12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kelapa dan Peran

advertisement
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kelapa dan Peran kelapa bagi Manusia (Cocos nucifera L.)
2.1.1 Deskripsi Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tanaman yang berasal dari famili
Arecaceae dan satu – satunya genus dari Cocos (Harries & Foale, 2011).
Berdasarkan hasil penemuan fosil dan data molekuler, kelapa dipercaya berasal
dari kawasan Asia Tenggara (Chan & Elevitch, 2006 ; Young S. et al., 2010) dan
selanjutnya menyebar ke Amerika Latin, Karibia hingga ke Afrika. Pada saat ini,
kelapa tumbuh dan tersebar di 200 negara di dunia khususnya negara tropis
(Gomes - Copeland et al., 2015).
Tanaman kelapa mempunyai akar serabut yang kaku dan besar seperti
tambang, panjangnya dapat mencapai 6 m dengan diemeter 1 cm serta mayoritas
menembus ke tanah dengan kedalaman sekitar 1,5 m (Ohler & Magat, 2016).
Jumlah akar kelapa dapat mencapai sekitar 2000 – 4000 buah yang dapat ditemui
pada pangkal batang (Chan & Elevitch, 2006).
Seperti halnya tanaman palma yang lain, pohon kelapa umumnya tidak
bercabang, berdaun majemuk sempurna, serta merupakan pohon yang tinggi
besar. Batang pohon kelapa dapat mencapai tinggi lebih dari 30 m dengan
diameter pangkal batang sekitar 40 cm (Ohler & Magat, 2016). Batang pohon
kelapa terbentuk ketika tanaman berumur sekitar 3 - 4 tahun setelah tanam dan
tumbuh bersamaan dengan bertambahnya jumlah daun (Ohler & Magat, 2016).
Batang kelapa berbentuk silindris, tumbuh tegak lurus (erectus) atau dapat
12
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
13
melengkung karena faktor lingkungan, berwarna abu-abu terang dan memiliki
bekas-bekas daun yang mati atau luruh. Pada ujung batang terkumpul daun yang
tersusun secara berjejal – jejal seperti sirip pada bagian ujung batang membentuk
roset batang (Ohler & Magat, 2016).
Daun kelapa memiliki panjang mencapai 5 m, dengan panjang tangkai
sekitar 75 – 150 cm (van Steenis et al., 2005). Pada bagian dasar, tangkai daun
menebal sehingga mampu menempel dengan sangat kuat pada batang. Dalam
setiap satu tangkai daun terdapat sekitar 200 – 250 anak daun yang bentuk lanset
dengan panjang dapat mencapai sekitar 50 – 150 cm dan lebar 1 – 1,5 cm serta
memiliki ujung yang keras dan lancip (Ohler & Magat, 2016).
Kelapa memiliki bunga yang terletak di setiap ketiak daun (aksiler) dan
mampu menghasilkan bunga sebanyak 12 -15 buah tandan bunga per tahunnya
(Chan & Elevitch, 2006) Pada waktu masih muda, bunga kelapa dilindungi oleh
seludang bunga (mancung, spatha) yang besar, kuat, dan tebal (Gambar 2.1.A).
Bunga kelapa tergolong bunga majemuk yang memiliki bunga jantan dan bunga
betina terpisah, namun berada pada satu spikelet (tandan,Tjitrosoepomo, 2000;
Ohler & Magat, 2016).. Bunga yang sudah dewasa dapat memiliki panjang
mencapai 2 meter dan bercabang-cabang sekitar 40 spikelet lancip (Ohler &
Magat, 2016).
Pada setiap spikelet, terdapat 1 sampai 3 bunga betina di bagian dasar dan
sekitar 200 sampai 300 bunga jantan di bagian atasnya (Gambar 2.1.A, Ohler &
Magat, 2016). Dengan demikian setiap tandan bunga dapat memiliki sekitar 10 –
50 bunga betina.
Bunga jantan (Gambar 2.1.B) memiliki 3 buah kelopak bunga yang kecil
dan 3 buah mahkota bunga serta memiliki 6 benang sari maupun 3 putik yang
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
14
rudimentair lancip (Ohler & Magat, 2016). Bunga jantan mekar dimulai dari
bunga yang berada di ujung spikelet dan diikuti oleh bunga ke arah dasar spikelet.
Setiap bunga jantan akan mekar dan masak sekitar 1 hari sebelum rontok.
Keseluruhan bunga jantan akan mekar membutuhkan waktu sekitar 16 sampai 22
hari tergantung kultivar (Santos et al., 1996).
Bunga betina (Gambar 2.1.C) memiliki ukuran yang lebih besar dari
bunga jantan dengan bentuk bulat telur berdiameter 2 sampai 3 cm (van Steenis et
al., 2005). Perhiasan bunga berdaging dan menempel pada bakal buah. Bakal
buah beruang 3, tidak memiliki tangkai putik, serta kepala putik berupa celah
yang tenggelam (van Steenis et al., 2005). Bunga betina mekar beberapa hari
setelah spata membuka dan dapat bertahan hanya dalam jangka 1 – 3 hari (Santos
et al., 1996). Keseluruhan bunga betina dapat bertahan dalam jangka waktu 3 – 5
hari pada kelapa dalam atau 8 – 15 hari pada kelapa genjah (Santos et al, 1996).
Apabila tidak terjadi pembuahan maka bunga betina akan rontok (Thomas &
Josephrajkumar, 2013; Ohler & Magat, 2016 ).
B
A
C
Gambar 2.1 Bunga majemuk pada aksiler (A) bunga jantan (B) bunga betina
(C) (Sisunandar, 2008; Foale & Harries., 2011)
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
15
Setelah terjadi polinasi dan fertilisasi, buah mulai terbentuk dan menjadi
masak membutuhkan waktu sekitar 12 bulan (van Steenis et al., 2005). Buah
kelapa memiliki bentuk, ukuran, warna, dan komposisi buah yang berbeda beda
tergantung kultivar dan kondisi lingkungan tanaman. Pada umumnya, kelapa
memiliki buah berukuran panjang 20 – 30 cm dengan berat sekitar 850 - 3700
gram (Chan & Elevitch, 2006 ).
Buah kelapa termasuk dalam golongan buah batu karena memiliki 3
lapisan kulit yaitu
kulit bagian luar (eksokarp) yang tipis (0,1 mm) yang
mengkilap dan memiliki berwarna tertentu tergantung kultivarnya ketika masih
muda. Buah dewasa akan berubah warna menjadi coklat dan akan berwarna abu
abu saat buah kering. Bagian tengah (mesokarp) memiliki serabut yang tebal (4 –
8 cm), berwarna putih ketika muda dan berubah menjadi coklat ketika sudah
masak. Bagian kulit dalam (endokarp) merupakan bagian yang keras sangat keras
dan berkayu serta cukup tebal (3 – 6 mm) berwarna coklat tua yang biasa disebut
tempurung (Ohler & Magat, 2016). Di dalam tempurung inilah terdapat biji
kelapa.
