemerintahan sebuah Negara, etika yang dimaksud adalah kesopanan, kejujuran,
atau prilaku baik yang dituntut dalam berkuasa, teori ini senada dengan apa yang
2
3
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 12.
Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.
viii.
4
Mohammad Ali, Relativisme Etika, (Bandung: Serambi, 2005), h. 33.
Franz Magnis Suseno, Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006), h. 17.
6
Ibid., h. 19.
5
33
di tulis oleh Aristoteles, Plato, dan pemikir-pemikir Yunani lain. Dimana kala itu
mereka memandang Negara kota (city state) sedang dalam keadaan stabil. Pemikir
lainnya juga ada yang berpikir bahwa etika dalam sebuah Negara sudah di atur
oleh Tuhan yang diwahyukan lewat kitab-Nya kepada ummatnya, ini bisa dilihat
dari etika Negara yang di pegang oleh Paus , sperti yang ditulis Agustinus dalam
literaturnya “de civitate Dei”, yang diterjemahkan “The City of God”7.
Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua imu yang
terpisah8, namun selalu identik dalam hal praksis politik. Karena tokoh ini
menganggap etika sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan kekuasaan.
Asumsi etika dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. etika merupakan
bagian dari strategi kekuasaan, yang tidak selamanya terkait dengan persoalan
baik dan buruk namun bersifat realistik dan obyektif serta tidak universal, ia bisa
saja berubah-ubah setiap waktu tergantung pada kondisi masyarakat9. Penguasa
yang berlaku baik kepada rakyat dalam membangun tatanan sosial dan politik
yang baru terbentuk, dianggap sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Tujuannya
adalah agar legitimasi kekuasaan bisa tercapai.
Sementara pemikiran lain, seperti Russell dan Kant memposisikan etika
sebagai landasan berpikir penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Hal ini juga
berarti bahwa hubungan etika dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi,
namun kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral
tidak harus mengarah pada asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal,
yakni kemanusiaan.
7
Mushadi Mundiri, dkk., Membangun Negara Bermoral, (Semarang: Pustaka Rizki Putra
Semarang , 2004), h. 1.
8
Machiavelli, The Prince, h. 18.
9
Ibid., h. 19.
34
Konsep kekuasaan dan etika senantiasa mengemuka dalam kajian filsafat
politik, sehingga kekuasaan tetap memiliki kaitan dengan ketinggian budi pekerti
manusia10. Di satu sisi kekuasaan memiliki nilai ideal sebagai sarana perwujudan
aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, kekuasaan identik dengan praktek politik
penguasa yang melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan.
Kekuaasaan terlibat dalam perdebatan nilai dan praktek. Nilai ideal terkait dengan
tuntutan etika yang seharusnya dimiliki oleh penguasa. Sementara pada
prakteknya, kekuasaan menghadirkan fenomena yang sulit dan kompleks, riil dan
bergerak dalam kebutuhan pribadi sang penguasa sendiri.
Pemikiran Niccolo Machiavelli identik dengan kondisi tersebut. Situasi
sosial dan politik yang belum stabil menuntut penguasa untuk melakukan berbagai
upaya untuk melanggengkan kekuasaan, karena pada waktu itu Florence sedang
berada dalam ancaman kehancurannya11. Pilihannya adalah kekuasaan tanpa
stabilitas hanya menyisakan suasana tidak menentu bagi negara. Akibatnya
program program penguasa sulit
berjalan,
sementara kekuasaan
harus
mengakomodasikan berbagai perbedaan kepentingan dalam masyarakat.
Menurut tokoh ini nilai etika yang paling tinggi adalah Negara yang bijak
yang disebut olehnya dengan nama virtu, stabil, dan tindakan yang dilakukan
penguasa adalah untuk melindungi Negara, sehingga dia membenarkan tindakan
kejam seorang penguasa. Namun yang terpenting adalah sang penguasa berusaha
agar tidak dibenci12.
10
A. Rahman Zinuddin, Kekuasaan dan Negara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1992), h. 139.
11
Machiavelli, The Prince, h. 167.
12
Ibid., h. x.
35
Tentang kualitas-kualitas lain sebelum diangkat, saya katakan, setiap
penguasa harus bisa dianggap penuh belas kasih dan tidak kejam. Namun ia tidak
boleh menyalahgunakan rasa belas kasih itu. Cesar Borgia dianggap bengis,
namun kebengisannya membawa ketertiban bagi Romagna, menyatukannya dan
membawanya kedalam perdamaian13.
Maka dari itu untuk memahami substansi dan relevansi antara etika dan
kekuasaan ini diperlukan usaha mendalam, agar dalam menilai para tokoh filsafat
politik itu tidak terjebak pada sisi negatifnya, karena mereka pun memiliki
argumen yang kuat sehingga memaksa mereka untuk mengkolaburasikan definisi
istilah etika dan kekuasaan khususnya dalam ranah politik demi cita-cita
kesejahtraan dan kesetabilan Negara .
1. Definisi Etika
Kata ini berasal dari Yunani asalnya ethos, secara etimologis artinya
tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Secara jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dan kata ini lah yang menjadi titik
dasar lahirnya nama etika yang disebut oleh Aristoteles. Definisi etika pun sering
disamakan dengan moral, dimana kata moral ini berasal dari bahasa latin mos
(mores) artinya kebiasaan atau adat14.
Secara terminologis arti etika yang disuguhkan oleh Bertens ada tiga unsur
yaitu:
“Pertama, etika adalah nilai-nilai moral dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya jika seseorang menyebutkan etika
agama protestan, agama Budha, etika suku Indian, dan ini berlaku
berfungsi bagi individu maupun taraf social. Kedua, etika berarti asas atau
13
14
Ibid., h. 119.
K. Bertens, Etika, h. 4.
36
nilai moral disebut juga kode etik misalnya kode etik rumah sakit. Ketiga,
etika yaitu ilmu tentang baik dan buruk15”.
Jadi dapat dipandang bahwa K. Bertens, telah memberikan arti kata etika
ini yang menyangkut hal-hal aturan dalam sebuah wilayah yang memiliki nilainilai dan menjelaskan antara yang baik dan buruk sehingga jelas keadaannya,
yang dimana definisi ini didapatkannya dari pengertian yang berasal dari kamus
besar bahasa Indonesia.
Tokoh lain pun tidak jauh berbeda dengan definisi etika dalam kamus
besar bahasa Indonesia, seperti yang disadur oleh Ahmad Charris dia memberikan
definisi etika sebagai berikut. Etika
merupakan salah satu cabang dari ilmu
filsafat dengan memberikan keterangan antara baik dan buruknya sebuah tindakan
atau tingkah laku manusia16.
Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaranajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan berbagai ajaran moral. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi
menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek
kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip
setiap tindakan manusia.
Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsipprinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga
berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
15
16
Ibid., h. 6.
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 14.
37
Sedangkan Moore memberikan definisi etika bahwa etika bukan lah hal
yang hanya membahas mana baik dan buruk, karena pengertian itu menurutnya
masih terjebak pada pengertian keadaan fisik, pisikis, dan metafisik yang
dipengaruhi oleh pemahaman seseorang terhadap agama tertentu atau adat tertntu.
Menurutnya etika adalah merupakan sifat yang primer (simple) yang tidak lagi
terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur dan oleh karena itu juga tidak dapat
dianalisa17.
Dari kesemuanya definisi, maka jelas apa yang dikatakan Moore bahwa
para philosoph telah terjebak pada pengertian etika yang menurutnya masih keliru.
Dan ini tidak hanya terjadi dijaman dulu justru bila diperhatikan secara seksama,
maka tidak ada perbedaan dengan para tokoh etika saat ini. Ini terlihat dimana
definisinya masih saja menggunakan etika itu pada tataran normatif.
Padahal bila dicermati etika itu memiliki makna dan cakupan yang begitu
luas, sehingga kata-kata kasar itu bukan berarti tidak beretika, tetapi dalam
kondisi seperti apa kata itu digunakan. Dan bukan berarti seorang kepala Negara
itu tidak beretika ketika dia membunuh beberapa orang pemberontak, atau
melakukan peperangan demi kepentingan kesejahtraan rakyatnya. Tetapi etika itu
adalah bagaimana manusia itu menggunakan situasi dan kondisi demi kebaikan
dan kepentingan yang lebih utama.
Franz Maginis Suseno memberikan definisi yang lebih tepat dibandingkan
tokoh etika yang lainnya. Beliau memberikan definisi etika yaitu sebagai ilmu
yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang
amat fundamental, bagaimana saya harus hidup dan bertindak. Maka para manusia
17
Franz, Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20, h. 20.
38
akan belajar untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu18.
2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara
Kehidupan bernegara terjadi diawali karena adanya hubungan sosialisasi
manusia, dimana mereka merasa saling membutuhkan anatara satu dengan yang
lainnya. Tetapi karena sifat alamiah manusia tamak, jahat, dan haus akan
kekuasaan, seperti apa yang disebut oleh Thomas Hoobs sebagai selfish
(mementingkan diri sendiri)19.
Maka hal ini memberikan sebuah sinthesis bahwa perlulah adanya
peraturan untuk mengatur tata kehidupan manusia, atau barangkali yang disebut
Ibnu Khaldun bahwa manusia itu memiliki watak kehewanan yaitu menyerang
dan menindas yang lain,20 agar dalam komunikasi diantara mereka bisa terjalin
dengan baik, perlulah seorang pemimpin berkarakter yang mampu menjaga, dan
mengamankan manusia lain. Karena itu kepemimpinan demikian haruslah
diberikan oleh yang memegang kekuasaan dan mempunyai keibawaan, serta
kecerdasan emosional tinggi, sehingga mampu mencegah siapapun menyerang
dan menindas orang lain. Oleh karena itu, disinalah tempatnya dimana etika harus
mengambil posisi strategisnya dalam Negara.
Machiavelli pun tidak melupakan hal terpenting ini seperti apa yang
ditulisnya dalam The Prince:
“Sekarang kita bicara soal yang terpenting dari sifat-sifat. Seperti
yang disebutkan, penguasa harus menghindari hal-hal yang akan
18
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), h. 13.
19
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 310.
20
Charles Issawi. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu
Khaldun. (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), h. 137.
39
membuatnya dibenci atau dipandang rendah. Bila berhasil, berarti dia telah
melakukan bagiannya dan tidak menemui bahaya dalam sifat-sifat buruk
lain. Dia akan dibenci bila tamak/serakah dan merampas harta milik
warganya serta kaum wanita mereka yang mestinya tak boleh dlakukan.
Bila dia tidak menyerang harta milik atau kehormatan mereka, mereka
akan hidup senang21”.
Maka jelaslah dari pernyataan Machiavelli ini, tokoh ini sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam sebuah Negara, bahkan dia adalah
seorang yang sangat tidak membolehkan adanya korupsi. Terlepas dari apakah ini
strategi atau bukan, yang terpenting adalah substansi yang ada dalam ajarannya itu
adalah mengandung akan kebutuhan nilai-nilai etika untuk menegakan sebuah
Negara.
