1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman tropis yang
sangat penting di Indonesia. Pada tahun 2014, Indonesia merupakan negara yang
memiliki luas area perkebunan 3,08 juta Ha (terluas kedua di dunia sesudah
Philippina, 3,5 juta Ha) dengan total produksi mencapai 19,9 juta ton setelah
Philippina ( FAO, 2016). Kelapa merupakan salah satu komoditas eksport utama
di Indonesia. Pada tahun 2005, total ekspor kelapa Indonesia mencapai sekitar
US$ 300 juta atau sekitar 20 % dari total eksport dunia. Pada tahun 2011, angka
tersebut menempatkan kelapa sebagai penghasil devisa terbesar keempat dari
sektor perkebunan setelah kelapa sawit, karet dan kopi (FAO, 2016).
Di samping memiliki nilai ekonomi yang tinggi, kelapa juga dikenal
berperan penting dalam kehidupan sosial dan budaya bagi masyarakat Indonesia.
Hampir seluruh bagian dari pohon kelapa bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Batang kelapa merupakan bahan bangunan dan furniture yang penting. Demikian
pula dengan daun kelapa yang banyak digunakan untuk kepentingan upacara
keragamaan maupun upacara adat dan upacara perkawinan (Pratiwi, 2013). Oleh
karena itu pohon kelapa biasa dikenal sebagai pohon kehidupan (tree of life).
Meskipun kelapa memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat,
namun banyak kendala yang dihadapi dalam budidaya kelapa di Indonesia. Salah
satu permasalahan utama yang dihadapi adalah adanya kecenderungan penurunan
1
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
2
luas area perkebunan kelapa di Indonesia khususnya perkebunan berskala besar.
Pada tahun 2000, luas area perkebunan kelapa berskala besar mencapai hampir 90
ribu hektar, sedangkan pada tahun 2012, luas area perkebunan tersebut menurun
menjadi kurang dari 40 ribu hektar (Nasir, 2014).
Salah satu faktor penyebab menurunnya luas area perkebunan kelapa
adalah serangan hama dan penyakit. Hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros
L.) banyak menyerang tanaman kelapa di beberapa lokasi perkebunan sehingga
menyebabkan turunnya luas area perkebunan kelapa di Indonesia. Di Blitar, hama
tersebut menyebabkan menurunnya jumlah pohon kelapa hingga 60 %
(Kustantini, 2014). Di samping hama, kelapa juga banyak diserang oleh beberapa
penyakit berbahaya seperti layu Kalimantan (Phytoplasma) maupun penyakit
busuk pucuk kelapa (Phytophthora palmivora). Pada tahun 1997, penyakit
Phytoplasma menyerang lebih dari 100 ribu pohon kelapa di Kalimantan Timur
dan hampir menyebabkan 50 ribu pohon kelapa mati (Lolong & Motulo, 2014).
Penyakit P. palmivora juga menyebabkan kematian lebih dari 70 ribu pohon
kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan pada tahun 2007 (Lolong, 2010).
Faktor lain yang diduga menjadi penyebab menurunnya luas area
perkebunan kelapa di Indonesia adalah adanya alihfungsi lahan menjadi lahan
perkebunan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi seperti kelapa sawit dan
kopi, pembangunan jalan, lahan pemukiman maupun pabrik. Bahkan, kebun
plasma nutfah kelapa di Paniki, Manado, Sulawesi Utara
juga telah dialih
fungsikan menjadi lokasi olahraga pacuan kuda (Novarianto, 2008).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
3
Di samping menurunnya luas area perkebunan kelapa, kendala lain yang
dihadapi oleh perkebunan kelapa di Indonesia adalah tingginya persentase
perkebunan kelapa yang sudah tua. Pada tahun 2012, hampir 500 ribu hektar
perkebunan kelapa di Indonesia tergolong perkebunan tua (Nasir, 2014).
