KEMIRIPAN GENETIK DAN POLA PENYEBARAN SERBUK SARI POPULASI KELAPA KOPYOR PATI BERDASARKAN ANALISIS MARKA SSR DAN SNAP RINI ISMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013 Rini Ismayanti NIM A253100031 * Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait RINGKASAN RINI ISMAYANTI. Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP. Dibimbing oleh DEWI SUKMA dan SUDARSONO. Bunga betina buah kelapa kopyor yang diserbuki oleh kelapa berbuah normal diduga menyebabkan penurunan produksi buah kopyor, sehingga perlu diketahui pola penyebaran serbuk sari pada populasi campuran antara kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal. Selain itu, evaluasi kemiripan genetik pada populasi tertentu dan progeninya juga perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah (1) mempelajari kemiripan genetik populasi kelapa berbuah kopyor di Kabupaten Pati, Jawa Tengah dan progeninya, (2) mempelajari pola penyebaran serbuk sari populasi kelapa campuran antara kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal, dan (3) mengevaluasi keterkaitan antara penyebaran serbuk sari dengan produksi buah kopyor. Populasi tanaman dewasa yang dievaluasi sebagai kandidat tetua sebanyak 95 individu dan populasi progeni sebanyak 84 bibit yang dipanen dari 15 pohon induk betina terpilih. Induk betina dipilih berdasarkan data produksi buah yang tinggi diperoleh dari pengamatan di lapangan. Semua populasi digunakan untuk menganalisis kemiripan dan struktur genetik serta penyebaran serbuk sari. Setiap pohon dewasa yang dievaluasi diberi nomor dengan spidol dan dicatat posisi koordinatnya menggunakan GPS. Penelitian ini terdiri atas dua tahapan yaitu tahapan analisis kemiripan genetik antar individu pada populasi tanaman dewasa serta populasi progeninya serta tahapan analisis pola penyebaran serbuk sari menggunakan marka molekuler SSR dan SNAP. Penelitian pertama diawali dengan seleksi primer. Hasil seleksi dari 36 pasang primer terdapat 32 pasang primer yang dapat menghasilkan produk amplifikasi DNA kelapa dan 4 pasang primer diantaranya yang polimorfik yaitu CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87 dan CnCir_56. Selain marka SSR, marka SNAP (SNP#14) yang merupakan marka SNP dari gen SUS1 juga dievaluasi. Kelima marka molekuler tersebut digunakan untuk identifikasi genotipe (genotyping) seluruh individu tanaman dewasa kelapa dan individu bibit sebagai progeni. Penelitian ini memperoleh jumlah alel per lokus adalah 4.5 dan rata-rata nilai PIC adalah 0.46. Analisis pengelompokan kemiripan genetik dilakukan oleh program komputer NTSYS menggunakan koefisien DICE berdasarkan data molekuler. Dendogram hasil analisis menunjukkan populasi tanaman dewasa kelapa yang dianalisis memiliki tingkat kemiripan 18% dan populasi progeni memiliki kemiripan 43%. Kemiripan genetik dalam populasi progeni lebih dekat dibandingkan dengan kemiripan genetik dalam populasi tanaman dewasa. Hasil analisis STRUCTURE mengelompokkan individu menjadi tiga sesuai dengan pengelompokannya secara morfologi yaitu Genjah, Dalam dan Hibrida. Sejumlah individu yang dikelompokkan sebagai kelapa Dalam dan kelapa Genjah, sebenarnya adalah kelapa Hibrida berdasarkan konstitusi alel dari marka yang digunakan. Penelitian kedua bertujuan untuk mengevaluasi pola penyebaran serbuk sari pada seluruh provenan menggunakan marka SSR dan SNAP. Marka SSR sebanyak empat dan marka SNAP satu digunakan untuk identifikasi genotipe 95 provenan dan 84 progeni yang dipanen dari 15 induk betina terpilih. Analisis parental menggunakan Perangkat lunak CERVUS berdasarkan data genotipe. Jarak antar pohon tetua jantan dan betina dihitung menggunakan data GPS setelah tetua jantan teridentifikasi. Jarak penyebaran serbuk sari terdekat adalah 0 m atau terjadi penyerbukan sendiri, sedangkan jarak terjauh adalah 61.8 m. Penyerbukan paling banyak terjadi pada jarak 0-10 m dengan persentase 33.3%. Arah yang tidak beraturan antara pohon pendonor serbuk sari dengan penerima serbuk sari mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh serangga polinator. Persentase penyerbukan silang induk betina kelapa Dalam kopyor, kelapa Genjah kopyor dan kelapa Hibrida kopyor berurutan adalah 100%, 72.73% dan 82.14%. Penyerbukan sendiri pada induk betina kelapa Dalam kopyor, kelapa Genjah kopyor dan kelapa Hibrida kopyor berurutan adalah 0%, 27.27% dan 17.86%. Pohon normal mendonorkan serbuk sari ke kelapa kopyor sebanyak 8.33%. Kehadiran pohon kelapa yang berbuah normal yang berada di sekitar pohon kelapa berbuah kopyor memiliki peluang untuk mengurangi produksi buah kopyor. Kata kunci : kelapa Genjah, kelapa Dalam, kemiripan genetik, penyerbukan, struktur genetik SUMMARY RINI ISMAYANTI. Genetic Similarity and Pollen Dispersal Analysis on Pati Kopyor Coconut Population Based on SSR and SNAP Marker Analysis. Supervised by DEWI SUKMA and SUDARSONO. Pollination of female flower of kopyor coconut by male pollen of normal coconut could result in reduced kopyor fruit yield. Therefore, investigating pattern of pollen dispersal in a mix population of kopyor and normal coconut provenances would be beneficial. Moreover, evaluating genetic similarity among the studied population and their progenies would also beneficial for predicting the quality of produced seed nuts. The objectives of this experiment were : (1) to evaluated genetic similarity of the kopyor coconut parents population and their progenies, (2) to evaluate pattern of pollen dispersal among mix population of kopyor and normal fruit producing coconut in Pati, Central Java, (3) evaluated relevancy of pollen dispersal among mix population with their kopyor fruit yield. There were 95 adult palms evaluated as male parent candidate and 84 seeds harvested from 15 selected female parents as progeny population. The female parents were selected based on their high productivity from field evaluation. All population was used for genetic structure and similarity analysis and also pollen dispersal. Every adult palms were numbered using a marker and noted for the coordinate position using GPS. This research consisted of two stages, the first analyzed of genetic similarity among individual of adult plants and their progenies, and the second analyzed the pollen dispersal using molecular markers SSR and SNAP. The analyses of the genetic similarities were initiated with primer screening. Among 36 SSR loci tested, 32 loci resulted in a (+) product when they were used to amplify coconut DNA and only CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87 and CnCir_56 resulted in polymorphic SSR markers. Moreover, SNAP locus corresponding to position 14 of SNP of coconut sucrose synthase gene were also used. These loci were used to genotype candidate parents and progenies population. Results of the experiment indicated the average of allele per locus and average of PIC were 4.5 and 0.46, respectively. Cluster analysis using DICE coefficient based on molecular data resulted in an estimate of intra population of adult palms similarity and intra population of progenies were at least 18% and 43%, respectively. Intra population of progenies were more closely related than intra population of adult palms. Results of STRUCTURE analysis grouped most of the individuals into either Tall, Dwarf or Hybrid types, as they were suspected based on the morphology of the palms. However, a number of individuals grouped as Tall, and some as Dwarf based on their morphology, were actually identified as Hybrids based on alleles constitutions of the evaluated markers. The objectives of the second experiment were to evaluate pollen dispersal among coconut provenances using SSR and SNAP markers and its effects on kopyor fruit yield. Four SSR markers and one SNAP marker were used to genotype 95 provenances and 84 progenies harvested from 15 female parents. Parent-offspring relationships were determined based on genotype data using CERVUS software. The distances between male and female parents trees were calculated based on the GPS data after male parents identification. Results of the experiment indicated self-pollinations occurred in a number o sampled female parents since the distance of pollen dispersal was 0 m. Meanwhile, the furthest distance of pollen dispersal was 61.8 m. On the other hand the majority of pollination occurs at a distance of 0-10 m (33.3%). In term of pollen dispersal, the position of donor pollen relative to the recipient one was random. This indicated that the coconut pollen dispersal in the regions was not transferred by wind but probably was by insect pollinators help. Outcrossing rate in Tall, Dwarf and Hybrid type of coconuts were calculated as 100%, 72.7% and 82.1%, respectively. Therefore, levels of self-pollination in Tall, Dwarf and Hybrid coconut were 0%, 27.3% and 17.9%. There was a normal coconut in the region donating its pollen to kopyor female parents at the level of 8.3%. The existence of normal coconut palms around the kopyor coconut one might possibly reduce the kopyor fruit yield. . Keyword: dwarf coconut, genetic similarity, genetic structure, pollination, tall coconut © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB KEMIRIPAN GENETIK DAN POLA PENYEBARAN SERBUK SARI POPULASI KELAPA KOPYOR BERDASARKAN ANALISIS MARKA SSR DAN SNAP RINI ISMAYANTI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si Judul Tesis : Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP Nama : Rini Ismayanti : A253100031 NIM Disetujui oleh Komisi Pembimbing ~ Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si Ketua Prof. Dr. IT. Sudarsono, M.Sc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Tanggal Ujian: 26 Juli 2013 Dekan Sekolah Pascasarjana Tanggal Lulus: 2 3 OCT 2013 Judul Tesis : Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor Pati Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP Nama : Rini Ismayanti NIM : A253100031 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si Ketua Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 26 Juli 2013 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia, kekuatan, kemudahan serta rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul Kemiripan Genetik dan Pola Penyebaran Serbuk Sari Populasi Kelapa Kopyor Berdasarkan Analisis Marka SSR dan SNAP ini merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Dewi Sukma, SP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc selaku pembimbing atas bimbingan, motivasi dan arahannya selama perencanaan, pelaksanaan serta penulisan tesis ini. Terima kasih kepada proyek penelitian KKP3T 2011 yang berjudul “Peningkatan Persentase Buah Kopyor (75%) Melalui Pemuliaan Tanaman dan Deteksi Dini Bibit Kelapa Kopyor dengan Marka Molekuler” di bawah koordinasi Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc atas pendanaan dan bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Bapak Ir. Ismail Maskromo, M.S atas bantuan, masukan, dan sharingnya selama penelitian. Terima kasih pada temanteman Pascasarjana program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman angkatan 2010 atas kekompakan, kerjasama serta dukungan dan semangatnya. Kepada rekan-rekan dan teknisi di Plant Molecular Biology Laboratorium (PMB Lab) yang banyak membantu dalam kegiatan penelitian ini juga diucapkan terima kasih. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada kedua orang tua Bapak Dr. Mappaganggang Sodding Pabbage, MS dan Ibu dr.Isdiana Kaelan, Sp.Rad adik-adik tercinta Akhmad Setiadi dan Cynthia Balqis, serta keluarga besar atas semangat dan doanya sehingga pendidikan ini dapat diselesaikan dengan baik. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Khususnya bidang pemuliaan tanaman dan pertanian pada umumnya. Bogor, Oktober 2013 Rini Ismayanti DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiii 1 PENDAHULUAN Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 1 2 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 3 ANALISIS KEMIRIPAN GENETIK POPULASI KELAPA KOPYOR KOPYOR PATI MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 11 12 13 17 28 4 ANALISIS PENYEBARAN SERBUK SARI KELAPA KOPYOR PATI MENGGUNAKAN MARKA SSR DAN SNAP Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 31 32 32 35 44 5 PEMBAHASAN UMUM 47 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 50 50 DAFTAR PUSTAKA 51 LAMPIRAN 59 RIWAYAT HIDUP 77 DAFTAR TABEL 2.1 3.1 3.2 3.3 4.1 4.2 4.3 Perbandingan tampilan fisik dari beberapa sampel kelapa Contoh skoring data biner dan data genotipe berdasarkan hasil amplifikasi lokus CnCir_56 pada Gambar 3.1 Profil primer menggunakan marka SSR dan SNAP Perbedaan data morfologi dan data molekuler terhadap tipe kelapa Persentase penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang kelapa berbuah kopyor berdasarkan jenis induk betinanya Rata-rata produktifitas buah kelapa kopyor yang digunakan sebagai tetua betina di Pati pada bulan Juni 2011 Kontribusi serbuk sari dan persentase produksi buah kelapa kopyor 6 16 19 27 41 43 43 DAFTAR GAMBAR 1.1 Bagan alir kegiatan penelitian analisis penyebaran serbuk sari kelapa kopyor Pati 2.1 Perbedaan fenotipik endosperma antara buah kelapa kopyor dan buah kelapa normal 3.1 Perbedaan pola pita polimorfik pada lokus CnCir_56 dan pita monomorfik pada lokus CnCir_K8 3.2 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_56 (230–180 bp) 3.3 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_86 (188-163bp) 3.4 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_87 (158-170bp) 3.5 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_B12 (151- 198 bp) 3.6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SNP pada posisi 14 gen SUS1 3.7 Dendrogram kemiripan genetik pada 95 individu tanaman kelapa dewasa pada populasi kelapa kopyor Pati 3.8 Dendrogram kemiripan genetik pada 84 bibit pada populasi progeni dari sejumlah induk betina kelapa berbuah kopyor 3.9 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa menggunakan STRUCTURE dengan K=2 3.10 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa dan progeninya menggunakan STRUCTURE dengan K=2 4.1 Peta sebaran pohon induk betina dan pohon kelapa dewasa lainnya sebagai kandidat tetua jantan 4.2 Visualisasi primer CnCir_56 marka SSR pada induk betina dan progeninya 4.3 Visualisasi primer situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1 marka SNAP 4.4 Representasi pola penyerbukan pohon induk 67 4.5 Persentase penyerbukan yang terjadi berdasarkan jarak antara pohon induk jantan dengan pohon induk betina 4.6 Tipe bibit kelapa berdasarkan jenis tetua jantan dan betina yang terdeteksi 3 5 16 17 17 18 18 18 22 23 25 26 36 37 37 39 40 41 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pembuatan Larutan Stok untuk analisis molekuler Daftar 36 primer SSR yang digunakan Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.37 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk lima progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.39 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.44 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 51 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 53 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 58 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 59 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk sembilan progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.68 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.69 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk delapan progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.84 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.85 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.88 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.89 Representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.92 59 61 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 1 PENDAHULUAN Kelapa kopyor adalah kelapa mutan yang merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia bernilai ekonomi tinggi. Ciri dari kelapa kopyor adalah memiliki endosperma bertekstur lunak dan tidak melekat pada tempurungnya (Santoso 1996). Sifat tersebut menyebabkan timbulnya suara khas apabila kelapa kopyor diguncang. Kabupaten Pati, Jawa Tengah, merupakan sentra produksi kelapa kopyor terbaik di Indonesia karena di daerah tersebut telah tumbuh dan berkembang kelapa Genjah berbuah kopyor. Kementrian Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2010 telah melepas tiga varietas unggul lokal kelapa Genjah kopyor Pati. Varietas tersebut adalah kelapa kopyor Genjah Hijau Pati, kopyor Genjah Kuning Pati dan kopyor Genjah Cokelat Pati (Maskromo et al. 2011a). Permasalahan dalam pengembangan kelapa kopyor adalah penyediaan bibit kelapa kopyor yang berkualitas dan terjamin keasliannya dalam jumlah banyak. Hal ini terkait dengan belum tersedianya teknologi untuk membedakan bibit kelapa berbuah kopyor atau yang berbuah normal. Hasil observasi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara morfologi antara pohon kelapa berbuah normal dan pohon kelapa berbuah kopyor (Maskromo 2005). Permasalahan lain adalah rendahnya kuantitas hasil buah kopyor yang dipanen. Akibatnya produksi buah kelapa kopyor masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Pertanaman kelapa berbuah kopyor di Indonesia umumnya masih ditanam bersama dengan kelapa normal dari jenis kelapa Dalam, Genjah, dan Hibrida. Adanya kelapa berbuah normal di antara pertanaman kelapa berbuah kopyor diduga berpotensi mempengaruhi produktivitas buah kopyor yang dipanen (Sudarsono et al. 2012). Keberadaan pohon dewasa kelapa Dalam berbuah normal yang cenderung menyerbuk silang (Pandin 2009), diduga dapat berpengaruh negatif terhadap produksi buah kopyor. Pohon tersebut dapat menyebarkan serbuk sari pembawa sifat buah normal ke bunga betina pada pohon kelapa berbuah kopyor. Akibat dari penyerbukan seperti itu adalah diperolehnya buah kelapa normal (Sudarsono et al. 2012). Evaluasi penyebaran serbuk sari (pollen dispersal) pada pertanaman kelapa kopyor perlu dilakukan berdasarkan berbagai hal tersebut. Arah penyebaran serbuk sari dapat memberikan informasi vektor apa yang membantu penyerbukan pada pohon kelapa kopyor. Jarak antara pohon tetua jantan dengan tetua betina juga dapat mengindikasikan vektor yang berperan dalam penyerbukan. Penyebaran serbuk sari dapat dipelajari dengan metode pewarnaan serbuk sari (Blair dan Williamson 2010) atau menggunakan marka molekuler (Austerlitz et al. 2004). Marka molekuler yang telah digunakan dalam analisis penyebaran serbuk sari adalah marka RAPD pada Ilex paraguariensis (Cansian et al. 2010) dan marka SSR (Single Sequence Repeat) pada tanaman Hymenaea courbaril (Carneiro et al. 2011), tanaman pinus (Feng et al. 2010) dan kelapa (Pandin et al. 2009). Marka SSR sering digunakan karena mempunyai keunggulan yaitu sifatnya kodominan, polimorfismenya tinggi, lokusnya tersebar di dalam genom dalam jumlah banyak (Lowe et al. 2004) dan sampel DNA yang dibutuhkannya sedikit karena dalam melakukan deteksi menggunakan PCR (Polimerase chain reaction) 2 yang dapat menggandakan DNA target (Semagn et al. 2006). SNAP merupakan marka yang berbasis perbedaan basa nukleotida tunggal dari sekuens DNA pada umumnya. Marka SNAP memiliki keuggulan dibanding dengan marka SSR yaitu dapat mendeteksi variasi dalam sekuens DNA yang berkorelasi dengan perbedaan fenotipe tanaman (Manju dan Arunachalam 2011). Marka SNAP telah digunakan sebagai penanda genetik pada padi (Lestari 2013), jagung (Mammadov 2010) dan Beta vulgaris (Mohring et al. 2004). Tujuan Penelitian 1) 2) 3) Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : Mendapatkan informasi mengenai kemiripan genetik individu-individu tanaman kelapa dalam satu populasi. Memperoleh pola penyebaran serbuk sari pada kelapa berbuah kopyor dan kelapa berbuah normal dalam satu areal pertanaman berdasarkan data marka SSR dan SNAP. Mengevaluasi keterkaitan antara penyebaran serbuk sari dengan produktivitas buah kopyor. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada petani mengenai efek keberadaan pohon kelapa berbuah normal di dalam pertanaman pohon kelapa berbuah kopyor sehingga diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi pengelolaan kebun induk penangkaran kelapa kopyor. Rangkaian kegiatan dalam penelitian ini secara umum digambarkan dalam bagan alir pada Gambar 1.1. 3 Gambar 1.1 Bagan alir kegiatan penelitian analisis penyebaran serbuk sari kelapa kopyor Pati 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Kelapa Kelapa anggota familia Palmaceae atau Arecaceae, memiliki banyak arti penting dalam kehidupan manusia karena semua organ tanaman ini dapat dimanfaatkan (Novarianto 2008). Ciri-ciri pohon kelapa menurut Chan dan Elevitch (2006) adalah memiliki batang tunggal dan beruas dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter kanopi 8-9 m. Akar berbentuk serabut, tebal, berkayu dan adaptif pada lahan berpasir pantai. Daun tersusun secara majemuk dan menyirip sejajar tunggal, pelepah terletak pada ibu tangkai daun, duduk pada batang (roset batang). Warna pada tangkai daun (petiole) mengindikasikan warna buah pada kelapa. Bunga kelapa merupakan bunga majemuk yang dilindungi oleh spatha. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu tangkai utama yang disebut spadix, setiap spadix terdiri atas 40-60 cabang (spikelet) dengan ribuan bunga jantan. Letak bunga bunga betina terletak di pangkal, sedangkan bunga jantan di bagian atas bunga betina hingga ujung spikelet. Buah kelapa memiliki tiga lapisan, yaitu eksokarp (kulit tipis terluar yang memiliki lapisan lilin) berwarna kuning, hijau, jingga atau coklat, mesokarp berupa lapisan serat yang lebih tebal atau sering disebut sabut (husk), dan endokarp yang keras disebut batok (shell), yang melindungi biji. Endokarp dan biji hanya dipisahkan oleh membran yang melekat pada sisi dalam dari endokarp. Biji kelapa memiliki tiga mikrofil (micropyle) dan hanya satu yang mengindikasikan keberadaan embrio. Embrio kelapa berukuran kecil dan akan membesar ketika buah siap untuk berkecambah. Endosperma biji kelapa terdiri atas endosperma cair yang mengandung banyak enzim dan endosperma fase padat yang mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua (kernel). Tanaman kelapa menurut Maskromo et al (2007b) dibagi dalam dua tipe yaitu kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Masing-masing tipe memiliki karakteristik yang berbeda. Kelapa Dalam memiliki ciri khas batang besar, mempunyai bol (pembengkakan) pada pangkal batang, mulai berbunga pada umur 5-7 tahun, buah berukuran cukup besar tetapi jumlahnya sedikit. Kelapa Genjah memiliki batang lebih kecil dibanding kelapa Dalam, tidak memiliki bol, mulai berbunga pada umur 3-4 tahun, buah berukuran lebih kecil dan banyak. Karakteristik kelapa Dalam dan kelapa Genjah juga dimiliki oleh kelapa kopyor. Kelapa Kopyor Hasil penelitian Maskromo (2005) menyatakan bahwa kelapa berbuah kopyor dari segi morfologi sama dengan tanaman kelapa lainnya, yang membedakan adalah bagian endospermanya (Gambar 2.1). Maskromo et al. (2007) mengatakan buah kelapa kopyor hanya bisa dipastikan setelah buah dipanen dengan cara mengguncang buah kelapanya. Pada saat diguncang, kelapa 5 kopyor akan menghasilkan bunyi yang kurang nyaring dibanding kelapa normal, karena sebagian atau seluruh endosperma fase padatnya sudah lepas dari tempurungnya. Buah kopyor juga dapat diidentifikasi dengan ketukan, tetapi memerlukan keterampilan khusus untuk dapat melakukannya. Tukang ketuk kelapa yang sudah ahli dalam identifikasi buah kopyor disebut “tukang totok”. Tingkat akurasi penentuan buah kopyornya dapat mencapai 99% (Sudarsono et al. 2012). Buah dengan sifat kopyor dihasilkan dari pohon kelapa tertentu yang sebagian besar buahnya mempunyai endosperma normal dan sebagian kecil abnormal (kopyor) (Wahyuni 2000). Pohon kelapa kopyor hanya mempunyai buah kelapa kopyor dengan frekuensi antara 3-4 buah kopyor per tandan. Abnormalitas endosperma kelapa kopyor bersifat genetik dan dikendalikan oleh gen mutan resesif (Santos 1999). Sifat kopyor dibawa oleh pasangan alel resesif, yaitu 50% dari induk betina dan 50% dari induk jantan. Buah kopyor akan terbentuk jika terjadi penyerbukan antara polen dan stigma yang masing-masing membawa alel resesif penentu sifat kopyor. Sifat kopyor secara genetik ditentukan oleh kontribusi genetik endosperma (induk betina) dan serbuk sari (induk jantan) (Tahardi 1997). Ea A En B Gambar 2.1 Perbedaan fenotipik endosperma antara (a) buah kelapa kopyor dan (b) buah kelapa normal. Ea=endosperma abnormal pada buah kelapa kopyor. En=endosperma normal pada buah kelapa normal. 6 Tabel 2.1. Perbandingan tampilan fisik dari beberapa sampel kelapa Air Daging buah Volume Ketebalan Berat pH (ml) (mm) (g) 3.0 ± 0.2 56.0 ± 0.0 553 ± 23 4.7 1–3 77.2 KM 2.5 ± 0.0 61.8 ± 0.8 385 ± 51 5.2 10.1 359 KT 2.3 ± 0.4 61.0 ± 2.0 416 ± 15 5.9 392 KK Keterangan : KM=kelapa muda; KT=kelapa tua; KK=kelapa kopyor (Santoso et al. 1996). Sampel Berat (kg) Diameter (cm) Perbandingan berat buah, diameter buah, volume air dan ketebalan endosperma pada buah kelapa normal dengan buah kelapa kopyor dapat dilihat pada Tabel 2.1. Perbedaan tidak hanya terjadi pada fenotipe endosperma antara kelapa kopyor dengan kelapa normal, tetapi juga pada senyawa-senyawa kimia yang dikandungnya. Air kelapa kopyor memiliki kandungan sukrosa yang tinggi (60.8%), sedangkan pada air kelapa muda normal hanya memiliki glukosa dan fruktosa sebagai gula utamanya. Vitamin B dan vitamin C pada endosperma kelapa kopyor lebih tinggi dibanding pada endosperma kelapa normal yang tua, tetapi lebih rendah dibanding endosperma kelapa normal yang masih muda. Asam amino total pada air kelapa kopyor lebih tinggi dibanding dengan kelapa normal (Santoso et al. 1996). Sistem Penyerbukan Kelapa Penyerbukan atau polinasi adalah jatuhnya serbuk sari dari kotak sari (antera) ke kepala putik (stigma) dalam satu bunga atau bunga yang berbeda. Penyerbukan tumbuhan dapat terjadi secara biotik dan abiotik. Penyerbukan biotik terjadi dengan bantuan hewan, sedangkan penyerbukan abiotik terjadi dengan bantuan angin, air dan gravitasi (Liverdi 2008). Jarak penyebaran serbuk sari pada tanaman yang menyerbuk sendiri (autogamy) lebih rendah dibandingkan dengan tanaman menyerbuk silang (Boer 2007). Tipe penyerbukan kelapa dibedakan menjadi empat berdasarkan letak dan periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan (Sangare et al. 1978), yaitu (1) tipe penyerbuk silang (strict allogamy) cirinya adalah tidak ada masa tumpang tindih antara masa reseptif dan antesis baik dalam tandan yang sama maupun dalam tandan yang berbeda dalam satu pohon. (2) tipe menyerbuk sendiri tidak langsung (indirect autogamy) cirinya adalah periode reseptif bunga betina pendek sehingga tidak ada tumpang tindih periode reseptif dan antesis dalam tandan yang sama, tetapi terjadi tumpang tindih masa antesis dan reseptif dengan tandan berikutnya. (3) tipe menyerbuk sendiri (direct autogamy) cirinya adalah periode reseptif bunga betina dan antesis pada bunga jantan tumpang tindih dalam tandan yang sama. (4) tipe menyerbuk sendiri semi tidak langsung (semi indirect autogamy) cirinya adalah teradi tumpang tindih antara masa reseptif dan antesis pada tandan yang sama maupun pada tandan berikutnya. 7 Kelapa Dalam pada umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang, oleh karena itu tampilannya sangat beragam (Pandin 2009a). Kelapa Dalam memiliki bunga jantan yang matang lebih dulu dibanding bunga betina. Bunga betina siap diserbuki ketika bunga jantan umumnya sudah rontok sehinga terjadi penyerbukan silang (Heliyanto, 2010). Kelapa Genjah pada umumnya memiliki pola penyerbukan sendiri meskipun masih memungkinkan terjadinya penyerbukan silang sehingga menyebabkan tingginya tingkat kemiripan genetik pada kelapa Genjah (Hannum et al. 2003). Bunga betina dan bunga jantan pada kelapa Genjah masak secara bersamaan sehingga peluang untuk menyerbuk sendiri sangat besar (Heliyanto, 2010). Penelitian Ramirez et al. (2004) menyatakan sebanyak 59% penyerbukan kelapa dibantu oleh serangga lebah madu. Lebah membantu proses penyerbukan silang, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman budidaya. Potensi ini dimanfaatkan dengan cara meletakkan koloni lebah pada areal tanaman budidaya yang daya serbuknya rendah. Perpindahan lebah dari satu bunga ke bunga yang lain mempercepat proses polinasi karena serbuk sari banyak menempel pada kaki dan perut dari lebah (Liferdi 2008). Penanda Genetik Penanda (marka) genetik dikenal ada tiga macam, yaitu marka morfologi, marka biokimia (isozim), dan marka DNA (molekuler) (Liu dan Wu 1998). Penanda biokimia (isozim) pada kelapa telah digunakan untuk studi keragaman (Novarianto dan Hartana 1995). Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan morfologi terbatas dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fase perkembangan dari tanaman (Iriani 2011). Penanda molekuler pertama tanpa aplikasi PCR mulai diperkenalkan sejak tahun 1980-an, yaitu RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) (Schulman 2007). Setelah itu muncul penanda yang menggunakan aplikasi PCR, yaitu RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Marka RAPD memiliki kekurangan yaitu tidak dapat membedakan lokus heterozigot dengan homozigot. Setelah itu berkembang mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) pada tahun 1990 (Semagn, 2006). Sebuah penanda yang ideal seharusnya memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengukur keragaman genetik dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan; marka tersebar merata di seluruh genom; marka dapat mendeteksi perbedaan nukleotida dan dapat diwariskan dari tetua ke progeninya (Lowe et al. 2005). Semagn (2006) menyatakan bahwa penanda molekuler secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan metode deteksinya, yaitu (i) Marka berbasis hibridisasi seperti RFLP, (ii) Marka berbasis PCR, seperti RAPD, AFLP, ISSR, SSR, dan (iii) Marka berbasis sekuens DNA seperti SNP. Manfaat marka molekuler dalam pemuliaan adalah lebih mengefisienkan pemuliaan konvensional. Seleksi dapat dilakukan lebih awal serta langsung pada sifat yang diinginkan jika marka tersebut terpaut dengan sifat tertentu (Azrai 8 2006). Identifikasi perbedaan individu tanaman dapat menggunakan marka molekuler untuk perlindungan kultivar tanaman (Pabendon 2007). Simple sequence repeats (Mikrosatelit) Pengulangan ruas basa DNA diklasifikasikan berdasarkan panjang dan jumlah ruas berulang di dalam genom yang dapat berupa : (1) DNA Satelit, adalah DNA yang memiliki pengulangan sangat tinggi biasanya antara 1000–100.000 kopi, sering berada pada bagian heterokromatin; (2) Minisatelit, memiliki pengulangan yang lebih sedikit yaitu 10–60 pasang basa; (3) Mikrosatelit (SSR), disebut juga fragmen berulang sederhana atau fragmen berulang sederhana, memiliki pengulangan lebih pendek pada 1-6 pasang basa, terdistribusi lebih banyak pada lokus genom; (4) Midisatelit, memiliki ruas berulang yang merupakan kombinasi dari satelit dan minisatelit (Pandin 2009b). Simple sequence repeats juga dikenal dengan mikrosatelit terdiri atas pengulangan beberapa basa nukleotida, berupa dinukleotida, trinukleotida, atau tetranukleotida, yang tersebar disepanjang genom kebanyakan spesies eukariotik (Powell 1996). Jumlah pengulangan nukleotida berkisar antara 5-40 kali (Selkoe dan Toonen 2006) atau kurang dari 100 kali (Karp et al. 1997). Panjang pengulangan ini bervariasi tergantung individu/varietas dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Motif pengulangan nukleotida yang paling banyak ditemukan pada manusia adalah AC atau TC, sedangkan pada tanaman adalah AT, AG, dan TC (Powell 1996). Kelebihan marka mikrosatelit adalah jumlahnya yang banyak di dalam genom tanaman, bersifat polimorfik, mudah dideteksi dengan PCR, waktu deteksi yang dibutuhkan singkat, bersifat co-dominan, dan membutuhkan DNA dalam jumlah sedikit. Marka mikrosatelit mampu membedakan individu yang heterozigot maupun dan homozigot (Wright dan Benzen 1994). Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam melakukan analisis marka molekuler. Tahap kegiatan berikutnya dilanjutkan dengan amplifikasi PCR. Amplifikasi PCR pada SSR menggunakan primer forward dan reverse khusus yang akan menempel pada suhu annealing tertentu pada template DNA. Fragmen hasil PCR kemudian dapat dipisahkan dengan teknik elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid. Deteksi DNA dilakukan dengan pewarnaan silver atau dengan menggunakan sistem deteksi fluorescent. Gel poliakrilamid memiliki resolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gel agarose (Semagn 2006). Single nucleotide amplified polymorphism (SNAP) Marka SNAP saat ini merupakan marka DNA yang lebih popular. Marka SNAP menggantikan marka SSR sebagai pilihan utama dalam beberapa aplikasi dalam pemuliaan tanaman dan genetik. Marka SNAP jumlahnya melimpah, stabil, lebih efisien, dan lebih hemat biaya. SNP (Single nucleotide polymorphism) adalah perubahan posisi spesifik satu atau dua basa nukleotida yang sifatnya melimpah dalam genom eukariot. Perbedaan basa nukleotida diduga berpengaruh terhadap sifat fenotipik pada tiap-tiap individu (McCouch et al. 2010). Jumlah 9 SNP yang melimpah membuat marka SNAP lebih menarik dibanding marka lainnya, termasuk dalam mengembangkan penanda bagi gen target tertentu (Lestari dan Koh 2013). Deteksi marka SNAP yang bersifat ko-dominan, berdasarkan pada amplifikasi PCR dengan primer yang berbasis pada informasi sekuen untuk gen spesifik. Keunggulan teknik SNAP adalah lebih mudah dan lebih hemat waktu dibandingkan dengan teknik SSR (Yang et al. 2011). Marka SNAP juga memiliki tingkat kesalahan yang lebih rendah dibandingkan dengan marka SSR. Marka SNAP saat ini telah digunakan sebagai penanda genetik untuk berbagai fungsi pemuliaan tanaman, misalnya analisis keragaman genetik, pembuatan linkage map, dan Marker Assisted Selection (Chen et al. 2011). Kelemahan dari teknik SNAP adalah memerlukan informasi keragaman sekuen untuk suatu gen yang menjadi target analisis (Mammadov et al. 2012). Makapuno adalah salah satu kelapa unik yang juga memiliki endosperma yang abnormal. Endosperma makapuno lebih tebal dan lembut serta fase cairnya sangat kental sepeti oli. Hal tersebut disebabkan oleh terdegradasinya galaktomanan oleh α-D-galaktosidase (Samonthe 1988). Sintesis sukrosa sejalan dengan proses degradasi galaktomanan menjadi manosa dan galaktosa, sehinga enzim sucrose synthase (SUS) diduga mempengaruhi morfologi endosperma pada kelapa kopyor. Keragaman DNA dari gen SUS dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP dan dievaluasi untuk menduga keragaman genetik pada kelapa kopyor (Sukendah 2007). Penyebaran Serbuk Sari Aliran gen atau gene flow adalah proses transfer informasi genetik melalui penyebaran serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan melalui penyebaran benih (migrasi) (Mallet 2001). Aliran gen merupakan proses yang alami yang terjadi pada tanaman yang menyebabkan gen-gen dalam tanaman berpindah. Proses aliran gen dapat terjadi pada tanaman yang memiliki keserasian secara seksual antara tanaman domestik maupun kerabat liarnya (Pandin 2009). Analisis aliran gen melalui serbuk sari dalam suatu populasi dapat digunakan untuk menduga apakah terjadi perkawinan antara tanaman yang berbeda (outcrossing) atau dengan tanaman yang sama (selfing) (Boer, 2007). Hamrick dan Trapnell (2011) mengatakan bahwa pola penyebaran biji dapat dianalisis menggunakan dua metode, yaitu : a. Metode tak langsung meliputi analisis struktur genetik populasi menggunakan marka genetik yang diwariskan secara maternal misalnya menggunakan cpDNA (DNA kloroplas) dan mtDNA (DNA mitokondria) dalam satu populasi. Metode langsung menggambarkan pola penyebaran biji menggunakan b. marka molekuler untuk mengidentifikasi induk dari biji atau analisis parental. Analisis metode langsung dibagi menjadi dua yaitu analisis induk jantan dan betina dari biji dan analisis kecocokan antara induk jantan dengan induk betina terhadap keturunannya. 