Perwujudan konsep etika adalah demi tegaknya sebuah kekuasaan Negara
yang sejahtara baik itu berbentuk republic yang didalamnya diberlakukan system
demokrasi, monarki, ataupun aristokrasi. Apalagi bila yang terjadi adalah
kebalkan dari system yang tiga tadi, yaitu dimana demokrasi menjadi mobokrasi,
monarki menjadi tirani, dan aristokrasi menjadi oligarki22. Sehingga menjadikan
Negara dalam situasi yang cheos, maka sangat urgenlah posisi etika didalamnya.
Menurut Paul Ricour hal ini bisa ilihat dari tiga pandangan23. Pertama, betapa
kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi.
Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral,
nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika
politik bisa berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak
21
Machiavelli, The Prince, h. 127.
Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, h. 51.
23
Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.
22
30.
40
adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati
dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan
pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita
duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan
yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian
yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak
mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan “perubahan harus konstitusional”,
menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
B. Asal-usul Kekuasaan
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan pernah bisa hidup secara
individual, namun manusia juga tidak bisa lepas dari sifat hewaninya yang sering
meramaikan dunia ini dengan pertumpahan darah, penindasan, tangisan, dan
mengembangkan kekacauan diantara mereka sendiri. Sehingga dari realitas inilah
maka manusia menempatkan akal pikirannya agar dalam proses kehidupan yang
saling membutuhkan ini, agar terjalin keharmonisan, kedamaian dan kesejahtraan
diantara mereka.
Ini semua bisa didapat dengan cara mengkoordinir, dan meminij
kehidupan manusia, dan disinilah posisi penting adanya seorang penguasa.
Dimana dengan adanya kekuasaan yang dipegang oleh seorang penguasa dengan
efektif, maka kehidupan manusia bisa dikontrol dengan baik24. Ibnu Taimiyah,
seorang tokoh politik Islam pernah berkata bahwa lebih baik dipimpin oleh
seorang penguasa yang jahat seribu tahun, dari pada tidak ada seorang penguasa
24
Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1977), h. 37.
41
didalamnya. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya kekuasaan yang dimiliki
seseorang dalam sebuah komunitas manusia.
Seorang tokoh politik Islam, Ibnu Khaldun pun mengakui akan adanya
eksistensi kekuasaan. Karena menurutnya kekuasaan adalah sesuatu hal yang
alamiah.
Kekuasaan Negara itu adalah sesuatu yang alami bagi manusia.
Sebagaimana telah kami jelaskan, manusia tidak mungkin hidup dan ada tanpa
berkumpul dan bekerjasama untuk menghasilkan makanan pokok dan kebutuhan
primer meraka25.
Tetapi yang menjadi permasalahan dunia saat ini adalah bagaimana
merealisasikan kekuasaan dalam sebuah Negara, dan harus seperti apa, agar
Negara itu berada pada posisi yang teratur, kekuasaan bisa bertahan, dan yang
paling penting bagaimana agar cita-cita kekuasaan ini bisa menstabilakan
kehidupan bernegara. Untuk itu maka perlulah diketahui mulai dari definisi
kekuasaan itu sendiri.
1. Definisi Kekuasaan
“Dalam pemerintahan mempunyai makna yang berbeda:
"kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk mempengaruhi
seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi
“kewenangan” ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan
hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi
memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati
tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada
aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya
dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat
memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati26”.
Definisi ini sedikitnya sudah dilaksanakan di era demokrasi saat ini. Tetapi
25
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 171.
Wikipedia, “Kekuasaan, artikel diakases pada
http://wikipedia.com/2011/01/05.
26
5
Januari
2011
dari
42
selain daripada itu para pakar politik dari jaman Yunani kuno sampai pada jaman
Renaisance pun memiliki konsep sendiri-sendiri meskipun pada intinya adalah
sama. Dimana kekuasaan itu memiliki unsur-unsur adanya penguasa, dan ada
yang dikuasai.
Menurut Prof. Miriam Budiarjo, kekuasaan adalah kewenangan yang
didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut
sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan
melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku27, atau Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi
pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
mempengaruhi. Weber memberikan definisi kekuasaan sebagai kemungkinan
seorang pelaku mewujudkan cita-citanya didalam sebuah komunitas manusia
dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan
kemungkinan itu28.
Dari definisi para tokoh diatas yang sudah gamblang, menurut seorong
pakar sosiolog moderen Dahrendorf masih terdapat beberapa kekurangan
didalamnya karena menurutnya kekuasaan adalah sesuatu hal yang jelas milik
kelompok, milik individu-individu daripada milik struktur sosial29.
Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan
27
28
Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 35.
Roderick Martin, sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h.
70.
29
Ibid., h. 71.
43
kekuatan baik dalam bentuk hukuman atau yang lainnya. Karena menurut Blau
sifat daripada kekuasaan ini adalah negatif.
Maka didapat dari sekian definisi, bahwa para pakar politik dan sosiologi
membrikan definisi hanya atas dasar kasat mata atau realitas yang tidak diuji
secara mendalam apa substansi dan asas dasar dari kekuasaan itu sendiri sehingga
kekuasaan ini terlihat sebagai suatu hal yang negatif30.
Maka dari itu, perlulah sekarang mengetahui apa definisi kekuasaan
menurut Machiavelli, tokoh ini memberikan definisi yang sarat dengan unsurunsur negatif menurut beberapa tokoh politik, bahkan dianggap sebagai bapa
kejahatan politik. Akan tetapi bila diambil substansi dari kedua karyanya The
Pprince dan The Discaurses, definisi yang selaras dan dicita-citakan Machiavelli
bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya,
harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang
tidak menyenangkan warganya. Tokoh ini mengusulkan, meski begitu untuk
merebut sesuatu negara, sang penakluk harus mengatur langkah kekejaman
sekaligus tetapi jangan dilakukannya tiap hari. Kelonggaran harus diberikan
sedikit demi sedikit sehingga rakyat bisa merasa senang31. Untuk mencapai
sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu
dan setia, Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari
penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan.
Menarik untuk dicatat, menurut Sendiantoro meskipun Machiavelli
menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan
30
31
Ibid.,h. 75.
Machiavelli, The Prince, h. 77.
44
sinis, dia sendiri seorang idealis, nasionalisme, dan seorang patriotisme32. Terlihat
dari bukunya the Discaurses dia menulis bahwa seorang penguasa itu harus
melakukan tindakan-tindakanya demi kestabilan negara. Atau moto menghalalkan
segala cara hanyalah sebuah ide dari kepalanya yang bertujuan agar negara tidak
dilanda kehancuran dan perpecahan.
Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan
usulnya seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di
jaman lampau, atau dari kejadian di Italia yang agak baruan. Cesare Borgia (yang
dipuji-puji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari
Machiavelli; malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya33.
Jadi jelaslah bahwa definisi kekuasaan adalah bagaimana seorang
penguasa atau kepala negara merealisasikan kekuasaannya sesuai dengan situasi
dan kondisi yang objektif, karena tida semua yang nampak itu adalah kekejaman
tetapi seperti apa yang dikatakan Machiavelli bahwa kekuasaan itu hanya
diperuntukan demi negara.
2. Mempertahankan Kekuasaan
Ada banyak cara dan metode yang digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan mulai dari cara-cara etis sampai kepada cara yang bengis dan kejam,
baik melalui kedok demokrasi, komunisme, sampai kepada kedok agamis. Karena
politik selalu mengajarkan bagaimana agar kekuasaan bisa langgeng.
Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat34, maka
jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui
32
Ibid., h. 12.
Ibid., h. 6.
34
Hendra, Filsafat Demokrasi, h. 33.
33
45
jalur partai politik. Partai-partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam
masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk
mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Itu adalah gambaran alam demokrasi
di era moderen. Terlepas dari realitas yang terjadi dalam alam politik dunia saat
ini, kekuasaan dalam konsep demokrasi adalah selalu ditangan rakyat.
Dalam buku “Benturan Peradaban” karya Huntington dijelaskan konsep
demokrasi yang digembor-gemborkan saat ini pun adalah upaya Barat untuk
menghegemoni dunia35. Jadi jelaslah apapun konsep politik yang telah dikenalkan
di dunia ini jelas-jelas semuanya mengarah pada cita-cita demi melanggengkan
kekuasaan.
Padahal sebelum era moderen berbagai teori kekuasaan telah dikenalkan
oleh para pilosuf politik, bagaimana agar kekuasaan itu bisa bertahan mulai dari
konsep republik yang dicita-citakan Aristoteles, teori atas dasar Tuhan yang
dikenalkan oleh Thomas Aquines, teori tangan besi yang dilakukan oleh para
diktator, sampai kepada konsep Negara ideal yang dicita-citakan Karl Marx.
Konsep diatas itu sebenarnya memiliki tujuan baik bila dicermati dari sisi
teori dan tujuan yang diinginkan oleh para pencetusnya. Namun ketika
dipraktekan oleh para penerusnya justru yang lahir adalah efek negatif seperti
teori Marx yang dipraktekan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung yang mana mereka
semua mengatasnamakan ingin menciptakan Negara Komunis yang dicita-citakan
Marx36.
Selain daripada itu, konsep Maciavelli tentang Sang Pangeran pun seperti
35
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia
(Yogyakarta: Qalam Press, 2003), hal. 9.
36
Dr. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi Revolusi, (Jakarta: Diadit Media,
2007), h. 29.
46
itu, artinya banyak para penguasa yang menggunakan konsepnya, tetapi justru
yang lahir dari ralisasi konsepnya adalah kejahatan, penindasaan, dan peperangan
antar Negara, bahkan didalam Negara itu sendiri.
Hal ini merupakan sifat alamiah manusia atau watak dari seseorang yang
bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau
kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa
dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya
kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi
atau golongannya. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun
selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan
bersifat negatif tersbut, tidak akan berlangsung lama karena tidak akan
mendapatkan dukungan sepenuhnya dari rakyatnya.
Oleh karena itu, apapun ideology politik yang diargumentasikan, dan
direalisasikn
oleh
mempertahankan
seorang
kekuasaan
politisi
yang
itu
mereka
semua
mengarah
pegang.
Akan
pada
ingin
tetapi dalam
mempertahankan kekusaan ini ada dua sisi berbeda yang dituju oleh para
penguasa. Pertama, memprtahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau
golongannya, dan kedua, mempertahankan kekuasan demi kestabilan dan
kesejahtraan negaranya.
C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan
Etika dan kekuasaan memang memiliki wilayah masing-masing dalam
konsepnya. Namun karena keduanya selalu bersentuhan dengan problem
kemanusiaan, sehingga pantas bila keduanya selalu bertemu dalam satu wilayah
dimana keduanya menjadi relasi dalam membanguan negara.
47
Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan demi
mendapatkan kekuasaan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk
kepada apa yang seharusnya. Diakui atau tidak dalam sebuah tatanan demokrasi
sekalipun dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala
cara, dan itu selaras dengan apa yang diajarkan oleh seorang Niccolo
Machiavelli37. Sehingga tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa politik
dapat terlepas dari etika. Pendapat ini seringkali disandarkan atas nama
Machiavelli,
yang dimana kecenderungan para politikus ini seringkali
menyalahkan tokoh ini, yang dimana menurut mereka Machiavelli telah
menuliskan konsep Negara yang menjauhkan diri dari tindakan-tindakan bodoh
(kejujuran, kebaikan, kebijaksaan, dan tindakan-tindakan terpuji lainnya). Berbeda
dengan para tokoh pendahulu dan yang sejaman dengannya, dimana mereka selalu
menjungjung kejujuran, kebaikan, dan sifat-sifat terpuji lainnya dalam kehidupan
bernegara38.
