Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005 Teori Konflik dan Perubahan Sosial: Sebuah Analisis Kritis H. A. Saefudin ABSTRACT Conflict theory is born as reaction toward structural functional approach for social change analysis. This theory gained its popularity in 1960s, rooted in Max Weber concept of power conflict and Karl Marx’ theses focused on economy conflict. This article emphasized Marx concept concerning social change which is frequently used in conflict argumentation. Although widely used for social analysis, Marx theory has weaknesses, too. Ritzer and Goodman described some critics toward Marxian approach: (1) failed to prove social revolution; (2) unable to comprehend capitalist system flexibilities; (3) too radical; (4) ideological-biased; and (5) unable to prove the success of Marxist-Communist states. Kata kunci: teori konflik, teori kritis, perubahan sosial 1. Pendahuluan Dalam pandangan filosofis Heraklitos, hidup dimaknai sebagai perubahan. “Panta rhei kai ouden menei,”demikian kata Heraklitos. “Tiada yang tetap, semuanya mengalir, semuanya berubah” (Bagus, 1996). Pada berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia, ilmuwan sosial melihat perubahan (sosial) sebagai fenomena tak terhindarkan (unavoidable phenomena). Adanya gejala-gejala seperti depersonalisasi, frustrasi dan apati; pendapat mengenai norma susila yang sebelumnya dianggap benar; perbedaan pendapat tentang sikap dan nilai yang sesuai untuk kehidupan yang lebih manusiawi; atau kenyataan generation gap, merupakan beberapa contoh yang dengan mudah diidentifikasi. Merujuk pada Schramm dan Lerner (1978) sebab-sebab yang mendorong terjadinya perubahan juga sangat beragam. Apapun penyebabnya dalam konteks kehidupan sosial, terjadinya “perubahan” dapat mengarah pada dua keadaan, yakni perubahan ke arah yang lebih baik (progress) dan perubahan ke arah yang lebih buruk (regress). Karena sifatnya yang demikian maka tidak mengherankan bila sebagian besar definisi perubahan sosial cenderung bersifat netral dan luas. Wilbert Moore ( Lauer, 2001), misalnya, mendefinisikan perubahan sosial sebagai “ perubahan penting dari struktur sosial.” Fairchild (Lauer, 2001) mengartikan perubahan sosial sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial serta “ setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku”. Abdullah (2004) mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan struktur sosial dan pola budaya yang signifikan dalam jangka waktu tertentu. Sementara Rogers (1978) mengaitkan perubahan dengan konsep pembangunan. Di sini, perubahan H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis 75 sosial diartikan sebagai inti dari pembangunan yang bersifat transformatif dan partisipatoris. Ilmuwan sosial lainnya bahkan mengaitkan konsep perubahan sosial dengan westernisasi, modernisasi, industrialisasi, pertumbuhan (growth) dan evolusi sosio-kultural (Nasution, 1987) Sebagai sebuah konsep akademis yang telah diterima di lingkungan komunitas ilmiah, fenomena perubahan sosial menjadi obyek kajian yang paling menarik di lingkungan ilmu sosial sepanjang empat dasawarsa terakhir dan telah dikaji dari berbagai sudut pandang (perspektif) dan disiplin ilmu. Beberapa perspektif yang muncul dalam kaitan ini, menurut Churton (1995), di antaranya perspektif konflik, perspektif konsensus (structural functionalism), perspektif tindakan sosial ( social psycology). Sementara, Marshall (1998) mengelompokkan pendekatan terhadap perubahan sosial ke dalam functionalist tradition, evolusionary perspektives, dan conflic theory tradition. Tulisan ini secara khusus mencoba mengkaji berbagai pandangan dan asumsi yang mendasari teori konflik dalam manganalisis fenomena perubahan sosial. 