Akibatnya, produktivitas perkebunan kelapa di Indonesia relatif rendah, yaitu
hanya sekitar 78 % dari total potensi produksi kelapa (Nasir, 2014). Bahkan,
produktivitas perkebunan kelapa tersebut dilaporkan terus mengalami penurunan
dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu selama 13 tahun dari tahun 2000 – 2012,
rata – rata luas area perkebunan kelapa mengalami penurunan sebesar 0,12 % per
tahun dan penurunan produksi hingga 0,86 % per tahun (Minsyah & Endrizal,
2014). Akibat yang timbul dari menurunnya produktivitas perkebunan kelapa
tersebut adalah dialihfungsikannya lahan perkebunan kelapa untuk keperluan lain.
Salah satu akibat yang muncul dengan menurunnya luas area perkebunan
kelapa serta dialihfungsikannya lahan perkebunan sebagai akibat rendahnya
produktivitas perkebunan kelapa adalah munculnya ancaman akan hilangnya
keanekaragaman hayati kelapa di Indonesia. Indonesia merupakan negara paling
tinggi di dunia akan keanekaragaman kelapa. Pada tahun 2012, Indonesia
memiliki 105 kultivar kelapa yang terdiri atas 82 kultivar kelapa tipe dalam dan
23 kultivar kelapa tipe genjah. Angka tersebut merupakan 25 % dari total kultivar
kelapa yang telah diketahui di dunia (419 kultivar kelapa; Bourdeix, 2012).
Diperkirakan, Indonesia masih memiliki sekitar 400 kultivar kelapa yang belum
teridentifikasi dan hidup di kebun petani maupun daerah terpencil (Novarianto,
2008). Oleh karena itu perlu upaya dilakukan untuk melestarikan plasma nutfah
kelapa di Indonesia.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
4
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan plasma nutfah
kelapa di Indonesia, di antaranya melalui konservasi kelapa secara in situ.
Konservasi kelapa secara in situ adalah konservasi yang dilakukan untuk
melestarikan plasma nutfah kelapa di habitat asli kelapa itu hidup (Leunufna,
2007). Salah satu contoh keberhasilan program konservasi kelapa secara in situ
adalah konservasi kelapa kopyor yang dilakukan oleh para petani kelapa di
Kabupaten Pati, Jawa Tengah sejak tahun 1960-an (Maskromo et al., 2007). Pada
saat ini, jumlah pohon kelapa kopyor yang dimiliki oleh para petani tersebut
mencapai sekitar 2000 pohon dan hidup terlindung di kebun petani (Kompas.com,
2012).. Teknik konservasi tersebut mudah dan murah untuk dilakukan serta
keragaman genetik yang disimpan dapat lebih beragam (Dullo et al., 2005).
Namun demikian, teknik konservasi tersebut sangat rentan terjadinya alihfungsi
lahan sehingga plasma nutfah menjadi hilang, memiliki pendataan yang kurang
baik, serta membutuhkan komitmen yang tinggi dari para petani untuk menjaga
kelestariannya dalam jangka yang panjang (Dullo et al., 2005).
Alternatif konservasi kelapa lain yang banyak dilakukan adalah dengan
melakukan konservasi kelapa secara ex situ. Konservasi secara ex situ merupakan
upaya melestarikan plasma nutfah kelapa di luar habitat aslinya. Salah satu teknik
konservasi kelapa secara ex situ yang banyak dilakukan adalah dalam bentuk
kebun plasma nutfah. Pada saat ini, Indonesia telah memiliki 7 kebun plasma
nutfah kelapa yaitu Pakuwon (Jawa Barat), Bone-bone (Sulawesi Selatan),
Sikijang Mati (Riau), Mapanget, Paniki, Pandu dan Kima Atas (Sulawesi Utara;
Novarianto et al., 2005). Teknik konservasi tersebut memiliki banyak keunggulan
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
5
seperti relatif aman dari alih fungsi lahan karena dimiliki oleh pemerintah,
pengumpulan data jauh lebih rinci karena terdapat di satu wilayah dengan akses
data yang lebih mudah, serta memiliki perawatan yang lebih intensif. Namun
demikian, perawatan kebun plasma nutfah membutuhkan biaya yang cukup besar
serta belum aman dari ancaman bencana alam (kekeringan), hama maupun
penyakit (Engelman, 2011). Oleh karena itu pengembangan teknik konservasi
alternatif yang dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan cadangan plasma
nutfah sangat dibutuhkan untuk menjamin keberadaan plasma nutfah yang
berharga tersebut.
