BAB II Perdebatan Marxisme Eropa: Sebuah Titik Sejarah Sosial-Demokrasi Universitas Sumatera Utara Kita akan dengan jelas mengatakan bahwa Karl Marx adalah bapak “Revolusi” kaum proletariat, ketika kita membaca karya nya dan gerak filsafat nya yang berusaha mendobrak sebuah system kapitalis yang mapan. Refleksi Marx tentang sebuah revolusi memang tidak datang begitu saja, dialektika sejarah ini hadir di latar belakangi oleh dua aspek sejarah revolusi yang mempengaruhi dunia. Pertama “Revolusi Perancis” pada 1789 yang menaklukan sebuah system monarki dan budaya feudal di Eropa, dan yang kedua “Revolusi Industri” di Inggris pada akhir abad-18 secara konsekuensi logis mempengaruhi segala aspek dari tatanan social, politik, dan ekonomi khususnya masyarakat Eropa pada masa itu. Dalam rentang sejarah yang ada membuat Marx meyakini bahwa “revolusi adalah lokomotif sejarah”. Ide-ide Marx mulai banyak di perbincangkan pada era 1840’an sebagai acuan kritik terhadap dua bentuk revolusi itu. Dimana juga pada waktu yang bersaman sedang terjadi sebuah krisis besar di Eropa yang dikenal dengan Hungry forties (kelaparan 40’an). Marx meyakini dalam postulat filsafat nya, bahwa revolusi adalah sebuah kepastian sejarah atas jawaban kondisi yang krisis. Namun kedua revolusi itu berkerja secara “imanen”, sehingga definisi dari revolusi itu melahirkan sebuah paradox pada kenyataan nya. Revolusi Perancis dengan semboyan nya kebebasan yang melindungi hak-hak pribadi, ternyata melemahkan kebebasan disisi lain. Begitu juga dengan Revolusi Industri, yang berupaya melakukan penaklukan terhadap alam dengan ilmu penghetauan dan teknologi serta kesejahteraan yang tak berperi. Dalam kenyataan nya justru kemiskinan terjadi akibat dari sebuah tindakan mereka yang ingin menemukan kesejahteraan. Dalam hal ini Marx melihat sebuah paradoksial antara peryataan dan kenyataan dari dua bentuk revolusi itu. Dalam kerangka itu Marx berupaya memformulasikan akar dari pemiskinan itu, sehingga samapailah pada sebuah dialektis bahwa kaum proletar adalah basis kekuaan “material” untuk melahirkan sebuah pembebasan terhadap manusia itu sendiri. Marx berangkat dari sebuah Universitas Sumatera Utara episode sejarah modern untuk memahami prinsip kebebasan, yang akan berpangkal pada sebuah tatanan masyarakat kapitalis. Dalam kerangka berfikir ini Marx menolak kepemilikan pribadi, yang cukup jelas kritik ini ditujukan kepada kaum liberalisme. Juga kepada kaum sosialis “utopia”, Marx mengkritik bahwa mereka tidak pernah sadar terhadap gerak “sejarah” dan masih mengakomodir kaum kapitalis yang status quo (Townshend, 2003: 1-2). Karya Karl Marx yang cukup menggegerakan Eropa pada saat itu adalah The Communist Manifesto, yang disambut dengan perdebatan sengit antara pendukung dan penentang ide-ide Marx. Tulisan ini didorong dari pertemuan Brussels, yang menggabungkan dua organisasi buruh; League of Just dan Correspondence Society. Disini adalah kumpulan buruh trampil pembangkang yang berusaha menyatukan gerakan buruh pada saat itu. Manifesto ditulis dalam sebuah situasi pergolakan ekonomi-politik di Eropa. Dampak dari Revolusi Industri di Eropa cukup menyengsarakan borjuis kecil di desa (daerah agraris) dan proletariat dikota (pusat industry). Ini adalaha sebuah fenomena dimana kemiskinan terus membayangi mayoritas masyarakat Eropa pada masa itu. Kegagalan perdagangan di tahun 1847 semakin memperparah kondisi krisis Eropa, dan kemudian dikenal dengan dasawarsa kelaparan (Hungry forties). Krisis ini terus melanda seluruh Eropa sehingga akumulasi tuntutan terhadap demokrasi semakin besar, dimana momentum ini dapat melahirkan sebuah Revolusi suatu saat. Dengan pergulatan ide dalam The Communist Manifesto paling tidak kita bisa menggaris bawahi argumentasi Marx tentang krisis itu. Pertama, Marx menolak konsep Negara bahwa Negara tidak bisa mewujudkan kebebasan manusia, acuan nya berangkat dari thesis-thesis Hegel. Dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right, Marx dengan jelas menolak konsep Negara yang Universitas Sumatera Utara ditawrkan Hegel bahwa Negara tidak mampu mewujudkan kepentingan umum dari masyarakat. 4 Negara akan melahirkan sebuah system birokrasi, yang hanya mengutamakan kepentingan individu dan kelompok tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar yaitu masyarakat luas. Dalam kondisi ini Marx berpendapat, bahwa Negara akan didominasi dengan kepentingan khusus yaitu kepemilikan pribadi. Maka Negara hanya alat kaum capitalist untuk mengekploitasi kaum proletar, dan mengambil sisi keuntungan dari nilai lebih yang dihasilkan. Kedua, dengan pengalam nya dalam dunia jurnalistik yang banyak menuliskan kasus-kasus dijadikan pembelajaran politik untuk dirinya. Yang mengantarkan Marx dengan jelas menolak ‘kempemilikan pribadi’, karena baginya ini adalah hasrat dari kaum borjuis untuk mengakumulasi capital nya. Karena baginya ‘rent, or rather property, has broken down agricultural egoism and created the solidarity that no power, no partition of the land could have brought into being …. The