EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUNTAH PADA PASIEN RETINOBLASTOMA ANAK YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Oleh: Diniyah Siti Rahmah NIM. 104102003240 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 SURAT PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Jakarta, September 2008 Diniyah Siti Rahmah NIM. 104102003240 3 EVALUATION USAGE of ANTIEMETIC FOR PEDIATRIC WITH RETINOBLASTOMA EXPERIENCING CHEMOTHERAPY at “DHARMAIS” CANCER HOSPITAL DINIYAH SITI RAHMAH Pharmacy Study Programmed; Faculty of Medicine and Health Science Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta ABSTRACT Cancer is a disease that able to infect all circle of children till adult and can grow in all body tissue. Retinoblastoma is a cancer at eye retina and sometime at gland pineal which is 95% attacking children before age 5 year old. So it will be needing of medication generate many effect which harming and the among others is nausea and vomiting which is very bother the childrens, which ought to at this age they should to earn to play. For that reason, it need existence of prevention and medication of vomiting with usage of antiemetic. The aim of this research is to know a compatibility to election of antiemetic, compatibility of dose, rule of consumption and also used effectivity of antiemetic in “Dharmais” Cancer Hospital at January 2003Februari 2008. Resource was got from sheet of chemotherapy in medical record by prospective and analized with descriptive method is non analytic chi-square test. From this research is got a matter at a patient that accepting antiemetic before appropriate chemotherapy pursuant to its potential emetogenic of chemotherapy agent got equal to 23.81%. Patient which still experience of vomiting equal to 61.54%, each other got with value 15.39% for acute emesis and 46.15% for delayed emesis, respectively. Compatibility of dose is 100% and compatibility of consumption rule is 84.62% and also effectivity of given antiemetic equal to 38.46% or 38.5% with chi-square test that means there is a significant relationship among the antiemetic with experience of vomiting, that is giving of combination antiemetic among ondansetron and dexamethasone, so the patient of child do not experience of vomiting at all. Keyword : Retinoblastoma, Chemotherapy, Nausea and Vomiting, Antiemetic EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUNTAH PADA PASIEN RETINOBLASTOMA ANAK YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER “DHARMAIS” DINIYAH SITI RAHMAH Program Studi Farmasi; Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Kanker merupakan suatu penyakit yang dapat menyerang semua kalangan dari anak-anak hingga orang dewasa dan dapat tumbuh di semua jaringan tubuh. Retinoblastoma merupakan kanker pada retina mata dan terkadang pada kelenjar pineal yang 95% menyerang anak-anak sebelum usia 5 tahun. Sehingga diperlukannya pengobatan salah satunya adalah kemoterapi. Pengobatan ini menimbulkan banyak efek yang merugikan diantaranya mual dan muntah yang sangat mengganggu anak-anak yang seharusnya pada usianya mereka dapat bermain. Untuk itu perlu adanya pencegahan dan pengobatan muntah dengan penggunaan antiemetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemilihan antiemetik, kesesuaian dosis, aturan pakai serta efektivitas antiemetik yang digunakan di RS. Kanker Dharmais pada Januari 2003-Februari 2008. Data didapatkan dari lembar kemoterapi dalam rekam medis secara retrospektif dan dianalisa dengan metode desktiptif non analitik dengan menggunakan chi-square tes. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada pasien yang menerima antiemetik sebelum kemoterapi yang sesuai berdasarkan potensial emetik agen kemoterapi yang didapat sebesar 23.81%. Pasien yang masih mengalami muntah sebesar 61.54% masing-masing dengan nilai 15.39% untuk tipe akut dan 46.15% untuk tipe tertunda; kesesuaian dosis 100%, dan kesesuaian aturan pakai 84.62% serta efektivitas dari antiemetik yang diberikan sebesar 38.46% atau 38.5% dengan chi-square yang berarti ada hubungan yang signifikan antara antiemetik dengan keluhan muntah yang ditimbulkan. Antiemetik yang paling efektif yaitu pemberian kombinasi antara ondansetron dan deksametason sehingga pasien anak tidak mengalami muntah sama sekali. Kata Kunci : Retinoblastoma, kemoterapi, mual dan muntah, antiemetik 5 KATA PENGANTAR Segala puji bagi ALLAH SWT tuhan semesta alam, yang menguasai kerajaan langit dan bumi, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Berkuasa atas segala sesuatu, yang telah muncurahkan rahmat, berkah, dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa berjuang untuk membawa perubahan pada seluruh umat manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang, jalan yang di-ridhai ALLAH SWT. Skripsi yang berjudul Evaluasi Penggunaan Obat Anti Muntah Pada Pasien Retinoblastoma Anak yang Menjalani Kemoterapi di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis memperoleh banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof. DR (hc). dr. M. K. Tadjudin, SpAnd selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah mengesahkan karya tulis ini sebagai skripsi. 2. Drs. M. Yanis Musdja, Msc. Apt selaku ketua jurusan Program Studi Farmasi yang telah memberikan masukan-masukan yang membangun kepada penulis. 3. Kedua pembimbing terbaik Ibu Azrifitria, Msi. Apt dan dr. Edi Setiawan Tehuteru, SpA. MHA yang telah mencurahkan tenaga, meluangkan waktu, dan berbagi ilmu dengan penulis ditengah-tengah kegiatan mereka yang sangat padat demi kelancaran dan terselesaikannya skripsi ini. Mudahmudahan ALLAH SWT menggatinya dengan limpahan rahmat dan kasih sayangNya. 4. Drs. M. Yanis Musdja, Msc. Apt, Ibu Nurmeilis, Msi. Apt dan Ibu Zilhadia Msi. Apt selaku penguji yang telah banyak memberikan saran kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini. 5. Seluruh dosen dan staff program studi farmasi UIN yang sangat membantu penulis dalam kesehariannya. 6. dr. Yanto, Ibu Luki beserta paramedis onkologi anak Rumah Sakit Kanker “Dharmais” yang telah banyak membantu penulis menyediakan dan menerangkan berbagai macam hal yang penulis butuhkan demi terselesaikannya skripsi ini. 7. Kedua orang tua penulis Mama dan Abah yang selalu memberi kasih sayang, semangat, dorongan, dan segala bantuannya baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semangat. 8. Teh Melly, Kang Boyke, Teh Nita, Gatot, Ratih, Nia yang sudah banyak mengajarkan dan membantu penulis menyempurnakan skripsi, Dinda, Shafa, Fathia, Rio, Daisy yang mengisi hari-hari penulis menjadi lebih berwarna. 9. Purnama Dwi Tistianto yang telah banyak menemani dan membantu penulis, Tuti Albariyah teman seperjuangan di Dharmais, Astri yang kadang-kadang lemot, Rakhmawati yang selalu dan senantiasa lemot dan Nanda iseng sering ngerjain. Teman-teman angkatan 2004 yang lucu-lucu, iseng, aneh, tapi sangat baik, selalu menolong dan menghibur “I’ll be there for u, ‘coz u there for me too”. Seluruh pihak-pihak yang telah memberikan semangat dan masukan kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena keterbatasan tempat. Penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan dalam penulisan nama dan gelar pada pihak-pihak tersebut. Akhirnya hanya kepada Allah SWT semua itu diserahkan. Semoga amal baik mereka diterima oleh Allah SWT. Aamiin. Wassalaamu’alaikum, Wr, Wb. Jakarta, September 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman 7 DAFTAR ISI ........................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah .......................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................... 4 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sakit Kanker Dharmais ......................................... 5 2.2. Rekam Medis ................................................................... 6 ............................................................................. 9 2.3. Kanker 2.3.1. Definisi ................................................................. 9 2.3.2. Epidemiologi kanker .............................................. 11 2.3.3. Tahap Terjadi Kanker .......................................... 11 .................................................................. 12 2.4. Terapi Kanker 2.4.1. Tujuan Terapi ...................................................... 12 2.4.1.1.Kuratif .................................... .............. 12 2.4.1.2.Paliatif .................................... .............. 2.5. Pengobatan Kanker ......................................................... 13 13 2.5.1. Operasi/Pembedahan ........................................... 13 2.5.2. Radioterapi .......................................................... 14 2.5.3. Kemoterapi .......................................................... 14 2.5.4. Imunoterapi ........................................................... 14 2.5.5. Terapi Gen ........................................................... 15 2.5.6. Hormon Terapi .................................................... 15 2.5.7. Bioterapi .............................................................. 15 2.6. Retinoblastoma ............................................................... 2.6.1. Tanda-tanda dan 16 Gejala ...................................... 16 2.6.2. Diagnosa .............................................................. 17 2.6.3. Pengobatan .......................................................... 17 2.6.3.1.Pembedahan .................................... ..... 17 2.6.3.2.EBR .................................... .................. 18 2.6.3.3.Plaque Radiotherapy ............................ 18 2.6.3.4.Cyto dan Fotokoagulasi ....................... 18 2.6.3.5.Kemoterapi .................................... ....... 2.7. Kemoterapi Kanker 18 ......................................................... 2.7.1. Tujuan Penggunaan ......................... 2.7.2. Cara Kerja ....................................... 19 Kemoterapi 19 Kemoterapi 20 9 2.7.3. Penggolongan Kemoterapi Pada Kanker Ginekologi 2.7.3.1.Golongan alkylating agent ..................... 21 2.7.3.2.Golongan platinum .................................. 21 2.7.3.3.Golongan taxane .................................... .. 21 2.7.3.4.Golongan analog asam folat .................... 22 2.7.3.5.Golongan analog pirimidine .................... 22 2.7.3.6.Golongan antibiotik ................................. 22 2.8. Efek Samping Kemoterapi 2.9. Mual dan Muntah BAB III ALUR PENELITIAN ................................................ 22 .............................................................. 25 ................................................................ 39 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 40 4.2. Desain Penelitian 40 .............................................................. 4.3. Populasi dan Sampel ......................................................... 40 4.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ................................................ 41 4.5. Cara Pengumpulan Data .................................................... 41 4.6. Batasan Operasional ......................................................... 41 ................................................................... 42 4.7. Analisa Data BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Karakteristik Subyek ..................................... 5.1.2. Penggunaan Obat Kemoterapi ....................... 5.1.3. Pemilihan dan Penggunaan Antiemetik 44 45 5.1.3.1.Jenis Antiemetik ............................. 5.1.3.2.Dosis Antiemetik ............................. 5.1.3.3.Aturan Pemakaian ............................. 5.1.4. Tipe Emesis 5.2. Pembahasan .................................................... ....................................................................... 45 46 47 48 50 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ....................................................................... 60 6.2. Saran .................................................................................. 