Biji kelapa memiliki lapisan paling luar (testa) yang tipis dan berwarna
coklat. Biji berbentuk bulat dengan diameter biji kelapa sekitar 12 cm (van
Steenis et al., 2005). di dalam testa terdapat endosperm yang berwarna putih
dengan ketebalan sekitar 1- 2 cm yang banyak mengandung minyak (Ohler &
Magat, 2016). Selain itu, pada bagian dalam biji terdapat rongga yang berisi
endosperm cair (air kelapa) dengan volume sekitar 120 mm (Ohler & Magat,
2016). Pada saat awal pembentukan endosperm rongga ini berisi cairan sekitar
700 ml dan akan berkurang hingga 270 ml setelah endosperm terbentuk penuh
(Foale & Harries, 2009).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
16
Pada endosperm yang keras terdapat embrio yang memiliki ukuran
panjang 0,5 cm sampai 1 cm dengan berat sekitar 0,1 g tergantung umur embrio
dan kultivar. Setiap biji memiliki embrio sebanyak satu buah (Foale, 2003; Ohler
& Magat, 2016). Keberadaan embrio di dalam endosperm akan terlihat jika biji
dibelah, ditandai dengan posisi endosperm yang melipat ke dalam pada salah satu
sisi yang terdapat tiga buah mata. Embrio juga dapat ditandai tepat pada salah satu
mata yang lunak dari ketiga mata pada temputung (Ohler & Magat, 2016)
Pada saat terjadi perkecambahan, embrio kelapa akan membesar dengan
bagian apikal akan muncul dari tempurung kelapa melalui mata yang lunak,
sedangkan sisi yang lain tetap berada di dalam tempurung membentuk haustorium
(Ohler & Magat, 2016). Tunas kelapa akan muncul 8 minggu setelah
perkecambahan, dan daun muda baru akan muncul setelah 5 minggu berikutnya
(Ohler & Magat, 2016).
Gambar 2.2 Biji kelapa utuh yang menujukkan adanya tiga buah mata. Salah
satu mata bersifat lunak dan menunjukkan posisi dimana embrio
kelapa dapat diisolasi (tanda panah). Bagian tersebut juga
merupakan tempat keluarnya mata tunas ketika kelapa
berkecambah (A). Di bagian dalam buah kelapa berkembang
haustorium yang akan membesar seiring dengan membersarnya
kecambah kelapa (Sisunandar, 2008).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
17
2.1.2 Kultivar
Tanaman kelapa mempunyai keragaman kultivar yang tinggi. Berdasarkan
morfologinya, (Gambar 2.1.2) kelapa digolongkan menjadi dua tipe utama yaitu
kelapa tipe dalam (tall, kadang-kadang diberi nama sebagai varietas typica) dan
tipe genjah (dwarf, kadang-kadang disebut varietas nana) .
B
A
Gambar 2.2 Kelapa dalam (tall) (A) kelapa genjah (dwarf) (B) (Chan &
Elevitch, 2006; Santosa, 2014)
Kelapa dalam (Gambar 2.2.A) memiliki usia yang panjang bahkan dapat
mencapai 100 tahun dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 30 m
sedangkan pada kelapa genjah (Gambar 2.2.B) dapat mencapai usia sekitar 60
tahun dengan tinggi pohon maksimal hanya mencapai 20 m (Foale & Harries,
2009). Perbedaan kedua tipe kelapa juga dapat diamati dengan mudah seperti pada
kelapa dalam memiliki batang dengan pangkal yang besar membentuk bole,
sedangkan kelapa genjah memiliki batang dengan pangkal tanpa bole (gambar).
Ukuran daun juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara kelapa dalam dan
kelapa genjah, dimana kelapa dalam memiliki daun yang lebih besar dan panjang
dibandingkan dengan kelapa genjah.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
18
Perbedaan lain yang dapat diamati pada kelapa dalam dan kelapa genjah
adalah dilihat dari ukuran dan jumlah buah yang dihasilkan. Kelapa dalam
memiliki ukuran yang relatif besar namun jumlah yang dihasilkan relatif sedikit.
Sedangkan kelapa genjah memiliki ukuran yang relatif kecil namun jumlah buah
yang dihasilkan pertandan banyak.
Kelapa dalam menghasilkan bunga lebih lama sekitar 8 sampai 10 tahun
dibandingkan dengan kelapa genjah hanya mampu menghasilkan bunga sekitar 3
– 5 tahun setelah tanam (Chan & Elevitch, 2006). Bunga pada kelapa memiliki
sifat protandrous yang berarti bunga jantan kelapa masak lebih dulu setelah itu
baru bunga betina kelapa. Oleh karena itu, sebagian besar pohon kelapa dalam
perlu dilakukan penyerbukan silang. Pada kelapa genjah, bunga betina mulai
masak tidak terlalu lama setelah bunga jantan sehingga sebagian besar kelapa
genjah melakukan penyerbukan sendiri.
Sistem penamaan pada kelapa dilakukan dengan menggunakan dua kata
dengan ketentuan tidak boleh melebihi 30 huruf dan diberi nama dengan
menggunakan bahasa Inggris (Bourdeix, 2012). Kata pertama yang digunakan
dapat berupa ciri morfologi yang dominan, nama tradisional, atau nama lokasi,
wilayah atau negara tempat kultivar tersebut hidup. Pada kelapa genjah digunakan
warna buah karena bersifat homozigot. Kata kedua menunjukan bahwa kelapa
tersebut masuk golongan kelapa dalam atau kelapa genjah. Sebagai contoh
Pangandaran Tall merupakan nama kelapa berdasarkan lokasi kelapa dalam yang
berasal dari Pangandaran, Jawa Barat (Bourdeix, 2012). Tebu Sweet Husk Tall
merupakan kelapa dalam yang mempunyai sabut manis seperti tebu dan banyak
ditemukan di daerah Maluku dan Papua. Contoh pemberian nama kelapa genjah
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
19
adalah Nias Yellow Dwarf, yaitu kelapa genjah dengan warna buah kuning
berasal dari Nias, Sumatera Utara (Bourdeix, 2012) maupun Kopyor Green Dwarf
merupakan kelapa genjah yang memiliki buah kopyor dan berwarna hijau
(Bourdeix, 2012).
Pada tahun 2012 terdapat 419 kultivar kelapa yang terdiri atas 319 kultivar
kelapa dalam dan 100 kultivar kelapa genjah. Di antara jumlah tersebut Indonesia
memiliki hampir seperempatnya, yaitu 105 kultivar yang terdiri atas 82 kultivar
kelapa dalam dan 23 kultivar kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Pada saat ini
diperkirakan masih banyak kultivar di Indonesia yang belum diidentifikasi dan
dipublikasikan. Menurut Novarianto (2008), Indonesia masih memiliki sekitar 400
kultivar baru yang belum teridentifikasi dan masih tumbuh di kebun petani
ataupun di tempat terpecil.
Salah satu wilayah di Indonesia yang berpotensi memiliki kultivar yang
belum dilepas secara resmi oleh pemerintah adalah Kabupaten Banyumas. Pada
saat ini diperkirakan Kabupaten Banyumas memiliki sekitar 1,7 juta pohon kelapa
yang ditanam pada lahan dengan luas sekitar 18 ribu ha (Husein, 2014). Paling
tidak, Kabupaten Banyumas memiliki dua macam kultivar kelapa yang dampai
saat ini belum dilepas secara resmi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Kelapa
Dalam Banyumas (KDB) dan Kelapa Genjah Entog (KGE). KDB banyak
ditemukan di desa Karang gedang, Kemiri, Kecamatan Sumpiuh, sedangkan KGE
banyak ditemukan di kecamatan Cilongok dan Ajibarang (SK Direktur Jenderal
Perkebunan, Nomor : 53/KB.820/SK/DJ.BUN/05-1996). Bahkan, wilayahwilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kebun blok penghasil tinggi yang
menjadi sumber benih kedua jenis kelapa tersebut. Namun demikian, kedua jenis
kelapa tersebut masih belum dilakukan upaya pelestariannya.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
20
2.1.3 Nilai Sosial Ekonomi Kelapa
Tanaman kelapa mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan memiliki peran
yang snagat penting dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun budaya rakyak
Indonesia. Pohon kelapa disebut juga pohon kehidupan (tree of life) karena
hampir semua bagian dari pohon tersebut bermanfaat bagi kehidupan masyarakat
mulai dari akar, batang (kayu), daun, dan buah.
