BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah bagi hidup dan penghidupan manusia merupakan “condition sine qua non” yang artinya “prasyarat atas tanah bagi kehidupan manusia”. Perkembangan hubungan manusia dengan tanah semakin lama semakin luas dan kompleks dimulai dengan tahap penguasaan individu terhadap tanah sampai corak yang diciptakan oleh Negara. Di Indonesia, secara konstitusional masalah tanah sebagai permukaan bumi, diatur dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dari bunyi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa pasal 33 ayat (3), berkaitan erat dengan penguasaan tanah. Tanah merupakan permukaan bumi yang bisa dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. 1 Hak menguasai atas tanah tersebut pelaksanaanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan bentuk Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan. “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.” Namun mengingat luas wilayah, hasil guna dan daya guna, maka wewenang pemerintah pusat tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan pada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah. “Hak menguasai dari Negara tersebut, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat apabila di perlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah” Kedudukan daerah swatantra dalam pelaksanaan hak menguasai atas tanah tersebut sebagai badan penguasa. Sedangkan pelimpahan wewenangnya berbentuk pembantuan. Dari salah satu konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria diwajibkan mengatur pemilikan dan penggunaan tanah, sehingga semua tanah diseluruh wilayah kadaulatan bangsa dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun gotong royong. Pokok pikiran bahwa Negara hanya menguasai tanah bukan memiliki tanah itu menunjukan bahwa hubungan hukum antara Negara 2 dengan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dengan “Hubungan Kekuasaan” menurut sistem Hukum Agraria Nasional menunjukkan adanya kedaulatan rakyat atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa Negara Republik Indonesia yang diProklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu Gezagorganisatie dalam bahasa belanda adalah otoritas organisasi, artinya tertinggi mempunyai fungsi mengatur dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan fungsi pelaksanaan/fungsi pemerintah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti yang diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993, jo Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 yang berbunyi: “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Selain itu: ”pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau menyerahkan hak atas tanah”. Sehingga berbunyi sebagai berikut: ”pelepasan ataau penyerahan hak atas tanah dilakukan 3 berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah”. Ditambahkan peraturan yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila yang berhak atas tanah atau benda benda yang ada diatas haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam keputusan presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada pengadilan tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya”. Pemerintah Kota Kotamobagu tampaknya untuk sementara waktu harus mengurungkan niat untuk merelokasi Pasar Serasi. Pasalnya, Pemerintah Kota sedang menghadapi dua gugatan sekaligus di Pengadilan Negeri (PN) Kotamobagu, yakni gugatan class action dari pihak pedagang yang menolak direlokasi, dan gugatan dari pihak yang mengaku sebagai pewaris sah tanah pasar serasi. Pihak pedagang melalui Asosiasi Pedagang Pasar Serasi telah melayangkan gugatan class action mereka sejak beberapa waktu lalu. Dan, pihak pewaris pun telah melakukan hal yang sama dengan menunjukkan bukti kepemilikan tanah di Pengadilan Negeri Kotamobagu. 4 “Sidang gugatan baik class action maupun ahli waris masih berjalan, mungkin bisa memakan waktu berbulan-bulan untuk mencapai putusan,” Humas Pengadilan Negeri Kotamobagu. Pengadilan Negeri juga mengancam pihak Pemerintah Kota untuk tidak melakukan aktivitas apapun di lahan tersebut. Serta, tidak melakukan pemagaran sebelum kasus ini tuntas. Apabila, Pemerintah Kota melanggar maka harus bertanggung jawab. “Lahan Pasar Serasi berstatus sengketa, jadi tidak ada aktivitas untuk sementara”. Hal ini berkaitan dengan rencana pemerintah untuk membangun pasar modern di Kotamobagu. Sempat dilakukan tindakan mediasi kepada kedua pihak yang bermasalah untuk melakukan musyawarah, meski mediasi pertama menemui kegagalan. “Dalam proses mediasi pedagang meminta Pemerintah Kota menjelaskan seperti apa konsep pasar Modern yang akan dibangun, serta yang utama terkait hak-hak pedagang yang ternyata tidak sama sekali memihak pedagang”. Sengketa adalah sengketa yang sebagai akibat perlakuan/suatu perbuatan subjek hukum yang berakibat hukum baik terhadap sesama warga, aparatur, maupun swasta dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan hak terhadap tanah pasar serasi yang menjadi lahan 5 sengketa antara pihak pedagang pasar serasi, pihak ahli waris sebagai pemilik tanah dan Pemerintah Kota. Sengketa merupakan pertikaian/perselisihan/perkara hukum yang artinya sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran dan perbantahan perkara yang kecil dapat juga menimbulkan pertikaian lebih besar. Dalam hal ini perbedaan pendapat antara pihak pedagang pasar serasi, pihak ahli waris sebagai pemilik tanah dan Pemerintah Kota soal tanah pasar serasi yang akan relokasi menjadi pasar modern. Sengketa daerah (wilayah) ialah daerah yang menjadi rebutan (pokok pertengkaran), dalam hal ini tanah pasar serasi yang akan di bangun sebagai pasar moderen Kota Kotamobagu. Upaya penyelesaian dengan cara damai pernah dilakukan tetapi tidak mencapai suatu kesepakatan antara kedua belah pihak, maka penyelesaian dengan cara hukum pengadilan telah ditempuh oleh pihak yang bersengketa. Timbulnya sengketa hukum adalah bermula dari pangaduan secara sepihak yang dilakukan asosiasi pedagang pasar serasi bersama pihak pewaris tanah yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah pasar serasi, prioritas (yang lebih berhak) atas tanah pasar serasi dan kepemilikannya pewaris tanah dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. 6 Berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain atas tanah sengketa, dalam memutuskan pengelolaan tanah pasar serasi harus ada persetujuan dari pihak memilik tanah (pihak pewaris tanah). Sengketa tanah tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan konsep Negara kesatuan Republik Indonesia yaitu Negara hukum (pasal 1ayat (3) UUD tahun 1945), karena itu setiap terjadi sengketa haruslah diselesaikan menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tercipta rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat, sebagai implementasi Negara hukum yang demokratis. Pewaris tanah sebagai pemilik hak atas tanah pasar serasi, pedagang/penjual yang memanfaatkan lahan/tempat yang disediakan oleh pemerintah pada pasar serasi dan pemerintah sebagai pengelolah pasar serasi selaku penanggung jawab, dari ketiga pihak bersengketa telah melalui perundingan/musyawarah atau negosiasi, mediasi yang panjang yang belum mendapat penyelesaian sengketa hingga sekarang. Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, dengan judul : “ANALISIS PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DI KECAMATAN KOTAMOBAGU KOTA KOTAMOBAGU SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PASAR SERASI)”. 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian mengajukan beberapa rumusan masalah mengenai analisis proses pelaksanaan sengketa tanah studi kasus pasar serasi sebagai berikut: 1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah di Pasar Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat Kota Kotamobagu Sulawesi Utara ? 2. Apa faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa tanah di Pasar Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat Sulawesi Utara ? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa tanah di Pasar Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat. b. Untuk mengetahui sehingga terjadi faktor sengketa yang mempengaruhi tanah pasar serasi masyarakat dan cara penyelesaian sengketa tanah tersebut. 8 1.3.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : a. Untuk memperoleh pengetahuan yang luas, mengenai faktor penyebab sengketa antara Pemerintah dan Masyarakat (pedagang dan pihak pewaris tanah pasar serasi yang sah) juga proses penyelesaian sengketa tanah agar nasib para pedagang yang mengantungkan hidupnya jelas. b. Hasil penelitian ini harapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran dibidang pengembangan ilmu pengetahuan secara umum. 1.4 Metode Penelitian 1.4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Kantor Pertanahan di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, dengan pertimbangan: 1) Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu mempunyai kewenangan untuk melakukan mediasi (Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasioanal, Pembuktian sertifikat tanah melalui 9 Pengadilan Tata Usaha Negara (Undang-Undangan Nomor 9 Tahun 2004 2) Dipilih Kota Kotamobagu sebagai lokasi penelitian, karena Kota Kotamobagu salah satu kota pemekaran baru yang membutuhkan pengaturan tata kota yang baik agar sesuai dengan tujuan pembagunan daerah yang telah dimekarkan. 1.4.2 Sumber Data Dalam penelitian ini, data akan diperoleh dari dua sumber yaitu: Data Primer Data yang akan diperoleh langsung dari informan pengumpulan data ini berupa interview (wawancara), serta melakukan observation (pengamatan langsung terhadap penelitian). Data Sekunder Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip-arsip resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data. 10 1.4.3 Definisi Oprasional Untuk mememberikan suatu pemahaman yang mempermudah penelitian ini maka penulis fokus penelitian ini diopersional melalui beberapa indikator sebagai berikut: 1. Proses penyelesaian merupakan suatu runtutan perubahan peristiwa yang ketika terkait sengketa, maka dapat dikatakan bahwa proses penyelesaian sengketa adalah runtutan peristiwa atau rentetan yang dilalui dalam mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu proses penyelesaian sengketa perlu terstuktur. 2. Faktor yang mendorong atau penyebab tejadinya sengketa hak atas tanah Kepastian hak atas tanah Proses Transparansi dalam panggunaan lahan 1.4.