BAB II Perdebatan Marxisme Eropa: Sebuah Titik Sejarah Sosial

advertisement
BAB II
Perdebatan Marxisme Eropa: Sebuah
Titik Sejarah Sosial-Demokrasi
Universitas Sumatera Utara
Kita akan dengan jelas mengatakan bahwa Karl Marx adalah bapak “Revolusi” kaum proletariat,
ketika kita membaca karya nya dan gerak filsafat nya yang berusaha mendobrak sebuah system
kapitalis yang mapan. Refleksi Marx tentang sebuah revolusi memang tidak datang begitu saja,
dialektika sejarah ini hadir di latar belakangi oleh dua aspek sejarah revolusi yang mempengaruhi
dunia. Pertama “Revolusi Perancis” pada 1789 yang menaklukan sebuah system monarki dan
budaya feudal di Eropa, dan yang kedua “Revolusi Industri” di Inggris pada akhir abad-18 secara
konsekuensi logis mempengaruhi segala aspek dari tatanan social, politik, dan ekonomi
khususnya masyarakat Eropa pada masa itu. Dalam rentang sejarah yang ada membuat Marx
meyakini bahwa “revolusi adalah lokomotif sejarah”.
Ide-ide Marx mulai banyak di perbincangkan pada era 1840’an sebagai acuan kritik terhadap dua
bentuk revolusi itu. Dimana juga pada waktu yang bersaman sedang terjadi sebuah krisis besar di
Eropa yang dikenal dengan Hungry forties (kelaparan 40’an). Marx meyakini dalam postulat
filsafat nya, bahwa revolusi adalah sebuah kepastian sejarah atas jawaban kondisi yang krisis.
Namun kedua revolusi itu berkerja secara “imanen”, sehingga definisi dari revolusi itu
melahirkan sebuah paradox pada kenyataan nya. Revolusi Perancis dengan semboyan nya
kebebasan yang melindungi hak-hak pribadi, ternyata melemahkan kebebasan disisi lain. Begitu
juga dengan Revolusi Industri, yang berupaya melakukan penaklukan terhadap alam dengan ilmu
penghetauan dan teknologi serta kesejahteraan yang tak berperi. Dalam kenyataan nya justru
kemiskinan terjadi akibat dari sebuah tindakan mereka yang ingin menemukan kesejahteraan.
Dalam hal ini Marx melihat sebuah paradoksial antara peryataan dan kenyataan dari dua bentuk
revolusi itu. Dalam kerangka itu Marx berupaya memformulasikan akar dari pemiskinan itu,
sehingga samapailah pada sebuah dialektis bahwa kaum proletar adalah basis kekuaan “material”
untuk melahirkan sebuah pembebasan terhadap manusia itu sendiri. Marx berangkat dari sebuah
Universitas Sumatera Utara
episode sejarah modern untuk memahami prinsip kebebasan, yang akan berpangkal pada sebuah
tatanan masyarakat kapitalis. Dalam kerangka berfikir ini Marx menolak kepemilikan pribadi,
yang cukup jelas kritik ini ditujukan kepada kaum liberalisme. Juga kepada kaum sosialis
“utopia”, Marx mengkritik bahwa mereka tidak pernah sadar terhadap gerak “sejarah” dan masih
mengakomodir kaum kapitalis yang status quo (Townshend, 2003: 1-2).
Karya Karl Marx yang cukup menggegerakan Eropa pada saat itu adalah The Communist
Manifesto, yang disambut dengan perdebatan sengit antara pendukung dan penentang ide-ide
Marx. Tulisan ini didorong dari pertemuan Brussels, yang menggabungkan dua organisasi buruh;
League of Just dan Correspondence Society. Disini adalah kumpulan buruh trampil pembangkang
yang berusaha menyatukan gerakan buruh pada saat itu. Manifesto ditulis dalam sebuah situasi
pergolakan ekonomi-politik di Eropa. Dampak dari Revolusi Industri di Eropa cukup
menyengsarakan borjuis kecil di desa (daerah agraris) dan proletariat dikota (pusat industry). Ini
adalaha sebuah fenomena dimana kemiskinan terus membayangi mayoritas masyarakat Eropa
pada masa itu. Kegagalan perdagangan di tahun 1847 semakin memperparah kondisi krisis Eropa,
dan kemudian dikenal dengan dasawarsa kelaparan (Hungry forties). Krisis ini terus melanda
seluruh Eropa sehingga akumulasi tuntutan terhadap demokrasi semakin besar, dimana
momentum ini dapat melahirkan sebuah Revolusi suatu saat.
Dengan pergulatan ide dalam The Communist Manifesto paling tidak kita bisa menggaris bawahi
argumentasi Marx tentang krisis itu. Pertama, Marx menolak konsep Negara bahwa Negara tidak
bisa mewujudkan kebebasan manusia, acuan nya berangkat dari thesis-thesis Hegel. Dalam
Critique of Hegel’s Philosophy of Right, Marx dengan jelas menolak konsep Negara yang
Universitas Sumatera Utara
ditawrkan Hegel bahwa Negara tidak mampu mewujudkan kepentingan umum dari masyarakat. 4
Negara akan melahirkan sebuah system birokrasi, yang hanya mengutamakan kepentingan
individu dan kelompok tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar yaitu masyarakat luas.
Dalam kondisi ini Marx berpendapat, bahwa Negara akan didominasi dengan kepentingan khusus
yaitu kepemilikan pribadi. Maka Negara hanya alat kaum capitalist untuk mengekploitasi kaum
proletar, dan mengambil sisi keuntungan dari nilai lebih yang dihasilkan. Kedua, dengan
pengalam nya dalam dunia jurnalistik yang banyak menuliskan kasus-kasus dijadikan
pembelajaran politik untuk dirinya. Yang mengantarkan Marx dengan jelas menolak
‘kempemilikan pribadi’, karena baginya ini adalah hasrat dari kaum borjuis untuk mengakumulasi
capital nya. Karena baginya ‘rent, or rather property, has broken down agricultural egoism and
created the solidarity that no power, no partition of the land could have brought into being ….