Meskipun pada umumnya akar kelapa digunakan sebagai bahan bakar,
namun bagian kelapa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat anti-piretik,
diuretik dan obat batuk (Ohler & Magat., 2016; Setiawan, 2014). Batang kelapa
mempunyai keistimewaan struktur serat yang unik, awet dan kuat sehingga
banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan seperti papan, kaso, dan balok
maupun sebagai furniture seperti meja, kursi, kotak dan peralatan rumah tangga
(Gambar 2.3, Foale, 2003).
Gambar 2.3 Furniture meja, kursi, kotak dan peralatan rumah tangga dari
batang kelapa (Foale., 2003; http://www.dinomarket.com/Pasar
Dino/44736338/Jual-Mangkok-Kayu-Kelapa/;
http://sukardinyiuras.blogspot.co.id/ ).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
21
Daun kelapa yang telah tua banyak dimanfaatkan sebagai atap bangunan,
tikar, keranjang, tas, dan topi (Foale, 2003). Tulang daun kering dapat
dimafaatkan sebagai sapu lidi sedangkan pelepah daun bagian dasar digunakan
sebagai kayu bakar (Foale, 2003). Daun kelapa yang muda banyak dimanfaatkan
untuk upacara adat dan keagamaan seperti digunakan untuk umbul-umbul,
pembungkus ketupat maupun hiasan pada pesta perkawinan (Ohler & Magat,
2016; Pratiwi., 2013).
Bunga kelapa merupakan bagian yang penting karena dapat disadap untuk
diambil niranya. Nira kelapa merupakan getah yang rasanya manis, mengandung
sekitar 15%, dapat diminum secara langsung sebagai minuman tradisional ataupun
dapat difermentasi menjadi tuak atau minuman anggur beralkohol (Ohler &
Magat, 2016). Mayoritas nira saat ini diolah lebih lanjut menjadi gula merah
ataupun gula kristal (gula semut/brown sugar) yang mempunyai nilai ekspor
tinggi.
Bagian kelapa yang memiliki nilai ekonomi tinggi lainnya adalah buahnya.
Sabut kelapa dapat dimanfaatkan untuk membuat keset, pengisi jok, papan
hardboard, sikat, tali, dan geo textile. Serbuk dari sabut kelapa juga banyak
digunakan untuk medium tanam (cocopeat), bahan bangunan ringan, maupun
isolasi termal, (Ohler & Magat., 2016).Tempurung kelapa banyak digunakan
untuk kerajian tangan seperti alat masak, pot hias maupun kerajinan tangan yang
lain seperti tas. Tempurung kelapa juga banyak digunakan sebagai bahan bakar
(Ramdianti, 2013) atau diolah lebih lanjut menjadi arang aktif yang banyak
digunakan dalam industri farmasi, penjernihan, pertambangan dan juga penyaring
polusi atau bau tidak sedap dalam ruangan (Mahmud & Ferry., 2005).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
22
Bagian buah yang paling penting pada tanaman kelapa adalah daging buah
(endosperm). Daging buah kelapa dikeringkan untuk menghasilkan kopra atau
diekstrak untuk menghasilkan minyak goreng, santan (coconut milk), atau dapat
digunakan untuk menghasilkan minyak dengan kualitas tinggi (virgin coconut oil,
VCO). Sisa pengolahan minyak kelapa (bungkil kelapa) juga dapat digunakan
sebagai pakan ternak (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016). Di dalam buah juga
terdapat air kelapa yang mempunyai rasa yang manis serta dapat digunakan untuk
mencegah dehidrasi sebagai minuman segar ataupun diolah lebih lanjut menjadi
nata de coco (Ohler & Magat, 2016).
2.1.4 Budidaya Kelapa dan Permasalahannya
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan
penghasil devisa terbesar keempat dari sektor perkebunan di Indonesia setalah
kelapa sawit, karet dan kopi (FAO, 2016). Pada tahun 2014, Indonesia merupakan
negara yang memiliki luas area perkebunan kelapa sekitar 3,08 juta Ha dengan
total produksi mencapai 19,9 juta ton ( FAO, 2016)
Meskipun kelapa merupakan komoditas perkebunan utama di Indonesia,
namun budidaya tanaman tersebut menghadapi salah satu kendala utama berupa
menurunnya luas area perkebunan. Dari tahun ke tahun, luas area perkebunan
kelapa menurun sekitar 0,38 % (Nasir, 2014). Beberapa faktor yang diduga
menjadi penyebab penuruan luas area perkebunan tersebut adalah meningkatnya
serangan hama dan penyakit kelapa, meningkatnya alih fungsi lahan, dan
tingginya persentase perkebunan kelapa yang sudah tua serta adanya bencana
alam.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
23
Serangan hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros) ataupun belalang
pedang (Sexava nubila) menyebabkan turunnya luas area perkebunan kelapa di di
beberapa tempat di Indonesia. Kumbang badak menyerang pucuk dan pangkal
daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan memakan helaian
daun sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong atau tergunting membentuk
huruf “V” bila telah terbuka. Pada tahun 2005 di Jawa Tengah, serangan O.
Rhinoceros mengakibatkan kerugian mencapai sekitar 10 Miliar rupiah (Mulyono,
2007). Selain itu pada tahun 2014, serangan hama tersebut juga terjadi di
Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang mengakibatkan
lebih dari 5000 pohon
kelapa mengalami kematian (Kustantini, 2014). Hama belalang pedang (Sexava
nubila) juga banyak mengakibatkan kerusakan perkebunan kelapa seperti yang
terjadi di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara dengan luas area
perkebunan kelapa yang terserang hama tersebut mencapai16 ribu Ha dengan total
keugian mencapai sekitar Rp. 26,3 milyar pada tahun 2012 (Wagiman et al.,
2012). Hama tersebut menyerang daun muda maupun tua serta dapat merusak
bunga dan kulit buah.
Di samping hama, kelapa juga banyak diserang oleh beberapa penyakit
berbahaya seperti layu Kalimantan (Phytoplasma) maupun penyakit busuk pucuk
kelapa (Phytophthora palmivora). Gejala yang timbul dari penyakit layu
Kalimantan ditandai dengan warna daun mengguning serta diikuti pelepah daun
bagian bawah kering layu serta menggantung serta banyak buah yang rontok dan
tidak normal (Lolong & Motulo, 2014).
Serangan penyakit layu Kalimantan
terjadi pada tahun 1997 yang menyerang kurang lebih 100 ribu pohon kelapa, di
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
24
daerah Kalimantan Timur (Lolong & Motulo, 2014). Penyakit busuk pucuk juga
mengakibatkan kematian lebih dari 70 ribu pohon kelapa di Kabupaten Minahasa
Selatan pada tahun 2007 (Lolong, 2010).