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu: Wawancara Adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab atau dialog langsung antara peneliti dengan para 11 informan bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan lisan pada saat penelitian berlangsung. Observasi Adalah pengamatan langsung terhadap objek kajian yang sedang berlangsung untuk memperoleh keterangan dan informasi sebagai data yang akurat tentang hal-hal yang diteliti serta untuk mengetahui relevansi antara jawaban informan dengan kenyataan yang ada, dengan melakukan pengamatan langsung yang ada di lapangan yang erat kaitannya dengan objek penelitian. Studi kepustakaan Studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dalam metode ilmiah untuk mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan, dapat membantu untuk memahami lebih jauh lagi tentang penelitian yang akan dilakukan. Subjek Penelitian Untuk memperoleh data guna kepentingan penelitian ini, maka diperlukan subjek penelitian. Peneliti memiliki subjek peneliti (informan) yang dapat memberikan informasi yang 12 dibutuhkan dan relevan dengan pertanyaan penelitian. Teknik penetapan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive (penarikan sampel bertujuan), yaitu pemilihan subjek secara sengaja oleh peneliti berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu. 1.4.5 Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mesintekniskannya, mencari dan menemukan pola, mengemukakan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang akan diceritakan pada orang lain. Selain itu juga pada penelitian kualitatif terdapat 3 (tiga) pertimbangan pokok, yaitu: pertama, metode kualitatif lebih mudah dihadapkan dengan gejala sosial yang kompleks. Kedua, hubungan peneliti dengan informan sangat dekat sehingga dapat menyajikan informasi yang lebih mendalam. Ketiga, lebih peka dan mudah menyesuaikan diri terhadap pola-pola nilai yang dihadapi, sehingga mudah menemukan pola ataupun model yang terjadi dalam proses hubungan birokrasi dan rakyat dalam konteks perubahan sosial politik. Budaya yang ada dalam masyarakat sebagai kerangka acuan dapat 13 dianalisis sesempurna mungkin melalui teknik analisis kualitatif melalui analisis Gertz (1992), yang menangkap fenomena sosial yang berlapis-lapis hingga ditemukan penafsiran yang berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Sesuai sifatnya yang kualitatif, maka akan disajikan data dan uraian secara verbal (bahasa). Apabila ada angka-angka yang muncul dalam penelitian ini berarti hanya digunakan sebagai alat bantu untuk pendukung analisa. Analisis data kualitatif melalui reduksi data, yaitu memilih hal-hal pokok yang disesuaikan dengan fokus penelitian, dengan tujuan dapat memberikan gambaran yang jelas tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencapai jika sewaktu-waktu diperlukan, dan juga dapat memberikan kode-kode pada aspek tertentu. Data yang diperoleh dalam penelitian, berupa pendapat/ pertanyaan informan/atau responden, melakukan mediasi/musyawarah di Kantor Badan Pertanahan, dan apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian juga penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Kotamobagu tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan, 14 kemudian diuraikan dalam kalimat yang bersifat deskriptif kualitatif yang menjelaskan proses pelaksanaan peradilan sebagai cara penyelesaian sengketa tanah dan penyebab terjadinya sengketa tanah di Pasar Serasi Kecamatan Kotamobagu Barat Kota Kotamobagu Sulawesi Utara. 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka merupakan panduan penulisan dalam aspek konseptual – teoritis. Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai konsep teori yang dijadikan sebagai alat analisis terhadap masalah yang diangkat dalam skripsi ini. 2.1.1 Pengertian Tanah Sebutan “tanah” dalam bahasan ini dapat dipahami berbagai arti, maka penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Manulang Rinto (200:6), Tanah adalah sumber daya alam dan sumber hidup serta kehidupan kini maupun di masa datang. Susetiawan (2001: 65), persoalan tanah merupakan persoalan klasik yang selalu ada dimana-mana sebab tanah memiliki multimakna, mulai dari makna ekonomi, sosial, politik sampai dengan kebudayaan. Makna tanah yang dikemukakan oleh marhias haryadi (erari, 1999 :27-28) sebagai berikut: 16 ”Tanah bagi rakyat adalah basis paling elementor yang menentukan hidup dan matinya manusia, tanah adalah pijakan fundamental yang menentukan kelangsungan hidup manusia, yang pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah, diatas tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidup dan identitasnya. Kedua, diatas tanah itu manusia berhubungan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ketiga, tanah memiliki arti ekonomi yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin tergantikan”. Lebih lanjutnya, pada pasal 4 ayat (2) dinyatakan termasuk pula tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undangundang ini (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Hak atas tanah Hak pada hakekatnya adalah suatu kekuasaan yang diberikan kepada seseorang terhadap sesuatu benda maupun orang, yang dijamin oleh peraturan undang-undangan . Jadi apa bila seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang tersebut telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut dengan dibatasi kewajiban yang harus dipatuhi yang ditetapkan pemerintah. a. Perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syaratsyarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannya 17 dapat diajukan sebelum jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan berakhir. b. Pembaharuan hak adalah pemberian hak atas tanah yang sama kepada pemegang hak yang sama yang dapat diajukan setelah jangka waktu berlakunya hak yang bersangkutan berakhir. c. Perubahan hak adalah penetapan pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan pemegang haknya, menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah jenis lainnya. Dengan demikian, semakin jelas bahwa yang dimasuk dengan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi atau wewenang yang berikan oleh Negara kepada si pemegang hak yang berbatasan/berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar, untuk digunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaan dan peruntukannya, tidak termasuk segala apa yang terkandung didalam dan diatas tanah yang bersangkutan. Hak-hak atas tanah menurut ketentuan pasal 16 ayat (1) UUPA meliputi: 1). Hak milik. 2). Hak guna usaha. 3). Hak guna bangunan. 4). Hak pakai. 18 5). Hak sewa 6). Hak membuka tanah. 7). Hak memungut hasil hutan. 8). Hak-hak yang lain hak yang dimaksud pasal 53 UUPA. Hak-hak yang berhubungan dengan tanah diatur dalam pasal 53 ayat (1) UUPA, meliputi: 1). Hak gadai. 2). Hak usaha bagi hasil. 3). Hak menumpang. 4). Hak sewa tanah pertanian. 2.1.3 Sengketa Tanah Tanah merupakan sarana yang vital bagi hidup dan penghidupan manusia. Daniel Lewis (Sataryono dkk, 2005:53), mengungkapkan bahwa tanah dapat menjadi faktor dalam memperpanjang konflik. Bahkan menurut Adijndro (Bachriadi)(Lily Dwi Astuti dan Sri Kristiyah 2006:53) sengketa agrarian di Indonesia bersifat multi dimensional yang tidak dapat dipahami hanya sebagai persengketaan agrarian, menurutnya sengketa agrarian adalah puncak gunung es dari beragam jenis konflik. Susetiawan (2001: 65), menjelaskan konflik pertanahan adalah konflik yang berhubungan dengan tanah senantiasa berlangsung 19 sebab setiap orang atau kelompok selalu memiliki kepentingan dengan hal tersebut. Selanjutnya menurut Sarjita (2005:7), pengertian ”konflik” berasal dari bahasa inggris conflict dan dispute yang berarti perselisihan atau percekcokan, atau pertentangan. Dengan kata lain, konflik merupakan situasi atau kondisi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan kerjasama. Pada umumnya konflik akan terjadi dimana saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok dalam melakukan sesuatu. Kemudian Dorcey (Mitchell) sebagaimana dikutip oleh (Sutaryono dkk 2005:52), menyebutkan bahwa ada 4 (empat) dasar atau penyebab terjadinya konflik, yaitu: (1) perbedaan pengetahuan atau pemahaman; (2) perbedaan nilai; (3) perbedaan kepentingan; dan (4) persoalan pribadi atau karena latar belakang sejarah. Dalam konteks pertanahan, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan untuk mendapatkan tanah, hal ini mengakibatkan konflik pertanahan yang terus-menerus antara anggota masyarakat. Setiap elemen masyarakat berkesempatan memberi sumbangan pada konflik 20 pertanahan, yang mendorong terjadinya disintegrasi sosial (Priyo Katon Prasetyo dkk, 2006:68). Menurut Wirandi (Endriato Soetanto dan Moh. Shohibuddin), (2005:6), mengungkapkan bahwa realita keagrariaan di Indonesia secara mendasar bersifat konfliktual, yakni suatu kondisi yang berakar pada ketimpangan atau menyangkut sumber-sumber agraria dalam tiga bentuk sebagai berikut: 1) Ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah; 2) Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah; dan 3) Incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai keagrariaan. Merujuk pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kata konflik mempunyai pengertian yang lebih luas, oleh karena itu, istilah konflik tidak hanya digunakan dalam kasus pertanahan yang terkait dalam proses perkara pidana, juga terkait dalam proses perkara perdata dan proses perkara tata usaha Negara. Tanah merupakan salah satu objek yang biasa disengketakan oleh pihak yang berperkara. Tanah yang disengketakan yang berkaitan dengan hak dan penguasaan ataupun kepemilikan seseorang yakni tanah yang sudah menjadi hak dan sudah personifikasi, atau sudah diberikan status hak yang melahirkan jaminan kepemilikan antara tanah dengan seseorang atau badan. 21 Pada dasarnya masalah pertanahan memiliki perbedaan pengertian dengan sengketa tanah. Masalah pertanahan mengandung arti segala persoalan baik teknis, administratif, bahkan dalam hal kebijakan ataupun ketentuan normatif menyangkut pertanahan pada umumnya. Dengan demikian, sengketa tanah adalah sebatas pengertian sempit dari masalah pertanahan, yakni sengketa tanah itu sendiri. Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan gambaran lingkungan yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, demikian menurut Koentjaraningrat. Pengertian sengketa diperjelas, oleh Rusmadi Murad (1991:23): “Sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara dua belah pihak atau lebih karena merasa diganggu dan merasa dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan hak dan penguasaan atas tanahnya, yang diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadilan, sedangkan masalah pertanahan lebih bersifat teknis kepada aparat pelaksana berdasarkan kebijakan maupun peraturan yang berlaku”. Kemudian Sudikno Mertukumo (Muhallis 2005:15) mengatakan, dalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat, terjadi suatu sengketa yang kemudian disusul dengan diajukannya gugatan. 