2. Perspektif Teori Konflik tentang Perubahan Sosial Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan fungsionalisasi struktural dalam menyoroti perubahan sosial. Teori yang memperoleh popularitasnya tahun 1960-an ini berakar pada konsep Max Weber tentang konflik kekuasaan (conflict about power) dan pemikiran Karl Mark tentang konflik ekonomi (Marshall, 1998). Para teoretisi konflik percaya bahwa adanya konflik merupakan fenomena kehidupan sosial yang normal, bahkan penting untuk mencapai perubahan. Sebuah perubahan seringkali baru muncul ketika masyarakat memaksakannya harus terjadi (lewat pertentangan) ketimbang sebagai kesepakatan dan kehendak tulus kelompok yang memiliki kekuasaan (Rex, 1961). Karena itu, adanya konflik menjadi penting untuk memacu dinamika sosial. Marxis dan teori konflik pada dasarnya memiliki asumsi dasar yang sama dengan 76 fungsionalisme dalam memandang perubahan sosial. Menurut Loockwood (Marshall, 1998) keduanya memandang berbagai struktur dan sistem yang ada di masyarakat sebagai keniscayaan. Bedanya, penganut teori konflik khususnya pengikut Mark memandang bahwa manusia memiliki kemampusn untuk bertindak, kemampuan mengubah situasi melalui tindakan politik. Dengan demikian, teori ini bersifat lebih proaktif dalam memahami dan menciptakan perubahan sosial. Para teoretisi konflik (bukan hanya Marxis) pada umumnya memandang perubahan sosial sebagai hasil dari pertentangan kelas, ras, dan kelompok lainnya (untuk menarik manfaat tertentu) ketimbang berdasarkan konsensus. Teori konflik juga berbeda dengan teori fungsionalisasi sruktural dalam hal memahami mekanisme perubahan sosial. Menurut teori struktural fungsional perubahan merupakan kesepakatan bersama yang harus dilaksanakan secara terstruktur dan perlahan-lahan. Sementara, teori konflik berpendapat bahwa kelompokkelompok sosial yang ada dibangun , dikontrol, dan dipelihara berdasarkan cara-cara manipulatif kelompok dominan. Untuk melepaskan diri dari dominasi tersebut maka cara yang dilakukan harus di luar pola konsensus yang ada serta berdasarkan cara-cara konfrontatif dari kelompok subordinate terhadap kelas dominan. Tulisan ini tidak berpretensi mengupas teori konflik dalam keseluruhan dimensinya, karena itu pembahasan tentang teori konflik ini akan lebih difokuskan pada konsep Marx tentang perubahan sosial. Alasannya, sederhana saja, karena menurut Lauer (2001), Fakih (2003), dan Churton (2000). Marx-lah yang paling sering digunakan sebagai dasar argumentasi teori konflik. Perspektif konflik yang berakar pada Marxisme pada dasarnya tidak hanya teori kritik terhadap kapitalisme yang memokuskan pada pemahaman mode of production yang dinamakan kapitalisme , tetapi juga teori tentang perubahan sosial. (Fakih, 2003). Semangat yang mendasari Karl Mark dalam melakukan kritik terhadap kapitalisme, ujar Fakih lebih lajut, pada dasarnya berangkat dari filsafat moral keadilan dan cita-cita M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005 Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005 untuk perubahan masyarakat menuju keadilan sosial ekonomi. Dalam karyanya berjudul Das capital pada dasarnya Marx menuturkan tentang kasus bagaimana proses ketidakadilan terjadi dalam aspek ekonomi. Analisis Marx tertuju pada inti ketidakadilan yang tersembunyi dari hubungan masyarakat dalam sistem kapitalisme. Pandangan Marx tentang kapitalisme intinya adalah bagaimana eksploitasi dan ketidakadilan struktural dapat dijelaskan. Oleh karena itu analisis Marx dalam jilid pertama Das Capital sama sekali tidak dimulai dari uraian sejarah kapitalisme, tetapi justru mulai dari hal yang tidak mengesankan dari sistem kapitalisme, yakni tentang komoditas. Pilihan komoditas sebagai pintu masuk untuk memahami keseluruhan sistem kapitalisme , dan bukan analisis bisnis, atau pasar sebagai institusi sosial, yang paling mewarnai kehidupan ekonomi kapitalis memang mempunyai alasan