4.1 proses penyelesaian sengketa tanah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah bagi hidup dan penghidupan manusia merupakan “condition
sine qua non” yang artinya “prasyarat atas tanah bagi kehidupan
manusia”. Perkembangan hubungan manusia dengan tanah semakin
lama semakin luas dan kompleks dimulai dengan tahap penguasaan
individu terhadap tanah sampai corak yang diciptakan oleh Negara. Di
Indonesia, secara konstitusional masalah tanah sebagai permukaan
bumi, diatur dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang
berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Dari bunyi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa pasal 33 ayat (3),
berkaitan erat dengan penguasaan tanah. Tanah merupakan permukaan
bumi yang bisa dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk kepentingan
dan kemakmuran rakyat.
1
Hak menguasai atas tanah tersebut pelaksanaanya dilakukan oleh
pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan bentuk Negara Indonesia
sebagai Negara Kesatuan.
“Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”
Namun mengingat luas wilayah, hasil guna dan daya guna, maka
wewenang pemerintah pusat tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan
pada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat, menurut
ketentuan-ketentuan pemerintah.
“Hak menguasai dari Negara tersebut, pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum
adat apabila di perlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”
Kedudukan daerah swatantra dalam pelaksanaan hak menguasai
atas tanah tersebut sebagai badan penguasa. Sedangkan pelimpahan
wewenangnya berbentuk pembantuan.
Dari salah satu konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria
diwajibkan mengatur pemilikan dan penggunaan tanah, sehingga semua
tanah diseluruh wilayah kadaulatan bangsa dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun
gotong royong.
Pokok pikiran bahwa Negara hanya menguasai tanah bukan
memiliki tanah itu menunjukan bahwa hubungan hukum antara Negara
2
dengan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria, dengan “Hubungan Kekuasaan” menurut
sistem Hukum Agraria Nasional menunjukkan adanya kedaulatan rakyat
atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa
Negara Republik Indonesia yang diProklamasi pada tanggal 17 Agustus
1945 adalah suatu Gezagorganisatie dalam bahasa belanda adalah
otoritas organisasi, artinya tertinggi mempunyai fungsi mengatur dan
mengembangkan kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan fungsi pelaksanaan/fungsi pemerintah dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti yang diatur oleh
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993, jo
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, jo Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 yang berbunyi: “pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah”. Selain itu: ”pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan
umum oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilaksanakan dengan
cara pelepasan atau menyerahkan hak atas tanah”. Sehingga berbunyi
sebagai berikut: ”pelepasan ataau penyerahan hak atas tanah dilakukan
3
berdasarkan
prinsip
penghormatan
terhadap
hak
atas
tanah”.
Ditambahkan peraturan yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila yang
berhak atas tanah atau benda benda yang ada diatas haknya dicabut
tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka
yang bersangkutan dapat meminta banding kepada pengadilan tinggi
agar menetapkan ganti rugi sesuai UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang
Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan
Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya”.
Pemerintah Kota Kotamobagu tampaknya untuk sementara waktu
harus mengurungkan niat untuk merelokasi Pasar Serasi. Pasalnya,
Pemerintah Kota sedang menghadapi dua gugatan sekaligus di
Pengadilan Negeri (PN) Kotamobagu, yakni gugatan class action dari
pihak pedagang yang menolak direlokasi, dan gugatan dari pihak yang
mengaku sebagai pewaris sah tanah pasar serasi.
Pihak pedagang melalui Asosiasi Pedagang Pasar Serasi telah
melayangkan gugatan class action mereka sejak beberapa waktu lalu.
Dan, pihak pewaris pun telah melakukan hal yang sama dengan
menunjukkan bukti kepemilikan tanah di Pengadilan Negeri Kotamobagu.
4
“Sidang gugatan baik class action maupun ahli waris masih
berjalan, mungkin bisa memakan waktu berbulan-bulan untuk mencapai
putusan,” Humas Pengadilan Negeri Kotamobagu.
Pengadilan Negeri juga mengancam pihak Pemerintah Kota untuk
tidak melakukan aktivitas apapun di lahan tersebut. Serta, tidak
melakukan pemagaran sebelum kasus ini tuntas. Apabila, Pemerintah
Kota melanggar maka harus bertanggung jawab. “Lahan Pasar Serasi
berstatus sengketa, jadi tidak ada aktivitas untuk sementara”. Hal ini
berkaitan dengan rencana pemerintah untuk membangun pasar modern
di Kotamobagu.
Sempat dilakukan tindakan mediasi kepada kedua pihak yang
bermasalah untuk melakukan musyawarah, meski mediasi pertama
menemui kegagalan.
“Dalam proses mediasi pedagang meminta Pemerintah Kota
menjelaskan seperti apa konsep pasar Modern yang akan dibangun,
serta yang utama terkait hak-hak pedagang yang ternyata tidak sama
sekali memihak pedagang”.
Sengketa adalah sengketa yang sebagai akibat perlakuan/suatu
perbuatan subjek hukum yang berakibat hukum baik terhadap sesama
warga, aparatur, maupun swasta dalam hal yang berkaitan dengan
kepentingan hak terhadap tanah pasar serasi yang menjadi lahan
5
sengketa antara pihak pedagang pasar serasi, pihak ahli waris sebagai
pemilik tanah dan Pemerintah Kota.
Sengketa merupakan pertikaian/perselisihan/perkara hukum yang
artinya sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran
dan perbantahan perkara yang kecil dapat juga menimbulkan pertikaian
lebih besar. Dalam hal ini perbedaan pendapat antara pihak pedagang
pasar serasi, pihak ahli waris sebagai pemilik tanah dan Pemerintah Kota
soal tanah pasar serasi yang akan relokasi menjadi pasar modern.
Sengketa daerah (wilayah) ialah daerah yang menjadi rebutan
(pokok pertengkaran), dalam hal ini tanah pasar serasi yang akan di
bangun sebagai pasar moderen Kota Kotamobagu.
Upaya penyelesaian dengan cara damai pernah dilakukan tetapi
tidak mencapai suatu kesepakatan antara kedua belah pihak, maka
penyelesaian dengan cara hukum pengadilan telah ditempuh oleh pihak
yang bersengketa.
Timbulnya sengketa hukum adalah bermula dari pangaduan secara
sepihak yang dilakukan asosiasi pedagang pasar serasi bersama pihak
pewaris tanah yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah baik terhadap status tanah pasar serasi, prioritas (yang lebih
berhak) atas tanah pasar serasi dan kepemilikannya pewaris tanah
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
6
Berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari
yang lain atas tanah sengketa, dalam memutuskan pengelolaan tanah
pasar serasi harus ada persetujuan dari pihak memilik tanah (pihak
pewaris tanah).
Sengketa tanah tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan
konsep Negara kesatuan Republik Indonesia yaitu Negara hukum (pasal
1ayat (3) UUD tahun 1945), karena itu setiap terjadi sengketa haruslah
diselesaikan menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku agar tercipta rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat, sebagai
implementasi Negara hukum yang demokratis.
Pewaris tanah sebagai pemilik hak atas tanah pasar serasi,
pedagang/penjual yang memanfaatkan lahan/tempat yang disediakan
oleh pemerintah pada pasar serasi dan pemerintah sebagai pengelolah
pasar serasi selaku penanggung jawab, dari ketiga pihak bersengketa
telah melalui perundingan/musyawarah atau negosiasi, mediasi yang
panjang yang belum mendapat penyelesaian sengketa hingga sekarang.
Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di Kota
Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, dengan judul : “ANALISIS
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DI KECAMATAN
KOTAMOBAGU KOTA KOTAMOBAGU SULAWESI UTARA (STUDI
KASUS PASAR SERASI)”.
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,
maka penelitian mengajukan beberapa rumusan masalah mengenai
analisis proses pelaksanaan sengketa tanah studi kasus pasar serasi
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah di Pasar Serasi
Kecamatan Kotamobagu Barat Kota Kotamobagu Sulawesi Utara ?
2. Apa faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa tanah di Pasar
Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat Sulawesi Utara ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa tanah di Pasar
Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat.
b. Untuk
mengetahui
sehingga
terjadi
faktor
sengketa
yang
mempengaruhi
tanah
pasar
serasi
masyarakat
dan
cara
penyelesaian sengketa tanah tersebut.
8
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
a. Untuk memperoleh pengetahuan yang luas, mengenai faktor
penyebab sengketa antara Pemerintah dan Masyarakat (pedagang
dan pihak pewaris tanah pasar serasi yang sah) juga proses
penyelesaian sengketa tanah agar nasib para pedagang yang
mengantungkan hidupnya jelas.
b. Hasil penelitian ini harapkan dapat memberikan kontribusi atau
sumbangan pemikiran dibidang pengembangan ilmu pengetahuan
secara umum.
1.4 Metode Penelitian
1.4.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Kantor Pertanahan di
Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, dengan pertimbangan:
1) Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu mempunyai kewenangan
untuk melakukan mediasi (Berdasarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan
Nasioanal,
Pembuktian
sertifikat
tanah
melalui
9
Pengadilan Tata Usaha Negara (Undang-Undangan Nomor 9
Tahun 2004
2) Dipilih Kota Kotamobagu sebagai lokasi penelitian, karena Kota
Kotamobagu salah satu kota pemekaran baru yang membutuhkan
pengaturan tata kota yang baik agar sesuai dengan tujuan
pembagunan daerah yang telah dimekarkan.
1.4.2 Sumber Data
Dalam penelitian ini, data akan diperoleh dari dua sumber yaitu:

Data Primer
Data yang akan diperoleh langsung dari informan pengumpulan
data ini berupa interview (wawancara), serta melakukan
observation (pengamatan langsung terhadap penelitian).

Data Sekunder
Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan,
arsip-arsip resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam
melengkapi data.
10
1.4.3 Definisi Oprasional
Untuk mememberikan suatu pemahaman yang mempermudah
penelitian ini maka penulis fokus penelitian ini diopersional melalui
beberapa indikator sebagai berikut:
1. Proses
penyelesaian
merupakan
suatu
runtutan
perubahan
peristiwa yang ketika terkait sengketa, maka dapat dikatakan
bahwa proses penyelesaian sengketa adalah runtutan peristiwa
atau rentetan yang dilalui dalam mencapai suatu tujuan. Oleh
karena itu proses penyelesaian sengketa perlu terstuktur.
2. Faktor yang mendorong atau penyebab tejadinya sengketa hak
atas tanah
Kepastian hak atas tanah
Proses
Transparansi dalam panggunaan lahan
1.4.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini, yaitu:

Wawancara
Adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya
jawab atau dialog langsung antara peneliti dengan para
11
informan bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan lisan pada saat
penelitian berlangsung.

Observasi
Adalah pengamatan langsung terhadap objek kajian
yang sedang berlangsung untuk memperoleh keterangan dan
informasi sebagai data yang akurat tentang hal-hal yang diteliti
serta untuk mengetahui relevansi antara jawaban informan
dengan kenyataan yang ada, dengan melakukan pengamatan
langsung yang ada di lapangan yang erat kaitannya dengan
objek penelitian.

Studi kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan langkah yang penting
dalam metode ilmiah untuk mencari sumber data sekunder yang
akan mendukung penelitian. Teknik pengumpulan data dengan
studi kepustakaan, dapat membantu untuk memahami lebih
jauh lagi tentang penelitian yang akan dilakukan.

Subjek Penelitian
Untuk memperoleh data guna kepentingan penelitian ini,
maka diperlukan subjek penelitian. Peneliti memiliki subjek
peneliti (informan) yang dapat memberikan informasi yang
12
dibutuhkan dan relevan dengan pertanyaan penelitian. Teknik
penetapan informan dalam penelitian ini dilakukan secara
purposive (penarikan sampel bertujuan), yaitu pemilihan subjek
secara
sengaja
oleh
peneliti
berdasarkan
kriteria
dan
pertimbangan tertentu.
