FILSAFAT ISLAM Cetakan 1, Jakarta, 2009 Diterbitkan oleh FAZA MEDIA. D/a. Jl. Rajawali Raya No 15 Blok E 2 RT 01 /07 Benda Baru Pamulang, telp./fax. 021-74645433 Email: [email protected] Hak Cipta ada pada pengarang _2009 Hak Penerbitan ada pada penerbit ISBN: 978-602-8033-28-2 Penulis: Drs. H. Achmad Gholib, MA Isi menjadi tanggungjawab penulis Hak Cipta dilindungi Undang-undang (all right reserved) KATA PENGANTAR DEKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN JAKARTA Bismillahirrahmanirrahim Filsafat Islam dalam wacana keilmuan UIN Jakarta sudah menjadi tradisi sejak tahun tiga dekade terakhir, fase awal gerakan modernisasi pemikiran keagamaan di kampus UIN Jakarta yang ditandai dengan pengembangan tradisi kritis terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan warisan intelektualisme Islam klasik yang diserap secara parsial, ekslusif, tidak terbuka, dan bahkan masih ada indikasi tidak mengapresiasi perbedaanperbedaan, tidak respek terhadap perbedaan, sehingga agama yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, justru terkadang menjadi pemicu keretakan sosial. Padahal tradisi intelektualisme Islam klasik tidak sekedar mewariskan substansi dan epistimologi keilmuan, tapi justru melakukan perubahan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat sebagai implikasi dari proses dinamika penelitian dan kajian keilmuan yang dihasilkan para ulama dan ilmuwan. Kemudian bersamaan dengan itu, para ulama juga mengembangkan etika keilmuan untuk hidup saling menghormati dan menghargai perbedaan. Perbedaan pendadapat, pandangan bahkan keyakinan tidak menjadi halangan untuk berkooperasi dalam proses ekonomi, politik dan bahkan membina kehidupan sosial. Akan tetapi, tradisi ilmiah dan suasana akademik di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia sampai paroan ke-dua abad ke20 masih diwarnai dengan sikap-sikap sektarianistik, komunikasi akademik antara satu kelompok dengan lainnya masih cenderung sarkastik, sehingga sangat tidak produktif untuk upaya pengembangan tradisi ilmiah, melairkan produk-produk pemikiran keagamaan yang konstruktif untuk perubahan dan dinamika sosial keagamaan, sehingga agama, tidak dijadikan inspirasi dalam perubahan dan pembangunan, dan tidak dijadikan sebagai basic values dalam pengembangan sosial, dan bahkan pada akhirnya agama ditinggal dalam proses kemajuan sosial, sehingga tersudut hanya pada sentra-sentra kegiatan ritual, dengan ragam aktifitas peribadatan dan perayaan hari-hari besar Islam. Oleh sebab itu, tradisi kritis dalam sejarah intelektualisme Islam klasik perlu dikembangkan terus dalam kajian-kajian akademik keagamaan di Perguruan Tinggi Agama Islam, seingga akan terbina inklusifisme dan pluralisme keberagamaan di kalangan kader- kader, dan agama akan mampu menginspirasi berbagai perubahan sosial, serta mewarnai citra perubahan tersebut dengan cita religiusitas modern yang terbuka, toleran serta memiliki daya adaptasi yang dinamis, dengan tidak mengorbankan spirit keagamaan, baik landasan teologis, aturan-aturan sosial kemasyarakatan. Fakultas Ilmu tarbiyah dan Kegguruan UIN Syarif Hidayatullah, jakarta, merupakan salah satu fakultas yang akan melahirkncsalon-calon guru profesional, dengan jiwa kesantrian yang kuat dan mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan modernisme kehidupan sosial. Mereka diharapkan mampu berfikir kritis, melihat berbagai aspek secara komprehensif, mengaplikasikan agama dalam kehidupan sosial secara rasional, berpihak pada kemanusiaan, menghargai perbedaan, dan mampu menjalin kerjasama sosial yang harmonis antara mereka sendiri sebagai umat Islam, dengan tidak membedakan aliran dan sekte keagamaan, etnik, budaya dan bahasa, serta mampu hidup berdampingan dengan siapapun tanpa membdakan agama dan keyakinan. Oleh sebab itulah, pemikiran Islam dengan kajian yang komprehensif antara aliran-aliran tradisionalisme dan modernisme, antara aliran orthodox dengan hetero- dox, semua dipelajari di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, dengan harapan mereka dapat menerima agama secara lebih rasional, kritis dan mampu menjadi bagian terdepan dalam perubahan-perubahan sosial dengan semangat keberagamaan yang kuat. Agama diharapkan akan menjadi landasan teologis dalam kejuangan sehingga memiliki etos yang kuat dalam membina karirdan profesi mereka, serta menjadi ciri budaya hidup mereka dan kekuatan kontrol dalam menjalan profesi dan kehidupan sosial. Buku yang ditulis oleh Achmad Ghalib, salah seorang dosen jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), FITK UIN Jakarta ini, dengan judul Filsafat Islam, merupakan salah satu karya yang akan mampu membuka wawasan para mahasiswa tentang wacana intelektualisme Islam klasik yang secara substantif masih sangat relevan untuk dijadikan referensi utama dalam kajian ke-islaman, yang akan mampu membina inklusifitas para mahasiswa dalam berfikir, bersikap dan bertindak, tidak hanya dalam aspek-aspek ritual peribadatan tapi juga dalam kehidupan profesi dan sosial mereka, kelak setelkah mereka memasuki pasar tenaga kerja, dan menjadi bagian dalam pebinaan profesionalisme mereka, dalam kehidupan sosial Ciputat, Februari 2009 Dekan, Prof. Dr. Dede Rosyada. KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan inayahNya, sehingga saya dapat merampungkan penulisan buku Filsafat Islam dan mendeskripsikannya secara ringkas dan lugas. Dalam penulisan buku ini, penulis sengaja ingin mengajak dan mengembangkan wacana berfikir mahasiswa dan pembaca serta peminat wawasan ke Islaman pada umumnya, dan khususnya tentang Filsafat Islam karena Filsafat Islam pernah menjadi primadona dan menjadi pusat kajian di kalangan para pemikir Islam klasik dan kontemporer. Apalagi perkembangan Filsafat Islam seringkali disepadankan dengan aktifitas intelektual umat Islam, upaya penyepadanan ini berbuah pada asumsi kematian aktivitas intelektual umat Islam ketika Filsafat Islam diduga ditutup oleh Ibnu Ruysd dan beralih ke Barat. Asumsi ini semakin meyakinkan ketika isu stagnasi aktifitas intelektual dihembuskan, yakni isu tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadaap Filsafat dan wafatnya Ibnu Rusyd, seorang figur filosof Islam yang diakui oleh Barat (Eropa). Dampak isu ini berbuah kemalangan panjang umat muslim, selama bertahuntahun umat disibukkan dengan perdebatan pemaknaan zindiq yang identik dengan tudingan "kafir" atau keluar dari ajaran Islam oleh orang-orang radikal-ekstrimis yang mengklaim dirinya penjaga kesucian agama. Karenanya, meski buku dengan tema yang sama telah banyak ditemukan tetapi pada tataran dan konsep yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam, buku ini pun patut diperhitungkan. Pembahasan mengenai filsafat Islam sejak dahulu memang berada dalam posisi dilematis, antara diterima dan ditolak, sehingga penjelasan pada masalah ini mutlak dilakukan. Filsafat Islam diterima atas perannya sebagai "jembatan" bagi perkembangan kemoderenan d i Barat sekaligus perespon ide-ide Yunani, tetapi juga ditolak karena dianggap tidak menunjukkan kontribusinya yang signifikan. Dan buku filsafat Islam ini berhasil membahasakannya dengan lugas, sederhana tetapi tetap cjualified. Semoga buku ini tidak hanya menjadi bahan bacaan mahasiswa saja tetapi juga memberikan peran bagi wawasan keislaman umat. Kisi-kisi karakteristik filosofis para filosof di dalam buku ini sudah seyogyanya menjadi dasar pemikiran kita semua untuk menanamkan kembali ide "integrasi ilmu" yang kini sedang disuarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dapat menjadi landasan berfikir para mahasiswanya kelak ketika mereka bersosialisasi bersama masyarakat. Jakarta, Januari 2009 Penulis, DAFTAR ISI Kata Pengantar Dekan FITK UIN Jakarta .................................................. ..................................................................................................................... v Daftar Isi ...................................................................................................... ..................................................................................................................... ix BAB 1 FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH A. TRADISI ILMIAH ISLAM DAN AKULTURAI BUDAYA 4 1. Islam dan Bangsa Arab .................................................. 4 2. Islam dan Peradaban Persia1 ........................................... 6 3. Islam dan Pemikiran Yunani ........................................... 25 B. FILSAFAT ISLAM DAN KEBANGKITANBARAT ......... 35 BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIKDAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN A. Definisi................................................................................. 50 B. Ilmu, Filsafat dan Agama .................................................... 56 C. Karakteristrik Filsafat Islam .............................................. 61 D. Aliran-aliran dalam Filsafat Islam ....................................... 67 E. Filsafat Islam, Teologi (Kalam), Tasawuf Sebuah Relasi Dialogis .................................................................... .............................................................................................. 74 BAB 3 PARA FILOSOF MUSLIM AWAL A. Al-Kindi ............................................................................... 87 B. Al-Razi ................................................................................ 106 C. Al-Farabi ............................................................................. 116 D. Ibnu Miskawaih ................................................................... 135 E. Ibnu Sina ............................................................................. 148 BAB 4 PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALIDAN IBN RUSYD A. Kritik Al-Ghazali .................................................................. 182 B. Jawaban Ibnu Rusyd .............................................................. 198 BAB 5 FILSAFAT DAN TRADISI MISTIS A. Suhrawardi Al-Maqtul .......................................................... 224 B. Ibnu Arabi ............................................................................. 248 Datar Pustaka .............................................................................................. 263 Tentang Penulis ........................................................................................... 265 BAB 1 FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH Tidak ada satu pun bangsa pada Abad pertengahan yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan oleh orang-orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab. (Philips K. Hitti) Kedudukan filsafat Islam dalam perjalanan sejarah terus menerus menjadi perdebatan yang tiada habisnya, setiap celah memungkinkan untuk melihat filsafat Islam dari berbagai sisi. Minimnya bukti-bukti historiografi melahirkan beragam pemikiran, kecenderungan pertama misalnya menafikan keberadaan filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap tak pernah ada dan tak ada dalam proses perkembangan keilmuan di dunia, apalagi kemajuan zaman saat ini sama sekali tidak dapat memiliki kaitan budaya dengan Islam dan ajaranajarannya. Maka, Barat dalam arti “simbol" ke-modern-an dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat dengan "tenang” beranggapan bahwa Barat sebagai pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir dari proses kreativitas pikir bangsa Barat dan pergulatan zaman mereka sendiri sejak masa dahulu kala.1 Kecenderungan kedua dalam melihat filsafat Islam adalah mengakui keberadaan filsafat Islam sebagai sebuah "jembatan" yang menghubungkan antara kemajuan di Barat dengan kemajuan keilmuan di Yunani. Golongan kedua ini dengan enteng beranggapan bahwa filsafat Islam adalah sebuah hibriditas. Hibriditas adalah kecenderungan untuk mengambil berbagai unsur untuk menjadi bagian dari dirinya,2 artinya filsafat tidak dan bukan berasal dari Islam tetapi dipaksa- paksakan’ menjadi bagian dalam Islam. Atau dengan kata lain, filsafat Islam merupakan pemikiran luar yang diadopsi oleh Islam.3 Jika dua kecenderungan penilaian terhadap filsafat di atas terkesan menolak dan kurang menerima keberadaan filsafat Islam, kecenderungan penelitian ketiga telah mengakui, menerima dan menyetujui filsafat Islam pernah mewarnai keilmuan di dunia bahkan pernah mencapai masa keemasannya. Sayang, pendapat ketiga ini seringkali merupakan pendapat yang digaungkan umat muslim tanpa ragam proses ilmiah yang jelas dan nyata. Sehingga arah asumsi- asumsinya terkesan subjektif atau “dituding" subjektif. Subjektif karena terlahir dari pemikiran umat Islam dan belum tentu diakui oleh intelektual lain di luar Islam. Beruntung, menjelang akhir abad 19, menjelang abad 20, bermunculan penelitian-penelitian yang membuktikan eksistensi filsafat Islam, penelitian-penelitian ini dilakukan oleh non-muslim dan secara perlahan memberikan “nama baik” bagi filsafat Islam yang sebelumnya dipaksa terkubur. Tiga kecenderungan tersebut tentu saja bergerak dengan asumsiasumsi dan teori-teori yang berjalan secara terpisah. Keterpisahan asumsi dan teori tersebut seringkali dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing penelitian. Edward Said berhasil mendeskripsikan konflik kepentingan pada penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Orientalis, ditemukan kepentingan “arogansi" untuk menunjukkan Barat sebagai bangsa yang jauh lebih “mulia” dari bangsa lain.4 Analisis ala orientalis ini jelas hampa budaya dan hampa nilai meski ada pula yang tetap menjunjung kaidah-kaidah ilmiah dalam penelitiannya. Maka, menjelaskan filsafat Islam dari sisi lahir, hidup berkembang dan kondisi mati surinya adalah konsekuensi yang mesti dilakukan untuk mengetahui posisi filsafat Islam dalam lintasan sejarah secara jernih dan objektif. Artinya membicarakan filsafat Islam sama dengan menjelaskan Islam sejak zaman kelahirannya kemudian komunikasinya dengan masyarakat setempat dan bagaimana prosesnya hingga berkembang melintasi jazirah Arabia menembus Eropa serta bagaimana pula proses “pertubrukan” budaya di dalamnya. Analisis tersebut pasti merubah pola analisis setiap pendapat dari tiga kecenderungan di atas. Bahkan bisa saja turut memperdebatkan satu pendapat dengan pendapat lainnya atau sebaliknya mendukung satu dari lainnya. Islam dan filsafat sendiri diragukan konsepnya sebagai sebuah satu kesatuan makna. Dalam kalangan tertentu ada yang berpendapat bahwa agama dan filsafat tidak dapat dipertemukan karena keduanya memiliki paradigma yang sangat berbeda. E. Renan bahkan menyetujui penggunaan kata filsafat Arab dari pada filsafat Islam, asumsi tersebut disematkan karena filsafat ini dipopulerkan oleh Bangsa semit, ras asli Arabia dan menggunakan bahasa Arab. Renan juga melakukan klasifikasi-klasikasi kompetensi antara Bangsa Aria yang merupakan ras orang-orang Barat dan Bangsa Semit yang merupakan nenek moyang bangsa Arab, Renan menyebutkan bahwa selama perjalanan sejarah bangsa Semit adalah bangsa yang “terbelakang”, bangsa ini menurut Renan hanya memiliki kemampuan menerjemahkan dan tidak memiliki kemampuan untuk menganalisis dan menelaahnya. Tanpa analisis dan telaah tersebut, Renan berkesimpulan bahwa filsafat yang disampaikan dengan bahasa Arab tersebut jelas takkan pernah dipengaruhi oleh konsep-konsep keislaman.5 Analisis Renan ini bagi Ibrahim Madkur telah menginspirasi orientalis-orientalis lainnya untuk menunjukkan kesan kuat bahwa "filsafat Islam” tidaklah benar-benar Islam, la tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani kuno berbaju Islam yang berbahasa Arab. Mereka sedikit menambahkan,peran filsafat Islam tidak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni gereja, tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan dari filsafat Yunani. Lebih dari itu menurut mayoritas orientalis aktivitas intelektual umat Islam telah mati akibat kelalaian umat Islam memahami filsafat. Dalih yang disampaikan orientalis mengenai kelalaian umat Islam sekaligus meragukan peran muslim dalam berfilsafat adalah, isu tertutupnya pintu ijtihad, yang telah berlangsung selama seribu tahun; 'seranganserangan” al-Ghazali terhadap filsafat melalui karya Tahafut, Falasifah; meninggalnya Ibn Rusyd yang dianggap kalangan barat m.'bagai seorang Rasionalis.6 Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam menyebutkan setidaknya ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap filsafat Islam. Pertama, militansi kalangan terpelajar muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks poindaban Yunani. Gairah intelektual muslim tersebut oleh sebagian A. TRADISI ILMIAH ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA 1.Islam dan Bangsa Arab Saat ini, jika anda membicarakan Islam artinya anda juga membicarakan Timur tengah termasuk negara-negara di dalamnya. Hal ini disebabkan identifikasi dari Timur tengah adalah negara-negara basis Islam, meski tidak sinonim sulit memisahkan pembahasan antara keduanya, karena Islam berkembang di wilayah Timur tengah dan keemasan Islam pada masa lampau terletak di wilayah-wilayah Timur tengah. Tetapi menilai kebenaran ajaran Islam dan kemajuannya pada Timur tengah tentu bukan penilaian yang tepat, karena Islam tidak hanya berkomunikasi dengan bangsa Timur tengah, Islam berkomunikasi dengan bangsa manapun dan melakukan sebuah proses akulturasi budaya yang sangat menarik. Islam membaur dengan budaya Persia Iran, membaur dengan peradaban Mesir kuno, berkomunikasi dengan kekuatan Mesopotamia kuno di dataran rendah Irak atau berkonsultasi dengan Hellenisme yang disebarkan Alexander Agung dan melebur mendekati Eropa bersama pemikiran Yunani. Peleburan budaya dan akulturasi ini takkan pernah terrealisasi tanpa kekuatan Bangsa Arab. Islam takkan pernah berjaya dan mencapai masa keemasan jika Bangsa Arab memilih untuk mengeksklusifkannya. Ekspansi Islam keluar dari Jazirah Arab dan merambah wilayah-wilayah lainnya berhasil mempopulerkan Islam dan ajaran-ajarannya serta berhasil menunjukkan identitas Bangsa Arab. Tetapi masa lalu bangsa Arab sebagai bangsa Jahiliyah cukup menghantui penilaian-penilaian di luar Arab terhadap bangsa Arab itu sendiri. Kondisi Bangsa Arab sebelum Islam datang, dikisahkan merupakan Bangsa Jahiliyah, bangsa yang seakan-akan tidak punya norma dan aturan. Bangsa yang seakan-akan tidak punya intelektualitas dan berada dalam titik nadir. Adalah Abdurrahman al-Bazzaz yang dengan lantang menyatakan bahwa kondisi jahiliyyah yang digambarkan sejarahwan dengan kondisi yang begitu nista tersebut adalah kesalahan besar, gambaran keburukan- keburukan yang bertubi-tubi dengan maksud mengagungkan dan menunjukkan kehebatan Nabi itu terlalu didramatisir. Akibatnya, setelah Nabi Muhammad wafat, bangsa lain dapat dengan mudah menyerang bangsa Arab dan menuding sebagai bangsa yang tidak beradab.8 Al-Bazzaz bahkan beranggapan bahwa penulisan sejarah tersebut ditulis oleh orang-orang Persia untuk melegitimasi politiknya, yang didasari oleh semangat golongan (shu’ubiyah), yaitu suatu gerakan dari orang-orang muslim non Arab untuk menangkal kecenderungan Arabisasi. Perlu diketahui dalam sejarah politik Islam, ada semangat- semangat primordialisme yang melakukan tarik-menarik untuk menguasai pemerintahan. Semangat primordialisme suku Quraisy yang diwakili oleh Dinasti Abbasiyah, primordialisme Arab non Quraisy yang diwakili oleh kekuatan keluarga Bani Umayyah, dan di luar Arab, muncul kekuatan Persia dan juga kekuatan Turki. Badri Yatim mencatat bahwa kemajuan dinasti Abbasiyah di awal periode pemerintahannya yakni sekitar tahun 132 H/750 M sampai dengan 232 H/ 945 M, berada dalam pengaruh Persia.9 Pengaruh ini didapat melalui pernikahan asimilasi antara bangsa Persia dan Arab, luga karena ibu kota pemerintahan terletak di Baghdad dekat Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Adapun Dinasti Turki Utsmani menurut Bernard Lewis merupakan dinasti terakhir Islam, dalam hal ini dinasti dimaknai dengan kepemimpinan atas nama Khalifah atau Sultan yang berbentuk monarchi. Setelah Turki praktis dunia kekuasaan Islam terpecah belah menjadi dinasti-dinasti kecil atau menjadi Negara-negara berdaulat dengan sistem pemerintahan yang berbeda dengan dinasti. Artinya, menurut Abdurrahman al-Bazzaz, persepsi dunia terhadap Arab banyak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang disebarluaskan atas nama politik. Kerugian terbesarnya adalah saat ini, asumsi mengenai Arab selalu dikonotasikan dengan Islam dan Islam selalu diidentifikasi dengan budaya serta tradisi Arab. Seperti halnya al-Bazzaz, Muhib al-Din al-Khatib seorang muhaqqiq dan penulis syarh buku-buku Islam klasik berpandangan bahwa bangsa Arab memang berada dalam kondisi “jahiliyyah", tetapi moreka juga punya peradaban. Untuk memperkuat asumsinya ini, al- Khatib mengutip hadis oleh Bukhari; Rasulullah bersabda, “Kamu mendapati manusia itu seperti barang mineral; mereka yang terbaik pada masa jahiliah adalah juga yang terbaik pada masa Islam, kalau mereka mengerti". Yang dapat dipahami dari sabda Nabi itu ialah bahwa ui.ing-orang Arab itu memang memiliki kualitas yang tinggi, bagaikanuang mineral seperti emas, sehingga jika mereka berharga sebelum, maka mereka pun berharga pula sesudah Islam. Kemudian alhh.itib menjelaskan, tidak dapat diragukan bahwa Bangsa Arab adalah penyembah berhala. Tetapi, mana dari kalangan bangsa-bangsa yang ada pada waktu Islam muncul, yang bukan penyembah berhala dalam berbagai pengertiannya? Bahkan sesungguhnya orang-orang Arab adalah yang paling akhir menjadi penyembah berhala.10 Adapun sebelum menyembah berhala, al-Khatib berpendapat bahwa bangsa Arab menganut faham al-Hanifiyyah, yakni ajaran monotheisme Arab peninggalan Nabi Ibrahim. Sedangkan praktek menyembah berhala yang terjadi kemudian pada mereka itu tidak menghasilkan kuil, pendeta atau pun benda-benda ornamental keagamaan, sehingga dari kalangan semua bangsa di muka bumi orang-orang Arab itulah yang paling dekat kepada agama fitrah. Karena itulah mereka berhak atas pujian Tuhan kepada mereka dalam surah al-Baqarah ayat 143, “Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian ini golongan penengah, agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian ummat manusia, sebagaimana Rasul menjadi saksi atas kamu ..." Bagi Nurcholish Madjid, ketinggian kebudayaan dan peradaban Bangsa Arab terbukti melalui keindahan bahasa mereka yang sedemikian canggih dan halus (redefined)-nya, membentuk latar belakang yang dapat menjadi ‘asbab nuzul’ dalam arti luas dan menyeluruh bagi al-Qur’an berarti juga bagi Islam.11 Secara geografis jazirah Arab dibentuk oleh empat persegi panjang yang amat luas, di sebelah utara dibatasi oleh mata rantai daerah-daerah yang terkenal dalam sejarah, disebut daerah “Bulan tsabit yang subur” (fertile crescent) yaitu daerah Mesopotamia, Syria, Palestina dan tanah perbatasan yang berpadang pasir; di sebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Parsi dan Samudera Hindia; sebelah barat dibatasi Laut Merah.12 Wincler-Caetani mengatakan bahwa Jazirah Arab hakikatnya adalah daerah yang subur dan merupakan tanah air pertama bangsa Semit. Namun setelah ribuan tahun, kekeringan melanda daerah tersebut dan menyebabkan timbulnya krisis kelebihan penduduk tanpa hasil alam yang mencukupi, konsekuensinya berulang kali terjadi keadaaan saling serbu antar negeri tetangga suku bangsa Semit ini. Krisis-krisis ini yang mendorong bangsa Syria, Aramaik, Kan'an dan bangsa Arab sendiri memasuki daerah 'bulan tsabit yang subur'. Jadi, bangsa Arab menurut Wincler dalam sejarahnya, adalah residu dan tidak terpisahkan dari proses invasi besar-besaran yang terjadi di masa lalu. Beberapa bukti yang membenarkan teori Wincler ini menurut Bernard Lewis adalah ditemukan sejumlah bukti dalam bentuk saluran air yang telah mengering dan tanda-tanda kehidupan di wilayah tersebut di masa lalu.13 Ira M. Lapidus menuturkan bahwa secara keseluruhan kini, hanya sedikit saja wilayah di Arabia merupakan wilayah yang subur, sebagian besar daerah merupakan wilayah yang sangat gersang dan tandus. Dan bangsa Arab yang hidup di beberapa wilayah subur menjalin pola kebersamaan politik, kesamaan keyakinan, hubungan ekonomi dan perdamaian dengan masyarakat sekitarnya.14 Philip K. Hitti mengemukakan bahwa wilayah padang tandus Arabia merupakan cikal bakal lahirnya masyarakat Badui yang mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat nomaden.15 Tradisi nasional Bangsa Arab membagi bangsa itu menjadi dua cabang yakni Arab Utara dan Arab Selatan. Pemisahan wilayah itu secara geografis oleh gurun tanpa jejak ke dalam wilayah utara dan selatan terungkap dalam karakter orang-orang yang mendiami masing- masing wilayah itu. Menurut Lewis Bahasa Arab saat ini adalah Bahasa Arab Selatan yang banyak dipengaruhi dari Bahasa Etiopia, kebanyakan penduduk Arab selatan adalah bangsa penetap. Salah satu kehebatan yang diketahui berasal dari Arab Selatan adalah kerajaan Saba', wilayah ini menurut Lewis juga pernah berada dalam kekuasaan Persia.16 Suku Badui diyakini merupakan orang-orang dari Arab Utara, karena tempat subur dan pertanian adalah wilayah Arab Selatan. Orang-orang Badui menunggang unta dan secara musiman berpindah-pindah untuk mencari padang rumput yang hijau. Mereka memperlengkapi karavan dengan binatang, juru penunjuk dan pengawal. Mereka menghabiskan musim gugur dengan bertahan di padang pasir dan ketika terdapat tanda-tanda turun hujan pertama, mereka berpindah untuk mencari padang rumput. Pada musim panas mereka biasanya memasang tenda-tenda di dekat kampung dan oasis, di tempat ini mereka menukar produk ternak untuk mendapatkan padi, kurma, perkakas rumah tangga, senjata dan pakaian. Kehidupan Independen Badui sama dengan kehidupan Independen Bangsa Arab di wilayah Timur tengah. Timur tengah secara umum terdiri dari Negara-negara berperadaban tinggi dengan kerajaan hagai sistem pemerintahannya. Di sisi barat, Arabia berbatasan dengan Imperium Bizantium, di Utara berbatasan dengan Imperium Sasania <l;m Lakhmiyah.17 Bagi masyarakat kuno, Imperium melambangkan wilayah peradaban. Fungsi Imperium adalah untuk mempertahankan peradaban mereka dari serangan fihak luar, “barbarian" dan untuk mengasimilasikan mereka ke dalam lingkungan budaya yang lebih besar. Imperium memerintahkan sumpah setia disebabkan mereka adalah sebuah koalisi masyarakat budaya untuk mengusir kegelapan. Kesetiaan yang ditujukan untuk seorang raja yang diyakini merupakan titisan dewa. Penguasa adalah agen Tuhan, penghubung antara alam dunia dan alam surgawi yang ditunjukan Tuhan untuk menjamin kesejahteraan hidup warganya dan secara magis menata kehidupan semesta agar terhindar dari kekacauan.18 Imperium-imperium ini melahirkan kerajaan-kerajaan besar atau kecil yang secara silih berganti terbentuk tetapi kemudian tenggelam. Perkembangan yang menentukan imperium dan peradaban kerajaan seirama dengan transformasi keagamaan. Terbentuk kepercayaan terhadap dewa-dewa yang didefinisi untuk kebutuhan masyarakat terhadapnya. Dewa-dewa masyarakat Timur tengah merupakan dewa-dewa keluarga, suku, kampung dan dewa kota, tetapi lantaran pertumbuhan hubungan antar masyarakat, muncullah dewa universal yang diakui bersama.19 Seluruh dewa ini dideskripsikan melalui materi-materi di alam, beberapa mendeskripsikan melalui patung-patung berhala dan beberapa lainnya seperti Zorostrian, Manicheanisme dan Mazdaisme menunjuk Matahari, Api dan Bulan sebagai deskripsi dewa mereka. Di sisi lain, terdapat masyarakat-masyarakat keagamaan monotheisme, yang memuja Tuhan dalam arti satu dan esa. Judaisme dan Nasrani merupakan agama yang diminati Imperium Bizantium, yakni sekitar wilayah lraq. Namun, ide monotheisme tetap melahirkan deskripsi-deskripsi lain yang berkaitan dengan penghubung dunia dan Tuhan seperti konsep trinitas yang diyakini sebagai upaya pembebasan diri, melalui keimanan pada Kristus sebagai Tuhan Esa.20 Dan Arabia, menjelang era Islam merupakan wilayah yang mengisolasikan diri dari hiruk-pikuk kerajaan dan Imperium. Arabia bertahan hidup menjadi penggembala di saat wilayah Imperium menjadi masyarakat agrikultur, Arabia benar-benar terasing dari wilayah pergaulan meski mereka bergaul bersama masyarakat Timur tengah. Arabia hidup dengan ras dan primordialisme, mereka terdiri dari berbagai suku, dan Quraisy adalah suku terhormat di kalangan mereka. Tidak ada kerajaan kecil atau bahkan Imperium yang mengatur arah kepemimpinan dan peradaban mereka. Maka, tak pelak lagi, peperangan dan adu kekuatan antar suku seringkali terjadi.21 Makkah merupakan kota suci di Arabia, dan hanya Makkah yang menentang trend perpecahan politik dan social, dan tetap memperhatikan urusan social dan ekonomi. Ka'bah adalah pusat ekonomi Makkah, karena menjadi tujuan penziarahan (haji) tahunan, maka Makkah menjadi pusat penyimpanan berbagai macam berhala dan dewa-dewa kesukuan dari penjuru wilayah jazirah ini. Masa haji ini menjadi semacam perayaan karena ekonomi bergeliat dan memakmurkan kota makkah. Namun, bersamaan dengan semakin pesatnya kekuatan ekonomi, gerakan perdagangan mulai disabotase ‘bajak laut’ sehingga para penguasa menggunakan jasa orang-orang Badui yang telah dikenal ketangguhannya. Secara perlahan masyarakat Badui memasuki wilayah social-ekonomi dan kekuatan politik Arab. Secara perlahan pula beberapa kebudayaan Badui menjadi bagian dari kebudayaan Arab. Lapidus dan Hitti meyakini benar bahwa Syair merupakan produk budaya Badui,22 dan susunan klan adalah dasar dari masyarakat Badui. Tiap kemah merupakan suatu keluarga dan anggota-anggota dari suatu perkemahan merupakan suatu klan. Kemudian beberapa klan yang masih ada tali persaudaraan, merupakan suatu suku. Bahkan menurut Hitti terdapat kebiasaan menciptakan persaudaraan dengan yang tidak ada pertalian darah dengan saling meminum beberapa tetes darah.23 Masuknya Badui dalam lingkup sosial politik dan ekonomi Arab, membuat perubahan pola hidup dari nomaden menjadi penetap, l'ei ubahan pola ini diikuti pula oleh perubahan kebiasaan hidup dari '.eorang penggembala menjadi saudagar. Dan Mekkah sebagai K'epublik Kota Saudagar merupakan tempat pertemuan dua budaya ■i ah Utara dan Arab Selatan. Kota ini diperintah oleh sebuah sindikat iiiang orang bisnis yang kaya raya. Dan Ouraisy adalah salah satu ii'lompok penguasa perdagangan terkemuka, Ouraisy menurut Lewis i'Ialah Badui yang telah menetap. Artinya tempat ini kemudian menjadi ii mpat terakhir salah satu suku dan kemudian menjadi pemeran utama <li dalamnya. Ouraisy adalah elemen sentral kota Mekkah, mereka terdiri i m '.ekolompok saudagar bisnis yang aristokratis, bankir, pedagang dan wiraswasta.24 Di sisi lain, terdapat pula Ouraisy of the Outsider mereka adalah kelompok Badui diluar suku Ouraisy yakni sejumlah penduduk kecil, terdiri dari pedagangpedagang, kelompok proletar, atau orang-orang Badui nomaden.25 Daya tahan dan ketangguhan orang-orang Badui yang sangat tinggi ini adalah mental orang-orang Arab. Sebagai suku yang hidup berpindah-pindah, seorang Arab dan seorang Badui khususnya adalah seorang demokrat tulen. Mereka memandang bahwa semua masyarakat atau setiap orang yang ditemuinya adalah sama, tidak ada kasta atau perbedaan dalam memandang orang lain. Namun, di saat yang sama, mereka sering menjadikan diri mereka Aristokrat, beranggapan bahwa mereka adalah yang terbaik dan hasil penjelmaan yang sempurna. Gaya aristokrat ini memicu mereka untuk memamerkan silsilah mereka sampai dengan Nabi Adam.26 Kebanggaan terhadap silsilah ini adalah bagian patriarkal mereka, termasuk di dalamnya pandangan sebelah mata terhadap wanita. Wanita tidak punya daya dan kuasa, ia bak budak dan hidup diantara poligami, la tak berhak meminta dan menuntut, suami adalah penguasa tunggal. Namun, wanita diizinkan untuk meninggalkan suaminya apabila ia diperlakukan tidak semestinya.27 Artinya, dalam kebebasan terbatas, bangsa Arab tidak dapat dikatakan telah 'sangat’ semena-mena. Mereka tetap menunjukkan rasa hormat pada wanita meski dalam skala kecil. Adapun, upaya pembunuhan terhadap anak-anak perempuan yang lahir adalah disebabkan oleh ketakutan mereka akan kemiskinan. Anak perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan dan daya tahan untuk hidup berpindahpindah, selain itu perempuan dianggap hanya merepotkan dan tidak dapat membantu kehidupan keluarga. Pandangan ini kemudian membuat perempuan menjadi kelas yang tak bermartabat apalagi di kalangan Badui nomaden. Hakikatnya, Bangsa Arab adalah bangsa yang unik, bertahan diantara padang tandus dan membangun komunikasi yang baik untuk mencapai kesatuan sebagai sebuah clan dan membesar menjadi suku. Bangsa ini telah belajar banyak tentang nasionalisme, kasih sayang bahkan persatuan dan kesatuan. Bangsa Arab juga telah memiliki kompetensi di bidang ekonomi serta pemahaman yang baik tentang Tuhan meski dengan cara yang berbeda. Adapun makna “jahiliyah” dalam hal ini, tidak dapat hanya disematkan pada Bangsa Arab, tetapi pada setiap kondisi saat itu. Dimana tak ada penyembah Tuhan monotheisme, kaum Nasrani dan Yahudi (ahl kitab) menjadi terpinggirkan dan seluruhnya menyembah berhala atau dewa-dewa yang dideskripsikan melalui materi. Dan secara keseluruhan tidak ada data yang menunjukkan bahwa perempuan di wilayah lain memiliki posisi yang baik. Bahkan cerita kerajaan Saba’ yang dikenal makmur oleh kekuatan konstruksi bendungannya Sadd Ma'rib merupakan pemerintahan yang terdapat di Arabia Selatan.28 Di tengah miliu bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lengah kacau dan penuh dengan chaos inilah Muhammad dilahirkan. Menjadi pendakwah agama Islam, agama yang menawarkan solusi terbaik bagi kekacauan dan menuntun umat manusia melalui al-Qur’an dan suri tauladan dirinya. Kontak Islam pertama kali dibangun di Makkah, kota ini merupakan kota milik “keturunan” badui, sikap penduduknya sangat dipengaruhi mental badui meski telah menjadi penduduk menetap. I’enduduk Makkah mempertahankan sikap aristokrat badui melalui peperangan untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa dan berpengaruh, sikap ini membuat Mekkah kehilangan strukturdan tatanan •■«sialnya. Ketiadaan lembaga pemerintahan, undang-undang dan hukum melahirkan perbuatanperbuatan yang sewenang-wenang dan dekadensi moral. Dakwah Muhammad di Makkah kurang digemari penduduk Hempat tetapi menarik perhatian para pendatang yang setiap tahun berkunjung ke Makkah. Kepribadian Muhammad yang santun terlihat bak mutiara di tengah dekadensi moral yang melanda Makkah, dan penduduk Yatsrib merupakan salah satu pendatang yang kemudian menbai'at diri menjadi pengikut Muhammad. Banyak faktor kegagalan dakwah terjadi di Makkah, penduduk Mukkah tidak terbiasa menerima kepemimpinan atas nama individu, meieka selalu mengatasnamakan kelompok dengan banyak tokoh di ■ ulamnya. Adapun Madinah adalah wilayah yang telah memiliki struktur 'inn tatanan social yang baik. Madinah merupakan wilayah yang dekat • l <’ 1111 a n Arabia Selatan, penduduknya hidup dari pertanian. Madinah p i' i. i telah mengembangkan konsep sosial kedekatan ruang dan tidak i'uh.ita:; pada system kekerabatan. Mereka telah jauh melepaskan i 'i'Uya badui dan memiliki simpati yang baik pada masyarakat Yahudi y n i* i berpaham monotheisme,29 Melalui Madinah, Muhammad melakukan langkah-langkah pembinaan umat sebagai “contoh” bagi keberlangsungan Islam selanjutnya. Disinilah lahir ideologi Islam dan secara perlahan menggeser ‘ideologi' Badui. Islam juga mengilhami Bangsa Arab mengenai fungsi persatuan tanpa tersekat oleh suku, seperti peleburan Muhajirin dan Anshar. Menghapus tradisi Badui mengenai klan dan suku, Islam juga mengarahkan fungsi perang tidak untuk menghancurkan bangsa yang lemah dan melebihkan satu bangsa dengan bangsa lainnya tetapi untuk menjaga keamanan Negara dan keselamatan umat.30 Di Madinah Islam mendapatkan posisi terbaiknya sekaligus menemukan eksistensinya sebagai agama yang sempurna. Dengan demikian, perpindahan dari Mekkah ke Madinah bukan sekedar pindah tempat belaka, tetapi merupakan satu pemindahan tuntas merata yang mencakup seluruh sikap hidup, tata adab dan tata hukum yang penuh dengan Renaissance Spirit dan Spirit of Nationatism. Menuju pembentukan umat baru, yakni umat Islam dengan Islam sebagai pedoman kehidupan sosial masyarakat, politik dan arah ekonomi.31 Seperti sebuah episiklus yang menjalin keterkaitan-keterkaitan ajaib di dalamnya, Islam lahir dan berkembang di Jazirah Arab dengan seni yang sempurna. Komunikasi Islam terhadap berbagai peristiwa bersama penduduk Makkah telah melahirkan asbab nuzul al-Qur’an dan asbab wurud hadis. Ayat-ayat Makkiyah menunjukkan perintah dalam bentuk “ajakan” tanpa sikap memerintah dan menggurui, sangat berhati- hati dalam merubah tradisi yang telah sekian lama tertanam.32 Tetapi di Madinah, Tuhan begitu keras mengingatkan dan menjelaskan setiap pokok permasalahan dengan solusi yang jelas tidak tawar menawar.33 Makkah adalah gambaran menjadi pendakwah di wilayah yang tidak mengenal Islam, gambaran bagaimana menjadi seorang pendakwah dengan penduduk berdaya fikir “seadanya" akibat telah bertahun-tahun terkungkung dalam kesalahan. Adapun Madinah adalah deskripsi mendidik orang-orang yang telah mengetahui benar dan salah, menunjukkan kewajiban bagi setiap muslim untuk bertanggung jawab terhadap dirinya, perbuatannya, lingkungannya bahkan negaranya dan juga pada dunia. Maka, Madinah adalah proyek percontohan yang berisi orang-orang shaleh, yang menjaga identitas keislaman dalam berbagai sisi. Makkah adalah gambaran menjadi pendakwah di wilayah yang gambaran bagaimana menjadi seorang pendakwah dengan penduduk berdaya fikir “seadanya" akibat telah bertahun-tahun terkungkung dalam kesalahan. Adapun Madinah adalah deskripsi mendidik orang-orang yang telah mengetahui benar dan salah, menunjukkan kewajiban bagi setiap muslim untuk bertanggung jawab terhadap dirinya, perbuatannya, lingkungannya bahkan negaranya dan juga pada dunia. Maka, Madinah adalah proyek percontohan yang berisi orang-orang shaleh, yang menjaga identitas keislaman dalam berbagai sisi. Karena Madinah sebuah percontohan, Madinah menjadi kota piimadona dengan kedamaian, keteraturan dan kehidupan masyarakatnya yang tenteram nan damai. Kepopuleran Madinah mulai memukau para penduduk Makkah dan menegur kekeliruan mereka '■•'lama ini pada Muhammad. Secara perlahan, Islam mulai diakui di la/irah Arab khususnya Makkah, prosesproses penyadaran mewabah di Arab dan menggeser “ideologi badui” mereka. Melalui kota madani Madinah, Islam menunjukkan eksistensinya, yang diikuti dengan pengakuan Islam di seluruh jazirah Arab dan menjadi sebuah kekuatan kebenaran yang menakjubkan. Dilandasi semangat keagamaan, bangsa Arab tergerak untuk membangun Imperium, melakukan ekspansi sampai ke benua Eropa. ' .iilit memungkiri bahwa tidak ada motif Arabisme dalam ekspansi yang dilakukan tetapi diperkirakan motif Arabisme tersebut tidak mendominasi motivasi bangsa Arab untuk melakukan ekspansinya. Hal ini terlihat dari i' iiiaimana penduduk Arab tidak memaksakan tata dan aturan hukum meieka diterapkan di wilayah yang dikuasai atau bahkan tidak memaksakan Islam sebagai dasar hukum di wilayah tersebut. Hukum • i ni lata administrasi diserahkan pada wilayah tersebut dengan sistem "iniioitii dan Islam hanya meminta untuk dapat mengurus dan melayani i nliiituhan Muslim dalam melaksanakan ajaran-ajarannya.34 Dalam tahap-tahap tertentu Arabisme, Michael Hart meyakini < i '.pansi ini takkan pernah terwujud jika Bangsa Arab tidak terdorong i' h -.emangat keagamaan. Bangsa Arab yang hakikatnya adalah e imi'.,i Badui bukan tipikal bangsa yang memiliki sejarah mencaplok 'i m menjajah bangsa lain. Hampir tidak ada data signifikan mengenai i ' i" 'i angan yang dilakukan oleh Bangsa Arab kecuali peperangan antar NIIMI Bangsa Arab sangat independen bahkan relatif tidak peduli dengan wilayah lainnya selama mereka aman.35Atas dasar dorongan dakwah dan menyebarkan agama Islam, bangsa Arab kemudian mensistematisasi dirinya menjadi sebuah kesatuan dan tidak terpisah dalam klan-klan tertentu. Ekspansi ini menurut Lapidus kemudian mendorong lahirnya rezim atau Imperium baru, yang di dalamnya mencakup migrasi dan pendudukan bangsa Arab di kawasan Timur Tengah, mendorong urbanisasi dan perkembangan ekonomi yang semakin kuat.36 Kekuatan ekonomi yang semakin memukau dan kemewahan serta kenyamanan di daerah bulan sabit yang subur pada akhirnya mendorong inspirasi- inspirasi baru di luar semangat keagamaan, artinya motif ekonomi tidak menjadi fokus utama ekspansi tetapi efek dari ekspansi yang kemudian secara perlahan mengikis motif awalnya yang didasari oleh semangat keagamaan. Semangat keagamaan bangsa Arab menurut AH. Johns dibuktikan dengan menyisipkan misionaris-misionaris Islam yang mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah-wilayah ekspansi.37 Selain itu, tidak ditemukan fakta yang nyata bahwa setelah ekspansi tersebut bangsa Arab lalu berbondong-bondong meninggalkan wilayah Arab untuk kemudian hidup di wilayah tersebut, tetapi ditemukan fakta kastasisasi Arab dan non-Arab, bahkan ketika mereka telah menjadi muslim, di mana non-Arab menduduki status yang lebih rendah dibanding seorang muslim Arab. Prosedur-prosedur perubahan yang serba kebetulan ini ditanggapi Hitti sebagai sebuah proses pertemuan budaya dari tradisi “Badui” dengan budaya-budaya di luar Arab, sehingga kemudian Imperium Arab bukanlah motif awal penaklukan tetapi efek dari euforia kemenangan yang berturut-turut. Dengan demikian, pembentukan kekuasaan yang luas itu lebih banyak disebabkan oleh tuntutan keadaan, bukan oleh rencana yang telah disusun sebelumnya.38 Secara realistis, meski bukan penentu peradaban Islam karena sulit sekali menemukan periode kemodernan keilmuan dalam kehidupan bangsa Arab. Bangsa Arab merupakan tokoh utama yang memperkenalkan Islam terhadap dunia, dan sahabat-sahabat yang shaleh memainkan perannya sebagai misionaris-misionaris dengan teladan sikap yang sempurna. Kontribusi terbaik bangsa Arab adalah bahasa, penyampaian bahasa dan kekuatan sya'ir Arab menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian menjadi sangat agung karena al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Artinya walau tidak ditemukan kekuatan keilmuan baik astronomi, filsafat dan tata administrasi hukum dari sejarah semenanjung Arabia, tetapi selalu ditemukan konsep-konsep kebahasaan yang pada akhirnya mampu memberi implikasi yang signifikan dalam proses persatuan dan penyebaran Islam. Sya’ir dan Khithabah merupakan produk bahasa yang menjadi kekuatan sastra dan mungkin jika dikembangkan dapat melebihi kemampuan retorika Yunani. Beberapa Sya'ir yang didokumentasikan Khalil Abdul Karim adalah sebuah kekuatan retorika yang sangat berani, ditemukannya sya’ir-sya'ir yang mengkritik kelas sosial yang terdapat dalam masyarakat sosial merupakan sebuah bentuk sya'r yang telah merefleksikan sastra karena berupa sebuah refleksi pemikiran dan budaya. Atau visi penyair Mutahannifin yang mengkritik agama pagan dan penyekutuan Tuhan dalam Ibadah.39 Sayangnya bangsa Arab tidak merespon medium-medium ekspresif dalam bentuk sya’ir ini, karena sya'ir disampaikan sebagai lahan mencari nafkah dan lahan untuk menunjukkan siapa yang jauh lebih baik dari lainnya. Lebih jauh h tiadaan kekuakatan kepemimpinan dan tata administratif negara menyebabkan medium ekspresif ini tidak memiliki objek kritik yang jelas .(■lain sebuah penyampaian kata-kata. Tetapi produk bahasa mereka yakni Sya'ir dan Khithabah telah mengajarkan bangsa Arab kemampuan menjadi figur yang menarik P'-ihatian. Persaingan merebut perhatian saat bersya'irdan berkhutbah membuat bangsa Arab merupakan Orator yang ulung, sebuah poin i m isitlf ketika menyebarkan agama Islam di wilayah-wilayah ekspansinya, hmiampuan bahasa ini tak bisa dinafikan dan ditiadakan serta tidak t ' a dianggap tidak menjadi bagian dari proses kemajuan peradaban islam, apalagi unifikasi bahasa antara Persia dan Suryani menjadi luhasa Arab dalam transmisi peradaban Islam merupakan persoalan i" nllni). Dan meski seringkali dikaitkan dengan kebijakan politik yang "lahisme" atau bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi karena i' n, masa nya adalah orang Arab, tetapi pemilihan bahasa Arab menjadi i'tihasa keilmuan saat itu bisa jadi karena fenomena sosial yang ""*n< aktif) berbagai keistimewaan dari fenomena kemasyarakatan. I ebih luas dari persepsi tersebut, bahasa Arab mungkin menjadi ."makin membudaya karena proses Islamisasi yang semakin luas dan ' ' i'iituhan setiap muslim non Arab dalam memahami Islam. Sehingga setiap bangsa non-Arab berusaha mendekat dan berusaha menjalin kekerabatan dan membangun satu kesatuan bahasa yang kemudian menjadi pilar-pilar yang mengokohkan kemajuan Islam. 2. Islam dan Peradaban Persia Pada permulaan abad ke tujuh, Timur Dekat dan Timur Tengah dipecah oleh dua rival, kerajaan Byzantium dan kerajaan Persia. Kerajaan Byzantium dengan ibu kotanya Konstantinopel beragama Katholik Yunani (greek) dan Kristen, wilayahnya menjangkau wilayah administrasi kerajaan Romawi. Basis kekuatannya adalah plateau Anatolia yang tinggi, pada waktu itu hampir seluruhnya berkebudayaan Hellenik yang kuat. Ke selatan terdampar propinsi-propinsi Syria dan Mesir. Penduduknya sebagian Aramaik, sebagian lagi Coptik dan terpecah belah oleh ras serta sedikit pengaruh kebudayaan Yunani. Penduduk-penduduk ini membenci pemerintah yang berkuasa karena beban pajak yang terlalu berat, adapun penduduk Yahudi adalah budakbudak bagi kerajaan.40 Persia membentuk citra dirinya melalui Imperium Sasanid, pusat kerajaan ini terdiri dari tanah plateau Iran dihuni oleh bangsa- bangsa berbahasa IndoEropa dan diperintah sebagai daerah semitik yang bebas. Kebudayaan Sasanid Persia adalah Asiatik dan benar-benar sebagai reaksi terhadap anti Hellenik, agama Negara adalah Zoroastrianisme. Secara umum Imperium Sasanid jauh di bawah kestabilan bila dibanding dengan kerajaan Byzantium. Dua Imperium ini terus bersaing, bahkan peperangan untuk menunjukkan siapa yang terkuat diantara mereka membuat kedua Negara menghabiskan seluruh sumber daya mereka dan menjadi labil.41 Di tengah peperangan yang menghabiskan energi inilah, Islam menguasai Persia dan Byzantium dengan mudah. Kedua Imperium ini telah dikuasai Islam sejak masa Khalifah Abu Bakar melalui panglimanya Khalid ibn Walid.2 Serangkaian penaklukan mengawali proses sejarah yang panjang dan memuncak pada penggabungan Imperium Sasania dan beberapa wilayah bagian timur Imperium Byzantium menjadi wilayah Imperium Islam, dan akhirnya terjadilah proses perpindahan Agama mayoritas Yahudi, Kristen dan Zoroastrian menjadi Pemeluk Islam. Di tengah peperangan yang menghabiskan energi inilah, Islam menguasai Persia dan Byzantium dengan mudah. Kedua Imperium ini telah dikuasai Islam sejak masa Khalifah Abu Bakar melalui panglimanya Khalid ibn Walid.42 Serangkaian penaklukan mengawali proses sejarah yang panjang dan memuncak pada penggabungan Imperium Sasania dan beberapa wilayah bagian timur Imperium Byzantium menjadi wilayah Imperium Islam, dan akhirnya terjadilah proses perpindahan Agama mayoritas Yahudi, Kristen dan Zoroastrian menjadi Pemeluk Islam. Persia adalah Bangsa yang sangat anti terhadap budaya Hellenik dan memilih mempertahankan budaya dan pengetahuan mereka. Kekalahan Persia dari Alexander yang Agung dan Bangsa Parthian menimbulkan kebencian terhadap budaya Hellenik. Perlu diketahui, sebelum diserang oleh Alexander, Persia dibawah kepemimpinan Raja Darius adalah Imperium yang amat disegani. ' .ctelah dikalahkan Alexander dan diteruskan oleh kepemimpinan Mnngsa Parthian. Persia kembali menguasai negaranya sendiri melalui Imperium Sasanid. Imperium Sassanid adalah imperium Persia terakhir, Imperium ini didirikan oleh seorang Persia bernama Ardhasir yang I H M hasil mengalahkan kekuatan Parthian.43 Sayang, Dinasti Sassanid tidak berlaku bijak, pada masa ini «>t - ploitasi dan penindasan yang ekstrim terhadap rakyat mencapai puncaknya. Perbudakan telah melampaui batas dan memasuki masa ► HMS Migrasi besar-besaran kaum tani miskin telah merambah kotaM.i sebagai akibat tirani kebangsawanan feodal yang tak tertahankan, n.imun, di kota-kota-pun mereka masih diperlakukan sebagai budak.44 Penindasan yang tak terelakkan ini melemahkan persatuan • «’i-.i.i, membuat mereka terpecah belah dan memudahkan Islam m< rt{|iiasai dan mendakwahkan ajaran Islam. Perlahan namun pasti, i i <m mendapat posisi terbaiknya di hati bangsa Persia. Konsep Islam iKjonai kebebasan dan egaliter menjadi penawar dari penindasan : iinnl.ikan yang mereka alami. Melalui Islam pula, para Khalifah membebaskan hukum dan > I ii kubinsaan lama berlaku di wilayah yang telah ditaklukkan. Tidak • 11 konsop ‘pemaksaan’ untuk memeluk Islam atau menggunakan 1 "i um l'.lam. Hukum Islam diterapkan hanya untuk pemeluk Islam dan '"i '!• u|,ima lain. Tetapi demokrasi bernegara ternodai oleh sikap ■' iliiMue' oleh sebagian kalangan. Menurut Lewis, konflik antara Persia i m Aiah dimulai di masa ‘Umar ibn Khattab, ‘Umar memang membiarkan hukum dan adat berjalan seperti sebelumnya dan memberi kebebasan pada setiap Negara. Tapi, ‘Umar juga melakukan konsensus-konsensus tertentu yang terlihat lebih mengistimewakan bangsa Arab. Sejumlah keistimewaan atau akses mudah bangsa Arab ini memicu emosi bangsa Persia, dan menimbulkan semacam hubungan saling mencurigakan.45 Hubungan buruk Persia dan Arab memuncak melalui pembunuhan Khalifah ‘Umar ibn Khattab oleh seorang budak berbangsa Persia. Kondisi ini menurut Lapidus semakin mereda pada masa ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz, dengan meluasnya asimilasi Arab menjadi populasi yang bersifat umum mendorong kelompok Arab untuk mengakui kesamaan kedudukan antara Arab dan nonArab.46 'Umar ibn 'Abdul Aziz kemudian menyerahkan mekanisme imperium pada seorang muslim tidak di atas basis Arab, la menerapkan prinsip-prinsip persamaan terhadap seluruh muslim, baik Arab maupun nonArab dan memperkenalkan hukum- hukum baru mengenai persamaan pemberian tunjangan keuangan kepada muslim tanpa memperhatikan asal usul mereka. Bersamaan dengan pemeluk Islam yang semakin meningkat, kebersamaan berbahasa juga berlangsung di dalam komunitas baru. Secara umum, bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi tertulis dalam administrasi kepustakaan dan keagamaan. Bahasa Arab juga menjadi dialek komunikasi lisan yang dominan di bagian Timur Tengah -Mesir, Syria, Mesopotamia dan lraqdimana bahasa yang dekat dengan rumpun Arab, seperti Aramaic juga menjadi bahasa lisan.47 Di Iran, keadaaannya sangat beragam. Di Iran bagian Barat, pemukim Arab terserap ke dalam penduduk local sehingga berkembanglah dua bahasa. Di Khurasan di mana orang Arab berasimilasi dengan perabotan, pakaian, adat istiadat Persia, mereka menggunakan dialek Persia setempat. Orang Arab tidak hanya mempelajari bahasa Persia, tetapi penakluk muslim Arab juga menjadi sarana pengenalan bahasa Persia sebagai lingua franca pada masyarakat sebelah timur sungai Oxus. Di Transoxiana, bahasa Persia, yang merupakan bahasa lisan warga Arab di bagian timur Iran, menggantikan bahasa Soghdian sebagai bahasa umum di kalangan warga Arab, warga Persia dan Soghdian.48 Meski hubungan dua budaya telah dimulai sejak zaman bani Umayyah, keemasan perpaduan keduanya baru berlangsung di zaman Abbasiyah. Keputusan Bani Abbasiyah memindahkan pusat kota ke Baghdad membuka jalur akulturasi yang sangat kuat antara budaya Arab dan budaya Persia. Posisi Baghdad yang dekat dengan ibu kota l’orsia Ctesiphon membuat pengaruh Persia menguat di masa Abbasiyah.49 Jauh sebelum Islam datang, menurut Ghirsman, Persia telah dikenal dengan keindahan arsitekturnya, bahkan Ghirsman meyakini i'.mgsa Persia memiliki kemampuan memahat batu sejak zaman pra • larah. Asumsi ini dibuktikan Ghirsman dengan ditemukannya reliefyang mendeskripsikan masyarakat saat itu, sebagaimana relief- M’liof yang terdapat dalam budaya Mesir kuno. Tata kota dinasti Sassanid i M merupakan tata kota berkelas internasional dan terbaik pada amannya.50 Kota Firouzabad merupakan bukti keindahan seni arsitektur i ■ i ,ia yang dibangun dengan bentuk melingkar, bentuk melingkar ini Minngilhami alManshur dalam membangun Arsitektur kota Baghdad, .mu arsitektur lain, adalah kota Bishapur yang berbentuk segi empat 'luiKian dua jalan raya yang terpenting, pusat lalu lintas yang ■«••hubungan dengan pusat kota. Bentuk segi empat ini seperti model " iirktur yang berkembang di Barat.51 Selain arsitektur, bangsa Persia i 111 memiliki kemampuan mengukir dengan baik, ukiran-ukiran m. mukan tidak hanya di dinding istana tetapi juga dalam bentuk imon ornamen, atau dalam emas dan perak.52 Sejak Persia dikuasai Alexander Agung, banyak kalangan yang 1' i nn|<japan budaya Persia telah melebur bersama lahirnya konsep 1 •i'Hoiii'.mo. Tetapi menurut Ghirsman, bangsa Persia selalu keberatan ■' "'i m konsep Hellenik dan tetap berupaya mempertahankan budaya " i i sendiri. Orang-orang Persia berusaha dengan keras ••"■N'i'junakan bahasa Persia dan tidak menggunakan bahasa Yunani '•' "i M.n odonia.53 Orang-orang Persia ini menurut Ghirsman turut ■■i - I-II.III sistem administrasi Yunani, tetapi sistem Yunani tidak j*>mi,i!i 'li'iunakan Persia, Persia tetap membangun sistem administrasi •" v'i ••obelum dan sesudah Alexander Agung menguasainya. »■ h ' i >i m | imi r>ip terhadap bahasa, budaya dan agama Persia -Zoroaster H"" ' i mi monjadikan wilayah kekuasaan Abbasiyah wilayah pluralis. I 'putusan untuk membangun kota Baghdad sebagai pusat " i"'li.ilil, yang dinamakan Madinat at-Salam (kota damai), menumbuhkan dua pemukiman besar di sekitarnya. Satu di antaranya merupakan perluasan perkampungan militer Abbasiyah dalam bentuk distrik-distrik mencapai bagian utara komplek istana, yang bernama al- Harbiya, dan satu pemukiman lainnya yang mencapai bagian selatan istana dinamakan pemukiman alKarkh, dihuni oleh ribuan pekerja bangunan yang didatangkan dari lraq, Syria, Mesir dan Iran. Dalam perkembangannya kemudian, Baghdad menjadi kota pluralis, berbagai ras, bangsa dan agama hidup bersama di dalamnya.54 Baghdad tidak hanya menjadi pusat kota, melainkan sebuah pusat metropolitan. Pada abad kesembilan, luas kota ini 25 mil persegi berpenduduk sekitar 300.000-500.000, sepuluh kali lebih luas dari Ctesiphon bahkan lebih besar dari Konstantinopel yang hanya berpenduduk sekitar 200.000. Baghdad merupakan produk dari pergolakan, pergerakan penduduk, perubahan ekonomi dan peralihan sistem dari abad sebelumnya. Baghdad adalah kota heterogen dan cosmopolitan yang terdiri dari Arab dan non Arab, Islam dan non Islam yang hidup di bawah satu Imperium dengan damai. Kedamaian itu secara perlahan menghapus tirai-tirai perbedaan dan menggerakkan masyarakat dalam satu suara untuk Imperium Abbasiyah. Setiap orang dapat menduduki posisi apapun tanpa perlu ditelaah latar belakangnya, Imperium menjadi milik siapapun yang ingin terlibat di dalamnya. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan bagi akulturasi kebudayaan, peradaban dan keilmuan. Ilmu pengetahuan Persia, India dan Yunani dengan segera diterjemahkan kepada Bahasa Arab sebagai bahasa umum saat itu. Hampir seluruh sarjana menyepakati bahwa masa Abbasiyah adalah masa transformasi, akulturasi atau bahkan modifikasi gagasan- gagasan Persia dan Yunani dengan Islam atau juga dengan pemikiran Arab. Namun sesungguhnya seluruh proses tersebut telah berjalan sejak Alexandria ditaklukan ‘Amr ibn Ash pada 21 H/ 641 M di masa Khalifah Umar ibn Khattab. Beberapa akademi peninggalan imperium sebelumnya dengan serta merta berada dalam kekuasaan Islam. Salah satunya adalah Judinshapur di Persia selatan, Judinshapur merupakan gelanggang pertukaran ilmu Persia, Yunani, Roma, Suryani dan India.55 Konon, ketika pada 489 M kaisar Zeno, seorang kaisar Bizantium menutup akademi Edessa dan beberapa sarjana Nestoria melarikan diri dengan berlindung pada penguasa Persia. Para sarjana ini mulanya menetap di Nisibis, diketahui bahwa sebagian sarjana yang datang ini telah terhellenisasi ini kemudian bergabung di akademi Judinshapur. Pada 529 M sekolah Neoplatonik di Athena juga ditutup oleh dekrit Kaisar Justinian, seorang kaisar Bizantium, lagi-lagi para sarjana ini mengungsi ke Persia dan melebur bersama di akademi Judinshapur.56 Jika pemikiran Yunani dengan mudah dapat dilacak melalui ido-ide tokohnya seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Pemikiran Persia menurut Syed Nomanul Haq hanya dapat diidentifikasi melalui penjelasan-penjelasan tentatif dan terpotong-potong yang terutama didasarkan pada sumber-sumber Arab belakangan dan catatan-catatan •okunder. Nomanul Haq juga berpendapat ide-ide Persia mendekati ii.m hampir senada dengan ide-ide India.57 Kedekatan hubungan Persia dan India menunjukkan bahwa ivisia tidak benar-benarterhellenisasi. Dan tanpa figur-figur yang dikenal 'Uri Persia di zaman dahulu, maka akulturasi antara Islam dan Persia itiiu bahkan mencakup di dalamnya India tidak dalam konteks pemikiran mul.iinkan kebudayaan, yakni kebiasaan atau tradisi yang telah i'i i l.mgsung di Persia. Kebenaran pendapat tersebut jelas terlihat Minliilui duplikasi arsitektur di Baghdad yang diadopsi dari Persia atau ■ ii' 'P.myol yang banyak dipengaruhi model-model Persia, dimana setiap !uii(|unan dibentuk dengan bentuk melingkar, khususnya pada pintu, «lup rumah -kubah- dan sebagainya. Taj Mahal di India diyakini »" rupakan bentuk arsitektur Persia. Meski dianggap tidak bersentuhan secara langsung dengan 11 ti.il Islam, beberapa bukti menunjukkan terdapat gagasan Persia ' "l.iliulu yang mengalir dalam kebudayaan Islam. Goldziher misalnya " ' ui.mdnng tradisi sufi hanya sebagai bayangan belaka dari konsep di India. Atau juga analisis Macdonald di tahun 1928 yang hy.it,ikan bahwa doktrin kalam tentang atomisme waktu; yakni bahwa 'Mu tidak dapat dibagi secara tidak terhingga, melainkan pada ■ tmy.i terdiri dari momen-momen waktu atomic terpisah yang tidak ! i|‘.il dibagi bagi lagi. Artinya waktu terdiri dari banyak sekali “satuan- litid.m waktu" yang tidak dapat dibagi lebih lanjut. Teori ini menurut * '» merupakan teori atomismik Jainisme dan kosmologi Nyaya- Vii . 1.1 Hmhmanik dari India. N,imun, Nomanul Haq menolak asumsi para sarjana barat *»' ■ i'ul Menurutnya ide ‘atomisme waktu' adalah kesimpulan M * m, .im|<terhadap teori ‘gerak’Aristoteles. Adapun pendapat yang menyatakan teori atomisme berasal dari teori Jainisme dan Nyaya- Vaiseska sangat sulit dibuktikan kebenarannya. Karena sesungguhnya, teori atomisme tersebut masih diragukan sumber utamanya berasal dari Yunani atau dari budaya India.59 ensiklopedi, 72) Bagi Nomanul Haq, bentuk yang paling nyata dari pertemuan filsafat Islam dan pemikiran Persia adalah melalui perdebatan- perdebatan mengenai "dualisme". Dualisme adalah konsep yang tercantum dalam agama Manichaeisme, agama yang paling banyak dianut oleh BangsaPersia. Doktrin Manichaean; cahaya dan kegelapan merupakan prinsip-prinsip yang aktif dan hidup, bahwa keduanya mempunyai kehendak dan mampu mengakibatkan fenomena nyata, dan bahwa keduanya mempunyai sifat dasar yang membatasi cahaya dari menghasilkan kejahatan dan membatasi kegelapan dari menghasilkan kebaikan.607 Para mutakkalimun umumnya menolak teori dualisme ini karena dianggap melupakan kuasa Tuhan di dalamnya. Bagi mutakallimun karakteristikkarakteristik ini dapat direduksi baik secara logis maupun secara fisis menjadi atom-atom dan aksiden-aksiden yang diciptakan Tuhan, satu-satunya Agen atau Pelaku Aktif (‘Amil, Fa’al). Sesungguhnya satu-satunya Pengatur, Pemelihara dan Penyebab kosmos adalah Tuhan bukan prinsip gelap dan terang, serta bukan pula entitas lainnya. Maka, jelas mutakallimun bergerak meng’kounter’ pemikiran Persia dengan konsep Islam yang sesungguhnya. Perdebatan- perdebatan dengan pemikiran dualisme turut melahirkan konsep zanadiqah atau zindiq bagi orang-orang yang mendukung teori ini. Sebut saja tragedi Ibn al-Muqaffa, penulis model prosa Arab dan penerjemah cerita orang-orang bijak Persia Bidpai Kalilah wa Dimnah. Ibn al-Muqaffa dijatuhi hukuman mati karena dianggap menyimpan gagasan-gagasan religius Persia kuno di balik baju Islam.61 Upaya ‘kounter’ pemikiran religius Persia kuno inilah yang kemungkinan besar melahirkan literature kalam awal tentang akal dan wahyu, penciptaan dari ketiadaan, keadilan-Nya dan sifat-sifat-Nya, semuanya terbentuk oleh serangan-serangan Manichaean atas gagasan-gagasan mendasar teologi Islam. Perdebatan-perdebatan ini secara perlahan melahirkan dua arah pemikiran yakni ahlu ra’yi dan ahlu sunnah. Tidak ada term pasti mengenai apa dan seperti apa ahlu ra’yi, yang jelas siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan pemahaman agama yang telah ada -status quo- seringkali mendapatkan label ini. Ada pula yang menisbatkan ahlu ra’yi pada golongan mu’tazilah, golongan kalam yang mengagungkan akal dari pada dalil-dalil naqli. Beberapa kalangan mtinuding bahwa aliran mu’tazilah terlahir karena umat Islam saat itu telah terpesona oleh ide-ide Yunani. Terlepas dari semua anggapan tersebut, keberadaan ahlu ra’yi i ni atau ahlu sunnah adalah sebagai nashir Islam (pembela Islam). ■ "duanya berupaya mengkounter segala pemikiran di luar Islam dengan tode yang berbeda. Ahlu ra’yi bermain dengan konsep-konsep logika d,m ahlu sunnah mendebatnya melalui ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah nba<|ai pedoman Islam. Keduanya menjadi perpaduan menarik dan i'Mihasil menghantarkan Islam pada masa keemasan intelektualitas , «mi belum pernah terjadi lagi hingga saat ini. Selain gagasan Manichaeisme, praktis tidak ada lagi :' 'didiatan-perdebatan antara Persia dan pemikiran Islam. 1i ii m haeisme sendiri bukan ajaran yang buruk, hanya dalam beberapa ► 'HiMi|> ajarannya ‘keliru' bagi umat Islam.62 Beberapa ajaran Mani " m muai kosmologi seperti konsep materi, ruang dan waktu diterima 1 "i dilalsirkan lebih luas oleh Abu al-Abbas al-lransyahri dan Abu Bakr • i i;i (w. 313 H/ 925 M). Nomanul Haq menuturkan bahwa dikarenakan perbenturan i"ni|,iM pemikiran Persia yang tidak terlalu mendominasi inilah, Persia i!• a11 diabaikan dalam proses Filsafat Islam. Tetapi dalam |H a , niii.iiKjan astronomi, kedokteran, matematis dan pengetahuan Ui.i i 'iM'.ia terbukti merupakan penyumbang terbesar bidang ini.63 I' urt A Raaflaub menegaskan kemasyhuran Persia dalam i ke.ilaman telah populer sejak masa filosof-filosof awal, yakni m.i i Amani kuno. Kebanyakan pemikir utama abad ke-6 sebelum "" ■ 'n 11<-i.i:.al dari lonia, Miletus dan polis lonia adalah polis yang r- i i nal di dunia Hellenic (tidak dalam arti Hellenisme Aleksander Aji... i ii lapi dalam arti hubungan dengan Timur), yang dihubungkan '• i >" i "Ionisasi dan perdagangan dengan Mediterania Barat, m.«. i m I ani llilam, Levant dan Mesir. Anaximander dan Hecataeus <■ i c 'lama kali menggambar peta dunia adalah Muilesia. Herodotus n ' "p la).ih dan sejarawan timur maupun barat, dilahirkan di Doric Halicarnasus. Pada wilayah-wilayah ini pengetahuan dan pengaruh datang bersamaan dari pelbagai dunia, lewat Anatolia, the Levant dan Mesopotamia.64 Peran Persia dan India di bidang ilmu-ilmu kealaman ini cukup jelas dan penting. Dalam astronomi, konsep almagest yakni ilmu perkembangan astronomi matematis yang merupakan tradisi lokal bangsa Persia dan India menjadi dasar perkembangan astronomi Islam, konon astronom-astronom Islam awal adalah orang Persia. Sebut saja al-Naubakht al-Farisi, Ibn alFarrukhan, al-Thabari dan Masya Allah. Di bidang kedokteran terdapat nama-nama India seperti Ibn Nadim, Ibn Dahn, Judar dan Naq. Selain itu, dalam karya-karya astronomi dan kedokteran intelektual muslim tersebut ditemukan rujukan-rujukan penting yang tak lain adalah terjemahanterjemahan Arab awal dari karya- karya sejumlah besar otoritas medis India dari penulis anonym, misalnya; Sundastaq; Book of Rusa; Book of Indian Drugs dan kenyataannya, terjemahan dari sebuah teks kedokteran India masih ada sampai sekarang, yaitu, Kitab Syanaq fi Sumum wa al-Tariyaq,65 Kehebatan keilmuan kealaman Persia dimasyhurkan melalui akademi Judinshapur. Judinshapur menyediakan dokter-dokter yang setia dan ahli di bidangnya bagi para khalifah muslim, seperti keluarga Bukhtisyu’ yang beragama Kristen Nestorian. Salah seorang anggota keluarga ini, yakni Georgius ibn Jabrail, pada masa kekuasaan al- Manshur adalah kepala sekolah kedokteran Judinshapur dan berperan penting dalam pembangunan rumah sakit pertama di Baghdad. Diberitakan pula bahwa penerjemah utama dari bahasa Suryani ke bahasa Arab adalah seorang warga Persia dari Judinshapur, yakni dokter Masarjawaih (berjaya sekitar abad ke-2 H/ ke-8 M). Tulisan Marsajawaih di bidang kedokteran memadukan pendekatan Yunani, India dan Persia. Kontak dengan Judinshapur sebagai akademi ini berperan penting dalam proses transmisi keilmuan dari Persia ke Islam. Bahkan ! orang pertama yang menjadi kepala Bait Hikmah adalah Yuhanna ibn Masawayah, seorang dokter terkemuka dari Judinshapur. Hampir seluruh sarjana kealaman Islam didominasi orang-orang Persia, ahli bumi Ibnu Khurzadabah, Nashir Khusru, ahli matematika al-Khawarizmi, Abu al-Wafa, ahli falak, Abu Ja’far alManshur dan gurunya seorang Persia, Fadhl ibn Sahi. Dan segala unsur yang diterima Islam dari India dan Persia telah ditranformasikan dan diasimilasikan ke dalam sebuah kerangka yang bersifat Islami. Berbagai sistem dan gagasan yang diambil alih itu kemudian difungsikan dalam kerangka keilmuan yang terus terjaga dan berkesinambungan. Dalam perkembangannya Islam dan Persia melebur menjadi tradisi yang telah sepenuhnya berkembang dan independen. Meski hanya sedikit mewarnai Filsafat Islam, Persia dan India secara umum merupakan transformer gagasan keilmuan sampai kemudian menjadi populer dalam perkembangan Islam. Bagaimanapun |uga tidak ada keemasan keilmuan yang hanya di'set’ untuk filsafat •.emata tetapi juga untuk kemajuan keilmuan di berbagai bidang. 