61 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 62 LAMPIRAN ............................................................................................. 64 DAFTAR TABEL 11 Halaman Tabel 1. Karakteristik Subyek ........................................................... Tabel 2. Distribusi Siklus Kemoterapi Yang Dijalani Pasien di RS. Kanker Dharmais Tabel 3. 44 ........................................................... 44 Distribusi Regimen Kemoterapi Pada Pasien Retinoblastoma Anak di RS. Kanker Dharmais Periode 2003-2008 Tabel 4. ............................................................................. 45 Frekuensi Penggunaan Jenis, Golongan dan Bentuk Sediaan Pemakaian Antiemetik Kasus Paska Kemoterapi Retinoblastoma Pada Anak di RSKD Tabel 5. ……….. Tingkat Kesesuaian Pemilihan Antiemetik Berdasarkan Resiko Agen Kemoterapi Yang Diberikan ........................... Tabel 6. Pilihan Antiemetik dan Dosis Yang Digunakan Tabel 7. Macam Antiemetik Yang Didapat Oleh Pasien dan Keluhan Emetiknya Tabel 8. 46 …………... 46 ………………………………………………….. 47 Distribusi Pasien Yang Mendapat Golongan Kemoterapi dan Antiemetik Yang Sama Tabel 9. 45 ……………………………….... 48 Perbandingan Kasus Emesis Pada Protokol Lama Dengan Kasus Emesis Pada Protokol Baru Periode 2003-2008 ………………………………………….. 48 Tabel 10. Persentase Pasien Dengan Atau Tanpa Keluhan Emesis Protokol B …………………………………............... Tabel 11. Data Statistik Hubungan Antara Antiemetik Dengan Keluhan Muntah ………………………….….….... 49 49 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Protokol Retinoblastoma ..................................... Lampiran 2. Contoh Lembar Instruksi Kemoterapi Lampiran 3. Contoh Lembar Instruksi Kemoterapi Retinoblastoma 66 Lampiran 4. Rangkuman Rekam Medis 67 Lampiran 5. Output Data Statistik Chi-Square Test ............ ..................................... ..................... 64 65 82 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne). Suatu kelompok sel dengan mendadak menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus-menerus (proliferasi). Akibatnya adalah pembengkakan atau benjolan yang disebut tumor atau neoplasma. Sel-sel kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya. Tumor primer setempat itu sering kali menyebarkan sel-selnya melalui saluran darah dan limfe ke tempat lain di tubuh (metastase), untuk selanjutnya berkembang menjadi tumor sekunder (Tjay, Rahardja, 2007). Dinegara yang telah maju dan telah berhasil membasmi penyakit infeksi, kanker merupakan penyebab utama kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular. Di Amerika Serikat kanker merupakan penyebab utama kematian pada wanita antara 30 – 54 tahun dan anak-anak antara 3-14 tahun (Ganiswara, 2003). Kanker dapat tumbuh disemua jaringan tubuh, seperti sel kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam jenis kanker menurut sel atau jaringan asalnya (Diananda, 2007). Retinoblastoma adalah kanker pada anak-anak yang timbul pada retina mata dan jarang pada kelenjar pineal. Insiden terjadinya retinoblastoma selama periode 1975-1995 terjadi pada sekitar 3,8 juta orang. Terhitung 11% kanker retinoblastoma terjadi pada anak pada umur tahun pertama, tetapi hanya 3% kanker ini berkembang pada anak yang lebih muda umurnya dibandingkan pada anak dengan umur 15 tahun . Di Amerika, tiap tahunnya sekitar 300 anak dan remaja yang didiagnosa retinoblastoma dengan umur lebih muda dari 20 tahun. Mayoritas dari kasus retinoblastoma tejadi pada anak-anak muda, dengan hampir dua pertiga (63%) diantara semua retinoblastomas terjadi sebelum umur 2 tahun dan 95% terjadi sebelum 5 tahun (NCI, 2000). Terapi kanker dapat dilakukan dengan cara operasi, kemoterapi, radioterapi dan kombinasinya. Efek samping yang berat sering timbul pada pasien pasca kemoterapi, sering kali tidak dapat ditoleransi oleh pasien, dan bahkan menimbulkan kematian. Efek samping frekuensi terbesar adalah gangguan mual 15 dan muntah. Gangguan ini bervariasi tingkatannya dari yang ringan sampai pada kematian akibat dehidrasi dan kekurangan zat makanan (Suhadi, 2005). Pada anak-anak penderita kanker, obat-obat kemoterapi menyebabkan selsel di usus melepaskan serotonin yang kemudian sensasi ini diteruskan dan mengaktivasi pusat muntah di otak, yaitu medula oblongata. Akhir dari proses yang kompleks ini ditandai dengan ilorus yang mengalami relaksasi, yang memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak menuju lambung akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi regurgitasi isi lambung melalui esofagus dan faring. Sebelum menentukan obat anti muntah yang digunakan, penting untuk megetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang mana menurut kemampuannya dalam menimbulkan muntah (bersifat emetogenik), dibagi menjadi 3 kelompok yaitu ringan, sedang dan berat. Disebut ringan bila kurang dari 10% pasien yang endapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah; Sedang, bila 50% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah; dan berat bila semua pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah. Penatalaksanaan mual dan muntah yang tidak tepat dapat menghambat proses kemoterapi ini; menurunkan tingkat kesembuhan kanker, serta menimbulkan mual dan muntah tipe antisipatori yang berat (Tehuteru, 2007). Kejadian mual dan muntah sangat bervariasi pada kasus kemoterapi sehingga peran farmasis sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan gangguan ini untuk terwujudnya terapi yang rasional (appropiate, effective, safe & convenient) serta meningkatkan kualitas dan umur harapan hidup pasien kanker (Suhadi, 2005). Retinoblastoma merupakan kanker pada anak dengan insiden tertinggi kedua di Rumah Sakit Kanker ”Dharmais” setelah leukimia. Berdasarkan perihal diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas obat anti muntah pada pasien anak dengan retinoblastoma yang menerima kemoterapi. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana obat-obatan tersebut dapat mentolerir efek samping terbesar dari kemoterapi pada pasien ini. 1.2.Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah efektifitas obat anti muntah paska kemoterapi yang diberikan terhadap anak dengan retinoblastoma ? 2. Apakah obat anti muntah yang diberikan tersebut sesuai dengan tingkatan obat kemoterapi yang diberikan ? 3. Apakah dosis obat anti muntah yang diberikan sudah sesuai untuk mengatasi muntah sebagai efek samping paska kemoterapi ? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui jenis obat anti muntah yang digunakan untuk mengatasi mual dan muntah pasca kemoterapi retinoblastoma 2. Mengetahui efektivitas penggunaan obat anti muntah dalam mengatasi mual dan muntah pada pasien anak dengan retinoblastoma pasca kemoterapi 17 3. Mengetahui kesesuaian dalam pemberian obat, dosis, serta aturan pakai menurut tingkatan agen kemoterapi yang diberikan. 1.4.Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : 1. Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan untuk pengobatan dalam kasus mual dan muntah pada pasien anak retinoblastoma pasca kemoterapi 2. Salah satu bahan pertimbangan ataupun acuan pemberian peningkatan pelayanan dalam dan mutu medik terutama pengobatan dalam hal penatalaksanaan kasus mual dan muntah pada pasien anak dengan retinoblastoma pasca kemoterapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Rumah Sakit Kanker Dharmais Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) adalah rumah sakit pemerintah yang ditetapkan sebagai pusat kanker nasional, yang telah diresmikan oleh mantan presiden Republik Indonesia Bapak Jendral Soeharto pada tanggal 30 Oktober 1993. RSKD merupakan rumah sakit rujukan tertinggi jaringan pelayanan penyakit kanker di Indonesia, yang kini berubah status menjadi perusahaan jawatan (perjan) sejak Januari 2002 (Hadianty, 2005). 2.1.1. Visi dan Misi RSKD Visi RSKD adalah menjadi pusat rujukan tertinggi kanker di Indonesia dan mampu menyelenggarakan pelayanan berkualitas serta menjadi pusat pendidikan dan penelitian kanker. Misi RSKD adalah : 1) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penderita kanker, meliputi pelayanan penyembuhan pasien kanker, pemulihan dan peningkatan kesehatan penderita kanker, pencegahan penyakit serta pelyanan rujukan. 19 2) Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penelitian di bidang kanker. 3) Meningkatkan jangkauan pelayanan kanker. 2.1.2. Tujuan RSKD Tujuan RSKD adalah : 1) Memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu kepada masyarakat, terutama pasien kanker. 2) Menyediakan pelayanan dan pengembangan sarana yang luas di bidang pendidikan untuk calon spesialis, subspesialis, dan paramedis. 3) Menyelenggarkan kegiatan penelitian dan pengembangan penyakit kanker untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian serta penyebarluasan hasil penelitian. 2.2.Rekam Medis (Medical Record) Menurut peraturan menteri kesehatan No.749a/MENKES/Per/1989, rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana kesehatan. Rekam medis berisi semua informasi mengenai pasien, penyakit dan pengobatan yang diterima oleh pasien, termasuk urutan masa pelayanan/perawatan yang terjadi. Rekam medis dibuat untuk semua pasien dalam unit pelayanan. Tujuan dibuat rekam medis adalah : 1) Memudahkan perencanaan pengobatan dan perawatan yang harus diberikan kepada pasien. 2) Memudahkan untuk menetapkan biaya yang harus dibayar oleh pasien atas pelayanan yang diperolehnya di rumah sakit. 3) Memberikan informasi tentang kronologis dan kegiatan pelayanan medis kepada pasien. 4) Memudahkan evaluasi tindakan langsung dan tanggung jawab tenga medis untuk mencapai tujuan pelayanan kesehatan. 5) Memberikan perlindungan hukum kepada pasien dan pihak rumah sakit. 6) Menjadi sumber ingatan yang harus di dokumentasikan dan diterapkan sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan rumah sakit. Rekam medis memiliki kegunaan yang ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya yaitu : 1) Aspek Adimistrasi Rekam medis mempunyai nilai administrasi karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan paramedis untuk mencapai tujuan pelayanan kesehatan. 2) Aspek Medis Rekam medis mempunyai nilai medis karena catatan tersebut 21 digunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan yang harus diberikan kepada pasien. 3) Aspek Hukum Rekam medis mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut adanya jaminan kepastian jaminan hukum atas dasar keadilan dalam rangka menegakkan hukum keadilan serta menyediakan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan. 4) Aspek Keuangan Rekam medis mempunyai nilai keuangan karena isinya dapat dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan biaya pelayanan di rumah sakit, tanpa adanya bukti catatan pelayanan maka pembayaran pelayanan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. 5) Aspek Penelitian Rekam medis mempunyai nilai-nilai penelitian karena isinya mengandung data atau informasi yang dapat digunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. 6) Aspek Pendidikan Rekam medis mempunyai nilai pendidikan karena isinya menyangkut data atau informasi tentang perkembangan kronologis dari kegiatan pelayanan medis yang diberikan kepada pasien. 7) Aspek Dokumentasi Rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena isinya menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan rumah sakit. Pelaksanaan rekam medis di rumah sakit dimulai ketika pasien datang ke rumah sakit, bagian rekam medis akan memberikan kartu pinjaman rekam medis. File diambil oleh petugas, dicatat dalam buku eksperimen dan kemudian diantar ke ruangan. Bagi pasien yang tidak dirawat, maka dalam rekam medis akan dicatat obat-obatan yang diberikan kepada pasien. Rekam medis haraus diserahkan ke bagian rekam medis dalam waktu 24 jam. Apabila pasien harus dirawat, maka rekam medis disimpan di bagian rawat inap dan dicatat tentang perawatan yang diterima oleh pasien tersebut selama dirawat termasuk diagnosa, terapi, pemeriksaan penunjang dan saran dari dokter. Rekam medis untuk pasien rawar inap ini harus diserahkan ke bagian rekam medis dalam waktu 24 jam setelah pasien pulang. 