1.4.5 Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mesintekniskannya,
mencari dan menemukan pola, mengemukakan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang akan diceritakan pada
orang lain.
Selain itu juga pada penelitian kualitatif terdapat 3 (tiga)
pertimbangan pokok, yaitu: pertama, metode kualitatif lebih mudah
dihadapkan dengan gejala sosial yang kompleks. Kedua, hubungan
peneliti dengan informan sangat dekat sehingga dapat menyajikan
informasi yang lebih mendalam. Ketiga, lebih peka dan mudah
menyesuaikan diri terhadap pola-pola nilai yang dihadapi, sehingga
mudah menemukan pola ataupun model yang terjadi dalam proses
hubungan birokrasi dan rakyat dalam konteks perubahan sosial politik.
Budaya yang ada dalam masyarakat sebagai kerangka acuan dapat
13
dianalisis sesempurna mungkin melalui teknik analisis kualitatif melalui
analisis Gertz (1992), yang menangkap fenomena sosial yang
berlapis-lapis hingga ditemukan penafsiran yang berbeda dalam
konteks yang berbeda pula.
Sesuai sifatnya yang kualitatif, maka akan disajikan data dan
uraian secara verbal (bahasa). Apabila ada angka-angka yang muncul
dalam penelitian ini berarti hanya digunakan sebagai alat bantu untuk
pendukung analisa.
Analisis data kualitatif melalui reduksi data, yaitu memilih hal-hal
pokok yang disesuaikan dengan fokus penelitian, dengan tujuan dapat
memberikan gambaran yang jelas tajam tentang hasil pengamatan
dan mempermudah peneliti untuk mencapai jika sewaktu-waktu
diperlukan, dan juga dapat memberikan kode-kode pada aspek
tertentu.
Data yang diperoleh dalam penelitian, berupa pendapat/
pertanyaan informan/atau responden, melakukan mediasi/musyawarah
di Kantor Badan Pertanahan, dan apabila penyelesaian melalui
musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai,
demikian juga penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan
Pertanahan Kotamobagu tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang
bersengketa, maka
penyelesaiannya
harus
melalui
pengadilan,
14
kemudian diuraikan dalam kalimat yang bersifat deskriptif kualitatif
yang menjelaskan proses pelaksanaan peradilan sebagai cara
penyelesaian sengketa tanah dan penyebab terjadinya sengketa tanah
di Pasar Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat Kota Kotamobagu
Sulawesi Utara.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
2.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan panduan penulisan dalam aspek
konseptual – teoritis. Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai konsep
teori yang dijadikan sebagai alat analisis terhadap masalah yang
diangkat dalam skripsi ini.
2.1.1 Pengertian Tanah
Sebutan “tanah” dalam bahasan ini dapat dipahami berbagai
arti, maka penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam
arti apa istilah tersebut digunakan.
Manulang Rinto (200:6), Tanah adalah sumber daya alam dan
sumber hidup serta kehidupan kini maupun di masa datang.
Susetiawan (2001: 65), persoalan tanah merupakan persoalan
klasik
yang
selalu
ada
dimana-mana
sebab
tanah
memiliki
multimakna, mulai dari makna ekonomi, sosial, politik sampai dengan
kebudayaan.
Makna tanah yang dikemukakan oleh marhias haryadi (erari,
1999 :27-28) sebagai berikut:
16
”Tanah bagi rakyat adalah basis paling elementor yang
menentukan hidup dan matinya manusia, tanah adalah pijakan
fundamental yang menentukan kelangsungan hidup manusia, yang
pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah, diatas
tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidup
dan identitasnya. Kedua, diatas tanah itu manusia berhubungan
dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ketiga, tanah memiliki arti
ekonomi yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin
tergantikan”.
Lebih lanjutnya, pada pasal 4 ayat (2) dinyatakan termasuk pula
tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang ada diatasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undangundang ini (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Hak atas tanah
Hak pada hakekatnya adalah suatu kekuasaan yang
diberikan kepada seseorang terhadap sesuatu benda maupun
orang, yang dijamin oleh peraturan undang-undangan . Jadi apa
bila seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang
tersebut telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut dengan
dibatasi
kewajiban
yang
harus
dipatuhi
yang
ditetapkan
pemerintah.
a.
Perpanjangan
hak
adalah
penambahan
jangka
waktu
berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syaratsyarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannya
17
dapat diajukan sebelum jangka waktu berlakunya hak atas
tanah yang bersangkutan berakhir.
b.
Pembaharuan hak adalah pemberian hak atas tanah yang
sama kepada pemegang hak yang sama yang dapat diajukan
setelah jangka waktu berlakunya hak yang bersangkutan
berakhir.
c. Perubahan hak adalah penetapan pemerintah mengenai
penegasan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan
pemegang haknya, menjadi tanah negara dan sekaligus
memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah
jenis lainnya.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa yang dimasuk
dengan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi atau
wewenang yang berikan oleh Negara kepada si pemegang hak
yang berbatasan/berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar, untuk digunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaan dan
peruntukannya, tidak termasuk segala apa yang terkandung
didalam dan diatas tanah yang bersangkutan.
Hak-hak atas tanah menurut ketentuan pasal 16 ayat (1)
UUPA meliputi:
1). Hak milik.
2). Hak guna usaha.
3). Hak guna bangunan.
4). Hak pakai.
18
5). Hak sewa
6). Hak membuka tanah.
7). Hak memungut hasil hutan.
8). Hak-hak yang lain hak yang dimaksud pasal 53 UUPA.
Hak-hak yang berhubungan dengan tanah diatur dalam
pasal 53 ayat (1) UUPA, meliputi:
1). Hak gadai.
2). Hak usaha bagi hasil.
3). Hak menumpang.
4). Hak sewa tanah pertanian.
2.1.3 Sengketa Tanah
Tanah
merupakan
sarana
yang
vital
bagi
hidup
dan
penghidupan manusia. Daniel Lewis (Sataryono dkk, 2005:53),
mengungkapkan
bahwa
tanah
dapat
menjadi
faktor
dalam
memperpanjang konflik. Bahkan menurut Adijndro (Bachriadi)(Lily Dwi
Astuti dan Sri Kristiyah 2006:53) sengketa agrarian di Indonesia
bersifat multi dimensional yang tidak dapat dipahami hanya sebagai
persengketaan agrarian, menurutnya sengketa agrarian adalah
puncak gunung es dari beragam jenis konflik.
Susetiawan (2001: 65), menjelaskan konflik pertanahan adalah
konflik yang berhubungan dengan tanah senantiasa berlangsung
19
sebab setiap orang atau kelompok selalu memiliki kepentingan dengan
hal tersebut.
Selanjutnya menurut Sarjita (2005:7), pengertian ”konflik”
berasal dari bahasa inggris conflict dan dispute yang berarti
perselisihan atau percekcokan, atau pertentangan. Dengan kata lain,
konflik merupakan situasi atau kondisi adanya pertentangan atau
ketidaksesuaian
antara
para
pihak
yang
akan
dan
sedang
mengadakan hubungan kerjasama. Pada umumnya konflik akan
terjadi dimana saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara
sesama manusia, baik antara individu dengan individu maupun
kelompok dengan kelompok dalam melakukan sesuatu.
Kemudian
Dorcey
(Mitchell)
sebagaimana
dikutip
oleh
(Sutaryono dkk 2005:52), menyebutkan bahwa ada 4 (empat) dasar
atau penyebab terjadinya konflik, yaitu: (1) perbedaan pengetahuan
atau pemahaman; (2) perbedaan nilai; (3) perbedaan kepentingan;
dan (4) persoalan pribadi atau karena latar belakang sejarah.
Dalam konteks pertanahan, masyarakat senantiasa berada
dalam proses perubahan, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan
untuk mendapatkan tanah, hal ini mengakibatkan konflik pertanahan
yang terus-menerus antara anggota masyarakat. Setiap elemen
masyarakat
berkesempatan
memberi
sumbangan
pada
konflik
20
pertanahan, yang mendorong terjadinya disintegrasi sosial (Priyo
Katon Prasetyo dkk, 2006:68).
Menurut Wirandi (Endriato Soetanto dan Moh. Shohibuddin),
(2005:6), mengungkapkan bahwa realita keagrariaan di Indonesia
secara mendasar bersifat konfliktual, yakni suatu kondisi yang berakar
pada ketimpangan atau menyangkut sumber-sumber agraria dalam
tiga bentuk sebagai berikut:
1) Ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah;
2) Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah; dan
3) Incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai
keagrariaan.
Merujuk pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kata
konflik mempunyai pengertian yang lebih luas, oleh karena itu, istilah
konflik tidak hanya digunakan dalam kasus pertanahan yang terkait
dalam proses perkara pidana, juga terkait dalam proses perkara
perdata dan proses perkara tata usaha Negara.
Tanah merupakan salah satu objek yang biasa disengketakan
oleh pihak yang berperkara. Tanah yang disengketakan yang
berkaitan
dengan
hak
dan
penguasaan
ataupun
kepemilikan
seseorang yakni tanah yang sudah menjadi hak dan sudah
personifikasi, atau sudah diberikan status hak yang melahirkan
jaminan kepemilikan antara tanah dengan seseorang atau badan.
21
Pada dasarnya masalah pertanahan memiliki perbedaan
pengertian dengan sengketa tanah. Masalah pertanahan mengandung
arti segala persoalan baik teknis, administratif, bahkan dalam hal
kebijakan ataupun ketentuan normatif menyangkut pertanahan pada
umumnya. Dengan demikian, sengketa tanah adalah sebatas
pengertian sempit dari masalah pertanahan, yakni sengketa tanah itu
sendiri.
Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan
persepsi yang merupakan gambaran lingkungan yang dilakukan
secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang,
lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial, demikian menurut Koentjaraningrat.
Pengertian sengketa diperjelas, oleh Rusmadi Murad (1991:23):
“Sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara dua belah
pihak atau lebih karena merasa diganggu dan merasa dirugikan
pihak-pihak tersebut untuk penggunaan hak dan penguasaan
atas tanahnya, yang diselesaikan melalui musyawarah atau
melalui pengadilan, sedangkan masalah pertanahan lebih
bersifat teknis kepada aparat pelaksana berdasarkan kebijakan
maupun peraturan yang berlaku”.
Kemudian Sudikno Mertukumo (Muhallis 2005:15) mengatakan,
dalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua
pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat, terjadi suatu
sengketa yang kemudian disusul dengan diajukannya gugatan.
22
Sementara itu, menurut Yan Pramadya Puspa (Muhallis
2005:14), bahwa sengketa disebut juga perkara, kemudian menurut
W.J.S Poerwadarminta (Muhallis 2005:14), sengketa diartikan sebagai
berikut:
1) Pertengkaran, perbantahan, misalnya oleh sebab uang sepicis
maka timbullah sengketa yang mengakibatkan pekelaihan hebat;
2) Pertikaian, perselisihan, penyederaan, misalnya dikwatirkan bahwa
sengketa antara partai-partai itu dapat meretakkan persatuan
bangsa Indonesia; dan
3) Perkara
(dalam
pengadilan),
misalnya
setengah
orang
berpendapat bahwa nasionalisasi tambang minyak di Irak itu suatu
sengketa internasional yang harus diselesaikan oleh mahkamah
internasional.