'i Islam dan Pemikiran Yunani Filosof Islam menurut F.E. Peters terlibat dalam kegiatan pencarian dan penyelidikan yang biasanya dimasukkan bersama ilmu kedokteran, matematika, astronomi dan fisika menjadi “ilmu-ilmu asing", i .itegorisasi ini menurut Peters terjadi karena ilmu-ilmu tersebut 'ii.mggap “berseberangan” dengan ilmu-ilmu Islam. Pengkategorisasian mi tambah Peter menunjukkan perbedaan akademik; dua kurikulum y.mg boleh jadi mewakili dua madzhab.66 Alasan perbedaan akademik tersebut menurut Peter 'Ir.obabkan oleh asalusulnya berasal dari budaya Hellenistik, senada 'ii'iiijnn ‘julukan’-nya yakni Filosof yang disadur dari kata Philosophos. i l.mia yang dinisbahkan sebagai ahli waris suatu tradisi intelektual yang i«’i.isnl dari Yunani dan setelah lama berkiprah di lingkungan tersebut, 'iiw.inskan tanpa rusak ataupun berkurang, lalu menjadi milik Dunia Ulam, Sulit sekali memungkiri pendapat Peters, kenyataan muakkan bahwa umat Islam juga mendikotomikan keilmuan antara i"m .Kjcima dan ilmu kealaman. Tidak diketahui pasti kapan dikotomi -i' ii umat islam ini dimulai tetapi kemungkinan besar telah ada sejak i i keemasan Islam sekitar abad ke-2 atau 3 hijriyah.67 Dikotomi ini 1 iiih.it dari dua paradigma berfikir, akal dan sunnah yang kemudian m1.bahkan tokoh-tokoh dalam dua paradigma ini ahlu ra’yi dan ahlu il h tulis Persepsi dikotomi ini kemudian menjadi celah bagi orientalis ""i'ii memandang agama dan filsafat sebagai dua sisi yang berbeda 11" ti'lak dapat dipersatukan. Sehingga, mereka berpendapat filsafat ' «i mi dunia Islam hanyalah ilmu yang sekedar ‘mampir’, melewati sementara saja, jembatan dan tidak memberi pembaharuan apapun. Karena bagi sarjana barat bagaimana mungkin filsafat akan dapat diperbaharui oleh intelektual muslim jika paradigma berfikir muslim tidak sesuai dengan paradigma filosofis. Walau begitu sejumlah bukti menunjukkan bahwa dikotomi keilmuan tidak sesuai dengan ajaran Islam, Islam sesungguhnya tidak pernah mengkategorisasi ilmu-ilmu yang ada, Al-Qur'an dengan lugas menekankan pentingnya ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya mengetahui tentang Allah serta ciptaannya. Islam hanya membuat dan dimana pula harus berhatihati dalam mengkaji dan menelitinya. ‘Rambu-rambu’ Islam inilah yang kemudian menjadi identitas ilmu-ilmu pengetahuan keislaman. Deutsch bahkan menegaskan bahwa al-Qur’an telah mendorong umat Islam untuk menyelidiki dan mempergunakan akal pikiran, menggerakkan mereka melawat ke berbagai Negara termasuk di dalamnya Eropa hingga mereka menjadi pembesar dan menghidupkan keilmuan di berbagai bidang yang telah terpendam selama sekian lama. Tidak perlu diragukan lagi, bahwa pemikiran Yunani banyak mempengaruhi proses perkembangan keilmuan Islam. Pemikiran- pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles atau keilmuan lainnya jelas mengalir dalam arah pemikiran filsafat Islam, tetapi, tidak banyak orang yang tahu dengan jelas, bahwa sebelum kedatangan Islam pemikiran- pemikiran para filosof ini terbelenggu oleh aturan penguasa dan doktrin gereja. Islam-lah yang kemudian membebaskan keilmuan kembali berjalan dan memberikan ruang gerak bagi para ilmuwan untuk mengelaborasi dirinya. Dan seandainya Islam tidak memberi ruang gerak tersebut, niscaya banyak proses keilmuan yang terkubur dan hilang. Asumsi ini diambil berdasarkan periodisasi yang diberikan para sejarahwan, bahwa dalam dunia barat dikenal Abad Pertengahan atau abad kegelapan. Sebuah upaya kristianisasi Imperium romawi diasumsikan Yegane Shayegan menjadi cikal-bakal munculnya kegelapan di barat dan asal-muasal transmisi pemikiran Yunani ke dalam wilayah Islam.68 Kristianisasi yang berefek pada arogansi doktrin kristen dan monopoli penafsirannya oleh gereja menghancurkan pemikiran- pemikiran para ilmuwan yang berupaya menafsirkan doktrin secara lebih bebas dan tidak terikat. Lebih jauh keterlibatan penguasa sebagai penentu mutlak kebenaran dan keabsahan keilmuan membuat banyak ilmuwan yang dianggap tidak sejalan dengan arah kebijakan politik diusir dan diasingkan. Ilmuwan-ilmuwan Barat yang terusir dari Barat ini kemudian bernaung dalam kerajaan Islam. Menerima perlakuan yang sangat baik oleh dinasti Islam dan bahkan menjadi guru-guru bagi kaum muslim. sikap toleransi dan saling mendukung yang dilakukan umat muslim ini jelas bertolak belakang dengan kondisi dinasti sebelumnya -Romawi- <li luar Islam yang mengarogansi golongan dan kekuasaannya. Umat Islam membuka diri dengan pengetahuan lain dan horgumul bersama di dalamnya. Melalui penerjemahan, pendidikan «l.iii pengajaran, kaum muslim mentransmisikan pemikiran Yunani, ii.impir semua karya Aristoteles, dan juga tiga buku terakhir Plotinus i neads, beberapa karya Plato dan NeoPlatonis, karya-karya penting llippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lainlain sudah berada di Inngan Muslilm untuk proses asimilasi. Jadi Muslim tidak hanya iiM'iiterjemahkan karya-karya Yunani tersebut. Mereka mengkaji teks- i' l'. itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya ■ ii'iujan ajaran Islam. Artinya seluruh proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam i' Uh kokoh.69 Umat Islam mengadaptasi pemikiran Yunani melalui i oiiuitangan pandangan hidup yang kuat. Produk dari proses ini adalah i.ihimya pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani dan bahkan Moh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan misalnya konsep i wlitir para mutakallimun dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak liomu, kesimpullan Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa ii mmwork, skop dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidangi" litfij) dimana Filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam.70 i. imli pemikiran Yunani, menjadi tidak dominan setelah proses i'.tmmlsi Von Henrich meragukan pertemuan pemikiran Yunani dengan ni>. ii.it Islam, Henrich berpendapat bahwa yang mempengaruhi filsafat nl.ilah pemikiran yang sampai ke wilayah muslim hanyalah i*- 'i n.m pemikiran yang sudah tidak “Yunani" artinya pemikiran asii "in mi yang sudah bercampur dengan pengetahuan Persia (Hellenis) «*' fi y.tiHi telah dipengaruhi pemikiran gereja.71 Ini berarti akar filsafat lak berasal dari Yunani, menunjukkan bahwa Islam tidak pernah MUM, I iinltil keilmuan dari sumber primer keilmuan tetapi dari sumber l'istcis membuktikan bahwa kontroversi-kontroversi mewarnai t ■ i "m ,n|.ina yang kemudian menjadi narasumber umat Islam. ► i- i' ■ ir.i tersebut meliputi banyak hal yang berkaitan dengan IF-I ■ i .i.iii. politik dan kepentingan agama, kontroversi tersebut dituding Peters melahirkan pemikiran-pemikiran yang bukan Yunani lagi atau bahkan jauh mengkhianati keilmuan Yunani.72Pemikiran Yunani menurut Le Kari Henrich Bakr tetap terjaga di Barat dan terus membangun komunikasinya dengan gereja sampai kemudian mencapai revolusi keilmuan di Barat.73 Asal-usul filsafat Islam yang bersumber pada Yunani dan Persia jelas mengusik para sarjana Barat. Karena jika terbukti kebenaran bahwa filsafat Islam memiliki hubungan yang dekat dengan filsafat Yunani, para sarjana Barat kelimpungan menjelaskan dari mana asal keilmuan yang berkembang di Barat saat ini. Kebanyakan sarjana Barat meyakini bahwa Yunani adalah cikalbakal terbentuknya kemodernan di barat dan relatif enggan mengakui filsafat Islam. Tetapi dalam kondisi tertentu, sarjana Barat kewalahan menjelaskan posisi keilmuan di abad pertengahan mengingat di abad tersebut tidak ditemukan data dan fakta yang riil mengenai filsafat Barat dan para sarjana itu tak bisa mengingkari bahwa gereja dan kristen telah membungkam keilmuan di Barat selama berabad-abad. Sarjana barat juga sulit mengingkari bahwa kemajuan yang mereka capai adalah kemajuan yang disebabkan sebuah upaya frontal dari usaha menghancurkan dominasi gereja, ini terlihat dari karakter universitas di Paris, University of Paris diyakini sebagai cikal-bakal universitas modern, ilmuwan-ilmuwan oxford Persoalan selanjutnya adalah kebenaran akulturasi Yunani dan Islam atau Hellenisme dan Islam. Yunani dan Hellenisme adalah dua hal yang berbeda, Hellenisme artinya tidak murni Yunani lagi tetapi hasil dari percampuran budaya yang mungkin telah semakin meminimalisir pemikiran asli dari Yunani atau mungkin sebaliknya memperluas dan memperbaharui pemikiran Yunani. Pengetahuan ini mutlak diketahui karena sampai pada tingkat tertentu tampak bersifat arbitrari: tidak ada implikasi bahwa pemikiran Yunani dan Romawi tiba-tiba berhenti dan digantikan pemikiran baru yang sama sekali tidak berhubungan. Pengetahuan tersebut akan membuktikan adanya kontinuitas dan diskontinuitas di antara periode Yunani, Hellenistik bahkan Islam. Seberapa besar prosentase kontinuitas atau diskontinuitas itu terjadi, dan seberapa murni pemikiran dari setiap masa berkembang dan dikutip oleh masa lain. Meski gambarannya sulit sempurna karena berkaitan dengan konsep “pengaruh" yang seringkali abstrak dan absurd. Namun sebagai sebuah informasi agaknya dapat juga dipertimbangkan. Cristopher Rowe dan Malcolm Schofield membagi periode Yunani dengan Yunani Klasik dan Dunia Hellenistik Romawi, Yunani Klasik dimulai dari masa Homer, Hesiad, Thales, Anaximandros dan Anaximenes sampai dengan Aristoteles dan Hellenistik Romawi dimulai pasca Aristoteles sampai dengan dominasi gereja.74 Periodisasi tersebut dmisbahkan pada sejarah politik Yunani dan Romawi adapun dari segi tilsafat M.A.W. Brouwer membagi Yunani pada tiga periode, yakni periode Yunani Klasik yang di dalamnya ditemukan Thales, Anaximandros dan Anaximenes, periode kedua adalah periode Pra-Sokratik yakni masa Phytaghoras, Xenophanes, Herakleitos, Parmenides, Zeno dan banyak lagi dan yang ketiga adalah masa Kaum Sophis dan Sokrates.75 Hellenisme dalam berbagai pengertiannya adalah upaya Aloxander Agung dalam mengawinkan kebudayaan Yunani dan Persia. KValisasi usaha tersebut diwujudkan dengan mengadakan pesta yang disebut dengan “Perkawinan Barat dan Timur” di mana ribuan tentara Macedonia secara resmi mengawini puteri-puteri Asia. Tetapi secara politik praktis dan kondisi sosialnya Hellenis dijelaskan Peter Gamsey lulah dimulai sejak transisi dari filsafat klasik ke Yunani berbarengan ilimgan pergeseran dari dunia Yunani tempat dimana polis merupakan toimasi politik yang dominan menuju ke dunia yang dikuasai oleh iMM|,ua-negara sentral yang besar. Yang pertama adalah kerajaan Macedonia, tidak lebih dari empat dekade kejayaan Macedonia i't’ikombang pesat; diawali dengan bangkitnya kekuasaan Philip pada lalmn 359 SM, Yunani dikalahkan, kerajaan Persia yang besar ditaklukan 'i.m demokrasi di Athena dihancurkan.76 Raaflaub menegaskan kontak budaya dengan Timur telah 'iii.ikukan sejak masa filosof Awal, dan fakta yang semakin jelas adalah pi)ii(|aruh Mesir atas kebudayaan Yunani Kuno. Hesiod dan Homer mt ii(|integrasikan ke dalam sya’irnya ide-ide yang berasal dari mitos- miins theogonies, kosmogonies dan kebijakan literatur Timur dekat. Sulit ■"•■nafikan fakta-fakta tersebut, karena Raaflaub berhasil membuktikan i ' imulaan dari pengetahuan Yunani (terutama matematika dan ■ iimnoini) dan filsafat dirangsang oleh pendahulunya dari Mesopotamia. !1 alam konteks yang jauh lebih luas, pengaruh Timur ikut membentuk p'ii ••mbangan dari agama, seni dan arsitektur, dan meski diperdebatkan i "Miijaiuh seperti ini jelas terlihat dalam fenomena sosial, politik, hukum • i'i'ili tirani, perundangan hukum tertulis dan simposium.77 Pertemuan dengan pemikiran Timur ini membangkitkan praktek-praktek filosofis dan sebagian pemikirannya ditujukan untuk mengasimilasikan pemikiran Timur. Ini terbukti dengan perubahan arah pemikiran dari orangorang Yunani sebelum abad VI SM, yang sangat mempercayai dongeng dan mitos, menerima kebenaran tanpa mempertanyakan dan mengkajinya lagi. Tetapi menginjak abad VI SM, mulai muncul para pemikir yang mengharapkan jawaban riil dan masuk akal akan kebenaran dan mitos yang berkembang. Kebenaran hubungan Timur dan Yunani semakin jelas karena filosof-filosof awal banyak berasal dari Miletos, sebuah kota perantauan Yunani yang terletak; di Asia kecil.73 Artinya Hellenis dalam pengertian perpaduan budaya Yunani dan Timur telah dimulai sejak berdirinya filsafat Yunani itu sendiri. Kesimpulan awalnya adalah tidak ada pemikiran Yunani yang benar- benar murni, pemikiran-pemikiran filosofis Yunani sendiri adalah Hellenis jika ditinjau dari segi keabsahannya, tetapi bisa jadi tidak Hellenis jika pemikiran tersebut tidak dipengaruhi oleh pemikiran lainnya. Tetapi kebenaran dan keberadaan filsafat Yunani yang “murni" atau yang terhellenisasi jelas sebuah keniscayaan. Karena sejarah j merupakan perkembangan dari thesis, antithesis dan sintesis. Begitu pula dengan sejarah filsafat Yunani yang merupakan perkembangan pengkajian dan pemikiran yang berulang muncul kembali dari apa yang sudah dirintis oleh zaman sebelumnya. Di sisi lain, retorika adalah satu ciri khas Yunani atau bisa saja kita katakan adalah kelebihan dari Yunani. Retorika disini dalam arti kemampuan mereka dalam membahasakan terminologi-terminologi politik, memutarbalikkan sesuatu atau mendebat satu hal dengan hal lainnya. Kebanyakan dari terminologi politik berasal dari etimologi Yunani, aristokrasi, demokrasi, monarki, oligharki, plutokrasi, tirani dan lainnya. Artinya Yunani kuno secara tipikal dapat kita anggap sebagai nenek moyang “kita” dalam lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi dan simbolis.79 Melisa Lane dan Terry Penner berhasil menunjukkan bahwa pemikiran Yunani -dalam hal ini Sokrates- merupakan reaksi terhadap kebijakankebijakan penguasa yang kemudian menginspirasi Sokrates untuk merespon teori-teori politik dengan berbagai asumsi dan teori nilai. Reaksi ini pula yang menyebabkan tragedi kematian Socrates.80 Kaaflaub meyakini benar bahwa tipikal penguasa yang dikritik Socrates adalah tipikal Timur, bentuk tipikal ini kerajaan monarchi dan diperkuat dongan konsep Raja sebagai titisan Tuhan, dewa dan jembatan penghubung antara bumi dan langit. Penentuan tipikal ini terlihat dari i"insep Hammurabi di Mesir yang menggunakan teori Fir’aun sebagai lilr.an Tuhan.81 Maka, mesti tidak dapat menyebutkan filsafat Yunani sebagai Yunani murni, tetapi Yunani tetap memiliki identitas filosofisnya karena ingat banyak ideide yang disampaikan para pemikir Yunani dan tidak i. iin adalah reaksi dari kebijakan-kibijakan penguasa saat itu. Sehingga Mmungkinan selanjutnya adalah terdapat dua unsur pemikiran Yunani i m Hellenisme yang satu sama lain jelas tak terpisahkan memiliki i' i'‘i kaitan jika kita memilih untuk tidak mengatakan pada keduanya 1 Inonim". M. Meyerhof menunjuk al-lskandariah sebagai pusat peleburan i "hudayaan dan menjadi pusat transmisi filsafat Yunani ke Islam. K . n Ii 'ini akademi di Iskandariah (Alexandria) ini masih tetap eksis ketika i'HIT.a Arab menguasai Mesir, dan diperkirakan dari Iskandaria ini ;''"P-tahuan Baghdad berkembang.82 Abu al-Faraj Muhammad Ibn ■ "lim (seorang penjual buku) pada 377 H/ 987 M berhasil "" uyHesaikan fihrist atau catalogue (katalog). Karya tersebut mungkin ■ mula catatan tangan seorang penjual buku, tetapi rasa keingintahuan :»' hilnginan belajar penulisnya serta iklim Buwaihiyah di Baghdad i menunjang akhirnya menghasilkan sesuatu yang lebih ambisius: ! menjadi semacam ensiklopedi abad ke-10 tentang seni literer 1 ""linu ilmu Islam. Ibn Nadim menuliskan, dengan komentar-komentar 1 mirtth dan historis, jumlah buku-buku Islam dari kaligrafi hingga aih.mi (ilmu kimia kuno). Lebih dari itu, fihrist memberikan perhatian " ' u-, pada kegiatan penerjemahan kaum Muslim, sehingga ia M".iii|i.ikin salah satu petunjuk yang baik tentang pemahaman muslim M"1'ui<iii,ii lanskap filosofis dan imiah Dunia Islam pada zaman kuno / ihiint merupakan deskripsi yang agak terperinci mengenai •1 ■ "M'.i h<!sar dan jenis warisan “asing” yang tersedia bagi kaum MiCillltl *’ I ' t' 'r., setelah menelaah fihrist, menemukan persinggungan- (• M'i'jumian yang luar biasa antara Hellenisme, Yunani dan Islam; i mm muslim tidak menerima bahasa, nilai-nilai humanistis dan juga agama orang Yunani; peminjaman kaum muslim hadir melalui penerjemahan dan sebenarnya sangat terbatas pada Hellenisme yang berwajah teknis dan ilmiah. Kecuali sedikit penerjemah profesional, kaum muslim mengenal filsafat Yunani tetapi tidak menguasai Yunani; mereka membaca karya-karya Plato dan Aristoteles, Euclides, Galen dan Ptolemeus tetapi sangat sedikit yang pernah membaca lengkap karya-karya Homer, Sophocles dan Thucydides.84 Bukti-bukti tersebut turut mengurai kenyataan lain, kenyataan bahwa beberapa abad sebelum kaum muslim mempunyai kontak dengan budaya Hellenis, nilai-nilai kemanusiaan warisan Hellenistik diserap, diubah atau dibuang oleh ajaran Kristen. Frances Young berhasil menggambarkan perdebatan-perdebatan dalam dunia Kristen sampai kemudian kehancuran melanda kerajaan Romawi, kerajaan yang berdebat, berhubungan dan saling berkomunikasi dengan dunia kristen. Ditemukan bahwa perdebatanperdebatan tersebut menaikturunkan hubungan antara gereja dan penguasa, tetapi dalam keseluruhan permasalahannya, raja memerlukan legitimasi gereja untuk meraih simpati rakyat dan menetapkan aturan-aturan dirinya. Konsep Trinitas yang juga konsep penjelmaan diri Kristus atau Tuhan dalam diri seorang Raja tentu akan menambah daya pikat raja terhadap rakyatrakyatnya bahkan dalam konteks terburuk adalah bersikap “sewenangwenang”.85 Peters menambahkan perdebatan-perdebatan tersebut secara langsung atau tidak menipiskan nilai-nilai humanis filosofis Yunani karena terlalu banyaknya kepentingan di dalamnya. Dan terbukti dari seluruh proses pergulatan pemikiran tersebut, Iskandariah di Mesir yang mempertahankan kebudayaan Yunani tetapi Iskandariah bagi Peters dan Meyerhof sulit ditetapkan sebagai penyandang keilmuan Yunani. Kurikulum yang terdapat di Iskandariah lebih dikuasai Persia dengan kekuatannya di bidang sains khususnya kedokteran dan matematika, dan teramat lemah dalam retorika yakni ilmu-ilmu humaniora dan hukum.86 Meski begitu tidak dapat dipungkiri juga meski tidak dominan, retorika Yunani cukup memiliki pengaruh yang signifikan. Beberapa murid terbaik Plato dan Aristoteles di sekitar Abad ke-5 M, memberikan warna tersendiri di Iskandariah, Ammonius anak Hermias murid dari Proclus seorang Platonik telah dikenal sebagai salah satu pemimpin tinggi di Akademia. Murid-murid dari Proclus diperkirakan yang MM'inbangun hubungan dengan bangsa Arab (Islam), seperti Simplicius, lumascius, Asclepius, Olympiodorus.87 Kegemilangan filsafat di Iskandariah ditutup paksa oleh Kaisar iir.tinian, dan menyebabkan keilmuan Yunani menjadi mati suri, i ' i.ulian ini kemudian diikuti dengan perjalanan menarik filosof Athena Mi Persia, Damascius dan muridnya Simplicius ke istana Syah i .iniyah di Ctesiphon, tetapi karena masa tinggal mereka di Persia i' uiya kurang dari setahun, Peter meragukan adanya transmisi langsung "'i l’oters meyakini terdapat peran-peran teologteolog kristen. Peran-peran ini terbukti melalui bahasa Suryani yang digunakan luijai bahasa penghubung dalam memahami ide-ide Yunani, i 'i' i.ilur berbahasa Suryani merupakan kreasi pada masa-masa Kristen, i' i ipi bukti lain menunjukkan bangsa berbahasa Aramaik di Timur dekat 'iil.ili hidup terhellenisasi sejak masa penaklukan Alexander Yang i111 n l Dandi Edessa kontak antara bangsa Aramea dan bangsa Hellen "H nghasilkan suatu literatur yang mempunyai sentimen pada Kristen, ■ " ii-.i kontak yang sama di Harran mengakibatkan percampuran ilmiah, ■ ■ "uh takhayul, alih-alih meditatif dan bersifat Kristen. Uniknya di pusat ■ milik limur Dekat yang masih wilayah Harran ilmu-ilmu Yunani tetap m (l.in hanya sedikit terhellenisasi.88 Pernyataan Peters mengenai teolog-teolog kristen yang menjadi " >n inltter ilmu Yunani adalah bukti tak terbantahkan, bahkan i • ■ n 11» •m. ih Hunain ibn lshaq masa Harun al-Rasyid adalah seorang ' ■ s ii lapi, asumsi bahwa filosof-filosof muslim tidak memahami ""i ilmu Yunani dengan baik adalah pendapat yang masih perlu .•i'-1' iti Beberapa hal mengenai perdebatan kristologi dan pengaruh • f' "n ilalnin perdebatan Kristen diakui oleh Peters, tetapi perdebatan!•* i. i'.iian tersebut melahirkan kebijakan-kebijakan yang berimplikasi ' moiiutup akademi-akademi di Athena, Edessa, dan Antioch. Yogane memperjelas proses transmisi tersebut adalah IH II : .assaniyah, Imperium ini merupakan “penampung” ilmuwanM. i m kii'.ten yang ditolak dalam kekuatan penguasa Romawi. Arus in hiilmuan Yunani ditutup oleh kekuasaan Romawi di wilayah »• i'ui ilan terlalu banyak fakta menunjukkan bahwa selama beberapa •in . i, i.il',Kl,i aktifitas keilmuan ditemukan di dalamnya. Artinya, Persia n»..* .'Mi ..r. ..iniyah hakikatnya adalah benang merah keilmuan sampai M ■ ii m ditoiima oleh Islam. Pelaku-pelaku transmisi ini tak lain adalah pastor-pastor, pendeta-pendeta, misionaris-misionaris, atau teolog-teolog Kristen dan itu tak terbantahkan. Karena keilmuan Yunani menjelang ditutupnya akademi-akademi tersebut diwarnai oleh retorika-retorika akan kristologi dan ide-ide mengenai kebenaran ajaran atau bahkan penafsiran kembali ajaran-ajaran tersebut. Sistensis Yunani dan Persia bahkan menjadi sebuah perpaduan yang menarik, Yegane meyakini perpaduan tersebut melibatkan ide-ide Zoroaster, Mani’, bahkan budaya Parthian. Atau jika kita mempercayai analisis Ghirsman, ideide Persia yang berkarakter turut bergabung di dalamnya. Apalagi persaingan antara Persia dan Romawi yang sangat kuat mengilhami penguasa Persia untuk melanggengkan pembauran dan perombakan secara terus-menerus demi menunjukkan siapa yang jauh lebih unggul dari lainnya. Pertentangan politik ini yang kemudian membuat kristen terpecah menjadi kristen ortodoks di Roma dan kristen Nestoria di Persia. Kristen Nestoria merupakan sempalan dari agama kristen itu sendiri, meski sulit menjelaskan siapa yang menjadi sempalan, Nestoria atau ortodoks, tetapi berdasarkan deskripsi Yegane, konsep ini dekat dengan perdebatan-perdebatan mengenai kemurnian ajaran, yang mungkin terjadi pada Kristen. Pemurnian ajaran kristen ini dilakukan Konstantin atas nama politik, atau menunjukkan bahwa Kristen adalah Yudaisme baru karena dianggap memiliki hubungan historis dengan agama Yahudi.89 Konstantin kemudian menolak pemikiranpemikiran Yunani karena berpotensi melakukan penyimpanganpenyimpangan interpretasi doktrinal. Mitologi-mitologi Yunani diketahui sangat mempengaruhi agama-agama kristen saat itu sehingga menimbulkan semacam “bid'ah" bagi agama kristen. Maka, secara perlahan tokoh- tokoh bid’ah tersebut atau mereka yang masih menisbahkan diri pada Yunani dalam interpretasi doktrinalnya disingkirkan karena tidak memurnikan ajaran, pemeluk-pemeluk bid'ah ini antara lain adalah kaum Nestoria yang kemudian memisahkan diri dari Romawi dan membentuk identitas kristen Nestoria di Persia.90 Setelah pemisahan ini, tokoh-tokoh Nestoria melepaskan diri dari kesibukan mereka membela paham mereka dari kristen ortodoks, mereka kembali mendiskusikan beragam pemikiran Yunani dan mencurahkan diri dalam menerjemahkan dan mengomentari karya- karya Socrates, Aristoteles, Plato dan pemikir Yunani lainnya. Yegane meyakini bahwa sekolah-sekolah di Marv dan Judinshapur yang didirikan •h.ipur I (seorang kaisar Persia) memberikan andil bagi perkembangan kmnudian sains dan filsafat Yunani yang diwarisi oleh Dunia Islam.91 Adapun rentang masa yang sangat jauh dari kejayaan Yunani nmpai dengan kebangkitan Islam dan ribuan problema di dalamnya , mi() membuat jatuh bangun pemikiran Yunani tidak bisa menjadi alasan luhwa Islam tidak mewarisi pemikiran dan sains Yunani beserta segala i'innasalahannya. Bukti bahwa kontroversi kristen-pagan dibicarakan i' h saintis seperti al-Biruni, Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Abi Ushaibi'ah. 'm menunjukkan bahwa para penerima warisan Yunani di kalangan pemikir muslim menyadari transmisi beserta segala implikasi 0 .iopolitiknya. Al-Farabi misalnya dengan penuh kecermatan dan ► nluti hatian, agar tidak mengalami nasib seperti yang dialami para •Mi|.ma Athena dan Iskandariah, menambahkan suatu pasal mengenai i'uhiim Islam, al-Syari’ah, pada komentarnya atas Laws-nya Plato.92 n l ILSAFAT ISLAM DAN KEBANGKITAN BARAT Persoalan klasik dalam teori kebangkitan Barat adalah asal- "«iil |H rkembangan keilmuan di Barat, karena sesungguhnya diperlukan ! HMI nyata bagaimana suatu wilayah mentransformasi diri menjadi • t "uih negara yang mapan. Tak ada sesuatu yang datang dengan M' i llha tanpa proses yang mendahuluinya, analisis sosiologis dan Muinipologis menjadi dasar pertanyaan dari manakah kemajuan di 1 nal' Sulit mempercayai bahwa barat menemukan pijakan keilmuan imani karena bukti antropologis menunjukkan kebudayaan muslim 1 wilayah wilayah barat. Spanyol merupakan bukti nyata bahwa • >i< k lur muslim berdiri kokoh disana, arsitektur yang jelas tidak serupa i- -i m .usitektur yang berkembang di Athena tetapi arsitektur bergaya t'nisln Menurut Harun Nasution, pemindahan ilmu pengetahuan yang Uihimliang dalam Islam ke Eropa pada abad ketiga belas dan «m i' m-.nya paling tidak melalui beberapa jalur;Pertama, jalur Andalus *♦«"' i n 11 IniversitasUniversitas handal yang dikunjungi oleh kaum Eropa; i"ft. Msilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga timi dlpulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para #• ■ ■ •!" I lain meningkat dengan pesat. Bahkan setelah jatuhnya Sisilia i1 -"im kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban !*' <"< rna-.il) sangat terasa disana. Pengaruh pemikiran rasional pada dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan W 'i "Hiliri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, Anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau dan yang lainnya. Disamping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama.93 Kebebasan berfikir di Eropa juga dipengaruhi oleh komentar- komentar Ibnu Rusyd tentang ajaran-ajaran Aristoteles, dan hal ini menyebabkan bahwa wejangan-wejangan Aristoteles yang dipelajari orang-orang Latin (melalui terjemahan orang-orang Arab) condong kepada aliran Neoplatonisme-Arab. Ini menunjukkan bahwa di dalam skolastik latin terdapat “Aristotelisme yang Averroistis” ini terdapat pada ajaran-ajaran Siger van Brabant, Berner van Nijvel dan Boethius de Dacia.94 Akan tetapi, transformasi tersebut tidak serta merta membangkitkan Barat, sebab diperlukan proses bagaimana mensimulasikan pemikiran yang diadopsi dari Islam tersebut. Jika melihat proses perjalanan sejarah yang ditetapkan Hart dalam ikhtisarnya proses perkembangan Barat dari kegelapannya sekitar hampir 3 sampai dengan 4 abad lamanya. Dan terdapat jangka waktu selama 1 abad lebih mendekati 2 abad setelah keemasan Islam masa al-Ma’mun sampai pecahnya perang salib.95 Islam sendiri bangkit menjadi sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada abad ke 7 M, Muslim baru dapat muncul sebagai peradaban yang kuat pada abad ke 12 M, disaat mana para cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan diantaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik dan lain- lain. Ini bukan sekedar sistimatisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti yang di duga para orientalis.96 Prestasi gemilang Islam ini diapresiasi Toby E. Huff, sejak dari abad kedelapan hingga akhir abad keempat belas, ilmu pengetahuan Arab (Islam) adalah sains yang paling maju di dunia, jauh melampaui Barat dan Cina. Apresiasi Toby ini menurut Mulyadhi Kartanegara menjadi landasan bahwa ilmuwan muslim bekerja keras untuk mewujudkan prestasi gemilang ini. Gairah ilmuwan muslim yang tinggi im didukung sepenuhnya oleh agama dan ramifikasinya, masyarakat il.m apresiasinya dan patronase yang sangat dermawan dari para penguasa dan orang-orang kaya terhadap kegiatan ilmiah.97 Adapun perjalanan panjang proses transformasi dan penyerapan peradaban Islam kedalam kebudayaan Barat, merupakan h. r.il olah para ilmuwan Barat, dibawah kepemimpinan para pendeta KiMen yang mulai mengembangkan filsafat dan sains mereka. Oleh ■ i>.ib itu perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan ii'.id ke 13 intinya adalah kombinasi elemen yang sering dinamakan < wnc» Arabic-Latin. Selanjutnya, pada akhir abad ini kerajaan Kristen di n.H.it menjadi kekuatan kultural yang menonjol.98 Pada akhir abad ke 1' hmsep-konsep mereka tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan monj.idi matang dan melapangkan jalan bagi perkembangan filsafat i m '-iins di Barat. Kebenaran transmisi tersebut terbukti dengan lahirnya : m n i.mgan hidup yang mendekati pemikiran-pemikiran filosofis Islam, f m.i.mgan hidup yang berani memadukan teknologi, pemikiran '■"iimun, keagamaan dan spekulasi yang diperoleh dari pendidikan ■>' "i up.iya sadar dalam mencari ilmu. Jadi pandangan hidup diperoleh • i ilui pioses alami, pendidikan dan masyarakat, serta agama. Permasalahan “pandangan hidup" ini yang sekian lama "ii'olunggu perkembangan keilmuan di Barat, antara faham gereja *'«' pemikiran filosofis. Agaknya setelah suatu pandangan hidup lebih i <l.m searah, masyarakat dapat mengatur kehidupan mereka i < n k, m pada pandangan hidup, dimana ide, kepercayaan dan * i' konsep membentuk suatu jalinan konsep yang saling k«'i"ii'iiii<i;m. Pandangan hidup ini adalah indikasi kokohnya landasan i > ■ lili t.ipkan sehingga memudahkan proses adapsi, tansmisi dan i i mii.iM konsep-konsep asing. Karena dalam kasus kebudayaan i' ii.iir.misi konsep-konsep asing melalui penterjemahan pada abad *ii IM ,iw.il Abad Pertengahan, seperti dinyatakan Marenbon, masih * ■ i.eilikit Ini terjadi karena bangunan konsep dalam pandangan IIM M ii.ii.it belum terbentuk. Orang-orang Krsiten tidak berani > - ■ T MI,ihkan dan mensintesiskan pemikiran Yunani dengan doktrin •*»* ■ i "iiiy.itann Peter sangat jelas, bahwa orang Kristen tidak dapat * •. MipHinakan penterjemahan “Organon Aristotle” khawatir akan f. «'"i i'' iy.il-.m keimanan mereka.99 Mereka tidak mampu menyerap kecanggihan pemikiran Yunani karena tidak adanya mekanisme yang canggih untuk memproduksi konsep-konsep keilmuan yang terstruktur ‘scientific conceptual scheme’ dalam pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa struktur konsep keilmuan di Barat lahir segera setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang canggih. Jadi ketika peradaban Islam memimpin dunia sejak abad ke 7 M hingga abad ke 15 M Barat tidak hanya mentransfer pemikiran Yunani dari Arab ke Latin, tapi juga menyerap mekanisme intelektual mereka yang canggih. Temuan Jayyusi tentang cara-cara Barat mentransfer berbagai aspek dari peradaban Islam, merupakan bukti yang memadahi bahwa sebenarnya mereka waktu itu sedang mengembangkan struktur konsep keilmuan dalam pandangan hidup mereka. Setelah mereka mengembangkan pandangan hidup mereka, orang Kristen Barat tidak lagi khawatir menerjemahkan teks-teks Yunani seperti sebelumnya, apalagi teks-teks yang telah disintesakan atau dimodifikasi oleh orang- orang Muslim.100 Jadi lahirnya filsafat dan sains di Barat bukan hanya karena jasa terjemahan dari Yunani kedalam Islam atau Islam ke Latin, tapi juga karena adanya transmisi pandangan hidup Islam yang memilik struktur konsep keilmuan yang canggih kedalam pemikiran orang Barat. Para filosof muslim telah memodifikasi pemikiran Yunani dan mengharmonisasikannya dengan Islam. Hal yang sesungguhnya tidak pernah dilakukan kaum kristiani atau kaum barat di Yunani dan Romawi sendiri. Ketidakmampuan mengolah pemikiran Yunani ini sebenarnya yang kemudian membuat keilmuan dianggap tidak sesuai dengan paradigma gereja dan kekuasaan sehingga melahirkan zaman kegelapan di Barat. Ketidakmampuan mengolah keilmuan dan ajaran agama turut pula menciptakan tradisi ilmiah sekuler di Barat hingga saat ini, sebuah ironi dari keilmuan yang dikatakan berkembang tapi tak beragama dan bermoral. Maka, mesti tak dapat dipungkiri pemikiran filsafat Islam dipengaruhi oleh pemikiran Yunani tetapi filsafat Islam bukan filsafat Yunani, ia memiliki karakteristik dan ciri khas sendiri. Karakteristik ini kelihatannya yang mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir muslim untuk memahami khazanah pemikiran Yunani. Jelas tak beralasan jika pemikiran Islam disebut sebagai duplikasi pemikiran Yunani, karena jika pemikiran Muslim didominasi pemikiran Yunani, m.ika wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. I.ipi realitanya, Spanyol adalah satusatunya lingkungan kultural Muslim y.mg dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan (<< hudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Fakta sejarah membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang l' il-.ion tenggelam kedalam apa yang disebut sebagai Mozarabic Culture. 1‘iiliur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan i . .u bagi lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris niMiKinambarkan bahwa kontak dan konflik antara Kristen-Yahudi dan Mir.lim memberi stimulus tidak saja kepada bangkitnya ideologi dan minloktualitas Eropa Abad Pertengahan, tapi juga imajinasinya101 m iKudnya kuriositas orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari Miwa Muslim memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated) .i.iii ilmu pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia i min Inilah yang sebenarnya terjadi. Dari perspektif teori terbentuknya r nKl.mgan hidup kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat iim.m.i Barat menyerap aspirasi dari Muslim bagi pengembangan i iml.mgan hidup mereka. Atau setidak-tidaknya, Barat memanfaatkan i. ili'inuan mereka dengan Muslim untuk memperkaya pandangan l'ii|u|> mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat menempuh berbagai " mi cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan hidup ' mi yang berupa konsepkonsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan i ihw.i model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat -ia lima: pertama, melalui ceritacerita dan syair-syair yang M'nir.misikan secara oral oleh orang-orang Barat, kedua, dengan cara >Hii|un|]an atau tourisme, pada abad ke 7 M, Cordoba adalah ibukota • i iia Islam yang menonjol dan merupakan kota yang paling i»"i»'ia<laban di Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun >.jiui|ungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam, ketiga, waktu nl.ipat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan , . . i dikirim dari kerajaan-kerajaan di Eropa, keempat, dengan cara "ii.i|dinahkan karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri- " iin I ropa, khususnya Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan ! M memiliki ruangan penyimpan manuskrip bagi sejumlah besar i . , i !•. nya ilmiah orang Islam untuk mereka terjemahkan, kelima, untuk n ai i proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan sekolah •»<iiik |>aia penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan- perpustakaan bekas jajahan Muslim itu.102 Jayyusi mengomentari tentang cara-cara Barat mentransfer berbagai aspek dari peradaban Islam, merupakan bukti bahwa sebenarnya mereka tengah berupaya mensimulasikan pemikiran Yunani dengan ajaran Kristen dan upaya ini menjadi semakin mudah ketika Islam telah memperbaharui pemikiran-pemikiran Yunani. Artinya, barat sebenarnya tidak menemukan filsafat Yunani tetapi berdialog dengan filsafat Islam. Islam jelas tidak bisa sekedar disebut sebagai jembatan tetapi lebih dari itu, Islam merupakan fondasi dasar keilmuan di Barat, Islam bahkan merupakan pencerahan bagi keilmuan di Barat. Bersama filsafat Islam, orang Kristen Barat tidak lagi khawatir menerjemahkan teks-teks Yunani seperti sebelumnya, apalagi teks-teks yang telah disintesakan atau dimodifikasi oleh orang-orang Muslim. Jadi lahirnya filsafat dan sains di Barat bukan hanya karena jasa terjemahan dari Yunani kedalam Islam atau Islam ke Latin, tapi juga karena adanya transmisi pandangan hidup Islam yang memilik struktur konsep keilmuan yang canggih kedalam pemikiran orang Barat. Barat bahkan belajar banyak dari perkembangan keilmuan dan perdebatanperdebatan dalam Islam, barat juga belajar dari pengalamannya sendiri. Pengalaman antara doktrinasi agama dan pemikiran filosofis yang seringkali sulit “dipertemukan". Perdebatan- perdebatan panjang mengenai keilmuan berdasarkan agama dan umum terjadi pula dalam lingkup Islam yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran kalam. Kondisi-kondisi ini diantisipasi barat dengan pendekatan sekularisasi. Tak ada agama dalam keilmuan dan tak ada keilmuan dalam agama, keduanya berdiri berseberangan dan tidak bisa menjadi satu wadah. Sebuah upaya menarik dan “mungkin” berhasil memetakan status quo keilmuan modern versi barat. Agama dalam beberapa hal dianggap sebagai “penjagal” kemajuan ilmu pengetahuan, agama ditetapkan sebagai “figura” di dalam kehidupan. Agama tidak memiliki hak untuk mengklaim apapun, ada kebebasan, kemerdekaan dalam perkembangan keilmuan. Seluruh proses antara agama dan keilmuan turut menginspirasi Barat untuk melanggengkan kekuasaan dirinya. Barat juga mempelajari betul pentingnya propaganda untuk meng”cut” perkembangan keilmuan dalam Islam. Isu antara ahlu ra’yi dan ahtusunnah jelas isu yang paling mempan untuk mengantisipasi perkembangan keilmuan Islam. Sudah i' ilalu banyak kasus sejak zaman perdebatan al-Ma'mun dan Ahmad ilm Hanbal atau kasus Ibn al-Muqaffa, kasus yang sedemikian memperkokoh perdebatan antara ahlu ra’yi dan ahlu sunnah adalah M>l>uah upaya pemecah belah yang jitu. Banyak kalangan menuding proses keilmuan Islam tertutup f.Hulah karya alGhazali Tahafut al-Falasifah mengemuka, menegur t " i bagai pemikiran yang “menyimpang” dari Islam. Tulisan al-Ghazali 'liiuding sebagai upaya pembungkaman ijtihad seorang muslim yang l» bas dan penuh labirin-labirin keilmuan. Sesungguhnya “hemat” imnulis, al-Ghazali tak pernah membungkam ijtihad umat dan i' I>obasan keilmuan, tetapi al-Ghazali agaknya telah memiliki firasat i1 iliwa arah keilmuan mensistematisasi diri menjadi ilmu tanpa agama, ' okularisasi”. Al-Ghazali jelas telah membaca budaya inkar sunnah , mg semakin menguat, atau telah membaca arogansi akal yang I >• m lobihan. Filsafat tak lagi beraroma persatuan antara daya akal dan i'j.mia ala al-Kindi atau menebarkan semerbak kesufian ala al-Farabi. ' ii ilat tidak lagi selogis pemikiran al-Razi atau Ibn Rusyd, banyak i" ngagum filsafat adalah orang-orang awam yang bereuforia pada ide- i' mengenai keagungan akal dan menafikan dalil-dalil sunnah. Di sisi 1 mi, hanyak yang terperangkap menangkap ide al-Ghazali dengan i" nj.ua halal dan haram dan ketentuan-ketentuan Allah yang ditafsirkan ■ akan akan paling benar. Padahal al-Ghazali sendiri berfilosofis untuk '""luluskan paham filosofis, artinya Imam al-Ghazali sendiri adalah mang filosof muslim.103 IKHTISAR: " i llsafat Islam merupakan hasil dari perpaduan antara pemikiran i imani, budaya Persia dan tradisi Hellenisme. Hellenis dalam arti il' ulturasi antara pemikiran Yunani-Romawi bersama wilayah Timur •’l>orti Mesir Kuno dan Persia. 1 i ih;ifat Islam dipopulerkan dengan menggunakan bahasa Arab dan l'i i'.ia, pemilihan dua bahasa ini karena bahasa Arab dan Persia niniupakan bahasa Nasional umat muslim saat itu. i il'.afat Islam diperkirakan lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran i imani dibanding Persia. Hubungan Persia dan perkembangan i nilmuan dalam Islam diperkirakan pada ilmu-ilmu kealaman. d Transmisi pemikiran Yunani diperkirakan dibawa oleh kaum kristen Nestorian yang mengalami konflik dengan penguasa dan gereja di Roma e Proses perpaduan budaya dan pemikiran yang kemudian mengerucut menjadi ilmu filsafat Islam diperkirakan telah berlangsung sejak zaman 'Umar ibn Khattab namun memiliki eksistensi diri dalam bentuk keilmuan pada masa Dinasti Abbasiyah f Geliat filsafat Islam dan keemasannya terjadi bersamaan dengan abad kegelapaan di Barat. Hubungan terkuat antara kebangkitan filsafat Barat dan filsafat Islam ditemukan pada bidang skolastik, g Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroisme) merupakan dua tokoh yang banyak mempengaruhi pemikiran skolastik di Barat. St. Thomas Aquinas dan ini terdapat pada ajaran-ajaran Siger van Brabant, Berner van Nijvel dan Boethius de Dacia. h Dikotomi antara Ahlu ra’yi dan ahlu sunnah diperkirakan merupakan cikal-bakal konflik yang berujung pada kemunduran pemikiran filosofis dalam Islam. Dikotomi ini turut mendorong lahirnya pemikiran Sekularisme, menafikan dan meninggalkan Agama dalam proses perkembangan keilmuan i Pemikiran al-Ghazali diperkirakan bukan alasan kemunduran pemikiran filosofis Islam, tetapi kemunduran pemikiran tersebut disebabkan oleh lahirnya sikap Ekstremisme, Radikalisme beragama sebagai sebuah reaksi dari ide Sekularisme yang semakin kuat berkembang. Lihat M.W.A Brouwer & M.P, Heryadi, B.Ph., Sejarah Filsafat Barat Modem dan Sezaman, (Bandung, Alumni, 1986), hal. ix Lihat kajian yang dilakukan oleh M.W.A. Brouwer dan M.P. Heryadi yang menjelaskan tentang sejarah filsafat barat dengan jelas menafikan filsafat Islam dan langsung mengembalikannya pada filsafat Yunani. M.W.A Brouwer & M.P. Heryadi, B.Ph., Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung, Alumni, 1986), hal. ix Hibriditas berasal dari kata hibrid; bio yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan. Kata hibriditas merujuk pada makna tersebut; yakni kecenderungan untuk mengambil unsur-unsur untuk menjadi bagian dari dirinya. Lih.Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Bortrand Russel, History of Western Philosophy, (Routledge, 2004) lih. Daftar Isi. Brooke N. Moore and Kenneth Bruder, Philosophy: the Power of Idea, (McGraw-Hill, 2001). I dward W. Said, Orientalism, (New York, Vintage Books, 1979), cet. III, hal. !>2 Kutipan dalam Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-lslamiyah Manhaj wa Tathbiqihi, (Mesir, Dar al-Ma’arif, 1976), hal. 20-21 '.eyyed Hossein Nasr & William C. Chittick, World Spirituaiity: Manifestations, turj., Islam Intelektual Teologi Filsafat dan Ma’rifat, (Depok, Perenial, 1991), li.il, 5 Kata Pengantar llornard Lewis, TheArabs in History, terj. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah diiri Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1988), Kata Pengantar Nurcholish Madjid, hal. vii Hiidri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, (Jakarta, l '.ijaGrafindo Persada, 2001), cet. XII, hal. 49-50 l nwis, The Arabs ..., terj., Kata Pengantar, hal. ix I nwis, The Arabs ..., terj., Kata Pengantar, hal. x < iirl Brockellman, History of the Islamic People, (London, Lund Humphries, 1949), hal. 1-3 It.i M. Lapidus, A History Islamic Science, terj. Sejarah Sosial Umat Islam, (i.ikarta, RajaGrafindo Persada, 1999) cet.l, hal. 17 l'tulip K. Hitti, The Arabs Short History, terj. Dunia Arab Sejarah Ringkas, ■ n.indung, Sumur Bandung, 1970), cet. VI, hal. 16-17 Inwis, TheArabs ..., hal. 4-5 An.r. Ma'ruf (terj.), A Concise History of Islam, a.b. Sejarah Ringkas Islam, \ inknrta, Djambatan, 2000), cet. III, hal. 5 I itpldus, A History ..., hal. 7 i npldus, A History ..., hal. 9 Midi kelmann, History of..., hal. 9 23 Michael H. Hart, The 100, a Ranking of The Most Influental Persons in History, terj. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (1986, Jakarta, Midas Surya Grafindo), cet. VIII, hal. 28 21 Lapidus, History ..., hal. 24 22 Hitti, The Arabs ..., hal. 21 23 Lewis, The Arabs ..., hal. 17 24 Lewis, The Arabs ..., hal. 17 25 Hitti, The Arabs ..., hal. 23 26 Hitti, The Arabs ..., hal. 24 27 Philips K. Hitti, History of The Arabs, terj., (Jakarta, Serambi, 2005), cet. II, hal. 66-67 28 Lapidus, A History ..., hal. 38-39 Lapidus, A History ..., hal. 38-39 29 Fuad Mohd. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1985), hal. 6-10 30 Facruddin, Perkembangan ..., hal.5 31 Lih. Penjelasan mengenai karakter ayat-ayat Makkiyah, atau lih. Amroeni, ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001), hal. 74-86 32 Lih. Penjelasan mengenai karakter ayat-ayat Madaniyyah, atau lih. Amroeni, ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001), hal. 75-86 33 Lapidus, A History ..., hal. 64-65 34 Hart, The 100 ..., terj. hal. 28-29 35 Lapidus, A History ..., hal. 55 36 Hitti, History ..., hal. 181 37 Khalil Abdul Karim, Ouraisy min al-Qabilah ila al-Daulah alMarkaziyyah, (Yogyakarta, Lkis, 2002), hal. 321-329 36 Lewis, The Arabs ..., hal. 36 33 Lewis, The Arabs ..., hal. 36-37 40 R. Ghirshman, iran, (Baltimore, Penguin Books Inc, 1954), hal. 290293 41 Ghirsman, Iran, hal. 308 42 Lewis, The Arabs .... hal. 46-48 43 Lapidus, A History ..., hal. 78 44 Lapidus, A History ..., hal. 79 45 Lapidus, A History ..., hal. 79 46 Badri Yatim, Sejarah ..., hal. 47 Ghirsman, Iran, hal. 318-341 48 Ghirsman, Iran, hal. 320 49 Ghirsman, Iran, hal. 327-330 ® Ghirsman, Iran, hal. 242 51 Lapidus, A History..., hal. 105 52 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2003), hal. 69 a Nasr, ed., History of..., terj., hal. 119 54 Nasr, ed., History ofterj., hal. 70 Filosof-theolog Yahudi yang lahir di Cordoba, Spanyol dan mengembangkan proses intelektualnya di Maroko. Pengagum Aristoteles ini merupakan dokter dari Sultan Salahuddin al-Ayyubi di Mesir Nasr, ed., History of..., terj., hal. 72 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 74 Nasr, ed„ History ofterj., hal. 76 Manichaenisme adalah agama yang didirikan oleh Mani', Nabi dari abad ke3 M. Agama ini merupakan campuran menarik dari agama Zoroaster, Budha dan Kristen. Agama ini juga mengakui Zoroaster, Budha dan Nabi Isa sebagai Nabi di muka bumi ini. Selain dualisme, doktrin "keliru” Mani adalah bahwa jiwa manusia itu pokok kebaikan dan tubuh manusia merupakan pokok kejahatan, penganut Mani percaya bahwa semua hubungan seksuil -meskipun untuk tujuan membuat keturunan- harus dijauhi, juga ada larangan minum anggur dan makan daging; Lih. Konsep Mani di Michael Hart, The 100 hal. 417 Nasr, ed., History of.... terj., hal. 78 Rowe & Schofield, The Cambridge History of Greek and Roman Politicai terj., Sejarah Politik Yunani dan Romawi, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 52-53 Nasr, ed., History ofterj., hal. 81-82 Nasr, ed., History ofterj., hal. 52 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Press, 2003), hal. 1-5 Nasr, ed., History ofterj., hal. 109 Maksud kokoh disini, umat Islam telah memiliki landasan yang cukup kompetitif ketika umat ini membangun dirinya di Madinah. Bahkan jika diasumsikan kelahiran para filosof tersebut dimulai dari al-Kindi, berada di bawah kekuasaan Abbasiyah, Humphreys berani menjamin bahwa akulturasi tersebut telah berproses sejak masa Umayyah. Karena sejak masa Umayyah sebenarnya pemikiran Yunani, Arab, Koptik, Papirologi, Numismatik, Arkeologi dan Historiografi Islam, ilmu Administrasi Romawi ditambah dengan Administrasi dan Hukum Islam telah dipelajari oleh Islam. Lih. R. Stephen Humphreys, Islamic History A Framework for lnquir\ (Princenton University Press, 1995), hal. 3 Alfred Gullimaune, Philosophy and Theology in The Legacy of Islam,( Oxford University Press, 1948), hal. 239. Abdurrahman Badawi.ed., al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah al-lslamiyah Dirasat Ii Kibari al-Mustasyriqin, (Kairo, Dar al-Nahdhoh al-Arabiyah, 1965), hal. 4-5‘Abdurrahman Badawi.ed., al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah al- lslamiyah Dirasat Ii Kibari al-Mustasyriqm, (Kairo, Dar al-Nahdhoh alArabiyah, 1965), hal. 4-5 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 62-67 Badawi.ed., al-Turats al-Yunanihal. 28-29 Badawi.ed., al-Turats al-Yunani ... hal. 28-29 71 Rowe, ed., The Cambridge History ..., terj., Daftar Isi 72 M.A.W. Brouwer & M.P. Heryadi, Sejarah Fiisafat Modem, (Bandung, Alumni, 1986), hal. 1-17 73 Rowe, ed., The Cambridge History ..... terj., hal. 473 74 Rowe, ed., The Cambridge History ...., terj., hal. 55-56 75 Rowe, ed., The Cambridge History ..... terj., hal. 76 Rowe, ed., The Cambridge History ..., hal. 5 71 Rowe, ed., The Cambridge History ..., hal. 185-217 78 Rowe, ed., The Cambridge History ..., hal. 59-66 75 ‘Abdurrahman Badawi.ed., al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah allslamiyah Dirasat ii Kibari al-Mustasyriqin, (Kairo, Dar al-Nahdhoh al‘Arabiyah, 1965), hal. 38 80 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 54 81 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 54-55 82 Rowe, ed., The Csambridge History ..., terj., hal. 751-781 83 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 55; Badawi, ed., al-Turats alYunani..., hal. 38 84 Badawi, ed., al-Turats al-Yunani..., hal. 41 85 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 63 86 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 110-111 87 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 111 88 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 119 80 Nasr, ed., History of..., terj., hal. 118 90 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1998), hal.301303 91 A. Epping O.F.M., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie Eerste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopedie, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 161 92 Hart, The 100 ..., hal. 21-22 93 De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in History, (London, Routledge & Kegan Paul Ltd, 1963), hal. viii. 94 Kutipan dan penjelasan dalam Mulyadhi Kartanegara, Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta, Serambi, 2005), hal. 20-21 95 M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, vol. II, (Delhi, Low Price Publication, 1995), hal. 1349 96 Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge, Cambridge University Press, 1985), hal. 6. 97 F.E.Peter, Aristotle and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York University Press, 1968), hal. 57. 96 Morris, Rosemary, Northern Europe invades the Mediterranean, 9001200, in George Holmes, The Oxford History of Medieval Europe, (New York, Oxford University Press, 1988), hal. 194-195 Morris, Rosemary, Northern Europe invades the Mediterranean, 900-1200, in George Holmes, The Oxford History ol Medieval Europe, (New York, Oxford University Press, 1988), hal. 194195 '■•lima Khadra Jayyusi, “The Legacy of Muslim Spain", (Leiden, E.J.Brill, 1992), hal. 149-170 ,il Ghazali berprinsip bahwa seseorang yang akan mengkritik filsafat harus mendalami dahulu kandungan filsafat. Sebab, tanpa mendalami filsafat maka kritik yang ditunjukkan tidak tepat sasaran. Untuk itu selama tiga tahun dia hnusaha mendalami filsafat, sehingga dia rampung menulis sebuah buku Imrjudul Maqashid al-Falasifah. Setelah menulis buku tersebut al-Ghazali inonulis Tahafut al-Falasifah. Kekuatannya memahami pemikiran filosofis para lilosof muslim itulah alasan kenapa ia juga layak disebut sebagai filosof muslim meski tidak dengan makna yang sesungguhnya. Laqab filosof muslim tersebut disematkan berdasarkan metodologi yang digunakannya dalam membaca filsafat Isl.im dan bukan karena al-Ghazali turut meramaikan ideide metafisika dan ilitnn aliran di dalamnya. BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIK DAN HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN Gelombang Hellenisme merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan madlarat bagi kaum muslimin, dan membuat mereka terbagi antara yang menyambut dan yang menolak. Responsi mereka kepadanya bisa menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman (Nurcholish Madjid)1 P / erkembangan filsafat Islam seringkali disepadankan dengan aktivitas intelektual umat Islam, upaya penyepadanan ini berbuah pada asumsi kematian aktivitas intelektual umat Islam ketika filsafat Islam - didugaditutup oleh Ibnu Rusyd dan beralih ke Barat. Asumsi ini semakin meyakinkan ketika isu stagnasi aktivitas intelektual dihembuskan, yakni isu tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadap filsafat dan wafatnya Ibnu Rusyd, seorang figurfilosof Islam yang diakui Barat (Eropa). Dampak isu ini berbuah kemalangan panjang umat muslim, selama bertahun-tahun umat disibukkan dengan perdebatan-perdebatan pemaknaan zindiq yang identik dengan tudingan "kafir’’ atau keluar dari ajaran Islam oleh orangorang radikal-ekstrimis yang mengklaim dirinya penjaga kesucian agama. Selama bertahun-tahun itu, umat Islam tidak menyadari bahwa isu-isu tersebut ditiupkan oleh orientalis untuk menimbulkan keragu- raguan dan menekan perkembangan keagamaan dan keilmuan. Sikap apatis dalam beragama atau menggugat agama menggejala dan perlahan agama dipinggirkan lalu terlahirlah bibit-bibit sekularisme dalam umat muslim. Di sisi lain, lahir pula golongan radikal-ekstrimis sebagai reaksi sekularisme. Lebih jauh lagi, umat Islam dituturkan Haidar Bagir telambat mengantisipasi “masa pubertas” intelektualnya. Hal ini ditandai dengan ciri terobsesinya sebagian umat dengan simbol-simbol formalisme- legalistik, pemahaman keagamaan yang simplistik, kurangnya apresiasi terhadap penafsiran rasionalistik atas agama dan kecenderungan untuk merasa benar sendiri yakni dalam dialog antar maupun interkeyakinan. Deskripsi gaya ini menekankan model eksklusifitas dan cenderung mengobral cap sesat dan berbahaya, inilah bentuk radikalisme, sebuah sikap karena ketidakmampuan menghadapi perkembangan zaman dan pengetahuan yang semakin membutuhkan interpretasi-interpretasi keagamaan yang dinamis.2 Di sisi lain, lanjut Haidar terdapat sekelompok umat yang sebenarnya lebih siap untuk mengambil sikap terbuka tampak gamang dalam menghadapi tantangan realitas zaman yang menuntut kemampuan apropiasi, yaitu kemampuan memahami dan mengambil dari orang lain tanpa hanyut ke dalamnya. Kegamangan mereka membuat arah pemikiran dan kebijakan cenderung mengorbankan jati-diri Islam di altar sekularisme atau pluralisme keagamaan radikal.3 Diantara radikalis-ekstremis dan sekularis-pluralis serampangan mi, kemudian agama dan ilmu pengetahuan dipandang menjadi sesuatu yang dikotomis, islam adalah atribut agama dan bukan atribut pengetahuan. Agama merupakan hak personal, privacydan bukan bagian dari perkembangan keilmuan yang dijuluki ilmu “modern”, membicarakan agama membutuhkan ruang khusus yang berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Ilmu agama diposisikan secara tidak sejajar atau bahkan dianggap kelas dua. Persepsi-persepsi yang semakin menghegemoni ini sangat tidak menguntungkan proses pembelajaran Islam, mempelajari Islam menjadi sesuatu yang tidak populer. Padahal sesungguhnya Islam . idalah ruh dari segala aktivitas dan perbuatan, Nashr mengingatkan tauhid merupakan dasar spiritual Islam. Artinya, ketika terjadi perdebatan-perdebatan dengan umat Kristen, Mazda dan pengikut Mani di masa lalu membuat ulama-ulama Islam mengembangkan pemikiran filosofis untuk menjelaskan ketauhidan luhan. Konsepsi-konsepsi yang juga dilandaskan pada al-Qur’an ini terus mempengaruhi dan terbukti memberikan semacam dorongan untuk membuktikan tauhid serta menunjukkan bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan. Dorongan agama untuk mengetahui dan meneguhkan keyakinan akan Tuhan dan penciptaannya ini melahirkan kajian-kajian yang menisbahkan diri pada Islam sebagai agama. Sehingga tidak ada konsep ijtihad telah tertutup, Islam tetap adalah ruh segala aktivitas, ruh keilmuan. Maka, ilmu Islam berkembang dalam berbagai segi, "Filsafat Islam”, “Ekonomi Islam”, “Hukum Islam", “Theologi Islam" dan berbagai keilmuan lain yang dinisbahkan pada Islam memiliki bentuk pengetahuan yang berbeda, memiliki pengamalan yang berbeda, berbeda karena semua harus memiliki ruh Islam. A. DEFINISI Filsafat merupakan kata serapan dari kata majemuk dalam bahasa Yunani “Philosophia", “Philo" berarti suka atau cinta sedangkan “Sophia" adalah bijaksana, maka Philosophia ialah orang yang cinta kepada kebijaksanaan.4 Istilah philosophia (selanjutnya ditulis filsafat) pertama kali digunakan oleh Phytaghoras (580-500 SM) sebagai reaksi terhadap cendekiawan di masa itu yang mengklaim dirinya sebagai ahli pengetahuan, Phytaghoras menolak klaim tersebut karena ilmu pengetahuan adalah perkara atau objek yang dicari oleh manusia dan dimanfaatkan secara riil oleh manusia, dan manusia tak lain hanyalah pencari pengetahuan (filosof). Istilah ini semakin populer ketika Socrates merumuskannya dalam kurikulum sekolahnya sebagai ilmu pengetahuan tentang kegiatan jiwa manusia.5 Dari kata “Philosophia” ini kemudian lahirlah kata falsafat dalam bahasa Arab yang diwaznkan dengan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kata “falsafat” ini diserap oleh bahasa Indonesia menjadi “filsafat”, namun berhubung terdapat perubahan dari kata “falsafat" menjadi “filsafat”, Harun Nasution mempertanyakan serapan yang terdapat dalam bahasa Indonesia tersebut berasal dari bahasa Arab atau langsung dari bahasa Yunani.6 Terlepas dari konteks kebahasaan tersebut, Kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan kata filsafat yakni pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Artinya terdapat kesamaan makna antara “philosophia", “filsafat" dan “falsafat". Kesamaan makna ini pula yang menginspirasi sebagian kalangan menyebut “filsafat" dengan “hikmah", terminologi “hikmah" sebagai kebijaksanaan dianggap sepadan dengan kata “philosophia”. Persoalan menjadi semakin menarik ketika menisbahkan kata Islam pada filsafat, banyak yang berpendapat bahwa “filsafat” dan “Islam” merupakan entitas yang berbeda. Itu sebabnya sebutan filsafat Islam sendiri bukan sebutan yang telah disepakati oleh semua pengkaji filsafat Islam, bias Europosentrisme terhadap filsafat Islam turut membentuk asumsi bahwa ajaran-ajaran filsafat jelas bertentangan dengan agama, misalnya tentang keabadian alam. Asumsi-asumsi ini kemudian melahirkan identifikasiidentifikasi yang berbeda terhadap filsafat yang berkembang di masa keemasan Islam, sebagian menjulukinya “Filsafat Muslim", karena para pengkajinya adalah seorang muslim, artinya filsafat tersebut dikaji dan ditelaah oleh orang-orang yang beragama Islam, tetapi belum tentu bahwa ajaran-ajaran filosofis mereka didasarkan pada ajaran- ajaran Islam.7 Selain filsafat muslim, terdapat juga penamaan dengan “Filsafat Arab”, diasumsikan dengan Arab karena kajian-kajian yang dilakukan oleh umat muslim tersebut menggunakan bahasa Arab. Meski para filosof bukan orang Arab namun hasil pengkajiannya yang dibukukan dengan bahasa Arab kemudian menjadi alasan penamaannya dengan “Filsafat Arab”.8 Tetapi sebagaimana yang disampaikan Mulyadhi Kertanegara terdapat banyak hal yang memperkuat bahwa dari seluruh nama yang disematkan tersebut “Filsafat Islam" adalah nama yang tepat dari pada kata “Filsafat Muslim" atau “Filsafat Arab”. Disebut filsafat Islam dituturkan Mulyadhi, pertama, karena ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dalam Islam, Islam telah menyusun sistem theologi yang sangat menekankan keesaan Tuhan dan hukum syari’ah. Pandangan syari’ah yang dominan dalam Islam memaksa seluruh sistem yang bersandar pada Islam untuk mengikuti njaran-ajaran Islam, prosedur inilah yang mengilhami para filosof muslim untuk merubah mind-set Yunani menjadi mind-set muslim. Yakni mendasarkan kajian filsafat pada tauhid, pada alQur'an dan Hadis. Alasan kedua, filosof muslim mengkritisi pemikiran Yunani dalam arti tidak begitu saja menerima pendapat-pendapat Yunani, hal ini terlihat dari kritik yang disampaikan filosof muslim seperti kritik Ibn Sina (w. 1037) terhadap kosmologis Aristoteles tentang keberadaan Tuhan yang dipandangnya tidak memadai dan digantikan dengan argumen ontologis yang lebih fundamental. Akibat daya kritis yang hebat tersebut, maka filsafat Yunani mengalami transformasi radikal sehingga menciptakan filsafat yang khas, yang berbeda dengan filsafat manapun. Ketiga, filsafat Islam adalah interaksi antara Islam sebagai agama dengan filsafat Yunani. Akibatnya, para filosof muslim telah mengembangkan filsafat dalam bidang-bidang tertentu yang tidak pernah dilakukan oleh pai filosof sebelumnya. Salah satunya adalah kajian filosofis terhadap konse kenabian (al-nubuwwah).9 Ibrahim Madkoer menegaskan bahwa filsafat Islam merupaka hasil olah fikir para intelektual muslim terhadap konsep-konsep yan terdapat dalam Islam dan juga filsafat Yunani. Para filosc memperdebatkan antara wahyu dan akal, antara 'aqidah dan hikmal lalu mempertanyakan kedudukan akal dan wahyu dan membuktika hubungan antara ‘aqidah dan hikmah, lebih jauh menggabungkan konse antara agama dan filsafat. Ruang lingkup kajian yang sangat luas ii menjadi alasan bahwa filsafat Islam berkembang dan membentu karakternya tersendiri.10 Pemakaian istilah filsafat di kalangan muslim saat itu ditujuka untuk mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsafat menuri pemakaian para filosof muslim secara umum tidak merujuk pada suat disiplin atau sains tertentu; ia meliputi semua sains rasional bukan ilmi ilmu yang diwahyukan atau diriwayatkan secara etimologi seperti sintaksi; sharaf, retorika, gaya bahasa, tafsir, sunnah, dan hukum. Oleh karen kata ini mempunyai arti yang umum, filosof adalah seseorang yan memahami secara penuh semua sains rasional yang pada waktu it termasuk teologi, matematika, ilmu-ilmu kealaman, politik, etika, da ekonomi domestik. Artinya, menjadi seorang filosof adalah menjadi duni pengetahuan yang sama dengan dunia objektif.11 Filsafat saat itu diklasifikasi pada filsafat teoritis dan filsafc praktis. Filsafat teoritis terdiri atas tiga bagian: teologi atau filsafat tingg matematika atau filsafat menengah dan ilmu-ilmu kealaman atau filsafc rendah. Filsafat tinggi atau teologi terdiri atas dua disiplin: fenomenoloc umum dan teologi itu sendiri. Matematika terdiri atas empat bagian yan- setiap bagiannya menjadi satu sains tersendiri: aritmatika, geometr astronomi dan musik. Ilmu kealaman mempunyai banyak bagian. Da filsafat praktis dibagi menjadi etika, ekonomi domestik, da kewarganegaraan. Filosof yang lengkap adalah yang menguasai seluru sains tersebut. Secara kebahasaan kata filsafat sebenarnya mengalarr reduksi makna, dari filsafat yang mencakup seluruh sains dai pengetahuan di luar ilmu pengetahuan kewahyuan menjadi filsafat yan* membatasi konsepnya pada teori pengetahuan, metafisika dan nilai Tetapi Amsal Bakhtiar menolak reduksi makna dengan menegaskai bahwa filsafat dalam arti pemakaian umum di masa lalu merupakan suatu istilah generik yang tidak dilekatkan pada suatu sains atau disiplin khusus. Filsafat yang disini meliputi semua sains yang tidak diwahyukan (rasional) sesuai dengan pengertian konsep umum filsafat yaitu, “filsafat adalah penyempurnaan jiwa manusia baik dari sudut teoriti maupun praktis".12 Lebih jauh, Amsal menegaskan jika filsafat didefinisikan sebagai aktivitas yang dinamai filosof di masa lalu sebagai filsafat sejati, filsafat pertama atau filsafat tertinggi yang berkaitan dengan teologi dan asal- muasal teologi tersebut, maka definisinya akan berbunyi; “filsafat meliputi semua jenis sains tentang keadaan-keadaan wujud, dipandang dari segi bahwa ia adalah wujud (ada), bukan dari segi bahwa ia memiliki individuasi khusus atau personifikasi lahiriah seperti badan, kuantitas, kualitas, manusia, tumbuhan, atau apa saja yang ada di muka bumi ini.13 Sidi Gazalba meringkas seluruh konsep tersebut dengan menentukan tiga lingkup kajian filsafat yakni teori pengetahuan, metafisika dan teori nilai. Teori pengetahuan melakukan kajian mengenai hakikat dan bagaimana membentuk pengetahuan, berlakunya pengetahuan dan hubungannya dengan manusia. Pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut adalah epistemologi, dari mana asal atau sumber pengetahuan dijawab oleh tiga aliran filsafat; serba budi, serba pengalaman dan kritizismus; tentang hakikat pengetahuan dijawab oleh serbanyata dan serbacita. Sedangkan membentuk pengetahuan yang benar dijawab oleh logika, ilmumantiqdalam filsafat Islam. Tiga kerangka logika: pengertian, putusan dan penuturan didasari pula oleh sistem berfikir, kita mengenal dialektika sebagai sistem berfikir, dan ada pula dalam Islam suatu sistem berfikir yang unik, dimana kenisbian pikir manusia diasaskan pada kemutlakan "pikir” Tuhan, proses sistem berfikir ini adalah “Ijtihad'.14 Bidang kedua filsafat adalah metafisika, metafisika bagi Aristoteles ialah dasar mendalam dari yang ada, bagi Plato teori tentang ide, bagi Hegel pengetahuan tentang yang mutlak, bagi Heidegger, eksistensialisme; metafisika ialah filsafat tentang hakikat kehidupan. Metafisika membicarakan segala yang ada atau yang dianggap ada, dipersoalkannya hakikat segala yang ada, sebab dan tujuan gejala. Artinya jika fisika membahas segala sesuatu yang dapat disentuh oleh panca indera, metafisika memperkatakan sesuatu yang tak terjangkau atau I lakikat esensi dari yang ada, apakah yang ada tersebut berupa peristiwa . itau sesuatu yang berwujud (benda).15 Ada empat pokok metafisika, pertama, filsafat hakikat dan ontologi yang juga dikenal dengan ilmu hakikat, ilmu ini memepersoalkan hakikat dengan memisahkan secara tajam antara subjek dan objek. Dalam agama ontologi memikirkan tentang Tuhan. Kedua, filsafat alam atau kosmologi, filsafat alam mempersoalkan tentang jagat raya (universun), alam adalah materi maka inti masalah filsafat ini adalah materi. Tetapi kajiannya berputar pada sabab-musabab materi yang kadang berujung pada ide awal penciptaan materi atau menemukan teori-teori baru mengenai gerak alam. Ketiga, filsafat manusia, siapa manusia, dari mana asalnya, kemana akhirnya, manusia hidup dan apa arti hidup, apa naluri dan perbedaan antara manusia dan makhluk hidup lainnya?; semua pertanyaan-pertanyaan itu direfleksikan melalui berbagai ilmu kembali, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi merupakan ilmu-ilmu yang kemudian terlahir dan mengkaitkan dirinya pada persoalan manusia ini. Keempat, filsafat Ketuhanan, filsafat ini mempertanyakan cikalbakal keberadaan malam dan “fungsi" Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia, maksud dan tujuan Tuhan terhadap ciptaannya.16 Filsafat ketuhanan dapat langsung mengenai inti agama, karena agama adalah representasi hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi filsafat Ketuhanan dapat menginspirasi lahirnya Atheisme, karena ketidakpuasan jawabanjawaban yang ditemukan dari persoalan ketuhanan ini. Jika, pada teori pengetahuan dan metafisika, ruang lingkup filsafat terkesan eksklusif dan memenaragadingkan proses keilmuan, filsafat nilai berlaku sebaliknya teori nilai membawa filsafat ke tengah- tengah masyarakat, ke gelanggang kehidupan riil, kepada laku-laku perbuatan sehari-hari. Hasil olah pengetahuan dan metafisika ialah tindakan dan laku perbuatan manusia, dengan bahasa yang lebih sederhana manusia mengerjakan sesuatu dan meninggalkan hal lainnya adalah karena persepsi nilai yang terbangun dari olah pengetahuan dan metafisika-nya. Seseorang dapat saja memilih untuk bekerja keras atau menjadi pencuri sesuai dengan persepsi nilai yang mereka miliki dari hasil olah pengetahuan dan metafisika-nya.17 Seluruh ruang lingkup filsafat ini memungkinkan memaknai filsafat sebagai sains, atau sebagai ilmu-ilmu rasional atau juga ilmu mengenai segala sesuatu yang mengkaji hakikat. Artinya filsafat ada dan dapat menjadi bagian keilmuan manapun juga, tetapi wilayah kajiannya adalah “pertanyaan awal". Pertanyaan awal adalah cikal-bakal dari proses keilmuan, dalam ilmu sosial akan ditemukan filsafat sosial, dalam ilmu ekonomi terdapat filsafat ekonomi begitu juga dalam ilmu kealaman. Ilmu sosial merupakan hasil olah pemikiran dalam filsafat sosial, ilmu ekonomi merupakan hasil olah pikir bentuk-bentuk ekonomi dan seterusnya. Adapun filsafat Islam yang dilakukan oleh filosof-filosof muslim bukan olah pemikiran yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu Islam. “Filsafat” .uialah entitas makna yang sama yang memiliki tiga ruang lingkup, ontologi/ hakikat, epistemologi/ pengetahuan dan aksiologi/ nilai. Filsafat disini juga merupakan filsafat yang sama dengan makna filsafat secara umum dan Islam merupakan keterangan yang menunjukkan identitas yang berbeda dengan kajian-kajian filsafat lainnya. Islam disini bukan menunjukkan sebagai kata keterangan tetapi k.ita yang disandingkan untuk menjelaskan kedudukan filsafat sebagai ■..itu kata keilmuan. Analog sederhananya adalan ekonomi dan ekonomi •.yari’ah. Ekonomi dalam gabungan kata dengan syari’ah memiliki makna y. mg sama dengan kata ekonomi yang berdiri sendiri, namun ketika disandingkan dengan kata syari’ah, ekonomi yang dimaksud memiliki ituran dan batasan sebagaimana yang dijelaskan syari’ah. Begitupun i li 'ngan filsafat Islam, kata Islam menunjukkan identitas berbeda sebagai ■.cbuah ciri khas, makna yang berbeda dengan filsafat sosial, filsafat '•konomi, filsafat politik dan lainnya. Ciri khas Islam tersebut melahirkan konsep, metodologi, atau ti.ihkan aliran pemikiran yang berbeda dengan filsafat-filsafat yang berkembang lainnya. Filsafat Islam tidak hanya dimulai dari akal saja k.irena dalam Islam ada ajaran tentang ibadah (ta’abbudi), yang K.ulangkala sulit dirasionalkan. Dialektika antara yang rasional dengan y.mg imani inilah dinamika filsafat Islam dan sekaligus keunikan filsafat lilnm.18 Nasr mendefinisikan ciri khas tersebut sebagai berikut; pertama, ti.idisi filsafat Islam mempunyai akar yang dalam pada pandangan dunia w.ihyu alQur’an dan fungsi-fungsi di dalam suatu kosmos, tempat kenabian atau wahyu diterima sebagai realitas yang merupakan sumber hukan hanya bagi etika, melainkan ilmu pengetahuan. Karena itulah mengapa Henry Corbin dengan tepat menyebutnya la philosophie i>mphetique. Kedua, meskipun merupakan filsafat dalam pengertian- ■ ojati istilah itu, konsepsi dasarnya tentang al-‘aql (akal/ intelek) 'iiii.msformasikan oleh dunia intelektual dan spiritual yang operasinya terlangsung dalam cara yang sama seperti halnya akal (reason) yang telah ditransformasikan oleh rasionalisme Abad Pencerahan mulai berfungsi secara berbeda dengan ratio dan intellectus-nya St. Thomas. Fakta ini adalah kebenaran yang tak dapat disangkal bagi seseorang yang mempelajari filsafat Islam “dari dalam” tradisi, dan ini masih merupakan realitas esensial untuk dikaji kendatipun ada usaha dari sejumlah sarjana Barat dan juga sebagian sarjana Muslim terbaratkan yang karena terlalu setia kepada rasionalisme filsafat modern, kini ingin mengembalikan pemahaman terhadap akal ini (rasionalisme) kepada filsafat Islam. Ketiga, para filosof adalah muslim dan hampir semuanya taat mengikuti syari’ah. Tidak boleh dilupakan bahwa teladan filsafat rasionalistis dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd yang telah lama dipandang sebagai penghulu rasionalisme di Barat adalah seorang qadhi, kepala otoritas religius di Cordoba dan bahwa Mulia Sadra, salah satu metafisikawan terbesar, menempuh perjalanan tujuh kali dengan berjalan kaki ke Makkah dan meninggal selama masa hajinya yang ketujuh.19 Maka, filsafat Islam adalah ilmu yang membicarakan hakikat segala sesuatu baik itu fisik ataupun metafisika dengan mendasarkan diri pada al-Qur’an dan upaya pengejawantahan sifat dari prinsip Ilahi sebagai yang Esa. Tradisi filsafat Islam ini sebagaimana tradisi filsafat- filsafat lainnya di belahan dunia merupakan proses dari reaksi dalam berbagai macam cara bersama madzhabmadzhab atau pemikiran- pemikiran baik di dalam Islam itu sendiri atau di luarnya. Dan seperti halnya sebuah wacana, pemikiran dan keilmuan, selalu ada pro dan kontra, tudingan benar atau salah, perdebatan atau diskursus, moderasi keilmuan inilah yang menciptakan tradisi intelektual terkaya dan letupan- letupan kreativitas penafsiran ayat-ayat Tuhan baik dalam teks ataupun kontekstualisasinya. B. ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA Tiga konteks yang seringkali diperdebatkan konstelasi hubungannya ini, ilmu, filsafat dan agama mampu menjelaskan lebih gamblang kedudukan filsafat Islam, filsafat dan Agama atau filsafat Agama dalam struktur keilmuan. Dikotomisasi makna pada tiga kata di atas yang kini menginspirasi lahirnya proses integrasi keilmuan antara agama, sains dan filsafat. Hampir seluruh sarjana menyepakati perpaduan antara ilmu -diidentifikasi dengan sains- dan filsafat, tapi tidak dengan agama. Agaknya pengalaman muram hubungan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abad kegelapan kristen atau juga dalam hubungannya dengan “mihnah" dalam diskursus Islam membawa semacam “trauma" tersendiri untuk mendudukkan agama bersama dengan filsafat dan sains. Untuk mempertegas proses pengkajian, ilmu pengetahuan kami setarakan maknanya dengan sains. Alasannya adalah karena perkembangan sains seringkali dijadikan indikasi untuk melihat kemajuan peradaban dari suatu bangsa. Islam dikatakan mencapai keemasannya di zaman Abbasiyah disebabkan oleh berkembangnya sains baik astronomi, kedokteran, arsitektur dan sebagainya. Kini, ketika Barat menjadi figur kemodernan, kebangkitan dan panutan peradaban juga karena kemajuan sains mereka yang berada di atas rata-rata yang berkembang di wilayah lainnya. Maka, tak ada penjelasan definitif mengenai ilmu pengetahuan atau juga sains. Karena pertemuan filsafat dan sains tidak menemukan kendala yang berarti, maka titik problem yang dipertaruhkan dalam setiap akulturasi pemikiran itu adalah agama. John F. Haught menerangkan empat persepsi terhadap relasi antara agama dan sains, pertama, mereka yang berpendapat bahwa agama sama sekali bertentangan dengan sains atau bahwa sains membatalkan agama; kedua, mereka yang berfikiran bahwa agama dan sains sangat berbeda satu sama lain sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik atau hubungan di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama valid, tetapi tetap terpisahkan satu sama lainnya; ketiga, yang mengatakan bahwa walaupun agama dan sains jelas berbeda, toh sains selalu mempunyai implikasiimplikasi bagi agama; demikian juga sebaliknya. Sains dan agama niscaya berinteraksi satu sama lain; karena itu, agama dan teologi pun tidak boleh mengabaikan perkembangan-perkembangan baru dalam sains; dan keempat, yakni yang melihat relasi itu sebagaimana relasi ketiga, tetapi lebih halus, karena golongan ini melihat bagaimana agama dapat berperan positif dalam mendukung petualangan ilmiah mencari penemuan; mengupayakan cara- cara yang dapat ditempuh agama, tanpa sama sekali mencampuri sains, untuk dapat meretas jalan bagi beberapa ide, dan bahkan merestui penyelidikan ilmiah akan kebenaran, yang disebut Haught dengan konfirmasi.20 Dan karena definisi agama yang sangat beragam, dimulai dari produk budaya, sampai dengan kewahyuan. Maka, disini kami menyajikan Islam sebagai fokus analisis, meski beberapa pembahasan mengenai makna agama secara umum tak terhindarkan. Pemilihan sikap menjadi “sekular" demi perkembangan ilmu pengetahuan dan atau melepaskan simbol-simbol agama seperti di Turki demi kemodernan mempertontonkan sebuah kegalauan apakah agama atau dalam hal ini Islam dapat merespon rasionalisasi atau kebebasan berfikir sebagai perangkat peradaban. Ilmu, filsafat dan agama adalah tiga institut kebenaran, ketiga cara ini mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan didapati dari hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian atau segala sesuatu yang dapat diselidiki (alam, manusia dan mungkin juga agama) dengan menggunakan daya pemikiran manusia dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.21 Senada dengan ilmu (sains), filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal-budinya untuk memahami dan menyelami hakikat dari segala sesuatu. Artinya sains dan filsafat memiliki landasan yang sama, yakni “rasionalitas". Tetapi agama (pada umumnya) berlandaskan pada crec/o; tata keimanan atau tata keyakinan terhadap sesuatu di luar manusia, juga berlandaskan pada sistem ritus (tata peribadatan) dan sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, seluruh sistem agama ini berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab yang diwahyukan. Prosedur wahyu yang berimplikasi pada penetapan halal dan haram ini dituding oleh ilmuwan dan filosof sebagai pembatas potensi kebebasan berfikir akal.22 Di dunia Barat, filsafat-khususnya metafisika- telah dilepaskan dari sains atau ilmu-ilmu alam. Karena, menurut August Comte, filsafat dalam bentuk metafisika adalah fase kedua perkembangan manusia, sebagaimana agama adalah fase pertamanya. Adapun fase terakhir (ketiga) dari perkembangan tersebut tercapai pada sains -yang bersifat positivistik (yang dapat diserap oleh indera lahir manusia). Dan karena sains merupakan perkembangan terakhir, maka manusia modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya religius-teologis dan metafisis- filosofis- kalau kita ingin dipandang sebagai manusia modern.23 Vaclav Havel, mantan Presiden Republik Czech yang pada tahun 1994 dianugerahi Philadelpia Liberty Medal di Amerika Serikat, mencari jawaban baru dalam batas-batas ilmu pengetahuan dan menemukannya pada perlunya transendensi diri, yang oleh banyak orang, dilihat sebagai persoalan agama. Walaupun tidak menyinggung Islam, pengembaraan Havel adalah inspirasi dan pengantar penting bagi perdebatan seputar hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.24 Arogansi ilmu pengetahuan yang berlebihan hakikatnya menurut Havel menimbulkan ketakutan tersendiri bagi pelakunya. Sains modern diketahui gagal menghubungkan dirinya dengan alam realitas yang paling instrinstik dan dengan pengalaman manusia yang paling natural. Tak dapat dipungkiri, sains modern memperkenalkan kita pada kemudahan-kemudahan tak terkira, hubungan lintas benua, lintas dunia atau bahkan kloningisasi bibit-bibit makhluk hidup. Tetapi manusia menjadi limbung akan tujuan dan arah, mempertanyakan apa yang akan terjadi pada diri kita di hari esok, ketakutan dengan arah kemana setelah hidup, dunia pengalaman manusia tampak kacau (chaos), mengalami keterputusan dan membingungkan. Oleh karena itu, dewasa ini, manusia bekerja dengan statistik; di sore harinya berkonsultasi pada astrolog dan menakuti-kuti diri dengan hantu dan drakula. Jurang antara yang rasional dan spiritual, yang eksternal dan internal, yang obyektif dan subyektif, yang teknikal dan moral, yang universal dan yang unik terusmenerus semakin dalam.25 Sesungguhnya terdapat titik persamaan antara ilmu (sains), filsafat dan Agama; penjelasan yang menarik tentang hubungan antara agama dan filsafat atau juga sains adalah deskripsi yang disampaikan Ibn Thufail dalam novelnya Hayy bin Yaqzhan. Novel tersebut bercerita tentang seorang bocah laki-laki bernama Hayy yang terdampar ke sebuah pulau, dan dipelihara oleh seekor rusa. Namun, setelah rusa itu mati, Hayy berusaha hidup sendiri di pulau itu. Bukan itu saja, ia pun telah mulai menggunakan akalnya untuk melakukan perenungan. Akhirnya, dari merenungkan benda-benda alam yang ada di lingkungannya, Hayy berhasil -setelah usaha yang panjang dan gigihmenemukan Tuhan, pencipta alam semesta. Selain tentang Tuhan, Hayy juga dikatakan dapat mengetahui tentang kebaikan dan keburukan, melalui akalnya, la juga mengerti tentang kewajiban untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan.26 Suatu hari, datanglah seorang sufi nan shalih yang bernama Absal. Pertemuan Absal dan Hayy menghubungkan pembicaraan mereka sampai pada soal hubungan akal dan wahyu, filsafat dan agama. Novel tersebut selanjutnya mengatakan bahwa ternyata kebenaran filosofis yang dicapai Hayy dengan ajaran-ajaran agama, sebagaimana dipahami dan diterima Absal, tidaklah berbeda atau bertentangan, kecuali metode pencapaian. Jadi, bukan kandungannya, karena kandungan keduanya pada dasarnya sama. Meskipun begitu, Hayy mengerti bahwa filsafat memang tidak selalu cocok dengan pendapat umum. Dan ini disadarinya, ketika Absal mengajaknya bertemu dengan Salaman dan masyarakat yang dipimpinnya. Pemahaman Hayy dan Absal tidak dimengerti masyarakat, bahkan dengan kepicikan dan kefanatikannya, Hayy dan Absal malah diserang, keduanya kembali ke pulau dan menjalani hidup kontemplatif sampai akhir hayatnya. Proses ini menurut Mulyadhi, menunjukkan bahwa pencarian dan penemuan akal sebenarnya tidak mesti berbeda dengan keterangan agama dan wahyu, ketika dipahami secara benar dan mendalam. Namun, karena kebanyakan umat memahami agama mereka hanya pada kulit luarnya saja dan tidak memahami esensinya, maka kebenaran filsafat tidak mereka pahami. Akibatnya, mereka memusuhi filsafat dan memandang filsafat bertentangan dengan agama.27 Begitu pula sebaliknya, kebanyakan saintis atau pun ahli filsafat memandang agama sebagai doktrin-doktrin yang kaku dan tidak fleksibel. Padahal agama sebagaimana diungkapkan Ibnu Rusyd justru malah mewajibkan atau setidaknya menganjurkan pengkajian ilmu pengetahuan. Berkali-kali Allah berfirman dalam al-Qur’an untuk menggunakan akal sebagai fasilitas untuk memahami ciptaannya. Berkali-kali pula Allah meminta umatnya untuk menjelajah setiap komponen di alam ini sampai dengan komponen terkecil sekalipun. Oleh karena itu, Ismail Faruqi meyakini benar, malapetaka yang menimpa dunia Islam adalah akibat persepsi terbelahnya ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan keislaman dan ilmu pengetahuan sekuler Barat. Pemisahan itu telah membuat umat Islam kehilangan identitas dan visinya.28 Itulah sebabnya, seorang filosof besar seperti Ibnu Sina, Mulia Sadra, alFarabi dan lainnya menguasai bukan hanya filsafat, tapi juga ilmu-ilmu saintifik dan keagamaan, lebih dari itu, mereka menjadikan Islam ruh dari setiap keilmuan yang mereka kaji dan mereka pahami. Prosedur ini sebagaimana dianjurkan oleh Fajlul Rahman, ialah dilakukannya kajian epistemologi Islam sebagai landasan filsafat ilmu pengetahuan.29 C. KARAKTERISTRIK FILSAFAT ISLAM Karakteristik adalah ciri khas dari sesuatu, artinya ketika membicarakan karakteristik filsafat Islam maka kita membahas perbedaan antara filsafat Islam dengan filsafat lainnya, baik itu Yunani, Hellenis atau juga Barat. Beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan ini secara tersirat telah diungkapkan dalam keterangan-keterangan diatas. Namun, demi memudahkan pemahaman kita bersama, dilakukan pointer-pointer mengenai hal-hal yang menjadi karakteristik filsafat Islam. 