fungsi komunikasi antar budaya dalam mengurangi konflik

advertisement
FUNGSI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM
MENGURANGI KONFLIK HORIZONTAL DAN SENGKETA TANAH
PADA PETANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN ROKAN HILIR
PROVINSI RIAU
ABSTRAK
W.E.Tinambunan
Rusmadi Awza
Nurjanah
Tujuan Penelitiann: Memotivasi penduduk lokal agar mampu menjawab berbagai masalah sengketa
pertanahan petani kelapa sawit dengan pihak perusahaan. Penyelesaian secara hukum bukanlah
penyelesaian yang terbaik dalam menyelesaikan konflik antar petani dengan pihak perusahaan, tetapi
masyarakat adat memiliki cara penyelesaian konflik yang tertuang dalam kearifan lokal masing
masing adat. Untuk itu, perlu memulihkan rasa harga diri, percaya diri, kecintaan kerja, kesadaran
serta tanggungjawab masyarakat terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau
lingkungan sosialnya secara wajar.
Metode pengumpulan data ialah Focus Discussion Group (FGD) Bersumberdaya Masyarakat
membantu mengubah peranserta masyarakat sebagai penerima layanan menjadi partisipan yang aktif
dalam komunikasi antarbudaya sehingga tidak terjadi konflik horizontal. Untuk pengumpulan data
diadakan observasi, dan wawancara mendalam terhadap petani kelapa sawit, tokoh masyarakat, dan
aparatur pemerintahan. Sedangkan analisis data yang digunakan deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian; (1) tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit memicu terjadinya konflik
horizontal pada petani kebun kelapa sawit; (2) Prosedur jual beli tanah pihak ketiga tidak melalui
prosedur bahkan perampasan hak pada petani; (3) ketidakjelasan regulasi lahan yang kurang
responsive dan berpihak pada kepentingan rakyat Rokan Hilir; (4) kurang optimalnya pemetaan
fungsi lahan untuk pertanian,kehutanan dan pertambangan tidak jelas; (5) kurang optimalnya fungsi
lahan tanah, baik untuk pengembangan sumber daya alam, sumber daya air maupun sumber daya
manusia.
Perlu reformasi agraria, sebab UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria tidak relevan lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Semangatnya perlu
dikembalikan pada keberpihakan terhadap rakyat petani yang merupakan mayoritas di Kabupaten
Rokan Hilir. Di samping itu, kemampuan berkomunikasi antar budaya sesama petani kelapa sawit
dapat menciptakan komunikasi dua arah yang sangat komprehensif.
Kata Kunci: komunikasi antar budaya, konflik horizontal, petani kelapa sawit
Issu Strategis:
Kemajemukan masyarakat bisa mengandung kesulitan, karena dapat menjadi picu bagi
lahirnya disintegrasi yang mengarah pada terganggunya stabilitas nasional maupun daerah.
Gagalnya komunikasi lintas budaya mengakibatkan gangguan kantibmas yang muncul tidak
hanya berbentuk kasus kriminalitas konvensional yang dilakukan oleh individu dan
kelompok tetapi juga gangguan kantibmas yang berskala luas sehingga dapat mengancam
kesatuan dan persatuan di daerah dan bahkan bangsa. Misalnya, Konflik lahan petani kebun
sawit di Rokan Hilir sering terjadi dan yang menjadi korbannya masyarakat petani yang tidak
mampu melakukan perlawanan terhadap pemodal maupun kelompok pengusaha yang
bekerjasama dengan oknum-oknum aparat pemerintahan tertentu.
Gangguan kantibmas yang didasarkan pada etnosentrisme saat ini semakin kompleks,
karena dihadapkan pada perkembangan situasi yang penuh dengan tantangan di samping
dinamika masyarakat yang cukup tinggi. Upaya menciptakan konflik dan kerusuhan antar
etnis dan umat beragama memungkinkan untuk terjadi jika masyarakat hanya berorientasi
pada etnosentrisme.
Adanya intimidasi, ganti rugi tanah yang tidak sesuai, penguasaan lahan secara paksa dan
sebagainya menimbulkan prasangka sosial atau stereotipe masyarakat tempatan terhadap
pertumbuhan penduduk yang begitu besar di Kabpaten Rokan Hilir. Karena arus migran
penduduk kadang-kadang tidak terkendali, maka muncul pula ketidak-percayaan masyarakat
lokal kepada pemerintah, di mana masyarakat lokal seolah-olah memandang pemerintah
bekerjasama dengan pendatang untuk merugikan masyarakat lokal. Muncullah konflik yang
adakalanya menimbulkan hambatan dalam perjalanan ruang gerak pembangunan daerah.
Di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang
telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di Kabupaten Rokan Hilir,
ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan
budaya di kalangan masyarakat adat. Kearifan menyelesaikan konflik, pertikaian melalui
pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur merupakan kearifan budaya
berupa tradisi dalam menyelesaikan konflik.
1. Latar Belakang
Kemiskinan, membuat seseorang melakukan migrasi ke daerah yang dianggap dapat
memperbaiki taraf hidupnya. Namun, adakalanya dalam interaksi sosial menimbulkan
konflik sosial apabila masyarakat saling tidak memahami norma-norma sosial, atau aturanaturan yang berlaku dalam masyarakat. Akhirnya, terjadi konflik sosial secara horizontal atau
perselisihan yang disebabkan ketidak selarasan antara tindakan, norma, nilai, dan nilai sosial
dalam interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Beberapa kasus tanah petani kelapa sawit yang terjadi di Kepenghuluan Kota Paret
tahun 1992 Kecamatan Simpang Kanan antara Timbang Sianipar dengan masyarakat seluas
500 ha mengakibatkan satu unit kantor pos Polisi dibakar, 8 orang masyarakat ditangkap dan
diadili serta salah seorang dari pihak masyarakat bernama Rizal depresi kemudian
meninggal. Daerah Kepenghuluan Balai Jaya Kecamatan Bagan Sinembah terjadi bentrok
antara masyarakat Suku Hamba Raja yang berjumlah 15.000 orang dengan ribuan karyawan
PT.Ivomas tahun 2003 disebabkan tanah yang dimiliki PT Ivomas adalah tanah milik hak
ulayat suku hamba raja. Selanjutnya sengketa tapal batas antara Riau dengan Sumatera Utara
tahun 2008 yang tidak kunjung selesai menyebabkan beberapa orang masyarakat Pasir Limau
Kapas ditangkap dan diadili di Sumatera Utara dan 1 unit alat berat kelompok tani KSK
dibakar. Terakhir di Kepenghuluan Sei Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas tanah
masyarakat banyak yang diperjual belikan oleh aparatur desa kepada pengusaha yang
mempunyai modal sehingga terjadi bentrok antara pekerja dari pihak pengusaha dengan
masyarakat.
Masyarakat Rokan Hilir yang sejak dari dulu merasa hidupnya tidak terganggu, akhirakhir ini akan mendapat gangguan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan ditambah
lagi dengan penguasaan-penguasaan lahan yang mereka olah selama ini dirampas atau
dimiliki oleh pihak pengusaha perkebunan dengan berbagai cara. Adanya intimidasi, ganti
rugi tanah yang tidak sesuai, penguasaan lahan secara paksa dan sebagainya menimbulkan
prasangka sosial atau stereotipe masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir. Karena petani kelapa
sawit sering menjadi pihak yang dirugikan oleh pengusaha kelapa sawit, maka muncul pula
ketidak-percayaan petani kelapa sawit kepada pemerintah, di mana petani kelapa sawit
memandang pemerintah bekerjasama dengan pengusaha untuk merugikan petani. Muncullah
konflik yang adakalanya menimbulkan hambatan dalam ruang gerak pembangunan daerah.