Sehingga Upaya itu diwujudkan oleh para pakar teoritisi, bahwa tujuan
etika politik adalah mengarahkan kepada pendidikan politik yang sehat antara
penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat harus mampu menjadi teladan dalam
upaya mensejahtrakan rakyatnya, menuju ke arah hidup baik, bersama dan untuk
orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun
institusi-institusi birokrasi yang adil39.
Dari definisi etika politik diatas membantu menganalisa korelasi antara
37
Satanly Bing, Tujuan Menghalalkan Segala Cara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h. 18.
38
Hendra Nurtjahjo, S.H., Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 25.
39
Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.
10.
48
tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur dalam sebuah
birokrasi
pemerintahan.
Penekanan
adanya
korelasi
ini
menghindarkan
pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual
perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Paul
Ricour mengandung tiga tuntutan40.
Pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, kedua, upaya
memperluas lingkup kebebasan, ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain”, dan
semua itu tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam
kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita
kebebasan, kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan.
Perwujudan
kebebasan
dengan
menghindarkan
warganegara
atau
kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara
mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah legitimasi
kekuasaan secara fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret
kebebassan41, sehingga bisa disebut democratic liberties dalam arti kebebasan
pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat,
dan sebagainya telah menjadi sebuah aturan konkrit dalam sebuah Negara.
Sehingga dalam lapangan yang sesungguhnya agar etika dan politik ini
menemukan titik sinthesisnya, menurut para pakar politik moderen harus
menggunakan sistem demokrasi, karena hanya demokrasilah yang memiliki
substansi-substansi kebebasan dalam kehidupan bernegara.
40
41
Hendra, Filsafat Demokrasi, h. 25.
Ibid., h. 20.
49
Semua itu memang benar adanya bahwa etika politik yang sehat dapat
menumbuhkan kebebasan demokrasi. Tetapi hal itu tidaklah selaras bila etika itu
diterapkan melulu dalam kondisi Negara yang memerlukan ketegasaan seorang
penguasanya, tidak dipungkiri bahwa Plato sendiri menyatakan bahwa dia tidak
mempercayai sistem demokrasi karena menurutnya justru yang menghancurkan
Athena adalah sistem demokrasi itu yang mengakibatkan lahirnya “mobokrasi
(kekacauan politik dimana kekuasaan menjadi rebutan banyak orang)”42.
Dan ini tidak berbeda jauh dengan konsep republic dalam The Discourses
dan ketegasan seorang pangeran atau penguasa dalam The Prince. Machiavelli
menawarkan konsepnya, dimana bila kondisi Negara stabil maka lebih baik
menggunakan buku The Discoursesnya, sedangkan apabila kondisi Negara seperti
dalam keadaan Italia dengan Negara-kotanya yang mengalami perpecahan dan
rebutan Negara lain, maka sebaiknya demi kesejahtraan dan kedamaian, serta
keamanaan negara dia menawarkan agar penguasa menggunakan The Prince.
Selanjutnya tidak salah bila Easton, dia adalah seorang pakar politik barat
menyatakan bahwa strategi politik yang dilakukan penguasa seharusnya bisa tepat
dan jitu agar dalam praksisnya tatacara nya ini bisa dilakukan dengan baik.
Menurut Easton “tidak ada alasan, mengapa ilmuwan politik harus membatasi diri
pada tugas memahami hubungan-hubungan politik sebagaimana adanya, tanpa
mempertanyakan hubungan politik yang lama atau menciptakan sintesa politik
baru43. Dan inilah sesungguhnya etika politik dalam sebuah Negara.
42
Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1988), h.
43
S. p. Varma, Teori Politik Moderen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 107-
51.
109.
50
Perwujudan etika dalam Negara dapat
terlihat
dari kedamaian,
kesejahtraan, dan keamanan warganegaranya dimana semua itu terealisasi dalam
strategi politik yang diterapkan oleh penguasanya. Karena pada akhirnya rakyat
hanya akan berpikir akan hasil akhir yang menimbulkan prestasi sang
penguasanya44. Sehingga dari itu semua didapat bahwa etika dan politik selalu
relevan dalam kehidupan bernegara, dan tugas dari seorang penguasa hanyalah
bagaimana agar dalam kondisi apapun keduanya bisa menjadi relasi yang baik
44
Machiavelli, The Prince, h. 119.
51
BAB IV
PEMBAHASAN MASALAH
Dari gambaran tiga bab sebelumnya, didapatlah bahwa antara etika dan
kekuasaan itu selalu saling melengkapi dalam ranah politik. Niccolo Machiavelli
pun mengenalkan kepada penguasa Medici bahwa seorang penguasa harus bisa
melihat kondisi Negaranya secara real, dengan selalu memperhatikan bagaimana
beretika, kemudian memilih system Negara yang ideal, kemudian berusaha untuk
menstabilkan kehidupan bernegara baik rakyat dan birokrasinya.
Tetapi pemahaman tentang Machiavelli ini sering dicerca dan di keritik
baik oleh para pendahulu, sezaman, ataupun oleh generasi sesudahnya, atau
bahkan di era moderen saat ini pun masih banyak orang yang melihat tokoh ini
dari sisi negatif, dan melupakan pelajaran berharga yang pernah ditulisnya baik
dalam The Discaurses ataupun The Prince1.
Kritik yang lebih langsung adalah tuduhan keberatan bahwa idenya itu
bukan khusus keluar dari kepalanya sendiri. Tidak orisinal, Ini sedikit banyak ada
benarnya juga. Machiavelli berulang kali menanyakan bahwa dia tidak
mengusulkan sesuatu yang baru melainkan sekedar menunjukkan teknik yang
telah pernah dilaksanakan oleh para Pangeran terdahulu dengan penuh sukses.
Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan usulnya
seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di jaman
lampau, atau dari kejadian di Italia yang agak baruan. Cesare Borgia (yang dipujipuji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari
Machiavelli, malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya.
1
Henry J. Filsafat Politik, h. 270.
52
A. Etika Persefektif Niccolo Machiavelli
Dalam hal etika, Machiavelli mengemukakan bahwa manusia itu terdiri
dari satu meskipun hidup pada setiap zaman dan tempat. Manusia tidak bisa
terlepas dari masa lalu dan masa depan, dan mereka pun akan menghadapi setiap
tantangan zaman. Setiap manusia pun memiliki sifat dan ambisius yang sama
dengan manusia lain. Mereka memiliki sifat egois, dendam, tipu muslihat, dan
takut.
Untuk itu disinilah peran penguasa harus mampu mengekang dan
mengontrol sifat-sifat tersebut dari rakyatnya, dan ini semua bisa dilakukan
dengan etika politik seorang penguasa yang memiliki ketegasan dan strategi yang
jitu sesuai dengan kondisi negaranya2. Sehingga dengan alasan ini lah, etika atau
moral dalam ranah politik tidak diartikan kejujuran, kesopanan, atau nilai-nilai
baik dalam hidup. Karena etika dalam arti seperti itu bila hanya akan melemahkan
Negara, maka itu semua tidak diperlukan akan keberadaannya.
Seperti telah dikemukukakan dalam bab sebelumnya bahwa istilah etika
yang relevan dalam kaca mata politik adalah membangun sebuah kesejahtraan
social, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu etika disini tidak hanya
didefinisikan sebagai tatakrama, kesopanan, adat istiadat, dan nilai-nilai yang
dijungjung tinggi oleh para ahli filsafat. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf
seperti Socrates dan Plato telah mengemukakan teori etika dan politik, yang sering
kali dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas.
Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan
2
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), h. 99.
53
politik diukur dari keutamaan moral3. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan
timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik
semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan
kualitas moral politikus, karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap
politikus jujur, maka suatu Negara akan makmur”. Dari sudut koherensi,
pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan.
Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari
kenyataan (hipotetis irealis). Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi
norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik, cenderung mandul dan
justru sikap etika yang normatif seperti inilah yang justru dapat menghancurkan
negara.
Dalam hal ini Machiavelli tidak setuju dengan teori Negara yang dibangun
oleh Aristoteles dan Plato dimana kesemuanya itu dianggap oleh Machiavelli
sebagai teori tidak riel (nyata). Sedangkan menurut Machiavelli bahwa seorang
raja harus melihat kenyataan dan kondisi politik dinegaranya, sehingga program
politiknya tidak hanya utopis belaka dengan teori-teori yang menjungjung tinggi
nilai-nilai etika yang subyektif4.
Dan ini selaras dengan konsep yang dikatakan Machiavelli bahwa masalah
etika dalam ranah politik, tidaklah sama dengan cara pandang para pemikir politik
Yunani kuno. Akan tetapi etika politik yang baik adalah dimana rakyatnya bisa
merasakan kesejahtraan, kedamaian dan keadilan, serta penguasa yang
mengontrol Negara, sehingga Negara menjadi kuat. Konsep Negara Machiavelli
adalah bukan hanya saja untuk mendapatkan kekuasaan semata, akan tetapi tujuan
3
4
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. .
Mohamad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 74.
54
yang lebih jauh lagi adalah, tokoh ini menginginkan agar para penguasa itu
mementingkan kehormatan dan kebahagian bangsanya5.
Tidak jarang pakar politik, sekaligus seorang politisi yang dialami begitu
sengit dicerca seperti dialami Machiavelli. Bertahun-tahun, dia dikutuk seperti
layaknya seorang turunan iblis (Old Nick), dan namanya digunakan sebagai
sinonim kepalsuan dan kelicikan6. Kritik-kritik yang dilempar kepada Machiavelli
atas dasar alasan moral tidaklah, tentu saja menunjukkan bahwa dia tidak
berpengaruh samasekali.
Bisa disebut para diktator dunia pun mengakui akan kehebatan
Machiavelli, hal ini pernah diakui secara langsung oleh seorang Benito Mussolini.
Dia adalah satu dari sedikit pemuka politik yang pernah memuji Machiavelli di
muka umum, karena itu tak meragukan lagi sejumlah besar tokoh-tokoh politik
terkemuka sudah pernah baca The Prince dengan cermat. Bahkan, Napoleon
senantiasa tidur di bantal yang di bawahnya terselip buku The Prince, begitu pula
orang bilang dilakukan oleh Hitler dan Stalin. Meski demikian, tidaklah tampak
jelas bahwa taktik Machiavelli lebih umum digunakan dalam politik modern
ketimbang di masa sebelum The Prince diterbitkan7.
Tetapi, jika efek, pikiran Machiavelli dalam praktek politik tidak begitu
jelas, pengaruhnya dalam teori politik tidaklah perlu diperdebatkan. Penulispenulis sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik
dengan etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik
5
6
Ibid., h. 75.
Joseph Losco dan Leonardo Wiliams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer,
h. 561.
7
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 248.