1) Landasan berfikir; filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. Maka sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil rasional (‘aqli) Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa alQur'an dan hadis berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam, ini terlihat dari beberapa ide yang disampaikan oleh filosoffilosof muslim seperti al-Kindi yang membagi lapangan filsafat Islam menjadi tiga bagian yakni ilmu fisika, ilmu matematika dan ilmu ketuhanan.30 Ilmu ketuhanan yang dikembangkan al-Kindi inilah yang membuatnya mendefinisikan “Sebab Pertama", mirip dengan “Agen Pertama"-nya Plotinus dengan istilah “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab". Dari al-Kindi pula diperkirakan al-Farabi mengembangkan konsep akal pertama yang dapat mentransmisikan “pengetahuan yang paling pasti” tentang Tuhan. Ide ini diperkirakan mengilhami inti doktrin Mu’tazilah mengenai keesaan Tuhan serta pensifatan dan perdebatan mengenai zat/ esensi dalam Mu'tazilah. Konsep akal ini diperbaharui oleh al-Farabi dengan menekankan kekuatan doktrin emanasi itu dengan menyamakan akal Aktif dengan malaikat jibril dan dengan menjelaskan kenabian sebagai hasil daya imajinasi Jiwa.31 Ide-ide filosofis al-Kindi dan al-Farabi hanya sebagian contoh dari sekian ide filosofis lainnya dalam Islam yang berbasis pada al- Our'andan Hadis. Tuhan yang dijelaskan sebagai Yang Esa dan sebab dari segala sebab merupakan inti ajaran dalam surat al-lkhlas, kemahaesaan dan kemahakuasaan Tuhan diperkuat al-Kindi dengan membuat susunan yang membedakan antara alam atas dan alam bawah Alkindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud temporal yang diciptakan. Lebih lanjut, jiwa merupakan wujud spiritual yang tid diciptakan, sementara Materi, Ruang dan Waktu terbatas, diciptak dan jasmaniah. Penciptaan (ibda) dalam konteks Muslim ini adai penciptaan dari ketiadaan dalam (dimensi) waktu.32 Dan kons nubuwwah al-Farabi merupakan bentuk riil bagaimana al-Qur'an d hadis menjadi sumber pengetahuan filosof muslim. Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indik bahwa filosof muslim melandaskan pembahasannya pada al-Qur’ dan hadis, diantaranya: Pembahasan mengenai Penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat ditemukan dalam ayat “Sesungguhnya apabila menghend sesuatu. Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah!’’, maka terjadii (kun fayakun)”. Dari doktrin ini para filosof mengkonsentrasik pemahaman mereka tentang “wujud" dan “creatio ex nihilo". K; “kun" menunjukkan identitas wujud tersebut, wujud yang dipahs Ibn Sina lebih dari sekedar kata benda atau keadaan eksister melainkan sebagai kata kerja atau tindakan dari eksisten Perenungan antara doktrin ini dalam kaitannya dengan pemikir Yunani, para filosof Islam mengembangkan doktrin tentang Wuj Murni yang berada di atas -dan tidak bersambung dengan- m< rantai wujud.33 sebagian filosof lainnya mengembangkan teori “nihilo”, dimana sem tingkat makna yang dimiliki oleh kata “nihilo" ini yang mengarahk para filosof Islam untuk membedakan secara tajam antara Tuh sebagai wujud murni dan eksistensi alam semesta. Termas kemudian Ibn Sina dan al-Farabi mengembangkan teori eman; sebagai sebuah proses penciptaan.34 masalah seputar “kebaruan" (huduts) dan “kekekalan" (qidar, Persoalan ini menghubungkan antara filosof dan Mu’tazilah, terutar yang berkaitan dengan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikul Isu tersebut diilhami oleh ayat al-Qur'an: “Tidak luput di pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarah (atom) di bumi ataup di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih bes itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata” (Q.S. Yuni 61). Penegasan al-Qur'an tentang kemahatahuan Ilahi itulah ya: menempatkan masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia, dals konsep inilah doktrin “ilmu laduni” mempunyai signifikansi sentr baik bagi filsafat maupun tasawuf teoritis.35 Dari ayat di atas, masalah ini juga terkait dengan signifikansi filosofis “wahyu”. Para filosof Islam seperti Ibn Sina mencoba mengembangkan sebuah teori dengan meminjam -dalam beberapa hal, tetapi tidak seluruhnyateori-teori Yunani tentang intelek dan daya-daya jiwa. Atau juga mengilhami al-Farabi untuk mengembangkan fisafat nubuwwah Eskatologi adalah pembahasan utama filosof muslim yang nyatanyata terinspirasi dari al-Qur’an dan hadis. Eskatologi -yang dikenal luas di kalangan rumpun Ibrani- merupakan tema yang sama sekali tidak dikenal di dunia filsafat kuno. Konsep-konsep seperti campur tangan Ilahi yang menandai titik akhir sejarah, kebangkitan jasmani, berbagai peristiwa eskatologis ini diterima filosof muslim dengan iman. Beberapa filosof mencoba meramunya secara peripatetik, atau juga dalam prinsip-prinsip theosofi transenden. Penggarapan soal eskatologi ini dikaji secara luas oleh Mulia Shadra.36 2) Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada prinsip-prinsip rasional tetapi juga spiritual Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam berbagai diskursus yang dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang dikembangkan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan bahwa alFarabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dikisahkan, dalam kitab metafisik tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam pandangan Islam merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan, hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Lebih persisnya lagi bagaimana dari Tuhan Yang Esa muncul alam semesta yang beraneka.37 Lebih spiritual lagi, misalnya adalah konsep aliran llluminasionis oleh Suhrawardi al-Maqtul. Filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif ('Irfanir), sebagai pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensistesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘Irfani dalam sebuah sistem pemikiran yang solid dan holistik.38 Bagi Suhrawardi, pencari kebenaran -filosof- ke dalam tiga kelompok: a). Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para sufitetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; b). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam dan c). Mereka yang di samping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif.39 Spiritualitas ini mendorong para filosof untuk mensistensiskan filsafat dan agama. Filosof rasional-spiritual juga terlihat dari kepribadian- kepribadian mereka yang menarik. Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan banyak filosof lainnya merupakan orang-orang yang memiliki kesalehan luar biasa. Pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman dan tingkat “kepasrahan” mereka sangat tinggi. Ibn Sina biasa pergi ke masjid dan shalat saat menghadapi masalah pelik dan Ibnu Rusyd adalah qadhi, penulis kitab fiqh; Bidayah al-Mujtahid. Atau juga gerakan sufi al- Farabi. 3) Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis para filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang Islam Selain karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat semakna dengan filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini berlangsung pada masa kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi “Dinasti" tertentu. Kedua, para filosof tidak seluruhnya merupakan orang Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al-Farabi bahkan adalah seorang Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar wacana bagaimana para filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada ketegangan antara deskripsi al- Our’an tentang keesaan dan apa yang kaum Muslim kaji dari sumber- sumber Yunani. Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim sebagai subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna tersendiri dalam perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya “penafsiran" atau “perluasan makna" dari al-Qur’an dan hadis dan rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif yang hanya filosof muslim saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim. Perbenturan pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof muslim. Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji filsafat tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an, seorang mufassir, seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas keilmuan mereka di berbagai bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam adalah sebuah kesatuan antara Iman, Islam dan amal. 4) Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang mencakup bidang fisik seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan dengan bidang metafisis. Karena metodologis filsafat yang berkaitan dengan ontologis (asal-usul hakikat), epistemologis (paradigma pengetahuan) dan aksiologis (persepsi nilai) memungkinkan seorang filosof melakukan telaah terhadap berbagai bidang keilmuan. Itu sebabnya seorang filosof muslim seperti al-Razi adalah seorang theolog, dokter, ahli kimia, ahli fisika, mufassir dan juga seorang filosof terkemuka. Namun, untuk menspesialisasi objek-objek kajian ini perlu ditelaah terlebih dahulu “tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam". Tema disini dimaknai dengan kecenderungan yang diteliti oleh para filosof muslim. Dari pengetahuan tentang tema ini akan didapati substansi yang diteliti sebagai sebuah objek kajian filosof muslim. Amsal Bakhtiar misalnya menunjuk emanasi, jiwa/ruh, akal, teori kenabian, eskatologi, kebaikan kejahatan,alam antara kekal dan baharu, pengetahuan Tuhan, hukum kausalitas, ruang dan waktu, etika.40 Lebih global, Mulyadhi Kartanegara mengikhtisarkan tema tersebut yakni kajian mengenai Tuhan, alam dan manusia.40 Tiga komponen dasar ini-lah menurut Ibrahim Madkur yang kemudian melahirkan beragam kajian diantaranya adalah emanasi, jiwa/ruh dan lainnya41 - sebagaimana yang disampaikan Amsal Bakhtiar-. Salah satu contoh misalnya adalah kajian mengenai manusia, dimana manusia dilihat dari segi pengetahuan mereka terhadap Tuhan yang kemudian melahirkan analisis mengenai nubuwwah. Ketika menelaah konsep “nubuwwah" muncul beragam asumsi-asumsi yang berubah menjadi hipotesis seperti “apa perbedaan antara nubuwwah dan filosof?', “signifikansi wahyu dan akal", “nubuwwah itu sesuatu yang ditetapkan atau sesuatu yang dapat diupayakan ?".42 Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen tersebut. Dan untuk menspesialisasikan bidang kajian - karena pembahasan mengenai tiga objek tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya- ditetapkan beberapa tema yang hanya para filosof muslim saja yang membahasnya dan tidak menjadi pembahasan di bidang keilmuan lainnya. 5) Bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah terhellenisasi, artinya mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani, tetapi kemudian berkembang menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan Henry Corbin dengan “theosophy". Sebagaimana kata aslinya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang diterima Islam dari Yunani dan dunia hellenis. Meski jika dikaji secara metodologis, Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an telah mengisyaratkannya namun karena pengembangan dan ketetapannya sebagai sebuah disiplin ilmu oleh Yunani. Maka, filsafat menjadi “hak paten" bangsa Yunani. Wajar jika kemudian Islam sebagai pewaris “tunggal’’ filsafat Yunani di awal penelaahannya mengkaji pemikiran-pemikiran dalam filsafat Yunani. Setelah pengkajian itu, dilakukan semacam penyaringan atau kounterisasi dari pemikiran-pemikiran Yunani yang dirasa kurang “pas’’. Arah pembaruan inilah yang secara perlahan menggeser tema- tema kajian yang awalnya berkarakter Yunani menjadi karakter Islam. Oleh karena itu, kata filsafat yang merupakan bahasa transliterasi dirubah dengan bahasa Arab yang diperkirakan memiliki makna sama yakni “hikmah". Semakin jauh perkembangan filsafat Islam berjalan, al-Qur’an dan hadis semakin melandasi pemikiran-pemikiran filosof muslim. Secara perlahan karakteristik Yunani mulai berkurang dan Islam menunjukkan identitasnya. Bahkan sebagaimana yang dikatakan A. Epping, filsafat skolastik yang dikembangkan oleh St. Thomas Aquinas merupakan hasil produksi pemikiran filosof muslim.44 D. ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ISLAM Sejalan dengan proses perkembangan filsafat dalam Islam, pengkajian terhadap tema-tema filsafat Islam mengalami proses metodologis yang berbeda dari satu tahap dengan tahapan lainnya. Perubahan metodologis itu dipengaruhi oleh cara pandang setiap filosof dalam memahami objek kajiannya. Oleh karena itu, lahirlah berbagai macam aliran-aliran dalam filsafat Islam. 1) Aliran Peripatetik Istilah “peripatetik” dijelaskan Mulyadhi merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Peripatetik (masya'un) berarti “ia yang berjalan memutar dan berkeliling”. Ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridmuridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Beberapa filosof yang dikategorikan dalam aliran ini, yaitu al- Kindi (w.+ 866), al-Farabi (w, 950), Ibn Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196) dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).45 Adapun “peripatetik” dalam kaitannya dengan filsafat Islam, menurut Mulyadhi, dikenali dalam beberapa hal: (1). Modus ekspresi atau penjelasan para filosof peripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logka formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalaran mereka adalah “silogisme”, yakni metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik, yang tersusun dari premis mayor dan minor, yang kemudian menghasilkan term yang mengantarai dua premis tersebut dan disebut “middle term” atau al-hadd al-awsath; (2). Karena sifatnya yang diskursif, filsafat ini menangkap objeknya dengan menggunakan simbol, baik berupa kata-kata atau konsep maupun representasi. Langkah pengetahuan ini diperoleh secara tidak langsung melalui perantara,atau yang disebut dengan “indifferensial” dan biasanya dikontraskan dengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran; (3). Ciri lain dari filsafat Peripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritasakan pengenalan intuitif. Akibat penekanan yang terlalu tinggi pada daya-daya akliah, pembahasan mereka seringkali dikatakan tidak memperoleh pengetahuan yang otentik- pengalaman hasil olah spiritual/ mistik-.45 Namun, itu tidak berarti mereka menafikan keberadaan daya-daya spiritual yang diproduksi dari intuisi suci. Mereka meyakini bahwa proses intuisi suci merupakan kemampuan yang hanya dimiliki Nabi atau wali. Sehingga proses pencarian dan pencapaian kebenaran yang dilakukan oleh selain Nabi dan wali adalah dengan melatih rasionalitas fikir. Aliran ini barangkali pantas disebut sebagai wakil dari rasionalis Islam. Contoh nyata aliran ‘peripatetik” ini misalnya dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang menyatakan bahwa apa pun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya itu materi (hyle/ al-hayula) dan bentuk (morphis/ shurah). Dalam sejarah dilsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasil reformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan bahwa apa pun yang ada di dunia ini tidak lain daipada bayang-bayang dari ide-ide yang ada di dunia atas -yang kemudian biasa disebut dengan ide-ide Plato (platonic ideas). Ide-ide ini kemudian diformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang- bayangnya sebagai materi. Tetapi bentuk disini tidak dimaksudkan sebagai sebuah wujud materi melainkan semacam esensi (hakikat), dan materi adalah bahan mati yang takkan memiliki wujudnya jika tidak diisi oleh esensi dan diberi bentuk. Di dunia Islam, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd memiliki pandangan hylomorfis ini. Indikasi terkuat dari pengembangan makna hylomorfis ini misalnya pada penyebutan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) oleh Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai pemberi bentuk (wahib al- shuwar). Di sisi lain, materi atau bahan disebut dengan mumkin al- wujud, yaitu kemungkinan atau potensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi mewujud. Untuk menjadikan potensi-potensi ini mewujud maka perlu ditambahkan bagi materi itu -mumkin al-wujud- bentuk. Setelah penggabungan tersebut, materi tersebut telah memiliki wujud atau menjadi nyata, ada dan berbentuk sebagaimana yang dapat dilihat oleh kita.47 Perubahan arah prosedural dari “bahan" atau mumkinul wujud inilah yang menjadi letak perbedaan antara filsafat Yunani dan Islam. Meski diakui perubahan ini hanya memberikan sedikit “informasi" dari ajaran Islam, namun sebagai sebuah ijtihad awal dari pembacaan kritis terhadap filsafat Yunani ini sudah sangat dapat dan berhak mendapatkan apresiasi. Sebagai gambaran adalah reinterpretasi filosof muslim terhadap teori emanasi sebagai gambaran perubahan dari “nihilo” menjadi “wujud". Menarik karena akal aktif diidentikkan dengan malaikat jibril, sebelum kemudian memikirkan dirinya sendiri dan berubah menjadi aktualisasi akal manusia. Identifikasi malaikat inilah merupakan pengaruh Islam dalam filsafat Yunani, karena Yunani tidak mengenal identitas malaikat. Meski teori emanasi merupakan ide Plotinus, namun al-Farabi dan Ibnu Sinalah yang memperjelas proses dan perjalanan emanasi tersebut sampai kemudian berwujud pada manusia. Perlu diketahui, Aristoteles tidak menjelaskan bagaimana proses perubahan dan pemberian bentuk dari esensi pada materi, dan Plotinus tidak merinci bagaimana emanasi memunculkan ragam materi yang sangat banyak ini. Apalagi -saat itu terdapat- diktum filosofis telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa dari yang satu akan muncul yang satu juga. 2) Aliran lluminasionis (isyraqi) Aliran lluminasionis didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-Maqtul (w. 1911), ide-idenya mengenai illuminasionis dituangkan dalam Kitab Hikmah al-lsyraq. Berbeda dengan peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencari kebenaran, filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif, sebagai pendamping atau malah menjadi dasar bagi penalaran rasional. Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran dalam tiga kelompok: (1) mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam -seperti para sufi- tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; (2) mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalamana mistik yang cukup mendalam dan (3) mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif.48 Pengalaman mistik diterangkan Suhrawardi sebagai sebuah pengalaman langsung melihat realitas sejati, itu sebabnya illuminasionis memiliki modus pengenalan yang disebut dengan “ilmu hudhuri" lawan dari peripatetik yang merupakan pengenalan melalui simbol-simbol yang tampak. Arti penting pengalaman mistik bagi seorang pencari kebenaran adalah pengetahuan sejati, karena untuk mengetahun kebenaran yang nilainya sangat “absurd” ini, diperlukan tidak hanya akal tapi juga sense, atau yang dalam bahasa Sindhunata dikutip Haidar Baghir dengan rahsa.49 Dari sintesa mistik dan 'aqli inilah, Suhrawardi kemudian menjelaskan konsep metafisika cahaya. Bagi Suhrawardi, Tuhan adalah cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar), la adalah sumber cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud positif, dan kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif. Kegelapan ada sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, maka ketika cahaya datang kegelapan telah sirna.50 Bagi Suhrawardi benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas, ini jelas berbeda dari apa yang disampaikan kaum peripatetik, yang beranggapan bahwa bentuk benda merupakan kategorik. Artinya, benda bagi peripatetik adalah wujud yang tetap tetapi bagi illuminasionis benda-benda bersifat relatif. Karena pandangannya ini, illuminasionis memberikan penekanan lebih pada esensi dan tidak pada bentuk berwujud. Jika Ibnu Sina meyakini wujud yang real melalui bentuk yang terlihat dan nyata, bagi Suhrawardi, esensilah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistik dengan realitas 3) Aliran 'Irfani (tasawwuf) Aliran ‘Irfani atau juga disebut dengan tasawwuf sering tidak dikategorikan ke dalam aliran filsafat. Karena, sementara filsafat bertumpu dalam kegiatannya pada penalaran rasional, tasawwuf bertumpu pada pengalaman mistik yang bersifat supra-rasional. Tetapi dalam perkembangan filsafat pasca- Ibn Rusyd, tasawwuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Seperti dikatakan oleh Ibnu Khaldun, baik teologi (ilmu kalam) maupun tasawwuf, pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan persoalan- persoalan filsafat. Sifat aliran 'irfani sebagaimana karakter sufi, lebih mengedepankan intuitif atau yang mereka sebut dengan “hati”. Sayangnya aliran ini lebih didominasi oleh penalaran intuitif dan sangat meminimalisir penggunaan penalaran akal. Para sufi menyebut modus pengetahuan ini dengan “ma’rifah", bagi mereka, persepsi intuitif dapat langsung mencapai pengetahuan tepat di jantung objeknya dan persepsi akal terikat oleh hal-hal yang lahiriah sehingga membutuhkan perantara. Jalaluddin Rumi memperjelas perbedaan tersebut sebagai berikut; jika anda diberi pertanyaan retorik, “bisakah anda menyunting mawar dari M.A.W.A.R ?, “tidak, anda baru menyebut nama”, kata Rumi, “carilah yang empunya nama".51 Pengenalan akliah secara instan menunjukkan penyuntingan mawar menjadi M.A.W.A.R, adalah karena akal mengikat dirinya dengan simbol-simbol. Padahal mawar adalah tanaman di taman bunga, dan kata mawar hanyalah simbol-simbol. Pengetahuan akal yang mesti bergantung pada simbol-simbol itulah yang membuat intuitif jauh memiliki peran secara langsung dan tepat sasaran daripada penalaran akal. Ibn ‘Arabi adalah potret pemikiran filosofis aliran ‘irfan, Ibn ‘Arabi menggulirkan wacana “wahdatul wujud” atau kesatuan wujud, yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari sekedar manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut, yang pada dirinya tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan. Hubungan antara wujud sejati (Tuhan) dengan alam ini, digambarkan Ibn ‘Arabi, lewat “Wajah" dan “gambar wajah" yang muncul -pantulan- dari berbagai cermin. Dan karena posisi cermin, demikian juga kualitasnya, berbeda antara satu dengan lainnya, maka pantulan Wajah yang sama dan satu itupun nampak berbeda- beda. Itulah sebabnya, sekalipun Tuhan itu esa, tetapi pantulannya (alam semesta) beraneka jenis. Karena hubungan wujud di dalam cermin sangat bergantung pada wujud di luar cermin, maka jika wujud nyata di luar cermin bergeser, menjauh atau bahkan menghilang membuat pantulan-pantulan cermin atau gambar yang berada di dalam cermin menjadi bias dan menghilang. Artinya, jika Tuhan menjauh, aneka alam ini turut kehilangan eksistensinya karena pantulan gambar yang tercermin semakin melemah.52 Karena itu, bagi aliran ‘irfani, Tuhan adalah immanent sekaligus transenden. Immanent karena hadir di jantung alam ini, keberadaan alam ini tergantung pada kehadiran Tuhan di depan cermin dan karena alam pantulan “Wajah” Tuhan, maka secara eksplisit -dan sebagai pantulan- alam adalah gambaran dari wajah Tuhan yang bergantung pada kehadirannya. Tetapi, alam tidak sama dengan Tuhan, alam adalah manifestasi Tuhan, karena manifestasi adalah akibat, maka yang dimanifestasikan adalah sebab, dan tentu saja sebab akan jauh lebih real dan fundamental dari akibat. Demikian juga, sementara alam sangat tergantung sebagai manifestasi- pada Tuhan, yang dimanifestasikan, Tuhan sama sekali tidak tergantung keberadaan-Nya pada apapun selainnya. Oleh karena itu, meski para sufi beranggapan Tuhan adalah immanent (hadir di jantung alam), Tuhan juga transendent (tidak sama dengan alam atau dengan apapun selainnya). 4) Aliran Hikmah Muta'aliyyah Aliran filsafat hikmah muta'aliyyah, diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulia Shadra. Mulia Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan tiga aliran pemikiran, peripatetik, iluminasi dan 'irfani. Dari sudut epistemologis, aliran hikmah muta'aliyah tidak terlalu jauh berbeda dari aliran illuminasionis, seperti iluminasionis, filsafat hilmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif tetapi juga pada pengalaman mistik. Namun lebih dari itu, filsafat hikmah menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan harus diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi publik.53 Adapun dari aspek ontologis, aliran ini agaknya dipengaruhi dengan teori “wahdatulwujud" al-Farabi. Meskipun begitu tetap ada perbedaan signifikan diantara keduanya, itu sebabnya keduanya tidak berada dalam aliran yang sama. Wujud sendiri menurut Shadra adalah eksistensi, wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam fikiran manusia saja, tidak betul-betul berada di luar fikiran, yaitu pada benda-benda eksternal.54 Menolak pendapat Suhrawardi yang memahami wujud adalah esensi, Shadra mengatakan, “betul bahwa apa yang kita pahami tentang wujud itu memang esensi. Tetapi jika dipertanyakan mengenai wujud sejati, dan bukan hanya konsep atau pemahaman kita tentang wujud, kalau kita menggantungkan makna pada esensi saja maka yang ada hanyalah pikiran saja bukan realitas sejati. Selanjutnya, bagi Shadra, wujud sejati bukan esensi atau pemahaman tentang wujud, tetapi wujud itu sendiri. Adapun wujud seperti itu tidak perlu dibuktikan, karena ia akan terbukti dengan sendirinya (self-evident/ badihi), karena sebelum kita mengatakan bahwa seseuatu itu “ada" atau dianggap ada, kita tentu telah mengetahui dan meyakini secara intuitif bahwa sesuatu itu adalah ada.54 Misalnya jika kita ingin mengatakan bahwa sesuatu itu adalah “meja", kita tentu telah memiliki keyakinan atau pemahaman mengenai esensi meja dan telah merasa bahwa ada bentuk meja dalam fikir kita. Namun sebelum itu menjadi terlihat dan nyata, wujud itu masih terputus sampai dengan esensi dan belum memiliki realitas di dunia. Ketika meja tersebut telah nyata, atau bereksistensi, meja tersebut menjadi real. Adapun jika kita menolak keberadaannya, meskipun ia ada, ia tetap eksis dan ada. Itu sebabnya Wujud sejati ada karena ia memang ada dengan sendirinya, dan kita meskipun menolaknya, kita menyadari secara intuitif bahwa Dia ada. Shadra juga meyakini bahwa wujud hanyalah satu, adapun yang membedakan wujud yang satu dengan wujud yang lain bukanlah kewujudan mereka tetapi karena perbedaan esensi-esensi mereka. Hubungan wujud satu dengan wujud-wujud lainnya, disebut Mulia Shadra dengan tasykik al-wujud atau gradasi wujud. Yang diartikan Fajlur Rahman sebagai “ambiguitas sistematik" wujud. Menurutnya, wujud disebut “ambiguitas sistematik” karena disamping menjadi prinsip keesaan, ia juga bertindak sebagai prinsip kebhinekaan. Oleh karena itu, ketika wujud disebut satu, tetapi pada saat yang bersamaan ia juga banyak dan beraneka.55 Artinya, memahami realitas wujud dalam alam ini memerlukan lebih dari satu aspek, rasional dan intuitif. Jika intuitif melihat wujud dengan esensi, dan akal melihat dengan materi atau bahan atau yang telah terketahui, terekam maka gabungan keduanya melihat bentuk dari wujud yang telah diketahui keberadaannya, namun kedua tahap ini tidak mencapai kesempurnaan jika yang mengerti dan memahami “wujud" ini hanya satu individu dan tidak menjadi pengetahuan publik. Eksistensi ini lah yang dijelaskan Shadra, bahwa sesuatu yang wujud adalah yang eksis, yang diakui, yang dipahami oleh publik. E. FILSAFAT ISLAM, TEOLOGI (KALAM), TASAWUF; SEBUAH RELASI DIALOGIS Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, filsafat awalnya merupakan identifikasi yang diberikan untuk ilmu-ilmu rasional yang tidak mendasari diri pada wahyu. Namun, seiring dengan perkembangan intelektualitas di dunia dan di kalangan muslim, filsafat menjadi spesialisasi keilmuan tersendiri. Tetapi sesungguhnya seperti sebuah paket intelektual Islam, filsafat merupakan hasil olah disiplin keilmuan dengan pergumulannya bersama disiplin keilmuan lainnya. Oleh karena itu, dituturkan Nasr, filsafat mengalami semacam pergeseran atau bisa juga disebut perkembangan dari falsafah dan kemudian hikmah, dan sebagaimana yang telah disampaikan ilmu kalam atau teologi dan tasawwuf adalah dua bidang keilmuan Islam yang seringkali bertubrukan atau juga berseberangan dengan filsafat Islam. Ilmu kalam atau yang biasa diterjemahkan sebagai “teologi spekulatif’ merupakan salah satu cabang pengetahuan dalam Islam, makna kalam secara harfiah berarti “perkataan", “pembicaraan" atau “kata- kata”. Sebuah pernyataan yan dikemukakan Malik (w. 179 H) menjelaskan hubungan antara “pembicaraan” seperti itu dengan kata kalam dalam batas makna leksikalnya, la berkata, “Hati-hatilah terhadap bid'ah ...; mereka yang membicarakan (yatakallamuna fi) Nama-nama dan Sifat- sifat Tuhan, Firman-Nya, Pengetahuan dan Kekuasaan-Nya, dan tidak berdiam diri (yaskutun) tentang hal-hal yang tidak dibicarakan oleh para sahabat Nabi dan pengikut mereka”. Sebagai seorang ahli hukum, Malik juga menyatakan, “Aku tak suka kalam kecuali dalam hal yang melibatkan 'amal (tindakan, perbuatan), tetapi dalam kalam tentang Tuhan, diam adalah lebih baik daripada bicara.57 Ilmu ini kemudian dirumuskan Muhammad Abduh, dengan definisi sebagai berikut; “ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan- penegasan yangesensial dan yang-mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam juga berhubungan dengan para rasul dan keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang esensial dan yang benar dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan kualitas tersebut".58 Kalam dalam pengertian teknisnya melibatkan penyampaian- penyampaian bukti-bukti rasional untuk memantapkan rukun iman. Hal ini diisyaratkan alQur’an dalam banyak tempat, yang menggarap subjek- subjek teologis sekaligus mungkin bisa menjadi “ranah" filsafat. Beberapa masalah mengenai penciptaan, pengetahuan Tuhan bahkan daya-upaya manusia, serta bagaimana Tuhan turut atau tidak mempengaruhi daya manusia. Dan alQur'an mengisyaratkan keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, di ayat-ayat mutasyabihat ini-lah, kalam memainkan peranannya, dan sebenarnya seluruh upaya -ijtihad- yang dilakukan oleh teolog-teolog itu, termasuk di dalamnya penakwilan-penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, adalah sebagai sebuah usaha untuk semakin mendekatkan dan mengesakan Tuhan. Menurut Harun Nasution, ajaran inti yang terkandung dalam al-Qur’an adalah ajaran tauhid. Untuk mengesakan -menyembah- Tuhan ini kemudian al-Qur’an mensyaratkan syari'ah termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat dan haji. Namun beberapa orang merasa aktivitas syari’ah tidak cukup memuaskan dahaga spiritualitas mereka. Mereka kemudian berijtihad menggali ayat-ayat mutasyabihat yang berisi rahasia-rahasia tersembunyi, dan sebagian lain menenggelamkan diri dalam tasawwuf.59 James Pavlin menyebutkan bahwa secara umum, kontroversi terjadi di seputar pengetahuan Tuhan dan sifat-sifatNya. Topik ini melibatkan konsepkonsep seperti kalam Tuhan, yang berkaitan dengan ke-bukanmakhluk-an alQur’an, dan kehendak Tuhan yang berkaitan dengan kepercayaan pada keterciptaan dunia. Persoalan ini menjadi bahasan penting aliran mu’tazilah, filosof muslim dan aliran asy'ariyyah —sunni-, dan bagian terpelik dari kontroversi ini dituturkan Pavlin adalah metodologi yang digunakan untuk menjelaskan setiap problem.60 Pendorong utama pemakaian kalam hadir ketika pengaruh filsafat dan logika Yunani merasuk ke dalam pemikiran kaum muslim. Para mutakallim yakin bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan perlu ditafsirkan melalui argumen berdasarkan bukti- bukti logis. Menariknya, logis disini dipengaruhi oleh epistemologi dalam memandang teks, sebagian dari mereka -mu'tazilah- melandaskan modus pengetahuan mereka pada akal untuk menakwil atau menafsirkannya, dan sebagian lainnya -asy’ariyyahmelandaskan modus pengetahuan mereka pada wahyu dengan meminimalisir akal. Sayangnya, karena akal memandang dari berbagai sisi, akal juga menghasilkan konsep takwil dan tafsir ayat atau bahkan hadis dengan interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, bermunculan aliran-aliran pemikiran kalam, sesuai dengan perspektif mereka dalam memahami firmanfirman Allah. Momentum kalam semakin menggema, saat pemerintahan Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun melegitimasi salah satu dari banyak aliran kalam menjadi dasar negara. Kebijakan ini menimbulkan polemik, reaksi keras dari kaum tradisional, yakni sarjana- sarjana di bidang hadis. Dasar pemikiran mereka bahwa hadis adalah bayan al-Qur'an, tidak ada penjelasan bagi ayat-ayat antrophormofisme atau mutasyabihat, menerima ayat-ayat tersebut dengan iman. Persoalan ini secara langsung menciptakan semacam jurang perbedaan antara ahlu ra’yi yang diwakili oleh teolog dan filosof dengan ahlu al-hadis.61 Persoalan mengenai tauhid dan persepsi mengenai konsep- konsepnya menjadi semacam wacana dimana semua fihak turut berpendapat, terutama kemudian setelah wacana ini menjadi kebijakan pemerintah. Pro-kontra menjadi semakin luas dan menghasilkan beragam pemikiran cemerlang, abad ke-3 hijriyah disebut-sebut sebagai perbenturan antara ahlu ra’yi dan ahlu alhadis. Menariknya, di abad ini, pengetahuan-pengetahuan berbasis akal mencapai keemasannya begitu pula hadis. Al-Kindi muncul di abad ini, alBukhari juga menciptakan karya monumentalnya di abad ini. Artinya, sebelum filosof menyampaikan ide-ide filosofisnya, sebenarnya ilmu kalam adalah gerbang yang membuka jalan masuk filsafat, kalam juga yang menginspirasi karakter khas filsafat Islam. Teori kenabian al-Farabi dan konsep malaikatnya Ibnu Sina diperkirakan adalah upaya untuk menghasilkan ide yang dapat diterima umat saat itu. Lebih dari itu, perdebatan-perdebatan yang menarik di Syria dan lraq, antara orang-orang Muslim dan pengikut agama lain - terutama orang Kristen, Mazda dan pengikut Mani, semuanya telah mengembangkan argumenargumen secara filosofis dan teologis untuk mempertahankan ajaran keyakinan mereka- yang menyebabkan orang- orang Muslim mencari suatu bentuk pengembangan rasional dari apa yang mereka miliki, untuk melindungi dan mempertahankan Islam.62 Kalam dalam hal ini menjadi benteng pertahanan agama Islam ketika bersinggungan dengan agama lain, daya rasio adalah faktor untuk menerangkan berbagai macam pembuktian bagi agama lainnya termasuk menghindari dari kritik-kritik yang mungkin bisa saja memberi pengaruh buruk bagi perkembangan Islam. Di sisi lain, upaya-upaya teologis ini membantu memberikan interpretasi-interpretasi doktrinal Islam dalam bahasa logis. Uniknya, filsafat dan perkembangan pemikirannya relatif sejalan senada dengan perkembangan kalam. Hubungan dialogis ini mencerminkan bahwa filosof turut mengkritisi berbagai pemikiran teologis. Lihat saja, bagaimana para filosof awal, dimana mu'tazilah memiliki peran penting sebagai madzhab negara saat itu. Al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina, relatif lebih banyak mensandarkan pemikirannya pada pemikiran- pemikiran yang berkembang di Yunani. Kajian filosofis mereka secara umum masih sama atau tidak melompat terlalu jauh dari Yunani, meski tak dipungkiri mereka berhasil membuat sebuah formula emanasi yang lebih “tauhid”. Walaupun dalam beberapa hal, mu’tazilah dan filosof tidak selamanya sependapat, namun daya rasionalitas yang dominan pada mu’tazilah dinilai senada dengan filosof yang juga bersandar pada akal. Lalu, ketika mu'tazilah mulai meredup, dan asy'ariyah berkembang dengan baik dan menjadi semacam madzhab berfikir kaum muslim, arah perkembangan filosofis turut pula mendapat pengaruhnya. Perlu diketahui perbedaan mendasar diantara mu'tazilah dan asy'ariyah adalah cara pandang mereka dalam menginterpretasikan sesuatu. Mu'tazilah terlalu mengagungkan akal, adapun asy’ariyah berupaya mensistensikan antara akal dan dalil-dalil naqli. Apalagi setelah terjadi mihnah -Ahmad Ibn Hanbal- , dan reaksi yang muncul dari tradisionalis -ahlu al-hadis-. Asy’ariyah yang dimotori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, ini mencoba menempuh jalan tengah antara dua ekstremitas; yakni para rasionalis mu’tazili, yang membuat wahyu di bawah penalaran, dan para eksternalis yang berbeda pendekatannya, yang menolak peranan nalar dan kembali bersandar pada makna dzahir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara murni.63 Pesan teologi asy’ariyah dan makna spiritualnya membuat hubungan unik dengan metafisika, voluntarisme asy'ariyah atau paham Kemahakuasaan Tuhan meski di satu sisi melawan kebebasan dan realitas intelegensi manusia dan kedap terhadap sifat-sifat Tuhan, karena -walau tidak sepenuhnyamenggantungkan daya manusia kepada kehendak Tuhan. Voluntarisme menekankan kehadiran Tuhan dalam hari demi hari manusia, dari paham ini, asy'ariyah telah menempatkan apa yang sebelumnya dapat disebutkan atomisme atau okasionalisme. Paham ini menurunkan fenomena dunia dari ketiadaan dan mempertahankan bahwa dunia ditiadakan dan diciptakan kembali pada setiap saat peristiwa dengan penonjolan dominasi kehendak Ilahi di atas segala sesuatu dan semua peristiwa.64 Doktrin atomisme ini, yang berdiri melawan pandangan metafisikawan, filosof dan ilmuwan Islam atau pada problem yang sama dengan sains modern. Mereka berpandangan bahwa hanya terjadi “penyebab horisontal” dan menafikan "penyebab vertikal" dalam menjelaskan fenomena sesuatu.65 Singkatnya, maksud doktrin atomisme/ okasionalisme mengingatkan pada kita bahwa secara terus- menerus Tuhan hadir dan aktif dalam segala sesuatu, dan memberikan sugesti pada kita bahwa dunia ini hanya akan dilanda chaos, jika tanpa kehadiran Ilahi. Menghargai cara ini, atomisme asy’ariyah adalah suatu pengingat tentang kehadiran Ilahi, atau suatu pengantar pada transendensi yang mengagumkan. Atomisme asy'ariyah yang padanya ada kontinuitas dan diskontinuitas sekaligus, antara prinsip Ilahi dan manifestasi- manifestasinya serta antara immanent dan transenden, telah mengilhami Ibn ‘Arabi mengembangkan teori gnosis-nya. Teologi asy’ariyah tidak hanya menyebar dalam dunia Sunni tetapi juga berkombinasi dalam lingkungan utama Sufisme. Intinya menempatkan gnosis, yakni pengetahuan iluminatif yang diaktualisasikan dengan bantuan wahyu, melalui intelek imanen yang simbolnya adalah hati.66 Meskipun begitu, madzhab asy'ariyah “dianggap" tidak pernah menyediakan suatu pertahanan rasional tentang ajaran-ajaran keimanan dan membuat suatu iklim, dimana kebenaran adalah nyata dan kehendak Tuhan yang supreme. Nasr mengungkapkan teologi syi’ah-lah yang kemudian berupaya menyentuh ke dalam pembahasan-pembahasan rasional tersebut, Mulia Shadra adalah orang yang berhasil memberikan penjelasan yang lebih sistematis dan mengalir tentang metafisika bagaikan menuangkan madu dari sebuah guci.67 Perlu diketahui, bahwa sampai abad XI, flsafat berkembang di dunia Islam bercorak peripatetis yang mencapai puncak di tangan Ibnu Sina dan pengikutnya. Tetapi pada masa dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, terutama setelah al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah, sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam Timur, yang berada di bawah pengaruh sunni -atau jika dapat dikatakan asy’ariyah-, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam Barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibnu Rusyd. Bersamaan dengan itu, filsafat kembali menggeliat namun berada di dunia timur, di wilayah syi'ah. Tradisi intelektual Islam Timur kembali hidup tetapi hanya di wilayah-wilayah syi’ah dan diperkirakan tetap stagnan atau mati suri di wilayah-wilayah sunni.68 Perkembangan filsafat di wilayah syi’ah ini ditandai pada abad ke VI H/ XII M, dimana Suhrawardi mengkritik beberapa ajaran dasar filsafat iluminasi yang bersifat mistis (hikmah al-lsyraq) yang mempunyai banyak pengikut. Namun Suhrawardi tidak pernah meragukan hak akal untuk menyelami rahasia-rahasia keagamaan yang paling dalam. Hak ini telah dipertanyakan oleh kaum tradisionalis dan teolog-teolog konservatif, para fuqaha, banyak sufi dan masyarakat umumnya. Kedudukan Suhrawardi yang penting dalam sejarah pemikiran pasca- Avicennian terletak dalam usahanya untuk mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika dan kewajuban para pencari yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran darimanapun sumbernya: dalam filsafat Yunani, Pemikiran Persia Kuno, Neo-Platonisme Muslim dan juga Sufisme. Arus lsyraqi yang dilepas Suhrawardi terus mengalir deras khususnya di lingkungan syi’ah selama masa dinasti Syafawi di Persia. Pendiri Dinasti Syafawi, Syah Isma’il (1500-1524) yang mengakui berasal dari ordo sufi yang mengacu ke abad XIII, mengambil bagian dalam pelaksanaan sistem kepercayaan Sy'ah di seluruh Persia dalam suatu cara tertentu. Akibatnya, perhatian kepada filsafat dan teolog yang telah mengalami kemunduran selama periode Mongol, kini hidup kembali. Pada abad XIII, Nasir al-Din al-Tusi, seorang filosof peripatetis terkemuka, terpengaruh oleh beberapa pandangan sufi iluminasi, melakukan “counter attack”, dan mengembalikan "nama baik" filsafat Peripatetis lewat karyanya Syarh al-lsyarat (Syarah terhadap kitab panduan dan penelitian karya Ibnu Sina). Bersamaan denga itu, pada abad XIII juga muncul tokoh-tokoh besar di bidang spiritual yang bercorak gnosis atau ‘irfan, seperti Ibn ‘Arabi, alQunawi dan Jalai al-Din al-Rumi. Di bidang kalam, seabad sebelum kemunculan Mulia Shadra, aliran kalam sunni sedang mengembangkan dirinya, Qadi ‘Adud al-Din Iji, Sa’d al-Din Taftazani dan Sayyid Syarif al-Jurzani sampai dengan Syekh Waliullah di India. Tetapi dalam tahap tertentu, pemikiran sunni ini lebih dekat dengan konsep-konsep sufi. Berbeda dengan sunni, syi’ah mengembangkan konsep yang lebih rasional dan banyak menyandarkan rujukannya pada Ibnu Sina dan para filosof awal.69 Namun demikian, karya sistematis pertama dalam ilmu kalam syi’ah ditulis oleh Nasir al-Din Thusi pada abad ke XIII dengan judulk “Tajrid". Sejumlah syarh dan hasyiyah tentang Tajrid telah ditulis oleh beberapa pengikut Thusi sampai satu atau dua generasi sebelum Mulia Shadra. Keempat aliran pemikiran Islam di atas, filsafat Peripatetis, lluminasionis/ isyraqi, kalam sunni-syi'ah, mempengaruhi proses pembentukan tradisi pemikiran syi'ah di kerajaan Safawi dan menghasilkan penggabungan yang kemudian digagas oleh Mir Damad, yang kemudian diformulasikan dan dikembangkan oleh Mulia Shadra.70 Latar belakang intelektual Shadra ini dan perjalanan menuju teologi Syi’ah dan perkembangan pemikiran filsafat pasca Ibnu Sina dan pasca “serangan’’ al-Ghazali menunjukkan bahwa dalam beberapa hal filsafat Islam, tasawwuf dan teologi melakukan hubungan dialogis yang sangat menarik. Satu dengan lainnya memberikan semacam keterkaitan meski tidak memiliki kesamaan. Sebagaimana dituturkan Nurcholish Madjid, “gelombang Hellenisme merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan madlarat bagi kaum muslimin, dan membuat mereka terbagi antara yang menyambut dan yang menolak. Responsi mereka kepadanya bisa menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman”. IKHTISAR a Disebut dengan filsafat Islam karena para filosof ini merupakan orangorang muslim (beragama Islam) dan melandaskan pembahasannya juga pada ajaran Islam. b Tidak bisa dikatakan dengan filsafat Arab karena tidak seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab, tetap ditemukan karya-karya yang ditulis dengan bahasa Persia. c Tidak pula dapat diidentifikasi dengan filsafat dalam Islam, karena memiliki pengaruh yang kuat dengan Yunani, Hellenisme, dan aliran- aliran teologi dalam Islam sendiri d Terdapat empat aliran pemikiran filsafat: peripatetic, lluminasionis, ‘Irfani dan Hikmah Muta’aliyah e Proses perpaduan budaya dan pemikiran mempengaruhi perkembangan empat aliran ini, peripatetic misalnya dekat sekali dengan pemikiranpemikiran Yunani khususnya Aristoteles, Plato dan konsep Plotinus, adapun lluminasionis banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep atomisme asy’ariyah dan gerakan spiritualitas di dalamnya f Geliat filsafat Islam berhubungan erat dengan perkembangan teologi dan tasawwuf, beberapa aliran yang muncul belakangan menunjukkan bukti tersebut. Ibn ‘Arabi merupakan bentuk filsafat Islam yang kemudian memberikan konsep ma’rifah dan wahdat al- wujud. Konsep yang kemudian digunakan dalam maqam-maqam sufistik g. Pencapaian kebangkitan pemikiran filsafat pasca Ibnu Rusyd diperkirakan banyak digerakkan oleh wilayah-wilayah Syi'ah. Wilayah- wilayah penganut “sunni” diperkirakan mengalami stagnanisasi jika tidak dikatakan hampir menghilang h Suhrawardi al-Maqtul, Nasir al-Din Thusi dan Mulia Shadra merupakan tokoh-tokoh filosof Islam yang telah membuat harmonisasi antara berbagai pemikiran Islam, baik sunni, syi’ah bahkan sufi, dalam satu pemikiran penting kebangkitan kembali filsafat Islam. Kebangkitan ini sekaligus menjadi evolusi perjalanan keilmuan filsafat Islam sejak dari permulaan pertemuannya bersama filsafat hellenis sampai kemudian menarik gerak spiritualitas Islam dan mungkin masih terus berjalan bersama kebutuhan zaman sampai kapan pun. 1 Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), cet. I, hal. 25 2 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2006), cet. II, hal. 44 3 Haidar, Buku ..., hal. 44 4 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), hal. 3 5 Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dan Wahyu, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hal. 3 6 Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), hal.3 7 Corbin, seorang orientalis Perancis; ahli mengenai Islam dan Iran, menolak predikat Filsafat Muslim, menurutnya penamaan itu menunjukkan bahwa filsafat tersebut merupakan keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal-ihwal. Kutipan dalam Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), cet. 8, hal. 13; terdapat beberapa buku yang membahas filsafat Islam dengan menggunakan judul “Moslem Philosophy”, seperti tulisan Osmen Amin, tetapi jika anda membaca maksud yang disampaikannya, akan ditemukan bahwa yang dimaksud adalah filsafat Islam. 8 Osmen Amin, Moslem Philosophy, (Cairo, Renaissance Bookshop, 1958), cet. I, hal. 15 9 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 20-23 10 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah al-lslamiyah Manhaj wa Tathbiquhu, (Mesir, Daral-Ma’arif, 1976), hal. 23-24 11 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Press, 2005), hal. 10 12 Amsal, Tema-tema hal. 12 13 Amsal, Tema-tema ..., hal. 12 14 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Pengantar kepada Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, (Jakarta, Bulan Bintang, 1981), cet. III, hal. 113 15 Gazalba, Sistematika hal. 113-114 16 Gazalba, Sistematika ..., hal. 114-116 17 Gazalba, Sistematika hal. 116-117 18 Amsal, Tema-tema ..., hal. 14 19 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Jakarta, Mizan, 2003), hal. 22-23 20 John F. Haught, Science and Religion: from Conflict to Conversation, terj., Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik sampai Dialog, (Jakarta, Mizan, 2004), cet. I, hal. xx-xxi 21 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1987), cet. VII, hal. 171 22 Endang, Ilmu ..., hal. 172 23 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), cet. I, hal. 132 24 Dikutip dari “Pengantar Debat” dalam Moeflich Hasbullah, ed.. Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I 25 Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cidesindo bekerjasama dengan LSAF, IRIS, IIITI, 2000), cet. I, hal. 8 26 diambil dari deskripsi yang disampaikan Mulyadhi Kertanegara, lih. Mulyadhi, Gerbang hal. 140 27 Mulyadhi, Gerbang hal. 142 28 Hasbullah, ed., Gagasan ..., hal. xviii 29 Hasbullah, ed., Gagasan hal. xix 30 Ahmad Hanafi menuturkan bahwa para filosof Muslim menggunakan penafsiran dan penakwilan ayat-ayat al-Qur’an untuk menguatkan pendapatpendapatnya. Seperti penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Sina terhadap ayat 35 Surat al-Nur; Tuhan adalah cahaya langit dan bumi, Perumpamaan cahayanya bagaikan jendela, Padanya adalah lampu, Lampu berada dalam kaca (lentera), Lampu dinyalakan dari (minyak) pohon keberkatan, pohon Zaitun, Tidak ke Timur, tidak pula ke Barat, Minyak pohon itu hampir bersinar, Meskipun tidak tersentuh Api, Cahaya di atas cahaya, dengan Cahaya-Nya Allah menunjukkan orang yang disukai-Nya, Allah membuat contoh- contoh kiasan untuk manusia, Allah maha mengetahui sesuatu.', lih. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 55-56 11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 256-257 12 Muhammad ‘Utsman Najati, al-Dirasat al-Nafsiyyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 82 11 Nasr et.al, History hal. 44 14 Nasr et.al, History ..., hal. 44 " Nasr et.al, History ..., hal. 46 Nasr et.al, History ..., hal. 48 " Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 32 '* Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44 1 ’ Amsal, Tema-tema ..., lih. Daftar Isi 4(1 Mulyadhi, Gerbang .... lih. Daftar Isi 41 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah ..., lih. Daftar Isi 42 Ibrahim Madkoer, Fi al-Falsafah ..., hal. 100-103 43 A. Epping O.F.M., et.al, Filsafat Ensie Eerste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedie, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 158 44 Mulyadhi, Gerbang hal. 26-27 45 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 27-30 46 Mulyadhi, Gerbang hal. 30-31 47 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 44-45 48 Dikutip dari kata pengantar penerbitan, Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, terj., Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung, Mizan, 2001), hal. Ix-xi 49 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 47 50 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 57-58 51 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 62-64 52 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 69-70 53 Mulyadhi, Gerbang hal. 71 54 Mulyadhi, Gerbang .... hal. 72 35 Mulyadhi, Gerbang ..., hal. 74 56 Nasr et.al, History ..., hal.85 57 Nasr et.al, History ..., hal.92 Nasr et.al, History .... hal.127 58 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (ttp, Dar alFikr al-‘Arabiy, tth.) hal. 316-319 59 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, (Jakarta, UI Press, 1985), cet. v, hal. 27-31 60 ‘Ali Sami al-Nasyar, Nasy'atu al-Fikr al-Falsafifi al-Islam, Juz. 1, (Kairo, Dar al-Ma’arif, 1977), hal. 54 61 Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Spirituality: Manifestations, terj., Islam Intelektual Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, (Depok, Perennial Press, 1991), hal. 18 62 Pendapat ini ditegaskan oleh Nasr dalam World Spirituality: Manifestations, terj., Islam Intelektual Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, hal. 27, tetapi menurut Harun Nasution, asy’ariyah yang dibahasakan Harun dengan ahli sunnah dan jama’ah yaitu golongan yang berpegang pada Sunnah lagi merupakan golongan mayoritas dan sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah. Lebih jauh, asy’ariyah atau ahli Sunnah dan Jama’ah menurut Harun sangat meminimalisir penafsiran- penafsiran rasional. Lih. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986), cet.v, hal. 64 63 Nasr dan Chitick, World Spirituality ..., hal. 36 64 Nasr dan Chitick, World Spirituality hal. 36 65 Nasr dan Chitick, World Spirituality hal. 37-38 66 Nasr dan Chitick, World Spirituality hal. 38-40 67 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 171 68 Hasyimsyah, Filsafat hal. 172 69 Hasyimsyah, Filsafat hal. 173 BAB 3 PARA FILOSOF MUSLIM AWAL Harus diakui, ada upaya-upaya yang genuine dari para filosof Islam untuk mencermati penggunaan perangkat konseptual pemikiran Yunani pada isu-isu Islam, dan dalam kontak antar gerakan cultural ini terbukti dihasilkan banyak sekali karya yang menarik dan perseptif (Oliver Leaman)1 'K ami sebut para filosof muslim awal, karena mereka adalah orang- orang pertama yang melapangkan jalan filsafat dalam tradisi intelektual Islam. Gerakan pemikiran yang disampaikan para filosof awal ini sangat jelas dipengaruhi oleh pemikiran Yunani dan melahirkan tradisi peripatetik dalam pemikiran Islam. Penting digarisbawahi bahwa tradisi peripatetic hanyalah salah satu tipe filsafat Islam, dan tipe ini dikecam oleh sejumlah ulama dan kaum sufi. Ide-ide dari tradisi peripatic juga yang mendorong al-Ghazali membid'ahkan sekaligus mengharamkan beberapa diantaranya. Benang merah epistemologis pemikiran filosof ini adalah emanasi Plotinus dan dominasi akal dalam ide-ide sensitifnya. Kekekalan dan kebaharuan secara utuh ditujukan untuk menempatkan Tuhan yang transenden tanpa immanen. Meski banyak mendasarkan pada hasil olah fikir para pemikir Yunani, namun sesungguhnya gagasan-gagasan Yunani itu diperdebatkan dengan tema-tema Islam. Disinilah letak kekuatan peripatetic filsafat Islam, yakni dengan menggunakan perangkat konseptual pemikiran Yunani pada isu-isu Islam. Gerakan cultural ini bukan hanya menghapus image bahwa filsafat Islam semata-mata duplikasi filsafat Yunani tetapi juga mengukuhkan kebenaran bahwa filsafat dalam tradisi pemikiran muslim adalah ilmu yang sama diolah, diperdebatkan dan diperbaharui dengan kepercayaan keislaman yang mereka anut. Disinilah, hubungan-hubungan filsafat terjalin dengan teologi, syari‘ah dan 'aqidah. Termasuk di dalamnya menghubungkan ide-ide sensitive teologis dengan ilmu-ilmu kealaman khususnya fisika. Ibnu Sina bahkan menyambungkan ide-ide metafisika Jiwa-nya dengan ilmu kedokteran sebagai bagian dari terapi pengobatan. Al-Farabi menghubungkannya dengan politik Negara, sebagai landasan pembentukan Negara berperadaban. Para filosof muslim awal ini dimulai dari al-Kindi dan ditutup oleh Ibnu Sina. Seluruh filosof awal ini adalah filosof peripatik Islam, yang kemudian dikritik dalam beberapa hal oleh al-Ghazali. Ibnu Rusyd atau Khwajah Nashir al-Din Thusi yang disebut-sebut sebagai penganut peripatetic tidak dikategorikan bersama dalam pembahasan. Mengingat secara kronologis mereka bukan termasuk filosof muslim pertama, selain itu isu-isu yang diutarakan keduanya telah memasuki babak baru. Babak inilah yang kami sebut dengan pemikiran pasca kritik al-Ghazali. Babak dimana dominasi rasio dalam epistemology telah berbaur dengan intuisi sebagai alat epistemologis pencarian kebenaran. A. AL-KINDI Al-Kindi adalah seorang filosof muslim keturunan Arab, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub ibn lshaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Sebutan al-Kindi dinisbahkan pada Kindah, kabilah terkemuka pra-lslam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad ibn Abi Waqash dalam peperangan antara kaum muslimin dengan bangsa Persia di Irak. Sedangkan ayahnya lshaq ibn al-Shabbah adalah seorang gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al- Rasyid (786-809 M).2 Tahun kelahiran dan wafat al-Kindi memang tidak diketahui pasti, namun diperkirakan ia lahir pada tahun 185 H/ 801 M, hidup semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah (al-Amin, 809-813 M; al- Ma’mun, 813-833 M; alMu’tashim, 833-842 M; al-Watsiq, 842-847 M; dan al-Mutawakkil, 847-861 M).3 Selama kurun waktu kehidupannya tersebut, al-Kindi hidup di tengah kejayaan keilmuan Islam, masa keemasan dinasti Abbasiyah, perkembangan intelektual yang sangat memukau khususnya faham mu’tazilah. Persinggungannya dengan dunia ilmiah di pusat ilmu pengetahuan Islam di Baghdad, dimulai saat ia melamar sebagai penulis kaligrafi di akademi paling popular saat itu, House of Wisdom (Bayt al- Hikmah). Bersama alKhawarizmi dan Banu Musa bersaudara, ia ditugaskani menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab oleh Khalifah al-Makmun. Tugasnya, adalah sebagai seorang editor, dimana ia mengedit dan mengoreksi hasil-hasil terjemahan berbahasa Arab.4 Dari tugasnya ini, alKindi kemudian mengenal pemikiran-pemikiran filosof Yunani, al-Kindi sangat mengagumi dan terilhami oleh pemikiran Plato dan Aristoteles. Dua nama yang sering disinggungnya dalam penulisan filsafatnya. Dibawah nama kedua filosof ini karya-karya pseudoepigrafik lainnya menjadi dikenal, seperti penjelasan Porphyry atas satu bagian Enneads, karya Plotinus, yang secara keliru diklaim al-Kindi sebagai Theology-nya Aristoteles. Al-Kindi umumnya diakui sebagai filosof muslim pertama, namun ini tidak menunjukkan bahwa aktivitas keilmuan filsafat baru dimulai oleh al-Kindi atau dinyatakan bahwa tidak ada aktivitas keilmuan filosofis sebelum alKindi. Sebaliknya, beberapa pengetahuan filsafat, meskipun masih sangat global telah mempengaruhi ilmu kalam Mu'tazilah awal. Beberapa tokoh Mu’tazilah seperti Abu al-Hudzail al- Allaf dan al-Nazhzham telah membangun teologi yang didasarkan pada unsur-unsur filsafat Yunani. AlNazhzham misalnya, meminjam dari para filosof Yunani gagasan mengenai materi yang dapat dibagi-bagi secara tak terhingga. Pengaruh filsafat Yunani terhadap ilmu kalam Mu’tazilah awal juga dibenarkan Harun Nasution, penjelajahan Islam ke luar wilayah Arab dan akulturasinya bersama beragam pemikiran, budaya dan agama, menurut Harun telah melahirkan beragam sikap dari berbagai agama dan kepercayaan di luar Islam yang berupaya melemahkan atau mempertanyakan ajaran Islam dan ini kemudian membuat umat diharuskan menjawab tantangan tersebut dengan jawaban-jawaban filosofis yang sesuai dengan akal. Sehingga argumen- argumen berdasarkan filsafat menjadi sebuah kebutuhan untuk dipelajari dan dipahami oleh para teolog. Akan tetapi, pengaruh filsafat pada teolog ini tetap agak marjinal, karena para teolog ini tidak mengembangkan sebuah sistem ensiklopedis filsafat, sebab hal ini di luar bidang minat mereka. Filsafat digunakan para teolog sebagai alat untuk melakukan kajian metodologis terhadap ajaran-ajaran Islam, dalam hal ini penggunaan dan pelegitimasian akal sebagai alat untuk memahami ajaran Islam. Dan al-Kindi merupakan orang yang mengupayakan dengan keras upaya ini, al-Kindi berupaya menjelaskan filsafat-filsafat Yunani, kaitan dan hubungannya dengan agama, dan bagaimana menggunakan filsafat dalam kebutuhan Islam. Perlu diketahui, ketika pemikiran Yunani mulai merebak ke dunia Islam pada masa al-Rasyid dan al-Makmun melalui penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh orang Nasrani Suryani, pemikiran baru ini menjadi tantangan besar bagi pemikiran Arab yang saat itu tengah menyusun identitasnya. Islam, Yahudi dan Nasrani berdiri di atas wahyu dan menuntut keimanan mutlak serta penyerahan sepenuhnya pada Tuhan, sedangkanYunani menempatkan akal sebagai institusi tertinggi pencari kebenaran. Yunani menawarkan konsep “filosofis” yang didasarkan atas logika.5 Ide-ide yang jelas menjadi tantangan sendiri bagi Islam dan ulamaulama di dalamnya, terjadi perdebatan keras antara ulama dan pemikirpemikir Islam hingga melahirkan teolog-teolog dalam Islam. Problema-problema ini kemudian coba dijembatani oleh al- Kindi. Al-Kindi sendiri merupakan seorang ahli ilmu-ilmu kealaman sekaligus memiliki pengetahuan keislaman yang mumpuni. Al-Kindi menguasai filsafat, kimia, kedokteran, ilmu falak, ilmu pasti, geometri, ilmu agama dan logika. AlKindi lahir dan besar di Kufah, kota yang disebut-sebut sebagai pusat kebudayaan Islam yang lebih cenderung melandaskan studinya secara aqliah; Abu Hanifah, Imam madzhab fiqh yang dominan menggunakan akal dalam kaidah fiqhnya juga berasal dari Kufah.6 Lingkungan intelektual di Kufah sangat mempengaruhi paradigma pemikiran al-Kindi, meski telah mempelajari ilmu-ilmu kalam, fiqh dan hadis, al-Kindi cenderung tertarik pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ketertarikannya mendorong dirinya untuk hijrah ke Baghdad pusat ilmu pengetahuan dan filsafat saat itu. Di Baghdad ia berkenalan dengan al-Makmun, al-Mu'tashim dan putra alMu’tashim; Ahmad. la juga diangkat sebagai guru pribadi Ahmad ibn alMu'tashim. Dengan kepercayaan dan dukungan kekuasaan, al-Kindi dapat dengan mudah mengembangkan pemikirannya. Patronase seperti ini sangat berperan dalam dukungannya terhadap kebutuhan finansial, pendirian lembaga pendidikan bahkan perpustakaan. Namun, ketika Abbasiyah dipimpin oleh al-Mutawakkil, khalifah yang menghapus azas mu’tazilah sebagai azas Negara, al-Kindi dikucilkan. Tuduhan bahwa ia seorang mu’tazili dan telah menyimpang dari ajaran Islam membuat perpustakaannya disegel dan disita.7 Ibn al-Nadim mencatat sekitar 260 judul karya al-Kindi, suatu bibliografi ilmiah yang sangat besar jumlahnya, meskipun banyak diantaranya adalah risalah-risalah kecil. Menurut konstruksi Ibn Nadim, risalah-risalah al-Kindi meliputi seluruh ensiklopedi ilmu (sains) klasik seperti filsafat, logika, aritmetika, musik, astronomi, geometri, kosmologi, kedokteran, astrologi dan sebagainya. Sayangnya, hanya sebagian kecil saja yang diketemukan hingga saat ini, bahkan hanya sepuluh persen saja yang telah diteliti dan diedit.8 Banyak kemungkinan yang menyebabkan hilangnya tulisan al-Kindi, baik dari penyegelan yang dilakukan oleh al-Mutawakkil sampai dengan serangan Hulagu Khan. Usahanya untuk mengkaji seluruh spektrum ensiklopedis ilmu, menurut Felix Klein-Franke, mengindikasikan al-Kindi sebagai pengikut Aristoteles yang sebenarnya. Bahkan, dalam hal kecenderungan kukuhnya pada matematika ia melampaui Aristoteles. Matematika bagi al-Kindi adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Artinya untuk menjadi seorang ahli filsafat seseorang harus menguasai ilmu matematika, la menulis sebuah risalah berjudul That Philosophy Can not be Acqueired except with a Knowledge of Mathematics. Kegemarannya pada matematika juga ditandaskan dalam risalahnya Risalah fi Hudud al-Asyya’: sebagian besar definisi diungkapkan dengan cara ganda: secara fisis (min jihat al-thab’i) dan secara matematis (min jihat al-ta’lim). Dengan matematis juga, al-Kindi mengelaborasi sistem untuk menghitung kemanjuran obat. Ini diperlukan karena para dokter (tabib) telah beralih dari obat sederhana pada obat yang lebih kompleks. Sehingga untuk mencapai kemanjuran yang diinginkan, ahli farmasi harus memperhitungkan proporsi yang tepat racikan bahan-bahan obat. Al-Kindi membagi racikan tersebut berdasarkan daya dan khasiat penyembuhannya, la juga menulis banyak risalah dan pegangan mengenai masalah pengobatan dan farmasi.9 Dalam salah satu risalah medisnya, al-Kindi mengaitkan kedokteran dengan matematika al-Kindi menjelaskan bagaimana dosis mempengaruhi pengobatan, dengan memperhitungkan khasiat obat untuk masa kritis sampai dengan masa penyembuhan, la meyakini mewabahnya penyakit-penyakit akut dapat dipengaruhi oleh peredaran bulan di setiap bulannya.10 Al-Kindi juga melakukan kajian matematis terhadap al-Qur’an, ia menulis risalah On the Duration of the Reign of the Arabs dimana ia melakukan perhitungan pada huruf-huruf yang menjadi pembuka dua puluh sembilan surat al-Qur’an. Huruf-huruf tersebut membentuk empat belas kata enigmatis yang memuat empat belas huruf dari dua puluh delapan huruf alphabet Arab. Dengan menambahkan nilai bilangan dari setiap huruf, menghitung hanya sekali huruf-huruf yang diulang beberapa kali, al-Kindi menemukan kemungkinankemungkinan tertentu, misalnya saja kemungkinan jatuhnya kekuatan Bangsa Arab yang ditetapkannya di tahun 656 H. Kemungkinan tersebut kebetulan terbukti ketika kekuasaan bangsa Arab hilang diserang bangsa Mongol pada 656 H/ 1258 M Baghdad ditaklukkan dan "hegemoni Arab lenyap”. Yang sangat menarik juga dari al-Kindi, ia adalah seorang kriptoanalisis yakni ilmuwan yang ahli dalam memecahkan chiperteks (teks rahasia yang huruf-hurufnya dirubah menjadi sandi-sandi tertentu) menjadi plainteks (teks yang sebenarnya) tanpa mengetahui kunci{rumus) yang digunakan. Seluruh analisis dan rumus-rumusnya ini dijabarkannya dalam sebuah makalah, Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. Teknik al-Kindi ini kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia dan menggantikan Symbol dengan huruf. alam abstrak karenanya tidak mengalami perubahan dan kemusnahan.12 Alam atas merupakan tempat bersemayam definisi akal dan ruh diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda), materi (hayula) dan bentuk (.shurah). Pendapatnya yang dekat dengan pemikiran Yunani Klasik kemudian diklaim pemikir-pemikir belakangan sebagai pendapat beraliran peripatetic.13 Ciri-ciri peripatetic al-Kindi adalah pemahamannya terhadap dua alam, dan ini mengindikasikan ajaran hylomorfis. Dimana al-Kindi memahami alam atas sebagai wujud-wujud spiritual yang tidak diciptakan dan alam bawah sebagai wujud-wujud temporal yang diciptakan. Kedua alam tersebut, atas dan bawah, pada mulanya berasal dari sumber yang satu dan sama, yang merupakan sebab bersama dari segala sesuatu. Dari sumber paling awal inilah, yakni Tuhan, segala sesuatu kemudian berlangsung secara terus menerus. Tuhan didefinisikan al-Kindi dengan “sebab pertama” atau “agen pertama"nya Plotinus, yang kemudian diperjelas al-Kindi dengan istilah “Yang Esa adalah sebab dari segala sebab". Sebuah definisi yang keliru dinisbahkannya pada Aristoteles, padahal sesungguhnya adalah definisi Plotinus.14 Tuhan adalah Lebih lanjut, Tuhan dituturkan al- Kindi adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Tuhan ada dengan sendirinya tanpa perlu sebab-sebab tertentu.15 Dengan kajian matematis, yakni ilmu bilangan, al-Kindi menerangkan perbedaan yang signifikan antara alam dan Tuhan. Tiap- tiap benda di alam ini mempunyai dua hakikat, hakikat sebagai juz’iyyah (particular) atau bagian dari sesuatu dan hakikat sebagai kultiyah (universal) yang melingkupi bagian-bagian particular. Dan Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti juz’iyyah dan kuiliyah. Tidak juz’iyyah karena Tuhan bukan bagian dari sesuatu, tidak termasuk dalam benda-benda yang ada di alam tetapi Tuhan juga tidak kuiliyah, karena Tuhan bukan genus atau species yang membawahi spesies- spesies di bawah-Nya. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan dibahasakan al-Kindi sebagai al-Haq al-Awwal dan al-Haq ai-Wahid, la semata-mata satu, hanya la-lah yang satu dan selain dari Tuhan mengandung arti yang banyak.16 Artinya, seluruh yang ada di alam semesta merupakan juz’i dan kulli, sedangkan Tuhan adalah tunggal sehingga tidak dapat dipecah-pecah lagi seperti hal-hal kulti yang dapat dibagi menjadi lebih tunggal dan la tidak terlihat karena la tidak tersusun dari hal-hal juz’i dan tak ada susunan bagiNya, la terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena la adalah penyebab gerak segala yang dapat dilihat, dirasa dan diraba oleh panca indera. Keberadaan alam ini semua menurut al-Kindi adalah karena diciptakan oleh Tuhan secara ex-nihillo (ketiadaan). Alam ini bukan bagian dari Tuhan, atau sesuatu yang “menyusun" menjadi Tuhan. Lebih lanjut, Tuhan tidak hanya menciptakan tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya dengan perangkatperangkat atau aturan-aturan tertentu, serta menjadikan sebagiannya menjadi sebab bagian yang lain. Sebab- sebab dalam alam dibagi al-Kindi menjadi sebab menjadikan dan sebab merusak. Dalam al-lbanah, al-Kindi menyebutkan sebab gerak apabila terhimpun empat sebab (illat) yaitu sebab material (al-unshuriyah), sebab bentuk (al-shuriyah), sebab pembuat (alfa’ilah) dan sebab tujuan (al- tammiyah). Untuk menggambarkan kerja empat illat tersebut, diilustrasikan sebagai berikut; meja tulis, bahannya berupa papan dan merupakan sebab material dan bentuknya empat persegi adalah sebab bentuk dan tukang yang mengerjakannya disebut sebab pembuat sedangkan kedudukannya sebagai tempat menulis adalah sebab tujuan dan manfaat.17 Menolak ide Aristoteles yang menyebutkan Tuhan adalah “Penyebab Pertama segala hal yang ada di alam ini’’, al-Kindi menyebutkan Tuhan adalah Sang Pencipta. Karena Tuhan adalah Sang Pencipta, wujud pertama yang tidak diciptakan, maka Tuhan tentu haruslah maha hebat. Tuhan tentu bukan penyebab alam ini, karena wujud yang bersebab berkonsekuensi disebabkan, sedangkan Tuhan bukan wujud yang disebabkan. Itu sebabnya “sebab-sebab gerak’’ adalah hubungan yang terjadi antara ciptaan Allah dengan ciptaan lainnya. Antara yang juz’i dengan kulli atau antara kulli dengan juz’i, Tuhan hanya menghadirkan perangkat dan aturan yang terikat dengan setiap hal yang juz’i dan kulli, seperti misalnya Api yang mempunyai sifat panas, batu yang bersifat keras dsb. Dalih-dalih al-Kindi tentang kemaujudan Tuhan bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab dan akibat. Segala yang maujud pasti mempunyai sebab yang memaujudkannya, rangkaian sebab itu terbatas, akibatnya Tuhan sebagai Pencipta jelas harus merupakan sebab yang tidak disebabkan oleh apapun juga. Jika Aristoteles menggambarkan Penyebab Pertama adalah bendawi, formal, efisien dan final, al-Kindi mengklaimnya dengan Sebab Efisien. Sebagai Sebab Efisien, Tuhan adalan pencipta dari ketiadaan, yang menyebabkan dari sesuatu yang tidak ada, sedangkan dalam teori Aristoteles, Tuhan sebagai Penyebab pertama yang menciptakan karena keberadaan unsur-unsur yang hendak diciptakan,18 itu sebabnya, Aristoteles beranggapan materi kekal sebagaimana kekekalan Tuhan. Gagasan-gagasan al-Kindi mengenai Tuhan diduga adalah bagian dari upaya al-Kindi mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan-gagasan filosofis Yunani. Gagasan dasar Islam tentang Tuhan dan keesaan yang termaktub dalam surat al-lkhlas, dipadukan dengan konsep sebab-sebab (illaf) yang diinspirasi dari konsep "Sebab Pertama’’nya Aristoteles. Selain itu, gagasan al-Kindi diduga terpengaruh dengan perdebatan teologis yang terjadi saat itu, yakni mengenai kekekalan (qadim) dan kebaharuan (huduts). Pada masa al-Makmun, terdapat dua kubu besar, tradisionalis yang didefinisi dengan ahlu al-hadis dan rasionalis atau ahlu ra’yi atau mu’tazilah. Ketika mu’tazilah disahkan al-Makmun menjadi dasar Negara sekaligus melegitimasi kekuatan akal sebagai regulasi ilmu pengetahuan, kaum tradisionalis melancarkan ketidaksetujuannya, sayangnya ketidaksetujuan ini ditanggapi dengan semena-mena. Ibn Hanbal adalah tragedi mihnah akibat perbedaan pendapat tersebut. Perbedaan yang menyeret Ibn Hanbal tersebut adalah konsep kekekalan dan kebaharuan yang kemudian berimplikasi pada konsep makhluk dan khalik.19 Al-Kindi juga terlibat dalam pemikiran mengenai baharu (huduts) dan kekal (qidam), alam dan segala hal di dalamnya menurut al-Kindi adalah baharu. Dalil baharu alam diindikasi dari keterbatasan waktu dan gerak, keterbatasan tersebut merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu (huduts). Namun kemudian al-Kindi mempertanyakan, apakah realitas dunia ini menjadi sebab wujud dirinya?, ini jelas tidak mungkin karena keberadaan sesuatu atau kehadiran realitas pasti ada sebab yang mendahuluinya, atau pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Penyebab segala realitas jelas adalah Tuhan, tetapi bagaimana realitas tersebut menjadi riil, mengelaborasi diri menjadi eksistensi, tentu dibutuhkan gerak dan waktu atau zaman yang menjadi wadah elaborasi dirinya. Benda-benda fisik yang terdiri dari materi dan bentuk pasti bergerak di dalam ruang dan waktu. Materi, bentuk, ruang dan waktu adalah unsur utama dari setiap fisik, maka keberadaan gerak sama dengan keberadaan jism. Adapun zaman atau waktu didefinisi al-Kindi sebagai ukuran gerak maka waktu ada bersama dengan gerak, sehingga jism (kebendaan), gerak dan zaman (waktu) tidak dapat saling mendahului dalam alam wujud, semuanya ada dalam kebersamaan. Semuanya ada secara bersamaan, oleh karena itu al-Kindi berpendapat bahwa dunia ini bersifat baharu (huduts). Dan dunia yang huduts ini, berada dan menjadi ada karena keberadaan penciptanya (Tuhan), pencipta ini jelas kekal dan mustahil dunia ini tak terbatas dan bersifat abadi.20 Dipengaruhi oleh ide-ide filosof Yunani, al-Kindi berupaya melogikakan proses penciptaan melalui teori emanasi atau pemancaran atau pelimpahan, teori yang kemudian dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina. Yang menarik dari emanasi al-Kindi adalah pelimpahan dari Tuhan menjadi dua alam tanpa proses apapun, tanpa proses pemikiran yang memunculkan akal sampai kesepuluh seperti yang dicetuskan al-Farabi. Pelimpahan tanpa embel-embel proses apapun menunjukkan bahwa al-Kindi tetap meyakini bahwa alam serta merta diciptakan Tuhan. Konsep emanasi yang dijelaskan al-Kindi dalam Risalah fi Hudud al- Asyya’ dan Fi al-Falsafah al-Ula sebenarnya hendak ditujukan al-Kindi untuk menunjukkan keselarasan antara agama dan filsafat. Dimana alam yang pada mulanya beremanasi dari sebab pertama, bergantung pada dan berkaitan dengan al-Haqq, tetapi pada saat yang sama terpisah dari-Nya karena alam dibatasi ruang dan waktu. Disini, al-Kindi berusaha memurnikan keesaan Tuhan dengan mengkontraskan keMahaTunggalan Tuhan dengan kemajemukan dunia yang diciptakan. Pengetahuan dan kepastian intelektual tentang Tuhan menurut al-Kindi hanya mampu digambarkan Tuhan dalam terma-terma negative. Karena filosof tidak dapat membuat pernyataan positif apa pun mengenai Tuhan. Apa yang dapat ditegaskan hanyalah dalam bentuk negatif, seperti misalnya bahwa Tuhan bukanlah unsur bukan genus, bukan species, bukan pribadi (individual), bukan bagian dari sesuatu, bukan sifat dan bukan aksiden yang mungkin. Oleh karena itu, dalam bahasa Felix- Franke, filsafat al-Kindi mengantarkan orang kepada teologi negatif, yaitu Tuhan digambarkan dalam batas-batas negatif. Dalam hal ini al- Kindi mengikuti Plotinus yang mengajarkan “kita menyatakan apa yang 'tidak' yang 'ya’ tidak kita nyatakan".21 Inti kehidupan manusia dikatakan al-Kindi adalah pengetahuar terhadap alHaqq (Tuhan), pengetahuan terhadap al-Haqq ini diistilahkar sebagai “filsafat pertama". Pengetahuan mengenai Tuhan adalah sebuah upaya yang mesti muncul atau hadir sebelum mengelaborasi ilmu di alarr ini dan melahirkan filsafat-filsafat lainnya. Kemutlakan mengetahui tentanc al-Haqq, disebabkan al-Haqq (Tuhan) adalah satu-satunya sebab, dasai sekaligus inti dari keberadaan alam semesta. Tujuan penulisan risalah ini, konon untuk menunjukkan keesaan Tuhan. Banyak yang berpendapal ide “filsafat pertama” ditujukan untuk mendukung paham Mu’tazilah, int doktrin Mu’tazilah yang berfokus pada keesaan Tuhan dengar membedakan posisiNya dari hal-hal yang berkaitan dengan alam ini.2' Tuhan dan alam ini bagi al-Kindi memiliki keterkaitan yang kuat, keterkaitan tersebut terbangun dari kedudukan Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaannya tetapi juga terpisah karena Tuhan sebagai pencipta tidak terbatas dan alam dibatasi ruang dan waktu. Dalam konsep perbedaan ini, al-Kindi hendak menyuguhkan Keesaan Sebab Pertama dikontraskan dengan kemajemukan (pluralitas) dunia yang diciptakan, dimana kemajukan tersebut dieksistensi berdasarkan lima predikat; genus, species, diferensia, sifat dan aksiden.23 Itu sebabnya al-Kindi menolak pensifatan terhadap Tuhan, karena keberadaan sifal bagi Tuhan menunjukkan persamaan diri Tuhan dengan ciptaan-Nya Dalam hal pensifatan ini, al-Kindi dekat sekali dengan ajaran mu’tazilah, dimana mu’tazilah juga menolak sifat-sifat Tuhan, karena sifat- sifat tersebut dapat mengindikasikan zat Tuhan yang banyak. Meski terdapat kesamaan, pendekatan antara al-Kindi dan mu’tazilah sangat berbeda, kaum mu’tazilah dengan berpijak pada akal mencoba menafsirkan ke-Mahaesa-an Allah dengan memperjelas hubungan antara zat dan sifat-sifatNya. Menurut mu’tazilah, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula, sehingga sifat Tuhan pun mesti bersifat qadim. Artinya, sifat-sifat Tuhan itu harus tetap dan tidak berubah-ubah, berbeda-beda. Adapun penyelesaian mu’tazilah terhadap penyebutan terhadap Tuhan seperti di dalam al-Qur’an, dijelaskan dengan konsep pengetahuan. Tuhan betul mengetahui (analisis mengenai sifat mengetahui dari Tuhan) tapi bukan dengan sifat, mengetahuinya Tuhan dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya.24 Adapun al-Kindi mencoba menjelaskan hubungan antara Tuhan, sifat dan zat ini melalui alur logika. Pertama, al-Kindi mencoba mengkonsentrasikan perhatiannya pada hal dapat disifatinya zat Allah, pensifatan terhadap Tuhan secara tidak langsung membuat kita mencoba mendefinisikan Tuhan sebagaimana ciptaannya dan rentan terhadap pendefinisian Tuhan dengan menggunakan klasifikasi jenis. Lebih jauh, dalam risalahnya On Allah’s Unity and the Definiteness of the Body of the Universe, al-Kindi menegaskan enam proposisi utama yang secara rasional dapat dipahami “tanpa mediasi” (.ghairmutawassith). Dengan tegas, al-Kindi menyebut proposisi-proposisi tersebut sebagai proposisi yang secara silogistis tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan middle term. Proporsi-proporsi jenis ini membawa pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan, yaitu pengetahuan yang dicapai secara a priori. Misalnya, mengenai proposisi yang membawa kepada pengetahuan primer, al-Kindi menegaskan bahwa jika seseorang menyatukan dua substansi material yang terbatas, maka substansi material yang baru juga terbatas. Namun, tidak mungkin memisahkan bagian tertentu yang terbatas dari suatu substansi yang tidak terbatas.26 Untuk lebih memperjelas system silogisme ini, kita dapat mengambil proposisi yang sebelumnya juga telah dijelaskan al-Kindi. Yakni hubungan antara materi, gerak dan waktu, hubungan gerak dan waktu yang terbatas menunjukkan bahwa materi yang terikat dengan gerak dan waktu tersebut juga terbatas. Namun seluruh yang terbatas mi jelas takkan terpisahkan dari yang tak terbatas atau Tuhan, karena yang terbatas (alam) memiliki hubungan penciptaan dengan yang tak terbatas tersebut yakni Tuhan. Logika berfikir ini turut mempengaruhi asumsinya mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya. Karena pensifatan terhadap Tuhan menunjukkan kedudukannya yang sama rata dengan ciptaannya. Dan menghilangkan hubungan penciptaan antara yang terbatas dan yang tidak terbatas. Lagipula Tuhan tidak perlu disifati karena la telah dikenali melalui pengetahuan pertama (filsafat pertama) dengan menunjukkan terma- terma negative yang mengukuhkan perbedaannya dari ciptaanNya.26 Selain ide keesaan Tuhan dan terbebasnya pensifatan terhadap Tuhan, Madjid Fakhry menginformasikan ide-ide al-Kindi yang juga diduga memiliki kedekatan makna, kedekatan prosedural juga kedekatan pemikiran. Misalnya saja pendapat al-Kindi mengenai penciptaan dunia secara ex nihilo adalah pengaruh dari prinsip-prinsip teologis mu’tazilah yang bertujuan sebagai pembelaan Islam dalam menghadapi serangan- serangan kepercayaan lain, baik Materialis, Manichaenis atau Agnostik. Al-Kindi juga mempertahankan ajaran Islam seperti kebangkitan jasmani, mu’jizat, keabsahan wahyu Nabi serta kemunculan dan kehancuran dunia oleh Tuhan.27 Al-Kindi meramu segala sisi keilmuan di zamannya, ia menjelaskan argument-argumen para filosof Yunani. Tapi ia juga menerima teologi mu‘tazilah dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an. Keseluruhannya diramu dalam bahasa filosofis dengan menganalogkan setiap proses baik penciptaan, kekekalan dan kebangkitan jasmani dengan logika dan rasionalitas filosofis. Karya al-Kindi menjadi rujukan filosof-filosof sesudahnya, dalam karyanya akan ditemukan ide-ide Proclus, John Philoponus (arab: Yahya al-Nahwi) termasuk mengutip dari Metaphysics Aristoteles, juga Physics, DeAnima dan Categoriae28 Jejak-jejak ini membuktikan bahwa betapa al-Kindi berupaya keras melapangkan jalan filsafat untuk kemudian diterima dalam Islam. Al-Kindi tidak hanya meleburkan diri pada filsafat Yunani tapi juga mengelaborasi teologi, menafsirkan dan menakwilkan setiap pemikiran dan pendapat demi menunjukkan keesaan Tuhan yang sesungguhnya. Menurut al-Kindi, kebenaran filosof tidak berbeda dari kebenaran kaum muslim yang beriman. Filsafat atau Teologi mengabdi pada tujuan yang sama yakni pengetahuan tentang yang Maha Benar (al-Haqq). 2. Ruh, Akal dan Materi Penjelasan al-Kindi mengenai jiwa, ruh dan akal diduga terkacaukan dengan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Keterkacauan itu ditegaskan Ahmad Fuad el-Ehwani dikarenakan al-Kindi mertevisi bagian-bagian yang diterjemahkan dari Enneads-nya Plotinus, sebuah buku yang secara salah dinisbahkan pada Aristoteles. Al-Kindi mengira ia meminjam ajaran Plotinus tentang ruh dan mengikuti pola Aristoteles dalam berteori tentang akal, padahal sesungguhnya gagasan yang dipaparkan itu dipinjam dari Enneads.29 Jiwa digambarkan al-Kindi sebagai kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki kehidupan energik atau kesempurnaan fisik alami yang memiliki alat dan mengalami kehidupan, ia merupakan suatu wujud sederhana yang zat-nya terpancar dari Sang Pencipta, persis seperti sinar yang terpancar dari matahari.10 Sifat ruh itu sendiri adalah spiritual sehingga membuatnya berbeda dengan tubuh. Anda dapat mengingat kembali teori al-Kindi mengenai dua alam, alam atas dan alam bawah. Dan ruh merupakan bagian dari alam atas, itu sebabnya ruh berbeda dari tubuh. Kedudukannya di alam atas, menjadikan ruh tidak tersusun, mempunyai arti penting dan mulia, karena substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Adapun tubuh (jism) mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah dan itu menunjukkan tempatnya di alam bawah. Pemisahan antara tubuh dan ruh ini sekaligus mengindikasikan keyakinan al-Kindi bahwa ruh adalah berbeda, tubuh dapat menjadi binasa tetapi tidak berimplikasi pada musnahnya ruh. Dari pertemuan antara ruh dan tubuh, ini al-Kindi menjelaskan daya jiwa. AlKindi membagi daya jiwa menjadi tiga;31 1) .Daya indera; daya yang memahami bentuk-bentuk yang bersifat inderawi dan eksternal yang berkaitan dengan materi-materi jiwa. Alat daya ini adalah panca indera, 2) .Daya perantara terdiri dari daya imajinasi; daya ini mampu menghadirkan benda-benda inderawi meskipun tidak terlihat dengan cara membayangkan dan mengingatnya, daya memelihara; daya yang menghafal bentuk-bentuk inderawi dan membantu pembentukan fantasi dan imajinasi, daya emosi, daya syahwat, daya nutrisi; kebutuhan manusia untuk mendapat makan dan daya tumbuh dan, 3) . Daya berfikir (cognitive atau rational). Keseluruhan daya ini dikatakannya harus dikendalikan oleh daya berfikir, karena selain daya rasional dapat menyebabkan seseorang kehilangan arah. Daya berfikir ini diibaratkannya sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Pengendalian kedua daya tersebut adalah dengan penggunaan akal budi yang baik melalui daya berfikir. Al-Kindi berargumentasi bahwa terdapat diferensiasi antara ruh dan tubuh. Konsepnya dekat kepada pemikiran Plato daripada Aristoteles. Aristoteles memandang hubungan ruh dan tubuh adalah satu kesatuan, sehingga ruh adalah huduts sebagaimana tubuh, tetapi Plato berpendapat bahwa kesatuan antara ruh dan tubuh adalah kesatuan accidental dan temporer. Sehingga versi Plato binasanya tubuh tidak mengakibatkan lenyapnya ruh.32 Meskipun begitu, ruh bagi al-Kindi adalah hasil emanasi Tuhan, tapi bagi Plato berasal dari alam ide. Karena sifat ruh yang sempurna dan ilahiah ini, al-Kindi menegaskan kedudukan ruh yang lebih dominan daripada tubuh. Ruh adalah sarana komunikasi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan tentang segala yang ada di dunia dan melihat hal yang adialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang- bintang, kembali ke nur Sang Pencipta dan bertemu dengan-Nya. Ruh tak pernah tidur dan ketika tubuh tertidur ia terlepas dari indera-inderanya. Dan bila ruh disucikan, ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka.33 Gagasan ini disampaikan al-Kindi dalam “Perihal Tidur dan Mimpi” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dimana ia menjelaskan bahwa tidur ialah menghentikan penggunaan inderawi dan hanya menggunakan nalar, maka ia bermimpi. Dalam konsepsinya, al-Kindi menjelaskan penyucian ruh ialah berkaitan dengan penggunaan nalar dalam mengendalikan keberangan dan hasrat. Konsep yang sebelumnya telah dijelaskan mengenai daya jiwa. Untuk konsepsi nalar yang dengan subjek pelakunya adalah akal, al-Kindi membagi empat macam akal. Pertama, akal yang selalu berada dalam aktualitas; akal ini merupakan inti semua akal dan semua objek pemikiran. Akal ini menurut para peneliti tak lain adalah Allah Swt atau Akal Pertama bagi makhluk, sebagian peneliti lainnya berpendapat, akal tersebut ada di dalam jiwa dan tidak berbeda dengan jiwa yang disebut dengan al-kulliyyat di dalam jiwa dan tidak berbeda dengan jiwa. Seperti prinsip yang digunakan al- Kindi mengenai kultiyyat dan juz’iyyat, kulliyyat adalah “sesuatu” yang mengeluarkan jiwa dari potensial menjadi aktual. Keberadan kulliyatdalam jiwa akan mengubah jiwa menjadi berakal. Konsep ini sebenarnya adalah sebuah bentuk emanasi, dimana daya berfikir manusia dalam hal ini akal akan dapat diberdayakan jika telah mendapatkan emanasi dari intelegensia ketuhanan; atau akal aktualitas. Keterkacauan ini yang kemudian dijelaskan oleh al-Farabi dalam konsep akal praktis dan teoritis, bahkan disempurnakannya dengan perjalanan teori sepuluh intelegensi yang juga merupakan fondasi Teori Kenabian. Itu sebabnya predikat “guru kedua” dinisbahkan pada al-Farabi dan tidak pada al-Kindi. Kedua, akal potensial berada di dalam ruh; yakni kesiapan yang ada pada manusia untuk memahami hal-hal yang rasional. Ketiga, akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari potensial menjadi aktual; ketika jiwa memahami hal-hal yang rasional dan abstrak (kulliyyat), maka jiwa menyatu dengannya. Akhirnya hal-hal rasional dan akal berubah menjadi sesuatu yang sama, ini dideskripsikan al-Kindi seperti daya menulis pada penulis yang dapat menulis kapan saja ia mau. Karenanya, akal ini disebut akal kepemilikan (akal mustafad) yang maksudnya bahwa awalnya bukan miliki jiwa kemudian menjadi miliknya. Keempat, akal yang dikenal dengan akal kedua yaitu akal yang mempraktekkan aktualitas menjadi praktek atau realitas. Disebut dengan akal lahir, yakni akal yang jika selalu diasah untuk memahami hal-hal rasional akan mengubahnya menjadi bentuk lain34 Kesimpulannya, al-Kindi mencoba menafsirkan akal agen menjadi akal yang selalu berada dalam aktualitas, akal ini sering ditafsirkan menjadi “intelegensia ketuhanan" yang mengalir ke dalam ruh kita. Artinya akal agen adalah emanasi dari Tuhan dan belum berhubungan dengan tubuh. Lebih lanjut, tubuh dalam hal ini dibahasakan genus-genus atau spesies jika menyatu dengan ruh maka mereka menjadi terakali, menjadi potensial. Akal yang selalu berada dalam aktualitas setelah menyatu dengan tubuh ini kemudian menjadi bersifat potensial. Akal yang potensial ini kemudian berupaya mencari pengetahuan dan setelah mendapatkannya akal berubah dari potensial menjadi aktual. Perbedaan antara akal ketiga dan keempat ini dapat dideskripsikan sebagai berikut, akal ketiga seperti seseorang penulis yang telah belajar menulis, artinya ia mengetahui seni menulis, tata cara dan prosedur menulis. Ketika seluruh pengetahuan yang diketahuinya ini dipraktekan dalam kegiatan menulis maka akal telah menuju akal keempat dimana aktualitas telah diimplementasikan dalam perbuatan. Melanjutkan konsepsi tersebut, al-Kindi menegaskan kedudukan akal sebagai sesuatu yang tunggal tetapi melingkupi beragam proses. Sehingga meski terdapat beragam pengetahuan di alam semesta ini, akal tetaplah satu, tunggal, penerimaan pengetahuan itu adalah proses dari ketersatuan antara ruh dan tubuh. Oleh karena itu, hanya ruh-ruh suci sajalah yang dapat pergi menuju alam kebenaran. Tetapi bagi ruh-ruh yang kotor, mereka baru sampai ke bulan, membersihkan dirinya di sana, baru pindah ke Merkuri dan naik setingkat demi setingkat sampai benar-benar bersih sampai mencapai alam kebenaran. Dan akal bersama tubuh melakukan elaborasi bersama untuk mensucikan ruhnya dan menghantarkannya pada alam kebenaran melalui perbuatan-perbuatan di dunia dan kedekatan spiritualitas yang dibangun.35 Dari sini, terlihat al-Kindi mempercayai kekekalan ruh namun kekekalannya bergantung pada kekekalan Tuhan. Karena qadimnya ruh 6\qadimkan oleh Tuhan, disinilah kemudian kita dapat menjelaskan perbedaan dua alam yang disampaikan al-Kindi. Alam atas merupakan alam spiritual, dimana akal dan ruh bersemayam di dalamnya. Dan alam bawah adalah alam materi dimana bentuk, gerak dan waktu adalah indikasi kebaharuannya, dimana ketiganya merupakan unsur dari setiap fisik. Sehingga meski mengakui bahwa hanya Tuhan yang kekal, al-Kindi juga mengakui terdapat kekekalan-kekekalan lain yang bergantung pada emanasi Tuhan, yakni akal dan ruh. Adapun materi yang terkait dengan fisik adalah baharu (huduts), namun mereka pun tetap merupakan bagian dari Tuhan, karena diciptakan artinya kebaharuan mereka berada dalam kuasa Tuhan. Untuk menjelaskan ide baharu (huduts) ini, dideskripsikan melalui hubungan simbiosis waktu dan gerak, dimana satu dengan lainnya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Waktu adalah bilangan pengukur gerak, karena waktu menerangkan yang dahulu dan kemudian, dimana waktu adalah bilangan yang berkesinambungan. Waktu adalah sebuah bentuk pengetahuan tentang kuantitas dan ruang serta gerak adalah kuantitas tersebut. Sehingga gerak dan ruang berada dalam lintasan waktu dan waktu terikat bersama ruang dan gerak, dan keterikatan tersebut terkoneksi langsung pada Sebab Pertama yakni Tuhan. Konsepsi mengenai materi ini menurut Felix-Franke memiliki kemiripan dengan inti doktrin mu’tazilah, tetapi dalam penjelasan mengenai struktur materi ditemukan sejumlah kemiripan sporadis serta perbedaan-perbedaan filosofis penting antara al-Kindi dengan mu’tazilah. Kebanyakan kaum mu’tazilah berpendapat bahwa materi terdiri dari partikel-partikel kecil yang tidak dapat dibagi-bagi, yakni atom. Mereka mengandaikan bahwa segala sesuatu yang diciptakan adalah terbatas dalam dimensi waktu dan ruang. Dari sini, mereka berkesimpulan bahwa kemungkinan materi dapat dibagi-bagi juga terbatas. Oleh sebab itu, mereka menerima eksistensi atom.36 Namun, al-Kindi menolak struktur materi yang atomistik, baginya materi itu berstruktur-kontinu dan abadi, tetapi tidak tak terbatas. Alam semesta adalah suatu “substansi material (body)” yang terbatas, karena keterbatasannya alam semesta terpisah dari alam-alam atas yang immaterial berupa wujud-wujud spiritual.37 3. Integrasi ilmu Keahlian al-Kindi dalam berbagai bidang ilmu, baik ilmu umum dan agama membuatnya mampu menerangkan hubungan filsafat dan agama dengan penjelasan yang sangat baik. Kemampuan menjelaskan ensiklopedi filsafat Yunani dalam bahasa agama ini pula yang membuatnya ditetapkan sebagai filosof pertama dalam Islam. Al-Kindi berusaha memadukan antara agama dan filsafat, menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan al-Qur'an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin berbeda dengan kebenaran filsafat.38 Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat diperbolehkan karena teologi juga adalah sebuah upaya pembacaan agama dengan menggunakan filsafat. Arah pencarian filsafat dan agama yang sama-sama mencari kebenaran atau al-Haqq yakni Tuhan. Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan, ilmu keutamaan, ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran semakin dekat pula pada kesempurnaan. Meski mengagungkan metode filosofis, bagi al-Kindi kebenaran al-Qur‘an lebih valid dari pada hasil-hasil filsafat. Karena al- Our'an adalah wahyu, sesuatu yang di luar kesanggupan pengetahuan manusia.39 Ruang lingkup filsafat itu sendiri tidak terbatas hanya pada ilmu- ilmu di luar wahyu, seperti ilmu-ilmu kealaman dan matematis. Filsafat dituturkan alKindi mencakup segala bidang ilmu bahkan pengetahuan tentang Tuhan sekalipun, al-Kindi mendorong dengan keras sebuah definisi integratif tentang ilmu pengetahuan, dimana ia mendorong penggabungan pembahasan mengenai fisika dan metafisika, sains dan teologi.40 Yang bagi umat muslim sekarang digaung-gaungkan untuk mencapai keselarasan antara ilmu pengetahuan, iman dan taqwa. i ’.idahal, di zamannya ide al-Kindi ini sempat dikecam, karena dituduh telah menganggap spekulasi intelektual lebih tinggi dari al-Qur’an dan hadis dan dituduh terlalu berani menetapkan kebenaran rukun-rukun iman melalui pemikiran (nalar) dan tidak berdasarkan dalil. Untuk menggambarkan cara kerja filsafat, al-Kindi membagi filsafat menjadi dua bagian utama yakni studi-studi teoritis dan studi praktis. Studi teoritis mencakup di dalamnya fisika, matematika dan metafisika dan studi praktis mencakup etika, ekonomi dan politik.41 Pembagian ini agaknya dilakukan al-Kindi untuk menunjukkan keselarasan antara filsafat dan agama. Dimana ia mendudukkan kajian metafisika, yang notabene wilayah kajian agama bersama dengan matematika dan fisika. Lebih lanjut, keselarasan tersebut disampaikannya dalam tiga alasan: pertama, Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan ketiga, Menuntut ilmu secara logika diperintahkan oleh agama.42 Meskipun begitu, al-Kindi menegaskan bahwa wahyu tetaplah yang terbaik, setingkat lebih tinggi dari akal. Ajaran agama diterangkan al-Kindi adalah ilmu ilahiah dan filsafat serta bagian-bagiannya adalah ilmu insani. Ajaran agama perlu diresapi dengan keimanan dan merupakan sebuah kepercayaan yang tidak bisa diganggu gugat, adapun filsafat adalah proses pengolahan akal.43 Itu sebabnya, pengetahuan Nabi diperoleh langsung melalui wahyu menjadi semacam “given" sedangkan pengetahuan para filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan. Oleh karena itu, setiap manusia menurut al-Kindi perlu dan harus menerima filsafat dan mempelajarinya. Karena hanya seorang Nabi sajalah yang dapat diberi ilmu ilahiah sedangkan manusia hanya diberi ilmu insani sehingga perlu diolah dan dipahami untuk dapat mencapai kebenaran yang sesungguhnya. Dengan demikian, orang yang menolak filsafat, dapat digolongkan menjadi kufr, karena orang tersebut menghindarkan diri dari upaya pencarian kebenaran.44 Di samping itu, karena penyampaian kebenaran adalah juga upaya memahami Tuhan, mengenal dan menerima pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang ciptaan-Nya dan juga sebagai dasar bagi manusia untuk mengerti makna baik dan buruk. Maka, dari manapun datangnya kebenaran, kebenaran itu perlu direspon dengan baik, meski dari Yunani sekalipun yang tidak muslim. Adapun seseorang yang mengingkari kebenaran tidak berbeda dengan orang yang memperjualkan agama, karena agama adalah kebenaran itu sendiri, sehingga orang seperti itu yang beranggapan bahwa kebenaran hanyalah miliknya, asumsinya, pemikirannya dan madzhabnya saja lalu mengkafirkan orang lain, maka sebenarnya dialah yang kafir, karena dia menolak kebenaran dan memperdagangkan agama.45 Disebabkan posisi filsafat sebagai ilmu insani, al-Kindi mengakui bahwa pencapaian-pencapaian filosofis tidak bersifat kepastian dan perlu dikembangkan serta direnungkan lebih jauh yang untuk pengembangannya dilakukan melalui proses belajar secara terus menerus. Dan agama menawarkan beragam ilmu untuk kemudian ditakwilkan dan ditafsirkan, ini terlihat dari kedudukan bahasa Arab yang memungkinkan untuk dilihat maknanya secara majazi atau hakiki. Namun seluruh usaha itu semua tetap dibawah kepastian ilmu-ilmu ilahiah sehingga tetap membutuhkan penelitian secara terus menerus. Pemahaman al-Kindi ini menunjukkan bahwa meski ia merupakan seorang yang menggandrungi filsafat Yunani, ia tetaplah seorang muslim yang shalih. Al-Kindi berupaya mengingatkan umat untuk menghindarkan diri dari fanatisme jiwa, dimana kebenaran diklaim secara sefihak. Rasionalisme adalah bagian dari prosedur keilmuan di alam ini, tetapi akal dalam beberapa hal tidak dapat menyentuh hal-hal ilahiah, akal hanya berupaya memahami implementasi dari keesaan lllahi. Keshalehan dan upaya penyelarasan filsafat dan agama ini rupanya belum cukup menunjukkan keseriusan al-Kindi untuk membuktikan bahwa al-Kindi berusaha menjaga kemurnian ajaran islam dengan berfilsafat. Al-Kindi tetap dituduh sebagai pembuat bid’ah dan dianggap mempersoalkan kedudukan yang sudah benar, fitnah lainnya alKindi dituduh memanfaatkan kekuasaan demi kedudukannya sebagai seorang lilsafat. Tuduhan-tuduhan ini kemudian menggiringnya pada kesepian menjelang akhir hayatnya, la dipecat dari jabatannya sebagai seorang !iuru bagi kerajaan, diasingkan dan perpustakaannya disegel dan ti.igisnya 270 karya yang ditulisnya menghilang, hanya tersisa sedikit uija yang bias dinikmati oleh umat Islam belakangan. Sebuah tragedi keilmuan karena klaim kebenaran yang tak kunjung usai. Semoga umat Islam belajar banyak dari tragedi ini, sebagaimana yang diajarkan al- I' mdi bahwa ilmu adalah usaha terus-menerus yang tak kunjung usai. B. AL-RAZI Nama al-Razi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, dia dikenal dengan nama Rhazes. Tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi ini lahir di Rayy, dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Al-Razi adalah seorang dokter, filosof, kimiawan dan pemikir bebas, bahkan menurut riwayat, al-Razi menguasai teknik musik baik teori maupun praktik, dan seorang alkemi sebelum belajar formalnya di bidang kedokteran. Pada masa mudanya, al-Razi pernah menjadi tukang intan, penukar uang dan seorang pemain musik kecapi tetapi ghirah belajarnya yang tinggi membuatnya menjadi seorang ahli dalam berbagai bidang.46 Di Rayy, al-Razi belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al- Thabari (w. 240 H) dan mempelajari filsafat kepada al-Balkhi, ilmuwan yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Kecermelangan keilmuan al-Razi juga didukung patronage penguasa pemerintahannya.47 Dinasti Saman yang menguasai wilayah dimana al-Razi hidup dikenal sebagai dinasti yang sangat mencintai pengetahuan. Ini terbukti dengan kedekatan sang penguasa terhadap seorang pemikir rasionalis sekelas al-Razi. Pada masa Mansyur ibn lshaq, al-Razi ditugaskan untuk memimpin rumah sakit di Rayy selama enam tahun (290296 H). Setelah menunaikan tugasnya memimpin rumah sakit di Rayy, atas permintaan Khalifah al- Muktafi (289-295 H) ia memimpin rumah sakit di Baghdad.48 Dan untuk menghormati Mansyur ibn lshaq, al-Razi menulis buku al-Thibb al- Manshuri. Selain menulis kitab al-Thibb al-Manshuri, juga menulis dua ratus karya dan dijuluki sebagai seorang “dokter Islam yang tidak tertandingi”. Namun, karena pemikirannya yang sangat bebas dan rasional, al-Razi memiliki lawan-lawan dalam pemikiran, bahkan para filosof sesudahnya kurang menyetujui beberapa ide-ide al-Razi.49 Perbedaan yang paling signifikan dari wacana yang dicetuskan al-Razi adalah pembahasannya tentang agama dan kenabian. Karena rasionalitasnya, al-Razi mengingkari kenabian, meski ia tetap meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, yang diyakini sebagai pencipta dan Tuhan alam semesta. Kritiknya terhadap teori kenabian ditulis dalam buku Naqdh al-Nubuwwah, pada buku ini al-Razi mengatakan bahwa kenabian sangat membahayakan manusia, menyebabkan kemalasan, kepasrahan dan kesempitan akal. Selain itu, kenabian juga menyebabkan timbulnya permusuhan dan peperangan.50 Meski pemikiran filsafatnya kontroversial, al-Razi dikenal sebagai seorang yang murah hati, santun pada pasien-pasiennya dan dermawan. Kepada para fakir dan miskin, al-Razi tidak memungut bayaran sedikit pun. Al-Razi pun adalah seorang yang ulet bekerja dan belajar, karena aktifitas belajarnya yang tinggi, al-Razi sampai mengalami kebutaan. Tulisan-tulisannya di bidang kedokteran hingga kini tetap menjadi rujukan bahkan oleh intelektualintelektual Eropa sekalipun. Tulisan-tulisan al-Razi meliputi pula karyakaryanya tentang diet dan perawatan terhadap kelumpuhan, diabetes, radang sendi, mulas dan encok juga anatomi liver, mata, kandung kemih, telinga dan jantung serta pembahasan komperhensifnya mengenai penyakit cacar. Disamping kedokteran, al-Razi juga menulis di bidang astronomi, etika, psikologi dan filsafat.51 Tulisan-tulisan al-Razi membuktikan kehebatan intelektualnya, meski merujuk pada beberapa pemikiran Yunani, al-Razi juga mereform ide-ide Yunani dengan pemikiran-pemikiran dirinya. Al-Razi merujuk pada Galen, Plato, Phorphyry, Democritus dan Aristoteles dalam beberapa karyanya. Adaptasi karyanya terhadap karya Galen sampai membuat al- Razi disebut dengan seorang Galenis karena ia mencantumkan dalam daftar pustakanya karya-karya Galen yang tidak tercantum dalam catalog Galen sendiri atau katalog penerjemah besar, Hunain ibn lshaq.52 Perjalanan hidupnya yang sangat menarik sekaligus kontroversial menjadi warna tersendiri. Al-Razi adalah filosof rasionalis, ia berbeda dengan mu’tazilah yang rasionalis murni, dari rasionalismenya, pemikiranpemikiran al-Razi berkembang dan mesti menuai kritik ia dikagumi. Orangorang Oaramithah dari kalangan muslim dan orang-orang yang murtad dari Nasrani banyak yang terpengaruh oleh pandangannya tentang kenabian. Tokoh yang dijuluki dengan TheArabic Galen ini wafat pada 5 Sya’ban 313 H, setelah penyakit kebutaan selama bertahun-tahun. 1. Filsafat al-Razi Metafisika Sebagaimana filosof-filosof muslim sebelumnya, metafisika al- Razi juga membahas kekekalan dan kebaharuan. Kekekalan dan kebaharuan ini adalah bagian dari pemahaman mengenai penciptaan, yang di dalamnya diperdebatkan “bagaimana proses penciptaan ?", "apakah diciptakan dari ketiadaan ?", “mana yang bermula dan mana yang berakhir Dari setiap wacana yang diperdebatkan itu kemudian filosof berijtihad untuk menentukan kekekalan dan kebaharuan. Al-Razi mempostulatkan lima wujud kekal yang dari interaksi kelimanya membentuk dunia ini. Lima kekekalan itu adalah Tuhan, Jiwa universal, Materi pertama, Ruang Absolut dan Masa Absolut. Meski kelimanya disifati “kekal” tetapi posisi dan kedudukan setiap unsur dalam lima kekekalan tersebut tidak sama, perbedaannya terletak pada unsur yang disebut al-Razi dengan potensi hidup (aktif) dan pasif.53 Daya aktif dan pasif ini menunjukkan kelebihan satu kekekalan dengan kekekalan lainnya, dan ini akan menjawab paradoks-paradoks yang dimunculkan filosof penganut creatio ex nihiilo mengenai asal usul dunia. Sesuatu yang maujud (berwujud-ada) dikatakan al-Razi tersusun dari lima hal yakni materi yang terbentuk dan tersusun, ruang sebagai tempat, berada dalam lintasan waktu dan ruh. Ruh adalah esensi dari sesuatu yang maujud, itu sebabnya dari lima kekekalan al-Razi menetapkan Tuhan dan Ruh (Jiwa Universal) sebagai dua unsur kekekalan yang berdaya hidup dan aktif.54 Adapun materi, waktu dan ruang yang merupakan unsur-unsur pengikat sesuatu yang maujud, maka perlu ada tata hukum yang mengatur semua proses itu dengan sempurna. Pengaturan itu meliputi kedudukan materi yang harus dibentuk atau disusun dan keterlibatan ruh di dalamnya. Hubungan antara materi, ruang, waktu dan ruh membuktikan bahwa untuk setiap hidupnya yang maujud perlu ada Pencipta, Pengatur yang bijaksana, maha mengetahui, dapat melakukan segala hal dengan sempurna, dan Dia adalah maha di atas maha.55 Al-Razi meyakini benar bahwa Tuhan adalah pencipta dan pengatur alam ini, Tuhan lah yang memberikan pengetahuan pada jiwa dan tatanan gerak alam. Al-Razi mengandaikan pengetahuan ini seperti cahaya yang bersinar. Dari cahaya inilah materi pertama memiliki gerak dan jiwa aktif untuk membaur dengan ruh, mencegah katalisme dan memungkinkan jiwa mengenal bahwa dunia yang dihidupkan oleh gerak- geraknya bukan “tempat" sejatinya. Tuhan membiarkan jiwa bergerak dengan pengalamannya bersama materi, dari pengejawantahan jiwa dan materi di alam dunia, jiwa kemudian kembali kepada dunia spiritual, yang di dalamnya semua jiwa adalah satu. Pergerakan jiwa kepada materi adalah sebuah gerak spontan yang dibantu Tuhan melalui sinar-Nya,56 Gerak spontan jiwa dan pembaurannya terhadap materi merupakan dilema yang tampaknya hendak dipecahkan oleh al-Razi dengan menggunakan mitos gnostik/ Neoplatonik, yakni sebuah pertanyaan, jika Tuhan menciptakan dunia dengan tindakan berkehendak, ada pertanyaan kenapa Tuhan berkehendak sekarang, kenapa tidak sebelumnya atau nanti ?. Apakah Tuhan mengubah pikiran atau esensi-Nya menjadi pencipta setelah sebelumnya bertindak tanpa tujuan semacam itu ?. Dengan demikian, jika asal dunia adalah peristiwa alamiah, berarti Tuhan berada dalam temporalitas, sama dengan peristiwa-peristiwa yang didasari oleh tindakan-Nya, sehingga manusia selalu berfikir untuk memulai suatu pencarian tak berujung pangkal akan sebab dari segala sebab. Satu-satunya solusi ditegaskan al-Razi adalah dengan menemukan alternatif ketiga bagi peristiwa-peristiwa yang dikehendaki. Alternatif ini, menurut E. Goodman diambil al-Razi dari gagasan Aristoteles tentang spontanitas, atau pemberian spontan atom-atom sejenis gerak yang langsung terkait dengan jiwa, tetapi bukan dengan Tuhan.57 Kembali pada lima kekekalan, al-Razi menekankan kekekalan pertama adalah Tuhan, Tuhan adalah sumber kekekalan yang hidup dan aktif. Sumber kedua adalah Jiwa Universal, tetapi jiwa universal memiliki dorongandorongan yang dikuasai oleh naluri untuk bersatu dengan materi pertama.58 Dorongan-dorongan itu muncul dari sinar yang dipancarkan Tuhan, yang mengiringi pertemuan antara ruh dan materi. Al-Razi menegaskan bahwa sinar itu kemudian akan memancar dalam diri manusia pada alat yang disebutnya dengan akal. Perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya menurut al-Razi adalah intensitas sinar yang dipancarkan Tuhan. Pada tingkat sinar terendah, akal tidak akan terbentuk sehingga memunculkan sesuatu di luar manusia seperti hewan dan tumbuhan dan manusia merupakan penerima sinar terbaik sehingga disebut dengan hayawanun nathiq,59 Fungsi akal adalah untuk menyadarkan jiwa jika terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh (materi) bukan tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat keabadian. Kesenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah dengan melepaskan diri dari materi dengan berfilsafat. Ketika ruh melakukan gerak spontannya pada materi, Tuhan membantunya dengan menciptakan alam semesta dan tubuh sebagai wadah perpaduannya tersebut. Jika jiwa/ ruh adalah kekekalan kedua yang hidup dan aktif, materi adalah kekekalan ketiga yang tidak hidup dan pasif. Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom, setiap atom mempunyai volume, yang karena volumenya pengumpulan atom dapat dibentuk dan disusun. Sehingga bila dunia dihancurkan, materi terpecah dalam bentuk-bentuk atom. Bumi ini sendiri tersusun dari atom-atom yang terkumpul menjadi elemenelemen kehidupan, misalnya tanah adalah elemen yang paling padat, air adalah elemen yang lebih renggang dari tanah, udara adalah elemen yang lebih renggang lagi dari air, sedangkan yang sangat renggang lagi adalah api.60 Elemen-elemen kehidupan merupakan dasar utama dalam siklus hidup. AlRazi menyebutkan bahwa air, api, udara dan tanah unsur- unsur yang terdapat dalam diri manusia.61 Empat elemen dasar ini mengukuhkan al-Razi sebagai rasionalis murni, selain itu al-Razi juga menunjukkan bahwa dalam dunia ini selalu terjadi dua hal yang berlawanan, besar kecil, baik jahat dan lainnya. Ini menurut al-Razi membuktikan bahwa alam ini tersusun dalam hukum sebab akibat. Terdapat peraturan tak terlihat yang menjaga alam bergerak dalam poros tertentunya. Pada taraf inilah menurut al-Razi, materi memiliki ketergantungan pada Tuhan sebagai pencipta hukum alam dan keteraturannya.62 Berdasarkan kekekalan yang sama sekaligus berbeda antara materi, ruh dan Tuhan, al-Razi meyakini bahwa Tuhan tidak menciptakan dari ketiadaan. Filosof ini diduga mencoba merevisi tradisi secara menyeluruh dan seksama terhadap pemikiran creation ex nihillo. Untuk idenya ini, al-Razi beralasan bahwa segala penciptaan membutuhkan pencipta dan yang diciptakan, selain itu jika kita berasumsi bahwa wujud tercipta dari kekuatan agen (ruh) dan kita mengatakan bahwa agen ini kekal dan tidak dapat diubah kecuali dengan kehendak-Nya, maka tentu yang menerima kekuatan ini (materi) kekal sebelum menerima proses penciptaan tersebut. Alasan lainnya, jika diasumsikan bahwa yang ada di muka bumi ini adalah hasil dari penciptaan, maka segala sesuatu di dunia ini selayaknya adalah sebuah hasil ciptaan dan tidak terbentuk dari susunan.63 Namun, realitasnya segala sesuatu yang ada di dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Al-Razi menambahkan bahwa induksi alam semesta membuktikan hal ini. Dari ide kekekalan materi ini, al-Razi kemudian menyimpulkan kekekalan ruang dan waktu karena keterikatan keduanya pada materi. Tetapi kekekalan ruang dan waktu tidak hidup, tidak aktif dan juga tidak pasif. Ruang dipahami oleh al-Razi sebagai konsep yang abstrak, berbeda dari Aristoteles yang mengartikan ruang sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari materi yang menempatinya. Al-Razi membagi ruang menjadi ruang particular dan ruang universal, yang pertama terbatas dan terikat dengan wujud yang menempatinya, sedangkan yang kedua tidak terikat dengan wujud dan tidak terbatas.64 Ruang itu sendiri bagi al-Razi bisa saja berupa tempat tetapi bisa juga abstrak, hampa dan tidak berwujud. Teori kehampaan ruang ini dikaitkan alRazi dengan paham mengenai wujud, menurut al-Razi, wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa berwujud meski tidak ada wujud. Artinya jika di ruang tersebut ada wujud (benda) maka ruang itu dan wujud adalah satu kesatuan, tetapi jika di dalam ruang tidak ada wujud, maka ruang tetap ada dan tetap dinamakan ruang. Ruang bagi al-Razi tidak terikat dengan wujud, tetapi wujud -meski tidak semua- terikat dengan ruang.65 Peran ruang yang menjadi tempat segala yang berwujud tidak berarti kemudian bahwa ruang bereksistensi bergantung pada wujud. Al- Razi menegaskan bahwa ruang dapat eksis meski tak ada wujud di dalamnya, dan wujud yang telah berada dalam ruang, esensinya menjadi terbatas, karena terikat dengan esensi tidak terbatas yang tidak mempunyai potensi. Wujudwujud yang berada dalam ruang merupakan pecahan-pecahan materi sejati, sesuatu yang tersusun dari atom-atom. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang, yang berisi keduanya yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Artinya, bila berwujud,ia harus berada dalam ruang, bila tidak ada wujud hanya ada ruang hampa, Untuk ruang tanpa wujud, al-Razi menyebutnya dengan kehampaan ruang. Kehampaan mempunyai kekuatan untuk menarik wujud-wujud agar bersemayam di dalamnya. Al-Razi mengilustrasikan kehampaan ruang dan potensi menariknya dengan misal sebagai berikut; air tetap berada di dalam botol yang dimasukkan ke dalam air, meskipun botol tersebut terbuka dan terbalik.66 Al-Razi menganalogkan ruang hampa berdaya tarik ini dengan jasmani sebagai ruang hampa saat pertama kali muncul ke dunia. Dari kekosongan jasmani ini, muncul daya tarik untuk memenuhi kekosongan dirinya dengan teori tentang hasrat dan, dengan demikian gagasan sentralnya bahwa kenikmatan (kinetic) adalah sensasi pemenuhan. Hasrat terjadi akibat penggelembungan progresif dari organ-organ tubuh terkait, yang diduga akibat dari penipisan atau kekurangan (rarefaction). Hasrat inderawi akan menjadi pasangan sadar kekurangan jasmaniah yang nyata. Dan segala yang bebas dipilih akan bersesuaian dengan gerak spontan organisme untuk mengisi sebagian dari kekosongan spesifik.17 Adapun argument kekekalan waktu, yang juga seperti materi tidak hidup, tidak aktif dan tidak pasif, al-Razi berpendapat bahwa waktu adalah substansi yang mengalir dan bersifat kekal. Waktu dibagi al-Razi menjadi waktu mutlak dan waktu relatif. Al-Razi menentang Aristoteles dan filosof- filosof lainnya yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.68 Waktu mutlak adalah waktu yang tidak memiliki awal dan akhir, artinya universal, tidak memiliki batasan. Dan waktu relatif adalah waktu yang dibatasi, waktu relatif ini adalah waktu yang ditetapkan berdasarkan ikatan alam semesta dan gerakan falak, gerakannya timbul bersama gerakan timbul dan tenggelamnya matahari. Sedangkan waktu mutlak adalah sebuah konsekuensi kekekalan materi, sehingga pembagian waktu sama dengan pembagian materi.69 5. Teologi dan Teori Kenabian Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, teori kenabian al-Razi merupakan teori yang sangat controversial tetapi ini tidak dapat menjadi acuan bagi siapapun untuk menanggapinya dengan menyesatkan dirinya. AlRazi hanya berbeda dalam memahami konsep kenabian, dan itu tidak memberi pengaruh bahwa kemudian dia menolak Islam dan ajaran-ajarannya. Al-Razi tetaplah bertuhan dan menyembah Allah, hanya saja dia menolak kenabian, karena kenabian menurut al-Razi membuat umat malas dan enggan berjuang serta bekerja keras. Sepertinya yang ingin dikritik al-Razi bukan pada keberadaan Nabi, tetapi pada kebiasaan umat yang salah mempersepsikan ajaran Nabi dan membuaikan dirinya pada syafa'at Nabi.70 Fahamnya ini dapat dipahami, karena al-Razi adalah seorang yang dikenal ulet, tegas dan pekerja keras. Al-Razi beranggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan manusia tidak memerlukan seorang Nabi. Cukup dengan akal, setiap manusia dapat memberikan keteraturan dalam kehidupan ini, akal adalah anugerah terbesar dari Tuhan untuk manusia. Akal dapat membantu manusia membedakan baik dan buruk, memperoleh manfaat sebanyak- banyaknya dan memberikan informasi pada manusia.71 Dengan demikian, terlihat al-Razi adalah seorang yang mengkultuskan akal, sehingga dijuluki rasionalis murni. Pandangannya mengenai keagungan akal dan keraguannya terhadap kenabian diutrakannya dalam Naqdal-Adyan awfi al-Nubuwwah. Dikatakannya bahwa seorang Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai seorang yang memiliki keistimewaan khusus, karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama, dan fithrah yang sama, perbedaan antara satu dengan lainnya disebabkan pengembangan potensi dilakukan oleh setiap individu.72 Al-Razi juga menegaskan bahwa terdapat kekeliruan di dalam kitab-kitab suci, baik itu dalam Islam, Nasrani, Yahudi atau bahkan Manichaenisme. Al-Razi mencoba mengkritik setiap ajaran dalam kitab suci dengan ajaran kitab suci agama lainnya, sehingga baginya tidak ada yang sempurna di dalam kitab suci.73 Lebih lanjut, keberlangsungan agama hanyalah tradisi, kepentingan ulamaulama yang didukung oleh penguasa. Agama dalam beberapa hal hanya menyebabkan manusia menjadi malas dan bodoh, apalagi jika penguasa menndoktrinkannya dengan berbagai aturan yang membuat manusia semakin terperangkap dan tidak memperbaharui dirinya. Yang paling buruk dari agama, adalah penganut agama mengklaim dia-lah yang paling benar. Sehingga setiap agama menyulitkan dirinya untuk bertoleransi dengan agama lainnya, akibatnya seringkali terjadi pertengkaran dan perpecahan atas nama agama. Al-Razi pun menolak mu’jizat al-Qur’an dari segi kebahasaan, karena mungkin saja seseorang dapat menulis yang lebih baik dari al- Our'an. Bagi al-Razi, buku-buku ilmiah jauh lebih menawarkan kecerdasan daripada alQur'an. Dan terbukti para pendahulu (filosof Yunani) telah mendapat kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para Nabi.74 Menurutnya, ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber yakni pemikiran yang didasarkan pada logika, tulisan atau warisan ilmiah para penulis terdahulu yang telah ditelaah dan diketahui bukti-bukti keilmuannya secara akurat, serta naluri yang menuntun manusia tanpa perlu menggunakan pemikiran terlebih dahulu. Warisan ilmiah dari para pendahulu termasuk di dalamnya sejarah yang terjadi yang kemudian diambil ibrahnya,75 Ide-ide rasionalitasnya yang agak berlebihan inilah yang kemudian membuatnya berhadapan dengan banyak intelektual muslim yang membela teori kenabian. Misalnya saja Abu Hatim al-Razi, seorang muhaddis yang juga pendakwah yang menulis responnya dalam A’lam al-Nubuwwah; Abu Qasim al-Balkhi, tokoh mu’tazilah yang merespon teori waktunya al-Razi dalam buku ‘llm Ulahi; Abu Bakr Husain al-Tammar, seorang tabib yang menerangkan perbedaannya dari al-Razi mengenai materi.76 Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan al-Razi, dia tetaplah seorang filosof muslim yang melepaskan ide-idenya dengan baik. Bahkan pengetahuan kimia dan kedokterannya yang memukau membantunya untuk menjelaskan pemikiran metafisika. Al-Razi adalah nuansa baru dalam filsafat Islam yang liberal, rasionalis dan reformis. Karena sebelum dan sesudahnya tak ada seorang pemikir muslim yang seberani dirinya. 3. Etika dan Moral Pemikiran moral dan etika al-Razi dijelaskan dalam karyanya al-Tibb alRuhani dan al-Shirat al-Falsafiyyah. Seperti pemikiran al-Razi lainnya dalam dua karyanya ini pun al-Razi menekankan pentingnya rasio dalam tingkah laku manusia. Etika al-Razi, menurut E. Goodman, banyak memanfaatkan unsur-unsur Epicurus.77 Seperti seorang penganut Epicurisme, al-Razi adalah naturalis dan empiris dalam etika, dan menawarkan hedonisme asketis lunak. Menurut al-Razi, kesenangan tidak dapat ditimbun dan ditumpuk menjadi sensasi yang intens memberikan kesenangan bagi diri manusia. Kesenangan yang sesungguhnya bagi al-Razi adalah kedamaian pikiran dengan memaksimalkan kebahagiaan manusia, yakni dengan gaya hidup bijak, yang di dalamnya hal ini hasrat-hasrat paling sederhana yang disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan alam, mudah dipenuhi dengan cara-cara yang sederhana. Kehidupan bermewah-mewah merupakan perangkap yang tidak mengantarkan manusia pada kesenangan, tetapi justru pelenyapan kesenangan yang sesungguhnya.78 Kesenangan itu sendiri didefinisi al-Razi sebagai suatu bentuk ketenangan. Kesenangan adalah kembalinya badan ke keadaan alaminya yang sempat terampas baik secara mendadak dan bijak, ataukah berangsur-angsur dan tak bijak. Karena itu, semua kesenangan mengandaikan kepedihan sebelumnya atau semacam keterlepasan dari sesuatu yang lain yang mungkin tidak terasakan.79 Menurut al-Razi, kesenangan berbeda dengan kebahagiaan, kesenangan disandarkan pada hawa nafsu, dan kebutuhan hawa nafsu selalu menuntut pemenuhan tinggi. Sehingga kesenangan menuntut secara terus menerus kesenangan lainnya, hingga kemudian semakin besar kebutuhan hawa nafsu semakin sulit dipenuhi karena menjadikan hidup tercurah untuk memuaskan nafsu secara terus menerus. Akan tetapi, al-Razi menegaskan bahwa kesenangan dan kepedihan tidak kekal sehingga bisa terlepaskan dengan memulihkannya secara terindera ke keadaan alam. Al-Razi mengutip Plato tentang aspek jiwa yang terdiri dari nalar, kemarahan dan hasrat. Untuk mengendalikan semua aspek jiwa tersebut, al-Razi menegaskan bahwa manusia harus kembali ke alam. Ini dideskripsikannya dengan gambaran orang yang meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat yang disinari panas matahari, akan senang kembali ke tempat yang teduh tadi.80 Prinsip etika dan moral al-Razi juga dikaitkannya dengan keberlangsungan jiwa dan tubuh secara bersama-sama. Jiwa dan tubuh sudah seharusnya dalam kondisi sehat, dan seorang dokter harus menguasai dua bidang tersebut. Pengetahuan tentang tubuh jelas kewajiban bagi seorang dokter dan pemahaman yang tepat tentang jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Oleh karena itu, jiwa adalah juga factor penting dalam pengobatan.81 Al-Razi pun menekankan bahwa terdapat hubungan erat antara tubuh dan jiwa, emosi tidak akan terjadi kecuali dengan persepsi inderawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga dapat menimbulkan keragu-raguan dan melankolik. Sifat dengki akan mendatangkan marabahaya bagi tubuh dan kekhawatiran berlebihan akan membuat terjadinya halusinasi bahkan kemalasan.82 Inti ajaran moral dan etika al-Razi adalah menghindari sikap berlebihlebihan, tidak hanya untuk jiwa tapi juga tubuh. Al-Razi menyatakan bahwa dalam hidupnya ia tidak pernah melanggar kedua batas ini. la tidak mengabdi pada kerajaan untuk mendapatkan posisi- posisi tertentu, atau berupaya mendapatkan kedudukan di menteri atau militer. Dia menjalankan sesuai keahliannya sebagai seorang dokter, ia juga berupaya bertenggang rasa pada hak-haknya. Makan, minum, persetubuhan dan kebutuhan hidup lainnya ditatanya hanya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukannya. Ini terlihat dari sikapnya saat ia tengah menderita kebutaan akibat frekuensi belajarnya yang tinggi, dikisahkan, ketika seorang muridnya datang untuk mengobatinya, al- Razi menolak, dia beralasan bahwa ia sudah cukup melihat dunia dan ia telah siap meninggalkannya.83 Meski al-Razi seorang rasionalis, tetapi sikapnya menunjukkan akhlak yang sangat mulia, bahkan kepasrahan dan keikhlasannya menunjukkan identitas keislamannya dengan baik. Al-Razi pun mengingatkan setiap manusia tidak perlu takut dengan kematian, karena kematian adalah kehancuran tubuh manusia. Disini, al-Razi menolak kehidupan setelah kematian, karena jika tubuh telah mati, maka ruh pun akan hancur sehingga tidak ada kehidupan apa pun setelah kematian.84 Seluruh pemikiran al-Razi ini, memang membuatnya dituding sebagai seorang zindiq, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa meski memiliki ide-ide yang controversial, al-Razi tetap seorang penganut dan menjalankan syari’ah Islam dengan baik. Idenya mengenai kehidupan setelah kematian adalah upayanya untuk menghindarkan umat dari sikap bermalas-malasan, tetapi sesungguhnya al-Razi tidak pernah menolak adanya hari akhirat. Menurut Abd al-Lathif Muhammad al-Abbad, al-Razi juga menulis pembahasan mengenai hari akhirat dan juga Pencipta alam (Allah). Bahkan dalam kitabnya Sirr al-Asrar dan Bar’u al-Sa’ah, al-Razi bertahmid serta mengucapkan sahalawat pada Nabi, al-Abbad mengkhawatirkan umat Islam memahami al-Razi dengan keliru, karena tidak semua karyanya sampai ke tangan kita, kebanyakan bahkan menemukan pemikirannya melalui tulisantulisan yang menggugat pendapatnya. Sehingga meski kemungkinan pemikirannya mengenai kenabian ataupun kehidupan setelah kematian adalah benar. Tetapi tidak selayaknya kita menjudge al-Razi dengan zindiq, apalagi banyak riwayat yang mengungkapkan keluhuran akhlak dan pribadi al-Razi. Termasuk di dalamnya sikapnya sebagai seorang dokter, guru, dan filosof yang sangat santun dan tawadhu’. C. AL-FARABI Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 258 H/ 870 M. Beberapa riwayat mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang Turki tapi ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya seorang Persia yang kemudian menjadi tentara perang Turki. Karena pemikiran-pemikirannya mengenai filsafat Yunani sangat memukau, al-Farabi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, mereka menyebut al-Farabi dengan al-Farabius atau Avennaser.85 Farab, tempat kelahiran al-Farabi adalah kota yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’iyah. Di kota kecil ini, al-Farabi belajar al-Qur'an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar. Setelah menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Seorang khalifah yang menggalakkan kembali budaya dan filsafat Persia dalam Islam.86 Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Di Bukhara juga al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al- Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.87 Dari Bukhara, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan.88 Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks- teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun- tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahasa aslinya.89 Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, yang memiki reputasi tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.90 Pada akhir tahun 330 M (941 H), ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk.91 Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana di siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir!l? untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.93 Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.94 1. Filsafat al-Farabi Logika, Filsafat Bahasa dan Epistemologi Kepakaran al-Farabi dibidang logika dibuktikannya melalui tulisantulisannya mengenai logika dan filsafat. Al-Farabi menulis syarh mengenai pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles,95 dimana di dalamnya ia menekankan pentingnya memahami pemikiran dua tokoh besar ini, karena sesungguhnya metode-metode akal (logika) dicetuskan oleh Plato dan Aristoteles. Disini ia membahas teori-teori yang terdapat dalam Organon-nya Aristoteles, juga menjelaskan pencapaian-pencapaian dari Aristoteles dan Plato. Kemampuannya yang menguasai Isagoge-nya Porphyry, Rhetoric dan Poef/'cs-nya Aristoteles dan De Interpretatione membantunya memahami kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam metode-metode Aristoteles dan Plato.96 Tulisan-tulisannya banyak dipengaruhi pemikiran Aristoteles, tetapi juga dikembangkan interpretasi-interpretasinya sendiri terhadap logika Aristotelian dan tradisi dari madzhab yang muncul darinya. Di antara karyakaryanya yang lebih pribadi sebagian besar isi Kitab al-Hurufdan Kitab alAifazh al-Musta’malah fi al-Manthiq, dimana ia mencurahkan seluruh energinya untuk membahas topik-topik logika dan kebahasaan, yang menekankan perlunya memahami hubungan terminologi filsafat dengan bahasa dan tata bahasa yang lazim.97 Konsentrasi logika al-Farabi berhasil mengurai filsafat bahasa dan sistem epistemologi keilmuan Yunani yang dianggap asing di mata bangsa Arab. AlFarabi percaya bahwa setiap bahasa memiliki struktur linguistiknya sendirisendiri, sehingga ia berupaya mempertemukan kebahasaan antara filsafat Yunani dan bahasa Arab, karena baginya memahami filsafat Yunani bukan dengan cara mengarabisasikannya, tetapi dengan mengetahui maksud yang disampaikan para filosof Yunani hingga kemudian dapat diterima sejelasjelasnya oleh bangsa Arab. Maka al-Farabi merubah paradigma di zamannya yang mengupayakan untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan Yunani. Sebaliknya, al Farabi melakukan penyelarasan pendekatan-pendekatan yang saling berlawanan dalam studi bahasa dengan menggunakan logika.98 la menyatakan bahwa seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan, yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan manusia secara langsung pada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahankesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata. Logika adalah kaidah-kaidah yang menunjukkan pemahaman dapat diuji melalui aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume dan massa ditentukan oleh ukuran.99 Karena kedudukan logika sebagai kaidah sebagaimana pula tata bahasa yang juga adalah kaidah, maka keduanya berada untuk saling melengkapi, bukan bertentangan. Tata bahasa membantu seorang logikawan dan filosof untuk mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa tertentu. Pada saat bersamaan tata bahasa juga bergantung pada logika, karena logika-lah yang membantu klasifikasi partikel-partikel kebahasaan.100 Walaupun mengakui hubungan dialogis logika dan tata bahasa, al-Farabi memisahkan kedua pengetahuan ini menjadi tata bahasa dan logika. Memperjelas kaitan antara logika dan tata bahasa, misalnya adalah ketika seseorang berpidato atau berdialog atau ketika tengah mempelajari geometri dan ilmu hitung, logika tidak pernah dapat dikesampingkan. Logika membantu tata fikir seseorang yang berpidato dan berdialog, membantu agar setiap kata yang disampaikan berada dalam jalur yang bersesuaian sejak dari pengucapan pertama kali sampai kemudian pidato atau dialog tersebut berakhir. Namun, tata fikir tersebut juga berkaitan langsung dengan tata bahasa, karena pidato dan dialog berkaitan langsung dengan kata-kata yang mesti disampaikan. Artinya, tata bahasa hanya berkaitan dengan kata-kata yang disampaikan dan logika berkaitan dengan arti dari kata-kata yang merupakan penjelmaan makna. Terlebih, tata bahasa selalu berhubungan dengan aturan-aturan bahasa, sedang bahasa itu berbedabeda, tetapi logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu sama kapan dan dimanapun. Di sepanjang karya linguistiknya, al-Farabi mengangkat suatu konsepsi tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan kaidahkaidah yang harus diikuti guna berfikir secara benar dalam bahasa apa pun. Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang dibangun di atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya tertentu. Namun, al-Farabi juga membuka kemungkinan terjadinya pinjam-meminjam dasar-dasar teori kebahasaan sepanjang garis-garis kebahasaan tersebut secara logika tepat.101 Cara kerja logika dikatakan al-Farabi adalah sebagai pedoman atau peraturan yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran dalam lapangan yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kedudukan logika dalam lapangan pemikiran dikiaskan al-Farabi dengan kedudukan ilmu nahwu dalam lapangan bahasa.102 Mengikuti Aristoteles, al-Farabi kemudian menetapkan ilmu semantik sebagai alat atau sarana untuk menetapkan hukum umum guna memperkuat kesanggupan berfikir yang dapat membawa manusia ke jalan yang tepat dalam menjelaskan kebenaran.103 Sumbangan penting al-Farabi pada aspek-aspek logika yang lebih formal seperti silogisme, teori demonstrasi dan masalah-masalah epistemologis terkait, dibuktikannya dengan mengelompokkan topik- topik dalam logika menjadi delapan kelompok, yang seluruhnya merupakan aturan-aturan pemahaman. Masalah pokok logika ialah topik-topiknya yang membahas aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dikelompokkan menjadi delapan, yakni pengelompokkan dan penafsiran yang merupakan bagian dari sillogisme, pendahuluan dan penerapan serta perbandingan untuk menghindari dari kesalahan dan kebingungan adalah bagian dari dialektika, adapun topik, sofistik, retorik dan puisi merupakan bagian dari teori demonstratif.104 Peran teori demonstratif dalam retorika dan puisi dijelaskan al- Farabi dalam pembahasan awal Kitab al-Jadal. Al-Farabi berusaha memperlihatkan peran dialektika dalam filsafat dengan mengidentifikasi lima cara bagaimana kontribusi bagi pencapaian pengetahuan demonstratif. (1). Dengan memberikan latihan keterampilan berargumentasi; (2). Dengan memberikan pengenalan awal kepada prinsip masing-masing ilmu demonstratif; (3). Dengan membangkitkan kesadaran akan prinsip-prinsip bawaan demonstrasi yang terbukti dengan sendirinya (self evident), khususnya untuk ilmu-ilmu kealaman; (4). Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna untuk berkomunikasi dengan massa; dan (5). Dengan menolak sofistri.105 Al-Farabi juga menekankan teori imajinatif dalam proses demonstratif, khususnya puisi. Takhyil, atau pembangkitan gambaran imajinatif suatu objek adalah tujuan epistemologis unik bagi wacana puitis, karena ia menjadi sarana yang dapat menjelaskan daya tarik emosional dan kognitif terhadap puisi dan wacana puitis. Tetapi dalam retorika, al- Farabi menekankan perlunya pengetahuan yang pasti mengenai massa yang akan diajak berkomunikasi. Persuasi retorika menurut al-Farabi bergantung pada apa yang disebut al-Farabi “diterima secara luas pada pandangan pertama”. Artinya, menjadi filosof yang sempurna, bagi al- Farabi, harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu- ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka.106 Epistemologi pengetahuan itu sendiri dituturkan al-Farabi didasari oleh dua tindakan kognitif dasar, yakni konseptualisasi (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Tashawwur ditujukan agar seseorang dapat memahami dan menyerap esensi objek melalui konsep-konsep sederhana sampai menjadi pengetahuan yang seutuhnya. Dan tashdiq adalah pertimbangan atau penilaian benar dan salah, penilaian ini mendorong pengetahuan pada kepastian kebenaran.107 Singkatnya, kepastian tidak hanya mensyaratkan bahwa kita mengetahui sesuatu adalah suatu hal yang jelas, tetapi juga pengetahuan kita bahwa kita mengetahuinya. Artinya, kebenaran mesti sesuatu yang telah dipahami dan diketahui benaroleh setiap individu. Adapun kepastian terbagi menjadi dua, kepastian-niscaya dan kepastian tak niscaya. Kepastian niscaya ialah apa yang diyakini seseorang sebagai suatu hal mustahil merupakan hal lain untuk selama-lamanya, kepastian ini mensyaratkan suatu objek yang niscaya dan abadi keberadaannya. Sedangkan kepastian tak niscaya ialah kepastian “hanya pada saat-saat tertentu saja”.108 Agaknya teori kepastian niscaya berkaitan dengan keyakinan akan keberadaan Tuhan, sebuah pengetahuan yang pasti dan yang objeknya adalah abadi keberadaannya. Konsep ini agaknya dekat sekali dengan teori wajib alwujud dan mumkin at-wujud yang menjadi penjelasan filsafat emanasi-nya al-Farabi. 2. Metafisika dan Tuhan Sebelum mengembangkan teori emanasi yang menghubungkan antara Tuhan sampai dengan alam di dunia ini, al-Farabi sebenarnya merasa kecewa dengan buku Metafisika Aristoteles, karena ternyata kitab metafisik tersebut tidak terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam pandangan Islam, merupakan tema pokok dalam metafisika. Dikatakan, hanya dalam kitab Lambda dari bukunya itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun, bahkan ketika berbicara tentang Tuhan, tidak ada keterangan yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam. Rasa keingintahuan al-Farabi terjawab melalui teori emanasi Plotinus, karena teori emanasi telah dapat menjawab pertanyaan mendasar, yaitu, bagaimana dari Tuhan Yang Esa, bisa muncul dunia yang beraneka. Padahal dari Yang Esa tentu hanya bisa muncul yang tunggal juga. Disesuaikan dengan teori astronomis yang berkembang saat itu didominasi oleh teori Ptolomius dalam kitab Aimagest.109 Karena pemilihan teori emanasi untuk menggambarkan pemikiran filosofisnya, ditambah dengan penyebutan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) sebagai pemberi bentuk (wajib al-shuwar). Konsep metafisika al-Farabi menurut Mulyadhi Kartanegara menunjukkan aliran filsafat peripatetik. Sebutan peripatetic disematkan pada al-Farabi, karena ide hylomorfis yang kuat terlihat dari bagaimana al-Farabi menetapkan dua unsur utama yang melatarbelakangi terjadinya alam ini yakni materi (hyle/al-hayula) dan bentuk (morphis/ shurah).110 Al-Farabi juga menggunakan modus diskursif, menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal, dengan prosedur penalaran “silogisme”. Ciri lainnya secara metodologis al-Farabi sangat menekankan daya rasio pada pembahasannya. Dalam pembuktian adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil wajib alwujud dan mumkin al-wujudm Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Dan seperti al- Kindi, alFarabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme, dengan meyakini bahwa Tuhan adalah al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Hanya saja, al-Farabi berhasil membuat semacam struktur bagaimana dari Tuhan muncul keanekaan alam, sesuatu yang tidak dilakukan al-Kindi karena keterkacauannya terhadap pemikiran Plotinus yang dinisbahkan pada Aristoteles. Proses dari yang esa sampai kemudian menjadi beraneka di alam ini, kemudian dikenal dengan teori sepuluh kecerdasan. Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, bahkan menjadi semacam identitas filsafat peripatetik Islam. Filosof berikutnya, Ibnu Sina mencoba mengembangkan teori ini dan menjadikan emanasi adalah ciri khas filsafat emanasi Islam. Sebelum kemudian membahas teori sepuluh kecerdasan, perlu diperjelas dahulu makna wujud yang disampaikan oleh al-Farabi. Al-Farabi berpendapat bahwa setiap yang maujud (ada), termasuk ke dalam kategori wajib al-wujudatau mumkin al-wujud. Ketika yang maujud itu tergolong kepada kategori mumkin al-wujud, maka maujud itu harus didahului oleh adanya suatu sebab yang menjadikan keberadaannya. Dan ketika sebab-sebab itu tidak mungkin tidak berakhir, maka dia harus berhenti pada maujud yang tergolong wajib al-wujud, yang tidak ada sebab bagi keberadaannya. Yakni ‘azali yang tidak mengalami perubahan sama sekali, yaitu akal murni yang merupakan demonstrasi (al-burhan) atas segala sesuatu. Makna wajib al-wujud ialah bahwa Dialah satu-satunya zat yang tidak ada sesuatu baginya, yaitu Allah Swt.112 Tentang sifat Tuhan, al-Farabi sebagaimana al-Kindi sejalan dengan faham Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan zat-Nya. Bagi al-Farabi, asma’ al-husna yang disebut sebagai sifat-sifat dari Allah Swt. tidak menunjukkan adanya bagian-bagian dari Tuhan, artinya tidak terpisah dari Tuhan, sehingga sifat-sifat itu adalah zat-Nya itu sendiri. Tuhan, menurut alFarabi adalah ‘Aqlmurni, la adalah wujud Yang Esa, Tunggal dan yang menjadi objek pemikirannya (karena Tuhan adalah ‘Aql mumi) hanya substansi-Nya saja, la tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Artinya Tuhan adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul, maka, Dia adalah akal, zat Yang Maha berfikir sekaligus adalah zat yang difikirkan.113 Dari konsepsinya ini, al-Farabi kemudian mengembangkan teori sepuluh kecerdasan atau yang dikenal juga dengan teori emanasi al-Farabi. Dengan menggambarkan Tuhan sebagai "Akal” yang berfikir, dan dari hasil proses berfikirnya Tuhan menurut al-Farabi muncullah apa yang disebut dengan akal pertama. Karena Tuhan itu Esa maka dari-Nya hanya akan muncul satu akal saja, maka akal pertama adalah satu, yang dari sudut dan sifatnya sangat dekat dengan Tuhan. Ketika akal pertama terbentuk, keanekaan alam ini belum terbentuk, tetapi ketika akal pertama berfikir maka akal pertama telah dapat melahirkan potensi keanekaan (alam). Karena akal pertama, menurut al-Farabi, telah bisa berfikir bukan hanya tentang Tuhannya tetapi juga tentang dirinya sendiri. Sehingga akal pertama dapat memunculkan sesuatu yang beragam dan tidak tunggal, sebab ia berfikir tidak hanya dirinya tapi juga Tuhan dan itu menunjukkan keberagaman berfikir, sementara Tuhan hanya berfikir mengenai dirinya sendiri maka hanya muncul satu saja dari proses berfikir tersebut.114 Disinilah kita bisa melihat akal pertama memiliki dua jenis prinsip, pertama prinsip keesaan, dari hasil memikirkan Tuhan, yang bisa menghasilkan akal berikutnya dan kedua prinsip keanekaan, dari hasil proses memikirkan dirinya sendiri yang kemudian menghasilkan benda-benda samawi. Hal ini juga terjadi pada akal-akal berikutnya, dari akal kedua sampai akal kesepuluh. Untuk memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi atau teori sepuluh kecerdasan ini, berikut kami kemukakan dalam bagan sebagai berikut.115 Tuhan = Yang Pertama (al-Wujud at-Awwal) ■f- Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama (al-wujud al-Tsanify Hasii memikirkan Tuhan = | Akal Kedua (al-wujud al-tsalits)'\, Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Pertama) = Jiwa dan Badan langit Pertama > Hasil memikirkan Tuhan = | Akal Ketiga (al-wujud al-rabi) \ Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kedua) = bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) Hasil memikirkan Tuhan = | Akal Keempat (al-wujud al-khamis)' Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Ketiga) = ^ Saturnus (kurah al-zuhal) Hasil memikirkan Tuhan = * Akal Kelima (al-wujud al-sadis) Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Keempat) = Jupiter (kurah al-musytari) 1 Hasil memikirkan Tuhan = Akal Keenam (al-wujud al-sabi) 'n Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kelima) = Mars (kurah al-marrikh) Hasil memikirkan Tuhan = Akal Ketujuh (al-wujud al-tsamin^ 'n Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Keenam) = Matahari (kurah al-syams) 1 Hasil memikirkan Tuhan = Akal Kedelapan (al-wujud al-tasi) i \ Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Ketujuh) = Venus (kurah al-zuhara) 1 Hasil memikirkan Tuhan = *► Akal Kesembilan (al-wujud al-. ‘asyir) Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kedelapan) = Mercury (kurah at-'alharid) Hasil memikirkan Tuhan = + Akal Kesepuluh (al-’aql al-fa’al) i i Hasil memikirkan dirinya sendiri (Akal Kesembilan) = Bulan (kurah al-qamar) —i ♦ Mengaktualkan akal manusia V Memberi ^ Materi bentuk Manusia dan segala yang ada di alam ini S Akal sepuluh atau ‘aql al-fa’at atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) diidentifikasi dengan malaikat Jibril yang mengurusi kehidupan di muka bumi. Akal-akal dan planet-planet tersebut dalam prosesnya menurut alFarabi adalah terpancar dengan cara berurutan dalam tingkatannya, tetapi terjadi dalam waktu bersamaan seperti rantai pemancaran. Perbedaan dalam satu tingkatan dengan tingkatan lainnya disebabkan setiap lingkungan atau situasi mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya.116 Beginilah Tuhan berfikir tentang diri-Nya menghasilkan daya atau energi yang karenanya menghasilkan sesuatu secara cepat dan tepat, sehingga terciptalah akal satu sampai dengan akal sepuluh. Teori emanasi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara cara pandang seorang filosof dan teolog tentang cara Tuhan menciptakan alam. Bagi para teolog (Mutakallimun), alam dicipta melalui kehendak Tuhan, bagi para filosof penciptaan nampaknya merupakan keniscayaan, sebagai konsekuensi logis dari aktivitas Tuhan berfikir. Tuhan sering digambarkan filosof sebagai matahari yang secara niscaya bukan atas kehendak, memancarkan sinarnya. Karena jika Tuhan mempunyai kehendak, hal itu membawa Tuhan pada ketidaksempurnaan, termasuk jika Tuhan dapat melimpahkan dari diri- Nya yang banyak secara sekaligus. Pelimpahan yang banyak dan Kehendak Tuhan membuat Tuhan terikat dengan waktu dan itu dapat menafikan kekekalan Tuhan. Berbeda dengan al-Kindi, al-Farabi berargumen bahwa konsep kekekalan didasarkan pada ruang dan waktu, itu sebabnya al-Farabi menyatakan alam adalah taqaddum zamani bukan taqaddum zati.m Konsep ini dalam sejarah, mendapat serangan gencar dari para teolog, termasuk yang paling menonjol al- Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Untuk memperjelas konsep wujudnya, al-Farabi mengkategorisasi wujud dengan wajib al-wujud dan mumtani’ al-wujud. Kategorisasi tersebut diterangkan Mulyadhi terkait erat dengan aktivitas ketika akal pertama berfikir, dimana ia bisa berfikir tentang Yang Esa (wajib al-wujud), yakni Tuhan, sehingga muncullah akal ketiga, bisa juga tentang esensinya sebagai mumkin al-wujud, sehingga muncullah dari sini Langit Pertama (al-sama’ alula). Oleh karena itu, pemikiran tentang Tuhan dalam setiap aktivitas akal dari akal pertama sampai dengan sepuluh adalah apa yang disebut sebagai murajjih (the sufficient reason) bagi munculnya yang lain, khususnya dalam hal ini kemunculan akal kedua dan langit pertama.118 Teori emanasi al-Farabi ini ditegaskan Deborah L. Black, bergantung pada dua pilar kosmologi geometrik Ptolemaik (berhubungan dengan Ptolemaus) dan metafisika ketuhanan. Kerangka acuan emanasi yang digunakan al-Farabi diberikan oleh kosmologi alam semesta dipandang sebagai serangkaian bolabola langit (sphere) konsentris, yang paling luar disebut langit pertama; bola langit bintang-bintang tetap. Yakni, bola langit Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius dan akhirnya Bulan.119 Dan dalam beberapa hal, menurut Deborah, emanasi al-Farabi juga kuat dipengaruhi oleh Aristoteles, tetapi anggapan Deborah tersebut tidak sepenuhnya benar. Misalnya saja, pemikiran al-Farabi bahwa Tuhan adalah esa, immateri, kekal dan bertindak niscaya, mungkin bagian dari Aristotelian, atau bagian dari Islam. Meskipun begitu,tak dapat dipungkiri ketika Tuhan dicirikan oleh al-Farabi sebagai intelek (akal) yang aktivitas utamanya adalah "merenungkan dirinya sendiri" adalah juga konsepsi Aristoteles mengenai aktivitas Tuhan sebagai “berfikir tentang berfikir”.120 Aktifitas Tuhan ini yang kemudian memunculkan sepuluh akal dimana ujung proses emanasional ini adalah dunia di bawah alam bulan, yakni dunia kita sendiri. Al-Farabi bagi Deborah, telah berhasil memposisikan dirinya sebagai pewaris pemikiran Yunani yang sebenarnya. Dengan mengadopsi metafisika emanasi Neoplatonik, al-Farabi memberikan sarana sehingga filsafat Aristoteles dapat ditempatkan dalam kerangka acuan yang lebih sistematis daripada yang dimungkinkan oleh karya- karya Aristoteles itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam definisi Aristotelian, filsafat alam meliputi studi psikologi: sehingga wujud yang esa dan yang sama, yakni akal pertama, merepresentasikan batasbatas fisika dan batas bawah metafisika. Dengan cara demikian, emanasi memungkinkan al-Farabi mengisi ruang kosong antara unsur-unsur teologis dan ontologism dalam metafisika, tetapi juga menunjukkan kaitan antara ilmu-ilmu metafisika teoritis dan fisika yang secara samar- samar diartikulasikan oleh Aristoteles sendiri.121 3. Akal dan Jiwa Pembahasan metafisika selanjutnya adalah akal dan jiwa, pembahasan ini sengaja didudukkan terpisah dari pembahasan mengenai Tuhan, karena pembahasan Tuhan al-Farabi sangat fenomenal. Ini tidak berarti pembahasan mengenai jiwa dan akal al- Farabi tidak sebaik pembahasannya mengenai Tuhan. Namun, karena teori emanasi Tuhan adalah inspirator perkembangan teori emanasi lainnya selama beberapa abad dan merupakan teori yang berhasil menggabungkan pemikiran Yunani; dari aspek astronomi Ptolemaik, emanasi Plotinus dan aliran Alexandria dengan ajaran-ajaran Islam.122 Teori ini telah berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan, meski juga menuai kontroversi, teori ini dipegang kuat dan dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tetapi kemudian ditolak dengan keras oleh alGhazali. Pembahasan al-Farabi dibahasnya melalui Risalah fi al-‘Aql yang didefinisi Deborah sebagai bagian dari pembahasan tentang Psikologi dan Filsafat Pikiran. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai akal, perlu dikemukakan terlebih dahulu bagaimana jiwa versi al-Farabi, karena akal adalah bagian dari daya jiwa tersebut. Menurut al-Farabi, kesatuan jiwa dan badan merupakan kesatuan yang accident, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi menjelaskan accident tersebut dengan melihat substansi yang berbeda di antara keduanya, dimana binasanya badan (jasad) tidak berimplikasi pada binasanya jiwa. Karena jiwa berasal dari alam illahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak.123 Jiwa itu sendiri, menurut al-Farabi mempunyai daya-daya, yang mencakup daya gerak (montion), daya mengetahui (kognitif) dan daya berfikir (intelek). Setiap daya dikatakan Deborah tersusun secara hierarkis satu sama lainnya dan dalam masing-masing daya tersebut terdapat unsur-unsur “yang menguasai" dan “dikuasai”.124 Pada daya gerak (montion) merupakan “yang menguasai" dan “yang dikuasai” adalah daya makan (nutritive), daya memelihara (preservation) dan daya berkembang (reproduction). Sedangkan daya mengetahui (kognitif), membawahi daya merasa (sensation) dan daya imaginasi (imagination), dan daya berfikir (intelek) terbagi dengan akal teoritis dan akal praktis.125 Seperti halnya al-Kindi yang juga membagi daya jiwa pada daya bernafsu, berfikir dan pemarah, dimana akal/ daya berfikir adalah yang sebaiknya atau seharusnya menjadi pengendali dua daya lainnya, agar jiwa menjadi terarah dan terkendali. Al-Farabi juga menetapkan bahwa akal sehat yakni daya berfikir adalah daya “yang berkuasa” dalam jiwa inderawi, maka daya berfikir adalah pengatur jiwa inderawi manusia. Seperti Aristoteles, al-Farabi menentukan letak fisiologis posisi daya berfikir ini dalam hati, sesuatu yang nantinya akan dikembangkan oleh filosof kemudian berdasarkan fisiologi Galenik dengan menempatkan daya berfikir/ intetect di dalam otak.126 Adapun daya gerak dan daya mengetahui terkait erat dengan aktifitasaktifitas apef/Y/7(nafsu/ hasrat) jiwa, yang oleh al-Farabi dikaitkan dengan indera dan rasio. Daya gerak terkonektifitas dengan indera sedangkan daya mengetahui (kognitif) pada rasio. Al-Farabi memandang setiap daya kognitifsensasi dan imajinasi- berhasrat kepada objek-objek yang diterima dan dipersepsikan secara alamiah dan timbul bersamaan dengan pemahaman mereka.127 Berbeda dengan kedua daya di atas, manusia memiliki potensi penerima pengetahuan melalui daya berfikir (intellek) yang dikelompokkan menjadi akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan dan teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal praktis adalah implementasi akal teoritis, sedangkan akal teoritis adalah potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal.128 Dalam proses penerimaan pengetahuan ini, akal teoritis tersusun dari akal potensial, akal aktual dan akal mustafad. Akal potensial adalah jiwa atau bagian jiwa yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka akal potensial adalah akal fisik, akal material, akal ini seperti materi yang di dalamnya setiap yang terlihat terlukiskan dalam akal menjadi persepsi atau sesuatu yang diketahui. Tetapi, pengetahuan disini baru sampai dengan persepsi belum mewujud ke dalam bentuk menangkap semua pengertian dan menghasilkan pemahaman.129 Pengetahuan yang sekedar persepsi akan berubah menjadi pengertianpengertian jika ia disinari oleh intellek aktif (Akal Fa’al) -akal kesepuluhsering juga dimaknai dengan Malaikat Jibril, pada perubahan ini, akal telah berhasil melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya sehingga melahirkan ragam pengetahuan yang kemudian tersusun menjadi sebuah pemahaman yang komperhensif. Dari pencerahan oleh intellek aktif (Akal Fa’al) akal dimungkinkan untuk bertransformasi dari akal potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya, berbeda dengan akal potensial, akal actual telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya bukan lagi dalam bentuk potensi tetapi dalam bentuk actual.130 Untuk menggambarkan peran intellek aktif (Akal Fa’al) dalam perubahan akal dari potensial menjadi actual, Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan intellek aktif (Akal Fa’al) seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tetapi dia menjadi actual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya objek-objek inderawi saja yang bisa dilihat tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri. Jadi akal potensial tidak akan bisa menjadi aktual tanpa campur tangan intellek aktif. Di samping itu, menurut al-Farabi intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya. Intelek potensial yang sudah disinari oleh Akal Fa’al akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda tersebut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Artinya, perolehan aktualitas pada akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap Akal Mustafad, akal aktual merefleksikan dirinya sendiri, kandungan akal aktual adalah pengetahuan murni, dan akal aktual beranalisis untuk mengetahui dirinya sendiri, dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Ketika akal aktual sudah sampai pada tahap ini, ia akan menjadi apa yang disebut al- Farabi dengan akal perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired /nfe/ecf.131 Akal dimana pengetahuan telah bersemayam dan kedekatannya dengan Akal Fa’al terjaga dan terbangun, sehingga untuk mendapatkan pengetahuan akal aktual hanya perlu menyingkapkan keilmuan dalam Akal Fa’al. Dengan demikian, akal perolehan merujuk pada akal aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self- intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (selfintellective). Akal perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Akal perolehan adalah yang paling dekat dengan Intelek Aktif [Akal Fa’al) karena keduanya memiliki hubungan sinergi. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya. Dari sini, terlihat bahwa akal potensial ini tidak dapat menjadi akal actual, begitu juga akal actual tidak dapat menjadi akal mustafad kecuali dengan pertolongan Intellek Aktif (Akal Fa’al) yang terpisah darinya. Melalui penyinaran Intellek Aktif (Akal Fa’al) akal potensial dapat naik ke akal actual, dan kemudian akal actual disinari oleh Akal Fa’al naik menjadi akal mustafad (acguired intellek).132 Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh. Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk- bentuk yang dapat dirasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertianpengertian dan serapan-serapan pengetahuan. Dan akal yang diperoleh naik ke tingkat komuni, ekstase dan inspirasi, pada tahap ini pemahamanpemahaman merupakan bentuk-bentuk abstrak yang tidak pernah ada dalam materi. Di setiap tahap perubahan Akal Fa'al memainkan peran yang sangat signifikan. Karena pengetahuan manusia bergantung pada radiasi intelegensiintelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen atau akal fa’al memiliki hubungan terdekat dengan akal manusia seperti analogi mata dan matahari seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Artinya, akal manusia dapat menyerap pengetahuan bila ia tersibakkan oleh akal fa’al yang menerangi jalannya. Disini terlihat, bahwa al-Farabi meleburkan mistisisme dengan filsafat dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan inspirasi. Majid Fakhry menyimpulkan gerakan akal al-Farabi mengandung tiga komponen penting, epistemologi, kosmologi dan metafisika. Di tahap potensial akal menunjukan perannya sebagai bagian dari pencarian pengetahuan (epistemologi), di tahap aktual akal berhubungan dengan pengetahuan di atasnya, dengan kemampuan elaboratif diri untuk berhubungan dengan intelek-intelek immaterial dan ini berhubungan dengan teori emanasi yang bersifat kosmologis. Dalam posisi akal perolehan ini, intelek individu manusia mencapai derajat yang setingkat dengan intelekintelek immaterial lainnya, temasuk dengan intelek agen (Akal Fa’al), dan menjadi sama atau mirip jenisnya dengan mereka. Sebagai akibatnya, ia kini dapat berkontemplasi (berfikir dan merenung) tidak hanya tentang dirinya tetapi juga tentang intelijibel yang telah diperoleh dari substansi-substansi immaterial yang terpisah darinya.133 Melalui doktrin-doktrin al-Farabi tentang akal perolehan dan akal fa’al juga daya imajinasi, serta aspek-aspek psikologis atau kejiwaan, al-Farabi kemudian menyusun sebuah konsepsi teori kenabian. Teori yang kemudian mengiringi pendapatnya mengenai kesatuan filsafat, kesatuan ilmu dan filsafat praktis yang berkaitan dengan politik dan konsepsi Negara idealnya, Negara Madinah. 4. Teori Kenabian Teori kenabian al-Farabi merupakan bukti sukses reformasi pemikiran yang dilakukan al-Farabi terhadap pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Disini, alFarabi menjelaskan mengenai wahyu dan inspirasi, sesuatu yang ditolak oleh pemikiran filosofis pada masanya seperti Ahmad ibn lshaq al-Ruwandi (berkebangsaan Yahudi) dan Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi yang meragukan eksistensi kenabian. Menurut mereka para filosof juga berkemampuan untuk mengadakan komunikasi dengan Intelek Agen. Pemahaman inilah yang kemudian ditolak al-Farabi, menurutnya, kenabian dalam berbagai perwujudannya merupakan hasil interaksi antara intelek dan kapasitas-kapasitas imitatif dari daya imajinasi. Menurut al-Farabi, imajinasi berada di tengah-tengah antara indera dan logika, ketika aktivitas daya indera, daya rasional (kognitif), dan daya hasrat (apetitive) terhenti saat tidur, imajinasi terus menjalankan perannya. Imajinasi adalah agen dari daya indera, ia melaksanakan tugas sebagai penyusun dan pemisah sketsa-sketsa inderawi (sensible) setelah mereka lenyap dari indera termasuk di dalamnya pengontrolan atas citra/ kesan tersebut dengan menyusunnya dan mengurainya untuk kemudian membentuk citra/ kesan yang baru.134 Selain kedua fungsi ini, al-Farabi menambahkan fungsi imitasi; peniruan (muhakah), dengan kemampuan ini, daya imajinasi dapat menggambarkan objek melalui citra objek lainnya. Dan dengan itu memperluas kemampuan penggambarannya melalui gambaran kualitaskualitas indera sehingga mencakup pengimitasian temperamen, emosi, keinginan tubuh bahkan realitas-realitas immaterial.135 Dalam membangun hubungan dengan akal fa’al, manusia, terdapat dua cara yang pertama dengan penalaran atau renungan pemikiran; cara inilah cara yang digunakan para filosof dan hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang memiliki kualitas ruh atau jiwa yang suci sehingga dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua, yakni dengan imajinasi atau instuisi hanya dapat dilakukan Nabi. Adapun perbedaan antara kedua cara tersebut, bukan karena yang satu lebih tinggi setingkat dari yang lainnya sebagaimana sebaliknya. Tetapi, pada esensinya, artinya, bagi seorang Nabi, pancaran Tuhan adalah given sedangkan bagi seorang filosof, pribadi pilihan merupakan sebuah upaya, usaha setelah mensucikan ruh atau jiwanya.136 Ciri khas seorang Nabi bagi al-Farabi adalah memiliki daya imajinasi yang kuat dimana objek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan Akal Fa’al yang juga diidentifikasi al-Farabi dengan Jibril, seorang Nabi dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tersebut adalah limpahan dari Tuhan melalui Akal Fa’al (Jibril), disini seorang Nabi dapat berhubungan langsung dengan Jibril tanpa latihan, karena Allah menganugerahinya akal mempunyai kekuatan suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang disebutnya dengan hads. Sedangkan filosof memulai hubungannya dengan Akal Fa’al dengan pelatihan dari potensial, actual sampai mencapai akal mustafad itupun jika akal mustafad tersebut telah terlatih kuat dan mendapatkan perolehan dari akal murni Tuhan -dalam bahasa lslam= “hidayah”-. Maka, seorang filosof memiliki kans untuk mencapai derajat seorang Nabi, seorang Nabi adalah filosof sejati, tetapi tidak setiap filosof adalah seorang Nabi, karena Nabi pun adalah seorang pilihan dari Allah, Yang Esa, Yang Tunggal, Pencipta alam ini.137 Imajinasi memiliki kedudukan yang penting dalam psikologi¬nya al-Farabi, ia berhubungan dengan perasaan-perasaan dan terlibat dalam tindakantindakan rasional. Imajinasi dapat menjadi gambaran- gambaran mental seseorang, seperti sebuah gerakan alam bawah sadar yang nyata-nyata bukan tiruan, dan terkadang dapat menjadi sumber mimpi. Dan bila imajinasi terlepas dari aktifitas-aktifitas yang dasar seperti tidur, maka ia sepenuhnya dipengaruhi oleh gejala psikologis. Prilaku- prilaku yang dalam keadaan sadar memberikan perasaan-perasaan emosi atau konsepsi-konsepsi tertentu dapat mempengaruhi imajinasi dan memunculkan mimpi-mimpi yang berkaitan erat dengan alam emosi pada saat terjaga.138 Disini, jika ruh/ jiwa itu telah suci atau telah mencapai akal mustafad, mimpimimpi tersebut dapat menggambarkan pola dunia spiritual. Nabi, karena hubungannya yang sangat erat dengan Akal Fa’al, mimpi seorang Nabi dapat menjadi jalan untuk berkomunikasi dengan Akal Fa’al, melalui hubungan ini, kenabian dapat diterangkan karena ia sumber mimpi yang benar yakni wahyu. Dengan demikian, mimpi adalah daya imajinasi imitasi, karena mimpi adalah fasiliitator antara jiwa dengan intelegensi agen (Akal Fa’al), maka seorang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al, yang darinya (intelegensi agen-akal fa’al) tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna, yang kemudian diserap secara imitatif, siapapun yang melihat gambaran- gambaran tersebut, ia menyaksikan keagungan Tuhan. Penyaksian ini yang misalnya saja terjadi ketika tidur, dapat tetap terserap dengan baik dan tetap terpelihara sampai kondisi terjaga. Bahkan dalam kondisi terjaga pun, gambaran-gambaran tersebut memberinya pengetahuan sehingga seorang Nabi tetap bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan.139 Melanjutkan konsepsinya mengenai integrasi ilmu, antara filsafat dan agama, al-Farabi berpendapat karenanya wahyu dan filsafat tidak bertentangan. Dan mu’jizat yang dikonotasikan di luar logika atau akal fikir manusia tetaplah logis dan sesuai fikir manusia. Karena mu’jizat sama-sama berasal dari akal sepuluh yang memang berfungsi menata dan mengatur dunia ini.140 Masih berkaitan dengan elemen-elemen yang dapat menghubungkan antara filosof dan Nabi, al-Farabi kemudian mengembangkannya dengan teori mengenai “Kota Model”. Al-Farabi menggambarkan kotanya sebagai suatu keseluruhan dari bagian- bagian yang terpadu, serupa dengan organisme tubuh, dimana jika ada satu bagian yang sakit, maka bagian lainnya akan bereaksi dan menjaganya. Konsep tubuh ini kemudian dikembangkan dengan individu individu yang menjalankan tata kota (pemerintahan). Disini, setiap individu yang mendapat amanah menjalankan pemerintahan haruslah memiliki keahlian dan kecakapan di bidang tersebut. Setiap individu dan kinerjanya adalah bagian-bagian dari tubuh yang harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dan pengendali tubuh ini adalah otak yakni seorang penguasa atau pemimpin kota.141 Menurut al-Farabi, penguasa atau yang menjadi pimpinan kota haruslah orang yang paling unggul di bidang intelektual maupun moralnya di antara semua orang yang ada, dia haruslah yang terbaik dari yang terbaik. Kualitaskualitas kecerdasan tersebut terdiri dari kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, tidak berlebih-lebihan dalam makanan, minuman dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, mencintai keadilan, ketegaran dan keberanian, serta sehat jasmani dan memiliki kefasihan bicara.142 Yang sangat menarik adalah criteria pemimpin atau penguasa yang diupayakan al-Farabi tercakup di dalamnya religiusitas dan filosofis. Seorang pemimpin mesti seorang yang memiliki kombinasi antara identitas kenabian dan filsafat, artinya al-Farabi mencoba mengumandangkan sebuah keselarasan antara agama dan ilmu pengetahuan bagi seorang pemimpin.143 Ide “Kota Model" ini dekat sekali dengan raja filosof dalam dunia “Republika’-nya Plato,144 tetapi al-Farabi menambahkan pentingnya religiusitas di dalamnya. Religiusitas juga dianggap al-Farabi sebagai landasan masyarakat, disini alFarabi mengungkapkan bahwa warga kota yang baik adalah mereka yang mempertimbangkan kehidupannya untuk kehidupan kebahagiaannya kelak di akhirat. Warga kota yang mengarahkan kehidupannya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat ini, yang akan mendapatkan akal perolehan (acquired intellect). Dan jika seseorang telah sampai tahap ini, mereka akan kekal bersama intelek agen-agen lainnya, sebaliknya jika seseorang tidak sampai ke tahap ini, mereka hanya akan berakhir dengan kematian dan jiwanya akan tetap mati selamanya.145 Ide “Kota Model" ini diduga disebabkan oleh kondisi social dimana al-Farabi hidup yang terus menerus berada dalam chaos, sehingga al-Farabi tergerak menunjukkan tata kota yang sebenarnya harus ada dengan mengadaptasi teori ‘7cfea"nya Plato. Ketika al-Farabi hidup, dinasti Abbasiyah tengah diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan dengan berbagai motivasi, diperkirakan saat itu Abbasiyah dipimpin oleh khalifah alMu’tamid dan al-Muthi’, khalifah-khalifah yang sangat lemah dari dinasti Abbasiyah. D. IBNU MISKAWAIH Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miskawaih atau dikenal juga dengan Abu Ali al-Khazin, lahir di kota Rayy, Iran pada 320 H dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H. Seorang politikus dan filosof ini dikatakan merupakan seorang Majusi sebelum kemudian menjadi seorang muallaf. Namun Yaqut al-Baghdadi menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa yang Majusi adalah neneknya, ayah Ibnu Miskawaih sendiri adalah seorang muslim, ini terlihat dari nama ayahnya; Muhammad.146 Ibnu Miskawaih adalah intelektual muslim dan pejabat kenegaraan yang memperoleh kemajuan pesat di bawah perlindungan dinasti Buwaihiyah (sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-5 Hijriyah/ abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi).147 Ibnu Miskawaih (selanjutnya ditulis Miskawaih) membangun karier politiknya dengan mengabdi kepada al-Muhallabi (w. 325 H), seorang wazir pangeran Buwaihiyah Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya alMuhallabi, ia diterima Ibn al-’Amid, seorang wazir dari saudara Mu’iz alDaulah, Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Rayy. Disini, Miskawaih ditempatkan untuk menjadi pustakawan, kedudukannya sebagai pustakawan digunakannya untuk menuntut ilmu secara otodidak. Sampai Ibn al-Amid wafat dan digantikan putranya Abu al-Fath, Miskawaih masih tetap menjadi pustakawan, namun saat Abu al-Fath wafat dan digantikan al-Shahih ibn ‘Abbad, Miskawaih meninggalkan Rayy menuju Baghdad untuk kembali mengabdi pada dinasti Buwaih. Di sini, Miskawaih menjadi bendaharawan Negara dan mengaktifkan dirinya pada keilmuan serta memulai penulisan karya-karyanya.148 Tokoh ini diperkirakan hidup sezaman dengan Ibnu Sina dan al-Tauhidi. Ibnu Miskawaih juga dikabarkan belajar pengetahuan dan keilmuan Yunani pada Ibn al-Khammar, seorang pensyarah terkenal karya-karya Aristoteles, dan juga mempelajari al-Kimia pada Thayyib al- Razi. Dalam banyak bidang ilmu pengetahuan, Miskawaih adalah seorang pakar yang sangat aktif. Tulisan-tulisannya dan informasi- informasi tentang dirinya dalam berbagai sumber menjadi saksi tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaran kultur di masanya. Miskawaih dicatat Margouliouth sebagai seorang ahli sejarah dan etika, namun selain dua bidang tersebut, Miskawaih juga memiliki perhatian dan kontribusi lain, dia digambarkan pada masanya sebagai seorang ahli biografi para dokter, dan menulis semacam rangkuman dari berbagai risalah medis, seorang ahli aritmatika, sastra dan memiliki kemampuan yang memukau di bidang retorika, dan menulis beragam antologi puisi.149 Kendati tulisannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, bahasa, sejarah dan filsafat, tetapi ia lebih popular sebagai filosof etika. Tulisan-tulisannya mengenai etika kemungkinan besar dimotivasi dari kondisi masyarakatnya yang kacau, akibat minuman keras, perzinahan dan bermewah-mewahan. Literatur etika ini memperoleh konsep dan metode pembahasannya dari karya-karya etika Yunani yang dikenal oleh para pakar muslim. Seperti karya Aristoteles, Bryson, Galen,Porphyry, Themistius, kaum Naturalis dan Stoic. Di antara semua ini, pengaruh Neo-platonis adalah yang paling kuat dan hasilnya berupa sebuah sistem Neo-platonis yang terpadu. Tetapi tentu saja, etika muslim juga diupayakan Miskawaih yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Karena pembahasannya yang terkonsentrasi pada etika dan hanya memberikan sedikit perhatian saja pada masalah ketuhanan, Miskawaih seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari filosof muslim. Namun beberapa alasan dapat menjawab segala tuduhan tersebut, pertama, secara praktis setiap filosof berurusan dengan etika, karena ilmu ini merupakan bagian dari filsafat, berdasarkan skema Aristotelian yang digunakan para filosof muslim. Kedua, pembahasan mengenai etika berkaitan erat dengan pembahasan psikology atau ilmu mengenai jiwa, dan jiwa adalah bagian dari tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam. Ketiga, pembahasannya mengenai jiwa secara tidak langsung berhubungan dengan akal, alam dan juga Tuhan. Artinya, meski dalam porsi kecil pembahasan mengenai Tuhan, tetapi pengkajian mengenai jiwa membutuhkan landasan yang kuat dan berhubungan dengan teori ketuhanan. Selain dikenal sebagai filosof etika, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang sejarahwan. Karyanya Tajarub al-Umam (Pengalaman Bangsa- bangsa), merupakan karya tulis di bidang sejarah yang memaparkan sebuah sejarah universal sampai dengan tahun 369 H, yang khususnya penting bagi periode setelah al-Thabari juga sebagai catatan sejarah yang kaya informasi dari sumber aslinya, dan penjelasan mengenai model- model administrasi, strategi peperangan, perekonomian Negara sampai dengan manuver politik dan dimana, menurut editor dan penerjemah dalam edisi Inggrisnya, D.S. Margoliouth, Miskawaih memperlihatkan bahwa dirinya jelas-jelas lebih unggul dibandingkan sejarahwan terkemuka sebelumnya.150 1. Filsafat Ibnu Miskawaih Metafisika Ibnu Miskawaih memang tidak memberikan perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, namun itu tidak berarti ia tidak memiliki pemikiran mengenai hal tersebut. Risalah Ibnu Miskawaih al-Fawz al- Asghar, merupakan risalah yang mengetengahkan uraian tentang ketuhanan, meski dalam porsi kecil. Risalah al-Fawz al-Asghar dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama berkenaan dengan pembuktian adanya Tuhan; bagian kedua tentang ruh dan ragamnya dan bagian ketiga tentang kenabian. Di dalam risalahnya ini, Ibnu Miskawaih menyuguhkan penjelasan mengenai Tuhan dan alam ini dengan teori Neo-platonisme yang dikatakan Oliver Leaman agak tidak lazim.151 Sebelum menjelaskan teori emanasinya, Ibnu Miskawaih terlebih dahulu mengklaim bahwa para filosof Yunani tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak ada pertentangan yang berarti antara pemikiran mereka dengan Islam. Salah satu contohnya, dikutip Ibnu Miskawaih dari teori Aristoteles mengenai sang Pencipta yang merupakan “Penggerak pertama yang tidak bergerak". Ide sang Pencipta Aristoteles ini dikatakan Ibnu Miskawaih sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian Ibnu Miskawaih berusaha menyelaraskan ide-ide filosof Yunani dengan ajaran-ajaran dalam Islam. Penyelarasan filosofis-religius ini semakin terlihat ketika Ibnu Miskawaih membahas teori Neo-platonismenya atau emanasi. Ibnu Miskawaih sebagaimana filosof pendahulunya yang lain, menggunakan emanasi sebagai deskripsi penting penciptaan dari Pencipta pada ciptaan- Nya. Tetapi emanasinya terlihat berbeda dengan penggambaran filosof lainnya. Menurutnya, Tuhan menciptakan akal aktif, jiwa dan lelangit serta merta,152 yang dalam tradisi Neo-platonisme Islam, emanasi ilahiah ini biasanya muncul agak di bawah tingkatan wujud dan tidak bersamaan. Konsep ini membuat semacam kerancuan antara makna emanasi dan makna menciptakan. Jika dalam emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina, Tuhan memancarkan dengan proses berfikir dan memunculkan akal pertama sampai dengan akal kesepuluh (akal aktif). Menurut Ibnu Miskawaih entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal fa’al (yang oleh al-Farabi diletakkan menjadi akal sepuluh), artinya akal fa’al atau akal aktif adalah yang pertama mewujud dari pancaran Tuhan, akal aktif ini karena muncul tanpa perantara lainnya kecuali pancaran Tuhan membuatnya kekal, sempurna dan tidak berubah-ubah. Dari akal aktif ini timbul jiwa, yang dari perantara jiwa timbul planet-planet. Pencaran secara terus menerus dari Tuhan ini yang memelihara tatanan di alam ini, dan sekiranya pancaran Tuhan tersebut berhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini. Teori emanasi ini dikatakan Oliver Leaman sebagai emanasi nirputus Neoplatonisme karena perbedaannya dengan pemikiran filosof lainnya.153 Penciptaan itu sendiri dikatakan Ibnu Miskawaih tercipta dari ketiadaan, dan akal aktif serta jiwa adalah abadi. Tetapi keabadian akal aktif dan jiwa adalah berbeda, akal aktif menjadi kekal, sempurna dan tidak berubah karena pemancaran Tuhan terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sumber pemancaran itu adalah kekal. Untuk menjelaskan keabadian jiwa, Ibnu Miskawaih mengutip pendapat Plato dengan menjelaskan esensi ruh yakni gerak. Gerak ini terdiri dari dua macam, pertama; gerak ke arah inteligensi dan kedua; gerak ke arah materi, yang pertama diterangi dan yang kedua menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati akal aktif yang merupakan ciptaan pertama dan melalui gerak kedua, ruh beresensi dari dirinya. Sehingga pada gerak pertama, ruh mendekati Tuhan dan pada gerak kedua ruh menjauhi Tuhan dan mendekati materi.154 Meski beberapa teorinya terkesan rasionalis, Ibnu Miskawaih juga adalah seorang religius sejati. Pertama karena ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan dan kedua pemikirannya mengenai Tuhan yang disimbolkan dengan simbol penegatifan. Simbol penegatifan ini juga adalah teori al-Kindi dan mutakallim mu’tazilah. Tuhan harus disimbolkan dengan penegatifan karena Tuhan berbeda dari segala yang ada di dunia ini. Tuhan bersifat abadi dan non-materi, Tuhan secara mutlak terbebas dari materi, terbebas dari entitas-entitas apapun yang tunduk kepada hukum perubahan. Karena perbedaan Tuhan dengan entitas- entitas yang tunduk kepada hukum perubahan, maka Tuhan hanya dapat dikenal proposisi negatif dan tidak bisa dikenai dengan proposisi positif, karena menisbahkan proposisi positif sama dengan menyamakan Tuhan dengan ciptaanNya.155 Emanasi Ibnu Miskawaih dari Tuhan sampai dengan alam ini dideskripsikan Ibnu Miskawaih sebagai berikut; Kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal aktif, akal aktif ini sempurna dan kekal tetapi ia tidak sesempurna Tuhan, karena keberadaannya bergantung pada pancaran Tuhan. Dari akal aktif ini timbullah ruh, ruh memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan untuk mengikuti akal aktif. Ruh juga kekal dan sempurna dibandingkan dengan benda-benda alam, benda-benda alam ini mewujud dari ruh langit. Dan karena benda-benda alam jauh tidak sesempurna ruh maka benda-benda ini memerlukan gerak fisik yang terikat dalam ruang dan waktu. Lingkungan benda-benda alam ini bergerak dalam ketetapan Tuhan, dan manusia adalah evolusi dari benda-benda alam ini. Rantai perantara yang panjang ini membuat manusia adalah fana.156 Menariknya, Ibnu Miskawaih juga mengakui evolusionisme. Evolusi tersebut terdiri dari empat tahapan, pertama; evolusi mineral, merupakan kombinasi substansi-substansi primer di alam ini dan merupakan kehidupan pertama. Kedua; tumbuh-tumbuhan, adalah bentuk kehidupan yang jauh lebih tinggi dari kehidupan sebelumnya, dan diduga merupakan kombinasi dari mineralmineral yang tersusun. Ketiga; hewan, disini Ibnu Miskawaih mengungkapkan terdapat beberapa tumbuhan yang menyentuh dunia hewan seperti misalnya saja koral/ batu karang yang tidak hanya tumbuhan tetapi juga memiliki cirri-ciri hewaniah. Keempat; manusia, seperti teori evolusi Darwin, teori evolusi belakangan, Ibnu Miskawaih telah berpendapat bahwa manusia “mungkin" berasal dari hewan. Beberapa indera hewan yang juga ada dalam diri manusia dan bentuk struktur tubuh hewan yang ada dalam manusia menurut Ibnu Miskawaih membuktikan evolusi tersebut.157 Teori evolusi ini menjadi pijakan Ibnu Miskawaih untuk menjelaskan teorinya tentang moral dan kenabian. Ibnu Miskawaih menekankan sebuah “pelayanan", antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, misalnya saja manusia melayani hewan dan tumbuhan begitupun sebaliknya, semakin banyak melayani semakin besar kesempatan untuk menuntut (meminta) lebih banyak. Jika sedikit melayani, sedikit pula ia dapat meminta dan menerima. Konsep ini adalah konsep mengenai kedudukan manusia sebagai Khalifah di muka bumi, itu sebabnya bagi Ibnu Miskawaih, kenabian adalah pencapaian manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, tempat dimana dia memberi pelayanan terbaiknya bagi alam ini, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.158 Seperti al-Farabi, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat ini dapat juga diperoleh oleh filosof, namun terdapat perbedaan dalam cara memperolehnya, filosof berupaya mendapatkannya dari efektifitas penggunaan daya inderawi menuju ke daya khayal dan naik lagi ke daya fikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Tetapi Nabi menerima seluruh hakikat kebenaran sebagai rahmat Tuhan. Artinya hubungan filosof dengan akal aktif adalah dari bawah ke atas, dan Nabi dari akal aktif sampai ke Nabi.159 Pemikirannya mengenai kenabian ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan Nabi dan filosof bisa jadi tidak bertentangan. Karena Nabi membawa ajaran yang tidak bertentangan dengan akal dan filosof menggunakan akal sebagai landasan berfikirnya. Tetapi, menurut Ibnu Miskawaih dalam beberapa hal, seperti memahami Tuhan, tidak ada jalan rasional. Hanya dengan mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandanganpandangan umum komunitas religius, seseorang dapat memahami Tuhan dan mengetahui Tuhan dengan lebih baik.160 2.. Filsafat Etika Ide-ide Miskawaih tentang etika dituangkannya dalam risalah Tahdzib alAkhlaq, sebuah risalah yang kini telah dijadikan rujukan baik di Timur dan Barat, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dan tampaknya karyanya ini menempati posisi sentral dalam tradisi etika filosofis muslim. Ini terlihat dari pengaruh karyanya terhadap tulisan-tulisan intelektual muslim lainnya setelah Miskawaih. Misalnya saja, Akhlaq-i Nashiri karya Nashir al-Din al-Thusi (±672 H) dan Akhlaq- i Jatah karya Jalai al-Din alDawwani (+_908 H) yang juga bergantung pada karya Thusi, juga pada Ihya’ ’Ulum al-Dirmya al-Ghazali, teolog Islam besar, yang juga besar pengaruhnya pada tradisi pemikiran Sunni. Inti ajaran etika Ibnu Miskawaih adalah ilmu tentang jiwa (,psikology), jiwa menurut Miskawaih adalah entitas yang berdiri sendiri, bukan bagian dari tubuh. Analoginya adalah lilin, jika lilin dicairkan untuk kemudian dibentuk menjadi lukisan maka lilin tersebut kemudian merubah bentuk menjadi lukisan tetapi identitas dirinya adalah lilin tidak hilang karena ia hanya diberi bentuk. Jiwa juga demikian, jiwa hanya diberi bentuk karena ada jasad atau tubuh tetapi entitas dirinya adalah jiwa yang berbeda dengan tubuh.161 Dengan demikian, jiwa adalah tetap, tidak berubah meski ia menerima beragam bentuk. Tetapi tubuh mengalami setiap perubahan, tubuh dapat menjadi semakin tua, semakin rapuh tetapi jiwa tetap. Ibnu Miskawaih mencoba menerangkan identitas tubuh dengan keberadaan indera, karena indera adalah sistem pengenal yang dimiliki tubuh. Tubuh membutuhkan indera untuk memenuhi kebutuhan jasadinya seperti keinginan untuk menjadi pemenang, keinginan untuk balas dendam. Secara garis besar, setiap apa yang dapat ditangkap indera, tubuh akan merasa senang, karena tubuh seakan mendapatkan eksistensinya. Adapun jiwa semakin jauh dari kebutuhankebutuhan jasadi itu semakin sempurna dan semakin terbebas dari indera, dan semakin kuatlah jasad untuk menangkap ma’qulaf yang terpancar dari akal aktif.162 Fakta bahwa jiwa melepaskan kebutuhan-kebutuhan jasadi ini diketahui ketika manusia melakukan perenungan atau yang kita kenal dengan meditasi. Dalam proses perenungan ini akan diketahui bahwa jiwa mempunyai prinsip lain dan tingkah laku lain yang sama sekali bukan indera. Jika indera cuma mengetahui obyek yang diinderai, jiwa mampu mengetahui sebab-sebab yang harmonis dan bertolakbelakangnya hal- hal yang dapat diinderai tadi. Sebabsebab ini merupakan hal yang dapat dilihat jiwa tanpa bantuan tubuh, artinya jiwa memiliki kekuatan untuk dapat mengendalikan tubuh. Karena jiwa dapat memutuskan bahwa indera itu benar atau salah, karena indera tidak memiliki kemampuan untuk menentang dirinya dari apa yang diterimanya.163 Contohnya, ketika indera cium melakukan kesalahan ketika mencium benda busuk, apalagi jika baunya berubah-ubah, akal menolak penginderaan ini, mempertanyakannya lalu mencari sebabnya dan membuat penilaianpenilaian yang benar. Secara garis besar, akal adalah esensi dan substansi jiwa, dengan begitu, jiwa itu tahu, karena ia mengetahui dari esensi dan substansinya sendiri yaitu akal. Dan itu berarti, bahwa ia tidak membutuhkan sesuatu untuk mengetahui kecuali dengan dirinya sendiri Maka, akal, dan yang berfikir dan yang obyek yang difikirkan adalah jiwa. Karena perbedaannya dengan indera maka jiwa memiliki pembawaan tersendiri yakni kebajikan.164 Dan kecenderungan manusia pada jiwa dan indera dapat dideteksi melalui kebajikan yang terpancar dari dirinya, semakin kuat kecenderungan jiwa semakin kuat kebajikan dan keutamaan terpancar dan sebaliknya semakin kuat kecenderungan indera atau jasad semakin menipis kebajikan yang terpancar.165 Kebutuhan jiwa dan indera pada manusia ini telah membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya, karena jiwa pada manusia memiliki bakat atau tindakan tertentu yang berbeda dengan yang terdapat pada hewan dan tumbuhan. Ini tidak berarti bahwa jiwa dalam makhluk lainnya tidak berpembawaan kebajikan, tetapi karena dalam indera manusia pun ditempatkan indera berfikir yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Yang pengefektifan indera berfikir ini adalah dengan melatih jiwa, dan sebenarnya pada hewan dan binatang kemampuan tersebut ada dengan porsi yang kecil. Misalnya saja seekor kuda, dianugerahkan bakat dan tindakan untuk dapat bergerak dengan cepat, jadi kuda yang baik adalah kuda yang paling cepat geraknya, yang paling cepat dan gesit larinya. Begitu pula manusia, manusia yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat bagi dirinya, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya, yang membedakan dirinya dari seluruh benda alam yang ada.166 Dengan demikian, manusia perlu mengupayakan kebaikan yang merupakan kesempurnaan dirinya. Tetapi karena kebaikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan mampu mencapai semuanya sendiri, maka harus ada sejumlah individu yang bersatu dan bersama-sama mencapai kebahagiaan bersama ini. Untuk tujuan ini, maka manusia harus saling mencintai karena setiap individu akan mendapatkan kesempurnaan dari individu lainnya.167 Demi mendapatkan kesempurnaan individual ini, manusia perlu mengetahui watak dari jiwa. Ibnu Miskawaih membagi watak jiwa pada tiga bagian yakni berfikir, marah dan nafsu syahwat Namun, sebelum membahas etika Ibnu Miskawaih, kita perlu memahami konsep manusia menurut Miskawaih terlebih dahulu. Menurut Ibnu Miskawaih, penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi, dan jiwa ada di antara keduanya. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pencaran Tuhan, jiwa berfikir ini yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jiwa dikatakan Miskawaih dengan mengutip pemikiran Plato, adalah entitas atau substansi yang berdiri sendiri, jiwa tegas Ibnu Miskawaih dapat dipandang berbeda dari badan, karena jiwa dapat mendorong manusia untuk memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar secara terorganisasi dan tersistem. Karenanya jiwa bukan aksiden, jiwa mempunyai kekuatan untuk berhubungan dengan entitas immaterial dan abstrak. Jika jiwa adalah aksiden maka jiwa terikat dengan badan dan ruang lingkupnya akan terbatas seperti aspek-aspek fisik. Jiwa adalah substansi independen yang mengendalikan jiwa dan bersifat kekal, itu sebabnya jiwa tidak mati meski badan/jasad hancur binasa. Tetapi karena esensinya yang tidak mati ini, jiwa berada dalam gerak abadi, gerak yang memungkinkan jiwa untuk memilih untuk melebur bersama materi dan memuaskan hasratnya bersama materi, atau menuju akal, dan memuaskan hasratnya bersama akal. Semakin dekat jiwa pada akal, semakin kekal dan semakin sempurna posisinya, dan semakit dekat jiwa dengan materi, semakin rapuh dan binasa ia, karena ia dikendalikan oleh materi. Teori jiwanya ini ditujukan Ibnu Miskawaih untuk menjawab pendapat kaum materialis yan beranggapan bahwa hanya ada satu tubuh saja dan menafikan keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa diargumentasikan Miskawaih dengan bukti-bukti sebagai berikut; pertama, Ibnu Miskawaih menerangkan bahwa dalam diri manusia ada indera dan ada mental intuisi/ kognisi. Indera berkaitan dengan fisik dan intuisi adalah bagian dari jiwa, indera dapat mempersepsi suatu rangsangan dengan kuat, tapi cara kerja indera hanya pada satu arah, ketika menerima rangsangan kuat, indera dapat mengabaikan rangsangan-rangsangan lemah lainnya. Misalnya saja, orang yang kurang pendengarannya sulit untuk kemudian membangkitkan kemampuan bicaranya, karena indera bergerak dengan aturan-aturan yang mesti. Tetapi intuisi dapat menerima rangsangan dari manapun dalam bentuk apapun meski indera sudah tidak dapat digunakan, dan ini membuktikan bahwa jiwa terdapat dalam tubuh kita. Argumen kedua adalah bahwa seseorang yang telah rapuh fisiknya, tidak dapat mempengaruhi kekuatan mentalnya, bisa jadi mentalnya menjadi semakin kuat dan bisa jadi fisiknya menguat tetapi mentalnya menjadi lemah. Argumen ketiga dalam pembuktian jiwa, adalah hasrat manusia untuk mengisi dahaga spiritualnya dengan merenungkan sesuatu yang kemudian dengan segala daya upaya berusaha menjauhkan materi, misalnya saja seseorang yang berusaha keras menutup matanya, menjauhkan pendengarannya dari kebisingan dan memejamkan matanya untuk dapat menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya. Usaha ini yang sekarang dikenal dengan “meditasi” membuktikan bahwa jiwa adalah entitas yang berbeda, karena jika jiwa adalah materi maka jiwa tidak perlu melepaskan identitas-identitas materi, tidak perlu menutup mata dan menjauh dari kebisingan, tetapi karena jiwa berbeda dan harus berbicara dengan zat lain di luar materi, maka jiwa menghentikan diri dari kebutuhan- kebutuhan materi. Dengan demikian, jiwa bukan hanya pengendali dari jasad, tetapi juga jiwa adalah unsur yang setingkat lebih tinggi dari materi. Jiwa adalah suatu kekuatan tertentu yang disadari atau tidak mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi dan menyatukan semua pengetahuan. Prinsip penyatuan pengetahuan yang merenungkan materi yang diserap oleh indera dan menentukan bukti- bukti sampai kemudian disimpulkan adalah suatu perbuatan yang dilakukan jiwa. Jiwa itu sendiri sebelum menyatu dengan jasad/ tubuh memiliki pembawaan kebajikan, tetapi karena kebajikan manusiawi berikut bakatnya ini ternyata banyak jumlahnya dalam jiwa, dan karena seseorang tidak akan mampu mencapai semuanya, maka perlu bergabung sekelompok besar orang untuk mencapai semua ini. Untuk tujuan itu, setiap individu harus saling mencintai, bergaul dan bekerja sama. Namun sebelum kerjasama tersebut tercipta, setiap individu harus mengelaborasi jiwanya untuk menjadi individu yang “baik". Setiap jiwa dikatakan Ibnu Miskawaih memiliki watak atau daya yang terdiri dari tiga bagian; pertama, daya berfikir (melihat dan mempertimbangkan sesuatu); kedua, daya yang terungkapkan dalam marah, berani, ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam kehormatan; ketiga, daya yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan makan, atau yang lebih dikenal dengan daya hasrat dan keinginan. Ketiga watak jiwa ini berbeda satu dengan lainnya, ini diketahui dengan jika berkembangnya satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan dari lainnya. Dan tiga watak tersebut bisa menjadi kuat atau lemah tergantung pada temperamen, kebiasaan dan disiplin. Dalam hubungannya dengan tubuh, watak berfikir menggunakan organ tubuh yakni otak, watak nafsu syahwat menggunakan organ tubuh yakni hati, dan watak amarah menggunakan organ tubuh yakni jantung. Dua watak; nafsu syahwat dan amarah dimiliki juga oleh binatang. Ibnu Miskawaih menekankan keselarasan ketiga jiwa ini, karena keselarasan ketiganya akan menghadirkan kebajikan lain, watak yang sangat kuat yakni keadilan. Pengendalian watak berfikir akan membuat seseorang menjadi kearifan, dari pengendalian watak nafsu syahwat memunculkan kesederhanaan dan dari pengendalian watak amarah menimbulkan keberanian. Kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan adalah keutamaan-keutamaan jiwa, sebaliknya jika tidak ada pengendalian pada jiwa, keutamaan-keutamaan itu juga hilang, yang ada hanya kebodohan, kerakusan, pengecut dan lalim. Untuk mencapai keutamaan-keutamaan tersebut Ibnu Miskawaih mengajarkan teori jalan tengah (Nadzar al-Awsath), inti teori ini menyebutkan bahwa keutamaan etika secara umum diartikan posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya nafsu syahwat adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar nafsu dan mengabaikan nafsu. Posisi tengah daya amarah adalah syaja’ah (keberanian) yang terletak antara penakut dan nekad. Posisi tengah daya berfikir adalah a\- hikmah (kebijaksanaan) yang terletak di antara kebodohan dan arogan. Kombinasi ini menghasilkan keadilan yang merupakan posisi tengah antara menganiaya dan teraniaya. Selanjutnya, setiap keutamaan yang dihasilkan oleh setiap daya jiwa merupakan hasil dari olah kebajikan jiwa yang terbagi dalam beberapa bagian. Kearifan misalnya merupakan hasil olah jiwa pada tujuh perbuatan yakni ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. Kesederhanaan merupakan hasil olah jiwa pada dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian. Adapun keberanian berkembang menjadi sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. Sementara keadilan oleh Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat dan keadilan Tuhan. Untuk mencapai posisi tengah dalam setiap jiwa tersebut manusia harus dapat memadukan fungsi syari'at dan filsafat. Syari'at berfungsi bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa amarah sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah wata berfikir. Dari penjelasan mengenai watak jiwa ini, kemudian Ibn Miskawaih membangun kriteria karakter manusia. Karakter adalah suat keadaan jiwa yang menyebabkan jiwa bertindak tanpa difikir ata dipertimbangkan dengan mendalam. Karakter ini terbagi menjadi du£ pertama, alamiah dan muncul dari watak, misalnya saja ada orang yan< mudah marah hanya karena hal kecil, atau yang mudah tersinggung yan mana sikap-sikap ini telah terlihat sejak manusia itu dilahirkan. Kedui tercipta melalui kebiasaan dan latihan, pada mulanya keadaan ini terjac karena dipertimbangkan dan difikirkan namun kemudian melalui prakte terus menerus, menjadi karakter.168 Sebelumnya, kaum Stoik berpendapat bahwa karakter manusii secara alami/ fithrah itu buruk karena tercipta dari lumpur yang hins yang merupakan sekotor-kotornya unsur alam, tetapi manusia dape berubah menjadi baik dengan disiplin dan pengajaran. Dan Galei berpendapat bahwa sebagian manusia secara alami ada yang terlahi baik tetapi ada juga yang terlahir buruk/ jahat tetapi kemudian seiri™ pertumbuhannya manusia dapat berubah dari yang jahat menjadi bai dan dari yang baik menjadi jahat atau tetap pada kondisi awalnya sesuc dengan pengajaran yan diterimanya.169 Miskawaih sendiri berpendapat bahwa pada manusia terdapat karakter alami, yang dapat berubah ceps atau lambat melalui disiplin atau nasihat-nasihat atau bahkai lingkungannya. Karakter alami itu bisa saja baik, bisa juga buruk dai bisa juga diantara keduanya, yang di tengah-tengah inilah yang bis; berubah menjadi baik akibat bergaul dengan orang-orang baik atai bisa juga buruk jika bergaul dengan orang-orang berperilaku buruk.171 Untuk memahami karakter yang dijelaskan Miskawaih ini dicontohkannya dengan anak-anak yang baru terlahirkan, mereka menuru Miskawaih memiliki sikap-sikap yang berbeda, yang tidak sama, ada anal yang sejak kecil telah menunjukkan watak yang “keras", tetapi ada yan< sangat “penurut", “lembut'' dan “pemarah”. Seluruh watak bawaai tersebut, dapat berubah seiring pertumbuhannya, sebelum dewasa, anal hanya menggunakan dua daya jiwa yang juga dimiliki binatang yakni day; nafsu syahwat dan daya amarah. Secara perlahan daya berfikir kemudiar tumbuh dalam dirinya dan siap menerima pengajaran dan disiplin semakin cepat pengajaran dan disiplin itu diterapkan pada anak, semakir cepat pula daya berfikir terolah di dirinya. Dan semakin diabaikan, karakter-karakter alami mereka ini yang semakin kuat tumbuh dan daya berfikir semakin tumpul karena tidak digunakan.171 Untuk mendidik mereka, Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya syari’at agama. Karena agama adalah arah terbaik sikap manusia, semakin besar anak kemudian perlu diajari filsafat dan cara berfikir secara filosofis. Manusiamanusia seperti inilah yang akan mencapai kesempurnaan akhlak. Selain masalah-masalah di atas, Ibnu Miskawaih menekankan tiga tujuan dari etika atau akhlak yang diperbuat manusia; kebaikan (a/- khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan mutlak yang tertinggi adalah identik dengan wujud tertinggi, dan semua bentuk kebaikan manusia di dunia ini berusaha meraih kebaikan tertinggi tersebut. Usaha setiap masing-masing orang dengan kebaikan dirinya menuju kebaikan tertinggi inilah yang kemudian disebut Miskawaih dengan kebahagiaan, artinya kebahagiaan bergantung pada upaya orang-orang untuk memperolehnya.172 Kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaihn terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Kebahagiaan sendiri berada dalam dua komponen tersebut, terdapat orang-orang yang merasa bahagia dengan keterikatannya pada benda, namun kemudian karena kerinduannya pada jiwa berusaha memperoleh kebahagiaan jiwa. Dan kedua, manusia yang memfokuskan kebahagiaannya pada jiwa. Miskawaih menegaskan siapapun yang merasa terikat dengan benda dan merasa bahagia dengan kedudukan tersebut pasti tetap merasa hampa dan kesepian sehingga berupaya keras meraih kebahagiaan jiwa.173 Menariknya, meski menempatkan kebahagiaan jiwa sebagai komponen terpenting, Miskawaih menolak kebiasaan “uzlah” atau mengasingkan diri dari masyarakat sebagai sikap yang benar. Sikap ini, adalah sikap yang juga identik dengan zalim dan bakhil serta sikap mementingkan diri sendiri. Sikap ini juga dapat menolak keutamaan (al-fadhilah) diantara manusia dengan manusia lainnya, keutamaan itu sendiri adalah cinta kepada semua manusia.174 Cinta ini dapat diaplikasikan dengan baik jika manusia itu sendiri berada di tengah masyarakatnya dan saling berintegrasi di dalamnya. Penyakit moral, terutama yang telah dinyatakan tercela dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas adalah rasa takut, terutama takut akan mati. Perasaan takut ini yang menggerogoti fikiran, hanya akan menimbulkan sakit bagi jiwa dan raga itu sendiri, kematian itu sendiri menurut Miskawaih, hanyalah proses perjalanan jiwa. Yakni perubahan jiwa dari keterikatannya pada materi menuju kebahagiaan sejati. Penyakit berat lain jiwa adalah kesedihan, karena kesedihan adalah suatu bentuk penolakan terhadap kondisi atau keadaan yang dialami. Kesedihan ini sebenarnya menurut Miskawaih adalah bentuk dari ketidakpuasan manusia pada kenikmatan duniawi, yang sebenarnya sangat temporal dan tidak membahagiakan.175 E. IBNU SINA Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah, dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya Abdullah, berasal dari Balkh, ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian diangkat menjadi gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina memperoleh pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasan luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan mengenal berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas tahun, Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik. Bahkan menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan belas tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.176 Bila al-Kindi dan karya-karyanya memperindah istana Khalifah al-Mu'tashim Billah dan al-Farabi dengan pemikiran-pemikirannya menghiasi istana Saif al-Dawlah, al-Razi mewarnai pemerintahan Mansyur ibn lshaq, Ibnu Sina menyemarakkan daulah Bani Buwaih. Masyarakat yang hidup pada masa itu, yaitu pada akhir abad keempat dan awal abad kelima hijriyah mengenal Ibnu Sina dengan julukan al-Syaikh. Bahkan karena kecerdasannya, Sultan Mahmud Ghaznawi meminta Ibnu Sina untuk tinggal di istananya di Afghanistan, tetapi Ibnu Sina menolaknya, ia memilih tinggal di Persia. Meski beberapa tahun kemudian ia pergi meninggalkan Persia (Bukhara) menuju istana Sultan 'Ali ibn al-‘Abbas di Khawarizmi (Turkistan). Tujuan keberangkatannya adalah untuk menemui ahli ilmu di kota itu, di sana ia bertemu banyak ulama dan kaum cendekiawan seperti Abu Raihan al-Biruni; seorang ahli falak, Abu Sahi al-Masihi dan Abu al-Khair al-Khammar; seorang ahli kedokteran.177 Setelah orang tuanya meninggal dunia, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara dan pergi ke Jurjan untuk bekerja di Istana Pangeran Ali ibn al-Ma’mun. Selanjutnya, ia pindah ke Hamdan dan selama disana ia pernah diangkat dua kali menjadi Menteri di Istana Syams al-Dawlah. Tetapi karena terlibat dalam urusan politik, ia kemudian dipenjara namun kemudian melepaskan diri dengan menyamar sebagai sufi dan melarikan diri ke Isfahan. Di Isfahan, ia bekerja di istana A’la al-Dawlah sampai akhir hayatnya pada tahun 1037 M.178 Menurut Abu 'Ubaid al-Juzjani, Ibnu Sina sibuk menulis baik sewaktu dalam penjara maupun dalam perjalanan. Karya tulisnya baik berupa risalah atau berupa buku berjumlah kurang lebih dua ratus, kebanyakan dalam bahasa Arab dan sebagian kecil dalam bahasa Persia. Karya fenomenalnya, al-Qanun fi al-Thibb dan al-Syifa’. Al-Qanun (The Canon), suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin di abad kedua belas masehi dan untuk masa lima ratus tahun menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa. Al- Syifa merupakan ensiklopedi tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahantambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri. Ringkasan dari isi al-Syifa’ terkandung dalam buku lain dengan nama al-Najah, buku-buku penting Ibnu Sina lainnya adalah ‘Uyun al-Hikmah,al-lsharat wa al-Tanbihat, Mantiq alMasyriqiyah dan lainnya.179 Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina), karena kemasyhurannya sebagai filosof, ia pun digelari "The Prince of The Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Rais”, pemimpin utama (dari filosof-filosof).180 1. Filsafat Ibnu Sina Teori Emanasi dan Filsafat Wujud Salah satu pemikiran terpenting bagi Ibnu Sina ialah emanasi, emanasi adalah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al-wujud (zat yang mesti ada; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan “teori urut-urutan wujud". Teori emanasi Ibnu Sina diperkirakan merupakan pengembangan selanjutnya dari teori emanasi gurunya, al-Farabi. Dalam salah satu karyanya al-lsyarat wa al-Tanbihat, Ibnu Sina merumuskan teori emanasi dengan menerangkan bahwa “emanasi adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain, dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantara materi, instrument ataupun waktu. Tetapi, suatu yang didahului oleh non- eksistensi dalam waktu tanpa membutuhkan perantara, tindakan emanasi karenanya mempunyai derajat yang lebih tinggi dari tindak penciptaan dan kontingensi”. Sistem emanasi menjelaskan bahwa seluruh alam, dengan semua kejamakan khasnya telah beremanasi dari dan tereduksi kepada Tuhan sebagai prinsip pertama eksistensi. Setiap wujud emanatif dicirikan Ibnu Sina keadaannya sebagai efek immanen, atau aksi emanatif prinsipnya tersendiri.181 Demi memudahkan pemahaman kita mengenai emanasi Ibnu Sina, perlu dipahami terlebih dahulu filsafat wujud Ibnu Sina. Ibnu Sina membagi wujud menjadi tiga kategori; yang mesti ada (wajib al-wujud), yang mungkin ada (mumkin al-wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud). Yang mustahil ada (mumtani’ al-wujud) dan Yang mesti ada (wajib al-wujud), tidak pernah tidak ada di masa lampau dan tidak akan pernah tidak ada di masa depan, la selamanya ada, keberadaannya tidak mempunyai permulaan dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir, la terus menerus ada, keberadaannya tidak mempunyai sebab. Sedangkan yang mungkin ada (mumkin al-wujud), pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan dapat tidak ada kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan dalam zaman dan juga mempunyai akhir, ia bermula dari tiada dan berakhir dengan tiada.182 Dari kategori wajib ai-wujud dan mumkin al-wujud, Ibnu Sina berpendapat bahwa wajib al-wujud adalah sebab dari segala sesuatu dan mumkin al-wujud adalah efek atau yang keberadaannya berasal dari wajib al-wujud. Dan setiap yang maujud terdiri dari dua elemen yakni bentuk dan materi.183 Bentuk menurut Aristoteles adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang dapat diuniversalkan yang membentuk definisinya, adapun materi pada setiap sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi.184 Tetapi teori ini dipertanyakan Ibnu Sina, karena pertama, bentuk yang digambarkan Aristoteles menunjukkan bahwa bentuk adalah universal, bentuk sendiri adalah hal yang abstrak sehingga mendekati tidak ada, demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni menjadi tidak ada, karena materi hanya dapat terwujud melalui bentuk. Sedangkan bentuk itu sendiri abstrak dan universal.185 Ibnu Sina kemudian berkeyakinan jika hanya dari materi dan bentuk saja, tidak akan didapati eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensi kebetulan. Bentuk dan materi itu baru akan bereksistensi jika ada campur tangan esensi yang dapat menyatukan keduanya. Diterangkannya eksistensi yang tersusun tidak hanya dapat disandarkan pada bentuk dan materi saja, tetapi harus ada hal lain, yang disebut Ibnu Sina dengan “kejadian". Disini, Ibnu Sina berpendapat eksistensi sesungguhnya bukan penyerahan bentuk pada materi, tetapi merupakan hubungan yang terjalin dengan Tuhan.186 Bagi Ibnu Sina, eksistensi lebih utama dari esensi, esensi hanyalah sesuatu yang abstrak dan hanya bisa berada di dalam akal saja. Esensi tidak mewujud menjadi gabungan materi dan bentuk, sedangkan eksistensi nyata, berwujud dan dapat bermanifestasi di luar akal. Filsafat wujud Ibnu Sina ini membawanya berkesimpulan bahwa wujud (eksistensi) lebih penting dari esensi, dengan bahasa yang lebih sederhana; “eksistensi adalah lebih utama dari esensi’’.187 Oleh karena itu, timbul pendapat bahwa eksistensialisme (suatu aliran filsafat yang muncul dan popular pada abad kedua puluh) telah lebih dahulu dikemukakan oleh Ibnu Sina pada abad kesembilan masehi. Teori “kejadian” yang diartikan sebagai hubungan dengan Tuhan menunjukkan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian yang sangat special dan tidak biasa. Karena jika kejadian tersebut adalah kejadian yang biasa, maka seseorang dapat memikirkannya sesaat saja lalu tetap melanjutkan fikiran lainnya dengan terus berargumen tentang obyeknya persis sebagaimana ia dapat melakukannya untuk kejadian- kejadian lain. Hal yang spesial ini diargumentasikan Ibnu Sina dengan penekanan bahwa ketiadaan adalah juga wujud, yakni mumtani' al-wujud. Sebuah pemahaman yang ditolak oleh banyak kalangan, karena ketiadaan diartikan tidak ada, tidak maujud dan bukan bagian dari wujud.188 Dari ketiadaan inilah, Tuhan menyatukan bentuk dan materi menjadi eksistensi. Untuk menerangkan ketiadaan adalah juga wujud, dijelaskan Ibnu Sina dengan logika. Menurut Ibnu Sina, setiap manusia seringkali membicarakan sesuatu yang tidak ada atau tidak maujud. Dalam hal ini manusia menggunakan imajinya untuk menggambarkan ketiadaan demi ketiadaan sehingga membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena kita mengadakan objek-objek ini di dalam fikiran kita. Misalnya, makhluk ruang angkasa, yang tidak diketahui keberadaanya, tetapi fikiran membuat gambaran-gambaran tertentu sehingga seakan-akan makhluk ruang angkasa itu ada/ berwujud. Tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh manusia bukan obyeknya (makhluk ruang angkasa) melainkan suatu kumpulan sifat.189 Dari teori kejadian dan pembagian wujudnya, Ibnu Sina kemudian berpendapat bahwa wajib at-wujud yakni Tuhan adalah wujud yang niscaya, Tuhan ada karena diriNya sendiri, tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan pun menjadi Tuhan karena keberadaan zat lainnya meski begitu tidak berarti bahwa Tuhan bergantung dan membutuhkan zat lain itu. Meski memiliki dua kemungkinan, Tuhan adalah satu-satunya wajib al-wujud lidzatihi, karena segala sesuatu kecuali Tuhan, yang esensiNya adalah Tunggal dan Maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain. Itu sebabnya meski keberadaanNya diakui melalui keberadaan lain, tetapi tidak bergantung dan membutuhkan zat lain tersebut. Pembagian Wajib al-wujud menjadi wajib alwujud lidzatihi (wujud actual karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujud lighairihi (wujud actual karena yang lain) ini yang menjadi dasar teori Ibnu Sina untuk membedakan Tuhan dan peran manusia serta perubahan manusia dari mumkin al-wujud menjadi wajib al-wujud.190 Karena wajib al-wujud dibaginya menjadi wajib al-wujud lidzatihi dan wajib al-wujud lighairihi, maka Ibnu Sina berpendapat bahwa mumkin al-wujud berpotensi untuk berubah menjadi wajib al-wujud. Ibnu Sina mengilustrasikan teorinya ini dengan menjelaskan eksistensi pembakaran adalah niscaya, tetapi bukan karena pembakaran itu sendiri, melainkan karena bertemunya dua hal, yang satu adalah secara alamiah dapat membakar dan yang lainnya secara alamiah dapat terbakar. Dengan demikian, eksistensi dapat berarti niscaya jika terdapat eksistensi yang mungkin, atau eksistensi tidak bisa menjadi niscaya dari dalam dirinya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, sesuatu dapat bereksistensi niscaya jika ada penyebab yang mungkin, kebakaran dapat terjadi karena ada eksistensi yang dapat membakar dan yang dapat terbakar. Dan eksistensi kebakaran adalah keniscayaan atau keharusan yang terjadi, sedangkan jika kedua mumkin al-wujud itu tidak ada, maka tidak terdapat eksistensi atau yang disebut Ibnu Sina dengan mumtani’ al-wujud. Namun, Ibnu Sina juga menegaskan adanya eksistensi yang niscaya karena dirinya dan tidak bergantung pada eksistensi-eksistensi lainnya yakni Tuhan.191 Berlandaskan dari pembagian wujudnya ini, Ibnu Sina mengembangkan teori emanasi al-Farabi. Berbeda dari al-Farabi, yang berpendapat bahwa akal pertama berfikir mengenai dua objek, yakni Tuhan dan dirinya sendiri. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal berfikir mengenai tiga objek, yaitu Tuhan sebagai wajib al-wujud linafsihi, akal sebagai mumkin al-wujud linafsihi dan akal sebagai wajib al-wujud lighairihi (yang actual karena sebab yang lain), maka akibat yang muncul dari pemikiran akal-akal tersebut adalah juga tiga macam. Dan Tuhan tidak hanya berfikir mengenai diri-Nya tetapi juga berfikir mengenai dua objek; wajib al-wujud linafsihi (dirinya sendiri) dan wajib al-wujud lighairihi. Itu sebabnya dari Tuhan timbul Akal pertama dan Malaikat Utama atau cherub, sedangkan versi al-Farabi hanya melimpahkan akal pertama, sebagai wujud tsani.192 Dan dari akal pertama, yang memikirkan tiga objek melahirkan tiga limpahan. Berikut bagan emanasi Ibnu Sina193: Tuhan = Wujud Niscaya t f Hasil berfikir Tuhan terhadap dirinya sendiri = Akal Pertama AI-‘Aql al-Awwall Malaikat utama atau cherub akal pertama berfikir tentang Tuhan (wajib al-wujud lidzatihi) = Akal Kedua Hasil memikirkan waiib al-wuiud liphairihi = Jiwa/ Malaikat langit pertama ^ Hasil memikirkan mumkin al-wujud= Tubuh langit pertama ► Akal Ketiga I ► Jiwa/ Malaikat langit kedua Tubuh langit kedua Bintang-bintang tetap atau tanda-tanda zodiac L*. Akal Keempat ► Jiwa/ Malaikat langit ketiga Tubuh langit ketiga Akal Kelima I ^ Jiwa/ Malaikat langit keempat Tubuh langit keempat (Yupiter) !-► Akal Keenam Jiwa/ Malaikat langit kelima Tubuh langit kelima (Mars) Akal Ketujuh ► Jiwa/ Malaikat langit keenam Tubuh langit keenam (Matahari) Akal Kedelapan Jiwa/ Malaikat langit ketujuh Tubuh langit ketujuh (Venus) ( Akal Kesembilan Ls— ► Jiwa/ Malaikat kedelapan) Tubuh langit kedelapan (Mercury) Akal Kesepuluh l ^ Jiwa/ Malaikat lanait kesembilan- Pemberi bentuk (wahib al-shuwar)\ Malaikat Jibril ^ Tubuh langit kesembilan (Bulan) Dunia yang fana (generation and Corruption) Menurut Ibnu Sina, rasul dan nabi diberi Tuhan akal materil yang luar biasa kuatnya, sehingga tanpa latihan dapat berhubungan dengan akal kesepuluh. Akal materil yang serupa itu mempunyai daya suci (qudwah qudsiah) dan ini merupakan bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan itu hanya diperoleh oleh nabi-nabi dan rasul-rasul.194 Sebagaimana pendahulunya al-Farabi, Ibnu Sina juga membahas filsafat kenabian. Perlu diketahui, pada zaman kedua filosof ini, ada orang-orang non-lslam yang tidak senang dengan kekuasaan politik Islam di negeri mereka dan mengungkapkan rasa ketidaksukaannya itu dengan mengkritik ajaran-ajaran Islam diantaranya soal kenabian.195 Dengan filsafat pancaran (emanasi atau al-faidh) yang berasal dari filsafat Yunani inilah Ibnu Sina dan al-Farabi membawa argument filosofis bahwa kenabian tidak bertentangan dengan rasio. Tuhan memancarkan akal-akal yang masing-masing mempunyai planet untuk diatur. Akal terakhir, akal kesepuluh adalah akal yang mengatur bumi. Akal kesepuluh meneruskan pancaran Tuhan ke manusia di permukaan bumi. Yang dipancarkan Tuhan itu adalah ilmu dan ilmu ini dapat ditangkap oleh akal perolehan filosof. Disini terdapat kontak antara akal filosof dan akal kesepuluh. Dalam filsafat Ibnu Sina, Nabi mempunyai akal potensial yang dayanya jauh lebih tinggi dari daya perolehan filosof, sehingga tanpa usaha, seorang Nabi dapat dengan langsung berhubungan dengan akal kesepuluh yang juga adalah Jibril. Yang menurut al-Farabi, kontak terjadi melalui imajinasi Nabi. Disini letak perbedaan antara al-Farabi dan Ibnu Sina, bagi al-Farabi hubungan antara Nabi dan akal kesepuluh adalah imajinasi, sedangkan bagi Ibnu Sina, hubungannya dapat dilakukan dalam berbagai cara, karena Nabi dan akal kesepuluh diberi akses untuk berkomunikasi. Bagi al-Farabi dan Ibnu Sina perbedaan antara Nabi dan filosof adalah bahwa filosof dalam kontak dengan akal kesepuluh atau Jibril sebagai upaya menerima ilmu, sedangkan Nabi selain ilmu juga menerima wahyu.196 Dengan filsafat kenabian inilah al- Farabi dan Ibnu Sina menentang serangan-serangan musuh-musuh Islam pada zaman lampau saat itu. 2. Filsafat Manusia, Jiwa dan Akal Ibnu Sina memandang manusia sebagai benda alam (natural matter) yang mempunyai bentuk (yang disebut “jiwa”) yang merupakan kesempurnaan yang pertama. Jiwa adalah titik pemusatan fungsi manusia dan tak terpisahkan dari jasmaninya. Bagi Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua substansi yaitu jiwa dan raga, substansi jiwa bersifat kekal dan substansi raga terbatas, keduanya meski berpadu menjadi satu subjek yakni manusia, namun keduanya adalah berbeda, terpisah, terutama setelah manusia mati.197 Tentang substansi jiwa, Ibnu Sina menampilkan tiga dalil pembuktian. Pertama, pada saat seorang manusia merenungkan diri, dia akan mengetahui bahwa ada esensi di dalam dirinya; kedua, bila manusia menumpahkan seluruh perhatiannya pada suatu persoalan, tanpa disadarinya, dia menghadirkan zatnya dan seakan-akan berkata “aku akan berbuat begini begitu atau begitu". Dalam keadaan itu, dia lupa pada semua anggota tubuhnya. Fokusnya tertuju pada jiwanya dan tidak pada raganya; ketiga, bila manusia berkata “aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan tanganku, aku berjalan dengan kakiku”, maka itu menunjukkan bahwa pada manusia memiliki sesuatu yang menghimpun semua penglihatan dan perbuatan yang dilakukannya, itulah jiwa manusia.198 Jiwa dibagi ke dalam beberapa bagian dan di setiap bagian terdapat dayadaya yang tercakup padanya. Pembagian jiwa menurut Ibnu Sina terdiri dari; (1) Jiwa tumbuhan dengan daya-daya; makan, tumbuh dan berkembang, (2) Jiwa binatang dengan daya-daya; gerak, menangkap, representasi/ indera penggambar, imaginasi/ indera penggerak, estimasi/ indera penganggap, rekoleksi/ indera pengingat, (3) Jiwa manusia, dengan dua daya; praktis dan teoritis.199 Ketiga jiwa tadi secara menyeluruh tercakup dalam diri manusia, dengan demikian jika tumbuh-tumbuhan hanya memiliki satu komponen daya yaitu daya dari dirinya sendiri, binatang memiliki dua komponen daya, yaitu komponen pertama dari tumbuhan dan komponen kedua dari dirinya sendiri (jiwa binatang), dan manusia memiliki tiga komponen daya, dari tumbuhan, binatang dan manusia.200 Daya-daya dalam jiwa binatang201 adalah; 1. daya penggerak; berbentuk nafsu serta amarah dan gerakan fisik dari satu tempat ke tempat lainnya 2. daya menangkap; terdiri dari dua bagian; dari luar dengan panca indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan lidah dan perasaan tubuh. Dan dari dalam; indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera luar dan meneruskannya ke indera batin berikutnya, daya ini bertempat di bagian depan dari otak. 3. representasi; atau indera penggambar berkemampuan menyimpan segala apa yang diterima indera bersama (daya menangkap dari dalam), melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari materinya, daya ini juga terdapat di bagian depan otak. 4. imajinasi; indera penggerak yang menyusun apa yang telah disimpan dalam representasi, mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memilah-milahnya kemudian menghubungkannya satu sama lain, daya ini terletak di bagian tengah otak. 5. estimasi; atau indera penganggap yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari bagi kambing yang melihat serigala, kambing menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran yang diterima, daya ini terletak di bagian tengah otak. 6. rekoleksi; atau indera pengingat yang menyimpan hal-hal abstrak yang disusun oleh estimasi, bertempat di bagian belakang otak. Adapun dalam jiwa manusia terdapat daya praktis dan daya teoritis, disamping seluruh daya yang ada di binatang. Daya praktis ialah daya yang tersimpan dalam jiwa manusia, yang berhubungan dengan badan dan materi, daya ini menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat seperti pada jiwa binatang. Sedangkan Daya teoritis ialah daya yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak, menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan malaikat.202 Pembagian terinci tentang jiwa dan daya-dayanya ini murni pemikiran Ibnu Sina dan tidak akan kita jumpai dalam filsafat Aristoteles dan filosof-filosof Yunani lainnya. Melalui pembagian daya jiwa, filsafat Ibnu Sina menjelaskan bagaimana kesan-kesan atau gambaran- gambaran berdimensi diabstrakkan menjadi arti. Sistem kerjanya adalah sebagai berikut; seluruh kesan dan gambaran yang diterima jasad/ badan atau materi diproses oleh daya penganggap atau wahmiyah dari otak binatang (terdapat pada binatang dan manusia) untuk diabstraksikan menjadi arti ke panca indera dalam. Berarti daya penganggap inilah yang mentransfer gambaran-gambaran yang diberikan panca indera luar kepada panca indera dalam. Sampai di panca indera dalam, jiwa binatang tidak memproses apapun lagi, tetapi pada jiwa manusia terdapat daya berfikir yang disebut akal. Akal hanya bisa menarik yang abstrak dan tidak dapat menangkap yang berdimensi. Proses penerimaan pengetahuan ke dalam akal dimulai dari dilepaskannya arti-arti atau definisi-definisi yang berupa kumpulan sifat dari suatu materi oleh daya penganggap yang kemudian diteruskan oleh daya pengingat ke akal manusia. Akal manusia mempunyai empat tingkatan; akal potensial, akal bakat, akal actual dan selanjutnya menjadi akal perolehan. Dengan akal perolehan inilah seseorang menjadi filosof.203 Filsafat jiwa Ibnu Sina bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa tubuh manusialah yang membutuhkan jiwa. Bagi Ibnu Sina yang membutuhkan bukanlah tubuh kepada jiwa, tetapi sebaliknya jiwa yang membutuhkan tubuh. Ibnu Sina mengilustrasikan kebutuhan tersebut dengan keberadaan janin dalam tubuh seorang ibu. Janin ini tidak meminta jiwa, tetapi diberikan jiwa, sehingga dalam perspektif Ibnu Sina, jiwalah yang membutuhkan tubuh, tanpa tubuh jiwa tidak dapat bereksistensi. Bersama dengan tubuh pula, jiwa berevolusi dan berkembang. Dengan bantuan panca indera luar dan dalam yang terdapat pada tubuh, daya jiwa meningkat dari potensial menjadi bakat, actual dan selanjutnya menjadi perolehan.204 Seperti telah disebutkan daya berfikir (jiwa rasional) mempunyai dua bagian, akal praktis; yang memiliki kapasitas untuk bertindak dan akal teoritis; yang potensinya baru akan dieksplorasi jika jiwa bertemu dengan badan. Akal praktis terletak konsentrasinya pada badan, dengannya seseorang dapat membedakan antara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, dan juga hal-hal particular yang baik dan buruk. Akal ini disempurnakan melalui kebiasaan dan pengalaman Sedangkan yang kedua, akal teoritis, mengarah pada dunia ilahiah dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel.205 Akal teoritis jika dihubungkan dengan nafsu binatang akan menimbulkan rasa malu, sedih dan lainnya; jika dihubungkan dengan daya penganggap dari indera batin binatang akan membedakan yang baik dan buruk dan akan menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia.206 Akal teoritis mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. akal materiil (intelek potensial): yang baru mempunyai potensialitas untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit, sehingga baru berupa potensi saja. Kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam materi, belum keluar. 2. akal bakat (intelek habitual); yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak, kesanggupannya untuk berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan; ia telah mulai dapat menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti "seluruh lebih besar dari sebagian" 3. akal actual (intelek actual); yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak, telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah umum dimaksud. Akal actual ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki 4. akal perolehan (acquired intellect); yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi daya upaya, arti-arti abstrak tersebut selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal dalam tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat di dalamnya. Akal dalam tingkatan inilah yang dapat menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif yang berada di luar diri manusia. Akal dalam derajat keempat ini, adalah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tidak pernah berada dalam alam materi. Akal perolehan yang telah bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui akal kesepuluh -pembahasan akal kesepuluh merupakan bagian dari teori emanasi Ibnu Sina yang diduga melengkapi pembahasan emanasinya al-Farabi-.207 Karena kemampuan jiwa rasional menerima bentuk-bentuk yang intelijibel, maka substansinya pasti merupakan sifat dasar (nature) dari bentuk-bentuk ini. Jika yang menerima bentuk-bentuk intelijibel itu adalah jasmani atau daya dalam jasmani, maka berarti bentuk-bentuk itu dapat dibagi, dan bentuk-bentuk yang dapat dibagi tidak mungkin menjadi intelijibel. Dengan demikian jiwa rasional pastilah bukan jasmani, bukan badan dan bukan material. Jiwa rasional adalah immaterial, konsekuensinya jiwa rasional itu tunggal karena kemajemukan terletak dalam materialitas.208 Karena ia tunggal, ia tidak dapat rusak, berbeda dari al-Farabi yang percaya bahwa jiwa manusia yang terjamin dari kerusakan hanyalah yang mengetahui paling tidak beberapa realitas sedangkan jiwa yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan seperti itu akhirnya akan hancur. Ibnu Sina menganggap semua jiwa manusia atau jiwa rasional tidak dapat rusak. Baginya, pengetahuan tentang realitas segala sesuatu hanya diperlukan untuk kebahagiaan, tetapi bukan untuk eksistensi setelah mati.209 Sedikit gambaran, agar kita tidak kesulitan memahami faham Ibnu Sina antara jiwa dan akal adalah dengan memandang jiwa sebagai subjek utama yang tunggal yang di dalamnya akal pun bersemayam. Jiwa telah dapat dinamakan jiwa jika ia telah bertindak dalam tubuh, jika ia terpisah dari tubuh/ materi, dia (dapat disinonimkan dengan ruh) yang merupakan limpahan dari akal-akal yang beremanasi. Dengan demikian jiwa dalam keberadaan hakikinya merupakan suatu substansi yang independen dan adalah diri kita yang transcendental. Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa adalah abadi didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh, yang kepada bentuk itu jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu.210 Dari jiwa ini muncul intelegensi aktif, kemunculannya bersamaan dengan hubungannya dengan tubuh yang memiliki temperamen tertentu dan kecenderungan tertentu, sehingga mengikat jiwa atau substansi terpisah untuk membaur bersamanya (tubuh). Keduanya (jiwa-substansi terpisah dan tubuh) saling merawat dan mengarahkannya dengan baik sehingga terjadi simbiosis mutualisme. Selanjutnya jiwa sebagai non-badani, merupakan suatu substansi yang sederhana dan substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya bahkan bila tubuh itu sendiri telah rusak. Simbiosis mutualisme antara jiwa dan tubuh dibuktikan Ibnu Sina dengan menjelaskan hubungan mistik yang terjalin antara jiwa dan tubuh. Hubungan mistik ini adalah keterikatan antara jiwa dan tubuh, dimana jiwa telah memilih tubuhnya dan tubuh mengikatkan diri pada jiwa. Sehingga bagi Ibnu Sina tidak ada perpindahan jiwa ke tubuh lain atau tidak ada tubuh yang berpadu dengan jiwa lain selain jiwanya sendiri. Karenanya hubungan tubuh dan jiwa adalah hubungan yang sangat erat, maka hubungan ini dapat mempengaruhi akal.211 Melalui hubungan tubuh dan jiwa, Ibnu Sina menekankan pentingnya eksistensi individual. Eksistensi individual ini menekankan pentingnya karakter emosi dan kata hati. Meski ia seorang Dokter, bagi Ibnu Sina pengaruh fikiran adalah komponen terpenting dari individu, karena kapan pun fikiran ingin menggerakkan tubuh, maka tubuh akan menaatinya. Dalam uraiannya yang terperinci mengenai gerak hewan, Ibnu Sina membaginya dalam empat tingkatan. Yang sebelumnya dibagi Aristoteles dengan tiga tingkatan (imajinasi/ penalaran, keinginan dan gerak otot), adapun Ibnu Sina, imajinasi/ penalaran, kata hati, keinginan dan gerak otot. Ibnu Sina berkata, bahwa hasrat dan dorongan memang dipengaruhi oleh imajinasi, tetapi ketika dalam kepedihan fisik, dorongan hati alamiah kita mencoba menghilangkan sebab kepedihan tersebut dan dengan demikian menimbulkan pergolakan imajinasi.212 Dari pergolakan ini, Ibnu Sina beralih pada bagaimana pengaruh imajinasi/ penalaran atau fikiran pada pengaruh emosi dan kemauan. Berdasarkan pengalaman medisnya, bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang yang sakit hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat menjadi sembuh dan begitu pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar sakit bila terpengaruh oleh fikirannya bahwa ia sakit.213 Dan sungguh emosi yang kuat seperti rasa takut dapat benar- benar merusak temperamen organisme dan menyebabkan kematian dengan mempengaruhi fungsi-fungsi vegetatif (lih. daya tumbuhan). Gembira dan sedih juga merupakan keadaan-keadaan mental yang dapat mempengaruhi fungsi untuk tumbuh dan berkembang. Keadaan-keadaan mental ini dapat mempengaruhi imajinasi/ fikiran, meski imajinasi bukan suatu pengaruh fisik, tetapi bila suatu gagasan tertanam kuat dalam imajinasi, maka gagasan tersebut mengharuskan adanya perubahan temperamen. Perubahan sel-sel fisik, organorgan tubuh yang dapat semakin kuat tumbuh dan berkembang atau sebaliknya.214 Dari sini, Ibnu Sina dapat dikatakan sebagai orang pertama yang menunjukkan bukti dari fenomena hypnosis dan sugesti. Menurut Ibnu Sina, jiwa yang secara eksklusif menyatu dengan tubuh dapat melampaui tubuhnya untuk mempengaruhi jiwa yang lain. Hal ini menjadi mungkin hanya apabila jiwa menjadi sama dengan seluruh jiwa. Dari sini, Ibnu Sina menolah stigma sihir dan mistis pada kebiasaan- kebiasaan Hellenis yang menggunakan logam dan hewan yang biasanya ahli sihir beraksi. Ibnu Sina melogikakan perilaku tersebut dan menegaskan bahwa setiap orang dapat melakukannya dengan logis.215 Fikiran secara kodrati memang dipersiapkan untuk dapat mempengaruhi materi dan sebaliknya materi secara kodrati memang menaati fikiran. Maka fikiran yang kuat akan mampu mempengaruhi, mengalihkan atau bahkan mengacaukan fikiran lain. Ini terjadi dikarenakan jiwa (ruh) berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang lebih tinggi dari materi, ruh ini yang memberi materi bentuk-bentuk yang terkandung di dalamnya, sehingga bentuk-bentuk ini membuat rupa pada materi. Nah, jika prinsip ini kemudian ditularkan pada spesies-spesies lainnya di alam, dengan memberikan bentuk untuk me"rupa"kannya maka tidak mustahil prinsip ini dapat memberikan kualitaskualitas tanpa perlu perantara (baik sihir, magic atau jin), juga tanpa kontak fisik. 3. Epistemologi dan Kenabian Ibnu Sina mendefinisikan pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang telah diketahui. Abstraksi pengetahuan sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya merupakan hasil persepsi indera bagian luar yang kemudian diolah oleh persepsi bagian dalam. Persepsi bagian luar adalah kerja panca indera, sedangkan indera bagian dalam bekerja untuk memilah-milah pesan, memaknai pesan dan menyusun pesan yang ditangkap oleh indera luar.216 Indera dalam pertama yakni indera bersama, indera ini menjadikan data-data indera indera luar sebagai persepsi-persepsi. Artinya indera bersama merupakan wadah data dari apa yang telah ditangkap oleh indera luar dan kemudian dipersepsikan oleh indera bersama. Indera internal kedua; representasi, indera ini telah mulai melakukan imajinasi dari persepsipersepsi yang diterima dari indera bersama, dengan imajinasi ini, indera representasi melakukan pemaknaan ulang (representasi) dengan melepaskan persepsi-persepsi awal yang diberikan panca indera. Indera internal ketiga adalah imajinasi yang sesungguhnya, pada manusia indera ini dikuasai oleh nalar sehingga imajinasi dapat bekerja dengan cermat, indera ini bertugas melakukan pemilahan persepsi-persepsi yang diterima dari indera internal ketiga. Imajinasi berupaya mengkaji baik dan buruknya kesan-kesan yang telah diterima, karena kecermatan dan ketepatan imajinasi inilah, maka akal praktis bersemayam di dalamnya. Indera internal keempat dan indera internal terpenting yakni estimasi bertugas menyerap gerak-gerak non bendawi seperti kegunaan dan ketidakgunaan, cinta dan benci kepada obyek-obyek materi dan sesungguhnya merupakan dasar karakter manusia. Dan indera internal kelima, rekoleksi; menyimpan dalam ingatan semua gagasan-gagasan yang diterima yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai tempat niat dimulai.217 Doktrin estimasi (wahm) yang digambarkan psikolog modem dengan “respon syaraf' subyek terhadap obyek tertentu, dapat bersifat instingtif murni seperti domba yang mengenali serigala dan memerintahkan dirinya untuk segera melarikan diri atau seperti seorang ibu yang mencintai anaknya.218 Instingtif murni didapati tanpa perlu ada pengalaman terlebih dahulu, sifatnya sangat naluriah dan alami. Sifat lainnya adalah “empiris semu", respon ini merupakan gabungan antara imajinasi dan estimasi (indera internal ketiga dan keempat) yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu atau sebelumnya. Anjing yang sebelumnya pernah dipukul dengan tongkat kayu dan merasakan sakitnya merekam ingatan itu, sehingga ketika anjing melihat seseorang membawa tongkat kayu, ia dengan sesegera mungkin menghindar. Gejala penghubungan kejadian masa lalu tersebut bisa jadi tidak langsung atau bahkan tidak rasional. Beberapa orang dengan irasional menghubungkan warna-warna tertentu dengan kejadian-kejadian tertentu, hanya karena ia mendengar asumsi-asumsi yang belum tentu benar. Atau seseorang yang mengalami ketakutan meminum obat yang kemudian berlangsung secara terus-menerus tanpa perlu melihat perbedaannya, misalnya dia ketakutan karena obat itu pahit sehingga ia ragu meminum obat meski obat itu manis.219 Artinya, gabungan imajinasi dan estimasi yang didasarkan pada pengalaman akan mempengaruhi emosi yang dapat mengacaukan fikiran dan melahirkan temperamen-temperamen tertentu. Dan akal praktis memiliki peran penting untuk memanage imajinasi, estimasi dan gabungan keduanya. Doktrin ini merupakan inti ajaran epistemologis Ibnu Sina yang juga dasar teori kenabiannya. Seperti dijelaskan sebelumnya akal praktis terdiri dari empat tingkatan, habitual, potensial, actual dan perolehan. Ibnu Sina menekankan pentingnya akal potensial, karena kesanggupannya untuk berfikir secara murni abstrak telah mulai dapat dilakukan. Akal ini telah mampu dilatih untuk membuat hubungan dengan akal aktif (akal kesepuluh) di luar manusia. Yang karena latihan untuk mengenal akal aktif itu, akal potensial dapat berkembang dan menjadi matang. Ibnu Sina beranggapan akal potensial pada manusia adalah unsur yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak bersifat materi dan tidak dapat dirusak sekalipun akal ini dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat bagi setiap individu.220 Ide ini berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi keagamaan, yang menurut al-Farabi, hanya akal yang maju yang dapat bertahan hidup sedangkan yang lainnya sirna dalam kematian untuk selamalamanya. Tetapi Ibnu Sina beranggapan jiwa adalah kekal dan akal karena tak dapat dibagi-bagi yang juga merupakan unsur jiwa, maka ia juga kekal bersama jiwa.221 Pengetahuan itu sendiri menurut Ibnu Sina diperoleh manusia sedikit demi sedikit dan sambung menyambung, tidak diterima secara sekaligus dan universal. Karena pengetahuan sulit diketahui dari mana dan kemana arah pemahamannya ditujukan. Agaknya pemahaman pengetahuan dikatakan Ibnu Sina adalah sambung menyambung atau terperinci, merupakan bagian dari konteks “cara pandang’’. Karena menurutnya, gagasan-gagasan itu datang dan pergi secara bergantian, dengan demikian penguasaan mereka tentang realitas tidak menyeluruh. Seseorang dapat menerima pengetahuan dari sisi kiri, yang lainnya dapat menerimanya dari sisi kanan dan yang lainnya lagi dapat melihat garis besarnya saja.222 Itu sebabnya Ibnu Sina menolak doktrin umum Yunani yang mengatakan identitas mutlak dari subyek dan obyek dalam kerja akal, karena menurut pendapat Ibnu Sina dalam kesadaran normal, akal manusia menerima kesilihbergantian gagasan. Jika fikiran identik dengan sebuah objek, maka bagaimana mungkin fikiran itu dapat merespon objek lainnya. Gagasan- gagasan yang keluar masuk fikiran tentu saja tidak serta merta tersimpan dan digunakan dalam pengakalan. Sehingga bagi Ibnu Sina, gagasan-gagasan yang direspon akal tidak selalu teringat, sebaliknya Ibnu Sina menegaskan peran imaji-imaji perasaan, menurutnya gagasan-gagasan imaji perasaan jauh tersimpan dan terpendam dalam memori manusia atau dengan kata lain sebenarnya tidak ada ingatan akal seperti ingatan tentang imaji-imaji perasaan.223 Fikiran manusia tidak dapat melestarikan setiap ingatan terhadap pengertian/ pengetahuan. Tetapi perasaan dapat merekam/ mengingat setiap ingatan tentang peristiwa-peristiwa masa silam bahkan peristiwa masa kini. Memang terdapat perbedaan antara peristiwa yang diingat oleh fikiran dengan yang diingat dalam imaji perasaan, Ibnu Sina berpendapat seperti yang disampaikan Aristoteles, bahwa ingatan bila diterapkan pada obyek-obyek perasaan dan peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu, sama sekali berbeda dari ingatan tentang yang universal dan proposisi-proposisi universal. Fikiran menurut Aristoteles bahwa yang universal yang diingat oleh manusia hanya diingat peraccidents.22* Ibnu Sina menjelaskan konsep accidents tersebut dengan mengibaratkan cermin yang kepadanya ada serangkaian gagasan yang direfleksikan dari akal aktif. Ini tidak berarti bahwa suatu kebenaran telah dicapai, karena gagasan-gagasan tersebut harus tetap berada di depan cermin agar dapat terus terkoneksi dengan akal aktif. Jika gagasan-gagasan tersebut menggeser/ menjauh atau menghilang, maka hubungannya dengan akal aktif dapat menghilang dan karenanya kebenaran belum tentu dapat tercapai. Gagasan-gagasan atau pengetahuan ini jika telah keluar dari fikiran, harus dipelajari kembali secara keseluruhan untuk diingat kembali. Artinya dengan pencapaian kita terdahulu (yang telah mampu mengingat pengetahuan) kemudian perlu dipelajari kembali, menghubungkan kembali pada akal aktif, analogi pendapatnya dituturkan Ibnu Sina, melalui teori cermin; Ibnu Sina mengatakan bahwa sebelum menguasai pengetahuan, cermin tersebut berkarat; apabila kita berfikir kembali, cermin itu menjadi mengkilat, dan senantiasa menghadap ke arah matahari yaitu akal sehingga senantiasa merefleksikan cahaya.225 Menambahkan seluruh pengertian mengenai fikiran dan imaji, Ibnu Sina memperkenalkan kesadaran filosofis, kesadaran ini pada umumnya bersifat parsial atau terpisah-pisah tetapi kemudian kesadaran ini menjadi terhubung secara menyeluruh oleh kreatifitas dan penguasaan realitas. Kesadaran ini bukan kesadaran yang berakal aktif, akan tetapi dalam proses-proses pengertian kita yang biasa pun, ada petunjuk- petunjuk ke arah kemaujudan suatu jenis kesadaran dimana parsialitas dan rangkaiannya ini bisa diatasi dan yang biasa sepenuhnya berifat kreatif, disertai pula realitas penuh dalam penguasaannya. Teori ini dicontohkan Ibnu Sina dengan seseorang yang tibatiba berhadapan dengan seorang penanya yang menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dia sendiri belum pernah dipertanyakan kepadanya sebelumnya dan oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan jawaban terperinci secara langsung. Namun demikian, dia yakin bahwa dia dapat menjawab pertanyaan tersebut, karena ia merasa jawabannya telah ada di benaknya, terlintas begitu saja, anehnya menurut Ibnu Sina, jawaban yang diberikannya memberi petunjuk bagi si penanya sekaligus bagi diriir sendiri.226 Wawasan sederhana ini menurut Ibnu Sina adalah hai penalaran kreatif, bentuk yang telah terumuskan dan teruraikan itu adai; pengetahuan “fisik", bukan benar-benar pemahaman akal. Orang yai memiliki penalaran kreatif yang sederhana ini, patut dikatakan sebag orang yang berakal aktif dan karena dia benar-benar yakin akan d? mana ke mana arah pengetahuan itu, dalam bahasa Ibnu Sina adai; keyakinan diri-, orang tersebut menyadari secara penuh akan kontel keseluruhan dari kebenaran dan oleh karenanya juga memiliki kesadar; penuh akan makna setiap istilah dalam proses realitas. Orang-orar seperti inilah yang dapat memberi arti pada sejarah duniaw mempolakannya dan memberi makna baru padanya, inilah dia sar Nabi.227 Gejala kenabian dibangun dari empat tingkatan: intelektu; imajinatif, keajaiban dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan i memberi petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikir? keagamaan. Teori ini dibangun dari pemikirannya tentang “kejadiar tentang kebergantungan setiap makhluk pada Tuhan, juga tentar hubungan jiwa dan raga, serta keajaibankeajaiban imajinasi, fikiran ser perasaan. Disini terlihat Ibnu Sina seorang filosof yang religius, d menguasai filosof hellenis dan spiritualis sekaligus. Pemikiran filosofis hellenisnya terlihat dari bagaimana menjelaskan alQur’an sebagai firman Tuhan. Al-Qur’an dinyatakan Ibr Sina sebagai kebenaran simbolis dan kebenaran harfiah sekaligu simbolis ini terlihat dari hukum dan pedagogic yang disampaikan e Our'an. Teori simbolisitas wahyu ini adalah inti ajaran Hellenistic yar juga mengakui kenabian, tetapi kebenaran harfiah ditolak pemikir-pemih hellenis. Kebenaran harfiah ini dibuktikan melalui kebenaran firman-firmE yang disampaikan dan pada diri seorang Nabi sebagai pembawa risalal itu sebabnya Nabi harus memiliki kapasitas intelektual dan sosio-politis.J Di tingkat intelektual, Ibnu Sina berpendapat seorang Nal memiliki pengalaman intuitif yang sangat memukau, pengalaman intuil ini yang membantu mengembangkan imajinasi. pPrlu diingat teori Ibn Sina; bahwa kekuatan intuitif manusia berbeda-beda kualitas da kuantitasnya. Nabi, memiliki pengalaman intuitif yang sangat tingg sehingga Nabi adalah gudang kebenaran dan memiliki hubunga menyeluruh dengan realitas. Seperti sebelumnya telah dijelaska mengenai penalaran kreatif, yang berkaitan dengan pertanyaan seor; penanya pada orang lainnya, Nabi telah memiliki “semacam" rekan untuk setiap pertanyaan yang diajukan karena wawasannya yc menyeluruh mengenai realitas.229 Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan ilmu yang disingkapkan oleh akal £ dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu. Tetapi kedudul Nabi sebagai seorang Nabi dan manusia sekaligus, menempatkan N untuk tidak dapat bertindak kreatif dalam sejarah semata-m berdasarkan kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan kedudukan y; dijabatnya menghendaki agar ia seyogyanya menghadap umat manu berbekal risalah, mempengaruhi mereka dan benar-benar berhasil dai misinya. Dengan demikian, Nabi meski memiliki kemampuan luar bi; untuk berhubungan dengan akal aktif, tetapi Nabi secara esensial ada manusia, dan secara “aksidental” berhubungan dengan akal aktif.230 Perbedaan yang signifikan antara filosof dan seorang N terletak pada kemampuannya untuk mengolah imajinasi yang kuat c hidup, bahkan kekuatan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia ha mempengaruhi bukan hanya fikiran orang lain melainkan juga selu materi umumnya dan bahwa ia harus mampu melontarkan suatu syst social politik. Dengan imajinasi yang luar biasa, fikiran Nabi, melc keniscayaan psikologis mengubah kebenaran-kebenaran akal murni c konsep-konsep menjadi imajiimaji dan symbol-simbol kehidupan y£ demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tic hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk melakukan sesuc Dorongan itu digambarkan Ibnu Sina seperti kebutuhan ketika kita merc lapar dan haus, imajinasi kita menyuguhkan di hadapan kita imaji-irr tentang makanan dan minuman. Bahkan tatkala seseorang sedang tic bergairah untuk melakukan hubungan seksual, tetapi kondisi fi menerima rangsangan mencoba untuk menerimanya, imajinasi b berperan dan dengan membangkitkan imaji-imaji yang hidup d sesuai, bisa benar-benar mengembangkan gairah seks melalui suge belaka.231 Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila diberlakuk pada jiwa dan akal Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian ki dan hidup sehingga apa pun yang dipikirkan Nabi dan dirasakan os jiwa Nabi, Nabi benar-benar mendengar dan melihatnya. Itulah pi sebabnya Nabi perlu berbicara tentang surga dan Negara yang melambangkan keadaan-keadaan spiritual murni dari kebahagiaan d.m kesengsaran. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam Kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapat kebenaran yang lebih tinggi, mendasar dan spiritual.232 Jadi, wahyu menurut Ibnu Sina, secara teknis mendorong umat untuk berbuat baik dengan menunjukkan simbol-simbol untuk memperjelas fungsi agama, seperti surga dan neraka dan kehidupan keabadian di akhirat nanti. Demi memperkuat seluruh simbolitas dan memperjelas wawasan kewahyuan tersebut, maka seorang Nabi harus dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam prinsip-prinsip moral yang memadai, untuk menunjukkan kebenaran ajarannya. Prinsip-prinsip tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan ke dalam masyarakat melainkan perlu dicontohkan, ditauladankan, karena tanpa contoh dan tauladan kekuatan kekuatan wahyu imajinatifnya tidak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, seorang Nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum negarawan tertinggi. Hukum ini mesti dapat berhasil guna dalam membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan Tuhan pada setiap langkah dan harus menjadikannya sebagai tolak ukur pendidikan bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadap apa yang ada di balik bentuk lahiriahnya, sehingga mereka bisa memahami tujuan-tujuan spiritual sejati Sang Pembuat Hukum. Hukum ini takkan bisa ditolak oleh siapapun, tetapi hanya wawasan filosofis tentang kebenaran yang memberi makna sebenarnya dari hukum tersebut. Artinya, hukum-hukum tersebut dapat memberikan perkembangan lain, atau dapat ditafsirkan untuk berjalan sesuai perkembangan zaman, para penafsir dan reformer itu adalah orang-orang yang memilki wacana filosofis dan kekuatan pengetahuan yang baik.233 Sebaliknya, hukum-hukum tersebut akan stagnan bahkan hanya menjadi dogma-dogma bagi orang awam. Maka wahyu diterima orang-orang awam sebagai kebenaran harfiah semata tanpa mengetahui makna-makna simbol yang terkandung di dalamnya. Dari sini, terlihat Ibnu Sina menampilkan sebuah ide tentang ketauladanan Nabi, sikap yang membuat seorang Nabi adalah Nabi karena ajaran, sikap, keseharian dan pendapatnya menunjukkan kesempurnaan untuk diteladani dan artinya Nabi tidak serta-merta merupakan pilihan Tuhan tanpa kekuatan dan kepribadian yang mumpuni. IKHTISAR a al-Kindi merupakan filosof muslim pertama dalam sejarah dunia Islam, inti utama ajarannya adalah keterpaduan filsafat dan agama. Melalui tulisannya inilah terbuka gerbang umat Islam untuk berfilsafat. Kariernya sebagai penerjemah dan editor memudahkan al-Kindi mentransfer banyak pemikiran Yunani ke dunia Islam b al-Razi adalah seorang filosof sekaligus dokter ternama di masa Dinasti Samaniyyah. Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni, alur fikir kontroversialnya adalah penetapan lima kekekalan yang terdiri dari Tuhan, ruh, materi, ruang dan waktu. Tetapi sesungguhnya al-Razi menegaskan nilai dari setiap lima yang kekal tersebut berbeda-beda dan Tuhan adalah substansi kekal yang menciptakan empat kekekalan lainnya menjadi kekal dan bereksistensi. Pada tahap ini, sesungguhnya al-Razi berupaya menunjukkan bahwa Tuhan tetaplah yang Maha dari segalanya. Konsep lima kekekalan ini sebenarnya ditujukan untuk menempatkan Tuhan sebagai “pencipta” dan melepaskannya dari teori emanasi yang sudah mulai digaungkan al-Kindi. c Al-Farabi merupakan ahli manthiq, disebut dengan Guru Kedua, karena kemampuannya menerjemahkan ide-ide Aristoteles dan mengakulturasikannya dengan tradisi intelektual islam, khususnya dengan tata bahasa Arab. Dengan kemampuan logikanya, al-Farabi berhasil melogikakan penciptaan melalui teori emanasi yang tersusun secara sistematis. Keberhasilannya menjelaskan teori emanasi pada masa berikutnya menjadi acuan banyak filosof muslim untuk meneliti sekaligus memperbaharuinya. d Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filosof etika dari pada filosof metafisika. Ide etikanya secara umum berkaitan dengan peran dan fungsi jiwa dan bagaimana jiwa berperan dalam kehidupan manusia. Memahami etika Ibnu Miskawaih adalah suatu keharusan, karena filosof berikutnya merujuk pada teori jiwanya dan mengembangkannya dalam suatu pemikiran metafisis. e Ibnu Sina adalah puncak filsafat peripatetik, Ibnu Sina menggabungkan keseluruhan teori peripatetik. la mengambil teori al-Kindi untuk menjelaskan hubungan filsafat dan agama lalu mengembangkan emanasi al-Farabi dan menyempurnakan ide jiwanya Ibnu Miskawaih serta merevisi lima kekekalan al-Razi. f Perbedaan utama dalam emanasi Ibnu Sina dari al-Farabi adalah idenya mengenai mumtani’ al-wujud -sesuatu yang mustahil diantara wajib dan mumkin al-wujud. Keberadaan mumtani’al-wujud menjadikan ide creatio ex nihillo menjadi terbukti dan logis, g Pemikiran Ibnu Sina mengenai jiwa kini menjadi trend baru dalam dunia kedokteran. Ibnu Sina menekankan bahwa jiwa memiliki peran yang sangat kuat dengan raga. Jiwa dapat menyebabkan raga menjadi sehat atau sebaliknya dengan sugesti-sugesti tertentu yang tertanam di jiwa. Beberapa penjelasannya mengenai peran jiwa menunjukkan bahwa hal-hal yang dianggap mistis adalah real. Idenya juga diduga menjadi dasar dari ilmu hypnosis 1 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 9 2 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 11 3 George N.Athiyeh./U-K/nd/; The Philosopherof The Arabs, (Rawalpindi, Islamic Research Institute, 1966), hal. 1 4 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Kindi Failasuf al-Arab, (Kairo, Mu’assasah al- Mishriyyah al-Ammah, tth.), hal. 33 6 Menurut Majid Fakhry, ide-ide Yunani mempengaruhi umat Islam dengan lahirnya teologi Mu’tazilah. Konon al-Ma'mun adalah seorang penguasa rasionalis yang menetapkan mu’tazilah sebagai ideologi Negaranya, dan menurut Majid Fakhry ketetapan itu didorong oleh interestnya yang sangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Keputusannya ini sempat menjadi kontroversi karena banyak berlawanan dengan yang diyakini oleh ahlu al-hadis dan ulama-ulama salaf di masa itu. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 12 6 Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 442 7 Ahmad Fuad al-Ahwani mencatat beberapa alasan yang membuat alKindi kurang disukai oleh masyarakat dan intelektual muslim yang ada saat itu. Pertama kedekatannya dengan penguasa yang notabene adalah seorang mu’tazilT, kedua karena pada saat itu kata “Filosof’ berkonotasi negatif, apalagi al-Kindi adalah seorang filosof pertama yang belum membudaya di zamannya. Al- Ahwani, al-Kindi..., hal. 44-45 8 Al-Ahwani, al-Kindi.... hal. 72 9 Felix Klein Franke, al-Kindi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 218 10 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218 11 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 218 12 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 21 13 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 27 14 Keterkacauan ini terutama dikarenakan ia merevisi bagianbagian yang diterjemahkan dari fnneadsnya Plotinus, sebuah buku, yang secara salah dianggap sebagai karya Aristoteles. M. M, Syarif, History of Muslim Philosophy, terj., (Jakarta, Mizan, 1998), hal. 25 15 Majid Fakhry, A History of..., hal. 79 16 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford, One World, 2000), cet. II, hal. 25 17 Muhammad Athif al-lraqi, Tajdid al-Madzhab al-Falsafiyyah wa alKaliimiyyah, (Kairo, Dar al-Ma'arif, 1979), hal. 90-91 18 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), hal. 70 ’9 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun aw ‘Inayat allslamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (ttp, Dar al-Fikr al-Arabiy, tth), hal. 216-219 20 Al-Ahwani, al-Kindihal. 123 21 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 212-213 22 Kaum Mu'tazilah yang semasa dengan al-Kindi menegaskan konsep transendensi Tuhan dengan mengagungkan ketauhidan Tuhan. Namun, kaum ini mengabaikan immanensi Tuhan dimana Tuhan hadir di alam ini. Fungsi Tuhan yang transenden saja menunjukkan bahwa Tuhan hanya pencipta dan yang menetapkan peraturan alam, selanjutnya Tuhan bersemayam dalam ‘arsyNya. Tuhan tidak turut campur dengan peredaran alam. Mengenai konsep- konsep Mu'tazilah, lih., Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 62-74 23 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 19 24 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), hal. 12-13 25 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 214 26 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21 27 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 130-131 26 Klein Franke, al-Kindi..., hal. 215 29 AI-AhwanT, al-Kindihal. 238 30 Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al‘Ulama al- Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 24-25 31 ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 30 32 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Poiilical and social Circumtances from the Earliest Times to the Present Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 184-185 33 Sesuai dengan kesiapan daya fantasi atau imajinasi dalam mencapai pengetahuan jiwa, al-Kindi membagi mimpi menjadi empat macam; 1. ar ru'yl) at-tanbi’iyyah, yaitu mimpi dimana seseorang melihat segala sesuatu yang belum terjadi; 2. ar-ru’ya ar-ramziyah, yaitu mimpi dimana orang melihat segala sesuatu yang melambangkan sesuatu yang lain; 3. mimpi dimana seseorang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya; 4. mimpi dimana seseorang melihat sesuatu yang tidak benar. Jika seseorang memiliki daya imajinasi yang rendah, maka mimpi-mimpinya akan rancu dan tidak terpahami, sehingga tidak memiliki makna apa-apa selain hanya bunga tidur belaka. Lih., Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 3233 34 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 28-29 35 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 23 36 Klein Franke, al-Kindihal. 213 37 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 21 38 Al-Ahwani, Filsafat ..., hal. 69 39 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 131 40 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 130 41 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 15 42 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 15 43 Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23 44 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 17 45 Majid Fakhry, Islamic Philosophy ..., hal. 23 46 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 31 47 Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal. 57 48 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 57 49 Sharif Khan mendaftar nama-nama lawan al-Razi; 1. Abu alQasim al-Balhi, tokoh Mu'tazilah yang mengomentari al-Raz? dalam bukunya ‘llm al-llahi; 2. Shuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, yang berkorfrontasi dengan al-Raz? khususnya dalam Teori Kesenangan; 3. Abu Hathim al-RazT, seorang misionaris Isma'ilT yang berlawanan dalam Teori Kenabian; 4. Ibn Tammar, seorang ahli fisika, yang tidak sependapat dengan pemikiran al-Razi dalam al-Tibb al-Ruhanr, 5. al-Mismai, yang mengkritik teori materialisme al-RazT; 6. Mansur ibn Talhah yang mengkritik teori wujudnya al-Razi; 7. Muhammad ibn al-Laith al-Rasuli yang bertentangan dengan al-RazT di bidang kimia; dan beberapa nama lainnya seperti Jarir seorang dokter ternama; al-Hasan ibn Muberik al-Ummi; al-Kayyal, seorang teolog dan Ahmad ibn al-Tayyab al-SeraksT. Lih. Keterangannya dalam Sharif Khan, Muslim Phiosophy hl. 57-58 30 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 60 51 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 36-37 52 Lenn E. Goodman, al-Razi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 248 53 Sharif Khan, Muslim Philosophy ..., hal. 58 54 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 41 * Konsep lima kekekalannya ini dikritikAbu Hatim al-Razi, namun kemudian dijawab dengan tegas oleh al-Razi bahwa kekekalan antara yang satu dengan yang lainnya berbeda. Dan Allah adalah pengatur utama empat kekekalan lainnya. Lih. Perdebatannya dalam ‘Abd al-Lathif Muhammad al-'Abd, Ushul al-Fikr nl- Falsafi ‘indaAbi Bakr al-Razi, (Mesir, Maktabash al-Mishriyyah, 1977), hal. 67 56 AI-‘Abd, Ushul al-Fikr hal. 81 57 E. Goodman, al-Razi, hal. 253 a M.M. Syarif, History ofterj., hal. 43 50 AI-‘Abd, Ushul al-Fikr ..., hal. 81 60 Al-'Abd, Ushul al-Fikr .... hal. 83 61 Al-'Abd, Ushul al-Fikr hal. 82 62 Al-'Abd, Ushul al-Fikr..., hal. 83-84 63 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 45 64 Al-'Abd, Ushul al-Fikr hal. 112 55 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 46 66 E.Goodman menduga ajaran al-Razi mengenai kehampaan ruang adalah kebutuhan untuk menjelaskan penyimpangan tanpa sebab Epicurean, clinamen, yang oleh al-Razi tampaknya dipakai sebagai model gerak spontan jiwa. E. Goodman, al-Razi, hal. 254 67 E. Goodman, al-Razi, hal. 254 68 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 46 69 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 59 70 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 59 71 Sharif Khan, Muslim Philosophy hal. 60 72 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 73 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 74 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 75 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 47 76 Sharif Khan, Muslim Phiosophy ..., hl. 57-58 77 E. Goodman, al-Razi, hal. 257 K E. Goodman, al-Razi, hal. 258 79 E. Goodman, al-Razi, hal. 258-259 ® M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49 81 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49 82 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 49 83 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 33 n' Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 42 Fakhry, A History of..., hal. 125 " Muhammad Ghulab, Min Amajid Mufakiri al-Muslimin al-Farabi wa Ibnu Sini), (ttp., al-Majlis al-A’la Ii al-Syu’uni al-lslamiyyah Wizarat al-Awqaf, 1961), hal. 33-34 Fakhry, A History of..., hal. 126 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34 89 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 57 90 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 34 91 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 133 ® Ghulab, Min Amajid hal. 33 33 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 11 M Ghulab, Min Amajid hal. 33 95 Komentar-komentar tersebut diantaranya: Commentary on Analytica Posteria, Commentary on Analytica Priora, Commentary on Isagoge, Commentary on Topica, Commentary on Sophistica, Commentary on De Interpretatione, Commentary on De Categoriae, a Treatise on Necessary and Existential Premises, dan a Treatise on the Propositions and Syllogisms Employed in all the Sciences; lih. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 109 96 Muhammad Ghulab menyebutkan bahwa al-Farabi menekankan pentingnya memahami pemikiran Plato dan Aristoteles. Dari pemikiran dua tokoh ini, sebenarnya menurut al-Farabi metode pemahaman akal (logika) dicetuskan oleh keduanya, dan melalui pemahaman terhadap pemikiran keduanya seseorang akan mampu berfilsafat. Itu sebabnya al-Farabi banyak menulis komentar, syarah bahkan perbaikan-perbaikan dari pemikiran Plato dan Aristoteles; lih. Karya-karya al-Farabi mengenai Plato dan Aristoteles dan tempat diterbitkannya buku-buku itu dalam Ghulab, Min Amajid ..., hal. 3637 97 Deborah L. Black, al-Farabi, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 223 96 Deborah, al-Farabi ..., hal. 223 99 M.M. Syarif, History of.... terj., hal. 62 100 Fungsi logika disebutkan al-Farabi adalah untuk membantu manusia membedakan yang benar dan salah dan memperoleh cara benar dalam berfikir atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini, logika juga menunjukkan dari mana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada kesimpulan-kesimpulan akhir. M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 62 101 Ide pinjam meminjam kebahasaan ini dipopulerkan juga oleh Noam Chomsky. Chomsky menyebutnya dengan tata bahasa generatif, dimana manusia sejak dalam keadaan dini sudah memiliki rangsangan berbahasa tanpa perlu dipelajari secara mendalam, terdapat semacam aturan tak tertulis yang mengilhami seorang anak untuk mengetahui 1 2 dan 3 hingga seterusnya. Lih., Noam Chomsky, The New Horizons in the Study of Language and Mind, terj., (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000), hal. 7-8 102 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal 88 103 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), hal. 76 104 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 63 105 Deborah, al-Farabi hal. 227 106 Deborah, al-Farabi.... hal. 227-228 107 Deborah, al-Farabi hal. 228-229 “ Al-Farabi menggunakan logika ini untuk menunjukkan Tuhan sebagai kepastian niscaya yang satu dan ada dengan sendirinya. Kepentingannya mengungkapkan teori kepastian menurut penjelasan Mehdi Ha'iri Yazdi adalah karena al-Farabi banyak dipengaruhi Aristoteles dalam memandang Tuhan sebagai Penyebab Pertama dari alam ini. Logikanya berjalan mempertanyakan mengenai sebab dari Tuhan itu sendiri dan sebab bagi alam ini karena tentunya semua yang ada di alam merupakan efficient cause, sebab utama yang membuatnya menjadi nyata. Al-Farabi mencoba melogikakan sebab musabab ini dalam teori kepastian untuk menunjukkan eksistensi, esensi dan sesuatu yang nyata dalam alam. Lih., Mehdi Ha'iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy Knowledge byPresence, (New York, Albany State University of New York Press, 1992), hal. 10-11 109 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 32 ™ Mulyadi, Gerbang hal. 30 '11 Muhammad ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-‘Aql fi al-Falsafah al'Arabiyyah, (Kairo, Dar al-Ma’arif, 1978), cet. 8, hal. 95 1,2 ‘Athif al-lraqi, Tsauratu al-'Aql..., hal. 95 113 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, tth), hal. 68-69 1.4 Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (Oxford, One World, 2000), cet. II, hal. 41-42 1.5 Disadur dari Mulyadi, Gerbang ..., hal. 36-37 "6 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 67 117 ‘Athif al-lraqT, Tsauratu alJAql..., hal. 88 118 Mulyadi, Gerbang hal. 33 1,9 Deborah, al-Farabi hal. 236 120 Deborah, al-Farabi ..., hal. 237 121 Deborah, al-Farabi ..., hal. 237 122 Aspek astronomi ptolemaik ditunjukkan melalui sepuluh planet, emanasi plotinus digambarkan melalui teori emanasi, aliran-aliran alexandria dideskripsikan melalui fungsi akal dan ajaran Islam ditegaskannya melalui konsep wujud 123 Muhammad ‘Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al'Ulamii al Muslimin, terj., (Bandung, Pustaka Hidayah, 2002), hal. 63 124 Deborah, al-Farabihal. 237 125 Ghulab, Min Amajid ..., hal. 44 126 Deborah, al-Farabi hal. 230 127 Ghulab, Min Amajid hal. 45 128 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 70 129 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 71-72 130 M.M. Syarif, History ofterj., hal. 72 131 Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 44 132 Disimpulkan dari penjelasan Majid Fakhry, A History ofhal. 120-121 133 Majid Fakhry, A History ofhal. 123 134 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 79 135 Utsman Najati, ad-Dirasat an-Nafsaniyyah ..., terj., hal. 79 136 M.M. Syarif, History of..., terj., hal. 77 137 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 44 138 Al-Farabi, Risalah fi Ara'Ahl al-Madinat al-Fadhilah (Leiden, 1895), hal. 68-69 139 Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69 140 Al-Farabi, Risalah fi..., hal. 69 141 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 41 142 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 41 143 Sinergi religiusitas terlihat dari penekanan al-Farabi terhadap hubungan manusia dengan Tuhan dan identitas filosofisnya ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Disini nyata teori kenegaraannya itu parallel dengan filsafat metafisikanya tentang kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu)., 144 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 139 145 Berkaitan dengan teori jiwa al-Farabi; 1. Jiwa kholidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan dari ikatan jasmani, jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan; 2. Jiwa fana yaitu jiwa jahiliah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan. Amsal, Tema- tema ..., hal. 44 146 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 83 147 Ibrahim Zaki Khursyid, et. al., Dairah al-Ma‘arif al-lslamiyyah, Vol I, (Kairo, al- Sya'ab, tth), hal. 388 148 Khursyid., Dairah ..., hal. 388 149 Khursyid., Dairah ..., hal. 389 150 M.M. Syarif, History ..., hal. 98 151 Oliver Leaman, Ibn Miskawaih, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 311 152 Leaman, History of..., hal. 311 153 Leaman, History ofhal. 311 154 M.M. Syarif, History ..., hal. 87 155 Ide ini diduga diterima Miskawaih dari konsep al-Kindi, Miskawaih konon lebih menerima ide-ide al-Kindi dibanding pemikiran al-Razi. Kemungkinan yang paling jelas bahwa Miskawaih lebih memilih al-Kindi karena ide-idenya lebih lunak dan taat daripada al-Razi yang sangat dan amat rasionalis. M.M. Syarif, History hal. 97 156 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York, Columbia University Press, 1970), hal. 210-211 157 M.M. Syarif, History ..., hal. 88 158 M.M. Syarif, History ..., hal. 90 1® Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, (Kairo, Dar alMa'arif, 1971), hal. 70 160 Leaman, History ofhal. 311 161 Jiwa bagi Miskawaih adalah jauhar ruhani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui tentang aktivitas dirinya. Itu sebabnya, kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani bukanlah rasa yang hakiki. Amsal Bakhtiar, Tematema Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hal. 42 162 Abu AliAhmad al-Miskawaih (Ibn Miskawaih), Tahdzib al-Akhlaq, terj., (Bandung, Mizan, 1998), hal. 37 163 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 38-39 164 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 39 165 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 39 166 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 41 167 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 65 ’® Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 56 169 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 57 170 Miskawaih, Tahdzib hal. 57-58 171 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 59 172 Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Artinya kebahagiaan adalah sesuatu yang dupayakan untuk keabadian di akhirat. M.M Syarif, History of..., hal. 93 173 Miskawaih, Tahdzib ..., hal. 93 174 Hasyimsyah, Filsafat hal. 65 175 Hasyimsyah, Filsafat hal. 65-66 176 T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York, Dover Publications, tth), hal. 131-133 177 T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-lslam, terj., (Kairo, Lajnah alTa’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, 1938), hal. 165 178 De Boer, Tarikh al-Falsafah ..., hal. 166 179 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York & London, Columbia University Press, 1970), hal. 150-151 180 Ahmed Foad El-Ehwany, Islamic Pilosophy, (Cairo, Anglo-Egyptian Bookshop, 1957), hal. 79 181 Michael E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy: Studies in Honor of George F. Hourani, (New York, Albany State University of New York, tth.), hal. 173 182 Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006), hal. 38 183 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96 184 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj., (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hal. 223-225 185 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96-97 186 Marmura, Islamic Theology hal. 174-175 187 Marmura, Islamic Theology ..., hal. 176 188 Marmura, Islamic Theology ..., hal. 175 189 M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, terj., (Jakarta, Mizan, 1998), hal. 108-109 190 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 96 191 Fakhry, A History of ..., hal. 158-159 192 Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar Saleem, Muslim Philosophy and Philosophers, (Delhi, Ashish Publishing House, 1994), hal. 70 133 Dikutip dari Mulyadi Kertanegara, Gerbang ..., hal. 40-41 194 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 75 195 Tokoh yang mengingkari kenabian tersebut diriwayatkan bernama lshaq al- Ruwandi 196 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 115 197 Hubungan jiwa dan raga ini digambarkan Ibnu Sina sebagai usaha dari raga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhani (jiwa), mengantarkan jiwa untuk berbuat kebajikan dan memuaskannya dengan pengetahuan. Jiwa rasional akan hidup kekal, meski terpisah dari badan, adapun jiwa tumbuhan dan binatang akan hancur bersama badan karena perannya sangat kuat berkaitan dengan fisik. Balasan kepuasan untuk dua jiwa di atas adalah kehidupan mereka di dunia. Sedangkan jiwa rasional mencapai kebahagiaannya di akhirat dengan catatan tidak memiliki keterkaitan dengan fisik atau hawa nafsu secara berlebihan Semakin kuat ikatannya dengan hawa nafsu semakin sulit jiwa rasional hidup di akhirat, dan ini menyiksa dirinya, membuatnya sengsara dalam penyesalan dan usahanya melepaskan diri dari hawa nafsu. Lih. Hasyimsyah, Filsafat .... hal. 74 186 M.M. Syarif, History ofhal. 113-114 ’* El-Ehwany, Islamic ..., hal. 107 200 Fakhry, A History of..., hal. 156 201 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 72-73 202 Fakhry, A History ofhal. 162 203 Fakhry, A History ofhal. 162 204 Teori ini sekaligus menolak pandangan yang menyebutkan bahwa jiwa dapat berpindah dari satu badan ke badan lainnya. Ibnu Sina meyakini ada hubungan mistik antara jiwa dan raga, hubungan mistik ini terkait dengan pembentukan individualitas, dimana jiwa telah memilih raga tertentu untuk menjadi tempat bersemayamnya. M. M. Syarif, History ofhal. 116 205 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 110 205 Hasyimsyah, Filsafat hal. 73 207 El-Ehwany, Islamic ..., hal. 109 ™ Fakhry, A History ofhal. 163 259 Fakhry, A History ofhal. 167 2,0 M.M Syarif, History ofhal. 115 211 M.M Syarif, History ofhal. 116 2,2 M.M Syarif, History ofhal. 117 213 Fakhry, A History of.... hal. 166 214 Fakhry, A History of..., hal. 164 2'5 M.M Syarif, History ofhal. 119 216 217 2,8 Fakhry, A History ofhal. 162 Fakhry, A History of..., hal. 161-163 Shams Inati, Ibn Sina, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of islamic Philosophy, terj..(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 294 219 M.M Syarif, History of..., hal. 122 220 Fakhry, A History ofhal. 162 221 Inati, Ibn Sina hal. 297 222 M.M Syarif, History ofhal. 124 223 M.M Syarif, History ofhal. 125 224 Lihat mengenai perbedaan antara yang universal, individual dan hubungannya dengan form atau bentuk yang menyifati materi dalam Russel, History ol Western ..., hal. 223-224 225 M.M Syarif, History ofhal. 126 226 M.M Syarif, History ofhal. 126-27 227 M.M Syarif, History ofhal. 127 228 El-Ehwany, Islamic hal. 115 229 M.M Syarif, History of..., hal. 130-131 230 M.M Syarif, History of..., hal. 130 231 M.M. Syarif, History ofhal. 117 232 El-Ehwany, Islamic hal. 115 2X3 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 76 BAB 4 PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD Al-Ghazali hampir senada dengan Ibnu Rusyd, bahwa kebenaran hanya terletak pada orang-orang tertentuNdan merekalah yang dapat menyingkapnya. Selain mereka, hanya sedikit orang yang diberi pengetahuan (Sulayman Dunya).1 C alah satu dalih mengenai buramnya potret filsafat Islam menurut banyak kalangan adalah kritik al-Ghazali terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut alFalasifah. Buku ini disebut-sebut telah membuat filsafat kehilangan peminatnya, dan konon buku ini dianggap telah melahirkan ide bahwa ijtihad telah mati. Isu ini digunakan Orientalis untuk mematikan semangat umat Islam selama beberapa waktu, sehingga mampu membungkam setiap potensi intelektual umat Islam untuk berkembang. Di sisi lain, para Orientalisme berhasil meyakinkan umat bahwa intelektualisme barat jauh lebih “ilmiah" dari pemikiran-pemikiran muslim. Dampak dari isu ini adalah gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi juga melahirkan akademisi akademisi Islam yang mengkiblatkan dirinya pada Barat. Itu sebabnya banyak fihak menuding al-Ghazali sebagai penyebab kebuntuan berfikir umat Islam. Namun, apakah kritik al-Ghazali ditujukan untuk melemahkan filsafat dan pemikiran dalam Islam ? Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sikap para filosof saat itu menghadapi kritik yang dilontarkan al-Ghazali ?. Dan benarkah pasca al-Ghazali tidak terdapat filosof-filosof Islam yang mumpuni dan benarkah pemikiran Islam benarbenar mati atau hanya sekedar mengalami “transisi" ?. Dengan data-data yang akurat, Hossein Nasr menyatakan bahwa filsafat Islam pasca kritik al-GhazalT tidak pernah mati, dan rasionalitas Islam terus berjalan sampai dengan masa kontemporer. Asumsinya ini menjawab segala tuduhan yang beranggapan rasionalitas Islam telah mati, bersama meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sejumlah kalangan sebagai tokoh rasionalisme Islam. Hossein Nasr juga menolak anggapan yang menyatakan al-Ghazali sebagai seorang yang menumbangkan pemikiran di kalangan muslim. Sebaliknya Nasr menyebut kritik al-Ghazali dan bantahan yang dilakukan Ibnu Rusyd sebagai masa transisi yang mengarahkan pemikiran Islam yang awalnya didominasi oleh penggunaan akal bergeser pada penggunaan instuisi (qalb).2 A. KRITIK AL-GHAZALI Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-GhazalT, lahir di Thus, Khurasan, Iran pada 450 H. Nama al-GhazalT konon dinisbahkan pada pekerjaan ayahnya sebagai seorang ghazzal yakni tukang pintal benang, riwayat lainnya menyebutkan laqab tersebut dinisbahkan pada ghazalah, kampung kelahiran al-Ghazali. Al-GhazalT lahir di tengah keluarga sufi, ayahnya merupakan seorang sufi yang saleh. Ayahnya meninggal dunia sebelum al-Ghazali dewasa, akan tetapi sebelum wafatnya, ayahnya menitipkannya pada seorang sufi untuk dididik dan dibimbing.3 Rihlah ilmiyyahnya dimulai ketika al-Ghazali didaftarkan bersekolah di Thus oleh sufi yang membimbingnya. Di zamannya, seorang yang menuntut ilmu diberi santunan pendidikan oleh pemerintah, sehingga siapapun dapat dengan mudah bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya. Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini sampai Imam al-Juwaini wafat pada tahun 478 H. Kemudian ia berkunjung ke wilayah Nizam al-Mulk di kota Mu’askan. Di kota inilah, al-Ghazali masuk ke dalam lingkaran istana Nizham al-Mulk dan menjadi teman dekat wazir tersebut. Nizham al-Mulk mengangkatnya menjadi pengajar fiqh Syafi'iyyah di Madrasah Nizhamiyah Baghdad (484 H).4 Karena kecerdasannya, al-Ghazali menjadi ulama tersohor dan guru yang paling dikagumi di Madrasah Nizhamiyah. Sehingga tak lama setelah diangkat sebagai seorang pengajar, al-Ghazali menjadi intelektual istana dan memiliki hak istimewa untuk berhubungan langsung dengan keluarga Istana. Kedudukannya ini membuatnya melihat secara langsung bagaimana intrikintrik politik istana dan itu menimbulkan keragu-raguan akan pekerjaan yang ditempuhnya. Sehingga pada tahun 488 H, al-GhazalT memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan berkhalwat di Damsyik. Di kota ini, al- Ghazali menghabiskan waktunya untuk merenung, membaca, dan menulis, selama kurang lebih 2 tahun dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya.5 Selama masa perenungannya al-GhazalT dikisahkan mengadakan perjalanan ke Palestina dan menunaikan ibadah haji sampai kemudian kembali ke kota kelahirannya di Thus. Di Thus, ia tetap berkhalwat dan beribadah, keadaan itu berlangsung selama 10 tahun sejak dia hijrah ke Damsyik. Dalam masa ini, lahir karya-karya monumentalnya seperti Ihya ’Ulumuddm dan Tahafut al-Falasifah. Melalui karya-karyanya ini, nama al-Ghazali semakin masyhur, dan pemerintah memintanya untuk mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Tetapi pekerjaan ini hanya berlangsung selama dua tahun, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan sekolah untuk fuqaha dan sebuah biara untuk para mutasawwifin. Kiprahnya ini kemudian membuatnya digelari Hujjah al-lslam atau pembela Islam, gelar ini diberikan karena al-Ghazali dianggap telah meletakkan dasar-dasar keilmuan Islam. AlGhazali wafat di Thus pada tahun 505 H dalam usia 54 tahun.6 Meski sebagian kalangan menempatkan al-Ghazali sebagai seorang filosof muslim, al-Ghazali sendiri menurut Massimo Campanini tidak menganggp dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai filosof Meski begitu sulit bagi kita untuk memungkiri bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof karena ide-idenya dalam Maqashid al-Falasifah membuktikan bahwa alGhazali mengasimilasikan filsafat secara mendalam dan menunjukkan bagaimana filsafat juga berbaur dengan model sufinya. Beberapa tulisannya memang ditujukan untuk mengkritik "rasionalitas" yang saat itu digaung-gaungkan para filosof dan teolog- teolog muslim. Kritiknya terhadap rasionalitas bukan tanpa penelitian mendalam, al-Ghazali mengaku melakukan pencarian kepastian dan kebenaran selama bertahun-tahun. Pencarian kebenaran ini awalnya dia serahkan pada kemampuan indera, kemudian pada penalaran atau akal, kemudian dia mengikuti ajaran-ajaran imam-imam atau ulama- ulama. Tetapi dari sekian pencariannya, al-Ghazali tidak menemukan kebenaran yang diharapkannya, sampai kemudian alGhazali berkhalwat dan menggunakan hatinya untuk menemukan kebenaran. Sebuah langkah yang ditempuh kaum sufi, yakni dengan menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya.8 Idenya mengenai epistemologi intuisi (qalb) menurut Nasr kemudian mengarahkan filsafat di dunia muslim ke arah tasawwuf. Lahirnya Ibnu 'Arabi dengan aliran 'irfani dan Suhrawardi dengan aliran illuminasionis membuktikan bahwa al-Ghazali tidak mematikan gairah pemikiran di dunia muslim, sebaliknya memberikan warna baru terhadap filsafat Islam yang sebelumnya didominasi oleh peripatetik. 1. TahafutAl-Falasifah; Kritik Al-Ghazal! Kritik yang disampaikan al-Ghazali terhadap filsafat dikemukakannya dalam Tahafut al-Falasifah. Kekeliruan para filosof menurut al-Ghazali terdapat dalam 20 hal, 16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika. Dalam 17 soal mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga soal lainnya mereka dinyatakan sebagai kafir, karena fikiran-fikiran mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin. Dua puluh perkara yang dimaksud adalah:9 1. Pendapat bahwa alam tidak bermula atau qadim 2. Pendapat bahwa alam, masa dan gerak adalah abadi 3. Penjelasan mengenai bagaimana cara Tuhan menciptakan alam ini, dalam hal ini al-Ghazali mengkritik teori emanasi sebagai jalan dalam menciptakan alam ini 4. Analogi-analogi mengenai keberadaan Tuhan sebagai pencipta 5. Argumen akan kemustahilan adanya Tuhan selain Allah, termasuk di dalamnya argumen mengenai wajib al-wujud, mumkin al-wujud dan mumtani’ al-wujud 6. Argumen mereka dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan 7. Argumen para filosof mengenai Tuhan yang tidak dapat dibagi dengan genus dan differensia 8. Asumsi para filosof mengenai wujud Tuhan yang sederhana, murni tanpa kuiditas atau esensi 9. Asumsi para filosof bahwa Tuhan tidak ber-jism 10. Penjelasan mengenai pencipta dan yang diciptakan, termasuk di dalamnya pengg/yasan keabadian antara pencipta dengan yang diciptakan 11. Penjelasan mengenai pengetahuan Tuhan dan bagaimana Tuhan mengetahui hal yang partikular dan universal 12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diriNya sendiri dengan pengetahuanNya; dengan esensiNya 13. Penolakan para filosof bahwa Tuhan mengetahui hal-hal partikular 14. Penjelasan mengenai langit dan bintang yang bergerak dengan kehendak 15. Penjelasan mengenai tujuan dari gerakan langit dan bintang 16. Penjelasan bahwa setiap bagian langit mengetahui dan berkuasa terhadap wilayahnya atau jenis-jenisnya 17. Penolakan pandangan mereka bahwa mustahil terdapat sesuatu yang sifatnya mu’jizat 18. Asumsi para filosof mengenai jiwa sebagai esensi yang ada sendiri, tanpa jasad dan tidak terikat dengan ruang dan tubuh 19. Pendapat yang menyatakan bahwa jiwa sifatnya abadi 20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani termasuk di dalamnya keberadaan surga dan neraka Dari dua puluh perkara ini terdapat tiga perkara yang menurut al-Ghazali dapat menyebabkan seorang filosof dihukumi kafir, tiga perkara tersebut adalah: 1. Filosof yang berpendapat bahwa alam ini adalah qadim dalam arti tidak bermula 2. Filosof yang berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular 3. Filosof yang mengingkari kebangkitan jasmani dan menolak keberadaan surga dan neraka Memperhatikan dua puluh perkara yang disampaikan al Ghazali, dapat disimpulkan empat maksud yang hendak diperkarakan oleh al-Ghazali. Pertama, persoalan penciptaan Tuhan; kedua, persoalan mengenai pengetahuan dan sifat-sifat Tuhan; ketiga, persoalan mengenai qadim dan baharu dan keempat, persoalan mengenai kebangkitan jasmani.10 Dalam tujuh belas perkara di luar tiga perkara yang menyebabkan kekafiran, menurut al-Ghazali merupakan perkara-perkara yang memiliki kedekatan faham dengan pemikiran mu’tazilah. Karenanya para filosof yang berpendapat mengenai tujuh belas hal tersebut tidak perlu dikafirkan, disebabkan pendapat-pendapatnya masih dapat ditolerir dalam Islam. Meskipun sebenarnya bagi al-Ghazali pendapat-pendapat mereka kurang sesuai dengan ajaran Islam karena banyak dipengaruhi ide-ide Yunani. Selain itu, ide-ide filosof yang senada dengan faham mu’tazilah berpotensi menggiring kaum awam pada kekafiran sehingga al-Ghazali menyarankan untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran filsafat ini. Atas alasan-alasan tersebut al-Ghazali beranggapan bahwa pemikiran mereka adalah bid’ah, sehingga sebaiknya dijauhi.11 Al-Ghazali mengakui bahwa dirinya sulit menerima penjelasan yang disampaikan filosof khususnya mengenai bagaimana Tuhan menciptakan alam ini. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia menegaskan bahwa para filosof mendemonstrasikan penciptaan Tuhan karena dipengaruhi oleh pemikiranpemikiranYunani, seperti Aristoteles dan Plato. Ide-ide Aristoteles dan Plato dituding al-Ghazali banyak menolak detail-detail agama dan mengandaiandaikan penciptaan dengan menggunakan akal. Sedangkan dalam Islam, Tuhan adalah wujud tertinggi yang memiliki kuasa mutlak, Tuhan berkehendak untuk melakukan apa saja yang dikehendakiNya.12 Penekanan al-Ghazali pada kehendak Tuhan ini menjadi landasan utama kenapa ia membid’ahkan sekaligus mengkafirkan para filosof. Selain karena pada pemikiran para filosof, Tuhan menjadi kurang berkehendak, al-Ghazali juga tidak meyakini silogisme fikiran yang berbasis sebab akibat. Dengan kuasa mutlak Tuhan, sebab akibat adalah sesuatu yang dapat dihilangkan selama Tuhan hendak menghilangkannya. Dalam pengungkapan kritiknya, al-Ghazali menggunakan metode dialog, sebuah metode yang diimbangkannya untuk menjawab hal-hal filosofis. AlGhazali berpendapat bahwa untuk menghadapi pemikiran-pemikiran filsafat, seseorang seyogyanya mengetahui dan memahami bagaimana metode yang digunakan dalam berfilsafat dan landasan penalaran para filosof tersebut. Maka, ketika menyampaikan kritiknya al-Ghazali menekankan rasionalitas yang lebih besar dari pandangannya sendiri. Al-Ghazali menyadari bahwa melemahkan filsafat dengan menggunakan wahyu illahi tidak mungkin dapat dipertemukan.13 Wilayah kerja filsafat ditetapkan al-Ghazali melingkupi enam bidang; matematika, logika, fisika, metafisika, politik dan akhlak. Bidang matematika tidak terkait dengan persoalan keagamaan dan tidak ada larangan mempelajarinya. Namun karena sifat matematika sebagai ilmu pasti serta diperlukan pembuktian dalam setiap teorinya, ilmu ini tidak bisa diterapkan pada hal-hal yang bersifat metafisis. Metafisika sendiri merupakan ilmu spekulatif, kepastiannya tidak serta merta dapat dibuktikan secara empiris tetapi membutuhkan intuisi dan keyakinan untuk memahaminya.14 Seperti halnya matematika, logika mengandalkan cara berfikir menurut silogisme yang menuntut adanya premis, term, syarat-syarat pembuktian dan susunannya. Dan fisika membicarakan tentang langit, planet-planet, unsurunsur materi seperti air, tanah, udara dan api, termasuk di dalamnya unsurunsur fisik yang terdapat dalam binatang, tumbuhan, barang tambang baik dari aspek perubahan maupun percampurannya. Keseluruhan ilmu filsafat di atas menurut al-Ghazali mengandalkan metode demonstrasi (burhan) sebagaimana logika. Adapun ketika membahas hal-hal metafisis, metode demonstrasi tidak serta merta dapat digunakan sehingga jika tetap digunakan akan menyebabkan pembahasannya menyimpang dari maksudnya, al-Ghazali memastikan untuk membahas hal-hal metafisis seyogyanya melandaskan pada ajaran-ajaran agama.15 Dalam melontarkan kritiknya al-Ghazali menggunakan metode argumentatif,16 sehingga setiap kritik yang disampaikannya diargumentasikan alasan dan kebenarannya. Berikut argumen al-Ghazali pada tiga pendapat filosof yang dikafirkannya; 1. Mengenai qadim-nya alam dalam arti tidak bermula atau pernah ada sebelumnya tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab dalam Islam, Tuhan adalah Pencipta yang menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Jika disebut alam adalah sesuatu yang qadim yang tidak bermula atau berawal mengindikasikan bahwa alam tidak diciptakan, ada dengan sendirinya dan sudah ada tanpa membutuhkan pencipta. Al-Qur’an jelas menolak pendapat itu, al Our’an dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta yang menciptakan segala sesuatu, Tuhan juga berkuasa untuk menghentikan dan menghancurkan segala sesuatu sehingga tak ada satu hal pun dapat disebut sebagai qadim selain Tuhan. Menggaof/mkan sesuatu bersamaan dengan Tuhan sama artinya menawarkan kemusyrikan karena menyamakan Tuhan denga makhlukNya, sebaliknya menetapkan alam sebagai sesuatu yan tidak bermula dapat mengindikasikan atheisme karen meniadakan peran Tuhan sebagai pencipta. Untuk itu, merek yang berfikiran alam ada dengan sendirinya, qadim sebagaiman Tuhan dihukumi sebagai kafir, disebabkan pendapat-pendapatny telah keluar dari ajaran Islam.17 Lebih lanjut alGhazali berkomenta bahwa Tuhan memiliki kehendak yang tak terbatas. Kapan pu Tuhan menghendaki sesuatu Tuhan dapat mewujudkannya, artiny tak ada keterbatasan bagi Tuhan untuk memutuskan sesuati Secara etimologis kehendak Tuhan menurut al-Ghazali tida semakna dengan berkuasa tetapi menunjukkan suatu hal yan! mengarah pada suatu tujuan. Maka, ketika Tuhan memilih wakt' penciptaan pada saat tertentu bukan saat yang lain, tanpa peri ditanyakan sebabnya karena sebab adalah kehendak-Nya it sendiri.18 Kalau ditanyakan sebabnya berarti kehendak Tuha terbatas, tidak lagi bebas. Disini kehendak menentukan hal tersebu Adapun kekuasaan adalah perbuatan pada saat terlaksanany; kehendak.19 2. Mengenai pengetahuan Tuhan; dimana para filosof berpendapc bahwa Tuhan mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kec kecuali dengan cara umum (kulliyat, universal). Di masanya perdebatan mengenai pengetahuan Tuhan sedang rama diperbincangkan, argumen filosof tentang pengetahuan Tuhan yani menyatakan bahwa pengetahuan mengikuti pada yang diketahu apabila berubah yang diketahui, berubah pengetahuan. Jik; pengetahuan berubah, maka pasti yang mengetahui juga berubah sedangkan perubahan dalam diri Allah adalah kemustahilan. Konsei para filosof ini dicontohkan dengan gambaran pengetahuan manusi; mengenai gerhana matahari. Gerhana matahari mengalami tig; keadaan, yaitu gerhana belum ada dan dinantikan adanya, gerhan; sudah berlangsung dan gerhana telah lewat, tetapi pernah terjadi Dari tiga keadaan tersebut, pengetahuan kita pun berada dalam tig; kondisi tersebut, berbeda-beda dan bergantian seiring dengai perubahan yang terjadi, sebab jika seseorang mengatakan bahw; gerhana telah terjadi sedangkan ketika itu baru terlihat gejalany; maka, itu adalah kebodohan karena dirinya belum menerim; informasi mengenai gerhana tersebut.20 Dari prinsip dasar ini, al Ghazali menganalogkan pengetahuan ini dengan pengetahuan Tuhan pada umatnya dalam konteks syari’at. Misalnya, Tuhan tidak mengetahui apakah Zaid mematuhi-Nya atau tidak lantaran Tuhan tidak mengetahui peristiwaperistiwa yang baharu karena Dia tidak mengetahui Zaid sebagai individu. Tuhan hanya mengetahui ada manusia yang beriman dan ada yang kafir, karena tersebut adalah pengetahuan universal-Nya. Jika Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, maka Tuhan tidak mengetahui juga bahwa Muhammad mengumumkan kenabiannya, akibatnya adalah tidak perlunya syari’at dan ketentuan-ketentuan Allah. Sebab setiap individu tidak diketahui Tuhan amalannya secara terperinci, sehingga Tuhan tidak memiliki standar seseorang dapat seseorang dapat masuk sorga dan tidak. Dengan analoginya ini, al-Ghazali membantah konsep pengetahuan Tuhan yang dikemukakan para filosof. Menurut al- Ghazali, Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang sedang terjadi; dan setelah terang, pengetahuan ini adalah tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan tersebut hanya merupakan relasi yang tidak mengubah esensi pengetahuan atau yang mengetahui. Jika seseorang yang ada di sebelah kanan anda pindah ke sebelah depan anda, lalu ke sebelah kiri, maka keadaan itu adalah relasi yang melewati anda secara bergantian. Dengan demikian orang itu yang berubah secara teratur bukan Anda, dengan ini al- GhazalT memastikan bahwa Tuhan mengetahui sesuatu dengan ilmu satu, dulu, sekarang dan selamanya diri-Nya tidak akan berubah.21 Pendapat ini sekaligus memperjelas pemikirannya di luar mu’tazilah, artinya al-Ghazali mengakui bahwa Tuhan memiliki sifat dan sifat itu adalah tambahan bagi Tuhan. Berbeda dengan mu’tazilah yang mempersepsikan sifat tersebut dengan zat Tuhan sendiri, ketika berubah sifat berubah zat-Nya. Pendapat alGhazali ini meneguhkan konsep bahwa Tuhan transenden dan immanen,22 berbeda dengan pendapat para filosof yang lebih memilih mentransendenkan Tuhan. Usaha transendesi Tuhan ini sebenarnya tidak ditujukan untuk menghilangkan nilai-nilai immanensi Tuhan, tetapi untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak dapat disandingkan dan dibandingkan dengan makhlukNya. Implikasi dari pendapat para filosof ini, menurut al-Ghazali adalah “peniadaan syariat”, seperti diungkapkan Amsal Bakhtiar, pemikiran transendensi ini memunculkan keengganan untuk melakukan ibadah yang telah disyari'atkan Allah. Mereka menganggap akal telah mampu berhubungan dengan Tuhan, sehingga ibadah tidak diperlukan lagi.23 3. Mengenai kebangkitan jasad di akhirat, sebenarnya tidak ditolak oleh filosof, yang dikritik al-Ghazali adalah bentuk kebangkitan yang diutarakan oleh para filosof. Menurut filosof, kebangkitan yang lebih utama adalah kebangkitan jiwa, sedangkan kebangkitan jasmani adalah pemahaman bagi orang awam. Manusia disebut sebagai manusia bukan karena fisiknya, tetapi karena jiwanya, sehingga kelezatan jiwa lebih tinggi dari pada kelezatan jasad.24 Adapun al- Ghazali tidak sependapat dengan prinsip filosof ini karena al-Qur'an secara jelas menerangkan adanya kebangkitan jasad di akhirat. Menurut tinjauan filosof, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam material. Pemikiran antara jiwa dan jasad ini dipicu oleh pemikiran mereka yang membedakan antara alam materi dan alam ruhani. Secara tersirat ide tersebut memang disampaikan dalam al- Qur’an, alGhazali sendiri tidak menolak pandangan tersebut, bahwa sesungguhnya alam ruhani adalah berbeda dari alam jasmani.25 Namun, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan dapat menghidupkan kembali manusia artinya menghidupkan secara ruh dan jasadi.26 Jadi, al-Ghazali berusaha menguraikan pemikiran yang menyebutkan ruh adalah qadim, dan jasad adalah fana’. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, al-Ghazali tidak mengakui kegad/man selain pada Tuhan, meski qadim tersebut dimaknai sebagai qadim yang berbeda dengan keqadiman Tuhan. Menariknya, al-Ghazali mengargumentasikan jasad sebagai alat yang kembali pada manusia setelah dipisahkan dalam kematian. Jika alat itu telah dikembalikan pada manusia, maka memungkinkan manusia untuk dapat merasakan kembali kelezatan atau kepedihan jasmani. Tanpa jasad, mustahil manusia merasakan kelezatan dan kepedihan yang dirasakannya selama di dunia.27 Argumen-argumen al-Ghazali meski diupayakan sedemikian rupa mengikuti alur logika filosof muslim, namun sesungguhnya tetap menekankan alasanalasan syar’i. Dengan sangat kuat, al-Ghazali melandaskan argumenargumennya pada al-Qur'an. la mengkritik asumsi para filosof yang menyebutkan al-Qur'an merupakan rangkaian simbol-simbol, yang diungkapkan secara analogis untuk memudahkan manusia memahami maksud-maksudnya. Bagi al-Ghazali al-Qur'an tidak hanya bersifat analogis, tetapi juga memiliki kepastian maksud, artinya tidak semua maksud al-Qur'an sifatnya analog.28 Itu sebabnya dalam beberapa ayat, al-Ghazali tetap mempertahankan makna langsung dari suatu ayat, tanpa menakwilkan lebih jauh karena ayat- ayat tersebut menurutnya telah mengandung kepastian. Esensi kritik al-Ghazali yang umum ini, dicurigai hanya untuk mengendurkan semangat berfilsafat, karena al-Ghazali tidak menunjuk literatur atau pendapat salah seorang filosof. Tuduhan ketidakilmiahan tulisan al-Ghazali, dibantah Sulayman Dunya, Sulayman mencoba memperbandingkan keterangan al-Ghazali dengan pemikiran yang disampaikan Ibnu Sina dan alFarabi. Sulayman menemukan fakta bahwa apa yang dimaksud al-Ghazali dalam soal kebangkitan memiliki kesamaan lafadz dan makna dengan tulisan Ibnu Sina dalam Risalah Adlhuwiyyah fiAmral-Ma’ad, sebuah risalah yang khusus membahas tentang persoalan kebangkitan. Menariknya, Sulayman Dunya mengemukakan bahwa Ibnu Rusyd hakikatnya tidak membantah pendapat al-Ghazali, sebaliknya mengkritik pencampuradukkan ajaran Aristoteles dengan Neo-Platonisme dengan ajaran Islam, sehingga memudahkan al-Ghazali melihat kelemahan mereka.29 Prinsip-prinsip seperti keesaan Tuhan (Tauhid) dan realitas sifat- sifat Ilahi yang harus dibedakan dari esensi (zat) Tuhan yang disampaikan al-Ghazali memiliki kedekatan faham dengan ide-ide yang berkembang di dunia Asy’ariyah. Al-Ghazali meyakini ayat-ayat antromorphis al-Our’an mengenai Tuhan, bahwa Tuhan memiliki penglihatan, pendengaran dan anggotaanggota badan sekalipun tidak diketahui mekanismenya. '" Al-Ghazali berhasil mempopulerkan teologi Asy’ariyah dengan meletakkan pondasipondasi fahamnya melalui penjelasan-penjelasan yang mematikan lawanlawan kalamnya. Diakui, pasca tulisan al-Ghazflli, perkembangan teologi Asy’ariyah berkembang cepat bahkan mendominasi, menghapus dominasi Isma’iliyah Syi’ah yang di zaman al-Ghazali berada di masa keemasannya. Hingga kini pun, teologi Asy’ariyah adalah teologi yang dominan di kalangan umat Islam dunia. Konon, di zamannya, krisis agama sudah menimpa orang banyak. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ketika itu jiwa keislaman sudah merosot dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya serta pengamalan ajaranajarannya sudah mengendur. Keadaan ini, menurut penglihatan al-Ghazali disebabkan kebanyakan orang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf dengan serampangan tanpa arah yang jelas dan pasti. Orang-orang juga mempertalikan dirinya kepada syi’ah bathiniah yang mengandalkan taqlid buta pada ulama- ulama yang disebutnya sebagai ulama-ulama ma’shum. Di sisi lain, ulama-ulama fiqh dan ahli-ahli kalam hanya mengajarkan sesuatu yang bersifat lahiriah saja, dan mengabaikan nilai-nilai filosofis dari syari’at. Dengan kondisi ini, al-Ghazali menawarkan epistemologi kebenaran yang berbeda dari yang ada, dan mencoba mengarahkannya dengan sistematisasi epistemologi kebenarannya. 2. Epistemologi Al-Ghazali Jika kita menyepakati bahwa filosof adalah para pencari kebenaran, dalam konteks pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, al- Ghazali dapat dikategorikan sebagai seorang filosof. Tekniknya untuk memahami dan mempergunakan teori-teori epistemologis dapat dijadikan bukti bahwa alGhazali pun melakukan pencarian pengetahuan dan kebenaran. Kebenaran sendiri didefinisikan al-Ghazali dalam risalahnya al-Munqidz min al-Dhalal seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “Sekiranya ada orang yang mengatakan tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat dijadikan ular, dan hal itu memang dapat dilakukannya, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah".31 Artinya, kebenaran adalah suatu kepastian yang diakui dan dirasakan benar oleh banyak orang. Kebenaran versi al-Ghazali adalah hal yang pasti yang tak tergoyahkan dan tidak menimbulkan keragu-raguan. Sehingga ketika ada sesuatu yang menciptakan keraguan dalam dirinya, al-Ghazali menolak sistem epistemologis tersebut. Kebenaran sejati adalah kepastian yang tidak akan ditolak oleh daya fikir dan hati manusia. Pada proses pencariannya, al-Ghazali memulai dengan menempatkan “indera fisik” sebagai alat pencarian pengetahuan dan kebenaran, la melepaskan seluruh alat untuk menerima pengetahuan dan mempercayakan sepenuhnya pada indera. Namun, tidak lama, ia menemukan bahwa indera banyak berdusta. Bayangan suatu benda seakan-akan tidak bergerak, padahal kenyataannya bayangan itu mengalami perubahan. Demikian pula bintangbintang di langit yang terlihat kecil namun sesungguhnya adalah benda-benda yang sangat besar. Sehingga al-Ghazali pun menolak indera fisik sebagai alat utama pencarian kebenaran.32 Selanjutnya, al-Ghazali beralih pada kekuatan akal, al-Ghazali menyebutkan bahwa mutakallim dan filosof menjadikan akal sebagai alat epistemologisnya. Para mutakallim menitikberatkan pembahasan mereka pada kemampuan berdebat dan berfikir. Ilmu kalam membahas berbagai aliran dalam agama termasuk agama-agama lainnya kemudian mempertikaikan faham-faham di dalamnya. Tidak semua orang dapat mengambil ’ibroh dari perdebatan tersebut, kebanyakan malah menjadi sesat karena meyakini keyakinan orang lain dan ragu pada agamanya sendiri. Ilmu kalam memang bermanfaat untuk menunjukkan kebenaran agama, tetapi tidak semua orang dapat mempelajari ilmu kalam ini.33 Al-Ghazali membagi manusia dalam empat kelompok; 1). Mereka yang sudah beriman kepada Allah dan rasulNya dengan akidah yang benar, sedangkan sehari-hari mereka disibukkan beribadah dan bekerja di berbagai lapangan kehidupan; 2). Mereka yang cenderung menolak akidah yang benar karena kufur atau memeluk akidah bid’ah, baik karena fanatisme maupun karena dibesarkan di lingkungan akidah seperti itu; 3). Mereka yang sudah berakidah, baik dengan cara taqlid maupun karena argumen tekstual. Tetapi karena memiliki kecerdasan yang agak tinggi, mereka terpengaruh oleh persoalan-persoalan akidah yang dibawa oleh ahli bid'ah dengan argumenargumen rasional, sehingga menjadi ragu dan 4). Mereka yang menganut akidah yang sesat dari kalangan awam, yang menunggu-nunggu sikap para cendekiawan mereka dalam menerima akidah yang benar. Ilmu kalam hanya berlaku untuk golongan ketiga, untuk tiga golongan lainnya, ilmu kalam hanya dapat menggoyahkan imannya. Karena golongan ketiga membutuhkan argumen-argumen rasional untuk menyadarkan faham akidah mereka.1'1 Selain ilmu kalam, filsafat pun mengandalkan akal sebagai alat epistemologisnya. Al-Ghazali membagi para filosof ke dalam tiga aliran; 1) . Aliran materialisme; yang menentang adanya Pencipta alam. Mereka beranggapan alam ada dengan sendirinya dan akan tetap ada. Kelompok ini dibutakan dengan anggapan sesuatu yang empirik adalah benar adanya. Sehingga mereka mengagungkan hal-hal fisik dan mengingkari hal-hal ghaib. 