ETIKA DAN KEKUASAAN: PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos) Oleh : Haikal Mujahid 106033201175 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./ 2011 M. ABSTRAK Haikal Mujahid ETIKA DAN KEKUASAAN: PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK Etika adalah sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus hidupdan bertindak. Sedangkan, kekuasaan adalah merupakan usaha seorang individu atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan keinginan si pelaku. Etika dan Kekuasaan merupakan kedua hal yang amat penting posisinya dalam bingkai politik. bahkan kedua istilah ini sudah dibahas semenjak zaman Yunani kuno, karena keduanya dapat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Karena bila kedua istilah ini dipergunakan tidak dalam kapasitasnya, hal ini akan berakibat pada ketidakstabilan sebuah Negara, atau bahkan melahirkan sebuah pemberontakan. Machiavelli sebagai tokoh politik zaman Renaissance telah berhasil membuat sebuah karya yang mengelaburasikan antara system kerajaan (monarki) dan Republik, yang dia beri judul The Prince dan The Discaurses, meski pada awalnya kedua literatur itu adalah ditujukan kepada keluarga Medici yang kembali menguasai Florence. Dari kedua bukunya ini bisa diambil pelajaran bagaimana seharusnya seorang leader (Raja) mengontrol, memenej, dan mengurus para staf, serta rakyatnya agar tercipta sebuah negara sejahtera, dan bisa mencapai kejayaan, serta disegani oleh rakyat dan negara-negra lain. Konsep “menghalalkan segala cara” yang banyak dikenal orang dari Machiavelli ini seolah-olah sudah menjadi lebel baginya. Padahal kita sendiri belum mencoba mempelajari konsep politik Machiavelli secara mendetail. Dan kita pun tidak tahu kenapa banyak para diktator dunia yang memakai konsep Machiavelli dalam merealisasikan politik praktis dalam negaranya, yang diterapkan dengan tangan besi mereka. Apakah mereka sebenarnya mengunakan konsep Machiavelli ini secara kaffah (menyeluruh), ataukah hanya setengah hati demi melestarikan kekuasaan mereka saja? Karena Machiavelli pernah berkata bahwa tujuan dari kekuasaan hanyalah demi keberlangsungan kesetabilan, dan kesejahtraan negaranya, bukan hanya untuk kepentingan individu. i KATA PENGANTAR Segala puja dan puji serta syukur patutlah disuarakan hanya kepada dzat yang telah memberikan kehidupan dan ilmu kepada seluruh umat manusia yaitu Alloh swt. Karena dengan pertolongan yang begitu besar, perlindungan, dan rahmat, serta taqdirnyalah penulis dapat menyeleseikan proses penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada pahlawan revolusi Islam yang tiada kata lelah, cercaan, serta hinaan yang dilontarkan kepadanya, beliau tetap konsisten dalam perjuangan demi tegaknya Islam yaitu Nabi Muhammad saw. Alhamdulillah kami ucapkan, meski itu tidaklah sepadan dengan apa yang telah diberikan oleh Alloh swt. Usaha dalam penulisan ini dapat terrelisasi hingga selesei atas pertolongan-Nya, melalui banyak tangan. Dengan kerendahan hati, penulis akui bahwa penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, kawan-kawan. Oleh karena itu, kami haturkan banyak termakasih atas bantuan serta motivasi saudara-saudara sekalian. Maka pantaslah bila penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu dan Ayah ku tercinta, terimakasih atas bantuannya baik dalam segi moril dan materilnya. Juga kepada kaka (teh Yeni), dan adik-adik ku tersayang Inda, Rika, Imam, dan vivi untuk tawa, canda, dan dukungannya, telah menghibur penulis. 2. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. selaku pembimbing yang selalu mendampingi penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau sebagai kepala jurusan Ilmu Politik. 3. Prof. Dr. Bahtiar Efendi, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta para stafnya. iii 4. Terimakasih kepada para dosen-dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah menambah khaznah keilmuan penulis dalam memandang dunia khususnya dalam kaca mata politik. 5. Untuk seseorang di hati penulis yang begitu amat spesial, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya. Terimakasih atas pengertian, do’a dan supportnya kepada penulis. 6. Kepada kawan-kawan KPK (Kosan Pedro dan Kawan-kawan); bang Ham, bang Ubz, bang Pips, bang Pedro, bang Ari, bang Fadli, bang Ipunk, bang Borang, bang Roy, bang Ulmanto, bang Adam, Muso yang telah memberikan kritik dan sarannya kepada penulis. 7. Kepada kawan-kawan KM UIN Jakarta (Komunitas Mahasiswa Universitas Islam Negri); Adit, Barkowi, Oi, Aang, N-Chek, Yandi, Repal, dkk. yang memberikan semangat kepada penulis. 8. Terimakasih banyak kepada kawan-kawan FSC (FISIP Study Club). Teman-teman FISIP; Anwar, Bara, Rif’at, Eko, Yebi, Rikih, Ario, Hawasi, Rido, Yana, Ais, Rahmat, Torik, Ikhwan, untuk dorongannya agar penulis segera menyeleseikan penulisan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Sang Maha melihat, Pencipta, dan Maha Kuasa yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi, penulis serahkan atas segala jasa orang-orang yang telah membantu penulis. Mudah-mudahan Alloh swt membalas senua jasa mereka, dan ditulis sebagai amal kebaikan dan menjadi bekal mereka di akhirat kelak. Mudah-mudahan penulisan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis, dan bagi para pembaca umumnya. Dan kami harapkan kritik dan sarannya kepada iv para pembaca demi membangun keintelektualan generasi musilim yang berkualitas. Jakarta, 08 Maret 2011 Penulis v DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................6 D. Metodologi Penelitian...........................................................................7 E. Sistematika Penulisan ...........................................................................9 BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI A. Riwayat Hidup .....................................................................................12 1. Kondisi Lingkungan ........................................................................14 2. Pendidikan.......................................................................................18 3. Karir dalam Kancah Politik..............................................................19 B. Karya Tulis ...........................................................................................21 1. The Prince .......................................................................................23 2. The Discourses ................................................................................27 BAB III DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN A. Asal-usul Etika .....................................................................................31 vi 1. Definisi Etika ..................................................................................35 2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara ..................................38 B. Asal-usul Kekuasaan ............................................................................40 1. Definisi Kekuasaan ..........................................................................41 2. Mempertahankan Kekuasaan ...........................................................44 C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan .................................................46 BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO MACHIAVELLI A. Etika dalam Persepektif Machiavelli .....................................................52 1. Raja Harus Bisa Menyeimbangkan Anatara Ditakuti dan Dicintai....58 2. Bermartabat dan Memiliki Rasa Nasionalisme .................................61 B. Kekuasaan Persepektif Niccolo Machiavelli .........................................65 1. Metode Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan ...................66 1.1. Posisi Agama dalam Negara....................................................66 1.2. Penguasa dan Korupsi .............................................................68 1.3. Mengelola Tentara ..................................................................69 1.4. Memilih Aparatus Negara .......................................................71 C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara .................................72 1. Macam-macam Republik .................................................................73 vii 2. Monarki diterapkan dalam Situsi Florence yang Kacau ....................74 3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Negara ............................................76 D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap Etika dan Kekuasaan ............................................................................77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..........................................................................................83 B. Saran ....................................................................................................86 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Niccolo Machiavelli adalah seorang tokoh filsapat dan politikus, yang hidup di era abad ke-18. Tokoh ini sangat terkenal dengan sebutan bapak politik moderen yang berhasil membuka keran belenggu politik dari kungkungan Gereja pada waktu itu. Machiavelli banyak menuturkan tentang etika dalam berpolitik dalam karyanya. Tetapi disisi lain Machiavelli pun dikenal sebagai politikus yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Padahal bila didalami secara objektif, ada faktor-faktor penyebab tokoh ini harus menuangkan idenya seperti itu. Sehingga timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemikiran politik Machiavelli, sehingga dia menulis karyanya The Prince dan The Discourses? Dalam membatasi ruang kajian tentang karya-karya Niccolo Machiavelli, difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikirannya terhadap etika dan kekuasaan yang dimana ada beberapa alasan yang melatar belakanginya: pertama, proses transisi di Negara Florence yang terjadi di masa Niccolo Machiavelli, melahirkan beberapa gagasannya yang merupakan hasil kajiannya selama menjabat sebagai aparatus di Florence. Kedua, dalam situasi dan kondisi Negara Florence Machiavelli mengalami beberapa perlakuan poitik dari pemerintahnya yang acap kali terjadi perpindahan kekuasaan antara penguasa pertama dengan keluarga Medici yang memenangkan peperangan. Sehingga posisi Machivelli selalu berubah-ubah kadang menjadi aparatus Negara yang begitu penting, dan kadangkala mengalami perlakuan buruk 2 sampai dia sendiri harus diasingkan kesuatu desa yang jauh dari kehidupan kerajaan atau lebih parah lagi dia mengalamai masa tahanan selama beberapa tahun1. Ketiga, tokoh Machiavelli sendiri sudah terlanjur dikenali oleh dunia politik sebagai bapak kelicikan politik. bahkan pada titik ekstrimnya ia dikenal sebagai par excellence penipuan dan penghianatan politik, sebagai inkarnasi dari kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik, dan sebagai penggagas totalitarianisme moderen2. Padahal bila dibaca secara objektif dan tidak setengahsetengah antara The Prince dan The Discaurses, akan didapat bahwa konsep etika bermartabat dalam politik yang didengungkannya adalah politik yang penuh dengan nilai-nilai etika, dengan tidak digerakan semata-mata oleh nafsu untuk meraih kekuasaan3. Etika menurutnya memancar dari tindakan otentik yang penuh dengan kedaulatan dari seorang pemimpin yang berkarakter. Itulah sesungguhnya ide yang diberikan oleh Machiavelli untuk demi kelangsungan dan kesetabilan negaranya yang mengalami krisis politik. Namun sayang justru konsep etika dan kekuasaan yang bermartabat inilah seringkali kurang dicermati oleh para pembaca karya-karya Machiavelli. Keempat, kekuasaan memang perlu dipertahankan dan dikokohkan dengan kuat, sedangkan etika itu sendiri tidak perlu dikedepankan dalam politik karena hal itu hanya akan memperlemah negara (menghalalkan segla cara demi kestabilan Negara). Sedangkan menurut para sejarawan politik, Inovasi 1 Ibid., h. 87 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 247. 3 F. Budi Hardiman, ”Politik Yang Bermartabat”, Kompas, Edisi Jum’at 15 Oktober 2010, h. 6 2 3 Machiavelli dalam buku The Discaurses dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat. Hal ini senada dengan situasi dan kondisi di Florence, waktu itu mengalami degradasi dan perebutan kekuasaan yang mengakibatkan keadaan negara tidak stabil sehingga akhirnya, efek jera dari perebutan kekuasaan itu menjadikan rakyat tertindas dan Negara pun mengalami krisis multidimensional. Sehingga Florence menjadi Negara yang lemah dan diserang oleh Negara-negara yang ada disekitarnya4. Maka pantaslah bila Machiavelli menganugrahkan gagasannya bagi penguasa di negrinya yang kala itu di pegang oleh keluarga Medici, dengan tujuan agar Florence tidak hancur dan jatuh. Sekalipun memang ada unsur bahwa dengan menyuguhkan konsepnya itu, Machiavelli pun menginginkan kembali jabatannya di arena politik5. Namun ide Machiavelli ini terlanjur oleh para intelektual, dan poitisi dianggap sebagai ide yang digunakan oleh para penguasa dunia yang otoriter dan 4 5 Niccolo Machiavelli, The Prince, (Srabaya: Selasar Publishing, 2008), h. xii Ibid., h. 177 4 bersifat menindas rakyatnya. Ini terindikasi dari berbagai pengakuan mereka, bahwa mereka mengakui memegang dan mempelajari karya The Prince Niccolo Machiavelli. Seperti Hitler pemimpin NAZI di Jerman menyimpan The Prince disamping tempat tidurnya, Napoleon Bonaparte mengemukakan bahwa hanya karya politik The Prince yang layak dibaca, bahkan Musolini berani secara terangterangan di depan rakyatnya mengatakan bahwa Machiavelli sebagai godfather spiritual dan intelektual, dan masih ada lagi para penguasa otoriter selain mereka6. Dan inilah yang menjadi alasan orang-orang yang menganggap Machiavelli sebagai politikus yang jahat. Berangkat dari itu semua maka penulis berusaha menggali dan membuka kembali literatur-literatur karya Machiavelli, khususnya The Prince dan The Discourses, juga dari buku-buku lain yang memiliki relevansi dengan masalah etika dan kekuasaan Machiavelli, untuk berusaha memahami esensi sesungguhnya bahwa perlu adanya etika bermartabat dalam sebuah negara menurut Machiavelli. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Masalah Etika merupakan problem dunia saat ini, apalagi sesudah masuk ranah kekuasaan. Hal ini tercermin bagaimana seorang kepala negara bisa memimpin sebuah negara, agar negara itu bisa tetap stabil. Sehingga diambilah langkah-langkah yang menurut pikiran mereka bahwa etika yang mereka pakai adalah demi kepentingan negara. Sehingga tidak sedikit manusia yang pernah menguasai sebuah negara dari pasca perang dunia I sampai saat ini mempelajari 6 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 248. 5 etika kekuasaan para tokoh terkemuka seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquines, Niccolo Machiavelli, dan yang lainnya. Tetapi justru kabanyakan orang telah mengenal Machiavelli hanya dengan membaca The Prince. Dan hal ini menjadi kontroversi ketika mendengar atau membaca karyanya The Discourses, bahwa jelaslah Niccolo ini sebagai seorang republikan. Sederhananya bila kita membaca The Prince, maka asumsi yang keluar adalah Machiavelli sebagai seorang politikus yang jahat, bahkan dia disebut juga sebagai old nick atau iblis7. Boleh disebut The Discourses ini sebagai testamen politik Machiavelli yang terlengkap.8 Karena di dalamnya jelaslah bahwa Machiavelli memberikan konsep yang jelas-jelas menunjukan dia adalah seorang republikan. Namun dalam pembahasaan skripsi ini bukan bermaksud untuk membela Machiavelli, ini dimaksudkan untuk merangsang pembaca agar mempelajari tokoh ini secara lebih mendalam dan objektif. Supaya dalam memandang Machiavelli tidak hanya dari sisi negatif yang sudah umum. Tetapi melihat sisi-sisi positif yang di kandung olehnya. Berdasarkan acuan tersebut, agar pembahasan skripsi ini tidak melebar dan terjebak pada kurang terfokusnya pembahasan serta kesimpulan, maka penulis membatasi perrmasalahannya pada: konsep etika dan kekuasaan yang dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli. Pertanyaan yang dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 7 Joseph Losco dan Leonardo Wiliams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005), h. 561. 8 Niccolo Machiavelli, The Discourses, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), h. vi 6 1. Bagaimana konsep etika dan kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mendalami konsep etika dan kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli 2. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan penulis. Adapun manfaat dari penelitian yakni : A. Manfaat Akademis Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan strata satu (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Politik pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. B. Manfaat Praktis 1. Menambah Wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa Etika dan Kekuasaan yang diargumentasikan oleh Niccolo Machiavelli ini memiliki konsep yang masih eksis dan bahkan bisa di realisasikan dengan baik sesuei dengan cita-cita untuk mensejahtrakan kehidupan bernegara, sehingga perlu pengkajian secara mendetail dan objektif tanpa memilah-milah. Meskipun dia sendiri adalah seorang tokoh politik barat, yang berbeda agama dengan kita dan penulis khususnya. 2. Bagi Fakultas, diharapkan memberi sumbangan kepustakaan dalam pengembangan wacana civitas akademika di Jurusan Ilmu Politik. 