manajemen pengetahuan dan profesional informasi : harapan

advertisement
MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN PROFESIONAL INFORMASI : HARAPAN,
KENYATAAN, DAN TANTANGAN
Putu Laxman Pendit, Ph.D.
Pendahuluan
Aspirasi tentang nilai pengetahuan (knowledge) dalam kegiatan manusia sama sekali
bukan hal baru, dan sudah menjadi bahan pembicaraan para filsuf sejak Socrates.
Khususnya yang berkaitan dengan manajemen pengetahuan (knowledge management)
juga bukan hal baru; berbagai pemikiran tentang peran pengetahuan dalam organisasi
dan bisnis sudah marak sejak 1987, sebagaimana digambarkan oleh Amidon (1998)
yang menyatakan bahwa penulis-penulis Jepang, Amerika Serikat dan Eropa sejak
awal telah menganjurkan integrasi antara pengetahuan di dalam diri manusia dengan
organisasi tempat mereka bekerja, agar tercipta inovasi yang terus menerus.
Pemikiran tentang "kekayaan tak berwujud", perusahaan yang berdasarkan "knowhow" dan "organisasi yang belajar", berkembang sepanjang akhir 80an dan awal
90an. (lihat Lampiran 1).
Perkembangan teknologi informasi memainkan peranan amat penting dalam
perkembangan konsep manajemen pengetahuan. Dalam catatan Beckman (1999, lihat
tabel 1), peristiwa penting yang menandai tonggak perkembangan manajemen
pengetahuan adalah ketika di tahun 1980 perusahaan DEC (Digital Equipment
Corporation) dan Universitas Carnagie Mellon mengembangkan sistem pakar untuk
menetapkan konfigurasi perangkat keras komputer. Sejak itu, banyak penelitian yang
menuju pada pemanfaatan teknologi untuk memanfaatkan pengetahuan yang
tersimpan di kepala manusia. Namun baru enam tahun kemudian istilah "manajemen

Makalah untuk Kuliah Perdana Program Studi Ilmu Perpustakaan, Informasi dan
Kearsipan, 18 September 2001, Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok

Staf pengajar Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
1
pengetahuan" diperkenalkan secara formal oleh Dr. Karl Wiig dalam sebuah
pidatonya di konferensi ILO (badan buruh PBB).
Minat berbagai organisasi dan perusahaan untuk menerapkan manajemen
pengetahuan sangatlah besar. Menurut sebuah studi di tahun 1997, walaupun hanya
28 persen perusahaan terbesar di A.S dan Eropa mengaku sudah menerapkan
manajemen pengetahuan saat survei dilakukan, 50% lainnya sedang bersiap-siap
melaksanakan, dan 93% menyatakan sudah membuat rencana. Tiga tahun setelah itu,
sebuah studi lain menunjukkan bahwa 80% dari perusahaan-perusahaan terbesar di
dunia telah menerapkan manajemen pengetahuan (lihat Smith dan Farquhar, 2000).
Tabel 1 - Peristiwa Penting dalam Perkembangan KM
Tahun
1980
Entitas
DEC dan Universitas Carnagie Mellon
1986
1989
1989
Dr. Karl Wiig
Perusahaan-perusahaan konsultan besar
Pricewaterhouse
1991
Nonaka dan Takeuchi
1993
Dr. Karl Wiig
1994
1994
Knowledge Management Network
Perusahaan-perusahaan konsultan besar
1996
Perusahaan dan organisasi lainnya
Peristiwa
Membuat dan menjual salah satu sistem pakar
yang paling laris, bernama XCON.
Mengenalkan istilah KM dalam konferensi ILO.
Secara formal memulai KM di perusahaan.
Salah satu yang pertamakali menyatukan KM ke
strategi bisnis perusahaan.
Salah satu artikel utama dalam KM, muncul di
Harvard Business Review.
Salah satu buku utama KM, Knowledge
Management Foundation.
Konferensi pertama tentang KM
Pertamakali menawarkan jasa pengembangan
KM kepada konsumen mereka.
Peningkatan minat untuk menerapkan KM di
berbagai bentuk usaha, swasta maupun
pemerintah.
Dikutip dari Beckman (1999) halaman 1.2
Pada awal-awal kepopulerannya, manajemen pengetahuan banyak sekali dipengaruhi
oleh pertimbangan-pertimbangan teknologi informasi. Bahkan dapat dikatakan,
bahwa teknologi informasi, terutama yang bisa menciptakan jaringan perusahaan
(enterprise-wide network) pada awalnya dianggap sebagai inti dari manajemen
pengetahuan. Namun setelah istilah KM tidak terlalu populer lagi, para pengamat
mulai melihat adanya kesenjangan antara jargon dengan kenyataan. Penelitian oleh
Gupta dan Govindarajan (2000), misalnya, memperlihatkan bahwa ada perbedaan
antara potensi dan realitas penerapan manajemen pengetahuan. Perusahaan
2
menerapkan teknologi informasi dengan harapan agar para pegawai berbagi
pengetahuan (knowledge sharing). Namun harapan perusahaan seringkali jauh di atas
kenyataan di kalangan pegawai. Sebagian besar pegawai masih tetap enggan berbagi
pengetahuan walaupun perusahaan sudah memasang berbagai teknologi
Kedua penulis ini juga mengungkapkan beberapa faktor penghambat dalam berbagi
pengetahuan di kalangan pegawai sebagai mana terlihat pada tabel 2. Mereka
menyimpulkan
bahwa selain memakai
teknologi, setiap perusahaan perlu
menciptakan apa yang mereka sebut sebagai sebuah ekologi sosial yang efektif -yaitu
lingkungan sosial tempat para pegawai bekerja- yang memungkinkan dan mendorong
mereka berbagi pengetahuan.
Tabel 2 Hambatan Dalam Manajemen Pengetahuan
Penciptaan pengetahuan
Akuisisi pengetahuan
Mempertahankan
pengetahuan
Mengidentifikasi
pengetahuan
Aliran pengetahuan
keluar dari pemiliknya
Perpindahan
pengetahuan
Aliran pengetahuan
masuk ke pegawai
(inflow)
Catatan-catatan keberhasilan masa lampau dapat menyebabkan orang merasa
bahwa mereka sudah tahu apa yang terbaik; pegawai tidak diberi kesempatan
mengambil keputusan; tidak ada "pasar internal" bagi ide-ide baru (atasan yang
kurang mendukung akan mematikan inisiatif)
Perlu ada tindakan awal untuk akuisisi pengetahuan - bagaimana memulainya?;
bagaimana mengintegrasikan dan mendayagunakan pengetahuan eksternal.
Pegawai keluar dari organisasi membawa pengetahuan bersamanya
Pengetahuan sebuah organisasi bisa saja menyebar ke para pesaing
Halo effect : anggapan bahwa orang yang sukses tak perlu belajar dan orang
yang tidak sukses tidak punya ide
GIGO : kalau setiap unit memasukkan best-practice secara sembarangan.
Sindroma "apa keuntungannya buat saya"?
Sindroma "knowledge is power"
Ketidakcocokan antara struktur pengetahuan dan struktur saluran transmisi ;
Keragaman links di dalam rangkaian alat transmisi
Sindroma "bukan punya kita"
Keengganan untuk mengakui superioritas teman kerja
Dikutip dari Gupta dan Govindarajan, 2000, h. 73.
Persoalan-persoalan penerapan manajemen pengetahuan juga diduga bersumber pada
kesalahan dalam disain secara keseluruhan, yang bermula pada perbedaan dalam cara
memandang bahan dasarnya, yakni "pengetahuan" itu sendiri. Misalnya, artikel Fisher
dan Ostwald (2001) memperlihatkan perbedaan pendekatan "tradisional" dan
pendekatan yang kedua penulis itu anggap lebih tepat untuk kondisi sesungguhnya.
3
Terlihat di situ bahwa telah terjadi perubahan dalam cara pandang para perancang
sistem manajemen pengetahuan, terutama karena kini orang menyadari bahwa
perkembangan lingkungan eksternal yang pesat menuntut sebuah lingkungan yang
mengijinkan setiap anggota organisasi mengembangkan pengetahuan yang tepat bagi
masalah-masalah sehari-hari. Ini berbeda dari perspektif sebelumnya, yang
menganggap bahwa sistem informasi harus selalu bisa menyediakan "jawaban"
terhadap setiap persoalan, dan para pegawai tinggal mengambil jawaban itu dari
komputer di atas mejanya yang tersambung ke pangkalan data perusahaan (atau
memori perusahaan).
Tabel 3 Dua Perspektif Manajemen Pengetahuan
Dimensi
Pencipta pengetahuan
Integrasi
Penyebaran
Paradigma pembelajaran
Tugas
Struktur sosial
Gaya kerja
Ruang informasi
Sikap terhadap kegagalan
Perspektif tradisional
Para spesialis (misalnya
"knowledge engineers")
Dilakukan sewaktu merancang
sistem
Dalam bentuk kuliah, siaran, di
dalam kelas, tidak kontekstual.
Pemindahan pengetahuan
Ditentukan oleh sistem
(misalnya dalam bentuk juklak)
Individual, struktur hirarkis,
komunikasi atas-bawah.
Berdasarkan standar
Tertutup, statis
Kesalahan harus dihindari
Perspektif baru
Setiap orang dalam kegiatan
yang kolaboratif
Dilakukan ketika sistem
digunakan
Sesuai keperluan, integrasi
antara belajar dan bekerja,
sesuai dengan tugas yang
sedang dihadapi, dibuat
sepribadi mungkin.
Pembentukan pengetahuan
Ditentukan oleh pengguna
sistem
Komunitas praktisi, komunikasi
antar anggota (peer-to-peer)
Penuh improvisasi
Terbuka dan dinamis
Kesalahan bisa dianggap
kesempatan untuk berinovasi
dan belajar.
Dikutip dari Fisher dan Ostwald (2001), h. 61
Dari Manajemen Informasi ke Manajemen Pengetahuan
Beberapa penulis, misalnya Malhotra (2000), memang sudah mengingatkan bahwa
saat ini organisasi harus selalu menyiapkan respon terhadap lingkungan yang semakin
rumit dan bergejolak. Kerumitan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah, keragaman
dan kesaling-tergantungan antara berbagai entitas di dalam lingkungan sebuah
organisasi. Gejolak lingkungan ditentukan oleh semakin cepatnya siklus (cycle-time)
4
dari setiap kejadian atau peristiwa. Kompleksitas dan gejolak lingkungan, serta
tingkat pertumbuhan absolut keduanya, akan sangat meningkat di masa mendatang.
Menurut Malhotra, sistem informasi pada umumnya memakai model manajemen
informasi untuk keperluan : (a) mengupayakan agar pangkalan data pengetahuan dan
para pemiliknya (para manajer) secara terus menerus disesuaikan dengan perubahan
lingkungan eksternal (b) memberitahu para pegawai atau anggota sebuah organisasi
tentang perubahan-perubahan terakhir, baik dalam produk maupun prosedur untuk
menghasilkan sebuah produk. Namun, ada beberapa persoalan yang muncul:

Manajer mampu mengendalikan kegiatan organisasi kalau ia memiliki
pengetahuan,
tetapi
dalam lingkungan
yang
serba
bergejolak dan
perubahannya bersifat tidak sinambung (discontinuous) maka seringkali
manajer maupun organisasi tempatnya bekerja tidak punya pengetahuan yang
memadai. Sistem informasi cenderung menyimpan pengetahuan yang tidak
selalu sesuai dengan perubahan di lingkungan eksternal.