Selanjutnya Rachmadi Usman (Sarjita 2005:8), menegaskan
bahwa suatu konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa, apabila
pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas
atau keprihatinannya, sebaliknya akan berkembang, apabila telah
menyatakan secara langsung kepada pihak-pihak yang dianggap
sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Dengan demikian,
pendapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan kelanjutan dari
konflik, atau sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa apabila
tidak dapat diselesikan.
23
Lebih lanjut pengertian sengketa tanah diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Agrarian/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan
Pasal 1 butir 1:
“sengketa tanah adalah perbedaan pendapat mengenai :
a. Keabsahan suatu pihak.
b. Pemberian hak atas tanah.
c. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan
tanda bukti haknya antara pihah-pihak yang berkepentingan
dengan instansi Badan Pertanahan Nasional”.
Sengketa tanah dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa
hukum yang lahir dari keadaan, perbuatan atau kejadian yang
menimbulkan perselisihan kepentingan antara pihak-pihak yang
menyangkut tanah.
Berkenaan dengan pengertian sengketa di atas, dapat diketahui
bahwa kata sengketa terkait dengan perkara dalam Pengadilan untuk
diselesaikan menurut peraturan hukum yang berlaku. Menurut
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan umum
tidak mempergunakan istilah sengketa, melainkan mempergunakan
istilah perkara. Kedua istilah itu (sengketa dan Perkara) pada
24
hakekatnya mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama mengenai
pertikaian yang memerlukan penyelesaian.
a. Penyebab Sengketa Tanah
Munculnya sengketa tanah secara obyektif berkaitan dengan
rencana pembagunan pasar pemerintah berkerja sama
dengan
investor dari Lippo Group untuk pendirian mal untuk memenuhi
program Pemerintah dalam pengembangan pasar, ternyata tanah
pasar adalah tanah Balangket Mokodompit dahulu diambil alih secara
paksa oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow dengan
alasan untuk memenuhi program pemerintah demi kemakmuran dan
kesejahteran masyarakat untuk pembangunan pasar dan saran
lainnya hingga pemilik tanah meninggal tak ada ganti rugi atas tanah
yang dijadikan sarana fasilitas umum berupa pasar inpres yang
berganti nama menjadi pasar serasi dan sekarang akan dijadikan mal.
Rencana pendirian mal harus tertunda oleh karena pewaris
tanah sebagai cucu dari Balangket Mokodompit melakukan gugatan di
Pengadilan setelah mengetahui rencana Pemerintah untuk menggusur
para pedagang di pasar serasi dan merasa dirugikan karena tanah
milik kakeknya akan dijual ke pihak ketiga tanpa ada ganti rugi dari
pemerintah atas tanah tersebut.
25
Demi berjalan proses perencanaan pembagunan pasar serasi
maka pemerintah melakukan tindakan pemagaran pasar serasi.
Tindakan pemagaran pasar serasi yang dilakukan pemerintah
menemui kericuan antara pihak masyarakat dengan satuan polisi
pamong praja, akibat dari kejadian itu masyarakat menjadi khawatir
dalam proses jual-beli di pasar.
Risnanto (2006:33), mengemukakan bahwa ruang lingkup
pertanahan yang meliputi hubungan penguasaan pemilikan dan
hubungan penggunaan pemanfaatan dapat dibedakan hubungan
secara fisik (de facto) dan hubungan secara yuridis (de jure) yang tidak
selalu sejalan, merupakan pemicu timbulnya masalah pertanahan
yang mendasar, meliputi:
1) Adanya bidang tanah yang dikuasai secara fisik namun tidak diikuti
dengan hak kepemilikan atas tanah (sering dikenal dengan istilah
okupasi liar);
2) Adanya bidang tanah yang dikuasai dengan hak kepemilikan atas
tanah namun tidak diikuti dengan pemanfaatan sesuai dengan
tujuan pemberian haknya (sering dikenal dengan istilah tanah yang
kondisinya ditelantarkan);
3) Adanya bidang tanah yang digunakan dan dimanfaatkan secara
fisik namun tidak sesuai arahan tata guna tanah maupun rencana
26
tata ruangnya sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan
lingkungan.
Badan Pertanahan Nasional (syukri M 2005: 10), menyebutkan
6
(enam)
penyebab
sengketa
tanah
ditinjau
dari
berbagai
permasalahan yaitu :
1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan.
2. Harga tanah meningkat dengan cepat.
3. Kondisi masyarakat yang makin menyadari dan mengerti akan
kepentingan haknya.
4. Iklim keterbukaan sebagai salah satu kebijakan yang digariskan
oleh Pemerintah.
5. Masih adanya oknum-oknum aparat Pemerintah yang belum
menyadari dan belum dapat menangkap aspirasi masyarakat.
6. Adanya
pihak-pihak yang
menggunakan
kesempatan
untuk
mencari keuntungan materil yang tidak wajar atau menggunakan
untuk kepentingan politik.

Sengketa dapat terjadi antara:
1. Perseorangan/masyarakat dengan peseorangan/masyarakat.
2. Perseorangan/masyarakat dengan Badan Hukum Publik
(Pemerintah/Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD).
3. Perseorangan/masyarakat dengan Badan Hukum Swasta.
27
4. Badan Hukum Publik dengan Badan Hukum Publik.
5. Badan Hukum Swasta dengan Badan Hukum Swasta.
6. Badan Hukum Publik dengan Badan Hukum Swasta.
7. Perseorangan/masyarakat dengan Badan hukum Publik dan Badan
Hukum Swasta.
b. Jenis-jenis Sengketa Tanah
Menurut Rusmandi Murad (1991:23), sifat permasalahan dari
sengketa tanah secara umum ada beberapa macam antara lain:
1) Masalah/persoalan
yang
menyangkut
prioritas
untuk
dapat
ditetapkan sebagai pemengang hak yang sah atas tanah yang
berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2) Bantahan terhadap sesuatu atas hak/bukti peroleh yang digunakan
sebagai sebagai dasar pemberian hak (perdata).
3) Kekeliruhan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang/tidak benar.
4) Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial
praktis/ bersifat strategis.
Dengan
sebagaimana
mandasari
dimaksud
pada
dalam
pengertian
sengketa
Peraturan
Menteri
tanah
Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999,
maka sebetulnya sengketa pertanahan dapat diklafikasikan mengenai
28
subtansi atau pihak-pihak yang bersengketa. Dilihat dari subtansinya,
maka sengketa pertanahan adalah menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan: (1) penguasaan, pemilikan dan penggunaannya, (2) prosedur
dan syarat-syarat dalam pemberian hak atas tanah, (3) prosedur dan
syarat-syarat dalam penerbitan tanda bukti hak termasuk peralihan
haknya.
Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang
Pendaftaran
Tanah,
mengatur
kegiatan
meliputi
pengumpulan, pengolahan dan penyajian data fisik dan yuridis, serta
persengketaan
yang
terjadi.
Dalam
kegiatan
tersebut,
jenis
masalah/sengketa yang akan terjadi ada 2 (dua), yaitu:
1. Sengketa data fisik, yaitu sengketa yang menyakut keterangan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang sudah didaftar,
termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan diatasnya. Jenis sengketa yang dimasuk dalam kategori
ini adalah :
a) Sengketa
batas,
yaitu
menyangkut
terjadinya
kesalahan
pengukuran batas-batas bidang tanah yang disebabkan oleh
tidak
adanya
kesepakatan
antara
pemilik
tanah
yang
bersangkutan dengan pemilik tanah yang berbatasan.
b) Sengketa Ganti Kerugian, yaitu menyangkut kesepakatan
besarnya nilai ganti rugi serta tata cara pembayarannya.
29
2. Sengketa data yuridis, yaitu sengketa yang menyakut keterangan
mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar. Sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah:
a) Sengketa Waris, yaitu sengketa menyangkut siapa yang
berhak atas tanah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
berdasarkan peraturan yang berlaku.
b) Sengketa Pengaturan Penguasaan Tanah, yaitu sengketa
menyakut
pemilik
tanah
yang
tidak
sesuai
dengan
ketentuan, misalnya pemilikan tanah absente dan pemilikan
tanah yang melebihi batas maksimum.
c) Sengketa Sertifikat Ganda, yaitu terjadi akibat adanya
pemalsuan alas hak untuk mendapatkan sertifikat atas tanah
oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
2.1.3 Penyelesaian Sengketa Tanah
Penyelesaian sengketa tanah, senantiasa diupayakan agar
tetap mengikuti tata cara dan prosedur yang telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pentingnya mengindahkan
ketentuan perundang-undangan dimaksud, karena untuk menghindari
tindakan melanggar hukum.
Tindakan melanggar hukum dapat dihindari dengan mematuhi
asas-asas umum pemerintahan yang baik Karena itu asas yang telah
30
dijabarkan dalam beberapa undang-undang tersebut tidak saja
memiliki daya mengikat secara moral dan doktrinal, tapi juga
mempunyai daya mengikat secara yuridis.
Crince Le Roy dan Kuntjoro Purbopranoto asas pemerintahan
yang baik yaitu : asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas
kesamaan dalam mengambil keputusan, asas bertindak cermat, asas
motivasi dalam setiap keputusan, asas larangan mencampuradukkan
kewenangan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau
kewajaran,
asas
menanggapi
penghargaan
yang
wajar,
asas
meniadakan akibat keputusan yang batal, asas perlindungan atas
pandangan
hidup
pribadi,
asas
kebijaksanaan
dan
asas
penyelenggaraan kepentingan umum.
Sedangkan S. F. Marbun mengemukakan rincian Asas-asas
Umum Pemerintahan Indonesia yang Adil dan Patut ada yaitu asas
persamaan, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, asas
menghormati dan memberikan haknya setiap orang, asas ganti rugi
karena kesalahan, asas kecermatan, asas kepastian hukum, asas
kejujuran
dan
keterbukaan,
asas
larangan
penyalahgunaan
wewenang, asas larangan sewenang-wenang, asas kepercayaan dan
pengharapan, asas motivasi, asas kepantasan atau kewajaran, asas
31
pertanggungjawaban,
asas
kepekaan,
asas
penyelenggaraan
kepentingan umum, asas kebijaksanaan dan asas i’tikad baik.
Secara resmi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik di
Indonesia menurut penjelasan Pasal 53 UU Nomor 9 Tahun 2004
mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 1999, yaitu terdiri dari asas
kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas tertib penyelenggaraan
negara dan asas kepentingan umum.
Penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan dengan berbagai
cara, sesuai yang dikemukakan oleh Sarjita (2005:9) bahwa:
“penyelesaian sengketa tanah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
penyelesaian melalui jalur pengadilan/Ligitasi dan jalur non
pengadilan
(Perudingan/musyawarah
atau
negotiation,
Konsiliasi/conciliation, Mediasi/mediation, Arbitrase/arbitran).
Apabila usaha musyawarahnya tidak menemukan kesepakatan
maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat
mangajukan masalahnya ke Pengadilan (Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tata Usaha Negara)”.
Kebijakan Pemerintah dalam mengenai masalah/sengketa
dibidang pertanahan antara lain berdasarkan pada Ketentuan Majelis
Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
dimana pasal 5 ayat (1) huruf d disebut dibawah:
32
“Arah kebijakan pembaruan agrarian adalah menyelesaikan
konflik-konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagai mana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.
Pada hakekatnya setiap ada persengketaan mengenai tanah,
penyampaian disesuaikan menurut corak dan karakter sengketa itu
sendiri.
Pandangan
budaya
asli
Bangsa
Indonesia
yang
mengedepankan kedamaian, kerukunan, gotong royong, tolong
menolong dan tenggang rasa, merupakan konsep dasar dalam
menghadapi
suatu
perselisihan
atau
sengketa,
dimana
penyelesaiannya tidak langsung ke pengadilan (litigasi). Namun
biasanya
diupayakan
melalui
cara-cara
kekeluargaan
diluar
pengadilan (non litigasi).
a. Melalui Peradilan (Litigasi)
Penyelesaian sengketa/konflik melalui Peradilan (ligitas)
diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman adalah kekuasan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakan Hukum dan
keadilan, demi terselenggara Negara hukum Republik Indonesia.
