Pengertian ilmu politik dan pendekatan

advertisement
Pengertian ilmu politik dan pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik cukup bervariasi seiring
beragamnya konsep dan definisi yang berkembang dalam ilmu sosial yang termasuk tertua ini. Bagi
sebagian penggagasnya, ilmu politik lahir ketika nenek moyang manusia sudah hidup berkelompok.
Namun, sebelum dilakukan pembedahan atas aneka pengertian serta pendekatan di dalam ilmu inti,
dapatlah
terlebih
dahulu
dipertanyakan
apa
yang
dimaksud
dengan
"politik."
Secara retorik, bahkan Iwan Fals pernah mempermasalahkanya: "Apakah selamanya politik itu
kejam ...?" Memang pada masa pemerintahan Mao Tse-tung pernah diterapkan kebijakan Revolusi
Kebudayaan. Dengan revolusi ini, setiap orang yang dicurigai berpikiran liberal (Amerika Serikat
sentris) akan ditahan, diinterogasi, disiksa, bahkan dioper ke kamp-kamp kerja paksa untuk
"membersihkan" otaknya. Hal ini mirip dengan di masa Orde Baru, di mana orang-orang yang
dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia "dibuang" ke kamp-kamp "pembersihan otak" di Pulau
Buru, Kepulauan Maluku. Kedua keputusan baik di Cina maupun Indonesia adalah bukti keputusan
politik,
dan
itu
terkesan
Definisi
kejam.
Politik
Namun, keputusan untuk menaikkan gaji guru, menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), atau
kesempatan cuti haid bagi buruh perempuan dapatkah dikatakan kejam? Atau keputusan politik
untuk menggratiskan biaya pendidikan di Brunei Darussalam atau Arab Saudi, masukkah ke dalam
kategori
yang
sama
? Potret
Indonesia
Berbicara mengenai politik, kita tidak berbicara mengenai kejam atau tidak. Berbicara mengenai
politik berarti membicarakan perilaku kita dalam hidup bermasyarakat. Khususnya, cara kita
mengatasi sejumlah perbedaan yang ada di antara kita lewat pembuatan kebijakan (undangundang) yang mengikat orang-orang sebagai suatu bangsa. "Cara" bergantung pada siapa yang
menggunakan. Subyektivitas kita masing-masing-lah yang menyebut cara yang dilakukan si A atau
si B, atau pemerintah A atau B tersebut sebagai "kejam" atau tidak "kejam", dan satu bidang
tersendiri
di
ilmu
politik
membicarakan
persoalan
itu:
Etika
Politik.
Dalam politik kita berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu
wilayah, saling
menegosiasikan kepentingan masing-masing, untuk kemudian melahirkan kesepakatan bagaimana
kepentingan masing-masing tersebut dapat terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Saat
dimulainya, politik selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Tujuan awal politik
tidaklah
"kejam"
seperti
sering
didengungkan
orang.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman
Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan hidupnya. Manakala
manusia mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, manakala mereka
berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau manakala mereka
berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka sibuk dengan
suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK. Dengan demikian, kita dapat dikatakan
tengah berpolitik ketika mempengaruhi suami atau istri di rumah, bersaing dengan tetangga sebelah
rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau berdebat dengan supir angkot bahwa ongkos yang ia
terapkan
terlampau
mahal.
Luas
sekali
pelajaran
politik
jika
demikian,
bukan?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik adalah the
constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan). Di sini disebutkan
"kekuasaan" sosial bukan "kekuasaan pribadi." Dalam zaman kaisar-kaisar Romawi, raja-raja di
pulau Jawa, seorang kaisar atau raja dapat saja menimpakan suatu hukuman mati pada seorang
abdi atau rakyat lewat "kemauannya" sendiri. Rakyat luas tentu tidak sepakat dengan cara tersebut,
tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka menurut bukan karena setuju, tetapi karena takut.
Kekuasaan raja atau kaisar tersebut bukan kekuasaan sosial, tetapi kekuasaan pribadi. Hanya satu
orang yang menyepakati cara penghukuman, bukan seluruh orang menyepakatinya. Sebaliknya,
politik adalah kekuasaan sosial dan sebagai kekuasaan sosial ia harus disepakati banyak orang
sebelum suatu cara diterapkan. Politik menghendaki negosiasi, dari negosiasi baru dicapai
kesepakatan. Dengan demikian, suatu kekuasaan politik adalah kekuasaan yang disepakati banyak
orang,
bukan
hanya
kemauan
satu
orang.
Ilmu
Politik
Dengan luasnya cakupan, dapatkah politik dikatakan sebagai suatu ilmu layaknya ilmu Biologi,
Fisika, atau Ekonomi ? Jawabannya adalah bisa. Namun, sebelumnya kita harus ketahui terlebih
dahulu
apa
yang
dimaksud
dengan
ilmu.