Dalam lingkungan yang bergejolak, lebih baik jika organisasi menyebarkan
pengetahuan dan otoritas secara lebih merata. Model manajemen informasi
justru cenderung memusatkan pengetahuan di sebuah pangkalan data yang
cenderung statis pula.

Di masa yang penuh persaingan dan gejolak, diperlukan kemampuan
mengantisipasi masadepan yang didasarkan kepada multi interpretasi,
sementara sistem informasi cenderung mendukung kegiatan kemampuan
menduga berdasarkan satu interpretasi tentang bagaimana mengantisipasi
masalah.
Model manajemen informasi pada umumnya hanya cocok untuk situasi masalah yang
terstruktur secara baik, terdapat konsensus tentang hakikat dari situasi tersebut, dan
tersedia formulasi yang dilengkapi solusi. Padahal dalam situasi eksternal yang
bergejolak, anggota organisasi harus bisa menjadi "antisipator yang efektif" yang bisa
melaksanakan tuntutan mempercepat siklus dari pengetahuan-baru ke tindakan
berdasarkan pengetahuan baru tersebut. Itulah sebabnya dalam artikel Fischer dan
Ostwald, proses penciptaan pengetahuan sampai pemanfaatannya harus melibatkan
5
semua anggota sebuah organisasi. Dengan landasan pemikiran ini, maka disain
sistemnya bersifat kolaboratif dengan memperhatikan dua karakteristik kelompok,
yaitu komunitas praktis (communities of practice) dan komunitas kepentingan
(communities of interest). Komunitas praktis terdiri dari orang-orang yang memiliki
kegiatan atau bidang perhatian yang sama, sementara komunitas kepentingan adalah
kelompok orang yang berasal dari bidang berbeda tetapi sedang bekerja bersama
untuk satu kepentingan yang sama. Kedua komunitas ini harus diajak serta dalam
pembuatan sistem manajemen pengetahuan.
Praktik dan Proses
Selain mengakomodasi pandangan yang memisahkan manajemen informasi dari
manajemen pengetahuan, artikel Fischer dan Ostwald di atas sebenarnya juga
menerapkan pandangan Brown dan Duguid (2000) yang memperjelas keberadaan
komunitas praktis ini dengan mengangkat kegagalan konsep BPR (business process
reengineering) yang sempat populer di awal 90an. Menurut mereka, BPR terlalu
berkonsentrasi kepada masukan dan luaran dari setiap tahap dalam sebuah proses,
relatif kurang peduli kepada
“internal practices” yang terkandung dalam setiap
proses, serta tidak memperhatikan kemungkinan adanya perbedaan antara process
dengan practice, yang biasanya disebabkan oleh perbedaan dalam pemaknaan
(meaning). Perbedaan antara pandangan yang berorientasi "proses" dibandingkan
yang berorientasi "praktis" dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4 - Proses versus Praktis
Pandangan Proses
Melihat persoalan dari luar.
Makna datang dari functional explanations atau
“juklak”.
Cenderung monotheistic, no variations,
komunikasi.
Membatasi improvisasi, tidak mendorong
tumbuhnya local culture
Pandangan Praktis
Melihat dari dalam
Makna datang lewat lateral view, hasil hubungan
antar sesama anggota organisasi.
Mengandalkan peer-to-peer relationships
Memberi ruang untuk improvisasi
Mengutip sebuah kajian di Xerox, Brown dan Duguid juga menegaskan bahwa tugastugas yang harus dikerjakan di lapangan tidak selamanya sesuai dengan petunjuk di
6
ruang rapat direksi. Dalam bekerja orang cenderung mengandalkan hubungan sosial,
sehingga secara informal terbentuklah pengetahuan bersama (collective knowledge).
Pengetahuan ini melebihi fungsi juklak atau manual yang cepat kadaluarsa, dan hanya
menggambarkan apa yang harus dikerjakan (what to do), jarang menjelaskan kenapa
harus begitu (why).
Dari komunitas praktis, lahirlah penyelesaian masalah secara bersama (collaborative
problem solving) yang amat berbeda dibandingkan ide tentang beban tanggungjawab
kepada satu orang (walaupun dengan alasan “pemberdayaan pekerja” atau staff
empowerment). Ide tentang pemberdayaan, seringkali berujung pada pemberian beban
yang terlalu besar kepada seseorang, padahal untuk menyelesaikan masalah seringkali
diperlukan pengetahuan bersama. Tidak hanya itu, setiap upaya menerapkan
pengetahuan di dalam suatu pekerjaan selalu akan lebih baik jika ada dukungan teman
kerja yang mampu "bercerita" tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan apakah ada
hal-hal baru yang bisa dipelajari. Seringkali cerita (narration) ini tidak ada di dalam
buku petunjuk, dan seringkali pula cerita ini mendorong orang melakukan
improvisasi untuk menjembatani petunjuk dengan kenyataan.
Pandangan Brown dan Duguid serta berbagai tulisan di atas menunjukkan bahwa
fokus tentang manajemen pengetahuan kini tidak lagi melulu pada teknologi
informasi, melainkan sudah lebih memperhatikan faktor organisasi, sosial dan
budaya. Terutama, para pemerhati, akademisi dan praktisi manajemen pengetahuan
kini menaruh perhatian kepada konsep-konsep tentang modal sosial (social capital)
dan modal intelektual (intellectual capital).
Modal Sosial dan Modal Intelektual
Istilah "modal sosial" (social capital) pertama kali muncul dalam kajian masyarakat
(community studies) untuk menunjukkan pentingnya jaringan hubungan pribadi yang
kuat dan bersilangan (crosscutting), yang berkembang perlahan-lahan sebagai
landasan bagi saling percaya, kerjasama, dan tindakan kolektif dari komunitas yang
7
bersangkutan. Jaringan ini menentukan bertahannya dan berfungsinya
sebuah
kelompok masyarakat.
Menurut Nahapiet dan Goshal (1998), teori tentang modal sosial menyatakan bahwa
jaringan hubungan merupakan sebuah sumberdaya yang bisa digunakan untuk
pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Para anggota jaringan memiliki "modal", misalnya
dalam bentuk hak istimewa (credential) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, akses ke informasi, ketersediaan peluang, dan status sosial.
Tiga dimensi dari modal sosial ini adalah: struktural, relasional, dan kognitif yang
saling berkaitan. Dimensi struktural menyangkut pola hubungan antar anggota
jaringan yang bisa dilihat dari konfigurasi, hirarki, dan sebagainya.
Dimensi
relasional merujuk kepada sifat hubungan (misalnya rasa hormat, saling menghargai,
dan persahabatan) yang menentukan perilaku anggota jaringan. Dimensi kognitif
mengacu kepada berbagai sumberdaya yang menyediakan simbol komunikasi, cara
interpretasi, dan sistem artian yang dipakai bersama oleh anggota jaringan.
Keberadaan modal sosial ini mempengaruhi kinerja orang perorangan maupun
organisasi secara keseluruhan. Modal sosial bisa meningkatkan efisiensi tindakan.
Misalnya, jaringan hubungan sosial, meningkatkan efisiensi penyebaran informasi
dengan mengurangi keterulangan (redundancy). Selain itu, rasa saling percaya dapat
menghapus oportunisme dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan pemantauan
yang mahal ongkosnya. Dengan demikian modal sosial mengurangi biaya transaksi.
Selain itu, modal sosial juga membantu anggota jaringan beradaptasi, belajar, dan
menjadi kreatif. Ini dimungkinkan oleh perilaku kooperatif setiap anggota jaringan,
sehingga anggota yang kreatif mendapat dukungan penuh dari rekannya. Namun kita
juga harus ingat bahwa modal sosial tidak selalu menguntungkan, karena ia juga
dapat menciptakan norma yang menolak alternatif baru dan menciptakan loyalitas
buta.
Dalam konteks manajemen pengetahuan, modal sosial ini bisa dikaitkan dengan
konsep tentang modal intelektual (intellectual capital), yaitu pengetahuan dan
8
kemampuan mengetahui (knowing capability) dari sebuah organisasi, komunitas
intelektual, atau kelompok profesional. Modal intelektual bisa disamakan dengan
konsep human capital yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan kapabilitas yang
memungkinkan seseorang bertindak dengan cara yang inovatif.
Modal intelektual ini bisa dibeda-bedakan menurut jenis pengetahuan yang dimiliki
seseorang, apakah berupa pengetahuan praktis atau pengetahuan teoritis. Pengetahuan
juga bisa dibagi menurut pengetahuan tacit dan explicit (Polanyi, 1967). Menurut
Polanyi, selalu ada pengetahuan yang akan tetap tacit, sehingga proses menjadi tahu
(knowing) sama pentingnya dengan pengetahuan itu sendiri. Selain itu, ada
pandangan yang menganggap bahwa semua pembelajaran terjadi di dalam kepala
manusia, dan sebuah organisasi belajar melalui dua cara saja: (a) dengan kegiatan
belajar anggota-anggotanya, atau (b) dengan menyerap anggota baru yang memiliki
pengetahuan yang tidak dimiliki organisasi itu (Simon, 1991, h. 126). Sebaliknya,
Nelson dan Winter berpendapat bahwa kepemilikan pengetahuan merupakan suatu
atribut bagi perusahaan secara keseluruhan, sebagai sebuah entitas organisasi, dan
tidak bisa direduksi menjadi pengetahuan yang dimiliki masing-masing pegawai, atau
menjadi sebuah penjumlahan sederhana terhadap berbagai kompetensi dan kapabilitas
dari berbagai individu, peralatan dan instalasi yang ada di perusahaan tersebut (1982 :
63). Spender menggabungkan kedua dimensi di atas dalam matriks (lihat tabel).
Menurut Moran dan Goshal (1996), pengetahuan diciptakan melalui dua cara:
penggabungan (kombinasi) dan pertukaran. Masih mungkin ada cara lain di luar cara
tersebut (terutama di tatanan individual), namun dua cara ini termasuk mekanisme
kunci dalam pembentukan pengetahuan bersama. Sebuah pengetahuan dapat tercipta
melalui perubahan dan perkembangan bertahap dari pengetahuan yang sudah ada.
Pengetahuan juga bisa terbentuk melalui perubahan yang lebih radikal, dalam bentuk
inovasi. Kedua jenis penciptaan pengetahuan ini melibatkan kegiatan menciptakan
kombinasi-kombinasi baru, baik dengan jalan mengkombinasikan elemen-elemen
yang tadinya tidak saling berhubungan, maupun dengan mengembangkan cara baru
dalam mengkombinasikan elemen-elemen yang sudah berhubungan.
9
Tabel 5 Matriks Pengetahuan dari Spender
Perorangan
Kelompok
Explicit
"Conscious knowledge" ada di
masing-masing orang dalam
bentuk fakta, konsep, dan
kerangka pikir yang disimpan
dan bisa diambil dari sistem
penyimpanan pribadi.
"Objectified knowledge"
biasanya dalam bentuk corpus
of knowledge milik bersama
suatu komunitas. Kalangan
ilmuan biasanya menganggap
inilah bentuk pengetahuan
tertinggi. Bentuk inilah yang
seringkali dihimpun dengan
biaya besar oleh banyak
perusahaan.
Tacit
"Automatic knowledge" berupa
berbagai bentuk pengetahuan
teoritis maupun praktis, estetika,
ketrampilan teknis, dan
sebagainya. Pemilik
pengetahuan ini secara otomatis