The moral effect of property having been secured, at present what remains to be done is to
distribute the rent (Marx, 1847: 150)’. Analisis ini yang membuat Marx berfikir bahwa jawaban
nya terletak pada ‘komunisme proletarian’ dimana sudah pasti kelas proletariat yang menjadi
basis material perjuangan nya. Karena kelompok ini mengalami sebuah dehumanisasi akibat dari
kepemilikan pribadi, sehingga untuk kembali mendapatkan hak-hak manusia nya kepemilikan
pribadi harus dihapuskan. Kelas proletariat adalah “universal”, sehingga penindasan nya pun
bersifat universal di muka bumi ini. Ketiga, adalah bentuk filsafat ‘material’ yang meminjam dari
Hegel, bahwa ide bersumber dari proses kehidupan ‘material’ manusia. Ide tidak dapat dipisahkan
dengan tindakan manusia oleh karena itu ide mengarahkan manusia pada kebutuhan-kebutuhan
material yang saling berubah terus menerus. Dalam penjelasan ini Marx ingin menunjukan bahwa
4
Meskipun dalam studi Marxisme yang lain, para alih-alih ada yang berpendapat bahwa Marx tidak
seutuhnya menolak konsep negara, tapi dalam penulisan Manifesto nya Marx terlibat dalam sebuah
suasana yang emosional dimana terjadi kemiskinan dimana-mana. Sehingga tulisan nya trlihat ada
prestensi menolak system (*negara), dan celah ini lah kelompok Anarchist merasa ide nya terakomodir
dalam pandangan Marx.
Universitas Sumatera Utara
‘Komunisme’ berkembang dari “proses kehidupan material” kelas buruh (Townshend, 2003: 7).
Kemudian Marx mengurai dalam teori nilai, dia berangkat dari upah subsistensi (nilai tenaga
kerja) yang besaranya ditentukan oleh nilai dari sarana-sarana subsistensi (sarana kehidupan
pokok) yang dibutuhkan pekerja untuk bertahan hidup. Besarnya upah subsistensi memang
dipengaruhi oleh factor historis dan moral, namun tidak akan terjadi peningkatan pada upah
subsistensi meskipun telah terjadi peningkatan laba, situasi ketenagakerjaan, dan akumulasi
kapitalisme. Dalam penekannya bagi Marx, kapitalisme tidak akan meningkatkan nilai upah
subsistensi karena kapitalisme akan terus mengeksploitasi potensi buruh dan mengambil surplus
dari para buruh. Setelah kapitalis menikmati keuntungan ‘nilai surplus’ yang seharus nya kembali
di distribusikan kepada buruh membuat para pemilik modal termotivasi untuk mengekspansi
capital nya. Pola akumulasi dari capital mendorong para kapitalis untuk menekan dari ‘nilai
subsistensi’ nya sehingga persamaan dari biaya produksi dapat di tekan dan output dari ‘nilai
surplus’ akan meningkat. Namun hal ini akan membuat posisi buruh semakin lemah, karena
kebutuhan material nya di hisap oleh pemodal (Caporaso dan Levine, 2008: 137-8). Pada akhinya
Marx berusaha meramal kan sejarah bahwa peradaban kapitalisme itu akan runtuh dengan
sendirinya, dikarenakan kapitalisme akan saling membunuh diantaranya untuk memenuhi hasrat
dari kepemilikan itu.
Manifesto adalah sebuah karya yang ditulis tergesa-gsa pada masa itu oleh Marx dan Engels. Pada
bagian pertama mereka menyatakan atau berasumsi bahwa kaum proletariat sudah banyak di
dunia ini, padahal jumlah nya tidak sebanding dengan apa yang dibayangkannya. Kemudian
mereka menggunakan analisis pada dua jenjang. Pertama, analisis pada jenjang ‘tendensial’,
analisis ini menjelaskan pekembangan masyarakat dunia yang di posisikan pada system
kapitalisme. Sehingga wajar kalau jenjang ini diarahkan kepada serangan system kapitalisme
Universitas Sumatera Utara
dunia. Kedua, jenjang ‘konjungtural’ dimana mereka meyakini bahwa ada keberadaan
‘pengganggu’ dalam kehidupan social-politik yang otonom akibat dari interaksi dengan aktivitas
ekonomi (seperti budaya feudal dan politisasi kekuasaan). Namun gerakan Marx justru berlaianan
dengan apa yang diyakininya. Artinya kondisi obyektif yang ada tidak bisa menjadi basis materi
dari pola perlawanan Marx dengan ‘perjuangan kelas’. Karena pada waktu yang bersamaan Marx
juga mendukung revolusi bersama kaum bojuis di Jerman, dan revolusi agaria di Polandia,
bukanlah revolusi proletar. Ternyata fakta bahwa dunia terus mengalami perubahan, terutama
bntuk dari kapitalisme itu sendiri dan formasi dari perjuangan kelas juga mengalami transformasi
bentuk. Analogi-analogi ini menunjukan kita bahwa penalaran Marx dan Engels memiliki sifat
problematis- selalu membutuhkan revisi- hingga mereka wafat. Dalil ini diperkuat dalam
Manifesto, keduanya menyatakan bahwa ‘prinsip umum’ yang dijelaskan masih benar, meskipun
dalam ‘penerapan praktisnya akan tergantung pada kondisi historis, dimana pun dan kapan pun’
(Townshend, 2003: 11-12).
Revisi terhadap Marxisme adan dumulai pada dua hal, pertama berkenaan dengan aliansi kelas.