moral effect of property having been secured, at present what remains to be done is to distribute the rent (Marx, 1847: 150)’. Analisis ini yang membuat Marx berfikir bahwa jawaban nya terletak pada ‘komunisme proletarian’ dimana sudah pasti kelas proletariat yang menjadi basis material perjuangan nya. Karena kelompok ini mengalami sebuah dehumanisasi akibat dari kepemilikan pribadi, sehingga untuk kembali mendapatkan hak-hak manusia nya kepemilikan pribadi harus dihapuskan. Kelas proletariat adalah “universal”, sehingga penindasan nya pun bersifat universal di muka bumi ini. Ketiga, adalah bentuk filsafat ‘material’ yang meminjam dari Hegel, bahwa ide bersumber dari proses kehidupan ‘material’ manusia. Ide tidak dapat dipisahkan dengan tindakan manusia oleh karena itu ide mengarahkan manusia pada kebutuhan-kebutuhan material yang saling berubah terus menerus. Dalam penjelasan ini Marx ingin menunjukan bahwa 4 Meskipun dalam studi Marxisme yang lain, para alih-alih ada yang berpendapat bahwa Marx tidak seutuhnya menolak konsep negara, tapi dalam penulisan Manifesto nya Marx terlibat dalam sebuah suasana yang emosional dimana terjadi kemiskinan dimana-mana. Sehingga tulisan nya trlihat ada prestensi menolak system (*negara), dan celah ini lah kelompok Anarchist merasa ide nya terakomodir dalam pandangan Marx. Universitas Sumatera Utara ‘Komunisme’ berkembang dari “proses kehidupan material” kelas buruh (Townshend, 2003: 7). Kemudian Marx mengurai dalam teori nilai, dia berangkat dari upah subsistensi (nilai tenaga kerja) yang besaranya ditentukan oleh nilai dari sarana-sarana subsistensi (sarana kehidupan pokok) yang dibutuhkan pekerja untuk bertahan hidup. Besarnya upah subsistensi memang dipengaruhi oleh factor historis dan moral, namun tidak akan terjadi peningkatan pada upah subsistensi meskipun telah terjadi peningkatan laba, situasi ketenagakerjaan, dan akumulasi kapitalisme. Dalam penekannya bagi Marx, kapitalisme tidak akan meningkatkan nilai upah subsistensi karena kapitalisme akan terus mengeksploitasi potensi buruh dan mengambil surplus dari para buruh. Setelah kapitalis menikmati keuntungan ‘nilai surplus’ yang seharus nya kembali di distribusikan kepada buruh membuat para pemilik modal termotivasi untuk mengekspansi capital nya. Pola akumulasi dari capital mendorong para kapitalis untuk menekan dari ‘nilai subsistensi’ nya sehingga persamaan dari biaya produksi dapat di tekan dan output dari ‘nilai surplus’ akan meningkat. Namun hal ini akan membuat posisi buruh semakin lemah, karena kebutuhan material nya di hisap oleh pemodal (Caporaso dan Levine, 2008: 137-8). Pada akhinya Marx berusaha meramal kan sejarah bahwa peradaban kapitalisme itu akan runtuh dengan sendirinya, dikarenakan kapitalisme akan saling membunuh diantaranya untuk memenuhi hasrat dari kepemilikan itu. Manifesto adalah sebuah karya yang ditulis tergesa-gsa pada masa itu oleh Marx dan Engels. Pada bagian pertama mereka menyatakan atau berasumsi bahwa kaum proletariat sudah banyak di dunia ini, padahal jumlah nya tidak sebanding dengan apa yang dibayangkannya. Kemudian mereka menggunakan analisis pada dua jenjang. Pertama, analisis pada jenjang ‘tendensial’, analisis ini menjelaskan pekembangan masyarakat dunia yang di posisikan pada system kapitalisme. Sehingga wajar kalau jenjang ini diarahkan kepada serangan system kapitalisme Universitas Sumatera Utara dunia. Kedua, jenjang ‘konjungtural’ dimana mereka meyakini bahwa ada keberadaan ‘pengganggu’ dalam kehidupan social-politik yang otonom akibat dari interaksi dengan aktivitas ekonomi (seperti budaya feudal dan politisasi kekuasaan). Namun gerakan Marx justru berlaianan dengan apa yang diyakininya. Artinya kondisi obyektif yang ada tidak bisa menjadi basis materi dari pola perlawanan Marx dengan ‘perjuangan kelas’. Karena pada waktu yang bersamaan Marx juga mendukung revolusi bersama kaum bojuis di Jerman, dan revolusi agaria di Polandia, bukanlah revolusi proletar. Ternyata fakta bahwa dunia terus mengalami perubahan, terutama bntuk dari kapitalisme itu sendiri dan formasi dari perjuangan kelas juga mengalami transformasi bentuk. Analogi-analogi ini menunjukan kita bahwa penalaran Marx dan Engels memiliki sifat problematis- selalu membutuhkan revisi- hingga mereka wafat. Dalil ini diperkuat dalam Manifesto, keduanya menyatakan bahwa ‘prinsip umum’ yang dijelaskan masih benar, meskipun dalam ‘penerapan praktisnya akan tergantung pada kondisi historis, dimana pun dan kapan pun’ (Townshend, 2003: 11-12). Revisi terhadap Marxisme adan dumulai pada dua hal, pertama berkenaan dengan aliansi kelas. Marx dan Engels mendukung mendukung kaum borjuis Jerman pada tahun 1848, meskipun mengorbankan gerakan kelas buruh, dalam harapan Marx dapat menggulingkan kekuasaan monarki sama seperti tujuan revolusi Perancis. Seteah revolusi 1848 itu gagal, mereka menyatakan bahwa kaum borjuis memiliki fungsi dan posisi dalam kemajuan kelas itu. Sehingga Marx juga mengakomodir kelompok borjuis untuk tahap revolusi awal, dan kemudian di transformasi pada kelas