3. Sebagai Bahan Masukan kepada Pemegang Kebijakan Kampus (Rektorat) guna memformulasikan konsep tersebut agar keberlangsungan kepemimpinan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sesuei dengan kode etik yang 7 diharapkan dapat menjadikan mahasiswa yang memiliki peradaban dengan etika yang baik, terlebih untuk pendidikan politik mahasiswa pada umumnya. D. Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang di tuju. Namun yang tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang ditemukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut kajian literatur9. Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan di analisis secara kompherenshif, holistic, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis. Menurut Bogdan dan Taylor (1973),10 penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga, 9 Mohamad Kasiram, Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2008), h. 111. 10 Burhan Bungin, metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 31. 8 atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistic). Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode yang digunakan untuk meneliti subjek penelitian akan mempengaruhi cara pandang subjek tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa dan menginterpretasi tokoh Machiavelli secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat dikenali secara mendalam bagaimana sang tokoh secara pribadi dengan melihat konsep dia, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan pemikiran, karya, dan prilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba menggeneralisasikan tokoh Niccolo Machiavelli, dari sisi pemikiran politiknya khususnya tentang etika dan kekuasaan. Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan, merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan data, maupun dalam menafsirkan data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang di peroleh. Jadi, penelaahan ini tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi, memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak. E. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan sistematika penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta agar penulisan ini menjadi lebih sistematis, maka 9 skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub yang terdiri sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Penulisan ini dimulai bab pertama, yang menjelaskan latar belakan masalah. Dimana didalamnya berbicara tentang konsep etika dan kekuasaan Niccolo Machiavelli yang harus dimiliki oleh seorang raja dalam sebuah negara republik. Dimana penilaian terhadap Niccolo Machiavelli ini begitu jelek seakan-akan dia adalah seseoran politikus yang mengajarkan kejelekan cara dalam berpolitik, bahkan dia di nilai sebagai seorang old nick. Sehingga sangat disayangkan, karena hal ini sudah melekat dalam jati diri para pembaca karya Machiavelli khususnya The Prince. Padahal bila kita ingin cermat dan menilai Machiavelli secara objektif, maka akan didapatkan bahwa Machiavelli ini adalh seorang republikan yang semata-mata menulis tentang etika dan kekuasaan itu demi kesetabilan negrinya. Hal inilah yang kemudian penulis jadikan sebagai batasan dan rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya isi dari bab ini adalah mengenai tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI Selanjutnya dalam bab kedua, berisi mengenai ruang lingkup kehidupan Niccolo Machiavelli mulai dari kondisi lingkungan, latar pendidikannya, sampai kepada keikutsertaannya dalam kancah politik. Dimana itu semua mempengaruhi terhadap karya yang telah ditulisnya itu. Pada bab ini juga ditulis sedikit tentang substansi dari The Prince dan The Discourses, juga 10 karakter Niccolo Machiavelli dalam memandang kondisi politik di negrinya yang korup dan sarat dengan konflik politik, sehingga mempengaruhi kondisi fisikologis Niccolo Machiavelli yang membuatnya berpikir untuk tetap mempertahankan kekuasaan dengan konsepnya11. Sikap yang lahir dari Machiavelli ini sebenarnya adalah di dorong oleh rasa cintanya terhadap negara Florence. BAB III DESKRIFSI ETIKA DAN KEKUASAAN Selanjutnya pada bab ketiga, menjelaskan definisi dari etika dan kekuasaan, serta relasi anatar konsep etika dan kekuasaan dalam sebuah republik. Karena sebelum mendalami konsep etika dan kekuasaan Machiavelli ini, perlulah untuk mengetahui apa itu etika dan kekuasaan. Agar ketika beranjak untuk membahas tentang konsep etika dan kekuasaan Niccolo ini, tidak kabur dan salah paham dalam menanggapi konsepnya. BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO MACHIAVELLI Pada bab keempat, masuk pada bab pembahasan masalah, dimana didalamnya penulis menjelaskan tentang konsep etika yang dikenalkan oleh Machiavelli kepada para penguasa, khususnya penguasa Florence. Dimana Machiavelli disini menjelaskan bahwa seorang penguasa seharusnya memiliki dua sifat gabungan antara ditakuti dan dicintai, dan memiliki etika yang bermartabat agar disegani rakyat. Di bab ini ditulis bagaimana Machiavelli juga memberikan siasat agar kekuasaan bisa dipertahankan, dan negara tetap stabil. Machiavelli mengingatkan agar itu 11 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 254-256. 11 semua dilakukan jangan semata-mata untuk kepentingan pribadi, tapi itu semua untuk kepentingan negara. Juga dijelaskan tentang sistem negara ideal menurutnya yang dapat menopang kestabilan kekuasaan adalah negara dengan bentuk republik. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Selanjutnya dalam bab ke lima adalah bab penutup, dimana dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini, serta tidak lupa menambah saran, agar penulisan skripsi ini lebih bermakna khususnya bagi penulis dan umumnya untuk para pembaca. 12 BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI A. Riwayat Hidup Niccolo Machiavelli dilahirkan di Kota Florence di Italia pada 1469, pada zaman renaissance (abad pencerahan)1. Pada masa itu Italia terbagi menjadi lima negara; kerajaan Neples di sebelah selatan, kepangeranan Milan di sebelah barat, republik Venice di timur, Negara Paus di tengah, dan republik Florence yang diduduki Machiavelli2. Machiavelli dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang termasyhur. Ayahnya Bernardo Machiavelli adalah seorang pengacara yang terkadang menangani urusan publik di negara-kota Florence. Ayahnya membantu Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence, karena ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang terkemuka, sehingga pantas bila ayahnya mendidik Machiavelli untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan3. Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus dengan ide-ide yang konkrit, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas tindakan, bahkan disebut oleh para politikus bahwa Machiavelli adalah seorang politikus realisme. Pada usia 25 tahun, dia telah berkecimpung dengan kehidupan politik. Machiavelli pernah menjabat kedudukan tinggi dalam bidang diplomatik, dalam mengatur organisasi ketentaraan, serta mengurus korespondensi resmi negaranya. Machiavelli pernah dipenjara dan dibuang karena dianggap sebagai 1 Soehino S.H., Ilmu Politik, (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), h.70 Dr. Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 105. 3 Ibid., h. 106. 2 13 komplotan anti pemerintahan tahun 15134. Setelah dibebaskan kembali dia memencilkan diri di sebuah tanah pertanian di luar kota. Disanalah dia menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam bentuk tulisan, mulai dari seri tentang politik, sampai kepada komedi salah satu karya politiknya adalah The Discourses dan The Prince (Sang Pangeran). Kejadian-kejadian politik semenjak dia menganyaman pendidikan sampai ketika dia diasingkan oleh keluarga Medici sehingga meninggalkan kesan yang mendalam pada Machiavelli. Tokoh politik ini menyaksikan runtuhnya kekuasaan keluarga Medici yang sudah memerintah Negara Florence selama beberapa generasi sekitar seratus tahun. Dia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan Republik Florence yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa, dan itu semua menjadi pengalaman politik yang berharga baginya, sehingga dia menuangkan kejadian itu semua dalam karya politiknya. Dalam karya-karyanya, Machiavelli mengakui bahwa dia menggeneralisasikan konsepnya itu berdasrkan fakta, bukan seperti penulispenulis pada zamanya yang lebih menekankan penulisan konsep-konsep yang sepenuhnya berdasarkan kajian-kajian kuno warisan dari Plato dan Aristoteles. Machiavelli menulis karyanya berdasarkan situasi dan kondisi Florence kala itu5. Dimana dia menginginkan dari karyanya itu agar Flornce tidak menjadi daerah jajahan negara lain dan berada dalam penindasaan dalam negrinya sendiri. Ide-ide atau gagasannya lahir tidak semata-mata karena ambisinya untuk menjadi seorang politisi praksis, namun gagasannya lahir karena beberapa sebab. 4 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negri Barat, h. 67. Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 258. 5 14 seperti kondisi lingkungan, pengaruh pendidikan, dan juga berdasarkan pengalaman politiknya. Seperti yang dikatakan oleh pakar sosiolog Islam yaitu Ibnu Khaldun, yang menyatakan bahwa watak politik seseorang itu dipengaruhi juga oleh kondisi geografis, seperti cuaca, kondisi politik, dan kondisi lingkungan sekitarnya6. Hal ini pun senada dengan apa yang terjadi pada Machiavelli dimana watak politiknya, hingga bisa melahirkan karya sebesar The Prince, dan The Discourses. Dimana hal ini dipengaruhi beberapa sebab diantaranya: 1. Kondisi Lingkungan Menulusuri kehidupan Machiavelli, maka pembahasannya pun tidak akan terlepas dari kondisi Italia, dan khususnya Florence, tempat dimana tokoh ini hidup. Kondisi kehidupan masa itu ditandai dengan adanya proses transisi kekuasaan Paus kepada para Raja secara penuh, dalam arti Gereja tidaklah boleh ikut campur terhadap urusan negara. Era ini sering disebut oleh sejarahwan sebagai zaman Renaissance. Abad Renaissance merupakan periode transisi pemikiran dan tata pemerintahan khususnya di dunia Eropa. Periode ini ditandai dengan terlepasnya segala unsur pemerintahan dari kungkungan Gereja (zaman sebelum Renaisasance juga sering disebut the Dark Age jaman kelamnya negeri Eropa)7 periode ini juga sering disebut Reformasi di Eropa. Selain itu hal ini juga memberi manfaat pada dunia barat karena selama ini, barat didominasi oleh doktrin Gereja. Maka lahirlah paham kebebasan dan kemauan untuk maju. Era Renaissance ini terindikasi dari manusia-manusianya kala itu yang sudah berpikir mengunakan 6 7 h. 23. Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 160. Umar Abdullah, Kapitalisme: The Stanic Of Ideology, (Bogor: El-Moesa Press, 2007), 15 akal sehatnya tanpa ada pengaruh dari pihak agama, yaitu Kristen, dan terlepasnya mereka dari paham Skolastik. Selama masa Renaissance inilah hidup seorang Machiavelli. Ketika era itu sedang mengalami titik klimaksnya, kebebasan dan reformasi dari sistem kepausaan menjadi sistem republik Italia, disamping itu terjadi perebutan hegemoni kekuasaan antara Gereja dan para Raja. Para politikus dan filosup waktu itu terlibat untuk memikirkan bagaimana menstabilkan kondisi Italia dan negara-negara kota didalamnya, dan konsep ideal apa yang harus diterapkan dalam negaranya, termasuk Florence. Namun hal yang sangat disayangkan masa itu adalah pemikiran Niccolo Machiavelli dianggap tidak didasarkan pada asas moral, bahkan tidak ada nilainilai etika didalam pemikirannya. Karena pada waktu itu, pemikiran akan etika hanya dikaitkan dengan perilaku manusia tentang hal-hal yang normatif. Padahal secara real pada masa itu, Eropa terfokus pada kemajuan negara yang jauh dari dogmatisme terhadap agama, karena para pemikir dan sarjana kala itu merasa lelah akan konsep etika dan moral yang diajarkan oleh Gereja (relativisme etika) terhadap para raja, yang pada akhirnya menjatuhkan negara dan memasukannya pada kondisi yang buruk. Sehingga menimbulkan ketidakpedulian mereka terhadap etika. Kondisi politik saat itu dipenuhi oleh penghianatan, kecurigaan, nafsu untuk berkuasa, dan sisat-siasat licik pun silih berganti bermunculan demi mendapatkan tampuk kekuasaan8. Menurut Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya 8 Soehino S.H., Ilmu Politik, h.68. 16 besar. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan9. Maka bisa dimengeri bila saat itu Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris10. Machiavelli merupakan salah satu tokoh yang ikut andil didalamnya, dia menginginkan negaranya menjadi negara yang kuat, tanpa ada jajahan dari negara lain. Dan menurutnya, kekuatan ini bisa dibangun dengan memisahkan antara kehidupan gereja dan kehidupan politik. Selain itu tokoh ini pun menganjurkan agar tentara yang dibangun di Florence jangan mengandalkan tentara bayaran, tentara bayaran mudah berhianat, haus akan kekuasaan, tidak memiliki tanggungjawab, tidak memiliki rasa takut kepada Allah, dan tidak memiliki rasa loyalitas terhdap negara. Pemikiran ini dituangkan dalam sebuah tulisan, bahwa Machiavelli memandang dari kejadian Vitelli. Vitelli yaitu seorang komandan tentara yang dibayar Florence untuk menyerang Piza, namun yang terjadi adalah para tentara itu berhianat, karena negara Piza mampu membayar lebih besar. Dan ini merupakan hal yang memalukan bagi republik Florence. Maka Machiavelli berasumsi bahwa sebuah negara harus mampu membuat tentara yang direkrut dari kalangan warga negaranya11. Masa Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo yang terpuji. Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492. 9 Senelson Jhon, “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli. 10 Charles Ricahrdodi, “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober 2009 dari http://politiksaman.com/2009/02/15. 11 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 135. 17 Beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence, Florence menjadi republik (Republik Florentine) di bawah Soderini pada tahun 1498 sampai 1512. Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan, dan penguasa Medici kembali pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dicopot dari posisinya, dan di tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence. Dari penagsingan ini lah Machiavelli menuangkan pemikiran politiknya dalam beberapa karya yang diantaranya adalah The Discourses dan The Prince. Dalam kondisi yang sulit dimana Florence mengalami krisis politik yang berupa konflik internal antara berbagai negara kota. Para penguasanya bersaing untuk mengontrol negara. Dan di lain sisipun Italia mengalami situasi yang lebih berat dimana Italia menjadi rebutan antara Prancis, Jerman, dan Spanyol yang berusaha menghegemoni Italia, sehingga demi meraih perlindungan dari negaranegara besar. Sehingga negar-negara kota Italia biasanya bersekutu dengan salah satu negara besar tadi yang pada akhirnya terjadi perpecahan dan peperangan didalamnya12. seperti inilah Machiavelli melahirkan konsep-konsepnya tentang etika dan kekuasaan, sehingga keadaan seperti ini menjadi pola pikir, serta mempengaruhi tindak-tanduk, dan strategi politiknya. Dengan posisi Machiavelli itu maka pantas bila dia menulis karyanya The Prince dan The discaurses. Dengan demikian, pada dasarnya abad Renaissance ini mendorong orang mengelabui atau menipu orang lain. Dalam hubungan dengan penguasa seperti yang digambarkan 12 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 249. 18 Machiavelli dalam The Prince, agar penguasa mengelabui rakyat, yang pada akhirnya juga untuk kepentingngan kesejahtraan rakyat dan kemakmuran negara itu sendiri13, karena pada akhirnya rakyat hanya akan peduli dengan hasil akhir yaitu kesejahtraan, sedangkan sedikit kekerasan yang dilakukan oleh raja akan terlupa. 2. Pendidikan Tidak begitu banyak literature yang membicarakan riwayat pendidikan Machiavelli. Hal ini dikarenakan lebih banyak orang yang memfokuskan pada karya-karyanya. Namun dalam beberapa buku dituliskan bahwa Niccolo Machiavelli mengikuti pendidikan yang diarahkan oleh ayahnya, karena ayahnya menginginkan Machiavelli menjadi seorang terkemuka. Bisa disebut batu pertama yang ditanamkan dalam pendidikan Machiavelli adalah dari ayahnya sendiri. Karena ayahnya, Bernardo Machiavelli adalah seorang pengagum karya-karya klasik Yunani dan Romawi seperti karya Cicero “Phillipus dan On Moral Obligation, dan The Making Of an Orator”, serta karya Livius yaitu “History” dimana hasil didikan ayahnya ini menjadi peletak batu pertama pemikiran politiknya14. Meskipun di lain sisi diriwayatkan bahwa ibunya menginginkan Machiavelli menjadi seorang rohaniawan. Selain itu Machiavelli pun menganyam pendidikan formal, dimana pengaruh pertama yang mempengaruhi pola pikirnya adalah pendidikan liberal yang biasanya diberikan kepada angota kelasnya15. Dalam salah satu tulisan 13 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, h. 89. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 126. 15 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 248. 14 19 ayahnya, dalam usia empat belas tahun Machiavelli yang dibwah asuhan Paulo, mampu membuat sebuah karya humnis dengan gaya penulisan klasik16. Dalam usia mudanya dia telah mempelajari bahasa Latin, dan ilmu-ilmu tentang humaniora melalui seorang guru yang bernama Paulo Ronsiglione dengan pemikiran dan kajian tentang humanisme17. Pada fase berikutnya Machiavelli melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi Universitas Florence. 