POLITIK DAN ILMU POLITIK BAB 1 POLITIK, sebuah kata yang banyak mengandung makna, karena politik tidak terlepas dari kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga negara. Sebagai bagian dari umat manusia, maka baik secara sadar maupun tidak sadar tiap manusia pasti melakukan kegiatan yang bersifat politik. Atas dasar itu, Aristoteles dalam bukunya Politics (ditulis tahun 335 SM) dikatakan “secara alamiah manusia adalah mahluk yang berpolitik”. Dalam bahasa latin atau yunani disebut “Zoon Politicon” Yang dimaksudkan Aristoteles adalah bahwa politik merupakan hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain, maka mereka tidak lepas dari keterlibatan dalam hubungan yang bersifat politik. Aristoteles melihat hal ini sebagai kecenderungan alami dan tak dapat dihindarkan oleh manusia dan hanya sedikit orang yang cenderung mengasingkan dirinya daripada bekerja sama dengan orang lain. 1 Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yakni ”polis” yang artinya ”negara-kota”. Antara abad XVI sampai abad XX, ”politik” diartikan secara lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang dipahami orang-orang Yunani. Jean Bodin (1530-1596), seorang filosof politik Perancis memperkenalkan istilah ”ilmu politik” (Science politique). Tetapi karena ia seorang pengacara, sorotannya mengenai ciriciri negara menyebabkan ilmu politik dihubungankan dengan organisasi dari lembaga yang mempunyai sangkut paut dengan hukum. Pandangan Jean Bodin ini kemudian diperkuat filosofis Prancis lainnya, Monetesquieu (1969-1755) yang mengemukakan bahwa semua fungsi pemerintahan dapat dimasukkan dalam kategori legislatif, eksekutif dan yudikatif. Begitu luasnya cakupan politik, sehingga pendefenisian ilmu politik disesuaikan dengan sudut pandang masing-masing ilmuwan. Sudut pandang itu dilihat dari negara dan pemerintahan, perumusan dan implementasi kebijakan, bagaimana memperolah dan mempertahankan kekuasaan serta ada yang melihat politik sebagai usaha-usaha warga negara untuk mewujudkan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan luasnya ruang lingkup kajian politik, Peter H Odegard dan David Easton menyebut ilmu politik sebagai ratunya ilmu-ilmu sosial (the queen of social sciences) yang berkedudukan pada peringkat paling atas diantara ilmu-ilmu sosial atau ilmu utama (the master science), khususnya diantara kemanusian). kelompok ilmu sosial (kemasyarakatan dan Dari pandangan ini, nampak bahwa untuk ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari aktivitas manusia sebagai individu maupun warga negara yang memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya. Sejak awal hingga perkembangan yang terakhir, lima pandangan mengenai politik. Kelima cara pandang dalam melihat politik tersebut adalah : 2 1. Klasik Aristoteles mengemukakan pandangan klasik melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ikhwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Filosof ini membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusanurusan yang menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta). Pada hemat Aristoteles, urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada urusanurusan yang menyangkut kepentingan swasta. Menurut Aristoteles, manusia merupakan mahluk politik dan sudah menjadi hakikat manusai untuk hidup dalam ”polis”. Hanya dalam Polis itu manusia dapat memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena di sana urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan dan tindakan-tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Di luar Polis manusia dipandang sebagai mahluk yang berderajat dibawah manusia seperti binatang ataukah sebagai mahluk yang berderajat di atas manusia seperti Dewa atau Tuhan. Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum atau kebaikan bersama? Rumusa kepentingan umum yang dikemukakan oleh para sarjana sangat bervariasi. Sebagian orang mengatakan kepentingan umum merupakan tujuan-tujuan moral atau nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kbahagiaan dan kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan umum sebagai keinginan orang banyak sehingga mereka membedakan general will (keinginan orang banyak atau kepentingan umum) dari will of all (keinginan banyak orang atau kumpulan keinginan banyak orang). Ilmuwan politik kontemporer, Samuel P. Huntington melukiskan 3 kepentingan umum secara singkat sebagai kepentingan pemerintah karena lembaga pemerintahan dibentuk untuk menyelenggarakan kebaikan bersama. Konsep politik menurut pandangan klasik, tampak sangat kabur. Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam menentukan patokan kepentingan umum yang disetujui bersama dalam masyarakat. Namun, satu hal yang patut mendapatkan perhatian dari pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada ”apa yang seharusnya” dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis dan ”dengan cara apa sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata lain pandangan klasik lebih menekankan aspek filosofis (idea dan etik) dari pada aspek politik. 