22 Sementara itu, menurut Yan Pramadya Puspa (Muhallis 2005:14), bahwa sengketa disebut juga perkara, kemudian menurut W.J.S Poerwadarminta (Muhallis 2005:14), sengketa diartikan sebagai berikut: 1) Pertengkaran, perbantahan, misalnya oleh sebab uang sepicis maka timbullah sengketa yang mengakibatkan pekelaihan hebat; 2) Pertikaian, perselisihan, penyederaan, misalnya dikwatirkan bahwa sengketa antara partai-partai itu dapat meretakkan persatuan bangsa Indonesia; dan 3) Perkara (dalam pengadilan), misalnya setengah orang berpendapat bahwa nasionalisasi tambang minyak di Irak itu suatu sengketa internasional yang harus diselesaikan oleh mahkamah internasional. Selanjutnya Rachmadi Usman (Sarjita 2005:8), menegaskan bahwa suatu konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa, apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya, sebaliknya akan berkembang, apabila telah menyatakan secara langsung kepada pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Dengan demikian, pendapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, atau sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak dapat diselesikan. 23 Lebih lanjut pengertian sengketa tanah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agrarian/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan Pasal 1 butir 1: “sengketa tanah adalah perbedaan pendapat mengenai : a. Keabsahan suatu pihak. b. Pemberian hak atas tanah. c. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihah-pihak yang berkepentingan dengan instansi Badan Pertanahan Nasional”. Sengketa tanah dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa hukum yang lahir dari keadaan, perbuatan atau kejadian yang menimbulkan perselisihan kepentingan antara pihak-pihak yang menyangkut tanah. Berkenaan dengan pengertian sengketa di atas, dapat diketahui bahwa kata sengketa terkait dengan perkara dalam Pengadilan untuk diselesaikan menurut peraturan hukum yang berlaku. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan umum tidak mempergunakan istilah sengketa, melainkan mempergunakan istilah perkara. Kedua istilah itu (sengketa dan Perkara) pada 24 hakekatnya mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama mengenai pertikaian yang memerlukan penyelesaian. a. Penyebab Sengketa Tanah Munculnya sengketa tanah secara obyektif berkaitan dengan rencana pembagunan pasar pemerintah berkerja sama dengan investor dari Lippo Group untuk pendirian mal untuk memenuhi program Pemerintah dalam pengembangan pasar, ternyata tanah pasar adalah tanah Balangket Mokodompit dahulu diambil alih secara paksa oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow dengan alasan untuk memenuhi program pemerintah demi kemakmuran dan kesejahteran masyarakat untuk pembangunan pasar dan saran lainnya hingga pemilik tanah meninggal tak ada ganti rugi atas tanah yang dijadikan sarana fasilitas umum berupa pasar inpres yang berganti nama menjadi pasar serasi dan sekarang akan dijadikan mal. Rencana pendirian mal harus tertunda oleh karena pewaris tanah sebagai cucu dari Balangket Mokodompit melakukan gugatan di Pengadilan setelah mengetahui rencana Pemerintah untuk menggusur para pedagang di pasar serasi dan merasa dirugikan karena tanah milik kakeknya akan dijual ke pihak ketiga tanpa ada ganti rugi dari pemerintah atas tanah tersebut. 25 Demi berjalan proses perencanaan pembagunan pasar serasi maka pemerintah melakukan tindakan pemagaran pasar serasi. Tindakan pemagaran pasar serasi yang dilakukan pemerintah menemui kericuan antara pihak masyarakat dengan satuan polisi pamong praja, akibat dari kejadian itu masyarakat menjadi khawatir dalam proses jual-beli di pasar. Risnanto (2006:33), mengemukakan bahwa ruang lingkup pertanahan yang meliputi hubungan penguasaan pemilikan dan hubungan penggunaan pemanfaatan dapat dibedakan hubungan secara fisik (de facto) dan hubungan secara yuridis (de jure) yang tidak selalu sejalan, merupakan pemicu timbulnya masalah pertanahan yang mendasar, meliputi: 1) Adanya bidang tanah yang dikuasai secara fisik namun tidak diikuti dengan hak kepemilikan atas tanah (sering dikenal dengan istilah okupasi liar); 2) Adanya bidang tanah yang dikuasai dengan hak kepemilikan atas tanah namun tidak diikuti dengan pemanfaatan sesuai dengan tujuan pemberian haknya (sering dikenal dengan istilah tanah yang kondisinya ditelantarkan); 3) Adanya bidang tanah yang digunakan dan dimanfaatkan secara fisik namun tidak sesuai arahan tata guna tanah maupun rencana 26 tata ruangnya sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Badan Pertanahan Nasional (syukri M 2005: 10), menyebutkan 6 (enam) penyebab sengketa tanah ditinjau dari berbagai permasalahan yaitu : 1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan. 2. Harga tanah meningkat dengan cepat. 3. Kondisi masyarakat yang makin menyadari dan mengerti akan kepentingan haknya. 4. Iklim keterbukaan sebagai salah satu kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah. 5. Masih adanya oknum-oknum aparat Pemerintah yang belum menyadari dan belum dapat menangkap aspirasi masyarakat. 6. Adanya pihak-pihak yang menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan materil yang tidak wajar atau menggunakan untuk kepentingan politik. Sengketa dapat terjadi antara: 1. Perseorangan/masyarakat dengan peseorangan/masyarakat. 2. Perseorangan/masyarakat dengan Badan Hukum Publik (Pemerintah/Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD). 3. Perseorangan/masyarakat dengan Badan Hukum Swasta. 27 4. Badan Hukum Publik dengan Badan Hukum Publik. 5. Badan Hukum Swasta dengan Badan Hukum Swasta. 6. Badan Hukum Publik dengan Badan Hukum Swasta. 7. Perseorangan/masyarakat dengan Badan hukum Publik dan Badan Hukum Swasta. b. Jenis-jenis Sengketa Tanah Menurut Rusmandi Murad (1991:23), sifat permasalahan dari sengketa tanah secara umum ada beberapa macam antara lain: 1) Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemengang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya. 2) Bantahan terhadap sesuatu atas hak/bukti peroleh yang digunakan sebagai sebagai dasar pemberian hak (perdata). 3) Kekeliruhan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar. 4) Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis/ bersifat strategis. Dengan sebagaimana mandasari dimaksud pada dalam pengertian sengketa Peraturan Menteri tanah Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999, maka sebetulnya sengketa pertanahan dapat diklafikasikan mengenai 28 subtansi atau pihak-pihak yang bersengketa. Dilihat dari subtansinya, maka sengketa pertanahan adalah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan: (1) penguasaan, pemilikan dan penggunaannya, (2) prosedur dan syarat-syarat dalam pemberian hak atas tanah, (3) prosedur dan syarat-syarat dalam penerbitan tanda bukti hak termasuk peralihan haknya. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, mengatur kegiatan meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian data fisik dan yuridis, serta persengketaan yang terjadi. Dalam kegiatan tersebut, jenis masalah/sengketa yang akan terjadi ada 2 (dua), yaitu: 1. Sengketa data fisik, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang sudah didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Jenis sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah : a) Sengketa batas, yaitu menyangkut terjadinya kesalahan pengukuran batas-batas bidang tanah yang disebabkan oleh tidak adanya kesepakatan antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pemilik tanah yang berbatasan. b) Sengketa Ganti Kerugian, yaitu menyangkut kesepakatan besarnya nilai ganti rugi serta tata cara pembayarannya. 29 2. Sengketa data yuridis, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar. Sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah: a) Sengketa Waris, yaitu sengketa menyangkut siapa yang berhak atas tanah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris berdasarkan peraturan yang berlaku. b) Sengketa Pengaturan Penguasaan Tanah, yaitu sengketa menyakut pemilik tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya pemilikan tanah absente dan pemilikan tanah yang melebihi batas maksimum. c) Sengketa Sertifikat Ganda, yaitu terjadi akibat adanya pemalsuan alas hak untuk mendapatkan sertifikat atas tanah oleh orang yang tidak bertanggung jawab. 2.1.3 Penyelesaian Sengketa Tanah Penyelesaian sengketa tanah, senantiasa diupayakan agar tetap mengikuti tata cara dan prosedur yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pentingnya mengindahkan ketentuan perundang-undangan dimaksud, karena untuk menghindari tindakan melanggar hukum. Tindakan melanggar hukum dapat dihindari dengan mematuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik Karena itu asas yang telah 30 dijabarkan dalam beberapa undang-undang tersebut tidak saja memiliki daya mengikat secara moral dan doktrinal, tapi juga mempunyai daya mengikat secara yuridis. Crince Le Roy dan Kuntjoro Purbopranoto asas pemerintahan yang baik yaitu : asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas kesamaan dalam mengambil keputusan, asas bertindak cermat, asas motivasi dalam setiap keputusan, asas larangan mencampuradukkan kewenangan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau kewajaran, asas menanggapi penghargaan yang wajar, asas meniadakan akibat keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. Sedangkan S. F. Marbun mengemukakan rincian Asas-asas Umum Pemerintahan Indonesia yang Adil dan Patut ada yaitu asas persamaan, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, asas menghormati dan memberikan haknya setiap orang, asas ganti rugi karena kesalahan, asas kecermatan, asas kepastian hukum, asas kejujuran dan keterbukaan, asas larangan penyalahgunaan wewenang, asas larangan sewenang-wenang, asas kepercayaan dan pengharapan, asas motivasi, asas kepantasan atau kewajaran, asas 31 pertanggungjawaban, asas kepekaan, asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kebijaksanaan dan asas i’tikad baik. Secara resmi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia menurut penjelasan Pasal 53 UU Nomor 9 Tahun 2004 mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 1999, yaitu terdiri dari asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas tertib penyelenggaraan negara dan asas kepentingan umum. Penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara, sesuai yang dikemukakan oleh Sarjita (2005:9) bahwa: “penyelesaian sengketa tanah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu penyelesaian melalui jalur pengadilan/Ligitasi dan jalur non pengadilan (Perudingan/musyawarah atau negotiation, Konsiliasi/conciliation, Mediasi/mediation, Arbitrase/arbitran). Apabila usaha musyawarahnya tidak menemukan kesepakatan maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat mangajukan masalahnya ke Pengadilan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara)”. Kebijakan Pemerintah dalam mengenai masalah/sengketa dibidang pertanahan antara lain berdasarkan pada Ketentuan Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dimana pasal 5 ayat (1) huruf d disebut dibawah: 32 “Arah kebijakan