Ilmu adalah "pengetahuan yang disusun secara metodis, sistematis, obyektif, dan umum." Metodis
artinya menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan dalam disiplin ilmu yang
dibicarakan. Sistematis artinya masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur
dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pengetahuan yang rasional. Obyektif
artinya kebenaran dari hasil pemikiran dari suatu bidang dapat memperoleh bobot obyektif (sesuai
kenyataan), tidak lagi bersifat subyektif (menurut pemikiran sendiri). Dan akhirnya, umum, artinya
tingkat kebenaran yang mempunyai bobot obyektif tersebut dapat berlaku umum, di mana saja dan
kapan
saja.
Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah "apa yang kita peroleh dalam proses
mengetahui … tanpa memperhatikan obyek, cara, dan kegunaannya." Kita tahu bahwa sepeda
beroda dua, manusia hidup mengalir darah dalam tubuhnya, sinar matahari adalah panas, atau
pemerintah menerapkan kebijakan wajib belajar. Namun, kita sekadar tahu tanpa mendalami apa
itu, bagaimana darah mengalir, ke mana dan untuk apa ? Atau, bagaimana sepeda yang cuma
beroda dua tersebut dapat dikayuh seseorang dengan seimbang? Atau, bagaimana proses terjadinya
keputusan pemerintah untuk menyelenggarakan wajib belajar? Dengan kalimat lain, pengetahuan
tidak berbicara mengenai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu obyek. Pengetahuan
relatif tercerai-berai sementara ilmu relatif tersusun secara teratur. Ilmu dapat menambah
pengetahuan,
sementara
pengetahuan
disistematisasikan
oleh
ilmu.
Politik berasal dari bahasa Yunani POLIS yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman
Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut
Aristoteles) dalam hidupnya. Manakala manusia mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam
masyarakat, manakala mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang
ada, atau manakala mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya,
maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai POLITIK.[1]
Dengan demikian, kita dapat dikatakan tengah berpolitik ketika bersaing dengan tetangga sebelah
rumah untuk jabatan sekretaris RT, atau supir angkot berdebat dengan oknum LLAJ bahwa pungli
yang mereka lakukan sudah tidak bisa lagi ditoleransi. Luas sekali pelajaran politik jika demikian,
bukan
?
A New Handbook of Political Science menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik adalah the
constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan).[2] Kata
“kekuasaan sosial” ditekankan untuk membedakannya dengan “kekuasaan individual.” Ini akibat
politik berkenaan dengan pengaturan hidup suatu masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang
mengesahkan sekelompok individu untuk memiliki “kekuasaan sosial” yang aplikasinya “dapat
dipaksakan” atas setiap individu untuk menjamin keteraturan di dalam masyarakat itu sendiri.
Agar lebih jelas, berikut kami sampaikan definisi politik dari Gabriel A. Almond, et.al., di mana
mereka mendefinisikannya sebagai:
“ … the activities associated with the control of public decisions among a given people
and in a given territory, where this control may be backed up by authoritative and coercive
means. Politics refers to the use of these authoritative and coercive means---who gets to
employ them and for what purposes.”[3]
[“ … kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam
masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen
yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa). Politik
mengacu pada penggunaan instrumen otoritatif dan koersif ini---siapa yang berhak
menggunakannya dan dengan tujuan apa.”]
Definisi lain politik di masa modern juga dicatat oleh Hamid bahwa :
“ ... modern definition of politics, however, covers the government of the state and that
of other human organizations, where “government” means organized authority and
implies the institutions of leadership and authoritative allocation of values.”[4]
[ ... definisi politik di masa modern mencakup pemerintah suatu negara dan pula
organisasi yang didirikan manusia lainnya, di mana “pemerintah” adalah otoritas yang
terorganisir dan menekankan pelembagaan kepemimpinan serta pengalokasian nilai
secara otoritatif.”]
Kata otoritatif merupakan konsep yang ditekankan dalam masalah politik. Otoritatif adalah
kewenangan yang absah, diakui oleh seluruh masyarakat yang ada di suatu wilayah untuk
menyelenggarakan kekuasaan. Otoritas tersebut ada di suatu lembaga bernama “pemerintah”.
Bukan suatu kekekuasaan politik jika lembaga yang melaksanakannya tidak memiliki otoritas.
Pemerintah juga dapat kehilangan otoritasnya tatkala mereka sudah tidak memiliki kekuasaan atas
masyarakatnya. Pemerintah-lah yang mengalokasikan nilai-nilai seperti kesejahteraan, keadilan,
keamanan, kebudayaan, dan sejenisnya, ke tengah masyarakat. Dengan kekuasaan politik,
pemerintah
dapat
memaksakan
tindakannya
atas
setiap
individu.
Andrew Heywood sekurangnya mengajukan 4 asumsi tatkala kata “politik” diucapkan. Keempat
asumsi ini sama-sama diyakini merupakan konteks situasi tatkala kata politik disebutkan kendati
memiliki
1.
obyek
kajian
Politik
yang
berbeda.