2. Kelembagaan Pandang ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara maupun antarkelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang kongkret dan dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan. Berdasarkan pendapat Weber disimpulkan tiga aspek sebagai ciri negara, yaitu : 1. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan,peran dan lembaga-lembaga yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasnya yang bersifat kompleks, formal dan permanen. 4 2. Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh negara. Negara memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang final dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk menegakkan putusan itu sendiri seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini untuk melaksanakan kewenangan maka negara menggunakan aparatnya seperti militer, polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan. 3. Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut. 3. Kekuasaan Pandangan ketiga melihat politik sebagai kegiatan mecari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan. Robson merupakan salah seorang yang mengembangkan pandangan tentang kekuasaan ini. Menurutnya, ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil kekuasaan. 4. Fungsioalisme Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan diatas, dewasa ini para ilmuwan politik dari kacamata 5 fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Diantara ilmuwan politik yang menggunakan kacamata fungsional dalam mempelajari gejala politik ialah David Easton dan Harlod Lasswell. Easton merumuskan politik sebagai ”the authoritative allocation of values for a society” atau alokasi nilai-nilai otoritatif, berdasarkan kewenangan dan karena itu mengikat untuk semua masyarakat. Oleh karena itu, yang digolongkansebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang menentang) proses mempengaruhi (mendukung, mengubah, pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara itu Lasswel menyimpulkan proses politik sebagai masalah ”Who gets, when, how” atau masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. ”Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilainilai. ”Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. ”Bagaimana” berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. Nilai yang dimaksudkan disini adalah sebagai hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan, persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan dan nasionalisme. Disamping bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi dan rekreasi. 5. Konflik Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain sebagai upaya 6 untuk mendapatkan dan atau mempertahakan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya itu seringkali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara berbagai pihak. Dalam hal ini antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahakan nilainilai disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat termasuk dalam proses politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap proses politik. Akan tetapi, konseptualisasi ini tidak seluruhnya tepat. Hal itu disebabakan, selain konflik, konsensus, kerjasama dan integrasi juga terjadi dalam hampir semua proses politik. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan dan pertentangan untuk mendapatkan dan atau mempertahakan nilai-nilai justru diselesaikan melalui proses dialog sehingga sampai pada suatu konsensus maupun diselesaikan lewat kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai. Oleh karena itu, keputusan politik merupakan upaya untuk penyelesaian konflik politik. A. Perkembangan Ilmu Politik Ilmu Politik masa kini telah berkembang dari berbagai bidang studi yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hukum dan ekonomi. Ditinjau dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat disangkal 7 bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi (yang mengalami kemajuan pesat seiring dengan era “revolusi industri” pertengahan abad XVIII). Lalu mengapa ada pakar ilmu politik yang menyebut ilmu politik sebagai “ratu” ilmu-ilmu kemasyarakat ? Seperti halnya matematika sebagai ratu ilmu-ilmu eksakta. Kemungkinan alasannya antara lain adalah karena ilmu politik mempelajari serta memusatkan kajiannya pada hal ikhwal yang menyangkut gejala-gejala (fenomena) paling hakiki dan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perjuangan untuk kekuasaan (struggle of power), atau minimal perjuangan untuk hidup (stuggle of life) di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Selain itu karena ilmu politik mempelajari negara dan pemerintahan yang merupakan organisasi pada peringkat tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bagi manusia. (May Rudy, 