55
sepenuhnya
dalam
kaitan
manusiawi
dan
mengabaikan
pertimbangan-
pertimbangan moral dalam persepektif normatif, bahkan tokoh ini menegaskan
lebih lanjut bahwa Negara yang berdiri diatas prinsip-prinsip moral akan runtuh.
Suatu pemerintahan tidak mengenal ajaran moral, dan alangkah baiknya semua
aktivitas pemerintahan tidak berhubungan dengan moral. Moral sedikitpun tidak
berpengaruh bagi Negara8.
Beberapa hal yang diajarkan Machiavelli dengan konsep etikanya dalam
menguasi sebuah Negara atau kota, Masalah etika ini dijelaskan oleh Machiavelli
dalam literaturnya The Prince dan The Discaurses. Pertama, nasihat praktek
terpenting buat seorang kepala negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu
keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral
sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan9.
Kedua, Machiavelli pun memberi nasihat agar dalam beretika di depan
rakyat sang pangeran harus mampu mendapat dukungan penduduk, karena kalau
tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum
bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya,
maka dari itu penguasa harus bisa berbuat sesuatu untuk mengamankan
kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya.
Tokoh ini memberikan gambaran, meski begitu untuk merebut sesuatu
negara, sang pangeran bisa mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak
8
Maxey, Political Philoshophies, dalam Ali, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, h.
9
Machiavelli, The Prince, h. 73.
101.
56
perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit
sehingga mereka bisa merasa senang, tentram, dan memenangkan rakyatnya10.
Ketiga, Selain itu cara mencapai sukses, seorang pangeran yang bijak
harus bisa mengambil jalan untuk mendapatkan, serta mendengarkan nasihat dari
menteri-menteri yang mampu dan setia. Dan Machiavelli memperingatkan
pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak
dilakukan11.
Keempat, seorang penguasa harus menghindarkan diri dari korupsi, dan
begitupun para pembantunya. karena dengan korupsi Negara bisa mengalami
kehancuran dalam segala bidang baik itu hukum yang dapat diperjualbelikan,
kondisi politik menjadi tak menentu, rakyat sengsara, dan yang paling utama
adalah Negara tidak akan bertahan lama12.
Namun ironisnya justru para pakar politik yang menggaungkan etika dari
zaman ke zaman, seolah-olah telah lupa untuk membahas masalah korupsi, dan
cita-cita untuk menjadikan pemerintahan bersih (clean goferenment). Korupsi
dalam arti luas semakin merajalela, dan tak terkendali. padahal usaha-usaha
Negara dalam memberantas ini telah dicetuskan, akan tetapi selalu menemui
kebuntuan di tengah perjalanan, dan lagi-lagi hasilnya nol. Jadi tidak berlebihan
bila dikatakan bahwa usaha-usaha pemerintahan negra dengan system demokrasi,
atau monarki, dan yang lainnya hanyalah nyanyian belaka, dimana peraturanperaturan itu hanya selingan bersifat membodohi dan menghibur rakyat13. Jadi
10
Ibid., h. 78.
Ibid., h. 153.
12
Machiavelli, The Discaurses, h. 69.
13
Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995), h. xvi.
11
57
cara pandang seperti ini jauh sekali bila etika politisi yang hanya menginginkan
jabatan, dengan apa yang dicita-citakan Machiavelli.
Pada akhirnya manakah yang beretika dan bermoral dalam bingkai politik?
Machiavelli ataukah para philosuf dan politisi yang mendengungkan etika yang
humanis!
Adapun menurut Mohamad Irfan, Machiavelli menuliskan bahwa etika
seorang penguasa dalam memimpin sebuah negara akan bertahan apabila
menerapkan cara-cara berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan
mempertahankan kekuasaan; kedua, untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu
domba (divide et impera) adalah sah; dan ketiga, dalam dunia politik (yang
disamakan dengan kehidupan binatang buas ), yang kuat pasti dapat bertahan dan
menang14. Dan itu semua dilakukan hanya demi cintanya kepada Negara15.
Pergulatan antara etika dan kekuasaan dalam ranah politik akan semakin
sengit ketika Machiavelli menyuguhkan konsep yang sangat berlainan sekali
dengan para pendahulunya, serta jauh dari pengertian etika yang mereka maksud.
Akan tetapi justru dengan perbedaan inilah Machiavelli disebut-sebut sebagai
peletak fondasi pertama politik moderen yang real, dan diakui atau tidak realitas
politik yang digunakan oleh para politisi moderen bila, menginginkan
kelanggengan
kekuasaan mereka memakai cara-cara yang telah dituliskan
Machiavelli.
Bebrapa hal etika penguasa ala Machiavelli ini dikumpulkan dalam banyak
cara oleh tokoh ini dalam dua literature yaitu The Discaurses dan The Prince,
14
Mohamad Irfan, Beberapa Teori Kekuasaan Dan Pengaruhnya Oleh Para Pakar ,”
artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://mohamad.blog.ac.id/2010/12/12.
15
Machiavelli, The Discaurses, h. 447 .
58
seperti yang tertulis diatas, tetapi disini hanya akan dibahas dua konsep secara
gamblang.
1. Raja Harus Bisa Menyeimbangkan Antara Dibenci dan Dicintai
Kejam dan tegas merupakan dua kata yang berbeda, Machiavelli pun
menyarankan agar seorang penguasa itu bersifat tegas. Karena tokoh ini melarang
sekali seorang penguasa menindas rakyatnya, sehingga konsepnya ini bukanlah
menyerukan kepada kekejaman seorang penguasa. Machiavelli mengatakan
bahwa kekuasaan itu dipertahankannya dengan keberanian dan kebijakan
berbahaya. Tak bisa dikatakan baik bila membunuh orang-orang yang baik
padanya, menghiyanati teman tanpa keyakinan, tanpa kasihan, dan itu bukanlah
sebuah kemuliaan16.
Sedangkan
kekejaman
yang
dimaksud
Machiavelli
adalah
demi
melindungi rakyatnya, dari timbulnya kekacauan dalam Negara. Karena dengan
sikap ini rakyat akan setia dan Negara menjadi aman. Hal ini ditulis Machiavelli:
“Suatu peraturan bisa melukai seluruh komunitas, namun eksekusi
seorang penguasa hanya akan melukai individu-individu tertentu. Seorang
penguasa baru bisa menghindari reputasi bengus, namun Negara baru
selalu menghadapi bahaya. Seperti yang dikatakan Virgil lewat mulut
Dido; res dura, et regni novitas me talia cogunt moliri, et late fines
custode tuerri.
Namun dia harus waspada dalam mempercayai, dan bertindak, serta tak
boleh takut terhadap bayangannya sendiri. Ia juga harus tetap dalam sikap
yang terkendali dengan bijak dan kemanusiaan. Kepercayaan yang terlalu
besar akan membuatnya tak berhati-berhati, sedangkan ketakberanian
terlalu besar membuatnya toleran17”.
Dalam bab delapan belas yang berjudul cara bagaimana seorang Pangeran
memegang kepercayaannya. Di sini Machiavelli berkata, seorang penguasa yang
cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan
16
17
Machiavelli, The Prince, h. 75.
Ibid., h. 120.
59
dengan kepentingannya. Dia menambahkan, karena tidak ada dasar resmi yang
menyalahkan seorang Pangeran yang minta maaf karena dia tidak memenuhi
janjinya, karena manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhankebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu
akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu18. Sebagai hasil wajar
dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang Pangeran supaya senantiasa
waspada terhadap janji-janji orang lain.
Dari kedua literaturnya itu Machiavelli menegaskan bahwa keseimbangan
antara ditakuti dan dicintai ini, bukanlah berarti ditakuti itu seorang penguasa
menindas rakyatnya, akan tetapi maksud dari pada ditakuti ini adalah supaya tidak
ada yang membuat cheos negara, dan tidak ada kolonialisme yang berani masuk
Italia. Seorang penguasa, itu semua akan menghasilkan sinthesis dengan hasil
yang gemilang baik dari sisi kekuasaan, kesejahtraan, dan kesetabilan, serta
keamanan negara itu sendiri.
Machiavelli mengambil itu semua dari pelajaran-pelajaran sejarah Roma
khususnya yang dipimpin oleh beberapa pergantian. Karena itu etika yang
ditawarkannya bukan hanya Dari sisi humanisme, tapi bagaimana cara seorang
pengauasa itu bisa merealisasikan kekuasaan dengan ketegasan, ditakuti, dan
dicintai rakyat bahkan hartus bersikap seperti singa dan rubah karena itu semua
adalah demi keselamatan dan ketentraman negara itu sendiri.
Penguasa lebih baik ditakuti daripada dicintai, Machiavelli menulis,
Apakah lebih baik sang pangeran dicintai ataukah ditakuti, ataukah dia harus
ditakuti lebih daripada dicintai. Jawabannya adalah ini, bahwa di harus dicintai
18
Ibid., h. 126.
60
dan juda ditakuti, namun karena kedua hal ini sulit berjalan berdampingan, maka
lebih aman apabila sang raja lebih ditakuti daripada dicintai, apabila satu dari
kedua hal ini harus dimiliki. Kemudian dia melanjutkan, Karena seringkali
manusia secara umum disebut tidak tahu berterima kasih, munafik, tamak, takut
akan bahaya.
Selama penguasa memberikan keuntungan kepada rakyat, mereka adalah
milik penguasa itu sepenuhnya, rakyat akan memberikan darah mereka, harta
mereka, hidup mereka, dan anak-anak mereka, dan seperti yang saya katakan
sebelumnya, ketika tekanan dan bahaya mendekat, mereka memberontak.”
Machiavelli kembali menegaskan, “Manusia tidak segan-segan membela
penguasa yang mereka takuti daripada mereka cintai karena rasa cinta diikat
dengan rantai kewajiban, karena manusia pada dasarnya egois, maka pada saat
mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rantai tersebut akan putus,
namun rasa takut dipertahankan oleh hukuman-hukuman yang menakutkan yang
tidak pernah gagal. Akan tetapi, sang pangeran haruslah menjadikan dirinya
ditakuti dengan cara di mana apabila dia tidak dicintai maka dia tidak boleh
dibenci, karena rasa takut dan kebencian dapat berjalan bersamaan19.”
Konsep ini tertulis jelas dalam bab tujuh belas buku The Prince,
Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci
atau dicintai. Machiavelli menulis bahwa seorang penguasa
ialah orang
selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi lebih aman ditakuti
daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebab, cinta itu diikat oleh
kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu
19
Ibid., h. 120.
61
akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi takut didorong
oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah gagal20.
Penguasa wajib bertindak seperti rubah dan singa, Machiavelli menulis,
Oleh karena itu seseorang harus menjadi seekor rubah untuk mengenali
perangkap-perangkap, dan menjadi seekor singa untuk menakuti rubah. Mereka
yang berharap untuk menjadi singa saja tidak akan mengerti akan hal ini.
Dialnjutkan dengan, dan oleh karenanya seorang penguasa harus memiliki pikiran
yang fleksibel yang dapat berubah seperti angin, dan seperti yang ditunjukkan
oleh variasi-variasi keberuntungan, dan seperti yang saya katakan sebelumnya,
tidak menyimpang dari apa yang baik, apabila mungkin, namun dapat melakukan
kejahatan apabila diharuskan21.”