Keempat
sebagai
asumsi
tersebut
Seni
adalah
:[5]
Pemerintahan
Artinya, politik adalah penerapkan kendali di dalam masyarakat lewat pembuatan dan
pemberdayaan keputusan kolektif. Asumsi ini adalah yang paling tua dan telah berkembang sejak
masa
2.
Yunani
Politik
sebagai
Kuno.
hubungan
publik
Aristoteles dalam bukunya Politics, menyatakan bahwa manusia adalah binatang politik. Maknanya,
secara kodrati manusia hanya dapat memperoleh kehidupan yang baik lewat suatu komunitas
politik. Lalu, dilakukan pembedaan antara lingkup “publik” dan “privat.” Kedua lingkup tersebut
diperbesar menjadi State (kembangan publik) dan Civil Society (kembangan privat). Dalam “state”
terletak institusi seperti pengadilan, aparat pemerintah, polisi, tentara, sistem kesejahteraan sosial,
dan sejenisnya, sementara dalam “civil society” terletak institusi seperti keluarga, kekerabatan,
bisnis
swasta,
serikat
kerja,
klub-klub,
komunitas,
dan
sejenisnya.
Masalahnya, masing-masing entitas dalam “civil society” cenderung mengedepankan
kepentingannya sendiri yang kadang berbenturan dengan entitas civil society lainnya. Dengan
demikian, munculah konsep “state” untuk memoderasi dan meregulasi entitas-entitas sipil tersebut.
Dalam konteks hubungan “state-civil society” inilah asumsi kedua politik diletakkan.
3.
Politik
sebagai
kompromi
dan
konsensus
Sharing atau pembagian kekuasaan adalah asumsi politik sebagai kompromi dan konsensus.
Kompromi dan konsensus dilawankan dengan brutalitas, pertumpahan darah, dan kekerasan. Dalam
politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi
tuntutan agar tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Baiknya politik suatu negara
bilamana masalah pergesekan kepentingan diselesaikan lewat kompromi dan konsensus di atas
“meja”
bukan
4.
pertumpahan
Politik
darah.
sebagai
kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang atau
kelompok lain guna menuruti kehendaknya. Dalam konteks politik, kekuasaan yang dirujuk adalah
kekuasaan sosial, yaitu produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya suatu masyarakat. Dalam
asumsi ini, politik dilihat sebagai penggunaan “kapital” (yaitu kekuasaan) dalam konteks produksi,
distribusi,
dan
penggunaan
Ontologi
sumber
daya
Ilmu
tersebut.
Politik
Secara sederhana, ontologi adalah ilmu tentang hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek apa yang
dikaji. Epistemologi adalah ilmu tentang bagaimana "ontologi" itu dipelajari, dibangun. Aksiologi
adalah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi
merupakan
aspek-aspek
khas
ilmu,
apapun
bentuknya.
Aspek ontologi ilmu ekonomi misalnya adalah barang dan jasa. Aspek ontologi ilmu sosial (sosiologi)
adalah kekerabatan antarmanusia, dan aspek ontologi ilmu fisika adalah materi serta gas. Ontologi
berarti obyek-obyek yang dipelajari oleh suatu ilmu. Lalu, bagaimana dengan ilmu politik sendiri ?
Secara ontologis, politik juga memiliki obyek-obyek kajian yang spesifik. Miriam Budiardjo
menyebutkan sekurang-kurangnya ada 5 obyek ontologis ilmu politik, yaitu:
1. Negara (state)
2. Kekuasaan (power)
3. Pengambilan keputusan (decision-making)
4. Kebijaksanaan umum (public policy)
5. Pembagian (distribution)
Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan
ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Jika
keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif, maka pengambilan
keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu dicapai.
Kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha
memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan memiliki kekuasaan
untuk melaksanakannya. Sementara itu, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar,
sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values)
dalam masyarakat. Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik.
Epistemologi
Ilmu
Politik
Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun. Dalam membangun suatu
ilmu, seseorang ahli teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi
pikirannya saat membangun suatu ilmu. Sebagai contoh, pada abad pertengahan, pelajaran
mengenai tata surya dipengaruhi suatu kesimpulan umum bahwa matahari mengelilingi bumi.
Artinya, pusat dari tata surya adalah bumi, bukan matahari. Namun, pendapat ini berubah tatkala
Nicolaus Copernicus melontarkan pendapat bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi
melainkan sebaliknya. Dengan demikian, pelajaran mengenai sistem tata surya pun berubah.
Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam konsep PENDEKATAN. Arti dari
pendekatan adalah dari sudut mana serta bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Dalam
mendidik anak, orang tua biasanya mendekati lewat 3 pendekatan: Otoriter, Laissez Faire, dan
Demokratis. Jika otoriter, orang tua hanya mau dituruti pendapatnya oleh si anak, jika Laissez Faire
cenderung membebaskan/membiarkan, dan jika demokratis akan menjak dialog dua arah.
