Teori Konflik dan Perubahan Sosial: Sebuah

advertisement
Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005
Teori Konflik dan Perubahan Sosial:
Sebuah Analisis Kritis
H. A. Saefudin
ABSTRACT
Conflict theory is born as reaction toward structural functional approach for social change
analysis. This theory gained its popularity in 1960s, rooted in Max Weber concept of power
conflict and Karl Marx’ theses focused on economy conflict. This article emphasized Marx
concept concerning social change which is frequently used in conflict argumentation. Although
widely used for social analysis, Marx theory has weaknesses, too. Ritzer and Goodman
described some critics toward Marxian approach: (1) failed to prove social revolution;
(2) unable to comprehend capitalist system flexibilities; (3) too radical; (4) ideological-biased;
and (5) unable to prove the success of Marxist-Communist states.
Kata kunci: teori konflik, teori kritis, perubahan sosial
1. Pendahuluan
Dalam pandangan filosofis Heraklitos, hidup
dimaknai sebagai perubahan. “Panta rhei kai
ouden menei,”demikian kata Heraklitos. “Tiada
yang tetap, semuanya mengalir, semuanya
berubah” (Bagus, 1996). Pada berbagai masyarakat
di berbagai belahan dunia, ilmuwan sosial melihat
perubahan (sosial) sebagai fenomena tak
terhindarkan (unavoidable phenomena). Adanya
gejala-gejala seperti depersonalisasi, frustrasi dan
apati; pendapat mengenai norma susila yang
sebelumnya dianggap benar; perbedaan pendapat
tentang sikap dan nilai yang sesuai untuk
kehidupan yang lebih manusiawi; atau kenyataan
generation gap, merupakan beberapa contoh yang
dengan mudah diidentifikasi.
Merujuk pada Schramm dan Lerner (1978)
sebab-sebab yang mendorong terjadinya
perubahan juga sangat beragam.
Apapun penyebabnya dalam konteks
kehidupan sosial, terjadinya “perubahan” dapat
mengarah pada dua keadaan, yakni perubahan ke
arah yang lebih baik (progress) dan perubahan ke
arah yang lebih buruk (regress). Karena sifatnya
yang demikian maka tidak mengherankan bila
sebagian besar definisi perubahan sosial
cenderung bersifat netral dan luas. Wilbert Moore
( Lauer, 2001), misalnya, mendefinisikan perubahan
sosial sebagai “ perubahan penting dari struktur
sosial.” Fairchild (Lauer, 2001) mengartikan
perubahan sosial sebagai variasi atau modifikasi
dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan
bentuk-bentuk sosial serta “ setiap modifikasi pola
antar hubungan yang mapan dan standar perilaku”.
Abdullah (2004) mendefinisikan perubahan sosial
sebagai perubahan struktur sosial dan pola budaya
yang signifikan dalam jangka waktu tertentu.
Sementara Rogers (1978) mengaitkan perubahan
dengan konsep pembangunan. Di sini, perubahan
H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis
75
sosial diartikan sebagai inti dari pembangunan
yang bersifat transformatif dan partisipatoris.
Ilmuwan sosial lainnya bahkan mengaitkan konsep
perubahan sosial dengan westernisasi,
modernisasi, industrialisasi, pertumbuhan
(growth) dan
evolusi
sosio-kultural
(Nasution, 1987)
Sebagai sebuah konsep akademis yang telah
diterima di lingkungan komunitas ilmiah, fenomena
perubahan sosial menjadi obyek kajian yang paling menarik di lingkungan ilmu sosial sepanjang
empat dasawarsa terakhir dan telah dikaji dari
berbagai sudut pandang (perspektif) dan disiplin
ilmu. Beberapa perspektif yang muncul dalam kaitan
ini, menurut Churton (1995), di antaranya perspektif
konflik, perspektif konsensus (structural functionalism), perspektif tindakan sosial ( social
psycology). Sementara, Marshall (1998)
mengelompokkan pendekatan terhadap perubahan
sosial ke dalam functionalist tradition,
evolusionary perspektives, dan conflic theory tradition. Tulisan ini secara khusus mencoba
mengkaji berbagai pandangan dan asumsi yang
mendasari teori konflik dalam manganalisis
fenomena perubahan sosial.
2. Perspektif Teori Konflik
tentang Perubahan Sosial
Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap
pendekatan fungsionalisasi struktural dalam
menyoroti perubahan sosial. Teori yang
memperoleh popularitasnya tahun 1960-an ini
berakar pada konsep Max Weber tentang konflik
kekuasaan (conflict about power) dan pemikiran
Karl Mark tentang konflik ekonomi (Marshall, 1998).