buruh untuk mencapai kekuasaan proletariat. Dalam pernyataan yang lain Engels secara jelas berpendapat bahwa kaum proletariat harus juga beraliansi dengan borjuis kecil untuk melahirkan organisasi politik dan militer yang tangguh melawan kaum borjuis. Konsep ini dikatakan Marx sebagai ‘revolusi permanen’, yang akan secara bertahap untuk mencapai Universitas Sumatera Utara kekuasaan proletariat. Disini kita mulai memahami bahwa Marx dan Engels tidak secara tegas menarik garis antara kaum borjuasi. Bahkan pada 1860’an Marx mulai mendukung pembebasan nasional di Polandia dan Irlandia dimana kelompok borjuis cukup memegang peranan penting. Gerakan pembebasan nasional dapat menghancurkan ideologis borjuis atas proletar melalui penanaman rasa superioritas nasional. Samapai pada sebuah titik Marx meyakini aliansi buruhpetani -yang pada awal nya pada Manifesto proletar sebagai basis material- dimana kaum proletar minoritas adalah jalan yang mungkin untuk melawan borjuasi kapitalis. Dan pada 1848 dalam “The Demands of Communist Party in Germany” secara jelas menyatakan empat tuntutan yang menguntungkan kaum petani. Di akhir-akhir hayat Marx memberi perhatian penuh terhadap petani di Rusia, dan secara sementara menyimpulkan bahwa kepemilikan tanah adalah kondisi objektif dari situasi kapitalisme, yang apabila “kepemilikan umum” dapat direalisasikan maka akan menjadi pemicu dari perkembangan komunisme di Barat, dan dimulai dari Rusia. Revisi kedua, adalah persoalan transisi menuju komunisme dimana mereka juga meyakini ada nya pertarungan politik dalam pertempuran demokratisasi –yakni demokratisasi Negara- seperti yang terjadi Inggris (dimana kemenangan memlalui proses damai). Dalam pidato Marx pada konggres Internationale I, berpendapat bahwa cara-cara damai tidak dapat dilakukan pada Jerman, Perancis dan Rusia karena pada tataran kekuasaan Eropa continental Negara bersifat seperti mesin antara perpaduan militer dan birokrat yang mendominasi dimensi kehidupan social, politik dan ekonomi. Analis Marx masih menempatkan posisi kekuasaan dalam praktek feodalisme, sehingga kekuasaan itu harus direbut kaum borjuis untuk berkuasa, baru akan diteruskan dengan perjuangan kelas proletar menuju transisi komunisme. 5 Keniscayaan sejarah seperti apa yang 5 Revisi yang terjadi karena adanya sebuah ambiguitas konsep dari revolusi itu sendiri, sehingga batasan antara proletar dan borjuis menjadi kabur. Dalam pendapat Townshend terlihat Marx juga terjebak dalam segregasi antara perjuangan kelas dan persoalan bangsa. Universitas Sumatera Utara diyakini Marx dalam bentuk revolusi, secara perlahan gugur dengan perkembangan zaman dan metafor kelenturan kapitalisme. Dan para buruh lebih memilih metode reformis ketimbang menumbangakannya. Dengan ini kita bisa menguliti tradisi problematis dari Marxisme itu, yang tidak dapat di pahami secara dogmatis. Karena dengan jalan reformis ekonom dan poliik buruh berkepentingan dengan kapitalisme. KEMUNCULAN TOKOH REVISIONIS: HARAPAN BARU SOSIALISME EROPA Setelah kegagalan Revolusi 1848 menjadi tekakan kepada gerakan pekerja di Eropa, namun di lain sisi tidak menyurutkan untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan kesetaraan. Gerakan persatuan di Italia, dan kebijakan Liberalisasi di Rusia yang singkat adalah rangsangan dari gelombang politisasi. Ini memberikan sebuah tekanan yang kuat bukan hanya kepada hasrat persatuan nasional tetapi juga pembentukan aspirasi yang emansipatoris dari kelas pekerja yang memiliki pengaruh dalam system politik. Dalam situasi ini, kaum borjuis-liberal di Jerman sekali lagi menunjukan kefasihan nya dalam advokasi parlementarism dan hak demokrasi, kebebasan dan kesatuan nasional. Pergeseran arah politik menjadi ke sudut pandang Liberalisme, karena muncul seorang tokoh Ferdinand Lassalle seorang democrat borjuis. 6 Lassalle memulai kritik nya pada Manifesto Communist, kemudian dia meyakinkan bahwa Liberal dan seluruh bojuis tidak benar-benar berjuangan untuk demokrasi. Dia secara pahit menulis surat ini kepada pengusaha (Gustav Lewy) di Dusseldorf : “Percaya saya, saya telah mempelajari Partai Progresif (Partai Liberal) secara cermat, dengan prinsip; apapun revolusi dari bawah, bukan despotism dari atas”. Pandangan ini seolah menghianati idealisme revolusi 1848, sehingga perseteruan ditujukan 6 Lassalle berupaya memasukan Program Liberal dalam perjuangan Marxisme, dimana dalam pandangan nya Iklim sosialisme tidak akan tumbuh subur tanpa liberalisme. Meskipun konsekuensi gagasan nya banyak menghilangkan pretensi Marxisme terhadap konsep perjuangan kelas. Universitas Sumatera Utara kepada kaum borjuis liberal. Kebangkitan gerakan buruh akan terus dimotori oleh kepemimpinan liberal-borjuis dengan slogan kebebasan dan persatuan. Dalam “surat jawaban terbuka” (1 Maret 1863) Lassalle menyerukan kepada pekerja bahwa harus membuat organisasi politik yang mandiri. Yang kemudian berdiri di Leipzig pada 23 May 1863, dengan nama Allgeimeiner Deutcher Arbeiterverein (Perhimpunan Umum Buruh Jerman). Kemudian Lassalle membangun