2. Tujuan Khusus
2.1 Menangani masalah-masalah konflik horizontal pada masyarakat petani kelapa sawit
yang disebabkan lahan pertanahan khususnya di daerah Kabupaten Rokan Hilir yang
masyarakatnya multikultural, sehingga terbina integrasi sosial
2.2 Mengurangi kesenjangan komunikasi antarsuku yang disebabkan perbedaan-perbedaan
bahasa daerah, ekonomi maupun adat istiadat sesudah menjadi warga masyarakat
Kabupaten Rokan Hilir
2.3 Tersusunnya rencana pemerintah kabupaten dalam antisipasi pertumbuhan penduduk
yang tinggi, sehingga tidak menimbulkan konflik horizontal
3. Urgensi Penelitian
Karena janji pembauran agraria tidak dipenuhi pemerintah, proses proletarisasi di
pedesaan terus berlangsung. Masyarakat desa, mayoritas petani, yang tadinya memiliki
tanah mulai kehilangan sumber penghasilannya karena tanah tak lagi mereka kuasai. Untuk
makan mereka harus menjual tenaga kerjanya karena kehilangan sumber penghidupannya
dari tanah. Masyarakat pedesaan sudah makin miskin. Tanah-tanah dalam skala luas sudah
dikuasai oleh perusahaan besar. Pemerintah daerah di sisi lain berdalih memperjuangkan
kepentingan masyarakat desa. Pada hal, jika mau serius membantu kepentingan petani
pemerintah tinggal menunaikan saja program pembaruan agraria seperti redistribusi tanah
telantar untuk petani.
Berdasarkan hal-hal di atas, sangat perlu melakukan suatu penelitian, sehingga
melalui penelitian ini dapat dicarikan solusi atau bentuk komunikasi yang paling tepat untuk
membentengi tidak terjadinya konflik yang mengarah kepada stereotipe atau prasangka
sosial bersifat horizontal.
STUDI PUSTAKA
a. Kemiskinan dan Interaksi Sosial
Adanya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin itu tetap merupakan tanggung
jawab pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia untuk memecahkannya. Kemiskinan begitu
lekat dengan masyarakat desa. Gambaran desa yang menunjukkan serba kekurangan dan
secara geografis maupun mehyangkut aspek-aspek kehidupan masyarakat sering dijadikan
sebagai wujud dari kemiskinan, ekonomi, pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup, dan
ketersediaan sumber-sumber ekonomi. Maka, apabila pendapatan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, dikatakan berada di
bawah garis kemiskinan.
Tiga faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi yang menurut
Poortinga (1990) yaitu;
(1) Stereotip.
Stereotip adalah sikap dan malahan karakter yang dimiliki seseorang untuk menilai ornag
lain semata-mata berdasarkan pengelompokan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya
sendiri. Stereotip cenderung mengarah pada sikap yang negatif terhadap orang lain.
Menurut Gerungen (1988) stereotip merupakan suatu gambaran atau tanggapan tertentu
mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang/golongan lain yang umumnya bercorak
negatif.
(2) Jarak Sosial.
Jarka sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat
penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi di antara mereka.
Gerungen (1988) mengukur penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam unsur-unsur
seperti; (a) kesediaan untuk menikah dengan orang lain; (b) bergaul rapat sebagai kawan
anggota dalam klubnya; (c) menerima sebagai tetangga; (d) menerimanya sebagai rekan
sejabatan; (e) menerimanya sebagai warga negaranya; (f) menerimanya sebagai
pengunjung negaranya; dan (g) tidak ingin menerimanya di dalam negaranya.
Peneliti berasumsi bahwa semakin dekat jarak sosial seorang komunikator dari
suatu etnik dengan seorang komunikan dari etnik lain maka semakin efektif pula
komunikasi di antara mereka, sebaliknya jika semakin jauh jarak sosial maka semakin
kurang efektif dan memungkinkan terjadinya prasangka sosial.
(3) Diskriminasi.
Diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antarmanusia maupun
komunikasi di antara mereka. Doob (1985) mengakui diskriminasi merupakan suatu
prilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok atau membatasi kelompok lain
yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumberdaya. Prasangka dan diskriminasi
merupakan dua belahan mata uang, prasangka dipandang sebagai ideologi atau keyakinan
dan diskriminasi adalah terapan ideologi tersebut.
a. Penyebab Konflik:
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan
apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku
komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada
komunikasi yang buruk. Menurut Myers, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang
berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan
makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982). Konflik pun tidak hanya
diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut
muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993). Konflik
tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang
berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak
diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
Konflik juga diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain :

Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia
adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal
atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan
setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi
ada pula yang merasa terhibur.

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan,
pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu
yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya
yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh
ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi
mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon
ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka
pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan
sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara
kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha
yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan
upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat
atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai
masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam
organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan
Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif
(Stewart & Logan, 1993). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana
pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak
selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di
balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa
bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa
yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu –
waktu terjadi kembali.
b. Etnisitas :
Etnisitas terbangun dalam relasi kekuasaan antar kelompok. Ia merupakan sinyal
keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu
berubah. Di sini, pusat dan pinggiran dibentuk dalam representasi politik. Seperti argumen
Brah (1996), Adalah penting untuk menjadikan sebuah aksioma bahwa apa yang
direpresentasikan sebagai 'pinggiran' tidaklah sepenuhnya pinggiran tetapi merupakan efek
dari representasi itu sendiri. 'Pusat' tidaklah lebih pusat daripada pinggiran.
Konsep etnisitas bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asalusul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita
pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, Batak dll. Konsekuensinya, etnisitas
akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan
dalam kondisi sosio-historis yang spesifik (Barth 1969).
Konsepsi kulturalis tentang etnisitas merupakan sebuah usaha yang berani untuk
melepaskan diri dari implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep ras. Seperti ditulis
Stuart Hall (1996): Jika subjek kulit hitam dan pengalaman kulit hitam tidak distabilkan oleh
alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia terkonstruksi secara historis, kultural, dan politis.
Term etnisitas mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan kebudayaan dalam konstruksi
subjektivitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa semua wacana selalu punya tempat,
posisi, situasi, dan semua pengetahuan selalu kontekstual.".
Masalah dalam konsepsi kulturalis tentang etnisitas adalah diabaikannya pertanyaanpertanyaan tentang kekuasaan dan ras. Etnisitas dapat dikembangkan ke dalam diskusi
tentang multikulturalisme, untuk menunjukkan formasi sosial yang beroperasi dalam
kelompok yang plural dan sejajar, daripada kelompok yang terasialisasi secara hirarkis.
Konskuensinya, Hooks (1990) dan Gilroy (1987) lebih suka memakai konsep "ras", bukan
karena ia berhubungan dengan keabsolutan biologis atau kultural, tetapi karena ia
berhubungan dengan isu kekuasaan. Sebaliknya, Hall (1996) mencoba membangun kembali
konsep etnisitas dengan memusatkan perhatian pada di mana kita semua terlokasikan secara
etnis.
c. Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita
segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu
pesan di sandi dalam suatu budaya dan harus di sandi balik dalam budaya lain. Seperti
diketahui, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi.
Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna
yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, ialah perbendaharaan-perbendaharaan yang
dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan menimbulkan makna yang berbeda-beda pula,
yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Namun, melalui studi dan pemahaman
atas komunikasi antar budaya, kita dapat mengurangi atau hampir menghilangkan kesulitankesulitan ini (Mulyana dan Rakhmat, 1990).
Poter dan Samovar dalam Mulyana dan Rakhmat (1990) menyatakan bahwa
komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi bila produsen pesan adalah anggota
suatu budaya dan pe-nerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Artinya kita
dihadapkan pada suatu kesulitan di mana pesan disandi dalam suatu budaya, dan harus
disandi balik oleh budaya itu. Konsekuansinya suatu makna yang dimiliki oleh dua orang
yang berbeda budaya akan menimbulkan makna yang berbeda pula. Namun kesulitan
semacam ini dapat diatasi, paling tidak dikurangi melalui pemahaman komunikasi budaya.
Dalam komunikasi budaya yang efektif, pertama-tama kita harus menyadari faktorfaktor budaya yang mempengaruhi, baik dalam budaya kita maupun dalam budaya orng lain.
Untuk itu kita perlu mengetahui perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan budaya.
Perbedaan tersebut dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui masalah-masalah yang
timbul. Sedangkan persamaannya membantu untuk mendekatkan diri dengan pihak lain yang
memiliki budaya yang berbeda.
Selanjutnya Wilbur Schramm dalam Mulyana dan Rakhmat (1990) mengemukakan
beberapa persyaratan untuk mengadakan komunikasi antar budaya yang efektif, yaitu;
Pertama, adanya sikap menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; Kedua, harus
menghormati budaya lain sebagai mana apa adanya, dan bukan sebagaimana yang kita
hendaki; Ketiga, ada-lah menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak
berbeda dari cara kita bertindak; dan Keempat, komunikator lintas budaya yang kompeten
harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.