Marx dan Engels mendukung mendukung kaum borjuis Jerman pada tahun 1848, meskipun
mengorbankan gerakan kelas buruh, dalam harapan Marx dapat menggulingkan kekuasaan
monarki sama seperti tujuan revolusi Perancis. Seteah revolusi 1848 itu gagal, mereka
menyatakan bahwa kaum borjuis memiliki fungsi dan posisi dalam kemajuan kelas itu. Sehingga
Marx juga mengakomodir kelompok borjuis untuk tahap revolusi awal, dan kemudian di
transformasi pada kelas buruh untuk mencapai kekuasaan proletariat. Dalam pernyataan yang lain
Engels secara jelas berpendapat bahwa kaum proletariat harus juga beraliansi dengan borjuis kecil
untuk melahirkan organisasi politik dan militer yang tangguh melawan kaum borjuis. Konsep ini
dikatakan Marx sebagai ‘revolusi permanen’, yang akan secara bertahap untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan proletariat. Disini kita mulai memahami bahwa Marx dan Engels tidak secara tegas
menarik garis antara kaum borjuasi. Bahkan pada 1860’an Marx mulai mendukung pembebasan
nasional di Polandia dan Irlandia dimana kelompok borjuis cukup memegang peranan penting.
Gerakan pembebasan nasional dapat menghancurkan ideologis borjuis atas proletar melalui
penanaman rasa superioritas nasional. Samapai pada sebuah titik Marx meyakini aliansi buruhpetani -yang pada awal nya pada Manifesto proletar sebagai basis material- dimana kaum proletar
minoritas adalah jalan yang mungkin untuk melawan borjuasi kapitalis. Dan pada 1848 dalam
“The Demands of Communist Party in Germany” secara jelas menyatakan empat tuntutan yang
menguntungkan kaum petani. Di akhir-akhir hayat Marx memberi perhatian penuh terhadap
petani di Rusia, dan secara sementara menyimpulkan bahwa kepemilikan tanah adalah kondisi
objektif dari situasi kapitalisme, yang apabila “kepemilikan umum” dapat direalisasikan maka
akan menjadi pemicu dari perkembangan komunisme di Barat, dan dimulai dari Rusia.
Revisi kedua, adalah persoalan transisi menuju komunisme dimana mereka juga meyakini ada
nya pertarungan politik dalam pertempuran demokratisasi –yakni demokratisasi Negara- seperti
yang terjadi Inggris (dimana kemenangan memlalui proses damai). Dalam pidato Marx pada
konggres Internationale I, berpendapat bahwa cara-cara damai tidak dapat dilakukan pada Jerman,
Perancis dan Rusia karena pada tataran kekuasaan Eropa continental Negara bersifat seperti
mesin antara perpaduan militer dan birokrat yang mendominasi dimensi kehidupan social, politik
dan ekonomi. Analis Marx masih menempatkan posisi kekuasaan dalam praktek feodalisme,
sehingga kekuasaan itu harus direbut kaum borjuis untuk berkuasa, baru akan diteruskan dengan
perjuangan kelas proletar menuju transisi komunisme. 5 Keniscayaan sejarah seperti apa yang
5
Revisi yang terjadi karena adanya sebuah ambiguitas konsep dari revolusi itu sendiri, sehingga batasan
antara proletar dan borjuis menjadi kabur. Dalam pendapat Townshend terlihat Marx juga terjebak dalam
segregasi antara perjuangan kelas dan persoalan bangsa.
Universitas Sumatera Utara
diyakini Marx dalam bentuk revolusi, secara perlahan gugur dengan perkembangan zaman dan
metafor kelenturan kapitalisme.
Dan para buruh lebih memilih metode reformis ketimbang
menumbangakannya. Dengan ini kita bisa menguliti tradisi problematis dari Marxisme itu, yang
tidak dapat di pahami secara dogmatis. Karena dengan jalan reformis ekonom dan poliik buruh
berkepentingan dengan kapitalisme.
KEMUNCULAN TOKOH REVISIONIS: HARAPAN BARU SOSIALISME EROPA
Setelah kegagalan Revolusi 1848 menjadi tekakan kepada gerakan pekerja di Eropa, namun di
lain sisi tidak menyurutkan untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan kesetaraan.
Gerakan persatuan di Italia, dan kebijakan Liberalisasi di Rusia yang singkat adalah rangsangan
dari gelombang politisasi. Ini memberikan sebuah tekanan yang kuat bukan hanya kepada hasrat
persatuan nasional tetapi juga pembentukan aspirasi yang emansipatoris dari kelas pekerja yang
memiliki pengaruh dalam system politik. Dalam situasi ini, kaum borjuis-liberal di Jerman sekali
lagi menunjukan kefasihan nya dalam advokasi parlementarism dan hak demokrasi, kebebasan
dan kesatuan nasional. Pergeseran arah politik menjadi ke sudut pandang Liberalisme, karena
muncul seorang tokoh Ferdinand Lassalle seorang democrat borjuis. 6 Lassalle memulai kritik nya
pada Manifesto Communist, kemudian dia meyakinkan bahwa Liberal dan seluruh bojuis tidak
benar-benar berjuangan untuk demokrasi. Dia secara pahit menulis surat ini kepada pengusaha
(Gustav Lewy) di Dusseldorf : “Percaya saya, saya telah mempelajari Partai Progresif (Partai
Liberal) secara cermat, dengan prinsip; apapun revolusi dari bawah, bukan despotism dari atas”.
Pandangan ini seolah menghianati idealisme revolusi 1848, sehingga perseteruan ditujukan
6
Lassalle berupaya memasukan Program Liberal dalam perjuangan Marxisme, dimana dalam pandangan
nya Iklim sosialisme tidak akan tumbuh subur tanpa liberalisme. Meskipun konsekuensi gagasan nya
banyak menghilangkan pretensi Marxisme terhadap konsep perjuangan kelas.