tersendiri. Pilihan ini sengaja dipakai untuk memudahkan memahami dasar ketidakadilan kapitalisme. Bagi Marx, pada komoditaslah tersimpan rahasia ketidakadilan kapitalisme. Menurut Marx, Komoditas selain memiliki sifat kegunaan atau used value, juga mengandung sifat exchange value, yakni sifat untuk diperjualbelikan. Lama sebelum Marx, analisis dan teori ekonomi tidak berhasil menjelaskan, hubungan antara dua sifat (use dan exchange) dari komoditas itu. Marx, mulanya sedikit sekali berbicara tentang used value yang menjadi kunci dari realitas kapitalis itu. Komoditas berguna sejauh ia mengandung dua elemen di atas, tetapi ia memilih komoditas sebagai exchange value sebagai pendekatan memahami kapitalisme. Exchange value yang ada dalam suatu komoditas. Untuk suatu komoditas, masyarakat tidak menukar dalam rasio yang berbeda, seperti barter. Itulah sebabnya exchange value menjadi pusat penelitian Marx menyangkut bagaimana nilai komoditas ditentukan dan apa dasarnya. Dari penelitiannya. Marx menemukan bahwa prinsip yang digunakan dalam masyarakat untuk mengatur dan menetapkan rasio tukar adalah berdasar pada kuantitas kerja buruh yang terkandung dalam komoditas, termasuk tenaga yang dimasukkan melalui mesin produksi. Analisis Marx yang akhirnya melahirkan anggapan bahwa faktor buruh adalah penentu exchange value itu merupakan dasar dari the labor theory of value. Penemuan terpenting Marx tentang nilai adalah bagaimana menggunakan buruh menjadi alat untuk mengukur nilai suatu komoditas. Bagi Marx, individu buruh dapat dihitung dan untuk menghitungnya diperlukan suatu model relasi yang dikenal dengan mode of production kapitalisme. Atas dasar analisis itu Marx menilai bahwa kapitalisme adalah sistem sosio-ekonomi yang dibangun untuk mencari keuntungan yang didapat dari proses produksi., bukan dari memeras, riba ataupun mencuri secara langsung, tetapi dengan cara mengorganisasikan mekanisme produksi secara tertentu, sehingga mengurangi biaya produksi seminimum mungkin, atau melalui suatu mode of production tertentu. Keuntungan ini mendorong terciptanya suatu kekuatan untuk menyeragamkan buruh dan menguasainya. Mode of production kapitalis menciptakan pasar untuk tenaga kerja, ketimbang hubungan manusia-tuan secara tradisional. Marx menunjukkan adanya kejahatan dalam proses itu karena adanya pemisahan antara petani dan pengrajin yang tak memiliki lahan itu dipaksa untuk menjual tenaga kerja mereka dalam bentuk yang dibutuhkan oleh suatu kelas sosial yang sekarang memiliki pertanian dan pabrik. Mereka terpaksa menjual tenaganya karena demi kelangsungan hidupnya. Dengan cara itu kapitalis melahirkan bentuk baru buruh yang dapat diperjualbelikan seperti komoditi. Buruh yang dihomogenkan itu disebut labour power (tenaga kerja), yang asalnya dari buruh heterogen pada masa mode pre-capitalist. Teori labour value bagi Marx tidak hanya dipakai sebagai alat analisis terhadap exchange rasio, tetapi justru digunakan sebagai sarana untuk memahami problem ketidakadilan dalam sistem kapitalisme, yakni hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis. Sesuatu yang oleh pemikir sosial lain tidak dianggap penting—unit kekayaan yang disebut komoditi—oleh Marx disebut sebagai hieroglyphic. Komoditas, baginya, tidak hanya H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis 77 dilihat sebagai benda, tetapi tersembunyi hubungan sosial. Sifat komoditas itu mengaburkan persepsi orang tentang realitas kapitalis, yang oleh Marx disebut fetishism of commodities. Artinya, suatu komoditi dapat ditukar seolah-olah hanya karena fisiknya, padahal nilai tukar suatu komoditas justru terletak pada adanya hubungan sosial dengan tenaga kerja yang terkandung di dalamnya. Melalui konsep fetishism itu difahami bahwa suatu komoditas mengandung dan membungkus persoalan kapitalisme. Ekonom umumnya