I. PENDAHULUAN Pada masa lampau kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum dapat dirasakan. Ilmu sama sekali tidak memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat. Ungkapan Aristoteles tentang ilmu “umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”. (Van Melsen, 1987) Dewasa ini ilmu menjadi sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, seolaholah manusia sekarang tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Kebutuhan manusia yang paling sederhana pun sekarang memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan pangan, sandang dan papan, sangat tergantung dengan ilmu, meski yang paling sederhana pun. Maka kegiatan ilmiah dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut: 1. Segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasai lebih mendalam menurut segala aspeknya. 2. Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, makanan, udara, cahaya, kehangatan, dan tempat tinggal tidak akan cukup tanpa penyelidikan itu. (Van Melsen, 1987). Dengan demikian, ilmu pada dewasa ini mengalami fungsi yang berubah secara radikal, dari tidak berguna sama sekali dalam kehidupan praktis menjadi “tempat tergantung” kehidupan manusia. Penemuan-penemuan secara empiris memberikan kemungkinan baru, yang ternyata ada gunanya dalam praktis. Ilmu yang semula rasional-empiris menjadi rasio-eksperimental. Dengan demikian, ilmu mempunyai akibat yakni berguna dalam kehidupan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ilmu pengetahuan telah banyak membantu masyarakat. Akan tetapi juga tidak dapat dipungkiri begitu saja adanya dampak negatif. Tentu saja dampak negatif ilmu pengetahuan tidak seharusnya membuat manusia pesimis bahkan menyerah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor pada ilmu pengetahuan begitu saja kemudian menjadi budak, akan tetapi ilmu pengetahuan yang harus berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia. Ilmu pengetahuan dikembangkan oleh dan untuk kepentingan kesejahteraan manusia, maka tidak seharusnya manusia menyerah. Justru dengan ciptaannya manusia harus siap bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Ilmu pengetahuan terus menerus dikembangkan untuk membantu kehidupan masyarakat dan memperpanjang tangan manusia. I.1 Thomas Kuhn : Hidup dan Karyanya (1922-1996) Thomas Samuel Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli, 1992 di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia menerima Ph.D dalam fisika dari Harward University, dan tinggal disana sebagai asisten profesor pendidikan umum dan sejarah ilmu pengetahuan. Kemudian pada tahun 1964, ia diangkat oleh M. Taylor Pyne sebagai Guru Besar Filsafat dan Sejarah Ilmu Pngetahuan di Princeton University. Pada tahun 1979, ia kembali ke Boston, kali ini ia ke Massachusetts Institute of Technology sebagai profesor filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan. Pada tahun 1983, ia diangkat oleh Lawrence S. Rockefeller sebagai Guru Besar Filsafat di MIT. Kuhn merupakan salah satu filsuf yang paling berpengaruh pada pertengahan abad kedua puluh. Karyanya yang berjudul Struktur Revolusi Ilmiahlah (The Structure of Scientific Revolution) yang membuat namanya begitu terkenal dalam sejarah dunia ilmu pengetahuan, hingga saat ini. Dalam buku tersebut Kuhn mulai mempopulerkan istilah paradigma. Tema dasar argumen Kuhn adalah, bahwa pola perkembangan yang khas dalam ilmu dewasa ini adalah transisi yang berurutan dari satu paradigma ke paradigma lain melalui suatu proses revolusi. 1.2 Paradigma ilmu pengetahuan Thomas Kuhn Thomas Kuhn memulai analisisnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi Karl Popper. Ia memfokuskan diri pada perkembangan pembentukan sebuah teori. Lebih jauh dari itu, Kuhn ingin melihatnya dalam konteks historis terbentuknya sebuah ilmu pengetahuan. Ia sampai pada penemuan, bahwa sebuah teori baru tidak bisa terbentuk hanya dengan mengajukan bukti-bukti yang bertentangan dengan teori-teori yang lama. Secara singkat inti pemikiran Kuhn mengenai paradigma adalah, bahwa dalam sebuah komunitas selalu terdapat sebuah teori yang dianggap mapan, dan semua orang di dalamnya menggunakan teori tersebut. Dengan kata lain paradigma adalah sebuah pedoman atau framework sebuah komunitas yang menjadi landasan yang mendasari setiap gerak dan pola pikir komunitas teresbut. Teori yang mapan dan mempunyai dominasi kuat dalam sebuah komunitas itulah yang Kuhn sebut sebagai paradigma. Masa berlaku sebuah paradigma tidak bisa diperkirakan. Paradigma yang lama akan hancur dan tergeser dengan paradigma baru, ketika mulai muncul masalah internal di dalamnya. Artinya muncul sebuah masalah dari dalam yang tidak bisa lagi dijawab oleh paradigma yang lama. Perubahan atau pergeseran paradigma tersebut tidak bisa dibayangkan sebagai sesuatu yang teratur dan stabil, melainkan sifatnya sangat acak dan revolusioner. Dengan demikian Kuhn membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bentuk, yaitu ilmu pengetahuan dalam situasi normal, dan dalam situasi krisis. Pertama, ilmu pengetahuan dalam situasi normal, yakni situasi dimana dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat sebuah paradigma yang mendominasi secara utuh dan kuat. Dalam situasi normal ini bisa dikatakan, bahwa paradigma yang mendominasi tersebut masih mampu menjawab semua masalah yang timbul dalam sebuah komunitas yang memegang paradigma tersebut. Paradigma ini bertahan sampai terjadi sebuah masa, dimana terjadi masalah internal didalamnya, dan paradigma tersebut tidak mampu lagi