Salah satu cara yang banyak digunakan untuk menyimpan plasma nutfah
secara aman, mudah serta murah adalah dengan penyimpanan biji (seed storage).
Namun, teknik tersebut tidak dapat diaplikasikan pada kelapa karena ukuran biji
yang sangat besar. Setiap biji kelapa memiliki berat sekitar 600 gram hingga 3 kg
(Faole, 2003). Disamping itu, biji kelapa terbukti tidak mempunyai masa
dormansi serta tidak dapat dikeringkan (biji recalcitrant) sehingga tidak dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama (Dullo et al., 2005).
Alternatif penyimpanan plasma nutfah kelapa yang paling baik adalah
dengan menyimpan embrio zigotik (Leunufna, 2007). Embrio zigotik kelapa
memiliki banyak keunggulan seperti ukuran yang jauh lebih kecil (sekitar 0,1 g;
Sisunandar et al., 2014) dibandingkan dengan biji, dapat ditumbuhkan dalam
medium kultur jaringan untuk membentuk tanaman utuh (Karun et al., 2005),
serta pohon kelapa yang dihasilkan dari embrio zigotik tidak memiliki perbedaan
yang signifikan dengan pohon kelapa yang berasal dari biji (Sisunandar et al.,
2010b).
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
6
Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menyimpan embrio zigotik
kelapa, baik untuk penyimpanan embrio dalam jangka pendek sampai menengah
dan jangka panjang. Salah satu teknik penyimpanan embrio kelapa dalam jangka
waktu pendek sampai menengah (short-to-medium term conservation) adalah
dengan cara embrio zigotik kelapa disterilkan dan disimpan dalam air steril
selama 2 bulan (Karun & Sajini, 1994). Cara penyimpanan lain yang mampu
digunakan untuk menyimpan embrio dalam jangka waktu yang lebih lama adalah
embrio kelapa disimpan secara in vitro pada medium kultur jaringan yang
ditambahkan 0,3 mannitol. Teknik tersebut mampu digunakan untuk menyimpan
embrio kelapa selama 3 bulan tanpa dilakukan subkultur (Sukendah & Cedo,
2005). Cara lain untuk menyimpan embrio kelapa secara in vitro adalah dengan
cara disimpan pada medium kultur jaringan yang ditambahkan sukrosa 15 g Imampu menyimpan selama 12 bulan (Assy-Bah & Engelmann, 1993). Teknik
penyimpanan tersebut mempunyai banyak kelebihan, di antaranya adalah
membutuhkan ruang simpan yang relatif kecil, bebas hama dan penyakit, dapat
dengan mudah dilakukan pertukaran plasma nutfah serta meminimalkan resiko
rusak akibat bencana alam. Namun, teknik tersebut hanya mampu digunakan
untuk menyimpan embrio dalam waktu yang terbatas serta membutuhkan
tindakan subkultur yang berulang – ulang. Perlakuan tersebut selain itu
menyebabkan tingginya resiko kontaminasi juga tidak efisien dalam hal waktu,
ruang, tenaga, dan biaya (Sukendah & Cedo, 2005). Oleh karena itu diperlukan
alternatif lain yang dapat mengatasi masalah tersebut.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
7
Alternatif yang telah dicobakan untuk menyimpan embrio kelapa dalam
jangka waktu yang pendek sampai menengah secara mudah dan murah adalah
dengan cara embrio dikeringkan sampai kadar air sekitar 29 % dan disimpan pada
suhu -200C sampai -80 0C (Sisunandar et al., 2012). Meskipun teknik tersebut
mampu digunakan untuk menyimpan embrio selama 26 minggu tanpa
membutuhkan subkultur, namun teknik tersebut memiliki tingkat keberhasilan
yang rendah, yaitu hanya sekitar 12 % embrio yang mampu bertahan hidup
setelah penyimpanan (Sisunandar et al., 2012). Oleh karena itu, alternatif
penyimpanan embrio kelapa yang mampu digunakan untuk menyimpan embrio
dalam jangka waktu yang lebih panjang dengan tingkat keberhasilan yang lebih
tinggi perlu diupayakan.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menyimpan embrio
kelapa dalam jangka waktu yang panjang adalah dengan menggunakan teknik
kriopreservasi.