Menurut
kehakiman
Pasal
yang
2
Undang-Undang
dimaksud
dilaksanakan
diatas,
oleh
kekuasaan
badan-badan
peradilan, diantaranya; yakni Peradilan Umum (Menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum yang
33
berwewenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkaraperkara perdata, termasuk didalamnya penyelesaian segala
persengketaan tanah sebagai bagian dari masalah-masalah hukum
perdata umumnya, selanjutnya Pengadilan Tata Usaha Negara
(Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata
Usaha Negara) yang berwenang menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara, kemudian Peradilan Agama (Menurut UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama) yang
berwenang menyelesaikan sengketa tanah, diantaranya karena
akibat Hukum (pewarisan).
b. Menurut Non Peradilan(Non Ligitasi)
Penyelesaian sengketa atau konflik di luar Pengadilan (Non
Peradilan/Non Ligitasi), lebih dikenal dengan istilah Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution
yang disingkat ADR (Joni Emirzon, 2003:37).
Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbirase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS),
mengartikan APS sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para
pihak untuk dilaksanakan dengan itikat baik. Kesepakatan tersebut
wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib
34
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.
Adapun
bentuk-bentuk
alternatif
penyelesaian
konflik/
sengketa dapat dikemukakan pendapatnya Ralf Dahrendorl dalam
Sarjita (2005:28-42), yaitu:
Pertama, bentuk konsiliasi (conciliation). Dalam bentuk ini
konflik/sengketa
diselesaikan
melalui
parlemen
atau
kursi
parlemen, kedua belah pihak berdiskusi dan berdebat secara
terbuka atau bebas untuk mencapai kesepakatan.
Kedua, bentuk mediasi (mediation) yaitu kedua belah pihak
sepakat
mencari
nasehat
dari
pihak
ketiga.
Penyelesaian
konflik/sengketa melalui bentuk ini, atas kesepakatan kedua belah
pihak yang bersengketa, masalahnya akan diselesaikan melalui
bantuan seseorang atau penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator. Pihak ketiga yang memberikan bantuan ini harus bersifat
netral dan tidak memihak (independent). Mediator berkewajiban
melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan
kemauan para pihak.
Ketiga, bentuk arbitran artinya kedua pihak bersepakat untuk
mendapatkan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar
(penyelesaian) bagi konflik/sengketa. Menurut pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitran dan
35
Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase (arbitran) adalah cara
penyelesaian suatu perkara perdata diluar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa (Joni Emirzon, 2009:97).
Keempat, bentuk musyawarah (negosiasi) adalah sebagai
suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepatan bersama
atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Kemudian
Joni Emirzon (2000:44) mengistilahkan negosasi menurut hukum
adat, yakni berunding atau bermusyawarah.
2.1.4 Tindakan Pemerintah
Menurut
van
Vollenhoven,
tindakan
pemerintah
adalah
pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan
tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan. Sedangkan Lemaire
menyebutkan tindakan Pemerintah merupakan tindakan menyelenggar
akan kesejahteraan umum oleh pemerintah. Tujuan dari tindakan
pemerintah tersebut adalah untuk memperhatikan kepentingan seluruh
rakyatnya. Pemerintah merupakan subjek hukum, sebagai subjek
hukum pemerintah juga mempunyai tindakan, baik tindakan nyata
maupun tindakan hukum, tindakan ini tidak terlepas dari tugasnya
dalam rangka menyelenggarakan kepentingan umum.
36
Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak ada relevansinya
dengan hukum dan oleh sebab itu tidak menimbulkan akibat hukum,
sedangkan tindakan hukum adalah tindakan yang berdasarkan
sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum. Atau juga bisa dikatakan,
bahwa tindakan hukum merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban. Dengan kata lain, akibat-akibat
hukum itu dapat berupa hal-hal berikut, yaitu pertama, menimbulkan
perubahan hak, kewajiban dan kewenangan yang ada; kedua,
menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau
objek hukum yang ada; dan ketiga, terdapat hak-hak, kewajiban,
kewenangan ataupun status tertentu yang ditetapkan.
Pada intinya, tindakan Pemerintah adalah perbuatan nyata
Pemerintah
dalam
melakukan
tugasnya
untuk
melaksanakan
kesejahteraan umum, dan dilakukan secara sepihak, baik berdasarkan
peraturan yang ada maupun hanya peraturan kebijakan saja.
Seharusnya tindakan pemerintah tersebut tidak boleh mengandung
cacat seperti kekhilafan, penipuan, paksaan dan lain-lain yang
menyebabkan akibat hukum yang tidak sah maupun merenggut hakhak rakyatnya. Di samping itu, tindakan hukum tersebut tidak boleh
juga bertentangan dengan hukum yang berlaku, agar tindakan hukum
tersebut tidak batal atau dibatalkan.
37
2.1.5 Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang
bagian
kewenangan
pemerintah
dibidang
pertanahan
yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut
antara lain: pemberian izin lokasi; penyelengaraan pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian sengketa tanah
garapan; penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah
untuk pembagunan; penetapan subjek dan objek redistribusi tanah,
serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; pemanfaatan dan
penyelesaian
tanah
kosong;
pemberian
izin
membuka
tanah;
perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden tersebut,
ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2
Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan
Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tersebut diatur secara rinci
tentang kewenangan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota.
38
Dari
muatan-muatan
pemerintah
dan
kewenangan,
keputusan
dalam
undang-undang
presiden
pelaksanaannya
ataupun
yang
dapat
peraturan
terdapat
dituangkan
delegasi
dalam
peraturan daerah (perda) yang disesuaikan dengan daerah masingmasing. Khusus untuk masalah-masalah teknis yang dapat berubah
dari waktu ke waktu, pelaksanaan Perda dapat dituangkan dalam
keputusan kepala daerah setempat.
Sementara itu, kewenangan pemerintah daerah dibidang
partanahan dikhususkan pada pelaksanan hukum dan kebijakan
tersebut
dan
hal-hal yang benar-benar paling diketahui oleh
pemerintah daerah dan sudah diatur oleh peraturan perundangundangan yang ada, yang meliputi sebagai berikut.
a. Pengaturan, penguasan tanah, dan tata ruang
1) Izin lokasi, pengaturan persedian, peruntukan
2) Penyelesaian tanah garapan
3) Wilde occupatie penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak
berhak
4) Penyelasaian ganti rugi dalam pengadaan tanah
5) Penyelesaian dan penetapan Hak Ulayat masyarakat hukum
adat
6) Penyelesaian tanah terlantar
39
7) Pemanfaatan lahan tidur
8) Pengaturan reklamasi
9) Penetapan
objek
subjek
redistribusi
Landreform
tanah
kelebihan absente
10) Penetapan harga dasar tanah
11) Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil (tanah
pertanian)
b. Hal-hal lain berkaitan dengan tanah
1) Penetapan nilai objek pajak bumi dan bangunan
2) Izin mendirikan bangunan
3) Izin usaha
4) Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman
modal
5) Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai
bangunan
6) Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun (UndangUndangan Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman jo Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999)
c. Hal-hal yang berkaitan dengan keuangan
1) Mendapat bagian dari uang pemasukan dari pemberian hak
atas tanah sebesar 80% dari total pemasukan
40
2) Mendapat bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar
80% untuk daerah dimana BPHTB dan PPh diperoleh,
sedangkan sebesar 20 persen didistribusikan/dibagian kepada
daerah-daerah lain sebagai subsidi silang secara merata.
a. Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Pertanahan
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang
dibagi bersama antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Adapun urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter,
dan fiskal nasional,serta agama.
Berikut ini sejumlah kewenangan bidang pertanahan oleh
Pemerintah
Pusat
yang
termuat
dalam
Lampiran
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
41
Dalam penataan ruang, wewenang pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan penataan ruangan meliputi:
1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanan
penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota),
serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan stategis
nasional, provinsi dan kabupaten/kota;
2. Pelaksanan penataan wilayah nasional;
3. Pelaksanan penataan ruang kawasan stategis nasional;
4. Kerja sama penataan ruang antar Negara dan pemfasilitasan kerja
sama penatan ruang antar provinsi.
Wewenang pemerintah pusat dalam pelaksanaan penataan
ruang nasional meliputi:
1. Perencanan tata ruang wilayah nasional;
2. Pemanfaat ruang wilayah nasional;
3. Pengendalian Pemanfaat ruang wilayah nasional.
Wewenang pemerintah pusat dalam pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis nasional meliputi:
1. Penetapan kawasan strategis nasional;
2. Perencanan tata ruang kawasan strategis nasional;
3. Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional;
4. Pengendalian Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
42
b. Kewenangan Pemerintah Provinsi di Bidang Pertanahan
Gubernur di samping sebagai kepala daerah provinsi berfungsi
pula selaku wakil pemerintahan di daerah dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan
tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada
strata pemerintahan kabupaten dan kota.
Kewenangan gubernur tersebut bertujuan untuk pemberdayaan
masyarakat lokal, bukan sebaliknya untuk melakukan sentralisasi
kekuasaan pemerintah provinsi. Maka terbuka keseimbangan antara
kepentingan yang bersifat nasional kepentingan regional dan
kepentingan yang bersifat lokal.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah mempertegas kewenangan gubernur agar fungsi sebagai
kepala otonom dan wakil pemerintah pusat dapat berjalan secara
efektif. Jika pemerintah pusat memiliki kewenangan standar, norma,
dan pedoman nasional, provinsi memiliki kewenangan yang bersifat
lintas kabupaten/kota dan koordinasi penyelenggaraan kewenangan
di wilayah provinsi itu. Sementara itu, kabupaten/kota memiliki
kewenangan mengatur dan mengurus dalam bidang kewenangan
yang dimiliki berdasarkan standard dan norma dari pusat dan
provinsi.
43
Berdasarkan
Pasal
6
Pengaturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, pemerintahan daerah provinsi
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan
kriteria pembagian urusan pemerintahan urusan wajib dan urusan
pilihan.
Berikut ini sejumlah kewenangan bidang pertanahan oleh
Pemerintah Provinsi yang termuat dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam penataan ruang, wewenang pemerintah daerah provinsi
dalam penyelenggaraan penataan ruangan meliputi:
1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanan
penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan stategis provinsi
dan kabupaten/kota;
2. Pelaksanan penataan wilayah provinsi;
3. Pelaksanan penataan ruang kawasan stategis provinsi;
4. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja
sama penatan ruang antarkabupaten/kota.
44
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi meliputi:
1. Perencanan tata ruang wilayah provinsi;
2. Pemanfaat ruang wilayah provinsi;
3. Pengendalian Pemanfaat ruang wilayah provinsi.
Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi, pemerintah
daerah provinsi melaksanakan:
1. Penetapan kawasan strategis provinsi;
2. Perencanan tata ruang kawasan strategis provinsi;
3. Pemanfaat ruang kawasan strategis provinsi;
4. Pengendalian Pemanfaat ruang kawasan strategis provinsi.
c. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan
Pembagian kewenangan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota merupakan
persoalan krusial dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pembagian
urusan tersebut yang belum tuntas dalam beberapa tahun terakhir
sejak bergulirnya era otonomi daerah memisahkan wilayah abu-abu
yang kerap memicu ketidakharmonisan hubungan antara Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Permasalahan ini telah coba diatasi dengan ditertibkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
45
Namun, tetap tidak berjalan dengan efektif khususnya mengenai
kewenangan bidang pertanahan yang merupakan salah satu bidang
yang paling strategis. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pada
tanggal 9 Juli 2007 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan
menyelenggarakan
Daerah,
urusan
pemerintahan
pemerintahan
daerah
yang
menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintah yang
menjadi
kewenangan
daerah
tersebut,
pemerintah
daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan
desentralisasi
mensyaratkan
pembagian
urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintahan
daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya
menjadi
kewenangan
pemerintah
dan
urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan dan konkuren. Urusan pemerintahan yang
46
dapat
dikelola
secara
bersama
antartingkatan
dan
susunan
pemerintahan dan konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan
selain urusan pemerintahan yang menjadi sepenuhnya urusan
pemerintah.
Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran
bahwa
selalu
terdapat
sepenuhnya/tetap
berbagai
menjadi
urusan
kewenangan
pemerintahan
pemerintah.
yang
Urusan
pemerintah tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup
bangsa dan Negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan
dimaksud meliputi: politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat
diplomatik dan merujuk warga Negara untuk duduk dalam lembaga
internasional, menetapkan kebijakan luar negari, melakukan perjanjian
dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri,
dan sebaliknya; pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk
angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan
Negara atau sebagian wilayah Negara dalam keadaan bahaya,
membangun dan mengembangkan sistem pertahanan Negara dan
persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara
bagi setiap warga Negara dan sebagainya; keamanan misalnya
mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan
keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum
Negara, menindak setiap kelompok atau organisasi, yang kegiatannya
47
menggangu keamanan Negara dan sebagainya; moneter misalnya
mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan
kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebaliknya;
yustisi misalnya mendirikan lembaga pengadilan, mengangkat hakim
dan
jaksa,
mendirikan
lembaga
pemasyarakatan,
menetapkan
kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti,
abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan lain yang berskala nasional dan lain sebagainya; dan
agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku
secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu
agama,
menetapkan
suatu
kebijakan
dalam
penyelenggaraan
kehidupan keagamaan dan sebaliknya; dan bagian tertentu urusan
pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada
daerah.
Disamping itu, terdapat bagian, urusan pemerintah yang bersifat
concurrent, artinya urusan pemerintah yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara
pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan
yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah; ada bagian urusan yang diserahkan kepada
provinsi;
dan
ada
bagian
urusan
yang
diserahkan
kepada
kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang
48
concurrent secara proposional antara pemerintah, daerah provinsi,
daerah kabupaten dan kota, disusunlah kriteria yang meliputi:
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan
keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat
pemerintah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan
wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintah wajib adalah suatu
urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti
pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal,
prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan khasan
daerah.
Dalam
hal
penyelenggaran
penataan
ruang,
wewenang
pemerintah kabupaten/kota meliputi:
1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan stategis kabupaten/kota;
2. Pelaksanan penataan wilayah kabupaten/kota;
3. Pelaksanan penataan ruang kawasan stategis kabupaten/kota;
4. Kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang nasional meliputi:
49
1. Perencanan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
2. Pemanfaat ruang wilayah kabupaten/kota;
3. Pengendalian Pemanfaat ruang wilayah kabupaten/kota.
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota meliputi:
1. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
2. Perencanan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
3. Pemanfaat ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
4. Pengendalian Pemanfaat ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Dalam rangka menyerakan kewenangan pertanahan pada
pemerintah kabupaten/kota, perlu kiranya dipahami makna politik
pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar, politik pertanahan
lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintahan lokal dalam rangka
penataan tata guna tanah bagi kehidupan sosial maupun ekonomi
guna untuk memenuhi interaksi antarindividu di daerah. Pengaturan ini
meliputi pembentukan zona ekonomi, alokasi tanah untuk kepentingan
sosial, penetapan instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan
terhadap harga pasar tanah dan pencadangan terhadap tanah.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota terhadap tata guna tanah
tersebut dalam rangka perencanaan ke depan agar secara sosial
maupun ekonomis dapat bertahan dalam menghadapi ancaman50
ancaman ke depan. Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus
dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota agar problema alokasi
sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dapat diwujudkan
untuk
kemaslahatan
rakyat
setempat.
Pengaturan
ini
harus
diintergasikan dengan sistem lainnya pada pemerintah kabupaten/kota
seperti sistem sosial, sistem perekonomian, sistem pendidikan, dan
lainnya.
Kewenangan
semacam
ini memang
pada
tempatnya
diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan
pemerintah
pusat
tidak
mampu
menjangkau
setiap
detail
permasalahan tersebut.
Kenyataan ini menyebabkan bahwa politik pertanahan tidak
boleh terlepas dari kerangka penyelenggaraan pemerintahan secara
nasional sebagai perwujudan
Indonesia.
Perbedaan
dari Negara
secara
teknis
Kesatuan
mengingat
Republik
perbedaan
karakteristik pada masing-masing daerah memang dimungkinkan,
namun tetap mempertahankan semangat hukum nasional. Disamping
itu, tetap dibutuhkan suatu badan yang melakukan supervisi terhadap
administrasi pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah agar
sesuai dengan kerangka kebijakan nasional. Hal ini diperlukan agar
terciptanya tata tertib hukum pertanahan, tertib administrasi, tertib
penggunaan,
tertib
pemeliharaan,
dan
pertimbangan
wawasan
lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan semestinya.
51
2.2 Kerangka Konseptual
Tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting
didalam
kehidupan
masyarakat
di
Indonesia,
terlebih
lagi
bagi
masyarakat yang mengantungkan hidup pada hasil pertanian. Tanah
berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal
dan tanah juga memberikan penghidupan baginya.
Berdasarkan pengertian dan fungsi tanah diatas, aktivitas yang
dilaksanakan
diatas
tanah
sebagai
sarana
untuk
meningkatkan
kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya.
Sengketa tanah merupakan masalah hukum pemegang hak atas
tanah
mengadukan
suatu
pihak
(orang
atau
badan)
yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Muncul
sengketa
tanah
merupakan
konsekunsi
dari
laju
pembangunan demi mewujudkan program pemerintah dan meniadakan
hak orang lain atas tanah tersebut, sehingga menimbulkan benturan
kepentingan bagi kedua belah pihak yang kemudian memicu munculnya
sengketa tanah. Jenis sengketa tanah yang seringkali terjadi dalam
kehidupan masyarakat antara lain mengenai sengketa waris, sengketa
52
hak, sengketa batas, sengketa peralihan hak, sengketa pembebasan
tanah, sengketa sertifikat ganda.
Penyebab terjadi sengketa tanah sangat beragam, secara garis
besarnya antara lain: kurang tertibnya administrasi dan manajemen
pertanahan (Badan Pertanahan Kabupaten dan instansi koordinasi yang
terkait); kurang maksimalnya penerapan peraturan di bidang pertanahan.
Proses penyelesaian sengketa tanah antara pemerintah kota dan
masyarakat dilakukan melalui peradilan/ligitasi disebabkan pemilikan
bukti-bukti sebagai pemegang hak atas tanah yaitu peta tanah milik oleh
pewaris tanah dan pemerintah miliki sertifikat hak pengelolaan hingga
perlu diselesaikan melalui jalur hukum untuk membukti bahwa siapakah
yang berhak atas tanah demi mewujudkan keadilan bagi kedua belah
pihak.
Dalam penyelesaian kasus tersebut didasarkan pada asas-asas
pemerintahan
yang
baik
seperti:
asas
kepastian
hukum,
asas
kepentingan umum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas.
53
Skema Kerangka Konseptual
Landasan hukum :




Pancasila
Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agrarian dan
pengelolaan sumber daya alam
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agrarian,
Peraturan Perundang-Undang lain dan Peraturan PerundangUndangan Pelaksananya.
tanah
Faktor
Penyebab
Sengketa
Sengketa Tanah & Jenisnya
Penyelesaian Sengketa Tanah
Litigasi
Non Litigasi
Non Litigasi
nah
Peradilan Umum
PTUN
Negosiasi
Konsiliasi
Mediasi
Arbitrase
Pemutusan kepastian hak milik atas tanah yang berpedoman
pada peraturan yang berlaku sesuai dengan hukum keagraria
Keterangan:
Diteliti:
Tidak ditelit:
54
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
3.1 KOTA KOTAMOBAGU
3.1.1 Letak Wilayah
Lokasi penelitian difokuskan pada Kelurahan Gogagoman
Kecamatan Kotamobagu Barat Kota-Kotamobagu, dengan demikian,
terlebih dahulu digambarkan wilayah Kota Kotamobagu. Berdasarkan
data sekunder yang diperoleh pada Kantor Kecamatan Kotamobagu
Barat, diketahui bahwa Kota Kotamobagu merupakan Kotamadya.
Kota Kotamobagu secara geografis terletak antara 0°30’-1°0’ lintang
utara dan 123°-124° Bujur Timur.
Luas wilayah Kota kotamobagu adalah 184,33 kilometer persegi
berbatasan sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow
(Kecamatan Modayag dan Kecamatan Lolayan);
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Modayag Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur;
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lolayan
Kabupaten Bolaang Mongondow;
55
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Passi Barat
Kabupaten Bolaang Mongondow
Kota Kotamobagu merupakan sebuah daerah hasil pemekaran
dari Kabupaten Bolaang Mongondow yang bertujuan untuk memajuka
n daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan,
dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta
kemakmuran rakyat Totabuan. melalui Undang – Undang Pemekaran
Nomor 4 Tahun 2007 dan di resmikan pada Tanggal 23 Mei Tahun
2007 resmi berdiri sebagai daerah otonom . Desa Bolaang terletak di
tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi
tempat kedudukan istana Raja, sedangkan desa Mongondow terletak
sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata
"bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang
dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap,
sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru
tanda kemenangan.
3.1.2 Keadaan Penduduk
Secara administrasi pemerintahan, Kota-Kotamobagu terbagi
menjadi 4 Kecamatan dan 33 Desa/Kelurahan. Adapun demografi
(keadaan penduduk) Kota-Kotamobagu.
56
Komposisi
penduduk Kota
Kotamobagu
didominasi
oleh
penduduk usia produktif 15-65 tahun. Dari komposisi jumlah penduduk
per kelompok umur juga dapat diketahui angka dependency ratio
penduduk Kota kotamobagu sebesar 47,71 yang berarti pada setiap
100 orang penduduk usia produkif menanggung beban secara
ekonomi sekitar 47 orang penduduk usia 0-14 tahun dan diatas 65
tahun.
Tahun 2010 angka kepadatan penduduk Kota kotamobagu
sebesar 582,97 jiwa per km2 yang berarti tiap km2 wilayah Kota
Kotamobagu secara rata-rata dihuni oleh kurang lebih 582 jiwa
penduduk. Angka sex ratio sebesar 104,15 menyatakan bahwa
terdapat 104 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk wanita,
yang juga menggambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki masih
lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk wanita.
57
Sumber data : BPS Kota Kotamobagu
3.1.3 Pendidikan Penduduk
Salah satu penentu nilai kualitas pendidikan adalah ketersediaan
sarana prasarana pendidikan yang ada. Di Kota Kotamobagu tersedia
73 gedung sekolah SD/sederajat, 15 gedung sekolah SLTP/sederajat
dan 17 gedung sekolah SMU/sederajat. Masing-masing dihuni oleh
13.622 murid SD/sederajat, 5.923 murid SLTP/sederajat dan 8.152
murid SLTA/sederajat. Pada jenjang pendidikan TK sampai dengan
SLTP beban seorang tenaga guru secara merata mendidik sekitar 16
58
murid, namun pada jenjang SMU beban seorang tenaga guru lebih se
dikit yaitu mengajar 14 murid.