menjawabnya. Ini berlangsung sampai adanya sebuah paradigma baru yang mampu menjawab masalah tersebut. Situasi pergantian paradigma itulah yang disebut sebagai situasi krisis dalam ilmu pengetahuan. Kuhn menganggap bahwa usaha membandingkan dua paradigma yang berbeda,demi mencari penilaian mana diantaranya yang valid, tidak akan pernah bisa. Hal tersebut dikarenakan dalam melakukan penelitian, seseorang pasti telah mempunyai paradigma juga di dalam pikiran mereka. Bagi Kuhn yang diperlukan adalah sebuah lompatan penuh keberanian dalam mengganti paradigmanya. Dengan demikian hal tersebut semakin memperkuat, bahwa paradigma, sadar atau tidak, selalu mempengaruhi seluruh cara berpikir manusia dalam berbagai aspek hidupnya. Fenomena perkembangan filsafat ilmu pengetahuan dan politik Indonesia berdasarkan Teori Paradigma Thomas Kuhn dan Filsafat Politik Machiavelli sangat menarik untuk tetap menjadi bahan perbincangan dan wacana diskusi yang tidak akan pernah ada habisnya. Pertama coba kita melihatnya mulai dari ilmu pengetahuan (sains). Di Indonesia gejolak perkembangan ilmu pengetahuan seolah-olah belum begitu terdengar gaungnya. Hal tersebut bisa langsung kita amati dalam bidang teknologi. Sungguh menyedihkan bahwa Indonesia hanya menjadi pemakai semata. Manusia-manusia Indonesia masih banyak mengimpor hasil-hasil teknologi dari negara lain. Teknologi masih hanya sekedar menjadi sebuah permainan bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Tidak ada sebuah nilai kecintaan dan kreativitas akan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penelitian-penelitian pun masih banyak yang sekedar pengajuan proposal secara besar-besaran demi mendapat tunjangan biaya darinya. Bukan menjadi sebuah rahasia lagi, jika kita menengok lingkungan akademis, seperti di universitas-universitas. Banyak dosen berebut melakukan penelitian semata-mata demi mendapatkan uang penunjang. Kemudian bisa dibayangkan bagaimana hasil penelitiannya, yang ada hanya sebuah penelitian dangkal dan dengan metode yang acak-acakan dan sulit dipercaya validitasnya. Dengan demikian apa yang sesungguhnya masih menjadi kerangka berpikir orangorang yang menyebut dirinya sebagai ilmuan di Indonesia di balik fenomenafenomena yang nampak tersebut. Kemudian mari kiat beralih melihat fenomena politik. Politik di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup kelam, jika mengingat kembali ke masa orde baru. Pemerintah memerintah rakyat dengan sistem yang totaliter dan bergaya diktator. Kebebasan berpendapat dibatasi. Ini tampak dengan adanya pembredelanpembredelan banyak media masa. Berbagai cara dilegalkan oleh penguasa dengan mengatasnamakan terciptanya kestabilan sosial dalam masyarakat. Ini semua adalah pola berpikir yang sangat pragmatis. Namun pada akhirnya kita bisa bertanya, sesungguhnya kestabilan nasional yang ada memiliki dasar yang kokoh? Menggelikan kalau jawabannya adalah ya. Bagaimana mungkin moral dibangun, jika tanpa kebebasan? Jaman memang sudah berganti. Saat ini kita hidup pada masa reformasi yang penuh dengan semangat demokrasi. Namun yang tetap menjadi pertanyaan adalah, apakah paradigma di dalamnya pun telah berubah mengikuti perubahan nama yang diberikan? Apakah politik di Indonesia benar-benar telah lepas dari paradigma pragmatisme dangkal para pelakunya. Fenomena perbuatan kekuasaan demi kepentingan kelompok masih sangat kuat menghiasi panggung polotik di Indonesia. Hal tersebut dengan jelas bisa kita lihat dalam perang kepentingan antar partai politik, baik ketika pemilu maupun dalam praktek dikursi pemerintahan. Segala cara dilakukan demi mendapat tempat di kursi pemerintahan, mulai dari politik uang, sampai suap di sana-sini. Fenomena lain lagi, ketika partai masuk sebagai pembuat keputusan melalui jatah meteri, terjadi proses kompromi dengan presiden. Kompromi ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Kecenderungan tersebut membuat kekuasaan. Secara singkat bisa dikatakan, bahwa tesis utama ajarannya adalah politik tanpa moralitas. Niccolo Machiavelli lahir di Florence, Italia pada 3 Mei 1469. Ia lahir dari keluarga bangsawan Florentine, ayahnya seorang pengacara kaya bernama Bernardo Niccolo Machiavelli, dan ibunya bernama Stefano Nelli. Ia hidup dan berkembang di tengah keadaan yang serba berlimpah, mengingat pada waktu itu, keluarganya memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pemerintah. Disamping itu Florence, kota tempat tinggalnya, merupakan sebuah tempat persilangan dua arus daerah dengan budaya yang berlawanan. Pertama kota Savanarola yang terkenal dengan kekuatan dan kekerasannya, kemudian kota penuh cinta, Lorenzo. Karier Machiavelli sebagai politikus dan diplomat berakhir, ketika ia deberhentikan dari jabatannya oleh penguasa Italia. Dua buku karyanya yang paling terkenal adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang Pangeran). Ia menulis kedua buku tersebut dengan harapan bisa memperbaiki keadaan politik Italia Utara ketika itu. Namun yang mengagumkan kedua buku tersebut malah menjadi buku umum berpolitik pada masa itu juga. Selain menulis karya-karya dibidang politik, Machiavelli juga menulis untuk bidang-bidang lainnya, seperti bidang Sejarah, yaitu History of Florence, Discourse on the First Decade of Titus Livius, a Life of Castruccio Castrancani, dan History of the Affair of Lucca, serta masih banyak lagi lainnya. Meskipun demikian sejarah mencatat, bahwa buku The Prince-lah yang mampu dikenal oleh banyak orang. Secara singkat dalam buku tersebutlah terungkap secara jelas ajaran Politik (pragmatisme) Machiavelli. Lebih jauh ia juga membenarkan segala cara dalam rangka mencapai tujuan lestarinya sebuah kekuasaan. Selengkapnya saya akan membahasnya pada sub-sub selanjutnya bagian Filsafat Politik Machiavelli. I.3 Agama dan Politik Machiavelli Seperti sudah kita ketahui, Machiavelli hidup pada masa awal abad pencerahan di Italia, atau lebih sering dikenal sebagai masa modernitas. Dalam masa itu terdapat sebuah semangat besar untuk melepaskan diri dari kungkungan tradisi dan agama yang dirasakan sangat membelenggu kebebasan berfikir. Orang mulai menyadari kembali jati dirinya sebagai manusia yang mampu berfikir sendiri, tanpa didasari ketakutan akan aturan dalam tradisi dan agama. Gejolak perubahan tersebut tidak lepas dari pengalaman akan jaman abad pertengahan yang lebih bersifat Teosentris, yaitu bahwa segala sesuatu selalu dilihat dalam kaca mata Tuhan. Pada masa itu filsafat harus selalu menjadi hamba atas teologi. Lebih lanjut dalam bidang pemerintahan, banyak Kaisar yang diangkat oleh Paus. Banyak terjadi praktek pencampuran antara agama dan pemerintahan. Paus sebagai pemimpin gereja pun seperti menjadi penjilat para Raja dan Kaisar untuk memperoleh wilayah dan keamanan tertentu. Akhirnya muncul banyak sikap yang bersikap kritis terhadap hubungan antara agama dan negara. Perhatian utama para pemikir politik ini adalah pada norma dan tujuan (normatif), bukan apa yang terjadi (deskriptif). Bagi Machiavelli agama tidak boleh mendominasi dalam negara atau pemerintahan. Yang harus terjadi justru sebaliknya, bahwa negaralah yang harus mendominasi agama. Lebih lanjut bahwa agama harusnya hanyalah sebagai pemersatu negara. Jika agama ikut campur dalam kegiatan pemerintahan negara, maka agama hanya akan membuat terjadinya perpecahan. Turut campurnya agama dengan berbagai kepentingan yang ada dibaliknya membuat situasi negara bergejolak, dan tidak sesuai dengan tujuan negara. Agama memiliki makna bila bergua bagi kepentingan politik kekuasaan, yakni untuk menjamin stabilitas sosial. 1.4 Moralitas Machiavelli “Dan dalam tindakan manusia, khusunya raja-raja yang tidak terbatas, tujuan menghalalkan cara”(Machiavelli, The Prince, Bab. 18). Seperti sudah sedikit disinggung pada pembahasan sebelumnya, yaitu bahwa Machiavelli banyak mendapat anggapan sebagai filsuf yang tidak bermoral. Anggapan tersebut muncul dari ajaran Machiavelli, ketika ia memaparkan pandangan-pandangan politiknya dalam bukunya yang berjudul The Prince, yang memberikan metode untuk mendapatkan dan mengamankan kekuasaan. Pada intinya Machiavelli ingin menyajikan sebuah pandangan tentang sebuah visi kekuasaan politik yang debersihkan dari pengaruh moral asing, dan menyadari dasar-dasar politik yang efektif dalam menjalankan kekuasaan. Dalam bukunya The Prine, Machiavelli memusatkan perhatiannya pada teknik-teknik dalam rangka mensukseskan tercapainya tujuan dalam politik. Machiavelli menegaskan bahwa demi tercapainyatujuan politik, moralitas tidak perlu menjadi sebuah pertimbangan yang harus ditaati. Bagi Machiavelli demi tujuan yang baik, semua cara yang diperlukan bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih dalam bahwa seorang penguasa tidak wajib membahas, apakah cara yang dilakukannya dalam pemerintahannya bermoral atau tidak. Intinya selama sejalan dengan tujuan, semua boleh dilakukan, demi tercapainya tujuan tersebut. Dengan demikian Machiavelli menolak pandangan klasik dan Kristiani yang mengatakan, bahwa tujuan tidak membenarkan cara. Karena memang bagi Machiavelli, moralitas hanyalah alat untuk mencapai sebuah tujuan. Logikanya jika moralitas hanyalah sebuah alat, maka kalau dianggap mengganggu dan mencegah sampai pada tujuan, orang diperkenankan untuk membuangnya. Sehingga dapat diketahui bahwa bagi Machiavelli, moralitas tidak mempunyai pengaruh apapun dalam pencapaian tujuan politik. Peran penguasa yang penuh dengan dominasi dan “tangan besi”nya diperlukan dalam mengatur pemerintahan. Dari situlah bisa disimpulkan, bahwa politik Machiavelli adalah politik pragmatisme. Pragmatisme merupakan sebuah pandangan yang lebih menekankan pada hasil semata. Orientasi utamanya dalam setiap kegiatan adalah hasil. Bebas nilai adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar nilainilai yang diperjuangkan ilmu pengetahuan. Dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Untuk itu, dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji lebih dalam tentang ilmu pengetahuan dan masyarakat yang ditinjau dari: pengertian ilmu pengetahuan, pengertian masyarakat, hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat serta ilmu pengetahuan dengan ilmu politik dan masalah bebas nilai. II. PEMBAHASAN II.1 Tinjauan tentang Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan selain mengubah cara pandang manusia terhadap realitas, ilmu pengetahuan melalui teknik ilmiah juga telah berhasil menjadi sarana bagi perkembangan kekuasaan serta kontrol terhadap masyarakat. Ilmu pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia, bukan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya dimulai dengan permulaan umat manusia. Ketika budaya intelektual Eropa mencapai kedewasaan yang memadai, yang sebagian besarnya dicapai melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya, ilmu-ilmu eksperimental secara khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh melalui Renaissance, Abad Kebangkitan. Selain itu, Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Ilmu pengetahuan disini bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Segi-segi ilmu pengetahuan dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bersifat bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat. II.2 Tinjauan tentang Masyarakat Manusia adalah makhluk sosial, ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung dengan orang lain. Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan dan sebagainya. Manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat. II.2.1 Pengertian Masyarakat Berikut ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia, diantaranya: a. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. b. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi. c. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan obyektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. d. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/ kumpulan manusia tersebut. e. Menurut Koentjaraningrat masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama. f. Menurut Ralph Linton masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan mereka menganggap sebagai satu kesatuan sosial. II.2.2 Unsur-unsur Masyarakat Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini: a. Berangotakan minimal dua orang. b. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan. c. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat. d. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat. II.2.3 Komponen Masyarakat Ada beberapa komponen masyarakat diantaranya : a. Populasi dengan aspek-aspek genetik dan demografik b. Kebudayaan sebagai produk dari aktivitas cipta rasa, karsa dan karya manusia. Isi kebudayaan meliputi beberapa sistem nilai, yaitu sistem peralatan (teknologi), ekonomi, organisasi, ilmu pengetahuan, kesenian, dan kepercayaan sistem bahasa. II.2.4 Kriteria Masyarakat yang Baik Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat. a. Ada sistem tindakan utama. b. Saling setia pada sistem tindakan utama. c. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota. d. Sebagian atau seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia. Masyarakat tidak begitu saja muncul seperti sekarang ini, tetapi adanya perkembangan yang dimulai dari masa lampau sampai saat sekarang ini dan terdapat masyarakat yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini kemudian berkembang mengikuti perkembangan jaman sehingga kemajuan yang dimiliki masyarakat sejalan dengan perubahan yan terjadi secara global, tetapi ada pula masyarakat yang berkembang tidak seperti mengikuti perubahan jaman melainkan berubah sesuai dengan konsep mereka tentang perubahan itu sendiri. Dalam mempertahankan kehidupannya, masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya. Adapun adaptasi tersebut dibedakan sebagai berikut : a. Adaptasi genetik; setiap lingkungan hidup biasanya merangsang penghuninya untuk membentuk struktur tubuh yang spesifik, yang bersifat turun temurun dan permanen b. Adaptasi somatis yang merupakan penyesuaian secara struktural atau fungsional yang sifatnya sementara (tidak turun temurun). Bila dibandingkan dengan makhluk lainnya, maka manusia mempunyai daya adaptasi yang relatif lebih besar. II.2 Perkembangan dan Definisi Ilmu Politik Apabila ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus, dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan psikologi, dan dalam perkembangan ini mereka saling mempengaruhi. Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan jauh lebih tua umurnya. Bahkan ia sering dinamakan ilmu sosial yang tertua di dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar pada sejarah dan filsafat. Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 Masehi dan Babad Tanah Jawi. Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup politik mulai akhir abad ke19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialisme. Di negara-negara benua Eropa seperti Jerman, Austria, dan Prancis bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah negara semata-mata. Bahasan mengenai negara termasuk kurikulum Fakultas Hukum sebagai mata kuliah Ilmu Negara (Staatslehre). Di Inggris permasalahan politik dianggap termasuk filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasannya dianggap tidak dapat terlepas dari sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole Libredes Sciances Politiques di Paris (1870) dan London School of Economics and Political Science (1985) , ilmu politik untuk pertama kali di negara-negara tersebut dianggap sebagai disiplin tersendiri yang patut mendapat tempat dalam kurikulum perguruan tinggi. Namun demikian, pengaruh dari ilmu hukum, filsafat dan sejarah sampai perang dunia II masih tetap terasa. II.2.1 Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan (Science) Adakalanya dipersoalkan apakah ilmu politik merupakan suatu ilmu pengetahuan (science) atau tidak, dan disangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan. Soal ini menimbulkan pertanyaan: apakah yang dinamakan ilmu pengetahuan (science) itu? Karakteristik ilmu pengetahuan (science) ialah tantangan untuk menguji hipotesis melalui eksperimen yang dapat dilakukan dalam keadaan terkontrol (controlled circumstances) misalnya laboratorium. Berdasarkan eksperimen-eksperimen itu ilmu-ilmu eksakta dapat menemukan hukumhukum yang dapat diuji kebenarannya. Jika definisi ini dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya belum memenuhi syarat, karena sampai sekarang belum ditemukan hukum-hukum ilmiah seperti itu. Mengapa demikian? Oleh karena yang diteliti adalah manusia dan manusia itu adalah makhluk yang kreatif, yang selalu didasarkan atas pertimbangan rasional dan logis, sehingga mempersukar usaha untuk mengadakan perhitungan serta proyeksi untuk masa depan. Dengan kata lain perilaku manusia tidak dapat diamati dalam keadaan terkontrol. II.2.2 Definisi Ilmu Politik Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Mengapa politik dalam arti ini begitu penting? Karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber daya alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik. Bagaimana caranya mencapai tujuan dengan berbagai cara, yang kadang-kadang bertentangan dengan satu sama lainnya. Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber daya yang ada. Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik dalam suatu negara (state)berkaitan dengan masalah kekuasaan (power) pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik(public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution). Politik adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan harta (Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches). Di bawah ini ada dua sarjana yang menguraikan definisi politk yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus : 1. Menurut Rod Hague et al.: “politik adalah kegiatna yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya. 2. Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan , dan mengamandemenkan peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, y ang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik. Unsur ini diperlukannya sebagai konsep pokok yang akan dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lain. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa konsep-konsep itu adalah : 1.Negara(state) 2.Kekuasaan(power) 3.Pengambilan keputusan (decision making) 4. Kebijakan (policy, beleid) 5. Pembagian (distribution) II.2.3 Bidang-bidang Ilmu Politik Dalam contemporary Political Science, terbitan Unesco 1950, ilmu politik dibagi menjadi empat bidang : 1. Teori Politik. 2. Lembaga-lembaga politik. 3. Partai-partai, golongan-golongan (groups), dan pendapat umum. 4. Hubungan internasional. II.2.4 Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Pengetahuan Lain Sejarah Seperti diterangkan di atas, sejak dahulu kala ilmu politik erat hubuganya dengan sejarah dan filsafat. Sejarah merupakan alat yang paling penting bagi ilmu politik, oleh karena menyumbang bahan, yaitu data dan fakta dari masa lampau, untuk diolah lebih lanjut. Filsafat Ilmu pengetahuna lain yang erat sekali hubungannya dengan ilmu politik ialah filsafat. Filsafat ialah usaha untuk secara rasional dan sistematis mencari pemecahan atau jawaban atas persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta (universe) dan kehidupan manusia. Sosiologi Di antara ilmu-ilmu sosial, sosiologi-lah yang paling pokok dan umum sifatnya. Sosiologi membantu sarjana ilmu politik dalam usahanya memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. Antropologi Apabila jasa sosiologi terhadap perkembangan ilmu politik adalah terutama dalam memberikan analisis terhadap kehidupan sosial secara umum dan menyeluruh, maka antrophology menyumbang pengertian dan teori tentang kedudukan serta peran berbagai satuan sosial-budaya yang lebih kecil dan sederhana. Ilmu Ekonomi Pada masa silam ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan bidang ilmu tersendiri yang dikenal sebagai ekonomi politik (political economy), yaitu pemikiran dan analisis kebijakan yang hendak digunakan untuk memajukan kekuatan dan kesejahteraan negara Inggris dalam menghadapi saingannya seperti Portugis, Spanyol, Prancis, dan Jerman, pada abad ke-18 dan ke-19. Psikologi Sosial Psikologi sosial adalah pengkhususan psikologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan masyarakat, khususnya faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berperan dalam ikatan kelompok sosial, bidang psikologi umumnya memusatkan perhatian pada kehidupan perorangan. Geografi Faktor-faktor yang berdasarkan geografi, seperti perbatasan strategis, desakan penduduk, daerah pengaruh mempengaruhi politik. Ilmu Hukum Terutama negara-negara Benua Eropa, ilmu hukum sejak dulu kala erat hubungannya dengan ilmu politik, karena mengatur dan melaksanakan undangundang merupakan salah satu kewajiban negara yang penting. Cabang-cabang ilmu hukum yang khususnya meneropong negara ialah hukum tata-negara (dan ilmu negara). II.2.5 Politik Pragmatisme Indonesia dan Paradigma Politik Politik Indonesia mempunyai sejarah yang cukup kelam dan traumatis bagi banyak orang, lebih tepatnya sejarah politik pada masa Orde Baru. Pada masa itu pemerintah sungguh-sungguh menerapkan sistem totaliter, diktator, dan militeristik dalam memerintah rakyatnya. Segala sesuatu yang dianggap mengganggu dan menghalangi pemerintah dalam langkah dan geraknya akan langsung dihilangkan. Pemerintah seolah-olah telah mempunyai paradigma pragmatisme dalam mengatasi setiap masalah yang muncul didalamnya. Hal itu tercermin dalam sikap perintah yang menghalalkan segala cara dalam rangka menciptakan suasana yang seolah-olah harmonis dan damai. Bahkan moralpun tidak menjadi sesuatu yang penting lagi untuk dipertimbangkan, persis seperti apa yang Machiavelli ajarkan. Paradigma tersebut ada sampai terjadi sebuah krisis, dimana rakyat mulai berontak, dan menggulingkan pemerintahan saat itu. Kini era telah berganti menjadi apa yang banyak orang sebut sebagai era reformasi. Usaha menjadi pemerintah yang demokratis terus digalakkan ke berbagai bidang kehidupan. Namun apakah sungguh paradigma lama telah berganti pula menjadi paradigma yang baru, setelah