Berdasarkan periode kelahirannya, maka ilmu politik dapat dibagi ke dalam tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan tradisional
2. Pendekatan behavioral
3. Pendekatan post-behavioral
Taksonomi
dari
perbedaan
atas
masing-masing
pendekatan
adalah
sebagai
berikut
ini:
Ketiga pendekatan dalam ilmu politik memang dikategorisasi berdasarkan periode. Ketiga
pendekatan tersebut sesungguhnya lebih tertuju kepada aspek historis perkembangan ilmu politik
ketimbang memberi suatu penjelasan yang lebih spesifik mengenai bagaimana kita menghampiri
suatu
fenomena
politik.
Pendekatan tradisional muncul terlebih dahulu (sejak zaman Yunani Kuno) untuk kemudian secara
berturut-turut, disusul dua pendekatan setelahnya. Para pemikir politik seperti Plato atau para ahli
politik seperti Montesquieu, Jean Jacques Rousseau atau John Stuart Mill mendekati permasalah
politik dengan pendekatan tradisional. Pasca Perang Dunia Kedua, muncul pendekatan Behavioral
yang coba memisahkan fakta dengan nilai dalam menganalisis permasalahan politik. Para teoretisi
seperti David Easton, David E. Apter atau Gabriel A. Almond adalah contohnya. Saat pendekatan
Behavioral dinilai tidak lagi "sensitif" di dalam menganalisa gejala politik, pada tahun 1960-an
muncul pendekatan Postbehavioral. Teoretisi seperti Andre Gunder Frank, Cardoso, atau di
Indonesia Arief Budiman (?) mencoba menganalisis gejala politik secara lebih komprehensif dengan
memperhatikan karakteristik wilayah serta kepentingan apa yang sesungguhnya melandasi sebuah
tindakan politik. Ketiga pendekatan ilmu politik ini tidak terpisah (terkotakkan) secara "zakelijk"
(tepat/pasti)
melainkan
kadang
tercampur
satu
sama
lain.
Selain menggunakan pengkategorian atas tiga pendekatan di atas, pendekatan-pendekatan ilmu
politik pun biasa dibagi ke dalam karakteristik atau ciri khas sudut pandang titik tolak pengamatan.
masing-masing. Dengan demikian, pendekatan dapat dianalogikan seperti 6 orang yang coba
menganalisa suatu rumah. Rumah misalkan saja terdiri atas 6 buah aspek, yaitu : fundasi, dinding,
atap, halaman, distribusi air, dan keindahan ruangan. Orang yang meneliti sebuah rumah dari sisi
fundasi tentu berbeda cara dan kesimpulannya dari orang yang mengamati melalui perspektif atap.
Demikian pula, orang yang ahli sistem pengairan tidak dapat menyimpulkan hasil penelitian melalui
perspektif halaman. Demikian pula halnya dalam ilmu politik. Pendekatan satu dengan pendekatan
lain berbeda baik dalam hal meneliti serta menyimpulkan sebuah gejala politik.
Di dalam ilmu politik ----sekurang-kurangnya menurut David E. Apter---- terdapat 6 pendekatan
dalam memahami fenomena politik. Keenam pendekatan tersebut memiliki pendukung dan
karakteristik khasnya masing-masing. Namun, sama seperti masalah rumah tadi, meskipun keenam
perspektif tersebut berbeda, tetapi tetap menganalisa satu bidang yaitu rumah. Di dalam politik
demikian pula halnya, keenam pendekatan ini sama-sama menganalisa satu bidang, yaitu fenomena
politik. Pendekatan-pendekatan ini menurut Apter terdiri atas Filsafat Politik, Institusionalisme,
Behavioralisme, Pluralisme, Strukturalisme, dan Developmentalisme. Paparan berikutnya akan
digunakan
untuk
merinci
masing-masing
pendekatan
secara
satu
Filsafat
per
satu.
Politik
Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab berbicara pada
dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu negara terbentuk, apa
tujuan negara, siapa yang layak memerintah, di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai,
juga menyinggung masalah moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi
besar
A.
yaitu
tradisi
Tradisi
klasik,
pertengahan,
Klasik
(Plato
pencerahan,
dan
dan
radikal.
Aristoteles)
Plato hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak
memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya demi memberi arahan
yang
benar
seputar
bagaimana
menyeenggarakan
kehidupan
bernegara.
Bagi Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan.
Keadilan ---menurut Plato--- adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang selaras dan seimbang.
Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana
masig-masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan
mereka.