Partai Buruh Independen dengan program pokok; Kesamaan Hak Pilih dan Kebebasan Berasosiasi dan persatuan pekerja (FES, - 28-30). Pandangan Lassalle bukan tanpa pendukung, ide nya kemudian diusung oleh Eduard Bernstein untuk mulai merevisi Marxisme. Ini dengan jelas terbukiti dalam “Ferdinand Lassalle as a Social Reformer” yang ditulis pada 1893, dimana Bernstein mengagumi pola kepemipinanan Lassalle dalam membangun organisasi politik yang mapan dan pandangan nya soal reformasi sosial. Selama pengasingan nya di Inggris, Bernstein juga dipengaruhi oleh pandangan Engels yang lantas mendorongnya untuk menuliskan persoalan sosialisme dengan judul “Evolutionary Socialism” pada 1899. Bernstein ingin merevisi bagian-bagian yang dianggap “ideologis dogmatik” dalam Marxisme sehingga berupaya mengurai lebih “ilmiah” dengan mengacu kepada fakta-fakta yang terjadi pada masa itu. Dia memiliki harapan agar Marxisme terus berjalan sesuai tantangan zaman, pertama tuntutan hak politik dan ekonomi individual (individual liberty) dalam kapitalisme yang termaktub dalam Program Erfurt dan kedua,,sejalan dengan praktik yang tersirat dalam SPD untuk memperjuangkan demokrasi. Dalam pandangan nya dia ingin melakukan secara koherensi antara praktek dan teori Marxisme sebagai alat perjuangan dalam pertarungan politik. Sehingga strategi dalam pelbagai reformasi yang di gagas oleh aliansi buruh dan kelas menengah progresif dapat secara terang-terangan bertarung secara politik, maka Marxisme harus lebih pragmatis dan liberal (Townshend, 2000:27). Universitas Sumatera Utara Bernstein menitik beratkan kritik Marx pada tujuan akhir –telos, yang di tuangkan dalam “Evolutionary Socialism” dan Program Erfurt. Yaitu “Revolusi” proletariat sebagai jalan menuju masyarakat komunis, ini tidak bermakna apapun ketimbang “reformasi” yang sepotong-potong. Karena revolusi sebagai sebuah telos, hanya menyandarkan kepada keniscayaan sejarah. Padahal sejarah adalah akibat beragam perubahan komulatif, dan bersifat imanen (Townshend, 2003: 28). ” Modern society is much richer than earlier societies in ideologics which are not determined by economics and by nature working as an economic force…“The Iron Necessity of History” receives in this way a limitation, which, let me say at once, signifies in regard to the practice of social democracy, no lessening but an increasing and qualifying of its social political tasks…we see the materialist conception of history to-day in another form than it was presented at first by its founders. It has gone through a development already, it has suffered limitations in absolutist interpretation…To the words “materialist conception of history” still adhere all the misunderstandings which are closely joined with the conception of materialism” (Bernstein, 1899: Cpt. I-b). Dalam tulisan nya kita bisa memahami bagaimana Bernstein merevisi ajaran Marx, baginya bentuk masyarakat telah mengalami perubahan seiring waktu dan ‘lokomotif’ revolusi tidak kunjung datang. 7 Sehingga dia punya alasan kuat untuk meredusir gagasan Marx yang bersifat “ideologistik” dan menolak konsep ‘deterministik Marxisme’ yang berangkat dari filsafat Materialisme-Historis. Dengan itu secara konsekuensi dia juga menolak ekonomi yang bersifat 7 Secara terbuka Bernstein menolak hokum besi sejarah Marxisme, dengan apa yang dikatakan nya “lokomotif sejarah”. Posisi ini menjadi tolakan untuk menggeser lokus ‘revolusi’ kepada praktek yang lebih realistis ‘reformasi’ Universitas Sumatera Utara deterministic, karena itu sebuah impian yang tidak masuk akal. Manusia dengan penghetauan nya melakukan sebuah penetrasi yang significant dalam kehidupan social, sehingga “hukum besi sejarah” menjadi terbatas. Sehingga perjuangan kelas hanya mengsegregasi pencapaian tatanan sosialisme, karena sosialisme harus di pahami secara universal dan aliansi antar kelas. Sehingga perjuangan sosialisme adalah buruh bersama kelas menengah progresif. Untuk memperkuat argumentasi nya soal “aliansi progresif” Bernstein merubah cara pandang ekonomi nya dengan kritik terhadap ‘teori nilai kerja’. Baginya teori itu tidak lebih dari sebuah abstraksi sebuah atom yang berjiwa. Jawaban atas eksploitasi bisa diatasi dengan sebuah reformasi, dan reformasi tidak akan berjalan secara konsisten apabila tidak di topang dengan bangunan organisasi yang mapan. ‘Dalam literature sosialisme, kita akan melalui penjelasan yang beragam tentang sebuah konsep yang ditujukan sebagaimana mereka runtuh dalam satu atau beberapa kategori, untuk mempraksiskan apa yang di turunkan dari konsep kesetaraan dan keadilan atau sebuah ringkasan karakterisasi penghetauan social, juga identifikasi melalui perjuangan kelas kepada pekerja dalam masyarakat modern dan menjelaskan bahwa sosialisme berarti ekonomi ko-operatif’ (Bernstein, 1899: Cpt. III-a). Ini artinya sebuah organisasi pekerja (bukan saja buruh, tapi pekerja professional) akan kooperatif dengan system ekonomi yang ada, sehingga proses distibusi dari kapitalisasi ekonomi bisa terjadi. Tekanan gagasan yang dilakukan Bernstein