2. Bermartabat dan Memiliki Rasa Nasionalisme
The Prince mengungkapkan seorang pangeran yang tegas dan berani
melakukan tindakan menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan
dan kesetabilan Negara22. Akan tetapi berbeda dengan apa yang dituliskan
Machiavelli dalam The Discaurses, bahwa seorang pangeran harus berkarakter23.
Perbedaan ini bukanlah sebuah hal yang aneh, akan tetapi asumsi ini
mengindikasikan bahwa Machiavelli adalah seorang politikus yang brilian yang
mampu merealisasikan teorinya sesuei dengan kondisi Negara saat itu.
Seorang raja tidak perlu bermurah hati untuk membuat dirinya tersohor,
kecuali kalau dia mempertaruhkan dirinya, karena jika dilakukan menjadi rakus
20
Ibid., h. 121.
Ibid., h. 124.
22
Stanly Bing, What Would Machiavelli do; Tujuan Menghalalkan Segala Cara, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. xv.
23
F. Budi Hardiman, “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010, h. 6.
21
62
karena ingin menghindari diri dari kemiskinan, sehingga dia menjadi rakus dan
dibenci rakyatnya. Machiavelli selanjutnya menjelaskan, bahwa sikap kejam raja
sangat diperlukan seperti yang dilakukan Cesare Borgia, karena dengan
kekejamannya dia menjadikan kerajaan Roma lebih baik.
Dengan usaha memulihkan keamanan dan kekuatan rakyat. Jika
diperhatikan justru dia memiliki sikap belas kasih dari pada orang Florence yang
ingin tidak untuk disebutkan, tetapi membiarkan Viktoria dihancurleburkan. Oleh
karena itu, raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena
kekejamannya selama ia mempersatukan dan mewujudkan rakyat setia. Di
samping dia seorang raja yang memimpin pasukan tidak usah khawatir kalau
disebut kejam, karena tanpa sebutan itu tidak akan pernah dapat mempersatukan
dan mengatur pasukan selama itu, dengan cara tersebut justru ia semakin ditakuti
dan dihormati pasukannya. Dengan demikian seorang raja harus mengandalkan
apa yang ada padanya dan bukannya yang ada pada orang lain.
Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum
dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara
binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai
manusia manusia dan kadang sebagai binatang, tidak ubahnya seperti rubah dan
singa24. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk
yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji
pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak
berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama
mengetahui bagaimana dia bertindak jahat jika diperlukan.
24
Machiavelli, The Prince, h.
63
Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka
seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang
kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian
penghargaan kepada rakyat. Penguasa harus tetap menghargai para bangsawan,
tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat. Dengan demikian bukti-bukti
tersebut dapat digolongkan pada penafsiran bahwa Machiavelli digolongkan
sebagai orang yang jahat.
Dan hal yang sering dilupakan dari Machiavelli bahwa kebengisan yang
ada dalam teorinya itu tetap harus memiiki keadilan terhadap rakyat dengan
bersikap seperti itu membuat penguasa ditakuti dan dihormati, tetapi melakukan
korupsi terhadap negara atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat,
tidak beretika25.
Beberapa karakter penguasa yang diungkapkan tokoh ini, terdiri dari
beberapa unsur;
Pertama, Kebaikan moral yang terbesar adalah sebuah negara, yang bajik
(virtuous) dan stabil, dan tindakan-tindakan untuk melindungi negara, betapapun
kejamnya, dapat dibenarkan, yang sangat penting ialah bahwa ia melakukan
segala ssuatu yang perlu untuk mempertahankan kekuasaannya,
Kedua, Liberalitas dan kekikiran26, liberalitas akan membuat rakyat mulai
membenci dan kurang dihargai. seorang penguasa harus sedikit peduli terhadap
lebel kikir, bila dia tidak ingin merampok rakyatnya, bila ingin melindungi diri,
menghindari jadi miskin dan hina serta tidak terpaksa jadi tamak. Kekikiran salah
satu sifat yang memungkinkannya berkuasa. Lebih baik disebut kikir yang
25
26
F. Budi Hardiman, “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010, h. 6.
Machiavelli, The Prince, h. 115.
64
menimbulkan malu tanpa dibenci daripada disebut tamak yang juga menimbulkan
aib dan kebencian27,
Ketiga, It’s better feared than loved28. Sulit untuk dibenci dan dicintai sekaligus,
lebih aman untuk ditakuti daripada dicintai. Karena jika takut rakyat akan
menawarkan kehidupan, darah, anak-anak dan harta milik mereka. Dan jika
pemerintah dicintai rakyatnya, rakyat akan selalu setia kepada pemerintahnya,
Namun tidak menutup kemungkinan juga bila seorang penguasa terlalu dekat,
mereka akan memberontak. Tidak boleh keberatan dianggap kejam oleh
tentaranya, karena tanpa reputasi ini dia tidak akan bisa membuat tentaranya tetap
memiliki solidaritas dan melaksanakan tugas dengan baik.
Keempat, penguasa tidak boleh mengambil harta milik rakyatnya. Karena mereka
lebih mudah melupakan kematian ayah atau anaknya daripada warisan mereka29.
Selain daripada memiliki martabat, seorang penguasa menurut tokoh ini
harus memiliki rasa nasionalisme. Karena dengan sifat ini Negara bisa menjadi
kuat, dan tidak lemah. Rasa nasionalisme ini dapat ditunjukan Machiavelli,
melalui seorang penguasa,
diantaranya penguasa berusaha
menciptakan
perdamaian dalam negerinya30, tidak memprioritaskan keuntungan pribadinya31,
menjadikan rakyat bersatu dalam satu integritas Negara32.
Virtue is not equa with moral virtue penguasa patut dipuji jika memiliki
kualitas yang baik, namun semua kualitas tidak bisa dijalankan karena
27
Ibid., h. 118.
Ibid., h. 119.
29
Ibid., h. 121.
30
Machiavelli, The Discaurses, h. 414.
31
Ibid., h. 292.
32
Ibid., h. 166.
28
65
keterbatasan manusia33. Bahwa penguasa harus bijak, yang memerintah demi
kebaikan umum bukan untuk kepentingan pribadi, atau keturunannya, melainkan
semua
tindakannya
demi
kejayaan
negeri.
Dan
tidak
menyerahkan
kepemimpinannya secara turun temurun (diwariskan), karena manusia cenderung
melakukan kejahatan dari pada perbuatan baik, sehingga memungkinkan
pewarisnya memakai nya demi ambisi pribadinya.
Machiavelli memiliki argumentasi bahwa untuk menyeimbangkan itu
semua seorang penguasa tidak boleh merasa bersalah akan kejahatan yang
dilakukannya, karena itu semua bertujuan untuk menyelamatkan negara34. Disini
terlihat bahwa Machiavelli adalah seorang nasionalis, yang menganjurkan para
penguasa untuk mencintai negaranya.
B. Kekuasaan Persepektif Niccolo Machiavelli
Citra Machiavelli dalam pendapat umum adalah sebagai tokoh politikus
yang tidak bermoral. Hal itu hanya didasarkan pada alasan-alasan yang
mengatakan bahwa dia adalah guru yang jahat.
Sebenarnya bahwa apa yang ditulisnya sesungguhnya ingin memberikan
pemikirannya dari hasil pengalaman serta pengamatannya dalam menganalisa
negara, sehingga dia membuat suatu formula yang mana diantaranya adalah The
Prince dan The Discaurses dalam memandang negara secara real. Dimana tokoh
ini melihat kondisi politik ketatanegaraan Italia yang pada waktu itu dalam
keadaan labil, serta banyak penguasa, dan birokrasinya yang korup dan rakus akan
duniawi.
33
34
Ibid., h. 41.
Machiavelli, The Prince., h. 113.
66
Maka dari itu dalam memandang Machiavelli, terhadap asumsinya tentang
kekuasaan ada dua hal; pertama dilihat dari karyanya The Prince yang banyak
dibaca oleh banyak orang dengan asumsi jelek terhadap Machiavelli, kedua
melihat Machiavelli dari The Discaurses, yang mana didalamnya dijelaskan
tentang tatacara mengelola negara mulai dari tindakan penguasa terhadap posisi
agama, sistem negara republik, moral seorang penguasa, ketentaraan, masalah
korupsi, dll.
1. Metode Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan
Dalam mengatur strategi merebut kekuasaan sebuah Negara dan
memperthankannya semua itu bukanlah semata-mata untuk kepentingan diri
sendiri, akan tetapi itu semua adalah untuk kehormatan dan kesejahtraan Negara,
itulah prinsip Machiavelli35.
Ada beberapa hal yang diungkapkan Machiavelli kepada seorang penguasa
dalam merebut dan mempertahankan Negara. Seorang penguasa harus respect
terhadap situasi dan kondisi Negaranya. Jangan sampai seorang penguasa
melakukan tindakan yang salah dalam mengambil tindakan politik. Dan dia harus
memperhatikan hal-hal berikut ini; bagaimana posisi agama, memperhatikan
masalah korupsi, serta pentingnya tentara dalam Negara, dan bagaimana memilih
apparatus Negara.
1.1. Posisi Agama dalam Negara
Kerajaan Gereja yang dituliskan Machiavelli adalah merupakan contoh
yang menyebabkan Machiavelli tidak suka terhadap Gereja. Tokoh ini menulis
bahwa para penguasa Gereja mendominasi kehidupan Negara dan rakyat,
35
Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 75.
67
meskipun secara formal Negara itu adalah dibawah seorang pangeran. Rakyat
tidak marah ataupun tersinggung, dan tidak berpikir kerajaan-kerajaan ini aman
dan bahagia. Namun saat mengalami bahaya besar, Machiavelli menulis;
Bahwa ini adalah kerajaan yang dipelihara Tuhan, dan menurut dia
percuma membahasnya36.
Apabila melihat sejarah berikutnya maka akan terbuktilah apa yang
ditakuti oleh Machiavelli bahwa bila Negara dipegang oleh Gereja maka Negara
itu akan menemui kehancurannya seperti yang terjadi secara meluas di daratan
Eropa. Bahkan kehancuran Eropa ini disebut sebagai the dark ages37.
Akan tetapi demi memenuhi akan kebutuhan rakyat yang tidak terlepas
dari agama, maka Machiavelli menyarankan agar kebebasan dalam Negara tetap
dijaga. Agar rakyat tidak memberontak, oleh karena itu Machiavelli menyatakan
agar agama yang dipercaya oleh rakyat ini dimanfaatkan, demi keamanan negara
guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat.
Salah satu untuk memenuhi kebebasan rakyat itu adalah membiarkan,
bahkan harus menghormati, dan menjaga tradisi kepercayaan agama yang dianut
oleh mereka. Karena banyak rakyat yang memberontak terhadap penguasanya
akibat dari agama.
Meskipun ada indikasi bahwa Machiavelli adalah seorang yang anti
terhadap agama, akan tetapi menurutnya justru seorang penguasa harus mampu
memanfaatkan agama yang diyakini rakyat, agar rakyat selalu setia dan rela mati
demi Negara dan penguasa itu sendiri.
36
37
Machiavelli, The Prince, h. 89.