2.3.Kanker 2.3.1 Definisi Kanker adalah suatu kondisi di mana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali. Sel-sel kanker akan terus membelah diri, dan tidak mengindahkan kaidah hukum-hukum pembiakan. Kanker juga pada dasarnya adalah suatu penyakit sel yang ditandai dengan suatu pergeseran pada mekanisme control yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Sel yang sudah mengalami transformasi neoplastik biasanya mengekspresikan antigen permukaan sel yang tampaknya merupakan tipe normal fetal dan mempunyai tanda lainnya dari “ketidakmatangan”, yang jelas dan dapat menunjukkan kelainan kromosom baik 23 kualitatif ataupun kuantitatif, termasuk pelbagai translokasi dan munculnya pengerasan dari rangkaian sel (Sukardja, 2000). Kanker bisa terjadi dari berbagai jaringan dalam berbagai organ, seperti sel kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di dekatnya (invasive) dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh.sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi. Penyebaran kanker Tumor jinak tidak menyebar, ia hanya tumbuh lokal yang expansif. Tumor yang mengadakan penyebaran ialah tumor ganas, walaupun tumor itu secara patologis kelihatannya sebagai tumor jinak. Tumor ganas yang hampir tidak pernah menyebar ialah basalioma, suatu tumor kulit yang umumnya hanya mengadakan destruksi local. Tempat penyebaran kanker dapat : 1) Lokal Kanker menyebar ke jaringan atau organ disekitar tempat kanker itu semula tumbuh, berupa satelitosis, satelit nodule, atau perlekatan dengan jaringan atau organ disekitarnya. Penyebaran lokal ini sering menimbulkan kanker itu yang semula operable menjadi inoperable. Penyebaran lokal ini umumnya seara langsung per continuitatum. 2) Regional Sel-sel kanker menyebar secara lomfogen dan tumbuh di kelenjar limfe yang berdekatan dengan letak tumor primer. Tiap-tiap organ mempunyai regionalnya sendiri-sendiri. 3) Ke organ-organ jauh Penyebaran kanker dapat timbul dimana-mana dalam organ tubuh, temasuk kelenjar limfe diluar kelenjar limfe regional. Penyebaran jauh itu umumnya secara hematogen. 2.3.2. Epidemiologi Kanker Pada sebuah penelitian epidemiologik tentang penyakit kanker, diperkirakan akan terjadi peningkatan 99% penderita pada tahun 2010 di negara berkembang dibandingkan pada tahun 1985. Sedangkan di negara maju, peningkatan jumlah penderita diperkirakan hanya 38%, hal ini menunjukkan bahwa penyakit kanker menjadi masalah yang serius di negara berkembang di masa mendatang. Di dunia, diperkirakan 7,6 juta orang meninggal akibat kanker pada tahun 2005 (WHO, 2005) dan 84 juta orang akan meninggal hingga 10 tahun ke depan. Di Indonesia, kanker merupakan penyebab kematian nomor 6 (Depkes, 2003), dan diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap 100.000 penduduk per tahunnya. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian kanker adalah geografis (misal kanker serviks lebih banyak di negara Asia), suku bangsa, variasi genetik, jenis kelamin (misal kanker payudara lebih banyak pada wanita), dan pengaruh lingkungan (makanan, pola hidup) (Diananda, 2007). 25 2.3.3. Tahap Terjadinya Kanker Kanker terjadi karena kerusakan struktur genetic yang menyebabkan pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol. Beberapa penyebab kerusakan gen yaitu : 1. Kelainan genetik / bawaaan (± 5%) 2. Karsinogen (zat penyebab kanker) - Merupakan sebagian besar penyebab kanker - Jenis : virus (misal Human papillomavirus penyebab kanker mulut rahim), zat kimia (misal asap rokok menyebabkan kanker paru), sinar radiasi (radiasi ultraviolet pada saat terik dapat menyebabkan kanker kulit), dll - Pengaruh lingkungan hidup Tahap terjadinya kanker : 1) Induksi Ada perubahan sel (displasia) 2) Kanker In Situ Pertumbuhan kanker terbatas pada jaringan tempat asalnya tumbuh 3) Kanker Invasif Sel kanker telah menembus membran basal dan masuk ke jaringan atau organ sekitar yang berdekatan 4) Metastasis Penyebaran kanker ke kelenjar getah bening dan atau organ lain yang letaknya jauh (misal kanker usus besar menyebar ke hati). Penyebaran ini dapat melalui aliran darah, aliran getah bening, atau langsung dari tumor. 2.4. Terapi Kanker 2.4.1. Tujuan Terapi Tujuan terapi kanker dapat : 2.4.1.1.Kuratif : Penyembuhan Terapi kuratif adalah tindakan untuk menyembuhkan penderita yaitu membebaskan penderita dari kanker yang dideritanya untuk selama-lamanya. Umumnya untuk sebagian besar kanker penyembuhan hanya mungkin pada kanker dini yaitu kanker lokoregional, masih kecil, operabel atau radiosensitif dan pada kanker yang sistemik yang khemosensitif seperti leukimia, limfoma maligna, choriokarsinoma dan kanker testis dan beberapa kanker yang terdapat pada anak. Kurang lebih 70% kanker yang solid dapat disembuhkan dengan pembedahan. 2.4.1.2.Paliatif : meringankan Terapi paliatif ialah semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita kanker terutama bagi yang tidak mungkin disembuhkan lagi. Tujuan paliatif ialah untuk : 1) Memperbaiki kulaitas hidup 27 2) Mengatasi komplikasi yang terjadi 3) Mengurangi atau meringankan keluhan 2.5. Pengobatan Kanker 2.5.1. Operasi/Pembedahan Operasi adalah terapi untuk membuang tumor, memperbaiki komplikasi dan merekonstruksi defek yang ada melalui pembedahan. Pembedahan merupakan prosedur penggobatan kanker yang paling tua, dan paling besar kemungkinannya untuk sembuh, khususnya untuk jenis kanker tertentu yang belum menyebar ke bagian tubuh lain. Kemajuan di bidang pembedahan telah memungkinkan tindakan operasi dengan luka dan efek seminimal mungkin. 2.5.2. Radioterapi Radioterapi ialah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi. Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja tetapi juga pada sel-sel normal di sekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker umumnya lebih besar dari sel normal. Karena itu perlu diatur dosis radiasi sehingga kerusakan jaringan normal yang minimal dapat pulih kembali. Terapi radiasi biasa diberikan pada kanker di daerah kepala, kelenjar, paru-paru, penyakit Hodgkin, dan kenker jenis lain, baik sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan pembedahan maupun kemoterapi. 2.5.3. Kemoterapi Kemoterapi telah digunakan untuk pengobatan kanker sejak tahun 1950- an. Diberikan sebelum operasi untuk memperkecil ukuran kanker yang akan dioperasi, atau sesudah operasi untuk membersihkan sisa-sisa sel kanker. Kadang dikombinasi dengan terapi radiasi, kadang tidak. Kemoterapi merupakan terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat anti-kanker yang disebut sitostatika. Obat penghancur sel kanker ini diberikan dalam tablet/pil, suntikan, atau infus. Lamanya kemoterapi yang dijalani dan ada atau tidaknya efek samping tergantung pada jenis kanker dan jenis kemoterapi yang diberikan. 2.5.4. Immunoterapi Immunoterapi yang disebut juga terapi merupakan jenis pengobatan kanker yang relatif baru yang merupakan terapi untuk menguatkan daya tahan tubuh dan memperbesar kemampuan tubuh menghancurkan sel-sel kanker. Kemampuan immunoterapi menghancurkan sel-sel kanker terbatas. Diperkirakan sampai sejumlah 105-107 sel kanker. Ada tiga macam immunoterapi, yaitu aktif (vaksin kanker), pasif, dan terapi adjuvan. 2.5.5. Terapi Gen Terapi gen dilakukan dengan beberapa cara : (1) mengganti gen yang rusak atau hilang, (2) menghentikan kerja gen yang bertanggung jawab tehadap pembentukan sel kanker, (3) menambahkan gen yang membuat sel kanker lebih mudah dideteksi dan dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh, kemoterapi, maupun radioterapi, dan (4) menghentikan kerja gen yang memicu pembuatan 29 pembuluh darah baru di jaringan kenker sehingga sel-sel kankernya mati. 2.5.6. Hormonterapi Hormon terapi ialah terapi untuk mengubah lingkungan hidup kanker, sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati sendiri.hormon terapi hanya dipakai untuk beberapa jenis kanker yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon (hormondependent), seperti kanker mamae, endometrium, thiroid dan prostat. 2.5.7. Bioterapi Bioterapi ialah terapi dengan menggunakan produk biologi, sepereti sitokin, interferon, antiangiogenesis, dsb. 2.6. Retinoblastoma Retinoblastoma merupakan tumor ganas endo-ocular pada anak yang timbul pada embrionik neural retina. Terdapat dua jenis retinoblastoma : yang berhubungan dengan mutasi genetik dan disebut sporadik retinoblastomas. Retinoblastoma terjadi kira-kira 11% terjadi pada anak-anak umur tahun pertama, 3% terjadi pada anak-anak dibawah umur 15 tahun. Jumlah pasien anak dengan retinoblastoma antara kulit hitam dan kulit putih sama, begitu pula dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara essensial tidak berbeda (Voute, P.A. et all, 1998). 2.6.1. Tanda-tanda dan Gejala Tanda-tanda dari retinoblastoma sering pertama kali diketahui oleh orangtua, yang umumnya mereka berkonsultasi dengan seorang opthalmologist dengan satu atau beberapa tanda-tanda ini, strabismus, merah, rasa sakit pada mata yang sering kali disertai oleh glukoma, dan penglihatan yang buruk. Tandatanda yang jarang terjadi yaitu rubeosis iridis (iris berwarna kemerahan), orbital cellulitis, heterochromia iridis (perubahan warna pada sebagian iris), nystagmus. Kejadian tumor awal pada penglihatan yaitu adanya refleks putih yang diketahui sebagai refleks mata kucing atau leukocoria. Hal ini mengindikasikan adanya sebuah tumor besar yang biasanya tumbuh dari periferi. Manifestasi klinis lain yaitu merah, mata nyeri, kadang-kadang disertai dengan glukoma. Kebutaan merupakan tanda akhir. Cara lain mendiagnosa penyakit ini secara dini yaitu dengan mengivestigasi anak dengan riwayat keluarga yang memiliki retinoblastoma. 2.6.2. Diagnosis Langkah penting dalam mendiagnosa yaitu dengan pemeriksaan mata dengan anastesi melalui seluruh pupil yang terdilatasi, dengan opthalmoscopy langsung dan penekanan sklera oleh ophtalmologis yang berpengalaman. Ultrasonography (US) dapat sangat membantu dalam membedakan diagnosis pada anak dengan leukoria. Computed Tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) berguna untuk mengevaluasi saraf-optik, orbital, keterlibatan susunan saraf pusat, dan adanya kalsifikasi intraokular. 2.6.3. Pengobatan Dua aspek dalam pengobatan retinoblastoma harus diperhatikan; yang pertama terapi lokal untuk mengobati penyakit intraokular, dan yang kedua terapi 31 untuk pasien dengan ekstra okular, regional, atau perluasan penyakit. Dalam negara berkembang, kebanyakan pasien menderita penyakit intra okular, dan tingkat kesembuhan sebesar 95%. Dalam kasus ini, rencan pengobatan harus diperhatikan pemeliharaan kemampuan penglihatan, meminimalisasi akibat dalam waktu yang lama. 2.6.3.1.Pembedahan Enukleasi adalah terapi yang mudah dan aman untuk retinoblastoma. Enukleasi merupakan pengobatan bila terdapat glaukoma, invasi anterior chamber, atau andanya rubeosis iridis, dan bila terapi lokal tidak dapat dilakukan karena katarak atau gagalnya pendekatan pasien. 2.6.3.2.External Beam Radiotherapy (EBR) Retinoblastoma adalah tumor yang radiossensitif dan radioterapi merupakan terapi yang terpilih untuk retinoblastoma. EBRT biasanya dikirim melalui linear akselerator dengan dosis 40-45 Gy, dengan fraksinasi konvensional meliputi seluruh retina.tingkat keberhasilan penyembuhan dengan terapi ini tidak haya bergantung kepada besarnya tumor, tetapi juga bergantung pada lokasinya. 2.6.3.3.Plaque Radiotherapy Logam radioaktif episkleral menggunakan 60Co, 106Ru, atau 125I yang secara meningkat digunakan dalam pengobatan retinoblastoma. Pengobatan ini biasanya digunakan untuk tumor tunggal dengan ukuran kecil dan sedang. 