Faktor lain yang diduga menjadi penyebab menurunnya luas area
perkebunan kelapa di Indonesia adalah meningkatnya alihfungsi lahan menjadi
lahan perkebunan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi seperti kelapa sawit
dan kopi, pembangunan jalan, lahan pemukiman maupun pabrik. Salah satu
contoh alih fungsi lahan terjadi di kebun plasma nutfah kelapa di Paniki, Manado,
Sulawesi Utara menjadi lokasi olahraga pacuan kuda (Novarianto, 2008). Alih
fungsi lahan perkebunan kelapa menjadi perumahan dan area industri juga terjadi
setiap tahun dengan persentase luas lahan menurun sekitar 5 sampai 10 %
(http://www.republika.co.id, 2014).
Faktor terakhir yang menjadi penyebab berkurangnya luas area
perkebunan kelapa adalah bencana alam. Sebagai contoh bencana alam tsunami
yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 telah mengakibatkan hilangnya perkebunan
kelapa sekitar 10 ribu hektar (9,28 %) (aceh.antarnews.com, 2014).
Salah satu akibat yang muncul dengan menurunnya luas area perkebunan
kelapa serta dialihfungsikannya lahan perkebunan sebagai akibat rendahnya
produktivitas perkebunan kelapa adalah munculnya ancaman akan hilangnya
keanekaragaman hayati kelapa di Indonesia.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
25
2.2 Konservasi Kelapa dan Permasalahannya
Indonesia merupakan negara keanekaragaman hayati kelapa paling tinggi di
dunia . Pada tahun 2012, Indonesia memiliki 105 kultivar kelapa yang terdiri atas
82 kultivar kelapa tipe dalam dan 23 kultivar kelapa tipe genjah. Angka tersebut
merupakan 25 % dari total kultivar kelapa yang telah diketahui di dunia (419
kultivar kelapa; Bourdeix, 2012). Diperkirakan, Indonesia masih memiliki sekitar
400 kultivar kelapa yang belum teridentifikasi dan hidup di kebun petani maupun
daerah terpencil (Novarianto, 2008). Oleh karena itu perlu upaya dilakukan untuk
melestarikan plasma nutfah kelapa di Indonesia.
2.2.1 Konservasi In Situ
Salah satu teknik konservasi kelapa paling mudah dan murah untuk
dilakukan serta mampu menyimpan keragaman genetik yang lebih beragam
(Dullo et al., 2005) adalah teknik konservasi secara in situ. Konservasi in situ
dilakukan dengan cara melestarikan plasma nutfah kelapa di habitat asli kelapa
itu hidup (Leunufna, 2007). Salah satu contoh keberhasilan program konservasi
kelapa secara in situ adalah konservasi kelapa kopyor yang dilakukan oleh para
petani kelapa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah sejak tahun 1960-an (Maskromo et
al., 2007). Pada saat ini, jumlah pohon kelapa kopyor yang dimiliki oleh para
petani tersebut mencapai sekitar 2000 pohon dan hidup terlindung di kebun
petani (Kompas.com, 2012). Namun demikian, teknik konservasi in situ sangat
rentan terjadinya alihfungsi lahan sehingga plasma nutfah menjadi hilang,
memiliki pendataan yang kurang baik, serta membutuhkan komitmen yang tinggi
dari para petani untuk menjaga kelestariannya dalam jangka yang panjang (Dullo
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
26
et al., 2005). Oleh karena itu perlu alternatif lain untuk melestarikan plasma
nutfah kelapa di Indonesia.
2.2.2 Konservasi Ex Situ
Salah satu teknik konservasi yang memiliki lebih banyak keunggulan
dibandingkan konservasi secara in situ adalah konservasi secara ex situ. Teknik
tersebut memiliki banyak keunggulan seperti relatif aman dari alih fungsi lahan
karena umumnya dimiliki oleh pemerintah, pengumpulan data jauh lebih rinci
karena terdapat di satu wilayah dengan akses data yang lebih mudah, serta
memiliki perawatan yang lebih intensif (Engelman, 2011).. Konservasi secara ex
situ merupakan upaya melestarikan plasma nutfah kelapa di luar habitat aslinya.
Teknik-teknik konservasi kelapa secara ex situ yang banyak dilakukan antara lain
dalam bentuk kebun plasma nutfah, penyimpanan pollen, maupun penyimpanan
embrio zigotik (Dullo et al., 2005).
2.2.2.1 Kebun Plasma Nutfah
Kebun plasma nutfah merupakan salah satu cara untuk melestarikan plasma
nutfah kelapa yang paling banyak dilakukan. Koleksi kebun plasma nutfah kelapa
pertama kali di bangun di Indonesia pada tahun 1930 di Manado, Sulawesi Utara.
Sebanyak 40 kultivar kelapa dari berbagai daerah di Indonesia berhasil dikoleksi
oleh seorang ilmuwan kelapa dari Belanda bernama Dr Tammes (Novarianto,
2008). Pada saat ini, Indonesia telah memiliki 7 kebun plasma nutfah kelapa yaitu
Pakuwon (Jawa Barat), Bone-bone (Sulawesi Selatan), Sikijang Mati (Riau),
Mapanget, Paniki, Pandu dan Kima Atas (Sulawesi Utara; Novarianto et al., 2005;
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
27
Tabel 2.1) yang berhasil mengkoleksi kelapa dalam sebanyak 95 aksesi pada
tahun 2007.(Novarianto & Tampeke, 2008).
Bahkan, mulai tahun 1993, Indonesia telah ditetapkan oleh International
Coconut Genetics Network (COGENT) sebagai salah satu lokasi kebun plasma
kelapa nutfah bertaraf Internasional (International coconut genebank/ ICG) di
antara lima lokasi di dunia. Indonesia merupakan lokasi kebun plasma nutfah
untuk seluruh kultivar yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur
meliputi Indonesia, Malaysia, Myanmar, Philipina, Thaliand, Vietnamdan China
(Novarianto, 2008). Pada awalnya lokasi yang ditentukan sebagai kebun plasma
nutfah adalah di Sikijang Mati, Riau (Novarianto et al., 2005). Namun, karena
adanya okupasi tanah oleh masyarakat sekitar di era reformasi, maka lokasi kebun
plasma nutfah tersebut kemudian dipindahkan ke kebun Pandu dan Paniki,
Sulawesi Utara sejak tahun 2002 (Tulalo, et al., 2007).
Tabel 2.1 Jumlah aksesi Tall dan Dwarf di kebun plasma nutfah di Indonesia
No
1.
Kebun plasma nutfah
Pakuwon
(Jawa
Barat),
2
Bone
–
bone
(Sulawesi Selatan)
3
Sikijang Mati (Riau)
4
Mapanget
5
Paniki
6
Pandu
7
Kima Atas
JUMLAH
Jumlah aksesi
Tall
Dwarf
12
8
Referensi
Novarianto et al, 2005
Novarianto, 2008
24
40
21
5
9
13
10
5
102
45
Novarianto et al, 2005
Novarianto et al, 2005
Novarianto, 2008
Tulalo et al, 2007
Dengan dibangunnya kebun plasma nutfah kelapa oleh pemerintah,
konservasi kelapa menjadi lebih relatif aman dari alih fungsi lahan, serta memiliki
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
28
perawatan yang lebih intensif untuk menghindari hama dan penyakit (Engelman,
2011). Namun demikian, perawatan kebun plasma nutfah membutuhkan biaya
yang cukup besar serta belum aman dari ancaman bencana alam (kekeringan),
hama maupun penyakit (Engelman, 2011). Oleh karena itu pengembangan teknik
konservasi alternatif yang dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan cadangan
plasma nutfah sangat dibutuhkan untuk menjamin keberadaan plasma nutfah yang
berharga tersebut.