3. Karir dalam Kancah Politik Karir politik Machiavelli tergolong cepat. Dia merupakan orang yang memiliki jabatan tinggi di usia mudanya. Hal ini terbukti dengan kepercayaan yang diberikan oleh penguasa Republik Florence di masa Machiavelli muda. Dalam usia 25 tahun, Machiavelli pernah dipercaya dalam salah satu jabatan publik karena kemampuannya menarik perhatian Gorfalonier Piero Soderini sebelum dia diangkat menjadi penguasa dalam Republik Florence. Ketika tampuk kepemimpinan Republik Florence yang di pegang oleh Gorfalonier Piero Soderini pada 1498 sampai 1512, Machiavelli dianggap menjadi orang kepercayaan Soderini, sampai-sampai para musuh Soderini menyebut dia “kacung Soderini”18. Dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Niccolo Machiavelli pun masuk dalam kelompok kaselir yang terdiri atas majelis sepuluh, yaitu sebuah lembaga penting republik Florence, dimana badan ini memiliki sejumlah kekuasaan diplomasi, masalah peperangan, dan lain-lain. Dan tokoh ini 16 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 127. 17 Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, h. 107. 18 Mirza Gultom, “Peta Politik Niccolo Machiavelli Mengenai Negara,” artikel diakses pada 30 desember 2010 dari http: //www. tokohpolitikmirza.org/2010/1230/machiavelli.html. 20 sering terlibat dalam pelbagai missi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis dan Jerman. Di Florence, dia meraih kesuksesan di mata penguasa. Termasuk ketika berhasil merebut Pisa dan mengembalikannya ke dalam kekuasaan Republik Firenze tahun 1508. Bahkan sebagian sejarawan ada yang menatakan bahwa Machiavelli pernah menjadi sekertaris di republik Florence19. Nicolo Machiavelli menjabat sebagai aparatus negara republik Forence selama empat belas tahun. Pada waktu menjadi sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine, Machiavelli mendapatkan pengalaman dengan seringnya pergi ke negara-negara lain menemui para penguasa dan tokoh pentingnya, seperti kepada Paus, kaisar dari Jerman dan Raja Perancis, yang mana Machiavelli pernah memberikan stetmen bahwa di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali dapat dieliminasi20. Dengan jatuhnya pemerintahan republik Florence di bawah Soderini oleh keluarga Medici di bawah Lorenzo II, Machiavelli pun ikut diberhentikan dari jabatan publiknya. Meskipun sebelumnya Machiavelli berusaha untuk tetap 19 Kasman Singodimejo dan Mohamad Saleh, Machiavelli, (Jakarta: Permata Jakarta, 1973), h. 7. 20 Ibid, h. 9. 21 bertahan, dengan meyakinkan keluarga Medici dengan pengalamannya sebagai aparatus negara yang gemilang. Karena Machiavelli sendiri tidak memiliki sifat penjilat ulung atau menurut ahli sejarah Dr. J.F. Oten Machiavelli ini disebut juga doortrapte vleier21 . Akhir dari jabatan Machiavelli sendiri tergolong buruk, karena sesudah dia dipenjarakan, dia dituduh sebagai komplotan yang mencoba menggulingkan pemerintah. Namun dia tetap tidak mengakui akan hal itu, dan juga dia tidak terbukti, maka tokoh politik dan penulis ini akhirnya dibebaskan, tetapi pembebasannya ini berupa pengasingan terhadapnya ke wilayah terpencil daerah pertanian di San Casciano. C. Karya Tulis Niccolo Machiavelli adalah seorang politikus ulung, lihai, dengan pandangan politik yang tajam. Tetapi karena kejatuhannya dari politik praktis maka, dia menuangkan dan merealisasikan konsep dan keintelektuallannya dari hasil pengalaman diplomasi, dan studi komparasinya di luar negri selama empat belas tahun yaitu dalam bentuk tulisan. Ataupun kalau menurut Ahmad Suhelmi, Machiavelli ketika menghadapi masa pengasingannya itu dia merasa memasuki arena purbakala dengan mencoba berdialog dengan para philosuf dan politikus pendahulunya dengan menanyakan kenapa strategi politik mereka seperti itu, dengan menyerap dan menggeneralisasikannya sehingga terealisasikannya beberapa tulisan darinya22, dimana tujuan penulisan literaturnya ini memiliki dua tujuan. 21 J.F. Otten, Konsep Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 1963), h. 6. Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 129. 22 22 Pertama, tokoh ini menginginkan dari tulisannya itu agar pemerintahan Medici bisa mengelola negara dengan baik jauh dari korupsi, penindasaan terhadap rakyat. Seorang Raja harus mementingkan kehidupan negaranya dibandingkan individu dan keluarganya (nasionalis). Kedua, terlepas dari itu Machiavelli pun adalah seorang manusia biasa yang menginginkan sebuah kehormatan, dan jabatan. Sehingga penulisannya pun tak terlepas, bahwa dia menginginkan kembali jabatan publik di era pemerintahan Medici. Tetapi selain itu dia juga menulis karya-karya lain baik berupa komedi, strategi perang, sejarah Florence dan karya-karya lain sampai tokoh ini akhirnya meninggal dalam keadaan dikelilingi oleh literatur-literatur hasil karyanya di pengasingan. Kontribusi Niccolo Machiavelli dalam pemikiran politik sangatlah penting dan berharga. Bahkan tokoh ini disebut-sebut sebagai bapa politik moderen yang mengeluarkan kungkungan area politik dari wilayah kepausan Gereja. Khususnya buku yang dia beri judul The Prince dan The Discourses atau bisa disebut sebagai buku pedoman bernegara khususnya Florence. Tetapi jauh dari pemikiran Machiavelli, justru literaturnya diacuhkan oleh penguasa masa itu, dan juga dilarang penerbitannya oleh Gereja pada berikutnya, justru mendapat sambutan hangat di era moderen. Maka amatlah penting untuk mengetahui apa substansi dan relevansi dari The Prince dan The Discourses itu? 1. The Prince The Prince yang terdiri dari 26 bab yang berisi beberapa pembahasan tentang macam-macam pemerintahan, ketentaraan, posisi agama dalam negara, 23 mempertahankan dan melindungi kekuasaan, dan tatacara memilih aparatus Negara23. The Prince adalah sebuah literatur pembuka keran liberalisasi politik yang bebas dari kungkungan Gereja, yang isinya menyangkut bagaimana memprtahankan, merebut, dan memperluas kekuasaan. Di mana asumsi-asumsi yang lahir dari padanya adalah aktualisasi dari hasil riset pengalamannya selama empat belas tahun dengan memformulasikannya dengan situasi dan kondisi Italia yang hancur kala itu. Sehingga isi dari The Prince ini menggeneralisasikan metode politik yang lihai, cerdik, penuh dengan strategi untuk mempertahankan kekuasaan demi stabilitas Negara yang sedang mengalami titik rendah kehancurn, yang penuh dengan penindasaan, kekuasaan Gereja yang ingin menghegemoni Negara, korupsi yang merajalela. Sehingga tak heran bila isi dari The Prince yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, karena memang isi dari argumentasi Machiavelli ini ibarat penawar yang ditawarkannya bagi Italia khususnya, dan umumnya dipakai juga oleh para pemimpin dunia. Karya ini bisa disebut sebagai karya paling fenomenal yang ditulis oleh seorang Machiavelli, menjadi sorotan, serta pertentangan para sejarahwan, kaum intelektual, para politikus, dan akademisi. Dimana dari isi literatur ini menggambarkan konsep realitas politik demi mempertahankan kekuasaan yang ditelitinya secara komparatif anatara kondisi politik dulu dengan masa Italia yang terpecah belah menjadi Negara kota waktu itu. Tidak sedikit orang yang membela isi dari The Prince dan juga ada yang menyalahkannya, sampai-sampai disebutnya tokoh ini sebagai bapak kejahatan politik. Namun yang paling penting isi dari The 23 Machiavelli, The Prince, h. xi 24 Prince ini Tidak seperti apa yang ditulis oleh para pemikikir sebelumnya, atau pemikir yang sejamanan dengan Machiavelli, yang hanya menyandarkan idenya secara dogmatisme berdasarkan penulisaan klasik yunani dan Romawi, tanpa dikritisi dan ditafsirkan secara menyeluruh. Shingga bisa disebut para pemikir yang sejaman dengan tokoh ini hanya melihat karya-karya klasik secara tekstual24. Sedangkan penulis The Prince ini melihat Italia dan sejarah terdahulu adalah dengan metode komparatif kritis. Karena didalamnya menjelaskan berbagai sejarah pemerintahan yang dilakukan oleh raja-raja dengan membandingkan antara Raja yang memperoleh kemenangan, dengan Raja yang mengalami kekalahan seperti yang diceritakan Machiavelli tentang kisah Duke of Ferrara yang mampu bertahan dari serangan kaum Venesia25. Karena menurut Machiavelli sendiri sejarah sebuah negara amat berguna untuk pelajaran bagi seorang penguasa, untuk menjadi bahan komparatif seorang penguasa. agar dalam memainkan perananannya dia harus mampu mengontrol Negara dengan baik, meski harus berbuat yang amoral atau bersifat kikir, atau harus siap setiap saat dengan menyelipkan senjata di dekatnya. Karena itu semua dilakukan hanyalah demi keutuhan Negara. Dalam menguasai Negara, si penguasa harus mengendalikan dalam melakukan kekejaman dengan tidak melakukannya tiap hari dan siapapun penguasa yang bergerak aktif dalam Negara atau diluar Negara harus siap dengan 24 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 250-251. 25 Machiavelli, The Prince, h. 37. 25 pisau ditangan, karena kita tidak tahu hal yang merugikan apa yang bakal menimpa seorang raja dalam tindakan politiknya26. Dari karyanya itu Machiavelli mengnginkan Florence menjadi Negara yang kuat, sejahtra, dan aman dari penjajahan negara lain. Dan itu semua menurut Machiavelli bisa di dapat dengan cara bagaimana seorang penguasa dalam bersikap terhadap negaranya. Hal ini mengindikasikan bahwa The Prince telah memberikan gambaran kepada para raja dalam sebuah Negara, sehingga dikenal bahwa raja itu haruslah memiliki dua sifat seperti rubah dan seperti singa. karena Rubah pandai bisa menghindar dari jebakan, dan singa memiliki kekuatan untuk melawan, bahkan ditakuti. Statmen ini bukan berarti Machiavelli menganugrahkan buku kejahatan bagi seorang pangeran, tetapi maksud dari karyanya ini adalah demi kepentingan stabilitas negaranya. Seperti apa yang dia nyatakan dalam bukunya The Prince: “Saya tahu setiap orang akan mengakui seorang penguasa patut dipuji bila memiliki semua kualitas yang baik. Namun semua itu tidak bisa dimiliki atau dijalankan karena kondisi manusia tidak memungkinkannya. Perlu bahwa manusia harus cukup bijak untuk menghindari sifat-sifat buruk yang bisa membuatnya kehilangan Negara. Namun bila tidak mampu, sang pangeran bisa mengikuti dengan sedikit keberatan. Dan dia tidak boleh keberatan melakukan sifat-sifat buruk itu, tanpa hal-hal yang akan sulit untuk menyelamatkan negara. Karena bila orang menganggap baik, akan ditemukan beberapa hal yang tampaknya baik, bila diikuti akan menuju pada keruntuhan seseorang. Sebaliknya hal-hal yang tampak buruk bisa memberikan keamanan dan kesejahtraan lebih besar27”. Pemikiran etika dan kekuasaan yang sulit dipisahkan. Machiavelli menekankan bahwa risetnya ini murni bertujuan menciptakan kestabilan kekuasaan yang dimana etika hanyalah alat untuk mempertahankannya karena maksud dari semuanya adalah memberlakukan peraturan yang perlu diandalakan 26 27 Machiavelli, The Prince, h. 77. Ibid., h. 112. 26 oleh penguasa secara penuh, agar negara Italia bisa bersatu, dan tidak berpecah belah. Pemisahan antara wilayah etika dan kekuasaan yang dilakukan Machiavelli dalam karyanya ini, karena dorongan situasi Italia waktu itu yang berada dalam posisi krisis, serta perpecahan yang melanda negara itu, dengan kondisi itu Machiavelli ingin membebaskan Italia, dan mempersatukannya kembali. Dan ini semua bisa didapatkan dengan cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan oleh sang pangeran demi memajukan kepentingan negara dan rakyat. Metode pertahanan kekuasaan yang dikenalkan Machiavelli ini masihlah relevan dengan konteks politik kekuasaan yang dihadapi saat ini. Karyanya ini menempatkan dia sebagai tokoh pakar politik kekuasaan atau disebut Max Lerner sebagai bapak politik kekuasaan28. Terlihat dari sekumpulan konsep yang ada didalamnya tokoh ini memberikan agar para pembacanya sekumpulan prinsip atau kaidah nyata bahwa seorang penguasa bila menginginkan keberhasilan dalam memenej negaranya maka dia arus mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi, sehingga tidak salah dalam bertindak, meskipun dengan berprilaku yang agak bejat asalkan yang perlu digaris bawahi jangan sampai merebut hak kebanyakan rakyat, karena itu bakal menjadikan rakyat tidak mendukungnya, karena rakyatlah yang akan selalu mendukungnya asalakan jangan pernah menyakiti dan menindas rakyat, atau harus diusahakan agar rakyat ini dijadiknnya sebagai teman29. Tidak berhenti sampai disitu, selain strategi mempertahankan kekuasan, merebut kekuasaan, atau menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan, buku 28 Max Lerner, Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses, (New York: Moderen Library, 1950), h. 33. 29 Machiavelli, The Prince, h. 35. 27 The Prince ini juga dikenal sebagai buku paling kontroversial, The Prince adalah sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersamasama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler), Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin), dan buku-buku hebat lainnya30. 2. The Discourses Karya ini disebut sebagai sinar bagi para pembaca The Prince, karena dengan membacanya, pembaca The Prince tidak hanya mengtahui bahwa Machiavelli adalah seorang par excellence. Tetapi The Discaurses merupakan jawaban bahwa Machiavelli adalah seorang republikan, yang menginginkan sebuah tatanan negara republik bagi kebaikan warga negaranya, sebagai demokrat besar, dan sebagai pemikir yang memberi sumbangsih besar pada kebebasan politik dari belenggu Gereja31. Dimana rakyat dan penguasanya saling bekerjasama, sehingga terciptalah negara yang beretika. Karya ini menggeneralisasikan tentang ungkapan Machiavelli yang dia ketahui tentang sejarah politik khususnya tentang berdirinya sebuah republik dan juga hasil pengalamannya yang telah dia pelajari dalam waktu yang lama. Karya ini terbagi menjadi tiga buku; Buku Kesatu terdiri dari enam puluh bab berisi tentang analisis urusan-urusan dalam negeri bangsa Romawi; Buku Kedua berisi tiga puluh tiga bab berbicara tentang urusan-urusan militer dan luar negeri; Buku 30 Bruce Warner, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli. 31 Henry, J. Filsafat Politik, h. 247. 28 Ketiga berisi empat puluh sembilan bab menjelaskan tentang sumbangan bagi kebesaran Romawi yang diberikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sejumlah warga negaranya yang terkemuka. Judul asli karya ini adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, judul ini sesuai dengan bahasa asli Machiavelli sendiri yaitu Italia atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai The Discourses on Livy, diskursus yang berarti Sebagai seorang penasehat rezime pemerintahan republik yang saat itu tengah menghadapi berbagai ancaman politik, Machiavelli memberikan nasehat-nasehat realistik terhadap pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan ditengah gempuran dan ancaman intrik-politik. Nasehat-nasehat inilah yang banyak tertuang dalam risalahnya The Prince kemudian diinterpretasikan sebagai akar pemikiran mazhab realis32. Sedangkan karya diskursusnya ini menampilkan wajah yang berbeda dengan The Prince dalam konteks pandangannya untuk menjaga spirit dari pemerintahan republik, mendorong gairah patriotisme dari warga negara untuk mencintai dan membela tatanan politik Republik Roma yang tertuang dalam karyanya The Discourses on Livy yang menempatkannya sebagai filsuf besar pendiri mazhab pemikiran Civic Republicanism. Dalam bukunya ini, justru Machiavelli terlihat sebagai seorang pemikir politik yang mencita-citakan negara ideal yang penuh dengan kearifan, kedamaian, dan kesejahtraan. Sehingga tokoh ini secara jelas menempatkan posisi rakyat dalam perpolitikan negara yang dia sebut Republik, Machiavelli menguraikan bahwa partisipasi warga dalam arena politik untuk menentukan yang baik dalam kehidupan bersama adalah aktivitas termulia dari setiap warganegara. 32 Kasman Singodimejo, dan Mohammad Soleh, Machiavelli, h.13. 29 Dalam irama argumentatif yang positif, Machiavelli menuangkan argumentasinya, bahwa tujuan dari tatanan politik republik adalah menghadirkan keadaban publik, sehingga disinilah pemerintahan oleh rakyat lebih luhur daripada pemerintahan monarkhi yang dipimpin oleh seorang raja. Selanjutnya dengan paparan negatif, ia menegaskan bahwa keruntuhan kehidupan republik bermula ketika setiap warganegara mulai meninggalkan dan mencibir kearifan (dalam pandangan politik Machiavelli, kearifan merupakan sentral dari pemikiran politiknya) yang telah menjadi tradisi dari para pendiri republik. Oleh karena itu, maka pantaslah jika substansi dari The Discourses memposisikan kehidupan publik di Negara Republik memang menempati wilayah yang utama bagi Machiavelli, tidak saja dalam pikirannya bahkan dalam spiritualitasnya. Dalam karyanya ini, Machiavelli mengkritik berbagai bentukbentuk ekspresi keagamaan yang hanya mengejar asketisme penyelamatan diri. Menurutnya spiritualistik seperti ini akan membawa individu pada karakter egoistik yang tersamar dalam bentuk pemujaan kepada yang transendental. Bagi Machiavelli, keutamaan pandangan keagamaan justru terletak pada ekspresi kegairahan untuk menjaga keadaban diwilayah publik, kearifan warganegara untuk hadir dalam wilayah politik. Dalam arti pentingnya posisi agama adalah eksistensi fondasinya, dimana agama yang dipercaya oleh masyarakat dapat menjadikan mereka beretika yang merupakan respon dari titah Ilahi dan para Nabi33. Karena sangat pentingnya etika dalam sebuah tatanan republik dalam pandangan Machiavelli, sehingga ketika virtu (kearifan) telah ditinggalkan dan 33 Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h.53. 