pembaruan agrarian adalah menyelesaikan konflik-konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai mana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”. Pada hakekatnya setiap ada persengketaan mengenai tanah, penyampaian disesuaikan menurut corak dan karakter sengketa itu sendiri. Pandangan budaya asli Bangsa Indonesia yang mengedepankan kedamaian, kerukunan, gotong royong, tolong menolong dan tenggang rasa, merupakan konsep dasar dalam menghadapi suatu perselisihan atau sengketa, dimana penyelesaiannya tidak langsung ke pengadilan (litigasi). Namun biasanya diupayakan melalui cara-cara kekeluargaan diluar pengadilan (non litigasi). a. Melalui Peradilan (Litigasi) Penyelesaian sengketa/konflik melalui Peradilan (ligitas) diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman adalah kekuasan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakan Hukum dan keadilan, demi terselenggara Negara hukum Republik Indonesia. Menurut kehakiman Pasal yang 2 Undang-Undang dimaksud dilaksanakan diatas, oleh kekuasaan badan-badan peradilan, diantaranya; yakni Peradilan Umum (Menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum yang 33 berwewenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkaraperkara perdata, termasuk didalamnya penyelesaian segala persengketaan tanah sebagai bagian dari masalah-masalah hukum perdata umumnya, selanjutnya Pengadilan Tata Usaha Negara (Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) yang berwenang menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, kemudian Peradilan Agama (Menurut UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama) yang berwenang menyelesaikan sengketa tanah, diantaranya karena akibat Hukum (pewarisan). b. Menurut Non Peradilan(Non Ligitasi) Penyelesaian sengketa atau konflik di luar Pengadilan (Non Peradilan/Non Ligitasi), lebih dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution yang disingkat ADR (Joni Emirzon, 2003:37). Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), mengartikan APS sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikat baik. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib 34 dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Adapun bentuk-bentuk alternatif penyelesaian konflik/ sengketa dapat dikemukakan pendapatnya Ralf Dahrendorl dalam Sarjita (2005:28-42), yaitu: Pertama, bentuk konsiliasi (conciliation). Dalam bentuk ini konflik/sengketa diselesaikan melalui parlemen atau kursi parlemen, kedua belah pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka atau bebas untuk mencapai kesepakatan. Kedua, bentuk mediasi (mediation) yaitu kedua belah pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga. Penyelesaian konflik/sengketa melalui bentuk ini, atas kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa, masalahnya akan diselesaikan melalui bantuan seseorang atau penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Pihak ketiga yang memberikan bantuan ini harus bersifat netral dan tidak memihak (independent). Mediator berkewajiban melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan para pihak. Ketiga, bentuk arbitran artinya kedua pihak bersepakat untuk mendapatkan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar (penyelesaian) bagi konflik/sengketa. Menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitran dan 35 Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase (arbitran) adalah cara penyelesaian suatu perkara perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Joni Emirzon, 2009:97). Keempat, bentuk musyawarah (negosiasi) adalah sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Kemudian Joni Emirzon (2000:44) mengistilahkan negosasi menurut hukum adat, yakni berunding atau bermusyawarah. 2.1.4 Tindakan Pemerintah Menurut van Vollenhoven, tindakan pemerintah adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan. Sedangkan Lemaire menyebutkan tindakan Pemerintah merupakan tindakan menyelenggar akan kesejahteraan umum oleh pemerintah. Tujuan dari tindakan pemerintah tersebut adalah untuk memperhatikan kepentingan seluruh rakyatnya. Pemerintah merupakan subjek hukum, sebagai subjek hukum pemerintah juga mempunyai tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum, tindakan ini tidak terlepas dari tugasnya dalam rangka menyelenggarakan kepentingan umum. 36 Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh sebab itu tidak menimbulkan akibat hukum, sedangkan tindakan hukum adalah tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum. Atau juga bisa dikatakan, bahwa tindakan hukum merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Dengan kata lain, akibat-akibat hukum itu dapat berupa hal-hal berikut, yaitu pertama, menimbulkan perubahan hak, kewajiban dan kewenangan yang ada; kedua, menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek hukum yang ada; dan ketiga, terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status tertentu yang ditetapkan. Pada intinya, tindakan Pemerintah adalah perbuatan nyata Pemerintah dalam melakukan tugasnya untuk melaksanakan kesejahteraan umum, dan dilakukan secara sepihak, baik berdasarkan peraturan yang ada maupun hanya peraturan kebijakan saja. Seharusnya tindakan pemerintah tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan, penipuan, paksaan dan lain-lain yang menyebabkan akibat hukum yang tidak sah maupun merenggut hakhak rakyatnya. Di samping itu, tindakan hukum tersebut tidak boleh juga bertentangan dengan hukum yang berlaku, agar tindakan hukum tersebut tidak batal atau dibatalkan. 37 2.1.5 Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah dibidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut antara lain: pemberian izin lokasi; penyelengaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; penyelesaian sengketa tanah garapan; penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembagunan; penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; pemberian izin membuka tanah; perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden tersebut, ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tersebut diatur secara rinci tentang kewenangan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. 38 Dari muatan-muatan pemerintah dan kewenangan, keputusan dalam undang-undang presiden pelaksanaannya ataupun yang dapat peraturan terdapat dituangkan delegasi dalam peraturan daerah (perda) yang disesuaikan dengan daerah masingmasing. Khusus untuk masalah-masalah teknis yang dapat berubah dari waktu ke waktu, pelaksanaan Perda dapat dituangkan dalam keputusan kepala daerah setempat. Sementara itu, kewenangan pemerintah daerah dibidang partanahan dikhususkan pada pelaksanan hukum dan kebijakan tersebut dan hal-hal yang benar-benar paling diketahui oleh pemerintah daerah dan sudah diatur oleh peraturan perundangundangan yang ada, yang meliputi sebagai berikut. a. Pengaturan, penguasan tanah, dan tata ruang 1) Izin lokasi, pengaturan persedian, peruntukan 2) Penyelesaian tanah garapan 3) Wilde occupatie penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak berhak 4) Penyelasaian ganti rugi dalam pengadaan tanah 5) Penyelesaian dan penetapan Hak Ulayat masyarakat hukum adat 6) Penyelesaian tanah terlantar 39 7) Pemanfaatan lahan tidur 8) Pengaturan reklamasi 9) Penetapan objek subjek redistribusi Landreform tanah kelebihan absente 10) Penetapan harga dasar tanah 11) Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil (tanah pertanian) b. Hal-hal lain berkaitan dengan tanah 1) Penetapan nilai objek pajak bumi dan bangunan 2) Izin mendirikan bangunan 3) Izin usaha 4) Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal 5) Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan 6) Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun (UndangUndangan Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman jo Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999) c. Hal-hal yang berkaitan dengan keuangan 1) Mendapat bagian dari uang pemasukan dari pemberian hak atas tanah sebesar 80% dari total pemasukan 40 2) Mendapat bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah dimana BPHTB dan PPh diperoleh, sedangkan sebesar 20 persen didistribusikan/dibagian kepada daerah-daerah lain sebagai subsidi silang secara merata. a. Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Pertanahan Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Adapun urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional,serta agama. Berikut ini sejumlah kewenangan bidang pertanahan oleh Pemerintah Pusat yang termuat dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 41 Dalam penataan ruang, wewenang pemerintah pusat dalam penyelenggaraan penataan ruangan meliputi: 1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota), serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan stategis nasional, provinsi dan kabupaten/kota; 2. Pelaksanan penataan wilayah nasional; 3. Pelaksanan penataan ruang kawasan stategis nasional; 4. Kerja sama penataan ruang antar Negara dan pemfasilitasan kerja sama penatan ruang antar provinsi. Wewenang pemerintah pusat dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi: 1. Perencanan tata ruang wilayah nasional; 2. Pemanfaat ruang wilayah nasional; 3. Pengendalian Pemanfaat ruang wilayah nasional. Wewenang pemerintah pusat dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi: 1. Penetapan kawasan strategis nasional; 2. Perencanan tata ruang kawasan strategis nasional; 3. Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; 4. Pengendalian Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. 42 b. Kewenangan Pemerintah Provinsi di Bidang Pertanahan Gubernur di samping sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil pemerintahan di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Kewenangan gubernur tersebut bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat lokal, bukan sebaliknya untuk melakukan sentralisasi kekuasaan pemerintah provinsi. Maka terbuka keseimbangan antara kepentingan yang bersifat nasional kepentingan regional dan kepentingan yang bersifat lokal. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mempertegas kewenangan gubernur agar fungsi sebagai kepala otonom dan wakil pemerintah pusat dapat berjalan secara efektif. Jika pemerintah pusat memiliki kewenangan standar, norma, dan pedoman nasional, provinsi memiliki kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan koordinasi penyelenggaraan kewenangan di wilayah provinsi itu. Sementara itu, kabupaten/kota memiliki kewenangan mengatur dan mengurus dalam bidang kewenangan yang dimiliki berdasarkan standard dan norma dari pusat dan provinsi. 