Universitas Sumatera Utara
kepada kaum borjuis liberal. Kebangkitan gerakan buruh akan terus dimotori oleh kepemimpinan
liberal-borjuis dengan slogan kebebasan dan persatuan. Dalam “surat jawaban terbuka” (1 Maret
1863) Lassalle menyerukan kepada pekerja bahwa harus membuat organisasi politik yang
mandiri. Yang kemudian berdiri di Leipzig pada 23 May 1863, dengan nama Allgeimeiner
Deutcher Arbeiterverein (Perhimpunan Umum Buruh Jerman). Kemudian Lassalle membangun
Partai Buruh Independen dengan program pokok; Kesamaan Hak Pilih dan Kebebasan
Berasosiasi dan persatuan pekerja (FES, - 28-30).
Pandangan Lassalle bukan tanpa pendukung, ide nya kemudian diusung oleh Eduard Bernstein
untuk mulai merevisi Marxisme. Ini dengan jelas terbukiti dalam “Ferdinand Lassalle as a Social
Reformer” yang ditulis pada 1893, dimana Bernstein mengagumi pola kepemipinanan Lassalle
dalam membangun organisasi politik yang mapan dan pandangan nya soal reformasi sosial.
Selama pengasingan nya di Inggris, Bernstein juga dipengaruhi oleh pandangan Engels yang
lantas mendorongnya untuk menuliskan persoalan sosialisme dengan judul “Evolutionary
Socialism” pada 1899. Bernstein ingin merevisi bagian-bagian yang dianggap “ideologis
dogmatik” dalam Marxisme sehingga berupaya mengurai lebih “ilmiah” dengan mengacu kepada
fakta-fakta yang terjadi pada masa itu. Dia memiliki harapan agar Marxisme terus berjalan sesuai
tantangan zaman, pertama tuntutan hak politik dan ekonomi individual (individual liberty) dalam
kapitalisme yang termaktub dalam Program Erfurt dan kedua,,sejalan dengan praktik yang tersirat
dalam SPD untuk memperjuangkan demokrasi. Dalam pandangan nya dia ingin melakukan secara
koherensi antara praktek dan teori Marxisme sebagai alat perjuangan dalam pertarungan politik.
Sehingga strategi dalam pelbagai reformasi yang di gagas oleh aliansi buruh dan kelas menengah
progresif dapat secara terang-terangan bertarung secara politik, maka Marxisme harus lebih
pragmatis dan liberal (Townshend, 2000:27).
Universitas Sumatera Utara
Bernstein menitik beratkan kritik Marx pada tujuan akhir –telos, yang di tuangkan dalam
“Evolutionary Socialism” dan Program Erfurt. Yaitu “Revolusi” proletariat sebagai jalan menuju
masyarakat komunis, ini tidak bermakna apapun ketimbang “reformasi” yang sepotong-potong.
Karena revolusi sebagai sebuah telos, hanya menyandarkan kepada keniscayaan sejarah. Padahal
sejarah adalah akibat beragam perubahan komulatif, dan bersifat imanen (Townshend, 2003: 28).
” Modern society is much richer than earlier societies in ideologics which are not
determined by economics and by nature working as an economic force…“The Iron
Necessity of History” receives in this way a limitation, which, let me say at once,
signifies in regard to the practice of social democracy, no lessening but an
increasing and qualifying of its social political tasks…we see the materialist
conception of history to-day in another form than it was presented at first by its
founders. It has gone through a development already, it has suffered limitations in
absolutist interpretation…To the words “materialist conception of history” still
adhere all the misunderstandings which are closely joined with the conception of
materialism” (Bernstein, 1899: Cpt. I-b).
Dalam tulisan nya kita bisa memahami bagaimana Bernstein merevisi ajaran Marx, baginya
bentuk masyarakat telah mengalami perubahan seiring waktu dan ‘lokomotif’ revolusi tidak
kunjung datang. 7 Sehingga dia punya alasan kuat untuk meredusir gagasan Marx yang bersifat
“ideologistik” dan menolak konsep ‘deterministik Marxisme’ yang berangkat dari filsafat
Materialisme-Historis. Dengan itu secara konsekuensi dia juga menolak ekonomi yang bersifat
7
Secara terbuka Bernstein menolak hokum besi sejarah Marxisme, dengan apa yang dikatakan nya
“lokomotif sejarah”. Posisi ini menjadi tolakan untuk menggeser lokus ‘revolusi’ kepada praktek yang lebih
realistis ‘reformasi’
Universitas Sumatera Utara
deterministic, karena itu sebuah impian yang tidak masuk akal. Manusia dengan penghetauan nya
melakukan sebuah penetrasi yang significant dalam kehidupan social, sehingga “hukum besi
sejarah” menjadi terbatas. Sehingga perjuangan kelas hanya mengsegregasi pencapaian tatanan
sosialisme, karena sosialisme harus di pahami secara universal dan aliansi antar kelas. Sehingga
perjuangan sosialisme adalah buruh bersama kelas menengah progresif.
Untuk memperkuat argumentasi nya soal “aliansi progresif” Bernstein merubah cara pandang
ekonomi nya dengan kritik terhadap ‘teori nilai kerja’. Baginya teori itu tidak lebih dari sebuah
abstraksi sebuah atom yang berjiwa. Jawaban atas eksploitasi bisa diatasi dengan sebuah
reformasi, dan reformasi tidak akan berjalan secara konsisten apabila tidak di topang dengan
bangunan organisasi yang mapan. ‘Dalam literature sosialisme, kita akan melalui penjelasan yang
beragam tentang sebuah konsep yang ditujukan sebagaimana mereka runtuh dalam satu atau
beberapa kategori, untuk mempraksiskan apa yang di turunkan dari konsep kesetaraan dan
keadilan atau sebuah ringkasan karakterisasi penghetauan social, juga identifikasi melalui
perjuangan kelas kepada pekerja dalam masyarakat modern dan menjelaskan bahwa sosialisme
berarti ekonomi ko-operatif’ (Bernstein, 1899: Cpt. III-a). Ini artinya sebuah organisasi pekerja
(bukan saja buruh, tapi pekerja professional) akan kooperatif dengan system ekonomi yang ada,
sehingga proses distibusi dari kapitalisasi ekonomi bisa terjadi. Tekanan gagasan yang dilakukan
Bernstein bukan semata-mata tendensi nya terhadap komunist, tetapi ada beberapa hal penting.