Para teoretisi konflik percaya bahwa adanya konflik
merupakan fenomena kehidupan sosial yang normal, bahkan penting untuk mencapai perubahan.
Sebuah perubahan seringkali baru muncul ketika
masyarakat memaksakannya harus terjadi (lewat
pertentangan) ketimbang sebagai kesepakatan dan
kehendak tulus kelompok yang memiliki kekuasaan
(Rex, 1961). Karena itu, adanya konflik menjadi
penting untuk memacu dinamika sosial.
Marxis dan teori konflik pada dasarnya
memiliki asumsi dasar yang sama dengan
76
fungsionalisme dalam memandang perubahan
sosial. Menurut Loockwood (Marshall, 1998)
keduanya memandang berbagai struktur dan
sistem yang ada di masyarakat sebagai
keniscayaan. Bedanya, penganut teori konflik
khususnya pengikut Mark memandang bahwa
manusia memiliki kemampusn untuk bertindak,
kemampuan mengubah situasi melalui tindakan
politik. Dengan demikian, teori ini bersifat lebih
proaktif dalam memahami dan menciptakan
perubahan sosial. Para teoretisi konflik (bukan
hanya Marxis) pada umumnya memandang
perubahan sosial sebagai hasil dari pertentangan
kelas, ras, dan kelompok lainnya (untuk menarik
manfaat tertentu) ketimbang berdasarkan
konsensus. Teori konflik juga berbeda dengan teori
fungsionalisasi sruktural dalam hal memahami
mekanisme perubahan sosial. Menurut teori
struktural fungsional perubahan merupakan
kesepakatan bersama yang harus dilaksanakan
secara terstruktur dan perlahan-lahan. Sementara,
teori konflik berpendapat bahwa kelompokkelompok sosial yang ada dibangun , dikontrol,
dan dipelihara berdasarkan cara-cara manipulatif
kelompok dominan. Untuk melepaskan diri dari
dominasi tersebut maka cara yang dilakukan harus
di luar pola konsensus yang ada serta berdasarkan
cara-cara konfrontatif dari kelompok subordinate
terhadap kelas dominan.
Tulisan ini tidak berpretensi mengupas teori
konflik dalam keseluruhan dimensinya, karena itu
pembahasan tentang teori konflik ini akan lebih
difokuskan pada konsep Marx tentang perubahan
sosial. Alasannya, sederhana saja, karena menurut
Lauer (2001), Fakih (2003), dan Churton (2000).
Marx-lah yang paling sering digunakan sebagai
dasar argumentasi teori konflik.
Perspektif konflik yang berakar pada
Marxisme pada dasarnya tidak hanya teori kritik
terhadap kapitalisme yang memokuskan pada
pemahaman mode of production yang dinamakan
kapitalisme , tetapi juga teori tentang perubahan
sosial. (Fakih, 2003). Semangat yang mendasari
Karl Mark dalam melakukan kritik terhadap
kapitalisme, ujar Fakih lebih lajut, pada dasarnya
berangkat dari filsafat moral keadilan dan cita-cita
M EDIATOR, Vol. 6
No.1
Juni 2005
Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005
untuk perubahan masyarakat menuju keadilan
sosial ekonomi. Dalam karyanya berjudul Das capital pada dasarnya Marx menuturkan tentang kasus
bagaimana proses ketidakadilan terjadi dalam aspek
ekonomi.
Analisis Marx tertuju pada inti ketidakadilan
yang tersembunyi dari hubungan masyarakat
dalam sistem kapitalisme. Pandangan Marx tentang
kapitalisme intinya adalah bagaimana eksploitasi
dan ketidakadilan struktural dapat dijelaskan. Oleh
karena itu analisis Marx dalam jilid pertama Das
Capital sama sekali tidak dimulai dari uraian sejarah
kapitalisme, tetapi justru mulai dari hal yang tidak
mengesankan dari sistem kapitalisme, yakni
tentang komoditas. Pilihan komoditas sebagai
pintu masuk untuk memahami keseluruhan sistem
kapitalisme , dan bukan analisis bisnis, atau pasar
sebagai institusi sosial, yang paling mewarnai
kehidupan ekonomi kapitalis memang mempunyai
alasan tersendiri. Pilihan ini sengaja dipakai untuk
memudahkan memahami dasar ketidakadilan
kapitalisme. Bagi Marx, pada komoditaslah
tersimpan rahasia ketidakadilan kapitalisme.