2.6.3.4.Cryo dan Fotokoagulasi 2.6.3.5.Kemoterapi Adjuvan kemoterapi digunakan pada banyak seri dan banyak pasien yang menerima pengobatan ini bertahan dalam waktu yang lama. Agen kemoterapi yang paling sering digunakan adalah carboplatin, cisplatin, etoposide, teniposide, cyclophosphamide, ifosfamid, vincristine, adriamycin, dan lainnya termasuk idarubisin yang dikombinasi. Meskipun banyak laporan terdahulu yang menyatakan bahwa invasi jelas pada orbit dan preauricular lymph nodes dihubungkan dengan hasil yang fatal, banyak dari pasien ini bertahan mencapai waktu yang lama dengan multimodal kemoterapi kombinasi, pembedahan, dan radioterapi pada seluruh area. 2.7. Kemoterapi Kanker Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak seperti radiasi atau operasi yang bersifat lokal, kemoterapi merupakan terapi sistemik, yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel kanker yang telah menyebar jauh atau metastase ke tempat lain. 2.7.1. Tujuan penggunaan kemoterapi : a. Terapi adjuvan Kemoterapi yang diberikan sesudah operasi, dapat sendiri atau bersamaan dengan radiasi, dan bertujuan untuk membunuh sel yang telah bermetastase. b. Terapi neoadjuvan 33 Kemoterapi yang diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan massa tumor, biasanya dikombinasi dengan radioterapi. c. Kemoterapi primer Digunakan sendiri dalam penatalaksanaan tumor, yang kemungkinan kecil uantuk diobati, dan kemoterapi digunakan hanya untk mengontrol gejalanya. d. Kemoterapi kombinasi Menggunakan 2 atau lebih agen kemoterapi e. Kemoterapi induksi Digunakan sebagai terapi pertama dari beberapa terapi berikutnya (Diananda, 2007). 2.7.2. Cara Kerja Kemoterapi Suatu sel normal akan berkembang mengikuti siklus pembelahan sel yang teratur. Beberapa sel akan membelah diri dan membentuk sel baru dan sel yang lain akan mati. Sel yang abormal akan membelah diri dan berkembang secara tidak terkontrol, yang pada akhirnya akan terjadi suatu massa yang dikenal sebagai tumor. Siklus sel secara sederhana dibagi menjadi 5 tahap yaitu: a. Fase G0, dikenal juga sebagai fase istirahat. Ketika ada sinyal untuk berkembang, sel ini akan memasiki fase G1. b. Fase G1, pada fase ini sel siap untuk membelah diri yang diperantarai oleh beberapa protein penting untuk bereproduksi. Fase ini berlangsung 1830 jam. c. Fase S, disebut sebagai fase sintesis. Pada fase ini DNA sel akan di kopi. Fase ini berlangsung 18-20 jam. d. Fase G2, sintesis protein terus berlanjut. Fase ini berlangsung 2-10 jam. e. Fase M. Sel dibagi menjadi 2 sel baru. Fase ini berlangsung 30-60 menit. Siklus sel sangat penting dalam kemoterapi sebab obat kemoterapi mempunyai target dan efek merusak yang berbeda tergantung pada siklus selnya. Obat kemoterapi aktif pada saat sel sedang bereproduksi (bukan pada fase G0), sehinggan sel tumor yang aktif merupakan terget utama dalam kemoterapi. Namun, oleh karena sel yang sehat juga bereproduksi, maka tidak tertutup kemungkinan mereka juga akan terpengaruh oleh kemoterapi, yang akan muncul sebagai efek samping obat (Sukardja, 2000). 2.7.3. Penggolongan Kemoterapi Pada Kanker Ginekologi 2.7.3.1.Golongan alkylating agent 35 Golongan alkylating agent bekerja sebagai pembunuh sel melalui beberapa mekanisme yang dapat terjadi, antara lain depurination, double-stranded & single stranded breaks, interstrand & intra-strand cross-link, gangguan replikasi DNA, dan gangguan transkripsi. Karena bekerja pada DNA, alkylating agent menyebabkan terjadinya gangguan formasi atau kode molekul DNA. Akibatnya sel yang terpapar dapat mengalami kematian atau masuk dalam proses mutagenesis atau karsinogenesis. Dengan demikian efek samping dari pemberian obat ini dapat menimbulkan resiko untuk terjadinya keganasan lain. Efek karsinogenesis setelah pemberian alkylating agent dapat terjadi pada sel sumsum tulang. Acute myelocytic leukimia dapat terjadi -10 tahun setelah pemberian dan resikonya antara 5-10%. Yang temasuk dalam golongan ini antara lain nitrogen mustard, mephalan, chlorambucil, cyclophospamide, dan ifosfamide. 2.7.3.2.Golongan platinum Platinum akan berikatan dengan guanine pada N-7 rantai DNA sehingga menyebabkan terjadinya interstrand DNA cross-links. Platinum sangat aktif pada G1, tetapi juga dapat aktif pada siklus sel lainnya. Platinum mempunyai efek itu, sebelum pemberian obat ini diperlukan hidrasi yang cukup. 2.7.3.3.Golongan Taxanes Taxane akan mengikat microtubule dan menghambat depolimerisasi microtubule. Prepatat taxane yaitu paclitaxel dan docetaxel. 2.7.3.4.Golongan analog asam folat Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim dihydrofolate reductase (DHFR). Yang termasuk golongan ini antara lain methotrexate (MTX). 2.7.3.5.Golongan Analog Pirimedine Bekerja menghambat messenger RNA dan ribosom RNA, menyebabkan gangguan transkripsi RNA, serta menyebabkan pelepasan thymidine. Dengan cara ini, maka golongan ini dapat bekerja pada beberapa siklus sel tetapi yang terutama adalah pada fase S. Yang termasuk golongan ini antara lain 5-fluorouracil (5-FU), cytarabine (Ara-C), dan Gemcitabine. 2.7.3.6.Golongan Antibiotik Golongan ini bekerja menurut bebrapa cara. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain Doxorubicin, Actinomycin D, vinca alkaloid, golongan podophillotoksin, Mitomycin C (Rasjidi, 2007). 2.8. Efek Samping Kemoterapi Efek samping dapat muncul ketika sedang dilakukan pengobatan atau beberapa waktu setelah pengobatan. Efek samping yang bisa timbul adalah: 2.8.1. Lemas Efek samping yang umum timbul. Timbulnya dapat mendadak atau perlahan. Tidak langsung menghilang berlangsung hingga akhir pengobatan. dengan istirahat, kadang 37 2.8.2. Mual dan Muntah Ada beberapa obat kemoterapi yang lebih membuat mual dan muntah. Selain itu ada beberapa orang yang sangat rentan terhadap mual dan muntah. Hal ini dapat dicegah dengan obat anti mual yang diberikan sebelum/selama/sesudah pengobatan kemoterapi. Mual muntah dapat berlangsung singkat ataupun lama. 2.8.3. Gangguan pencernaan Beberapa jenis obat kemoterapi berefek diare. Bahkan ada yang menjadi diare disertai dehidrasi berat yang harus dirawat. Sembelit kadang bisa terjadi. Bila diare: kurangi makanan berserat, sereal, buah dan sayur. Minum banyak untuk mengganti cairan yang hilang. Bila susah BAB: perbanyak makanan berserat, olahraga ringan bila memungkinkan 2.8.4. Sariawan Beberapa obat kemoterapi menimbulkan penyakit mulut seperti terasa tebal atau infeksi. Kondisi mulut yang sehat sangat penting dalam kemoterapi 2.8.5. Rambut Rontok Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah di dekat kulit kepala. Dapat terjadi setelah beberapa minggu terapi. Rambut dapat tumbuh lagi setelah kemoterapi selesai. 2.8.6. Otot dan Saraf Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari tangan atau kaki serta kelemahan pada otot kaki. Sebagian bisa terjadi sakit pada otot. 2.8.7. Efek Pada Darah Beberapa jenis obat kemoterapi dapat mempengaruhi kerja sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah, sehingga jumlah sel darah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih (leukosit). Penurunan sel darah terjadi pada setiap kemoterapi dan tes darah akan dilaksanakan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat mengakibatkan: a. Mudah terkena infeksi Hal ini disebabkan oleh karena jumlah leokosit turun, karena leukosit adalah sel darah yang berfungsi untuk perlindungan terhadap infeksi. Ada beberapa obat yang bisa meningkatkan jumlah leukosit. b. Perdarahan Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah. Penurunan jumlah trombosit mengakibatkan perdarahan sulit berhenti, lebam, bercak merah di kulit. c. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai oleh penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hb letaknya di dalam sel darah 39 merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah lelah dan tampak pucat. d. Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna Lebih sensitive terhadap matahari. Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang (Diananda, 2007). 2.9. Mual dan Muntah Mual dan muntah mungkin merupakan manifestasi dari berbagai keadaan, termasuk kehamilan, mabuk perjalanan. Obstruksi saluran pencernaan, ulkus peptikum, toksisitas obat, infark miokard, gagal ginjal, dan hepatitis. Pada kemoterapi kanker, mual dan muntah yang diinduksi oleh obat dapat terjadi secara teratur sehingga antisipasi muntah terjadi jika penderita kembali untuk berobat- sebelum penderita diberi obat kemoterapi. Bila muntah tidak dapat dikontrol, perasaan tidak enak yang menyertai muntah yang diinduksi oleh obat dapat menyebabkan penderita menolak untuk menggunakan kemoterapi. Mekanisme fisiologik yang mnenyebabkan terjadinya mual dan muntah ini belum seluruhnya diketahui. Koordinasi aktivitas gerakan yang kompleks dari lambung dan otot-otot abdomen terletak di ”pusat muntah”, yang berlokasi di dalam formasi retikularis di medula. Pusat muntah menerima masukan dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berlokasi di lantai ventrikel keempat, aparatus vestribular, dan daerah-daerah lain. CTZ memberikan respons terhadap rangsangan kimia, seperti obat kemoterapi kanker, yang jelas terbukti melalui akivitas reseptor dopamin atau serotonin (Tehuteru, 2007). Sumber yang dapat menjadi input ke pusat muntah antara lain : • Chemoreceptor trigger zone yang mengandung reseptor dopamine D2, reseptor serotonin 5-HT3, reseptor opioid, reseptor asetilkolin, dan reseptor substansi P. Stimulasi dari reseptor yang berbeda tersebut dapat merangsang pusat muntah melalui jalan yang berbeda. • Sistem vestibular yang memberikan sinyal ke otak melalui saraf otak ke-VIII (vestibulocochlearis). Sistem ini berperan pada gejala muntah yang disebabkan oleh mabuk perjalanan (motion sickness) dan berkaitan dengan reseptor muskarinik dan reseptor histamin H1. • Saraf otak ke-X (vagus) diaktifasi bila daerah faring terangsang sehingga menimbulkan refleks muntah. • Sistem saraf usus dan vagus merupakan input dari sistem gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal karena kemoterapi, radiasi, distensi usus, dan gastroenteritis dapat mengaktivasi reseptor 5-HT3 melalui jalur ini. • Susunan saraf pusat mempunyai peran pada muntah yang berkaitan dengan gangguan psikiatrik dan stres. Selain itu, mual juga didefinisikan sebagai perasaan tidak enek berhubungan dengan saluran makan bagian atas dan biasanya diikuti dengan rasa ingin muntah dan pucat, berkeringat, salivasi, dan tachikardi. Muntah adalah keluarnya isi lambung melalui mulut. Ditemukan pada 40-70% penderita kanker stadium lanjut (Diananda, Rama. 2007). Penyebabnya antara lain: • Iritasi faring dan obstruksi parsial atau komplet saluran cerna (akibat 41 kanker usus/di luar usus seperti asites, hepatomegoli, tumor pankreas, konstipasi, peregangan kapsul organ visera). • Metabolik : hiperkalsemia, gagal ginjal, hati, dan hiponatremia. • Infeksi berat (infeksi candida, herpes, lesimukosal infeksi cytomegalovirus dan infeksi sistemik yang lain). • Obat : kemoterapi, opioid, digoxin, antibiotik, radioterapi, dan seterusnya. • Gangguan sistem vestribuler : infiltrasi keganasan, obat (aspirin, platinum). • Pusat kortikal : faktor psikologis (kecemasan), bau, rasa kecap, peningkatan tekanan intrakarnial, iritasi meningeal. Pada anak-anak penderita kanker, obat-obat kemoterapi menyebabkan sel-sel di usus melepaskan serotonin yang kemudian sensasi ini diteruskan dan mengaktivasi pusat muntah di otak, yaitu di medula oblongata. Akhir dari proses yang kompleks ini ditandai dengan filorus yang mengalami relaksasi, yang memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak menuju lambung akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi regurgitasi isi lambung melalui esofagus dan farings. Kategori utama obat-obat antimuntah termasuk anti-histamin H1, fenotiazin, metoklopramid, dan ondansetron. Antihistamin dengan aktivitas antiemetik yang baik (seperti difenhidramin, hidroksizin) mempunyai efek anti muskarinik dan sedatif yang jelas. Nampaknya mungkin kedua kerja ini dan efek penghambat H1 yang menambah efektivitas antiemetik. Obat-obat ini terutama efektif untuk mual dan muntah yang berkaitan dengan mabuk perjalanan, mungkin karena depresi spesifik konduksi di jalur vestibuloserebelar. Obat-obat antikolinergik, khususnya skopolamin, juga digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan. Fenotiazin menghambat reseptor dopamin