bukan semata-mata tendensi nya terhadap komunist, tetapi ada beberapa hal penting. Pertama, dia menolak ‘Diktator Proletariat’ karena itu akan merusak iklim demokrasi, dan cukup naïf hanya beralasan untuk memperkuat solidaritas. Kedua, dia meyakini lembaga-lembaga liberal yang akan bersifat lentur dalam mengakomodir kelas pekerja kedalam ruang demokrasi. Universitas Sumatera Utara Pandangan Bernstein berjalan bukan tanpa kritik, seorang Marxist lain nya yang cukup bertahan pada pedoman Marxisme klasik adalah Karl Kautsky. Meskipun mereka sama-sama memimpin SPD pada 1890’an yang dilatari dengan Program Erfut, namun pandangan nya cukup memiliki diksi dalam perdebatan Marxisme. Program Erfurt 1891 melakukan upaya konsolidasikan kembali dengan acuan Program Gotha 1875 yang pada saat itu terganjal undang-undang antisosialis oleh Bismarck selama 12 tahun (1878-1890). Esensi utama dalam Program Erfurt beberapa mengacu pada revisi terhadap praktik perjuangan Marxisme, karena disini arah perjuangan sudah mengarah dalam perjuangan parlementarian dan menuntut hak-hak kewarganegaraan. Dalam Program Erfurt dan intepretasi Kautsky terhadap Marx, sosialdemokrasi diadopsi dari ajaran Marx dan Engels, yang meyakini perkembangan social harus melalui sebuah hukum alam yang ketat, itu akan berujung pada penghapusan aturan kelas (FES, 52). Pasca kongres di Erfut 1891, Kautsky secara teoritis dan ilmiah menuliskan tujuan dan arah gerak sosialisme dalam “Class Struggle” pada 1892. Dia juga sedikit mengecam pandangan Bernstein yang selalu mengasosiasikan praktek revolusi akan menggunakan kekerasan, padahal dalam pandangan Kautsky “Social Demokrasi, sudah melahirkan parai yang revolusioner tetapi tidak ada seorang pun yang bisa melahirkan nya”, karena partai politik harus menang dengan kekuatan kelas pekerja, dan penataan kembali struktur ekonomi secara radikal. Perjuangan reformasi social bisa apabila digabungkan dengan baik secara konsep dari tujuan revolusi (FES, 64). Kautsky masih meyakini beberapa ajaran Marx tentang revolusi yang menjadi sebuah jawaban karena adanya system pemilikan. Dalam system evolusi ekonomi tidak akan menghapuskan eksploitasi kelas, kondisi ini akan mendorong sebuah kesadaran kolektiv buruh dan kepemilikan bersama. Karena system eksploitasi terus semakin terjadi dan semakin kuat, untuk mengurangi praktek dari eksploitasi itu, massa populasi yang merasakan itu tidak punya pilihan lain selain meruntuhkan system kepemilikan pribadi. Disini Kautsky tidak serta merta yakin pada reformasi social, karena itu hanya akan bersifat temporer (Kautsky, 1888: Cpt. IV-1). Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya dalam “Class Struggle” Kautsky masih cukup terpengaruh dengan pandangan Marx, sehingga dia bisa dikatakan kaum Marxis ortodoks. Hal ini terlihat dalam pandangan nya yang masih mengklasifikasikan perjuangan kelas (Proletariat). Namun yang menjadi soal bagaimana kelas proletariat bisa dikukuhkan menjadi warganegara, yang mana hak-hak kemanusiaan nya melekat dalam diri nya dan dilindungi Negara. Karena kelas proletariat adalah kelas yang termiskinkan oleh sebuah struktur ekonomi, dan akan berdampak linear terhadap kehipun social mereka dikala mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Tapi disisi lain dia meyakini sebuah sosialisme bisa tercapai apabila ada “kepemilikan bersama”, dalam proses produksi sehingga proletariat dapat menjalankan basis ekonomi nya secara otonom. Selain itu, level pendidikan kepada proletariat juga harus ada, guna menopang masa depan kualitas kehidupan kelas itu sendiri (Kautsky, 1888: Cpt. I). Berbeda dengan Marx yang filsafat nya dipengaruhi oleh Proudhon sehingga gagasan nya terlihat anarchy. Secara tersirat Marx tidak begitu yakin terhadap masa depan negara, maka dari itu dia berupaya melakukan propaganda besar untuk membangun persatuan buruh Internationale. Kautsky meyakini perubahan dengan partai politik, meskipun dalam definisi nya “partai Proletar”, akan tetapi kita melihat kemajuan perspektif dalam politik nya. “The Socialist Party, accordingly, struggles, not for any class privilege, but for the abolition of classes and class-rule, for equal right and equal duties for all, without distinction of sex or race. In conformity with these principles it opposes in present day society, not only the exploitation and oppression of wages-workers, but also every form of exploitation and oppression, be it direct against a class, a party, a sex, or race” (Kautsky, 1888: Cpt. V). Universitas Sumatera Utara Kautsky memiliki kepercayaan bahwa partai politik adalah senjata utama untuk melakukan perlawan, dan menuntut hak-hak. Dia mulai menampakan aspek demokrasi nya, meskipun dia percaya bahwa partai memikul tanggung jawab terhadap kelas, namun ada hal kesetaraan dan pruralisme yang menurut nya juga adalah tuntutan dari sosialisme dengan mensesuaikan pada kondisi masyarakat modern. Dalam pandangan nya organisasi asli dari bentukan proletariat sudah menjadi model untuk melawan penindasan, karena dengan organisasi yang modern