Kemampuan baca tulis antara laki-laki dan perempuan di Kota
Kotamobagu tinggi, ditunjukkan dengan angka melek huruf masingmasing sebesar 99,47 dan 99,26. Hal ini juga menjadi salah satu
variabel penyumbang tingginya angka IPM Kota Kotamobagu.
Dibandingkan dengan tahun 2008, rata-rata lama sekolah
penduduk Kota Kotamobagu di tahun 2009 meningkat dari 8,85
menjadi 9 tahun atau rata-rata dari mereka baru memutuskan untuk
berhenti sekolah ketika lulus SLTP.
Indikator Pendidikan Kota Kotamobagu
59
Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid di
Kota Kotamobagu, 2010/2011
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dibahas hasil penelitian berupa bentuk sengketa
tanah, penyebab, dan penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang
diperoleh dari lapangan dengan melakuan wawancara kepada subjek
penelitian dan melakukan observasi memperoleh keterangan yang akurat
terkait dengan obyek sengketa.
4.1 PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
4.1.1 Bentuk Sengketa Tanah
Bentuk sengketa tanah yaitu sengketa faktual yang membahas
mengenai pengukuran batas bidang tanah dan surat tanah yang
Menunjukan bukti kepemilikan tanah tersebut selain itu terdapat
sengketa yuridis yang membahas menganai riwayat tanah tersebut
dan sertifikat atas tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan
setempat.
1. Sengketa faktual
Secara umum pengukuran batas bidang tanah adalah
salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi dalam
melakukan suatu pendaftaran tanah atau pun ketika adanya
61
perubahan data akibat terjadinya bencana alam, tanah tersebut
dijual kepada orang lain, diwakafkan, peralihan hak waris tanah
dari seseorang kepada keturunannya. hal ini kutip dari
pernyataan kepala seksi konflik dan perkara yang menyatakan
bahwa:
“Proses pengukuran tanah tentunya harus dilakukan
untuk menghindarkan dari permasalahan batas pemilikan
tanah dengan para pemilih tanah yang lainnya dan
sebagai salah satu tahap pendaftaran tanah.”
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan
kepala seksi konflik dan perkara pengukuran batas bidang
tanah sangat penting dalam memenuhi syarat administrisi
dalam pendaftaran tanah.
2. Sengketa yuridis
Sengketa yuridis membahas tentang riwayat tanah, dan
sertifikat tanah, yaitu :
a. Riwayat tanah merupakan penggambaran asal usul tanah
yang menjadi hak dari seseorang atau suatu badan.
Menurut Drs. Dolfie Paath Manoppo bahwa:
“Riwayat tanah pasar serasi sebelumnya adalah tanah
pasini yang merupakan tanah warisan dikelola oleh
Balangket Mongodompit untuk lahan pertanian (sawah)
dengan luas 18.155 M2, dan kemudian pada tahun 1977
diambil alih secara paksa oleh Pemerintah Kabupaten
Bolaang Mongondow dengan alasan untuk memenuhi
program pemerintah demi kemakmuran dan kesejahteraan
62
masyarakat dan kemudian di atas tanah tersebut dibangun
pasar dan sarana lainnya oleh Pemerintah Kabupaten dan
saat ini telah berubah menjadi Pasar Tradisional Serasi.”
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari
Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu yang menyatakan
bahwa:
“Tanah yang dijadikan pasar serasi adalah tanah negara
yang menjadi aset daerah Kabupaten Bolaang Mongondow,
karena menurut sejarah Bolaang Mongondow adalah bekas
kerajaan sehingga tanah-tanah yang ada diwilayah Bolaang
Mongondow termasuk tanah swapraja.”
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis
terdapat perbedaan pendapat mengenai riwayat tanah yang
sama-sama dinyakini kebenarannya.
b. Sertifikat tanah merupakan buku
ukurnya
yang
dengan
suatu
setelah
kertas
dijilid
tanah
satu
sampul
dan
surat
bersama-sama
yang
bentuknya
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sertifikat
Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman
Tahun 1993 untuk pembuktian sertifikat tanah maka
penulis melakukan wawancara ke Kantor Pertanahan
dengan menemui Tris Yopit SH selaku kepala seksi
konflik dan perkara menyatakan bahwa:
“Pemerintah Kota Kotamobagu memiliki Sertifikat Hak
Pengelolaan atas nama Pemerintah Kabupaten
Bolaang Mongondow yang kemudian setelah terjadi
63
pemekaran wilayah pemerintahan daerah kota maka
aset pemilikan daerah diserahkan ke Pemerintah Kota
Kotamobagu.”
Beliau juga menyataan bahwa:
“Akan tetapi data dalam sertifikat tersebut masih atas
nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow
dan belum ada data baru mengenai sertifikat tersebut
karena wilayah Kota Kotamobagu baru melaksanakan
pemerintahan selama 2 tahun."
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis
dengan Tris Yopit SH selaku kepala seksi konflik dan
perdata memberikan informasi data sertifikat tersebut
masih dalam bentuk data yang lama karena belum ada
perubahan walaupun telah dialihkan ke Pemerintah
Kota.
4.1.2 Penyebab Sengketa Tanah
Penyebab terjadinya sengketa tanah antara pemerintah dengan
ahli waris tanah akibat adanya Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor
1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi
Tanggal 27 Maret Tahun 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M 2
atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah
dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu
Tanggal 5 Agustus 2011, yang menurut pernyataan Drs. Dolfie Paat
Manoppo bahwa:
64
“Berdasarkan penerbitan sertifikat tersebut Pemerintah Kota
Kotamobagu dan telah bekerja sama dengan investor dari Lippo
Group melakukan membongkar pasar serasi juga telah
melakukan eksekusi akan tanah milik para ahli waris tersebut.”
Dari hasil wawancara dengan Drs. Dolfie Paath Manoppo
didapatkan informasi mengapa mereka mengadakan gugatan
terhadap pemerintah kota atas sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan.
Selain itu terdapat bentrokan antara polisi pamong praja
dengan
para
pedagangan
dalam
kegiatan
penggusuran
para
pedagangan dari pasar dengan cara memagari pasar tersebut.
Pemagaran pasar dilakukan polisi pamong praja atas perintah dari
pemerintah
kota
kemudian
mereka
berhadapan
dengan
para
pedagangan yang tidak setuju untuk diadakan penggusuran tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para pedagangan pasar
menyatakan bahwa tempat relokasi yang disediakan oleh pemerintah
kota tidak layak karena kios berukuran kecil, jumlah kios sediakan
hanya berjumlah 17 kios sedangkan jumlah pedagangan 450 orang
dan letak lokasi sangat jauh dari pusat kota dengan ongkos
transportasi yang sangat mahal.
65
4.1.3 Penyelesaian Sengketa tanah
Penyelesaian kasus sengketa dilakukan melalui beberapa
tahapan
yaitu
Mediasi,
Pengadilan
Negeri
Kotamobagu
Dan
Pengadilan Tata Usaha Negara Manado.
1. Mediasi pada Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu
Persoalan
sengketa
tanah
coba
diselesaikan
melalui
mediasi sebagai tahapan dalam penyelesaian sengketa yang
terjadi diantara pemerintah kota dan ahli waris yang berakhir tanpa
ada kepuasan bagi kedua belah pihak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli waris dan bagian
hukum di Kantor Walikota Kota Kotamobagu yang menyatakan
bahwa:
“Mediasi yang dilakukan hanya dihadiri oleh ketua rukung
tetangga, ketua rukung warga, lurah dan camat sedangkan
pemerintah kota tidak pernah hadir dalam mediasi tersebut
maka mediasi pun berakhir dengan ketidaksepakatan atas
data yang diklarifikasikan informasi/data tersebut.”
Maka kasus tersebut dibawah ke Pengadilan Negeri Kotamo
bagu untuk keadilan bagi hak atas tanah tersebut.
Selain itu terdapat mediasi antara pemerintah kota dan para
pedagangan
dalam
membahas
kegiatan
pemagaran
pasar
dilakukan oleh polisi pamong praja atas perintah dari pemerintah
kota. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pedagangan
66
pasar
didapatkan
informasi
bahwa
kegiatan
mediasi
yang
dilakukan beberapa kali tersebut tidak pernah dihadiri oleh pihak
pemerintah kota maka kasus tersebut untuk mendapat keadilan
dibawah ke Pengadilan Negeri Kotamobagu.
2. Proses Peradilan di Pengadilan Negeri Kotamobagu
Ketika
suatu
usaha
musyawarah
tidak
menemukan
kesepakatan maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa
dapat mengajukan masalah ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan
hakekat budaya asli Bangsa Indonesia dalam konsep dasar yang
mengedepankan kedamaian.
Berdasarkan hasil akhir mediasi antara pemerintah kota
dengan ahli waris yang menyatakan bahwa mediasi yang dilakukan
tidak mendapatkan kesepakatan maka ahli waris melakukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Kotamobagu dengan tuntutan
bahwa sesuai dengan peta tanah milik dan riwayat tanah tersebut
adalah tanah milik keluarga Balangket Mokodompit yang dahulu
diambil paksa oleh pemerintah daerah untuk pembangunan pasar
tradisional, kemudian sekarang pemerintah kota akan melakukan
pembongkar pasar tersebut dengan terlebih dahulu memangari
pasar tersebut untuk mendirikan suatu pasar moderen karena telah
terikat janji dengan pihak investor dari Lippo Group.
67
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari bagian
hukum di Kantor Walikota yang menyatakan bahwa pemerintah
kota melakukan pemagaran pasar tersebut didasarkan pada
kepemilikan atas tanah Negara yang menjadi aset daerah dan
mengenai sengketa atas tanah tersebut terjadi karena ada yang
mengaku sebagai pemilik tanah dari pasar tersebut, dan masalah
ini pemerintah bahwa ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado
untuk membuktikan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan
Gogagoman.
Dari hasil wawancara dengan kedua informan didapatkan
bahwa yang menjadi gugatan ahli waris terhadap pemerintah
adalah bukti Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan
Gogagoman, yang dimiliki oleh pemerintah dan untuk membuktikan
apakah sertifikat tersebut sah atau tidak maka masalah tersebut
dilanjutkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado.
Sedangkan permasalahan bentrokan antara polisi pamong
praja yang berhadapan dengan para pedagangan
belum
terselesaikan maka para pedagangan melalui asosiasi pedagangan
pasar serasi mengajukan gugatan class action terdapat tindakan
pemerintah kota yang melakukan pemagaran yang menyebabkan
bentrokan antara polisi pamong praja dengan para pedagangan
dan pada persidangan terjadi didapatkan informasi bahwa pasar
68
tersebut adalah tanah sengketa antara ahli waris tanah dengan
pemerintah kota yang belum diputuskan siapa pemilik hak sebenar
atas tanah pasar tersebut.
Berdasarkan bukti yang ditunjukan dalam persidangan
tersebut maka Pengadilan Negeri Kotamobagu menyatakan bahwa
tindakan pemerintah kota yang berkali-kali melakukan pemagaran
tanah yang masih berstatus sengketa adalah tindakan salah.
3. Proses Peradilan Sertifikat di Pengadilan Tata Usaha Negara
Pelaksanaan peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara
dilakukan ketika ada gugatan atas suatu keputusan tata usaha
Negara yang membuat kepentingan seseorang dirugikan maka
dapat melakukan gugatan atas keputusan tata usaha Negara
tersebut.
Adanya gugatan berupa Sertifikat Hak Pengelolan Nomor
1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi
Tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M2
atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah
dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu
Tanggal 5 Agustus 2011 berdasarkan atas berita acara serah
terima Nomor 020/Setda KK/06/04/I/2009 tanggal 12 Januari 2009.