menerapkan pengetahuannya
dalam bertindak.
"Collective knowledge"
merupakan pengetahuan yang
tertanam dalam bentuk
hubungan sosial; terdapat di
dalam pengalaman dan tindakan
kolektif manusia; relatif
tersembunyi di masing-masing
orang, tetapi dapat dipakai dan
dipelihara bersama dalam
bentuk interaksi antar manusia
yang bersangkutan.
Dalam situasi di mana pengetahuan dimiliki oleh pihak-pihak yang berbeda, maka
pertukaran merupakan prasyarat bagi penggabungan pengetahuan. Modal intelektual
pada umumnya diciptakan melalui proses penggabungan pengetahuan dari pihak
berbeda, sebab itu modal ini tergantung kepada pertukaran antar pihak yang terlibat.
Kadang-kadang pertukaran ini melibatkan perpindahan pengetahuan explicit, baik
yang dimiliki secara individual maupun kolektif, misalnya yang terjadi di kalangan
masyarakat ilmuan. Seringkali, pengetahuan-baru tercipta melalui interaksi sosial dan
kerja sama. Ada proses pembelajaran yang tertanam di dalam kegiatan bersama ini.
Termasuk di dalam proses ini adalah penggunaan artian (meanings) dan pemahaman
(understanding) yang saling dipertukarkan sepanjang interaksi sosial.
Urutan Yang Terbalik : Pengetahuan - Informasi - Data
Pemikiran-pemikiran di atas mengubah pandangan dasar kita tentang hubungan
antara informasi-pengetahuan. Tuomi (2000) mengumpulkan beberapa definisi yang
memperlihatkan hubungan antara data, informasi dan pengetahuan (bawah). Ia
10
kemudian menemukan bahwa sebenarnya cara kita meletakkan ketiganya dalam
hirarki perlu ditinjau kembali.
Definisi
Data adalah simbol yang belum diinterpretasi,
informasi adalah data yang sudah diberi
makna, dan pengetahuan adalah sesuatu yang
memungkinkan orang memahami
Data adalah hasil observasi terhadap dunia
luar, informasi adalah data yang mengandung
relevansi dan tujuan penggunaan, dan
pengetahuan adalah informasi yang memiliki
nilai atau kegunaan
Informasi tidak bermakna, tetapi menjadi
pengetahuan yang bermakna setelah
diinterpretasi
Informasi terdiri dari fakta dan data yang
terorganisasi untuk menggambarkan situasi
dan keadaan tertentu, sementara pengetahuan
terdiri dari kebenaran dan keyakinan,
perspektif dan konsep, penilaian dan harapan,
metodologi dan knowhow
Informasi berawal dari suatu aliran pesanpesan bermakna, tetapi lalu menjadi
pengetahuan setelah komitmen dan keyakinan
muncul akibat dari pesan-pesan tersebut
Penulisnya
Spek, R.v.d. and Spijkervet, A. Knowledge
Management: Dealing Intelligently with Knowledge.
Utrecht : Kenniscentrum CIBIT, 1997. h. 21
Davenport, T.H. Information Ecology : Mastering the
Information and Knowledge Environment. New York
: Oxford University Press, 1997, h. 9
Sveiby, K.E. The New Organizational Wealth :
Managing and Measuring Knowledge-Based Assets.
San Fransisco : Berret-Koehler, 1997, h. 42
Wiig, K.M, Knowledge Management Foundation :
Thinking about Thinking - How People and
Organizations Create, Represent and Use Knowledge.
Arlington, TX : Schema Press, 1993, h. 73
Nonaka, I and Takeuchi, H. The Knowledge Creating
Company : How Japanese Company Create the
Dynamics of Innovation. Oxford : Oxford University
Press, 1995, h. 58
Definisi-definisi di atas beranggapan bahwa: (a) pengetahuan adalah "lebih tinggi dari
informasi", (b) pengetahuan bisa disarikan dari bahan mentahnya, dan (c) dalam
proses menyarikan itu ada kegiatan memaknai. Sebagian besar literatur tentang
pengolahan informasi dan pengambilan-keputusan, memakai pandangan dasar seperti
ini.
Menurut Tuomi, kalau kita mengasumsikan bahwa objek pengetahuan adalah realitas
eksternal yang dapat diamati secara empirik sehingga kita bisa memahami struktur
dan keadaannya, maka jelas bahwa kita perlu mengamati fakta dahulu sebelum bisa
memiliki pengetahuan tentangnya. Tetapi kita juga tahu bahwa data mentah tidak
pernah ada, dan persepsi kita yang paling dasar tentang sesuatu pun sudah
dipengaruhi oleh potensi kegunaan sesuatu itu, harapan tentangnya, konteksnya, dan
11
konstruk teoritisnya. Model empirik sudah dikritik sepanjang abad terakhir oleh para
filsuf, misalnya Berson, James, Husserl, Heidegger, Mead, Merleau-Ponty, dan
Polanyi. Mereka sama-sama sepakat bahwa dunia sebagai sebuah objek pengetahuan
manusia adalah hasil interpretasi yang sepenuhnya diisi oleh artian (meaning).
Kemampuan kognisi manusia tidak bisa melihat fakta kalau fakta itu tidak merupakan
sebagian dari struktur artian yang saat itu ada pada dirinya. Selain itu, sebagian besar
dari struktur artian ini tidak terakulasikan dan menjadi latarbelakang dari apa yang
diartikulasikan dan dijelaskan oleh seseorang.
Dengan demikian, cara kita memandang hubungan antara data-informasi-pengetahuan
dapat memakai hirarki yang terbalik (the reversed hierarchy). Setiap orang memiliki
struktur artian di kepalanya, dan ini merupakan dasar dari pengetahuannya. Dengan
menggunakan akalnya, manusia bisa menjadikan struktur arti dan pengetahuan ini
sebagai fokus dalam kegiatan linguistiknya, sehingga berwujud sebagai bahasa verbal
maupun tekstual. Kalau pengetahuan yang sudah diartikulasikan (misalnya dalam
bentuk sebuah tulisan di sebuah dokumen) akan disimpan di dalam sebuah memori
digital, maka diperlukan wakil-wakil dari masing-masing artian yang terkandung
dalam dokumen tersebut. Akibatnya, dokumen dan informasi yang terkandung di
dalamnya harus dipecah-pecah menjadi butiran-butiran yang tidak punya arti dalam
kesendiriannya. Pada tahap ini, kita menciptakan data.
Untuk sampai ke tahap ini diperlukan banyak upaya kognitif dan kegiatan disain.
Pada umumnya, juga harus ada negosiasi antara pihak-pihak yang berkepentingan
tentang cara terbaik untuk menetapkan artian. Dalam praktiknya, kegiatan ini terjadi
pada tahap model konseptual dalam pembuatan pangkalan data.
Dengan demikian, data tidak menjadi informasi setelah kepadanya ditambahkan
artian. Sebaliknya, data dibuat dari informasi dengan menempatkan informasi ke
dalam sebuah struktur yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Struktur inilah yang
sesungguhnya merupakan "arti" dari informasi. Lebih jauh lagi, struktur ini kemudian
dapat diolah oleh teknologi dan diperbanyak agar bisa diakses oleh banyak orang.
Jadi bukannya data adalah bahan mentah untuk informasi, melainkan data muncul
12
sebagai hasil dari penambahan nilai ke informasi dengan cara menempatkannya
dalam sebuah bentuk yang dapat diproses secara automatis. Nilai tambah ini
bergantung kepada kenyataan bahwa ada komputer yang bisa memproses informasi.
Komputer di sini adalah artefak untuk memberi nilai tambah kepada dokumen
tertulis, seperti halnya termometer adalah artefak untuk temperatur. Kita sering
berpikir bahwa termometer akan menghasilkan data tentang temperatur, lalu data
tersebut kita berikan arti dengan menyusunnya dan menciptakan model untuk
menjelaskannya. Sering kita lupa bahwa artian dari data itu sudah ditentukan oleh si
instrumen (yaitu termometer), dan instrumen itu sendiri adalah wujud dari sebuah
struktur pengetahuan.
Salah satu alasan pembuatan artefak atau instrumen adalah agar artian tentang dunia
bisa dibakukan ke dalam struktur instrumen tersebut, lalu artefak ini bisa digunakan
oleh banyak orang sekaligus sehingga artian-artian di masing-masing orang bisa
dikoordinasikan. Terlebih-lebih lagi, artefak itu memerlukan juga ketrampilan dalam
cara menggunakannya, dan hal ini perlu dipelajari dulu oleh orang yang akan
memakainya. Dengan kenyataan ini, maka definisi bahwa "pengetahuan adalah
sesuatu yang kolektif" bisa menjadi lebih masuk akal. Kalau semakin banyak orang
sepakat tentang artian tertentu, maka tercipta pengetahuan kolektif, dan kalau
pengetahuan kolektif ini terus mengalami sosialisasi, maka semakin luaslah
jangkauannya.
Kini kita juga dapat mengatakan, bahwa untuk bisa memahami apa yang tersimpan
dalam sebuah pangkalan data (artefak, teknologi), maka seseorang perlu memiliki
pengetahuan kontekstual yang cukup tentang dokumen itu. Pengetahuan kontekstual
itu seringkali tacit dan tidak tersimpan di dalam pangkalan datanya. Sebagai sebuah
mesin, pangkalan data hanya bisa berurusan dengan pengetahuan explicit. Keputusan
untuk menyimpan pengetahuan ini menyebabkan pengetahuan berubah menjadi
informasi, yang kemudian kepadanya kita kenakan struktur artian agar bisa dikelola
dan dimanipulasi sebagai data. Pada suatu saat, ketika ada orang ingin menggunakan
data tersebut, maka ia harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang struktur artian
13
yang dipakai mengubah informasi menjadi data. Tidak hanya itu, ia juga harus
memiliki pengetahuan tacit tentang pengetahuan explicit yang sedang diambil dari
pangkalan data lewat pengambilan butir-butir data.
Jika orang yang membuat pengetahuan explicit itu (sumber pengetahuan) berbeda dari
orang yang mengenakan struktur artian (pengelola pangkalan data) dan juga bukan
orang yang akhirnya menggunakan pangkalan data (pemakai), maka akan selalu ada
kemungkinan perbedaan dalam pengetahuan tacit yang diperlukan untuk secara tepat
dan efektif memakai-kembali (reuse) sebuah pengetahuan. Di sinilah kita dapat
memahami mengapa rasa percaya (trust) menjadi faktor penting dalam sistem
pengetahuan dan sistem informasi. Ketiga belah pihak (sumber, pengelola pangkalan
data, pemakai) harus berada dalam lingkungan yang membangun saling-percaya
dalam sebuah jaringan antarhubungan berdasarkan modal sosial yang dipakai
bersama.
Manajemen Perubahan
Perubahan fundamental dari cara kita memandang hubungan antara data-informasipengetahuan ini sejalan pula dengan perubahan fundamental dalam kehidupan
berorganisasi, terutama dalam cara organisasi menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan. Pemikiran tentang cara-cara inilah yang kemudian melahirkan pemikiran
tentang manajemen perubahan. Menurut Worren, Ruddle dan Moore (1999) istilah
manajemen perubahan (change management) saat ini dipakai untuk mencakup teori
dan praktek yang berhubungan dengan pengembangan organisasi (organizational
development), sumber daya manusia, manajemen proyek (project management), dan
perubahan strategi organisasi.
Prinsip-prinsip pengembangan organisasi sendiri bercirikan serangkaian intervensi
terencana yang bertujuan meningkatkan keefektifan organisasi; sangat bergantung
kepada konsep dan temuan riset dari ilmu-ilmu perilaku, terutama psikologi. Kegiatan