2). Aliran naturalisme, kelompok ini hanya naik setingkat dari aliran sebelumnya. Dalam naturalisme, filosof-filosof ini mengakui adanya Pencipta dan mengagumi ciptaan Tuhan. Mereka sangat berkonsentrasi pada alam, sampai-sampai mereka memiliki kesimpulan- kesimpulan yang bertentangan dengan akidah Islam. Seperti meyakini kebangkitan di alam akhirat bersifat ruhiah bukan jasmani. Atau meyakini akal manusia memiliki tabiat seperti benda dan binatang, sehingga di akhirat kelak tidak ada pahala bagi orang yang taat dan siksaan bagi orang yang ingkar, tetapi keterbelengguan jiwa manusia dalam nafsu binatang. Al-GhazalT menjuluki mereka dengan kaum zindiq, karena mereka mengingkari apa yang sudah disampaikan dengan jelas dalam al-Qur'an. 3). Kelompok yang bertuhan, kelompok ini menolak prinsip materialisme dan naturalisme. Mereka menyusun sistem berfikir logika untuk memperkuat argumen-argumen pemikirannya. Sokrates, Plato dan Aristoteles merupakan filosof-filosof yang berada di kelompok ini, dan filosof muslim mengikuti apa-apa yang terdapat dalam diri mereka, sedangkan faham-faham mereka belum tentu dapat dipertanggungjawabkan dengan tepat dan benar. Kesalahan terbesar mereka adalah melogikakan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, memastikan akidah melalui premis-premis dan pembuktian logis. Sedangkan untuk halhal yang bersifat metafisis, tidak semuanya dapat dijangkau secara teknik logika melainkan dengan peran hati. Dengan melihat bagaimana para mutakallim dan filosof melahirkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan, yang juga sulit diselesaikan dengan akal. Al-GhazalT menjadi ragu terhadap peran akal sebagai alat yang tepat untuk mencari kebenaran. Sedangkan yang diharapkan al-GhazalT adalah ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Konon, setelah meragukan akal, al-GhazalT mencoba berguru pada kaum batiniah. Menurut penganut faham ini, dalam pandangan al-GhazalT, setiap orang mesti mengikuti seorang guru yang akan membimbingnya pada kebenaran dan guru itu adalah seorang yang dianggap ma’shum. Namun, alGhazalT menolak pencarian kebenaran dengan model ini, karena paham yang semacam ini dikatakannya dapat menyesatkan umat Islam. Umat menjadi tidak berani berijtihad jikalau tidak ada imam atau guru tersebut. Padahal, Nabi menganjurkan umatnya untuk melakukan ijtihad. Selain itu, kaum batiniah bisa terjerumus pada taglfd buta dan fanatisme, sehingga mudah dimanfaatkan oleh tokoh agama untuk kepentingan merek;i Ditambahkannya bahwa di muka bumi ini tidak ada guru yang ma'shum kecuali Nabi Muhammad Saw.36 Pasca menjalani pencariannya, al-Ghazali akhirnya memilih untuk berkhalwat. Dikisahkan bahwa al-Ghazali mengalami kegalauan yang luar biasa, sampai-sampai ia jatuh sakit. Setelah dua bulan masa kegalauannya, secara tiba-tiba ia merasa diberikan nur ke dalam hatinya, dengan nur itu alGhazali serta merta merasakan kenyamanan dan kepuasan hati setelah sebelumnya dilanda keraguan. Al-Ghazali menyebut penyampaian nur tersebut dengan ilham, yang jika diberikan pada nabi-nabi adalah berupa wahyu.37 Proses khalwat sebenarnya adalah proses yang dilakukan oleh sufi-sufi. Tetapi, yang menarik dari tahapan kesufian ini, al-Ghazali tidak serta merta meninggalkan hiruk pikuk dunia seperti yang dilakukan banyak sufi di zamannya. Al-Ghazali tetap bekerja dan mengajar di perguruan Nizhamiyah meski hanya berlangsung selama dua tahun. Sampai akhirnya, al-Ghazali mendirikan madrasah bagi fuqaha dan sebuah khanaqahi atau biara untuk para mutasawwifin. Dari perjalanan epistemologisnya, al-Ghazali kemudian berkesimpulan bahwa dzauq atau intuisi merupakan alat pencarian kebenaran sejati. Tetapi, untuk dapat menggunakan dzauq dan intuisi ini, seseorang diharapkan menghindarkan dari kesenangan duniawi, kesenangan duniawi ini tidak berarti melepaskan diri dari ikatan bermasyarakat. Namun, meminimalisir kebutuhan dunia agar dzauqnya sampai pada tahap kasyf (penyingkapan), yakni terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan. Sehingga ilmu yang didapatinya tidak lagi melalui perantara tetapi langsung dari sumber utama.38 Skeptisisme al-Ghazali sebenarnya tidak hanya ditujukan pada filsafat semata, tetapi juga pada berbagai bentuk otoritas keagamaan yang berkembang saat itu. Kesan kuatnya adalah untuk mempertahankan syari’at sebagai satu-satunya pedoman dalam konteks pemahaman syari’at yang tidak hanya melibatkan sisi permukaannya saja tetapi juga keterlibatan intuisi atau hati. Skeptisisme yang dituding banyak kalangan sebagai krisis epistemologis terhadap akal, dan penolakan al-Ghazali terhadap penalaran juga sama sekali tidak benar. Al-GhazalT dengan tegas menolak absurditas-absurditas dan bid’ah-bid'ah yang diakibatkan oleh taqlid buta kaum Bathiniyyah yang diperlihatkan terhadap ajaran otoriter (ta’lim) para imam mereka. Meski menggunakan dalil-dalil syar’i untuk membid'ahkan teolog dan filosof, alGhazali mengupayakan argumentasi rasional untuk menempatkan alasanalasan dari tuduhan- tuduhannya. Sehingga tidak ada dasar pasti untuk menuding al-Ghazali sebagai tokoh utama yang mematikan “ijtihad" kaum muslimin dan menyebabkan kemunduran umat dalam beberapa dekade. Osman Bakar dan Thaha ’Abd al-Baqi Surur menduga skeptisisme al-Ghazali adalah murni skeptisisme metode epistemologis. Dalam Mizan al-’Aml, alGhazali menegaskan; “jika di dalam kata-kata hanya ada suatu pengertian yang meragukan keyakinan anda yang anda terima secara turun temurun, sehingga mendorong anda untuk memecahkannya, maka manfaatkanlah keraguan itu. Sebab keraguan merupakan metode untuk mencapai kebenaran. Barangsiapa tidak ragu, berarti tidak menganalisis, barangsiapa tidak menganalisis praktis tidak akan tahu. Sebagai konsekuensinya, barangsiapa tidak pernah tahu, praktis dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan’’.39 Kritik epistemologis terbaik al-Ghazali juga terlihat dari bagaimana ia menolak kepastian hukum kausalitas (sebab-akibat). Keinginan kuatnya mempertahankan keberadaan mukjizat mendorongnya menyatakan sebabakibat bukanlah suatu kepastian. Kausalitas menurutnya hanyalah sebuah kemungkinan dari berbagai kemungkinan, karena memprediksi alam ini pada satu hukum adalah kemustahilan. Selalu ada kemungkinan yang akan terjadi di alam yang tidak pernah diduga dan itu -bisa jadi- atas kehendak Tuhan.40 Adalah salah jika kita menganggap bahwa al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan kausalitas alamiah. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara seab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan sebagai pencipta. Jika dunia -yang mungkin- adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanya arena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Problem epistemologisnya terletak pada ketakmungkinan menghubungkan secara langsung suatu akibat kepada suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa hipotesis, dan satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua itu merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan.41 Meski penolakan kausalitasnya ini didasarkan pada konteks syari'at, Massimo mengagumi pemikirannya yang menyebutkan al Ghazali mendahului David Humee dalam teorinya bahwa hubungan kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek dari kebiasaan manusia mengaitkan dua kejadian yang terjadi secara konsisten dalam alam. Al-GhazalT berpendapat bahwa kontinuitas kebiasaan (’adah) berkenaan dengan hal-hal yang kelihatannya niscaya, tetapi sebenarnya hanya mungkin. Sesuatu yang terbiasa ini dari waktu ke waktu tertanam dengan kuat dalam fikiran sehingga kontinuitas seakan tak terpisahkan.42 Ide yang sama, yang mengilhami kejeniusan Albert Einstein melalui teori relativitasnya pun adalah penolakannya terhadap kepastian kausalitas. Keseluruhan ide al-Ghazali sebenarnya dimulai dari keraguan- keraguan terhadap status quo pemikiran. Bagi al-Ghazali kemapanan dan kebenaran sejati adalah meyakini adanya sesuatu yang metafisis yang mengelola alam ini dengan kehendak mutlak nan bijaksana. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya bagi al-Ghazali adalah dengan meyakini kuasa zat metafisis tersebut dan melihat ada banyak kemungkinan di alam ini dan kepastian sesungguhnya hanya pada Allah Swt. Asumsi-asumsi ini tanpa disadari menimbulkan kesalahfahaman umat. Kehendak dan kuasa Tuhan mendorong kepasrahan berlebihan kepada Allah, predikat zindiq dan bid’ah menghantui bilamana berijtihad sendiri sehingga memilih sikap taqlfd. Akhirnya, muncul sebuah pameo untuk memisahkan agama dan ilmu- ilmu umum. Sebuah frame berfikir yang sesungguhnya ditolak oleh al Ghazali sendiri, taqlfd buta dan melepaskan diri dari persoalan agama adalah kesesatan yang sesungguhnya dari manusia-manusia beragama. Maka, predikat hujjatut Islam (pembela Islam) yang diberikan pada alGhazali adalah karena al-Ghazali berhasil merumuskan kembali ajaran-ajaran Islam pada tempat yang seharusnya. Sayangnya, umat menerima perumusan tersebut secara lahiriah saja dan mengabaikan inti yang hendak disampaikan al-Ghazali. Sehingga pasca wafatnya al- Ghazali, umat bergelut dengan dunia sufi yang memilih menanggalkan dunia secara utuh. Tanpa daya ijtihad dan gerakan pembaruan, sambil terus menolak peran akal dalam berbagai bidang, membuat dikotomisasi akal dan hati dengan mengklaim kebenaran individual. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd berupaya menjelaskan apa yang dimaksud al-GhazalT seraya mendorong terjadinya keseimbangan antara akal dan intuisi sebagai metode epistemologis kebenaran sejati. B. JAWABAN IBNU RUSYD Abu al-Waltd Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M. Seorang tokoh terkemuka Islam wilayah barat, yang namanya sangat masyhur di Eropa, dikenal sebagai Averroes dan memberi banyak pengaruh pada pemikir-pemikir barat. Terlahir dari keluarga faqih yang terhormat, qadhf negara terkemuka di Spanyol. Kakeknya, Abu al-Walid Muhammad (senama dengan Ibnu Rusyd) adalah qadhi Cordova terkemuka dan memainkan peran penting dalam perlawanan kota itu terhadap kekuasaan al-Murabithun, meskipun kemudian Cordova ditaklukan alMurabithun. Sang kakek menulis berbagai karya teoritis dalam ushul fiqh dan dalam studi atas berbagai pendapat yang ditawarkan oleh beberapa madzhab besar fiqh (ikhtilaf). Ini menghubungkannya dengan gagasan pembaruan fiqh Maliki yang menganjurkan pengintegrasian penalaran analogis (g/yas).43 Meneruskan sang kakek, ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad menduduki posisi kepala pengadilan di Andalusia, disamping itu meneruskan tradisi keluarga sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dari madzhab Maliki. Ibnu Rusyd pun menjadi seorang Malikiyyah, bersama ayahnya, dia merevisi alMuwatta’ dan menghafal seluruh isinya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun. Adapun filsafat dan theology, dia peroleh dari Ibn Thufayl.44 Di zamannya Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan Seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Tetapi tradisi ilmiah ini, seperti tradisi keilmuan di wilayah lainnya mengalami pasang surut. Keseluruhan tradisi ilmiah ini disesuaikan dengan ide-ide penguasa (khalifah). Jika sang penguasa seorang rasionalis, dia akan membangun tradisi filosofis di wilayahnya, jika sang penguasa tertarik pada hal-hal sufistik, dia akan mendorong rakyatnya untuk mengabaikan tradisi-tradisi duniawi. Termasuk di dalam hal ini, kepercayaan penguasa terhadap madzhab-madzhab fiqh, yang bisa jadi menekankan satu madzhab fiqh dan mengabaikan yang lain. Di Spanyol, tradisi filosofis mengalami pasang surut yang signifikan. Di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912-961) filsafat menjadi sangat maju, namun pasca Abdurrahman kegiatan ilmiah menurun terutama pada zaman Hasyim dan penguasa al-Murabithun Ketika dinasti ini ditaklukkan dinasti al-Muwahhidun, kegiatan filsafat dihidupkan kembali, terutama zaman Abu Ya’qub Yusuf.45 Ibnu Thufail berjaya di masa ini, dan melalui Ibnu Thufail pula, Ibnu Rusyd dikenalkan ke dalam lingkungan istana. Hasil dari pertemuan ini Ibnu Rusyd diangkat sebagai qadhi di Seville. Atas dorongan Abu Ya'qub pula, Ibnu Rusyd menganalisis karya-karya Aristoteles. Kepiawaiannya mengulas ide-ide Aristoteles menghantarkannya menjadi seorang yang dijuluki dengan “komentator Aristoteles". Kemampuannya disebut Michael Dante setara dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu Sina dan Galen. Komentar- komentarnya ditulis secara ilmiah, dengan mengutip pemikiran Aristoteles dan menafsirkan maksud pemikiran Aristoteles berdasarkan perspektifnya.46 Uraian Ibnu Rusyd mirip sekali dengan tulisan-tulisan tafsir, menyampaikan pemikiran Aristoteles murni dan ditafsirkan maksudnya pasca penulisan pemikirannya. Sebuah karya sederhana namun berhasil menunjukkan sisi ilmiah sebuah metode penulisan. Komentarnya dipadukan pula dengan pemikiran filosof-filosof muslim, termasuk upayanya mensistensiskan agama dan filsafat. Ibnu Rusyd sendiri jauh lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur. Tulisantulisannya lebih banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab banyak yang hilang dan terbakar dan dilarang diterbitkan lantaran semangat anti filsafat dan filosof yang berakar dalam masyarakat. Di sisi lain, bangsa Eropa seakan akan menerima angin segar, karena selama berabad-abad tidak berhasil mensistensiskan agama (gereja) dengan ilmu pengetahuan. Sebuah kemampuan skolastik yang kemudian menggema di Eropa.47 Prestasi filsafat Ibnu Rusyd mengalami antiklimaks ketika Abu Ya’qub Yusuf wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf. Sultan Abu Yusuf membutuhkan dukungan ulama dan fuqaha untuk mengerahkan massa menghadapi peperangan melawan kaum Kristen. Tokoh-tokoh filsafat seperti Ibnu Rusyd yang telah dianggap berseberangan dengan agamawan terpaksa disingkirkan. Sebuah keputusan politik yang tragis, Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena, sebuah kota kecil di selatan Cordova yang kebanyakan dihuni oleh orang Yahudi. Pengasingan dilakukan atas tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua tulisannya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika.48 Sejawat ilmiahnya di Seville berusaha keras membela Ibnu Rusyd dari segala tuduhan. Sejawat-sejawatnya ini yang mendesak Khalifah Yusuf al-Manshur untuk direhabilitasi namanya dan diundang oleh Khalifah ke Maroko. Ibnu Rusyd memilih Maroko sebagai pelabuhan terakhirnya. Di Maroko inilah, Ibnu Rusyd menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M). Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan di perkuburan keluarganya.49 Yang menarik dari Ibnu Rusyd, adalah kemampuannya di dua bidang sekaligus. Sebagai seorang faqih sekaligus seorang filosof ternama. Kemampuan fiqhnya dibuktikan melalui karya fenomenal Bidayah alMujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, sebuah uraian logis tentang hukum Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilaf (ilmu perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan dalam setiap hal, setiap sudutnya, pendapat- pendapat yang diajukan oleh berbagai mazhab kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh mazhab besar. Ikhtilaf dijadikan metode oleh Ibnu Rusyd, sebagai suatu cara menyoroti prinsipprinsip yang menimbulkan perbedaan. Gagasan utamanya, bahwa kecenderungan doktrinal sang pemilik madzhab, dan individu madzhab tidak bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu mazhab disetujui oleh mazhab lain.50 Dan sebagai seorang Malikiyyah, Ibnu Rusyd mengkaji peran Qiyas sebagai alternatif hukum Islam. Uniknya, Ibnu Rusyd pun mengkaji Qiyas dengan teknik-teknik Aristotelian. Secara umum, Ibnu Rusyd mengajukan Qiyas sebagai sebuah alternatif ijtihad di luar taqlfd pada mazhab-mazhab yang ada. Bidayah mengisyaratkan bahwa seorang faqih adalah seseorang yang dapat menerapkan suatu hukum pada fakta dan situasi yang nyata. Tujuannya adalah, memberi kesempatan pada umat untuk memihak pada satu hukum sesuai dengan situasi yang dijalaninya tanpa mengandalkan fanatisme berlebihan pada satu madzhab.51 Dengan demikian bidayah berperan sebagai bagian dari evolusi yang membawa metodologi ke sistem klaim-klaim universal. Fakta terpenting dari Ibnu Rusyd adalah kemuliaan akhlaknya yang sangat masyhur, la dikenal sebagai seseorang yang selalu mengenakan pakaian sederhana dan tidak pernah dituduh berkorupsi, la dengan tekun melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai qadhi, selalu menjaga kesopanan, kedermawanan dan kerendahan hati, bergaul dengan rakyat biasa dan sultan. Kemasyhurannya dalam kemuliaan akhlaknya menunjukkan bahwa la adalah tokoh besar yang sangat bijaksana.52 1. Filsafat dan Agama Sebagaimana filosof muslim lainnya, Ibnu Rusyd pun melakukan “pembelaan” akan keterlibatannya pada dunia filsafat. Filsafat sampai dengan masa Ibnu Rusyd juga dianggap sebagai ilmu yang menyesatkan ajaran agama. Perdebatan utamanya sesungguhnya terletak pada perbedaan epistemologis antara Ahlu al-Sunnah dan Ahlu al-Ra’yi. Kekuatan setiap paradigma epistemologis bergantung pada patronage yang memerintah di wilayah tersebut. Tradisi ilmiah di Spanyol mengalami pasang surut, sesekali memihak pada intelektual rasionalis sesaat kemudian menjadi hak milik intelektual tasawwuf mistis atau bahkan dikuasai oleh Ahlu Sunnah. Pada masa Bani Umayyah di bawah Khalifah Abdurrahman al-Nashir (912- 961), kegiatan ilmiah sangat maju karena kecintaannya pada ilmu dan filsafat. Khalifah memerintahkan ulama belajar ke Baghdad dan juga mendatangkan para ilmuwan dari Bagdad ke Spanyol. Pasca al-Nashir, kegiatan ilmiah menurun, terutama pada zaman Hasyim dan penguasa Murabithun. Penguasa Murabithun sangat memfokuskan diri pada militer dan taktik perang, sehingga keilmuan terabaikan. Ketika dinasti Muwahhidun menaklukkan Murabithun, situasi keilmuan kembali membaik. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena serangan Kristen terus merongrong, dan Khalifah perlu mempersiapkan diri pada strategi militer dan perang.53 Pada kondisi inilah, Ibnu Rusyd diasingkan, Sang Khalifah konon memerlukan dukungan ulama dan ahli-ahli tradisional untuk dapat menarik massa. Sehingga Ibnu Rusyd perlu diasingkan agar tujuannya dapat terlaksana. Meski begitu, kerabat-kerabat dekat Ibnu Rusyd dan sejawatnya berupaya membebaskannya. Beberapa tulisan menyebut bahwa Ibnu Rusyd adalah murid Ibnu Thufail, Ibnu Thufail pula yang merekomendasikan Ibnu Rusyd pada kalangan istana. Rekomendasi ini ditujukan untuk menunjukkan “siapa sebaiknya yang menggantikan peran Ibnu Thufail yang telah tua. Ibnu Thufail mengajak Ibnu Rusyd bercengkerama dengan Sultan Abu Ya'qub, sampai kemudian sang Sultan bertanya “Apa pendapat para filosof tentang langit?", “Apakah ia substansi kekal ataukah mempunyai permulaan?”. Ibnu Rusyd awalnya mencoba menjaga jarak untuk menjawab hal ini, sampai kemudian Sang guru terlibat diskusi serius dengan Sultan, dan Ibnu Rusyd pun mulai terlibat di dalamnya.54 Dalam riwayat lain, keterlibatan Ibnu Rusyd pada dunia filsafat didorong oleh guru kedokterannya Ibnu Harun, yang menceritakan bahwa sang Sultan berharap ada seseorang yang mampu mengomentari buku- buku Aristoteles dan menjelaskannya secara gamblang buku-buku itu agar maksud dan maknanya diketahui banyak orang. Ibnu Thufail menolak tugas ini, karena terlalu tua menerimanya, dan Ibnu Rusyd diajukannya untuk menjalankan tugas ini.55 Kemungkinan kedua riwayat ini saling berhubungan dan terjadi dalam waktu yang sama. Yang terpenting dari riwayat ini adalah bagaimana Ibnu Rusyd kemudian atas dukungan patronagenya mulai mengkaji setiap pemikiran filsafat. Melalui Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-lttishal, Ibnu Rusyd melakukan pembelaan bagi filsafat. Ibnu Rusyd membuka risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam). Ditegaskannya, bahwa filsafat diwajibkan atau setidaknya dianjurkan dalam agama (syari’ah). Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekulasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan akan Sang Pencipta.56 Prosedur yang paling jelas dalam agama, menurut Ibnu Rusyd adalah perintah melakukan i’tibar (mengambil pelajaran). Al-I’tibar merupakan suatu ungkapan qur'ani yang berarti sesuatu yang lebih dari spekulasi atau refleksi.57 Proses i'tibar inilah yang akan menjadi titik tolak utama yang diajarkan dalam filsafat. I'tibar menurut Ibnu Rusyd sudah seharusnya melalui logika dan tata penalaran yang benar, sehingga seseorang yang mengimani kebenaran Syari'at dianjurkan untuk memahami tata alur penalaran dengan sebaik-baiknya.58 Konteks paling sederhana dari i'tibar adalah qiyas, Ibnu Rusyd menegaskan bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan analogi- analogi jika tidak memiliki alur berfikir yang benar. Posisinya sebagai seorang qadhi memudahkan Ibnu Rusyd memberi penekanan hubungan antara filsafat dan syari'at. Menghubungkan kebutuhan tata berfikir logika, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa adalah sebuah kewajaran jika kemudian logika ini juga dijadikan alat oleh manusia untuk membaca alam ini. Keingintahuan dan usaha meneliti semua wujud di alam adalah curiousity manusia untuk mengenal makhluk-makhluk sekaligus mengenal Sang Khalik. Secara jelas, Ibnu Rusyd menunjuk ilmu Ushul fiqh sebagai ilmu fiqh yang logis dan berbasis rasio. Ilmu ini menggunakan premis- premis tertentu yang kemudian diistinbath (disimpulkan) oleh para pemikir madzhab berkenaan dengan berbagai masalah khilafiyah yang menjadi pokok-pokok perdebatan yang terjadi di antara para pemikir Islam di banyak negara.59 Melalui Ushul fiqh, Ibnu Rusyd berusaha membukakan bahwa filsafat juga telah menjadi bagian dari Islam dan merupakan sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan. Penekanan dari hubungan ini adalah memberikan wawasan bahwa mempelajari filsafat adalah hal yang wajib dan bukan haram sebagaimana yang dituding banyak kalangan ketika itu. Adapun penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam proses penalaran tersebut adalah sebuah kebetulan yang tidak esensial. Sesuatu yang secara karakteristik dan esensial mampu memberikan manfaat, tidak bisa disia-siakan hanya karena adanya fenomena dlarar (bahaya) yang terkait dengannya secara aksidental. Karena itu Rasulullah pernah bersabda kepada seseorang yang pernah diperintahkannya untuk memberi minum madu kepada saudaranya yang terkena diare, namun ternyata membuat penyakitnya bertambah parah, dan kemudian orang itu mengadu pada Nabi, lalu dikatakan; "Allah tetaplah benar dan perut saudara yang berbohong”.60 Artinya, perumpamaan orang yang melarang mereka yang memiliki cukup kapasitas untuk mempelajari buku-buku filsafat hanya dengan alasan bahwa ada sekelompok orang yang lemah kualitasnya dicurigai telah menempuh jalan sesat akibat mempelajari filsafat, adalah seperti halnya seseorang yang sangat haus ingin minum air dingin tawai tapi dilarang, sampai akhirnya ia menemui ajalnya karena dahaga, dengan alasan bahwa pernah ada sekelompok orang tersedak air yang mati dan itu sesungguhnya merupakan kasus kebetulan semata. Sedangkan kehausan adalah suatu fakta esensial dan dlaruri. Mempertegas korelasi antara filsafat dan syari’ah, Ibnu Rusyi menunjukkan bahwa syari'at mengajak kepada penalaran yang akai menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahw; suatu penalaran burhani (logika) tidak akan membawa konflik apa pui dengan syari'at. Kebenaran yang satu jelas tidak akan berlawanan dengai kebenaran lainnya bahkan justru saling mendukung dan menepatka posis masing-masing.61 Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menunjukkan jika syari’at tida memberikan signalsignal negatif pada penalaran demonstratif atai burhani (logika) maka sesungguhnya tidak ada yang buruk dari hc tersebut. Artinya, tidak ada permasalahan yang signifikan yang mes diperdebatkan di dalamnya. Namun, jika syari'at mempermasalahkannya sebaiknya didahulukan takwil dan tidak dengan menghukumi bahw; hal tersebut salah atau bertentangan dengan syari’at sebelum dilakukai takwil. Yang ingin disampaikan oleh Ibnu Rusyd melalui konsep takw adalah objektivitas penilaian yang mesti diberikan kepada seorang filosol Karena melalui takwil makna lahir apapun yang terdapat dalam syari’c yang secara lahiriah dianggap bertentangan dengan suatu makna yan< disimpulkan oleh metode burhan (logika), akan diteliti dan ditelaah semu; bagian dan partikelnya. Selama pertentangan itu bersifat aksidental tida esensial, maka seyogyanya hal itu tidak menjadi masalah.62 Ibnu Rusyi meyakinkan bahwa syari’at mengandung makna lahir (eksetoris) dan batil (esoteris) disebabkan adanya keanekaragaman (pluralitas) kapasita: penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerim; (pembuktian) kebenaran.63 Itu sebabnya syari’at disiratkan melali ungkapan-ungkapan tekstual yang menjadi kewajiban umatny; menakwilkan dan menggabungkan beragam makna tekstual tersebut. Inti utama penjelasannya ini adalah pengingkaran terhadai vonis kafir yang disematkan kepada para filosof. Karena ungkapan kafi tidak selayaknya diberikan kepada seseorang yang melakukai penakwilan terhadap syari’at dan tidak bertentangan dengan syari’a secara esensial. Melalui penjelasannya ini, Ibnu Rusyd hendak menunjukkai bahwa dalil demonstratif (logika) merupakan alat yang tepat untul digunakan dalam memahami syari’at. Ibnu Rusyd membagi perbedaai pemahaman dalam syari’at ini pada tiga bagian,64 pertama, golongai orang-orang yang bukan ahli interpretasi sama sekali, yaitu golongai retorika. Golongan ini merupakan bagian terbesar manusia, untuk golongan ini kemampuan mereka hanya menerima penjelasan retoris yang mudah dan sederhana. Pendekatan pada golongan ini adalah dengan cara penuturan yang baik (al-maw’izhah alhasanah). Golongan kedua, ialah orang-orang yang ahli dalam interpretasi dialektis, yang berbicara pada mereka adalah dengan dialog yang baik, wa jadilhum billatihiya ahsan. Kemungkinan besar golongan ini memiliki fanatisme terhadap pemikiran atau ajaran tertentu. Adapun golongan ketiga, adalah dari kalangan ta’wil yaqini, mereka inilah kaum filosof. Interpretasi golongan filosof tidak boleh dibeberkan pada golongan dialektis, apalagi kepada golongan umum. Karena interpretasi adalah pengalihan dari makna lahir ke makna majazi. Mereka yang tidak mampu memahami makna majazi seyogyanya menghindarinya karena akan menimbulkan kebingungan dalam diri. Dikisahkan, bahwa Ibnu Rusyd merupakan muballigh masjid di zamannya. Uraian-uraian Ibnu Rusyd sangat ringkas dan mudah dicerna oleh orang awam, namun ketika ditanyakan masalah kebangkitan jasmani dan ruh, Ibnu Rusyd memilih menyembunyikannya dan beralasan bahwa pembahasan tersebut bukanlah pembahasan yang mesti dibahas secara umum dan kalangan awam.65 Fashl al-Maqal adahal karya pendahuluan Ibnu Rusyd mengenai metodologi filosofis dan religius. Buku ini menegaskan bahwa al-Qur'an sendirilah (QS. Al-Hasyr ayat 2 dan QS. Al-lsra’ yang menganjurkan kajian rasional. Hubungan metodologis antara Fashl al- Maqal dan Bidayah sangat jelas, Ibnu Rusyd hendak menunjukkan peran filsafat khususnya logika, interpretasi demonstratif dan kaitannya dengan syari'at. 2. Tahafuttahafut Peran fenomenal Ibnu Rusyd dalam kancah filsafat Islam adalah bukunya Tahafut at-Tahafut, sebuah karya yang ditulisnya sebagai upaya kounterisasi dari merebaknya pemahaman umat terhadap karya al-Ghazali, Tahafut al- Falasifah. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd hendak membeberkan fakta bahwa buku al-Ghazali yang sampai kepada orang awam membuat orang awam menjadi bingung, karena pembahasan pembahasan tersebut tidak seharusnya dibahas pada umum. Karyanya Tahafut al-Tahafut ditujukan untuk menjelaskan fakta-fakta yang tidak semestinya disematkan kepada para filosof. Tujuannya adalah mengembalikan nama baik para filosof tersebut dari tuduhan kafir. Seperti yang diketahui, al-GhazalT mengkafirkan para filosof atas tiga tesis; keqadiman alam, tidak ada pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dan tidak ada kebangkitan jasad di akhirat. Catatan terpenting dalam Tahafut Tahafut sebagaimana judul yang diberikan Ibnu Rusyd adalah menjelaskan “kerancuan" dalam “kerancuan”. Sulayman Dunya memperkirakan bahwa Ibnu Rusyd sesungguhnya hendak mendudukkan problema yang telah dianggap rancu oleh al-GhazalT. Kata Tahafut yang disandarkan kepada kata Fatasifah menunjuk secara langsung siapa subjek yang telah berbuat “kerancuan” tersebut. Indikasi buruk dari kata Tahafut adalah lemahnya nalar yang dimiliki para filosof dalam memahami -khususnya- soal-soal metafisika.66 Titik perbedaan yang paling jelas diantara al-GhazalT dan Ibnu Rusyd adalah pembagian keilmuan yang dilakukan keduanya. Bagi al- Ghazali terdapat perbedaan yang signifikan antara metafisika dan ilmu- ilmu lainnya yang dikategorikannya sebagai bagian filsafat seperti matematika, astronomi, kedokteran dan logika. Menurut al-GhazalT untuk menggali hal-hal metafisis tidak dapat digunakan kaca mata filosofis seperti astronomi, matematika dan kedokteran. Untuk memahami hal- hal metafisis hanya dapat dilakukan oleh wahyu (al-Qur’an dan hadis), artinya tidak diperlukan pembuktianpembuktian secara detil seperti halnya dalam ilmu matematis. Jika al-Qur’an dan hadis telah mengisyaratkannya maka sudah cukuplah pembahasan tersebut.67 Sebaliknya bagi Ibnu Rusyd, siapapun memiliki hak memahami hal-hal metafisis melalui kaca mata apapun asalkan tidak berubah fahamnya secara esensial. Pemahaman ini disebut Ibnu Rusyd sebagai interpretasi alegoris, majazi. Jika keterangan para filosof ini disebut racun bagi manusia lain, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa tidak sesuatu yang disebut racun membahayakan bagi komunitas lainnya. Bisa jadi bagi kelompok lain, racun itu adalah obat mujarab atau makanan bagi komunitas lainnya. Maka, barangsiapa menuangkan racun itu kepada orang yang menganggap hal itu adalah racun, maka baginya hukuman. Dan barangsiapa yang menjauhkan racun dari orang yang perlu diobati dengan hal tersebut ditimpakanlah hukuman yang setimpal.68 Untuk mengetahui racun atau tidakkah hal tersebut, tentu diperlukan seorang dokter yang memahami fungsi dari dosis yang hendak diberikan. Dokter pula yang dapat menerapi orang-orang yang kelebihan dosis atau kurang dari dosis yang diberikan. Inti alegorinya ini adalah bahwa pembahasan mengenai hal- hal filosofis dan anggapan-anggapan yang disematkan kepada mereka (filosof) adalah hal yang tidak sewajarnya disampaikan pada kalangan awam. Jika sudah merebak dan menyebabkan kesalahfahaman berkepanjangan maka tugas orang yang mengerti untuk menjelaskannya. Al-GhazalT dan Ibnu Rusyd sesungguhnya memiliki kesamaan dalam memandang bagaimana sebenarnya filsafat disajikan. Keduanya meyakini bahwa bahasa simbolis merupakan bahasa orang awam dan bahasa demonstratif bagi para filosof. Problem yang muncul adalah efek dari pemahaman awam yang menerima ide-ide filosof atau sebaliknya yang menerima "kerancuan-kerancuan” yang ditulis al-Ghazali. Kegalauan alGhazali adalah merebaknya pemikiran bahwa hanya dengan menggunakan penalaran sudah cukup untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengabaikan syari'at. Sebaliknya, Ibnu Rusyd galau tradisi rasionalitas menghilang karena jumud dan taqlid berkepanjangan. Artinya, tulisan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tidaklah ditujukan sebagai Sarkasme Mutual sebagaimana yang dituding Sulayman Dunya. Keduanya berupaya merespon kondisi umat yang menurut mereka perlu segera diingatkan. Tujuan utamanya adalah menjaga kemaslahatan umat dan kemurnian Islam. Sayang, tak mudah mencapai tujuan dan maksud yang hendak disampaikan keduanya. Karena forum khusus untuk kajian filosofis ini tak terdeteksi, maka lebih mudah menimbulkan anarkhisme ideologis dan chaos pemikiran hingga terjerumus dalam bias. Perdebatan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun seakan-akan menunjukkan alian teologis mereka. Al-Ghazali diduga mengutip banyak ide-ide Asy’ariyyah dan Ibnu Rusyd mengutip ide-ide Mu’tazilah. Meski dalam beberapa hal, alGhazali mempertegas maksud yang hendak disampaikan Asy’ariyyah sehingga dapat disebut sebagai orang yang kemudian secara tak disadari membuat teologi Asy’ariyyah menjadi mudah berkembang dan diterima daripada sebelumnya.69 Sebaliknya Ibnu Rusyd menghidupkan kembali teori-teori Mu’tazilah dan mengembalikan nama baiknya dalam kancah teologis masa itu. Sayang, ide-ide Ibnu Rusyd lebih banyak diadaptasi Barat dibanding dalam dunia Timur. Dan ini bukan kesengajaan, faktor tempat dimana Ibnu Rusyd tinggal dan komunitas Islam yang belum membudaya sebagaimana di Baghdad atau di Nizham al-Mulk tempat al-Ghazali berdomisili Disebabkan alasan-alasan tersebut, dimana al-Ghazali tinggal di dekat pusat atau sesungguhnya di pusat umat Islam dan Ibnu Rusyd di Spanyol yang berjarak cukup jauh dari pusat kekuatan Islam dan lebih dekat dengan dunia Barat. Menjadikan pemikiran al-Ghazali lebih populer daripada pemikiran Ibnu Rusyd. Diakui atau tidak, kitab Tahafut al- Falasifah jauh lebih banyak beredar dibanding Tahafut al-Tahafut. Dengan demikian tidak dapat disangkal lagi, bahwa al-Ghazali dengan kitabnya tersebut, telah memberikan pengaruh yang lebih dalam pada benak kaum muslimin. Sehingga terdapat semacam anggapan bahwa kemunduran pemikiran dalam dunia Islam adalah akibat karya besar al-Ghazali.70 Meskipun asumsi tersebut perlu diselidiki lebih lanjut, namun sesungguhnya terdapat anggapan umum yang masyhur akan asumsi tersebut dan sulit dielakkan. Dalam Tahafut a/-Tafraftyf terdapat kesan kuat bahwa Ibnu Rusyd hendak menyerang al-Ghazali karena penulisannya yang menjabarkan pemikirannya dengan mencatat butir-butir keberatan al-Ghazali pada filosof dan menyanggahnya. Sesungguhnya sanggahan tersebut disampaikan bukan pada al-Ghazali tetapi pada kitab Tahafut al-Falasifah, itu sebabnya dinamai Tahafut al-Tahafut atau “keracuan dalam kerancuan". Artinya tulisan tersebut secara intelektual adalah sebuah penyampaian dialogis menjawab dari sesuatu yang disampaikan dala suatu wacana dan direspon melalui wacana lain. Tentu hal ini adalah hal yang wajar dalam dunia intelektual dan dunia muslim, perlu dipertegas bahwa sanggahan Ibnu Rusyd ditujukan pada pemikiran al-Ghazali bukan pada sosok al-Ghazali. Wa bil khusus pada maksud-maksud yang disampaikan dalam Tahafut al-Falasifah. Sebaliknya, al-Ghazali pun tidak secara jelas menuding seorang filosof, tetapi pada ide-ide filosofis yang telah menyebar dalam umat dan menjadi racun bagi beberapa kelompok. Yakni mereka yang mengabaikan syari'at dan beranggapan dapat mencapai derajat yang mendekati Tuhan dengan meninggalkan syari’at. Tentu saja, bagi seorang ulama besar sekelas alGhazali hal itu sangat merisaukan dan mendorong al-Ghazali melakukan hal ini. Sekali lagi, perlu dipertegas bahwa tidak ada sarkasme dalam tulisan keduanya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil merespon kondisi umat di zamannya. Sebagai sebuah pembelaan terhadap ide-ide filosof, ulasan Ibnu Rusyd lebih dekat pada penegasan akan ide-ide filosof yang sudah dibahas sebelumnya. Sanggahan pertamanya ditujukan pada persoalan eternalitas alam (Qidam al'Alam). Menurut Ibnu Rusyd tidak ada yang salah dalam ide filosof mengenai eternalitas alam, karena para filosof pada dasarnya menyepakati ada tiga macam wujud. Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya, wujud ini menjadi maujud karena ada penyebab yang mewujudkannya (sabab fa’it); wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan dan tidak didahului oleh zaman.71 Dua bentuk wujud ini disepakati oleh semua fihak. Wujud pertama sifatnya adalah ciptaan atau makhluk dan wujud kedua adalah Khalik. Bagi filosof ditemukan wujud ketiga, yakni wujud yang ada diantara keduanya yakni wujud yang keberadaanya tidak berasal dari sesuatu apapun, tida didahului oleh zaman akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu Penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya.72 Pada wujud yang ketiga inilah perdebatan dimulai, al-Ghazali dan kebanyakan teolog Asy’ariyah berpendapat bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, karena bagi mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak benda, mereka juga menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan tanpa substansi apapun. Sehingga mereka beranggapan bahwa alam ini hadits yang keberadaannya tergantung pada kuasa Tuhan,73 sedangkan bagi para filosof menekankan penciptaan adalah terbuatnya sesuatu atau tersusunnya sesuatu. Anggapan ini tidak berarti bahwa mereka menolak penciptaan dari ketiadaan, mereka (filosof) pun mengakui ketiadaan sebagai sesuatu yang kemudian menjadi ada. Namun, filosof menetapkan substansi- substansi tertentu yang menjadi qadim termasuk alam ini. Substansi substansi tersebut mereka sebut dengan unsur-unsur utama yang menjadi dasar terbentuknya alam ini. Meskipun begitu, para filosof menekankan bahwa eternalitas alam berbeda dengan qadimnya Tuhan. Artinya qadimnya alam, materi ruh dan sebagainya adalah bergantung pada Tuhan.74 Tanpa Tuhan tidak ada qadimnya alam, tidak ada ruh yang membaur bersama materi dan tidak akan ada kebangkitan di akhirat Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa perdebatan huduts dan qidam bukan perbedaan yang esensial melainkan soal penamaan belaka. Perbedaan hanya terlihat di permukaan dan tidak dalam hal yang sesungguhnya. Filosof pun mengakui Tuhan adalah satu-satunya wujud yang mengatur alam dan seisinya. Adapun anggapan bahwa Tuhan menciptakan melalui substansisubstansi tertentu, Ibnu Rusyd berujar bahwa hal tersebut memang diindikasikan oleh Allah dalam firmanNya; “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan singgasananya berada di atas air” (QS. Hud; 7); “Kemudian Dia mengarah menuju ke langit dan langit itu adalah asap” (QS. Fushilat; 11) . Dua ayat diatas mengindikasikan bahwa alam ini tersusun dan diciptakan melalui substansi-substansi tertentu.75 Banyak kalangan menduga bahwa Ibnu Rusyd menolak penciptaan dari ketiadaan. Meski tidak mengatakan menolak atau mendukung gagasan tersebut, Ibnu Rusyd mengajukan bahwa tidak ditemukan dalil dalam agama yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan. Bagi Ibnu Rusyd sebagaimana filosof, yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Dijelaskannya bahwa tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain diriNya, dan kemudian baru dijadikan alam.76 Ibnu Rusyd pun meyakini bahwa alam ini benar diciptakan, tetapi alam ini juga memerlukan tenaga penggerak. Penciptaan sendiri menurut Ibnu Rusyd adalah penciptaan yang terus menerus dan berkelanjutan, pencipta aktif yang terus menerus mencipta inilah menurut Ibnu Rusyd yang patut disebut pencipta, dibanding dengan pencipta yang penciptaannya hanya sekali dilakukan dan selesai.77 Teori Ibnu Rusyd mengenai penggerak pertama terkait langsung dengan pemahamannya terhadap sesuatu yang maujud. Maujud adalah eksistensi yang nyata entah dalam bentuk potensi atau tindakan. Skala wujud tersusun dari potensi dan aktualitas, materi pertama adalah potensi murni, ia hanya dapat maujud dalam suatu wujud yang berpadu dengan bentuk. Perubahan dari potensial menjadi aktual inilah yang disebutnya sangat membutuhkan Penggerak.78 Akibatnya, selalu ada penggerak yang membuat suatu benda bermaujud dalam aktualitas. Kadang, ada lebih dari satu sebab penggerak yang menggerakkan alam ini. Itu sebabnya Ibnu Rusyd membagi sebab tersebut pada sebab efisien dan sebab penggerak semata. Sebab efisien adalah Penggerak Pertama yang menggerakkan potensi materi pertama pada bentuk dan menjadi teraktualisasi. Dan sebab penggerak adalah hukum sebab-akibat yang menjadi ruh penggerak dalam alam ini. Benda-benda di angkasa digerakkan oleh sebab penggerak bukan sebab efisien karena mereka tetap dan tidak berubah. Gerakan yang diciptakan Penggerak Pertama menurut Ibnu Rusyd adalah digerakkan oleh hasrat bukan penggambaran. Maka, dunia ini pun bagi Ibnu Rusyd adalah sesuatu yang hidup, ia memiliki jiwa dan intelegensi.79 Teorinya ini sesungguhnya ditujukan untuk mendukung teori akal pertama sampai kesepuluhnya para filosof. Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibnu Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab abadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara, sebab dan perantara tersebut adalah kuasa Tuhan.80 Masalah kedua yang digugat al-Ghazal? adalah masalah pengetahuan Tuhan yang tidak mengetahui hal-hal partikular di alam. Dikatakan Ibnu Rusyd ini adalah kesalahfahaman belaka, karena para filosof tidak beranggapan bahwa Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut Ibnu Rusyd penyebab kesalahfahaman ini adalah al-GhazalT dan filosof memaknai pengetahuan Tuhan sebagaimana pengetahuan manusia.81 Dalam kritiknya Ibnu Rusyd juga menyampaikan ketidaksetujuannya pada ide-ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menurutnya telah mencampuradukkan ajaran Aristoteles dan Neo- Platonisme. Sebab, Ibnu Sina mengatakan bahwa ilmu Tuhan tentang yang detail berdasarkan ilmu universal (kulli), padahal menurut Ibnu Rusyd, ilmu Tuhan bukan berdasarkan pada ilmu universal, tetapi adalah ilmu sebab. Karena itu, ilmu kita tidak dapat dianalogikan dengan ilmu Tuhan. Tuhan mengetahui hal-hal detail dari ciri dan sebabnya, sedangkan ilmu manusia berdasarkan sebab akibat.82 Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan Tuhan merupakan sebab yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyyah. Tuhan mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang dan akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat qadim, yaitu semenjak zaman azali Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyat (universal) atau juziyyat (partikular).83 Asumsi pembedaan pengetahuan antara manusia dan Tuhan adalah karena alat pengetahuan manusia tentu saja tidak dapat disandingkan dengan Tuhan. Manusia mengetahui segala sesuatu diawali dengan panca indera dan panca indera mengalami keterbatasan dalam melihat segala sesuatu. Panca indera hanya menangkap sesuatu secara partikular dan memerlukan kondisi untuk membacanya secara universal, adapun akal hanya mampu melihat sesuatu secara universal dan memerlukan waktu untuk memahami hal-hal partikular di dalamnya.84 Pengetahuan manusia merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan merupakan sebab dari adanya segala sesuatu. Karenanya sifatnya temporal, tergantung dari sebab yang diserap oleh indera dan akal. Sedangkan pengetahuan Tuhan kekal, karena pengetahuan Tuhanlah yang menyebabkan segala kemaujudan dan bukan kemaujudan yang menyebabkan Dia mengetahui. Pemahaman Ibnu Rusyd mengenai pengetahuan didominasi oleh pemikiran filosofis dan teologis secara bersamaan. Seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Rusyd pun mengadopsi ide mengenai jiwa tumbuhan dan hewan dalam diri manusia. Hewan menerima pengetahuan melalui perasaan dan imajinasi, sedangkan manusia menggunakan akalnya.85 Pengetahuan partikular merupakan hasil dari perasaan dan imajinasi sedangkan pengetahuan universal merupakan hasil kerja akal. Tindakan akal ialah menyerap gagasan, konsep yang bersifat universal. Akal memiliki tiga kerja dasar: mengabstraksi, mengkombinasikan dan menilai. Akal tidak sekedar mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, tetapi ia juga mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dan menilai sebagian dari mereka, dinilai sebagai benar dan sebagai salah.86 Seperti filosof peripatetis lainnya, Ibnu Rusyd membagi akal pada teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki oleh semua orang. Unsur ini merupakan asal daya cipta manusia, yang diperlukan dan bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal yang dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi.87 Konsekuensinya, akal praktis dapat rusak karena kemaujudan hal-hal yang terakali bergantung kepada perasaan dan imajinasi. Maka mereka berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang dan rusak bila hal-hal ini rusak. Melalui akal praktisnya manusia mencinta dan membenci, hidup bermasyarakat dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis, kemaujudan kebajikan tak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju tindakan-tindakan yang baik secara benar; seperti, berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar. Adapun akal teoritis adalah akal yang kekal, karena hubungannya secara langsung pada Akal Aktif. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa akal teoritis tidak berwujud secara bendawi, seperti filosof lainnya, Ibnu Rusyd meyakini bahwa akal teoritis adalah sebuah potensi yang menjadi aktualitas di dalam diri manusia. Memiliki sifat seperti ruh (jiwa) dan berhubungan aktif dengan Akal Aktif atau Jibril.88 Perkembangan akal teoritis berjalan seiring dengan pertumbuhan manusia. Manusia dapat meraih Akal Aktif dalam kehidupannya kalau dia tumbuh dewasa. Di masa dewasa ini akal mencapai nilai aktualisasi dirinya. Sehingga dapat berhubungan langsung dengan Akal Aktif. Namun hubungan ini bukanlah hubungan mistis seperti yang digaungkan oleh para sufi, melainkan suatu kerja rasional dari akal, usaha manusia dalam menggunakan alat-alat epistemologisnya. Gugatan al-GhazalT selanjutnya adalah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Ide filosof ini menurut al-GhazalT bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami perlbagai kenikmatan jasmani di dalam surga, atau kesengsaraan jasmani di dalam neraka. Ibnu Rusyd sendiri terlihat lebih menyepakati kebangkitan ruhiah saja, meski dalam beberapa tulisannya Ibnu Rusyd pun menyepakati kebangkitan jasmani.89 Ibnu Rusyd mengakui bahwa dalam al-Qur'an persoalan akhirat digambarkan dengan keadaan fisik. Menurut Ibnu Rusyd gambaran ini sangat tepat karena kan mendorong seseorang untuk berbuat baik sebanyak mungkin di dunia ini. Oleh sebab itu, sebagian perumpamaan bersifat lahiriah. Disisi lain, terdapat hadis nabi yang menggambarkan bahwa surga adalah bagian dari hal ghaib. Sehingga Nabi mengakui bahwa indera dan daya fikir tidak mampu membayangkan hakikat yang sebenarnya dari surga tersebut. Karena itu yang paling cocok untuk memisalkannya adalah hal berkaitan dengan dunia lisik. Artinya gambaran-gambaran fisik tersebut tak ubah seperti perumpamaan yang kondisi sebenarnya masih sangat abstrak.90 Karena keabstrakkannya itulah, hal seperti ini tidak perlu diperselisihkan. Siapapun diizinkan menafsirkannya sebagai kebangkitan ruhiah atau kebangkitan jasmaniah. Tidak ada yang mengetahui pasti kebenarannya, intinya setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban perbuatannya di akhirat kelak. Seperti apa apresiasi Tuhan terhadap manusia itu adalah hal yang masih abstrak. Tetapi hal abstrak ini bukan hal yang tidak boleh ditafsirkan. Ada kelompok yang menggiring asumsinya pada hal-hal lahiriah. Tetapi ada kelompok lain yang menetapkan hal-hal ruhiah sebagai bentuk kebangkitan di akhirat. Keduanya menggunakan dalil dan alasan-alasan logis untuk memperkuat pendapatnya, dan karena hal tersebut adalah sesuatu yang abstrak maka sulit ditemukan mana yang tepat untuk menunjukkan kehidupan pasca kematian tersebut.91 Yang ingin ditekankan Ibnu Rusyd adalah jika menjelaskan hal ini pada orang awam sebaiknya digunakan faham al-Ghazali dan teologi Asy'ariyyah yakni menerangkan bahwa kebangkitan akhirat adalah kebangkitan jasmani. Ini ditujukan untuk mendorong umat untuk selalu berbuat kebaikan. Adapun di kalangan filosof gambaran tersebut ditafsirkan menjadi kebangkitan ruhiah karena mereka beranggapan kesenangan abadi adalah kesenangan ruhiah. Sehingga perumpamaan- perumpamaan tentang kesenangan harus menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi dan mulia.92 Ibnu Rusyd mengajukan teori ijtihad untuk membela kaum filosof dari tudingan kafir yang dilontarkan al-GhazalT. Jika para sarjana ini membuat kesalahan dalam menafsirkan dalam bidang ini maka hal tersebut dapat dimaafkan karena kesemuanya adalah hasil ijtihad mereka. Jika mereka benar mereka tentu akan mendapat pahala yang terpenting dalam konteks ini adalah para filosof mengakui kehidupan setelah mati dan mengakui bahwa pasca kematian setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya selama di dunia. Hal lain yang disorot oleh Ibnu Rusyd dan juga al-Ghazal? adalah hukum kausalitas dan mu’jizat. Dalam persoalan hukum kausalitas Ibnu Rusyd sependapat dengan Ibnu Sina yakni peristiwa di alam memiliki hubungan sebab akibat yang pasti. Sebab, dengan adanya kepastian itu akal dapat menangkap esensi suatu benda dan memberikan definisi.93 Adapun pendapat yang mengingkari kepastian hubungan sebab akibat adalah pendapat sofistis. Benda tidak dapat didefinisikan kalau tidak memiliki ciri-ciri tertentu. Sesuatu disebut api, karena bersifat membakar, sesuatu disebut air pun karena sifatnya membasahi. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa wujud yang baharu memiliki empat sebab, yaitu sebab materi, sebab bentuk, sebab pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab inilah yang kemudian menjadi definisi atau ciri khas tertentu. Dan akal berfungsi melihat ciri-ciri khas dan batasan-batasan tertentu untuk kemudian didefinisikan dalam termterm tertentu.94 Jadi, pengetahuan tentang akibat bergantung pada sebab. Jika sebab-sebab tidak diketahui atau sebab itu bersifat kabur, maka tidak ditetapkan suatu ilmu. Adapun perkataan bahwa hubungan sebab akibat karena kebiasaan (al’adah), bukan suatu kepastian. Ibnu Rusyd mempolemikkan konsep ’adah yang digunakan al-Ghazali untuk menggambarkan hukum kausalitas dengan ayat yang menyebutkan; “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan pada sunnah Allah itu perubahan dan kamu tidak akan mendapatkan pada sunnah Allah itu pengalihan’’ (QS. 35: 43). Jika yang dimaksud dengan kebiasaan adalah kebiasaan wujud, maka yang memiliki kebiasaan itu tidak lain adalah yang memiliki jiwa (makhluk hidup seperti manusia). Sebab, sesuatu yang tidak memiliki jiwa, seperti benda mati tidak memiliki kebiasaan tetapi memiliki tabiat. Jika benda mati menetapkan sesuatu tidak mungkin karena tabiat benda itu tidak aktif.95 Pada manusia sebagai makhluk hidup kebiasaan-kebiasaan itu mengandung perubahan. Seperti misalnya kebiasaan si fulan untuk melakukan hal ini dan itu, tetapi pada benda mati, tidak ada perubahan perubahan kebiasaan tersebut karena sifatnya tetap dan statis. Setiap perubahan akan menghasilkan definisi yang berbeda dari definisi yang sudah ada. Pertentangan dalam dunia filsafat adalah pembuat penggerak atau pembuat pengaturan dalam alam. Sebagian berpendapat bahwa penggerak ini diatur oleh falak, sebagian lainnya oleh zat yang tidak bermateri. Hal ini dapat dikembalikan bahwa wujud bukan hanya sesuatu yang menjadi nyata atau aktual tetapi juga potensial. Maka, penggerak penggerak versi filosof bukan meniadakan Tuhan atau menyekutukannya melainkan menunjukkan ciptaan Tuhan yakni penggerak-penggerak tersebut dalam wujud potensial dan gerakan alam inilah aktualisasinya. Terkait dengan persoalan ini, Ibnu Rusyd menekankan bahwa pembahasan mengenai Penggerak Pertama, Penyebab Utama dan sebab-sebab gerak adalah pembahasan yang dibahas untuk kaum filsafat yang tidak boleh dibicarakan bersama kaum awam. Bagi Ibnu Rusyd mu'jizat adalah bagian dari perubahan yang diciptakan oleh Allah. Ingat, Ibnu Rusyd beranggapan penciptaan adalah pembaharuan secara terus menerus. Meski, terdapat aturan-aturan dalam hukum kausalitas, mu'jizat adalah hal yang berada di luar daya nalar manusia. Sehingga memperdebatkan hal ini adalah kesia-siaan. Mu’jizat adalah salah satu prinsip agama sedangkan hukum kausalitas adalah tonggak ilmu. Artinya, dari satu sisi mu’jizat ditujukan untuk memperkuat keimanan dan di sisi lain hukum kausalitas dianggap menentang mu'jizat. Seperti halnya ulama Islam lain, Ibnu Rusyd memaknai mu’jizat sebagai identitas kenabian yang ditujukan untuk melemahkan tuduhan-tuduhan yang dituding kepada seorang Nabi.96 Identitas kenabian adalah bukti bahwa seseorang diakui sebagai seorang Nabi. Ibnu Rusyd menganalogkannya dengan sebutan dan anggapan yang diberikan pada kehebatan seseorang. Jika seseorang memiliki kemampuan berjalan di atas air, dan yang lain dapat menyembuhkan orang sakit, tentu yang disebut sebagai dokter adalah orang yang dapat menyembuhkan orang sakit.97 Meski keduanya memiliki kehebatan namun tidak semua kelebihan dan kehebatan itu diseragamkan dan diberi identitas yang sama. Mu'jizat ini adalah identitas atau bukti yang hendak dibawa oleh Nabi. Yang mendukung risalahnya dan menjadi lambang dari kenabiannya. Dan ini tidak bisa disandingkan dengan hukum kausalitas, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa hukum kausalitas dan mu’jizat adalah dua hal yang berbeda yang sama-sama terjadi di alam ini.98 Konsistensi Ibnu Rusyd mempertahankan hukum kausalitas adalah untuk menegakkan prinsip ilmiah dan rasional. Lagipula hal itu juga sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan agama. Adapun mu’jizat adalah sesuatu yang diluar nalar dan tidak dilogikakan. Perbedaan dasar ini membuat mu’jizat dan hukum kausalitas tidak dapat deperdebatkan satu sama lainnya. Agaknya Ibnu Rusyd menyadari benar bahwa jika hukum kausalitas diperdebatkan dan dipertentangkan upaya untuk menggali keilmuan dan rasionalitas akan melemah. Apalagi jika kemudian keilmuan diserahkan sepenuhnya pada tradisi sufi melalui berkhalwat dan menjauhkan diri dari dunia. Berkali-kali dalam seluruh kitabnya Ibnu Rusyd menekankan bahwa setiap ilmu memiliki audiensinya masing-masing. Kalangan awam tidak sepatutnya diberikan pemahaman-pemahaman filosofis, dan sesuatu yang filosofis sebaiknya terus digali oleh orang-orang yang diberi kemampuan oleh Allah dalam mencapai kapasitas keilmuan-Nya. IKHTISAR a Al-GhazalT mengajukan teknik epistemologi terbaru dalam dunia filsafat, yakni teknik intuisi. Sebuah upaya menggabungkan konsep filsafat dan tasawwuf b Kritik al-GhazalT secara umum ditujukan untuk mengurangi dominasi akal dalam pencarian kebenaran. Kritik al-GhazalT secara umum dilandaskan pada konsep-konsep syari’at. Penolakannya ditujukan pada masalah eternalitas alam, pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dan kebangkitan jasad di hari akhir, c Eternalitas alam, pengetahuan Tuhan terhadap partikular dan kebangkitan jasad di akhirat dituding al-Ghazali menolak konsep- konsep syari’at dan menolak kehendak bebas Tuhan, d Ibnu Rusyd mengajukan sanggahan terhadap teori-teori yang disampaikan alGhazali atas dasar pengaruh ide-ide al-GhazSli yang kemudian dianggap mendiskreditkan filsafat e Teori-teori Ibnu Rusyd yang ditujukan untuk menyanggah al-Ghazali sesungguhnya ditujukan untuk membela pemikiran rasional bukan untuk membela para filosof karena Ibnu Rusyd sendiri mengkritik pendapat-pendapat para filosof f Inti utama dari pemikiran Ibnu Rusyd adalah bahwa filsafat bukan konsumsi orang awam. Filsafat adalah bagian dari keilmuan yang hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki kapasitas secara ’aqli di dalamnya. 1 Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, terj., Epilog oleh Sulayman Dunya, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal. 23 2 Disimpulkan dari tulisan Seyyed Hossein Nasr pada pendahuluan editingnya, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 15-25 3 Usman Amin, Syakhsiyyah wa Madzahib al-Falsafah, (Kairo, alHallabi, tth.), hal. 71 4 Usman, Syakhsiyyah wa ..., hal. 72 5 Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, (Kairo, al-Matba’ah alIslamiyyah, 1977), hal. 21-22 6 Usman, Syakhsiyyah wa hal. 72-73 7 Massimo Campanini, al-Ghazali, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mizan Media Utama, 2003), hal. 319 8 Al-Ghazali, al-Munqidz ..., hal. 35-37 9 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy; second edition, (New York & London, Columbia University Presss, 1970), hal. 250 10 Fakhry, A History ..., hal. 251 11 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999), hal. 84 12 Amsal Bakhtiar, Pergulatan Pemikiran dalam Filsafat Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2004), hal. 45 13 Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 324 14 Amsal, Pergulatan .... hal. 28-29 15 Amsal, Pergulatan .... hal. 29 16 Yang dimaksud dengan argumentatif, adalah mengargumentasikan ide- idenya setelah menampilkan hal-hal yang dikritiknya. Argumentasi ini didasarkan pada metode solo-dialogis, yakni mendialogkan ide-idenya dengan ide para filosof. 17 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 84-85 18 Amsal, Pergulatan ..., hal. 48-49 19 Amsal, Pergulatan .... hal. 49 20 Amsal, Pergulatan ..., hal. 60 21 Amsal, Pergulatan ..., hal. 61 22 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, UI Press, 1986), hal. 46 23 Amsal, Pergulatan ..., hal. 65 24 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Kairo, Dar al-Ma’arif, tth.,), hal. 283 25 Firman Allah yang menjadi landasan pemikiran al-Ghazfili adalah AlQur’an surat al-Imran ayat 169 26 Al-GhazalT, Tahafut ..., hal. 296-298 27 Al-GhazalT, Tahafut ..., hal. 305 28 Amsal, Pergulatan ..., hal. 71 29 Al-GhazalT, Tahafut ..., Sulayman Dunya dalam Kata Pengantar, hal. 35 30 Ide-ide al-Ghazali memiliki kedekatan konsep dan makna dengan teologi Asy’ariyah, al-Ghazali mengakui ayat-ayat antromorphisme namun hanya sekedar untuk diimani bukan untuk ditakwil dan ditafsirkan. 31 Al-GhazalT, al-Munqidz hal. 3 32 Al-GhazalT, al-Munqidz ..., hal. 4-5 33 Amsal, Pergulatan ..., hal. 25 34 Amsal, Pergulatan hal. 25-26 35 Amsal, Pergulatan ..., hal. 26-28 36 Amsal, Pergulatan ..., hal. 31-32 37 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, (Jakarta, Rajawali Press, 1988), hal. 42 3* Teori al-GhazalT ini menjadi cikal bakal epistemology ilmu hudhuri, yakni ilmu yang diberikan oleh Allah bukan ilmu yang diusahakan. Ilmu hudhuri inilah yang kemudian dikembangkan Ibnu ‘Arabi, Suhrawardi dan Mulia Shadra. Jika dalam dunia peripatetic ilmu adalah sesuatu yang diupayakan, disebut ilmu hushuli dalam tradisi mistis disebut dengan ilmu hudhuri. ''' Amsal, Pergulatan ..., hal. 33 40 Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 326 41 Massimo Campanini, al-Ghazali, History hal. 326 42 Massimo Campanini, al-Ghazali, History ..., hal. 326 41 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj.,(Bandung, Mi/an Media Utama, 2003), hal. 414-415 44 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 415 1 Amsal, Pergulatan ..., hal. 101-102 4,1 M.M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj.. Para Filosof Muslim, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 201 " Upayanya mengomentari ajaran-ajaran Aristoteles yang dipelajari orangorang Latin melalui terjemahan yang dilakukan kaum muslim Spanyol melahirkan pemikiran skolastik Latin. Terdapat kecenderungan NeoPlatonisme dalam ide-ide skolastik latin kemudian, ini terlihat dari ajaran Siger van Brabant, Berner van Nijvel dan Boethius de Dacia. Tetapi pengaruh Ibnu Rusyd terhadap skolastik latin adalah di bidang psikologi. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak saja akal yang aktif, tetapi juga akal yang receptive itu bagi semua orang adalah sama dan satu yaitu berupa “intelegensi bulan”. Lih. A. Epping O.F.M dkk., Filsafat Ensie Erste Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedide, (Bandung, Jemmars, 1983), hal. 160-161 48 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 114 49 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), hal. 62 50 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 419-420 51 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 420 52 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 419 53 Badri Yatim mencatat konflik dengan Kristen adalah penyebab kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam di Spanyol disamping unsurunsur internal dan eksternal lainnya. Lih. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 107108 54 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History hal. 417 55 Dominique Urvoy, Ibnu Rusyd, History ..., hal. 417 56 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 204 57 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa al-Syari ’ah min al-Ittishal, terj., (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1993), hal. 4 58 Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 201 59 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 10-11 60 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 13-14 61 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 18 62 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 206 63 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 21-22 64 Amsal, Pergulatan ..., hal. 114 65 Amsal, Pergulatan ..., hal. 114 66 Ibnu Rusyd, Tahafut ..., hal. 8-9 67 Hasyimsyah, Filsafat..., hal. 82 68 Ibnu Rusyd, Tahafut ..., hal. 18 69 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Jakarta Press, tth), hal. 83 70 Ibnu Rusyd, Tahafut ..., hal. 16 71 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 32 72 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 33 73 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 34 74 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 35 75 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 36-37 76 T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York, Dovei Publications, tth), hal. 260 77 Hasyimsyah, Filsafat hal. 122-123 78 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 229 79 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 230-231 80 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 123 81 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 29-30 82 Amsal, Pergulatan .... hal. 139-140 83 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 29-30 84 Amsal, Pergulatan ..., hal. 141 85 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 214-215 86 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 216 87 M.M. Syarif, ed., History of..., hal. 217 88 M.M. Syarif, ed., History of.... hal. 217 89 Hasyimsyah, Filsafat ..., hal. 125 90 Amsal, Pergulatan hal. 148-149 91 Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal ..., hal. 50-51 92 Hasyimsah, Filsafat ..., hal. 126 93 Amsal, Pergulatan ..., hal. 157 94 M.M. Syarif, ed., History ofhal. 215 95 Amsal, Pergulatan .... hal. 159 96 Poerwantana, Seluk Beluk ..., hal. 228 97 Amsal, Pergulatan ..., hal. 164 98 Poerwantana, Seluk Beluk hal. 229 BAB 5 FILSAFAT DAN TRADISI MISTIS C ejak perbenturan intelektualitas antara al-Ghazali dan filosof Islam yang kemudian coba dicounter oleh Ibnu Rusyd, filsafat Islam disebut-sebut mengalami masa kebuntuan. Setelah masa Ibnu Rusyd, bangsa mongol menginvasi khilafah Islam, dan sampai saat itu dunia Islam hanya menghasilkan komentator-komentator belaka tanpa ide-ide kreatif dan orisinal. Keyakinan ini bila diarahkan ke dunia sunni, agaknya dapat dibenarkan karena perlu diakui, di dunia sunni pemikiran Islam mengalami stagnasi, dan ini diduga karena pengaruh kuat al-Ghazali yang menekankan pencarian kebenaran dan pengetahuan dengan intuisi dan tidak dengan akal. Gerakan intuisi memiliki tempat yang sangat baik dalam tradisi sufisme atau dalam mistisisme Islam. Konsep intuitif ini sebenarnya telah direspon dengan baik oleh Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, meski mereka juga tetap berkeyakinan bahwa fungsi akal masih mendominasi pencarian kebenaran. Sayang, metode al-Ghazali yang menekankan pencarian kebenaran dengan tasawwuf, dimana metode intuitif digunakan jauh lebih dominan dari akal. Akibatnya secara perlahan filsafat di dunia Sunni khususnya menjadi tidak popular. Hebatnya, di dunia Syi’ah, muncul imperium filsafat Islam yang berusaha mewacanakan penyatuan hasil pencarian intuitif dan rasionalitas ‘aqli. Yakni dengan menyatukan metode filsafat dengan metode sufisme, dilakukan oleh teosof-teosof Persia semisal Syihab al- Din Suhrawardi (1153-1191), Nasir al-Din al-Thusi (w. 1274), Ibnu Turkah (w. 1432), Baha al-Din al-Amili (w. 1622), Mir Damad (w. 1631) dan Mulia Sadra (1571-1640). Imperium intelektualisme Syi’ah yang mencapai puncaknya setelah tokohtokoh tersebut berhasil mengawinkan berbagai aliran tradisi dalam sistem filsafatnya, yang pada dasarnya dirintis oleh Syihab al-Din al-Suhrawardi. Tokoh inilah yang pertama kali secara terbuka mengajarkan filsafat esoteriknya, meski di zamannya ide-ide ini sempat menimbulkan fitnah dan berujung pada eksekusi kematian bagi Suhrawardi, namun pasca kematiannya, ajaran ini diakui kebenarannyadan mendapatkan tempat yang cukup baik dalam perkembangan Islam. Pengembangan kolaborasi filsafat dan sufisme berhasil dirangkum dengan cermat juga oleh Ibnu ‘Arabi, seorang Sunni. Dan dari ide-idenya aliran ‘irfani muncul sebagai aliran dalam filsafat Islam. Sebenarnya pertalian antara filsafat dan mistisisme (secara umum tidak hanya Islam) ini dikatakan Hossein Nasr telah terjadi selama berabad- abad, bahkan sebelum kelahiran al-Ghazali itu sendiri. Dan dalam konteks-konteks sufisme yang menganjurkan ‘uzlah dan sikap menghindari kenikmatan dunia juga dilakukan oleh filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Uniknya, semenjak Barat memutuskan untuk mengagungkan empirisme dan data ilmiah, sufisme semakin kuat berkembang dalam dunia Islam. Yang sisi negatifnya, membuat umat Islam terbuai dengan konsep esoterik dan melepaskan cara kerja akal dalam pencarian kebenaran, sayangnya, umat Islam tidak mempersiapkan perangkat untuk membangun konsep esoterik ini dengan tanpa melupakan eksistensi akal. Akibatnya, umat muslim terbuai dengan konsep esoterik ini, yang secara perlahan memandulkan akal, menggiring pada kemunduran ilmu pengetahuan, menyerahkannya dengan sukarela pada Barat. Konsep esoterik atau bathini ini jika dapat dipahami dan disandingkan dengan filsafat sesungguhnya dapat menjadi suatu pencapaian kebenaran yang komperhensif dan menyeluruh. Keterpaduan inilah yang ditawarkan Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi, yang melahirkan dua aliran baru, illuminasionis dan ‘irfani. Yang kemudian karena kevakuman ide di kalangan Sunni, seorang Syi’i, Mulia Shadra mencoba mengembangkan pemikiran filosofis dari dua aliran ini. A. SUHRAWARDI AL-MAQTUL Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi sangat masyhur dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru Iluminasi (Syaikh al-lsyraq), suatu aliran baru yang berkembang setelah peripatetik. Lahir di Suhraward, Persia -sekarang Iran- pada tahun 549 H/1191 M, dalam usia muda, Suhrawardi telah belajar filsafat dan teologi pada Majd al-Din al-Jili di Maraghah dan kemudian diteruskannya ke Isfahan, belajar pada Fakhr al-Din al-Mardini dan Zhahir al-Farsi, seorang logikawan ternama. Suhrawardi patut dianggap sebagai the right man in the right time, sebab karya iluminasinya lahir di tengah- tengah lingkungan yang kondusif. Dari segi pemikiran, karya ini muncul pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat Islam mencapai tahap kematangannya di tangan Ibnu Rusyd, tasawwuf di tangan Ibnu ‘Arabi (1165-1240), ilmu kalam di tangan al-'ljli (w. 1355) dan Ushul Fiqh di tangan al-Syatibi (w. 1388). Jadi, Suhrawardi muncul setelah matangnya pemilahan metode antara penalaran diskursif dan intuisi. Sayang, usianya tak panjang, Suhrawardi meninggal saat usianya baru menginjak 35 tahun, tuduhan bahwa ia adalah penyebar aliran sesat yang disebarkan ulama Suriah saat itu membuatnya dijatuhi hukuman mati. Itu sebabnya mengapa ia dikenal dengan Suhrawardi al-Maqtul, al-Maqtul adalah yang terbunuh atau yang telah dieksekusi. Tetapi, meski ia wafat di usia muda, pemikirannya jauh melampaui usianya. Tulisan dan ide-idenya yang termaktub dalam kitab Hikmah al- lsyraq menjadi fenomena yang tidak tergantikan, kitab ini telah mendapat banyak komentar dari murid-muridnya seperti al-Sahrazuri dan Quthb al-Din al-Syirazi atau simpatisannya seperti Ibnu Kammunah, seorang filosof Yahudi. Suhrawardi sendiri adalah penulis produktif yang banyak menulis banyak karya tentang hampir semua pokok persoalan filsafat, termasuk, untuk pertama kali dalam sejarah filsafat Islam, sejumlah narasi simbolik filosofis Persia. Namun, teks-teks yang terpenting dalam filsafat iluminasi adalah; alTaiwihat, al-Muqawamat, al-Masyari’ wa al-Mutarahat dan Hikmah allsyraq. Selain tulisan-tulisan ini, Suhrawardi pun memiliki kumpulan karya yang berupa do’a-do'a dan zikir-zikir yang terkait dengan peribadatan dan ketaatan. Dalam do’a-do’anya, Suhrawardi menggunakan bahasa sastra dan simbolik yang amat kaya, misalnya saja, Suhrawardi menyebut “Matahari Langit yang Agung” dan menyebut- nyebut otoritas “Wujud Bercahaya Agung", sebagai simbol Tuhan, yang kepadanya ia memohon diberi pengetahuan dan keselamatan. Sayang, upaya simbolisme dalam do’a-do’a pendeknya dituding sejumlah sarjana pada saat itu sebagai upaya menyebarkan kembali pemujaan Persia kuno kepada benda-benda astronomis bercahaya seperti matahari. Filsafat Suhrawardi sebenarnya adalah sebuah upaya memadukan filsafat dan tasawwuf, yang ia sebut dengan isyraq (illuminasi). Ide filosofisnya ini kemudian menjadi salah satu aliran filsafat Islam, yang berbeda karakteristiknya dengan aliran peripatetis yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berfikir dan pencarian kebenaran, filsafat illuminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif sebagai pendamping atau bahkan menjadi dasar bagi penalaran rasional. Bagi Suhrawardi pencari kebenaran terdiri dari tiga kelompok; 1). Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam yakni para sufi, tetapi tidak mampu mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif; 2). Mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik, yang dalam hal ini dapat berperan sebagai hubungan langsung dengan realitas sejati, seperti yang terjadi pada para filosof peripatetik dan 3). Mereka yang memiliki kemampuan poin 1 dan 2. Pengalaman mistik adalah pengalaman langsung melihat realitas sejati, karena dalam pengalaman mistik seperti itu “objek" yang diteliti telah “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut dengan “ilmu hudhuri”. Arti dari pengalaman mistik bagi seorang pencari kebenaran adalah bahwa melalui pengalaman tersebut seseorang dapat menyaksikan kebenaran (al Haqq), yang penyaksian tersebut takkan bisa terjadi dengan pendekatan apapun baik indera maupun akal. Ketika salah seorang muridnya bertanya pada Suhrawardi apakah kitab Hikmah al-lsyraq adalah karya mistik atau filsafat, Suhrawardi menjawabnya bahwa Hikmah al-lsyraq adalah kitab filsafat yang didasarkan pada pengalaman mistik Dalam penjelasan filsafatnya, Suhrawardi adalah sastrawan terbaik, dia mengungkapkan berbagai istilah dengan pengungkapan pengungkapan sastra. Misalnya saja, dia mengungkapkan Barzakh sebagai ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan dan bukan berkaitan dengan soal kematian. Suhrawardi juga menggunakan kata Timur (Masyriq) -tempat terbitnya matahari untuk menggambarkan dunia cahaya atau dunia malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, dan kata Barat (Maghrib) adalah dunia kegelapan atau materi. Selain itu, Suhrawardi dalam filsafat illuminasinya menyebutkan sumber dan hasil illuminasi dengan istilah Nur (cahaya). Istilah cahaya dan gelap ini adalah ciri khas dari filsafat Suhrawardi, bahkan ia menyebut Tuhan dengan Nur al-Anwar, Cahaya dari segala cahaya. Ungkapan Nur al-Anwar sebagai analogi sifat sejati Tuhan sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya lainnya. Juga dengan ungkapan al-Ghani, dilihat dari segi kemandirian-Nya yang absolut dari alam, sedangkan alam sendiri disebut dengan al-Fakir, karena ketergantungannya dengan Tuhan. Karena kemampuan membahasakan sesuatu dengan sastra yang sangat baik, Suhrawardi juga dikenal dengan penulis bercorak alegori dan simbolikal. 