Pertama, dia menolak ‘Diktator Proletariat’ karena itu akan merusak iklim demokrasi, dan cukup
naïf hanya beralasan untuk memperkuat solidaritas. Kedua, dia meyakini lembaga-lembaga
liberal yang akan bersifat lentur dalam mengakomodir kelas pekerja kedalam ruang demokrasi.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Bernstein berjalan bukan tanpa kritik, seorang Marxist lain nya yang cukup bertahan
pada pedoman Marxisme klasik adalah Karl Kautsky. Meskipun mereka sama-sama memimpin
SPD pada 1890’an yang dilatari dengan Program Erfut, namun pandangan nya cukup memiliki
diksi dalam perdebatan Marxisme. Program Erfurt 1891 melakukan upaya konsolidasikan
kembali dengan acuan Program Gotha 1875 yang pada saat itu terganjal undang-undang antisosialis oleh Bismarck selama 12 tahun (1878-1890). Esensi utama dalam Program Erfurt
beberapa mengacu pada revisi terhadap praktik perjuangan Marxisme, karena disini arah
perjuangan sudah mengarah dalam perjuangan parlementarian dan menuntut hak-hak
kewarganegaraan. Dalam Program Erfurt dan intepretasi Kautsky terhadap Marx, sosialdemokrasi diadopsi dari ajaran Marx dan Engels, yang meyakini perkembangan social harus
melalui sebuah hukum alam yang ketat, itu akan berujung pada penghapusan aturan kelas (FES,
52). Pasca kongres di Erfut 1891, Kautsky secara teoritis dan ilmiah menuliskan tujuan dan arah
gerak sosialisme dalam “Class Struggle” pada 1892. Dia juga sedikit mengecam pandangan
Bernstein yang selalu mengasosiasikan praktek revolusi akan menggunakan kekerasan, padahal
dalam pandangan Kautsky “Social Demokrasi, sudah melahirkan parai yang revolusioner tetapi
tidak ada seorang pun yang bisa melahirkan nya”, karena partai politik harus menang dengan
kekuatan kelas pekerja, dan penataan kembali struktur ekonomi secara radikal. Perjuangan
reformasi social bisa apabila digabungkan dengan baik secara konsep dari tujuan revolusi (FES,
64). Kautsky masih meyakini beberapa ajaran Marx tentang revolusi yang menjadi sebuah
jawaban karena adanya system pemilikan. Dalam system evolusi ekonomi tidak akan
menghapuskan eksploitasi kelas, kondisi ini akan mendorong sebuah kesadaran kolektiv buruh
dan kepemilikan bersama. Karena system eksploitasi terus semakin terjadi dan semakin kuat,
untuk mengurangi praktek dari eksploitasi itu, massa populasi yang merasakan itu tidak punya
pilihan lain selain meruntuhkan system kepemilikan pribadi. Disini Kautsky tidak serta merta
yakin pada reformasi social, karena itu hanya akan bersifat temporer (Kautsky, 1888: Cpt. IV-1).
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya dalam “Class Struggle” Kautsky masih cukup terpengaruh dengan pandangan
Marx, sehingga dia bisa dikatakan kaum Marxis ortodoks. Hal ini terlihat dalam pandangan nya
yang masih mengklasifikasikan perjuangan kelas (Proletariat). Namun yang menjadi soal
bagaimana kelas proletariat bisa dikukuhkan menjadi warganegara, yang mana hak-hak
kemanusiaan nya melekat dalam diri nya dan dilindungi Negara. Karena kelas proletariat adalah
kelas yang termiskinkan oleh sebuah struktur ekonomi, dan akan berdampak linear terhadap
kehipun social mereka dikala mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Tapi disisi lain dia meyakini sebuah sosialisme bisa tercapai apabila ada “kepemilikan bersama”,
dalam proses produksi sehingga proletariat dapat menjalankan basis ekonomi nya secara otonom.
Selain itu, level pendidikan kepada proletariat juga harus ada, guna menopang masa depan
kualitas kehidupan kelas itu sendiri (Kautsky, 1888: Cpt. I).
Berbeda dengan Marx yang filsafat nya dipengaruhi oleh Proudhon sehingga gagasan nya terlihat
anarchy. Secara tersirat Marx tidak begitu yakin terhadap masa depan negara, maka dari itu dia
berupaya melakukan propaganda besar untuk membangun persatuan buruh Internationale.
Kautsky meyakini perubahan dengan partai politik, meskipun dalam definisi nya “partai
Proletar”, akan tetapi kita melihat kemajuan perspektif dalam politik nya.
“The Socialist Party, accordingly, struggles, not for any class privilege, but for the
abolition of classes and class-rule, for equal right and equal duties for all, without
distinction of sex or race. In conformity with these principles it opposes in present
day society, not only the exploitation and oppression of wages-workers, but also
every form of exploitation and oppression, be it direct against a class, a party, a sex,
or race” (Kautsky, 1888: Cpt. V).
Universitas Sumatera Utara
Kautsky memiliki kepercayaan bahwa partai politik adalah senjata utama untuk melakukan
perlawan, dan menuntut hak-hak. Dia mulai menampakan aspek demokrasi nya, meskipun dia
percaya bahwa partai memikul tanggung jawab terhadap kelas, namun ada hal kesetaraan dan
pruralisme yang menurut nya juga adalah tuntutan dari sosialisme dengan mensesuaikan pada
kondisi masyarakat modern. Dalam pandangan nya organisasi asli dari bentukan proletariat sudah
menjadi model untuk melawan penindasan, karena dengan organisasi yang modern gerakan buruh
bisa dengan inherent melakukan tuntutan aksi atau boykot pabrik. Organisasi yang baik, juga
tidak bisa tanpa dukungan media. Media massa bisa sebagai alat komunikasi modern sekaligus
propaganda politik, sehingga gerakan-gerakan buruh bisa terkonsolidasi dan menjadi kukuh
meskipun berbeda wilayah. Akumulasi positif dari gerakan buruh, akan terjawab dengan Partai
Sosialis untuk menyambungkan antara tuntutan di serikat-serikat buruh dengan kebijakan di
parlemen. Dimana selama ini gerakan proletariat terlihat beroposisi dengan Sosialisme (Kautsky,
1888: Cpt. V).