Negara, bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) para penjamin makanan (pekerja);
(2) para penjaga; dan, (3) para pemimpin. Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar
barang-barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh,
pengemudi kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri,
mereka harus harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu,
golongan penjaga dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing. Mereka dilarang
berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh punya milik pribadi, serta hidup, makan
serta tidur bersama-sama. Golongan penjaga 'disapih' sejak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang
materinya mengarah pada tertib dan kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag paling
memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang
filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja akan mampu memahami melihat hakikathakikat rohani di belakang bayang-bayang inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin
dilakukan oleh sebab filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas
dari pamrih. Sebab itu dapat dikatakan ahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN yang dicapai
melalui
pendidikan.
Pemikiran
Plato
mengenai
politik
dapat
dilihat
pada
skema
berikut:
[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli,
(Jakarta:
Rajawali
Press,
2001),
h.158-184.]
Aristoteles (384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan
kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon politikon (makhluk
politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi mencapai kebahagiaan tanpa bantuan
orang lain. Sebab itu, manusia harus mau berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang
lain)
demi
mencapai
kebahagiaan
hidup
sendiri
dan
bersama.
Dengan demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan hidup
warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan negara
hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles menyarankan pembetukan
suatu negara bernama POLITEIA (negara yang berkonstitusi). Pemimpin negara adalah orang yang
ahli dan teruji kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di 'menara gading.'
Sumber
kekuasaan
dalam
Politeia
adalah
hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang agar suatu
keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada
di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan golongan menengah. Artinya, bentuk kekuasaanya
berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi. Satu hal penting lain, seluruh penguasa
harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia mampu
berkembang
dan
mati.
Secara sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut ini:
[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli,
(Jakarta:
Rajawali
Press,
2001),
h.158-184.]
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi campuran yang merupakan aturan dasar kehidupan
bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus
dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke dalam bentuk kebijaksanaankebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan pilihan-pilihan baru
warganegara
yang
nantinya
diwujudkan
ke
dalam
bentuk
konstitusi
bagi para
campuran.
B. Tradisi Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
Santo
Agustinus
(13
Nopember
354
M
-
28
Agustus
430
M)
Agustinus menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke dalam
dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah negara yang jauh dari
penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara surgawi sebaliknya. Negara Surgawi
(disebut pula negara Allah) ditandai oleh penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran
budi, serta keindahan. Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu,
ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan
diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang negatif
mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel mencerminkan ketaatan pada
Tuhan.
Santo
Thomas
Aquinas
(1225-1274
M).
Magnum opus Aquinas adalah "Summa Theologia." Berbeda dengan Agustinus, Aquinas menyatakan
bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab tumbuh dari kebutuhankebutuhan manusia yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan untuk menjalankan negara itulah justru
yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaikbaiknya
dengan
memperhatikan
hukum
Tuhan.
Penguasa harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika penguasa
mulai melenceng, rakyat berhat untuk mengkritik bahkan menggulingkannya. Namun, Aquinas
menyarakankan "Jangan melawan penguasa yang tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang
yang
Martin
mampu
menjamin
stabilitas
Luther
setelah
si
penguasa
tiran
(1484-1546
tersebut
digulingkan."
M)
Tahun 1517 memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya
adalah mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat pengampunan
dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan gejala takhayulisme dan mitologisasi
patung-patung orang-orang suci gereja. Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang
berlebihan atas para pemuka agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu, berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan
kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut Paus agar
mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi penyelenggaraan kekuasaan dengan
dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya, gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara.
Penyembahan Tuhan lalu dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja
Katolik.
Secara umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum teokrasi
(pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara sederhana, dapat dirangkum ke
dalam
bagan
berikut:
[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli,
(Jakarta:
Rajawali
Press,
2001),
h.158-184.]
C.
Tradisi
Niccolo
Pencerahan
Machiavelli
(kembali
ke
persoalan
(1469-1527
duniawi)
M).
Dalam magnum opus-nya "Il Principe" (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa kekuasaan
merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol kekuasaan politik tertinggi yang
sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther,
bagi Machiavelli kekuasaan ada di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau
doktrin agama manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh
kekuasaan
oleh
para
penguasa.
Il Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk mempertahankan
atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur. Tujuan seorang penguasa adalah
mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus menyelenggarakan kesejahteraan rakyat
secara umum agar si penguasa tersebut semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Thomas
Hobbes
(1588-1679
M).
Magnum opus-nya Thomas Hobbes adalah "Leviathan." Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi
sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki naluri-naluri 'buas' di
dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya negara adalah Bellum Omnium Contra
Omnes (perang semua lawan semua). Untuk mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk
negara
guna
menciptakan
stabilitas
dan
kedamaian.
Hobbes berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi.
Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes menjawa: "Tidak
mungkin
sebab
raja
John
dituntun
oleh
hukum
Locke
moral
di
(1632-1704
alam
dirinya!"
M)
Magnum opusnya John Locke "Two Treatises of Government." Menurut Locke, manusia pada
dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena menjaga harta
milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan untuk menjamin hak milik pribadi.