30 dianggap sebagai tradisi zaman lampau oleh warganegara, maka karakter yang bersemai dalam tatanan republik diambang keruntuhan. Watak apakah yang menjadi virus yang menyebar diantara warganegara pada senjakala republik. Menjawab pertanyaan ini, Machiavelli memberikan tekanan pada karakter koruptif yang menyebar baik dalam tindakan para elite pemimpin maupun warganegara, setelah kearifan publik meredup sebagai pintu pembuka bagi kehancuran republik34. Machiavelli memiliki pandangan menarik tentang korupsi yang menarik untuk diulas, tokoh ini mengartikan korupsi dalam perspektif yang luas sebagai tindakan apapun yang menempatkan kepentingan personal diatas kepentingan publik. Perspektif Machiavelli tentang korupsi ini lebih luas dan lebih radikal daripada pengertian modern tentang korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau menggunakan uang negara untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain. 34 73. Iseult Honohan, Civic Republicanism: Negara Republik (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 31 31 BAB III DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN A. Asal-usul Etika Kajian etika memang sudah dibahas sejak zaman Yunani Kuno, yang di mulai Aristoteles. Akan tetapi meskipun sudah dibahas, masalah etika ini masih menjadi pertentangan. Karena istilah etika yang dikemukakan oleh para ahli filsafat masih dalam tataran mengenai prinsip-prinsip moral dasar. Sehingga Moore menyebutnya sebagai fallacy (kekeliruan)1. Etika dan kekuasaan memang berasal dari kata yang berbeda. Dan kata ini memiliki disiplin ilmu tersendiri. Namun krisis yang telah melanda dunia saat ini salah satunya adalah tidak diindahkannya masalah etika di dalam segala urusan, khususnya urusan kekuasaan. Problem Etika dan Kekuasaan sangat sensitif karena dua unsur ini selalu melengkapi satu dengan yang lainnya. Banyak literature yang menuliskan tentang etika, baik itu berupa etika politik, pilsafat etika, etika bisnis, ataupun relativisme etika, bahkan tentang etika pemerintahan atau juga etika kekuasaan. Dengan mengglobalnya masalah etika, bukan berarti menambah kapasitas manusia-manusia yang menjunjung tinggi etika. Justru masalah etika di dunia saat ini semakin kompleks. Hal ini dikarenakan istilah etika sendiri kadang hanya dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan, ini terlihat dari berbagai tindaktanduk para elit politik dalam merealisasikan politik praksisnya. Etika dan kekuasaan sudah menjadi dua istilah identik dalam tatanan kehidupan bernegara. Dimana etika menjadi salah satu mata pengontrol dalam 1 Mohammad Ali, Relativisme Etika, (Bandung: Serambi, 2005), h. 31. 32 merealisasikan kekuasaan. Namun cara pandang etika inilah yang justru banyak perbedaan para philosuf dalam memberikan definisi istilah etika. Karena, etika seringkali menjadi baik di sebuah komunitas, atau Negara, tetapi belum tentu Negara lain menganggap baik hal tersebut2. Etika pun sering diartikan sebagai tata kesopanan yang timbul dalam hati nurani manusia yang melahirkan prilaku baik atau buruk dalam jati diri seseorang termasuk penguasa, yang sering juga disebut peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dalam bernegara3. Masalah etika ini termasuk pada masalah relatif yang masuk pada ranah normatif, dimana etika itu dipandang dari berbagai sudut yang kesemua sudut itu memiliki argument tersendiri4. Menurut George Edward Moore bahwa teori etika itu dipaparkan oleh masing-masing para ahli mulai dari Aristoteles sampai pada David Hume hanya bersifat menerapkan kata etika yang disesuaikan dengan sifat atauciri tertentu. Sehingga moore menyatakan hal itu dengan disebut fallacy (kekeliruan)5. Jadi apabila etika ini disandingkan dengan kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa Moore melihatnya dari segi bagaimana sang penguasa itu melakukan tindakan etika dalam arti kebaikan primer (simple)6 Cara pandang para pemikir pun berbeda dalam mengartikulasikan antara etika dan kekuasaan, karena ada pihak yang berargumen bahwa dalam pemerintahan sebuah Negara, etika yang dimaksud adalah kesopanan, kejujuran, atau prilaku baik yang dituntut dalam berkuasa, teori ini senada dengan apa yang 2 3 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 12. Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. viii. 4 Mohammad Ali, Relativisme Etika, (Bandung: Serambi, 2005), h. 33. Franz Magnis Suseno, Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 17. 6 Ibid., h. 19. 5 33 di tulis oleh Aristoteles, Plato, dan pemikir-pemikir Yunani lain. Dimana kala itu mereka memandang Negara kota (city state) sedang dalam keadaan stabil. Pemikir lainnya juga ada yang berpikir bahwa etika dalam sebuah Negara sudah di atur oleh Tuhan yang diwahyukan lewat kitab-Nya kepada ummatnya, ini bisa dilihat dari etika Negara yang di pegang oleh Paus , sperti yang ditulis Agustinus dalam literaturnya “de civitate Dei”, yang diterjemahkan “The City of God”7. Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua imu yang terpisah8, namun selalu identik dalam hal praksis politik. Karena tokoh ini menganggap etika sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan kekuasaan. Asumsi etika dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. etika merupakan bagian dari strategi kekuasaan, yang tidak selamanya terkait dengan persoalan baik dan buruk namun bersifat realistik dan obyektif serta tidak universal, ia bisa saja berubah-ubah setiap waktu tergantung pada kondisi masyarakat9. Penguasa yang berlaku baik kepada rakyat dalam membangun tatanan sosial dan politik yang baru terbentuk, dianggap sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Tujuannya adalah agar legitimasi kekuasaan bisa tercapai. Sementara pemikiran lain, seperti Russell dan Kant memposisikan etika sebagai landasan berpikir penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Hal ini juga berarti bahwa hubungan etika dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi, namun kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral tidak harus mengarah pada asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal, yakni kemanusiaan. 7 Mushadi Mundiri, dkk., Membangun Negara Bermoral, (Semarang: Pustaka Rizki Putra Semarang , 2004), h. 1. 8 Machiavelli, The Prince, h. 18. 9 Ibid., h. 19. 34 Konsep kekuasaan dan etika senantiasa mengemuka dalam kajian filsafat politik, sehingga kekuasaan tetap memiliki kaitan dengan ketinggian budi pekerti manusia10. Di satu sisi kekuasaan memiliki nilai ideal sebagai sarana perwujudan aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, kekuasaan identik dengan praktek politik penguasa yang melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuaasaan terlibat dalam perdebatan nilai dan praktek. Nilai ideal terkait dengan tuntutan etika yang seharusnya dimiliki oleh penguasa. Sementara pada prakteknya, kekuasaan menghadirkan fenomena yang sulit dan kompleks, riil dan bergerak dalam kebutuhan pribadi sang penguasa sendiri. Pemikiran Niccolo Machiavelli identik dengan kondisi tersebut. Situasi sosial dan politik yang belum stabil menuntut penguasa untuk melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan, karena pada waktu itu Florence sedang berada dalam ancaman kehancurannya11. Pilihannya adalah kekuasaan tanpa stabilitas hanya menyisakan suasana tidak menentu bagi negara. Akibatnya program program penguasa sulit berjalan, sementara kekuasaan harus mengakomodasikan berbagai perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Menurut tokoh ini nilai etika yang paling tinggi adalah Negara yang bijak yang disebut olehnya dengan nama virtu, stabil, dan tindakan yang dilakukan penguasa adalah untuk melindungi Negara, sehingga dia membenarkan tindakan kejam seorang penguasa. Namun yang terpenting adalah sang penguasa berusaha agar tidak dibenci12. 10 A. Rahman Zinuddin, Kekuasaan dan Negara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 139. 11 Machiavelli, The Prince, h. 167. 12 Ibid., h. x. 35 Tentang kualitas-kualitas lain sebelum diangkat, saya katakan, setiap penguasa harus bisa dianggap penuh belas kasih dan tidak kejam. Namun ia tidak boleh menyalahgunakan rasa belas kasih itu. Cesar Borgia dianggap bengis, namun kebengisannya membawa ketertiban bagi Romagna, menyatukannya dan membawanya kedalam perdamaian13. Maka dari itu untuk memahami substansi dan relevansi antara etika dan kekuasaan ini diperlukan usaha mendalam, agar dalam menilai para tokoh filsafat politik itu tidak terjebak pada sisi negatifnya, karena mereka pun memiliki argumen yang kuat sehingga memaksa mereka untuk mengkolaburasikan definisi istilah etika dan kekuasaan khususnya dalam ranah politik demi cita-cita kesejahtraan dan kesetabilan Negara . 1. Definisi Etika Kata ini berasal dari Yunani asalnya ethos, secara etimologis artinya tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Secara jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dan kata ini lah yang menjadi titik dasar lahirnya nama etika yang disebut oleh Aristoteles. Definisi etika pun sering disamakan dengan moral, dimana kata moral ini berasal dari bahasa latin mos (mores) artinya kebiasaan atau adat14. Secara terminologis arti etika yang disuguhkan oleh Bertens ada tiga unsur yaitu: “Pertama, etika adalah nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya jika seseorang menyebutkan etika agama protestan, agama Budha, etika suku Indian, dan ini berlaku berfungsi bagi individu maupun taraf social. Kedua, etika berarti asas atau 13 14 Ibid., h. 119. K. Bertens, Etika, h. 4. 36 nilai moral disebut juga kode etik misalnya kode etik rumah sakit. Ketiga, etika yaitu ilmu tentang baik dan buruk15”. Jadi dapat dipandang bahwa K. Bertens, telah memberikan arti kata etika ini yang menyangkut hal-hal aturan dalam sebuah wilayah yang memiliki nilainilai dan menjelaskan antara yang baik dan buruk sehingga jelas keadaannya, yang dimana definisi ini didapatkannya dari pengertian yang berasal dari kamus besar bahasa Indonesia. Tokoh lain pun tidak jauh berbeda dengan definisi etika dalam kamus besar bahasa Indonesia, seperti yang disadur oleh Ahmad Charris dia memberikan definisi etika sebagai berikut. Etika merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat dengan memberikan keterangan antara baik dan buruknya sebuah tindakan atau tingkah laku manusia16. Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaranajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip setiap tindakan manusia. Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsipprinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. 15 16 Ibid., h. 6. Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 14. 37 Sedangkan Moore memberikan definisi etika bahwa etika bukan lah hal yang hanya membahas mana baik dan buruk, karena pengertian itu menurutnya masih terjebak pada pengertian keadaan fisik, pisikis, dan metafisik yang dipengaruhi oleh pemahaman seseorang terhadap agama tertentu atau adat tertntu. Menurutnya etika adalah merupakan sifat yang primer (simple) yang tidak lagi terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur dan oleh karena itu juga tidak dapat dianalisa17. Dari kesemuanya definisi, maka jelas apa yang dikatakan Moore bahwa para philosoph telah terjebak pada pengertian etika yang menurutnya masih keliru. Dan ini tidak hanya terjadi dijaman dulu justru bila diperhatikan secara seksama, maka tidak ada perbedaan dengan para tokoh etika saat ini. Ini terlihat dimana definisinya masih saja menggunakan etika itu pada tataran normatif. Padahal bila dicermati etika itu memiliki makna dan cakupan yang begitu luas, sehingga kata-kata kasar itu bukan berarti tidak beretika, tetapi dalam kondisi seperti apa kata itu digunakan. Dan bukan berarti seorang kepala Negara itu tidak beretika ketika dia membunuh beberapa orang pemberontak, atau melakukan peperangan demi kepentingan kesejahtraan rakyatnya. Tetapi etika itu adalah bagaimana manusia itu menggunakan situasi dan kondisi demi kebaikan dan kepentingan yang lebih utama. Franz Maginis Suseno memberikan definisi yang lebih tepat dibandingkan tokoh etika yang lainnya. Beliau memberikan definisi etika yaitu sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus hidup dan bertindak. Maka para manusia 17 Franz, Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20, h. 20. 38 akan belajar untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu18. 2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara Kehidupan bernegara terjadi diawali karena adanya hubungan sosialisasi manusia, dimana mereka merasa saling membutuhkan anatara satu dengan yang lainnya. Tetapi karena sifat alamiah manusia tamak, jahat, dan haus akan kekuasaan, seperti apa yang disebut oleh Thomas Hoobs sebagai selfish (mementingkan diri sendiri)19. Maka hal ini memberikan sebuah sinthesis bahwa perlulah adanya peraturan untuk mengatur tata kehidupan manusia, atau barangkali yang disebut Ibnu Khaldun bahwa manusia itu memiliki watak kehewanan yaitu menyerang dan menindas yang lain,20 agar dalam komunikasi diantara mereka bisa terjalin dengan baik, perlulah seorang pemimpin berkarakter yang mampu menjaga, dan mengamankan manusia lain. Karena itu kepemimpinan demikian haruslah diberikan oleh yang memegang kekuasaan dan mempunyai keibawaan, serta kecerdasan emosional tinggi, sehingga mampu mencegah siapapun menyerang dan menindas orang lain. Oleh karena itu, disinalah tempatnya dimana etika harus mengambil posisi strategisnya dalam Negara. Machiavelli pun tidak melupakan hal terpenting ini seperti apa yang ditulisnya dalam The Prince: “Sekarang kita bicara soal yang terpenting dari sifat-sifat. Seperti yang disebutkan, penguasa harus menghindari hal-hal yang akan 18 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), h. 13. 19 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 310. 20 Charles Issawi. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu Khaldun. (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), h. 137. 39 membuatnya dibenci atau dipandang rendah. Bila berhasil, berarti dia telah melakukan bagiannya dan tidak menemui bahaya dalam sifat-sifat buruk lain. Dia akan dibenci bila tamak/serakah dan merampas harta milik warganya serta kaum wanita mereka yang mestinya tak boleh dlakukan. Bila dia tidak menyerang harta milik atau kehormatan mereka, mereka akan hidup senang21”. Maka jelaslah dari pernyataan Machiavelli ini, tokoh ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam sebuah Negara, bahkan dia adalah seorang yang sangat tidak membolehkan adanya korupsi. Terlepas dari apakah ini strategi atau bukan, yang terpenting adalah substansi yang ada dalam ajarannya itu adalah mengandung akan kebutuhan nilai-nilai etika untuk menegakan sebuah Negara. Perwujudan konsep etika adalah demi tegaknya sebuah kekuasaan Negara yang sejahtara baik itu berbentuk republic yang didalamnya diberlakukan system demokrasi, monarki, ataupun aristokrasi. Apalagi bila yang terjadi adalah kebalkan dari system yang tiga tadi, yaitu dimana demokrasi menjadi mobokrasi, monarki menjadi tirani, dan aristokrasi menjadi oligarki22. Sehingga menjadikan Negara dalam situasi yang cheos, maka sangat urgenlah posisi etika didalamnya. Menurut Paul Ricour hal ini bisa ilihat dari tiga pandangan23. Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak 21 Machiavelli, The Prince, h. 127. Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, h. 51. 23 Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 22 30. 40 adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan “perubahan harus konstitusional”, menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja. B. Asal-usul Kekuasaan Manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan pernah bisa hidup secara individual, namun manusia juga tidak bisa lepas dari sifat hewaninya yang sering meramaikan dunia ini dengan pertumpahan darah, penindasan, tangisan, dan mengembangkan kekacauan diantara mereka sendiri. Sehingga dari realitas inilah maka manusia menempatkan akal pikirannya agar dalam proses kehidupan yang saling membutuhkan ini, agar terjalin keharmonisan, kedamaian dan kesejahtraan diantara mereka. Ini semua bisa didapat dengan cara mengkoordinir, dan meminij kehidupan manusia, dan disinilah posisi penting adanya seorang penguasa. Dimana dengan adanya kekuasaan yang dipegang oleh seorang penguasa dengan efektif, maka kehidupan manusia bisa dikontrol dengan baik24. Ibnu Taimiyah, seorang tokoh politik Islam pernah berkata bahwa lebih baik dipimpin oleh seorang penguasa yang jahat seribu tahun, dari pada tidak ada seorang penguasa 24 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 1977), h. 37. 41 didalamnya. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah komunitas manusia. Seorang tokoh politik Islam, Ibnu Khaldun pun mengakui akan adanya eksistensi kekuasaan. Karena menurutnya kekuasaan adalah sesuatu hal yang alamiah. Kekuasaan Negara itu adalah sesuatu yang alami bagi manusia. Sebagaimana telah kami jelaskan, manusia tidak mungkin hidup dan ada tanpa berkumpul dan bekerjasama untuk menghasilkan makanan pokok dan kebutuhan primer meraka25. Tetapi yang menjadi permasalahan dunia saat ini adalah bagaimana merealisasikan kekuasaan dalam sebuah Negara, dan harus seperti apa, agar Negara itu berada pada posisi yang teratur, kekuasaan bisa bertahan, dan yang paling penting bagaimana agar cita-cita kekuasaan ini bisa menstabilakan kehidupan bernegara. Untuk itu maka perlulah diketahui mulai dari definisi kekuasaan itu sendiri. 