gerakan buruh bisa dengan inherent melakukan tuntutan aksi atau boykot pabrik. Organisasi yang baik, juga tidak bisa tanpa dukungan media. Media massa bisa sebagai alat komunikasi modern sekaligus propaganda politik, sehingga gerakan-gerakan buruh bisa terkonsolidasi dan menjadi kukuh meskipun berbeda wilayah. Akumulasi positif dari gerakan buruh, akan terjawab dengan Partai Sosialis untuk menyambungkan antara tuntutan di serikat-serikat buruh dengan kebijakan di parlemen. Dimana selama ini gerakan proletariat terlihat beroposisi dengan Sosialisme (Kautsky, 1888: Cpt. V). Meskipun Kautsky tetap berthan pada konsep proletariat nya, tetapi dia juga melakukan kritik keras pada Revolusi Oktoberis di Rusia. Dia kembali mempertanyakan apakah revolusi Bolshevik adalah revolusi Marxist? Kritik itu juga disambang oleh Rosa Luxemburg dalam “The Russian Revolution” karena ada ketakutan dictator proletariat akan menjadi boomerang terhadap kaum proletar itu sendiri. Kritik terhadap revolusi Oktoberis ditujukan kepada Lenin dengan konsep “Diktator Proletariat”, pada 1918 “The Dictatorship Proletariat”. Kautsky secara jelas mempertanyakan kembali posisi Marxisme dalam revolusi itu, sekaligus mengkritik konsep revolusi itu. Dalam pandangan nya Sosialisme dan Demokrasi bagaikan logam mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Karena demokrasi mengandung unsur kesetaraan antar warga negara, Universitas Sumatera Utara bukan berarti sosialisme tidak akan melakukan itu, namun bentuk kebebasan dalam masyarakat dapat terjaga dengan iklim demokrasi (Kautsky, 1918: Cpt. II). 8 Dalam masyarakat modern konsep demokrasi adalah yang bisa diterima, dimana negara akan di atur dalam parlemen melalui mekanisme demokrasi. ‘Pemerintahan dengan partai dalam demokrsi melakukan perubahan lebih cepat dari pada aturan kelas. Dalam keadaan ini, tidak ada partai yang menahan kekuatan (berpeluang dictator), dan akan selalu menghitung peluang minoritas, tetapi degngan negara tanpa partai akan meninggalkan minoritas selamanya’ (Kautsky, 1918: Cpt. IV). Hal ini sangat jelas bagaimana Kautsky menolak bentuk dari dictator yang dijalankan kaum Bolshevik di Rusia, karena itu tidak demokratis dan manusia tidak memiliki posisi tawar dalam kekuasaan. Seperti dalam awal gagasan nya dia memiliki keyakinan kepada kaum Borjuis yang progresif untuk berjuang bersama Proletar dalam partai yang Revolusiner (SPD). Ketakutan Kautsky terhadap “mayoritasrisme” di Rusia, terbukti pada masa Stalin dimana terjadi pemusnahan atas nama negara. Bagi nya prilaku negara yang intoleransi adalah konsekuensi atas pilihan dari anti-Demokrasi. Namun prdebatan ini adalah soal pilihan strategis dalam konteks sosiologis-historis. Laclau dan Mouffe lebih lanjut menuliskan, dalam The Class Struggle, Kautsky menyederhanakan makna dari setiap antagonisme atau elemen social dengan mereduksinya sebagai lokasi structural yang spesifik, yang telah terfiksasi posisinya oleh logika modus produksi kapitalis. Kemudian Kautsky menuliskan sejarah kapitalis yang dibentangkan dengan relasi – relasi yang sepenuhnya bersifat interior (pure relation of interiority). Kita bisa melangkah dari 8 Kautsky memiliki kegelisahan terhadap Fasisme, dimana sebuah diktatoriat adalah akar nya. Sehingga Kautsky mempertanykan kembali tujuan dari Revolusi itu sendiri, sehingga Sosialisme tidak membusuk menjadi Fasisme. Universitas Sumatera Utara dari kelas buruh ke kaum kapitalis, dari ranah ekonomi ke ranah politik, dari kapitalisme manufaktur ke kapitlisme monopoli, tanpa pernah sesaat pun bisa lepas dari rasionalitas dan intelegbilitas internal dari suatu paradigm yang bersifat tertutup. Kapitalisme dianggap bertindak terhadap realitas eksternal social, namun realitas social tidak larut begitu saja ketika berkontak dengan kapitalisme. Kapitalisme memang berubah, namun perubahan itu tidak lebih dari berkembang nya tendensi-tendensi, dan kondisi-kondisi yang bersifat endogen. Disinilah logika keniscayaan tak terbatasi oleh apapun: inilah titik awal teks pra-kritis dari The Class Struggle (Laclau&Mouffe, 2008: 16-17). KELOMPOK SPARTAKUS DAN WANITA YANG MEMPERTAHANKAN PANDANGAN KLASIK MARXISME Seorang wanita bahkan berhadap-hadapan langsung dengan Berstein, Rosa Luxemberg merumuskan bantahan terhadap teori reformis Bernstein dengan tegas dan menyematkan ide-ide Marxisme yang revolusioner. Rosa adalah seorang pemimpin ‘sayap kiri’ yang masih memiliki keyakinan terhadap pemogakan masal bisa dijadikan alat menuju negara buruh. Karya Rosa “Social Reform or Revolution” pada 1899, adalah sebuah karya Marxisme ortodoks yang cukup dikenal untuk menyerang gagsan Bernstein. Pandangan Rosa masih berposisi pada perspektif Marx bahwa, secara mendasar masih ada hubungan antara tujuan akhir reformasi social- pencapaian kekuasaan proletarian- dan tugas-tugas praktis yakni, demokratisasi negara kapitalis dan membetuk serikat buruh, membangun gerakan koperasi. Dengan kata lain ia ingin menunjukkan bagian pertama program Erfurt tidak harus ditinggalkan atau ditulis kembali, dalam ati