Menurut Marx, Komoditas selain memiliki sifat
kegunaan atau used value, juga mengandung sifat
exchange value, yakni sifat untuk diperjualbelikan.
Lama sebelum Marx, analisis dan teori ekonomi
tidak berhasil menjelaskan, hubungan antara dua
sifat (use dan exchange) dari komoditas itu. Marx,
mulanya sedikit sekali berbicara tentang used value
yang menjadi kunci dari realitas kapitalis itu.
Komoditas berguna sejauh ia mengandung dua
elemen di atas, tetapi ia memilih komoditas sebagai
exchange value sebagai pendekatan memahami
kapitalisme. Exchange value yang ada dalam suatu
komoditas. Untuk suatu komoditas, masyarakat
tidak menukar dalam rasio yang berbeda, seperti
barter. Itulah sebabnya exchange value menjadi
pusat penelitian Marx menyangkut bagaimana
nilai komoditas ditentukan dan apa dasarnya. Dari
penelitiannya.
Marx menemukan bahwa prinsip yang
digunakan dalam masyarakat untuk mengatur dan
menetapkan rasio tukar adalah berdasar pada
kuantitas kerja buruh yang terkandung dalam
komoditas, termasuk tenaga yang dimasukkan
melalui mesin produksi. Analisis Marx yang
akhirnya melahirkan anggapan bahwa faktor buruh
adalah penentu exchange value itu merupakan
dasar dari the labor theory of value. Penemuan
terpenting Marx tentang nilai adalah bagaimana
menggunakan buruh menjadi alat untuk mengukur
nilai suatu komoditas. Bagi Marx, individu buruh
dapat dihitung dan untuk menghitungnya
diperlukan suatu model relasi yang dikenal dengan
mode of production kapitalisme.
Atas dasar analisis itu Marx menilai bahwa
kapitalisme adalah sistem sosio-ekonomi yang
dibangun untuk mencari keuntungan yang didapat
dari proses produksi., bukan dari memeras, riba
ataupun mencuri secara langsung, tetapi dengan
cara mengorganisasikan mekanisme produksi
secara tertentu, sehingga mengurangi biaya
produksi seminimum mungkin, atau melalui suatu
mode of production tertentu. Keuntungan ini
mendorong terciptanya suatu kekuatan untuk
menyeragamkan buruh dan menguasainya. Mode
of production kapitalis menciptakan pasar untuk
tenaga kerja, ketimbang hubungan manusia-tuan
secara tradisional.
Marx menunjukkan adanya kejahatan dalam
proses itu karena adanya pemisahan antara petani
dan pengrajin yang tak memiliki lahan itu dipaksa
untuk menjual tenaga kerja mereka dalam bentuk
yang dibutuhkan oleh suatu kelas sosial yang
sekarang memiliki pertanian dan pabrik. Mereka
terpaksa menjual tenaganya karena demi
kelangsungan hidupnya. Dengan cara itu kapitalis
melahirkan bentuk baru buruh yang dapat
diperjualbelikan seperti komoditi. Buruh yang
dihomogenkan itu disebut labour power (tenaga
kerja), yang asalnya dari buruh heterogen pada
masa mode pre-capitalist.
Teori labour value bagi Marx tidak hanya
dipakai sebagai alat analisis terhadap exchange
rasio, tetapi justru digunakan sebagai sarana untuk
memahami problem ketidakadilan dalam sistem
kapitalisme, yakni hubungan sosial dalam
masyarakat kapitalis. Sesuatu yang oleh pemikir
sosial lain tidak dianggap penting—unit kekayaan
yang disebut komoditi—oleh Marx disebut sebagai
hieroglyphic. Komoditas, baginya, tidak hanya
H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis
77
dilihat sebagai benda, tetapi tersembunyi
hubungan sosial. Sifat komoditas itu mengaburkan
persepsi orang tentang realitas kapitalis, yang oleh
Marx disebut fetishism of commodities. Artinya,
suatu komoditi dapat ditukar seolah-olah hanya
karena fisiknya, padahal nilai tukar suatu komoditas
justru terletak pada adanya hubungan sosial
dengan tenaga kerja yang terkandung di dalamnya.