Namun, negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus dibedabedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus dibatasi. Dan tidak
hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang terpisah, yaitu:
1. Legislatif (pembuat UU)
2. Eksekutif (pelaksana UU)
3. Federatif (hubungan dengan luar negeri) ---- sementara dipegang eksekutif.
Locke menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat yang
membuat undang-udang. Namun, "rakyat" yag diwakili tersebut adalah laki-laki, dan berasal dari
kelas
borjuis.
Montesquieu
(1689-1755
M).
Magnum opus dari Montesquieu adalah "The Spirit of the Laws." Buku ini terdiri atas 31 buku yang
dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut:
1. hukum secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
2. pengaturan militer dan pajak
3. ketergantugan adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
4. perekonomian.
5. agama
6. uraian tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Untuk menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga jenis
kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU), dan Yudikatif (mengawasi
pembuatan
dan
pelaksanaan
UU).
Jean
Jacques
Rousseau
(1712-1778
M).
Magnum opus Rousseau adalah "The Social Contract." Dalam karya tersebut, Rousseau
menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu
dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang
dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara.
Negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap absah selama
negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam menjalankan hidup keseharian
negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap
masyarakat tidak mewakilkan kepentinga politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi
sendiri melakukannya di kehidupan publik. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan
menegosiasikan
kepentingannya
dengan
individu
lain.
Secara umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan berikut:
[Skema dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli,
(Jakarta:
Rajawali
Press,
2001),
h.158-184.]
D.
Georg
Tradisi
Wilhelm
Modern
Friedrich
Hegel
Magnum Opus-nya "The Phenomenology of Mind." Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut yang
sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide mutlak bergerak dalam
sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara. Negara berasal dari gerak dialektis
(pertentangan) di tengah masyarakat. Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media
terbentuk dan terselenggaranya negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi
pengorganisasian manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara
harus
Karl
didahulukan
ketimbang
Heinrich
yang
terakhir.
Marx
Magnum opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel) menentang
gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas 'kaya' ekonomis untuk
mengisap kelas 'miskin' (proletar). Dengan adanya negara, penindasan kelas pertama atas yang
kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara
melalui
John
revolusi
Stuart
proletariat.
Mill
Magnum opusnya "On Liberty." Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang negosiatif.
Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan individu. Bagi Mill,
hal yang harus diperbuat negara adalah menciptakan Greatest Happines for Greates Number
(kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas
harus dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang 'banyak' harus didahulukan ketimbang
yang
sedikit.
Pendekatan
Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal,
bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan
institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke
alam
kenyataan.
Secara
sederhana,
pendekatan
institusional
dapat
dilihat
pada
skema
berikut
:
[Skema dikutip dari David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta: Rajawali, 1985),
h.245.
]
Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek
konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan
kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana
membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum. Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara
berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil.
Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam
beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan
pemerintah
pusat
disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif.
Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan
eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem
presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari
keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan
Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif).
Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus
eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai politik menghubungkan antara
kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai,
terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik
tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu
kelompok yang secara khusus dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di
tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia
terdiri
atas
birokrasi-birokrasi
sipil
yang
fungsinya
elakukan
pelayanan
publik.
Pendekatan
Behavioral
Jika pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak), pendekatan
behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu. Behavioralisme menganggap
individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan lembaga, seperti pendekatan Institusionalisme).
Mengapa satu individu berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan
pertanyaan
dasar
dari
behavioralisme.
Misalnya, behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam demonstrasi,
apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik berbeda, atau mengapa si A atau
si
B
ikut
dalam
partai
X
bukan
partai
Pendekatan
Y?
Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan
pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun
1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A.
Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar,
bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar
kelompok
bercorak
top-down
(mirip
seperti
Mills).
Pendekatan
Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah
negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang
duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam),
memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat
saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina,
Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian,
meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas,
yaitu
Belanda
(Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang
sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum
kapitalis yang 'mendadak' kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai
perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara,
bagi
Marx,
hanya
alat
dari
struktur
Pendekatan
kelas
ini.
Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan
ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara
baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah
desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media,
partisipasi
politik)
mendorong
pada
terciptanya
demokrasi.
Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing
Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington,
mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas
politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan
politik rendah, akan muncul situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan
negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti partai politik, parlemen,
dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru
tidak mereka sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja
miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya dalam
buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi Frank, penyebab terus miskinnya
negara-negara 'dunia ketiga' adalah akibat : modal asing, perilaku pemerintah lokal yang korup,
dan kaum borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya. Frank menyarankan agar
negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju (Barat).