1. Definisi Kekuasaan “Dalam pemerintahan mempunyai makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi “kewenangan” ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati26”. Definisi ini sedikitnya sudah dilaksanakan di era demokrasi saat ini. Tetapi 25 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 171. Wikipedia, “Kekuasaan, artikel diakases pada http://wikipedia.com/2011/01/05. 26 5 Januari 2011 dari 42 selain daripada itu para pakar politik dari jaman Yunani kuno sampai pada jaman Renaisance pun memiliki konsep sendiri-sendiri meskipun pada intinya adalah sama. Dimana kekuasaan itu memiliki unsur-unsur adanya penguasa, dan ada yang dikuasai. Menurut Prof. Miriam Budiarjo, kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku27, atau Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Weber memberikan definisi kekuasaan sebagai kemungkinan seorang pelaku mewujudkan cita-citanya didalam sebuah komunitas manusia dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu28. Dari definisi para tokoh diatas yang sudah gamblang, menurut seorong pakar sosiolog moderen Dahrendorf masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya karena menurutnya kekuasaan adalah sesuatu hal yang jelas milik kelompok, milik individu-individu daripada milik struktur sosial29. Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan 27 28 Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 35. Roderick Martin, sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 70. 29 Ibid., h. 71. 43 kekuatan baik dalam bentuk hukuman atau yang lainnya. Karena menurut Blau sifat daripada kekuasaan ini adalah negatif. Maka didapat dari sekian definisi, bahwa para pakar politik dan sosiologi membrikan definisi hanya atas dasar kasat mata atau realitas yang tidak diuji secara mendalam apa substansi dan asas dasar dari kekuasaan itu sendiri sehingga kekuasaan ini terlihat sebagai suatu hal yang negatif30. Maka dari itu, perlulah sekarang mengetahui apa definisi kekuasaan menurut Machiavelli, tokoh ini memberikan definisi yang sarat dengan unsurunsur negatif menurut beberapa tokoh politik, bahkan dianggap sebagai bapa kejahatan politik. Akan tetapi bila diambil substansi dari kedua karyanya The Pprince dan The Discaurses, definisi yang selaras dan dicita-citakan Machiavelli bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Tokoh ini mengusulkan, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, sang penakluk harus mengatur langkah kekejaman sekaligus tetapi jangan dilakukannya tiap hari. Kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga rakyat bisa merasa senang31. Untuk mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia, Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Menarik untuk dicatat, menurut Sendiantoro meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan 30 31 Ibid.,h. 75. Machiavelli, The Prince, h. 77. 44 sinis, dia sendiri seorang idealis, nasionalisme, dan seorang patriotisme32. Terlihat dari bukunya the Discaurses dia menulis bahwa seorang penguasa itu harus melakukan tindakan-tindakanya demi kestabilan negara. Atau moto menghalalkan segala cara hanyalah sebuah ide dari kepalanya yang bertujuan agar negara tidak dilanda kehancuran dan perpecahan. Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan usulnya seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di jaman lampau, atau dari kejadian di Italia yang agak baruan. Cesare Borgia (yang dipuji-puji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari Machiavelli; malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya33. Jadi jelaslah bahwa definisi kekuasaan adalah bagaimana seorang penguasa atau kepala negara merealisasikan kekuasaannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang objektif, karena tida semua yang nampak itu adalah kekejaman tetapi seperti apa yang dikatakan Machiavelli bahwa kekuasaan itu hanya diperuntukan demi negara. 2. Mempertahankan Kekuasaan Ada banyak cara dan metode yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan mulai dari cara-cara etis sampai kepada cara yang bengis dan kejam, baik melalui kedok demokrasi, komunisme, sampai kepada kedok agamis. Karena politik selalu mengajarkan bagaimana agar kekuasaan bisa langgeng. Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat34, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui 32 Ibid., h. 12. Ibid., h. 6. 34 Hendra, Filsafat Demokrasi, h. 33. 33 45 jalur partai politik. Partai-partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Itu adalah gambaran alam demokrasi di era moderen. Terlepas dari realitas yang terjadi dalam alam politik dunia saat ini, kekuasaan dalam konsep demokrasi adalah selalu ditangan rakyat. Dalam buku “Benturan Peradaban” karya Huntington dijelaskan konsep demokrasi yang digembor-gemborkan saat ini pun adalah upaya Barat untuk menghegemoni dunia35. Jadi jelaslah apapun konsep politik yang telah dikenalkan di dunia ini jelas-jelas semuanya mengarah pada cita-cita demi melanggengkan kekuasaan. Padahal sebelum era moderen berbagai teori kekuasaan telah dikenalkan oleh para pilosuf politik, bagaimana agar kekuasaan itu bisa bertahan mulai dari konsep republik yang dicita-citakan Aristoteles, teori atas dasar Tuhan yang dikenalkan oleh Thomas Aquines, teori tangan besi yang dilakukan oleh para diktator, sampai kepada konsep Negara ideal yang dicita-citakan Karl Marx. Konsep diatas itu sebenarnya memiliki tujuan baik bila dicermati dari sisi teori dan tujuan yang diinginkan oleh para pencetusnya. Namun ketika dipraktekan oleh para penerusnya justru yang lahir adalah efek negatif seperti teori Marx yang dipraktekan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung yang mana mereka semua mengatasnamakan ingin menciptakan Negara Komunis yang dicita-citakan Marx36. Selain daripada itu, konsep Maciavelli tentang Sang Pangeran pun seperti 35 Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta: Qalam Press, 2003), hal. 9. 36 Dr. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi Revolusi, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h. 29. 46 itu, artinya banyak para penguasa yang menggunakan konsepnya, tetapi justru yang lahir dari ralisasi konsepnya adalah kejahatan, penindasaan, dan peperangan antar Negara, bahkan didalam Negara itu sendiri. Hal ini merupakan sifat alamiah manusia atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongannya. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut, tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari rakyatnya. Oleh karena itu, apapun ideology politik yang diargumentasikan, dan direalisasikn oleh mempertahankan seorang kekuasaan politisi yang itu mereka semua mengarah pegang. Akan pada ingin tetapi dalam mempertahankan kekusaan ini ada dua sisi berbeda yang dituju oleh para penguasa. Pertama, memprtahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau golongannya, dan kedua, mempertahankan kekuasan demi kestabilan dan kesejahtraan negaranya. C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan Etika dan kekuasaan memang memiliki wilayah masing-masing dalam konsepnya. Namun karena keduanya selalu bersentuhan dengan problem kemanusiaan, sehingga pantas bila keduanya selalu bertemu dalam satu wilayah dimana keduanya menjadi relasi dalam membanguan negara. 47 Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan demi mendapatkan kekuasaan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Diakui atau tidak dalam sebuah tatanan demokrasi sekalipun dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara, dan itu selaras dengan apa yang diajarkan oleh seorang Niccolo Machiavelli37. Sehingga tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa politik dapat terlepas dari etika. Pendapat ini seringkali disandarkan atas nama Machiavelli, yang dimana kecenderungan para politikus ini seringkali menyalahkan tokoh ini, yang dimana menurut mereka Machiavelli telah menuliskan konsep Negara yang menjauhkan diri dari tindakan-tindakan bodoh (kejujuran, kebaikan, kebijaksaan, dan tindakan-tindakan terpuji lainnya). Berbeda dengan para tokoh pendahulu dan yang sejaman dengannya, dimana mereka selalu menjungjung kejujuran, kebaikan, dan sifat-sifat terpuji lainnya dalam kehidupan bernegara38. Sehingga Upaya itu diwujudkan oleh para pakar teoritisi, bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan kepada pendidikan politik yang sehat antara penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat harus mampu menjadi teladan dalam upaya mensejahtrakan rakyatnya, menuju ke arah hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi birokrasi yang adil39. Dari definisi etika politik diatas membantu menganalisa korelasi antara 37 Satanly Bing, Tujuan Menghalalkan Segala Cara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 18. 38 Hendra Nurtjahjo, S.H., Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 25. 39 Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 10. 48 tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur dalam sebuah birokrasi pemerintahan. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Paul Ricour mengandung tiga tuntutan40. Pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan, ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain”, dan semua itu tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan, kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah legitimasi kekuasaan secara fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan41, sehingga bisa disebut democratic liberties dalam arti kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya telah menjadi sebuah aturan konkrit dalam sebuah Negara. Sehingga dalam lapangan yang sesungguhnya agar etika dan politik ini menemukan titik sinthesisnya, menurut para pakar politik moderen harus menggunakan sistem demokrasi, karena hanya demokrasilah yang memiliki substansi-substansi kebebasan dalam kehidupan bernegara. 40 41 Hendra, Filsafat Demokrasi, h. 25. Ibid., h. 20. 49 Semua itu memang benar adanya bahwa etika politik yang sehat dapat menumbuhkan kebebasan demokrasi. Tetapi hal itu tidaklah selaras bila etika itu diterapkan melulu dalam kondisi Negara yang memerlukan ketegasaan seorang penguasanya, tidak dipungkiri bahwa Plato sendiri menyatakan bahwa dia tidak mempercayai sistem demokrasi karena menurutnya justru yang menghancurkan Athena adalah sistem demokrasi itu yang mengakibatkan lahirnya “mobokrasi (kekacauan politik dimana kekuasaan menjadi rebutan banyak orang)”42. Dan ini tidak berbeda jauh dengan konsep republic dalam The Discourses dan ketegasan seorang pangeran atau penguasa dalam The Prince. Machiavelli menawarkan konsepnya, dimana bila kondisi Negara stabil maka lebih baik menggunakan buku The Discoursesnya, sedangkan apabila kondisi Negara seperti dalam keadaan Italia dengan Negara-kotanya yang mengalami perpecahan dan rebutan Negara lain, maka sebaiknya demi kesejahtraan dan kedamaian, serta keamanaan negara dia menawarkan agar penguasa menggunakan The Prince. Selanjutnya tidak salah bila Easton, dia adalah seorang pakar politik barat menyatakan bahwa strategi politik yang dilakukan penguasa seharusnya bisa tepat dan jitu agar dalam praksisnya tatacara nya ini bisa dilakukan dengan baik. Menurut Easton “tidak ada alasan, mengapa ilmuwan politik harus membatasi diri pada tugas memahami hubungan-hubungan politik sebagaimana adanya, tanpa mempertanyakan hubungan politik yang lama atau menciptakan sintesa politik baru43. Dan inilah sesungguhnya etika politik dalam sebuah Negara. 42 Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1988), h. 43 S. p. Varma, Teori Politik Moderen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 107- 51. 109. 50 Perwujudan etika dalam Negara dapat terlihat dari kedamaian, kesejahtraan, dan keamanan warganegaranya dimana semua itu terealisasi dalam strategi politik yang diterapkan oleh penguasanya. Karena pada akhirnya rakyat hanya akan berpikir akan hasil akhir yang menimbulkan prestasi sang penguasanya44. Sehingga dari itu semua didapat bahwa etika dan politik selalu relevan dalam kehidupan bernegara, dan tugas dari seorang penguasa hanyalah bagaimana agar dalam kondisi apapun keduanya bisa menjadi relasi yang baik 44 Machiavelli, The Prince, h. 119. 51 BAB IV PEMBAHASAN MASALAH Dari gambaran tiga bab sebelumnya, didapatlah bahwa antara etika dan kekuasaan itu selalu saling melengkapi dalam ranah politik. Niccolo Machiavelli pun mengenalkan kepada penguasa Medici bahwa seorang penguasa harus bisa melihat kondisi Negaranya secara real, dengan selalu memperhatikan bagaimana beretika, kemudian memilih system Negara yang ideal, kemudian berusaha untuk menstabilkan kehidupan bernegara baik rakyat dan birokrasinya. Tetapi pemahaman tentang Machiavelli ini sering dicerca dan di keritik baik oleh para pendahulu, sezaman, ataupun oleh generasi sesudahnya, atau bahkan di era moderen saat ini pun masih banyak orang yang melihat tokoh ini dari sisi negatif, dan melupakan pelajaran berharga yang pernah ditulisnya baik dalam The Discaurses ataupun The Prince1. Kritik yang lebih langsung adalah tuduhan keberatan bahwa idenya itu bukan khusus keluar dari kepalanya sendiri. Tidak orisinal, Ini sedikit banyak ada benarnya juga. Machiavelli berulang kali menanyakan bahwa dia tidak mengusulkan sesuatu yang baru melainkan sekedar menunjukkan teknik yang telah pernah dilaksanakan oleh para Pangeran terdahulu dengan penuh sukses. Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan usulnya seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di jaman lampau, atau dari kejadian di Italia yang agak baruan. Cesare Borgia (yang dipujipuji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari Machiavelli, malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya. 1 Henry J. Filsafat Politik, h. 270. 52 A. Etika Persefektif Niccolo Machiavelli Dalam hal etika, Machiavelli mengemukakan bahwa manusia itu terdiri dari satu meskipun hidup pada setiap zaman dan tempat. Manusia tidak bisa terlepas dari masa lalu dan masa depan, dan mereka pun akan menghadapi setiap tantangan zaman. Setiap manusia pun memiliki sifat dan ambisius yang sama dengan manusia lain. Mereka memiliki sifat egois, dendam, tipu muslihat, dan takut. Untuk itu disinilah peran penguasa harus mampu mengekang dan mengontrol sifat-sifat tersebut dari rakyatnya, dan ini semua bisa dilakukan dengan etika politik seorang penguasa yang memiliki ketegasan dan strategi yang jitu sesuai dengan kondisi negaranya2. Sehingga dengan alasan ini lah, etika atau moral dalam ranah politik tidak diartikan kejujuran, kesopanan, atau nilai-nilai baik dalam hidup. Karena etika dalam arti seperti itu bila hanya akan melemahkan Negara, maka itu semua tidak diperlukan akan keberadaannya. Seperti telah dikemukukakan dalam bab sebelumnya bahwa istilah etika yang relevan dalam kaca mata politik adalah membangun sebuah kesejahtraan social, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu etika disini tidak hanya didefinisikan sebagai tatakrama, kesopanan, adat istiadat, dan nilai-nilai yang dijungjung tinggi oleh para ahli filsafat. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates dan Plato telah mengemukakan teori etika dan politik, yang sering kali dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan 2 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 99. 53 politik diukur dari keutamaan moral3. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus, karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap politikus jujur, maka suatu Negara akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis). Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik, cenderung mandul dan justru sikap etika yang normatif seperti inilah yang justru dapat menghancurkan negara. Dalam hal ini Machiavelli tidak setuju dengan teori Negara yang dibangun oleh Aristoteles dan Plato dimana kesemuanya itu dianggap oleh Machiavelli sebagai teori tidak riel (nyata). Sedangkan menurut Machiavelli bahwa seorang raja harus melihat kenyataan dan kondisi politik dinegaranya, sehingga program politiknya tidak hanya utopis belaka dengan teori-teori yang menjungjung tinggi nilai-nilai etika yang subyektif4. Dan ini selaras dengan konsep yang dikatakan Machiavelli bahwa masalah etika dalam ranah politik, tidaklah sama dengan cara pandang para pemikir politik Yunani kuno. Akan tetapi etika politik yang baik adalah dimana rakyatnya bisa merasakan kesejahtraan, kedamaian dan keadilan, serta penguasa yang mengontrol Negara, sehingga Negara menjadi kuat. Konsep Negara Machiavelli adalah bukan hanya saja untuk mendapatkan kekuasaan semata, akan tetapi tujuan 3 4 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. . Mohamad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 74. 