Umar Abdullah, Kapitalisme; The Stanic Ideology, h. 15.
68
Peran agama amat begitu penting dalam sebuah Negara. Agama banyak
membantu dalam memimpin angkatan bersenjata, menyemangati rakyat, membuat
rakyat tetap setia terhadap penguasanya, dan menyingkirkan para penjahat dari
Negara. Dengan tidak adanya agama maka sulit untuk membentuk dan
mengontrol angkatan bersenjata38.
Penguasa Roma lebih berutang kepada Romulus atau agama Numa saya
(Machiavelli) percaya bahwa Numa paling mudah akan menjadi pilihan pertama,
karena bila terdapat agama maka mudah untuk membuat angkatan bersenjata39.
Oleh karena itu untuk mempertahankan kekuasaan, agama harus tunduk
kepada Negara. Agama harus mendukung lembaga-lembaga public, agama harus
menjadi sarana untuk meningkatkan samangat patriotisme. Nasionalisme harus
mengantikan peranan iman dalam kerangka cita-cita religius. Lembaga-lembaga
agama hanya sarana-sarana atau alat-alat yang bisa dimamfaatkan untuk menjaga
tata tertib yang berlaku.
1.2. Penguasa dan Korupsi
Korupsi adalah masalah dalam sebuah Negara yang paling penting bagi
seorang penguasa. Korupsi muncul didalam sebuah masyarakat yang mengalami
degradasi social, politik, dan mementingkan diri sendiri yang mengakibatkan
sebuah Negara menjadi bobrok dan hancur40. Korupsi dapat saja membiadab bila
struktu politik, ekonomi, social mengalami kebuntuan birokrasi41.
Bahkan korupsi juga salah satu yang menjadikan seorang penguasa hilang
martabatnya. Karena dengan mudahnya ekses kearah penyuapan adalah sama saja
39
Machiavelli, The Discaurses, h. 50.
Niccolo Machiavelli, The Art of War, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002), h. 55.
41
Mansyur Sema, Negara dan Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 195.
40
69
mengambil kas rakyat secara sistemik, padahal dengan menjul keputusan seorang
penguasa menjadi olok-olok para penyogok dan penjilat. Politik pun menjadi
mangsa pasar kekuasaan, maka sudah tidak ada harga diri dalam diri seorang
penguasa itu.
Machiavelli melihat problem korupsi ini sebagai suatu hal yang
mengakibatkan Negara ambruk, dan dengan segera menemu kehancurannya.
Korupsi disebabkan ketidakmampuan seseorang dalam memimpin sebuah
kehidupan bernegra yang bebas. Dan jika seorang penguasa ingin menyeleseikan
maslah ini, penguasa ini harus mampu memakai ukuran-ukuran dramatis, dimana
ini hanya bisa dilakukan oleh seorang penguasa saja, tidak perlu banyak orang
atau instansi agar dalam pelaksanaannya bisa efektif42.
Dan disinilah posisi ketegasan dengan mengenyampingkan etika dan
moralitas dalam arti normatif, demi menghancurkan tatan korupsi dalam sebuah
Negara yang sudah menjamur dalam birokrasi pemerintahan. Untuk membenahi
itu semua, tidak cukup jika hanya memakai hukum karena metode-metode hukum
tidak berguna dalam kondisi seperti itu. Maka diperlukan cara-cara lain, cara-cara
itu adalah, cara-cara luar biasa, seperti kekerasan atau kekuatan, sebelum semua
terjadi dan menghancurkan Negara, hal ini harus ditangani sendiri oleh
penguasa43.
1.3. Mengelola Tentara
Melihat situasi Florence yang kacau dan berada dalam penjajahan dari
Negara lain menyebabkan carut-marutnya politik, ekonomi, dan hukum. Sehingga
untuk menjaga itu semua Italia memerlukan pasukan yang siap dan rela
42
43
Machiavelli, The Discaurses, h. 71.
Ibid., h. 75.
70
memperjuangkan negaranya. Dan Machiavelli menegaskan bahwa jangan pernah
mengandalkan tentara bayaran karena sikap tentara bayaran itu pengecut, rakus,
dan sedikitpun tidak memiliki rasa loyalitas44. Maka untuk membangun tentara itu
perlulah seorang penguasa yang pandai.
Penguasa yang bijak adalah mereka yang memilih rakyatnya sendiri
sebagai tentara, dengan membentuk sebuah pasukan dalam negaranya. Dan inilah
hal yang paling benar, karena jika tidak ada pasukan tidak menutup kemungkinan
Negara itu ditindas oleh Negara lain seperti halnya di Negara Tullus, dan Italia.
Dan itu bukanlah kesalahan alam atau kelemahan rakyat, melainkan karena
kesalahan penguasa itu sendiri. Itu semua harus dipelajari oleh seorang penguasa
yang menginginkan Negaranya bertahan dan aman45.
Maka seorang pemimpin harus mengetahui seni berperang. Keburukan
yang disebabkan bila dia tidak bersenjata adalah membawa sang penguasa dalam
tidak keberdayaan. Hal yang harus dihindari oleh penguasa. Seorang penguasa
yang mengabaikan masalah militer tidak akan dihormati dan dipercaya
pasukannya46. Pengetahuan akan perang bermanfaat dalam tiga hal; pertama,
orang belajar mengenal suatu negara dan bisa melihat lebih baik bagaimana
mempertahankannya. Kedua, bekal pengetahuan dan pengalaman dari satu
wilayah bisa membantu seseorang mudah memahami wilayah lain yang mungkin
perlu diobservasi. Ketiga, mempertahankan Negara yang dibangun oleh penguasa
itu dari serangan musuh.
44
Machiavelli, The Prince., h. 94.
Machiavelli, The Discaurses, h. 80.
46
Niccolo, The Art Of War, h. 49.
45
71
Penguasa harus memiliki kemampuan ini karena hal ini penting untuk
mengajarkan
cara
mencari
musuh,
memimpin
pasukan,
merencanakan
pertempuran dan mengepung kota-kota. Penguasa harus membaca sejarah dan
mempelajari tindakan tindakan tokoh terkenal untuk meniru kemenangan dan
menghindari kekalahan47.
Hukum yang baik, dan persenjataan yang baik Jika negara tidak
dipersenjatai dengan baik maka tidak akan ada hukum yang baik dan sebaliknya.
Senjata bisa berupa miliknya sendiri, tentara bantuan asing, atau tentara bayaran.
Tentara bayaran dan bantuan asing tak berguna dan berbahaya. Negara tak akan
kokoh, karena tentara-tentara tersebut ambisius, tak bersatu, tak disiplin, tak setia,
berani hanya di kalangan sendiri namun pengecut di kalangan musuh. Mereka tak
punya cinta dan motif lain untuk bertempur selain upah yang tidak akan pernah
cukup untuk membuat mereka rela mengorbankan nyawanya demi Negara, dan
kabur saat perang tiba48.
Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah
suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan
tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya, negara
yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah
dan berbahaya.
1.4. Memilih Aparatus Negara
Aparatus Negara merupakan salah satu elemen penyokong berdiri
tangguhnya Negara, sehingga pantas bila Machiavelli membahas secara khusus
dalam The Prince tentang masalah para pembantu Negara ini, dalam bab 22 dan
47
48
Ibid., h. 115.
Machiavelli, The Prince, h. 94.
72
23. Tokoh ini menyeleksi bagaimana memilih para pembantu Negara dan menolak
para penjilat.
Rakyat akan melihat penguasa bijak dimulai dari bagaimana pemimpin itu
memilih menteri-menterinya. Apabila seorang pemimpin salah memilih para
pembantunya maka, itu bisa dipastikan tidak bijak oleh rakyatnya, dan begitupun
sebaliknya. Karena kesalahan pertama penguasa dalam sebuah Negara yang
dilihat oleh rakyatnya adalah cara memilih para menterinya49.
Ada beberapa hal harus diperhatikan dalam memilih menteri; pertama,
menteri itu memperhatikan dan selalu berpikir untuk kepentingan negaranya,
bukan mendahului kepentingan dirinya. Kedua, memikirkan akan kepentingan
penguasanya. Ketiga, jangan memilih menteri yang suka menjilat, karena meeka
cenderung rakus, dan berhianat.
Selain itu agar seorang menteri tetap setia kepada penguasa dan negaranya,
seorang pemimpin harus selalu memperhatikan, menghormati, dan selalu
mendengarkan pendapat dan bermusyawarah dengan mereka, dan memberikan
kebebasan berbicara bagi mereka, namuntentang hal-hal yang ditanya oleh
penguasa itu. Agar mereka merasa aman dan tidak takut kehilangan hartanya,
maka penguasa pun harus memperhatikan hal itu. Karena itu akan menambah
ksetian para menteri terhadap pemimpinnya50.
C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara
Begitu gamblang apa yang diungkapkan Machiavelli tentang republik.
Sehingga tokoh ini pun menuliskannya dalam dua karyanya baik dalam The
Prince dan The Discaurses. Akan tetapi dari kedua literaturnya itu, pandangan
49
50
Ibid., h. 151.
Ibid., h. 153.
73
akan republic dan monarki memiliki perbedaan dalam The Prince menunjukan
bahwa Machiavelli mempengaruhi pembacanya agar menerapkan system
monarki, akan tetapi dalam The Discaurses, tokoh ini lebih memilih system
republic yang menurutnya itulah bentuk ideal sebuah Negara.
Hal ini disebabkan karena cara pandang akan kondisi politik sebuah
Negara yang dilakukan oleh Machiavelli, dimana dia menganalisis bahwa Negara
yang damai lebih baik diterapkan system republic, dan bila Negara dalam kondisi
cheos dan terindikasi akan pecah maka system yang baik adalah monarki.
1. Macam-macam Republik
Machiavelli menggambarkan macam-macam sistem kekuasaan dalam
sebuah republik menjadi enam bagian51, diantaranya tiga bagian berhaluan baik,
dan tiga bagian lagi bersifat meruksak negara, yang merupakan efek dari
kegagalan penguasa dalam menerapkan sistem pertama yang dipakainya.
Pertama sistem monarki, bila sistem ini gagal justru akan melahirkan
tirani. Kedua, sistem aristokrasi, bila gagal maka epeknya adalah melahirkan
sistem oligarki. Ketiga, sistem demokrasi, bila sistem ini gagal maka akan
melahirkan mobokrasi artinya rakyat yang dibebaskan untuk mengeluarkan
aspirsinya justru saling bertolak belakang anatara rakyat dengan rakyat, dan
dengan penguasa dan birokrasinya52.
Pertama, monarki Jenis kekuasaan ini berpusat pada satu orang sebagai
pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasan tersebut umumnya dikenal sebagai
raja. Oleh karena itu, jenis pemerintahan ini biasanya berbentuk kerajaan. Dalam
51
52
51.
Machiavelli, The Discaurses, h. 12.
Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1988), h.
74
praktiknya, raja memegang penuh kendali negara. Tetapi, di era sekarang model
pemerintahan ini biasanya diawasi oleh parlemen seperti di Inggris, Jepang,
Belanda.