Melalui konsep fetishism itu difahami bahwa suatu
komoditas mengandung dan membungkus
persoalan kapitalisme. Ekonom umumnya
berpendapat bahwa kekayaan yang datang dari
tanah, buruh, dan modal, merupakan hadiah dan
sumbangan karena usaha memproduksi barang
yang bermanfaat. Padahal, tanah, dan modal,
seperti buruh dan hubungan sosial, adalah hak
yang disepakati oleh pemilik tanah dan modal untuk
mengklaim produksi atas nama sumbangan atas
output yang dibuat oleh sumber dan modal
‘mereka’. Kerancuan tentang hak sosial ini, bagi
Marx, dianggap sebagai bagian utama dari fetishism dalam kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme, transfer kekayaan
dari mereka yang memproduksi secara langsung
(buruh) kepada ,mereka yang tidak ikut
memproduksi (kapitalis) dikaji secara ilmiah. Begitu
tanah, buruh, dan modal muncul sebagai ‘sesuatu’
yang menghasilkan kekayaan sosial, konflik muncul
dalam hubungan sosial, karena mereka yang
bekerja (kelas pekerja) mengklaim hak
kepemilikannya. Elemen fetishism dalam komoditas
ini mengerikan karena ia merupakan bibit kekuatan
untuk konflik dan bukan kerjasama. Marx membuat
komoditas menjadi sarana wawasan sosial-analisis
sejati terhadap keseluruhan sistem kapitalisme.
Selanjutnya Marx juga menganalisis commodity labour power-nya sendiri. Baginya, komoditas
mempunyai dua aspek , yakni aspek kegunaan dan
aspek perdagangan (exchangeability). Namun,
Marx menemukan kandungan labour power di
dalamnya yang membuat komoditas mengandung
used value yang menghasilkan ‘surplus’. Use value
terdapat dalam produk kapitalis yang diproduksi
buruh. `Salah satu syarat menjual’tenaga kerja’
sebagai komoditas adalah buruh tak ada hak untuk
mengklaim produk yang diciptakannya. Maka itu,
78
mobil yang dihasilkan pabrik menjadi milik pabrik
yang memiliki ‘budak’, yakni buruh dan manajemen.
Marx menemukan rahasia utama kapitalisme bahwa
profit sudah diperoleh sebelum produk dilempar
ke pasar, yakni profit diperoleh bukan karena
perdagangan, tetapi justru sebelum komoditas
dijual, yakni ketika diproduksi. Sumber keuntungan
itu dicuri dari surplus value, yakni perbedaan nilai
antara tenaga kerja yang dijual buruh dan nilai
produk pada waktu akhir produksi.
Dari uraian ringkas tentang konsep Marxisme
di atas, jelas tampak bahwa sistem kapitasme
ditandai oleh hubungan sosial yang didasarkan
pada eksploitasi dan dominasi kelas pemilik modal
(penguasa) tehadap kelompok pekerja. Sistem
yang menekan kelas pekerja seperti ini, menurut
Marx, secara perlahan akan membangkitan
kesadaran revolusionar kelas pekerja untuk
kemudian menciptakan perubahan sosial-revolusi
menuju tatanan masyarakat baru tanpa eksploitasi.
Pada saat ini, kajian tentang teori konflik
(Marxisme) jauh sudah berkembang. Bila dulu
(Marxisme strukturalis) upaya menciptakan
perubahan sosial lebih difokuskan pada reduksi
dan perubahan struktur relasi ekonomi, maka pada
analisis Marxisme Posstrukturalis juga melibatkan
aspek lain, seperti kebudayaan, hegemoni ideologi,
pendidikan, diskursus, serta relasi gender.
Pendekatan post-structuralist inilah yang
kemudian dikenal sebagai analisis dialektika antireduksionis dan anti-esensialis yang
dikembangkan oleh Althuser (Fakih, 2003).
Pengembangan lebih jauh teori konflik
berbasiskan Marxisme,
di antaranya
dikembangkan oleh Adorno, Horkheimer, dan
Marcuse ( 1964), dan kemudian Habermas (1979).
Adorno dkk yang dikenal sebagai kelompok kritis
dari Mazhab Frankfurt menyadari bahwa kelemahan
teori Marxisme adalah model ekonomi mereka yang
deterministik. Hal ini harus diperbaiki dengan
melakukan analisis struktur dan sosial yang lebih
integratif, sehingga mampu menumbuhkan
masyarakat melakukan transformasi lingkungan
dan membuat pilihan-pilihan yang rasional.