pengembangan organisasi merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus,
terutama memusatkan perhatian pada variabel hubungan antar manusia (kultur, iklim
14
kerja, komunikasi, gaya kepemimpinan, dan kepuasan kerja). Seringkali intervensi
dilakukan di tingkat mikro dan meliputi konsultasi proses, pengembangan tim kerja
(team building), survei terhadap kepuasan kerja, dan restrukturisasi.
Manajemen perubahan lebih luas dari pengembangan organisasi karena mencakup
pula strategi intervensi yang lebih luas untuk meningkatkan kinerja pegawai secara
langsung maupun tidak langsung, termasuk di dalamnya perbaikan proses kerja,
restrukturisasi, perencanaan pengembangan SDM strategis, dan perencanaan serta
pengembangan solusi menggunakan teknologi informasi.
Manajemen perubahan adalah salah satu komponen dari upaya perubahan
organisasional
yang
lebih
besar,
bersama
dengan
komponen
lain,
yaitu
pengembangan strategi, penyempurnaan proses bisnis, dan penerapan teknologi.
Tujuan utamanya seringkali adalah mengintegrasikan komponen-komponen ini,
misalnya dengan menciptakan kesetaraan antara penetapan tujuan-tujuan strategis
dengan kebijakan SDM, atau membangun infrastruktur TI baru untuk mendukung
terciptanya kerjasama antar kelompok. Manajemen perubahan sebenarnya juga
merupakan penerapan teori yang menyatakan bahwa berpindah dari kondisi lama ke
kondisi baru yang sesuai dengan masa depan memerlukan perubahan komprehensif
dalam berbagai komponen, termasuk perilaku, kultur, struktur organisasi, proses
kerja, dan infrastruktur TI.
Prinsip pengembangan organisasi sebelumnya memusatkan perhatian kepada
ketrampilan dan sikap individual, kurang memperhatikan peran struktur dan sistem.
Dalam pandangan klasik, organisasi yang ingin berubah harus mengupayakan
perubahan dalam sikap dan pandangan orang sebelum bisa mengubah struktur
organisasi atau teknologi yang digunakan sebuah organisasi. Sebaliknya, prinsip
manajemen perubahan menganggap bahwa perubahan di struktur/sistem maupun di
tingkat kegiatan perorangan harus dilakukan untuk mengupayakan perubahan sikap
dan perilaku. Urut-urutan intervensi harus menimbulkan perilaku baru, dan bukan
mendidik tentang perilaku tersebut kepada orang-orang. Menurut model pemikiran
seperti ini, maka intervensi sebaiknya mengupayakan agar perubahan kultur adalah
15
sebuah hasil sampingan yang terencana (intended by-product) dari perubahan yang
berorientasi bisnis. Para pegawai mempelajari perilaku dan sikap baru dengan
berpartisipasi dalam kelompok-kelompok yang bertujuan mengatasi problem nyata.
Dengan kata lain, pertama-tama harus ada perubahan dalam perilaku pegawai,
sebelum sikap, norma dan ketrampilan terbentuk secara sempurna. Lalu, perubahan
dalam struktur formal dan sistem dapat berlangsung setelah komitmen dan
kompetensi berkembang melalui keterlibatan semua anggota organisasi dalam proses
perubahan.
Tabel 6 Pengembangan Organisasi dan Manajemen Perubahan
Dasar teori
Pengembangan Organisasi
Terutama pada psikologi
Peningkatan fungsi individual di dalam
kelompok
Peran agen
perubahan
Fasilitator atau konsultan untuk penyempurnaan
proses
Strategi
intervensi
Tidak langsung dikaitkan dengan strategi
Fokus pada satu komponen di satu saat
Mengubah sikap untuk mengubah perilaku
Manajemen Perubahan
Mencakup prinsip dan alat analisis dari
sosiologi, TI, teori perubahan strategis
(Pettigrew)
Peningkatan fungsi individu DAN sistem,
struktur, proses kerja
Disain organisasi, memperbaiki kinerja
pegawai DAN konsultan proses
Anggota dari kelompok antar bagian,
termasuk orang TI.
Digerakkan oleh strategi organisasi
Fokus simultan terhadap berbagai komponen
(strategi, SDM, disain organisasi, TI)
Mengubah perilaku sebelum mengubah
sikap
Manajemen Pengetahuan dan Kompetensi Profesional Informasi
Artikel ini secara khusus meletakkan perubahan dalam cara pandang tentang
hubungan antara data-informasi-pengetahuan, serta perkembangan terbaru dalam
konsep manajemen pengetahuan, sebagai konteks dari penyelenggaraan manajemen
pengetahuan. Di tengah perubahan-perubahan mendasar yang diuraikan di atas, inilah
manajemen
pengetahuan
mendapatkan
kepopulerannya.
Pada
gilirannya,
kepopuleran dan besarnya minat berbagai organisasi untuk menerapkan konsep
tersebut dalam kegiatan mereka, menyebabkan naiknya permintaan terhadap berbagai
jenis pekerjaan, manajer, konsultan, selain perangkat keras dan lunak.
16
Profesi yang sebenarnya sudah sejak lama berurusan dengan data dan informasi (dan
juga, sebenarnya, dengan pengetahuan), adalah profesi-profesi informasi, baik
pustakawan, dokumentalis, arsiparis maupun yang kini disebut sebagai manajer
rekaman / rekod (record manager). Namun tidak selamanya profesi-profesi ini
dengan serta merta diikutsertakan dalam berbagai proyek manajemen pengetahuan.
Malah ada kesan bahwa profesi-profesi ini tidak cukup tanggap terhadap
perkembangan dalam manajemen pengetahuan sehingga menimbulkan kesan
terabaikan oleh kegiatan-kegiatan di bidang baru ini.
Secara eksplisit, misalnya, editorial The Information Management Journal di edisi
July 2000 mengingatkan bahwa profesi manajer rekaman perlu melakukan inisiatifinisiatif untuk ikutserta dalam manajemen pengetahuan dengan berkonsentrasi kepada
empat hal, yaitu "bersiap-siap" (prepare yourself), "libatkan diri" (get involved),
"pelajari teknologi" (learn about the enabling technology), dan "bekerjalah sebaikbaiknya" (above all, do your job!). Keempat inisiatif ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa profesi manajer rekaman kurang cergas menanggapi
perkembangan terbaru di lingkungan kerja yang lebih luas, kurang suka melibatkan
diri di luar bidang yang ditanganinya langsung, dan kurang memperhatikan
perubahan teknologi yang menyertai perkembangan di lingkungannya.
Dengan cara lain, Duffy (2000) membuat perbandingan antara manajemen informasi
dan rekaman / rekod dengan manajemen pengetahuan untuk memperlihatkan
perbedaan prinsip dan praktik antara keduanya (lihat tabel).
Dapat kiranya dilihat di tabel itu, bahwa kegiatan manajemen informasi dan rekod
yang selama ini telah terbentuk secara formal, pada umumnya berkonsentrasi kepada
pengelolaan fisik dokumen dan pengaturan aksesnya. Sementara itu, manajemen
pengetahuan memfokuskan diri pada penggunaan dokumen yang diasumsikan berisi
pengetahuan, dan pada hubungan antar anggota organisasi, baik yang diperantarai
dokumen maupun yang tidak. Perbedaan ini dengan segera memperlihatkan alasan
mengapa ada kesan bahwa manajemen pengetahuan tidak memerlukan profesional
informasi.
17
Tabel 7 Perbedaan Fokus Perhatian
Manajemen Informasi dan Rekod
Menentukan apakah sebuah dokumen patut
dikategorikan sebagai rekod
Menentukan lokasi fisik dan sistem pencegahan
akses bagi yang tidak berhak
Membentuk kerangka waktu untuk memindahkan
rekod dari satu lokasi ke lokasi lain, maupun dari
satu status (aktif, statis, arsip) ke status lainnya
Mengembangkan dan mengelola kebijakan
pemusnahan dokumen
Manajemen Pengetahuan
Menyediakan kerangka kerja untuk konsolidasi
pengetahuan sebuah organisasi
Memfasilitasi lokalisasi dan penggunaan-bersama
berbagai pengetahuan yang sebelumnya
tersembunyi
Kodifikasi pengetahuan, menyediakan petunjuk
ke lokasi pengetahuan tacit
Mendorong inovasi dan kolaborasi dengan
memanfaatkan pengetahuan yang ada
Maksimalisasi nilai informasi dengan
memusatkan perhatian kepada isi
Dalam bidang perpustakaan, Abell dan Oxbrow (2001) mengidentifikasi lima
hambatan yang menyebabkan kurangnya keterlibatan profesional informasi dalam
manajemen pengetahuan. Yang pertama adalah kenyataan bahwa manajemen
pengetahuan hampir selalu digerakkan oleh sebuah tim perencanaan strategis yang
beranggotakan anggota-anggota senior, sementara pustakawan tidak dilibatkan karena
kedudukan mereka yang dianggap tidak langsung berhubungan dengan strategi
organisasi. Kedua, konsep manajemen pengetahuan itu sendiri sering diartikan dan
dipusatkan pada transformasi organisasi lewat perubahan kultur kerja dan lewat
pembelajaran organisasi -sesuatu yang oleh pustakawan sendiri dianggap berada di
luar bidangnya. Ketiga, manajer senior dalam sebuah organisasi cenderung
menganggap bahwa pustakawan hanya bisa dikaitkan dengan perpustakaan dalam
pengertian "tradisional". Keempat, pustakawan sendiri tidak merasa perlu mengubah
persepsi itu dan menganggap bahwa manajemen pengetahuan adalah semata-mata
buzzword yang akan hilang dengan sendirinya. Kelima, ada pola pikir yang sudah
baku (mindset) di kalangan pustakawan yang sudah tidak cocok lagi dengan
perkembangan lingkungan kerja organisasi. Salah satu pola pikir itu adalah bahwa
pustakawan menyediakan jasa, sementara lingkungan kerja yang baru membutuhkan
mitra kerja, bukan penyedia jasa.
18
Sementara itu, kalau di antara para profesional terdapat keragu-raguan tentang peran
mereka dalam manajemen pengetahuan, pihak yang menjadi penyelenggara
manajemen pengetahuan pun sebetulnya belum bisa secara tegas memastikan apa
yang mereka kerjakan. Setidaknya ini terlihat dalam sebuah survei terhadap manajer
pengetahuan (chief knowledge officer) (lihat Earl dan Scott, 1999). Beberapa hasilnya
bisa diringkas dalam tabel 8. Dari gambaran di tabel itu, dapat dikatakan bahwa
kompetensi orang-orang yang terlibat dalam manajemen pengetahuan, terutama di
tingkat pucuk pimpinannya, sangatlah luas dan tidak spesifik.
Tabel 8 Apa yang Dikerjakan Chief Knowledge Officer?
Apa yang dikerjakan
manajer pengetahuan?
Adakah model manajer
pengetahuan?
Apakah ada profil khas
seorang manajer
pengetahuan?
Tidak ada spesifikasi pekerjaan yang baku
Menerjemahkan visi pimpinan
Menciptakan dan berinovasi sendiri tentang program-program manajemen
pengetahuan
Mengkoordinasi pihak-pihak yang dianggap memerlukan pengetahuan dalam
pekerjaan mereka
Mereka adalah teknolog sekaligus pengamat lingkungan yang baik
Mereka berciri pemimpin sekaligus ahli strategi
Mereka juga konsultan untuk organisasinya sendiri
Memiliki pandangan yang luas
Punya reputasi dan kredibilitas di dalam organisasinya
Penuh entusiasme dan percaya diri
Dari sisi pandang yang lebih kritis lagi, Birkinsaw (2001) bahkan mengidentifikasi 3
hal dalam manajemen pengetahuan yang merupakan "kegiatan lama dalam bungkus
baru", yaitu:

Pengelolaan pengetahuan sudah berlangsung sejak awal berdirinya sebuah
organisasi. Cara sebuah organisasi menentukan struktur dan hirarki anggota
sudah merupakan upaya mengelola pengetahuan dan menempatkan orangorang yang berpengetahuan sama di satu tempat. Kelompok-kelompok
informal sudah sejak lama ada di berbagai organisasi, dan menjadi tempat
bagi pertukaran informasi dan pengetahuan yang efektif. Persoalannya
sekarang adalah mengidentifikasi hal-hal tersebut dan membuatnya lebih
efektif lagi.

Manajemen pengetahuan merupakan proses panjang dan lama, yang
mencakup perubahan perilaku semua anggota sebuah organisasi. Upaya
mengubah perilaku ini bukanlah kegiatan masa kini saja. Persoalannya
19
sekarang adalah mensinkronkan upaya perubahan ini dengan keseluruhan
strategi pelaksanaan organisasi.

Beberapa teknik manajemen pengetahuan sebenarnya sudah dilakukan sejak
dulu. Misalnya, pengaktifan komunitas praktisi sudah sejak lama menjadi
perhatian dari hubungan masyarakat internal (internal public relations), dan
pangkalan data pengetahuan memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan
pangkalan data dalam sebuah sistem informasi. Persoalannya sekarang adalah
bagaimana teknik-teknik manajemen pengetahuan ini -yang mirip dengan
teknik-teknik "tradisional"- terus relevan dengan perubahan organisasi.
Selain tiga hal di atas, Birkinsaw juga menggarisbawahi tiga kenyataan yang sangat
mempengaruhi berhasil-tidaknya manajemen pengetahuan. Pertama, penerapannya
tidak hanya menghasilkan pengetahuan baru tetapi juga mendaur-ulang pengetahuan
yang sudah ada. Kedua, teknologi informasi belum sepenuhnya bisa menggantikan
fungsi-fungsi jaringan sosial antar anggota organisasi. Ketiga, sebagian besar
organisasi tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Banyak
pengetahuan penting yang harus "ditemukan" lewat upaya-upaya khusus, padahal
pengetahuan itu sudah dimiliki sebuah organisasi sejak lama.
Kenyataan-kenyatan di atas, selain memperlunak antusiasme orang terhadap
manajemen pengetahuan, juga menambah motivasi para teoritisi, akademisi, maupun
praktisi untuk mempertegas kegiatan dan kompetensi yang diperlukan untuk
menjalankan manajemen pengetahuan secara baik dan benar. Salah satu upaya untuk
ini adalah sebuah survei yang dilakukan Davenport, de Long, dan Beers (1998) untuk
mencatat proyek-proyek manajemen pengetahuan yang dianggap telah berhasil. Dari
survei terhadap 31 proyek di 24 perusahaan besar kelas dunia ini, didapat 3 hal
penting yang secara tidak langsung bisa menggambarkan lingkup kegiatan
manajemen
pengetahuan
sekaligus
kompetensi
yang
diperlukan
untuk
melaksanakannya. Secara ringkas, temuan-temuan itu adalah:

Semua proyek manajemen pengetahuan yang disurvei memperlihatkan bahwa
fokus mereka adalah pada pengetahuan, dengan kegiatan spesifik : (a)
membangun ruang penyimpanan pengetahuan (knowledge repository), (b)
20
menyempurnakan akses ke pengetahuan, (c) memperbaiki lingkungan
pengetahuan, dan (d) mengelola pengetahuan sebagai kekayaan organisasi
(aset). Dalam hal ini, pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan
eksplisit yang terdapat dalam bentuk dokumen, baik yang berasal dari dalam
dari luar organisasi. Salah satu kegiatan penting dalam upaya-upaya ini
adalah penyaringan, sintesa, dan pengenaan konteks terhadap berbagai
informasi dan data, sebelum menyalurkannya ke pihak-pihak yang
memerlukan pengetahuan tertentu untuk kegiatan yang tertentu. Di seluruh
proyek yang diteliti, selalu ada seseorang yang bertanggungjawab secara
keseluruhan (CKO) dan ada petugas khusus yang mengelola pengetahuan.
Selain itu, untuk mengisi pangkalan data pengetahuan, tidak semua proyek
mengandalkan petugas khusus, melainkan mendorong pemakai mengisi
sendiri. Sebelum mengisinya, para pemakai didorong untuk melakukan
diskusi dengan sesamanya di ruang diskusi elektronik. Dalam upaya
mendorong pertukaran dan pemakaian bersama pengetahuan, proyek-proyek
ini secara khusus memperhatikan lingkungan kerja yang kondusif.

Tingkat keberhasilan proyek-proyek manajemen pengetahuan sangat sukar
diperbandingkan dalam hitungan finansial, sehingga muncul berbagai
indikator yang tidak selamanya bisa digunakan di organisasi yang berbeda,
yaitu: (a) tingkat pertumbuhan dalam sumberdaya yang ditumpahkan ke
kegiatan manajemen pengetahuan, baik berupa SDM, uang, dan sebagainya,
(b) peningkatan jumlah pengetahuan dan pemanfaatannya, dihitung dari
jumlah dokumen, frekuensi akses ke pangkalan pengetahuan, dan jumlah
peserta diskusi elektronik, (c) kemampuan proyek manajemen pengetahuan
bertahan tanpa dukungan khusus, sehingga menjadi kegiatan yang tertanam di
organisasi secara keseluruhan, (d) keuntungan finansial baik yang didapat
dari kegiatan manajemen pengetahuan itu sendiri, maupun dari kegiatan
keseluruhan organisasi. Khusus untuk butir terakhir, ketiga peneliti secara
hati-hati mengingatkan bahwa keuntungan finasial ini mungkin hanya berupa
persepsi penyelenggara. Selain itu, indikator-indikator di atas pada umumnya
hanya bisa dikenakan kepada satu proses atau fungsi tertentu, misalnya
kepada proses pengembangan produk saja, atau pada layanan nasabah saja.
21
Terdapat delapan faktor yang bisa dikaitkan dengan kesuksesan proyek-proyek
manajemen, yaitu: (a) dapat dikaitkan dengan
dengan unjuk kerja dan nilai
organisasi, (b) menggunakan teknologi yang secara spesifik ditujukan untuk
mengelola pengetahuan, (c) memperhatikan kadar kelenturan pengetahuan yang
seringkali tidak bisa dikerangka dan dimekanisasi (engineered), (d) bisa
membangkitkan kultur knowledge-friendly dalam bentuk orientasi positif terhadap
pengetahuan, kesediaan berbagi pengetahuan, dan tidak mengganggu kultur yang
sudah ada.
Dalam salah satu kesimpulan, para peneliti mengingatkan bahwa manajemen
pengetahuan, seberapa efektif pun, bukanlah pengganti dari semua praktik-praktik
sebelumnya yang sudah berjalan lancar. Proyek-proyek manajemen pengetahuan,
misalnya, tidak menggantikan kegiatan pemasaran yang sudah sukses, atau
menghilangkan kebutuhan untuk membuat perencanaan yang matang. Tetapi, juga
ada benarnya bahwa dengan manajemen pengetahuan maka sebuah organisasi dapat
lebih efektif bereaksi terhadap perubahan di sekelilingnya. Untuk keperluan utama
inilah maka orientasi organisasi dialihkan dari semata-mata mengurus data dan
informasi, ke mengelola pengetahuan yang ada di luar dan di dalam kepala.
Akibatnya, diperlukan kemampuan mengelola hubungan antar manusia yang secara
khusus diarahkan pada pemanfaatan pengetahuan secara bersama. Kemampuan ini
selanjutnya memerlukan pula tenaga-tenaga pelaksana dengan kompetensi khusus.
Upaya awal dan sungguh-sungguh untuk mendefinisikan kompetensi yang diperlukan
dalam melaksanakan manajemen pengetahuan telah dilakukan oleh Karl Wiig
sebagaimana dikutip oleh Abell dan Oxbrow (i b i d). Setelah memeriksa berbagai
kajian, dan setelah melakukan sendiri kajian terhadap penyelenggara manajemen
pengetahuan, TFPL dan Library Association mengembangkan sebuah skema
kompetensi sebagai mana terlihat dalam gambar 1 (lampiran).
Selain profil itu, secara khusus juga dibuat daftar ketrampilan inti yang berkaitan
langsung dengan kegiatan profesional informasi, yang terdiri dari empat kelompok:
22