2.2.3 Penyimpanan Pollen Kelapa
Penyimpanan pollen merupakan salah satu upaya konservasi kelapa yang
mudah untuk melindungi dari serangan hama dan penyakit serta bencana alam.
Penyimpanan pollen biasanya digunakan untuk studi biokimia, dasar fisiologi,
kesuburan dan bioteknologi dengan melibatkan ekspresi gen serta transformasi
dan ferlitilisasi secara in vitro. Selain itu penyimpanan pollen juga penting untuk
program pemuliaan tanaman (Panis & Lambardi, 2005; Engelman et al., 2007).
Penyimpanan pollen dapat dilakukan dengan penyimpanan jangka pendek
dan jangka waktu yang panjang. Penyimpanan jangka pendek selama 2 sampai 6
bulan dilakukan dengan cara pollen dikeringkan kemudian dimasukkan kedalam
plastik, divakum dan
disimpan di dalam freezer (Dulloo, et al., 2005).
Penyimpanan jangka panjang dilakukan dengan cara menyimpan pollen kering
tersebut di dalam nitrogen cair – 1960C (Panella et al., 2009).
Teknik penyimpanan pollen memiliki kelebihan dibandingkan dengan
teknik konservasi in situ maupun konservasi dengan pembangunan kebun plasma
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
29
nutfah karena tidak membutuhkan ruang simpan yang besar, mudah untuk
pertukaran plasma dalam jumlah besar, maupun aman dari hama dan penyakit
(COGENT, 2008). Namun demikian, konservasi pollen hanya menyimpan
setengah dari total informasi genetik yang dimiliki oleh kelapa (Engelmann et al.,
2007)
2.2.4 Penyimpanan Embrio Zigotik Kelapa
Teknik konservasi ex situ yang dapat digunakan sebagai cadangan plasma
nutfah yang mampu menyimpan seluruh informasi genetika yang dimiliki oleh
kelapa adalah dengan menggunakan penyimpanan embrio zigotik. Hal tersebut
banyak dilakukan karena kelapa tidak dapat disimpan dalam bentuk biji karena
ukurannya yang sangat besar, sekitar 600 gram hingga 3 kg (Faole, 2003).
Disamping itu, biji kelapa terbukti tidak mempunyai masa dormansi serta tidak
dapat dikeringkan (biji recalcitrant) sehingga tidak dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama (Dullo et al., 2005). Penyimpanan dengan menggunakan embrio
zigotik kelapa memiliki banyak keunggulan seperti ukuran yang jauh lebih kecil
(sekitar 0,1 g; Sisunandar et al., 2014), embrio zigotik dapat ditumbuhkan dalam
medium kultur jaringan untuk membentuk tanaman utuh dan sekaligus dapat
menyimpan informasi genetik secara utuh apabila dibandingkan dengan teknik
penyimpanan pollen (Karun et al., 2005), serta pohon kelapa yang dihasilkan dari
embrio zigotik tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan pohon kelapa
yang berasal dari biji (Sisunandar et al., 2010b).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
30
Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menyimpan embrio zigotik
kelapa, baik untuk penyimpanan embrio dalam jangka pendek sampai menengah
dan jangka panjang. Teknik penyimpanan embrio kelapa dalam jangka waktu
pendek sampai menengah (short-to-medium term conservation) mampu
menyimpan plasma nutfah embrio kelapa untuk jangka waktu 2 hingga 12 bulan
(Engelmann, 1990) dapat dilakukan dengan penyimpanan secara in vitro maupun
penyimpanan embrio yang dikeringkan dan disimpan di pada suhu rendah.
Penyimpanan embrio zigotik kelapa secara in vitro dapat dilakukan
dengan cara memperpanjang lama waktu subkultur. Beberapa cara telah dilakukan
untuk tujuan tersebut seperti menurunkan temperatur ruang kultur sampai 40C
mampu digunakan untuk menyimpan embrio kelapa selama 3 bulan, menurunkan
konsentrasi medium tanam (Karunaratne, 1988), penambahan senyawa yang
mampu menurunkan penyerapan nutrisi (monitol), zat penghambat pertumbuhan
maupun intensitas cahaya juga berperan menurunkan metabolisme tanaman
(Sukendah & Cedo, 2005; Muhammed, 2013; Ledo et al, 2014).
Teknik penyimpanan embrio kelapa secara in vitro tersebut mampu
menyimpan embrio dalam kondisi steril, mudah dilakukan pertukaran plasma
nutfah serta material yang disimpan dalam kondisi hidup sehingga memudahkan
untuk mendapatkan bibit apabila dibutuhkan. Namun demikian, teknik tersebut
hanya mampu menyimpan embrio dalam waktu yang terbatas, tingginya resiko
kontaminasi selama penyimpanan dan subkultur serta membutuhkan biaya yang
besar karena membutuhkan tindakan subkultur yang berulang – ulang (Sukendah
& Cedo, 2005).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
31
Teknik penyimpanan embrio kelapa untuk jangka waktu yang pendek
sampai menengah dapat pula dilakukan dengan cara embrio dikeringkan sampai
kadar air sekitar 29 % dan embrio disimpan pada suhu -200C sampai -800C
(Sisunandar et al., 2012). Cara tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan
murah. Namun demikian, embrio yang disimpan dengan menggunakan teknik
penyimpanan tersebut hanya mampu bertahan selama 26 minggu, serta memiliki
tingkat keberhasilan untuk mendapatkan tanaman kembali dari embrio yang
disimpan hanya sekitar 12% (Sisunandar et al., 2012). Oleh karena itu, alternatif
penyimpanan embrio kelapa yang mampu digunakan untuk menyimpan embrio
dalam jangka waktu yang lebih panjang dengan tingkat keberhasilan yang lebih
tinggi perlu diupayakan
2.2.5 Kriopreservasi Kelapa dan Permasalahannya
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk penyimpanan embrio
kelapa dalam jangka waktu yang panjang (long term conservation) adalah dengan
menggunakan teknik kriopreservasi. Teknik kriopreservasi adalah salah satu
teknik yang memungkinkan untuk penyimpanan jangka panjang embrio kelapa
dengan disimpan pada suhu yang sangat rendah (nitrogen cair, – 196 oC). Pada
suhu tersebut, aktifitas metabolisme sel akan berjalan lambat atau bahkan terhenti,
embrio dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama bahkan tidak terbatas serta
tidak ada subkultur berulang sehingga terhindar dari resiko kontaminasi
Engelmann, 1990). Contoh tanaman yang telah disimpan dengan menggunakan
teknik kriopreservasi antara lain purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.;Roostika
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
32
et al., 2013), pisang (Musa spp; Hardaningsih et al., 2012); rosella (Hibiscus
sabdariffa L.;Harahap et al.,2015).
Terdapat empat tahapan yang harus dilakukan dalam teknik kriopreservasi
adalah tahap pengeringan (dehidrasi), pembekuan (freezing), pencairan (thawing),
dan pemulihan kembali (recovery).
2.2.5.1 Dehidrasi
Teknik dehidrasi bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung
dalam suatu
jaringan yang akan dibekukan. Perlakuan awal tersebut sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan kropreservasi karena kadar air di dalam sel
yang tinggi akan mengakibatkan terbentuk kristal es pada saat sel tersebut
dibekukan. Akibatnya, sel tersebut akan mengalami kerusakan bahkan kematian
sehingga tidak dapat disimpan dan tidak dapat disembuhkan (Panis & Lambardi,
2005). Oleh karena itu, semakin rendah kadar air yang tersisa di dalam sel maka
semakin banyak sampel yang mampu hidup setelah pembekuan.