berpendapat bahwa kekayaan yang datang dari tanah, buruh, dan modal, merupakan hadiah dan sumbangan karena usaha memproduksi barang yang bermanfaat. Padahal, tanah, dan modal, seperti buruh dan hubungan sosial, adalah hak yang disepakati oleh pemilik tanah dan modal untuk mengklaim produksi atas nama sumbangan atas output yang dibuat oleh sumber dan modal ‘mereka’. Kerancuan tentang hak sosial ini, bagi Marx, dianggap sebagai bagian utama dari fetishism dalam kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, transfer kekayaan dari mereka yang memproduksi secara langsung (buruh) kepada ,mereka yang tidak ikut memproduksi (kapitalis) dikaji secara ilmiah. Begitu tanah, buruh, dan modal muncul sebagai ‘sesuatu’ yang menghasilkan kekayaan sosial, konflik muncul dalam hubungan sosial, karena mereka yang bekerja (kelas pekerja) mengklaim hak kepemilikannya. Elemen fetishism dalam komoditas ini mengerikan karena ia merupakan bibit kekuatan untuk konflik dan bukan kerjasama. Marx membuat komoditas menjadi sarana wawasan sosial-analisis sejati terhadap keseluruhan sistem kapitalisme. Selanjutnya Marx juga menganalisis commodity labour power-nya sendiri. Baginya, komoditas mempunyai dua aspek , yakni aspek kegunaan dan aspek perdagangan (exchangeability). Namun, Marx menemukan kandungan labour power di dalamnya yang membuat komoditas mengandung used value yang menghasilkan ‘surplus’. Use value terdapat dalam produk kapitalis yang diproduksi buruh. `Salah satu syarat menjual’tenaga kerja’ sebagai komoditas adalah buruh tak ada hak untuk mengklaim produk yang diciptakannya. Maka itu, 78 mobil yang dihasilkan pabrik menjadi milik pabrik yang memiliki ‘budak’, yakni buruh dan manajemen. Marx menemukan rahasia utama kapitalisme bahwa profit sudah diperoleh sebelum produk dilempar ke pasar, yakni profit diperoleh bukan karena perdagangan, tetapi justru sebelum komoditas dijual, yakni ketika diproduksi. Sumber keuntungan itu dicuri dari surplus value, yakni perbedaan nilai antara tenaga kerja yang dijual buruh dan nilai produk pada waktu akhir produksi. Dari uraian ringkas tentang konsep Marxisme di atas, jelas tampak bahwa sistem kapitasme ditandai oleh hubungan sosial yang didasarkan pada eksploitasi dan dominasi kelas pemilik modal (penguasa) tehadap kelompok pekerja. Sistem yang menekan kelas pekerja seperti ini, menurut Marx, secara perlahan akan membangkitan kesadaran revolusionar kelas pekerja untuk kemudian menciptakan perubahan sosial-revolusi menuju tatanan masyarakat baru tanpa eksploitasi. Pada saat ini, kajian tentang teori konflik (Marxisme) jauh sudah berkembang. Bila dulu (Marxisme strukturalis) upaya menciptakan perubahan sosial lebih difokuskan pada reduksi dan perubahan struktur relasi ekonomi, maka pada analisis Marxisme Posstrukturalis juga melibatkan aspek lain, seperti kebudayaan, hegemoni ideologi, pendidikan, diskursus, serta relasi gender. Pendekatan post-structuralist inilah yang kemudian dikenal sebagai analisis dialektika antireduksionis dan anti-esensialis yang dikembangkan oleh Althuser (Fakih, 2003). Pengembangan lebih jauh teori konflik berbasiskan Marxisme, di antaranya dikembangkan oleh Adorno, Horkheimer, dan Marcuse ( 1964), dan kemudian Habermas (1979). Adorno dkk yang dikenal sebagai kelompok kritis dari Mazhab Frankfurt menyadari bahwa kelemahan teori Marxisme adalah model ekonomi mereka yang deterministik. Hal ini harus diperbaiki dengan melakukan analisis struktur dan sosial yang lebih integratif, sehingga mampu menumbuhkan masyarakat melakukan transformasi lingkungan dan membuat pilihan-pilihan yang rasional. Sementara Jurgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi sebagai “a tool of analyM EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005 Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005 sis” dalam memahami