Meskipun Kautsky tetap berthan pada konsep proletariat nya, tetapi dia juga melakukan kritik
keras pada Revolusi Oktoberis di Rusia. Dia kembali mempertanyakan apakah revolusi Bolshevik
adalah revolusi Marxist? Kritik itu juga disambang oleh Rosa Luxemburg dalam “The Russian
Revolution” karena ada ketakutan dictator proletariat akan menjadi boomerang terhadap kaum
proletar itu sendiri. Kritik terhadap revolusi Oktoberis ditujukan kepada Lenin dengan konsep
“Diktator Proletariat”, pada 1918 “The Dictatorship Proletariat”. Kautsky secara jelas
mempertanyakan kembali posisi Marxisme dalam revolusi itu, sekaligus mengkritik konsep
revolusi itu. Dalam pandangan nya Sosialisme dan Demokrasi bagaikan logam mata uang yang
tidak bisa dilepaskan. Karena demokrasi mengandung unsur kesetaraan antar warga negara,
Universitas Sumatera Utara
bukan berarti sosialisme tidak akan melakukan itu, namun bentuk kebebasan dalam masyarakat
dapat terjaga dengan iklim demokrasi (Kautsky, 1918: Cpt. II). 8
Dalam masyarakat modern konsep demokrasi adalah yang bisa diterima, dimana negara akan di
atur dalam parlemen melalui mekanisme demokrasi. ‘Pemerintahan dengan partai dalam
demokrsi melakukan perubahan lebih cepat dari pada aturan kelas. Dalam keadaan ini, tidak ada
partai yang menahan kekuatan (berpeluang dictator), dan akan selalu menghitung peluang
minoritas, tetapi degngan negara tanpa partai akan meninggalkan minoritas selamanya’ (Kautsky,
1918: Cpt. IV). Hal ini sangat jelas bagaimana Kautsky menolak bentuk dari dictator yang
dijalankan kaum Bolshevik di Rusia, karena itu tidak demokratis dan manusia tidak memiliki
posisi tawar dalam kekuasaan. Seperti dalam awal gagasan nya dia memiliki keyakinan kepada
kaum Borjuis yang progresif untuk berjuang bersama Proletar dalam partai yang Revolusiner
(SPD). Ketakutan Kautsky terhadap “mayoritasrisme” di Rusia, terbukti pada masa Stalin dimana
terjadi pemusnahan atas nama negara. Bagi nya prilaku negara yang intoleransi adalah
konsekuensi atas pilihan dari anti-Demokrasi. Namun prdebatan ini adalah soal pilihan strategis
dalam konteks sosiologis-historis.
Laclau dan Mouffe lebih lanjut menuliskan, dalam The Class Struggle, Kautsky
menyederhanakan makna dari setiap antagonisme atau elemen social dengan mereduksinya
sebagai lokasi structural yang spesifik, yang telah terfiksasi posisinya oleh logika modus produksi
kapitalis. Kemudian Kautsky menuliskan sejarah kapitalis yang dibentangkan dengan relasi –
relasi yang sepenuhnya bersifat interior (pure relation of interiority). Kita bisa melangkah dari
8
Kautsky memiliki kegelisahan terhadap Fasisme, dimana sebuah diktatoriat adalah akar nya. Sehingga
Kautsky mempertanykan kembali tujuan dari Revolusi itu sendiri, sehingga Sosialisme tidak membusuk
menjadi Fasisme.
Universitas Sumatera Utara
dari kelas buruh ke kaum kapitalis, dari ranah ekonomi ke ranah politik, dari kapitalisme
manufaktur ke kapitlisme monopoli, tanpa pernah sesaat pun bisa lepas dari rasionalitas dan
intelegbilitas internal dari suatu paradigm yang bersifat tertutup. Kapitalisme dianggap bertindak
terhadap realitas eksternal social, namun realitas social tidak larut begitu saja ketika berkontak
dengan kapitalisme. Kapitalisme memang berubah, namun perubahan itu tidak lebih dari
berkembang nya tendensi-tendensi, dan kondisi-kondisi yang bersifat endogen. Disinilah logika
keniscayaan tak terbatasi oleh apapun: inilah titik awal teks pra-kritis dari The Class Struggle
(Laclau&Mouffe, 2008: 16-17).
KELOMPOK SPARTAKUS
DAN
WANITA
YANG
MEMPERTAHANKAN PANDANGAN
KLASIK MARXISME
Seorang wanita bahkan berhadap-hadapan langsung dengan Berstein, Rosa Luxemberg
merumuskan bantahan terhadap teori reformis Bernstein dengan tegas dan menyematkan ide-ide
Marxisme yang revolusioner. Rosa adalah seorang pemimpin ‘sayap kiri’ yang masih memiliki
keyakinan terhadap pemogakan masal bisa dijadikan alat menuju negara buruh. Karya Rosa
“Social Reform or Revolution” pada 1899, adalah sebuah karya Marxisme ortodoks yang cukup
dikenal untuk menyerang gagsan Bernstein.