Pertama adalah ketrampilan yang berhubungan dengan upaya memahami
pemakai sistem pengetahuan. Termasuk di sini adalah kemampuan
melakukan pemetaan kebutuhan pemakai, mengenali proses informasi yang
terjadi di dalam diri maupun kelompok pemakai, serta bisa merumuskan
persoalan atau permintaan informasi pemakai.

Kedua adalah kemampuan mengelola sumberdaya informasi, baik dari segi
isi, asal (eksternal dan internal), proses riset, simpan dan temu-kembali, serta
hubungan dengan pemasok informasi.

Ketiga, profesional informasi juga harus menguasai proses penyebaran dan
penyampaian informasi, termasuk abstraksi, analisis, penyuntingan, disain,
penerapan teknologi informasi, dan sintesa informasi.

Keempat, kemampuan menjadi manajer yang mencakup kegiatan-kegiatan
"tradisional" seperti klasifikasi dan katalogisasi, manajemen rekod, analisis
teks, penggunaan thesaurus, dan sebagainya.
Khusus untuk pustakawan, Milne (2001) menyatakan bahwa untuk bisa memenuhi
semua kompetensi di atas, diperlukan beberapa perubahan fundamental dalam sikap
dan perilaku profesional. Dari segi ketrampilan kerja, ia menekankan perlunya
pustakawan mencakup dan meningkatkan kemampuan menulis dan menyajikan
informasi. Pengalaman kerja pustakawan di bidang manajemen umum dan
perencanaan strategis perlu ditambah untuk meningkatkan kemampuan memfokuskan
pekerjaannya ke tujuan organisasi secara keseluruhan. Termasuk dalam hal ini adalah
peningkatan kemampuan pustakawan bekerja bersama dalam sebuah tim, memimpin,
dan menciptakan inovasi. Untuk itu, secara khusus Milne menekankan perlunya
peningkatan dalam kepercayaan diri dan kemampuan mempengaruhi lingkungan
kerjanya. Beberapa di antara peringatan Milne ini tentu saja sangat sering terdengar di
kalangan pustakawan; membuktikan bahwa belum ada banyak perubahan berarti
dalam hal-hal tersebut.
23
Aspek Teknologi Informasi
Kompetensi yang digambarkan di atas berkali-kali mengaitkan pekerjaan profesional
informasi dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang pesat.
Perkembangan ini bisa dikatakan sebagai kekuatan pendorong sangat besar bagi
meningkatnya minat orang terhadap manajemen pengetahuan. Oleh begitu kuatnya
dorongan ini, beberapa proyek manajemen pengetahuan memfokuskan diri hanya
pada pemasangan infrastruktur teknologi, sehingga mengesampingkan aspek lain dan
menyebabkan kekecewaan ketika akhirnya sistem tidak terpakai secara maksimum.
Smith dan Farquhar (i b i d) secara tepat menyatakan bahwa ada tiga faktor mengapa
manajemen pengetahuan sekarang sangat populer, yaitu meningkatnya ruang
kolaborasi virtual bagi organisasi yang semakin tersebar, modal intelektual menjadi
penting karena kemampuan belajar secara cepat dan terus menerus menjadi faktor
penentu keberhasilan, dan kemajuan teknologi yang memungkinkan manipulasi
berbagai bentuk data dan informasi.
Ketiga faktor itu saling mempengaruhi. Teknologi terpengaruh oleh dua faktor
lainnya, misalnya dalam bentuk semakin berkembangnya cabang penelitian dan
pengembangan rekayasa pengetahuan (knowledge engineering). Menurut Kim dan
Kim (1999), rekayasa pengetahuan merupakan proses dan metodologi yang terdiri
dari 3 komponen besar yaitu:

Data warehousing, yang merupakan upaya konsolidasi data dari berbagai
sumber menjadi satu kelompok "gudang data" (data warehouses).
Komponennya adalah: (a) data extraction, mengambil data yang diperlukan
dari sumber penyimpanannya, (b) data profiling, secara otomatis menentukan
skema data (c) data cleansing, yaitu memperbaiki data yang rusak, hilang,
dan juga konversi data, (d) data transformation, yaitu konversi dan
restrukturisasi data, (e) data loading, memasukkan data yang sudah
dibersihkan ke database RDB atau flat-file.

Decision support dan online analytical processing (OLAP) yang mengijinkan
pemakai melakukan pencarian di database sambil melakukan analisis yang
rumit terhadap data dari perbagai perspektif.
24

Data mining, atau penemuan pengetahuan secara otomatis dari data. Dalam
prosesnya mencakup pula beberapa fungsi data warehousing untuk kemudian
secara otomatis membentuk model data dengan menggunakan algoritme,
(misalnya decision trees, market-basket analysis, memory-based reasoning).
Di banyak perusahaan, salah satu teknologi pertama yang dipakai dalam rangka
manajemen pengetahuan adalah data warehousing yang berbeda dibandingkan
transactional database karena didisain untuk membantu pengambilan keputusan.
Pada awalnya, keperluan pengolahan data numerik menjadi prioritas. Setelah konsep
manajemen pengetahuan berkembang, industri komputer berupaya menyediakan
peralatan yang lebih sesuai. Salah satu perkembangan di bidang komputasi yang
mendapat perhatian besar adalah penciptaan dan penggunaan apa yang oleh O'Leary
(1998) diistilahkan sebagai "data kualitatif". Selain menekankan pada perlunya
pengaitan dan penggunaan semacam skema atau struktur logika terhadap sekumpulan
data, teknologi pengetahuan kualitatif ini juga memanfaatkan berbagai teknologi
komunikasi. Termasuk dalam peralatan paling awal misalnya adalah Lotus Notes
yang sekaligus menggabungkan database, document-based, discussion group, e-mail.
Dari segi penelitian dan pengembangannya, knowledge discovery in database (KDD)
sudah merupakan sebuah displin yang baru berkembang, yang menggunakan teoriteori dari artificial intelligence, matematik, dan statistik. Norton (1999)
menggambarkan KDD sebagai kajian tentang penciptaan pengetahuan, proses,
algoritme, dan mekanisme untuk memanfaatkan potensi penemuan-kembali
pengetahuan. Bagian penting dari KDD adalah identifikasi pola atau kecenderungan
mulai dari metadata sampai (dan termasuk juga) tingkatan semantik, yang
menunjukkan adanya hubungan antar entitas. Tujuan akhir dari penyelidikan ini
adalah penemuan pengetahuan yang dapat digunakan untuk kegiatan tertentu.
Dengan demikian, KDD meliputi semua proses, terautomasi maupun tidak, yang
memperkuat atau memungkinkan eksplorasi databases, besar atau kecil, untuk
mengekstraksi pengetahuan yang potensial. Dengan melihat KDD sebagai proses
yang utuh, maka jelaslah bahwa mencari pengetahuan di sekumpulan data melibatkan
25
kegiatan intelektual dan teknologis yang, bukan hanya mengaduk-aduk data. Prinsip
dasar KDD adalah: (a) pengetahuan tertanam dalam kebutuhan informasi pemakai,
(b) menemukan adanya pola hubungan data semata tidak sama dengan menemukan
informasi, (c) hasil setiap temuan pencarian harus diletakkan dalam konteks
pencarian, dan (d) banyak aspek dalam KDD bersifat dinamis dan interaktif.
Sementara itu, ketika teknologi jaringan dan telekomunikasi semakin maju, maka
boleh dikatakan bahwa teknologi pengelolaan pengetahuan mengalami pertumbuhan
sangat dinamik. Seperti dikatakan Jablonski, Horn, dan Schlundt (2001), manajemen
pengetahuan kini berdiri di atas tiga kaki yaitu:

Intelegensi buatan (artificial intelligence) yang membantu mengekstraksi
informasi dari berbagai sumber untuk disimpan di knowledge base. Sebuah
knowledge base memiliki format yang bisa ditelusur dan diakses sesuai
keperluan pemakai. Pendekatannya berdasarkan asumsi bahwa knowledge
base bisa dipisahkan dari knowledge carriers.

Manajemen dokumen (document management) untuk menyimpan dan
mengelola berbagai tipe dokumen di dalam satu pusat. Pemanfaatannya
adalah melalui metadata.