Sementara Jurgen Habermas menekankan
pentingnya komunikasi sebagai “a tool of analyM EDIATOR, Vol. 6
No.1
Juni 2005
Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005
sis” dalam memahami relasi dan struktur sosial
dunia modern. Komunikasi dipandang sebagai
kunci bagi emansipasi sosial. Masyarakat masa kini
menjadi tertekan dan tidak adil karena komunikasi
sosial mengalami distorsi. Ketika komunikasi
terdistorsi, maka kebenaran menjadi tertutup. Pada
masyarakat yang demikian, komunikasi tidak lagi
menjadi sarana untuk berbagi dan mengungkap
kebenaran, melainkan sebagai sarana untuk
menyuarakan dan mempertahankan berbagai
kepentingan pihak penguasa. Mengubah
masyarakat berarti mengubah relasi saluran
komunikasi menjadi emansipatoris dan memberikan
hak masyarakat untuk menyuarakan diri mereka.
3. Evaluasi terhadap Teori Konflik
Marxian
Sepanjang lima dasawarsa terakhir telah
banyak evaluasi dilakukan para ahli terhadap teori
konflik, khususnya yang berwarna Marxian.
Evaluasi tersebut mencakup pujian sekaligus
cercaan terhadap teori ini dalam mendekati masalah
perubahan sosial. Pujian terhadap teori ini, di
antaranya, disampaikan Churton (2000), Marshall
(1998), Ritzer dan Goodman (2003). Rangkuman
pujian tersebut diantaranya menyebutkan
bahwa ;
(1) Marx berhasil menyajikan kelemahan mendasar
dari sistem ekonomi/masyarakat kapitalis dan
menunjukkan bagaimana struktur sosial
berfungsi sebagai penguat ketidakadilan
sosial yang menganga di masyarakat.
(2) Marx menegaskan bahwa penyangga utama
sistem kapitalis adalah buruh. Tanpa mereka,
sistem kapitalis tidak akan dapat bertahan.
Serikat pekerja (persatuan buruh) dan
kehendak bersama akan mampu melumpuhkan
para pemilik modal dan arena akan dapat
menciptakan perubahan sosial yang
powerfull. Wahana
tersebut akan
menciptakan kesadaran, pengetahuan yang
akan membimbing mereka menuju kebebasan
atau hidup tanpa eksploitasi.
(3) Perhatian Marx pada emansipasi manusia
dinilai memberikan kontribusi besar dalam
memahami perubahan sosial. Sebelum
pemikiran Marx muncul, kebanyakan ilmuwan
sosial lebih tertarik berbicara tentang konsep
status quo ketimbang menganalisis dan
memperbaiki keberadaan anggota-anggota
masyarakat (khususnya kelas pekerja) secara
keseluruhan.
(4) Dalam mengadopsi pendekatan dialektika,
Marx berhasil menyediakan alternatif
pemikiran tentang hubungan antarberbagai
aspek dunia sosial dan saling keterkaitannya
yang kemudian turut memengaruhi perubahan
masyarakat. Dalam hal ini Marx
menunjukkan bahwa hubungan sosial memiliki
kekuatan yang sama dengan struktur sosial
dalam menganalisis kehidupan dan perubahan
sosial masyarakat.
(5) Marx juga berhasil memasyarakatkan berbagai
konsep yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan menginterpretasi kondisi
masyarakat secara lebih kaya dan argumentatif.
Beberapa contoh konsep tersebut di
antaranya pasar bebas ekonomi, Commodity
Fetishism, reifikasi, ideologi atau alienasi, dan
surplus value.
Sementara terkait, dengan keterbatasan teori
ini dalam menangkap realitas dan mengonstruksi
cara alternatif dalam melakukan perubahan sosial,
terdapat beberapa kritik yang, di antaranya,
disampaikan, Ritzer dan Goodman (2003); Fakih
(2003); Churton (2000), dan Mouzelis (1992). Secara
keseluruhan kritik mereka dapat dirangkum sebagai
berikut;
(1) Kritik yang paling umum, biasanya berkaitan
dengan ramalan Marx tentang terjadinya
revolusi sosial di negara-negara kapitalis,
yang hingga kini tidak terbukti. Hal ini benarbenar membuat keandalan teori konflik Marxian dipertanyakan berkepanjangan.
(2) Terkait dengan hal di atas, para kritikus teori
konflik juga menyatakan bahwa Marx gagal
memahami fleksibilitas sistem kapitalis, di
mana kelompok pemilik modal (borjuis) dapat
membuat konsesi-konsesi dengan kelompok
masyarakat pekerja (proletar), seperti
menawarkan kenaikan gaji, memberikan hak
suara, mengizinkan pemilikan swasta,
H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis
79
menawarkan kepemilikan perusahaan lewat
penjualan saham dan sebagainya tanpa perlu
menghapuskan kekuasaan pemilik modal.