mengalami krisis? Apakah paradigma pragmatis sudah benar-benar hilang dari para pelaku politik Indonesia? Jika diamati secar mendalam ternyata paradigma pragmatisme dalam politik diam-diam masih kuat. Paradigma politik pragmatisme masih dipakai dalam kehidupan politik di Indonesia, mulai dari tingkat daerah sampai pusat. Banyak contoh yang bisa digunakan untuk membuktikan keberadaan paradigma politik itu. Salah satu contoh besar yang kita angkat adalah fenomena yang ada dalam partaipartai politik Politik di Indonesia tidak lebih dari sekedar politik perang kepentingan antar golongan dalam memperebutkan kekuasaan. Pemerintah seolah-olah tidak berani mengambil sebuah langka berbeda untuk melepaskan diri dari arus tersebut. Namun rasanya sulit juga bagi pemerintah untuk melepaskan diri dari arus tersebut, karena mereka menjadi penguasa politis juga dengan memegang paradigma pragmatisme tersebut. III. Hubungan Kesesatan Berpikir dengan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Politik Sama halnya dengan ilmu sosial lainnya, metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu politik menggunakan model deduksi, yaitu melihat hal-hal yang bersifat umum dahulu kemudian baru melihat hal-hal yang bersifat khusus (deduksi). Ruang lingkup yang dipelajari ilmu politik sangat luas. Tidak hanya masalah mengenai negara saja, tetapi juga banyak mempelajari tentang kekuasaan, cara mengelolanya, kebaikan bersama dan masalah lainnya yang saling berkaitan. Oleh karena itu para ahli ilmu politik melihat sebuah permasalahan dari hal-hal yang bersifat umum atau cakupan yang luas, baru kemudian mengambil beberapa masalah yang dibahas lebis spesifik. Pada ilmu poltik terdapat sejumlah perdebatan mengenai pendekatanpendekatan yang digunakan. Ada yang berpendapat tentang pendekatan normatif yang membahas baik buruk dan pendekatan perilaku yang memusatkan pada tingkah laku perilaku manusia pada perilaku politiknya. Namun kebanyakan ahli menggunakan pendekatan perilaku dalam metode pengamatannya. Dengan pendekatan tersebut para ahli dapat memprediksi gejala-gejala politik yang akan terjadi melalui tingkah laku aktor politik dan masyarakat. IV. Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Perbedaan antara situasi ilmu pengetahuan dulu dan sekarang tentu tidak terbatas pada kesatuan lebih besar yang menandai ilmu pengetahuan di masa lampau. Terdapat juga perbedaan-perbedaan lain. Antara lain cukup menyolok mata bahwa tempat yang diduduki ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dulu sama sekali berbeda, kalau dibandingkan dengan situasi sekarang. Dulu ilmu pengetahuan praktis tidak mempengaruhi hidup sehari-hari. Dan dianggap biasa saja, bila ilmu pengetahuan tidak mempunyai konsekuensi dalam kehidupan kemasyarakatan. Dalam konteks ini terdapat perkataan Aristoteles yang cukup menarik, umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari barulah dapat diarahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Jadi, rupanya kegiatan ilmiah tidak bertujuan mempermudah urusan ini atau meningkatkan taraf hidup jasmani. Apalagi, pada waktu itu tidak mungkin orang berpikir untuk meningkatkan taraf hidup, karena tingginya taraf hidup dianggap telah ditentukan oleh alam kodrat dan manusia tidak sanggup mengubah alam kodrat. Dulu ilmu pengetahuan mempunyai tujuan yang sama sekali berbeda. Ilmu pengetahuan bertujuan memperingatkan manusia bahwa selain makhluk alamiah (makhluk yang tersimpul dalam tata susunan alam), ia masih merupakan sesuatu yang lain, yaitu makhluk yang mengetahui tentang dirinya dan dengan demikian juga tentang perbedaannya dengan alam. Ilmu pengetahuan bermaksud mendalami pengertian tentang diri manusia dan alam itu supaya secara rohani manusia dapat sampai pada inti dirinya. Karena itu ilmu pengetahuan tidak berguna dalam arti bahwa ilmu pengetahuan tidak berusaha mencapai sesuatu yang lain. Ilmu pengetahuan dipraktekkan untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Kini fungsi kemasyarakatan dari ilmu pengetahuan telah berubah secara radikal. Bahwa ilmu pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari masyarakat menurut segala aspeknya. Tentu saja dapat dikatakan juga bahwa kita sekarang ini berada dalam semacam gerak spiral: di satu sisi kita harus menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan kita yang paling elementer dan di lain sisi keharusan itu sebagian disebabkan karena telah mempengaruhi dan mengubah keadaan hidup kita yang natural. Kita sendiri telah menciptakan suatu situasi yang ganjil. Lebih dahulu kita telah merusak lingkungan hidup yang natural (air, udara, tanah) dan kemudian kita harus membersihkan lagi lingkungan itu. Tidak alasan untuk membanggakan situasi seperti itu. Namun demikian, kita sepatutnya hati-hati dulu dan tidak terlanjur cepat melontarkan penilaian kita. Bagaimanapun juga dulu hanya sejumlah kecil orang sanggup memanfaatkan sumber-sumber alamiah dan dengan berbuat demikian mereka selalu merugikan serta mengorbankan orang lain. Bagi kita sekarang lebih penting adalah pertanyaan bagaimana sampai terjadi bahwa ilmu pengetahuan tidak saja menjadi berguna untuk kehidupan sehari-hari melainkan juga unsur yang tidak mungkin dilepaskan lagi dari hidup kita. Gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan mencapai kebahagian akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah. Mengalir ke masa depan bak banjir cepat yang penuh kekuatan dan daya hidup, dan terkadang menyerupai taman mempesona, alam semesta ini seperti buku yang dipersembahkan kepada kita