Untuk lebih menyederhanakan proses penyandian komunikasi budaya yang berbeda
di bawah ini di gambarkan model komunikasi budaya, yang menggambarkan pengaruh
budaya atas individu dan masalah-masalah penyandian dan penyandian balik pesan.
Gambar 1
Komunikasi Antar Budaya
Budaya B
Budaya A
Sumber : Mulyana dan Rahkmat, 1990.-
Lebih lanjut Mulyana dan
Budaya C
Rakhmat (1990) menjelaskan bahwa dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak
serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya.
Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mem-pengaruhinya. Ini
menunjukkan pula dua hal yaitu; Pertama, ada pengaruh lain di samping budaya yang
membentuk individu dan; Kedua, meskipun budaya merupakan kekuatan dominan yang
mempengaruhi individu, orang-orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat-sifat yang
berbeda.
Penelitian yang telah dilakukan
1.
Tinambunan (2004) dalam penelitiannya berjudul: Prasangka Sosial dan Efektivitas
Komunikasi Antaretnik Tionghoa, Batak, Melayu, Jawa dan Minangkabau di Kabupaten
Bengkalis mengatakan bahwa; etnis Tionghoa lebih cenderung tertutup berkomunikasi
terhadap etnis lainnya apabila dibandingkan dengan etnis Batak, sehingga etnis Tionghoa
dalam kehidupan sehari-hari lebih membuka diri apabila berkomunikasi dengan sesama
etnis Tionghoa.
2. Tinambunan (2008) lebih lanjut mengatakan bahwa; muncul permasalahan yang berkaitan
dengan pengembangan ataupun pelestarian kebudayaan sebagai media komunikasi. Hal itu
terjadi karena masyarakat penutur atau pengguna bahasa itu kurang menyadari tentang
dirinya sendiri, keinginan, atau pun faktor-faktor lain yang berakibat pada budaya itu. Siapa
pun yang masuk sebagai imigran ke daerah baru, tidak boleh memaksakan kehendaknya
agar kebudayaan yang dibawanya wajib dilaksanakan pada daerah baru di mana ia tinggal.
3. Tinambunan (2008) dalam penelitian lain yang dilaksanakan di Kabupaten Bengkalis
mengungkapkan bahwa: 95,6% kurang setuju dan bahkan tidak setuju apabila penduduk
yang pindah ke daerah tujuan memaksakan kebudayaan daerah yang dibawanya untuk
dilaksanakan warga lokal. Siapapun tidak mempunyai hak untuk memaksanakan
kebudayaannya kepada orang lain, sebab hal itu melanggar hak asasi seseorang. Bahkan
sebagai migran harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan daerah yang baru dijumpainya.
Namun, pergeseran budaya terjadi akibat adanya perkawinan lintas etnis sesuai dengan
semakin majunya cara berpikir generasi muda.
4. Tinambunan (2010) bahwa “tatanan kehidupan orang Batak selalu bergerak dalam harmoni
keseimbangan. Sekali pun orang Batak telah mengadaptasikan nilai-nilai baru,
mengadaptasikan diri dengan lingkungan budaya baru, namun mereka tetap tradisional,
mempertahankan ikatan-ikatan kekeluargaan....... Perpindahan penduduk sangat
menguntungkan apabila masing-masing menjaga dan menghormati masyarakat lain di
daerah tempat tinggalnya.
Perpindahan penduduk jangan diartikan mengkerdilkan
masyarakat lokal, tetapi masyarakat lokal dan migran harus bekerjasama dalam membangun
daerah tempat tinggalnya”.
5. Tinambunan (2011) lebih lanjut mengemukakan bawa masyarakat dengan kekurangsiapan
intelektual, profesional dan mental dalam teknologi informasi modern atau kekuatan
globalisasi mengakibatkan terjadinya prasangka sosial di antara etnis. Seharusnya
masyarakat memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk melestarikan dan
mempertahankan efektivitas komunikasi antarbudaya. Kelemahan yang ada perlu diperbaiki
sehingga adanya peluang dalam melaksanakan komunikasi antarbudaya, di samping harus
pula diwaspadai bahwa ancaman budaya yang menjurus pada konflik-konflik sosial.
6. Tinambunan (2012) mempertajam hasil penelitian sebelumnya mengatakan bahwa;
Etnosentrisme dalam rasa in group menyebabkan prasangka dalam setiap kelompok,
sehingga memandang kelompok etnik lain sebagai manusia barbar, bodoh, dan tidak
beradab. Hal ini terjadi karena dalam prasangka tercakup sikap antipati yang didasarkan
suatu cara menggeneralisasikan yang salah dan tidak fleksibel.
MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Pemerintah.
Pemerintah Daerah selama ini masih menghadapi banyak kendala dalam upaya
menangani konflik horizontal. Kendala itu antara lain disebabkan terbatasnya sumber biaya
dan tenaga profesional yang dimiliki pemerintah daerah untuk kepentingan layanan dalam
bentuk komunikasi antar etnis, serta kesadaran maupun peranserta masyarakat relatif masih
rendah. Dilakukannya penelitian ini, di samping dapat meringankan beban pemerintah
daerah, dapat digunakan sebagai terobosan dalam menyelesaikan konflik horizontal di
masyarakat. Selain itu, dapat memberikan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan bagi
pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan, Catatan Sipil, Kependudukan dan Tenaga
Kerja Kabupaten Rokan Hilir.
2. Bagi Masyarakat.
Penelitian yang menekankan prakarsa masyarakat sebagai basis utama dari upaya-upaya
komunikasi antar budaya yaitu saling menghormati dalam masyarakat yang multi kultur.
Untuk itu, masyarakat dapat meningkatkan perbaikan pelayanan berbagai aspek untuk
kepentingan pemecahan masalah-masalah serupa yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping itu, penelitian ini akan menggugah kesadaran masyarakat untuk lebih peduli
terhadap masalah-masalah sosial sehingga tidak terjadi konflik horizontal.
Selain yang dikemukakan di atas, manfaat penelitian adalah secara nyata dan bermanfaat
bagi peningkatan daya saing bangsa sebagai; (1) Publikasi Jurnal Terakreditasi Nasional atau
Internasional dan; (2) Paten.
METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian kualitatif dengan penyajian analisis secara deskriptif. Suharsimi Arikunto
(1995) mengatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksud
mengumpulkan informasi untuk menguji hipotesis tertentu, dan juga hanya mengambarkan
apa adanya. Di dalam penelitian deskriptif tidak diperlukan administrasi dan pengontrolan
terhadap kelakuan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Rokan Hilir yang berbatasan langsung dengan Provinsi
Sumatera Utara sering terjadi konflik antara pengusaha perkebunan dengan petani
perkebunan kelapa sawit dan atau sesama petani perkebunan kelapa sawit disebabkan
penyerobotan tanah, penguasaan hak dengan menggunakan kekerasan, dan juga adanya suratsurat kepemilikan yang ganda.
3. Obyek dan Subyek Penelitian
3.1 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bekerja sebagai petani kelapa sawit,
Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat di tingkat kecamatan. Penentuan informan
berdasarkan informan kunci dan bola salju berguling sampai data-data yang diperlukan
sudah lengkap. Informan yang terpilih memiliki kemampuan untuk memberikan pendapat
(opini) dan menjawab pertanyaan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
3.2 Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah informasi tentang fungsi komunikasi antar budaya dalam
mengurangi konflik horizontal yang menyebabkan stereotip atau prasangka sosial dalam
masyarakat tani.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan pengumpulan data melalui pengamatan
secara langsung peristiwa atau kejadian melalui cara yang sistematik. Dengan observasi,
peneliti juga dapat menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek penelitian, dan
dapat merasakan apa yang dirasakan serta dihayati oleh subjek penelitian, sehingga
memungkinkan peneliti bahwa subjek tersebut dapat menjadi sumber data bagi penelitian
(Moleong, 2004).
Data yang dikumpulkan lebih difokuskan pada data yang dibutuhkan untuk
perencanaan dalam komunikasi antar budaya dalam menanggulangi konflik horizontal
penduduk lokal terhadap perkembangan sosial ekonomi. Pengumpulan data lapangan
dilakukan dengan jalan mengumpulkan langsung (primer dan sekunder), FGD dengan
masyarakat lokal dan pendatang, tokoh masyarakat serta stakeholders terkait.
b. Wawancara
Wawancara, merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh informasi
secara langsung, mendalam, tidak berstruktur dan individual. Wawancara tidak
berstruktur adalah wawancara di mana pewawancara dapat dengan leluasa memberikan
pertanyaan secara lengkap dan mendalam. Wawancara tidak berstruktur sangat memadai
dalam penelitian kualitatif (Bungin, 2003:67).