Teknik
kriopreservasi
adalah
salah
satu
teknik
yang
memungkinkan untuk penyimpanan jangka panjang embrio kelapa dengan
disimpan pada suhu yang sangat rendah (nitrogen cair, – 196 oC). Pada suhu
tersebut, embrio dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama bahkan tidak
terbatas serta tidak ada subkultur berulang sehingga terhindar dari resiko
kontaminasi (Engelman, 1990).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
kriopreservasi embrio kelapa seperti dengan cara dikeringkan dalam LAF
(laminar air flow) selama 4 jam kemudian dilakukan dehidrasi pada medium in
vitro yang ditambahkan 600 g/L sukrosa dan 15% gliserol selama 20 jam sebelum
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
8
disimpan pada suhu -196 0C. Teknik tersebut mampu menghasilkan embrio yang
tetap hidup sampai sekitar 93 %, namun persentase kecambah yang berhasil
tumbuh setelah disimpan serta jumlah bibit yang dihasilkan belum dilaporkan
(Assy-Bah & Engelmann.,1992). Cara yang lain, yaitu embrio kelapa dikeringkan
dalam LAF selama 24 jam atau gel silika selama 18 jam kemudian disimpan pada
suhu -196 0C menghasilkan persentase embrio yang bertahan hidup sekitar 80 %.
Namun demikian persentase bibit siap tanam yang dihasilkan dari embrio yang
telah disimpan juga belum dilaporkan (Karun et al., 2005; Sajini et al., 2006).
Upaya peningkatan persentase keberhasilan perkecambahan dari embrio yang
telah disimpan dalam nitrogen cair juga telah dilakukan oleh N‟Nan et al., (2012)
dengan cara embrio didehidrasi dengan larutan 3,2 M glukosa dan ditempatkan
dalam wadah tertutup yang berisi gel silika selama 24 jam. Namun demikian,
penelitian tersebut hanya mampu menghasilkan keberhasilan perkecambahan
sekitar 75 %.
Upaya peningkatan keberhasilan kriopreservasi juga dilakukan dengan
cara yang lebih sederhana, yaitu embrio dikeringkan secara cepat (8 jam) dan
disimpan dalam nitrogen cair. Namun demikian cara tersebut belum memberikan
hasil yang lebih baik. Tingkat keberhasilan hanya sekitar 40 % untuk bibit yang
berhasil tumbuh dari embrio yang telah disimpan serta sekitar 20 % untuk bibit
yang siap tanam (Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2014).