Aksiologi
Ilmu
Politik
Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu ekonomi pada
bagaimana seseorang dapat makmur secara material atau ilmu militer pada penciptaan prajuritprajurit yang dapat menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah aksiologi. Aksiologi adalah guna
dari
suatu
ilmu
atau,
untuk
apa
ilmu
tersebut
diperuntukkan
nantinya.
Aksiologi ilmu politik adalah untuk memberi "jalan atau cara" yang lebih baik dalam hal negosiasi
kepentingan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk
"membahagiakan hidup manusia" yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama. Secara khusus, bagi
seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, ilmu politik diharapkan akan memberi wawasan baru
bahwa dalam kerja keseharian, sebagai administratur negara ia berada dalam suatu kawasan yang
bernama negara. Ia terikat oleh aturan-aturan (legislasi) yang dibuat pemerintah (DPR dan
Eksekutif). Bagi seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Niaga, belajar politik diharapkan akan
memberi wawasan bahwa kelompok-kelompok ekonomi amat terpengaruh oleh sebuah keputusan
politik, dan sebaliknya, suatu kondisi ekonomi akan memberi pengaruh-pengaruh tertentu atas
kehidupan
Hubungan
politik.
Ilmu
Politik
dengan
Ilmu
Lain
Ilmu politik tidak benar-benar bersifat independen (berdiri secara bebas). Ilmu politik juga
dipengaruhi oleh ilmu lain. Pengaruh ini dapat dilihat dari konsep-konsep (gagasan) dari ilmu-ilmu
lain tersebut yang dipakai dalam studi politik. Di bawah ini hanya akan diajukan contoh pengaruh
dari ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat, antropoloogi, teologi (ilmu ketuhanan) dan ilmu
jurnalistik
serta
para
praktisi
politik:
Meskipun dipinjam, konsep-konsep tersebut di atas telah terinternalisasi dengan baik sehingga
menjadi konsep-konsep mapan di dalam ilmu politik. Beberapa konsep dari yag disebut di atas akan
kembali
kita
temui
dalam
materi-materi
Pengantar
Ilmu
Politik
selanjutnya.
Sub-sub
Disiplin
Ilmu
Politik
Ilmu politik merupakan suatu bidang keilmuwan yang cukup luas. Dengan demikian, para pakar
yang tergabung ke dalam International Political Science Association merasa perlu untuk membagi
disiplin ilmu politik ke dalam sub-sub disiplin yang lebih rinci. Ada 9 subdisiplin yang berada dalam
naungan ilmu politik, yaitu:
1. Ilmu Politik (Political Science). Bidang ini membahas bagaimana politik dapat dianggap sebagai
bidang ilmu tersendiri, sejarah ilmu politik, dan hubungan ilmu politik dengan ilmu-ilmu sosial lain.
2. Lembaga-lembaga Politik. Bidang ini mempelajari lembaga-lembaga politik formal yang mencakup:
sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dewan legislatif, struktur pemerintahan, otoritas
sentral, sistem peradilan, pemerintahan lokal, pelayanan sipil, serta angkatan bersenjata.
3. Tingkah Laku Politik. Bidang ini mempelajari tingkah laku politik bukan hanya aktor dan lembaga
politik formal, tetapi juga aktor dan lembaga politik informal. Misalnya mempelajari perilaku pemilih
dalam 'mencoblos' suatu partai dalam Pemilu, bagaimana sosialisasi politik yang dilakukan dalam
suatu sekolah, bagaimana seorang atau sekelompok kuli panggul memandang presiden di negara
mereka.
4. Politik Perbandingan. Politik perbandingan adalah suatu subdisiplin ilmu politik yang mempelajari:
(a) Perbandingan sistematis antarnegara, dengan maksud untuk mengidentifikasi serta menjelaskan
perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan yang ada di antara negara yang
diperbandingkan, dan (b) Suatu metode riset soal bagaimana membangun suatu standar, aturan,
dan bagaiana melakukan analisis atas perbandingan yang dilakukan.
5. Hubungan Internasional. Bidang ini mempelajari politik internasional, politik luar negeri, hukum
internasional, konflik internasional, serta organisasi-organisasi internasional. Singkatnya, segala
aktivitas politik yang melampaui batas yuridiksi wilayah satu atau lebih negara.
6. Teori Politik. Bidang ini secara khusus membahas pembangunan konsep-konsep baru dalam ilmu
politik. Misalnya mengaplikasikan peminjaman konsep-konsep dari ilmu sosial lain guna diterapkan
dalam ilmu politik. Konsep-konsep yang dibangun oleh subdisiplin Teori Politik nantinya digunakan
untuk menjelaskan fenomena-fenomena politik yang ada. Misalnya, saat ini ilmu politik telah
mengaplikasi suatu teori baru yaitu FEMINISM THEORY. Teori ini digunakan untuk menjelaskan
fenomena maraknya gerakan-gerakan perempuan di hampir seluruh belahan dunia. Atau, untuk
menjelaskan politik "menutup" diri Jepang dan Amerika Serikat (sebelum Perang Duia I), diterapkan
teori ISOLASIONISME (pinjaman dari bahasa jurnalistik).