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara langsung melalui tatap muka
terhadap informan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana dampak
komunikasi lintas etnis migran penduduk terhadap peningkatan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat. Informasi yang lebih luas dapat diperoleh, interpretasi serta
pembicaraan responden dapat meningkatkan intensitas kepercayaan responden terhadap
peneliti.
c. Sosialisasi/Penyuluhan FGD
Peneliti melakukan Sosialisasi / Penyuluhan terhadap kelompok petani
perkebunan sawit. Melalui penyuluhan dan sosialisasi (FGD) tentang komunikasi antar
budaya petani kebun sawit akan memahami pentingnya harmonisasi dalam
bermasyarakat. Melalui sosialisasi dan penyuluhan di lapangan akan terjadi perubahan
sikap yaitu saling menghormati dan menghindarkan terjadinya konflik sosial.
e. Dokumentasi
Peneliti mengumpulkan informasi atau dokumen yang telah tersedia melalui
literatur-literatur maupun data-data yang telah tersedia pada instansi terkait dan pustaka
yang relevan dengan topik penelitian. Dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara menyalin data-data atau arsip yang tersedia pada interview
atau instansi yang berhubungan dengan penelitian. Dokumen adalah bahan tertulis,
ataupun film maupun foto-foto yang dipersiapkan karena adanya permintaan seorang
penyidik sesuai dengan kepentingannya (Moleong, 2004:216).
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh selama penelitian dikompilasi ke dalam tabel dan dianalisis
sekaligus dibahas secara deskriptif untuk menghasilkan rumusan yang dapat dijadikan
sebagai hasil akhir untuk rekomendasi tentang arah kebijakan Funfi Komunikasi Antar
Budaya Dalam mengurangi Konflik Horizontal di Kabupaten Rokan Hilir.
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Sesuai dengan pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu deskriptif, maka dalam
menganalisis data yang berhasil dikumpulkan tidak digunakan uji statistik melainkan non
statistik sesuai dengan penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif yakni teknik analisis yang
dilakukan melalui proses pemikiran logis, baik secara induktif, deduktif, analogis maupun
komparatif. Adapun teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaan juga menuntut peneliti agar dapat terjun langsung ke dalam
lokasi dan dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan
distorsi yang mungkin dapat mengotori data, selain itu perpanjangan keikutsertaan juga
dimaksudkan untuk membangun para subjek terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri
peneliti sendiri. (Moloeng,1994)
b. Triangulasi
Triangulasi sebagai tekhnik kualitatif yang digunakan sebagai pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Triangulasi dengan sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
memperoleh waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton), dengan
jalan sebagai berikut:
Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. (1)
Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan
secara pribadi; (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu; (3) Membandingkan keadaan dan
perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa,
orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang yang berada, maupun orang
pemerintahan; dan (4) Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang
berkaitan. (Moleong,2004).
PEMBAHASAN
1. KONFLIK HORIZONTAL
Dari hasil pengumpulan data lapangan dan wawancara yang dilakukan tim peneliti
diperlukan sinergis antara pemerintah daerah, pelaku bisnis dan masyarakat yang sangat
berperan dalam pengentasan konflik. Karena akar konflik disebabkan tidak adanya
perlindungan terhadap asset penghidupan yang dapat mengancam mata pencaharian
masyarakat khususnya petani kebun kelapa sawit. Selain itu, minimnya kesempatan kerja,
terbatasnya akses informasi, permodalan dan sumberdaya lainnya yang ditengarai sebagai
penyebab akar konflik horizontal.
Untuk dapat mensinergikan masyarakat tani yang majemuk, perlu dilakukan pola
pengaturan dan penjagaan keteraturan sosial sehingga bisa berjalan secara tertib, produktif,
dan berkesinambungan. Kontrol sosial juga berfungsi sebagai sarana usaha untuk
mempengaruhi dan menundukkan perilaku individu pada norma-norma masyarakat. Dengan
menciptakan sinergisitas pada gilirannya diharapkan akan bermuara pada penguatan
kemampuan pemeliharaan keamanan dan menghindarkan konflik di masyarakat.
Pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hilir perlu menyadari bahwa akan mengalami
kegagalan dalam membangun masyarakatnya apabila masyarakatnya tidak tertib. Untuk itu,
permasalahan tanah harus diwaspadai karena berpotensi menimbulkan konflik antara petani
dengan petani, warga dengan pengusaha bahkan warga dan aparat keamanan. Kasus-kasus
penyelesaian tanah berkaitan dengan alas hak kepemilikan tanah yang tidak jelas, tata batas
yang tidak jelas, serta ketidakpastian dalam kebijakan pemerintah daerah dan lain-lainnya.
Banyak lahan sengketa memperoleh sertifikat dan diperparah dengan adanya pendirian
bangunan dalam berbagai ukuran di lahan yang menjadi obyek sengketa.
Proses proletarisasi di pedesaan Rokan Hilir terus berlangsung. Masyarakat desa yang
mayoritas petani, yang tadinya memiliki tanah mulai kehilangan sumber penghasilannya
karena tanah tak lagi mereka kuasai. Masyarakat petani kebun sawit menjadi miskin,
disebabkan tanah dalam skala luas dikuasai oleh perusahaan besar. Terjadinya proletarisasi
masyarakat pedesaan, konflik agraria bakal makin terus terjadi. Konflik akan semakin tinggi
dan pasti akan mendatangkan korban. Tanah yang dimiliki petani sudah semakin sempit,
sementara kebutuhan petani semakin meningkat. Pemerintah daerah kadangkala berpikir
jangka pendek dengan lebih memilih memberikan izin kepada perusahaan daripada berpihak
kepada masyarakat tani. Ketidakberpihakan itu menimbulkan konflik lahan. Maka, perlu
adanya memberikan hak-hak tenurial masyarakat adat dan harus ada kepastian, keadilan dan
kedaulatan tenurial pada masyarakat tani serta merealisasikan pembaruan agraria.
Maraknya konflik pertanahan tidak terlepas pula dari politik pertanahan yang ada.
Konflik pertanahan muncul ketika hak menguasai negara (HMN) berbenturan dengan hak
asasi (HAM) warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat)
maka solusinya adalah sinkronisasi HMN dan HAM. Politik agraria sudah seharusnya
berorientasi pada kesejahteraan rakayat. Politik hukum agraria harus menjamin kepastian
hukum yang berkeadilan. Hal itu sesuai dengan pokok pemikiran Bernhard Limbong (2012)
dalam bukunya Konflik, Pertanahan, Penanganan dan Penyelesaian menyatakan dua hal
dalam hubungan dengan konflik pertanahan. Dua hal tersebut lebih bersifat antisipatoris dan
preventif, yakni pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pertanahan yang lebih responsif
dan mendesak dilakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.
Dari hasil wawancara dan analisa lebih lanjut terhadap hasil penelitian yang
dilaksanakan tim peneliti, beberapa penyebab konflik di Rokan Hilir bagi petani kelapa sawit
disebabkan;
1. Tumpang tindih lahan memicu terjadinya konflik. Tak sedikit kasus tumpang tindih lahan
perkebunan kelapa sawit yang meruncing dan mengakibatkan timbul kerugian moril dan
material bahkan terjadinya korban jiwa. Salah satu contoh adalah pembakaran salah satu
pos di Kepenghuluan Air Hitam, Kecamatan Pujud. Selain itu juga jual beli tanah pihak
ketiga karena prosedur jual beli tanah yang tidak jelas bahkan perampasan. Adanya
oknum kepenghulan menjual lahan hutan kepad apengusaha. Salah satunya di
Kpeenghuluan Sungai Daun, Kecamatan Pasir Limau Kapas yaitu terjadi penebangan
hutan bakau secara besar-besaran.