Salah satu cara yang banyak dikembangkan untuk meningkatkan
keberhasilan kriopreservasi adalah dengan menambahkan zat krioprotektan ke
dalam medium dehidrasi seperti sorbitol. Senyawa tersebut dipercaya mampu
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
9
memelihara keutuhan membrane sel, memiliki sifat osmotik serta dapat
mengurangi kadar air dalam sel (Tambunan & Mariska, 2003). Senyawa tersebut
juga telah dilaporkan berhasil digunakan untuk menyimpan embrio Asparagus
officinalis .L dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 50 – 65 % (Uragami
et al., 1989). Sorbitol juga banyak digunakan untuk menyimpan kalus Solanum
tuberosum dengan tingkat keberhasilan sekitar 75 % (Dobbernack et al., 2011),
dan tunas ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) dengan tingkat keberhasilan antara
50 – 70 % (Escobar et al., 1997), serta embrio somatik Pinus patula dengan
tingkat keberhasilan mencapai 65 % (Ford et al., 2000) dan gandum (Secale
cereale L. cv Puma) dengan tingkat keberhasilan 51 % (Langis dan Steponkus,
1990).
Pada tanaman kelapa, sorbitol juga telah dicobakan untuk meningkatkan
keberhasilan penyimpanan embrio kelapa pada suhu ultra rendah, seperti yang
dilaporkan oleh Assy-Bah and Engelmann (1992). Tingkat keberhasilan
penyimpanan embrio kelapa hibrida PB 121 meningkat dari 0 % pada dehidrasi
dengan menggunakan medium tanpa sorbitol menjadi sekitar 40 % pada dehidrasi
dengan medium yang ditambahkan sorbitol. Oleh karena itu upaya peningkatan
keberhasilan kriopreservasi embrio kelapa Indonesia dengan penambahan sorbitol
perlu dilakukan.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kriopreservasi
embrio kelapa adalah faktor genetik. Hasil penelitian dengan menggunakan 20
kultivar
kelapa
Indonesia
menunjukkan
bahwa
persentase
keberhasilan
kriopreservasi sangat bergantung kepada kultivar yang digunakan (bervariasi dari
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
10
0 – 40 %; Sisunandar et al., 2010b). Lima kultivar tergolong relatif mudah
(keberhasilan > 30 %) dan empat kultivar tergolong sulit (keberhasilan < 10 %)
dan 11 kultivar tergolong moderat (keberhasilan 10 – 30 %).
Salah satu daerah dengan cadangan plasma nutfah kelapa yang cukup
besar adalah Kabupaten Banyumas yang memiliki beberapa kultivar lokal seperti
kelapa genjah entok dan kelapa dalam Banyumas, meskipun kedua jenis kultivar
tersebut belum dilepas oleh Pemerintah Indonesia. Sampai saat ini, upaya
konservasi kelapa di wilayah Banyumas belum pernah dilakukan termasuk dengan
menggunakan teknik kriopreservasi. Oleh karena itu pada penelitian ini
dilaporkan upaya penyimpanan embrio kelapa yang ditemukan di Kabupaten
Banyumas dengan menggunakan teknik kriopreservasi dengan menggunakan
sorbitol.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penambahan sorbitol ke dalam
medium dehidrasi terhadap keberhasilan dehidrasi dan kriopreservasi embrio
kelapa (Cocos nucifera L.) Banyumas.
1.3 Manfaat Penulisan
Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain :
a.
Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini mampu memberikan informasi di bidang kultur pada
pengembangan teknik kripreservasi tanaman khususnya kelapa (Cocos nucifera
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
11
L.) dan tanaman pada umumnya jaringan Hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi untuk pengembangan penelitian dibidang kriopreservasi untuk tanaman
pada umumnya dan tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) pada khususnya. Dapat
diharapkan agar kelangsungan hidup tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) tetep
terjaga sampai masa yang akan datang.
b.
Bagi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Sebagai referensi tambahan bagi penelitian kriopreservasi embrio kelapa
(Cocos nucifera L.) dan untuk menambah ilmu pengetahuan.
c.
Bagi Penulis
Menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan mengenai kriopreservasi
khususnya pada tanaman kelapa dan tanaman pada umunya.
Pengaruh Penambahan Sorbitol…, Mei Anitasari, FKIP UMP, 2016
Download