Sistem monarki dapat dibagi menjadi dua, yakni monarki absolut dan
monarki konstitusional. Monarki absolut berarti kepala negara dan pemerintahan
dipegang penuh oleh raja. Tidak ada sistem pemilihan perdana menteri dan juga
tidak ada sistem partai politik dalam jalannya pemerintahan. Salah satu negara
yang masih menjalankan sistem pemerintahan ini adalah Saudi Arabia. Bentuk
monarki konstitusional terjadi ketika raja berbagi kekuasaan dengan perdana
menteri. Artinya, raja bertindak sebagai kepala negara dan perdana menteri
bertindak sebagai kepala pemerintahan.
2. Monarki diterapkan dalam Situsi Florence yang Kacau
Namun jika dikaitkan dengan kondisi pada saat Machiavelli ada yakni
suatu kondisi dimana keadaan politik, social, ekonomi, dan hukum di Florence
sangatlah kacau dan tidak relevan bila sistem republic diterapkan saat itu, dan
bermentalitas kedaulatan hukum. Karena itu, Machiavelli menuntut agar
masyarakat terlebih dahulu ditata oleh penguasa dengan tangan besi.
Oleh sebab itulah Machiavelli mempermaklumkan bahwa penguasa harus
membebaskan diri dari ikatan moralitas tradisional, dan tidak boleh ragu
mengambil segala tindakan yang perlu untuk menumpas segala pihak yang
membuat kekacauan, tidak tertib, korup, licik, egois atau yang mengancam
kekuasaan.
Bab lima belas Machiavelli memaparkan bagaimana sebuah sistem
monarki diterapkan untuk Florence, dalam buku The Prince sebenarnya
75
Machiavelli menginginkan adanya kesatuan utuh di Italia yang sedang kacau
balau53. Dan cara yang sesuai pada waktu itu adalah dengan teori penguasa
tersebut. Tidak ada cara lain, begitulah Machiavelli beranggapan.
Masyarakat Italia masa Machiavelli, adalah masyarakat yang miskin
solidaritas antar kota. Masing-masing ingin menjadi pemimpin yang lainnya.
Masyarakat yang belum tertata dan kacau balau seperti itu, jelas tidak akan
mampu mewujudkan suatu negara republik54. Hanya dengan menjadikan raja atau
penguasa sebagai pemaksa, maka Italia baru dapat dipersatukan.
Maka perlu dilihat bahwa konsep penguasa ini merupakan perintis
terbentuknya negara republik. Jadi antara The Prince dan The Discaurses tidak
ada kontradiksi. Yang ada adalah sebuah rantai yang saling terkait erat. Satu
negara republik dapat muncul apabila masyarakatnya sudah teratur, telah siap
dengan kesadaran untuk berrepublik. Dengan demikian tujuan utama Machiaveli
untuk mempersatukan Italia hanya dapat diwujudkan dengan sistem monarki.
Bahwa Machiavelli tidak sejahat yang dipikirkan oleh para pemikir
politik, hal ini didasarkan atas bukti-bukti di dalam buku The Prince, antara lain:
Mengenai kekejaman, menurut Machiavelli dapat dilakukan dengan cara yang
baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa digunakan dengan baik jika hal tersebut
dilakukan sekali, demi keselamatan seseorang atau negara. Oleh karena dengan
cara itu kekuasaannya akan bertahan lama. Walaupun penguasa mengalami
kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena kebijaksanaan yang telah ditunjukkan
raja pada rakyatnya. Kebaikan raja tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang
tidak tulus atau hanya sebatas.
53
54
Machiavelli, The Prince, h. 112.
Ibid., h. 5.
76
Contohnya seperti karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis
yang dikemukakan Machiavelli adalah untuk memastikan keamanan, namun
keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan.
Inilah batasan dari aturan dari monarki, bahkan untuk kerajaan yang paling baik,
tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib55.
3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Sebuah Negara
Meskipun dikenal dengan kekejamannya, Machiavelli menuturkan bahwa
dalam Negara yang aman dan damai maka system terbaik yang diterapkan dalam
Negara itu adalah republic. Karena dengan republic, Negara akan menjadi
sempurna, dan republic ini hanya bisa dibangun apabila ada kerjasama atau
penyatuan antara rakyat dan birokrasi pemerintahannya dalam situasi yang
damai56.
Ini dicontohkan Machiavelli dalam ruang politik Roma, ketika di pegang
oleh Horatii yang berjasa pada republic. Namun ketika dia diketahui telah
membunuh maka Horotii sang pangeran itu di hukum seumur hidup. Ini bukan
berarti rakyat melupakan atas jasanya, akan tetapi kehati-hatian dalam sebuah
republic yang tertata dengan rapih adalah tidak pernah membatalkan hukuman
kepada warganya karena jasanya.
Memberikan jasa dan menghukum orang karena keslahan kepada Negara
itu harus tetap dilakukan. Dan sebuah Negara republic yang memperhatikan hal
55
,“Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 15 pebruari 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas: Santi_di_Tito_Niccolo_Machiavelli
56
Machiavelli, The Discaurses, h.18.
77
ini akan dapat menikmati kebebasan dan keadilan dalam tubuh negaranya, namun
jika yang diterapkan adalah sebaliknya, maka tunggulah kehancurannya57.
Akan tetapi yang perlu diperhatiakan oleh seorang penguasa adalah
dimana dia harus pandai melihat kondisi politik dalam negrinya. Dimana saat
yang tepat untuk menerapkan republic atau sebuah system monarki. Karena bila
seseorang menerapkan system republic dalam sebuah Negara yang man birokrasi
dan rakyatnya menjadikan korupsi sebagi budaya mereka maka republic bukanlah
jalan yang baik. Tetapi dalam masyarakat yang korup maka system monarkilah
yang paling tepat58.
Machiavelli mencontohkan situasi ini ketika saat Manlius memimpin
Roma dengan menerapkan system republic dalam tubuh Roma, padahal kala itu
korupsi sedang merajalela. Dan akhirnya meskipun baik niat dari Manlius ini,
akan tetapi dia menemui kebuntuan dimana para bangsawan yang menduduki
jabatan pemerintahan di Roma pada akhirnya membunuhnya59.
D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap Etika dan Kekuasaan
”Dalam memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh
dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat
itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam
bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan
pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi
sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be
amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik
seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan60”.
57
Ibid., h. 86.
Ibid., h. 348.
59
Ibid., h. 349.
58
60
Andika Sanjaya, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5
Januari 2011 dari http://wikipedia.ac.id/2010/09/12/pemikiran-niccolo-machiavelli.
78
Itulah asumsi yang dipublikasikan oleh para sejarawan politik terhadap
Machiavelli,
dimana
intinya
mereka
menyatakan
bahwa
The
Prince
mengartikulasikan seorang Machiavelli tidaklah beretika. Tetapi tidak sedikit dari
para politikus modern menjadi pembela akan karya Machiavelli, dengan asumsi
bahwa pemaparan wacana politik yang dikemukakan oleh Machiavelli dalam The
Prince itu disebabkan kondisi Italia yang beradadalam ambang kehancuran
sehingga terpaksa formula strategi politik yang dibutuhkan bukanlah dari teori
Plato, Aristoteles, atau bahkan doktrin agama yang kesemuanya mengarahkan
pada etika bernegara. Dimana menurut pandangan Machiavelli hal itu tidak
diperlukan di Italia yang sedang mengalami krisis multidimensional, yang
dibutuhkan Italia kala itu adalah seorang virtu, raja yang bijak dan lihai yang bisa
mengendalikan, dan menguasai fortuna.
Fortuna menurutnya
adalah kedengkian dan sumber kesengsaraan
manusia yang tidak dapat ditoleransi. Dia menggambarkan fortuna menyerupai
“satu dari sungai yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan
menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu
titik dan meletakkannya pada titik lain, semua orang melarikan diri sebelum
banjir, semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak”. Kemarahan dan
musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan
tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah
konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk
menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan
persiapan dengan virtu dan kebijakan. Fortuna ibarat gadis yang harus dipaksa
untuk tunduk, karena dengan menundukannya kita dapat meminta apapun yang
79
kita mau darinya. Sehingga jangan pernah mendekati gadis ini dengan lemah
lembut, karena itu hanya akan memperlambat waktu.
Sedangkan The Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh
banyak ahli dipandang mewakili pemikiran Machiavelli yang memiliki komitmen
dan kepercayaan politik, khususnya terhadap republik, yang didalamnya
mengajarkan bagaimana seorang negrawan atau penguasa agar selalu tabah dan
kuat, serta tidak bersifst lemah61, dengan memiliki karakter yang dicintai
rakyatnya.
Dari gambaran kedua karyanya ini memang sulit untuk memahami
karakter sebenarnya tokoh ini dalam memandang relevansi antara etika dan
kekuasaan. Karena di sisi lain dalam The Prince, menggambarkan seolah dia
adalah seorang yang jahat. Tetapi disisi yang lain (The Discourses) terlihat dia
adalah seorang yang menginginkan negaranya dipimpin oleh seorang penguasa
yang berkarakter dan bermartabat, serta memiliki rasa nasionalis. Maka dari kedua
karya itu lahirlah pandangan yang seolah-olah seperti menggambarkan dua tokoh
yang berbeda, padahal penulisan dua karya politik besar ini dilakukan oleh
seorang Niccolo Machiavelli, dan yang paling mencuri perhatian adalah
Machiavelli menulis kedua karyanya ini dalam waktu yang bersamaan.
Maka menurut Henry J. Schmandt dua karakter ini bisa dipertemukan
dengan cara mendamaikan keduanya dengan memahami teorinya tentang
manusia62. Hal ini sesuai dengan pengalaman suramnya tentang politik, dia
melihat betapa buruk rupanya wajah politik yang penuh dengan kebejatan-
61
Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h. 411.
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Moderen, h. 254.
62
80
kebejatan moral. Tetapi selain itu dia juga mempelajari sejarah tentang manusia
politik yang memerintah negaranya dengan penuh kebijakan dan kearifan di
Roma. Memang tidak salah bila Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia itu
bersifat selfish (mementingkan diri sendiri), suka bertikai, tamak, jahat, dan
bahkan bisa lebih kejam dari binatang63, hal ini pun yang dipikirkan Machiavelli
sehingga tokoh ini memberikan solusi dengan cara mengatur manusia dengan cara
kekejaman yang diperhitungkan agar dapat mengatasi masalah negara Florence.
Namun selain kejahatan yang ditimbulkan oleh manusia, manusia pun
memiliki naluri, akal, dan sifat menyerahkan diri kepada Tuhan. Sehingga
menurutnya agama dalam bingkai negara diperlukan juga sebagai alat atau
instrumen untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan negara.
Dari cara pandang Machiavelli diatas, maka akan didapat bahwa karakter
tokoh ini dalam memandang etika dan kekuasaan yang masih ada relevansinya
dengan agama ada beberapa poin; pertama, hubungan antara kekuasaan dengan
etika atau moralitas Menurut Machiavelli dalam hal moralitas seorang pemimpin,
dia mengasumsikan bahwa seorang penguasa sudah seharusnya bisa membentuk
opini umum yang bisa mengendalikan tingkah-laku warganya. Oleh karena itu,
untuk memperkokoh kekuasaan, penguasa harus dapat memobilisasi segala nafsu
rendah mereka yang ingin dikuasainya demi mencapai tujuannya tersebut. Dalam
hal ini, ia mengibaratkan seorang pemimpin harus bisa berwatak sebagai manusia
maupun binatang buas.