(3) Ritzer (2003) memandang Marx menjadi terlalu
radikal. Hal ini membuat para pemikir
konservatif dan liberal memojokkan dia
sebagai ‘orang fanatik berdarah dingin’.
(4) Mouzelis (1992) berpendapat bahwa teori
konflik, Marx memiliki bias ideologis. Di satu
sisi, ia melandaskan kritiknya pada aspek
ekonomi sebagai dimensi struktur sosial yang
penting, di sisi lain Marx menegaskan
pendirian politiknya yang menekankan
pentingnya desentralisasi politik yang pada
akhirnya
membuat
Marx
gagal
mengidentifikasi nilai pluralitas politik yang
menekankan hak-hak individu. Padahal, hak
inilah yang, katanya, ingin diperjuangkan oleh
Marx (Fakih, 2003).
(5) Teori Marxis juga dikritik habis-habisan karena
runtuhnya negara-negara terpenting
pengusung pendekatan Marxisme dan
komunisme seperti Uni Soviet dan negaranegara Eropa Timur lainnya. Di sini, Marxisme
gagal menjelaskan mengapa kehancuran
tersebut terjadi dan mengapa kemudian
negara-negara yang semula mengusung
ekonomi Marxisme tersebut kemudian
berpindah menjadi pendukung setia sistem
ekonomi berorientasi kapitalis. “Communism,”
ujar Churton (2000), “menjadi utopia Karl Marx
dan para pengikutnya, yang semula
berkehendak menyediakan ruang bagi
aktualisasi segenap potensi dan kreativitas
namun nyatanya gagal dibuktikan.”
4. Penutup
Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap
pendekatan fungsionalisme struktural dalam
menyoroti perubahan sosial.
Menurut para teoretisi konflik, adanya konflik
merupakan fenomena kehidupan sosial yang normal, bahkan penting untuk mencapai perubahan
sosial.
Persfektif konflik yang berakar pada Marxisme
80
tidak hanya teori kritik terhadap kapitalisme tetapi
juga terhadap perubahan sosial
Terhadap teori konflik, khususnya yang
berwarna Marxian, terdapat pujian dan sekaligus
cercaan. Marx berhasil menyajikan kelemahan
mendasar dari sistem ekonomi/masyarakat kapitalis
dan menunjukkan bagaimana struktur sosial
berfungsi sebagai penguat ketidakadilan sosial
yang menganga di masyarakat. Sedangkan kritikan
yang paling umum berkaitan dengan ramalan Marx
tentang terjadinya revolusi sosial di negara kapitalis
yang hingga kini tidak terbukti.
Konflik dalam masyarakat dapat membawa
kepada keadaan yang baik, karena mendorong
perubahan masyarakat, namun dapat pula
membawa kepada keadaan yang buruk bila konflik
tersebut berkelanjutan tanpa mengambil solusi
yang dianggap bermanfaat bagi semua fihak
sebagai akhir dari konflik.Tidak hanya dicari sebabsebab konflik, tetapi juga bagaimana cara
mengatasinya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Oekan S. 2004. Handout Teori-Teori
Perubahan Sosial. PPS-Unpad.
Churton, Mel. 2000. Theory and Method. London:
Macmillan Press Ltd.
Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori
Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Haferkamp, Hans & Neil J. Smelser. 1992. Social
Change and Modernity. Berkeley and
Los Angeles, CA: University of California
Press, Ltd.
Judistira K. Garna. 1992. Teori-teori Perubahan
Sosial, Bandung: Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran.
________. 1996. Ilmu-ilmu Sosial –DasarKonsep-Posisi. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
M EDIATOR, Vol. 6
No.1
Juni 2005
Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005
Kunczik, Michael. 1991. Communication and Social Change. Bonn: Freidrich-Ebert-Stiftung.
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang
Perubahan Sosial. alih bahasa Alimandan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Marshall, Gordon. 1998. Dictionary of Sociology.
Oxford-London: University of Oxford.
Martindale, Don. 1960 The Nature and Types of
Sociological Theory. Massachusetts: The
Riverside Press Cambridge
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2003. Teori
Sosiologi Modern. Alih bahasaAlimandan.
Jakarta: Prenada media
Susanto, Astrid S. 1983. Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta.
H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis
81
82
M EDIATOR, Vol. 6
No.1
Juni 2005
Download