dalam CTZ juga pada daerah lain di otak. Prokloperazin dan prometazin sering digunakan sebagai antiemetik. Walaupun hampir semua fenotiazin mempunyai beberapa aktivitas antiemetik, penggunaannya dibatasi oleh derajat sedasi yang berhubungan dengan kerja antiemetik. Gejala ekstrapiramidal, khususnya distonia, dapat menjadi berat bila dosis besar digunakan untuk menghentikan mual dan muntah yng berhubungan dengan kemoterapi. Distonia biasanya dapat dipulihkan dengan pemberian 50 mg difenhidramin intravena. Metoklopramid juga bekerja sebagai antagonis dopamin dan telah digunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah. Ondansetron, penghambat 5-HT3, juga diakui penggunaannya dalam pencegahan mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi dan yang terjadi pada pasca operasi. Turunan mariyuana, termasuk tetrahidrokanabinol (THC, dronabinol) sendiri adalah antiemetik yang efektif pada beberapa penderita, termasuk beberapa di antara mereka yang tidak efektif terhadap antiemetik lain. Dronabinol disetujui untuk indikasi ini. Mekanisme kerja obat ini tidak diketahui tetapi tampaknya melibatkan reseptor dalam chemoreceptor trigger zone. Kortikosteroid bersifat antiemetik, tetapi mekanisme kerjanya tidak diketahui. Akhirnya, sedatif-hipnotik, seperti benzodiazepin, sering digunakan untuk mengontrol antisipasi mual dan muntah. Berikut ini adalah manajemen untuk keparahan mual muntah berdasarkan tingkatan agen kemoterapi : (Hesketh, Paul. 2008) 43 1). Resiko muntah berat Kombinasi 5-HT3-reseptor antagonis (antagonis serotonin), deksametason, aprepitant direkomendasikan penggunaannya sebelum pemberian agen kemoterapi yang diasosiasikan dengan emetik resiko tinggi. Muntah tipe tertunda (delayed emesis) terjadi kira-kira pada 90% pasien yang diobati dengan cisplatin tanpa pemberian antiemetik sebelumnya. Pasien yang menerima kemoterapi dengan potensial emetik level tinggi harus menerima kombinasi aprepitant pada hari ke 2-3 dan deksametason pada hari 2-4. 2). Resiko muntah sedang Pada pasien yang menerima pengobatan dengan antrasiklin dan siklofosfamid, kombinasi 5-HT3-reseptor antagonis, deksametason, dan aprepitant direkomendasikan penggunaannya sebelum kemoterapi. Setelah menjalani kemoterapi dapat diberikan aprepitant pada hari ke 2 dan 3 atau deksametason pada hari 2 dan 3. Untuk regimen lain selain agen kemoterapi diatas dapat diberikan 5-HT3reseptor antagonis dan deksametason sebelum kemoterapi. Kemudian diberikan 5-HT3-reseptor antagonis atau deksametason pada hari 2 dan 3 setelah menjalani kemoterapi. Karena regimen kemoteapi antrasiklin dan siklofosfamid mempunyai potensial emetik menengah untuk delayed emesis, maka aprepitant juga harus diberikan pada hari 2 dan 3. 3). Resiko muntah rendah Dosis tunggal deksametason sebelum kemoterapi direkomendasikan untuk agen-agen yang berhubungan dengan emesis resiko rendah. Dosis tunggal antagonis dopamin dapat digunakan sebagai pilihan lain untuk pencegahan. Tidak ada profilaksis rutin yang diindikasikan untuk delayed emesis. 4). Resiko muntah minimal Tidak ada profilaksis rutin untuk tipe muntah akut atau tertunda dibutuhkan untuk agen kemoterapi yang berhubungan dengan muntah resiko minimal. Beberapa penggolongan antiemetik : a) 5-HT3-reseptor antagonis Saat ini 5-HT3-reseptor antagonis yang secara luas sudah digunakan antara lain ondansetron, granisetron, dolasetron, tropisetron, dan agen terbaru yaitu palonosetron. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi untuk pencegahan potensial emetik dari agen kemoterapi menengah sampai tinggi. Dalam penelitian terbaru, telah ditunjukkan ekivalensi terapeutik pada ke-empat 5-HT3-reseptor antagonis lama yang didukung dengan metode meta-analisis. Obat-obatan ini memiliki efek samping yang kecil. Percobaan klinis pada 5-HT3-reseptor antagonis lama (misal : granisetron, ondansetron), menunjukkan efikasi yang rendah untuk muntah tipe tertunda pada mual dan muntah akibat kemoterapi dibandingkan dengan muntah tipe akut. 45 Agen ini menunjukkan sedikit aktivitas bila digunakan untuk pencegahan muntah tipe tertunda yang diinduksi oleh cisplatin. Tahun 2003, 5-HT3-reseptor antagonis baru, palonosetron, ditemukan. Berbeda dengan golongan 5-HT3-reseptor antagonis lain, obat ini memiliki waktu paruh yang lebih lama (kira-kira 40 jam) dan secara substansial afinitasnya dalam mengikat reseptor 5-HT3 lebih besar. Contoh obat: (Solimando, 2004 dan Taketomo, 2001) • Ondansetron Kategori farmakologi : Antiemetik; selektif 5-HT3-reseptor antagonis Penggunaan : Pencegahan mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi kanker level emetogenik sedang sampai menengah; radioterapi pada pasien yang menerima fraksi iradiasi total tubuh untuk perut; pencegahan dan pengobatan mual dan muntah setelah operasi. Secara umum tidak direkomendasikan untuk pencegahan mual dari agen kemoterapi dengan potensial emetogenik rendah. Mekanisme Kerja : Selektif 5-HT3-reseptor antagonis, menghambat serotonin, secara periferal pada saraf vagal terminalis dan secara sentral di chemoreceptor trigger zone (CTZ). Perhatian : Ondansetron harus digunakan sesuai jadwal, bukan “bila diperlukan”, karena berdasarkan data pendukung penggunaan obat ini hanya dalam pencegahan mual dan muntah (karena terapi antineoplastik) dan bukan dalam penyembuhan mual dan muntah. Ondansetron harus diberikan 24-48 jam pertama pada kemoterapi. Farmakodinamik/kinetik: Waktu mula kerja : ~ 30 menit Absorbsi : oral : 100%; non linear absorbsi terjadi dengan peningkatan dosis oral. Distribusi : Vd : anak-anak : 1.6-1.7 L/kg Pengikatan protein : plasma : 70-76% Metabolisme : secara luas di hati melalui hidroksilasi, diikuti oleh konjugasi glukuronid atau sulfat. Bioavailabilitas : oral : 50-70% karena metabolisme awal yang signifikan Waktu paruh : anak-anak : 3-7 tahun: 2.6 jam 7-12 tahun: 3.1 jam Dewasa : 4-5 jam Eliminasi : dalam urin dan feses diperoleh <5% obat induk yang tidak diubah dalam urin. Klirens : anak-anak : 3-7 tahun : 0.5 L/jam/kg; 7-12 tahun : 0.39 L/jam/kg Dewasa : 25-50.7 L/jam (normal); 16-32 L/jam (kanker) Dosis : Pencegahan mual dan muntah akibat kemoterapi : 47 Oral (semua dosis deberikan 30 menit sebelum kemoterapi dan diulang tiap interval 8 jam): Anak-anak : <4 tahun : FDA tidak menyetujui pemberian oral, bagaimapun penggunaan dosis berdasar luas permukaan tubuh telah digunakan : <0.3 m2 : 1 mg 3x/hari 0.3-0.6 m2 : 2 mg 3x/hari 0.6-1 m2 : 3 mg 3x/hari >1 m2 : 4 mg 3x/hari Atau 4-11 tahun : 4 mg 3x/hari >11 tahun dan dewasa: 8 mg 3x/hari atau 24 mg sehari sekali Intravena : >3 tahun :0.15 mg/kg/dosis diinfus 30 menit sebelum kemoterapi; diberikan dosis yang sama 4 dan 8 jam setelah dosis pertama; efektifitasnya menurun bila diberikan untuk terapi yang lama (misal: lebih dari 3 dosis). b) NK1-reseptor antagonis Neurokinin-1- reseptor antagonis merupakan kelas baru agen antiemetik yang efektif untuk mencegah mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi. Aprepitant telah disetujui FDA pada tahun 2003 dalam formulasi oral, sebagai agen kelas pertama dalam kelasnya. Aprepitant memiliki metabolisme yang kompleks. Dalam studi in vitro menggunakan mikrosom hati manusia menunjukkan bahwa aprepitant di metabolisme terutama melalui jalur sitokrom P-450 3A4, dengan metabolisme minor oleh jalur sitokrom P-450 1A2 dan sitokrom P-450 2C9. Aprepitant juga merupakan penghambat dan penginduksi menengah jalur CYP-450 3A4. Informasi ini relevant bila diberikan dengan kortikosteroid yang juga dimetbolisme melalui jalur CYP-450 3A4. Pemberian aprepitant dan deksametason meningkatkan konsentrasi plasma deksametason. Jumlah yang substansial pada agen antineoplastik yang dimetabolisme melalui jalur CYP-450 3A4, meningkatkan kemungkinan peningkatan toksisitas ketika agen ini diberikan dengan aprepitant. Saat ini, tidak ada data klinis yang berarti tentang interaksi antara aprepitant dengan agen antineoplastik. Aprepitant merupakan penginduksi jalur CYP-450, yang mana warfarin dan medikasi lain juga dimetabolisme di jalur ini. Pada tahun 2008 baru-baru ini, digunakan NK1-reseptor antagonis yang diberikan secara intravena, Fosaprepitant, merupakan prodrug phosphoryl larut air untuk aprepitant yang diubah menjadi aprepitant dalam 30 menit setelah pemberian secara intravena. c) Kortikosteroid Kortikosteroid efektif bila diberikan sebagai agen tunggal pada pasien yang menerima kemoterapi dengan potensial muntah rendah. Kortikosteroid sangat menguntungkan, begitu juga bila kombinasi dengan antiemetik lain. Bila dikombinasi dengan 5-HT3-reseptor antagonis efektif untuk tipe akut dan tertunda. Contoh obat : 49 • Deksametason Kategori farmakologi : Antiemetik, kortikosteroid, anti-inflamasi Penggunaan : Secara sistemik dan lokal digunakan untuk bengkak yang kronik; alergi, hematologik, neoplastik, dan penyakit autoimun, antiemetik tambahan dalam pengobatan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi. Mekanisme kerja : Mengurangi peradangan dengan cara menekan perpindahan leukosit polimorfonuklear dan pemutaran pada peningkatan kapiler permeabiliti; menekan respon imun normal. Mekanisme aktivitas deksametason sebagai antiemetik tidak diketahui. Potensial emetik : Sangat rendah (<10%); dapat menimbulkan mual/gangguan pencernaan bila digunakan secara oral pada perut kosong. Farmakodinamik : Durasi : efek metabolik sampai 72 jam Farmakokinetik : Metabolisme : di hati Waktu paruh : anak umur 3-16 tahun : 4.3 jam Konsentrasi puncak serum : oral : 1-2 jam; IM : 8 jam Eliminasi : urin Dosis : Anak-anak : Antiemetik (diinduksi oleh kemoterapi) : awal : 10 mg/m 2/dosis (dosis maksimal 20 mg) kemudian 5 mg/m2/dosis tiap 6 jam. Diberikan dalam bentuk sodium phosohate. Diberikan 15-30 menit sebelum kemoterapi. Pemberian : Oral : Diberikan bersama makanan atau susu untum menurunkan efek samping gastrointestinal. IV : Diberikan secara bolus 5-10 menit; pemberian secara cepat berhubungan dengan tingginya insiden ketidaknyamanan perianal. IM : Asetat injeksi bukan untuk penggunaan intravena. Sediaan : IV : Dalam bentuk sodium phosphate; larutan, oral : Intensol 0.5mg/5ml (rasa cherry) Mual dan muntah dibagi berdasarkan keparahannya (Tabel I) dan onsetnya. Berdasarkan onsetnya, mual dan muntah umumnya dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Tipe antisipatori: munculnya sebelum mulai seri kemoterapi baru akibat rangsang bau, pandangan, dan suara di ruang terapi, sering kali muncul setelah seri 3-4 karena pengalaman mual dan muntah tipe akut dan tertunda. 2. Tipe akut: munculnya < 24jam setelah kemoterapi. 3. Tipe tertunda: munculnya > 24 jam setelah kemoterapi 51 Tabel I. Tingkat Keparahan Mual dan Muntah (NCI, 2006) Mual Tingkat 1 Hilang Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Asupan makan Asupan kalori dan Mengancam selera berkurang cairan makan, tanpa memadai; kebiasaan penurunan BB Cairan makan tidak bermakna; berubah Cairan atau Muntah 1 oral i.v. tak nyawa tube feeding atau TPN i.v. perlu ≥24 jam TPN perlu ≥24 jam episode 2-5 episode/ ≥6episode/24jam dalam 24jam 24jam Cairan Tingkat 5 Kematian Cairan i.v. Mengancam Kematian atau nyawa i.v. TPN perlu ≥24 jam perlu <24 jam Beberapa versi terapi standar mual muntah pasca kemoterapi kanker sebagai berikut: 1. Versi National Cancer Institute/NCI (2006): antagonis serotonin (ondansetron 8mg iv) dan dexametason 20 mg iv sesaat sebelum kemoterapi, dilanjutkan setelah 8 jam sampai dengan 2-3 hari, terapi ini adalah standar konvensional. 2. Versi ASCO (Cit NCI, 2006 and Grunberg et.al., 2004): mual dan muntah frekuensi tinggi; antagonis serotonin plus dexametason 12 mg iv plus aprepitant 125 mg sesaat sebelum kemoterapi, dilanjutkan aprepitant sampai dengan 2-3 hari; mual dan muntah frekuensi sedang seperti standar konvensional; mual dan muntah frekuensi rendah terapi anti mual dan muntah tunggal yaitu antagonis serotonin atau kortikosteroid. 