2. Batas dengan tetangga sesama pemilik kebun kelapa sawit sering menjadi salah satu
pemicu munculnya konflik bagi sesama petani, disebabkan batas-batas kebun yang
dimiliki petani sebahagian besar tidak dikelilingi parit, dan juga tidak ada patok batas
antara sesama pemilik kebun sawit. Konflik perbatasan dengan tetangga terjadi apabila
buah kelapa sawit yang dimiliki tetangga hasilnya bagus, sedangkan yang dimiliki petani
sawit lainnya kurang bagus. Konflik perbatasan dengan tetangga sebahagian karena
kurangnya kesadaran petani untuk mengurus langsung surat-surat resmi yang dimiliki
petani sawit pada instansi pemerintahan, sehingga bertahun-tahun ada petani kelapa sawit
tidak mengantongi surat kepemilikan dari pihak pemerintah. Tanah yang dimiliki
awalnya berdasarkan kepercayaan dari pihak pembeli, kemudian timbul permasalahan
bahwa tanah adalah milik mereka bukan milik dari yang mengolah tanah setelah lahan
kosong tersebut berhasil diolah dan sudah mendatangkan hasil sawit yang banyak.
3. Hilangnya buah sawit yang akan dipanen juga sering menimbulkan konflik karena saling
mencurigai antara sesama petani kelapa sawit. Adanya saling mencurigai di antara
sesama petani kelapa sawit, kadang-kadang terjadi saling intip sesama pemilik kebun
sawit untuk mengetahui siapa yang melakukan panen sawit di kebun yang mereka miliki.
4. Responden penelitian yang bekerja sebagai petani kelapa sawit konflik horizontal terjadi
pada sesama petani kelapa sawit, namun sebahagian terjadi disebabkan adanya pihak
perusahaan yang mendatangi petani kelapa sawit agar mereka bersedia menjual kebun
maupun tanah petani dengan harga yang ditentukan oleh pihak perusahaan. Juga terjadi
dalam kelompok petani menjadi dua kubu, sebahagian tidak mendukung apa yang
diinginkan pihak perusahaan dan sebahagian lagi mendukung apa yang diminta
perusahaan. Dampaknya bukan lagi konflik antara petani dengan pihak perusahaan,
melainkan menjurus pada konflik yang bersifat horizontal.
Pemerintah daerah minim sosialisasi dan realisasi dalam bentuk program pemerintah
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2012 tentang Intensif Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan. Sebaiknya pemerintah daerah memberikan insentif
perlindungan lahan pertanian berkelanjutan kepad apetani, berupa pengembangan
infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian dan pengembangan pertanian kelapa sawit.
Hampir semua isi PP nomor 12 tahun 2012 menguntungkan petani namun belum kelihatan
adanya good will pemerintah daerah merealisasikannya lewat program-program membantu
petani kelapa sawit.
Secara khusus petani kelapa sawit pada umumnya menyelesaikan permasalahannya
setelah adanya campur tangan dari kelompok tani maupun tokoh-tokoh masyarakat yang ada
di daerah tempat tinggal petani kelapa sawit. Penyelesaian yang dilakukan kelompok tani
maupun tokoh masyarakat bersifat kekeluargaan dan tidak saling merugikan. Para petani
kebun kelapa sawit tidak mau mudah terpropokasi oleh siapapun apabila ada orang
khususnya pihak luar yang mau menghasut teman-teman sesama petani sawit.
Cara lain petani kelapa sawit untuk menghindari konflik horizontal adalah kebersamaan
dalam mengikuti gotong royong, menghadiri acara perkawinan, mengunjungi orang sakit
maupun jika ada kemalangan yang tidak melihat perbedaan suku, agama maupun daerah asal
petani. Selain itu juga melalui kegiatan-kegiatan perwiridan di mesjid, maupun arisan-arisan
kampung. Selanjutnya, responden mengakrabkan dirinya apabila tidak bekerja pada sore hari
saling berkunjung dan saling bertemu di warung-warung kopi desa sambil bertukar pikiran
apabila mengalami hambatan dalam mengolah kebun pertanian kelapa sawit yang mereka
miliki.
Di samping itu petani kelapa sawit memelihara dan merawat kearifan lokal agar
senantiasi hidup dan menyala di dalam hati petani kelapa sawit. Para petani terus mepupuk,
merawat dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan masyarakat petani kelapa sawit Kabupaten
Rokan hilir, sehingga diharapkan tak akan ada lagi anak yang harus kehilangan bapak atau
ibunya hanya karena beda agama, beda aliran politik, beda etnisitas dan aroma rasis lainnya.
Juga tak akan ada lagi rumah dan harta beda yang dijarah, dan dibakar hanya karena
perbedaan identitas. Setiap konflik ada solusinya. Para leluhur telah memberikan peninggalan
atau warisan nilai untuk itu dan tinggal tekad petani kebun kelapa sawit, mau
menggunakannya atau membuangnya.
Munculnya sejumlah konflik horizontal antara petani kelapa sawit dengan pihak lainnya
dapat disimpulkan disebabkan tiga hal yaitu; Ketidakjelasan regulasi lahan yang kurang
responsif dan berpihak pada kepentingan rakyat terutama petani Rokan Hilir. Kurang
optimalnya pemetaan fungsi lahan secara tidak jelas, baik untuk pertanian, kehutanan dan
pertambangan. Kurang optimalnya fungsi sosial tanah, baik untuk pengembangan sumber
daya alam, sumber daya air maupun sumber daya manusia.
Reformasi agraria mutlak dilakukan. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
Semangatnya perlu dikembalikan pada keberpihakan terhadap rakyat petani yang
mmerupakan mayoritas di Kabupaten Rokan Hilir. Dengan adanya penuntasan reformasi
agraria, secara langsung maupun tidak langsung daerah dapat menyelesaikan berbagai
persoalan pelik di masyarakat, seperti konflik horizontal dan kekerasan sosial, sekaligus
dapat memberdayakan rakyat petani itu sendiri.
Beberapa faktor lain penyebab terjadinya konflik horizontal antara masyarakat dengan
perusahaan :
a. Kehadiran perusahaan mengambil hak-hak masyarakat, hal ini terlihat dari adanya
bentuk-bentuk sengketa tanah ulayat.
b. Kehadiran perusahaan menyebabkan kerugiaan dan gangguan bagi masyarakat seperti
terjadi pencemaran, polusi udara dan gangguan lainnya sehingga masyarakat merasa
perlu melakukan tindakan perlawanan.
c. Kehadiran perusahaan tidak memiliki sumbangsih terhadap masyarakat lokal, sehingga
masyarakat merasa perusahaan sebagai penguras kekayaan lokal.
d. Perusahaan tidak melibatkan dan memberdayaakan potensi masyarakat lokal dalam hal
peluang bekerja dan pelaksanaan proyek-proyek perusahaan.
Lebih lanjut hasil wawancara terhadap responden mengatakan bahwa konflik lokal
sering terjadi di Kabupaten Rokan Hilir juga dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a. Perbedaan distribusi kekuasaan dan otoritas; Perbedaan distribusi kekuasaan inilah yang
kemudian memunculkan dua kelompok petani kelapa sawit yang berbeda posisi yakni
kelompok dominan dan kelompok subordinat. Mereka yang berada pada posisi dominan
cenderung mempertahankan status quo, sementara yang berada pada posisi subordinat
selalu berupaya mengadakan perubahan terus menerus. Sering terjadi konflik horizontal
yang disebabkan perbedaan distribusi kekuasaan dan otoritas pada petani kelapa sawit.
b. Prasangka/persepsi
Prasangka atau pemaknaan yang tidak benar terhadap simbol dan identitas orang lain yang
menimbulkan terjadinya konflik. Terjadinya penggunaan simbol-simbol tertentu digunakan
pihak ketiga untuk mengadu domba para petani kelapa sawit. Petani kelapa sawit sering
dibenturkan dengan berbagai cara, dan konflik horizontal tidak terelakkan dan pada
akhirnya menguntungkan pihak pengusaha sebagai pemilik modal.
c. Perbedaan Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia
menggantungkan fikiran, perasaan dan tindakan. Perbedaan rasa percaya, keyakinan
bahkan ideologi menyebabkan terjadinya konflik horizontal petani kelapa sawit. Kearifan
lokal sering dilupakan, pada hal menyelesaikan suatu permasalahan pada masyarakat tidak
memerlukan kekerasan cukup dengan pendekatan kearifan lokal yang dimiliki setiap etnis.