Teknologi jaringan komputer dan hypertext yang memungkinkan berbagai
dokumen
dihubungkan, sedangkan pencariannya didukung oleh search
engine.
Sepanjang 1998, portal-portal di Internet memberikan ide tentang integrasi antara
berbagai kebutuhan dengan ketersediaan beragam sumber informasi. Situs-situs
semacam MyYahoo, NetCenter atau AOL, menumbuhkan minat untuk merancang
sistem yang bisa dimodifikasi berdasarkan minat perseorangan dan dihubungkan
dengan sejumlah besar sumber informasi. Teknologi intranet, yang memanfaatkan
kemajuan pesat dalam infrastruktur Internet, mendorong kelahiran portal yang khusus
dirancang untuk satu organisasi atau perusahaan (enterprise information portal).
Teknologi data warehouse pun semakin diarahkan untuk menjadi bagian yang
terintegrasi dengan portal ini, terutama karena potensi akses kepada data dari lokasi
yang berjauhan. Dengan demikian, potensi teknologi warehousing yang berjalan di
26
atas berbagai landasan (platform) teknologi berbeda, bertambah tersebar. Ini
kemudian juga didukung oleh penciptaan apa yang disebut dengan Extensible Markup
Language (XML), yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan suatu objek (disebut
XML documents) dan perilaku program komputer yang diperlukan untuk memproses
objek itu. Dengan adanya XML, terjadi peningkatan sangat pesat dalam potensi
penggunaan sumberdaya yang berbeda-beda dari segi isi, bentuk, maupun program
yang menjalankannya.
Studi Kasus di Indonesia
Penulis berkesempatan melakukan observasi dari dekat terhadap upaya-upaya
penerapan manajemen pengetahuan di 6 lembaga di Jakarta. Selain itu, sebagai
bagian dari pembuatan disertasi (Pendit, 2001), penulis juga pernah melakukan kajian
lebih mendalam terhadap 3 lembaga pemerintah untuk melihat tidak saja potensi
manajemen pengetahuan di sana, tetapi juga keseluruhan perubahan yang terjadi di
unit-unit informasi yang memakai teknologi informasi dalam kegiatannya.
Dalam hal penerapan teknologi informasi, ada beberapa hal penting yang dapat
dikemukakan dari studi kasus di Indonesia. Pertama, penerapan teknologi informasi
di semua lembaga memperlihatkan dinamika reformasi dan transformasi yang
bercirikan keterlibatan dua pihak di dalam proses inovasi yang terkukung di sebuah
kerangka sosial-budaya. Walaupun hal ini kedengarannya klise, namun cukup banyak
di antara kita yang sulit mengakui bahwa "pertarungan" antara pihak yang statisterstruktur dengan pihak yang pro-inovasi menghabiskan sebagian besar energi dan
waktu di dalam pekerjaan profesional informasi di Indonesia. Di antara 6 lembaga
yang sedang berupaya menerapkan manajemen pengetahuan, hubungan dyadic yang
mendasari inovasi ini menyebabkan investasi infrastruktur teknologi dan SDM tidak
segera bisa diterjemahkan ke dalam indikator-indikator kesuksesan manajemen
pengetahuan.
Kedua, ada banyak anekdot yang memperlihatkan bahwa telah terjadi penggunaan
teknologi informasi secara "ironis". Pemanfaatan komputer di semua lembaga yang
27
penulis observasi memperlihatkan bahwa janji-janji industri tidak begitu saja "dibeli"
oleh para pengelola unit-unit informasi. Ketersediaan "ruang eksperimen" di sebuah
unit merupakan faktor sangat penting bagi inovasi dalam penggunaan teknologi
informasi. Artinya, walaupun ada kondisi yang menentang inovasi, beberapa unit
yang diteliti menunjukkan adanya keleluasaan yang diberikan manajemen kepada
orang-orang yang inovatif. Akibat dari semua ini, pengembangan pola-pola kerja baru
(termasuk penerapan manajemen pengetahuan) berjalan seakan-akan sporadis dan
tidak sepenuhnya terencana.
Ketiga, berkaitan erat dengan butir kedua di atas, gaya manajemen di suatu unit
sangat menentukan apakah penerapan teknologi informasi bisa mendorong inovasi
dalam praktik-praktik profesional informasi. Artinya, spontanitas dan perkembangan
sporadis dalam penerapan teknologi informasi di Indonesia lebih merupakan cermin
dari gaya kepemimpinan, sikap pribadi beberapa profesional informasi, dan
kemampuan mengelola risiko, katimbang cermin atau konsekuensi teknis dari
pemakaian komputer dalam pekerjaan sehari-hari. Ini sangat mungkin berkaitan
dengan ciri utama teknologi komputer yang bersifat universal, yakni kelenturan dan
ke-"pasrah"-annya (malleability) untuk digunakan bagi berbagai keperluan yang tidak
selamanya terduga oleh pembuat teknologi itu sendiri.
Selain ketiga ciri yang berkaitan dengan penerapan teknologi informasi di atas,
beberapa aspek lain yang menarik untuk dicatat dari observasi di Indonesia adalah
munculnya konvergensi yang sangat kentara dalam profesi informasi. Batas-batas
yang tadinya dimaksudkan untuk memisahkan profesi pustakawan dari profesi
manajer rekaman, misalnya, sulit dipertahankan dalam kondisi sesungguhnya di
Indonesia. Bukan hanya itu, profesi informasi di Indonesia pun memperlihatkan
kecenderungan yang juga terjadi di mana-mana, yakni hilangnya batas yang jelas
antara pekerjaan "komunikasi" dan "informasi". Jika pada masa sebelumnya relatif
mudah mengatakan bahwa ketrampilan-ketrampilan jurnalistik dan hubunganmasyarakat tidak ada hubungannya dengan kepustakawanan dan dokumentasi, maka
digitalisasi
dan
dorongan-dorongan
manajemen
pengetahuan
menyebabkan
28
ketrampilan tersebut harus pula dipunyai oleh pustakawan, dokumentalis atau
manajer rekaman.
Dari sini penulis beranggapan bahwa konvergensi profesi informasi perlu mendapat
perhatian khusus. Menurut penulis, fenomena manajemen pengetahuan telah
memudarkan batas antara pustakawan, dokumentalis, dan manajer rekaman.
Fleksibilitas para profesional di ketiga bidang di saat ini lebih diperlukan katimbang
ketegasan yang memisahkan mereka. Sejalan dengan konvergensi teknologi
telekomunikasi dan komputasi, serta perkembangan teknologi digitalisasi yang
memungkinkan penggunaan segala bentuk simbol komunikasi dalam satu media,
fleksibilitas ini akan mendukung pekerjaan di bidang informasi yang inovatif dan
eksperimental. Jika profesi-profesi kepustakawanan, dokumentalis, manajer rekaman,
manajer informasi, dan sebagainya berupaya mengucilkan diri mereka masingmasing, maka potensi teknologi yang luar biasa ini akan terlantar.
Apa Artinya Semua Ini Bagi Pendidikan Profesi?
Sebagai pengajar, maka pertanyaan yang muncul dalam benak penulis adalah: apakah
pendidikan profesional informasi telah mengakomodasi harapan dan tuntutan
kompetensi di dalam konteks manajemen pengetahuan sebagaimana diuraikan di
atas? Persoalan ini bukan hanya menyangkut butir-butir kompetensi apa yang harus
diajarkan di ruang kelas, namun juga menukik ke hal yang lebih mendasar, yakni jati
diri profesi informasi itu sendiri.
Sebagai contoh, Bukowitz dan Williams (1999) menggunakan istilah cyberians untuk
menggambarkan kompetensi seorang profesional informasi di bidang manajemen
pengetahuan. Secara mudahnya, kompetensi ini bisa diuraikan sebagai kemampuan
memanfaatkan Internet untuk membantu pemakai menemukan informasi yang
diperlukannya dalam upaya menerapkan pengetahuan untuk suatu kegiatan tertentu.
Di balik kesederhanaan dari deskripsi ketrampilan ini, muncul persoalan yang lebih
mendasar, yakni penerapan konsep perantara (intermediaries) dalam penggunaan
teknologi informasi. Janji dari pihak industri tentang Internet adalah kebebasan dan
29
keleluasaan pemakai mencari informasi di segala sumber. Dari segi teknologi,
Internet telah membentuk persepsi dan harapan tentang keleluasaan mencari.
Pemberlakukan kembali peran perantara (atau dalam istilah Bukowitz dan Williams,
reintermediation), tidak semata-mata melatih para mahasiswa menggunakan Internet,
tetapi mengajarkan mereka bagaimana memahami orang yang akan menjadi
“nasabah” (client). Berbeda dengan ketika teknologi belum memungkinkan
keleluasaan seperti sekarang, maka kemampuan referensial di masa kini tidak hanya
menyangkut pengetahuan tentang sumber informasi.
Dalam kaitan dengan contoh di atas, maka misalnya penting sekali untuk memeriksa
salah kompetensi-kompetensi yang banyak dicantumkan dalam daftar deskripsi
pekerjaan manajer pengetahuan. Misalnya, peran coaching yang oleh sebuah
perusahaan didefinisikan sebagai “kemampuan menstimulasi orang lain agar orang itu
bisa mengembangkan kemampuannya atau meningkatkan kinerjanya”. Peran ini
harus didukung oleh kompetensi lain, yaitu initiative yang digambarkan sebagai
“kemampuan untuk bertindak dan mencapai tujuan tertentu tanpa harus menunggu
didorong oleh suatu kejadian, atau hanya bereaksi terhadap sebuah situasi”. Selain itu,
ada pula persyaratan kompetensi handling ambiguity yang digambarkan sebagai
“kemampuan untuk bekerja dengan baik di lingkungan yang tidak terlalu jelas batasbatasnya”.
Ketiga kompetensi itu bukanlah sekadar imajinasi atau dibuat-buat, jika kita melihat
bahwa situasi perkembangan sebuah unit kerja di dalam lingkungan yang bergejolak
adalah ciri dari organisasi-organisasi modern. Demikian pula, Internet mewakili
sebuah teknologi yang mengakomodasi lingkungan yang chaotic. Ketiga kompetensi
yang diuraikan di atas menjadi sangat relevan untuk seorang cyberian jika ia ingin
berhasil menjalankan peran perantaranya. Jadi, adalah relevan pula jika pendidikan
profesional informasi memasukkan kompetensi-kompetensi di atas sebagai tujuan
pengajaran. Lebih jauh lagi, adalah relevan pula jika lembaga-lembaga pendidikan
profesional informasi mulai memeriksa kembali konsep dasar perpustakaan,
dokumentasi dan informasi (pusdokinfo).
30
Dalam kaitan dengan ini, Warner (2001) telah melihat bahwa secara global pun
terjadi krisis dalam bidang perpustakaan dan informasi. Sejumlah besar sekolah dan
pusat pendidikan perpustakaan dan informasi kehilangan orientasi dan terserap ke
dalam berbagai bidang lain (terutama sekolah manajemen dan komunikasi). Dari
perpspektif sejarah, Warner melihat bahwa upaya menggabungkan ilmu perpustakaan