3. Versi Adeleide Royal Hospital (2004): mual dan muntah frekuensi sangat tinggi (>90%): antagonis serotonin po (bila muntah iv) dan dexametason 20 mg iv, bila sangat berat atau terjadi muntah antisipatori misalnya pada kemoterapi dengan cisplatin ditambahkan benzodiazepin (lorazepam); mual dan muntah frekuensi sedang memilih salah satu berikut metoklopramid, domperidon, atau dexametason po; mual dan muntah frekuensi rendah pemberian anti mual dan muntah hanya bila perlu. 53 BAB III ALUR PENELITIAN 0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d464301 000000000001004484000000000100000018030000000000001803000001000000 Protokol A6c0000000000000000000000350000006f00000000000000000000003e010000f60 Protokol B Obat kemoterapi + Obat anti muntah + Obat anti4000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000 muntah Obat kemoterapi 000c01200008a180000cb00000009010000000000000000000000000000f818030 0280b0400160000000c000000180000000a0000001000000000000000000000000 9000000100000004b0000002c010000250000000c0000000e000080250000000c0 000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000a4fffff f000000000000000000000000900100000000000004400022430061006c0069006 200720069000000000000000000000000000000000000000000000000000000000 00000000000000000000000000000000000000000000000001100b0b3110010000 00014b7110094b411005251603214b711000cb41100100000007cb51100f8b6110 02451603214b711000cb411002000000049642f310cb4110014b7110020000000ff ffffff1c38d200d0642f31ffffffffffff0180ffff01800fff0180ffffffff000007000008000 000080000d4fb320801000000000000005802000025000000632e90010008020f0 502020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f000000000000004300 61006c006900620072000000000041007200690061006c00200052006f0075006e 0040b411009c38273104000000010000007cb411007cb41100e878253104000000 Evaluasi penggunaan obat anti muntah pada pasien anak retinoblastoma menjalani kemoterapi Kesesuaiandengan obat Kesesuaian Kesesuaian aturan pakai Efektifitas obat dosisyang 0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d464301 000000000001004484000000000100000018030000000000001803000001000000 6c0000000000000000000000350000006f00000000000000000000003e010000f60 4000020454d4600000100180300001200000002000000000000000000000000000 000c01200008a180000cb00000009010000000000000000000000000000f818030 0280b0400160000000c000000180000000a0000001000000000000000000000000 9000000100000004b0000002c010000250000000c0000000e000080250000000c0 000000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000a4fffff muntah tidak 55 f000000000000000000000000900100000000000004400022430061006c0069006 200720069000000000000000000000000000000000000000000000000000000000 00000000000000000000000000000000000000000000000001100b0b3110010000 00014b7110094b411005251603214b711000cb41100100000007cb51100f8b6110 02451603214b711000cb411002000000049642f310cb4110014b7110020000000ff ffffff1c38d200d0642f31ffffffffffff0180ffff01800fff0180ffffffff000007000008000 000080000d4fb320801000000000000005802000025000000632e90010008020f0 502020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f000000000000004300 61006c006900620072000000000041007200690061006c00200052006f0075006e 0040b411009c38273104000000010000007cb411007cb41100e878253104000000 a4b411001c38d2006476000800000000250000000c00000001000000250000000c 00000001000000250000000c00000001000000180000000c000000000000025400 0000540000000000000000000000350000006f000000010000005555874026fd86 400000000057000000010000004c0000000400000000000000000000004b000000 2c01000050000000200036003600000046000000280000001c0000004744494302 000000ffffffffffffffff4c0000002d010000000000004600000014000000080000004 744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000800e0 00000140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b020 0000000050000000c0233000d00040000002e0118001c000000fb0203000100000 00000bc02000000000102022253797374656d00000000000000000000000000000 00000000000000000000000040000002d010000040000002d01000004000000020 101001c000000fb02f0ff0000000000009001000000000440002243616c69627269 00000000000000000000000000000000000000000000000000040000002d010100 040000002d010100040000002d010100050000000902000000020d000000320a0f 00000001000400000000000d00330020840900040000002d010000040000002d01 0000030000000000 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Kanker ”Dharmais”. 2. Waktu Penelitian Penelitian berlangsung pada bulan Maret – Mei 2008. 4..2 Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dan bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan berdasarkan data sekunder (rekam medis pasien) dari Januari 2003 - Februari 2008. 4.3 Populasi dan Sampel 1. Populasi target adalah pasien anak yang didiagnosa menderita retinoblastoma. 2. Populasi terjangkau adalah pasien anak yang didiagnosa menderita retinoblastoma yang menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais dari Januari 2003 - Februari 2008. 3. Sampel terdiri dari pasien anak pria dan wanita yang didiagnosa menderita retinoblastoma yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Kanker ”Dharmais”. Sampel diambil dari Januari 2003 – Februari 2008 yang memenuhi kriteria inklusi. 4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kritera inklusi adalah pasien anak pria dan wanita dari umur 1-12 tahun yang menderita retinoblastoma yang menjalani kemoterapi dari bulan Januari 2003 sampai bulan Februari 2008 dengan data rekam medis yang lengkap. 57 Kriteria ekslusi adalah pasien anak pria dan wanita yang menderita retinoblastoma yang tidak dikemoterapi dengan data rekam medis yang tidak lengkap dan tidak jelas. 4.5 Cara Pengumpulan Data 1. Dilakukan pengumpulan informasi tentang jumlah kasus retinoblastoma yang menjalani pengobatan dengan cara kemoterapi dan efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan tersebut. 2. Data diambil dari rekam medis pasien. Data yang dikumpulkan nama, adalah umur, kelamin, kemoterapi, jenis siklus obat kemoterapi dan obat anti muntah yang diberikan lalu dipindahkan ke lembar pengumpul data. 4.6 Batasan Operasional 1) Subyek Penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosa retinoblastoma yang mendapatkan kemoterapi dan obat anti muntah sebelum kemoterapi (sebelum November 2006) dan setelah kemoterapi (setelah Oktober 2006). 2) Retinoblastoma adalah hasil diagnosa dokter yang tertulis dalam rekam medis pasien. 3) Obat anti muntah (antiemetik) yang diamati adalah antiemetik yang diberikan kepada pasien sebelum menjalani kemoterapi (protokol lama) dan antiemetik yang diberikan kepada pasien setelah menjalani kemoterapi tanpa pemberian antiemetik sebelumnya. 4) Efek samping dari obat kemoterapi yang diamati adalah keluhan mual muntah yang dialami oleh pasien dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah kemoterapi (acute emesis/tipe akut) atau setelah 24 jam setelah kemoterapi (delayed emesis/tipe tertunda) berdasarkan data dari rekam medis. 5) Efektifitas adalah besarnya efek dari obat anti muntah yang digunakan untuk mengatasi mual muntah yang dilihat dengan tidak adanya mual dan muntah dalam kurun waktu sebelum dan sesudah 24 jam setelah kemoterapi. 6) Pasien adalah pasien anak dengan usia 1-12 tahun yang menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais dalam kurun waktu Januari 2003 – Februari 2008. 4.7 Analisa Data 59 Dari data pengamatan yang dikumpulkan kemudian dianalisa secara deskriptif non analitik dengan mengevaluasi adanya kejadian mual dan muntah setelah pemberian antiemetik. Data yang dianalisa yaitu : a. Penggunaan obat kemoterapi yang meliputi level emetogenisitas obat b. Penggunaan obat anti muntah yang meliputi jenis obat anti muntah yang digunakan, dosis dan regimen pemakaian/aturan pakai. Setelah data dianalisa, kemudian seluruh data dievaluasi sehingga didapatkan hasil berupa : 1. Efektivitas penggunaan antiemetik 2. Kesesuaian pemilihan antiemetik 3. Kesesuaian dosis 4. Kesesuaian aturan pakai 5. Level emetogenik agen kemoterapi pada pasien 6. Jumlah pasien yang mendapatkan kombinasi antiemetik 7. Keluhan pasien yang muntah sebelum dan setelah 24 jam pasca kemoterapi 8. Penggolongan mual dan muntah berdasarkan onsetnya BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Dari penelitian yang dilakukan terhadap 22 kasus pasien anak yang menderita retinoblastoma dan menjalani proses kemoterapi yang diambil dari bulan Januari 2003-Februari 2008, didapatkan hasil sebagai berikut : 5.1.1. Karakteristik Subyek dan Siklus Kemoterapi Tabel 1. Karakteristik Subyek No Karakteristik 1 Jumlah Pasien Subyek 34 pasien 3 < 1 tahun : 1-4 tahun : 26 pasien 5-8 tahun : 7 pasien 9-12 tahun : 1 pasien Usia Pasien Keterangan Hanya terdapat 22 pasien retinoblastoma anak yang menjalani kemoterapi dan memenuhi kriteria inklusi 61 4 Stadium Penyakit Hanya 7 pasien yang memiliki data stadium penyakit dalam medical record I :II : III : 2 IV : 4 V :1 Tabel 2. Distribusi Siklus Kemoterapi Yang Dijalani Pasien di RS. Kanker Dharmais Siklus Kemoterapi Yang Dijalani I Jumlah Pasien Persentase (%) 2 9.09 II 3 13.64 III 4 18.18 IV 2 9.09 V 4 18.18 VI 3 13.64 VII 2 9.09 VIII - - IX - - X - - XI - - XII - - XIII 1 4.545 XIV - - XV - - XVI 1 4.545 Total 22 100 % 5.1.2. Penggunaan Obat Kemoterapi Tabel 3. Distribusi Regimen Kemoterapi Pada Pasien Retinoblastoma Anak di RS. Kanker Dharmais Periode 2003-2008 Regimen Kemoterapi Vincristine (VCR) Ifosfamide (IFD) Actinomycin D (ACD) Vincristine (VCR) Etoposide Carboplatin Total 5.1.3 Jumlah Pasien Yang Menggunakan Persentase 12 54.545 % 10 45.455 22 100 % Pemilihan dan Penggunaan Antiemetik Pada Kasus Kemoterapi Pasien Retinoblastoma Anak di RS. Kanker Dharmais 5.1.3.1.Jenis Antiemetik Tabel 4. Frekuensi Penggunaan Jenis, Golongan dan Bentuk Sediaan Pemakaian Antiemetik Kasus Pasca Kemoterapi Retinoblastoma Pada Anak di RS. Kanker Dharmais Golongan Jenis Antiemetik Rute (Jumlah Kasus) Antagonis Histamin H2 Antagonis Serotonin Kortikosteroid Ranitidine Ondansetron Deksametason Intravena (i.v) 5 16 4 Antagonis Dopamin Metoklopramid 7 Per oral (p.o) 6 2 Tabel 5. Tingkat Kesesuaian Pemilihan Antiemetik Berdasarkan Resiko Agen Kemoterapi Yang Diberikan Terapi 1 obat 2 obat 3 obat 4 obat Ondansetron Metoklopramid Ondansetron+Deksametason Ondansetron+Metoklopramid Ondansetron+Ranitidin Deksametason+Metoklopramid Ondansetron+Deksametason+ Ranitidin Ondansetron+Metoklopramid+ Deksametason+Ranitidin Jumlah Kesesuaian 8 X Persentase (%) 38,09 5 4 √ X 23,81 19,05 3 X 14,28 1 X 4,77 63 Total Keterangan : x : tidak sesuai, √ : sesuai 21 100 5.1.3.2.Dosis Antiemetik Seluruh pasien yang menerima antiemetik pre-kemoterapi telah mendapatkan dosis yang sesuai dengan standard yang berlaku. Sehingga pasien menerima kesesuaian dosis sebesar 100%. Dosis yang harus digunakan menurut standard pengobatan di RS. Kanker Dharmais dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Pilihan Antiemetik dan Dosis Yang Digunakan Kelompok obat kemoterapi Ringan Sedang Berat Obat antiemetik Tidak diperlukan, atau Domperidone (oral), atau Promethazine (oral) Ondansetron (iv) Ondansetron (iv kontinu) Dosis yang diberikan 0.3 mg/kg 4x/hari 0.5 mg/kg 4x/hari Ondansetron (oral), atau Granisetron (iv) Granisetron (oral), atau Deksametason (oral) 0.15 mg/kg 3x/hari 0.45 mg/kg/hari (maks 24-32 mg/hari) 4-8 mg 2-3x/hari 0.