relasi dan struktur sosial dunia modern. Komunikasi dipandang sebagai kunci bagi emansipasi sosial. Masyarakat masa kini menjadi tertekan dan tidak adil karena komunikasi sosial mengalami distorsi. Ketika komunikasi terdistorsi, maka kebenaran menjadi tertutup. Pada masyarakat yang demikian, komunikasi tidak lagi menjadi sarana untuk berbagi dan mengungkap kebenaran, melainkan sebagai sarana untuk menyuarakan dan mempertahankan berbagai kepentingan pihak penguasa. Mengubah masyarakat berarti mengubah relasi saluran komunikasi menjadi emansipatoris dan memberikan hak masyarakat untuk menyuarakan diri mereka. 3. Evaluasi terhadap Teori Konflik Marxian Sepanjang lima dasawarsa terakhir telah banyak evaluasi dilakukan para ahli terhadap teori konflik, khususnya yang berwarna Marxian. Evaluasi tersebut mencakup pujian sekaligus cercaan terhadap teori ini dalam mendekati masalah perubahan sosial. Pujian terhadap teori ini, di antaranya, disampaikan Churton (2000), Marshall (1998), Ritzer dan Goodman (2003). Rangkuman pujian tersebut diantaranya menyebutkan bahwa ; (1) Marx berhasil menyajikan kelemahan mendasar dari sistem ekonomi/masyarakat kapitalis dan menunjukkan bagaimana struktur sosial berfungsi sebagai penguat ketidakadilan sosial yang menganga di masyarakat. (2) Marx menegaskan bahwa penyangga utama sistem kapitalis adalah buruh. Tanpa mereka, sistem kapitalis tidak akan dapat bertahan. Serikat pekerja (persatuan buruh) dan kehendak bersama akan mampu melumpuhkan para pemilik modal dan arena akan dapat menciptakan perubahan sosial yang powerfull. Wahana tersebut akan menciptakan kesadaran, pengetahuan yang akan membimbing mereka menuju kebebasan atau hidup tanpa eksploitasi. (3) Perhatian Marx pada emansipasi manusia dinilai memberikan kontribusi besar dalam memahami perubahan sosial. Sebelum pemikiran Marx muncul, kebanyakan ilmuwan sosial lebih tertarik berbicara tentang konsep status quo ketimbang menganalisis dan memperbaiki keberadaan anggota-anggota masyarakat (khususnya kelas pekerja) secara keseluruhan. (4) Dalam mengadopsi pendekatan dialektika, Marx berhasil menyediakan alternatif pemikiran tentang hubungan antarberbagai aspek dunia sosial dan saling keterkaitannya yang kemudian turut memengaruhi perubahan masyarakat. Dalam hal ini Marx menunjukkan bahwa hubungan sosial memiliki kekuatan yang sama dengan struktur sosial dalam menganalisis kehidupan dan perubahan sosial masyarakat. (5) Marx juga berhasil memasyarakatkan berbagai konsep yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menginterpretasi kondisi masyarakat secara lebih kaya dan argumentatif. Beberapa contoh konsep tersebut di antaranya pasar bebas ekonomi, Commodity Fetishism, reifikasi, ideologi atau alienasi, dan surplus value. Sementara terkait, dengan keterbatasan teori ini dalam menangkap realitas dan mengonstruksi cara alternatif dalam melakukan perubahan sosial, terdapat beberapa kritik yang, di antaranya, disampaikan, Ritzer dan Goodman (2003); Fakih (2003); Churton (2000), dan Mouzelis (1992). Secara keseluruhan kritik mereka dapat dirangkum sebagai berikut; (1) Kritik yang paling umum, biasanya berkaitan dengan ramalan Marx tentang terjadinya revolusi sosial di negara-negara kapitalis, yang hingga kini tidak terbukti. Hal ini benarbenar membuat keandalan teori konflik Marxian dipertanyakan berkepanjangan. (2) Terkait dengan hal di atas, para kritikus teori konflik juga menyatakan bahwa Marx gagal memahami fleksibilitas sistem kapitalis, di mana kelompok pemilik modal (borjuis) dapat membuat konsesi-konsesi dengan kelompok masyarakat pekerja (proletar), seperti menawarkan kenaikan gaji, memberikan hak suara, mengizinkan pemilikan swasta, H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis 79 menawarkan kepemilikan perusahaan lewat penjualan saham dan sebagainya