43 Berdasarkan Pasal 6 Pengaturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, pemerintahan daerah provinsi mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan urusan wajib dan urusan pilihan. Berikut ini sejumlah kewenangan bidang pertanahan oleh Pemerintah Provinsi yang termuat dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam penataan ruang, wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruangan meliputi: 1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan stategis provinsi dan kabupaten/kota; 2. Pelaksanan penataan wilayah provinsi; 3. Pelaksanan penataan ruang kawasan stategis provinsi; 4. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penatan ruang antarkabupaten/kota. 44 Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi meliputi: 1. Perencanan tata ruang wilayah provinsi; 2. Pemanfaat ruang wilayah provinsi; 3. Pengendalian Pemanfaat ruang wilayah provinsi. Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi, pemerintah daerah provinsi melaksanakan: 1. Penetapan kawasan strategis provinsi; 2. Perencanan tata ruang kawasan strategis provinsi; 3. Pemanfaat ruang kawasan strategis provinsi; 4. Pengendalian Pemanfaat ruang kawasan strategis provinsi. c. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan Pembagian kewenangan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota merupakan persoalan krusial dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pembagian urusan tersebut yang belum tuntas dalam beberapa tahun terakhir sejak bergulirnya era otonomi daerah memisahkan wilayah abu-abu yang kerap memicu ketidakharmonisan hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Permasalahan ini telah coba diatasi dengan ditertibkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. 45 Namun, tetap tidak berjalan dengan efektif khususnya mengenai kewenangan bidang pertanahan yang merupakan salah satu bidang yang paling strategis. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pada tanggal 9 Juli 2007 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan menyelenggarakan Daerah, urusan pemerintahan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan dan konkuren. Urusan pemerintahan yang 46 dapat dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan dan konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang menjadi sepenuhnya urusan pemerintah. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat sepenuhnya/tetap berbagai menjadi urusan kewenangan pemerintahan pemerintah. yang Urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi: politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan merujuk warga Negara untuk duduk dalam lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negari, melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebaliknya; pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian wilayah Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga Negara dan sebagainya; keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum Negara, menindak setiap kelompok atau organisasi, yang kegiatannya 47 menggangu keamanan Negara dan sebagainya; moneter misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebaliknya; yustisi misalnya mendirikan lembaga pengadilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional dan lain sebagainya; dan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan suatu kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebaliknya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Disamping itu, terdapat bagian, urusan pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintah yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi kewenangan pemerintah; ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi; dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang 48 concurrent secara proposional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintah wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan khasan daerah. Dalam hal penyelenggaran penataan ruang, wewenang pemerintah kabupaten/kota meliputi: 1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan stategis kabupaten/kota; 2. Pelaksanan penataan wilayah kabupaten/kota; 3. Pelaksanan penataan ruang kawasan stategis kabupaten/kota; 4. Kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota. Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi: 49 1. Perencanan tata ruang wilayah kabupaten/kota; 2. Pemanfaat ruang wilayah kabupaten/kota; 3. Pengendalian Pemanfaat ruang wilayah kabupaten/kota. Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota meliputi: 1. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota; 2. Perencanan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota; 3. Pemanfaat ruang kawasan strategis kabupaten/kota; 4. Pengendalian Pemanfaat ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Dalam rangka menyerakan kewenangan pertanahan pada pemerintah kabupaten/kota, perlu kiranya dipahami makna politik pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar, politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintahan lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi kehidupan sosial maupun ekonomi guna untuk memenuhi interaksi antarindividu di daerah. Pengaturan ini meliputi pembentukan zona ekonomi, alokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan pencadangan terhadap tanah. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota terhadap tata guna tanah tersebut dalam rangka perencanaan ke depan agar secara sosial maupun ekonomis dapat bertahan dalam menghadapi ancaman50 ancaman ke depan. Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota agar problema alokasi sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dapat diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat setempat. Pengaturan ini harus diintergasikan dengan sistem lainnya pada pemerintah kabupaten/kota seperti sistem sosial, sistem perekonomian, sistem pendidikan, dan lainnya. Kewenangan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan pemerintah pusat tidak mampu menjangkau setiap detail permasalahan tersebut. Kenyataan ini menyebabkan bahwa politik pertanahan tidak boleh terlepas dari kerangka penyelenggaraan pemerintahan secara nasional sebagai perwujudan Indonesia. Perbedaan dari Negara secara teknis Kesatuan mengingat Republik perbedaan karakteristik pada masing-masing daerah memang dimungkinkan, namun tetap mempertahankan semangat hukum nasional. Disamping itu, tetap dibutuhkan suatu badan yang melakukan supervisi terhadap administrasi pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah agar sesuai dengan kerangka kebijakan nasional. Hal ini diperlukan agar terciptanya tata tertib hukum pertanahan, tertib administrasi, tertib penggunaan, tertib pemeliharaan, dan pertimbangan wawasan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan semestinya. 51 2.2 Kerangka Konseptual Tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting didalam kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi masyarakat yang mengantungkan hidup pada hasil pertanian. Tanah berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Berdasarkan pengertian dan fungsi tanah diatas, aktivitas yang dilaksanakan diatas tanah sebagai sarana untuk meningkatkan kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Sengketa tanah merupakan masalah hukum pemegang hak atas tanah mengadukan suatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Muncul sengketa tanah merupakan konsekunsi dari laju pembangunan demi mewujudkan program pemerintah dan meniadakan hak orang lain atas tanah tersebut, sehingga menimbulkan benturan kepentingan bagi kedua belah pihak yang kemudian memicu munculnya sengketa tanah. Jenis sengketa tanah yang seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat antara lain mengenai sengketa waris, sengketa 52 hak, sengketa batas, sengketa peralihan hak, sengketa pembebasan tanah, sengketa sertifikat ganda. Penyebab terjadi sengketa tanah sangat beragam, secara garis besarnya antara lain: kurang tertibnya administrasi dan manajemen pertanahan (Badan Pertanahan Kabupaten dan instansi koordinasi yang terkait); kurang maksimalnya penerapan peraturan di bidang pertanahan. Proses penyelesaian sengketa tanah antara pemerintah kota dan masyarakat dilakukan melalui peradilan/ligitasi disebabkan pemilikan bukti-bukti sebagai pemegang hak atas tanah yaitu peta tanah milik oleh pewaris tanah dan pemerintah miliki sertifikat hak pengelolaan hingga perlu diselesaikan melalui jalur hukum untuk membukti bahwa siapakah yang berhak atas tanah demi mewujudkan keadilan bagi kedua belah pihak. Dalam penyelesaian kasus tersebut didasarkan pada asas-asas pemerintahan yang baik seperti: asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan dan asas akuntabilitas. 53 Skema Kerangka Konseptual Landasan hukum : Pancasila Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agrarian, Peraturan Perundang-Undang lain dan Peraturan PerundangUndangan Pelaksananya. tanah Faktor Penyebab Sengketa Sengketa Tanah & Jenisnya Penyelesaian Sengketa Tanah Litigasi Non Litigasi Non Litigasi nah Peradilan Umum PTUN Negosiasi Konsiliasi Mediasi Arbitrase Pemutusan kepastian hak milik atas tanah yang berpedoman pada peraturan yang berlaku sesuai dengan hukum keagraria Keterangan: Diteliti: Tidak ditelit: 54 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 3.1 KOTA KOTAMOBAGU 3.1.1 Letak Wilayah Lokasi penelitian difokuskan pada Kelurahan Gogagoman Kecamatan Kotamobagu Barat Kota-Kotamobagu, dengan demikian, terlebih dahulu digambarkan wilayah Kota Kotamobagu. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh pada Kantor Kecamatan Kotamobagu Barat, diketahui bahwa Kota Kotamobagu merupakan Kotamadya. Kota Kotamobagu secara geografis terletak antara 0°30’-1°0’ lintang utara dan 123°-124° Bujur Timur. Luas wilayah Kota kotamobagu adalah 184,33 kilometer persegi berbatasan sebagai berikut : a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Kecamatan Modayag dan Kecamatan Lolayan); b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow Timur; c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow; 55 d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Passi Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Kota Kotamobagu merupakan sebuah daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow yang bertujuan untuk memajuka n daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat Totabuan. melalui Undang – Undang Pemekaran Nomor 4 Tahun 2007 dan di resmikan pada Tanggal 23 Mei Tahun 2007 resmi berdiri sebagai daerah otonom . Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana Raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan. 3.1.2 Keadaan Penduduk Secara administrasi pemerintahan, Kota-Kotamobagu terbagi menjadi 4 Kecamatan dan 33 Desa/Kelurahan. Adapun demografi (keadaan penduduk) Kota-Kotamobagu. 