Manurut keterangan ahli waris setelah konfirmasikan ke Kantor
Pertanahan menyatakan bahwa:
69
“Kantor Pertanahan tidak menagajukan keberatan terhadap
penunjukan lokasi disampaikan oleh ahli waris.”
Hal senada dinyatakan oleh Kepala Kantor Pertanhan bahwa:
“Lokasi tanah yang diterbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan
Nomor 1 objek sengketa adalah masuk dalam lokasi tanah
yang ditunjuk ahli waris dalam pemeriksaan setempat
tersebut.”
Proses pemeriksaan perkara data yang ada di Kantor
Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow, Sertifikat Hak
Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman saat ini dikuasai oleh
Pemerintah Kota Kotamobagu berdasaran berita acara serah
terima tanggal 12 Januari Nomor 020/SETDAKAB/09/04/I/2009.
Proses pengajuan bukti-bukti surat dari ahli waris tanah
1. Sertifikat Hak Pengelolan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman,
Gambar Situasi tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992
dengan luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten
bolaang Mongondow yang telah dialihkan menjadi atas nama
Pemerintah Kota Kotamobagu tanggal 5 Agustus 2011.
70
2. Peta Tanah milik Balangket Mongondompit Nomor 268 Pensil
12/Nomor 1 dengan luas 18.155 M2 terletak di desa
Gogagoman Kecamatan Kotamobagu.
3. Surat pernyataan dari Drs.H. J.A. Damopolii tertanggal 17 Mei
2011 yang menyatakan bahwa:
“Tanah di pasar inpres yang sekarang menjadi pasar serasi,
sesuai Peta Tanah Milik Nomor 268 Pensil 12/Nomor 1 Tahun
1964 atas nama Balangket Modompit adalah benar tanah bekas
sawah dari kelurahan Balangket Mondompit.”
4. Surat Pernyataan dari Jemmy Ranteng yang merupakan anak dari
Frans Renteng tanggal oktober 2011, Hi. Jossi Mokodompit, SE
yang merupakan salah satu anak dari Mansur Mokodompit, dan
S.H Monoarfa yang merupakan anak dari S. Monoarfa menyatakan
bahwa:
“Tanah di pasar di pasar inpres sekarang menjadi pasar serasi,
sesuai Peta Tanah Milik Nomor 268 Pensil 12/Nomor 1 Tahun 1964
atas nama Balangket Modompit adalah benar tanah bekas sawah
dari kelurahan Balangket Mondompit.”
5. Surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri Kotamobagu Nomor
W19.U3/266/HPDT/2011/PN.KTG tanggal 23 Desember 2011.
6. Surat keterangan silsila keluarga yang menunjukan kepemilikan
tanah.
71
Proses
pengajuan
bukti-bukti
ini
diperkuat
dengan
mendengarkan kesaksian para saksi yang menerangkan hal sebagai
berikut:
1. Menurut Jemmy Rengteng bahwa:
“Setahu saksi tanah tersebut berasal dari tanah warisan
nenek Mokonginta dan memang benar tanah saksi
berbatasan dengan tanah Balangket Mokodompit yang
setahu saksi ditanami padi, karena saksi tinggal berbatasan
dengan tanah Balangket Mokodompit sejak tahun 1970.”
Selain itu terdapat pernyataan tambahan dari Jemmy
Rengteng bahwa:
“Pembangunan pasar dilakukan oleh Tangkudung mantan
Bupati Bolaang Mongondow dan saksi tidak tahu kalau pasar
dibangun sekaligus oleh Tangkudung.”
2. Menurut Lexi Santi bahwa:
“Riwayat tanah sebelumnya adalah persawahan padi milik
dari Balangket Mokondompit dan saya pernah tinggal dengan
Balangket Mokodompit sejak tahun 1965 sampai dengan
tahun1967, dan saksi lupa kapan Balangket Mokodompit
menguasai tanah tersebut.”
Selain itu terdapat pertanyaan mengenai jual beli atas tanah
tersebut, Lexi Santi menyatakan bahwa:
“Saksi tidak tahu jual beli atas tanah tersebut.”
3. Menurut Muhammad Yamin Mokompit yang merupakan anak dari
Mansur Mokodompit menyatakan bahwa:
72
“Saksi mempunyai tanah yang terletak dibagian barat pasar
yang berasal dari orang taunya (Mansur Mokodompit).”
Selain itu terdapat pernyataan tambahan dari Muhammad
Yamin Mokodompit bahwa:
“Pasar dibangun pada 1977 oleh Pemerintah Daerah
Bolaang Mongondow dengan alasan katanya ada yang
menjual tanah tersebut kepada Pemerintah Daerah Bolaang
Mongondow, tetapi saksi tidak tahu kapan tanah tersebut di
jual kepada Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow.”
Dari
observasi
penulis
dipengadilan
terdapat
proses
pengajuan bukti-bukti surat yang ditambahkan dengan kesaksian
para saksi, ternyata tanah tersebut adalah benar tanah milik
Balangket Mokodompit dikelola sebagai tanah persawahan yang
ditanami padi dan pembangunan pasar yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow tanpa didasari atas
penguasaan pemilikan tanah yang jelas selain itu terdapat isu
mengenai jual beli atas tanah tersebut yang tak didapatkan buktibukti penjualannya.
Proses pengajuan bukti-bukti surat dari Kantor Pertanahan
Kabupaten bolaang Mongondow, adalah sebagai berikut:
1. Foto copy keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 90/BPN/92, tentang pemberian hak pengelolaan atas
nama Pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow yang
bermaterai.
73
2. Foto copy buku tanah hak pengelolaan Nomor 1februari 1993
atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu.
3. Surat dari Mason Lumbanraja selaku kuasa dari Drs. Andi Ladu
Manoppo,MM tanggal 5 Agustus 2011 Nomor 143/ML/VIII/2011
perihal permohonan pembuatan surat keterangan pendaftaran
tanah atas kepemilikan tanah gisik pensil 12 Nomor 1 tahun
1964 atas nama Balangket Mokodompit dengan luas kurang
lebih 1,8 Ha.
4. Foto copy surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang
Monondow Nomor 203/13-71.01/VII/2011 tanggal 9 Agustus
2011.
5. Foto copy surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang
Mongondow Nomor 203/13-71.01/VII/2011 tanggal 9 Agustus
2011.
6. Berita acara pengukuran tanggal 4 agustus 2011 dalam rangka
pengukuran Pengembalian Batas Lokasi Pasar serasi.
Proses pengajuan bukti-bukti oleh Kantor Pertanahan serta
mendengarkan kesaksian dari seorang saksi yang bernama
Oltopinus Takasihaeng yang menerangkan bahwa:
“Saksi tahu obyek sengketa adalah Sertifikat Hak
Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman pada 1
Februari 1993, saksi mengukur obyek sengketa pada
74
tanggal 4 Agustus 2011, 5 orang ditugaskan oleh Kepala
Kantor untuk pengembalian batas tanah, dihadiri oleh
pemerintah kota dan saksi kemudian saat itu dibuat berita
acara pengukuran menunjukan batas tanah adalah
pemerintah kota tetapi namanya saksi tidak tahu, pada saat
pengukuran tidak ada yang keberatan dengan kesimpulan
dari pengukuran dilapangan terjadi perbedaan luas,karena
terpotong jalan seluas 152 M2, pada saat pengukuran yang
berbatasan tidak dipanggil hanya objek sengketa
berbatasan dengan pasar ikan, tujuan pengembalian
batasan hanya untuk mencocokkan dengan keadaan
sertifikat obyek sengketa, dalam pengembalian batas
tersebut saksi mengenali orang-orang hadir pada saat itu
sedangkan masyarakat yang berada dilokasi pasar tidak
dilibatkan, saksi bekerja di Kantor Pertanahan Kotamobagu
sejak tahun 1982 tidak tahu terbitnya objek sengketa, pada
saat pengembalian batas, tidak ada pertanyaan-pertanyaan
kepada pengukur, karena suasana waktu itu sedang
memanas, pengukuran pengembalian batas sama dengan
pengukuran proses penerbitan sertifikat.”
Berdasarkan bukti-bukti yang ditunjukan baik oleh ahli waris
atas tanah maupun Kantor Pertanahan dan mendengkarkan
keterangan para saksi serta pertimbangan hakim maka diputuskan
oleh hakim, menyatakan bahwa:
“Fakta-fakta hukum dalam persidangan tersebut maka
Majelis Hakim berpendapat oleh karena dalam persidangan
Sertifikat Pengelolaan Nomor 1 yang menjadi obyek
sengketa terbukti dan menyakinkan diterbitkan diatas tanah
yang diakui kepemilikan oleh ahli waris mempunyai
kepentingan telah dirugikan oleh keputusan tata usaha
Negara dan manggabulkan gugatan para ahli waris.”
Kemudian
Majelis
Hakim
menetapkan
putusan
yang
menyatakan bahwa:
75
“Membatalkan
Sertifikat
Hak
Pengelolaan
Nomor
1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993, Gambar
Situasi tanggal 27 Maret 1992, Nomor: 346/1992, dengan
luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak
menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu dan
mewajibkan kepada Kantor Pertanahan untuk mencabut
Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman,
tanggal 1 Februari 1993, Gambar Situasi tanggal 27 Maret
1992, Nomor: 346/1992, dengan luas 9.730 M2 atas nama
Pemerintah
Kabupaten
Daerah
Tingkat
II
Bolaang
Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama
Pemerintah Kota Kotamobagu serta menghukum untuk
membayar biaya perkara yang ditimbul dalam sengketa
sebesar Rp 2.667.000,-“
4.2 FAKTOR PENYEBAB SENGKETA TANAH
4.2.1 Kepastian Hak Milik
Dalam mencari kepastian hak milik atas tanah tersebut perlu
diadakan suatu penyelidikan dari data yang akan yang disampaikan
76
oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah tersebut.
Hal ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menyelidiki riwayat
tanah tersebut terlebih dahulu dan mencocokan dengan kesaksian
para saksi atas alat bukti yang ditunjukan di persidangan serta
berdasarkan undang-undang yang berlaku juga melalui pertimbangan
hakim maka diputuskan suatu keputusan yang dapat memberikan
keadilan bagi dua belah pihak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang
pada pokoknya menyebutkan dalam suatu daerah yang akan
melakukan pendaftaran tanah sebelumnya tanah tersebut diukur dan
diadakan pengukuran serta mengadakan penyelidikan riwayat bidang
tanah
dan
menetapkan
batas-batasnya,
selanjutnya
setelah
pembuatan peta tanah harus diumumkan di Kantor Kepala Desa
selama 3 (tiga) bulan.
Dari keterangan Jemmy Reteng selaku saksi menyatakan bahwa:
“Sejak tahun 1970 saksi tinggal bersebelahan/berbatasan
dengan tanah milik Balangket Mokodompit dan sekitar tahun 1992
sampai tahun 1993 tidak ada orang dari Kantor Pertanahan Bolaang
Mongondow yang datang untuk mengadakan pengukuran. Selanjutnya
setelah Majelis Hakim memintah warkah terkait dengan berita acara
77
pengukuran, pejabat Kantor pertanahan tidak bisa mengajukannya
meskipun oleh Majelis Hakim diberi kesempatan hingga acara
persidangan selesai.”