perwujudan tergantung pada kemenangan tuntutan-tuntutan minimum pada bagian dua dan tiga. Dan dia juga masih Universitas Sumatera Utara bersikukuh bahwa kontradiksi-kontradiksi secara inhern akan meruntuhkan kapitalis itu dengan sendirinya (Townshend, 2003: 30). Dalam satu hal kredit, bagi Rosa krisis yang diakibat oleh krisis kredit itu sendiri tidak akan bisa diselesaikan dengan capital. Sehingga kredit itu akan mempercepat overdeterminis yang meruntuhkan produksi dari capital (Rosa, 1899: Cpt II). Dengan mengutip pernnyataan Bernstein soal “tujuan akhir Marxisme tidak akan berarti apapun, ketimbang reformasi yang sepotong-sepotong”. Bagi Rosa, apabila meyakini bahwa reformasi adalah dari tujuan itu sendiri, maka secara logis akan menggadaikan tujuan jangka panjang dan hanya akan melahirkan teori yang ‘oportunis’. Baginya kekuasaan proletar harus berjalan secara hegemonik, maka reformasi adalah alat dan revolusi adalah tujuan. Anasir-anasir ini akan menguatkan politik subjektif kelas buruh, yang meletak kan kelas sebagai sentris pembahasan bukan kondisi objektif kapitalisme. Untuk mencapai kondisi historis tersebut, buruh tidak hanya memerlukan teori, namun juga teori yang benar. Berbeda dengan Bernstein, upaya ini memerlukan dialektis terhadap kondisi social, politik, ekonomi, sedangkan Bernstein hanya berdialektis dengan kapitalisme. Dalam menjelaskan kapitalisme Rosa memiliki dua cirri, sebagai basis argumentasi nya. Pertama, kapitalisme sebagai sebuah system yang tercabik-cabik oleh kontradiksi-kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan oleh reformasi social, karena kontradiksi-kontradiksi itu bersifat sistemik. Produksi, perdagangan, kredit, investasi dan lain-lain adalah terikat satu sama lain. Sehingga apabila terjadi masalah dalam komoditas pasar, bukan terjadi denga sendirinya tetapi merupakan gejala krisis profitabilitas. Kedua, pemahaman terhadap kapitalisme memperliahatkan “dualisme masa depan sosialis dan kondisi dari kapitalis; Universitas Sumatera Utara modal-kerja, borjuis-proletar”. Kontradiksi-kontradiksi inheren dalam kapitalis, meyakinkan Rosa keruntuhan kapitalis akan digantikan pada masyarakat sosialis (Townshend, 2003: 31).9 “the economic notion of “capitalist” no longer signifies an isolated individual. The industrial capitalist of today is a collective person composed of hundreds and even of thousands of individuals. The category “capitalist” has itself become a social category. It has become “socialised” – within the frame-work of capitalist society… The Social-Democracy does not, however, expect to attain its aim either as a result of the victorious violence of a minority or through the numerical superiority of a majority. It sees socialism come as a result of economic necessity – and the comprehension of that necessity – leading to the suppression of capitalism by the working masses.” (Rosa, 1899: Cpt. VI). Disini kita bisa melihat bahwa Rosa sedikit banyak masih berangkat dalam analisis Marx dalam Manifesto Communist, meskipun tujuan akhir nya masyarakat sosialis. Selain gagasan soal anticapitalis dia juga yakin bahwa sebuah kekuasaan juga harus membangun kesetaraan yang egaliter. Dalam tataran teori dengan jelas Rosa mengkritisi pernyataan Bernstein yang menolak teori nilai kerja lantas dikatannya itu adalah sebuah ‘abstraksi’. Bagi Rosa teori nilai kerja memang benarbenar ada dalam ekonomi komoditas. Uang adalah bentuk paling berkembang dari “pekerjaan” manusia yang bersifat abstrak. Meskipun demikian Rosa tidak menjabarkan penentangan Bernstein dengan pembedaan Marx antara buruh produktif dan tidak produktif. 9 Rosa masih memiliki keyakinan terhadap perjuangan revolusi, sehingga dia menolak pandanganpandangan liberal yang di formulasi oleh Bernstein. Dia masih berpegang teguh pada filsafat Materialisme Historis, sehingga konsep revolusi harus dijawab dengan pengorganisasian buruh yang suatu saat dapat dijadikan senjata atas “Boykot atau pemogokan total” yang dilakukan oleh kelas pekerja. Universitas Sumatera Utara Kemudian Laclau menambahkan, karya Rosa yang kemudian dianggap cukup baik dalam mengkonsep revolusi tanpa menghilangkan nilai Marxisme. Pada tahun 1906, Rosa menerbitkan “The Mass Strike, the Political Party and the Trade Union”, dimana dia mencoba mengurai efektifitas dan peran penting pemogokan masal. Pemogokan masal menjadi efektif apabila gerakan buruh berorientas terhadap pemogokan yang bersifat politik, hal ini sudah dibuktikan dalam Revolusi Rusia dimana telah memperlihatkan interaksi timbal-balik sehingga semakin memeperkarya dimensi-dimensi politik dan ekonomi dari gerakan pemogokan masal. Dalam model negara Tsaris yang represif, tidak ada gerkan yang berjalan secara parsial dan sendirisendiri; secara tak terelakan gerakan akan muncul sebagai symbol resistensi, dan mendorong gerakan-gerakan dalam format yang lain. Gerakan ini muncul pada waktu yang tidak diduga dan kondisi yang tidak diramalkan. Sebab itu adalah perubahan diluar konsep para pemimpin serikat buruh. Konsep ini adalah gagasan ‘spontanisme’ Rosa, kesatuan antara perjuangan yang bersifat ekonomi politik –kesatuan kelas buruh--- merupakan sebuah konsekuensi dari gerak saling memperkaya dan interaksi. Sesungguhnya gerak ini pada giliran nya adalah revolusi itu sendiri (Laclau&Mouffe, 2008: 3-4). “All the above great and partial mass strikes and general strikes were not demonstration strikes but fighting strikes, and as such they originated, for the most part, spontaneously, in every case from specific local accidental causes, without plan or design, and grew with elemental power into great movements, and then they did not begin an “orderly retreat,” but turned now into economic struggles, now into street fighting, and now collapsed of themselves” (Rosa, 1906: Cpt IV). Universitas Sumatera Utara Logika spontanisme Rosa adalah hasil dari sebuah kemandirian buruh dalam mengatasi masalahmsalah nya sendiri. Maka dia menekankan sebuah organisasi buruh mandiri dan sadar akan tanggung jawab historis nya yang harus dimenangkan. Dalam pandangan ini menjadi berbeda dengan Lenin, yang befikir secara sendem (sentralis demokrasi) dengan adanya komite sentral pada struktur Komunis Rusia. Lebih lanjut, dalam pengalaman nya di SPD semakin kuat nya peranan komite sentral akan mempersempit ruang kreatifitas taktis kelas buruh (Townshend, 2003: 94). Juga karena kondisi overdeterminasi, yang memunculkan titik antagonism dan beragam perjuangan politik secara pengaruh eksternal akan melahirkan kesatuan kelas. Kesimpulan maju yang dirumuskan Rosa dalam The Mass Strike adalah, proses overdeteministk memuculkan karekteristk khas dari symbol kesatuan kelas. Ini adalah gagasan yang maju dibandingkan teori yag muncul pada Internationale kedua ‘yang menganggap kesatuan kelas semata-mata ditentukan dengan hukum-hukum basis ekonomi’ (Laclau&Mouffe, 2008: 8-9). Setelah kita coba menyimak pertikaian dalam kalangan Marxisme Eropa, ada banyak pelajaran yang bisa kita petik. Bahwa ternyata gagasan Marxisme mengalami sebuah evolusi baik dalam tataran teori maupun praksis gerakan. Memang seakan perdebatan ini simplistic, hanya untuk mengurai sebuah definisi revolusi sehingga pertikaian dalam kalangan Marxist pun terjadi. Namun ada aide-ide maju yang tersingkap dibalik makna teks-teks mereka, bukan semata-mata menolak maupun menerima secara dogmatis tetapi ada upaya teoritis yang dibangun diatas teksteks itu. Paling tidak kita mencatat tokoh-tokoh revisionist yang cukup berpengaruh dalam perdebatan Marxisme, dalam arena itulah kita bisa memahami bagai mana teori itu bisa berkembang sampai hari ini. Universitas Sumatera Utara Townshend melakukan studi terhadap Politik Marxisme tanpa melupakan kesejarahan Marxisme Eropa berserta actor-aktor nya. Sehingga kita mampu meneropong basis nilai yang diperjuangakan oleh kaum Marxist yang bertikai. Berdasarkan studi yang dilakukan Townshend, kita melihat bagai mana Bernstein berupaya menginfiltrasi tradisi Liberalisme dalam analisis politik dan orientasi gerkan. Misalnya, Bernstein menolak teori nilai kerja dan hokum besi sejarah yang cukup prinsip dalam analisis Marxisme dan mempercayai kepada lembaga Liberal yang bisa sangat fleksibel mengakomodir kelas buruh. Pandangan nya secara tegas dikritik oleh lawan politik nya Rosa dan Kautsky, yang masih berposisi pada Manifesto Communist. Secara diskursus, Laclau dan Mouffe juga menuliskan bagaimana terjadi perdebatan dalam termterm Marxisme sehingga secara logis mempengaruhi dari konsep revolusi Marxisme. Mereka meletakan perdebatan itu untuk mencari format dari konsep hegemoni. Karena pada akhirnya perjuangan buruh memang harus melahirkan kekuasaan yang hegemonic, seperti pada masingmasing konsep yang sudah diurai diatas. Dalam bagian ini, kita tidak mencari sebuah pembenaran dari posisi masing-masing teori. Tetapi ini sebagai basis sejarah sebuah episode revisionist dimulai, dan pandangan-pandangan ini akan cukup memiliki pengaruh dalam pergolakan revolusi negara ketiga termasuk Indonesia. Meskipun tokoh-tokoh itu bukan secara keseluruhan dari perdebatan Marxisme, tapi paling tidak mereka cukup mewakilkan di genrasi dan kelompok nya. Penguraian ini perlu untuk meletakakan kesejarahan Sosial-Demokrasi dalam konteks historis. Karena wacana ideology tidak bisa dipahami secara pasti (fixation). Konteks sejarah ini sebagai landasan dari Marxisme-revisionist, Universitas Sumatera Utara yang kemudian cukup mempengaruhi para pendiri bangsa kita untuk melawan kolonialisme. Dengan meminjam konsep genealogy Foucalt, kita juga akan melacak kembali ide-ide revolusioner pendiri bangsa dengan kaitan nya terhadap gagasan revisionist Marxisme. Dalam proses ini, kita juga bisa melihat sekaligus memahami ide dan pristiwa yang selalu berubah atau kontigensi terhadap situasi. Juga kita melakukan sebuah upaya rekonstruksi, bagaimana sebuah transformasi ideology dilakukan dalam konteks sejarah dan latar belakang budaya yang berbeda. Persoalan-persoalan ini akan coba dijawab secara serius dengan kembali pada teks-teks yang menyingkap makna. Universitas Sumatera Utara