Pandangan Rosa masih berposisi pada perspektif Marx bahwa, secara mendasar masih ada
hubungan antara tujuan akhir
reformasi social-
pencapaian kekuasaan proletarian- dan tugas-tugas praktis
yakni, demokratisasi negara kapitalis dan membetuk serikat buruh,
membangun gerakan koperasi. Dengan kata lain ia ingin menunjukkan bagian pertama program
Erfurt tidak harus ditinggalkan atau ditulis kembali, dalam ati perwujudan tergantung pada
kemenangan tuntutan-tuntutan
minimum pada bagian dua dan tiga. Dan dia juga masih
Universitas Sumatera Utara
bersikukuh bahwa kontradiksi-kontradiksi secara inhern akan meruntuhkan kapitalis itu dengan
sendirinya (Townshend, 2003: 30). Dalam satu hal kredit, bagi Rosa krisis yang diakibat oleh
krisis kredit itu sendiri tidak akan bisa diselesaikan dengan capital. Sehingga kredit itu akan
mempercepat overdeterminis yang meruntuhkan produksi dari capital (Rosa, 1899: Cpt II).
Dengan mengutip pernnyataan Bernstein soal “tujuan akhir Marxisme tidak akan berarti apapun,
ketimbang reformasi yang sepotong-sepotong”. Bagi Rosa, apabila meyakini bahwa reformasi
adalah dari tujuan itu sendiri, maka secara logis akan menggadaikan tujuan jangka panjang dan
hanya akan melahirkan teori yang ‘oportunis’. Baginya kekuasaan proletar harus berjalan secara
hegemonik, maka reformasi adalah alat dan revolusi adalah tujuan. Anasir-anasir ini akan
menguatkan politik subjektif kelas buruh, yang meletak kan kelas sebagai sentris pembahasan
bukan kondisi objektif kapitalisme. Untuk mencapai kondisi historis tersebut, buruh tidak hanya
memerlukan teori, namun juga teori yang benar. Berbeda dengan Bernstein, upaya ini
memerlukan dialektis terhadap kondisi social, politik, ekonomi, sedangkan Bernstein hanya
berdialektis dengan kapitalisme. Dalam menjelaskan
kapitalisme Rosa memiliki dua cirri,
sebagai basis argumentasi nya. Pertama, kapitalisme sebagai sebuah system yang tercabik-cabik
oleh kontradiksi-kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan oleh reformasi social, karena
kontradiksi-kontradiksi itu bersifat sistemik. Produksi, perdagangan, kredit, investasi dan lain-lain
adalah terikat satu sama lain. Sehingga apabila terjadi masalah dalam komoditas pasar, bukan
terjadi denga sendirinya tetapi merupakan gejala krisis profitabilitas. Kedua, pemahaman
terhadap kapitalisme memperliahatkan “dualisme masa depan sosialis dan kondisi dari kapitalis;
Universitas Sumatera Utara
modal-kerja, borjuis-proletar”. Kontradiksi-kontradiksi inheren dalam kapitalis, meyakinkan Rosa
keruntuhan kapitalis akan digantikan pada masyarakat sosialis (Townshend, 2003: 31).9
“the economic notion of “capitalist” no longer signifies an isolated individual. The
industrial capitalist of today is a collective person composed of hundreds and even
of thousands of individuals. The category “capitalist” has itself become a social
category. It has become “socialised” – within the frame-work of capitalist society…
The Social-Democracy does not, however, expect to attain its aim either as a result
of the victorious violence of a minority or through the numerical superiority of a
majority. It sees socialism come as a result of economic necessity – and the
comprehension of that necessity – leading to the suppression of capitalism by the
working masses.” (Rosa, 1899: Cpt. VI).
Disini kita bisa melihat bahwa Rosa sedikit banyak masih berangkat dalam analisis Marx dalam
Manifesto Communist, meskipun tujuan akhir nya masyarakat sosialis. Selain gagasan soal anticapitalis dia juga yakin bahwa sebuah kekuasaan juga harus membangun kesetaraan yang egaliter.
Dalam tataran teori dengan jelas Rosa mengkritisi pernyataan Bernstein yang menolak teori nilai
kerja lantas dikatannya itu adalah sebuah ‘abstraksi’. Bagi Rosa teori nilai kerja memang benarbenar ada dalam ekonomi komoditas. Uang adalah bentuk paling berkembang dari “pekerjaan”
manusia yang bersifat abstrak. Meskipun demikian Rosa tidak menjabarkan penentangan
Bernstein dengan pembedaan Marx antara buruh produktif dan tidak produktif.
9
Rosa masih memiliki keyakinan terhadap perjuangan revolusi, sehingga dia menolak pandanganpandangan liberal yang di formulasi oleh Bernstein. Dia masih berpegang teguh pada filsafat Materialisme
Historis, sehingga konsep revolusi harus dijawab dengan pengorganisasian buruh yang suatu saat dapat
dijadikan senjata atas “Boykot atau pemogokan total” yang dilakukan oleh kelas pekerja.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Laclau menambahkan, karya Rosa yang kemudian dianggap cukup baik dalam
mengkonsep revolusi tanpa menghilangkan nilai Marxisme. Pada tahun 1906, Rosa menerbitkan
“The Mass Strike, the Political Party and the Trade Union”, dimana dia mencoba mengurai
efektifitas dan peran penting pemogokan masal. Pemogokan masal menjadi efektif apabila
gerakan buruh berorientas terhadap pemogokan yang bersifat politik, hal ini sudah dibuktikan
dalam Revolusi Rusia dimana telah memperlihatkan interaksi timbal-balik sehingga semakin
memeperkarya dimensi-dimensi politik dan ekonomi dari gerakan pemogokan masal. Dalam
model negara Tsaris yang represif, tidak ada gerkan yang berjalan secara parsial dan sendirisendiri; secara tak terelakan gerakan akan muncul sebagai symbol resistensi, dan mendorong
gerakan-gerakan dalam format yang lain. Gerakan ini muncul pada waktu yang tidak diduga dan
kondisi yang tidak diramalkan. Sebab itu adalah perubahan diluar konsep para pemimpin serikat
buruh. Konsep ini adalah gagasan ‘spontanisme’ Rosa, kesatuan antara perjuangan yang bersifat
ekonomi politik –kesatuan kelas buruh--- merupakan sebuah konsekuensi dari gerak saling
memperkaya dan interaksi. Sesungguhnya gerak ini pada giliran nya adalah revolusi itu sendiri
(Laclau&Mouffe, 2008: 3-4).