54 yang lebih jauh lagi adalah, tokoh ini menginginkan agar para penguasa itu mementingkan kehormatan dan kebahagian bangsanya5. Tidak jarang pakar politik, sekaligus seorang politisi yang dialami begitu sengit dicerca seperti dialami Machiavelli. Bertahun-tahun, dia dikutuk seperti layaknya seorang turunan iblis (Old Nick), dan namanya digunakan sebagai sinonim kepalsuan dan kelicikan6. Kritik-kritik yang dilempar kepada Machiavelli atas dasar alasan moral tidaklah, tentu saja menunjukkan bahwa dia tidak berpengaruh samasekali. Bisa disebut para diktator dunia pun mengakui akan kehebatan Machiavelli, hal ini pernah diakui secara langsung oleh seorang Benito Mussolini. Dia adalah satu dari sedikit pemuka politik yang pernah memuji Machiavelli di muka umum, karena itu tak meragukan lagi sejumlah besar tokoh-tokoh politik terkemuka sudah pernah baca The Prince dengan cermat. Bahkan, Napoleon senantiasa tidur di bantal yang di bawahnya terselip buku The Prince, begitu pula orang bilang dilakukan oleh Hitler dan Stalin. Meski demikian, tidaklah tampak jelas bahwa taktik Machiavelli lebih umum digunakan dalam politik modern ketimbang di masa sebelum The Prince diterbitkan7. Tetapi, jika efek, pikiran Machiavelli dalam praktek politik tidak begitu jelas, pengaruhnya dalam teori politik tidaklah perlu diperdebatkan. Penulispenulis sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik dengan etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik 5 6 Ibid., h. 75. Joseph Losco dan Leonardo Wiliams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, h. 561. 7 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 248. 55 sepenuhnya dalam kaitan manusiawi dan mengabaikan pertimbangan- pertimbangan moral dalam persepektif normatif, bahkan tokoh ini menegaskan lebih lanjut bahwa Negara yang berdiri diatas prinsip-prinsip moral akan runtuh. Suatu pemerintahan tidak mengenal ajaran moral, dan alangkah baiknya semua aktivitas pemerintahan tidak berhubungan dengan moral. Moral sedikitpun tidak berpengaruh bagi Negara8. Beberapa hal yang diajarkan Machiavelli dengan konsep etikanya dalam menguasi sebuah Negara atau kota, Masalah etika ini dijelaskan oleh Machiavelli dalam literaturnya The Prince dan The Discaurses. Pertama, nasihat praktek terpenting buat seorang kepala negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan9. Kedua, Machiavelli pun memberi nasihat agar dalam beretika di depan rakyat sang pangeran harus mampu mendapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, maka dari itu penguasa harus bisa berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Tokoh ini memberikan gambaran, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, sang pangeran bisa mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak 8 Maxey, Political Philoshophies, dalam Ali, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, h. 9 Machiavelli, The Prince, h. 73. 101. 56 perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang, tentram, dan memenangkan rakyatnya10. Ketiga, Selain itu cara mencapai sukses, seorang pangeran yang bijak harus bisa mengambil jalan untuk mendapatkan, serta mendengarkan nasihat dari menteri-menteri yang mampu dan setia. Dan Machiavelli memperingatkan pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan11. Keempat, seorang penguasa harus menghindarkan diri dari korupsi, dan begitupun para pembantunya. karena dengan korupsi Negara bisa mengalami kehancuran dalam segala bidang baik itu hukum yang dapat diperjualbelikan, kondisi politik menjadi tak menentu, rakyat sengsara, dan yang paling utama adalah Negara tidak akan bertahan lama12. Namun ironisnya justru para pakar politik yang menggaungkan etika dari zaman ke zaman, seolah-olah telah lupa untuk membahas masalah korupsi, dan cita-cita untuk menjadikan pemerintahan bersih (clean goferenment). Korupsi dalam arti luas semakin merajalela, dan tak terkendali. padahal usaha-usaha Negara dalam memberantas ini telah dicetuskan, akan tetapi selalu menemui kebuntuan di tengah perjalanan, dan lagi-lagi hasilnya nol. Jadi tidak berlebihan bila dikatakan bahwa usaha-usaha pemerintahan negra dengan system demokrasi, atau monarki, dan yang lainnya hanyalah nyanyian belaka, dimana peraturanperaturan itu hanya selingan bersifat membodohi dan menghibur rakyat13. Jadi 10 Ibid., h. 78. Ibid., h. 153. 12 Machiavelli, The Discaurses, h. 69. 13 Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995), h. xvi. 11 57 cara pandang seperti ini jauh sekali bila etika politisi yang hanya menginginkan jabatan, dengan apa yang dicita-citakan Machiavelli. Pada akhirnya manakah yang beretika dan bermoral dalam bingkai politik? Machiavelli ataukah para philosuf dan politisi yang mendengungkan etika yang humanis! Adapun menurut Mohamad Irfan, Machiavelli menuliskan bahwa etika seorang penguasa dalam memimpin sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan cara-cara berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan; kedua, untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (divide et impera) adalah sah; dan ketiga, dalam dunia politik (yang disamakan dengan kehidupan binatang buas ), yang kuat pasti dapat bertahan dan menang14. Dan itu semua dilakukan hanya demi cintanya kepada Negara15. Pergulatan antara etika dan kekuasaan dalam ranah politik akan semakin sengit ketika Machiavelli menyuguhkan konsep yang sangat berlainan sekali dengan para pendahulunya, serta jauh dari pengertian etika yang mereka maksud. Akan tetapi justru dengan perbedaan inilah Machiavelli disebut-sebut sebagai peletak fondasi pertama politik moderen yang real, dan diakui atau tidak realitas politik yang digunakan oleh para politisi moderen bila, menginginkan kelanggengan kekuasaan mereka memakai cara-cara yang telah dituliskan Machiavelli. Bebrapa hal etika penguasa ala Machiavelli ini dikumpulkan dalam banyak cara oleh tokoh ini dalam dua literature yaitu The Discaurses dan The Prince, 14 Mohamad Irfan, Beberapa Teori Kekuasaan Dan Pengaruhnya Oleh Para Pakar ,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://mohamad.blog.ac.id/2010/12/12. 15 Machiavelli, The Discaurses, h. 447 . 58 seperti yang tertulis diatas, tetapi disini hanya akan dibahas dua konsep secara gamblang. 1. Raja Harus Bisa Menyeimbangkan Antara Dibenci dan Dicintai Kejam dan tegas merupakan dua kata yang berbeda, Machiavelli pun menyarankan agar seorang penguasa itu bersifat tegas. Karena tokoh ini melarang sekali seorang penguasa menindas rakyatnya, sehingga konsepnya ini bukanlah menyerukan kepada kekejaman seorang penguasa. Machiavelli mengatakan bahwa kekuasaan itu dipertahankannya dengan keberanian dan kebijakan berbahaya. Tak bisa dikatakan baik bila membunuh orang-orang yang baik padanya, menghiyanati teman tanpa keyakinan, tanpa kasihan, dan itu bukanlah sebuah kemuliaan16. Sedangkan kekejaman yang dimaksud Machiavelli adalah demi melindungi rakyatnya, dari timbulnya kekacauan dalam Negara. Karena dengan sikap ini rakyat akan setia dan Negara menjadi aman. Hal ini ditulis Machiavelli: “Suatu peraturan bisa melukai seluruh komunitas, namun eksekusi seorang penguasa hanya akan melukai individu-individu tertentu. Seorang penguasa baru bisa menghindari reputasi bengus, namun Negara baru selalu menghadapi bahaya. Seperti yang dikatakan Virgil lewat mulut Dido; res dura, et regni novitas me talia cogunt moliri, et late fines custode tuerri. Namun dia harus waspada dalam mempercayai, dan bertindak, serta tak boleh takut terhadap bayangannya sendiri. Ia juga harus tetap dalam sikap yang terkendali dengan bijak dan kemanusiaan. Kepercayaan yang terlalu besar akan membuatnya tak berhati-berhati, sedangkan ketakberanian terlalu besar membuatnya toleran17”. Dalam bab delapan belas yang berjudul cara bagaimana seorang Pangeran memegang kepercayaannya. Di sini Machiavelli berkata, seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan 16 17 Machiavelli, The Prince, h. 75. Ibid., h. 120. 59 dengan kepentingannya. Dia menambahkan, karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang Pangeran yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya, karena manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhankebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu18. Sebagai hasil wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang Pangeran supaya senantiasa waspada terhadap janji-janji orang lain. Dari kedua literaturnya itu Machiavelli menegaskan bahwa keseimbangan antara ditakuti dan dicintai ini, bukanlah berarti ditakuti itu seorang penguasa menindas rakyatnya, akan tetapi maksud dari pada ditakuti ini adalah supaya tidak ada yang membuat cheos negara, dan tidak ada kolonialisme yang berani masuk Italia. Seorang penguasa, itu semua akan menghasilkan sinthesis dengan hasil yang gemilang baik dari sisi kekuasaan, kesejahtraan, dan kesetabilan, serta keamanan negara itu sendiri. Machiavelli mengambil itu semua dari pelajaran-pelajaran sejarah Roma khususnya yang dipimpin oleh beberapa pergantian. Karena itu etika yang ditawarkannya bukan hanya Dari sisi humanisme, tapi bagaimana cara seorang pengauasa itu bisa merealisasikan kekuasaan dengan ketegasan, ditakuti, dan dicintai rakyat bahkan hartus bersikap seperti singa dan rubah karena itu semua adalah demi keselamatan dan ketentraman negara itu sendiri. Penguasa lebih baik ditakuti daripada dicintai, Machiavelli menulis, Apakah lebih baik sang pangeran dicintai ataukah ditakuti, ataukah dia harus ditakuti lebih daripada dicintai. Jawabannya adalah ini, bahwa di harus dicintai 18 Ibid., h. 126. 60 dan juda ditakuti, namun karena kedua hal ini sulit berjalan berdampingan, maka lebih aman apabila sang raja lebih ditakuti daripada dicintai, apabila satu dari kedua hal ini harus dimiliki. Kemudian dia melanjutkan, Karena seringkali manusia secara umum disebut tidak tahu berterima kasih, munafik, tamak, takut akan bahaya. Selama penguasa memberikan keuntungan kepada rakyat, mereka adalah milik penguasa itu sepenuhnya, rakyat akan memberikan darah mereka, harta mereka, hidup mereka, dan anak-anak mereka, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika tekanan dan bahaya mendekat, mereka memberontak.” Machiavelli kembali menegaskan, “Manusia tidak segan-segan membela penguasa yang mereka takuti daripada mereka cintai karena rasa cinta diikat dengan rantai kewajiban, karena manusia pada dasarnya egois, maka pada saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rantai tersebut akan putus, namun rasa takut dipertahankan oleh hukuman-hukuman yang menakutkan yang tidak pernah gagal. Akan tetapi, sang pangeran haruslah menjadikan dirinya ditakuti dengan cara di mana apabila dia tidak dicintai maka dia tidak boleh dibenci, karena rasa takut dan kebencian dapat berjalan bersamaan19.” Konsep ini tertulis jelas dalam bab tujuh belas buku The Prince, Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai. Machiavelli menulis bahwa seorang penguasa ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebab, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu 19 Ibid., h. 120. 61 akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah gagal20. Penguasa wajib bertindak seperti rubah dan singa, Machiavelli menulis, Oleh karena itu seseorang harus menjadi seekor rubah untuk mengenali perangkap-perangkap, dan menjadi seekor singa untuk menakuti rubah. Mereka yang berharap untuk menjadi singa saja tidak akan mengerti akan hal ini. Dialnjutkan dengan, dan oleh karenanya seorang penguasa harus memiliki pikiran yang fleksibel yang dapat berubah seperti angin, dan seperti yang ditunjukkan oleh variasi-variasi keberuntungan, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak menyimpang dari apa yang baik, apabila mungkin, namun dapat melakukan kejahatan apabila diharuskan21.” 2. Bermartabat dan Memiliki Rasa Nasionalisme The Prince mengungkapkan seorang pangeran yang tegas dan berani melakukan tindakan menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan dan kesetabilan Negara22. Akan tetapi berbeda dengan apa yang dituliskan Machiavelli dalam The Discaurses, bahwa seorang pangeran harus berkarakter23. Perbedaan ini bukanlah sebuah hal yang aneh, akan tetapi asumsi ini mengindikasikan bahwa Machiavelli adalah seorang politikus yang brilian yang mampu merealisasikan teorinya sesuei dengan kondisi Negara saat itu. Seorang raja tidak perlu bermurah hati untuk membuat dirinya tersohor, kecuali kalau dia mempertaruhkan dirinya, karena jika dilakukan menjadi rakus 20 Ibid., h. 121. Ibid., h. 124. 22 Stanly Bing, What Would Machiavelli do; Tujuan Menghalalkan Segala Cara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. xv. 23 F. Budi Hardiman, “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010, h. 6. 21 62 karena ingin menghindari diri dari kemiskinan, sehingga dia menjadi rakus dan dibenci rakyatnya. Machiavelli selanjutnya menjelaskan, bahwa sikap kejam raja sangat diperlukan seperti yang dilakukan Cesare Borgia, karena dengan kekejamannya dia menjadikan kerajaan Roma lebih baik. Dengan usaha memulihkan keamanan dan kekuatan rakyat. Jika diperhatikan justru dia memiliki sikap belas kasih dari pada orang Florence yang ingin tidak untuk disebutkan, tetapi membiarkan Viktoria dihancurleburkan. Oleh karena itu, raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan mewujudkan rakyat setia. Di samping dia seorang raja yang memimpin pasukan tidak usah khawatir kalau disebut kejam, karena tanpa sebutan itu tidak akan pernah dapat mempersatukan dan mengatur pasukan selama itu, dengan cara tersebut justru ia semakin ditakuti dan dihormati pasukannya. Dengan demikian seorang raja harus mengandalkan apa yang ada padanya dan bukannya yang ada pada orang lain. Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia manusia dan kadang sebagai binatang, tidak ubahnya seperti rubah dan singa24. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana dia bertindak jahat jika diperlukan. 24 Machiavelli, The Prince, h. 63 Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat. Dengan demikian bukti-bukti tersebut dapat digolongkan pada penafsiran bahwa Machiavelli digolongkan sebagai orang yang jahat. Dan hal yang sering dilupakan dari Machiavelli bahwa kebengisan yang ada dalam teorinya itu tetap harus memiiki keadilan terhadap rakyat dengan bersikap seperti itu membuat penguasa ditakuti dan dihormati, tetapi melakukan korupsi terhadap negara atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat, tidak beretika25. Beberapa karakter penguasa yang diungkapkan tokoh ini, terdiri dari beberapa unsur; Pertama, Kebaikan moral yang terbesar adalah sebuah negara, yang bajik (virtuous) dan stabil, dan tindakan-tindakan untuk melindungi negara, betapapun kejamnya, dapat dibenarkan, yang sangat penting ialah bahwa ia melakukan segala ssuatu yang perlu untuk mempertahankan kekuasaannya, Kedua, Liberalitas dan kekikiran26, liberalitas akan membuat rakyat mulai membenci dan kurang dihargai. seorang penguasa harus sedikit peduli terhadap lebel kikir, bila dia tidak ingin merampok rakyatnya, bila ingin melindungi diri, menghindari jadi miskin dan hina serta tidak terpaksa jadi tamak. Kekikiran salah satu sifat yang memungkinkannya berkuasa. Lebih baik disebut kikir yang 25 26 F. Budi Hardiman, “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010, h. 6. Machiavelli, The Prince, h. 115. 64 menimbulkan malu tanpa dibenci daripada disebut tamak yang juga menimbulkan aib dan kebencian27, Ketiga, It’s better feared than loved28. Sulit untuk dibenci dan dicintai sekaligus, lebih aman untuk ditakuti daripada dicintai. Karena jika takut rakyat akan menawarkan kehidupan, darah, anak-anak dan harta milik mereka. Dan jika pemerintah dicintai rakyatnya, rakyat akan selalu setia kepada pemerintahnya, Namun tidak menutup kemungkinan juga bila seorang penguasa terlalu dekat, mereka akan memberontak. Tidak boleh keberatan dianggap kejam oleh tentaranya, karena tanpa reputasi ini dia tidak akan bisa membuat tentaranya tetap memiliki solidaritas dan melaksanakan tugas dengan baik. Keempat, penguasa tidak boleh mengambil harta milik rakyatnya. Karena mereka lebih mudah melupakan kematian ayah atau anaknya daripada warisan mereka29. Selain daripada memiliki martabat, seorang penguasa menurut tokoh ini harus memiliki rasa nasionalisme. Karena dengan sifat ini Negara bisa menjadi kuat, dan tidak lemah. Rasa nasionalisme ini dapat ditunjukan Machiavelli, melalui seorang penguasa, diantaranya penguasa berusaha menciptakan perdamaian dalam negerinya30, tidak memprioritaskan keuntungan pribadinya31, menjadikan rakyat bersatu dalam satu integritas Negara32. Virtue is not equa with moral virtue penguasa patut dipuji jika memiliki kualitas yang baik, namun semua kualitas tidak bisa dijalankan karena 27 Ibid., h. 118. Ibid., h. 119. 29 Ibid., h. 121. 30 Machiavelli, The Discaurses, h. 414. 31 Ibid., h. 292. 32 Ibid., h. 166. 28 65 keterbatasan manusia33. Bahwa penguasa harus bijak, yang memerintah demi kebaikan umum bukan untuk kepentingan pribadi, atau keturunannya, melainkan semua tindakannya demi kejayaan negeri. Dan tidak menyerahkan kepemimpinannya secara turun temurun (diwariskan), karena manusia cenderung melakukan kejahatan dari pada perbuatan baik, sehingga memungkinkan pewarisnya memakai nya demi ambisi pribadinya. Machiavelli memiliki argumentasi bahwa untuk menyeimbangkan itu semua seorang penguasa tidak boleh merasa bersalah akan kejahatan yang dilakukannya, karena itu semua bertujuan untuk menyelamatkan negara34. Disini terlihat bahwa Machiavelli adalah seorang nasionalis, yang menganjurkan para penguasa untuk mencintai negaranya. B. Kekuasaan Persepektif Niccolo Machiavelli Citra Machiavelli dalam pendapat umum adalah sebagai tokoh politikus yang tidak bermoral. Hal itu hanya didasarkan pada alasan-alasan yang mengatakan bahwa dia adalah guru yang jahat. Sebenarnya bahwa apa yang ditulisnya sesungguhnya ingin memberikan pemikirannya dari hasil pengalaman serta pengamatannya dalam menganalisa negara, sehingga dia membuat suatu formula yang mana diantaranya adalah The Prince dan The Discaurses dalam memandang negara secara real. Dimana tokoh ini melihat kondisi politik ketatanegaraan Italia yang pada waktu itu dalam keadaan labil, serta banyak penguasa, dan birokrasinya yang korup dan rakus akan duniawi. 