Setiap adat, setiap budaya dan setiap kelompok masyarakat memiliki kearifan lokalnya
masing-masing. Kearifan lokal dimasing-masing adat memiliki fungsi yang secara umum
membantu kehidupan masyarakatnya sendiri. Hal itu meliputi permasalahan dalam rumah
tangga, agraria, tata pemerintahan, penyelesaian konflik, spiritual, nilai nilai perikehidupan,
dan lain lain. Konflik yang timbul antar suku maupun antar kelas dapat diselesaikan dengan
lokal genius dari masing-masing kelompok masyarakat.
d. Perbedaan kepentingan
Kepentingan masyarakat tani tidak semuanya sama. Ada latar belakang kepentingan
material, ada pula kekuasaan, dan bahkan ada kepentingan mengadu domba masyarakat
yang kondusif. Adanya perbedaan kepentingan pada setiap individu atau kelompok
merupakan potensi terjadinya konflik. Perbedaan kepentingan yang merusak tatanan hidup
harmonis dalam masyarakat petani akan dapat menimbulkan dampak kemiskinan dan juga
merusak ekonomi keluarga yang sejahtera.
e. Kurang komunikasi
Kegagalan dalam berkomunikasi menyebabkan kedua pihak tidak dapat menyampaikan
fikiran, perasaan dan tindakan sehingga membuka jurang perbedaan informasi di antara
mereka, sehingga petani kebun kelapa sawit menjadi salah paham dan menimbulkan
terjadinya konflik. Petani kebun kelapa sawit yang jarang berbaur dengan masyarakat lokal
atau berbeda dalam agama, etnis, dan asal usul orientasi kedaerahnnya sangat sensitif dan
merasa bahwa dirinya adalah yang terbaik dibanding dengan orang lain
f. Kepemimpinan yang kurang efektif
Konflik karena kepemimpinan yang kurang efektif terjadi pada kehidupan bersama dalam
komunitas petani kelapa sawit. Kepemimpinan kurang efektif mengakibatkan masyarakat
mudah bergerak dan bahkan tidak terkendali tanpa ada yang menggerakkan.
g. Ketidakcocokan peran
Ketidakcocokan peran terjadi karena ada dua pihak yang mempersepsikan secara sangat
berbeda tentang peran mereka masing-masing, sehingga dapat menimbulkan konflik.
Tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan desa tidak mampu memerankan perannya
sesuai dengan fungsi masing-masing dan akhirnya muncul konflik.
h. Kesenjangan
Kesenjangan adalah adanya bentuk-bentuk perlakuan yang tidak adil, perbedaan
kemampuan dalam mengakses suatu kebutuhan, tidak meratanya pembangunan adalah
penyebab terjadinya konflik. Adanya diskriminasi pembangunan pedesaan di Rokan Hilir
menimbulkan gejolak pada masyarakat yang merasa ditinggalkan dalam kebutuhan
prasarana dan sarana pembangunan.
i. Ketidak puasan/kecewa
Adanya rasa tidak puas atau kecewa atas apa yang dialami atau diterima oleh petani kelapa
sawit atau kelompok menyebabkan mudah terjadi konflik horizontal. Para petani kelapa
sawit merasa kecewa dengan janji yang diberikan pihak pemerintah desa maupun
pemerintah kabupaten, termasuk pihak perusahaan yang tidak pernah memenuhi janjinya
kepada petani kelapa sawit.
Untuk itu, berdasarkan hasil rangkungan wawancara dengan responden dan menghindarkan
konflik horizontal bagi petani kelapa sawit adalah :
a. Perusahaan harus hadir dengan pemahaman kondisi, kultur dan karakteristik masyarakat
lokal.
b. Memberikan konvensasi terhadap segala bentuk kerugian yang ditimbulkan akibat
operasional perusahaan.
c. Melakukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat lokal sehingga terjalin
komunikasi yang baik anatara perusahaan dan masyarakat.
d. Melibatkan dan mendidik pengusaha lokal dalam hal pelaksanan proyek-proyek
prusahaan.
e. Merekrut tenaga kerja lokal sesuai dengan kemampuan yang ada. Tenaga kerja lokal
tidak hanya menjadi penonton di daerahnya tetapi harus diberdayakan dan menjadi asset
penting dalam mendukung pembangunan kelapa sawit
C. MENGATASI KONFLIK
Konflik sosial yang terjadi dan tidak terkelola dengan baik dapat berakibat pada
lemahnya sistem produktivitas masyarakat maupun pihak-pihak terkait seperti perusahaan,
dan pemerintah, disebabkan iklim lingkungan sosial yang tidak kondusif. Sebaliknya bila,
potensi konflik sosial dapat dikelola dengan baik melalui interaksi dan komunikasi yang
baik, dapat berdampak positif pula bagi upaya mewujudkan kesejahteraan social. Namun,
bila kurang mampu mengelolanya maka dapat berdampak buruk bagi kedamaian, keserasian
kehidupan sosial di daerah tersebut.
Berbagai isu muncul dan berkembang di masyarakat di masyarakat Rokan Hilir. Aspek
tersebut menyebabkan munculnya berbagai permasalahan sosial, yang merupakan potensi
konflik, salah satunya karena masalah kesenjangan akses ekonomi antar masyarakat setempat
dengan pendatang, serta antar masyarakat dengan pihak perkebunan. Pengelolaan potensi
konflik agar berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat maka perlu dikembangkan dan
dipertahankan usaha untuk menumbuhkan keserasian hidup antar berbagai pihak yang
berinteraksi dan berkomunikasi dalam pemanfaatan sumber daya lokal terkait dengan
pengembangan hasil perkebunan kelapa sawit di masa yang akan datang.
Interaksi dan komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, berpotensi
menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda. Dari perspektif perilaku dalam proses
sosial, konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual,
interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik akan selalu berpusat pada
beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber–sumber yang
dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Penyebab
konflik bukan hanya bisa terjadi karena permasalahan antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat, tapi bisa juga disebabkan kelompok lain, seperti pihak pengusaha perkebunan
kelapa sawit yang tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi yang memanfaatkan isu
tentang putera daerah.
Manyadari keberadaan konflik dan memahami keberadaan konflik secara dini akan
mencegah disintergrasi kehidupan masyarakat di seputar perkebunan kelapa sawit. Konflik
berpotensi menimbulkan inefisiensi atau bahkan pemborosan yang serius ketika sampai
mengganggu operasionalisasi perusahaan dan usaha tani perkebunan rakyat yang ada.
Stabislitas sosial, ekonomi dan politik setempat sangat tergangu dan akhirnya rakyatlah yang
menjadi korban lebih besar dan perusahaan besarpun menghadapi masalah dalam
berinvestasi di lahan perkebunan sawit.
Umumnya konflik tentang identitas dalam suatu masyarakat cenderung lebih rumit,
bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berciri primordial sulit dipecahkan
karena sangat emosional. Untuk mengatasi itu semua, tidak ada resep mujarab yang langsung
menyembuhkan karena selalu muncul interaksi rumit antarkekuatan berbeda di samping
variabel kondisi sosial wilayah ini. Pola penyelesaian konflik di suatu daerah tak mungkin
diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai
peristiwa konflik perlu dicermati dan dianalisis, tidak saja berdasarkan teori-teori konflik
universal, tetapi perlu juga menggunakan paradigma nasional atau lokal agar objektivitas
tetap berada dalam bingkai kondisi, nilai, dan tatanan kehidupan bangsa kita.
Faktor-faktor pendukung analisis pemecahan konflik tersebut antara lain: aktornya, isu,
faktor penyebab, lingkupnya, usaha lain yang pernah ada, jenis konflik, arah/potensi, sifat
kekerasan, wilayah, fase dan intensitas, kapasitas dan sumbernya, alatnya, keadaan hubungan
yang bertikai, dan sebagainya. Cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan
model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat.
Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah
yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam
menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat yang bersifat kekeluargaan .
Di antara permasalahan yang sering terjadi dan menyebabkan timbulnya konflik adalah
adanya data dan informasi yang tidak jujur dan tidak dapat dipahami oleh semua pihak yang
berkepentingan sehingga sulit menemukan kesepakatan dan terjalinnya komunikasi. Bagi
masyarakat, proses pengelolaan hasil sumber daya sepenuhnya diserahkan kepada pihakpihak pengelola antara lain koperasi dan pengusaha.
Keterbukaan dan keseriusan dalam mengurai akar permasalahan konflik dan komunikasi
yang baik dan terbuka antarpihak yang berkepentingan merupakan cara penanganan konflik
yang perlu dikedepankan. Adanya data dan informasi yang jujur dan dapat dipahami oleh
semua pihak yang berkepentingan merupakan syarat bagi terjalinnya komunikasi di atas.
Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus
diingat juga bahwa masyarakat Rokan Hilir memiliki keragaman budaya. Setiap budaya
memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi,
termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah
sebagai kearifan lokal (local wisdom). Model penyelesaian konflik melalui kearifan lokal
menjadi salah satu cara yang sangat efektif ditempuh oleh masyarakat untuk menemukan
bentuk dan jenis masalah dengan mempertimbangkan aspek penyelesaian yang dapat
diterima semua pihak. Mengurangi resiko dan biaya sosial yang tinggi, karena masingmasing pihak berusaha membangun dialog dan keterbukaan terhadap pentingnya kesepakatan
damai daripada proses pembuktian terhadap fakta hukum itu sendiri.
Oleh karena itu, banyak pihak menaruh perhatian terhadap proses penyelesaian sengketa
berbasis pada nilai-nilai dan kearifan lokal. Dalam memahami konteks nilai dan budaya lokal
dalam merumuskan alternatif strategi dalam penyelesaian sengketa, masyarakat melibatkan
diri untuk mencari informasi yang berhungan dengan tingkat kebutuhan mereka melalui
berbagai informasi ditengah keterbukan akses baik melalui informasi dari aparat pedesaan
maupun melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Kegiatan inilah yang
dilakukan dan yang akan membantu masyarakat dan para pihak yang terlibat langsung dalam
sengketa dalam merumuskan masa depan dan pilihan penyelesaian sengketa dengan mengacu
pada proses dan mekanisme adat, budaya dan nilai-nilai yang bersifat lokal.
Perlu diupayakan bagaimana meningkatkan peran komunitas atau masyarakat petani
dalam berkontribusi terhadap reputasi dan citra yang lebih baik bagi perusahaan perkebunan
kelapa sawit, melegitimasi untuk perusahaan beroperasi secara sosial, menyediakan untuk
pemanfaatan tenaga kerja local. Di samping itu peran masyarakat juga dapat berkembang
kearah terwujudnya keamanan yang lebih besar bagi operasinal perusahaan dan
terpeliharaannya pemanfaatan infrastruktur lingkungan sosial ekonomi lebih baik.
Konflik lokal juga perlu dihindari agar pembangunan masyarakat dapat berjalan dengan
baik di daerah. Pendekatan-pendekatan lain yang harus dilakukan untuk untuk mencegah
agar tidak terjadi konflik lokal di Rokan Hilir dirangkum sebagai berikut;
2. Pendekatan modal sosial (sosial capital). Di masa-masa mendatang pelayanan sosial
harus berupaya menggali modal sosial yang ada dalam masyarakat petani kelapa sawit.
Banyak permasalah-permasalahan sosial yang belum terjangkau pelayanan pemerintah
daerah Kabupaten Rokan hilir karena kemampuan modal ekonomi pemerintah daerah
yang sangat terbatas. Di sisi lain, permasalahan sosial petani kelapa sawit cenderung
semakin bertambah dan berkembang serta semakin kompleks. Untuk itu, pengembangan
pelayanan sosial yang mengandalkan modal sosial melalui kemampuan masyarakat
menjadi prioritas utama dalam penanganan permasalahan sosial tersebut.
3. Pendekatan Pemerataan Pembanguan Daerah
Masalah kebudayaan sangat penting untuk diperhatikan. Karena budaya telah mengalir
dalam hidup masyarakat. Secara antropologis manusia telah dibelenggu oleh adat
istiadatnya. Bahkan, kadang-kadang hal tersebut menjadi penghambat proses
pembangunan. Sering terjadi konflik antara kebudayaan dan modernisasi. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah agama. Agama dan kebudayaan sering kali telah lebur dalam
kehidupan masyarakat. Sehingga sangat membedakan mana yang agama dan mana yang
kebudayaan. Karena eratnya hubungan pembangunan politik dan kebudayaan, maka
berkembanglah aliran pemikiran kebudayaan politik. Pemerataan pembangunan daerah
Kabupaten Rokan Hilir mutlak diperlukan untuk tidak terjadinya konflik bagi masyarakat
petani kelapa sawit.
4. Pendekatan Agama
Pendekatan keagamaan dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, melalui nilai-nilai agama
diharapkan masyarakat akan tidak mudah untuk terpancing melakukan konflik.
5. Pendekatan Budaya
Pendekatan budaya dilakukan ole tokoh adat di masyarakat dengan mengedepankan
nilai-nilai adat dan budaya yang dianut dimasyarakat sehingga akan meningkatkan
persatuan dan mencegah terjadinya konflik horizontal. Adat istiadat mmpunyai ikatan
dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan yang mengikatnya tergantung
kepada masyarakat atau bahagian masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut.
Tatanan kehidupan orang Batak selalu bergerak dalam harmoni keseimbangan.
Harmoni ini tersimpul dalam falsafah Batak: “Manat mardongan tubu/sabutuha
(bersikap hati-hati kepada kerabat semarga); elek marboru (berlaku sayang kepada
penerima wanita; dan somba marhula-hula (menaruh hormat kepada marga pemberi
wanita) yang dikenal “DALIHAN NA TOLU” atau Tungku Nan Tiga”. Oleh karena itu
sekali pun orang Batak telah mengadaptasikan nilai-nilai baru, mengadaptasikan diri
dengan lingkungan budaya baru, namun sekaligus mereka tetap tradisional,
mempertahankan ikatan-ikatan kekeluargaan. Pendekatan tersebut lebih berhasil
daripada pendekatan hukum karena keberadaannya telah lahir jauh sebelum ada hukum
atau peraturan-peraturan.
6. Pendekatan Multi Kultur
Konsep multi kultur perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, dan
masyarakat dapat memahami berbagai karakteristik budaya lain, sehingga kehadiran
budaya lain tidak dipandang secara curiga dan sinis terhadap keberadaan simbol-simbol
komunitas lain.
7. Pendekatan Pluralisme
Melalui konsep pluralisme masyarakat lebih bersikap terbuka terhadap kehadiran budaya
dan komunitas lain. Masyarakat memandang keberagaman sebagai suatu yang indah dan
penuh persaingan secara positif untuk memajukan komunitasnya masing-masing.
Terjadinya pertukaran nilai dan budaya adalah bentuk positif adanya pluralisme di tengah
masyarakat sehingga terjadi bentuk-bentuk kemajuan.
8. Pendekatan Perkawinan
Melalui perkawinan antar etnik diharapkan akan terjadi pertukaran budaya dan
peningkatan hubungan persaudaraan antar etnik sehingga dapat mencegah terjadinya
konflik. Melalui perkawinan antar etnis, masyarakat dapat melakukan acara-acara
seremonial yang bersifat nasional dan bukan kedaerahan, atau juga melaksanakan kedua
adat yang berlaku sesuai persetujuan kedua belah pihak
9. Pendekatan Interaksi Lintas Budaya
Adanya interaksi dalam bentuk pertemanan dan hubungan bisnis juga dapat
meningkatkan terjadinya kesepahaman dan hubungan silaturahmi antar etnis sehingga
dapat mencegah terjadinya konflik. Hidup berdampingan dengan tetangga yang bukan
satu daerah asal, berbeda etnis, agama maupun kebiasaan-kebiasaan menjadi perekat
dalam keharmonisan bermasyarakat apabila masing-masing etnis saling menghormati
10. Pendekatan Akulturasi
Proses akulturasi adalah adanya bentuk perilaku mengembangkan budaya namun
menghormati keberadaan budaya lain. Menghargai kebudayaan orang lain merupakan
kewajiban yang harus dilakukan tanpa mengorbankan kebudayaan asal individu
Dari berbagai uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pola komunikasi dan integrasi
yang dilakukan petani kelapa sawit agar tidak terjadi konflik horizontal di Rokan Hilir
adalah seperti gambar berikut;
Gambar 2
Komunikasi Antar Budaya
INTEGRASI
Mendorong Perubahan
Pola Kehidupan
Struktur Sosial
- Kelompok Sosial
- Interaksi Sosial
- Status Sosial
- Gaya hidup
- Prinsip Kebersamaan
- Pola Konsumsi
Pola Lapangan Kerja
- Pekerjaan Ganda
- Perubahan jenis
pekerjaan
EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR
BUDAYA
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1.