10 Sistem perkawinan pada tanaman dapat diketahui melalui analisis pola penyebaran serbuk sari. Penelitian Carneiro et al. (2011) menyatakan bahwa tanaman Hymenaea coubaril melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian sebelumnya oleh Dunphy et al. (2004) yang menyatakan bahwa H. coubaril memiliki ketidaksesuaian secara seksual (self incompability). Penebangan pohon H. coubaril secara bebas dalam areal perhutanan dapat mengakibatkan berkurangnya pohon yang reproduktif. Kondisi tersebut mengakibatkan tanaman terisolasi, sehingga persentase penyerbukan sendiri dapat meningkat (Carneiro et al. 2011). Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya ke keturunannya melalui pertukaran gamet dan hal ini akan menghasilkan rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet (Pandin 2009). 11 ANALISIS KEMIRIPAN GENETIK POPULASI KELAPA KOPYOR PATI MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER Abstract Kopyor coconuts is an exotic coconut originated from Indonesia. Pati, Central Java is one of the kopyor coconut producing areas in Indonesia. This research was conducted to evaluate genetic similarity among accessions of kopyor and normal coconut provenances existed in the region. Four SSR loci and one SNAP locus (SNP #14 of SUS1) were selected to access genetic variability among provenances after evaluating 36 SSR and 4 SNP loci. The materials evaluated include 95 accessions of a mixture of normal and kopyor coconut producing adult palms, consisted of Tall, Dwarf and Hybrid types and their 84 progenies. It harvested from 15 randomly selected female parents from the same gardens. Results of the experiment indicated the average of allele per locus and PIC number was 4.5 and 0.46, respectively. Cluster analysis using UPGMA based on molecular data resulted in an estimate of female similarity intra adult population and intra progenies population were at least 18% and 43%, respectively. That intrapopulation of progenies were more closely related than intrapopulation of adult palms. Results of STRUCTURE analysis were grouped most of the individuals into either Tall, Dwarf or Hybrid types, as they were suspected based on the morphology of the palms. However, a number of individuals grouped as Tall, and some as Dwarf based on their morphology, were actually identified as Hybrids based on alleles constitutions of the evaluated markers. Keyword : genetic distance, genetic structure, mutan coconut, SNAP Marker, SSR Marker 12 Pendahuluan Kelapa di Indonesia memiliki beberapa keunikan yang menjadi daya tarik tersendiri. Kelapa eksotik yang ada di Indonesia antara lain adalah kelapa lilin yang endospermanya agak kenyal, kelapa kenari yang endospermanya renyah dan manis, kelapa hijau yang sabutnya berwarna merah muda, serta kelapa kopyor yang memiliki endosperma yang terlepas dari tempurungnya (Maskromo 2013). Jumlah tanaman kelapa kopyor sangat terbatas karena merupakan hasil mutasi alami (Maskromo 2005). Keterbatasan jumlah serta tingginya permintaan masyarakat meningkatkan harga jual buah kelapa kopyor. Tanaman kelapa kopyor dilaporkan ditemukan di daerah tertentu seperti Pati, Sumenep, Jember, Banyuwangi (Sukendah 2009), Tangerang, Ciomas, dan Kecamatan Kalianda Lampung Selatan (Maskromo 2005). Buah kelapa mutan dengan fenotipik endosperma abnormal juga dilaporkan di beberapa negara. Di Filipina dikenal kelapa mutan dengan nama macapuno dan di Thailand dengan nama dikiri (Maskromo 2005). Kelapa tersebut memiliki endosperma bertekstur menyerupai kelapa lilin dan rasanya kurang manis sehingga kurang diminati oleh konsumen. Kelapa kopyor memiliki perbedaan pada endospermanya yang lembut serta rasa yang manis, sehingga kelapa kopyor lebih disukai. Kelapa kopyor menjadi buah eksklusif dengan harga jual di pedagang pengumpul berkisar antara Rp.20.000–Rp.30.000/buah sedangkan di pasar swalayan bisa mencapai Rp.50.000/buah. Kelapa dibagi menjadi tiga tipe, yaitu kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa Hibrida. Ciri kelapa Dalam adalah memiliki tinggi di atas 15 m dan bagian pangkal batang membesar (bole). Kelapa tipe Genjah pada umumnya memiliki batang pendek berkisar 12 meter dan agak kecil, tidak memiliki bole (Pandin 2009). Kelapa Hibrida merupakan gabungan sifat antara kelapa Genjah dengan kelapa Dalam. Jenis kelapa Genjah maupun kelapa Dalam berpeluang untuk menghasilkan buah kopyor (Maskromo et al. 2007). Populasi kelapa penghasil buah kopyor di Pati sangat beragam jenisnya mulai dari kelapa Genjah berbuah kopyor, kelapa Dalam berbuah kopyor, bahkan terdapat kelapa Hibrida alami yang berbuah kopyor (Sudarsono et al. 2012). Kelapa penghasil buah kopyor yang dikembangkan di beberapa daerah umumnya berjenis kelapa Dalam yang memiliki persentase produksi buah kopyor yang rendah 2-10% (Maskromo dan Novarianto 2007). Kelapa Genjah penghasil buah kopyor telah berkembang sejak puluhan tahun yang lalu di Kabupaten Pati (Maskromo et al. 2011a). Marka molekuler adalah suatu penanda berbasis DNA yang bermanfaat dalam mengidentifikasi perbedaan tanaman secara individu melalui profil unik secara alelik. Profil dan similaritas genetik setiap genotipe dapat dilakukan langsung melalui analisis DNA (Azrai 2006). Marka SSR menarik dikembangkan khususnya pada spesies yang menunjukkan variasi genetik rendah, pada populasi inbred dan populasi yang diperoleh dari daerah-daerah berdekatan sehingga sulit dipilah-pilah dengan pendekatan lain (Saptahadi et al. 2011). Kemiripan genetik antara kelapa Genjah penghasil kopyor dengan kelapa Dalam dan kelapa Hibrida penghasil buah kopyor dapat diketahui dengan analisis DNA menggunakan marka molekuler berdasarkan uraian sebelumnya. Tujuan 13 penelitian ini adalah (1) Menganalisis kemiripan genetik pada populasi kelapa berbuah kopyor di Pati, Jawa Tengah serta populasi progeninya menggunakan marka SSR dan SNAP. (2) Menganalisis struktur genetik kelapa tipe Dalam, kelapa tipe Genjah, dan kelapa tipe Hibrida. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 hingga Januari 2013. Sampel tanaman diambil pada bulan Juli 2011di Desa Sambiroto, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bahan Tanaman Materi genetik penelitian ini menggunakan dua populasi, yaitu populasi kandidat tetua dan populasi progeni. Populasi kandidat tetua sebanyak 95 aksesi terdiri atas 66 pohon kelapa tipe Genjah, 18 pohon kelapa tipe Dalam dan 11 pohon kelapa tipe Hibrida. Populasi progeni sebanyak 84 individu yang merupakan hasil panen buah kelapa kopyor dan non kopyor dari 15 pohon induk betina terpilih di lokasi yang sama. Anak daun pada setiap pohon diambil sebanyak dua helai kemudian dipotong-potong kurang lebih sepanjang 10 cm. Potongan daun lalu dibungkus dengan aluminium foil dan diberi label sesuai dengan nomor pohon asal daun tersebut. Daun yang telah dibungkus disimpan di dalam kotak plastik pada tempat yang lembab selama tiga hari. Sampel daun disimpan di dalam freezer pada suhu 20 °C setelah berada di laboratorium dan siap dilakukan isolasi DNA. Buah kelapa normal yang dipanen dikecambahkan di lapang untuk ekstraksi DNA. Daun muda diambil dari bibit berumur 3 bulan setelah perkecambahan. Isolasi DNA pada buah kelapa kopyor diambil dari embrionya. Isolasi DNA DNA diisolasi menggunakan CTAB mengikuti metode Rohde et al. (1995) dengan beberapa modifikasi. Daun kelapa muda dipotong kurang lebih seberat 0.3-0.4 g kemudian digerus dengan buffer lisis sebanyak 2 ml, PVP 0.007 g dan 2mercaptoetanol sebanyak 10 µl. Hasil gerusan daun kemudian diinkubasi dalam waterbath dengan suhu 65 °C selama 60 menit. Setelah itu dilakukan sentrifugasi menggunakan Eppendorf Centrifuge 5416 pada kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan kloroform:isoamilalkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi. 14 Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin sebanyak 0.8 volume dari supernatan dan natrium asetat sebanyak 0.1 volume supernatant kemudian diinkubasi dalam freezer semalaman. Suspensi kemudian disentrifugasi hingga diperoleh pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl, lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan aquabidest sebagai suspensi DNA. Purifikasi DNA dilakukan untuk menghilangkan kontaminan RNA. RNase sebanyak 3 μl ditambahkan ke dalam suspensi DNA kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 0C. Suspensi DNA ditambahkan dengan satu volume fenol. dan campuran kloroform:isoamilalkohol (24:1). Suspensi DNA dipresipitasi dengan 0.8 volume isopropanol dan 0.1 volume natrium asetat lalu dibilas dengan alkohol 70% dingin. Pelet DNA kering diberi 300 µl aquabidest dan disimpan pada –20 °C. Uji kuantifikasi dan kemurnian DNA Kuantifikasi DNA dilihat menggunakan agarose 1% dalam buffer TBE 0.5X pada tegangan 100 V selama 60 menit yang dielektroforesis dengan Cole Parmer®. Standar DNA (ladder 100 bp) digunakan agar ukuran DNA sampel dapat diestimasi. Gel agarose diwarnai dengan ethidium bromide selanjutnya diamati dengan UV transiluminator Vilber Lourmat dan dokumentasi dengan kamera digital. Amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) Amplifikasi menggunakan mesin PCR Perkin Elmer GeneAmp PCR System 2400 dan PCR kit KAPA 2G FAST dengan total reaksi 25 µl. Mix PCR merupakan resep campuran untuk satu reaksi yaitu PCR buffer 5X 5 µl, MgCl2 25 mM 0.5 µl, dNTP 10 mM 0.5 µl, satu unit Taq polymerase 0.01 µl, dan aquabidest 13.5 µl. Primer forward dan reverse untuk satu reaksi sebanyak 1.5 µl ditambahkan ke dalam mix PCR. DNA working solution sebanyak 4 µl disiapkan. Tahapan PCR dimulai dengan denaturasi awal 95 ºC selama 3 menit, tahap denaturasi 95 ºC selama 15 detik, tahap annealing 51-55 ºC selama 15 detik (suhu yang berbeda untuk tiap primer), tahap elongasi 72 ºC selama 1 detik, dan dilakukan pengulangan siklus-siklus tersebut sebanyak 35 kali. Tahap elongasi terakhir pada suhu 72 ºC selama 10 menit. Hasil PCR bisa disimpan pada suhu 4 ºC atau -21 °C untuk pemakaian dalam jangka waktu yang lama. Produk PCR dikonfirmasi dengan gel agarose 1% dalam buffer TBE 0.5X pada tegangan 80 V selama 30 menit yang dielektroforesis dengan Cole Parmer®. PAGE (Polyacrilamid Gel Electroforesis) Produk PCR marka SSR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004). Elektroforesis gel poliakrilamid disebut juga elektroforesis vertikal. Gel akrilamid digunakan karena akrilamid mampu menghasilkan resolusi yang lebih tinggi dibandingkan agarose. 15 Elektroforesis vertikal menggunakan alat Cole-Parmer® Dedicated Height Sequencers. Setiap produk PCR dicampur dengan loading dye kemudian didenaturasi selama 10 menit kemudian diletakkan dalam es yang telah dihancurkan. Pre run dilakukan pada 100 watt selama 30 menit. Elektroforesis dilakukan pada 60 watt selama 90 menit dan sebagai pembanding digunakan ladder 100 bp. Deteksi fragmen DNA menggunakan silver staining Pewarnaan silver mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan modifikasi. Proses pewarnaan memiliki lima tahapan. Pertama adalah tahap fiksasi gel selama 10 menit. Plate dibilas dengan aquadest selama 1 menit. Kedua adalah tahap nitrit acid selama 3 menit, kemudian dibilas dengan aquadest selama 1 menit. Ketiga adalah tahap pewarnaan perak nitrat selama 20 menit, ketika proses staining akan berakhir, larutan developing ditambahkan 1.5 ml formaldehid dan 200 µl sodium thiosulfate. Plate dicuci dengan aquadest secara cepat, sekitar 5-10 detik. Keempat adalah tahap developer selama 5-7 menit hingga pita pada kaca muncul. Kelima adalah tahap reaction stop selama 5 menit, kemudian dicuci selama 5 menit di dalam 1 L aquadest. Plate dikeringkan pada suhu ruang dengan posisi tegak semalaman hingga benar-benar kering. Visualisasi akhir dan pemberian skor dilakukan di atas light table. Seleksi primer dan identifikasi genotipe tetua dan progeni Seleksi primer dilakukan untuk memperoleh primer-primer yang polimorfik pada kelapa. Contoh perbedaan pola pita monomorfik dan polimorfik dapat dilihat pada Gambar 3.1. Primer SSR yang polimorfik diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) pada DNA dari 6 genotipe yang dipilih acak. Dua genotipe mewakili kelapa Genjah, dua genotipe mewakili kelapa Dalam dan dua genotipe mewakili kelapa Hibrida. Primer-primer yang terpilih digunakan untuk mengidentifikasi genotipe pada populasi kandidat tetua sejumlah 95 genotipe serta populasi progeni berjumlah 84 genotipe. Marka SNAP untuk situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1 (sucrose synthase). Analisis data Hasil visualisasi PAGE setiap lokus SSR yang digunakan diamati dengan memberi nomor setiap pita yang muncul mulai dari ukuran paling kecil sampai paling besar.Data genotipe dari hasil skoring dikonversi menjadi data biner. Skoring data biner berdasarkan muncul atau tidaknya pita, jika muncul diberi skor 1 dan jika tidak muncul diberi skor 0. Data genotipe dibuat berdasarkan data biner. Contoh skoring data genotipe dan data biner dapat dilihat pada Tabel 3.1. Visualisasi marka SNAP menggunakan gel agarose 1%, skoring didasarkan pada kemunculan pita. 16 Alel 1 Alel 2 Alel 3 Alel 1 Alel 2 Alel 4 A B Gambar 3.1 Perbedaan pola pita polimorfik pada lokus CnCir_56 yang memiliki empat alel (a) dan pita monomorfik pada lokus CnCir_K8 yang memiliki dua alel (b) Tabel 3.1 Contoh skoring data biner dan data genotipe berdasarkan hasil amplifikasi lokus CnCir_56 pada Gambar 3.1 Skoring Data Biner Nomor Pohon Alel 1 2 3 1 0 0 1 0 1 0 2 0 1 1 3 1 0 0 4 Skoring Data Genotipe Nomor Pohon Alel 1 2 3 1 2 3 1 4 3 3 2 4 0 0 1 1 4 3 4 Data biner digunakan untuk menganalisis kemiripan genetik menggunakan perangkat lunak komputer Numerical Taxonomy and Multivariate System NTSYSpc 2.02 (Rohlf 1995). Output yang dihasilkan adalah dendogram pengelompokan atau clustering kemiripan genetik berdasarkan koefisien DICE yaitu F , dimana F adalah nilai kemiripan antara individu a dan b; Nab adalah jumlah pita yang sama posisinya antara individu a dan b; Na dan Nb adalah jumlah pita pada masing-masing individu a dan b. Data genotipe digunakan dalam analisis perangkat lunak komputer CERVUS 2.0, POPGENE versi 1.31, dan STRUCTURE. Nilai PIC (Polymorphic Information Content), Ho (observed heterozigosity) dan He (expected heterozigosity) diperoleh dari analisis perangkat lunak komputer CERVUS 2.0 (Marshal et al. 1998). Nilai Na (number of allele) dan Ne (effective of allele) diperoleh dari analisis perangkat lunak POPGENE versi 1.31 (Yeh et al 1999). Perangkat lunak STRUCTURE (Pritchard et al. 2000) digunakan untuk mengamati struktur genetik tiap individu pada kedua populasi. Running STRUCTURE menggunakan 10 000 Length of burn periode, 100 000 MCMC (Monte Carlo Montev Chain) dan 20 iterations. Penentuan nilai K (pengelompokan) terbaik mengikuti metode Evano et al. (2005). Penentuan nilai 17 K terbaik juga bisa dilakukan taylor0.biology.ucla.edu/structureHarvester/. secara online pada situs Hasil dan Pembahasan Seleksi Primer dan Identifikasi Genotipe Kegiatan seleksi primer dilakukan untuk memperoleh primer-primer yang dapat mengamplifikasi DNA dan polimorfik terhadap populasi dan progeni yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan dari 36 primer SSR yang digunakan (Lampiran 2) pada tahap seleksi primer menggunakan enam genotipe hanya ada 32 primer yang dapat mengamplifikasi dan 4 primer diantaranya yang polimorfik. M Gambar 3.2 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_56 (230–180 bp). M=marka Ladder 100 bp (100, 200) M Gambar 3.3 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_86 (188-163bp). M=marka Ladder 100 bp (100, 200) 18 M Gambar 3.4 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_87 (158-170bp). M=marka Ladder 100 bp (100, 200) M Gambar 3.5 Pola pita DNA menggunakan primer SSR CnCir_B12 (151198bp). M=marka Ladder 100 bp (100, 200) Gambar 3.6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SNP pada posisi 14 gen SUS1, R=reference A=alternate 19 Tabel 3.2 Profil primer menggunakan marka SSR dan SNAP Nama Lokus/ LG Urutan Basa (5’ – 3’) Kisaran basa (bp) CnCir_87 / 13 CnCir_86 / 9 CnCir_56 / 8 CnCir_B12 /3 F-ATAACATCCTCCAACCTGR-GACTGAATCCAACCCTTF-CCACTTGAGACTTGAAACR-ACTCACGCAAATATACTC AF-AACCAGAAC TTAAATGTCGR-TTTGAACTCTTCTAT TGGGF-GCTCTTCAGTCTTTCTCAAR-CTGTATGCCAATTTTTCTA- Ta (°C) Na PIC Ho He Ne 158-170 54 4 0.34 0.29 0.36 1.57 163-188 53 4 0.50 0.54 0.58 2.36 180-230 53 5 0.45 0.41 0.54 2.15 151-198 51 6 0.56 0.52 0.63 2.67 4.5 0.46 0.44 0.53 2.19 2 0.37 0.82 0.48 1.96 Marka SSR Rata-rata Marka SNAP CNSUS1 Pos14 F-GCTGAAAGTCACTGAA AAGGTAYR-AAATTATTAAGAATGTCA TGGTTTC Keterangan : 300 55 PIC = Polymorphic Information Content , Ta = Temperature annealing Ho = Observed heterozigosity, He = Expected heterozigosity, Na = number of alleles, Ne = effective of alleles, Y = G/C Profil keempat lokus SSR yang polimorfik serta marka SNAP dapat dilihat pada Tabel 3.2. Penelitian ini menghasilkan empat primer yang polimorfik meskipun menggunakan primer-primer yang telah digunakan sebelumnya (Lebrun et al. 2001). Misalnya pada lokus CnCir_H4 yang digunakan pada penelitian Noel et al. (2011) memperoleh 6 alel, penelitian Martinez et al. (2009) dan Ribeiro et al. (2010) memperoleh 3 alel, tetapi untuk populasi kelapa kopyor di Pati lokus tersebut menunjukkan pita monomorfik. Lokus CnCir_B12 dalam kasus ini memiliki jumlah alel yang lebih sedikit dibanding penelitian Martinez et al. (2009) yang memperoleh 8 alel, Ribeiro et al. (2010) dan Shalini et al. (2007) memperoleh 9 alel, Rajesh et al. (2008) memperoleh 13 alel, sedangkan pada penelitian ini hanya diperoleh 6 alel. Rata-rata jumlah alel per lokus untuk marka SSR adalah 4.5 dengan kisaran jumlah alel 4-6. Jumlah rata-rata alel per lokus hampir sama dengan yang diperoleh oleh Konan et al. (2007) yaitu 4.83 alel per lokus yang menggunakan 21 aksesi kelapa dan 13 lokus SSR. Hal ini disebabkan karena populasi yang digunakan pada penelitian sebelumnya menggunakan wild tipe hasil eksplorasi dari berbagai wilayah dan menggunakan populasi kelapa Dalam. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi yang memiliki hubungan kekerabatan, sehingga sulit untuk menemukan primer yang polimorfik atau dapat membedakan antar genotipe. Primer yang polimorfis dibutuhkan untuk dapat menganalisis keragaman genetik populasi tanaman dengan memperlihatkan keragaman pola pita yang terbentuk (Chakravarthi dan Naravaneni 2006). Pola pita polimorfis dapat terjadi sebagai akibat dari perbedaan pengulangan basa dari tiap individu (Hildebrand et al. 1992). Nilai rata-rata PIC yang diperoleh adalah 0.44, dengan nilai PIC tertinggi sebesar 0.56 pada lokus CnCir_B12 yang tergolong sedang, dan PIC terendah adalah CnCir_87 yaitu 0.34. Nilai PIC adalah ukuran dari polimorfisme antar genotipe dalam suatu lokus penanda yang menggunakan informasi jumlah alel 20 dalam analisisnya (Sajib et al. 2012). Sardou et al. (2011) mengatakan bahwa PIC yang tinggi mengindikasikan kemampuan membedakan individu juga tinggi. Primer CnCir_B12 memiliki kemampuan yang tinggi untuk membedakan setiap genotipe dalam populasi, sedangkan primer CnCir_87 kemampuan membedakan genotipenya pada populasi ini kurang. Nilai PIC berkisar antara 0 hingga 1. Nilai 0 artinya pada lokus tersebut memiliki hanya satu alel (monomorfik) sedangkan nilai PIC 1 artinya lokus tersebut memiliki alel yang tidak terbatas (Hildebrand et al. 1992). Lokus CnCir_B12 memiliki nilai He tertinggi (0.63) dan CnCir_87 terendah (0.36). Nilai He yang tinggi mengindikasikan bahwa pada lokus tersebut memiliki tingkat keragaman yang tinggi (Boer 2007). Rata-rata nilai He adalah 0.52. Nilai He yang tinggi pada CnCir_B12 disebabkan karena banyak genotipe pada lokus tersebut yang bersifat heterozigot, sedangkan primer CnCir_87 kebanyakan menghasilkan satu alel per genotipe (homozigot). Nilai He selalu lebih tinggi dibandingkan nilai PIC. Nilai rata-rata PIC dan He tergolong sedang untuk populasi kelapa kopyor di Pati menggunakan analisis lima lokus menunjukkan bahwa kurangnya keragaman genetik pada populasi tersebut. Hal tersebut didukung dengan sulitnya memperoleh primer yang polimorfik. Semakin rendah tingkat polimorfis, maka tingkat keragamannya juga semakin rendah. Hal ini sejalan dengan informasi dari petani yang menanam buah (progeni) di lokasi yang berdekatan dengan pohon induknya, sehingga terbentuk suatu struktur famili dalam populasi. Bibit kelapa yang ditanam merupakan campuran bibit kelapa berbuah kopyor dan bibit kelapa berbuah normal, karena masih sulit membedakan bibit kelapa normal dengan kelapa kopyor. Kemiripan Genetik Analisis kemiripan genetik pada populasi tanaman kelapa dewasa menggunakan koefisien DICE mengelompok menjadi tujuh berdasarkan kemiripan 55% atau mengelompok menjadi tiga berdasarkan kemiripan 45% (Gambar 3.7). Kelompok satu dan enam terdiri dari kelapa Genjah, kelapa Dalam dan kelapa Hibrida, tetapi kelapa Genjah lebih dominan. Kelompok dua terdiri atas kelapa Genjah dan kelapa Hibrida. Kelompok tiga terdiri dari kelapa Genjah, kelapa Hibrida dan kelapa Dalam. Kelompok empat terdiri atas kelapa Dalam dan kelapa Hibrida. Kelompok lima dan tujuh hanya terdiri dari pohon kelapa Dalam. Seluruh individu tanaman dalam populasi tetua menjadi satu kelompok dengan kemiripan 18%. Hasil pengelompokan menggunakan analisis UPGMA menunjukkan bahwa pada populasi tanaman kelapa dewasa, marka SSR dan marka SNAP dapat mengelompokkan kelapa berdasarkan tipenya, yaitu kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Genotipe tanaman pada populasi tetua beberapa ada yang memiliki kemiripan genetik 100%, sebagai contoh pada pohon nomor 70, 71, 74, 75 dan 86. Kelima pohon tersebut diduga berasal dari tetua yang sama, sehingga memiliki alel yang sama untuk empat lokus SSR dan satu lokus SNP yang dianalisis. Informasi yang diperoleh dari petani mengatakan bahwa bibit kelapa kopyor yang ditanam dalam populasi tersebut berasal dari perkecambahan buah normal 21 heterozigot maupun homozigot yang diperoleh dari pohon yang berbuah kopyor, sehingga menyebabkan turunannya memiliki kekerabatan yang dekat. Hasil yang sama juga dilaporkan dalam penelitian Maskromo (2005) yang mengatakan bahwa pohon kelapa berbuah kopyor dari lokasi yang sama membentuk kelompok dengan kemiripan antara 61% hingga 100%. Misalnya kemiripan genetik pada populasi kelapa berbuah kopyor di Lampung memiliki kisaran 62% hingga 100%, sedangkan di daerah Pati memiliki kisaran 61% hingga 100%, dan di daerah Sumenep memiliki kisaran 55% hingga 100%. Kemiripan genetik di daerah Pati pada penelitian ini lebih rendah dibanding penelitian Maskromo (2005). Hal itu disebabkan karena perbedaan jumlah tanaman yang digunakan, yaitu hanya 30 tanaman kelapa dewasa, sedangkan pada penelitian ini menggunakan 95 tanaman kelapa dewasa. Analisis kemiripan genetik pada populasi progeni menggunakan data molekuler mengelompok menjadi tiga bagian berdasarkan kemiripan 55% (Gambar 3.8). Kelompok satu terdiri atas bibit kelapa tipe Dalam, Genjah, Hibrida, testcross dan double hybrid tetapi didominasi oleh bibit kelapa tipe Genjah. Kelompok dua terdiri dari bibit kelapa tipe Dalam, Hibrida, dan testcross tetapi didominasi oleh bibit kelapa tipe Dalam dan testcross. Kelompok tiga hanya terdiri oleh bibit kelapa tipe testcross. Bibit kelapa tipe testcross dibedakan menjadi dua yaitu testcross Dalam dan testcross Genjah. Bibit kelapa testcross Dalam adalah bibit kelapa yang terbentuk dari induk kelapa Hibrida dengan induk kelapa Dalam. Bibit kelapa testcross Genjah adalah bibit kelapa yang terbentuk dari induk kelapa Hibrida dengan induk kelapa Genjah. Analisis clustering memperlihatkan bahwa progeni-progeni yang berasal dari induk betina yang sama sebagian besar memiliki kemiripan genetik 100%. Beberapa progeni yang berasal dari induk betina yang berbeda pun ada yang memiliki kemiripan 100%, sebagai contoh dapat dilihat pada genotipe 69.a, 69.b, 69.c, 69.k1 dan 89.g. Hal itu disebabkan karena kelima progeni tersebut berasal dari induk jantan yang sama, yaitu pohon 80. Kelima progeni tersebut memiliki induk betina yang berbeda, yaitu 69 dan 89. Pada progeni 89.g kontribusi alel dari induk jantan lebih dominan untuk analisis empat lokus SSR dan satu lokus SNP. Induk betina dan induk jantan kelima progeni tersebut terdapat pada kelompok yang sama yaitu kelompok satu (Gambar 3.7). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nybom et al. (2004) pada Rosa villosa. Tanaman tersebut merupakan tanaman tetraploid, sehingga selalu terdapat dua atau tiga alel dari tetua jantan pada masing-masing progeni. Kontribusi alel dari induk jantan selalu muncul di beberapa keturunan. 22 Gambar 3.7 Dendrogram kemiripan genetik pada 95 individu tanaman kelapa dewasa pada populasi kelapa kopyor Pati. Garis berwarna hijau adalah kelapa Genjah, garis merah adalah kelapa Dalam dan garis biru adalah kelapa Hibrida. 23 Gambar 3.8 Dendrogram kemiripan genetik pada 84 bibit pada populasi progeni dari sejumlah induk betina kelapa berbuah kopyor. Garis berwarna hijau adalah bibit kelapa Genjah, garis merah adalah bibit kelapa Dalam dan garis biru adalah bibit kelapa Hibrida dan garis berwarna hitam adalah bibit kelapa testcross. 24 Susunan struktur genetik antar populasi dapat dilihat menggunakan program komputer STRUCTURE (Pritchard et al. 2000). Variasi genetik dalam populasi tanaman kelapa dewasa (Gambar 3.10) serta populasi tanaman dewasa dengan progeninya (Gambar 3.9) memiliki nilai K = 2, artinya bahwa dalam populasi tersebut mengelompok menjadi dua subgroup yang dilambangkan dengan warna merah dan hijau. Setiap individu ditampilkan dalam garis vertikal. Warna yang sama pada individu yang berbeda menunjukkan bahwa mereka adalah satu kelompok atau memiliki genetik yang mirip. Warna yang berbeda dalam satu individu mengindikasikan persentase genetik yang diperoleh dari masing-masing kelompok. Genotipe progeni disusun disamping induk betinanya diberi label (2) sedangkan populasi kelapa dewasa diberi label (1) pada Gambar 3.10. Analisis struktur genetik dapat mengelompokkan kelapa berdasarkan jenisnya, yaitu kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Kelapa Dalam dikelompokkan dengan warna hijau sedangkan kelapa Genjah dikelompokkan dengan warna merah. Kelapa hibrida adalah perpaduan antara kelapa Genjah dan kelapa Dalam, sehingga warna pada individu kelapa hibrida adalah merah dan hijau. Jika kelapa hibrida memiliki warna hijau yang lebih dominan maka sifat kelapa Hibrida tersebut lebih mirip dengan kelapa Dalam. Jika kelapa Hibrida memiliki warna merah yang lebih dominan maka sifat kelapa Hibrida tersebut lebih mirip dengan kelapa Genjah. Penelitian Ribeiro et al. (2010) juga melakukan analisis menggunakan program komputer STRUCTURE terhadap populasi kelapa. Pengelompokan yang terjadi sama dengan hasil dendogram, yaitu mengelompok menjadi dua kelompok. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding hasil penelitian Margarita et al. (2010) yang memperoleh sembilan kelompok. Sembilan kelompok tersebut selain membedakan kelapa Dalam dengan kelapa Genjah, tetapi juga membedakan asal kultivar yang digunakan. Margarita et al. (2010) menggunakan 36 marka SSR dan 13 marka SNP dan SSCP untuk genotyping 218 sampel dari 13 kultivar, sedangkan Ribeiro et al. (2010) menggunakan 13 marka SSR untuk genotyping 195 sampel dari 10 populasi. Jumlah pengelompokan yang berbeda tersebut disebabkan karena perbedaan jumlah lokus yang dianalisis serta jumlah populasi yang digunakan. 25 Gambar 3.9 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa menggunakan STRUCTURE dengan K=2. Kelapa Dalam ( ), kelapa Genjah ( ) kelapa Hibrida ( ). Setiap individu digambarkan dalam satu garis. Warna yang berbeda melambangkan kelompok yang berbeda. 26 Gambar 3.10 Analisis struktur populasi tanaman kelapa dewasa dan progeninya menggunakan STRUCTURE dengan K=2. Kelapa Dalam ( ), kelapa Genjah ( ) kelapa Hibrida ( ), progeni ( ). Setiap individu digambarkan dalam satu garis. Warna yang berbeda melambangkan kelompok yang berbeda 27 Tabel 3.3 Perbedaan data morfologi dan data molekuler terhadap tipe kelapa Data morfologi Data molekuler Jumlah Persentase (%) Dalam Genjah 1 1.05 Dalam Hibrida 8 8.42 Genjah Dalam 3 3.16 Genjah Hibrida 32 33.68 Hibrida Dalam 3 3.16 Hibrida Genjah 0 0 47 49.47 TOTAL Dalam Dalam 9 9.47 Genjah Genjah 32 33.68 Hibrida Hibrida 7 7.37 95 100 TOTAL Penentuan tipe kelapa berdasarkan data morfologi memiliki perbedaan dengan data molekuler. Penentuan tipe kelapa berdasarkan data molekuler didasarkan pada analisis perangkat lunak komputer STRUCTURE. Perubahan identifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah kelapa Genjah berdasarkan data morfologi berubah menjadi kelapa Hibrida berdasarkan data molekuler. Selain itu, terdapat pula perubahan dari kelapa Genjah ke kelapa Dalam, maupun sebaliknya. Tipe kelapa yang berubah secara keseluruhan adalah 47 pohon (49.47%). Hasil analisis struktur genetik menggunakan perangkat lunak STRUCTURE juga memperlihatkan adanya kecenderungan terjadi pengelompokan antara kelapa Genjah dengan kelapa Dalam (Gambar 3.9). Struktur genetik pada progeni sebagian besar mengikuti induk betinanya, tetapi juga ada yang mengikuti induk jantannya (Gambar 3.10). Jika progeni berwarna hijau, artinya sebagian besar genetik pada progeni tersebut bersifat kelapa Dalam, begitupun sebaliknya. Kelapa Hibrida merupakan kombinasi warna merah dan hijau. artinya kelapa Hibrida memiliki komposisi genetik yang merupakan kombinasi kelapa Genjah dengan kelapa Hibrida. Alel-alel yang dominan muncul pada kelapa Dalam ditampilkan dalam warna hijau. Alel-alel yang dominan muncul pada kelapa Genjah ditampilkan dalam warna merah. Kelapa Dalam yang berwarna merah diduga diduga disebabkan karena kesalahan dalam mengidentifikasi jenis kelapa. Morfologi kelapa Dalam bisa menyerupai kelapa Genjah, misalnya kelapa Dalam yang terdapat di Gorontalo (Heliyanto dan Tenda 2010). Contoh pada pohon kelapa Dalam nomor 24 berdasarkan dendogram memiliki kemiripan 100% dengan pohon kelapa Genjah nomor 22. Hasil analisis struktur genetik juga memperlihatkan hal yang sama, yaitu pohon kelapa Dalam nomor 24 berwarna merah seluruhnya, mendukung dugaan bahwa pohon nomor 24 sebenarnya adalah kelapa Genjah. 28 Simpulan Kisaran nilai PIC dan nilai He menunjukkan bahwa kemiripan genetik pada populasi kelapa kopyor Pati tergolong moderat. Tipe kelapa yang ditentukan melalui observasi morfologi di lapangan memiliki perbedaan pada tingkat molekuler dengan tingkat kemiripan genetik tergolong moderat. Daftar Pustaka Azrai M. 2006. Sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 25:81-89. Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit. [Disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Brody JR & Kern SE. 2004. Sodium boric acid: a Tris-free, cooler conductive medium for DNA electrophoresis. Bio Tech. 36:214-6. Creste S, Neto AT, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeat polymorphisms in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver staining. Plant Mol Biol Rep. 19:299–306. Chakravarthi BK and Naravaneni R. 2006. SSR marker based DNA fingerprinting and diversity study in rice (Oryza sativa L.). African J Biotech. 5:684688. Evanno G, Regnaut S, Goudet J. 2005. Detecting the number of clusters of individuals using the software STRUCTURE:a simulation study. Mol Ecol. 14:2611-2620. Heliyanto B dan Tenda ET. 2010. Varietas kelapa Dalam unggul spesifik Gorontalo. Bul Palma. 38:73-89. Hildebrand CE, Torney DC, Wagner RP. 1992. Informativeness of polymorphic DNA markers. Los Alamos Sci. 20:100-102. Konan KJN, Koffi KE, Konan JL, Lebrun P, Dery SK, Sangare A. 2007. Microsatellite gene diversity in coconut (Cocos nucifera L.) accessions resistants to lethal yellowing disease. African J Biotech. 6:341-347. Lebrun P, Baudouin L, Bourdeix R, Konan JL, Barker JHA, Aldam C, Herran A, and Ritter E. 2001. Construction of a linkage map of the Rennel Island Tall coconut type (Cocos nucifera L.) and QTL analysis for yield characters. Genome. 44:962-970. 29 Margarita MH, Alan WM, Lalith P, Joanne R, Raymond JS. 2010. Ambiguous genetic relationships among coconut (Cocos nucifera L.) cultivars: the effects of outcrossing, sample source and size, and method of analysis. Genet Resour Crop Evol. 57:203-217. Martinez RT, Luc B, Angelique B, and Michael D. 2009. Characterization of the genetic diversity of the Tall coconut (Cocos nucifera L.) in the Dominican Republic using microsatellite (SSR) markers. Tree Genets Genomes. 