tanpa perlu menghapuskan kekuasaan pemilik modal. (3) Ritzer (2003) memandang Marx menjadi terlalu radikal. Hal ini membuat para pemikir konservatif dan liberal memojokkan dia sebagai ‘orang fanatik berdarah dingin’. (4) Mouzelis (1992) berpendapat bahwa teori konflik, Marx memiliki bias ideologis. Di satu sisi, ia melandaskan kritiknya pada aspek ekonomi sebagai dimensi struktur sosial yang penting, di sisi lain Marx menegaskan pendirian politiknya yang menekankan pentingnya desentralisasi politik yang pada akhirnya membuat Marx gagal mengidentifikasi nilai pluralitas politik yang menekankan hak-hak individu. Padahal, hak inilah yang, katanya, ingin diperjuangkan oleh Marx (Fakih, 2003). (5) Teori Marxis juga dikritik habis-habisan karena runtuhnya negara-negara terpenting pengusung pendekatan Marxisme dan komunisme seperti Uni Soviet dan negaranegara Eropa Timur lainnya. Di sini, Marxisme gagal menjelaskan mengapa kehancuran tersebut terjadi dan mengapa kemudian negara-negara yang semula mengusung ekonomi Marxisme tersebut kemudian berpindah menjadi pendukung setia sistem ekonomi berorientasi kapitalis. “Communism,” ujar Churton (2000), “menjadi utopia Karl Marx dan para pengikutnya, yang semula berkehendak menyediakan ruang bagi aktualisasi segenap potensi dan kreativitas namun nyatanya gagal dibuktikan.” 4. Penutup Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan fungsionalisme struktural dalam menyoroti perubahan sosial. Menurut para teoretisi konflik, adanya konflik merupakan fenomena kehidupan sosial yang normal, bahkan penting untuk mencapai perubahan sosial. Persfektif konflik yang berakar pada Marxisme 80 tidak hanya teori kritik terhadap kapitalisme tetapi juga terhadap perubahan sosial Terhadap teori konflik, khususnya yang berwarna Marxian, terdapat pujian dan sekaligus cercaan. Marx berhasil menyajikan kelemahan mendasar dari sistem ekonomi/masyarakat kapitalis dan menunjukkan bagaimana struktur sosial berfungsi sebagai penguat ketidakadilan sosial yang menganga di masyarakat. Sedangkan kritikan yang paling umum berkaitan dengan ramalan Marx tentang terjadinya revolusi sosial di negara kapitalis yang hingga kini tidak terbukti. Konflik dalam masyarakat dapat membawa kepada keadaan yang baik, karena mendorong perubahan masyarakat, namun dapat pula membawa kepada keadaan yang buruk bila konflik tersebut berkelanjutan tanpa mengambil solusi yang dianggap bermanfaat bagi semua fihak sebagai akhir dari konflik.Tidak hanya dicari sebabsebab konflik, tetapi juga bagaimana cara mengatasinya. Daftar Pustaka Abdullah, Oekan S. 2004. Handout Teori-Teori Perubahan Sosial. PPS-Unpad. Churton, Mel. 2000. Theory and Method. London: Macmillan Press Ltd. Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haferkamp, Hans & Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity. Berkeley and Los Angeles, CA: University of California Press, Ltd. Judistira K. Garna. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. ________. 1996. Ilmu-ilmu Sosial –DasarKonsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005 Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005 Kunczik, Michael. 1991. Communication and Social Change. Bonn: Freidrich-Ebert-Stiftung. Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. alih bahasa Alimandan. Jakarta: Rineka Cipta. Marshall, Gordon. 1998. Dictionary of Sociology. Oxford-London: University of Oxford. Martindale, Don. 1960 The Nature and Types of Sociological Theory. Massachusetts: The Riverside Press Cambridge Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Alih bahasaAlimandan. Jakarta: Prenada media Susanto, Astrid S. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta. H. A. Saefudin. Teori Konflik dan Perubahan Ssosial: Sebuah Analisis Kritis 81 82 M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005