56 Komposisi penduduk Kota Kotamobagu didominasi oleh penduduk usia produktif 15-65 tahun. Dari komposisi jumlah penduduk per kelompok umur juga dapat diketahui angka dependency ratio penduduk Kota kotamobagu sebesar 47,71 yang berarti pada setiap 100 orang penduduk usia produkif menanggung beban secara ekonomi sekitar 47 orang penduduk usia 0-14 tahun dan diatas 65 tahun. Tahun 2010 angka kepadatan penduduk Kota kotamobagu sebesar 582,97 jiwa per km2 yang berarti tiap km2 wilayah Kota Kotamobagu secara rata-rata dihuni oleh kurang lebih 582 jiwa penduduk. Angka sex ratio sebesar 104,15 menyatakan bahwa terdapat 104 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk wanita, yang juga menggambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki masih lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk wanita. 57 Sumber data : BPS Kota Kotamobagu 3.1.3 Pendidikan Penduduk Salah satu penentu nilai kualitas pendidikan adalah ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang ada. Di Kota Kotamobagu tersedia 73 gedung sekolah SD/sederajat, 15 gedung sekolah SLTP/sederajat dan 17 gedung sekolah SMU/sederajat. Masing-masing dihuni oleh 13.622 murid SD/sederajat, 5.923 murid SLTP/sederajat dan 8.152 murid SLTA/sederajat. Pada jenjang pendidikan TK sampai dengan SLTP beban seorang tenaga guru secara merata mendidik sekitar 16 58 murid, namun pada jenjang SMU beban seorang tenaga guru lebih se dikit yaitu mengajar 14 murid. Kemampuan baca tulis antara laki-laki dan perempuan di Kota Kotamobagu tinggi, ditunjukkan dengan angka melek huruf masingmasing sebesar 99,47 dan 99,26. Hal ini juga menjadi salah satu variabel penyumbang tingginya angka IPM Kota Kotamobagu. Dibandingkan dengan tahun 2008, rata-rata lama sekolah penduduk Kota Kotamobagu di tahun 2009 meningkat dari 8,85 menjadi 9 tahun atau rata-rata dari mereka baru memutuskan untuk berhenti sekolah ketika lulus SLTP. Indikator Pendidikan Kota Kotamobagu 59 Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid di Kota Kotamobagu, 2010/2011 60 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas hasil penelitian berupa bentuk sengketa tanah, penyebab, dan penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang diperoleh dari lapangan dengan melakuan wawancara kepada subjek penelitian dan melakukan observasi memperoleh keterangan yang akurat terkait dengan obyek sengketa. 4.1 PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH 4.1.1 Bentuk Sengketa Tanah Bentuk sengketa tanah yaitu sengketa faktual yang membahas mengenai pengukuran batas bidang tanah dan surat tanah yang Menunjukan bukti kepemilikan tanah tersebut selain itu terdapat sengketa yuridis yang membahas menganai riwayat tanah tersebut dan sertifikat atas tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan setempat. 1. Sengketa faktual Secara umum pengukuran batas bidang tanah adalah salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi dalam melakukan suatu pendaftaran tanah atau pun ketika adanya 61 perubahan data akibat terjadinya bencana alam, tanah tersebut dijual kepada orang lain, diwakafkan, peralihan hak waris tanah dari seseorang kepada keturunannya. hal ini kutip dari pernyataan kepala seksi konflik dan perkara yang menyatakan bahwa: “Proses pengukuran tanah tentunya harus dilakukan untuk menghindarkan dari permasalahan batas pemilikan tanah dengan para pemilih tanah yang lainnya dan sebagai salah satu tahap pendaftaran tanah.” Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan kepala seksi konflik dan perkara pengukuran batas bidang tanah sangat penting dalam memenuhi syarat administrisi dalam pendaftaran tanah. 2. Sengketa yuridis Sengketa yuridis membahas tentang riwayat tanah, dan sertifikat tanah, yaitu : a. Riwayat tanah merupakan penggambaran asal usul tanah yang menjadi hak dari seseorang atau suatu badan. Menurut Drs. Dolfie Paath Manoppo bahwa: “Riwayat tanah pasar serasi sebelumnya adalah tanah pasini yang merupakan tanah warisan dikelola oleh Balangket Mongodompit untuk lahan pertanian (sawah) dengan luas 18.155 M2, dan kemudian pada tahun 1977 diambil alih secara paksa oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow dengan alasan untuk memenuhi program pemerintah demi kemakmuran dan kesejahteraan 62 masyarakat dan kemudian di atas tanah tersebut dibangun pasar dan sarana lainnya oleh Pemerintah Kabupaten dan saat ini telah berubah menjadi Pasar Tradisional Serasi.” Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu yang menyatakan bahwa: “Tanah yang dijadikan pasar serasi adalah tanah negara yang menjadi aset daerah Kabupaten Bolaang Mongondow, karena menurut sejarah Bolaang Mongondow adalah bekas kerajaan sehingga tanah-tanah yang ada diwilayah Bolaang Mongondow termasuk tanah swapraja.” Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terdapat perbedaan pendapat mengenai riwayat tanah yang sama-sama dinyakini kebenarannya. b. Sertifikat tanah merupakan buku ukurnya yang dengan suatu setelah kertas dijilid tanah satu sampul dan surat bersama-sama yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman Tahun 1993 untuk pembuktian sertifikat tanah maka penulis melakukan wawancara ke Kantor Pertanahan dengan menemui Tris Yopit SH selaku kepala seksi konflik dan perkara menyatakan bahwa: “Pemerintah Kota Kotamobagu memiliki Sertifikat Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang kemudian setelah terjadi 63 pemekaran wilayah pemerintahan daerah kota maka aset pemilikan daerah diserahkan ke Pemerintah Kota Kotamobagu.” Beliau juga menyataan bahwa: “Akan tetapi data dalam sertifikat tersebut masih atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow dan belum ada data baru mengenai sertifikat tersebut karena wilayah Kota Kotamobagu baru melaksanakan pemerintahan selama 2 tahun." Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Tris Yopit SH selaku kepala seksi konflik dan perdata memberikan informasi data sertifikat tersebut masih dalam bentuk data yang lama karena belum ada perubahan walaupun telah dialihkan ke Pemerintah Kota. 4.1.2 Penyebab Sengketa Tanah Penyebab terjadinya sengketa tanah antara pemerintah dengan ahli waris tanah akibat adanya Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi Tanggal 27 Maret Tahun 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M 2 atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu Tanggal 5 Agustus 2011, yang menurut pernyataan Drs. Dolfie Paat Manoppo bahwa: 64 “Berdasarkan penerbitan sertifikat tersebut Pemerintah Kota Kotamobagu dan telah bekerja sama dengan investor dari Lippo Group melakukan membongkar pasar serasi juga telah melakukan eksekusi akan tanah milik para ahli waris tersebut.” Dari hasil wawancara dengan Drs. Dolfie Paath Manoppo didapatkan informasi mengapa mereka mengadakan gugatan terhadap pemerintah kota atas sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Selain itu terdapat bentrokan antara polisi pamong praja dengan para pedagangan dalam kegiatan penggusuran para pedagangan dari pasar dengan cara memagari pasar tersebut. Pemagaran pasar dilakukan polisi pamong praja atas perintah dari pemerintah kota kemudian mereka berhadapan dengan para pedagangan yang tidak setuju untuk diadakan penggusuran tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pedagangan pasar menyatakan bahwa tempat relokasi yang disediakan oleh pemerintah kota tidak layak karena kios berukuran kecil, jumlah kios sediakan hanya berjumlah 17 kios sedangkan jumlah pedagangan 450 orang dan letak lokasi sangat jauh dari pusat kota dengan ongkos transportasi yang sangat mahal. 65 4.1.3 Penyelesaian Sengketa tanah Penyelesaian kasus sengketa dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu Mediasi, Pengadilan Negeri Kotamobagu Dan Pengadilan Tata Usaha Negara Manado. 1. Mediasi pada Kantor Pertanahan Kota Kotamobagu Persoalan sengketa tanah coba diselesaikan melalui mediasi sebagai tahapan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi diantara pemerintah kota dan ahli waris yang berakhir tanpa ada kepuasan bagi kedua belah pihak. Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli waris dan bagian hukum di Kantor Walikota Kota Kotamobagu yang menyatakan bahwa: “Mediasi yang dilakukan hanya dihadiri oleh ketua rukung tetangga, ketua rukung warga, lurah dan camat sedangkan pemerintah kota tidak pernah hadir dalam mediasi tersebut maka mediasi pun berakhir dengan ketidaksepakatan atas data yang diklarifikasikan informasi/data tersebut.” Maka kasus tersebut dibawah ke Pengadilan Negeri Kotamo bagu untuk keadilan bagi hak atas tanah tersebut. Selain itu terdapat mediasi antara pemerintah kota dan para pedagangan dalam membahas kegiatan pemagaran pasar dilakukan oleh polisi pamong praja atas perintah dari pemerintah kota. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pedagangan 66 pasar didapatkan informasi bahwa kegiatan mediasi yang dilakukan beberapa kali tersebut tidak pernah dihadiri oleh pihak pemerintah kota maka kasus tersebut untuk mendapat keadilan dibawah ke Pengadilan Negeri Kotamobagu. 2. Proses Peradilan di Pengadilan Negeri Kotamobagu Ketika suatu usaha musyawarah tidak menemukan kesepakatan maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat mengajukan masalah ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan hakekat budaya asli Bangsa Indonesia dalam konsep dasar yang mengedepankan kedamaian. Berdasarkan hasil akhir mediasi antara pemerintah kota dengan ahli waris yang menyatakan bahwa mediasi yang dilakukan tidak mendapatkan kesepakatan maka ahli waris melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kotamobagu dengan tuntutan bahwa sesuai dengan peta tanah milik dan riwayat tanah tersebut adalah tanah milik keluarga Balangket Mokodompit yang dahulu diambil paksa oleh pemerintah daerah untuk pembangunan pasar tradisional, kemudian sekarang pemerintah kota akan melakukan pembongkar pasar tersebut dengan terlebih dahulu memangari pasar tersebut untuk mendirikan suatu pasar moderen karena telah terikat janji dengan pihak investor dari Lippo Group. 67 Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan dari bagian hukum di Kantor Walikota yang menyatakan bahwa pemerintah kota melakukan pemagaran pasar tersebut didasarkan pada kepemilikan atas tanah Negara yang menjadi aset daerah dan mengenai sengketa atas tanah tersebut terjadi karena ada yang mengaku sebagai pemilik tanah dari pasar tersebut, dan masalah ini pemerintah bahwa ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado untuk membuktikan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman. Dari hasil wawancara dengan kedua informan didapatkan bahwa yang menjadi gugatan ahli waris terhadap pemerintah adalah bukti Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, yang dimiliki oleh pemerintah dan untuk membuktikan apakah sertifikat tersebut sah atau tidak maka masalah tersebut dilanjutkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado. Sedangkan permasalahan bentrokan antara polisi pamong praja yang berhadapan dengan para pedagangan belum terselesaikan maka para pedagangan melalui asosiasi pedagangan pasar serasi mengajukan gugatan class action terdapat tindakan pemerintah kota yang melakukan pemagaran yang menyebabkan bentrokan antara polisi pamong praja dengan para pedagangan dan pada persidangan terjadi didapatkan informasi bahwa pasar 68 tersebut adalah tanah sengketa antara ahli waris tanah dengan pemerintah kota yang belum diputuskan siapa pemilik hak sebenar atas tanah pasar tersebut. Berdasarkan bukti yang ditunjukan dalam persidangan tersebut maka Pengadilan Negeri Kotamobagu menyatakan bahwa tindakan pemerintah kota yang berkali-kali melakukan pemagaran tanah yang masih berstatus sengketa adalah tindakan salah. 