6:73-81. Maskromo I. 2005. Kemiripan Genetik Populasi Kelapa Berbuah Kopyor Berdasarkan Karakter Morfologi dan Penanda DNA SSRs (Simple Sequence Repeats) [Tesis]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Maskromo I, Mashud N, Hutapea R, Novarianto H. 2007. Keragaman tipe kelapa kopyor di Indonesia. Di dalam: Elsje TT, Miftahorrachman, Meldy LAH, Arie AL, Abener L, Donata SP, Nurhaini M, editor. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VI Buku II; 2006 Mei 16-18; Gorontalo, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 294299. Noel KKJ, Edmond KK, Konan KJL, Konan KE. 2011. Microsatellite gene diversity within Philippines dwarf coconut palm (Cocos nucifera L.) resources at Port-Bouet, Cote d’lvoire. Sci Res Essay. 6:5986-5992. Pritchard JK, Stephens M, Donnelly P. 2000. Inference of population structure using multilocus genotype data. Genetics. 155:945-959. Rajesh MK, Nakarajan P, Jerard BA, Arunachalam V, Dhanapal R. 2008. Microsatellite variability of coconut accessions (Cocos nucifera L.) from Andaman and Nicobar Island. Curr Sci. 94:1627-1631. Ribeiro FE, Baudouin L, Lebrun P, Chaves LJ, Brondani C, Zucchi MI, Vencovsky R. 2010. Population structure of Brazilian tall coconut (Cocos nucifera L.) by microsatellite markers. Genet Mol Bio. 33:696-702. Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos nucifera L by PCR Amplification of spacer sequences separating a subset of copies-like EcoR1 repetitive elements. J Genet Breed. 49:170-186. Rohlf FJ. 1995. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysys System Version 2.0. New York (US): Exeter Software. Sajib AM, M.M. Hossain, A.T.M.J. Mosnaz, H. Hossain, M.M. Islam, M.S. Ali, SH. Prodhan. 2012. SSR marker-based molecular characterization and genetic diversity analysis of aromatic landreces of rice (Oryza sativa L.). J BioSci Biotech. 1:107-116. 30 Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA. 1989. Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269–2273. Saptahadi D, Hartati RRS, Setiawan A, Heliyanto B, Sudarsono. 2011. Pengembangan marka simple sequence repeat untuk Jatropha spp. Jurnal Litri. 17:140-149. Sardou MA, Baghizadeh A, Tavasoli A, and Babaei S. 2011. The use of microsatellite markers for genetic diversity assessment of genus Hordeum L. in Kerman province (Iran). African J Biotech. 10:1516-1521. Shalini KV, Manjunatha S, Lebrun P, Berger A, Baudouin L, Pirany N, Rangananth RM, Prasad DT. 2007. Identification of molecular markers associated with mite resistance in coconut (Cocos nucifera L.). Genome. 50:35-42. Sudarsono, Sudrajat, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR, Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyot true to type dengan persilangan terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sukendah. 2009. Pembiakan Kopyor In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor [Disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Yeh FC, Yang RC, Boyle T. 1999. POPGENE version1.31 Microsoft WindowBase Software For Population Genetic Analysis:A Quick User’s Guide. Canada (CA): Alberta Univ. 31 ANALISIS PENYEBARAN SERBUK SARI KELAPA KOPYOR PATI MENGGUNAKAN MARKA SSR DAN SNAP Abstract Pollen and seed dispersal could be used to estimate gene flow among plants in a population. In kopyor coconut, pollination of normal pollen (pollen produced by normal coconut) reduced kopyor coconut yield. Therefore, it was necessary to evaluate the effect of pollen dispersal on kopyor fruit yield the mix garden containing normal and kopyor coconut provenances. The objectives of this experiment were to evaluate pollen dispersal among coconut provenances using SSR and SNAP markers and its effects on kopyor fruit yield. Fifteen coconut provenances were selected as female parents among a total of 95 adult palms. The coordinate positions of the adult palm were determined using GPS. Four SSR markers and one SNAP marker were used to genotype all provenances and 84 progenies harvested from 15 female parents. Parent-offspring relationships were determined based on genotype data using CERVUS software. The result of analysis indicated the farthest distance of pollen dispersal recorded in this evaluation was 61.8 m. The yield of kopyor fruit harvested was 2-3 fruits per bunch. Moreover, a number of progenies obtained pollens from normal fruit producing palms. The existence of normal palms in the garden affected negatively on kopyor fruit production. Keyword : gene flow, kopyor fruit production, mix population, pollination 32 Pendahuluan Kelapa kopyor memiliki potensi dan peluang sebagai komoditi ekspor, tetapi rendahnya produksi buah kopyor yang diperoleh petani dari pohon kelapa berbuah kopyor masih menjadi kendala dalam pengembangannya (Maskromo et al. 2102). Pertanaman kelapa kopyor di Pati umumnya berada dalam pekarangan penduduk. Pohon kelapa berbuah kopyor ditanam dalam populasi campuran dengan kelapa normal Dalam, Genjah, maupun Hibrida. Kelapa Dalam umumnya menyerbuk silang sedangkan kelapa Genjah umumnya menyerbuk sendiri (Pandin 2009). Kelapa normal yang hadir dalam areal pertanaman kelapa kopyor, baik itu tipe Dalam maupun tipe Genjah diduga mempengaruhi jumlah produksi buah kelapa kopyor. Hal ini disebabkan karena pohon kelapa berbuah normal dengan genotipe KK dapat mengkontribusikan gamet K ke pohon kelapa lain disekitarnya sehingga mengakibatkan buah kopyor tidak terbentuk. Syarat terbentuknya buah kopyor adalah induk betina harus bersifat kopyor heterozigot atau kopyor homozigot dengan genotipe Kk atau kk dan mendapatkan gamet k dari induk jantan (Maskromo et al. 2011b). Kelapa normal yang menyerbuki kelapa kopyor dapat dibuktikan melalui analisis penyebaran serbuk sari atau analisis induk jantan. Serbuk sari pada populasi kelapa kopyor di Pati dapat dibawa oleh vektor serangga maupun angin. Salah satu cara untuk mempelajari analisis penyebaran serbuk sari adalah menggunakan penanda molekuler genetik (Hamrick dan Trapnell 2011). Marka yang sering digunakan dalam analisis penyebaran serbuk sari adalah marka SSR. Marka SSR telah digunakan dalam analisis penyebaran serbuk sari pada tanaman jati (Prabha et al. 2011), Prunus mahaleb (Garcia et al. 2005), Pinus koraiensis (Feng et al. 2010), Hymenaea courbaril L. (Carneiro et al. 2011) dan analisis induk jantan pada tanaman kelapa kelapa (Pandin et al. 2008). Marka SNAP memiliki keuggulan dibanding dengan marka SSR yaitu dapat mendeteksi variasi dalam sekuens DNA yang menyebabkan perbedaan fenotipe (Manju dan Arunachalam 2011). Tujuan penelitian ini adalah (1) mempelajari penyebaran serbuk sari kelapa kopyor di Pati Jawa Tengah. (2) Mengamati produktivitas pohon kelapa berbuah kopyor dan mempelajari hubungannya dengan pola penyebaran serbuk sari. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 hingga Januari 2013. Sampel tanaman diambil pada bulan Juli 2011di Desa Sambiroto, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 33 Studi Tanaman Populasi yang digunakan merupakan populasi kelapa (Cocos nucifera) yang terdiri atas kelapa Genjah, kelapa Dalam, dan kelapa Hibrida. Kelapa Genjah terbagi menjadi kelapa Genjah Kuning, kelapa Genjah Hijau dan kelapa Genjah Cokelat. Kelapa Genjah umumnya melakukan penyerbukan sendiri (Hannum et al. 2003). Kelapa Dalam terbagi menjadi kelapa Dalam Hijau dan kelapa Dalam Cokelat. Kelapa Dalam umumnya melakukan penyerbukan silang (Pandin 2009). Kelapa Hibrida yang terjadi secara alami adalah kelapa yang terbentuk dari perkawinanan kelapa Genjah dengan kelapa Dalam. Tipe penyerbukan kelapa Hibrida secara umum belum diketahui. Kelapa berbuah normal dan kelapa berbuah kopyor masing-masing terdapat pada kelapa Genjah, kelapa Dalam dan kelapa Hibrida. Penentuan Lokasi dan Populasi Populasi yang dipilih terletak di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah karena di daerah tersebir memiliki keragaman berbagai jenis pohon kelapa. Populasi terdiri atas 164 pohon kelapa. Populasi yang dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah penduduk. Populasi tersebut merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor. Populasi yang digunakan dalam analisis pola penyebaran serbuk sari sebanyak 95 pohon kelapa dewasa, yang terdiri 33 pohon kelapa Genjah (19 pohon kelapa Genjah Hijau, 5 pohon kelapa Genjah cokelat dan 9 pohon kelapa Genjah kuning), 15 pohon kelapa Dalam, dan 47 pohon kelapa Hibrida. Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 22 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 73 pohon. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan. Pohon yang dijadikan sebagai induk betina sejumlah 15 pohon yang terdiri dari 8 pohon kelapa Hibrida, 2 pohon kelapa Genjah dan 5 pohon kelapa Dalam. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih. Setiap pohon kelapa dalam populasi campuran kelapa di lokasi penelitian diberi nomor menggunakan spidol dan dicatat posisi koordinatnya. Pemetaan koordinat tiap pohon kelapa menggunakan GPS Garmin 76c5x. Posisi koordinat diukur dengan menempelkan GPS ke batang pohon kelapa. Analisis Marka Mikrosatelit dan SNAP DNA diisolasi dari 95 individu tanaman kelapa dewasa serta 84 progeni. Progeni buah kelapa normal, benihnya dikecambahkan di lapangan hingga daun muda muncul dan dapat digunakan untuk isolasi DNA. Progeni buah kelapa kopyor DNA langsung diisolasi dari embrio zigotiknya. Prosedur isolasi DNA mengikuti metode Rohde et al. (1995). Daun dari tanaman dewasa serta daun muda dari bibit kelapa seberat 0.4 g dan embrio 34 zigotik kelapa kopyor digerus menggunakan buffer CTAB. Identifikasi genotipe (genotyping) dilakukan dengan menggunakan empat lokus marka SSR (CnCir_56, CnCir_86, CnCir_87 dan CnCir_B12) dan satu lokus marka SNAP (situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1). Amplifikasi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer GeneAmp PCR System 2400. Total volume reaksi PCR adalah 25 µl terdiri atas PCR buffer 5X 5 µl, MgCl2 25 mM 0.5 µl, dNTP 10 mM 0.5 µl, 1 U Taq polymerase 0.01 µl, dan aquabidest 13.5 µl, primer forward dan reverse 1.5 µl, dan DNA (working solution) sebanyak 4µl. Tahapan PCR dimulai dengan denaturasi awal 95 ºC selama 3 menit, diikuti dengan 35 siklus yang terdiri atas tahap denaturasi 95 ºC selama 15 detik, tahap annealing 51-55 ºC selama 15 detik (suhu yang berbeda untuk tiap primer), tahap elongasi 72 ºC selama 1 detik, diakhiri dengan tahap elongasi terakhir pada suhu 72 ºC selama 10 menit. Produk PCR untuk marka SSR dipisahkan dengan proses elektroforesis gel poliakrilamid 6% dengan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004), menggunakan Cole-Parmer® Dedicated Height Sequencers. Pengamatan pita DNA dilakukan dengan menggunakan sistem pewarnaan perak nitrat mengikuti prosedur Creste et al. (2001). Produk PCR untuk marka SNAP diamati keberadaannya dengan menggunakan 1% gel agarose. Pita DNA diamati dengan perendaman dalam larutan pewarnaan ethidium bromide yang telah dilarutkan dengan konsentrasi 1 mg.ml-1 selama satu menit diikuti perendaman dalam aquadest selama 10 menit. Analisis Paternal Data genotipe kandidat tetua dan progeni ditentukan berdasarkan skor dari masing-masing marka yang digunakan dan data genotipe yang didapat kemudian dianalisis dengan perangkat lunak komputer CERVUS 2.0 (Marshall et al. 1998). Data genotipe progeni yang telah diketahui induk betinanya dibandingkan dengan data pohon dewasa yang berpotensi menjadi tetua jantan (kandidat tetua jantan). Identitas induk jantan diketahui berdasarkan metode all parent with plus LOD. Hasil analisis selanjutnya digunakan untuk menentukan identitas induk jantan berdasarkan nilai LOD tertinggi. Jarak antara induk betina dengan induk jantan yang teridentifikasi dihitung menggunakan perangkat lunak GPS. Jarak tersebut dihitung dengan memanfaatkan data koordinat tiap pohon. Induk betina dan induk jantan kemudian digambarkan ke dalam peta sesuai dengan lokasi penelitian sehingga membentuk pola penyebaran serbuk sari. Induk jantan yang teridentifikasi sama dengan induk betinanya, maka diasumsikan terjadi penyerbukan sendiri, sedangkan jika induk jantan yang teridentifikasi berbeda dengan induk jantan maka diasumsikan terjadi penyerbukan silang (Prabha et al. 2011). Tipe bibit dikelompokkan menjadi enam berdasarkan jenis induk jantan dan induk betinanya, yaitu : a. Jika induk jantan kelapa Dalam dan induk betina juga kelapa Dalam, maka tipe bibitnya adalah kelapa Dalam. Jika induk jantan kelapa Genjah dan induk betina juga kelapa Genjah, maka b. tipe bibitnya adalah kelapa Genjah. c. Jika induk jantan kelapa Hibrida dan induk betina juga kelapa Hibrida, maka tipe bibitnya adalah kelapa Double hybrid. 35 d. e. f. Jika induk jantan kelapa Dalam dan induk betina kelapa Genjah atau sebaliknya, maka tipe bibitnya adalah kelapa Hibrida. Jika induk jantan kelapa Hibrida dan induk betina kelapa Dalam atau sebaliknya, maka tipe bibitnya adalah kelapa testcross Dalam. Jika induk jantan kelapa Hibrida dan induk betina kelapa Genjah atau sebaliknya, maka tipe bibitnya adalah kelapa testcross Genjah. Pengamatan produksi buah kopyor Produksi kopyor dihitung berdasarkan jumlah buah kopyor yang diperoleh dari satu tandan buah kelapa berbuah kopyor. Data morfologi yang juga diamati adalah tipe pohon (Genjah/Dalam/Hibrida), warna buah, jumlah tandan per pohon, rata-rata jumlah buah dari tiga tandan, rata-rata jumlah buah kopyor dari tiga tandan dan rata-rata persentase buah kopyor dari tiga tandan. Persentase buah kopyor dihitung dengan membagi jumlah buah kopyor dengan jumlah total buah yang dihasilkan per tandan. Kontribusi serbuk sari dari pohon kelapa berbuah normal dengan pohon berbuah kopyor juga diamati dan dibandingkan dengan jumlah buah kopyor dan buah normal yang dihasilkan per tandan dari pohon induk betina. Hasil dan Pembahasan Pemetaan Populasi Tanaman Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. Populasi tersebut menggambarkan bahwa pohon kelapa berbuah normal masih banyak tersebar di dalam populasi yang dipilih. Pohon kelapa normal diberi label bulat putih untuk kelapa Genjah, kotak putih untuk kelapa Dalam dan kotak kuning untuk kelapa Hibrida. Pohon induk betina yang digunakan sebanyak 15 pohon. Pohon induk betina diberi label bulat besar berwarna hijau untuk kelapa Genjah hijau, bulat besar berwarna kuning untuk kelapa Genjah kuning, bulat besar berwarna cokelat untuk kelapa Genjah cokelat, bulat biru untuk kelapa Dalam dan bulat merah untuk kelapa Hibrida. Selain itu, pohon kelapa berbuah kopyor yang bukan induk betina juga tersebar acak di dalam populasi. Kelapa Dalam kopyor diberi label kotak hitam, kelapa Genjah kopyor diberi label bulat kecil berwarna hijau, dan kelapa Hibrida kopyor diberi label kotak abu-abu. 36 Gambar 4.1 Peta sebaran pohon induk betina dan pohon kelapa dewasa lainnya sebagai kandidat tetua jantan Analisis Molekuler dalam Mempelajari Pola Penyebaran Serbuk Sari Tingkat polimorfisme marka SSR untuk populasi ini sangat rendah. Empat lokus yang polimorfik ditemukan dari hasil seleksi 35 primer SSR. Total alel yang diperoleh dari empat lokus SSR pada populasi tanaman dewasa adalah 18 alel dengan rata-rata alel 4.5. Total alel pada populasi progeni hanya 15 alel dengan rata-rata 3.4 alel per lokus. Nilai rata-rata Ho adalah 0.44, nilai rata-rata He adalah 0.53, dan nilai rata-rata PIC adalah 0.46. Marka SNAP juga memiliki variasi. Variasi yang muncul adalah adanya genotipe yang memiliki pita pada sisi Alt dan Ref atau salah satunya. Setiap individu memiliki 1-2 pita yang merupakan ciri khas bagi penanda SSR yang bersifat kodominan bagi organisme diploid. Semua progeni memiliki alel yang sama dengan induk betinanya, baik itu untuk kedua alel maupun hanya satu alel tetua (Gambar 4.4). Perbedaan alel tersebut diperoleh dari alel tetua jantan. Proses identifikasi genotipe menunjukkan adanya alel spesifik pada populasi tetua, yaitu alel yang tidak muncul pada 84 progeni. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya keragaman genetik pada populasi progeni. Hasil visualisasi DNA induk betina dan progeninya hasil amplifikasi primer CnCir_56 untuk marka SSR dapat dilihat pada Gambar 4.2. Induk betina nomor 1 memiliki alel (3,4) sedangkan progeninya 1a dan 1b memiliki variasi alel yaitu (2,3) dan (3,4). Progeni 1a memperoleh alel 3 dari induk betina sedangkan alel 2 dari induk jantannya. Hal yang sama juga terlihat pada induk betina 2 dan induk betina 3. 