7. Administrasi dan Kebijakan Publik. Subdisiplin ini mempelajari rangkuman aktivitas pemerintah, baik
secara langsung atau tidak langsung (melalui agen), di mana aktivitas ini mempengaruhi kehidupan
warganegara.
8. Ekonomi Politik. Sub disiplin ini menekankan pada perilaku ekonomi dalam proses politik serta
perilaku politik dalam pasar (marketplace).
9. Metodologi Politik. Subdisiplin ini khusus mempelajari paradigma (metodologi) serta metode-metode
penelitian yang diterapkan dalam ilmu politik. Apakah pendekatan kualitatif atau kuantitatif yang
akan digunakan dalam suatu penelitian, masuk ke dalam subdisiplin ini. Demikian pula aneka ragam
uji statistik (dalam tradisi behavioral analysis) yang digunakan untuk menganalisis data.
--------------------------------------Referensi
1. Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
2. Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York:
Oxford University Press, 1996), p.7.
3. Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today: A World View, Eigth Edition, (Delhi: Dorling
Kindersley Publishing, Inc., 2004) p. 2.
4. Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics : A Study of the Origins of Political Thought in the
Makkan Verses (London: The International Institute of Islamic Thought, 2004) p. 2
5. Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002) p.7-12.
6. Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
7. Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York:
Oxford University Press, 1996), p.7.
8. Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today: A World View, Eigth Edition, (Delhi : Dorling
Kindersley Publishing, Inc., 2004) p. 2.
9. Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics: A Study of the Origins of Political Thought in the
Makkan Verses (London : The International Institute of Islamic Thought, 2004) p. 2
10. Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002) p.7-12.
11. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
12. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995),
h.293.
13. Richard Bellamy and Andrew Mason, eds., Political Concepts, (Manchester: Manchester University
Press, 2003).
14. Ibid., p.2.
15. Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta:
Rajawali, 1985).
16. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
17. J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press,
2001). Skema pemikiran politik Plato, Aristoteles, Abad Pertengahan dan Abad Pencerahan mengacu
pada sumber ini.
18. Mogens Herman Hansen, POLIS: An Introduction to the Greek City-States (New York : Oxford
University Press, 2006) p.110-1.
19. Aristoteles ini juga merupakah guru filsafat, kebijakan, dan politik bagi Alexander the Great atau
Iskandar Agung, penakluk dari Macedonia yang amat menghormati kebudayaan dan kebiasan yang
berlaku di masyarakat wilayah taklukannya. Banyak penduduk wilayah taklukan Iskandar yang lebih
memilih untuk dipimpin olehnya tinimbang penguasa asli mereka.
20. Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2001).
21. Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona:
Harcourt race Jovanovich, 1968), p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar)
dapat dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli : Il Principe,
(Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
22. David Robertson, The Routledge Dictionary of Politics, Third Edition (New York: Routledge, 2002)
p.292.
23. David Robertson, The Routledge ..., op.cit. p. 225.
24. Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
25. David Robertson, The Routledge ..., op.cit., p. 313.
26. David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
27. Mark C. Miller, “NeoInstitutionalisme” dalam John T. Ishiyama and Marijke Breuning, eds., 21st
Century Political Science : A Reference Handbook (California : Sage Publications, Inc., 2011) pp. 228.
28. S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102.
29. David E. Apter, Pengantar ..., op.cit., h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit.,
p.358.
30. Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
31. Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., , p.358.
32. Ibid.
33. Samuel P. Huntington. Political Order in Changing Societies. (New Haven: Yale University Press,
1968. ) p.5.
34. Ronald H. Chilcote, Theories ..., op.cit., p..290-1.
35. Mark Rowth, Great Jobs for Political Science Majors, 2nd Edition (New York : McGraw-Hill, 2003).
36. I.J.G. Fergusson, Fergusson’s Career in Focus: Politics (New York: Fact on File, 2005).
37. Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, Handbook ..., op.cit. p.103.
38. Bidang-bidang ini merujuk pada ibid., Seluruh bab.
tags:
pengertian ilmu politik dan pendekatan-pendekatan ilmu politik konsep dasar ilmu politik definisi
politik ilmu politik pendekatan filsafat politik cabang politik karir politik machiavelli luther marx mill
hegel pengertian politik, konsep ilmu politik, pengertian negara, pengertian kekuasaan, paradigma
ilmu politik, pendekatan dalam ilmu politik, pendekatan filsafat politik, konsep politik aristoteles,
konsep politik karl marx, konsep politik john locke, konsep dasar ilmu politik, pendekatan behavioral
politik, kekuasaan menurut aristoteles, seta basri, stia sandikta, mata kuliah pengantar ilmu politik
konsep dasar ilmu politik definisi politik ilmu politik pendekatan filsafat politik cabang politik karir
politik
Download