Berdasarkan keterangan Jemmy Reteng dengan demikin
Majelis Hakim berpendapat bahwa pejabat Kantor Pertanahan
Kabupaten Bolaang Mongondow tidak pernah melakukan prosedur
sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintan Nomor 10
Tahun 1961 dan terkait berita acara pengukuran yang dilakukan oleh
Kantor Pertanahan Bolaang Mongondow adalah pengukuran ulang
untuk mencocokkan dengan data yang terdahulu yang mana dilakukan
oleh saksi bernama Oltopinus Takasihaeng pada tanggal 4 Agustus
2011, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam penerbitan
Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1 obyek sengketa yang diterbitkan
pada Tahun 1993 sewaktu masih atas nama Pemerintah Kabupaten
Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow, karena seharusnya yang
diajukan sebagai bukti oleh penjabat Kantor Pertanahan adalah berita
acara pengkuran yang terkait dengan Sertifikat Hak Pengelolaan
Nomor 1 obyek sengketa yang diterbitkan pada Tahun 1993. Selain
itu, pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan objek sengketa
didasarkan kepada pemberian hak yang keliru, seharusnya yang
berwenang dalam pemberian hak pengelolaan adalah Menteri Dalam
78
Negeri, bukan Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa
perbuatan
pejabat
Kantor
Pertanahan
Kabupaten
Bolaang
Mongondow yang telah menerbitkan Sertifikat Hak Pengelolan Nomor
1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi
Tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M 2 atas
nama Pemerintah Kabupaten daerah Tingkat II Bolaang Mongondow
yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota
Kotamobagu merupakan perbuatan sewenang-wenang (wellekeur)
dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
4.2.2 Proses Edukasi Permasalahan
Proses
edukasi
merupakan
rangkaian
tindakan
yang
memberikan pengetahuan untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapi hingga didapatkan solusi yang terbaik dalam menyelesaikan
suatu masalah.
Dalam pembuatan surat tanah atau buku tanah perlu ditinjauh
pedoman yang mengatur tata cara penerbitan suatu sertifikat atas
tanah dan pejabat-pejabat yang berhak memberikan hak pengelolaan
79
atas tanah Negara yang dijadikan sebagai hak penguasaan atas tanah
tersebut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
menyebutkan “Atas permohonan yang berhak, maka sesuatu hak atas
tanah didesa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan
secara lengkap dapat pula dibukukan dalam daftar buku tanah. Ketika
membukukan hak tersebut, Kepala Kantor Pendaftaran Tanah harus
disampaikan surat atau surat-surat bukti hak dan keterangan Kepala
Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yang membenarkan surat
atau surat-surat bukti hak. Sedangkan Sertifikat Hak Pengelolaan
Nomor 1 obyek sengketa yang menurut pejabat Kantor Pertanahan
berdiri diatas tanah Negara harus ada pembuktian pendaftaran dan
bukti surat-suratnya, dan tidak serta merta langsung menetapkan
status tanah menjadi tanah Negara. Kemudian meskipun ahli waris
tidak melakukan pendaftaran atas tanah, seharusnya ahli waris adalah
pihak yang diprioritaskan untuk mendapatkan hak atas tanahnya,
karena selain menguasai dengan cara berdagang dan mempunyai
bukti hak berupa Peta Tanah Milik Nomor 268 Pensil 12 Nomor 1
Tahun 1964, sehingga prioritas utama bukan kepada Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow.
80
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965
tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara
dan ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan “Apabila tanah-tanah
Negara selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga
dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak
ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan
dengan
hak
pengelolaan.
Pada
pokoknya
menyebutkan
Hak
Pengelolaan yang dimaksudkan diatas memberikan wewenang
kepadanya untuk menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu
kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh
perusahaan
pemegang
hak
tersebut
yang
meliputi
segi-segi
peruntukan, penggunaan, jangka waktu, dan keuangannya, dengan
ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang
bersangkutan
dilakukan
oleh
pejabat-pejabat
yang
berwenang
menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972
tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, sesuai
dengan peraturan perundangan agrarian yang berlaku.
Dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972
tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah dapat
dicermati bahwa Menteri Dalam Negeri mempunyai wewenang dalam
memberian
Hak
atas
Tanah
terhadap
hak
pengelolaan,
jika
81
dihubungkan dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor: 90/HPL/BPN/92 tanggal 11 Juli 1992 tentang Pemberian Hak
Pengelolaan atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II
Bolaang
Mongondow,
sudah
jelas
bertolak
belakang
dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut,
seharusnya
yang
berwenang
dalam
memberi
keputusan
hak
pengelolaan adalah Menteri Dalam Negeri, bukan Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
4.2.3 Transaksi Dalam Penggunaan Lahan
Dalam membangunan Kota Kotamobagu yang baru berdiri
selama dua tahun pemerintah kota telah menyusun program rencana
pembangunan daerah otonomi yang termasud didalam adalah
pembangunan pasar modern diatas tanah pasar serasi. Hal ini ditandai
dengan
adanya
Understanding
nota
(MoU)
kesepakatan
yang
terjadi
atau
antara
Memorandum
Pemerintah
of
Kota
Kotamobagu dengan investor dari Lippo Group sehingga menimbulkan
gugatan kepada Pemerintah Kota Kotamobagu yang menyatakan
bahwa:
“Kami menuntut pemerintah kota kotamobagu atas kebijakan
yang akan membangun hypermart di lokasi pasar serasi dan
tidak mencari lahan kosong untuk membangun hypermart
karena banyak lahan kosong yang dapat digunakan.”
82
Senada dengan hal ini terdapat masalah Sertifikat atas tanah
yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Kotamobagu yang menyatakan
bahwa:
“ Terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan ahli waris sangat dirugikan jika obyek gugatan dalam hal
ini Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman,
tanggal 1 Februari 1993 Gambaran Situasi tanggal 27 Maret 1992
Nomor 346/1992 dengan luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow yang dialihkan hak
menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu tersebut
dilaksanakan, karena beralas hak akan Sertifikat Hak Pengelolaan
Nomor 1/Kelurahan Gogagoman tersebut akan bekerjasama dengan
Lippo Group (investor), akan membongkar pasar serasi, bahkan telah
dilaksanakan eksekusi akan tanah milik ahli waris tersebut, maka ahli
waris memohon agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang menjadi obyek gugatan tersebut ditunda selama pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan
Pengadilan yang memperolah kekuatan hukum tetap.”
Berdasarkan wawancara dengan kedua informan diatas bahwa
terdapat transakasi atas lahan pasar serasi menyebabkan tuntutan para ahli
waris dan para pedagangan akan penggunaan lahan pasar serasi untuk
pembangunan pasar moderen.
83
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan pada bab
terdahulu, didapatkan analisis kesimpulan sebagai berikut :
5.1.1 Proses Penyelesaian Sengketa Tanah
Dalam proses penyelesaian sengketa tanah, ada beberapa hal
yang perlu diketahui yaitu bentuk sengketa tanah, penyebab sengketa
tanah serta penyelesaian sengketa tanah yang membutuhkan waktu
yang panjang.
a. Bentuk Sengketa Tanah
Bentuk sengketa tanah terbagi atas dua bentuk yang harus
diketahui yaitu sengketa faktual dan sengketa yuridis.
a). Sengketa Faktual
Sengketa faktual merupakan pengukuran batas bidang
tanah sebagai persyaratan administrasi yang harus dipenuhi dalam
membutan suatu pendaftaran tanah atau pun ketika adanya
perubahan data akibat terjadinya bencana alam, tanah tersebut
84
dijual kepada orang lain, diwakafkan, peralihan hak waris tanah
dari seseorang kepada keturunannya.
b) Sengketa Yuridis
Sengketa yuridis membahas tentang riwayah tanah yang
menggambarkan asal-usul tanah tersebut serta sertifikat hak atas
tanah.
b. Penyebab Sengketa Tanah
Penyebab terjadinya sengketa tanah antara pemerintah
dengan ahli waris tanah akibat adanya Sertifikat Hak Pengelolaan
Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar
Situasi Tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730
M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang
telah
dialihkan
hak
menjadi
atas
nama
Pemerintah
Kota
Kotamobagu tanggal 5 agustus 2011, berdasarkan atas berita acara
serah terima Nomor 020/Setda KK/06/04/I/2009 tanggal 12 Januari
2009.
Selain itu terdapat bentrokan antara polisi pamong praja
dengan para pedagangan dalam kegiatan penggusuran para
pedagangan dari pasar dengan cara memagari pasar tersebut.
Pemagaran pasar dilakukan polisi pamong praja atas perintah dari
pemerintah kota kemudian mereka berhadapan dengan para
85
pedagangan yang tidak setuju untuk diadakan penggusuran
tersebut.
c. Penyelesaian Sengketa Tanah
Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian sengketa
tanah
harus
dilaksanakan
melalui
beberapa
tahapan
yaitu
pelaksanaan mediasi, proses peradilan di Pengadilan Negeri
Kotamobagu dan proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha
Negara Menado. Karena terdapat masalah sangat krusial maka
masalah ini dibawah hingga tingkat pengadilan.
1. Sertifikat Hak Pengelolan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman
Tanggal 1 Februari Tahun 1993 Gambar Situasi 27 Maret
Tahun1992 Nomor 336/1992 dengan luas 9730 M2 atas nama
Pemerintah
Kabupaten
Bolaang
Mongondow
yang
telah
dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu
Tanggal 5 Agustus 2011, berdasarkan atas berita acara serah
terima Nomor 020/Setda KK/06/04/I/2009 tanggal 12 Januari
2009.
2. Proses penggururan para pedagangan pasar serasi dalam
rangka
kerjasama Pemerintah
Kota Kotamobagu
dengan
investor dari Lippo Group untuk pembangunan hypermart
dilokasi tanah pasar serasi, dengan memerintahkan satuan polisi
86
pamong praja untuk memagari pasar tersebut sebelum diadakan
eksekusi pembongkaran pasar tersebut.
Dari hasil proses pemeriksaan bukti-bukti yang ditunjukkan
dalam
pengadilan
oleh
kedua
belah
pihak
dan
setelah
mendengarkan kesaksian para saksi dipersidangan didapatkan
fakta-fakta
yang
mengukapkan
bahwa
pemerintah
bersalah
melakukan pemegaran pada lokasi pasar menjadi obyek sengketa
pada gugatan para ahli waris terhadap Sertifikat Hak Pengelolaan
yang ternyata terbukti milik Balangket Mokodompit, kemudian
didapatkan bukti bahwa Sertifikat Hak Pengelolaan tersebut tidak
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan ternyata
berdasarkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional sehingga
menurut pengadilan sertifikat tersebut dibatalkan dengan meminta
pejabat kantor pertanahan untuk mengembalikan hak atas tanah
kepada para ahli waris.
5.1.2 Faktor Penyebab Sengketa Tanah
Faktor yang mempengaruhi sengketa tanah adalah sebagai
berikut:
1. Kepastian hak atas milik
2. Proses edukasi permasalahan
3. Transaksi dalam penggunaan lahan
87
5.2 SARAN-SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesesuaian dengan kesimpulan
diatas, maka adapun saran-saran yang berkaitan dengan proses
penyelesaian sengketa tanah, adalah sebagai beriku:
1. Sebelum diadakan penerbitan sertifikat atas tanah oleh kantor
pertanahan perlu diketahui riwayat tanah terlebih dahulu sehingga
diketahui siapa yang berhak atas tanah tersebut, juga dalam
penerbitan
sertifikat
hak
pengolaan
harus
berdasarkan
surat
keputusan yang beri oleh Menteri Dalam Negeri karena yang
wewenang memberi hak pengelolan adalah Menteri Dalam Negeri
sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun
1972, dan wajib mengembalikan hak atas tanah ketangan para ahli
waris hak atas tanah tersebut.
2. Diharapkan dengan adanya kasus ini menjadi pembelajaran bagi
pemerintahan selanjut agar tidak mengulangi kesalahan sama yang
dilakukan oleh pemerintah masa lalu mengambil alih secara paksa
hak atas tanah yang dimiliki oleh Balangket Mokodompit
88
Download