dan ilmu informasi di tahun 1970an secara substansial telah memisahkan
kepustakawanan (librarianships) dari ilmu perpustakaan dan informasi. Perdebatan
waktu itu adalah tentang ketrampilan versus keilmiahan. Kepustakawanan
dipertahankan sebagai arts, sementara ilmu perpustakaan dan informasi telah
menggiring bidang perpustakaan semakin mendekat ke komunikasi. Tetapi pada saat
yang sama juga mulai muncul konsentrasi ke pendekatan ilmiah terhadap temukembali informasi (information retrieval) yang kemudian cenderung menggiring ilmu
informasi ke bidang komputer, dan akhirnya ke ilmu komputer. Percabanganpercabangan ini menimbulkan kebingungan mengenai orientasi utama ilmu
perpustakaan dan informasi. Selain itu, kita berkali-kali mempertanyakan relevansi
kepustakawanan di masyarakat yang semakin terkomputerisasi.
Khusus untuk Indonesia, berbagai persoalan yang diangkat Warner sangat relevan
mengingat dari sisi penerapan teknologi informsai, masyarakat kita masih secara jelas
terbagi dalam dua dunia. Kepustakawanan dianggap masih dibutuhkan, terutama
karena konsentrasi utamanya kepada buku dan kegiatan membaca. Sementara itu,
perkembangan terakhir dalam komputerisasi dan telematika, sebagaimana yang kita
bahasa secara khusus dalam artikel ini, menghadapkan ilmu perpustakaan dan
informasi kepada sebuah tantangan yang sangat berat. Ketidak-mampuan disiplin ini
menegaskan bidang perhatiannya akan berdampak kuat pada kesiapan lulusan
menghadapi tuntutan dan persaingan di lapangan kerja. Misalnya, kita melihat bahwa
ada 6 kekhususan di disiplin ini yang sering bersimpangan dan bertabrakan, mulai
dari eksperimentasi temu-kembali sampai ke bibliometrika, manajemen perpustakaan
dan unit informasi, sampai kajian pemakai.
Persoalan dan ketidak-jelasan orientasi ini tidak hanya melanda dunia internal
penyelenggara pendidikan dan ilmu, tetapi juga berimbas ke hubungan antara dunia
31
pendidikan dan para praktisi profesional. Fragmentasi tidak saja terjadi pada ilmuan,
tetapi juga di kalangan pengajar, antara pengajar dengan praktisi, dan di antara para
praktisi sendiri. Keadaannya cukup chaotic, sebagaimana yang kini bisa dibuktikan
sendiri di Indonesia kalau kita melihat pertumbuhan minat yang cukup pesat kepada
rekaman medis. Belum lagi jika kita memeriksa kurikulum berbagai program diploma
dan
sarjana
di
membandingkannya
bidang
"informatika"
dengan
atau
"manajemen
program-program "informasi"
informasi",
serta
atau "komunikasi
informasi".
Dalam kesempatan lain, penulis menggambarkan persoalan ini dengan pendekatan
tiga dimensi (Pendit, 1998). Pada intinya, para praktisi dan akademisi di Indonesia
menghadapi tantangan terberat di abad ini karena perkembangan masyarakat dan
teknologi informasi. Pilihan untuk menggabungkan ilmu perpustakaan dan informasi
menyebabkan lembaga pendidikan harus menambah pelajaran yang berhubungan
dengan teknologi informasi. Tetapi pelajaran-pelajaran tersebut, entah oleh
keterbatasan pengajar maupun sarana, seringkali berkesan sebagai tempelan-tempelan
yang tak beraturan. Di lain pihak, hubungan yang kurang jelas antara lembaga
pendidikan dengan para praktisi di lapangan, menyebabkan banyak mata pelajaran
yang berada di awang-awang, tidak bisa diterapkan di lapangan kerja. Sementara itu,
dalam kondisi di mana masyarakat sedang berkembang seperti di Indonesia, perhatian
harus pula diberikan kepada mereka yang tidak memiliki akses ke teknologi
informasi. Itu sebabnya, kepustakawanan yang berkonsentrasi kepada buku dan
kegiatan membaca tetap relevan. Bahkan akan semakin masuk akal jika
kepustakawanan dan ilmu perpustakaan memusatkan sumberdaya mereka ke
persoalan-persoalan budaya.
"Bagaimana meniti buih" ... barangkali itulah jargon yang bisa kita gunakan untuk
menggambarkan kondisi kita di Indonesia saat ini. Dalam berbagai kesempatan,
penulis mencoba mengingatkan bahwa perubahan orientasi dan perubahan jatidiri
adalah pekerjaan terbesar bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Melihat
kenyataan dan harapan masyarakat, penulis berpendapat bahwa perubahan itu harus
dilakukan dalam tahap-tahap berikut: (a) menambah dan memperbesar orientasi
32
kepustakawanan maupun ilmu perpustakaan dan informasi kepada pengetahuan
tentang cara manusia memanfaatkan data, informasi dan pengetahuan dalam
hidupnya, (b) mempelajari sebanyak-banyaknya pemanfaatan teknologi informasi
dari sisi pengguna; melihat teknologi sebagai praktik teknologi yang mengandung
aspek kultur, organisasi, dan peralatan teknis, (c) meningkatkan kemampuan lulusan
untuk berpikir lateral katimbang mengikuti standar; menumbuhkan orientasi kepada
inovasi katimbang kemapanan, (d) membuka batas-batas yang memisahkan profesi
informasi.
Perubahan-perubahan di atas bersifat sangat mendasar, sehingga tidak bisa dilakukan
tergesa-gesa. Terlebih lagi, perubahan ini membutuhkan pula partisipasi kelompok
profesi yang sudah berada di dunia pekerjaan. Tanpa ini, kondisi chaotic akan terus
berlangsung, dan para mahasiswa maupun lulusan ilmu perpustakaan dan informasi
terpaksa harus mengandalkan kemampuan pribadi, sehingga memubasirkan energi
atau waktu yang telah mereka habiskan di universitas. Inilah tantangan terbesar untuk
kita semua.
Referensi
Abell, Angela dan Nigel Oxbrow (2001), Competing With Knowledge: The Information
Professional in the Knowledge Management Age, London : Library Association
Publication.
Amidon,
Debra
M
(1998)
gambar
digital,
"Wellsprings:
Hindsight"
di
http://www.entovation.com/images/wellhind.gif.
Beckman, Thomas J. (1999), "The Current State of Knowledge Management" dalam Jay
Liebowitz (ed.) Knowledge Management Handbook, New York : CRC Press, h. 1.1 1.22.
Birkinsaw, Julian (2001), "Making Sense of Knowledge Management", dalam IVEY Business
Journal, March / April, h. 32 - 36.
Brown, John S. dan Paul Duguid (2000), The Social Life of Information, Boston, Mass. :
Harvard Business School Press.
33
Bukowitz, Wendi R. dan Ruth L. Williams (1999), The Knowledge Management Fieldbook,
London : Prentice Hall.
Davenport, Thomas H., David W. de Long, Michael C. Beers (1998), "Successful Knowledge
Management Projects" dalam Sloan Management Review, Winter, h. 43 - 57.
Earl, Michael J. dan Ian A. Scott (1999), "What is a Chief Knowledge Officer?" dalam Sloan
Management Review, v. 40 no. 2, h. 29 - 38.
Fischer, Gerhard dan Jonathan Ostwald (2001) "Knowledge Management: Problems,
Promises, Realities, and Challenges" dalam IEEE Intelligent Systems, JanuaryFebruary, h. 60 - 74.
Gupta, Anil K. dan Vijay Govindarajan (2000), "Knowledge management's social dimension :
lessons from Nucor Steel" dalam Sloan Management Review, Fall, 71 - 79.
Jablonski, Stefan, Stefan Horn, dan Michael Schlundt (2001), "Process Oriented Knowledge
Management", dalam Communication of IEEE, Juni, h. 77 - 84.
Kim, Won dan Myung Kim (1999), "Performance and Scalability in Knowledge Engineering
: Issues and Solutions" dalam The Journal of Object Oriented Programming,
November / December, h. 39 - 54.
Malhotra, Yogesh (2000), "From Information Management to Knowledge Management:
Beyond the 'Hi-Tech Hidebound' Systems" dalam K. Srinantaiah dan MED Koenig
(ed.), Knowledge Management for the Information Professional, Medford, NJ :
Information Today Inc., h. 37 -61.
Milne, Patricia (2001), "Knowledge Management and the Information Professional: Strategic
Partner or Service Provider", makalah konferensi Information Online 2001, dokumen
digital terdapat di www.csu.edu.au/special/online2001/, diturunkan pada 2 Februari
2001.
Moran, P dan Sumantra Goshal (1996), "Value creation by firms" dalam J.B. Keys dan L.N.
Dossier (editor), Academy of Management Best Paper Proceedings, h. 41 - 45.
Nahapiet, Janine and Sumantra Goshal (1998), "Social capital, intellectual capital, and the
organizational advantage" dalam Academy of Management Review, v 23 n. 2 h. 242 267.
Nelson, R.R dan S.G. Winter (1982), An Evolutionary Theory of Economic Change. Boston :
Belknap Press of Harvard University Press.
34
Norton, M. Jay (1999), "Knowledge discovery in databases" dalam Library Trends vol. 48,
no. 1, h. 9 - 21.
O'Leary, Daniel E. (1998), "Enterprise Knowledge Management", dalam Communication of
IEEE, March, h. 54 - 61.
Pendit, Putu Laxman (2001), The Use of Information Technology in Public Information
Services : an Interpretive Study of Structural Change via Technology in the
Indonesian Civil Service, doctoral thesis, RMIT University, Melbourne Australia,
tidak diterbitkan.
____________ (1998) Kepustakawanan Indonesia dan Ilmu Perpustakaan: Pendekatan Tiga
Dimensional, proposal untuk Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, tidak diterbitkan.
Polanyi, M. (1967), The Tacit Dimension, London : Routledge and Kegan Paul
Schumpeter, J.A. (1934) reprinted in 1962, The theory of economic development: an inquiry
into profits, capital, credit, interest and the business cycle. Cambridge MA : Harvard
University Press.
Simon, H.A. (1991), "Bounded rationality and organizational learning" dalam Organization
Science no. 2, h. 125 - 134.
Smith, Reid G. dan Adam Farquhar (2000), "The Road Ahead for Knowledge Management"
dalam AI Magazine, Winter 2000, h. 17 - 40.
Spender, J-C. (1996), "Making knowledge the basis of a dinamic theory of the firm" dalam
Management Learning, 25, h. 387 - 412.
Tuomi, Ilkka (2000), "Data is more than knowledge : implications of the reversed knowledge
hierarchy for knowledge management and organizational memory", dalam Journal of
Management Information Systems, v. 16 no. 3, h. 103 - 117
Warner, Julian (2001), "W(h)ither Information Science" dalam Library Quarterly v. 71 no. 2,
h. 243 - 255.
Worren, Nicolay A., Keith Ruddle dan Karl Moore (1999), "From Organizational
Development to Change Management" dalam the Journal of Applied Behavioral
Science, vol 35 no. 3, h. 273 - 286.
35
Download