2003). Ilmu politik dapat kita katakan sebagai ilmu yang tertua, baik di antara ilmu-ilmu sosial, maupun jika mencakup ilmu-ilmu eksakta. Ilmu politik dalam bentuk awalnya yang paling sederhana yaitu praktek-praktek politik telah dikenal dan dipelajari sejak 25 abad yang lalu. Sejak sekitar 500 tahun sebelum masehi, pada zaman yunani kuno ketika masyarakat politik masih bersig polis atau politeia (negara kota, city-- state) didalam bentuknya yang sangat sederhana. Sayangnya, ilmu politik agak lambat dalam tahap-tahap perkembangannya untuk menjadi disiplin ilmu tersendiri. Bahkan kata “ilmu politik” baru dikembangkan oleh Jean Bodin (pertengahan abad XVI, tahun 1576), setelah Niccolo Machiavelli (awal abad XVI, era “Renaissance”) melalui bukunya The Prince merintis pengkajian (limu) politik secara semi—ilmiah. Lalu sekitar akhir abad XVIII muncul pemikir baru seperti Montesquiueu, J.J Rosseu dan Jhon Locke (dalam “era pencerahan” atau “enligh—enment”. Hingga kemudian pada 8 awal abad XX baru menjadi perhatian lagi guna dikembangkan secara ilmiah, sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Jadi dapat dikatakan bahwa ilmu politik dilahirkan di Yunani (dengan tokoh Plato, Aristoteles, Thuycidides) sekitar 4 – 5 abad sebelum bermulanya tahun masehi, berlanjut pada zaman Romawi (dengan tokoh Polybius dan Cicero). Lalu dibangkitkan kembali oleh Niccolo Machiavelli di Italia (awal abad XVI), sebelum dibahas di Prancis (akhir abad XVI), dimantapkan di Inggris dan Jerman (awal abad XIX). Sampai pada akhirnya, diakui dan berkembang dengan pesat sebagai disiplin ilmu yang mandiri di Amerika Serikat (awal abad XX). Akan tetapi perkembangannya sebagai disiplin ilmu yang dikembangkan secara mandiri barulah terwujud menjelang akhir abad XIX. –Di Indonesia disiplin ilmu politik berkembang abad 13 M yang dibuktikan dengan kitab Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi. Miriam Budiardjo (Dasar-dasar Ilmu Politik, 2005:2-3) menulis bahwa sesudah perang dunia II perkembangan ilmu politik semakin pesat. Di Negara Belada, dimana sampai waktu itu penelitian mengenai negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale en Politieke Wetencshappen (sekarang namanya Faculteit des Sociale Wetenschappen) pada tahun 1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) di mana ilmu Politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karenan pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh secara kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang berangsur-angsur mulai dikenal. 9 Pesatnya perkembanga ilmu politik sesudah perang Dunia II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa badan internasional, terutama UNESCO. Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam terminologi dalam Ilmu Politik, UNESCO dalam tahun 1948 menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu politik dalam kira-kira 30 negara. Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein dari Princeton University Amerika Serikat kemudian dibahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku Contemporary Political Science (1948). B. Defenisi Ilmu Politik Politik berlangsung pada lingkungan yang disebut “Sistem Politik” . Demikian pula, ilmu politik adalah ilmu untuk diterapkan dalam menganalisis interaksi dalam sistem politik. Kegunaannya adalah untuk memahami apa yang terjadi, hal-hal apa atau faktor apa saja yang mempengaruhinya, sampai pada predikat tentang apa yang akan terjadi sebagai kelanjutannya. Menurut May Rudy (Pengantar Ilmu Politik, 2003:10) Ilmu politik dalam arti sempit, menyangkut negara dan pemerintahan tapi ilmu politik dalam arti luas mencakup sekitar lima macam objek, sasaran atau pusat perhatian yaitu : 1. Negara (the state) 2. Pemerintahan (government) 3. Kekuasaan dan kewenangan (power and authority) 4. Kelembagaan masyarakat (organization of society) 5. Kegiatan dan tingkah laku politik (political activity and behavior) Keanekaragaman objek ilmu politik ini, terlihat dari defenisi-defenisi ilmu Politik yang saling berbeda, tergantung pada sudut pandang orang 10 yang merumuskan defenisi tersebut. Dibawah ini beberapa kutipan tentang defenisi ilmu politik. Miriam Budiardjo (Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2005:9-13) Defenisi ilmu politik hingga saat ini menurut para ahli belum bisa disatukan dalam satu defenisi. Hal ini lebih disebabkan adanya cara pandang/sudut pandang para ahli politik tersebut yang berbeda-beda. Perbedaan itu menurut, dapat dibedakan dalam beberapa konsep yang meliputi : 1. negara (state) 2. kekuasaan (power) 3. pengambilan keputusan (dicision making) 4. kebijaksanaan (policy, beleid) 5. pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) a. Negara (state) Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Menurut Roger F. Soltau, “Ilmu Politik adalah mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu, hubungan antara negara dan warga negaranya serta dengan negara-negara lain.” J. Barents, dalam ilmu politika: Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya. b. Kekusaan (Power) Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau sekelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. 