-20 mcg/kg 2-3x/hari 1 mg 2x/hari 5 mg/m2 3x/hari Ondansetron/Granisetron dan Deksametason Sama dengan diatas Sama dengan diatas Keterangan Berdasarkan standard pengobatan di RSKD 5.1.3.3.Aturan Pemakaian Tidak seluruh pasien menerima antiemetik pre-kemoterapi. Terdapat dua orang atau sekitar 15,38 % pasien yang tidak mendapatkan antiemetik sebelum menjalani kemoterapi. Jadi, kesesuaian aturan pemakaian antiemetik hanya berkisar 84,62 %. Jenis pemakaian antiemetik yang diterima oleh pasien yang menjalani kemoterapi dan keluhan emesis [acute emesis (<24 jam) dan delayed emesis (>24 jam)] dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Macam Antiemetik Yang Didapat Oleh Pasien dan Keluhan Emetiknya 4 4 Keluhan Emesis (<24 jam) 3 Keluhan Emesis (>24 jam) 4 1 - O+D 5 - 1 4 O+M 2 1 1 - O+R 1 1 - - D+M 1 1 - - O+D+R 3 1 1 1 O+D+R+M 1 1 - - 21 8 10 5 Antiemetik yang Didapat Pasien O M Jumlah Pasien Total Tidak Emesis - Keterangan : O : Ondasetron, M : Metoklopramide, D : Deksametason, R : Ranitidine Tabel 8. Distribusi Pasien Yang Mendapat Golongan Kemoterapi dan Antiemetik Yang Sama Jumlah Pasien Golongan Kemoterapi 2 VA-PD-AA 3 VA-AA-AA 2 VA-AA-PD 5 VA-PD-AA Level Emetogenitas R-S-B R-S-B R-B-B R-S-B R-B-B R-S-B R-S-B R-S-B Golongan Antiemetik Kejadian Emesis SA Ada 2 Tidak - DA 3 - K-AH-SA 2 - SA-K - 5 65 2 VA-AA-AA 1 VA-PD-AA R-S-B R-S-B R-S-B R-S-B R-B-B R-B-B R-S-B 1 VA-AA-AA R-B-B DA-K 1 - 2 VA-AA-AA SA 2 - 1 VA-AA-AA R-B-B R-B-B R-B-B SA-AH 1 - 1 VA-PD-AA R-S-B DA 1 - 1 VA-AA-AA R-B-B SA-DA-K-AH 1 - DA-SA 2 - SA-K-AH 1 - Keterangan : VA : Vinca Alkaloid, AA : Alkylating Agent, PD : Podophyllotoxin Derivate K : Kortikosteroid, SA : Serotonin Antagonist, AH : Antagonis Histamin H2, DA : Dopamin Antagonist, R : Ringan, S : Sedang, B : Berat 5.1.4. Tipe Emesis Tabel 9. Perbandingan Kasus Emesis Pada Protokol A Dengan Kasus Emesis Pada Protokol B Periode 2003-2008 Jenis Protokol Jumlah Pasien Kejadian Emesis Tipe Akut Protokol A Protokol B 7 15 5 2 Tipe Tertunda 2 8 Tidak Emesis 0 5 % emesis 100 66.67% Keterangan : Protokol A (protokol lama/sebelum pertengahan November 2006) : Tanpa pemberian antiemetik sebelum kemoterapi Protokol B (protokol baru/setelah pertengahan November 2006) : Dengan pemberian antiemetik sebelum kemoterapi Tabel 10. Persentase Pasien Dengan/Tanpa Keluhan Emesis (Protokol B) Kejadian Emesis Pasien mengalami emesis Pasien emesis tidak Total Keterangan : mengalami Jumlah 8 Persentase (%) 61.54 5 13* 38.46 100 * total pasien dengan menggunakan protokol B (protokol baru) seharusnya 15 pasien, tetapi 2 orang pasien dengan protokol tersebut tidak mendapatkan antiemetik sebelum kemoterapi. Tabel 11. Data Statistik Hubungan Antara Antiemetik Dengan Keluhan Muntah Antiemetik Keluhan Ada Tidak Ya Total n 9 8 17 % 100 61.5 77.3 Tidak Ada n % 0 0 5 38.5 5 22.7 Keterangan : Pv (Probabilitas Value) ≤ 0.05 Pv (Probabilitas Value) ≥ 0.05 • Total n 9 13 22 % 100 100 100 Nilai Probabilitas 0.054 signifikan tidak signifikan Terdapat sebanyak 9 pasien (100%) yang tidak menggunakan antiemetik dan mengalami keluhan muntah dengan pemakaian protokol A (tanpa penggunaan antiemetik sebelum kemoterapi). • Pasien yang menggunakan antiemetik tetapi masih mengalami keluhan muntah sebanyak 8 pasien (61.5%) dengan pemakaian protokol B (dengan penggunaan antiemetik sebelum kemoterapi). • Pasien yang menggunakan antiemetik dan tidak mengalami keluhan muntah sebanyak 5 pasien (38.5%) dengan pemakaian protokol B (dengan penggunaan antiemetik sebelum kemoterapi). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai dengan probabilitas 0.054, jadi pada α : 5% dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara antiemetik dengan keluhan yang ditimbulkan. 5.2. Pembahasan Tidak seluruh pasien retinoblastoma anak yang dirawat di RS. Kanker Dharmais menjalani kemoterapi. Sebanyak 8 pasien tidak menjalani kemoterapi, 3 67 pasien meninggal dan 1 pasien dengan data rekam medik yang tidak jelas, sehingga hanya terdapat 22 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah pasien anak-anak antara laki-laki dan perempuan secara esensial tidak berbeda (NCI, 2000). Seluruh pasien pasien retinoblastoma anak menjalani pengobatan dengan kemoterapi dalam berbagai macam siklus dari siklus I sampai siklus XVI. Obatobat kemoterapi diberikan selama beberapa hari dan diseling dengan istirahat beberapa minggu untuk memberikan kesempatan bagi jaringan normal untuk tumbuh kembali. Demikian ada satu jarak di antara siklus kemoterapi untuk resortasi jaringan normal/sehat (Tjay, Rahardja, 2007). Seluruh pasien yang menjalani kemoterapi dikelompokkan berdasarkan siklus kemoterapi yang mereka jalani. Siklus kemoterapi dapat dilihat pada tabel 2. Siklus kemoterapi dapat digunakan untuk melihat apakah pada saat pasien menjalankan kemoterapi dalam kondisi kesehatan yang baik atau tidak, dan apakah antiemetik yang diberikan kepada pasien tersebut efektif atau tidak. Pada penelitian, terdapat 2 jenis protokol yang berbeda yaitu protokol A (protokol lama) yang berlaku sampai pertengahan november 2006 dan protokol B (protokol lama) yang berlaku dari pertengahan november 2006. Dimana pada protokol A tidak menggunakan antiemetik sebagai pencegahan mual dan muntah sebelum menjalankan kemoterapi, sedangkan pada protokol B telah digunakan antiemetik pre-kemoterapi. Pada pasien nomor 11, 19, dan 20 dengan menggunakan protokol A (protokol lama) mengalami emetik tipe akut (acute emesis) sejak pertama kali mendapatkan kemoterapi. Hal ini selain dimungkinkan karena kondisi kesehatan pasien yang kurang baik pada saat itu, juga dikarenakan pasien tidak menerima antiemetik sebelum menjalani kemoterapi. Sedangkan pasien nomor 24, 26, dan 29 dengan menggunakan protokol B (protokol baru) tidak mengalami emesis sama sekali, juga pada pasien nomor 1, dan 22 yang hanya mengalami muntah ringan, yang menunjukkan bahwa antiemetik yang diberikan sangat efektif untuk mencegah terjadinya mual dan muntah, walaupun seperti pada pasien nomor 26 yang harus menjalani kemoterapi sebanyak 7 siklus dan pasien nomor 29 yang harus menjalani kemoterapi sebanyak 16 siklus. Disamping itu kondisi kesehatan pasien juga dalam keadaan yang sangat baik sehingga mendukung pengobatan menjadi lebih baik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat sitostatika sering kali digunakan, lazimnya obat dengan mekanisme dan titik kerja pada siklus pertumbuhan sel tumor yang berlainan. Dengan demikian, daya kerjanya saling dipotensiasi dan terjadinya resistensi dihindari atau diperlambat. Begitu pula dosis masing-masing dapat dikurangi dan efek toksis seluruhnya menjadi kurang hebat. Tatalaksana untuk pasien retinoblastoma yang menjalani kemoterapi biasanya telah terstandard pada masing-masing instasi pelayanan medik. Gambaran persentase penggunaan obat kemoterapi yang didapat oleh masingmasing pasien di RS. Kanker Dharmais dapat dilihat pada tabel 3. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan regimen kemoterapi untuk retinoblastoma yang sering digunakan sekaligus menjadi standard pengobatan sampai saat ini yaitu Vincristine (VCR), Ifosfamide (IFD), dan Actinomycin D (ACD) dengan persentase 54.545% dimana sebelumnya Vincristine, Etoposide, dan Carboplatin juga digunakan sebagai standard pengobatan untuk kasus retinoblastoma pada anak. Hingga saat ini pun regimen 69 kemoterapi tersebut masih ada yang menggunakan dengan alasan tertentu. Pemberian antiemetik sebelum kemoterapi umumnya diberikan dalam bentuk intravena, meskipun dapat pula diberikan secara per oral bila pasien tidak muntah seperti deksametason, domperidone, dan promethazine. Pada penelitian pemilihan rute pemberian antiemetik sudah tepat, yaitu pemberian melalui intravena pada pasien yang mengalami mual muntah yang berat karena melalui rute ini obat dapat lebih cepat bekerja karena langsung masuk ke aliran darah, secara per oral pada pasien anak yang tidak mengalami mual muntah berat dan mampu menelan obat. Tidak seluruh pasien di RS. Kanker Dharmais menerima antiemetik sebelum kemoterapi. Terdapat dua orang pasien yaitu pasien nomor 28 dan 30 yang tidak menerima antiemetik pre-kemoterapi. Terapi berupa antiemetik yang diberikan beragam jenis dan jumlahnya, dari yang tunggal hingga kombinasi. Kesesuaian pemakaian antiemetik berdasarkan level emetogenitas agen kemoteapi yang diberikan pada pasien, dapat dilihat pada tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pasien yang mendapatkan kesesuaian dalam pemilihan antiemetik berdasarkan resiko muntah dari agen kemoterapi yang mereka dapatkan sebesar 23.81% dengan antiemetik yang paling efektif dalam mencegah timbulnya muntah yaitu ondansetron yang dikombinasi dengan deksametason. Walaupun antiemetik tunggal seperti Ondansetron juga memenuhi standard pengobatan, tetapi dalam standard pengobatan muntah obat tersebut dapat diberikan secara tunggal bila pasien mengalami resiko muntah sedang. Sedangkan hal yang terjadi yaitu pasien yang mengalami resiko muntah berat seperti pasien nomor 5 dengan agen kemoterapi Vincristine 1 mg (resiko muntah ringan), Etoposide 900 mg (resiko berat) dan Actinomycin D 1 mg (resiko muntah berat), hanya mendapatkan Ondansetron sebagai antiemetik prekemoterapi dan sebagai pengobatan delayed emesis yang terjadi pada siklus ke-2 hari ke-2. Golongan antagonis serotonin dapat diberikan sebagai agen tunggal pada level muntah sedang, untuk resiko muntah tinggi dapat diberikan Aprepitant + Deksametason, Serotonin antagonist + Dexametason ataupun Metoklopramid + Deksametason. Penggunaan Ondansetron sebagai agen tunggal untuk mengatasi delayed emesis kurang bagus, jadi untuk mengurangi resiko delayed emesis dapat dikombinasikan dengan Deksametason (Grunberg, 2004). Pada tabel 7 dan 8 diatas dapat terlihat bahwa masih ada pasien yang mengalami muntah, terutama pasien yang menjalani kemoterapi dengan protokol lama (protokol A) yaitu pasien nomor 7, 11, 16, 18, 19, 20 dan 34 sehingga mereka tidak mendapatkan antiemetik sebelum mereka menjalani kemoterapi dikarenakan belum adanya standard yang mengharuskan pemakaian antiemetik pre-kemoterapi sebagaimana halnya pada protokol baru (protokol B). Pasienpasien dengan protokol lama tersebut masih mengalami acute emesis seperti pada pasien nomor 7, 18, 19 dan 20 yaitu timbulnya muntah sebelum 24 jam setelah menjalani kemoterapi. Sedangkan delayed emesis dialami oleh pasien nomor 11 dan 16 yaitu timbulnya muntah setelah 24 jam setelah menjalani kemoterapi. Pada pasien dengan protokol baru mereka mendapatkan pre-medikasi berupa pemberian antiemetik sebelum kemoterapi dimana antiemetik tersebut dapat membantu untuk mencegah timbulnya muntah setelah pasien menjalani 71 kemoterapi. Dan hasilnya dapat terlihat jelas pada pasien nomor 24, 26 dan 29 yang sama sekali tidak mengalami muntah. Hal ini dikarenakan pasien-pasien tersebut menerima antiemetik Ondansetron dan Deksametason dimana antiemetik tersebut sesuai dengan regimen kemoterapi yang mereka dapatkan dengan resiko muntah berat. Faktor lain yang mendukung pengobatan yaitu dari kondisi kesehatan mereka yang sangat baik sehingga dapat menunjang pengobatan menjadi lebih baik dan efektif. Dengan tidak adanya muntah atau emesis dengan pemberian obat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa antiemetik yang mereka dapatkan sangat efektif mencegah timbulnya muntah paska kemoterapi. Meskipun pasien-pasien dengan protokol baru lain masih mengalami emesis, tetapi dengan pemberian antiemetik pre-kemoterapi hal tersebut dapat dicegah atau dikurangi. Misalnya pada pasien nomor 22 yang menjalani kemoterapi sebanyak 5 siklus. Pasien tersebut mengalami muntah pada siklus 1 hari ke-8 dan siklus 2 hari ke-2 saja, pada siklus lain pasien tidak mengalami mual ataupun muntah. Juga pada beberapa pasien lain yang menggunakan protokol ini, mereka hanya muntah 1 kali saja (muntah ringan) dan itu dapat dinilai tidak berarti. Hal tersebut membuktikan bahwa protokol baru (pemberian antiemetik sebelum kemoterapi) lebih baik dan efektif untuk mencegah atau megurangi resiko timbulnya muntah. Keadaan yang berbeda dialami oleh pasien nomor 2 (3 thn) yang mendapatkan regimen kemoterapi Vincristine 0,9 mg dengan level emetogenik rendah, Ifosfamide 900 mg (level emetogenik berat) dan Actinomycin D (level emetogenik berat). Antiemetik yang didapat yaitu Zofran (Ondansetron), Primperan (Metoklopramid), Deksametason dan Ranitidin. Meskipun keempat antiemetik tersebut telah diberikan, tetapi tetap saja pasien mengalami keluhan emesis dalam kurun waktu <24 jam (acute emesis). Hal ini dimungkinkan karena kondisi kesehatan fisik pasien yang kurang baik sehingga menyebabkan pengobatan juga menjadi kurang efektif. Pasien nomor 22 (3 thn) yang mendapatkan agen kemoterapi Vincristine 0.9mg (level emetogenik rendah), Etoposide 90 mg (level emetogenik sedang) dan Carboplatin 335 mg (level emetogenik berat) telah menerima antiemetik sesuai satandard yaitu Deksametason dan Insetron (Ondansetron) meskipun masih mengalami keluhan emesis, tetapi hanya 1 kali saja dan hal tersebut dikarenakan pasien mengalami batuk-batuk yang berdahak sehingga pasien muntah mengeluarkan lendir. Pada pasien yang menerima kemoterapi, telah diidentifikasi masalah tentang muntah. Permasalahan yang sering terjadi yaitu muntah tipe akut dan tipe tertunda. Muntah tipe akut (acute emesis) didefinisikan sebagai mual dan muntah yang terjadi dalam kurun waktu 24 jam setelah pemberian regimen kemoterapi. Waktu yang paling beresiko timbulnya muntah yaitu dari jam pertama hingga jam ke-enam setelah kemoterapi dengan berbagai macam agen kemoterapi. Sedangkan muntah tipe tertunda (delayed emesis) yaitu muntah yang timbul pada ≥ 24 jam setelah kemoterapi. Delayed emesis ini lebih sering terjadi pada pasien yang menerima cisplatin, carboplatin (Paraplatin), atau cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar). Pada beberapa pasien delayed emesis muncul lebih awal dalam waktu kurang dari 24 jam. Pada tabel 9 diatas menunjukkan perbandingan kasus emesis yang terjadi antara penggunaan protokol A (protokol lama) dengan protokol B (protokol baru). 