3. Proses Peradilan Sertifikat di Pengadilan Tata Usaha Negara Pelaksanaan peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan ketika ada gugatan atas suatu keputusan tata usaha Negara yang membuat kepentingan seseorang dirugikan maka dapat melakukan gugatan atas keputusan tata usaha Negara tersebut. Adanya gugatan berupa Sertifikat Hak Pengelolan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi Tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu Tanggal 5 Agustus 2011 berdasarkan atas berita acara serah terima Nomor 020/Setda KK/06/04/I/2009 tanggal 12 Januari 2009. Manurut keterangan ahli waris setelah konfirmasikan ke Kantor Pertanahan menyatakan bahwa: 69 “Kantor Pertanahan tidak menagajukan keberatan terhadap penunjukan lokasi disampaikan oleh ahli waris.” Hal senada dinyatakan oleh Kepala Kantor Pertanhan bahwa: “Lokasi tanah yang diterbitkan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1 objek sengketa adalah masuk dalam lokasi tanah yang ditunjuk ahli waris dalam pemeriksaan setempat tersebut.” Proses pemeriksaan perkara data yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow, Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman saat ini dikuasai oleh Pemerintah Kota Kotamobagu berdasaran berita acara serah terima tanggal 12 Januari Nomor 020/SETDAKAB/09/04/I/2009. Proses pengajuan bukti-bukti surat dari ahli waris tanah 1. Sertifikat Hak Pengelolan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, Gambar Situasi tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten bolaang Mongondow yang telah dialihkan menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu tanggal 5 Agustus 2011. 70 2. Peta Tanah milik Balangket Mongondompit Nomor 268 Pensil 12/Nomor 1 dengan luas 18.155 M2 terletak di desa Gogagoman Kecamatan Kotamobagu. 3. Surat pernyataan dari Drs.H. J.A. Damopolii tertanggal 17 Mei 2011 yang menyatakan bahwa: “Tanah di pasar inpres yang sekarang menjadi pasar serasi, sesuai Peta Tanah Milik Nomor 268 Pensil 12/Nomor 1 Tahun 1964 atas nama Balangket Modompit adalah benar tanah bekas sawah dari kelurahan Balangket Mondompit.” 4. Surat Pernyataan dari Jemmy Ranteng yang merupakan anak dari Frans Renteng tanggal oktober 2011, Hi. Jossi Mokodompit, SE yang merupakan salah satu anak dari Mansur Mokodompit, dan S.H Monoarfa yang merupakan anak dari S. Monoarfa menyatakan bahwa: “Tanah di pasar di pasar inpres sekarang menjadi pasar serasi, sesuai Peta Tanah Milik Nomor 268 Pensil 12/Nomor 1 Tahun 1964 atas nama Balangket Modompit adalah benar tanah bekas sawah dari kelurahan Balangket Mondompit.” 5. Surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri Kotamobagu Nomor W19.U3/266/HPDT/2011/PN.KTG tanggal 23 Desember 2011. 6. Surat keterangan silsila keluarga yang menunjukan kepemilikan tanah. 71 Proses pengajuan bukti-bukti ini diperkuat dengan mendengarkan kesaksian para saksi yang menerangkan hal sebagai berikut: 1. Menurut Jemmy Rengteng bahwa: “Setahu saksi tanah tersebut berasal dari tanah warisan nenek Mokonginta dan memang benar tanah saksi berbatasan dengan tanah Balangket Mokodompit yang setahu saksi ditanami padi, karena saksi tinggal berbatasan dengan tanah Balangket Mokodompit sejak tahun 1970.” Selain itu terdapat pernyataan tambahan dari Jemmy Rengteng bahwa: “Pembangunan pasar dilakukan oleh Tangkudung mantan Bupati Bolaang Mongondow dan saksi tidak tahu kalau pasar dibangun sekaligus oleh Tangkudung.” 2. Menurut Lexi Santi bahwa: “Riwayat tanah sebelumnya adalah persawahan padi milik dari Balangket Mokondompit dan saya pernah tinggal dengan Balangket Mokodompit sejak tahun 1965 sampai dengan tahun1967, dan saksi lupa kapan Balangket Mokodompit menguasai tanah tersebut.” Selain itu terdapat pertanyaan mengenai jual beli atas tanah tersebut, Lexi Santi menyatakan bahwa: “Saksi tidak tahu jual beli atas tanah tersebut.” 3. Menurut Muhammad Yamin Mokompit yang merupakan anak dari Mansur Mokodompit menyatakan bahwa: 72 “Saksi mempunyai tanah yang terletak dibagian barat pasar yang berasal dari orang taunya (Mansur Mokodompit).” Selain itu terdapat pernyataan tambahan dari Muhammad Yamin Mokodompit bahwa: “Pasar dibangun pada 1977 oleh Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow dengan alasan katanya ada yang menjual tanah tersebut kepada Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow, tetapi saksi tidak tahu kapan tanah tersebut di jual kepada Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow.” Dari observasi penulis dipengadilan terdapat proses pengajuan bukti-bukti surat yang ditambahkan dengan kesaksian para saksi, ternyata tanah tersebut adalah benar tanah milik Balangket Mokodompit dikelola sebagai tanah persawahan yang ditanami padi dan pembangunan pasar yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow tanpa didasari atas penguasaan pemilikan tanah yang jelas selain itu terdapat isu mengenai jual beli atas tanah tersebut yang tak didapatkan buktibukti penjualannya. Proses pengajuan bukti-bukti surat dari Kantor Pertanahan Kabupaten bolaang Mongondow, adalah sebagai berikut: 1. Foto copy keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 90/BPN/92, tentang pemberian hak pengelolaan atas nama Pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow yang bermaterai. 73 2. Foto copy buku tanah hak pengelolaan Nomor 1februari 1993 atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu. 3. Surat dari Mason Lumbanraja selaku kuasa dari Drs. Andi Ladu Manoppo,MM tanggal 5 Agustus 2011 Nomor 143/ML/VIII/2011 perihal permohonan pembuatan surat keterangan pendaftaran tanah atas kepemilikan tanah gisik pensil 12 Nomor 1 tahun 1964 atas nama Balangket Mokodompit dengan luas kurang lebih 1,8 Ha. 4. Foto copy surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Monondow Nomor 203/13-71.01/VII/2011 tanggal 9 Agustus 2011. 5. Foto copy surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow Nomor 203/13-71.01/VII/2011 tanggal 9 Agustus 2011. 6. Berita acara pengukuran tanggal 4 agustus 2011 dalam rangka pengukuran Pengembalian Batas Lokasi Pasar serasi. Proses pengajuan bukti-bukti oleh Kantor Pertanahan serta mendengarkan kesaksian dari seorang saksi yang bernama Oltopinus Takasihaeng yang menerangkan bahwa: “Saksi tahu obyek sengketa adalah Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman pada 1 Februari 1993, saksi mengukur obyek sengketa pada 74 tanggal 4 Agustus 2011, 5 orang ditugaskan oleh Kepala Kantor untuk pengembalian batas tanah, dihadiri oleh pemerintah kota dan saksi kemudian saat itu dibuat berita acara pengukuran menunjukan batas tanah adalah pemerintah kota tetapi namanya saksi tidak tahu, pada saat pengukuran tidak ada yang keberatan dengan kesimpulan dari pengukuran dilapangan terjadi perbedaan luas,karena terpotong jalan seluas 152 M2, pada saat pengukuran yang berbatasan tidak dipanggil hanya objek sengketa berbatasan dengan pasar ikan, tujuan pengembalian batasan hanya untuk mencocokkan dengan keadaan sertifikat obyek sengketa, dalam pengembalian batas tersebut saksi mengenali orang-orang hadir pada saat itu sedangkan masyarakat yang berada dilokasi pasar tidak dilibatkan, saksi bekerja di Kantor Pertanahan Kotamobagu sejak tahun 1982 tidak tahu terbitnya objek sengketa, pada saat pengembalian batas, tidak ada pertanyaan-pertanyaan kepada pengukur, karena suasana waktu itu sedang memanas, pengukuran pengembalian batas sama dengan pengukuran proses penerbitan sertifikat.” Berdasarkan bukti-bukti yang ditunjukan baik oleh ahli waris atas tanah maupun Kantor Pertanahan dan mendengkarkan keterangan para saksi serta pertimbangan hakim maka diputuskan oleh hakim, menyatakan bahwa: “Fakta-fakta hukum dalam persidangan tersebut maka Majelis Hakim berpendapat oleh karena dalam persidangan Sertifikat Pengelolaan Nomor 1 yang menjadi obyek sengketa terbukti dan menyakinkan diterbitkan diatas tanah yang diakui kepemilikan oleh ahli waris mempunyai kepentingan telah dirugikan oleh keputusan tata usaha Negara dan manggabulkan gugatan para ahli waris.” Kemudian Majelis Hakim menetapkan putusan yang menyatakan bahwa: 75 “Membatalkan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993, Gambar Situasi tanggal 27 Maret 1992, Nomor: 346/1992, dengan luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu dan mewajibkan kepada Kantor Pertanahan untuk mencabut Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993, Gambar Situasi tanggal 27 Maret 1992, Nomor: 346/1992, dengan luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu serta menghukum untuk membayar biaya perkara yang ditimbul dalam sengketa sebesar Rp 2.667.000,-“ 4.2 FAKTOR PENYEBAB SENGKETA TANAH 4.2.1 Kepastian Hak Milik Dalam mencari kepastian hak milik atas tanah tersebut perlu diadakan suatu penyelidikan dari data yang akan yang disampaikan 76 oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menyelidiki riwayat tanah tersebut terlebih dahulu dan mencocokan dengan kesaksian para saksi atas alat bukti yang ditunjukan di persidangan serta berdasarkan undang-undang yang berlaku juga melalui pertimbangan hakim maka diputuskan suatu keputusan yang dapat memberikan keadilan bagi dua belah pihak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang pada pokoknya menyebutkan dalam suatu daerah yang akan melakukan pendaftaran tanah sebelumnya tanah tersebut diukur dan diadakan pengukuran serta mengadakan penyelidikan riwayat bidang tanah dan menetapkan batas-batasnya, selanjutnya setelah pembuatan peta tanah harus diumumkan di Kantor Kepala Desa selama 3 (tiga) bulan. Dari keterangan Jemmy Reteng selaku saksi menyatakan bahwa: “Sejak tahun 1970 saksi tinggal bersebelahan/berbatasan dengan tanah milik Balangket Mokodompit dan sekitar tahun 1992 sampai tahun 1993 tidak ada orang dari Kantor Pertanahan Bolaang Mongondow yang datang untuk mengadakan pengukuran. Selanjutnya setelah Majelis Hakim memintah warkah terkait dengan berita acara 77 pengukuran, pejabat Kantor pertanahan tidak bisa mengajukannya meskipun oleh Majelis Hakim diberi kesempatan hingga acara persidangan selesai.” Berdasarkan keterangan Jemmy Reteng dengan demikin Majelis Hakim berpendapat bahwa pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow tidak pernah melakukan prosedur sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintan Nomor 10 Tahun 