63
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 201.
81
Untuk
mencapai
tujuannya,
seorang
penguasa
tidak
harus
mempertimbangkan akan moral. Di satu sisi, seorang penguasa harus bisa
bertindak sangat bermoralistis, seperti bersikap jujur, berendah hati, tetapi hal
tersebut difungsikan pada saat ingin memperoleh tujuannya tersebut. Namun,
apabila kondisi mendesak guna menjaga stabilitas hegemoninya, seorang
penguasa bersikap sebaliknya, yaitu amoral. Karena itu semua demi ketentraman
dan kesejahtraan negara.
Kedua, hubungan antara kekuasaan dan agama seperti yang dikemukakan
sebelumnya, seorang penguasa seharusnya menjadikan agama sebagai alat atau
instrumen kekuasaan. Bagi Machiavelli, agama memiliki nilai pragmatis dan
kepentingan politik praktis untuk mengintegrasikan negara, membina loyalitas,
kepatuhan serta ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa. Hal ini ia
contohkan pada republik Roma dengan agamanya pada saat itu adalah agama
Romawi Kuno64.
Agama juga dapat membantu dalam hal mengendalikan negara,
menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, menghasilkan orang-orang baik dan
memalukan orang-orang jahat, dan sebagainya65. Oleh karena itu, di mana ada
agama, maka akan mudah mengajarkan kepada rakyat mengenai senjata. Akan
tetapi, apabila tanpa adanya agama, maka akan sulit untuk memperkenalkan
senjata kepada rakyat66.
64
Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h. 57.
Ibid., h. 49.
66
Ibid., h. 50.
65
82
Machiavelli juga beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah pranata
dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Dalam hal ini, gagasannya
mengenai agama bersifat sekuler.
Karena agama sebagai salah satu instrumen penting dalam mendapatkan,
memperbesar serta mempertahankan kekuasaan, oleh sebab itu, sudah semestinya
negara harus bisa mengintervensi agama. Dari pandangan Machiavelli mengenai
agama ini dapat kita kategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme dan
pragmatisme.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Machiavelli telah mengargumentasikan gagasannya dalam sebuah karya
yang memang memiliki peranan penting dalam dunia politik. Karena dengan
karyanya itu, telah membebaskan politik dari cengkraman Gereja. Akan tetapi
disisi lain Machiavelli dengan segala metode yang diajarkannya terhadap perilaku
seorang penguasa telah menjastifikasi semua cara untuk mempertahankan
kekuasaan dan negaranya. Sehingga apabila ditarik dalam arti “etika humanisme”
menghalalkan segala cara dalam tindakan seorang pengusa maka tetap saja itu
bias dikatakan tidak beretika.
Melihat secara objektif bahwa Isi dari The Discaurses dan The Prince
telah membuka lebar-lebar mata, hati dan pikiran kita bahwa banyak sisi positif
yang terkandung didalamnya seperti apa yang dikatakannya tentang dilarangnya
tindakan korupsi, pentingnya posisi agama dalam sebuah negara, posisi militer
dalam negara, dan cara-cara bagaimana agar pemerintahan bias stabil.
The Discaurses dan The Prince benar-benar dinyatakan atas kenyataan
yang bertujuan menyimpulkan beberapa landasan yang didasarkan atas
pengamatannya terhadap sejarah, dan kehidupan bernegara dengan kata lain buku
itu menyajikan kasus-kasus pilihan dari sejarah pemerintahan dengan berpatokan
kepada sejumlah persoalan yang menyangkut: “cara memerintah kota-kota atau
Negara kecil yang mempunyai undang-undang tersendiri sebelum mereka
bergabung dengan Negara-negara besar” atau yang menyangkut “kekejaman atau
belas kasihan, dan apakah lebih baik dicintai dari pada ditakuti” atau pula yang
84
membahas persoalan yang menyangkut “pembantu-pembantu para penguasa
Negara dan mengapa penguasa Italia kehilangan Negara-negara mereka” dan
seterusnya. Buku itu sedikitpun tidak bersangkut paut dengan system filsafat ilmu
politik.
The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepala
negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran
harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala,
sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segalagalanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia
berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri
yang bisa dipercaya. Negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara
dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.
Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk,
karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu,
Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk
memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan
kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul,
meski begitu untuk merebut sesuatu negara, Raja mesti mengatur langkah
kekejaman sekaligus. Tetapi tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus
diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang. Untuk
mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri
yangmampu dan setia. Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan
diri dari penjilat dan meminta pendapat para pembantunya apa yang layak
dilakukan.
85
Dalam The Prince dan The Discaures juga, ada dua hal yang penting perlu
diperhatikan yaitu: kepangeranan (principality) dan republik. Machiavelli
memberi nasihat
bagaimana
mendapatkan dan mempertahankan sebuah
kepangeranan. Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya
mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan dan
kebaikan negara, Penguassa harus memadukan machismo (semangat keprajuritan)
dengan pertimbangan politik. The Prince menjelaskan akan watak-watak
penguasa bijak diantaranya:
a. memiliki kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai
maupun ditakuti,
b. watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan
kontrol diri,
c. sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat
dipercaya dan tulus. Machiavelli menasihati penguasa untuk melakukan apapun
yang diperlukan, betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya
peduli
dengan
hasilnya,
yakni
kebaikan
negara.
Dia
dinilai
sebagai
‘nmachiavellian” karena memisahkan antara perilaku politik dari seluruh
hubungannya dengan keadilan dan moralitas
d. penguasa harus menjalankan pemerintahan dengan cara atau watak manusia
dan binatang. Cara manusia dengan humanismenya, cara binatang dengan power.
Manusia harus belajar meniru singa dan rubah yang licik.
Kedua literatur ini memiliki balance dalam bingkai politik seorng Raja.
Karena konsep didalamnya menuntut seorang kepala negara untuk cerdas memilih
alur apa yang seharusnya dipilih dalam mengelola negara. Karena negara tidak
86
membutuhkan seorang pemimpin yang lemah lembut dalam situasi dan kondisi
negara yang cheos. Begitupun negara tidak membutuhkan kekejaman dan
kebengisan seorang kepala negara yang menindas rakyatnya, karena itu akan
menimbukan pemberontakan dalam negara.
Oleh karena itu, substansi dalam kedua literatur itu perlulah untuk dicerna
dengan baik. Karena akan berakibat patal bila konsep ini direalisasikan hanya
dengan pemahaman tekstual.
B. Saran
Saya pribadi sangat menyayangkan bahwa tokoh sejarah politik besar ini
mempunyai konotasi yang negatif. Nama ini selalu dihubungkan dengan kejahatan
atau persekongkolan yang tidak mengindahkan moral atau dengan istilah lain
“mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara”. Penilaian demikian sama
sekali tidak adil, karena tujuan utama Machiavelli menulis buku yang memuat
pengamatannya ialah sekedar menganalisa tindakan-tindakan yang telah
memberikan keberhasilan politik yang gemilang di masa lampau dan menarik
kesimpulan atau pelajaran dari tindakan tersebut prinsip-prinsip apa yang harus
diikuti agar dapat memperoleh keberhasilan politik yang cemerlang di masa
sekarang ini.
Pendapatnya semata-mata diperoleh melalui pengamatan ilmiah yang
cermat. Dengan kata lain, Machiavelli sekedar mengungkapkan apa yang
sebenarnya telah terjadi di balik keberhasilan politik itu dan bukan mengada-ada
atau memberikan hasutan. Namun kesalahpahaman orang terhadap konsep politik
Machiavlli mengakibatkan ia dikenal sebagai seorang yang mendukung tindakantindakan tidak berprikemanusiaan dan tidak beretika.
87
Dan tokoh inipun menuliskan bahwa tujuan dari kekuasaan bukanlah
hanya untuk keuntungan pribadi, akan tetapi untuk kepentingan kesejahtraan dan
ketentraman rakyatnya.
Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak pada konotasi negatif tentang teori
Machivelli maka akan lebih bijak bila para pembaca khususnya akademisi, atau
para pemimpin dunia, untuk mendalaminya dengan seksama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Umar. Kapitalisme: The Stanic Of Ideology. Bogor: El-Moesa Press,
2007.
Ali Abdul Mu’ti, Muhammad. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Bing, Satanly. Tujuan Menghalalkan Segala Cara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1977.
Bungin, Burhan. Metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke
Arah Ragam Farian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
Charris Zubair, Ahmad. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Honohan, Iseult. Civic Republicanism: Negara Republik. Jakarta: Erlangga, 2002.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Issawi, Charles. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu
Khaldun. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976.
J. Schmandt, Henry. Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani
Kuno Sampai Moderen. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Jay, Antony. System Menejemen Machiavelli. Bandung: PT Iqra Bandung, 1983.
Kasiram, Mohamad. Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman
dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Press, 2008.
Lerner, Max. Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses. New York:
Moderen Library, 1950.
Losco, Joseph dan Wiliams, Leonardo. Political Theory: Kajian Klasik dan
Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005.
Machiavelli, Niccolo. The Discourses. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003.
Machiavelli, Niccolo. The Prince. Srabaya: Selasar Publishing, 2008.
Magnis Suseno, Franz. Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006.
Magnis Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.
Mansyur Sema, Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Mundiri, Mushadi. dkk. Membangun Negara Bermoral. Semarang: Pustaka Rizki
Putra Semarang, 2004.
Mohamad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan Media Utama,
2001.
Nurtjahjo, Hendra. S.H. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Otten, J.F. Konsep Machiavelli. Jakarta: Rajawali Press, 1963.
P. Huntington, Samuel. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia. Yogyakarta: Qalam Press, 2003.
Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995.
Rahman Zinuddin, A. Kekuasaan dan Negara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1992.
Rode, Carlton dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988.
Singodimejo, Kasman dan Saleh, Mohamad. Machiavelli. Jakarta: Permata
Jakarta, 1973.
Soehino, Ilmu Politik. Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2007.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Widjaja. Etika Pemerintahan: Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Artikel
Hardiman, F. Budi. “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010.
Dokumen Internet
Gultom, Mirza. “Peta Politik Niccolo Machiavelli Mengenai Negara,” artikel
diakses pada 30 desember 2010 dari http:
//www.tokohpolitikmirza.org/2010/1230/machiavelli.html.
Jhon, Senelson. “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5
Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiranniccolo-machiavelli.
Mohamad Irfan, “Beberapa Teori Kekuasaan Dan Pengaruhnya Oleh Para Pakar
,”artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari
http://mohamad.blog.ac.id/2010/12/12.
Ricahrdodi, Charles. “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober
2009 dari http://politiksaman.com/2009/02/15.
Sanjaya, Andika. “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5
Januari 2011 dari http://wikipedia.ac.id/2010/09/12/pemikiran-niccolomachiavelli.
Warner, Bruce. “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2
Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiranniccolo-machiavelli.
Wikipedia, “Kekuasaan, artikel diakases pada 5 Januari 2011 dari
http://wikipedia.com/2011/01/05.
Download