Spesies tanaman yang tergolong ortodoks mampu bertahan terhadap
dehidrasi hingga kadar air rendah sekitar 5% sehingga pada saat pembekuan pada
suhu rendah embrio tidak akan mengalami kerusakan (Sisunandar et al ., 2010),
seperti biji wijen (Sesamum indicum L;Priadi, 2006), kacang buncis (Phaseolus
vulgaris;Pammenter & Berjak, 2000), dan jagung (Zea-mays; Usman, 2010).
Namun demikian, terdapat banyak spesies tanaman yang tergolong rekalsitran
yaitu tanaman yang tidak tahan terhadap dehidrasi dibawah 20 % sehingga tidak
mudah dibekukan pada suhu ultra rendah seperti Kakao (Theobroma cacao L.;
Pancaningtyas, 2013), mangrove (Avicennia marina dan Aesculus hippocastan
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
33
;Pammenter & Berjak, 2000), melur (Podocarpus neriifolius; Syamsuwida &
Aminah, 2008), maupun kelapa (Cocos nucifera L.; Sisunandar et al ., 2010).
Saat ini, berbagai teknik dehidrasi telah banyak dikembangkan, secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu dehidrasi secara fisik dan
dehidrasi secara kimia atau kombinasi dari keduanya. Dehidrasi secara fisik dapat
dilakukan dengan menggunakan laminar air flow (LAF) ataupun silica gel (Panis
& Lambardi, 2005). Teknik dehidrasi dengan menggunakan LAF selama hampir 5
jam berhasil digunakan untuk mendehidrasi embrio zigotik labu siam (Sechium
edule Jacq.Sw) dengan tingkat keberhasilan 30% (Abdelnour- Esquivel &
Engelmann, 2002). Teknik yang sama dilakukan selama 0,5 jam juga berhasil
digunakan pada embrio zigotik kopi robusta ( Coffea canephora) dengan tingkat
keberhasilan
41 % maupun kopi arabika (C. Arabica L) dengan tingkat
keberhasilan mencapai 95,8% (Abdelnour- Esquivel et al., 1992).
Teknik dehidrasi yang lain menggunakan larutan kimia yang disebut
dengan dehidrasi secara kimia. Larutan yang digunakan memiliki konsentrasi
yang tinggi sehingga mampu menurunkan jumlah kadar air didalam sel seperti
sukrosa, glukosa, dan PEG (Engelmann, 1990; Gomes-Copeland et al., 2015).
Tanaman yang berhasil didehidrasi dengan menggunakan sukrosa 0,75 M selama
tiga hari antara lain embrio zigotik hantap (Sterculia cordata) yang memiliki
tingkat keberhasilan 80% setelah disimpan di dalam larutan nitrogen cair
(Nadarajan et al., 2007). Teknik dehidrasi dengan larutan sukrosa juga
diaplikasikan pada ujung pucuk tanaman jeruk ponsil (Poncirus trifoliata) dengan
cara eksplan direndam dalam larutan 0,5 M sukrosa selama 3 hari dan disimpan di
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
34
dalam larutan nirogen cair terbukti memiliki tingkat keberhasilan mencapai
hampir 50 % (Gonzalez-Arnao et al., 1998).
2.2.5.2 Pembekuan (Freezing)
Salah satu faktor keberhasilan penyimpanan plasma nutfah adalah pada
temperatur penyimpanan. Semakin rendah suhu penyimpanan yang digunakan,
maka waktu penyimpanan sampel dapat bertahan lebih lama (Walter et al., 2004).
Pada biji Lactuca sativa , penyimpanan pada suhu rendah (5 0C) hanya mampu
bertahan selama 13 tahun, sedangkan penyimpnana pada suhu -18 0C biji mampu
menyebabkan biji berhasil disimpan selama 150 tahun, bahkan penyimpanan biji
pada suhu ultra rendah (-196 0C) mampu menyimpan biji lebih dari 3000 tahun
(Walter et al., 2004).
Berdasarkan kecepatannya, teknik pembekuan (freezing) dapat dibagi
menjadi dua yaitu pembekuan lambat (slow freezing) dan cepat (rapid freezing;
Engelmann, 1990). Teknik pembekuan lambat dilakukan dengan menggunakan
mesin pendingin yang dapat diprogram kecepatannya (0,5 - 2 0C per menit)
_sampai suhu sekitar – 40 0C atau – 80 0C dan dilanjutkan pembekuan suhu ultra
rendah (nitrogen cair; -196 0C) (Engelmann, 2004). Namun, teknik pembekuan
lambat tidak banyak digunakan karena membutuhkan alat pendingin yang yang
mahal (Engelmann, 2004). Tanaman yang pernah diujicobakan menggunakan
teknik pembekuan lambat adalah singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan
tingkat keberhasilan 55% (Danso, 2011). Teknik pembekuan secara cepat (rapid
freezing) juga telah banyak digunakan seperti pada embrio hantap (Sterculia
cordata) tingkat keberhasilan berkecambah mencapai 80% (Nadarajan et al.,
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
35
2007), tunas apel (Malus domestica) tingkat keberhasilan mencapai 68% kultivar
Romus dan 62% kultivar rootstock M16 Halmagyi et al., 2010). Teknik tersebut
dapat menghindari terbentuknya kristal es didalam sel yang dilakukan dengan cara
merendam secara langsung biji ke dalam nitrogen cair (-196 0C; Engelmann,
2004).
2.2.5.3 Pencairan (Thawing)
Pencairan (thawing) merupakan proses pengembalian sampel setelah
direndam dalam suhu ultra rendah (nitrogen cair) untuk kembali ke suhu
lingkungan. teknik thawing banyak dilakukan untuk menghindari terjadinya
kerusakan jaringan tanaman yang disimpan sebagai akibat dari memanasnya suhu
dari lingkungan dari suhu beku menjadi suhu ruangan. Selama proses tersebut
dapat terjadi pembentukan kristal sehingga merusak sel tanaman yang disimpan.
Oleh karena itu teknik thawing yang baik adalah teknik thawing yang
tidak menyebabkan timbulnya kristal es sehingga menyebabkan sel yang disimpan
mengalami kerusakan. Berdasarakan kecepatannya, theknik thowing dibedakan
menjadi slow thawing dan rapid thawing. Teknik slow thawing merupakan teknik
yang dapat dilakukan dengan cara membiarkan cryotube dalam suhu ruang
(sekitar 25 0C; Engelmann, 1990). Contoh penerapan teknik slow thawing telah
mencapai keberhasilan 80% pada tanaman quina (Strychnos pseudoquina) dengan
cara sampel dibiarkan di suhu ruangan selama 2 jam (Silva et al., 2012). Pada
tanaman lain seperti Ekebargia capensis mengggunakan suhu ruang selama 30
menit sampel dapat dilelehakan (Peran et al., 2006).
Teknik thawing yang banyak digunakan adalah rapid thawing. Teknik
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
cara
mencelupkan
cryotube
(tabung
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
36
kriopreservasi) ke dalam air yang bersuhu 40 0C selama kurang lebih 3 menit
(Engelmann, 1990). Teknik rapid thawing tersebut berhasil diaplikasikan pada pir
(Pyrus serotina; Oka et al., 1991), teh (Camellia sinensis L), nangka, (Artocarpus
heterophyllus L) maupun cokelat (Theobroma cacao L; Chandel et al., 1995).