73 Perbandingan ini digunakan untuk melihat protokol mana yang lebih efektif dalam pengobatan pasien, juga untuk mengetahui jumlah pasien yang mengalami muntah tipe akut maupun tipe tertunda untuk pengobatan lebih lanjut. Ternyata protokol yang lebih efektif untuk pencegahan mual dan muntah karena induksi dari agen kemoteapi yang diberikan yaitu protokol baru (protokol B) dengan efektivitas antiemetik sebesar 38.46% hanya untuk pasien menerima antiemetik sebelum kemoterapi. Kesesuaian dalam aturan pakai antiemetik sebesar 84.62% dikarenakan masih ada dokter senior yang belum memakai obat tersebut sesuai aturan/protokol. Pada tipe muntah akut untuk regimen kemoterapi yang biasanya menimbulkan resiko muntah sedang sampai tinggi, dianjurkan untuk penggunaan antiemetik kombinasi seperti antagonis serotonin + deksametason + aprepitant untuk resiko muntah tinggi dan antagonis serotonin dan deksametason untuk resiko sedang. Untuk regimen kemoterapi dengan resiko muntah rendah dapat digunakan antiemetik tunggal seperti kortikosteroid atau antagonis serotonin ataupun tidak diperlukan antiemetik bila resiko muntah sangat rendah. Persentase pasien yang masih mengalami muntah pada tabel 10 baik tipe akut maupun tipe tertunda dengan protokol B yaitu 61.54% dengan nilai masingmasing 46.15% dengan tipe tertunda yang salah satu akibatnya karena lupa memberi obat saat pasien pulang dan 15.39% dengan tipe akut karena ketidaksesuaian dalam pemilihan antiemetik. Sedangkan ke-efektifitasan obat yang ditandai dengan tidak adanya muntah sama sekali ataupun muntah ringan sebesar 38.46% atau sebesar 38.5% dengan menggunakan chi-square tests dengan nilai probabilitas 0.054 pada α : 5% yang dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara antiemetik dengan keluhan muntah yang ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kekurangsesuaian dalam pemilihan antiemetik untuk pencegahan maupun pengobatan muntah tipe akut dan tipe tertunda, yang seharusnya pemilihan antiemetik tersebut didasarkan pada resiko muntah yang ditimbulkan oleh pemberian regimen kemoterapi terutama dalam penggunaan regimen kombinasi kemoterapi dimana kombinasi ini akan menyebabkan mual dan muntah sebagai efek yang saling menguatkan dari kombinasi kemoterapi tersebut. Delayed emesis biasanya terjadi setelah pemberian dosis tinggi dari agen kemoterapi Cisplatin (≥ 600 mg/m2), Carboplatin (≥ 300 mg/m2), Cyclophosphamide (≥ 600 mg/m2) atau Doxorubicin (≥ 50 mg/m2). Kombinasi dosis tunggal pre-kemoterapi antara golongan 5-HT3 Antagonis dan Deksametason biasanya digunakan sebagai terapi untuk mencegah terjadinya emesis pada pasien yang menerima kemoterapi dengan resiko muntah tinggi. Penambahan aprepitant dapat meningkatkan pencegahan timbulnya muntah. Selain itu pengobatan delayed emesis dapat dilakukan dengan pemberian Deksametason + Metoklopramid; Deksametason + Aprepitant atau untuk resiko muntah sedang dapat diberikan Deksametason sebagai antiemetik tunggal (Grunberg, 2004). Tetapi pemakaian Aprepitant bila dikombinasi dengan Deksametason, menimbulkan interaksi dimana AUC (Area Under Curve) deksametason meningkat pada hari ke-1 dan ke-5. Dosis yang sam pada aprepitant diberikan dengan dosis deksametason yang telah dikurangi, maka AUC deksametason sama dengan standard regimennya tanpa aprepitant. Mekanisme yang terjadi yaitu karena aprepitant merupakan penghambat menengah sitokrom 75 P450 isoenzim CYP 3A4, dan dapat meningkatkan level kortikosteroid ini dalam waktu yang pendek dengan menghambat metabolismenya melalui CYP 3A4. Jadi apabila memakai regimen ini dianjurkan agar dosis pemakaian deksametason harus dikurangi sekitar 50% bila dipakai bersama aprepitant. Dianjurkan penggunaan deksametason dengan dosis 12mg pada hari 1 dan 8mg pada hari 2-4. Menurut pengobatan emesis karena agen kemoterapi yang dilakukan di UK Hospital menyebutkan bahwa kombinasi metoklopramid dan deksametason merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk muntah tipe tertunda. Dan deksametason atau lorazepam (hanya untuk anak >5 tahun) atau promethazine dapat digunakan untuk mengobati emesis (Chandler Medical Center, 2002). Penelitian yang dilakukan terhadap obat-obat kemoterapi yang memiliki potensial emetogenik tinggi dengan membandingkan 3 kombinasi antiemetik yaitu ondansetron, deksametason, dan aprepitant, semuanya diberikan sebelum kemoterapi dengan penggunaan ondansetron dan deksametason sendiri. Dilaporkan bahwa grup yang menerima aprepitant lebih baik dalam mengontrol muntah. Besarnya manfaat (kira-kira 50% mengurangi resiko muntah atau berupa medikasi untuk pertolongan) menunjukkan bahwa aprepitant sebagai komponen penting dalam strategi manajemen antiemetik untuk kemoterapi dengan level emetogenik tinggi. Dilakukan juga penelitian dengan penggunaan aprepitant pada kemoterapi dengan level emetogenik sedang pada 866 pasien yang menderita kanker payudara. Pasien-pasien tersebut menerima pengobatan dengan antrasiklin dan siklofosfamid dan juga menerima kombinasi aprepitant, deksametason, dan ondansetron diberikan sebelum kemoterapi hari 1, diikuti dengan pemakaian aprepitant saja pada hari 2 dan 3, atau kombinasi ondansetron dan deksametason pada hari 1, diikuti dengan pemakaian ondansetron saja pada hari ke 2 dan 3. Respon yang dihasilkan sangat signifikan (tidak muntah atau memerlukan antiemetik) selama waktu 5 hari studi pada grup dengan aprepitant dibandingkan kontrol grup (51% vs 42%). Dalam tahun 2008 ini, di Eropa dan Amerika Serikat telah disetujui pemakaian neurokinin-1-reseptor melalui intravena. Fosaprepitant (Emend,Merck) yang merupakan prodrug phosphoryl larut air untuk aprepitant yang kemudian akan diubah menjadi aprepitant dalam 30 menit setelah pemberian secara intravena (Hesketh, 2008). BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 77 1. Dengan pemakaian protokol baru, jumlah pasien retinoblastoma pada anak yang menerima kesesuian dalam pemilihan antiemetik sebesar 23.81% dan pasien yang belum mendapatkan kesesuaian dalam pemilihan antiemetik berdasarkan tingkat resiko agen kemoterapi yang diberikan sebesar 76.19%. 2. Antiemetik yang paling efektif dalam pencegahan kasus mual muntah akibat obat kemoterapi yaitu ondansetron yang dikombinasi dengan deksametason dengan frekuensi pasien yang tidak mengalami muntah sebesar 38.46% atau sebesar 38.5% dengan chi-square test yang berarti ada hubungan yang signifikan antara antiemetik dengan keluhan emesis. Paisen yang masih mengalami muntah sebesar 61.54% dengan nilai 15.39% untuk tipe akut dan 46.15% keluhan muntah tipe tertunda. 3. Seluruh pasien retinoblastoma anak yang menjalani kemoterapi dengan protokol baru menerima kesesuaian dosis sebesar 100% dan kesesuaian dalam aturan pakai sebesar 84.62 %. 6.2. Saran 1. Perlu adanya ketepatan dalam pemilihan antiemetik yang harus berdasarkan pada resiko muntah yang ditimbulkan oleh agen kemoterapi, terutama agen kemoterapi kombinasi. 2. Perlu adanya pemberian antiemetik sebelum menjalani kemoterapi pada seluruh pasien anakanak tanpa terkecuali sesuai dengan protokol yang berlaku guna mencegah timbulnya muntah agar tidak menimbulkan trauma pada anak-anak. 3. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antiemetik berdasarkan jenis terapi yang berbeda. 4. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas antiemetik pada anak dengan tipe muntah akut, tertunda dan tipe antisipatori dalam jangka waktu yang lebih lama dan dengan melakukan wawancara dengan orang tua/keluarga pasien. DAFTAR PUSTAKA Adelaide Royal Hospital. 2004. Medical Oncology Treatment Policy Guidelines 79 2004 8th Ed. Diakses dari situs http://www.rah.sa.gov.au/download/chemotherapy_guidelines.pdf. tanggal 20 Juni 2008. Buck, Marcia L. 1997. Pediatric Pharmacotherapy A Monthly Newsletter for Health Care Professionals Children’s Medical Center at the University of Virginia Volume 3 Number 9. Diakses dari situs http://www.pediatrik.com/buletin/20060220-hw0gpy-buletin.pdf tanggal 4 September 2008. Cancer Consultant. 2005. Managing Side Effect Treatment and Prevention Nausea and Vomiting. Diakses dari situs hhtp://patient.cancerconsultants.com/supportive treatment.aspx?id=992 tanggal 20 Juni 2008. Chandler Medical Center.2002.Chemotherapy-Inducted Nausea and Vomiting Guidelines for Adult and Pediatric Patients at UK Hospital. Diakses dari situs http://www.hosp.uky.edu/pharmacy/formulary/criteria/chemoinduced_NV.pdf tanggal 4 September 2008. Diananda, Rama. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Jogjakarta; Kata Hati. Hal 15-36; 224-225. Grunberg, Steven M, et all. 2004. Management of Nausea and Vomiting. Diakses dari situs http://i.cmpnet.com/cancernetwork/handbook/pdf/38nausea.pdf. tanggal 5 Mei 2008. Hadianty, Mira. 2005. Pemeriksaan Pendahuluan Kadar Amikasin Dalam Darah Pada Paisen: Studi Kasus di RSKD Jakarta Periode Maret-November 2004. Jakarta; Fakultas Farmasi Universitas Pancasila (Skripsi). Hesketh, Paul J. 2008. Drug Therapy; Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting. Diakses dari situs http://content.nejm.org/cgi/reprint/358/23/2482.pdf tanggal 4 September 2008. National Cancer Institute (NCI). 2006. Supportive Care Statement for Health Professional, Nausea and Vomiting. Diakses dari situs http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062747.html tanggal 19 Juli 2008. Rasjidi, Imam. 2007. Kemoterapi Kanker Ginekologi Dalam Praktik SehariHari. Jakarta; Sagung Seto. Hal 1-12. Septyaningrum, Dian P. 2007. Efektivitas Penggunaan Antiemetik Pada Pasien Kanker Payudara Yang Menjalani Kemoterapi di Instalasi Kanker Terpadu ‘TULIP’ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Bulan Maret-April 2006 (Skripsi) Solimando, Dominic A. 2004. Drug Information Handbook For Oncolgy 4th Edition. Ohio; Lexi-comp, Inc. Hal 265-270; 443; 625-628; 825. Stockley, Ivan H.2006. Drug Interaction 7th Edition. London; Pharmaceutical Press. Hal 802. Suhadi, Rita, dkk. 2005. Evaluasi Penatalaksanaan Kasus Mual dan Muntah Paska Kemoterapi Kanker Payudara dan Serviks di RS. X Yogyakarta Periode 2004-2005. Diakses dari situs http://www.usd.ac.id/06/publ_dosen/far/rita.pdf tanggal 14 Agustus 2008. Sukardja, I Dewa Gede. Onkologi Klinik Edisi 2. 2000. Surabaya; Airlangga University Press. Hal 65-66; 123-124; 209-214. Taketomo, Carol K, et all. 2001. Pediatric Dosage Handbook 8th Edition. Ohio; Lexi-comp, Inc. Hal 307-309; 735-736. Tehuteru, Edi S. 2007. Tatalaksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi. Diakses dari situs http://www.dharmais.co.id tanggal 5 Mei 2008. Tim FKUI Farmakologi. 2003. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta; FKUI. Hal 686-689. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Edisi 6; Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Jakarta; PT. Elex Media Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia. Hal 209. Voute, P.A, et all, editor. 1998. Cancer in Children: Clinical Management 4th Edition. New York; Oxford University Press, Inc. Hal 79-80.