33 34 Ibid., h. 41. Machiavelli, The Prince., h. 113. 66 Maka dari itu dalam memandang Machiavelli, terhadap asumsinya tentang kekuasaan ada dua hal; pertama dilihat dari karyanya The Prince yang banyak dibaca oleh banyak orang dengan asumsi jelek terhadap Machiavelli, kedua melihat Machiavelli dari The Discaurses, yang mana didalamnya dijelaskan tentang tatacara mengelola negara mulai dari tindakan penguasa terhadap posisi agama, sistem negara republik, moral seorang penguasa, ketentaraan, masalah korupsi, dll. 1. Metode Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan Dalam mengatur strategi merebut kekuasaan sebuah Negara dan memperthankannya semua itu bukanlah semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, akan tetapi itu semua adalah untuk kehormatan dan kesejahtraan Negara, itulah prinsip Machiavelli35. Ada beberapa hal yang diungkapkan Machiavelli kepada seorang penguasa dalam merebut dan mempertahankan Negara. Seorang penguasa harus respect terhadap situasi dan kondisi Negaranya. Jangan sampai seorang penguasa melakukan tindakan yang salah dalam mengambil tindakan politik. Dan dia harus memperhatikan hal-hal berikut ini; bagaimana posisi agama, memperhatikan masalah korupsi, serta pentingnya tentara dalam Negara, dan bagaimana memilih apparatus Negara. 1.1. Posisi Agama dalam Negara Kerajaan Gereja yang dituliskan Machiavelli adalah merupakan contoh yang menyebabkan Machiavelli tidak suka terhadap Gereja. Tokoh ini menulis bahwa para penguasa Gereja mendominasi kehidupan Negara dan rakyat, 35 Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 75. 67 meskipun secara formal Negara itu adalah dibawah seorang pangeran. Rakyat tidak marah ataupun tersinggung, dan tidak berpikir kerajaan-kerajaan ini aman dan bahagia. Namun saat mengalami bahaya besar, Machiavelli menulis; Bahwa ini adalah kerajaan yang dipelihara Tuhan, dan menurut dia percuma membahasnya36. Apabila melihat sejarah berikutnya maka akan terbuktilah apa yang ditakuti oleh Machiavelli bahwa bila Negara dipegang oleh Gereja maka Negara itu akan menemui kehancurannya seperti yang terjadi secara meluas di daratan Eropa. Bahkan kehancuran Eropa ini disebut sebagai the dark ages37. Akan tetapi demi memenuhi akan kebutuhan rakyat yang tidak terlepas dari agama, maka Machiavelli menyarankan agar kebebasan dalam Negara tetap dijaga. Agar rakyat tidak memberontak, oleh karena itu Machiavelli menyatakan agar agama yang dipercaya oleh rakyat ini dimanfaatkan, demi keamanan negara guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Salah satu untuk memenuhi kebebasan rakyat itu adalah membiarkan, bahkan harus menghormati, dan menjaga tradisi kepercayaan agama yang dianut oleh mereka. Karena banyak rakyat yang memberontak terhadap penguasanya akibat dari agama. Meskipun ada indikasi bahwa Machiavelli adalah seorang yang anti terhadap agama, akan tetapi menurutnya justru seorang penguasa harus mampu memanfaatkan agama yang diyakini rakyat, agar rakyat selalu setia dan rela mati demi Negara dan penguasa itu sendiri. 36 37 Machiavelli, The Prince, h. 89. Umar Abdullah, Kapitalisme; The Stanic Ideology, h. 15. 68 Peran agama amat begitu penting dalam sebuah Negara. Agama banyak membantu dalam memimpin angkatan bersenjata, menyemangati rakyat, membuat rakyat tetap setia terhadap penguasanya, dan menyingkirkan para penjahat dari Negara. Dengan tidak adanya agama maka sulit untuk membentuk dan mengontrol angkatan bersenjata38. Penguasa Roma lebih berutang kepada Romulus atau agama Numa saya (Machiavelli) percaya bahwa Numa paling mudah akan menjadi pilihan pertama, karena bila terdapat agama maka mudah untuk membuat angkatan bersenjata39. Oleh karena itu untuk mempertahankan kekuasaan, agama harus tunduk kepada Negara. Agama harus mendukung lembaga-lembaga public, agama harus menjadi sarana untuk meningkatkan samangat patriotisme. Nasionalisme harus mengantikan peranan iman dalam kerangka cita-cita religius. Lembaga-lembaga agama hanya sarana-sarana atau alat-alat yang bisa dimamfaatkan untuk menjaga tata tertib yang berlaku. 1.2. Penguasa dan Korupsi Korupsi adalah masalah dalam sebuah Negara yang paling penting bagi seorang penguasa. Korupsi muncul didalam sebuah masyarakat yang mengalami degradasi social, politik, dan mementingkan diri sendiri yang mengakibatkan sebuah Negara menjadi bobrok dan hancur40. Korupsi dapat saja membiadab bila struktu politik, ekonomi, social mengalami kebuntuan birokrasi41. Bahkan korupsi juga salah satu yang menjadikan seorang penguasa hilang martabatnya. Karena dengan mudahnya ekses kearah penyuapan adalah sama saja 39 Machiavelli, The Discaurses, h. 50. Niccolo Machiavelli, The Art of War, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002), h. 55. 41 Mansyur Sema, Negara dan Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 195. 40 69 mengambil kas rakyat secara sistemik, padahal dengan menjul keputusan seorang penguasa menjadi olok-olok para penyogok dan penjilat. Politik pun menjadi mangsa pasar kekuasaan, maka sudah tidak ada harga diri dalam diri seorang penguasa itu. Machiavelli melihat problem korupsi ini sebagai suatu hal yang mengakibatkan Negara ambruk, dan dengan segera menemu kehancurannya. Korupsi disebabkan ketidakmampuan seseorang dalam memimpin sebuah kehidupan bernegra yang bebas. Dan jika seorang penguasa ingin menyeleseikan maslah ini, penguasa ini harus mampu memakai ukuran-ukuran dramatis, dimana ini hanya bisa dilakukan oleh seorang penguasa saja, tidak perlu banyak orang atau instansi agar dalam pelaksanaannya bisa efektif42. Dan disinilah posisi ketegasan dengan mengenyampingkan etika dan moralitas dalam arti normatif, demi menghancurkan tatan korupsi dalam sebuah Negara yang sudah menjamur dalam birokrasi pemerintahan. Untuk membenahi itu semua, tidak cukup jika hanya memakai hukum karena metode-metode hukum tidak berguna dalam kondisi seperti itu. Maka diperlukan cara-cara lain, cara-cara itu adalah, cara-cara luar biasa, seperti kekerasan atau kekuatan, sebelum semua terjadi dan menghancurkan Negara, hal ini harus ditangani sendiri oleh penguasa43. 1.3. Mengelola Tentara Melihat situasi Florence yang kacau dan berada dalam penjajahan dari Negara lain menyebabkan carut-marutnya politik, ekonomi, dan hukum. Sehingga untuk menjaga itu semua Italia memerlukan pasukan yang siap dan rela 42 43 Machiavelli, The Discaurses, h. 71. Ibid., h. 75. 70 memperjuangkan negaranya. Dan Machiavelli menegaskan bahwa jangan pernah mengandalkan tentara bayaran karena sikap tentara bayaran itu pengecut, rakus, dan sedikitpun tidak memiliki rasa loyalitas44. Maka untuk membangun tentara itu perlulah seorang penguasa yang pandai. Penguasa yang bijak adalah mereka yang memilih rakyatnya sendiri sebagai tentara, dengan membentuk sebuah pasukan dalam negaranya. Dan inilah hal yang paling benar, karena jika tidak ada pasukan tidak menutup kemungkinan Negara itu ditindas oleh Negara lain seperti halnya di Negara Tullus, dan Italia. Dan itu bukanlah kesalahan alam atau kelemahan rakyat, melainkan karena kesalahan penguasa itu sendiri. Itu semua harus dipelajari oleh seorang penguasa yang menginginkan Negaranya bertahan dan aman45. Maka seorang pemimpin harus mengetahui seni berperang. Keburukan yang disebabkan bila dia tidak bersenjata adalah membawa sang penguasa dalam tidak keberdayaan. Hal yang harus dihindari oleh penguasa. Seorang penguasa yang mengabaikan masalah militer tidak akan dihormati dan dipercaya pasukannya46. Pengetahuan akan perang bermanfaat dalam tiga hal; pertama, orang belajar mengenal suatu negara dan bisa melihat lebih baik bagaimana mempertahankannya. Kedua, bekal pengetahuan dan pengalaman dari satu wilayah bisa membantu seseorang mudah memahami wilayah lain yang mungkin perlu diobservasi. Ketiga, mempertahankan Negara yang dibangun oleh penguasa itu dari serangan musuh. 44 Machiavelli, The Prince., h. 94. Machiavelli, The Discaurses, h. 80. 46 Niccolo, The Art Of War, h. 49. 45 71 Penguasa harus memiliki kemampuan ini karena hal ini penting untuk mengajarkan cara mencari musuh, memimpin pasukan, merencanakan pertempuran dan mengepung kota-kota. Penguasa harus membaca sejarah dan mempelajari tindakan tindakan tokoh terkenal untuk meniru kemenangan dan menghindari kekalahan47. Hukum yang baik, dan persenjataan yang baik Jika negara tidak dipersenjatai dengan baik maka tidak akan ada hukum yang baik dan sebaliknya. Senjata bisa berupa miliknya sendiri, tentara bantuan asing, atau tentara bayaran. Tentara bayaran dan bantuan asing tak berguna dan berbahaya. Negara tak akan kokoh, karena tentara-tentara tersebut ambisius, tak bersatu, tak disiplin, tak setia, berani hanya di kalangan sendiri namun pengecut di kalangan musuh. Mereka tak punya cinta dan motif lain untuk bertempur selain upah yang tidak akan pernah cukup untuk membuat mereka rela mengorbankan nyawanya demi Negara, dan kabur saat perang tiba48. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya, negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya. 1.4. Memilih Aparatus Negara Aparatus Negara merupakan salah satu elemen penyokong berdiri tangguhnya Negara, sehingga pantas bila Machiavelli membahas secara khusus dalam The Prince tentang masalah para pembantu Negara ini, dalam bab 22 dan 47 48 Ibid., h. 115. Machiavelli, The Prince, h. 94. 72 23. Tokoh ini menyeleksi bagaimana memilih para pembantu Negara dan menolak para penjilat. Rakyat akan melihat penguasa bijak dimulai dari bagaimana pemimpin itu memilih menteri-menterinya. Apabila seorang pemimpin salah memilih para pembantunya maka, itu bisa dipastikan tidak bijak oleh rakyatnya, dan begitupun sebaliknya. Karena kesalahan pertama penguasa dalam sebuah Negara yang dilihat oleh rakyatnya adalah cara memilih para menterinya49. Ada beberapa hal harus diperhatikan dalam memilih menteri; pertama, menteri itu memperhatikan dan selalu berpikir untuk kepentingan negaranya, bukan mendahului kepentingan dirinya. Kedua, memikirkan akan kepentingan penguasanya. Ketiga, jangan memilih menteri yang suka menjilat, karena meeka cenderung rakus, dan berhianat. Selain itu agar seorang menteri tetap setia kepada penguasa dan negaranya, seorang pemimpin harus selalu memperhatikan, menghormati, dan selalu mendengarkan pendapat dan bermusyawarah dengan mereka, dan memberikan kebebasan berbicara bagi mereka, namuntentang hal-hal yang ditanya oleh penguasa itu. Agar mereka merasa aman dan tidak takut kehilangan hartanya, maka penguasa pun harus memperhatikan hal itu. Karena itu akan menambah ksetian para menteri terhadap pemimpinnya50. C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara Begitu gamblang apa yang diungkapkan Machiavelli tentang republik. Sehingga tokoh ini pun menuliskannya dalam dua karyanya baik dalam The Prince dan The Discaurses. Akan tetapi dari kedua literaturnya itu, pandangan 49 50 Ibid., h. 151. Ibid., h. 153. 73 akan republic dan monarki memiliki perbedaan dalam The Prince menunjukan bahwa Machiavelli mempengaruhi pembacanya agar menerapkan system monarki, akan tetapi dalam The Discaurses, tokoh ini lebih memilih system republic yang menurutnya itulah bentuk ideal sebuah Negara. Hal ini disebabkan karena cara pandang akan kondisi politik sebuah Negara yang dilakukan oleh Machiavelli, dimana dia menganalisis bahwa Negara yang damai lebih baik diterapkan system republic, dan bila Negara dalam kondisi cheos dan terindikasi akan pecah maka system yang baik adalah monarki. 1. Macam-macam Republik Machiavelli menggambarkan macam-macam sistem kekuasaan dalam sebuah republik menjadi enam bagian51, diantaranya tiga bagian berhaluan baik, dan tiga bagian lagi bersifat meruksak negara, yang merupakan efek dari kegagalan penguasa dalam menerapkan sistem pertama yang dipakainya. Pertama sistem monarki, bila sistem ini gagal justru akan melahirkan tirani. Kedua, sistem aristokrasi, bila gagal maka epeknya adalah melahirkan sistem oligarki. Ketiga, sistem demokrasi, bila sistem ini gagal maka akan melahirkan mobokrasi artinya rakyat yang dibebaskan untuk mengeluarkan aspirsinya justru saling bertolak belakang anatara rakyat dengan rakyat, dan dengan penguasa dan birokrasinya52. Pertama, monarki Jenis kekuasaan ini berpusat pada satu orang sebagai pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasan tersebut umumnya dikenal sebagai raja. Oleh karena itu, jenis pemerintahan ini biasanya berbentuk kerajaan. Dalam 51 52 51. Machiavelli, The Discaurses, h. 12. Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1988), h. 74 praktiknya, raja memegang penuh kendali negara. Tetapi, di era sekarang model pemerintahan ini biasanya diawasi oleh parlemen seperti di Inggris, Jepang, Belanda. Sistem monarki dapat dibagi menjadi dua, yakni monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut berarti kepala negara dan pemerintahan dipegang penuh oleh raja. Tidak ada sistem pemilihan perdana menteri dan juga tidak ada sistem partai politik dalam jalannya pemerintahan. Salah satu negara yang masih menjalankan sistem pemerintahan ini adalah Saudi Arabia. Bentuk monarki konstitusional terjadi ketika raja berbagi kekuasaan dengan perdana menteri. Artinya, raja bertindak sebagai kepala negara dan perdana menteri bertindak sebagai kepala pemerintahan. 2. Monarki diterapkan dalam Situsi Florence yang Kacau Namun jika dikaitkan dengan kondisi pada saat Machiavelli ada yakni suatu kondisi dimana keadaan politik, social, ekonomi, dan hukum di Florence sangatlah kacau dan tidak relevan bila sistem republic diterapkan saat itu, dan bermentalitas kedaulatan hukum. Karena itu, Machiavelli menuntut agar masyarakat terlebih dahulu ditata oleh penguasa dengan tangan besi. Oleh sebab itulah Machiavelli mempermaklumkan bahwa penguasa harus membebaskan diri dari ikatan moralitas tradisional, dan tidak boleh ragu mengambil segala tindakan yang perlu untuk menumpas segala pihak yang membuat kekacauan, tidak tertib, korup, licik, egois atau yang mengancam kekuasaan. Bab lima belas Machiavelli memaparkan bagaimana sebuah sistem monarki diterapkan untuk Florence, dalam buku The Prince sebenarnya 75 Machiavelli menginginkan adanya kesatuan utuh di Italia yang sedang kacau balau53. Dan cara yang sesuai pada waktu itu adalah dengan teori penguasa tersebut. Tidak ada cara lain, begitulah Machiavelli beranggapan. Masyarakat Italia masa Machiavelli, adalah masyarakat yang miskin solidaritas antar kota. Masing-masing ingin menjadi pemimpin yang lainnya. Masyarakat yang belum tertata dan kacau balau seperti itu, jelas tidak akan mampu mewujudkan suatu negara republik54. Hanya dengan menjadikan raja atau penguasa sebagai pemaksa, maka Italia baru dapat dipersatukan. Maka perlu dilihat bahwa konsep penguasa ini merupakan perintis terbentuknya negara republik. Jadi antara The Prince dan The Discaurses tidak ada kontradiksi. Yang ada adalah sebuah rantai yang saling terkait erat. Satu negara republik dapat muncul apabila masyarakatnya sudah teratur, telah siap dengan kesadaran untuk berrepublik. Dengan demikian tujuan utama Machiaveli untuk mempersatukan Italia hanya dapat diwujudkan dengan sistem monarki. Bahwa Machiavelli tidak sejahat yang dipikirkan oleh para pemikir politik, hal ini didasarkan atas bukti-bukti di dalam buku The Prince, antara lain: Mengenai kekejaman, menurut Machiavelli dapat dilakukan dengan cara yang baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa digunakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan sekali, demi keselamatan seseorang atau negara. Oleh karena dengan cara itu kekuasaannya akan bertahan lama. Walaupun penguasa mengalami kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena kebijaksanaan yang telah ditunjukkan raja pada rakyatnya. Kebaikan raja tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tulus atau hanya sebatas. 53 54 Machiavelli, The Prince, h. 112. Ibid., h. 5. 76 Contohnya seperti karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis yang dikemukakan Machiavelli adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah batasan dari aturan dari monarki, bahkan untuk kerajaan yang paling baik, tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib55. 3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Sebuah Negara Meskipun dikenal dengan kekejamannya, Machiavelli menuturkan bahwa dalam Negara yang aman dan damai maka system terbaik yang diterapkan dalam Negara itu adalah republic. Karena dengan republic, Negara akan menjadi sempurna, dan republic ini hanya bisa dibangun apabila ada kerjasama atau penyatuan antara rakyat dan birokrasi pemerintahannya dalam situasi yang damai56. Ini dicontohkan Machiavelli dalam ruang politik Roma, ketika di pegang oleh Horatii yang berjasa pada republic. Namun ketika dia diketahui telah membunuh maka Horotii sang pangeran itu di hukum seumur hidup. Ini bukan berarti rakyat melupakan atas jasanya, akan tetapi kehati-hatian dalam sebuah republic yang tertata dengan rapih adalah tidak pernah membatalkan hukuman kepada warganya karena jasanya. Memberikan jasa dan menghukum orang karena keslahan kepada Negara itu harus tetap dilakukan. Dan sebuah Negara republic yang memperhatikan hal 55 ,“Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 15 pebruari 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas: Santi_di_Tito_Niccolo_Machiavelli 56 Machiavelli, The Discaurses, h.18. 