untuk dipelajari, sebuah pameran untuk disaksikan, dan sebuah amanah yang dipercayakan kepada kita dengan kebolehan mengambil manfaat darinya. Dengan mempelajari makna dan isi amanah ini, kita harus menggunakannya dengan cara yang bermanfaat bagi generasi masa depan serta generasi sekarang. Jika kita mau, kita dapat mengartikan ilmu pengetahuan sebagai hubungan sebagaimana diidamkan di atas antara manusia dan dunia ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia, bukan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya dimulai dengan permulaan umat manusia. Ketika budaya intelektual Eropa mencapai kedewasaan yang memadai, yang sebagian besarnya dicapai melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya, ilmuilmu eksperimental secara khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh melalui Renaissance, Abad Kebangkitan. Jika ilmu pengetahuan sejati berarti mengarahkan kecerdasan menuju kebahagiaan akhirat tanpa mengharapkan keuntungan materi, melakukan pengkajian tak kenal lelah dan terperinci tentang alam semesta untuk menemukan kebenaran mutlak yang mendasarinya, dan mengikuti metoda yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, maka ketiadaan hal-hal tersebut memiliki arti bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat memenuhi harapan kita. Sebelum Kristen, Islam adalah pembawa obor pengetahuan ilmiah. Pemikiran agama yang memancar dari kebahagian akhirat, dan cinta serta semangat yang muncul dari pemikiran itu, yang disertai rasa kefakiran dan ketidakberdayaan di hadapan Pencipta Maha Kekal, berada di balik kemajuan ilmiah besar selama 500tahun yang tersaksikan di dunia Islam hingga akhir abad kedua belas. Gagasan ilmu pengetahuan berdasarkan Wahyu Ilahi, yang mendorong penelitian ilmiah di dunia Islam, dipersembahkan nyaris sempurna oleh tokoh-tokoh terkemuka zaman itu, yang tenggelam dalam pikiran tentang kebahagiaan akhirat, meneliti alam semesta tanpa kenal lelah untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Ketaatan mereka kepada Wahyu Ilahi menyebabkan kecerdasan yang berasal dari Wahyu itu memancarkan cahaya yang memunculkan gagasan baru ilmu pengetahuan di dalam jiwa manusia. Jika gagasan ilmu pengetahuan, yang diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat seolah merupakan bagian dari risalah Ilahi, dan yang dipelajari dengan semangat ibadah, tidak pernah terkena serangan Mongol yang menghancurkan serta terpaan Perang Salib yang tak berbelas kasih dari Eropa, maka dunia hari ini akan lebih tercerahkan, memiliki kehidupan intelektual yang lebih kaya, teknologi yang lebih sehat, dan ilmu pengetahuan yang lebih menjanjikan. Saya katakan ini karena gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan keinginan mencapai kebahagian akhirat, cita-cita akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha Allah. Cinta akan kebenaran mengarahkan penelitian ilmiah sejati. Ini berarti mendekati alam semesta tanpa pertimbangan keuntungan materi dan balasan duniawi, dan mengamati dan mengenalinya sebagaimana kenyataan sebenarnya. Sementara mereka yang dilengkapi dengan cinta seperti itu dapat mencapai tujuan akhir dari penelitian mereka, mereka yang terkena syahwat duniawi, cita-cita materi, prasangka ideologis, dan taklid buta terhadapnya, serta tidak mampu mengembangkan rasa cinta akan kebenaran apa pun, akan gagal, atau lebih buruk lagi, mengalihkan jalannya penelitian ilmiah dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai senjata mematikan untuk digunakan melawan kemampuan terbaik umat manusia. V. Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Politik. Politik dapat dikatakan sebagai filsafat karena dalam mempelajari politik diperlukan cara berfikir yang kompleks, sistematis, serta politik adalah sebuah ilmu yang menyangkut aspek kehidupan manusia berkaitan dengan kemenangan yang perlu dianalisis secara kritis. Politik juga dapat dikatakan sebagai ilmu, karena politik memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu. Van Dyke mengatakan politik sebagai ilmu dengan mengemukakan 3 syarat yakni : 1. Variability Politik dapat diuji oleh banyak spesialis dalam bidang ilmu yang bersangkutan sehingga menimbulkan keyakinan yang mantap, baik bobot maupun pengakuan dan dapat menjadi dasar bagi prediksi. 2. Sistematis Pengetahuan dikatakan sistematis jika diorganisir kedalam pola atau struktur dengan hubungan yang jelas, kepedulian terhadap system berarti para ahli ingin meneruskan dari fakta-fakta yang khusus ke yang umum, dari pengetahuan faktafakta yang terpisah menuju pengetahuan hubungan antara fakta-fakta tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan ilmu yaitu mencapai suatu hubungan antar fakta yang sistematis. 3. Generality Alasan untuk menekankan pada generality ini berkaitan dengan tujuan utama karya ilmiah yaitu memberikan eksplanasi dan prediksi. Objek dalam ilmu adalah untuk mengembangkan generalisasi sehingga eksplanasi dan prediksi dapat berjalan dengan tingkat kemungkinan yang maksimal. Politik adalah sebuah ilmu yang memerlukan segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan seala segi dari kehidupan manusia. Selain itu, politik suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu sehingga terjadi relevansi antara politik dan filsafat ilmu. VI. Dampak Ilmu Pengetahuan Terhadap Masyarakat Dampak ilmu pengetahuan terhadap life-world (disebut juga dunia praktis, mencakup pengalaman subjektif-praktis manusia) ada dua, yaitu dampak intelektual langsung terutama tentang perubahan cara pandang terhadap realitas dan