1961 dan terkait berita acara pengukuran yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Bolaang Mongondow adalah pengukuran ulang untuk mencocokkan dengan data yang terdahulu yang mana dilakukan oleh saksi bernama Oltopinus Takasihaeng pada tanggal 4 Agustus 2011, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1 obyek sengketa yang diterbitkan pada Tahun 1993 sewaktu masih atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow, karena seharusnya yang diajukan sebagai bukti oleh penjabat Kantor Pertanahan adalah berita acara pengkuran yang terkait dengan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1 obyek sengketa yang diterbitkan pada Tahun 1993. Selain itu, pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan objek sengketa didasarkan kepada pemberian hak yang keliru, seharusnya yang berwenang dalam pemberian hak pengelolaan adalah Menteri Dalam 78 Negeri, bukan Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa perbuatan pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah menerbitkan Sertifikat Hak Pengelolan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi Tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M 2 atas nama Pemerintah Kabupaten daerah Tingkat II Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu merupakan perbuatan sewenang-wenang (wellekeur) dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 4.2.2 Proses Edukasi Permasalahan Proses edukasi merupakan rangkaian tindakan yang memberikan pengetahuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi hingga didapatkan solusi yang terbaik dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam pembuatan surat tanah atau buku tanah perlu ditinjauh pedoman yang mengatur tata cara penerbitan suatu sertifikat atas tanah dan pejabat-pejabat yang berhak memberikan hak pengelolaan 79 atas tanah Negara yang dijadikan sebagai hak penguasaan atas tanah tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menyebutkan “Atas permohonan yang berhak, maka sesuatu hak atas tanah didesa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap dapat pula dibukukan dalam daftar buku tanah. Ketika membukukan hak tersebut, Kepala Kantor Pendaftaran Tanah harus disampaikan surat atau surat-surat bukti hak dan keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yang membenarkan surat atau surat-surat bukti hak. Sedangkan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1 obyek sengketa yang menurut pejabat Kantor Pertanahan berdiri diatas tanah Negara harus ada pembuktian pendaftaran dan bukti surat-suratnya, dan tidak serta merta langsung menetapkan status tanah menjadi tanah Negara. Kemudian meskipun ahli waris tidak melakukan pendaftaran atas tanah, seharusnya ahli waris adalah pihak yang diprioritaskan untuk mendapatkan hak atas tanahnya, karena selain menguasai dengan cara berdagang dan mempunyai bukti hak berupa Peta Tanah Milik Nomor 268 Pensil 12 Nomor 1 Tahun 1964, sehingga prioritas utama bukan kepada Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow. 80 Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan “Apabila tanah-tanah Negara selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah-tanah tersebut akan diberikan dengan hak pengelolaan. Pada pokoknya menyebutkan Hak Pengelolaan yang dimaksudkan diatas memberikan wewenang kepadanya untuk menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu, dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, sesuai dengan peraturan perundangan agrarian yang berlaku. Dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah dapat dicermati bahwa Menteri Dalam Negeri mempunyai wewenang dalam memberian Hak atas Tanah terhadap hak pengelolaan, jika 81 dihubungkan dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 90/HPL/BPN/92 tanggal 11 Juli 1992 tentang Pemberian Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow, sudah jelas bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut, seharusnya yang berwenang dalam memberi keputusan hak pengelolaan adalah Menteri Dalam Negeri, bukan Kepala Badan Pertanahan Nasional. 4.2.3 Transaksi Dalam Penggunaan Lahan Dalam membangunan Kota Kotamobagu yang baru berdiri selama dua tahun pemerintah kota telah menyusun program rencana pembangunan daerah otonomi yang termasud didalam adalah pembangunan pasar modern diatas tanah pasar serasi. Hal ini ditandai dengan adanya Understanding nota (MoU) kesepakatan yang terjadi atau antara Memorandum Pemerintah of Kota Kotamobagu dengan investor dari Lippo Group sehingga menimbulkan gugatan kepada Pemerintah Kota Kotamobagu yang menyatakan bahwa: “Kami menuntut pemerintah kota kotamobagu atas kebijakan yang akan membangun hypermart di lokasi pasar serasi dan tidak mencari lahan kosong untuk membangun hypermart karena banyak lahan kosong yang dapat digunakan.” 82 Senada dengan hal ini terdapat masalah Sertifikat atas tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Kotamobagu yang menyatakan bahwa: “ Terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan ahli waris sangat dirugikan jika obyek gugatan dalam hal ini Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambaran Situasi tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan luas 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow yang dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu tersebut dilaksanakan, karena beralas hak akan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman tersebut akan bekerjasama dengan Lippo Group (investor), akan membongkar pasar serasi, bahkan telah dilaksanakan eksekusi akan tanah milik ahli waris tersebut, maka ahli waris memohon agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek gugatan tersebut ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperolah kekuatan hukum tetap.” Berdasarkan wawancara dengan kedua informan diatas bahwa terdapat transakasi atas lahan pasar serasi menyebabkan tuntutan para ahli waris dan para pedagangan akan penggunaan lahan pasar serasi untuk pembangunan pasar moderen. 83 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan pada bab terdahulu, didapatkan analisis kesimpulan sebagai berikut : 5.1.1 Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Dalam proses penyelesaian sengketa tanah, ada beberapa hal yang perlu diketahui yaitu bentuk sengketa tanah, penyebab sengketa tanah serta penyelesaian sengketa tanah yang membutuhkan waktu yang panjang. a. Bentuk Sengketa Tanah Bentuk sengketa tanah terbagi atas dua bentuk yang harus diketahui yaitu sengketa faktual dan sengketa yuridis. a). Sengketa Faktual Sengketa faktual merupakan pengukuran batas bidang tanah sebagai persyaratan administrasi yang harus dipenuhi dalam membutan suatu pendaftaran tanah atau pun ketika adanya perubahan data akibat terjadinya bencana alam, tanah tersebut 84 dijual kepada orang lain, diwakafkan, peralihan hak waris tanah dari seseorang kepada keturunannya. b) Sengketa Yuridis Sengketa yuridis membahas tentang riwayah tanah yang menggambarkan asal-usul tanah tersebut serta sertifikat hak atas tanah. b. Penyebab Sengketa Tanah Penyebab terjadinya sengketa tanah antara pemerintah dengan ahli waris tanah akibat adanya Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman, tanggal 1 Februari 1993 Gambar Situasi Tanggal 27 Maret 1992 Nomor 346/1992 dengan laus 9.730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu tanggal 5 agustus 2011, berdasarkan atas berita acara serah terima Nomor 020/Setda KK/06/04/I/2009 tanggal 12 Januari 2009. Selain itu terdapat bentrokan antara polisi pamong praja dengan para pedagangan dalam kegiatan penggusuran para pedagangan dari pasar dengan cara memagari pasar tersebut. Pemagaran pasar dilakukan polisi pamong praja atas perintah dari pemerintah kota kemudian mereka berhadapan dengan para 85 pedagangan yang tidak setuju untuk diadakan penggusuran tersebut. c. Penyelesaian Sengketa Tanah Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian sengketa tanah harus dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu pelaksanaan mediasi, proses peradilan di Pengadilan Negeri Kotamobagu dan proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara Menado. Karena terdapat masalah sangat krusial maka masalah ini dibawah hingga tingkat pengadilan. 1. Sertifikat Hak Pengelolan Nomor 1/Kelurahan Gogagoman Tanggal 1 Februari Tahun 1993 Gambar Situasi 27 Maret Tahun1992 Nomor 336/1992 dengan luas 9730 M2 atas nama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang telah dialihkan hak menjadi atas nama Pemerintah Kota Kotamobagu Tanggal 5 Agustus 2011, berdasarkan atas berita acara serah terima Nomor 020/Setda KK/06/04/I/2009 tanggal 12 Januari 2009. 2. Proses penggururan para pedagangan pasar serasi dalam rangka kerjasama Pemerintah Kota Kotamobagu dengan investor dari Lippo Group untuk pembangunan hypermart dilokasi tanah pasar serasi, dengan memerintahkan satuan polisi 86 pamong praja untuk memagari pasar tersebut sebelum diadakan eksekusi pembongkaran pasar tersebut. Dari hasil proses pemeriksaan bukti-bukti yang ditunjukkan dalam pengadilan oleh kedua belah pihak dan setelah mendengarkan kesaksian para saksi dipersidangan didapatkan fakta-fakta yang mengukapkan bahwa pemerintah bersalah melakukan pemegaran pada lokasi pasar menjadi obyek sengketa pada gugatan para ahli waris terhadap Sertifikat Hak Pengelolaan yang ternyata terbukti milik Balangket Mokodompit, kemudian didapatkan bukti bahwa Sertifikat Hak Pengelolaan tersebut tidak berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan ternyata berdasarkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional sehingga menurut pengadilan sertifikat tersebut dibatalkan dengan meminta pejabat kantor pertanahan untuk mengembalikan hak atas tanah kepada para ahli waris. 5.1.2 Faktor Penyebab Sengketa Tanah Faktor yang mempengaruhi sengketa tanah adalah sebagai berikut: 1. Kepastian hak atas milik 2. Proses edukasi permasalahan 3. Transaksi dalam penggunaan lahan 87 5.2 SARAN-SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan kesesuaian dengan kesimpulan diatas, maka adapun saran-saran yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa tanah, adalah sebagai beriku: 1. Sebelum diadakan penerbitan sertifikat atas tanah oleh kantor pertanahan perlu diketahui riwayat tanah terlebih dahulu sehingga diketahui siapa yang berhak atas tanah tersebut, juga dalam penerbitan sertifikat hak pengolaan harus berdasarkan surat keputusan yang beri oleh Menteri Dalam Negeri karena yang wewenang memberi hak pengelolan adalah Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, dan wajib mengembalikan hak atas tanah ketangan para ahli waris hak atas tanah tersebut. 2. Diharapkan dengan adanya kasus ini menjadi pembelajaran bagi pemerintahan selanjut agar tidak mengulangi kesalahan sama yang dilakukan oleh pemerintah masa lalu mengambil alih secara paksa hak atas tanah yang dimiliki oleh Balangket Mokodompit 88