77 ini akan dapat menikmati kebebasan dan keadilan dalam tubuh negaranya, namun jika yang diterapkan adalah sebaliknya, maka tunggulah kehancurannya57. Akan tetapi yang perlu diperhatiakan oleh seorang penguasa adalah dimana dia harus pandai melihat kondisi politik dalam negrinya. Dimana saat yang tepat untuk menerapkan republic atau sebuah system monarki. Karena bila seseorang menerapkan system republic dalam sebuah Negara yang man birokrasi dan rakyatnya menjadikan korupsi sebagi budaya mereka maka republic bukanlah jalan yang baik. Tetapi dalam masyarakat yang korup maka system monarkilah yang paling tepat58. Machiavelli mencontohkan situasi ini ketika saat Manlius memimpin Roma dengan menerapkan system republic dalam tubuh Roma, padahal kala itu korupsi sedang merajalela. Dan akhirnya meskipun baik niat dari Manlius ini, akan tetapi dia menemui kebuntuan dimana para bangsawan yang menduduki jabatan pemerintahan di Roma pada akhirnya membunuhnya59. D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap Etika dan Kekuasaan ”Dalam memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan60”. 57 Ibid., h. 86. Ibid., h. 348. 59 Ibid., h. 349. 58 60 Andika Sanjaya, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.ac.id/2010/09/12/pemikiran-niccolo-machiavelli. 78 Itulah asumsi yang dipublikasikan oleh para sejarawan politik terhadap Machiavelli, dimana intinya mereka menyatakan bahwa The Prince mengartikulasikan seorang Machiavelli tidaklah beretika. Tetapi tidak sedikit dari para politikus modern menjadi pembela akan karya Machiavelli, dengan asumsi bahwa pemaparan wacana politik yang dikemukakan oleh Machiavelli dalam The Prince itu disebabkan kondisi Italia yang beradadalam ambang kehancuran sehingga terpaksa formula strategi politik yang dibutuhkan bukanlah dari teori Plato, Aristoteles, atau bahkan doktrin agama yang kesemuanya mengarahkan pada etika bernegara. Dimana menurut pandangan Machiavelli hal itu tidak diperlukan di Italia yang sedang mengalami krisis multidimensional, yang dibutuhkan Italia kala itu adalah seorang virtu, raja yang bijak dan lihai yang bisa mengendalikan, dan menguasai fortuna. Fortuna menurutnya adalah kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi. Dia menggambarkan fortuna menyerupai “satu dari sungai yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain, semua orang melarikan diri sebelum banjir, semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak”. Kemarahan dan musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan virtu dan kebijakan. Fortuna ibarat gadis yang harus dipaksa untuk tunduk, karena dengan menundukannya kita dapat meminta apapun yang 79 kita mau darinya. Sehingga jangan pernah mendekati gadis ini dengan lemah lembut, karena itu hanya akan memperlambat waktu. Sedangkan The Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli dipandang mewakili pemikiran Machiavelli yang memiliki komitmen dan kepercayaan politik, khususnya terhadap republik, yang didalamnya mengajarkan bagaimana seorang negrawan atau penguasa agar selalu tabah dan kuat, serta tidak bersifst lemah61, dengan memiliki karakter yang dicintai rakyatnya. Dari gambaran kedua karyanya ini memang sulit untuk memahami karakter sebenarnya tokoh ini dalam memandang relevansi antara etika dan kekuasaan. Karena di sisi lain dalam The Prince, menggambarkan seolah dia adalah seorang yang jahat. Tetapi disisi yang lain (The Discourses) terlihat dia adalah seorang yang menginginkan negaranya dipimpin oleh seorang penguasa yang berkarakter dan bermartabat, serta memiliki rasa nasionalis. Maka dari kedua karya itu lahirlah pandangan yang seolah-olah seperti menggambarkan dua tokoh yang berbeda, padahal penulisan dua karya politik besar ini dilakukan oleh seorang Niccolo Machiavelli, dan yang paling mencuri perhatian adalah Machiavelli menulis kedua karyanya ini dalam waktu yang bersamaan. Maka menurut Henry J. Schmandt dua karakter ini bisa dipertemukan dengan cara mendamaikan keduanya dengan memahami teorinya tentang manusia62. Hal ini sesuai dengan pengalaman suramnya tentang politik, dia melihat betapa buruk rupanya wajah politik yang penuh dengan kebejatan- 61 Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h. 411. Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 254. 62 80 kebejatan moral. Tetapi selain itu dia juga mempelajari sejarah tentang manusia politik yang memerintah negaranya dengan penuh kebijakan dan kearifan di Roma. Memang tidak salah bila Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia itu bersifat selfish (mementingkan diri sendiri), suka bertikai, tamak, jahat, dan bahkan bisa lebih kejam dari binatang63, hal ini pun yang dipikirkan Machiavelli sehingga tokoh ini memberikan solusi dengan cara mengatur manusia dengan cara kekejaman yang diperhitungkan agar dapat mengatasi masalah negara Florence. Namun selain kejahatan yang ditimbulkan oleh manusia, manusia pun memiliki naluri, akal, dan sifat menyerahkan diri kepada Tuhan. Sehingga menurutnya agama dalam bingkai negara diperlukan juga sebagai alat atau instrumen untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan negara. Dari cara pandang Machiavelli diatas, maka akan didapat bahwa karakter tokoh ini dalam memandang etika dan kekuasaan yang masih ada relevansinya dengan agama ada beberapa poin; pertama, hubungan antara kekuasaan dengan etika atau moralitas Menurut Machiavelli dalam hal moralitas seorang pemimpin, dia mengasumsikan bahwa seorang penguasa sudah seharusnya bisa membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah-laku warganya. Oleh karena itu, untuk memperkokoh kekuasaan, penguasa harus dapat memobilisasi segala nafsu rendah mereka yang ingin dikuasainya demi mencapai tujuannya tersebut. Dalam hal ini, ia mengibaratkan seorang pemimpin harus bisa berwatak sebagai manusia maupun binatang buas. 63 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 201. 81 Untuk mencapai tujuannya, seorang penguasa tidak harus mempertimbangkan akan moral. Di satu sisi, seorang penguasa harus bisa bertindak sangat bermoralistis, seperti bersikap jujur, berendah hati, tetapi hal tersebut difungsikan pada saat ingin memperoleh tujuannya tersebut. Namun, apabila kondisi mendesak guna menjaga stabilitas hegemoninya, seorang penguasa bersikap sebaliknya, yaitu amoral. Karena itu semua demi ketentraman dan kesejahtraan negara. Kedua, hubungan antara kekuasaan dan agama seperti yang dikemukakan sebelumnya, seorang penguasa seharusnya menjadikan agama sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Bagi Machiavelli, agama memiliki nilai pragmatis dan kepentingan politik praktis untuk mengintegrasikan negara, membina loyalitas, kepatuhan serta ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa. Hal ini ia contohkan pada republik Roma dengan agamanya pada saat itu adalah agama Romawi Kuno64. Agama juga dapat membantu dalam hal mengendalikan negara, menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, menghasilkan orang-orang baik dan memalukan orang-orang jahat, dan sebagainya65. Oleh karena itu, di mana ada agama, maka akan mudah mengajarkan kepada rakyat mengenai senjata. Akan tetapi, apabila tanpa adanya agama, maka akan sulit untuk memperkenalkan senjata kepada rakyat66. 64 Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h. 57. Ibid., h. 49. 66 Ibid., h. 50. 65 82 Machiavelli juga beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Dalam hal ini, gagasannya mengenai agama bersifat sekuler. Karena agama sebagai salah satu instrumen penting dalam mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan, oleh sebab itu, sudah semestinya negara harus bisa mengintervensi agama. Dari pandangan Machiavelli mengenai agama ini dapat kita kategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme dan pragmatisme. 83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Machiavelli telah mengargumentasikan gagasannya dalam sebuah karya yang memang memiliki peranan penting dalam dunia politik. Karena dengan karyanya itu, telah membebaskan politik dari cengkraman Gereja. Akan tetapi disisi lain Machiavelli dengan segala metode yang diajarkannya terhadap perilaku seorang penguasa telah menjastifikasi semua cara untuk mempertahankan kekuasaan dan negaranya. Sehingga apabila ditarik dalam arti “etika humanisme” menghalalkan segala cara dalam tindakan seorang pengusa maka tetap saja itu bias dikatakan tidak beretika. Melihat secara objektif bahwa Isi dari The Discaurses dan The Prince telah membuka lebar-lebar mata, hati dan pikiran kita bahwa banyak sisi positif yang terkandung didalamnya seperti apa yang dikatakannya tentang dilarangnya tindakan korupsi, pentingnya posisi agama dalam sebuah negara, posisi militer dalam negara, dan cara-cara bagaimana agar pemerintahan bias stabil. The Discaurses dan The Prince benar-benar dinyatakan atas kenyataan yang bertujuan menyimpulkan beberapa landasan yang didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah, dan kehidupan bernegara dengan kata lain buku itu menyajikan kasus-kasus pilihan dari sejarah pemerintahan dengan berpatokan kepada sejumlah persoalan yang menyangkut: “cara memerintah kota-kota atau Negara kecil yang mempunyai undang-undang tersendiri sebelum mereka bergabung dengan Negara-negara besar” atau yang menyangkut “kekejaman atau belas kasihan, dan apakah lebih baik dicintai dari pada ditakuti” atau pula yang 84 membahas persoalan yang menyangkut “pembantu-pembantu para penguasa Negara dan mengapa penguasa Italia kehilangan Negara-negara mereka” dan seterusnya. Buku itu sedikitpun tidak bersangkut paut dengan system filsafat ilmu politik. The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepala negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segalagalanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya. Negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya. Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, Raja mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Tetapi tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang. Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yangmampu dan setia. Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan meminta pendapat para pembantunya apa yang layak dilakukan. 85 Dalam The Prince dan The Discaures juga, ada dua hal yang penting perlu diperhatikan yaitu: kepangeranan (principality) dan republik. Machiavelli memberi nasihat bagaimana mendapatkan dan mempertahankan sebuah kepangeranan. Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan dan kebaikan negara, Penguassa harus memadukan machismo (semangat keprajuritan) dengan pertimbangan politik. The Prince menjelaskan akan watak-watak penguasa bijak diantaranya: a. memiliki kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun ditakuti, b. watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri, c. sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya dan tulus. Machiavelli menasihati penguasa untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yakni kebaikan negara. Dia dinilai sebagai ‘nmachiavellian” karena memisahkan antara perilaku politik dari seluruh hubungannya dengan keadilan dan moralitas d. penguasa harus menjalankan pemerintahan dengan cara atau watak manusia dan binatang. Cara manusia dengan humanismenya, cara binatang dengan power. Manusia harus belajar meniru singa dan rubah yang licik. Kedua literatur ini memiliki balance dalam bingkai politik seorng Raja. Karena konsep didalamnya menuntut seorang kepala negara untuk cerdas memilih alur apa yang seharusnya dipilih dalam mengelola negara. Karena negara tidak 86 membutuhkan seorang pemimpin yang lemah lembut dalam situasi dan kondisi negara yang cheos. Begitupun negara tidak membutuhkan kekejaman dan kebengisan seorang kepala negara yang menindas rakyatnya, karena itu akan menimbukan pemberontakan dalam negara. Oleh karena itu, substansi dalam kedua literatur itu perlulah untuk dicerna dengan baik. Karena akan berakibat patal bila konsep ini direalisasikan hanya dengan pemahaman tekstual. B. Saran Saya pribadi sangat menyayangkan bahwa tokoh sejarah politik besar ini mempunyai konotasi yang negatif. Nama ini selalu dihubungkan dengan kejahatan atau persekongkolan yang tidak mengindahkan moral atau dengan istilah lain “mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara”. Penilaian demikian sama sekali tidak adil, karena tujuan utama Machiavelli menulis buku yang memuat pengamatannya ialah sekedar menganalisa tindakan-tindakan yang telah memberikan keberhasilan politik yang gemilang di masa lampau dan menarik kesimpulan atau pelajaran dari tindakan tersebut prinsip-prinsip apa yang harus diikuti agar dapat memperoleh keberhasilan politik yang cemerlang di masa sekarang ini. Pendapatnya semata-mata diperoleh melalui pengamatan ilmiah yang cermat. Dengan kata lain, Machiavelli sekedar mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi di balik keberhasilan politik itu dan bukan mengada-ada atau memberikan hasutan. Namun kesalahpahaman orang terhadap konsep politik Machiavlli mengakibatkan ia dikenal sebagai seorang yang mendukung tindakantindakan tidak berprikemanusiaan dan tidak beretika. 87 Dan tokoh inipun menuliskan bahwa tujuan dari kekuasaan bukanlah hanya untuk keuntungan pribadi, akan tetapi untuk kepentingan kesejahtraan dan ketentraman rakyatnya. Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak pada konotasi negatif tentang teori Machivelli maka akan lebih bijak bila para pembaca khususnya akademisi, atau para pemimpin dunia, untuk mendalaminya dengan seksama. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Umar. Kapitalisme: The Stanic Of Ideology. Bogor: El-Moesa Press, 2007. Ali Abdul Mu’ti, Muhammad. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010 Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Bing, Satanly. Tujuan Menghalalkan Segala Cara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1977. Bungin, Burhan. Metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Charris Zubair, Ahmad. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Honohan, Iseult. Civic Republicanism: Negara Republik. Jakarta: Erlangga, 2002. Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Issawi, Charles. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976. J. Schmandt, Henry. Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Jay, Antony. System Menejemen Machiavelli. Bandung: PT Iqra Bandung, 1983. Kasiram, Mohamad. Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Press, 2008. Lerner, Max. Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses. New York: Moderen Library, 1950. Losco, Joseph dan Wiliams, Leonardo. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005. Machiavelli, Niccolo. The Discourses. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003. Machiavelli, Niccolo. The Prince. Srabaya: Selasar Publishing, 2008. Magnis Suseno, Franz. Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006. Magnis Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010. Mansyur Sema, Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. Mundiri, Mushadi. dkk. Membangun Negara Bermoral. Semarang: Pustaka Rizki Putra Semarang, 2004. Mohamad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan Media Utama, 2001. Nurtjahjo, Hendra. S.H. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008. Otten, J.F. Konsep Machiavelli. Jakarta: Rajawali Press, 1963. P. Huntington, Samuel. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam Press, 2003. Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995. Rahman Zinuddin, A. Kekuasaan dan Negara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Rode, Carlton dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988. Singodimejo, Kasman dan Saleh, Mohamad. Machiavelli. Jakarta: Permata Jakarta, 1973. Soehino, Ilmu Politik. Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Widjaja. Etika Pemerintahan: Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara, 1997. Artikel Hardiman, F. Budi. “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010. Dokumen Internet Gultom, Mirza. “Peta Politik Niccolo Machiavelli Mengenai Negara,” artikel diakses pada 30 desember 2010 dari http: //www.tokohpolitikmirza.org/2010/1230/machiavelli.html. Jhon, Senelson. “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiranniccolo-machiavelli. Mohamad Irfan, “Beberapa Teori Kekuasaan Dan Pengaruhnya Oleh Para Pakar ,”artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://mohamad.blog.ac.id/2010/12/12. Ricahrdodi, Charles. “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober 2009 dari http://politiksaman.com/2009/02/15. Sanjaya, Andika. “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.ac.id/2010/09/12/pemikiran-niccolomachiavelli. Warner, Bruce. “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiranniccolo-machiavelli. Wikipedia, “Kekuasaan, artikel diakases pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.com/2011/01/05.