“All the above great and partial mass strikes and general strikes were not
demonstration strikes but fighting strikes, and as such they originated, for the most
part, spontaneously, in every case from specific local accidental causes, without
plan or design, and grew with elemental power into great movements, and then they
did not begin an “orderly retreat,” but turned now into economic struggles, now
into street fighting, and now collapsed of themselves” (Rosa, 1906: Cpt IV).
Universitas Sumatera Utara
Logika spontanisme Rosa adalah hasil dari sebuah kemandirian buruh dalam mengatasi masalahmsalah nya sendiri. Maka dia menekankan sebuah organisasi buruh mandiri dan sadar akan
tanggung jawab historis nya yang harus dimenangkan. Dalam pandangan ini menjadi berbeda
dengan Lenin, yang befikir secara sendem (sentralis demokrasi) dengan adanya komite sentral
pada struktur Komunis Rusia. Lebih lanjut, dalam pengalaman nya di SPD semakin kuat nya
peranan komite sentral akan mempersempit ruang kreatifitas taktis kelas buruh (Townshend,
2003: 94). Juga karena kondisi overdeterminasi, yang memunculkan titik antagonism dan
beragam perjuangan politik secara pengaruh eksternal akan melahirkan kesatuan kelas.
Kesimpulan maju yang dirumuskan Rosa dalam The Mass Strike adalah, proses overdeteministk
memuculkan karekteristk khas dari symbol kesatuan kelas. Ini adalah gagasan yang maju
dibandingkan teori yag muncul pada Internationale kedua ‘yang menganggap kesatuan kelas
semata-mata ditentukan dengan hukum-hukum basis ekonomi’ (Laclau&Mouffe, 2008: 8-9).
Setelah kita coba menyimak pertikaian dalam kalangan Marxisme Eropa, ada banyak pelajaran
yang bisa kita petik. Bahwa ternyata gagasan Marxisme mengalami sebuah evolusi baik dalam
tataran teori maupun praksis gerakan. Memang seakan perdebatan ini simplistic, hanya untuk
mengurai sebuah definisi revolusi sehingga pertikaian dalam kalangan Marxist pun terjadi.
Namun ada aide-ide maju yang tersingkap dibalik makna teks-teks mereka, bukan semata-mata
menolak maupun menerima secara dogmatis tetapi ada upaya teoritis yang dibangun diatas teksteks itu. Paling tidak kita mencatat tokoh-tokoh revisionist yang cukup berpengaruh dalam
perdebatan Marxisme, dalam arena itulah kita bisa memahami bagai mana teori itu bisa
berkembang sampai hari ini.
Universitas Sumatera Utara
Townshend melakukan studi terhadap Politik Marxisme tanpa melupakan kesejarahan Marxisme
Eropa berserta actor-aktor nya. Sehingga kita mampu meneropong basis nilai yang
diperjuangakan oleh kaum Marxist yang bertikai. Berdasarkan studi yang dilakukan Townshend,
kita melihat bagai mana Bernstein berupaya menginfiltrasi tradisi Liberalisme dalam analisis
politik dan orientasi gerkan. Misalnya, Bernstein menolak teori nilai kerja dan hokum besi sejarah
yang cukup prinsip dalam analisis Marxisme dan mempercayai kepada lembaga Liberal yang bisa
sangat fleksibel mengakomodir kelas buruh. Pandangan nya secara tegas dikritik oleh lawan
politik nya Rosa dan Kautsky, yang masih berposisi pada Manifesto Communist.
Secara diskursus, Laclau dan Mouffe juga menuliskan bagaimana terjadi perdebatan dalam termterm Marxisme sehingga secara logis mempengaruhi dari konsep revolusi Marxisme. Mereka
meletakan perdebatan itu untuk mencari format dari konsep hegemoni. Karena pada akhirnya
perjuangan buruh memang harus melahirkan kekuasaan yang hegemonic, seperti pada masingmasing konsep yang sudah diurai diatas. Dalam bagian ini, kita tidak mencari sebuah pembenaran
dari posisi masing-masing teori. Tetapi ini sebagai basis sejarah sebuah episode revisionist
dimulai, dan pandangan-pandangan ini akan cukup memiliki pengaruh dalam pergolakan revolusi
negara ketiga termasuk Indonesia.
Meskipun tokoh-tokoh itu bukan secara keseluruhan dari perdebatan Marxisme, tapi paling tidak
mereka cukup mewakilkan di genrasi dan kelompok nya. Penguraian ini perlu untuk meletakakan
kesejarahan Sosial-Demokrasi dalam konteks historis. Karena wacana ideology tidak bisa
dipahami secara pasti (fixation). Konteks sejarah ini sebagai landasan dari Marxisme-revisionist,
Universitas Sumatera Utara
yang kemudian cukup mempengaruhi para pendiri bangsa kita untuk melawan kolonialisme.
Dengan meminjam konsep genealogy Foucalt, kita juga akan melacak kembali ide-ide
revolusioner pendiri bangsa dengan kaitan nya terhadap gagasan revisionist Marxisme.
Dalam proses ini, kita juga bisa melihat sekaligus memahami ide dan pristiwa yang selalu
berubah atau kontigensi terhadap situasi. Juga kita melakukan sebuah upaya rekonstruksi,
bagaimana sebuah transformasi ideology dilakukan dalam konteks sejarah dan latar belakang
budaya yang berbeda. Persoalan-persoalan ini akan coba dijawab secara serius dengan kembali
pada teks-teks yang menyingkap makna.
Universitas Sumatera Utara
Download