Proses proletarisasi di pedesaan Rokan Hilir terus berlangsung. Masyarakat desa yang
mayoritas petani, yang tadinya memiliki tanah mulai kehilangan sumber penghasilannya
karena tanah tak lagi mereka kuasai. Terjadinya proletarisasi masyarakat pedesaan, maka
konflik agraria bakal makin terus terjadi dan mendatangkan korban. Pemerintah daerah
kadangkala berpikir jangka pendek dengan lebih memilih memberikan izin kepada
perusahaan daripada berpihak kepada masyarakat tani. Ketidakberpihakan itu menimbulkan
konflik lahan. Maka, perlu adanya memberikan hak-hak tenurial masyarakat adat dan harus
ada kepastian, keadilan dan kedaulatan tenurial pada masyarakat tani serta merealisasikan
pembaruan agraria.
2.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan
siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya turut menentukan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.
3.
Komunikasi antar budaya pada petani kelapa sawit di Rokan Hilir mengutamakan akulturasi
budaya apabila kolompok-kelompok individu petani kelapa sawit memiliki kebudayaan
yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif. Percampuran
kebudayaan atau asimilasi terjadi kalau dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing
dan menjadi satu kebudayaan. Jelaslah bahwa melalui akulturasi individu yang sudah
mempunyai kebudayaan berangsur-angsur dilepaskan dan kemudian menerima kebudayaan
baru yaitu kebudayaan Melayu Riau
4.
5.
6.
Konflik horizontal sering terjadi di Kabupaten Rokan Hilir juga dipengaruhi oleh; (a).
Perbedaan distribusi kekuasaan dan otoritas; (b) Prasangka/persepsi; (c) Perbedaan nilai; (d)
Perbedaan kepentingan; (e) Kurang berkomunikasi; (f) Kepemimpinan yang kurang efektif;
(g) Ketidakcocokan; (h) Kesenjangan dan; (i) ketidakpuasan
Menghindarkan konflik horizontal bagi petani kelapa sawit pihak perusahaan perkebunan
perlu memperhatikan; (a) Perusahaan harus hadir dengan pemahaman kondisi, kultur dan
karakteristik masyarakat local; (b) Memberikan konvensasi terhadap segala bentuk kerugian
yang ditimbulkan akibat operasional perusahaan; (c) Melakukan pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat sosial sehingga terjalin komunikasi yang baik anatara
perusahaan dan masyarakat; (d) Melibatkan dan mendidik pengusaha lokal dalam hal
pelaksanan proyek-proyek prusahaan; dan (e) Merekruit tenaga kerja lokal sesuai dengan
kemampuan yang ada. Tenaga kerja sosial tidak hanya menjadi penonton di daerahnya tetapi
harus diberdayakan dan menjadi asset penting dalam mendukung pembangunan pertanian
kelapa sawit
Pendekatan yang perlu dilakukan kepada petani kelapa sawit antara lain; (a) Pendekatan
modal social (social capita): (b) Pendekatan Pemerataan Pembanguan Daerah; (c)
Pendekatan Agama; (d) Pendekatan Budaya; (e) Pendekatan Multi Kultur; (f) Pendekatan
Pluralisme; (g) Pendekatan Perkawinan; (h) Pendekatan Interaksi Lintas Budaya; dan (i)
pendekatan Akulturasi
B. SARAN-SARAN
1. Perusahaan harus hadir dengan pemahaman kondisi, kultur dan karakteristik masyarakat
lokal; memberikan konvensasi terhadap segala bentuk kerugian yang ditimbulkan akibat
operasional perusahaan; melakukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat lokal
sehingga terjalin komunikasi yang baik anatara perusahaan dan masyarakat; melibatkan dan
mendidik pengusaha lokal dalam hal pelaksanaan proyek-proyek prusahaan; merekrut tenaga
kerja lokal sesuai dengan kemampuan yang ada.
2. Pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hilir diharapkan dapat memberi kemudahan kepada
petani kelapa sawit dalam memenuhi kewajibannya untuk memiliki surat tanah yang sah
dalam bentuk Sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga petani kelapa sawit
diikutsertakan dalam Program Prona.
3. Komunikasi antar budaya dalam mengurangi konflik horizontal sangat diperlukan. Untuk itu,
pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hilir perlu melakukan pendataan terhadap etnis-etnis
sekaligus dapat menentukan metode yang tepat dan efektif dalam menanggulangi
permasalahan petani kelapa sawit yang multikultur.
4. Pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hilir perlu meningkatkan pelayanan terhadap petani
kelapa sawit, dan berpihak kepada rakyat apabila ada permasalahan antara petani kelapa
sawit dengan pihak perusahaan perkebunan
DAFTAR PUSTAKA
Alo Liliweri, 2009, Prasangka & Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,
LkiS, Jogyakarta
Antar Venus, 2007, Komunikasi Yang Memerdekakan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Jurnal ISKI
Nomor 1 Agustus 2007, Bandung
Anwar Arifin, 2008, Opini Publik, Pustaka Indonesia, Jakarta
Bambang Rudito, 2007, Audit Sosial, Rekayasa Sains, Bandung
Bangun, Rindu Kasih, 2009, Pemberdayaan Masyarakat Tempatan Dalam Pelestarian Hutan
Lindung Bukit Suligi, Jurnal Teroka, Nomor 3 Agustus 2009, Balitbang Riau
Batakusuma Deddy Supriady, 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Burhan Bungin, 2007, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Forum Intelektual Indonesia, 2007, Jati Diri Bangsa Dalam Ancaman Globalisasi, Airlangga
University Press, Surabaya
Ida Fariastuti, Komunikasi Antarbudaya, Wacana Jurnal ilmiah Ilmu Komunikasi, Volume VIII
No.28 Desember 2009, Fikom Universitas Moestopo, Jakarta
Idi Subandy Ibrahim, 2007, Kecerdasan Komunikasi Seni Berkomunikasi Kepada Publik,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung
Kuncoro,Mudrajat, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan Strategi
dan Peluang, Erlangga, Jakarta
Lian Gogali, 2009, Konflik Poso, Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan,
Penerbit Galangpress, Jogyakarta
N.N., 2006, Strategi Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Ketertinggalan Infrastruktur
(K2I) Melalui Pendekatan Komunikasi dan Informasi di Provinsi Riau, Badan Penelitian
dan Pengembangan Provinsi Riau
Ramli, Kinerja Aparatur dan Pengembangan Wilayah, 2007, USU Press, Medan
Sabian Utsman, 2007, Anatomi Konflik & Solidaritas Masyarakat Nelayan, Sebuah Penelitian
Sosiologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sugiarto, 2003, Teknik Sampling, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tinambunan,W.E., 2002, Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Etnik Pada
Warga Kota Pekanbaru, Lemlit, Universitas Riau, Pekanbaru
_____, 2004, Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antaretnik Tionghoa, Batak,
Melayu, Jawa dan Minangkabau di Kabupaten Bengkalis, Pemda Bengkalis
_____, 2006, Strategi Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Ketertinggalan Infrastruktur
Melalui Model Komunikasi dan Informasi, Balitbang Riau
_____, 2008, Dampak Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Sosial Budaya Ekonomi
Masyarakat Kabupaten Bengkalis, Lemlit Universitas Riau, Pekanbaru
_____, 2010, Pemberdayaan Komunitas Suku Sakai Dalam Mempertahankan Kebudayaan
Daerah di Kabupaten Bengkalis, Lemlit Universitas Riau, Pekanbaru
_____, 2011, Dampak Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Sosial Ekonomi Dan
Budaya Masyarakat Sakai Di Kabupaten Bengkalis, Lembaga Penelitian, Universitas
Riau
_____,2011, Metode Penelitian Komunikasi, Jilid I, Sinar Kelasen, Pekanbaru
_____, 2011, Metode Penelitian Komunikasi, Jilid II, Sinar Kelasen, Pekanbaru
_____, 2012, Opini Publik Terhadap Informasi Program Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan
dan Ketertinggalan Infrastruktur (K2I) di Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan.
Studi Kasus: Masyarakat Batak, Lembaga Penelitian, Universitas Riau
JURNAL
Fokus Kegiatan:
KELAPA SAWIT
FUNGSI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
DALAM MENGURANGI KONFLIK HORIZONTAL DAN
SENGKETA TANAH PADA PETANI KELAPA SAWIT
DI KABUPATEN ROKAN HILIR PROVINSI RIAU
PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL
MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011-2025
(PENPRINAS MP3EI 2011-2025)
Prof.Dr.W.E.Tinambunan,Drs.,MS
Ir.Rusmadi Awza, MSi
Nurjanah, MSi
UNIVERSITAS RIAU
NOPEMBER 2012
Download