dampak tidak langsung melalui mediasi teknili-teknik ilmiah terutama teknik-teknik produksi dan organisasi sosial. Terdapat beberapa hal dalam ilmu pengetahuan yang menyebabkan modernisasi, hilangnya pemikiran-pemikiran tradisional, dan majunya efisiensi dan kemandirian dalam penerapan ilmu pengetahuan di kehidupan sehari-hari. Yang pertama adalah ilmu pengetahuan merintis jalan kepada kemandirian dalam berpikir berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala alam atau sosial melalui kemajuan teknologi. Karenanya manusia menjadi mengetahui fakta-fakta mengenai gejala-gejala alam dan sosial, serta dapat rnemecahkan sendiri masalah-masalah alam dan sosial tersebut berdasarkan fakta-fakta yang diketahui. Yang kedua adalah ilmu pengetahuan berangkat dari suatu filosofi tentang alam sebagai suatu yang otonom, yang memiliki hukumnya sendiri. Dunia fisik dan dunia organis berkembang menurut regularitas tertentu dan regulitas itu pada gilirannya mempertegas sifat otonomi dari dunia fisik dan organis. Yang ketiga adalah disingkirkannya konsep tujuan. Ilmu pengetahuan hanya mengenal sebab efisien dari suatu peristiwa. Oleh karena itu ilmu pengetahuan lebih memperhatikan konsep kasualitas dibandingkan dengan konsep finalitas. Yang keempat adalah munculnya globalisasi sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya globalisasi, informasi dari berbagai belahan dunia menjadi mudah untuk diraih dan oleh karenanya terjadiah modernisasi dan regresi kebuda;aaan tradisional. Yang terakhir adalah dari segi kontemplasi, tampaknya ilmu pengetahuan merendahkan manusia, dengan tidak segan-segan menjelaskan bahwa manusia tidak banyak artinya daiarn seluruh alam semesta. Namun dari segi praktis, ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia justru karena dengan ilmu pengetahuan manusia dapat berbuat banyak. Rasionalitas ilmu pengetahuan itu tidak hanya mengubah cara pandang tradisional kita, tetapi juga teologi yang terlalu teosentris. VII. Masalah Bebas Nilai Bebas nilai adalah tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Tujuan dari tuntutan bebas nilai ini adalah agar ilmu pengetahuan tidak tunduk pada pertimbangan lain di luar ilmu pengetahtuan sehingga mengalami distorsi dan agar kebenaran tidak dikorbankan untuk nilai-nilai di luar ilmu pengetahuan. Ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut: 1. Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, idoelogi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya. 2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. 3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal. Terdapat dua konteks bebas nilai dalam ilmu pengetahtuan, yakni context of discovery dan context of justification. Context of discovery merupakan konteks di mana ilmu pengetahtuan ditemukan. Dalam konteks ini ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Banyak penemuan ilmu pengetahtuan dilatarbelakangi oleh nilai-nilai di luar ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam context of justification, yaitu konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Hanya kebenaran data, fakta, dan keabsahan metode ilmiah yang diperhitungkan. VIII. KESIMPULAN 1. Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. 2. Menurut Koentjaraningrat masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama. 3. Tidak dapat dipungkiri Ilmu pengetahuan telah banyak membantu masyarakat dan mempermudah segala urusan masyarakat. Akan tetapi juga tidak dapat dipungkiri begitu saja adanya dampak negatif. 4. Ilmu pengetahuan dapat menciptakan suatu masyarakat yang enlightened hanya bila masyarakat itu mengikuti rasionalitas ilmu pengetahuan yang taat pada rasio. Apabila kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diimbangi dengan adanya watak intelektual, maka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut akan disalahgunakan. Orang-orang akan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya untuk keuntungan pribadi semata, bukan untuk kepentingan orang banyak. Dengan adanya watak intelektual dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masyarakat yang modern, maju, serta makmur akan dapat tercapai. 5. Bebas nilai adalah tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. 6. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, sadar atau tidak, politik dan sains di Indonesia mempunyai sebuah kesamaan paradigma, yaitu bahwa keduanya samasama memegang paradigma pragmatisme khas Machiavelli dalam aktivitasnya. Hal tersebut nampak jelas dalm fenomena-fenomena yang terjadi dalam sains dan politik yang hanya berorientasi pada tujuan, hingga akhirnya sedikit demi sedikit mengabaikan proses atau cara mencapainya. Pandangan Machiavelli banyak dibenci oarang, namun tanpa sadar, banyak juga yang melakukannya. DAFTAR PUSTAKA Abbas Hamami M. 1976. Filsafat ( Suatu Pengantar Logika FormalFilsafat Pengetahuan ). Yogyakarta : Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM. Adib, Mohammad. 2007. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya : Laboratorium Humaniora Tingkat Perisapan Bersama (TPB) Universitas Airlangga. Taat Putra, Suhartono. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Anonim.2009.Dampak Intelektual Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://kuliahfilsafat.wordpress.com/2009/08/28/dampak-intelektualilmu-pengetahuan-dan-teknologi/. Diakses pada tanggal 10 Desember 2011. Pukul 20:00 “Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Politik” http://a2i3sc0ol.blogspot.com/2008/09/sifat-arti-dan-hubungan-ilmupolitik.html.