Teknik rapid thawing tersebut berhasil digunakan pada kotiledon embrio
tanaman teh (Camellia sinensis L) dengan tingkat kebehasilan antara 75-80% bibit
(Kim et al., 2002) maupun pada sumbu embrio nangka (Artocarpus heterophyllus
L dengan tingkat kelangsunghidupan 30% (Chandel et al., 1995).
2.2.5.4 Pemulihan (Recovery)
Dalam meningkatkan keberhasilan kriopreservasi terdapat tahap akhir dari
teknik tersebut yaitu pemulihan kembali (recovery). Pada tahap pemulihan,
sampel akan dikembalikan pada kondisi tempat tumbuh yangg optimal secara in
vitro. Penggunaan medium dan teknik yang tepat akan berpengaruh terhadap
keberhasilan pertumbuhan sampel (Reed, 2007). Medium dasar yang sering
digunakan dalam pemulihan tanaman kryopreservasi antara lain medium MS
(Murasige & Skoog; Assy-bah & Engelman, 1992, 1993; N‟Nan et al., 2012),
HEC (hibrid embrio culture medium; Rillo, 2004) serta Eeuwens Y3 (GomesCopelandet al., 2015).
Selain penggunaan medium pemulihan juga ada yang digunakan untuk
pemulihan sampel yaitu zat pengatur tumbuh (ZPT) yang dimasukkan ke dalam
medium tanam. Seperti yang diaplikasikan pada tanaman stroberry menggunakan
medium dasar MS ditambah dengan 1µM BA dengan tingkat keberhasilan
meristem yang tumbuh kembali mencapai 59,3 % (Caswell & Kartha, 2009),
selain itu medium MS dengan penambahan 0,25 mg dm-3 kinetin pada tumbuhan
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
37
krisan (Chysanthemum sp) memiliki tingkat keberhasilan pemulihan 40%
(Zalewska & Kulus, 2013).
2.3 Perkembangan Penelitian Kriopreservasi Kelapa
Teknik kriopreservasi kelapa sampai saat ini masih terus dikembangkan.
Terdapat
beberapa
eksplan
tanaman
kelapa
yang telah
dikembangkan
menggunakan kriopreservasi, ada tiga jenis yaitu plumular (Bandupriya et al.,
2007; N‟ann et al., 2014), embrio muda (Bajaj, 1984) maupun embrio matang.
Namun demikian, eksplan tanaman kelapa yang memiliki tingkat keberhasilan
tertinggi dan lebih sering digunakan dalam penelitian kriopreservasi kelapa adalah
embrio matang (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Perkembangan penelitian kultur embrio kelapa dan literatur yang
mendukungnya
Praperlakuan
dan waktu
(jam)
Glukosa +
Glisero
(11- 20)
Sukrosa
(2M)
Sukrosa
(3M)
Glukosa
Dehidrasi
dan waktu
(jam)
Pembeku
an
LAF (4)
Cepat
LAF +
(24)
Silika gel
(18)
Silika gel
Cepat
Silika gel
Cepat
Silika gel
(8)
Cepat
Silika gel
(80 g) (48 ),
LAF (MYD,
WAT)
Cepat
Cepat
Cepat
Cepat
Pencairan
Berkecam
kelulushi Berkeca
Aklima
(0C) dan
bah
dupan
mbah
tisasi
Sumber
waktu
normal
(%)
(%)
(%)
(menit)
(%)
40
33-93
NA
Na
Na
Assy-Bah
(2)
&
Engelman
n 1992
40
Na
80
70
60
Karun et
(2)
al.., 2005
Na
90
70
60
40
(2)
40
(2)
40
(3)
Na
68,8
Na
20,8
Na
47,9
Na
39
70
61
43
20-40
40
(2)
40
(2)
Na
74
1
82,75
Na
Na
Na
Na
Na
Sajini et
al., 2006
Sisunandar
et
al.,
2010b
AllaN‟nan et
al., 2012
Keterangan : Na = Informasi tidak tersedia
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
38
Penelitian tentang kriopreservasi embrio kelapa telah dilaporkan oleh
Assy-bah & Engelmann (1992) dengan cara embrio kelapa dikeringkan selama 4
jam di dalam LAF (laminar air flow) dan didehidrasi pada medium (MS makro
dan mikro, Vitamin Morel & Wetmore, 41 mg/L, FeEDTA, 100 mg/L natrium
askorbat) dengan penambahan 600 g/L sukrosa dan 15 % gliserol, dengan pH 5,5
selama 20 jam. Setelah dilakukan penyimpanan pada suhu -196
0
C dan
dilanjutkan dengan rapid thawing dan recovery, persentase embrio yang mampu
bertahan hidup mencapai 93 %. Namun demikian, persentase kecambah yang
berhasil tumbuh setelah disimpan serta jumlah bibit yang dihasilkan dari embrio
yang telah disimpan belum dilaporkan.
Karun et al. (2005) melaporkan bahwa embrio kelapa yang telah
dikeringkan menggunakan dengan menggunakan silika gel selama 18 jam
kemudian disimpan pada suhu ultra rendah (-1960C) dan dilakukan rapid thawing
maupun recovery, sebanyak 90 % dari embrio yang disimpan berhasil tumbuh dan
sekitar 70 % embrio berhasil berkecambah secara normal, namun hanya dan 60 %
bibit yang dihasilkan berhasil diaklimatisasi. Namun demikian pada penelitian
tersebut persentase bibit siap tanam yang dihasilkan dari embrio yang telah
dikriopreservasi tidak dilaporkan. Pada penelitian tersebut digunakan embrio
kelapa kultivar West Coast Tall.
Embrio kelapa yang dikeringkan dengan teknik yang lebih cepat., yaitu
dengan menggunakan silika gel selama 8 jam sebelum embrio kelapa di simpan
pada suhu ultra rendah (-1960C) menunjukkan bahwa setelah dilakukan rapid
thawing dan recovery,
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
39
Hampir 70 % embrio mampu bertahan hidup pada suhu ultra rendah, 61 %
embrio mampu berkecambah dengan sekitar 40 % embrio mampu berkecambah
secara normal (Sisunandar et al., 2010). Penelitian tersebut juga melaporkan
bahwa di antara20 kultivar kelapa Indonesia yang disimpan, terdapat 5 kultivar
yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi (30 – 40 %) setelah disimpan dalam
suhu ultra rendah, 11 kultivar dengan tingkat keberhasilan sedang (10 – 30 %) dan
4 kultivar dengan tingkat keberhasilan rendah (kurang dari 10 %; Sisunandar et
al., 2010).
Penelitian kriopreservasi embrio kelapa dengan menggunakan teknik
dehidrasi juga telah dilakukan dengan cara embrio direndam dalam medium yang
mengandung sukrosa 2 M yang dikeringkan menggunakan silica gel selama 24
jam. Setelah dilakukan penyimpanan di dalam nitrogen cair dan dilakukan rapid
thawing dan recovery, hampir 70 % embrio yang disimpan berhasil
dikecambahkan dan sekitar 20 % embrio yang berkecambah berhasil
diaklimatisasikan.