37 Gambar 4.2 Visualisasi primer CnCir_56 marka SSR pada induk betina dan progeninya. IB=Induk betina; P=progeni; M= ladder 100 bp (100, 200, 300) Gambar 4.3 Visualisasi primer situs SNP #14 dari fragmen gen SUS1 marka SNAP. A=alternate, R=reference, IB=Induk betina; P=progeni Visualisasi DNA pada marka SNAP dapat terlihat pada Gambar 4.3. Induk betina nomor 1 memiliki pita untuk posisi R dan A. Variasi alel terlihat pada empat progeninya yaitu 1b dan 1d yang hanya memiliki pita pada posisi R sedangkan 1a dan 1c memiliki pola pita yang sama dengan induk betinanya. Hal yang sama juga terlihat pada induk betina nomor 2. Progeni 1a memiliki pola pita yang sama dengan induknya, sedangkan 1b hanya memiliki pita pada posisi R. Pola Penyebaran Serbuk Sari Hasil penelusuran tetua jantan menggunakan program Cervus menunjukkan bahwa hanya satu progeni yang memiliki confidence level 95%, enam progeni memiliki confidence level 80%, selebihnya 77 progeni memiliki confidence level di bawah 80%. Seluruh progeni memiliki kisaran nilai LOD antara 0.58 hingga 3.8. Nilai peluang kemungkinan atau LOD untuk seluruh progeni menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0 dan positif. Jika nilainya 0 berarti tetua jantan yang diduga adalah tidak benar. Nilai LOD yang negatif dapat terjadi jika antara kandidat tetua dengan progeni tidak memiliki alel yang sama. Semakin besar nilai LOD maka semakin besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang sebenarnya (Marshal et al. 1998). Beberapa progeni yang memiliki confidence level di bawah 80% diduga disebabkan karena tetua jantan yang sebenarnya berada di luar populasi yang dianalisis. Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa masih ada beberapa pohon yang belum dianalisis. Kasus yang sama juga dialami oleh Feng et al. (2010), yaitu terdapat 25% kontaminasi serbuk sari artinya sebanyak 25% progeni diduga 38 memperoleh serbuk sari dari luar areal populasi yang dijadikan sebagai sampel. Jumlah lokus yang dianalisis juga mempengaruhi confidence level. Prabha et al. (2011) mengatakan untuk analisis parental, dibutuhkan jumlah lokus yang banyak dengan marka yang tingkat polimorfiknya tinggi, sehingga menghasilkan alel lebih banyak. Jumlah alel yang lebih banyak berfungsi untuk mengurangi kemungkinan lebih dari satu calon tetua membawa satu set alel yang sesuai dengan progeni pada setiap lokus. Nilai confidence level yang rendah juga bisa terjadi sebagai akibat adanya kesalahan dalam pemberian skor untuk data genotipe. Kesalahan yang terjadi disebabkan karena proses identifikasi genotipe dengan proses konfirmasi alel per plate digunakan buffer yang berbeda. Proses identifikasi genotipe awal menggunakan buffer TBE 1X sedangkan proses konfirmasi alel menggunakan buffer SB 1X. Kesalahan dalam proses identifikasi genotipe terlihat adanya empat alel progeni yang tidak sesuai dengan alel induk betinanya. Kasus yang sama juga dialami oleh Slavov et al. (2009) yaitu kesalahan dalam proses identifikasi genotipe menyebabkan munculnya null alleles. Salah satu pola penyerbukan dapat dilihat pada pohon induk kelapa Genjah kopyor hijau nomor 67 (Gambar 4.4). Jumlah buah yang diperoleh dalam satu tandan adalah sepuluh buah yang terdiri atas sembilan buah normal dan satu buah kopyor. Buah normal memperoleh serbuk sari dari pohon 51 dan 21 masingmasing sebanyak satu kali, dari pohon 87 mendonorkan tiga serbuk sari, dan pohon 94 mendonorkan empat serbuk sari. Buah kopyor memperoleh serbuk sari dari pohon 72. Hal tersebut menandakan bahwa serbuk sari yang berasal dari pohon 51, 21, 87 dan 94 membawa sifat K pada gamet jantannya sehingga menyebabkan buah menjadi normal. Pohon kelapa dewasa nomor 51, 21 dan 87 bersifat kopyor heterozigot (Kk), sedangkan pohon nomor 94 adalah pohon yang hanya menghasilkan buah kelapa normal (KK). Serbuk sari yang berasal dari pohon 72 membawa sifat k pada gamet jantannya dan gamet betinanya juga k sehingga menyebabkan buah menjadi kopyor. Hal ini membuktikan dugaan bahwa jika pohon kelapa kopyor diserbuki oleh pohon normal akan menurunkan produktivitas buah kopyor karena kontribusi gamet K. Pohon kelapa berbuah normal (no.94) yang mendonorkan serbuk sari ke pohon kelapa kopyor akan menghasilkan buah dengan genotipe normal homozigot KK, sedangkan pohon kelapa Genjah kopyor no. 21, no.51 dan no.87 menghasilkan buah normal dengan kemungkinan genotipe Kk atau KK.. Buah kopyor dapat terbentuk apabila gamet betinanya k dan gamet jantannya juga k (Maskromo et al. 2011a). Pohon lainnya yang juga diserbuki oleh kelapa normal adalah pohon induk kelapa Dalam no.85 (Lampiran 11). Buah yang dipanen dari pohon tersebut berjumlah lima butir dan tidak ada satupun yang bersifat kopyor. 39 Gambar 4.4 Representasi pola penyerbukan pohon induk 67. Buah normal dihasilkan dari serbuk sari pohon 94 sebanyak empat kali, pohon 87 sebanyak tiga kali, pohon 21 dan 51 masing-masing mengkontribusikan serbuk sari sebanyak satu kali. Buah kopyor dihasilkan dari serbuk sari pohon 72 Jumlah donor serbuk sari (%) 40 35 33.3 30 23.8 25 20.2 20 13.1 15 10 5 4.8 3.6 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 Jarak antar tetua jantan-betina (m) 61-70 1.2 0 0-10 Gambar 4.5 Persentase penyerbukan yang terjadi berdasarkan jarak antara pohon induk jantan dengan pohon induk betina Jarak penyebaran serbuk sari di populasi kelapa kopyor Pati yang teridentifikasi terjauh adalah 61.87 m, sedangkan jarak yang terendah adalah 0 m atau terjadi penyerbukan sendiri. Penyerbukan paling banyak terjadi dalam rentang jarak 0-10 m dengan persentase 33.3 % dan rata-rata penyerbukan terjadi pada jarak 22.27 m. Jarak penyebaran serbuk sari dapat dilihat pada Gambar 4.5. Jarak antar pohon jantan dan betina dapat dihitung setelah teridentifikasi tetua jantan. Penyerbukan dengan jarak yang dekat diduga dibantu oleh angin sedangkan jarak yang jauh dibantu oleh serangga (Boer 2007). Jarak yang lebih jauh dari 61.87 m masih memungkinkan terjadi, terkait sifat lebah sebagai vektor polinator yang dapat terbang hingga ratusan meter. Jarak antar pohon memberikan pengaruh terhadap frekuensi penyerbukan, jarak yang paling dekat (0-10 m) memiliki persentase kontribusi serbuk sari yang paling tinggi, tetapi pada jarak 21-30 dan 31-40 penyerbukan yang terjadi juga cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena tinggi tanaman. Misalnya penyerbukan dengan vektor angin, jika pohon pendonor serbuk sari lebih tinggi dibanding pohon penerima serbuk sari maka jarak penyebaran serbuk sari bisa lebih jauh. Arah penyebaran serbuk sari yang searah menandakan bahwa penyerbukan dibantu oleh angin (Hamrick dan Trapnell 2011). Jarak antara pohon induk jantan dan betina yang jauh mengindikasikan bahwa yang berperan lebih banyak dalam penyerbukan kelapa kopyor di Pati adalah faktor polinator biologis yaitu lebah. Hal tersebut sesuai pada penelitian Ramirez et al.(2004), yaitu penyerbukan kelapa dibantu oleh serangga yaitu dari kelompok Diptera, Coleoptera dan yang paling banyak adalah Hymenoptera. Lebah merupakan salah satu dari anggota Hymenoptera. Sistem Perkawinan Persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri pada 84 progeni dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kelapa Dalam memiliki persentase penyerbukan 41 silang tertinggi yaitu 100% berdasarkan analisis pada 17 progeni yang berasal dari induk betina kelapa Dalam. Jumlah penyerbukan sendiri secara keseluruhan dari 84 progeni adalah 15.5% dan jumlah penyerbukan silang adalah 71 atau 84.5%. Kelapa Dalam kopyor, kelapa Genjah kopyor dan kelapa Hibrida kopyor melakukan penyerbukan silang, sedangkan penyerbukan sendiri hanya terjadi pada kelapa Hibrida kopyor dan kelapa Genjah kopyor. Tipe-tipe bibit kelapa yang terbentuk ada enam (Gambar 4.6). Pengelompokan tipe bibit kelapa didasarkan pada jenis tetua betina dan jantannya yang terdeteksi (kelapa Genjah, kelapa Dalam maupun kelapa Hibrida). Tabel 4.1 Persentase penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang kelapa berbuah kopyor berdasarkan jenis induk betinanya Pengamatan Jumlah Persentase (%) 1. Induk betina kelapa Dalam 0 0 Penyerbukan sendiri 17 100 Penyerbukan silang Total 17 100 2. Induk betina kelapa Hibrida 10 17.9 Penyerbukan sendiri 46 82.1 Penyerbukan silang Total 56 100 3. Induk betina kelapa Genjah 3 27.3 Penyerbukan sendiri 8 72.7 Penyerbukan silang Total 11 100 50 44.0 Jumlah (%) 40 30 16.7 20 9.5 10 6.0 20.2 3.6 0 Dalam Genjah Hibrida TC TC Double Dalam Genjah hybrid Tipe bibit kelapa Gambar 4.6 Tipe bibit kelapa berdasarkan jenis tetua jantan dan betina yang terdeteksi. Sistem perkawinan dapat bersifat selfing maupun crossing. TC Dalam=testcross Dalam, TC Genjah=testcross Genjah 42 Bibit kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa Hibrida masing-masing sebanyak 9.5%, 6% dan 3.6%. Bibit kelapa testcross Dalam (kelapa Hibrida x kelapa Dalam) 16.7%, bibit kelapa testcross Genjah (kelapa Hibrida x kelapa Genjah) 20.2%, dan bibit kelapa double hybrid (kelapa Hibrida x kelapa Hibrida) adalah 44%. Penyerbukan sendiri dicirikan bahwa tetua jantan sama dengan tetua betina, sedangkan penyerbukan silang dicirikan bahwa tetua jantan berbeda dengan tetua betina. Penyerbukan sendiri menghasilkan progeni ful-sib sedangkan penyerbukan silang menghasilkan progeni half-sib. Kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa Hibrida saling mendonorkan serbuk sari satu sama lain. Kelapa Dalam tidak selalu melakukan penyerbukan silang, begitupun dengan kelapa Genjah tidak semuanya melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut diduga disebabkan karena morfologi bunga kelapa yang terbuka, sehingga kelapa Genjah juga memiliki peluang untuk menyerbuk silang (Maskromo et al. 2011a). Jika masa antesis dan reseptif pada beberapa pohon kelapa terjadi bersamaan maka memungkinkan kelapa untuk melakukan penyerbukan silang dengan bantuan angin maupun serangga. Penelitian Rajesh (2008) juga mengatakan penyerbukan silang juga terjadi pada kelapa Genjah. Hal tersebut didukung oleh tingginya tingkat heterosigositas kelapa Genjah (0.46) dibanding kelapa Dalam. Karakterisasi Produksi Kopyor Data rata-rata produksi 15 pohon induk betina terpilih dapat dilihat pada Tabel 4.2. Jumlah tandan per pohon bervariasi antara 5 hingga 12 tandan per pohon. Rata-rata jumlah buah kelapa kopyor per tandan berkisar 2 hingga 3 butir. Pohon nomor 67 memiliki rata-rata persentase produksi buah kopyor terendah yaitu 24.1%, sedangkan yang tertinggi adalah pohon nomor 44 yaitu 47.39%. Rata-rata jumlah buah kopyor per tandan tertinggi pada kelapa Genjah no.88 yaitu 3.33 butir, sedangkan rata-rata jumlah buah kopyor per tandan terendah pada kelapa Dalam no.37 dan no.39 yaitu 2 butir. Hal tersebut disebabkan pada pohon no.88 di sekitarnya tidak terdapat pohon kelapa berbuah normal, sedangkan pohon no.37 disekitarnya ada satu pohon berbuah normal dan pada pohon no.39 disekitarnya ada dua pohon kelapa berbuah normal (Gambar 4.3). Kehadiran pohon kelapa berbuah normal di dekat pohon kelapa berbuah kopyor menyebabkan terjadinya penyerbukan alami diantara kedua pohon tersebut. Persentase pohon berbuah normal yang mendonorkan serbuk sari ke pohon berbuah kopyor disajikan pada Tabel 4.3. 43 Tabel 4.2 Rata-rata produktifitas buah kelapa kopyor yang digunakan sebagai tetua betina di Pati pada bulan Juni 2011 No Pohon 37 39 44 53 58 85 89 51 59 67 68 69 84 88 92 Jenis Pohon Data Data morfologi molekuler Dalam Dalam Dalam Dalam Dalam Dalam Dalam Hibrida Hibrida Genjah Genjah Genjah Genjah Genjah Genjah Hibrida Dalam Dalam Dalam Dalam Hibrida Hibrida Dalam Hibrida Hibrida Hibrida Hibrida Hibrida Genjah Genjah Warna Buah Tandan per Pohon Ratarata Buah per Tandan Ratarata Kopyor per Tandan Rata-rata Persentasi Kopyor (%) Hijau Cokelat Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Cokelat Cokelat Hijau Hijau Kuning Cokelat Cokelat Kuning 8 9 10 5 11 10 9 10 9 12 12 11 10 10 10 5.67 5.67 6.33 7.67 9.33 9.33 7.00 7.33 7.67 9.67 7.33 5.00 6.00 8.67 6.00 2.00 2.00 3.00 2.33 3.00 3.00 2.67 2.33 3.00 2.33 2.33 2.33 2.67 3.33 2.33 35.27 35.27 47.39 30.38 32.15 32.15 38.14 31.79 39.11 24.10 31.79 46.60 44.50 38.41 38.83 Tabel 4.3 Kontribusi serbuk sari dan persentase produksi buah kelapa kopyor No pohon 37 39 44 51 53 58 59 67 68 69 84 85 88 89 92 Jenis pohon Hibrida Dalam Dalam Dalam Dalam Dalam Hibrida Hibrida Hibrida Hibrida Hibrida Hibrida Genjah Hibrida Genjah Sumber serbuk sari Kelapa Kelapa normal kopyor 2 4 1 - 2 5 2 6 2 2 5 6 9 6 8 5 6 7 5 Buah Kopyor % Normal % Total buah 1 4 1 2 2 1 3 3 2 4 4 50 80 50 33 0 0 28 10 33 50 25 0 67 80 1 1 1 4 2 2 5 9 6 3 6 6 2 7 1 50 20 50 67 100 100 72 90 67 50 75 100 33 100 20 2 5 2 6 2 2 7 10 9 6 8 6 6 7 5 Induk betina kelapa berbuah kopyor yang mendapatkan serbuk sari dari pohon kelapa berbuah normal adalah induk betina nomor 59, 67 dan 85. Bunga betina kelapa berbuah kopyor heterozigot atau tanaman kopyor homozigot yang dibuahi serbuk sari dari pohon kelapa normal akan membentuk buah normal atau 44 tidak kopyor. Hal yang sama dibuktikan dalam penelitian Maskromo et al. (2012) dengan pengamatan produksi buah kopyor pada populasi kelapa Dalam kopyor Kalianda. Jumlah buah kelapa kopyor per tandan dipengaruhi oleh keberadaan pohon kelapa berbuah normal yang ada di sekitarnya. Produksi buah kopyor per tandan lebih tinggi pada pohon kelapa berbuah kopyor yang di sekelilingnya juga merupakan pohon kelapa berbuah kopyor. Sebaliknya, pohon kelapa berbuah kopyor yang dikelilingi oleh kelapa berbuah normal memiliki jumlah produksi buah kopyor yang lebih rendah. Simpulan Penyerbukan paling banyak terjadi dalam rentang jarak 0-10 m dan ratarata penyerbukan terjadi dalam jarak 22.27 m. Produksi pohon kelapa berbuah kopyor yang berada di sekitar pohon kelapa berbuah normal memiliki produksi buah kopyor yang lebih rendah dibandingkan pohon berbuah kopyor yang tidak dikelilingi pohon kelapa berbuah normal. Daftar Pustaka Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit. [Disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Carneiro FS, Lacerda AEB, Lemes MR, Gribel R, Kanashiro M, Wadt LHO, Sebbenn AM. 2011. Effects of selective logging on the mating system and pollen dispersal of Hymenaea courbaril L. (Leguminosae) in the Eastern Brazilian Amazon as revealed by microsatellite analysis. Forest Ecol Manag. 262:1758-1765. Feng FJ, Sui X, Chen MM, Zhao D, Han SJ, Li MH. 2010. Mode of pollen spread in clonal seed orchard of Pinus koraiensis. J Biophys Chem. 1:33-39. Garcia C, Arroyo JM, Godoy A, Jordano P. 2005. Matting patterns, pollen dispersal, and the ecological maternal neighbourhood in a Prunus mahaleb L. population. Mol Ecol. 14:1821-1830. Hamrick JL, Trapnell DW. 2011. Using population genetic analyses to understand seed dispesal patterns. Acta Oecol. 37:641-649. Hannum S, Hartana A, Suharsono. 2003. Kemiripan Genetika Empat Populasi Kelapa Genjah Berdasarkan Pada Random Amplified Polymorphic DNA. Hayati. 10:125-129. 45 Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological Genetics Design, Analysis and Application. United Kingdom (GB): Blackwell Pub. Manju KP, Arunachalam V. 2011. Bioinformatic Prediction of SNP Markers in WRKY Sequences of Palms. Cord. 27:17-25. Marshall TC, Slate J, Kruuk LEB and Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for likelihood-based paternity inference in natural populations. Mol Ecol. 7:639-655. Maskromo I, Mashud N, Novarianto H. 2007. Potensi pengembangan kelapa kopyor di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 13:4-6. Maskromo I, Novarianto H, Sudarsono. 2011a. Fenologi Pembungaan Tiga Varietas Kelapa Genjah Kopyor Pati. Di dalam: Roedhy P, Slamet S, Anas D, Nurul K, Dewi S, Ketty S, Sintho WA, editor. Prosiding Seminar PERHORTI Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi Pasar Domestik dan Ekspor; 2011 Nov 23-24; Lembang, Indonesia. Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Hlm 1002-1010. Maskromo I, Novarianto H, Sukma D, Sudarsono. 2011b. Potensi Hasil Plasma Nutfah Kelapa Kopyor Asal Kalianda, Pati, Sumenep dan Jember. Di dalam Ade I, Agung K, Dedi R, Farida D, Hawan M, Noladhi W, Suseno A, Windhy C, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Lokal mendukung Industri Perbenihan dan Kongres PERIPI; 2011 Des 10; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Prodi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Hlm 499-506. Maskromo I, Sudarsono, Novarianto H. 2012. Potensi Produksi Pohon Induk Kelapa Dalam Kopyor Asal Kalianda Lampung Selatan. Di dalam : Maya M, Sandra AA, Darda E, Ni MA, Sudarsono, Nita E, Syahbuddin AT, editor. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama Peragi-PerhortiPeripi-Higi. 2012 Mei 1-2; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hlm 430-436. Pabendon MB, Azrai M, Kasim F, Mejaya MJ. 2007. Prospek penggunaan markah molekuler dalam program pemuliaan jagung. Jagung. Jakarta(ID):Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Pandin DS, Hartana A, Aswidinnoor H, Setiawan A. 2008. Pelacakan tetua populasi kelapa dalam mapanget no.32 (DMT-32) menggunakan analisis aliran gen (gene flow) berdasarkan penanda mikrosatelit (SSR). Jurnal Litri. 14:131-140. 46 Pandin DS. 2009. Inbreeding depression analysis based on morphological characters in four generations of selfed Mapanget Tall Coconut no. 32 (Cocos nucifera L.). Indonesian J Agr. 2:110-114. Prabha SS, Indira EP, Nair PN. 2011. Contemporary gene flow and mating system analysis in natural teak forest using microsatellite markers. Curr Sci. 101:1213-1219. Rajesh MK, Nagarajan P, Jerard BA, Arunachalam V, Dhanapal R. 2008. Microsatelitte variability of coconut accessions (Cocos nucifera L.) from Andaman and Nicobar Islands. Curr Sci. 94:1627-1632. Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA. 1989. Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269–2273. Slavov GT, Leonardi S, Burczyk J, Adams WT, Strauss SH, Difazio SP. 2009. Extensive pollen flow in two ecologically contrasting populations of Populus trichocarpa. Mol Ecol. 18:357–73. Sudarsono, Sudrajat, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR, Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyot true to type dengan persilangan terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 47 PEMBAHASAN UMUM Embrio kelapa kopyor tidak bisa tumbuh dan berkembang seperti buah kelapa normal pada umumnya. Endosperma kelapa kopyor bersifat abnormal dan mengalami pembusukan segera setelah dipetik dari pohonnya. Hal tersebut yang membuat buah kelapa kopyor menjadi langka, sedangkan dari segi rasa buah kelapa kopyor disukai oleh masyarakat. Kabupaten Pati merupakan salah satu penghasil kopyor terbaik di Indonesia karena di Pati berkembang populasi kelapa Genjah kopyor, sedangkan di daerah lain seperti Lampung, Jember dan Sumenep kebanyakan adalah kelapa Dalam kopyor. Produksi buah kopyor di Pati rata-rata 3-5 butir pertandan, dianggap masih kurang dari kemampuan berbuah kopyor bagi kelapa Genjah yaitu 50% (Maskromo dan Novarianto 2007a). Marka mikrosatelit atau SSR merupakan marka yang telah digunakan dalam analisis kemiripan genetik pada tanaman kelapa (Dasanayaka et al. 2009), kelapa sawit (Zulhermana 2009), jagung (Azrai 2006), padi (Moeljopawiro 2007), dan Rosa sp (Nybom et al. 2004). Setiap individu dalam famili half-sib memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari pohon induk benih, sehingga dapat dibedakan mana benih yang merupakan hasil penyerbukan sendiri maupun hasil penyerbukan silang. Jika penyerbukan sendiri kemiripan genetik progeninya memiliki kemiripan mendekati 100% dengan induknnya (Carneiro et al. 2011). Primer-primer yang diseleksi banyak yang menghasilkan pola pita monomorfik, bahkan ada empat primer yang tidak dapat mengamplifikasi. Primer yang tidak dapat mengamplifikasi disebabkan karena adanya ketidakcocokan urutan basa pada primer dengan basa nukleotida. Selain itu bisa disebabkan karena kondisi PCR yang belum optimal. Pola pita yang monomorfik berhubungan dengan sampel yang digunakan, semakin rendah variasi genetik suatu populasi semakin sulit untuk membedakan genotipe tiap-tiap individu. Populasi yang digunakan terdiri atas kelapa genjah yaitu 34.7%, sedangkan kelapa Dalam dan kelapa Hibrida masing-masing adalah 15.8% dan 49.5%. Variasi genetik yang rendah juga disebabkan karena petani di Pati menanam bibit kelapa kopyor dan membentuk populasi pohon kelapa kopyor yang berasal dari pohon induk yang sama. Jumlah primer polimorfik diharapkan akan lebih banyak jika populasi yang digunakan dalam analisis mayoritas adalah kelapa Dalam. hal tersebut disebabkan karena kelapa Genjah memiliki variasi genetik yang lebih rendah dibanding dengan kelapa Dalam (Maskromo et al. 2007c). Primer yang polimorfik menunjukkan adanya kecocokan dalam amplifikasi primer terhadap DNA template yang ditemukan pada lokus yang sama tetapi pada alel yang berbeda. Alel yang berbeda disebabkan karena perbedaan berat molekulnya dalam hal ini jumlah pasang basa. Hasil elektroforesis pada gel poliakrilamid mampu memisahkan DNA lebih sempurna. Penentuan ukuran dan jumlah alel yang muncul pada gel didasarkan pada asumsi bahwa semua pita DNA yang memiliki laju migrasi yang sama dalam proses elektroforesis (Leung et al. dalam Munarti 2005). Hasil analisis oleh perangkat lunak komputer NTSYS dengan STRUCTURE memiliki hasil yang sejalan. Kelompok pertama hasil clustering 48 NTSYS didominasi oleh kelapa tipe Genjah, serta beberapa kelapa Dalam dan Hibrida. Kelompok kedua dan ketiga didominasi oleh kelapa Dalam serta beberapa kelapa Genjah dan Hibrida. Kelompok pertama hasil clustering STRUCTURE menunjukkan kelapa Dalam, sedangkan kelompok kedua menunjukkan kelapa Genjah. Kedua perangkat lunak komputer tersebut dapat mengelompokkan kelapa berdasarkan jenisnya. Kelapa Dalam yang terdapat pada kelompok pertama dan kelapa Genjah pada kelompok kedua dalam analisis NTSYS disebabkan karena kesalahan dalam mengidentifikasi jenis pohon kelapa di lapangan. Hasil tersebut didukung oleh hasil analisis STRUCTURE. Pohon yang awalnya diduga adalah kelapa Dalam (pohon nomor 24), ternyata memiliki struktur genetik yang lebih menyerupai kelapa Genjah, sehingga pada dendogram (Gambar 3.7) pohon tersebut mengelompok bersama dengan pohon kelapa Genjah. Hasil analisis STRUCTURE menunjukkan bahwa pohon nomor 24 memiliki sifat kelapa Dalam kurang dari 10%. Hal yang sama juga terjadi pada kelapa Genjah yang berada satu kelompok dengan kelapa Dalam pada dendogram. Jenis pohon kelapa yang telah diketahui melalui kedua analisis tersebut penting dalam menentukan jenis progeni atau bibit kelapa yang dipanen dari 15 pohon induk betina terpilih. Bibit kelapa tersebut terlebih dahulu harus diketahui induk jantannya melalui analisis tetua jantan. Aliran informasi genetik melalui serbuk sari lebih efisien dibanding melalui biji, karena melalui serbuk sari jarak penyebaran informasi genetik bisa lebih jauh. Jarak penyebaran serbuk sari yang jauh dapat dibantu oleh serangga sebagai vektor. Finkeldey dalam Boer (2007) mengatakan bahwa distribusi informasi genetik melalui biji tidak efisien karena akan membentuk struktur famili. Struktur famili adalah antara satu pohon dengan pohon lain di sekitarnya memiliki kemiripan genetik yang hampir sama. Hasil analisis tetua jantan menggunakan empat lokus SSR dan satu posisi SNP menunjukkan bahwa tingkat penyerbukan silang pada populasi ini sangat tinggi. Kelapa Genjah tidak selalu melakukan penyerbukan sendiri, karena apabila terdapat dua pohon yang berdekatan memiliki masa antesis dan reseptif yang sama kedua pohon dapat saling menyerbuki. Hal tersebut didukung oleh morfologi bunga kelapa yang terbuka, sehingga angin maupun serangga dapat bertindak sebagai vektor polinator. Penelitian Maskromo et al. (2011a) menyatakan bahwa terdapat kesamaan waktu antesis dan reseptif pada kelapa Genjah Hijau Kopyor Pati, kelapa Genjah Kuning Kopyor Pati dan kelapa Genjah Cokelat Kopyor Pati. Rendahnya confidence level pada induk jantan yang teridentifikasi diduga terkait dengan pemilihan populasi. Populasi yang lebih beragam diharapkan dapat digunakan pada penelitian selanjutnya sehingga confidence level yang diperoleh bisa ditingkatkan. Produktivitas kopyor tertinggi pada pohon induk kelapa Dalam no.44 (47.4%) sedangkan produktivitas terendah pada pohon induk kelapa Genjah no.67 (24.1%). Pohon induk no.44 berada di dekat satu pohon kelapa Genjah normal dan satu pohon kelapa Dalam normal. Pohon induk no.44 tidak memperoleh serbuk sari dari kedua pohon kelapa berbuah normal tersebut disebabkan karena tinggi pohon no.44 yaitu 13 m lebih tinggi dibanding pohon kelapa berbuah normal, yaitu 2 m dan 11 m. 49 Pohon induk no.67 berada di dekat satu pohon kelapa Genjah normal dan dua pohon kelapa Dalam normal. Satu tandan buah kelapa yang dipanen dari pohon induk no.67 kemudian dianalisis sumber serbuk sarinya menunjukkan bahwa progeni pohon induk no.67 diserbuki oleh kelapa Genjah normal sebanyak empat kali, sehingga dari sepuluh buah kopyor per tandan yang dipanen hanya ada satu yang kopyor (10%). Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan pohon kelapa normal memberikan pengaruh terhadap produksi buah kopyor. Pohon lainnya yang juga diserbuki oleh kelapa normal adalah pohon induk no.85. Pohon tersebut memiliki lima buah dalam satu tandan tetapi tidak satupun yang berbuah kopyor. Pohon induk no.59 yang mendapatkan dua serbuk sari dari pohon berbuah normal memiliki tujuh buah per tandan yang dipanen hanya ada dua buah yang kopyor (28.5%). Analisis penyebaran serbuk sari terhadap 84 progeni menunjukkan bahwa secara keseluruhan kelapa normal mendonorkan serbuk sari sebanyak 8.33%. Pengamatan di lapangan pada salah satu pohon kelapa berbuah kopyor di Pati memperlihatkan adanya lebah liar yang bergerombol di sekitar bunga kelapa. Hal tersebut dikaitkan dengan pola penyebaran serbuk sari yang diperoleh bahwa pohon induk betina mendapatkan donor serbuk sari dari berbagai arah. Selain itu, pohon induk betina juga mendapatkan donor serbuk sari dari pohon yang jauh. Pola penyebaran serbuk sari yang demikian dapat dijadikan petunjuk bahwa penyerbukan pohon kelapa berbuah kopyor di Pati juga dibantu oleh serangga. Implikasi dari penelitian ini adalah petani kelapa kopyor di Pati sebaiknya melakukan penebangan pohon kelapa berbuah normal dalam areal pertanamannya untuk meningkatkan produksi kelapa kopyor karena pohon kelapa berbuah normal dapat mendonorkan serbuk sarinya ke pohon berbuah kopyor. Lebah yang diintroduksikan pada kebun kelapa kopyor juga diharapkan mampu meningkatkan produksi kelapa kopyor di Pati. Lebah merupakan polinator terbaik yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Liferdi 2008). Lebah sebagai polinator pada tanaman jarak pagar dapat meningkatkan produksi sebesar 40% (Kasno et al. 2010). 50 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kemiripan genetik pada populasi tanaman kelapa dewasa lebih rendah dibandingkan dengan populasi progeninya. 2. Pola penyebaran serbuk sari yang menyebar ke segala arah dan memiliki jarak tempuh yang jauh mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh vektor lebah. 3. Pohon kelapa berbuah normal yang berada di sekitar pohon kelapa berbuah kopyor dapat mengurangi jumlah produksi buah kelapa kopyor. Saran Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menambah jumlah lokus yang dianalisis untuk meningkatkan akurasi data atau mencari marka lain yang bersifat kodominan namun lebih spesifik. Penetapan penggunaan sampel populasi sebaiknya lebih diperluas. Pengamatan pola penyebaran serbuk sari sebaiknya dilanjutkan dengan menggunakan populasi kelapa Dalam yang lebih bervariasi atau di lokasi lain. 51 DAFTAR PUSTAKA Austerlitz F, Dick CW, Dutech C, Klein EK, Muratorio SO, Smouse PE, Sork VL. 2004. Using a genetic markers to estimate the pollen dispersal curve. Mol. Ecol. 13:937-954. Azrai M. 2006. Sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 25:81-89. Blair AW, Williamson PS. 2009. Pollen dispersal in star cactus (Astrophytum asterias). J Arid Environ. 74:525-527. Boer D. 2007. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit. [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Brody JR, Kern SE. 2004. Sodium boric acid: a Tris-free, cooler conductive medium for DNA electrophoresis. BioTech. 36:214-6. Cansian RL, Mossi AJ, Luccio MD, Cechet ML, Mazutti M, Echeverrigaray S. 2010. Molecular identification of pollen donor plants on a progeny of Cambona-4 female matrix of maté (Ilex paraguariensis St. Hil. – Aquifoliaceae). Acta Sci Biol Sci. 32:39-42. Carneiro FS, Lacerda AEB, Lemes MR, Gribel R, Kanashiro M, Wadt LHO, Sebbenn AM. 2011. Effects of selective logging on the mating system and pollen dispersal of Hymenaea courbaril L. (Leguminosae) in the Eastern Brazilian Amazon as revealed by microsatellite analysis. Forest Ecol Manag. 262:1758-1765. Chan E, Elevitch CR. 2006. Cocos nucifera (coconut). Species Profile for Pasific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org. Diakses 19 April 2013. Chen H, He H, Zou Y, Chen W, Yu R, Liu X, Yang Y, Gao YM, Xu JL, Fan LM et al. 2001. Development and application of a set of breeder-friendly SNP markers for genetic analyses and molecular breeding of rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet. 123:869-879. Creste S, Neto AT, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeat polymorphisms in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver staining. Plant Mol Biol Rep. 19:299–306. Chakravarthi BK, Naravaneni R. 2006. SSR marker based DNA fingerprinting and diversity study in rice (Oryza sativa L.). African J Biotech. 5:684688. 52 Dasanayaka PN, Everard JMDT, Karunanayaka EH, Nandadasa HG. 2009. Analysis of coconut (Cocos nucifera L.) diversity using microsatellite markers with emphasis on management and utilisation of genetic resources. J Natn.Sci Found Sri Lanka. 37:99-109. Dunphy BK, Hamrick JL, Schwagerl, J. 2004. A comparison of direct and indirect measures of gene flow in the bat-pollinated tree Hymenaea courbaril in the dry forest life zone of south-western Puerto Rico. Int J Plant Sci. 165:427–436. Evanno G, Regnaut S, Goudet J. 2005. Detecting the number of clusters of individuals using the software STRUCTURE:a simulation study. Mol Ecol. 14:2611-2620. Feng FJ, Sui X, Chen MM, Zhao D, Han SJ, Li MH. 2010. Mode of pollen spread in clonal seed orchard of Pinus koraiensis. J Biophys Chem. 1:33-39. Hamrick JL, Trapnell DW. 2011. Using population genetic analyses to understand seed dispesal patterns. Acta Oecol. 37:641-649. Hannum S, Hartana A, Suharsono. 2003. Kemiripan Genetika Empat Populasi Kelapa Genjah Berdasarkan Pada Random Amplified Polymorphic DNA. Hayati J Biosci. 10:125-129. Heliyanto B. 2010. Program penelitian kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) di Balitka Manado. Di dalam: Elsje TT, Miftahorrachman, Meldy LAH, Arie AL, Abener L, Donata SP, Nurhaini M, editor. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VII; 2010 Mei 26-27; Manado, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 138-143. Hildebrand CE, Torney DC, Wagner RP. 1992. Informativeness of polymorphic DNA markers. Los Alamos Sci. 20: 100-102. Iriani NR. 2011. Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs dan Morfologi serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Karp AS, Kresnovich, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1997. Molecular Tools in Plant Genetic Resources Conservation : A Guide to The Technologies. IPGRI Technical Bulletin No.2. Italia (IT):International Plant Genetic Resources Institute. Kasno, Hasan HES, Efendi DS, Syaefuddin. 2010. Efektifitas 3 spesies lebah madu sebagai agen polinasi untuk meningkatkan produktivitas (>40%) biji jarak pagar (Jatropha curcas) pada ekosistem iklim basah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 15:25-33. 53 Konan KJN, Koffi KE, Konan JL, Lebrun P, Dery SK, Sangare A. 2007. Microsatellite gene diversity in coconut (Cocos nucifera L.) accessions resistants to lethal yellowing disease. African J Biotech. 6:341-347. Lebrun P, Baudouin L, Bourdeix R, Konan JL, Barker JHA, Aldam C, Herran A, and Ritter E. 2001. Construction of a linkage map of the Rennel Island Tall coconut type (Cocos nucifera L.) and QTL analysis for yield characters. Genome. 44:962-970. Lestari P, Koh HJ. 2013. Development of new CAPS/Dcaps and SNAP markers for rice eating quality. Hayati J Biosci. 20:15-23. Liferdi L. 2008. Lebah Polinator Utama pada Tanaman Hortikultura. Iptek Hortikultura. 4:1-5. Liu XC, Wu JL. 1998. SSR heterotic patterns of parents for making and predicting heterosis. Mol Breed. 4:263-268. Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological Genetics Design, Analysis and Application. United Kingdom (GB): Blackwell Publishing. Mallet J. 2001. Gene flow. Woiwod IP, Reynolds DR, Thomas CD , editor. Insect Movement: Mechanisms and Consequences. Wallingford (GB): CAB International. Mammadov JA, Chen W, Ren R, Pai R, Marchione W, Yalcin F, Witsenboer H, Greene TW, Thompson SA, Kumpatla SP. 2010. Development of highly polymorphic SNP Markers from the complexity reduced portion of maize (Zea mays L.) genome for use in marker-assisted breeding. Theor Appl Genet. 121:577-588. Mammadov JA, Aggarwal R, Buyyarapu R, Kumpatla SP. 2012. SNP Markers and their impact on plant breeding. Int J Plant Genom. 2012:1-11. Manju KP, Arunachalam V. 2011. Bioinformatic Prediction of SNP Markers in WRKY Sequences of Palms. Cord. 27:17-25. Margarita MH, Alan WM, Lalith P, Joanne R, Raymond JS. 2010. Ambiguous genetic relationships among coconut (Cocos nucifera L.) cultivars: the effects of outcrossing, sample source and size, and method of analysis. Genet Resour Crop Evol. 57:203-217. Marshall TC, Slate J, Kruuk LEB and Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for likelihood-based paternity inference in natural populations. Mol Ecol 7:639-655. Martinez RT, Luc B, Angelique B, and Michael D. 2009. Characterization of the genetic diversity of the Tall coconut (Cocos nucifera L.) in the 54 Dominican Republic using microsatellite (SSR) markers. Tree Genet Genom. 6:73-81. Maskromo I. 2005. Kemiripan Genetik Populasi Kelapa Berbuah Kopyor Berdasarkan Karakter Morfologi dan Penanda DNA SSRs (Simple Sequence Repeats) [tesis]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Maskromo I dan Novarianto H. 2007a. Potensi Genetik Kelapa Kopyor Genjah. Warta Litbang Pertanian. 29:3-5. Maskromo I, Mashud N, Hutapea R, Novarianto H. 2007b. Keragaman tipe kelapa kopyor di Indonesia. Di dalam: Elsje TT, Miftahorrachman, Meldy LAH, Arie AL, Abener L, Donata SP, Nurhaini M, editor. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VI Buku II; 2006 Mei 16-18; Gorontalo, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hlm 294299. Maskromo I, Mashud N, Novarianto H. 2007c. Potensi pengembangan kelapa kopyor di Indonesia. Warta Litbang Perkebunan. 13:4-6. Maskromo I, Novarianto H, Sudarsono. 2011a. Fenologi Pembungaan Tiga Varietas Kelapa Genjah Kopyor Pati. Di dalam: Roedhy P, Slamet S, Anas D, Nurul K, Dewi S, Ketty S, Sintho WA, editor. Prosiding Seminar PERHORTI Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi Pasar Domestik dan Ekspor; 2011 Nov 23-24; Lembang, Indonesia. Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Hlm 1002-1010. Maskromo I, Novarianto H, Sukma D, Sudarsono. 2011b. Potensi Hasil Plasma Nutfah Kelapa Kopyor Asal Kalianda, Pati, Sumenep dan Jember. Di dalam Ade I, Agung K, Dedi R, Farida D, Hawan M, Noladhi W, Suseno A, Windhy C, editor. Prosiding Seminar Nasional dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Lokal mendukung Industri Perbenihan dan Kongres PERIPI; 2011 Des 10; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Prodi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Hlm 499-506. Maskromo I, Sudarsono, Novarianto H. 2012. Potensi Produksi Pohon Induk Kelapa Dalam Kopyor Asal Kalianda Lampung Selatan. Di dalam : Maya M, Sandra AA, Darda E, Ni MA, Sudarsono, Nita E, Syahbuddin AT, editor. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama Peragi-PerhortiPeripi-Higi. 2012 Mei 1-2; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hlm 430-436. Maskromo I. 2013. Kerjasama Pengembangan Kelapa Eksotik Di Provinsi Banten. http://balitka.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 7 Juli 2013. 55 McCouch SR, Zhao K, Wright M, Tung CW, Ebana K, Thomson M, Reynolds A, Wang D, DeClerck G, Ali ML, et al. 2010. Development of genome wide SNP assays for rice. Breed Sci. 60:524-535. Moeljopawiro S. 2007. Marka Mikrosatelit sebagai Alternatif Uji BUSS dalam Perlindungan Varietas Padi. Zuriat. 18:129-138. Mohring S, Salamini F, Schneider K. 2004. Multiplexed, linkage group-specific SNP marker sets for rapid genetic mapping and fingerprinting of sugar beet (Beta vulgaris L.). Mol. Breed. 14:475-488. Munarti. 2005. Analisis Keragaman Genetik Jati Asal Sulawesi Selatan Berdasarkan Marka Simple Sequence Repeat (SSR) [tesis]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Noel KKJ, Edmond KK, Konan KJL, Konan KE. 2011. Microsatellite gene diversity within Philippines dwarf coconut palm (Cocos nucifera L.) resources at Port-Bouet, Cote d’lvoire. Sci Res Essay. 6:5986-5992. Novarianto H. 2008. Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler dan implikasinya terhadap peremajaan kelapa di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian. 1:259-273. Novarianto H, Hartana A. 1995. Analisis kemiripan genetika kelapa koleksi plasma nutfah di kebun percobaan Mapanget, Sulawesi Utara. Hayati. 2:12-16. Nybom H, Esselink GD, Werlemark G, Vosman B. 2004. Microsatellite DNA marker inheritance indicates preferential pairing between two highly homologous genomes in polyploid and hemisexual dog-roses, Rosa L. Sect. Caninae DC. Heredity. 92:139-150. Pabendon MB, Azrai M, Kasim F, Mejaya MJ. 2007. Prospek penggunaan marka molekuler dalam program pemuliaan jagung. Jagung. Jakarta (ID):Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Pandin DS, Hartana A, Aswidinnoor H, Setiawan A. 2008. Pelacakan tetua populasi kelapa dalam mapanget no.32 (DMT-32) menggunakan analisis aliran gen (gene flow) berdasarkan penanda mikrosatelit (SSR). Jurnal Litri. 14:131-140. Pandin DS. 2009a. Inbreeding depression analysis based on morphological characters in four generations of selfed Mapanget Tall Coconut no. 32 (Cocos nucifera L.). Indonesian J Agr. 2:110-114. Pandin DS. 2009b. Depresi Penangkaran Dalam Empat Generasi Penyerbukan Tertutup Tanaman Kelapa Dalam Mapanget No.32 Berdasarkan Sifat Morfologi dan Penanda Mikrosatelit. [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. 56 Powel W, Gordon CM, Jim P. 1996. Polimorphism revealed by simple sequence repeat. Trend Plant Sci. 1:215-221. Prabha SS, Indira EP, Nair PN. 2011. Contemporary gene flow and mating system analysis in natural teak forest using microsatellite markers. Curr Sci. 101:1213-1219. Prihatini I, Taryono, Rimbawanto A. 2006. Penggunaan Penanda Mikrosatelit untuk analisis induk Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 3:139-148. Rajesh MK, Nagarajan P, Jerard BA, Arunachalam V, Dhanapal R. 2008. Microsatelitte variability of coconut accessions (Cocos nucifera L.) from Andaman and Nicobar Islands. Curr Sci. 94:1627-1632. Ramirez VM, Tablat VP, Kevan PG, Morillo IR, Harries H, Barrera MF, Villareal DZ. 2004. Mixed mating strategies and pollination by insects and wind in coconut palm (Cocos nucifera L. (Arecaceae)): importance in production and selection. Agr. Forest Entomol. 6:155-163. Ribeiro FE, Baudouin L, Lebrun P, Chaves LJ, Brondani C, Zucchi MI, Vencovsky R. 2010. Population structure of Brazilian tall coconut (Cocos nucifera L.) by microsatellite markers. Genet Mol Biol. 33:696-702. Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos nucifera L by PCR Amplification of spacer sequences separating a subset of copies-like EcoR1 repetitive elements. J Genet Breed. 49:170-186. Rohlf FJ. 1995. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysys System Version 2.0. New York (US): Exeter Software. Sajib AM, M.M. Hossain, A.T.M.J. Mosnaz, H. Hossain, M.M. Islam, M.S. Ali, SH. Prodhan. 2012. SSR marker-based molecular characterization and genetic diversity analysis of aromatic landraces of rice (Oryza sativa L.). J BioSci Biotech. 1:107-116. Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA. 1989. Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269–2273. Sangare A, Rognon F, de Nuce de Lemothe. 1978. Male and female phases in the inflorescenceof the coconut. Oleagineux. 30:609-617. Santos GA, Batugal PA, Othman A, Baudouin L, Labouisse JP. 1999. Manual on standardized research techniques in coconut breeding (STANTECH). Singapore (SG): IPGRI-APO. 57 Santoso U, Kubo K, Ota T, Tadokoro T, Maekawa A. 1996. Nutrient composition of kopyor coconuts (Cocos nucifera L.). Food Chem. 57:299-304. Saptahadi D, Hartati RRS, Setiawan A, Heliyanto B, Sudarsono. 2011. Pengembangan marka simple sequence repeat untuk Jatropha spp. Jurnal Litri. 17:140-149. Sardou MA, Baghizadeh A, Tavasoli A, and Babaei S. 2011. The use of microsatellite markers for genetic diversity assessment of genus Hordeum L. in Kerman province (Iran). African J Biotech. 10:1516-1521. Schulman AH. 2007. Molecular markers to assess genetic diversity. Euphytica. 158:313–321. Selkoe KA and Toonen RJ. 2006. Microsatellites for ecologists: a practical guide to using and evaluating microsatellite markers. Ecol Lett. 9:615-629. Semagn K, Bjornstad A, Ndjiondjop MN. 2006. An overview of molecular marker methods for plants. African J Biotech. 5:2540-2568. Shalini KV, Manjunatha S, Lebrun P, Berger A, Baudouin L, Pirany N, Rangananth RM, Prasad DT. 2007. Identification of molecular markers associated with mite resistance in coconut (Cocos nucifera L.). Genome. 50:35-42. Slavov GT, Leonardi S, Burczyk J, Adams WT, Strauss SH, Difazio SP. 2009. Extensive pollen flow in two ecologically contrasting populations of Populus trichocarpa. Mol Ecol. 18:357–73. Sudarsono, Sudrajat, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR, Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyot true to type dengan persilangan terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sukendah. 2009. Pembiakan Kopyor In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor [disertasi]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. Tahardi JS. 1997. Kelapa Kopyor Sebagai Komoditi Alternatif Agribisnis. Warta Puslit Biotek Perkebunan. 3:16-21. Wahyuni M. 2000. Bertanam Kelapa Kopyor. Penebar Swadaya. Jakarta. Wright JM dan Benzen P. 1994. Microsatellite : Genetic Markers For The Future. Rev Fish Biol Fish. 4:384-388. 58 Yang X, Xu Y, Shah T, Li H, Han Z, Li J, Yan J. 2011. Comparison of SSRs and SNPs in assessment of genetic relatedness in maize. Genetica. 139:1045– 54. Yeh FC, Yang RC, Boyle T. 1999. POPGENE version1.31 Microsoft WindowBase Software For Population Genetic Analysis:A Quick User’s Guide. Canada (CA): University of Alberta. Zulhermana. 2009. Keragaman Genetik Intra dan Interpopulasi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) Pisifera Asal Nigeria Berdasarkan Analisis Marka Simple Sequence Repeats (SSR) [tesis]. Indonesia (ID) : Institut Pertanian Bogor. 59 Lampiran 1 Pembuatan Larutan Stok untuk analisis molekuler 1. Buffer ekstraksi Buffer ini merupakan campuran dari beberapa larutan, yaitu Tris, EDTA, NaCl, CTAB, dan aquadest . Tris 1 M dibuat dengan cara Tris base 121,1 gr dilarutkan ke dalam 800 ml aquadest , kemudian pH diatur menjadi 7,5 menggunakan HCL pekat (± 42 ml) untuk menurunkan pH, kemudian volume larutan dicukupkan hingga 1000 ml. EDTA 0.5 M dibuat dengan cara disodium ethylenediaminetetraacetate dengan 186,1 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , kemudian pH diatur menjadi 8,0 menggunakan NaOH, setelah itu mencukupkan volume hingga 1 liter. NaCl 2.5 M dibuat dengan cara 292,2 gr NaCl dilarutkan dalam 1 liter aquadest. Buffer ekstraksi sebanyak 200 ml, dibuat dari Tris 20 ml, EDTA 8 ml, NaCl 112 ml, CTAB (cetyltrimethylamoniumbromide) 4 gr kemudian bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquadest 50 ml kemudian dicukupkan hingga volume mencapai 200 ml. Chloroform-isoamylalkohol Chloroform-isoamylalkohol merupakan campuran chloroform dengan isoamyl alkohol dengan perbandingan 24:1, yaitu 480 ml chloroform dan 20 ml isoamyl alkohol. 2. 3. SB Bufer 20X Boric acid sebanyak 22.5 gr dan NaOH 4 gr dilarutkan dalam 300 ml aquadest, kemudian volume dicukupkan hingga 500 ml. Stok 1 liter SB buffer 1x dibuat dengan melarutkan 50 ml stok SB buffer dengan 950 ml aquadest. 4. TBE Buffer 5 M Tris base 54 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , lalu ditambahkan 27,5 gr boric acid dan 20 ml EDTA, kemudian volume dicukupkan hingga 1 liter. Buffer TBE 0,5 M dibuat melalui pengenceran TBE buffer 5 M dengan menggunakan rumus : V1 x M1 = V2 x M2 V1 x 5 M = 1000 x 0,5 M V1 = 10 ml TBE buffer 5 M + 990 ml aquadest 5. 6. Etanol 70% Etanol absolute sebanyak 350 ml dicampurkan dengan 150 ml aquadest . Ethidium bromide Ethidium bromide 10 mg.ml-1 sebanyak 100 ml dilarutkan ke dalam 1000 ml aquadest, dan penyimpanannya menggunakan botol gelap atau botol yang dibungkus dengan aluminium foil. 60 7. Acrylamide Bis-acrilamide (19:1) 40% Acrylamide 190 gr dan Bis-acrylamide 10 gr dimasukkan ke dalam beacker glass 500 ml, kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 400 ml. Setelah larut sempurna, cukupkan volume menjadi 500 ml. Larutan disaring menggunakan kertas saring dan menyimpannya ke dalam botol gelap di lemari es. 8. Acrylamide solution 6% dengan TBE bufer Urea sebanyak 210 gr dilarutkan dalam 200 ml aquadest. Setelah larut, kemudian ditambahkan 100 ml TBE buffer 5 M dan 75 ml stock akrilamid 40%. Volume dicukupkan sampai 500 ml, kemudian disaring dengan kertas saring. Larutan disimpan dalam botol gelap di lemari es. 9. Acrylamide solution 6% dengan SB bufer Urea sebanyak 210 gr dilarutkan dalam 200 ml aquadest. Setelah larut, kemudian ditambahkan 25 ml SB buffer 20X dan 75 ml stock akrilamid 40%. Volume dicukupkan sampai 500 ml, kemudian disaring dengan kertas saring. Larutan disimpan dalam botol gelap di lemari es. 10. Ammonium persulfate (APS) Ammonium persulfate sebanyak 1 gr dilarutkan dalam 10 ml aquadest, kemudian larutan disimpan pada suhu 4ºC. 11. Sodium thiosulfate Sodium thiosulfate 100 mg dilarutkan ke dalam 10 ml aquadest, larutan disimpan pada suhu ruang. 12. Larutan dalam pewarnaan silver Pewarnaan silver menggunakan lima larutan, yaitu larutan fiksasi, larutan nitrit acid, larutan staining, larutan developer, larutan stop. Larutan fiksasi dibuat dengan melarutkan 10 ml asam asetat glacial dan 100 ml ethanol 95% ke dalam 890 ml aquadest. Larutan nitrit acid dibuat dengan melarutkan 15 ml nitrit acid ke dalam 985 ml aquadest. Larutan staining dibuat dengan melarutkan 1.5 gr silver nitrat ke dalam 1 liter aquadest. Larutan developer dibuat dengan melarutkan 30 gr sodium carbonat di dalam 1000 ml aquadest. Larutan ini disimpan dalam freezer -20ºC sampai pada saat akan digunakan. Pada saat akan digunakan, larutan ditambahkan 1,5 ml formaldehid 37% dan 200 µl sodium thiosulfate. Larutan stop dibuat dengan melarutkan 50 ml asam asetat glacial ke dalam 950 ml aquadest . 61 Lampiran 2 Daftar 36 primer SSR yang digunakan No Lokus Urutan basa (5’ – 3’) 1 CnCir_74 2 CnCir_J2 3 CnCir_87 4 CnCir_G4 5 CnCir_K8 6 CnCir_K1 7 CnCir_241 8 CnCir_123 9 CnCir_J10 10 CnCir_B11 11 CnCir_109 12 CnCir_2 13 CnCir_86 14 CnCir_89 15 CnCir_192 16 CnCir_D8 17 CnCir_121 18 CnCir_56 19 CnCir_H11 20 CnCir_167 21 CnCir_C9 22 CnCir_C5 23 CnCir_48 24 CnCir_B12 25 CnCir_H4 F =GAG ATC CTC ACC TCC AC R =CGG CAA CAA AGA GAA C F =CCA TTG TCA TTG TTA TTT TG R =GTC ACC ATC TTC TCA GTT TC F =ATA ACA TCC TCC AAC CTG R =GAC TGA ATC CAA CCC TT F =AGT ATA GTC ACG CCA GAA AA R =AAA CCC ATA ACC AGC AAG F=CCA GAC ATG AAA CAA ACA A R =CAT GGC ACA TAG GAA GAA F =TTA CCAGGC CAC AAA GAA R =AGA GTG AAC AAAGAG GAA GAT T F =CCA CTC CAA CAA CAC C R =AAT CAC CAA ACA CAT CTT C F =AAA GTG AAG TGG ATA ATG TG R =AGA GAG GAT CTA GGG TTG T F =GAG GGT ATG GTG CTG CTT G R =ATC CTT CAT GTG GCT CTG C F =TCT GCA TCC CTT CTT TAT TA R =TTGTCT TTC TTT ATT CTA TTG G F =CCT ACC ACA CCT TCC A R =ATC ATC TCA GTC CTT CTC A F =AGTCCT AAA AGT GTT GGC R =GTA ATC CTA TGG CTG CTT F =ACT CAC GCA AAT ATA CTC A R =ACT CACGCA AAT ATA CTC A F =GAG TTG GAG AAG AAG AGG R =ACG ACA ATA GAT GGA ACA F =TTA GTT AGT GCT GTG GAT TG R =TTG CTA TGA GTC CCT TGT F =GCT CTT GAT GTG GCT GCT R =AGG CGTGTT GAG ATT GTG F =GGA CAC TGG GTT CTG TT R =CTC TGT AAT CTG CGG G F =AAC CAG AACTTA AAT GTC G R =TTTGAA CTC TTC TAT TGG G F =TCA TTC AGA GGA CAA AAG TT R =TAA AAA TTC ATA AAG GTA AAA F =GGT GGG TAA GTG AAC ATC R =GTG ATA CAA CGA ACC CTC F = CAG AAA GGA GAA AGG AAA T R =CTA CGA TAG AGG AAT GAG C F =ACC AAC AAA GCC AGA GC R =GCA GCC ACT ACC TAA AAA F =GTG AGG CTG CAA AGA AC R =TCG TCA AAC CTG ACC A F =GCT CTT CAG TCT TTC TCA A R =CTG TAT GCC AAT TTT TCT A F =TTA GAT CTC CTC CCA AAG R =ATC GAAAGA ACA GTC ACG Suhu annealing (°C) 54 Linkage group 52 15 54 13 55 13 53 13 55 12 53 11 54 11 60 10 53 10 55 10 55 10 53 9 53 9 55 9 58 8 56 8 53 8 46 5 57 5 57 4 57 4 51 4 51 3 55 3 16 62 26 CnCir_1 27 CnCir_206 28 CnCir_151 29 CnCir_147 30 CnCir_51 31 CnCir_E4 32 CnCir_226 33 CnCir_202 34 CNZ_21 35 CNZ_51 36 CNZ_18 F =TTG GTC TAT TGC ATG TTC R =TGG CAT TGA GAG GGT F =AAA GAG AAC GCA ACC A R =CAA GTT CCA AAG AAC CA F =ACC ATG ATG TGC CTG T R =GTT CAC AGT AGG TGG CTT F =TTT CTC ACC AAC AAA TAA AC R =CTT GTG TGT TAG GGT CAT C F =TCT CGT GGA TCT CGT C R =GCT CTT CCA GTT ACG TTT F =GCA TGG TAT TCG GAT TTG R =ATG GTT CAG ATT TGG ACA GT F =CTG AAG ATA TGT GTT TAT GC R =TGT TCC AGA TTG AGG TT F =TTT AGA GGA AGA AGG ATG AG R =GTG GTT GCT TGG TAT TGT F =ATGTTTTAGCTTCACCATGAA R =TCAAGTTCAAGAAGACCTTTG F =CTTTAGGGAAAAAGGACTGAG R =ATCCATGAGCTGAGCTTGAAC F =ATGGTTCAGCCCTTAATAAAC R =GAACTTTGAAGCTCCCATCAT 53 3 51 2 54 2 52 2 55 2 55 1 52 1 55 1 52 - 52 - 52 - 63 Lampiran 3 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.37 Keterangan : Induk Betina Kelapa berbuah kopyor Induk Jantan Kelapa berbuah kopyor Hijau Induk Jantan Kelapa berbuah kopyor Cokelat Pendonor 1 serbuk sari (buah normal) Pendonor 1 serbuk sari (buah kopyor) 64 Lampiran 4 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk lima progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.39 65 Lampiran 5 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.44 66 Lampiran 6 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 51 67 Lampiran 7 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 53 68 Lampiran 8 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 58 69 Lampiran 9 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 59 70 Lampiran 10 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk sembilan progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.68 71 Lampiran 11 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.69 72 Lampiran 12 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk delapan progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.84 73 Lampiran 13 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no. 85 74 Lampiran 14 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk enam progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.88 75 Lampiran 15 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk tujuh progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.89 76 Lampiran 16 Pola penyebaran serbuk sari pada populasi kelapa berbuah kopyor yang dianalisis dalam penelitian : representasi induk jantan sebagai donor serbuk sari untuk dua progeni yang dianalisis pada pohon induk betina no.92 77 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Ujung Pandang pada tanggal 14 Agustus 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Dr. Ir. H. Mappaganggang Sodding Pabbage, MS dan dr. Hj. Isdiana Kaelan, Sp.Rad. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA ISLAM ATHIRAH Makassar tahun 2004. Penulis menyelesaikan studi sarjana tahun 2009 di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar, Jurusan Biologi, Program Studi Biologi Sains. Penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Tahun akademik 2010/2011.