11 Harold D. Lasswell dan A. Kaplan, “Ilmu politik adalah mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.” Deliar Noer, mengatakan “Ilmu politik adalah memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.” c. Pengambilan Keputusan (Decision Making) Keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif. Joyce Mitchel dalam bukunya Political Analysis and Public Policy : “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.” Karl. W Deutsch, mengatakan bahwa : “Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum.” d. Kebijaksanaan (Policy) Menurut Haoogerwerf, kebijaksanaan umum adalah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan. David Elton, “Ilmu Politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijaksanaan umum.” e. Pembagian (Distribution) Pembagian adalah pembangian atau penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat. Berdasarkan defenisi beberapa para ahli di atas, secara umum Ilmu politik memiliki kajian yang lebih luas. Dimulai bagaimana kelompok mengorganisir diri dan membentuk sebuah negara, bagaimana masyarakat mendapatkan kekuasaan, merumuskan kebijakan politik, hubungan antara lembaga-lembaga kekuasaan. Jadi penulis mendefenisikan “ilmu politik adalah yang mempelajari Negara (mulai dari proses pembentukannya), hubungan lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kekuasaanya serta bagaimana suatu kebijakan publik diputuskan”. 12 C. Ruang Lingkup Ilmu Politik Wajar bila pendefenisian ilmu politik berbeda-beda. Karena kajian ilmu politik sangat luas sehingga dalam pendefenisiannya pun masingmasing melihat dari sudut pandang berbeda. Tapi yang pasti, ilmu politik kajiannya begitu luas sehingga beragam pendapat tentang bidang telaahan ilmu politik. UNESCO merumuskan ke dalam 4 (empat) bidang utama dengan 15 (limabelas) , yaitu : I. Teori Politik 1. Teori-teori Politik 2. Sejarah Pemikiran Politik II. Lembaga-lembaga Politik 1. Undang-undang Dasar 2. Pemerintahan Nasional 3. Pemerintahan Daerah 4. Administrasi Negara 5. Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Ekonomi oleh Pemerintah 6. Perbandingan Pemerintahan dan Lembaga-lembaga Politik III. Partai Politik dan Pendapat Umum 1. Partai-partai Politik 2. Kelompok Kepentingan dan Kelompok Pendesak 3. Partisipasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Pemerintahan 4. Pendapat Umum (Opini Publik) IV. Hubungan Internasional 1. Politik Internasional 2. Administrasi dan Organisasi Internasional 3. Hukum Internasional (Lihat Robson (Rapporteur), The University Teaching of Social Science, UNESCO, Paris 1954, 13 hlm 183; dan UNESCO, Comtemprary Political Science, Paris, 1950 hlm 4). Joseph S. Roucek (dalam Introduction to Political Science, 1950. Ne York; ThomasY. Crowell Co; hlm 18-19) dalam buku May Rudy Pengantart Ilmu Politik,2003:25)) membagi ilmu politik ke dalam lima cabang, yaitu : 1. Teori Politik 2. Hukum Kewarganegaraan dan Ketatanegaraan 3. Kekuatan-kekuatan Politik 4. Hubungan Internasional Politik sudah lama diakui sebagai disiplin ilmu pengetahuan sosial yang berdiri sendiri. Salah satu persyaratan untuk dapat disebut sebagai disiplin ilmu adalah adanya obyek. Obyek formal politik adalah kekuasaan, sedangkan obyek formal ilmu pemerintahan adalah hubungan-hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Sementara obyek formal ilmu negara adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan pertumbuhan , perkembangan, sifat, hakikat dan bentuk-bentuk negara yang meliputi pengkajian konstitusi, lembaga tertinggi negara, penduduk dan wilayah. Obyek materi ilmu negara sama dengan obyek materi ilmu politik, pemerintahan, administrasi negara dan hukum tata negara yaitu negara. Obyek materi yang dimaksudkan disini adalah persoalan pokok dan obyek formal adalah pusat perhatian. Inu Kencana (2000:28), perbedaan obyek materi dan obyek formal ilmu-ilmu kenegaraan tersebut dapat dapat dilihat dalam tabel berikut : Objek Materi dan Formal Ilmu-Ilmu Kenegaraan No Nama Disiplin Ilmu Obyek Pengetahuan Materi Obyek Formal 14 1. Ilmu Politik Negara Kekuasaan, kekuatan kelompok elit, keresahan masyarakat dan interest group 2. Ilmu Pemerintahan Negara Hubungan-hubungan pemerintahan, gejalagejala pemerintahan, peristiwa-peristiwa pemerintahan 3. Ilmu Negara Negara Pertumbuhkembangan negara, sifat dan hakikat negara, bentuk dan teori negara 4. Ilmu Hukum Tata Negara Negara Peraturan-peraturan, undang-undang, konvensi, konstitusi, yurispuredensi, keputusan-keputusan serta hukum-hukum lainnya. 5. Ilmu Administrasi Negara Negara Administrasi, ketatausahaan, pelayanan, manajemen, pengelolaan, pengawasan serta koordinasi 15 16