Namun demikian, persentase bibit yang siap tanam yang
dihasilkan dari embrio yang telah dikriopreservasi belum dilaporkan (Sajini et al.,
2006)
Upaya peningkatan persentase keberhasilan perkecambahan dari embrio
yang telah disimpan dalam nitrogen cair juga telah dilakukan oleh N‟Nan et al.,
(2012) dengan cara embrio didehidrasi dengan larutan 3,2 M glukosa dan
ditempatkan pada laminar air flow (LAF) selama 24 jam sebelum embrio
disimpan pada suhu ultra rendah. Setelah dilakukan rapid thawing dan recovery,
sebanyak lebih dari 80 % embrio berhasil berkecambah. Namun persentase
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
40
kecambah normal, maupun persentase embrio yang berhasil diaklimatisasikan
belum dilaporkan.
Perkembangan teknik kriopreservasi kelapa sudah banyak dilakukan,
namun
masih
dipandang perlu untuk
dikembangkanlebih lanjut
untuk
meningkatkan keberhasilan kriopreservasi maupun diaplikasikan pada kultivar
kelapa yang lain. Salah satu cara yang banyak dilakukan untuk meningkatkan
keberhasilan kriopreservasi tersebut
adalah dengan menambahkan zat
krioprotektan ke dalam medium dehidrasi seperti sorbitol.
2.5 Sorbitol
Sorbitol merupakan salah satu gula alkohol hasil reduksi dari glukosa
dimana semua atom oksigennya terdapat dalam bentuk hidroksil (polyhidric
alcohol; Soesilo et al., 2005). Secara kimiawi, sorbitol mempunyai rumus kimia
(C6H14O6) dengan rantai enam karbon dan tidak mempunyai gugus karbonil
(Soesilo et al., 2005; Gambar.2.4)
Gambar 2.4 Struktur kimiawi sorbitol (Karakas, 2001)
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
41
Sorbitol memiliki sifat tidak dapat menembus membran sel karena
memiliki ukuran yang relatif besar dengan berat molekul 182.17 g/mol sehingga
digolongkan ke dalam non permeating cryoprotectant (Chen et al., 1984). Seperti
diketahui, senyawa krioprotektan digolongkan menjadi dua macam, yaitu
penetrating cryoprotectant dan non-penetrating cryoprotectant. Senyawa
golongan pertama dapat menembus membran sel sehingga dapat menurunkan
pembentukan kristal es di dalam sel serta dapat menurunkan kemungkinan
terjadinya dehidrasi di dalam sel selama proses pembekuan (Wowk, 2007).
Namun demikian, penetrating cryoprotectant tersebut pada umumnya bersifat
racun jika digunakan dalam konsentrasi tinggi sehingga dapat membunuh sel yang
disimpan. Senyawa yang tergolong penetrating cryoprotectant seperti dimethyl
sulfoksida, methanol, ethanol, maupun gliserol.
Hal sebaliknya terjadi pada non-penetrating cryoprotectant seperti glukosa,
silosa (monosakarida), sukrosa, laktosa, maltosa (disakarida), polietilen glikol,
polivinil pirolidon, ataupun senyawa turunan poliaklohol seperti manitol dan
sorbitol (Hubalek, 2003). Salah satu keuntungan penggunaan senyawa
krioprotektan golongan ini adalah kurang bersifat racun terhadap sel, khususnya
jika digunakan dalam konsentrasi yang rendah – sedang. Senyawa krioprotektan
seperti sorbitol tersebut berperan penting dalam melindungi sel selama proses
kriopreservasi dengan cara
meningkatkan tekanan osmostik cairan matriks
ekstraselluler (Wowk, 2007). Tingginya tekanan osmotik di luar sel tersebut dapat
mengakibatkan konsentrasi air di dalam sel menurun sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kristal di dalam sel selama proses freezing. Konsentrasi
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
42
tinggi cairan krioprotektan di matriks ekstraselluler juga dapat menurunkan
masukknya air ke dalam sel selama proses thawing sehingga hal tersebut juga
dapat menghambat pembentukan kristal selama proses thawing.
Penggunaan senyawa non-penetrating cryoprotectant seperti sorbitol untuk
meningkatkan keberhasilan kriopreservasi telah banyak dilaporkan. Pada Zizania
texana, penambahan sorbitol sebesar 0,8 M ke dalam medium dehidrasi berhasil
meningkatkan keberhasilan kriopreservasi dari 5 % pada medium dehidrasi tanpa
penambahan sorbitol menjadi 75 % pada medium dehidrasi dengan penambahan
sorbitol (Walters et al., 2002).
Penambahan sorbitol ke dalam medium dehidrasi juga dilaporkan mampu
meningkatkan keberhasilan kriopreservasi kalus Solanum tuberosum dari 0 5 pada
medium dehidrasi tanpa penambahan sorbitol menjadi sekitar 75 % pada medium
dehidrasi dengan penambahan 0,7 M sorbitol (Dobbernack et al., 2011).
Penambahan sorbitol kedalam medium dehidrasi dapat meningkatkan
kelangsungan hidup dari gandum (Secale cereale L. cv Puma). Penelitian ini
dilakukan dengan cara mengisolasi jaringan protoplast dari daun gandum (Secale
cereale L. cv Puma). Medium dehidrasi yang digunakan dengan ditambahkan 1,5
M sorbitol memiliki tingkat kelangsungan hidup 51% lebih tinggi dari medium
dengan ditambahkan 1,03 M sorbitol dan 2 M etilen glikol hanya memiliki tingkat
kelangsungan hidup sekitar 34% setelah disimpan dalam nitrogen cair (Langis dan
Steponkus, 1990).
Namun demikian, respon positif perlakuan sorbitol dalam meningkatkan
keberhasilan kriopreservasi sangat bergantung pada jenis tumbuhan yang
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
43
disimpan. Pada kriopreservasi embrio somatik Pinus pinaster, penambahan
sorbitol ke dalam medium dehidrasi tidak dapat meningkatkan kelulushidupan
embrio somatik secara signifikan setelah embrio disimpan pada suhu beku
(Marum et al., 2004). Meskipun demikian, perlakuan tersebut mampu
menurunkan potensial air di dalam sel dari -0,09 MPa pada perlakuan dehidrasi
tanpa sorbitol menjadi -2,46 Mpa pada perlakuan dehidrasi dengan menggunakan
sorbitol.
Upaya peningkatakan keberhasilan kriopreservasi tunas kentang dengan
menambahkan sorbitol ke dalam medium dehidrasi juga tidak mampu
meningkatkan persentase kelulushidupan tunas kentang setelah disimpan pada
suhu beku. Bahkan perlakuan penambahan 0,5 M sorbitol ke dalam medium
dehidrasi justru menurunkan tingkat kelulushidupan dari sekitar 50 % dengan
perlakuan medium dehidrasi tanpa penambahan sorbitol menjadi hanya sekitar 30
% pada perlakuan medium dehidrasi dengan penambahan sorbitol (Halmagyi et
al., 2005).
Pada tanaman kelapa, sorbitol juga telah dicobakan untuk meningkatkan
keberhasilan penyimpanan embrio kelapa pada suhu ultra rendah (-1960C), seperti
yang dilaporkan oleh Assy-Bah and Engelmann (1992). Tingkat keberhasilan
penyimpanan embrio kelapa hibrida PB 121 meningkat dari 0% pada dehidrasi
dengan menggunakan medium tanpa sorbitol menjadi sekitar 40% pada dehidrasi
dengan medium yang ditambahkan sorbitol. Oleh karena dalam penelitian ini
dilakukan upaya peningkatan keberhasilan kriopreservasi embrio kelapa Indonesia
khusunya kelapa Banyumas dengan melakukan penambahan sorbitol pada
medium dehidrasi.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
Download