1. Filsafat Illuminasi Suhrawardi Epistemologi Suhrawardi sebagaimana telah diterangkan sebelumnya adalah orang yang berhasil memadukan dua metode epistemologis yakni penalaran diskursif dan zauqi. Metode penalaran diskursif adalah metode yang digunakan oleh Mutakallim dan filosof sedangkan yang kedua dilakukan oleh para sufi. Kedatangan Suhrawardi seakan-akan mengobati kejenuhan para filosof muslim terhadap metode peripatetic yang ketika itu mulai meredup dan kehilangan gaungnya. Melalui konsep filsafatnya, Suhrawardi menuangkan ide isyraqiyyah. Isyraqiyyah merupakan kata yang multi arti, pertama ditujukan untuk menggambarkan ilmu khuduri yakni pencapaian pengetahuan tentang suatu objek tanpa objek tersebut digambarkan di dalam akal, la mempunyai objek immanen yang menyebabkannya menjadi pengetahuan tanpa membutuhkan objek yang transitif. la hadir dengan sendirinya melalui bimbingan intuitif cahaya keilahian. Isyraq dalam bahasa Arab berarti “pencahayaan" dan masyriq berarti “timur”. Kesatuan antara “cahaya" dan “timur” dalam Hikmah lsyraqiyyah berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan mencahayai segala sesuatu, cahaya diidentifikasi dengan gnosis dan illuminasi. Dengan demikian isyraqiyyah dipahami sebagai ketimuran dan illuminatif, ia memancar karena ia berada di timur, dan ia berada di timur karena ia memancar. Isyraqiyyah adalah pengetahuan melalui pencahayaan di mana manusia dapat menyesuaikan dirinya di dunia wujud semesta, tidak masalah di mana pun ia hidup secara geografis, akhirnya ia menyadari bahwa timur adalah tempat kediaman azali, sementara bayangan, kegelapan dan kesuraman hidup manusia terdapat di barat. Epistemologi Suhrawardi dibangun dari konsep esensialisme, dimana baginya esensi adalah yang prinsipil dan bukan eksistensi. Untuk menguatkan argumentasinya, Suhrawardi bertanya pada kaum eksistensialis, apa yang dimaksud dengan wujud. Nah, ketika orang itu menjawab apa itu wujud, ia mengatakan apa yang dipahaminya tentang wujud tersebut pada hakikatnya bukanlah wujud, tetapi esensi, yaitu esensi wujud. Namun, karena setiap realitas adalah sesuatu yang tersusun dari partikelpartikel yang terpisah yang ada kalanya sederhana dan simpel dan ada kalanya bersifat majemuk, rumit dan kompleks. Esensi yang diketahui oleh akal adalah pengetahuan yang didapati dari esensi general, misalnya saja pada binatang, kita melihat esensi keseluruhannya adalah binatang rusa, tetapi sebenarnya rusa tersebut adalah tersusun dari organ- organ tubuh dan nyawa. Dimana bagian-bagian yang menjadi ciri seekor rusa yang terpisah- pisah seperti nyawanya, bentuk kakinya, dan lainnya adalah esensi spesifik karena terjadi secara perse. Suatu makna spesifik yang dilekatkan pada objek, dapat beriringan dengan sifat-sifat spesifik lainnya. Misalnya sifat “bersiap-siap berfikir” pada objek manusia, bisa beriringan dengan makna spesifik lain seperti “kelelakian". Tetapi sesuatu yang spesifik atau esensi spesifik harus dibedakan dengan aksiden-aksiden yang melekat pada objek Aksiden-aksiden yang melekat ini bisa jadi adalah sesuatu yang terpisah, yang hanya melekat dalam kondisikondisi tertentu. Misalnya; tertawa dan menangis, kedua sifat ini adalah aksiden yang terpisah yang hanya terjadi berdasarkan kondisi tertentu saja. Selain aksiden yang terpisah, setiap realitas pun memiliki aksiden yang permanen. Aksiden permanen ini dapat dianggap sempurna, bila hubungannya dengan realitas tersebut bersifat pasti, seperti hubungan antara “tiga sudut" dan bentuk “segitiga”. Aksiden ini tidak mungkin bisa dihilangkan karena seseorang tidak mungkin merekayasa kenyataan bahwa bentuk segitiga selalu memiliki tiga sudut; sebab bila ini terjadi, maka ada kemungkinan ganda untuk menyertakan atau tidak menyertakan aksiden tersebut dalam “realitas" bentuk segitiga. Kemungkinan semacam ini bisa menyebabkan bentuk segitiga ada tanpa tiga sudut dan ini mustahil. Untuk dapat mengetahui aksiden apa saja yang secara primer dalam esensinya, anda dapat mencoba memandangi realitas tersebut secara an sich, dan mengabaikan segala pengaruh eksternal di luar realitas tersebut. Pada tahap selanjutnya, akan diketahui bahwa aksiden yang mustahil terlepas dari realitas, yang mengikuti laju eksistensinya, muncul dan mengada karena realitas itu. Salah satu tanda permanensi aksiden itu adalah bahwa rasionalisasinya mendahului rasionalisasi atas keseluruhan realitas dan ia punya “peluang” merealisasikan keseluruhan realitas. Suatu bagian kecil aksiden yang menjadi karakteristik suatu benda seperti sifat “kebinatangan" dalam diri manusia dan semacamnya, dikatakan Suhrawardi, telah diistilahkan para pengikut Peripatetik sebagai “esensialis" (zati) dan diistilahkan Suhrawardi dengan “aksiden yang primer” (ma yajibu). Sedangkan sifat non-permanen, prioritas rasionalisasinya terjadi agak lambat dibanding realitas dan tidak memiliki peluang merealisasikan realitas. Sifat aksidental kadang kala lebih general dari pada realitas, seperti aktivitas “berjalan” atau “tertawa”. Dua sifat ini adalah sifat yang tidak hanya terjadi pada manusia, binatang kemungkinan dapat melakukan itu, dan tanpa aksiden “tertawa" sekalipun, manusia tetaplah manusia. Namun komponen yang paling jelas dari epistemologi illuminasionis Suhrawardi, adalah bagaimana ia mematahkan argumen- argumen peripatetik, dalam hal ini filosof muslim dan para filosof Yunani. Dimana Suhrawardi berusaha menolak dominasi akal dalam pencarian pengetahuan, fakta bahwa ia merumuskan kembali masalah-masalah filsafat, menolak sebagian atau memperbaiki sebagian lainnya merupakan indikasi akan tujuan filsafatnya sendiri. Dimana modus intuisi adalah keunggulan pencarian pengetahuan, dan simbolisasi “cahaya" adalah penjelasan yang diberikannya untuk menggambarkan intuisi. Itu sebabnya, Suhrawardi menekankan makna “esensi” dari pada eksistensi karena mengetahui “esensi” adalah dengan instuisi dan mengetahui “eksistensi" adalah dengan rasionalitas.dan menyebut sifat-sifat yang mencirikan esensi sebagai aksiden, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk memahami bagaimana illuminasi dapat berhubungan erat dengan modus intuisi Suhrawardi, digunakanlah cahaya sebagai metafornya. Tampaknya, simbolisme cahaya adalah deskripsi yang tepat, dan lebih mudah difahami. Karena cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas “kedekatan” dan “kejauhan” dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan. Simbolisme yang juga diterapkan pada keutamaan epistemologis tindakan intuisi, yang mengajukan, sebagai aksioma pertama, pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (ruh) tentang diri sendirinya sebagai entitas cahaya merupakan landasan dan titik tolak pengetahuan. Pengetahuan ini diibaratkan cahaya abstrak yang berasal dari sumber cahaya. Dimana sumber cahaya memancarkan cahayanya, dan cahaya itu merambat dengan sendirinya begitu memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan secara sengaja serta tidak dipancarkan secara terputus-putus. Ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan dalam suatu saat nirselang ketika sumber bercahaya, kapan saja terjadi. Modus ini membuktikan dengan tegas bagaimana intuisi berperan dalam pengetahuan dan tidak melalui kerja akal. Pertama, Suhrawardi mengkritik teori definisi peripatetik, yang juga merupakan cara kerja peripatetis yang banyak didominasi akal. Dalam peripatetik, sesuatu yang didefinisikan dilihat dari posisi premis sebagai langkah pertama dalam melakukan pembuktian, misalnya saja ketika mendefinisikan “manusia"; seorang peripatetik melihat manusia dari sifat-sifatnya dan menentukan manusia dalam satu jenis berdasarkan kesamaan dengan makhluk lain. Sehingga kemudian disimpulkan bahwa manusia sejenis dengan hewan, lalu dilakukan perbedaan dari kesatuan jenis itu, untuk membedakan manusia dari jenis lainnya, dan perbedaannya adalah karena manusia dianugerahi akal untuk berfikir. Sehingga manusia didefinisikan dengan “hewan yang berfikir"; hayawan nathiq. Artinya, dalam peripatetik mendefinisikan adalah merumuskan sesuatu yang menunjukkan esensi dan menggabungkan segenap unsur penyusunnya yang dalam realitas-realitas prinsipal, rumusan itu adalah sintesis dari genus-genus dan diferensia-diferensia mereka. Sedangkan menurut illuminasionis, semua unsur pembentuk sesuatu itu harus masuk dalam rumusan tersebut, suatu persyaratan yang tidak ditetapkan secara khusus oleh rumusan peripatetik. Ini berarti, menurut pandangan illuminasionis, sesuatu tidak dapat didefinisikan begitu saja dengan hanya melihat jenis-jenis dan diferensianya. Suhrawardi menyebutkan bahwa untuk dapat memperoleh definisi jika seseorang telah melihat hal-hal yang tampak atau yang dapat diindera dengan cara berhubungan secara khusus dengan jumlah total hal-hal yang tampak dan yang dapat diindera sebagai suatu keseluruhan organik. Pandangan Suhrawardi menegaskan bahwa untuk mengetahui sesuatu melalui esensialesensialnya, seseorang harus dapat memerikan masing-masing esensial dari sesuatu itu, yang secara eksplisit dituturkan Suhrawardi bahwa mengetahui jumlah total hal-hal yang esensial dengan metode pemerian pun adalah hal yang mustahil. Akhirnya, Suhrawardi menyimpulkan bahwa unsur-unsur pembentuk sesuatu tidak dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri, baik secara “hakiki” maupun secara “fikiran”. Oleh karena itu, suatu definisi esensialis tidak dapat dikonstruksi, karena akan mensyaratkan pemisahan unsur-unsur pembentuk sesuatu ke dalam genus dan diferensia, tetapi mendefinisikan adalah menggambarkan sesuatu sebagaimana yang dilihat, yang kemudian ditentukan realitasnya. Maka, mendefinisikan dalam illuminasionis adalah menggambarkan sesuatu apa adanya seperti yang “dilihat”, oleh karenanya teori Suhrawardi pada dasarnya eksperinsial. la didasarkan pada perolehan pengetahuan langsung tentang sesuatu yang riil dan yang lebih dahulu ada, yang disamakan dengan “cahaya”. Cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri, dan kita tidak bisa mendefinisikan cahaya meski kita telah melihat dan mengetahuinya, tetapi karena cahaya adalah sesuatu yang telah jelas dengan sendirinya. Sebab tidak ada yang lebih jelas dari pada cahaya, melebihi sesuatu yang lain, sehingga cahaya tidak membutuhkan definisi. Melalui simbolisme cahaya, pengetahuan iluminasionis yang secara umum dikenal dengan “pengetahuan dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhuri)" turut dielaborasi Suhrawardi. Seperti cahaya yang mampu menelisik ke relungrelung kegelapan terdalam, pengetahuan bagi Suhrawardi sebelum mencapai akal adalah sesuatu yang berhubungan dengan intuisi, pengetahuan itu terasakan, terinderai dalam intuisi, akal bekerja setelah intuisi bekerja. Oleh karenanya pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan dihadirkan dalam intuisi. Maka paradigma Illuminasionis bergantung pada pengalaman yang dirasakan manusia, sebuah ide dan pengetahuan jiwa seperti yang diterangkan Ibnu Sina. Disebabkan pengetahuan itu dihadirkan, tidak berarti kemudian pengetahuan adalah sesuatu yang tidak diusahakan. Teori intensitas cahaya, yang menunjukkan kedekatan dan kejauhan adalah bukti bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang juga mesti diupayakan. Artinya, kita sendiri perlu memberikan ruang agar cahaya tersebut dapat dengan mudah menelisik ke dalam dan tidak membiarkannya menjadi gelap. Disinilah kemudian Suhrawardi menjelaskan tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan pengalaman. Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filosof, yakni dengan menghindari kehidupan dunia agar mudah menerima “pengalaman". Tahap kedua adalah tahap illuminasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) cahaya Ilahi. Tahap ketiga atau tahap konstruksi yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yakni pengetahuan illuminasionis dan tahap keempat adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Empat tahapan tersebut adalah penggabungan cara kerja filosof dan mistisisme Islam atau tasawwuf. Dimana tahap pertama merupakan bagian dari maqam yang juga dilakukan oleh sufi dan filosof, tahap ini menggiring langkah selanjutnya pada tahap kedua. Karena di tahap pertama, seseorang yang telah menjauhkan diri dari dunia, membersihkan diri dari hal-hal yang berindikasi kegelapan sehingga cahaya Ilahi dapat memasuki wujud manusia. Hingga kemudian cahaya ini membentuk serangkaian cahaya yang berfungsi sebagai pondasi ilmu sejati. Tahap ketiga adalah tahap mengonstruksi suatu ilmu yang benar. Dalam tahap ini, digunakan analisis diskursif, pengalaman diuji coba dan diterapkan digali kebenarannya dan dipastikan keabsahannya. Setelah diketahui keabsahannya ini, lalu didemonstrasikan pada manusia lainnya dan ini adalah tahap keempat. Pengetahuan esensialistik adalah modus pengetahuan yang tidak pernah berubah, karena tidak adanya perubahan objek-objeknya, mengingat perubahan pada suatu pengetahuan mengikuti perubahan pada objek pengamatan, sehingga jika objeknya tidak berubah, pengetahuan tersebut tidak berubah. Objek-objek ini antara lain adalah Sang Pencipta, Intelek, jiwa-jiwa, bintang kosmik dan seluruh universalia dari unsur-unsur elementer dan esensi-esensi terstruktur. Pengetahuan esensialistik ini juga merupakan pengetahuan-pengetahuan teoritis, seperti juga pengetahuan spekulatif yang didasarkan pada akal. Tetapi, pengetahuan-pengetahuan teoritis menurut Suhrawardi harus didasarkan pada pengalaman intuitif atau pengalaman mistik. Yakni pengalaman langsung melihat realitas sejati, sehingga “objek" penelitian “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus ini disebut “ilmu hudhuri" yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli", di mana objek penelitian diperoleh tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah representasi, baik itu berupa simbol atau konsep. Kelebihan epistemologi Suhrawardi inilah yang menjadi kelebihan dari filosof lainnya, di mana intuisi berperan penting begitu pula akal. Hubungan antara intuisi dan akal ini ditujukan Suhrawardi untuk menegasikan ungkapan-ungkapan syatahat dari seorang sufi. Bahkan kemampuan seorang filosof untuk mengungkap pengalaman mistik secara diskursif ini merupakan kriteria dari benar atau tidaknya pengalaman mistik tersebut. Dengan kata lain, pengalaman mistik harus diuji kebenarannya justru lewat bahasa diskursif. Hikmah al-lsyraq, telah memperkenalkan kita pada metode yang tidak hanya logis tapi juga spiritualis. Dimana ketika kita hendak memperoleh kebenaran yang beremanasi dari pencahayaan-Nya, kita harus menjadi “cahaya” bagi diri kita sendiri. Caranya, ialah dengan mengenal diri kita sendiri bahwa kita secara esensial diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati, rasionalitas spiritualitas, untuk mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Bahwa “diri” kita adalah cahaya, atau cerminan dari CahayaNya, akhirnya, hanya dengan “diri yang bercahaya” ini, kita dapat memeluk kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tak habis-habisnya memberi kedamaian di muka bumi. 2. Emanasi Kosmologi Cahaya Ciri khas lainnya dari illuminasionis adalah bagaimana kemajemukan makhluk dan materi alam ini dinisbahkan melalui pemancaran cahaya yang bergerak dari sumber cahaya menuju entitas cahaya lainnya. Melalui teori emanasi illuminasionis, Suhrawardi mendeskripsikan bagaimana alam semesta memancar dari Tuhan. Namun teori ini lebih ekstensif dari teori emanasi kaum peripatetik. Dalam teori emanasi Suhrawardi, selain terdapat istilah-istilah yang berbeda terdapat juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Suhrawardi membahasakan Wajib alWujuddengan Nural-Anwar, Cahaya dari segala cahaya, karena sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya lainnya. Disebut juga dengan al-Ghani (yang independen) dilihat dari kemandirian-Nya yang absolut dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakir (berbanding dengan mumkin al wujud-nya Ibnu Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan. Selain perbedaan istilah, teori emanasi illuminasionis juga berbeda dalam strukturnya, jika dalam peripatetik, alam semesta dibagi ke dalam dua bagian; langit dan dunia bawah bulan (bumi). Maka dalam skema kosmik illuminasionis, di atas langit ditambah lagi satu wilayah di dunia spiritual murni, yang disebut dengan Masyriq -timur-, sedangkan langit dan bumi disebut Maghrib -barat-, dimana langit disebut barat tengah dan bumi disebut barat saja. Seperti alegori yang ditimbulkannya mengenai isyraq yakni cahaya, dan gharb sebagai kegelapan. Suhrawardi menyebutkan bahwa di dunia timur, hanya ada entitas-entitas murni yang tidak tercampur dengan kegelapan, di dunia timur inilah, cahaya dan malaikat bersemayam dan bergerak memperbaharui energi mereka. Sedangkan barat tengah adalah tempat bercampurnya cahaya dan kegelapan, kemurnian cahaya di sini mulai meredup, bintang-bintang dan matahari adalah sesuatu yang termanifestasikan di dunia ini. Adapun dunia barat, adalah dunia kegelapan berupa benda-benda material, yang menjadi gelap karena jauhnya dari cahaya lllahi. Suhrawardi pun berhasil melogikakan bagaimana kegelapan yang merupakan lawan dari sifat cahaya dengan sempurna. Kegelapan diartikan Suhrawardi sebagai sesuatu yang tidak hidup, yang tidak memiliki realitas objektif, yang menunjukkan ketiadaan, oleh karena itu bagaimana sesuatu yang tiada yang tidak hidup dapat menjadi dasar dari keberadaan Cahaya. Kegelapan adalah ketiadaan cahaya, maka kegelapanlah yang bergantung pada cahaya dan tidak cahaya yang bergantung pada kegelapan. Karenanya kegelapan bukan sumber eksistensi cahaya, cahaya hanya bergantung pada cahaya yang tidak akan ada lagi cahaya setelahnya. Jawabannya ini menjawab dualisme yang disodorkan para penganut agama Magi yang menduga bahwa Cahaya dan kegelapan adalah dua realitas yang berbeda, yang tercipta oleh dua agensi yang berbeda. Cahaya dan kegelapan dikatakan Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan eksistensi dan non eksistensi. Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya sendiri. Cahayalah yang membuat semua hal menjadi nyata, cahaya pula yang membuat semua hal menjadi hidup. Maka cahaya adalah sumber gerak, yang merupakan gejala bagi sesuatu yang hidup. Tetapi gerak dari cahaya bukan gerak yang menunjukkan perubahan tempat, gerakannya didasarkan pada intensitas cahaya yang menyinari yang membentuk esensinya. Sifat Nur alAnwar ini adalah esa, dan karena esa pancaran dariNya pun esa, dengan kemajemukan alam ini muncul dengan proses emanasi, melalui pancaran Nural-Awwal, cahaya pertama yang terpancarkan dari Nur al-Anwar. Nur alAwwal ini seperti Wajib al- Wujudnya filsafat peripatetik, yang jumlahnya satu dan tidak tersusun, cahaya pertama ini berbeda dengan sumbernya hanya dalam tingkat kesempurnaannya. Dalam struktur emanasi illuminasionis, kosmologi cahaya adalah inti ajarannya. Sistim kerjanya mungkin tidak jauh berbeda dengan emanasi peripatetis, namun karena cara kerja cahaya dan konsekuensi kegelapan, emanasi illuminasionis menjadi jauh elaboratif dan ekstensif dari emanasi peripatetik. Pada emanasinya, Suhrawardi mendeskripsikan cahaya yang memancar dari Tuhan (Nur al-Anwar) tersebut ke dalam dua jenis, cahaya yang bersifat vertikal (thuli), dan yang memancar dari Tuhan secara vertikal melalui serangkaian cahaya yang merentang dari cahaya pertama (al-nur alaqrab) hingga dunia barat tengah. Cahaya dibagi Suhrawardi menjadi dua; 1). Cahaya abstrak yang sifatnya individual yang darinya datang berbagai bentuk cahaya, yang dari satu bentuk dengan bentuk lainnya hanya dapat diketahui dari perbandingan intensitas cahayanya. Cahaya abstrak ini mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri dan tidak memerlukan suatu non-ego (keakuan) untuk mengungkapkan eksistensinya kepada dirinya sendiri. Dan 2). Cahaya aksidental yakni cahaya yang mempunyai suatu bentuk, dan mampu menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri. Cahaya aksiden atau cahaya yang dapat diinderai ialah suatu refleksi jauh cahaya abstrak, yang disebabkan jaraknya telah kehilangan intensitas cahayanya. Karenanya hubungan cahaya aksiden dan cahaya abstrak adalah hubungan sebab dan akibat, dimana cahaya aksiden ada disebabkan oleh keberadaan cahaya abstrak. Maka, jika cahaya abstrak tersebut menjauh dari bentuk-bentuk cahaya aksiden maka karakter dari bentuk bentuk cahaya aksiden menjadi buram dan meski tidak kehilangan karakter kebendaannya -yang terbentuk dari cahaya aksiden, benda- benda atau bentuk-bentuk tersebut mengarah pada kegelapan atau bahkan ketiadaan hidup.1 Selain itu, dalam teori illuminasionis ini dikenal gradasi cahaya dilihat dari intensitasnya, yang disebabkan oleh hadirnya barzakh-barzakh yang menyekat di antara dua cahaya: cahaya yang ada di atasnya dan cahaya yang ada di bawahnya. Barzakh ini adalah tubuh atau materi, yang sebagian kehilangan cahayanya dan berbentuk kegelapan dan sebagian lainnya mendapat sinar dari cahaya-cahaya yang memancar secara vertikal. Kegelapan itu sendiri hanyalah istilah bagi kondisi tidak adanya cahaya tersebut. Tetapi, ia bukan termasuk kategori non-eksistensi yang mensyaratkan status kemungkinan; karena andaikan alam semesta diasumsikan sebagai kekosongan atau planet yang cahayanya redup, ia akan tetap berada dalam kegelapannya, dan berkurangnya gelap ini memastikan tidak ada relativitas cahaya pada dirinya. Maka, barzakh sepertinya dapat diasumsikan sebagai potensi gelap dari cahaya. Karena setiap cahaya yang memancar semakin jauh dari sumbernya akan semakin redup dan menyimpan potensi gelap. Itu sebabnya terdapat barzakh yang cahayanya tidak pernah redup seperti matahari dan sejenisnya, tetapi terdapat barzakh yang sama sekali tidak berelasi dengan cahaya sedikit pun. Untuk memahami bagaimana cahaya terpancar dari Sumber Cahaya dan bagaimana barzakh-barzakh atau materi-materi alam ini terciptakan, berikut, bagan Teori2 Emanasi3 Suhrawardi;4 Korelasi emanasi cahaya antara satu dan lainnya dijelaskan Suhrawardi dengan korelasi dominasi dan korelasi cinta. Hubungan “qahi" atau dominasi adalah hubungan antara cahaya yang di atas dengan cahaya di bawahnya, seperti misalnya hubungan antara Nur al-Anwm pada cahaya pertama. Sedangkan hubungan cahaya yang lebih rendah pada cahaya yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah atraksi menarik atau cinta (mahabbah). Dua kekuatan inilah; dominasi dan cinta yang mengatur dunia. Nur al-Anwar memancarkan cahayanya ke bawah, sebagai bentuk berbagi kesenangan tertinggi -kesadaran pada milik dan perenungan tenang yang paling sempurna-. Dan cahaya pertama, barzakh-barzakh mengabdi pada Nur al-Anwar sebagai tanda cinta terhadap kesempurnaan, sesuatu yang lebih tinggi dan lebih indah. jg E ra g’ ro S. g> CD co OJ 03 J5 XJ «2 S O CO Z3 I <S CO CO C7> 5. jfS ^ -tr ^ O O Cahaya keempat ti is «3 .£ CQ -O Karena ketergantungannya pada Nur al-Anwar, cahaya pertama memiliki watak ganda, pertama kekurangan dalam dirinya yang harus bergantung pada limpahan karunia Nur al-Anwar dan kedua ia memiliki kekurangan karena ia memiliki sifat gelap disebabkan tingkat terangnya yang meredup jika dibandingkan Sumber Cahaya. Seperti al-Wujud al Awwal yang muncul pertama dari Wajib al-Wujud, yang kemudian memikirkan dirinya sendiri dan Tuhannya dalam proses menuju kemajemukan, cahaya pertama dari sisi gelapnya melahirkan “bayangan pertama1' yang disebut Suhrawardi dengan barzakh tertinggi. Dan dari dominasi pancaran cahayanya, cahaya pertama memunculkan cahaya kedua. Tetapi yang lebih khas lagi dari teori emanasi Suhrawardi adalah munculnya cahaya yang bersifat horizontal (’ardhi), yang tidak muncul secara langsung dari Tuhan, tetapi dari cahaya-cahaya vertikal. Cahaya- cahaya dalam tatanan horizontal ini disebut Arbab al-Ashnam, yakni semacam prototipe bagi makhluk apapun yang ada di alam fisik. Oleh karena itu, ia mirip sekali dengan dunia ide platonik yang bertindak sebagai bayang-bayang bagi apa pun yang ada di alam ide. Satu lagi tatanan cahaya yang bersifat horizontal, yaitu yang disebut dengan al-Anwar al- Mudabbirah (cahaya-cahaya yang mengatur). Cahaya-cahaya yang mengatur ini adalah daya-daya yang memiliki pengaruh besar terhadap segala makhluk yang ada di bawah pengaruhnya. Cahayacahaya yang mengatur ini dideskripsikan Suhrawardi dengan malaikatmalaikat atau daya-daya yang mengatur manusia dan menggerakkan bendabenda langit. Cahaya-cahaya ini membentuk sebuah hierarki dan mempengaruhi bola-bola angkasa melalui perantaraan benda-benda samawi, dimana mereka adalah penguasa-penguasa mutlak. Hurakhsy atau matahari, sumber cahaya diurnal, adalah salah satu pemimpin puncak hierarki ini, kemana penghormatan Ilahi (ta’zhim) diberikan sebagai pemimpin atau tuannya angkasa. Pancaran cahaya vertikal jauh lebih terang dari pada pancaran cahaya horizontal, hal ini disebabkan fokus cahaya yang terkuat adalah yang memancar secara vertikal. Mempermudah teori ini, anda dapat mencoba menyalakan senter di tengah kegelapan, perhatikan sinar yang terpancar darinya, sinar yang paling terang adalah sinar yang lurus sejajar dengan sumber cahaya dari senter. Dan sinar horizontal atau sinar yang berada di sisi kanan dan kiri sinar vertikal terlihat lebih redup dari sinar yang bergerak vertikal, sinar ini adalah bias dari sinar-sinar vertikal, atau pancaran dari sinar yang fokus. Itu sebabnya sinar horizontal ada di antara pancaran Cahaya yang satu dengan cahaya lainnya. Adapun barzakh, adalah potensi gelap dari pancaran cahaya. Jika fokus cahaya senter bergerak vertikal dan biasnya bergerak horizontal, barzakh adalah keadaan-keadaan gelap yang terjadi dari cahaya yang terus menerus memancar. Pancaran cahaya sebagaimana yang dikatakan Suhrawardi berbeda-beda intensitasnya, semakin dekat dengan Sumber Cahaya semakin terang dan semakin jauh dari sumber cahaya sinarnya semakin redup. Begitu pula barzakh, barzakh tertinggi adalah potensi gelap yang masih mendapatkan sinar karena cahaya yang memancar adalah cahaya yang sangat kuat dan terang. Anda dapat menganalogkan proses ini dengan lampu pijar berkekuatan tinggi yang dipasang di langit-langit kamar anda, perhatikan langit-langit atau atap tempat lampu terpasang, diperkirakan di sekitar itu bayang-bayang hampir tidak terlihat, bayang-bayang yang ada seakan-akan substansi terang, namun semakin jauh dari sumber cahaya -lampu-, bayangbayang tersebut akan semakin terlihat. Proses inilah yang dikatakan Suhrawardi dengan gradasi cahaya, dimana barzakh atau bayang-bayang gelap menyekat di antara cahaya yang bersinar satu dengan lainnya. Itu sebabnya, terdapat barzakh yang memiliki kemampuan bersinar atau bercahaya dan terdapat barzakh yang sama sekali kehilangan cahaya, menjadi substansi gelap karena jarak yang teramat jauh dari sumber cahaya. Matahari adalah barzakh yang memiliki cahaya yang cahayanya tidak pernah redup; barzakh ini berasosiasi dengan barzakh lainnya hanya pada keadaannya sebagai barzakh dan berdiferensiasi dengan cahaya yang abadi. Kondisi yang membuatnya berdiferensiasi dengan cahaya adalah sifat eksternal dan permanen keadaannya sebagai barzakh, sehingga ia menjadi Cahaya Aksidental dengan faktor utamanya berupa substansi gelap. Terakhir, selain berbeda dalam istilah dan struktur kosmik, emanasi Suhrawardi pun berbeda dengan emanasi peripatetis yang terbatas sampai dengan langit kesepuluh, emanasi illuminasionis tidak secara tegas menetapkan bilangannya, meski perwujudan materinya pun mendekati teori peripatetis. Bagi llluminasionis, karena setiap benda angkasa membutuhkan murajjih (sufficient reasons) untuk keberadaannya, maka akal-akal itu tidak bisa hanya dibatasi pada sepuluh tetapi berbanding dengan jumlah bendabenda angkasa tersebut, yang karena banyaknya tidak mungkin hanya dibatasi pada angka sepuluh. Inilah karakteristik iluminasionis, yang sekaligus merupakan kritik dan perbaikan atas teori emanasi sebelumnya. 3. Metafisika Alegori filosofis illuminasionis dengan menggunakaan cahaya, dinisbahkan Suhrawardi pada ayat al-Qur’an surat al-Nur; ayat 35 yakni Allah NurCahaya- bagi langit dan bumi. Penisbahan terhadap ayat ini sebenarnya bukan pertama kali dilakukan oleh seorang filosof, Ibnu Sina diduga telah menggunakannya untuk memperjelas emanasi Neo- platonisnya yang dari sinar pemancaran tersebut terdapat Kebaikan, lalu al-Ghazali menyebut Tuhan dengan Misykat al-Anwar atau cahaya di atas cahaya, dan Suhrawardi mengistilahkan Tuhan dengan Nur al-Anwar. Tetapi konsep cahaya Ibnu Sina masih didominasi oleh emanasi peripatetik dan konsep cahaya al-Ghazali baru sebatas metafor dari sebuah spekulasi filsafat, dan bukan jantung filsafat itu sendiri. Suhrawardi-lah yang berhasil memanfaatkan simbolisme cahaya, dan mengungkapkan ide-ide filosofisnya dengan brilian. Suhrawardi mendasarkan tesis dan kesimpulannya seraya mengkritik filosof peripatetik, pada kosmologi kebercahayaan: bahwa semakin esensi mendekati puncak cahaya yang tidak lain adalah Allah Swt, semakin tinggi dan berkualitaslah mutu eksistensinya. Pergerakan menuju Nur al-Anwar selalu dinamis dan melibatkan banyak esensi. Oleh karenanya, refleksi filosofis Suhrawardi senantiasa berpijak pada pertautan antar esensi dan interrelasionisme yang universal dan holistik. Mendekati Sumber Cahaya tidak lagi menjadi sematamata aktifitas spiritual, tetapi juga tindakan filosofis. Tak ada lagi keberpisahan antara rasio dan hati sebagai batu pijak untuk menaiki tangga kebenaran. Alasan pilihan Suhrawardi menggunakan metafor Cahaya dikatakannya karena cahaya adalah sesuatu yang eksistensinya tidak membutuhkan definisi dan penjelasan, karena tidak ada sesuatu pun yang lebih swamandiri dari definisi selain cahaya. Sumber Cahaya adalah al-Ghani; esensi yang swamandiri, yakni sesuatu yang zat dan kesempurnaan dirinya tidak bergantung kepada objek lainnya, sedangkan esensi yang tidak swamandiri adalah yang zat dan kesempurnaan dirinya bergantung kepada obyek lain, esensi tidak swamandiri ini adalah al-fakir (benda-benda) yang bergantung pada esensi swamandiri (al-Ghani) Selain itu, menurut Suhrawardi, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud positif, sedang kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif, la ada hanya sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, ketika cahaya datang, maka kegelapan sirna. Sehingga segala sesuatu yang ada di alam ini tidak dapat dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi disebabkan oleh intensitas cahaya yang dimiliki setiap makhluk. Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup fundamental atas prinsip hylomorfis, karena sementara bagi hylomorfisme bentuk-bentuk benda bersifat kategorik, bagi kaum iluminasionis bersifat relatif “lebih atau kurang" -more or less- dan tidak dibagi secara kategorik ke dalam substansi-substansi yang tetap (fixed). Metafisika adalah inti penting emanasi iluminasi, metafisika mempertanyakan kekekalan, baharu, Tuhan dan makhluk-makhluknya dan bagaimana sesuatu yang non-fisik menjalankan geraknya. Tuhan seperti dijelaskan sebelumnya adalah Cahaya Maha Cahaya, Nur al- Anwar, Esensi Swamandiri, al-Ghani, subjek yang bersinar dan terang dan tidak memiliki bayang-bayang karena kemurnian cahayanya. Tuhan dengan keesaannya, adalah realitas tunggal, dan sesungguhnya realitas tunggal ditinjau sebagaimana adanya, tidak memunculkan lebih banyak dari satu objek kausa (ma’luf). Maka, yang pertama kali muncul dari Cahaya Maha Cahaya adalah cahaya murni yang tunggal. Cahaya murni yang tunggal ini adalah cahaya pertama (nur a!- aqrab), cahaya ini menghasilkan barzakh dan cahaya abstrak, di mana lalu muncul cahaya abstrak dan barzakh lain, maka jika ia melakukannya hingga lahir sembilan planet dan alam elementer, kesemua rangkaiannya akan berakhir pada cahaya yang tidak dapat lagi menghasilkan cahaya abstrak, mengingat kenyataan yang anda ketahui bahwa mata rantai cahaya yang terstruktur pastilah berakhir dan final. Jika kita temukan suatu bintang dari setiap barzakh yang termasuk dalam dunia eter (unsur yang sangat halus yang memenuhi lapisan teratas ruang angkasa), dan sesuatu yang tidak mungkin dihitung jumlahnya oleh manusia dalam setiap lingkaran konstan bintang-bintang, maka ada banyak hal dan modalitas yang tak terhingga dalam keseluruhan ruang kosmik ini. Banyaknya bintang dan barzakh yang terdapat dalam kosmik kita saja, atau hanya dalam ruang angkasa saja, memutuskan Suhrawardi bahwa emanasi tidak dibatasi dengan sembilan atau sepuluh kategoris, bisa jadi emanasi ini mencapai dua puluh atau kelipatan seratus dua ratus. Artinya dari Cahaya pertama (nur al-aqrab) muncul cahaya kedua, cahaya ketiga hingga bilangan yang tak terbatas. Masing-masing cahaya menyaksikan Cahaya Maha Cahaya dan terkena pancaran sinarNya. Sedangkan pada jajaran Cahaya pendominasi -cahaya pertama, kedua dst.-, cahayanya saling berbalik satu sama lain. Setiap cahaya tinggi menerangi apa yang ada di bawah hierarkinya, dan setiap cahaya rendah menerima sinar dari Cahaya Maha Cahaya lantaran hierarki yang ada di atasnya secara bertahap, dimana cahaya kedua menerima cahaya melintas dari Cahaya Maha Cahaya sebanyak dua kali; satu kali dari Cahaya Maha Cahaya tanpa perantara dan satu kali lewat perantaraan cahaya pertama. Rangkaian ini berjalan terus, cahaya ketiga menerima empat kali, dua kali kebalikan dari yang diterima cahaya kedua, dari Cahaya Maha Cahaya tanpa perantara, dan dari cahaya pertama. Proses ini terus berlipat ganda hingga jumlah tak terhingga. Proses yang dibangun dari “dominasi” dan “cinta” ini adalah hubungan korelatif yang tak terhenti. Cahaya Maha Cahaya terus menerus melimpahkan cahayanya tanpa keputusan akan habis cahaya yang dipancarkan, dan cahayacahaya rendah berupaya keras mendapatkan penyaksian atas-Nya. Dan dari radiasi-radiasi sinar atau cahaya muncullah barzakh dan beragam kosmik, yang tetap dalam gelapnya atau yang teraksiden dengan cahaya. Kesemuanya juga berada dalam relasi yang sama, bergantung pada dominasi Cahaya Maha Cahaya dan mengharapkan penyaksian, (ma’rifah) dengan-Nya. Karena seluruh alam ini adalah penumbra Cahaya Maha Cahaya dan hubungan yang dibangunnya adalah dominasi dan cinta, maka alam dan seisinya adalah abadi sebagaimana keabadian Cahaya Maha Cahaya. Namun, keabadian ini tidak berarti penyetaraan atau sama dengan Cahaya Maha Cahaya, tetapi bergantung pada Cahaya Maha Cahaya. Keputusan keabadian ini bergantung pada dominasi cahaya yang diberikan, itu sebabnya seluruh energi di alam ini berlomb; i lomba meraih cinta terhadap substansi tertinggi. Setelah memperjelas keabadian dan kekekalan alam ini dan pemancarannya, tersisa satu pertanyaan, “bagaimana bentuk bentuk yang beragam muncul dari alam ini, dan bagaimana keteraturan yaiuj berkaitan dengan esensi-esensi spesifik alam, begitu pula dengan ruh dan materi". Kesemua ini dijawab dengan baik dan cerdas oleh Suhrawardi, dan lagi-lagi melalui kosmologis cahaya dan tidak dengan proses penciptaan sebagaimana identifikasi “mencipta". Keluasan sinar cahaya yang tersusun secara vertikal menyebabkan munculnya kategori-kategori cahaya. Cahaya-cahaya abstrak dibagi Suhrawardi menjadi Cahaya-cahaya pemaksa dan Cahaya-cahaya pengatur, Cahaya-cahaya pemaksa yaitu esensi yang tidak memiliki keterpautan dengan barzakh, baik dalam tipografi dan perubahan bentuknya. Dalam cahaya pemaksa terdapat cahaya pemaksa tertinggi dan cahaya pemaksa berbentuk, yaitu para pemilik ikon. Dan yang kedua adalah cahaya-cahaya pengatur atas barzakh, sekalipun secara tipografis tidak mempengaruhi barzakh. Cahaya ini muncul dari setiap barzakh pemilik ikon, khususnya dalam kaitannya dengan arah ketinggian kebercahayaan, berbeda dengan barzakh yang muncul dari modalitas rasa butuh yang rendah, sehingga cahaya ini muncul dan terjadi jika barzakh membuka diri untuk diatur cahaya ini. Cahaya pengatur dan cahaya pemaksa adalah esensi yang berperan penting dalam proses barzakh-barzakh, cahaya pemaksa adalah cahaya dominasi, cahaya ini takkan pernah berubah, karena pancarannya tetap dan bergantung pada pancaran Cahaya Maha Cahaya. Tetapi cahaya pengatur adalah cahaya “cinta" yang dari pancarannya substansi-substansi beragam barzakh timbul dan bergerak. Itu sebabnya, cahaya pengatur dan substansi gelap merupakan esensi yang saling membutuhkan, cahaya dan kegelapan dikatakan Suhrawardi bukan hubungan pertentangan, tetapi hubungan eksistensi dan non eksistensi. Menegaskan cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan yaitu kegelapan yang harus diteranginya agar ia menjadi dirinya sendiri. Keterikatannya (cahaya pengatur) dengan barzakh atau materi menurut Suhrawardi bukan karena kebutuhannya terhadap eksternal dirinya agar ia dapat mengindera, tetapi kebersatuannya disebabkan oleh sifat dari dirinya (watak). Kebersatuan itu menjadi kondisi permanen, yang cahaya pengatur menjadi inti dari penampakan tersebut, menjadi cahaya bagi dirinya dan secara otomatis berubah menjadi cahaya murni. Watak pengenalan atas objek-objek lain kemudian mengikuti diri keterikatan ini, dan tindakan untuk mengenal bersifat aksidental dalam dirinya. Substansi gelap memiliki substansialitas yang rasional dan kegelapan yang non-eksisten, sehingga ia tidak bereksistensi secara mental, melainkan hanya secara riil bersama sifat-sifat spesifiknya. Dan Cahaya Pengatur memanifestasikan substansi gelap, menjadikan substansi gelap tampak dan hidup. Tetapi karena Cahaya Pengatur ada karena keberadaan Cahaya Pemaksa dan Cahaya Pemaksa ada karena pancaran Cahaya Maha Cahaya, barzakh pun bersifat yang sama, berada dalam dominasi dan cinta. Dominasinya bergantung dari pancaran Cahaya Pemaksa tetapi cintanya bergantung pada relasi antara dirinya sebagai substansi gelap dengan cahaya pengatur. Jika substansi gelap ini mendominasi hubungannya dengan cahaya dan mengurangi cinta Cahaya Pengatur maka esensi cahaya yang diterima substansi gelap semakin meredup, sebaliknya jika cinta Cahaya Pengatur ini tertata dengan baik, maka substansi gelap ini akan dapat mencapai penyaksian Cahaya Maha Cahaya (ma’rifah). Relativitas Cahaya Pengatur dan substansi gelap dan gerakan “dominasi dan cinta"-nya ini menghasilkan kompleksitas cahaya, menghasilkan radiasi, pantulan-pantulan dan bayang-bayang. Substansi gelap yang menjadi hijab dalam gradasi cahaya Abstrak menghasilkan bintang-bintang barzakh yang menerima cahaya di antara dominasi cahaya di atas dengan cahaya di bawahnya. Dan substansi-substansi gelap yang tidak bercahaya yang tidak menerima sinar yang memancar tetapi juga memiliki hubungan dominasi dengan cahaya adalah unsur- unsur eter yang menghindar dari kerusakan yang mempengaruhi sinar csahaya pemaksa dan mengikat pada cahaya pengatur, dan substansi gelap lainnya yang memiliki hubungan cinta, adalah unsur eter yang tunduk dan merindu pada segenap sinar Cahaya Maha Cahaya. Penjelasan di atas menunjukkan kompleksitas cahaya, radiasi radiasinya, pantulannya bahkan bayang-bayangnya sekalipun Kompleksitas cahaya ini menunjukkan bahwa setiap kausa kebercahayaan selalu memiliki cinta dan dominasi dalam relasinya dengan objek kausa. Sedangkan objek kausa memiliki rasa cinta yang membuatnya hina di hadapan kausa kebercahayaan. Itulah mengapa eksistensi kosmik didasarkan pada hierarki kebercahayaan dan kegelapan, cinta dan dominasi, keagungan yang secara tetap mendominasi, dikaitkan dengan kehinaan yang tetap mencinta Cahaya Tinggi. Semua berjalin-kelindan secara biner. Seperti firmanNya: “Dan Kami ciptakan segala sesuatu saling berpasangan, agar kalian selalu ingat (tanda kebesaran-Nya) -Q.S. 51:49Dari penjelasan pancaran ini, Suhrawardi berhasil mengkritik kaum peripatetis yang menyatakan pengetahuan Tuhan adalah esensiNya atau penolakan sifat-sifat Tuhan seperti yang digaungkan para mu’tazili. Pengetahuan Tuhan, adalah sesuatu yang mutlak terjadi, karena segala sesuatu bersumber dariNya, sehingga Tuhan mengetahui segala yang terjadi di alam ini. Namun, pengetahuan ini tidak berarti Tuhan adalah otoritatif segala gerak, segala ketentuan seperti yang disampaikan jabariah. Tuhan mengetahui dengan dominasinya, dan makhluk-makhluknya bergerak, dan diizinkan mengelaborasi diri karena “cinta", karena kebutuhan terhadap dominasi Tertinggi. Untuk memahami cara kerja cahaya ini dengan sempurna, setiap kita diharapkan mampu memahami bagaimana cahaya muncul memancar, beradiasi dan substansi gelap. Sulit memahami seluruh kerja yang dideskripsikan Suhrawardi jika kita tidak memahami benar prosedurprosedur cahaya ini. Sedikit mengulas sebelum kemudian kita membahas ruh dan raga sebagai subjek terpenting di muka bumi ini, mari kita fahami kinerja cahaya abstrak dan cahaya aksidental, dua cahaya inilah fokus yang kemudian memunculkan beragam energi, dan barzakh-barzakh. Cahaya abstrak adalah cahaya yang dalam kosmologi illuminasionis adalah cahaya yang memancar langsung dari Cahaya Maha Cahaya secara berurutan, cahaya ini melalui partikel-partikelnya bersifat memaksa dan mengatur. Memaksa karena dia hendak mendominasi dan mengatur karena cinta. Dan gelap adalah sebuah keharusan yang terjadi, karena hijab antara satu cahaya dengan cahaya di bawahnya adalah substansi gelap atau barzakh. Barzakh-barzakh ini pun beremanasi sebagaimana cahaya, keberadaannya ada bersama dengan cahaya, dan cahaya pun beremanasi karena ada substansi gelap. Maka, emanasi terjadi pula pada barzakh-barzakh dan karena barzakh adalah sesuatu yang bergantung pada esensi lainnya maka emanasi barzakh ini memunculkan objek-objek temporal (baharu). Ini disebabkan karena keabadian barzakh adalah ketergantungannya pada esensi lain di luar dirinya, artinya barzakh disebut abadi jika ia tetap bergantung pada cahaya-cahaya abstrak, dan jika kebergantungan itu terlewati, barzakh menjadi temporal. Keabadian barzakh sangat bergantung pada esensi cahaya pengatur, yang menetapkan “gerak-gerak" kosmik mereka. Gerakan ini dideskripsikan Suhrawardi dengan gerakan sirkular, atau gerak peredaran. Matahari, bulan dan planet-planet abadi karena gerakan peredaran mereka. Gerakan peredaran memungkinkan subjek-subjek ini abadi, karena gerakan peredaran adalah gerakan tanpa ujung, sebuah gerakan yang berulang-ulang. Tetapi gerak peredaran ini terus menerus mengalami pembaruan diantara dominasi dan cinta sehingga barzakh pun memiliki kehendak mandiri, kehendak untuk menjalankan cintanya atau menerima dominasi. Kehendak-kehendak ini dibahasakan oleh Syahrazuri dengan gerakan-gerakan terpaksa barzakh. Gerakan- gerakan terpaksa ini lah yang kemudian memunculkan barzakhbarzakh temporal, ini dikarenakan barzakh-barzakh terlepas dari gerakan terstrukstur. Itu sebabnya gerakan-gerakan kosmik kita sangat variatif, beberapa berada dalam gerakan yang tetap, beberapa gerakan lainnya lurus dan berubah-ubah. Gerakan-gerakan dengan segenap variasi dan multiplisitasnya harus difahami dalam kerangka relasi-relasi sinar dan cahaya pada subjek-subjek merindu, sampai gilirannya seluruh perputaran kosmik berlangsung di atas relasi-relasi kebercahayaan cahaya Pemaksa yang memungkinkan untuk saling menyerupai, bersenyawa dan begitulah setiap kosmik bermula, berubah dan berakhir. Persenyawaan paling sempurna dimiliki oleh manusia; karena ia menerima kesempurnaan dari Cahaya Pemberi Kesempurnaan (Nur al-Anwar). Cahaya pemaksa seperti anda ketahui, mustahil berubah, karena perubahan mereka berarti perubahan pada esensi aktif, yaitu Cahaya Maha Cahaya dan ini mustahil. Perubahan hanya terjadi pada sebagian subjek penerima (barzakh), karena subjek ini mampu melakukan perubahan dan pembaharuan diri sebagai bagian dari relasi “cinta”-. Di antara sebagian Cahaya Pemaksa adalah pemilik teurgi “genus” yang berfikir; yaitu Jibril, pemuka alam malakut yang mendominasi, dan keutamaan untuk persenyawaan paling sempurna, sebuah Cahaya Abstrak; cahaya yang mewahyukan (ruh) untuk ubun-ubun manusia, Cahaya Pengatur yang menjadi isfahbad bagi realitas nasut, esensi yang menunjuk dirinya dengan “Keakuan". Raga adalah ikon bagi Cahaya Pengatur, dan Cahaya Pengatur tidak beroperasi dalam barzakh tanpa perantara korespondensi atau keterkaitan relasi tertentu, yaitu antara ia dan substansi halus yang disebut para filusuf dengan “ruh”. Ruh bersumber dari arah sekitar hati, karena di sana terdapat sesuatu yang menyerupai barzakh-barzakh langit dalam hal keseimbangan dan keterhindarannya dari kontradiksi. Di dalamnya pula, terdapat sifat eklektik (moderat) yang memanifestasikan bentuk imajiner-arketipnya {misal). Setiap sesuatu yang eklektik dan jernih akan memperoleh bentuk ini secara maksimal, dan unsur-unsur lainnya menjadi medan penampakan baginya. Benda yang kasar dapat pula menerima cahaya, menyerap dan memelihara bentuk-bentuk formal dan imajinernya. Ini sebagaimana halnya sifat halus dan panas yang kesemuanya berkoresponden dengan cahaya. Ada juga gerak yang berkorespondensi dengan Cahaya Aksidental. Jika tidak ada sifat permanen pada benda- benda ini, mengingat ia cepat mengalami keteruraian pada kadar kehalusan dan kepanasannya, maka ia dapat permanen dengan “anugerah". Hal ini berlaku pada seluruh korespondensi cahaya. Ruang angkasa tidak menerima sinar (karena ia hampa), tetapi berkorespondensi dengan cahaya pada kadar panas dan kecepatannya bergerak. Karena itu, ia menghadap ke arah dunia cahaya yang bersifat barzakh dan abadi dalam gerak, mendekat dan merindukannya, la adalah subjek kasar di bawah stratum cahaya; dan ia dapat menjaga posisinya. Di titik inilah, ia berelasi dengan cahaya. Sedangkan subjek eklektik menjaga cahaya dan memanifestasikan bentuk imajiner Cahaya Menyala dan Penerima Cahaya, tetapi tidak berkorespondensi dengan cahaya dalam hal suhu dingin dan sejenisnya. Ruh ini memiliki sejumlah relasi, menguasai seluruh rongga tubuh, membawa kekuatan-kekuatan bercahaya, dan memproses Cahaya Isfahbad dalam tubuh, dengan perantara tubuh yang diilhami cahaya. Cahaya pemaksa yang berasal dari Cahaya Melintas berbalik dari arah tubuh, karena adanya ruh ini. Ruh yang berfungsi khusus untuk meraba dan bergerak naik ke atas otak dan mengembang lurus, sembari menerima sapaan Intuisi, dan kembali mengisi sekujur anggota tubuh. Karena terdapat korespondensi positif antara kebahagiaan dan cahaya, maka setiap sesuatu yang timbul sebagai ruh bercahaya selalu dalam keadaan bahagia. Karena korespondensi antara jiwa dan cahaya inilah, jiwa-jiwa terhindar dari kegelapan dan terbentang setiap kali menyaksikan cahaya. Seluruh binatang menghadap menuju Cahaya pada saat tergelincir dalam kegelapan dan merindukannya. Dan pada Cahaya Isfahbad, meskipun ia tidak bertempat atau memiliki modalitas, seluruh kegelapan yang berada di raganya tunduk pada otoriitasnya. Seperti emanasinya yang tak berbilang, Suhrawardi juga tidak membatasi indera manusia hanya pada lima, atau menentukan indera batin manusia. Semuanya menurut Suhrawardi tergantung pada pergerakan struktur-struktur di dalamnya, karena jika ditetapkan dalam bilangan, kita sulit merasionalisasi indera-indera ini dalam kondisi menyimpang, seperti ketika kita lupa, kita celaka, atau segala sesuatu yang tidak sempurna seperti manusia lainnya. Itu sebabnya semua bergantung dari Cahaya dan energi panasnya yang menggerakkan dan bersemayam dalam raga. Berdasarkan alasan ini, Suhrawardi menolak bentuk-bentuk khayalan yang ditetapkan peripatetik dan menolak emanasi terbilang. Menolak pula waktu dalam konteks bermula dan berakhir, waktu bersifat abadi, tanpa awal maupun akhir. Sebab jika waktu mempunyai awal, maka haruslah didahului baik oleh ketiadaan maupun oleh beberapa entitas lainnya. Dalam kedua kasus itu, harus ada sebuah waktu yang mendahului permulaan waktu. Itu sebabnya, Suhrawardi menekankan gerakan sirkular sebagai tartib ‘aqli gerakan pancaran ini, karena gerakan ini menolak temporalisasi, berputar dalam formatnya, berhubungan dengan dominasi dan cinta dan kegelapankegelapan tidak terstruktur sajalah yang akan keluar dari gerakan sirkular ini dan mati karena kehilangan cahaya dan energi panasnya. Jangan bayangkan kebersatuan ini antara ruh dan tubuh adalah kesatuan fisik. Kesatuan yang mengikat keduanya bersifat rasional, karena cahaya pengatur memiliki keterkaitan dengan barzakh dan menjadikan raga sebagai manifestasinya. Jangan bayangkan pula bahwa kemudian cahaya pengatur bersemayam dalam barzakh, atau sebaliknya barzakh berada di dalam Cahaya ini. Hubungan ini terbangun untuk mencapai penyaksian berdasarkan cinta pada Cahaya Maha Cahaya. Disebabkan kebersatuan antara dua hal yang berbeda, cahaya dan kegelapan (barzakh). Maka, manusia mesti menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan agar kesemuanya tidak mengakibatkan munculnya sejumlah hal yang berlebih-lebihan, dan mengakibatkan satu dengan yang lainnya menjadi tidak seimbang. Dan karena tubuh membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal lainnya yang bersifat menyenangkan, yang keseluruhannya pun bersifat materi -identik dengan kegelapan- maka perlu dilakukan sebuah upaya purifikasi moral secara internal dan eksternal. Sebab kesibukan kita yang semata-mata tertuju pada indera-indera lahiriah-batiniah, birahi dan rasa amarah adalah penghalang bagi ruh dan pencegah terjadinya kondisi yang menghasilkan pengetahuan. Sebaliknya, sikap-sikap yang diupayakan pada penyucian dari kegelapan, dan penyeimbangan, membuat pengetahuan berhasil menghantarkan Cahaya Isfahbad mencapai ma’rifat, sebaliknya Cahayacahaya Isfahbad lainnya yang terjebak dalam kegelapan atau yang tidak menyucikan dirinya, akan bangkit kembali dengan raga-raga yang sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Kematian menurut Suhrawardi tidak mengakhiri kemajuan spiritual ruh (jiwa). Jiwa-jiwa individual sesudah mati tidak disatukan menjadi satu jiwa, tetapi terus berbeda satu sama lain sebanding dengan penerangan yang diterima oleh mereka selama mereka bersama dengan organisme fisik. Bilamana mesin materi yang digunakannya untuk maksud memperoleh penerangan bertahap habis terpakai, kemungkinan jiwa mengambil tubuh lain yang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya dan semakin tinggi dalam berbagai lingkungan maujud, dengan menggunakan bentuk-bentuk yang khusus bagi lingkungan-lingkungan tersebut, sampai ia mencapai tujuannya, yaitu ketiadaan mutlak. Tetapi jiwa-jiwa ini tidak bereinkarnasi dengan dunia yang sama, ada tempat lain, alam lain tempat ruhruh yang telah berkaitan dengan raga dengan materi. Doktrin perpindahan tidak dapat disangkal, karena Tuhan mengklaim perpindahan manusia dari dunia ke akhirat dalam bentuk Neraka dan Surga. Semua jiwa dengan demikian terus menerus berkelana menuju sumber bersama mereka, dan kematian barzakh adalah disebabkan oleh kegagalan persenyawaannya, karena dari sesuatu yang keabadiannya juga bergantung, temporalisasi adalah realitasnya. B. IBNU ‘ARABI Abu 'Abdallah Muhammad ibn al-‘Arabi al-Tha’l al-Hatimi dan lebih dikenal dengan Muhyi al-Din (pembangkit agama) ibn 'Arabi dan lebih populer dengan Ibnu 'Arabi. Lahir di Murcia, Andalusia pada 17 Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165 M dan meninggal di Damasskus pada 22 Rabi' al-Tsani 638 H/10 November 1240 M. Dikenal sebagai seorang penulis yang paling berpengaruh tentang Sufisme dalam sejarah Islam, hingga dijuluki kaum sufi sebagai al-Syaikh al-Akbar (Guru Teragung). Walaupun tidak dipandang sebagai pendiri ordo sufi, pengaruhnya secara cepat meresap kepada muridmuridnya dan sufi-sufi lain yang mengekspresikan ajarannya dalam termterm intelektual dan filosofis. Dia mampu menggabungkan berbagai ajaran esoterik yang ada di dunia Islam seperti Phytagorianisme, al-Kemia, Astrologi, dan pandangan- pandangan yang berbeda dalam sufisme dalam perpaduan yang dibentuk oleh al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Terlahir dari keluarga bangsawan, membuatnya mudah sekali menuntut ilmu di berbagai bidang keilmuan. Konon, ayahnya adalah seorang pejabat pemerintah dan salah satu iparnya, Yahya ibn Yushan adalah penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta lainnya yang sangat menarik adalah bahwa salah seorang pamannya, meninggalkan jabatan- jabatan dunia dan memilih menjadi seorang eskatis (wara) atau sufi. Sikap ini pula yang menginspirasi Ibnu ‘Arabi untuk menjadi seorang penulis tentang sufi dan menjadi sufi itu sendiri. Karena kemasyhurannya di bisang sufistik, Ibnu ‘Arabi jauh lebih dikenal sebagai seorang Sufi daripada seorang filosof. Karenanya sebagian kalangan tidak menempatkannya sebagai seorang filosof tetapi menempatkannya sebagai seorang sufi. Sejauh mana Ibnu ‘Arabi disebut filosof menurut William C. Chittick, bergantung pada definisi yang diberikan tentang “filsafat". Jika menggunakan kata falsafah untuk menyebut madzhab pemikiran tertentu dalam Islam yang menggunakan namanya, Ibnu ‘Arabi tidak dapat disebut sebagai failasuf. Namun, apabila filsafat difahami sebagai tradisi kebijaksanaan, pencarian kebenaran baik yang berakar pada sumbersumber Islam maupun warisan pra-Islam, Ibnu 'Arabi dapat dikategorikan sebagai seorang filosof. Lagi pula kata falsafah atau juga filosof bukanlah kata yang mengandung makna sebagai madzhab pemikiran, karena jika ditujukan untuk madzhab atau pemikiran, beberapa nama bisa jadi dikualifikasi sebagai filosof. Ibnu Rusyd adalah seorang faqih, mutakallim dan juga filosof, Suhrawardi pun adalah seorang sufi dan filosof, al-Ghazali adalah teolog, sufi dan filosof. Itu sebabnya Ibnu ‘Arabi adalah seorang sufi dan filosof, kedua bidang ini tak terpisahkan, saling berkaitan dan saling mengisi. Filosofi Ibnu ‘Arabi pada para sufi, membantu memberikan gambaran lain dari metodologi sufistik dan teori sufi Ibnu ‘Arabi memperkaya wawasan filsafat Islam. Karena perannya yang sangat kuat dalam memadukan sufi dan filsafat, Ibnu ‘Arabi dinobatkan sebagai salah seorang filosof yang berhasil memunculkan aliran baru dalam filsafat Islam, aliran Irfani atau aliran Tasawwuf. Pengakuan terhadap keberadaan aliran ini, lagi lagi tidak dapat dipisahkan dari peran al-Ghazali dan Suhrawardi al Maqtul, al-Ghazali adalah orang pertama yang mencetuskan metode tasawuf dalam pencarian kebenaran dan Suhrawardi al-Maqtul adalah orang yang berhasil menjelaskan cara kerja metode intuitif dalam proses pencarian kebenaran. Keduanya, al-Ghazali dan Suhrawardi al-Maqtul sama-sama menekankan pengalaman mistik yang bersifat supra- rasional, berkhalwat dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk masyarakat. Sementara itu, seperti dikatakan Ibnu Khaldun, baik teologi maupun tasawwuf, pada masanya telah bercampur sedemikian rupa dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga menurutnya cukup sulit dibedakan. Dua cabang ilmu Islam yang bersifat naqliyah tersebut, kini bergeser ke wilayah ‘aqliyyah. Kepopuleran Ibnu ‘Arabi tidak lepas dari peran salah seorang muridnya, alQunawi, semua sumber setuju bahwa al-Qunawi adalah juru bicara utama ajaran Ibnu 'Arabi. Al-Qunawi adalah penulis 30 karya, yang lima diantaranya adalah yang terpenting untuk penyebaran ajaran Ibnu 'Arabi, yang turut menentukan bagaimana pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi diinterpretasikan oleh sebagian besar pengikutnya. Bahkan sebagian karya Ibnu ‘Arabi hanya dapat difahami melalui ungkapan-ungkapan yang disampaikan al-Qunawi, dalam kata-kata pujangga Sufi terkenal, Jami, “Adalah tidak mungkin untuk mengerti ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi mengenai Keesaan Wujud dalam cara yang konsisten, baik dengan inteligensi maupun hukum agama, tanpa mempelajari karya-karya al-Qunawi. Di antara yang terpenting adalah Miftah al-Ghaib (The Keyto the Unseen), sebuah ulasan sistematik tentang metafisika dan kosmologi Ibnu ‘Arabi; Tafsir al-Fatihah (Commentary on the Opening Chapter ofthe Qur’an), sebuah eksposisi tentang sifat “tiga buku" (al-Qur'an, semesta dan manusia), dan sebuah korespondensi dengan Nasir al-Din al-Thusi representasi ternama filsafat peripatetik Ibnu Sina. Dalam karya terakhir ini, al-Qunawi menunjukkan kesamaan antara ajaran Ibnu ‘Arabi dengan ajaran peripatetik mereka, sedangkan secara prinsipil keduanya adalah berbeda. Beberapa karya Ibnu ‘Arabi adalah deskripsi-deskripsi mengenai hasil-hasil pernungan sufistiknya. Sehingga kebanyakan berupa lembaran-lembaran tipis yang menceritakan hasil dari pengalaman mistiknya. Osmen Yahya mencatat 850 karya Ibnu ‘Arabi dan hanya tersisa 400 karya saja yang masih bisa diakses oleh kita. Dan dari 400 karya tersebut, kebanyakan adalah kumpulan lembaran- lembaran tipis, tetapi ditemukan juga beberapa yang seukuran buku. Yang terpopuler dari semua karyanya adalah al-Futuhat al-Makkiyuh, Fusus al-Hikam dan Tarjuman al-Ashwaq. Al-Futuhat al-Makkiyah adalah ringkasan ilmu-ilmu gnostik dan agamis dalam Islam, di dalamnya dibahas filosofi praktek-praktek spiritual Islam, makna dan sifat tiap tingkat ontologis dalam alam semesta, makna spiritual dan ontologis huruf-huruf dalam alQur'an dan filosofi Asma’ al-Husna. Fusus al-Hikam adalah karya yang telah dikomentari oleh lebih dari 100 komentar dalam berbagai bahasa. Karya ini dikatakan Henry Corbin adalah ikhtisar terbaik doktrin-doktrin esoterik Ibnu 'Arabi, di dalamnya Ibnu 'Arabi membahas hikmah illahi yang diwahyukan kepada dua puluh tujuh nabi yang berbeda atau kalam Tuhan dari Adam sampai Muhammad; Ibnu ‘Arabi menunjukkan bagaimana tiap-tiap nabi adalah pengejawantahan hikmah yang diimplikasikan oleh satu dari Namanama Ilahi. Dan Tarjuman al-Ashwaq; diwan pendek tentang puisi cinta ini adalah karya pertama Ibnu ‘Arabi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Konon, karya ini menurut cerita, ditulis Ibnu ‘Arabi dari rasa cintanya pada putri Syeikh Isfahan. Namun, Ibnu 'Arabi menjelaskan bahwa kandungan Tarjuman adalah berhubungan dengan kebenaran spiritual dan bukan cinta yang profan. Selain ketiga karya tersebut, masih banyak karyakarya Ibnu ‘Arabi lainnya yang berhasil mensistensiskan beragam ilmu pengetahuan. Seluruh upayanya mensistensiskan ilmu pengetahuan dengan setiap dimensi intelektual Islam menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir yang cukup berpengaruh, “kepribadian dan pemikiran cemerlang” Ibnu 'Arabi, yang disebut Franz Rosenthal, terus mengundang dan mengilhami para pemikir muslim hingga kini. 1. Filsafat Ibnu ‘Arabi Aliran ‘Irfani Aliran ‘irfani atau tasawuf dalam istilah lainnya merupakan salah satu aliran dalam filsafat Islam. Aliran ini mendasarkan pengenalan mereka pada pengalaman mistik atau religius, pengalaman mistik ini, sesuai dengan namanya, berbeda dengan penalaran, yang merupakan hasil pengalaman intelektual. Para sufi menyebut modus pengenalan seperti itu dengan istilah ma’rifat. Dan berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertumpu pada akal, pengenalan sufistik bertumpu pada hati (qalb atau intuisi). Persepsi intuitif/ hati berbeda dengan persepsi intelektual, karena sementara akal membutuhkan “perantara" dalam mengenal objeknya, misalnya dalam bentuk huruf, konsep atau representasi. Persepsi intuitif “dikatakan" dapat menembus langsung “jantung" objeknya. Jalai al-Din Rumi mengatakan, akal dengan logika sebagai andalannya adalah ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan sebagaimana kita tahu, kaki palsu adalah selemah-lemahnya kaki. “Cinta”, misalnya, menurut para Sufi tidak bisa difahami oleh akal diskursif karena sebanyak apapun teori cinta dibaca dan diteliti, sebab cinta hanya bisa difahami dengan mengalaminya secara langsung. Inilah yang dimaksud dengan pengenalan langsung intuitif, sehingga sering disebut ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh secara langsung. Tetapi pengenalan secara langsung itu terjadi, karena objek penelitiannya tidak dianalisis sebagai objek yang terpisah dari subjeknya. Objek itu justru hadir dalam jiwa penelitinya dan karena itu tidak bisa dipisahkan dari subjeknya. Oleh karena objeknya hadir, maka modus pengenalan yang seperti ini disebut juga ilmu hudhuri, yang dibedakan dengan modus pengenalan rasional yang tidak langsung dan diperoleh lewat representasi, sehingga ia disebut sebagai “ilmu hushuli". Selain itu karena ma’rifah ini tidak bisa diperoleh melalui penalaran rasional, tetapi dicapai hanya melalui pengalaman dengan cara merasakannya, maka ma’rifah disebut ilmu dzauqi yang dapat dibedakan dengan penalaran akal, yang disebut bahtsi (diskursif). Disebabkan ketergantungan kuatnya pada akal, filosof dikatakan Ibnu ‘Arabi telah menyembunyikan kebenaran (kuffar). Para filosof ini mencoba menerangkan kebenaran dengan kosmologi langit dan melogikakannya, serta melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan spiritual atau melepaskan dari perolehan Tuhan. Ketika para filosof berkata bahwa tujuan filsafat adalah untuk mendapatkan dan mencapai suatu kemiripan dengan Tuhan atau teomorfisme (al-tasyabbuh bil ilah), yang mereka maksudkan adalah sama dengan maksud kaum sufi ketika mereka berbicara tentang menjalankan karakter Tuhan (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Meskipun demikian, gagasan para filosof tentang tasyabbuh sulit dipertahankan. Meskipun Ibnu ‘Arabi kerap kali bersikap kritis terhadap para filosof, secara umum ia lebih menyukai pandangan mereka dari pada pandangan mutakallimin. Salah satu kelemahan kalam adalah bahwa kalam tidak memasuki bidang kosmologi atau psikologi. Seperti dikatakan Ibnu ‘Arabi, filosof adalah “orang yang menggabungkan dan memadukan pengetahuan tentang Tuhan, alam, matematika, dan logika". Namun, teolog sebagai teolog tidak memiliki pengetahuan tentang alam. Tetapi, dalam beberapa hal, Ibnu ‘Arabi memilih pandangan teologis dari pada filosofis. Misalnya, ia mendukung teori kenabian doktrin Asy'ariyyah yang menyebutkan bahwa kenabian hanya dapat dicapai oleh penunjukan Tuhan (ikhtishash), bukan karena usaha (iktisab). Artinya, meski ia seorang sufi, ia juga memahami kajian-kajian filosof dan ahli kalam serta mengupayakan perpaduan keduanya dengan metodologi sufi itu sendiri. Berbeda dengan aliran illuminasionis atau ide isyraqi-nya Suhrawardi yang mensistensiskan filsafat dengan tasawuf melalui kosmologi cahaya, Ibnu ‘Arabi menjelaskannya berdasarkan maqam- maqam yang merupakan langkah-langkah yang mesti ditempuh oleh seorang sufi. Yang dari setiap maqam menawarkan maqam lanjutan sampai mencapai kesempurnaan tertinggi yang disebutnya dengan insan al-kamil;manusia sempurna yang telah mencerap nama-nama Tuhan ke dalam dirinya. Pencapaian ini melampaui pencapaian yang disampaikan Suhrawardi yang hanya sampai pada tahap penyaksian Tuhan (ma’rifah). Konsep Tuhan digambarkan melalui teori wahdat al-wujud (kesatuan wujud), yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari sekedar manifestasi (tajalliat) dari wujud sejati tersebut, yang pada dirinya tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati dengan alam digambarkan Ibnu ‘Arabi dengan “wajah" dengan “gambar". Dikatakannya; “Wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin, demikian juga kualitasnya, berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lainnya, maka pantulan Wajah yang sama dan satu itupun nampak berbedabeda. Itulah sebabnya, maka sekalipun Tuhan itu esa, tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis-jenis. Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai wajah dan cermin juga menjelaskan pelajaran berharga lainnya. Yakni tentang kehadiran Tuhan dan ketidakhadiran Tuhan, karena keberadaan kita sangat bergantung pada keberadaan Tuhan atas cermin-cermin kita. Ketergantungan alam pada Tuhan adalah seperti gambar yan< bergantung pada pelaku yang bercermin, jika pelaku menggeser dai cermin, maka penampakannya di cermin pun turut bergeser, jika pelak menjauh dari cermin, penampakannya di cermin serta mert; menghilang. Itulah sebabnya, “kehadiran Tuhan sangat jelas, karea sesaat saja Tuhan menarik kehadiranNya di alam ini, niscaya alar semesta ini akan hilang sebagaimana kalau kita beranjak dari depai cermin, maka gambar wajah kita akan hilang dari permukaan cermii saat itu juga. Dengan demikian kehadiran Tuhan di alam semesta bis, diketahui dari keberadaan alam itu sendiri. Selama alam semestc sebagai pantulan wajahnya ada, maka selama itu juga kehadiran Tuhai di alam semesta dapat dipastikan, “tetapi begitu jelasnya,” kata Ibn' ‘Arabi, “sehingga manusia tak dapat melihatnya, sebagaimana kelelawa tidak bisa melihat matahari, bukan karena gelap, tetapi justru karen. terangnya. Alegori “wajah, cermin dan gambar dalam cermin menghasilkan teori yang menakjubkan, yaitu tentang kesejatia keberadaan Tuhan, dibanding keberadaan alam dan segala isinye Seperti bayangan dalam cermin, keberadaan alam adalah sesuatu yan tidak nyata, tidak kekal dan semu. Dan realitas sejati yang nyata da kekal adalah Tuhan yang dari-Nya lah segala kemajemukan bermulc maka kemajemukan dapat muncul dari Tuhan yang esa, ide ini aga berbeda dengan kebanyakan filosof sebelumnya yang menyataka bahwa dari Yang Esa hanya akan muncul sesuatu yang esa pula. Jadi, Tuhan adalah satu-satunya realitas yang hak, seperti waja asli kita dihadapan cermin-, sebaliknya benda-benda di alam ini da juga manusia meskipun nyata terlihat, terindera oleh diri kita, adala gambar dalam cermin, yang kita tahu bahwa keberadaan mereka tida ada dalam arti yang sesungguhnya, dan keberadaan mereka tergantun< secara mutlak pada keberadaan “wajah" Tuhan yang sejati. Artinya, ap pun yang ada di alam semesta hanyalah manifestasi-manifestasi llah yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, Sang Wujud Seja yang digambarkan Ibnu ‘Arabi dalam gerakan sirkular, berawal da Tuhan dan berakhir pada Tuhan. Seluruh manifestasi Tuhan dimulai dengan akal pertama, jiw universal, tabiat universal, al-Haba', tubuh universal, bentuk, arsy, kurs al-falak al-athlas, lingkaran bintang-bintang tetap, empat unsur, tujui planet, malaikat dan jin, mineral, tumbuhan dan hewan lalu manusi. dan kembali lagi ke Tuhan. Manifestasi ini dimulai dari sesuatu yang sangat tinggi, yang mulia dan memiliki kedekatan dengan Tuhan (Akal Pertama), secara perlahan menghasilkan manifestasi-manifestasi rendah sesuai dengan jarak yang semakin jauh dari Tuhan, tapi manifestasi ini kemudian meningkat kembali menjelang kedekatannya pada Tuhan. Tetapi prosesnya berbeda dengan akal pertama, karena diturunkan dari Tuhan dan manusia manifestasi terakhir berupaya menaikkan diri pada Tuhan. Maka, tingkat manusia menjadi sarana yang sangat potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh sifat Tuhan. Perbedaan yang sangat signifikan antara aliran ini dan aliran lainnya dalam filsafat Islam adalah pada konsep “manifestasi”. Dalam konsep ini, Tuhan dan ciptaan-Nya tidak dipandang terpisah, tetapi justru menjadi prinsip dasar yang “berada” dalam jantung alam semesta. Tuhan adalah immanen karena hadir di alam ini, tetapi Tuhan juga transenden karena berbeda dari alam ini. Hubungan keduanya adalah “manifestasi” dan “yang dimanifestasikan”, manifestasi adalah akibat, maka yang dimanifestasikan adalah sebab, dan tentu saja sebab akan jauh lebih real dan fundamental dari akibat. Itu sebabnya, alam sangat bergantung pada Tuhan, yang dimanifestasikan, Tuhan sama sekali tidak tergantung keberadaan-Nya pada apa pun. Konsep immanen transenden ini berbeda dengan konsep emanasi peripatetik, karena dalam peripatetik, alam bergerak dengan kehendaknya sendiri. Tuhan diposisikan dengan “sangat” transenden, karena keterlibatannya dengan alam akan mengganggu transendensitasnya. Itu sebabnya, mencapai pengetahuan Tuhan adalah menggerakkan diri setiap alam untuk mendekati Tuhan dengan memaksimalkan kekuatan akal. Dan meski memiliki kedekatan dengan illuminasionis, aliran ‘irfani berbeda dengan illuminasionis. Pertama, karena bagi ‘irfani, Tuhan bukanlah cahaya, yang pada proses menciptakan membutuhkan proses-proses emanasi. Kedua, karena bagi ‘irfani, Tuhan tetap melakukan pengawasan langsung pada segala ciptaan-Nya, dan sebaliknya gerakan-gerakan alam ini mengikuti kehendak Tuhan karena Tuhan bermanifestasi di dalamnya. 2. Wahdah al-Wujud Konsep transendensi (tanzih) dan immanensi (tasybih) Tuhan adalah satu dari sekian karakter filosofis Ibnu ‘Arabi. Tuhan adalah Yang Esa dan Yang Jamak sekaligus, kesemuanya diinspirasikan Ibnu 'Arabi dari teori asma’ al-husna. Teori ini dinisbahkan pada surat al-Baqarah ayat 31; “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-Nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepada-Ku nama-nama itu jika memang yang benar’’. Sebagai Yang Mengetahui nama-nama dan mencakup di luar nama-nama tersebut, Allah adalah Realitas dari realitas-realitas. Dan manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebagai manifestasi Tuhan, bentuk Tuhan atau cerminan Tuhan, merupakan sosok yang tidak sempurna karena manusia hanya mewujudkan sedikit dari Nama-Nama-Nya. Manusia sempurnalah yang mampu hidup melebihi potensialitas manusiawi ini dan benar-benar mewujudkan keadaan itu. Nama-nama Tuhan yang terangkum dalam asma' al-husna, juga merupakan entitas yang kekal, tidak ada perbedaan dalam eksistensi Tuhan meski memiliki beragam Nama. Hanya ada satu wujud dan masing- masing nama menekankan satu mode-ontologis-Nya. Tapi Tuhan dalam setiap esensi-Nya, adalah melebihi batas-batas yang ditunjukkan setiap Nama-Nya, adalah Yang Esa dalam arti yang berbeda ketimbang Tuhan yang dianggap sebagai Pemilik Nama-Nama (dzatal-asma). Setiap Nama menunjukkan kekuatan yang melebihi dari Nama-Nya tersebut, dan setiap Nama menunjukkan kekuatan Tuhan dengan sempurna. Seluruh teori inilah yang kemudian menginspirasi ide-idenya tentang wujud dan kemudian melalui komentarkomentar murid-muridnya terlahirlah ide “wahdah al-wujud' atau kesatuan wujud. Dalam menggunakan istilah wujud, Ibnu 'Arabi biasanya mempertahankan pengertian etimologisnya. Baginya, wujud bukan hanya berarti “menjadi" atau “mengada", melainkan juga “menemukan" dan “ditemukan". Ketika diterapkan pada Tuhan, kata itu berarti bahwa Tuhan ada dan mustahil tidak ada, dan bahwa Dia menemukan Diri- Nya Sendiri dan segala sesuatu serta tidak mungkin tidak menemukan mereka. Dengan kata lain, wujud bukan hanya menunjukkan eksistensi, melainkan juga kesadaran, keinsafan dan pengetahuan. Pada makhluk, kata wujud dibedakan menjadi wujud mumkin, yang keberadaannya bergantung pada wujud niscaya. Dalam beberapa bagian pembahasannya, Ibnu ‘Arabi mengikhtisarkan pandangannya dengan pernyataan “Dia/ bukan Dia". Sifat wujud dunia hanya dapat difahami dengan menegaskan sekaligus menolak kesamaannya dengan wujud Tuhan. Dimana melihat wujud adalah dengan melihat sisi yang menegaskan “perbedaan"nya dengan Tuhan dan sekaligus menegaskan “persamaan'’nya dengan Tuhan Konsep wahdah al-wujud adalah merujuk pada makna bahwa Tuhan adalah realitas tunggal, satu dalam wujud-Nya dan banyak dalam pengetahuan-Nya. Seperti analogi cermin yang majemuk dan wujud Tuhan yang satu dan esa, dan alam yang majemuk. Penting untuk difahami bagaimana upaya Ibnu 'Arabi mengaitkan transendensi (tanzih) dan immanensi (tasybih) dengan dua kategori luas Sifat-sifat Ilahi yang sering dibahas para pemikir muslim. Sifat-sifat yang dimaksud adalah Rahmah, Ghadhab, Fadhl, ‘Adil, Jamal, Jalai, Luthf dan Qahr. Al-Qur’an dan hadis mempertautkan Sifat-sifat yang berkonotasi positif dengan kedekatan Tuhan pada makhluk-Nya, sedangkan Sifat-sifat keras -tidak mesti berkonotasi negatif- dengan ketidakdekatan Tuhan dengan makhluk-Nya. Pandangan Ibnu 'Arabi ini berhubungan erat dengan epistemologinya, yang mensistensiskan intuisi dan penalaran rasional. Dikatakan Ibnu ‘Arabi, penalaran rasional mengajarkan kita untuk membuat perbedaan-perbedaan tertentu antara kita dengan Tuhan. Sehingga Tuhan dipandang “transenden"dengan menempatkan-Nya jauh dari jangkauan manusia. Tuhan didefinisikan dengan ungkapan-ungkapan negatif karena Tuhan mesti selalu berbeda dengan manusia, karena penalaran membangun jarak di antara Sang Khalik dengan makhluk-Nya. Tetapi, intuisi bekerja dengan merasakan, mengharapkan kedekatan dan kehadiran, sehingga intuisi memposisikan Tuhan menjadi “immanen” karena kebutuhan manusia untuk menjadi dekat dengan Tuhan-Nya. Melatih intuisi secara terus menerus membuatnya mengalami kasyf atau penyingkapan, memberikan jalan bagi tubuh dan ruh untuk mengakui dan menerima kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu. Transendensi dan immanensi Tuhan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus selaras dalam diri manusia. Transendensi membangun rasa hormat pada Tuhan, Sang Pencipta dan immanensi membangun kedekatan, Kasih Sayang dan Rahmat Tuhan. Bagi Ibnu ‘Arabi sendiri, Tuhan melalui ayat-ayat-Nya menegaskan bahwa Rahmat-Nya adalah sifat yang mendasari, serba meliputi realitas dari pada Kemarahan-Nya. Menarik kemudian, ketika Ibnu ‘Arabi menjelaskan bagaimana perbuatan jahat terbentuk. Karena ketika menggulirkan ide immanensi, di mana Tuhan hadir pada setiap ciptaan-Nya memunculkan premis lain; “mungkinkah Tuhan berperan dalam kejahatan yang dilakukan makhluk- Nya”. Ketika Tuhan menciptakan, menurut Ibnu ‘Arabi, Tuhan membawa entitas dari esensial menjadi eksistensi, dari zat yang tidak terlihat menjadi terbentuk dan terlihat. Saat menjadi eksistensi itulah, manusia diberi kebebasan untuk menentukan, bagaimana mereka akan bertindak dan apa takdir akhir mereka yang akan terjadi". Itu sebabnya, dikatakan Ibnu ‘Arabi, Tuhan menurunkan firman-Nya dalam bentuk perintah dan larangan, yakni untuk memperjelas batasan-batasan yang dapat dilakukan oleh makhluk-Nya. Lalu dari mana kejahatan berasal, karena alam semesta berada dalam kuasa Yang Maha Baik, Ibnu 'Arabi melogikakannya dengan teori wujud. Di mana Tuhan adalah Wujud Total, Yang Maha dari segala Maha, dan setiap makhluknya adalah wujud yang mungkin. Karena kedudukannya sebagai “wujud mungkin" bukan wujud total, maka ia adalah sesuatu yang noneksisten. Untuk segala hal yang maujud karena posisinya sebagai wujud mungkin, maka kejahatan berasal dari sini, dari sisi non-eksisten atau yang diistilahkan dengan sisi kegelapan. Al-Qunawi mencoba mengurai makna kejahatan ini dengan “Yang tidak sesuai dengan tujuan manusia dan tidak cocok dengan sifat dan keadaannya”. Al-Qunawi menunjukkan bahwa ketika jiwa meninggalkan keadaan seimbang (equilibrium) yang ditentukan oleh syari’ah dan tariqah, ia jatuh di bawah kekuasaan Nama-nama Kekerasan, seperti orang yang tersesat, orang yang murka, orang yang membahayakan dan pendendam. Sebagai sebuah akibat, pengaruh Nama-nama tersebut menjadi nyata di dunia, atau di dunia lain, dalam bentuk yang tidak sesuai dengan jiwa seperti penderitaan, hukuman, penyakit, terasing dari Tuhan dan kejahatan. Dari semua makhluknya, manusia adalah sosok yang memiliki komponen keduanya, nama-nama dari kebaikan dan nama-nama dari sisi kekerasan. Karena manusia adalah sarana yang sangat potensial; tempat tajalliseluruh sifat Tuhan. Adapun alam ini, adalah teofani Nama- nama yang Baik, alam merupakan sumber kecantikan dan objek cinta (mahabbah). Dan seluruh alam ini, makhluk Tuhan mencintai Tuhan, mencintai segala yang termanifestasikan di dalam yang tercinta, di mata setiap pecinta. Dan tidak ada sesuatu pun kecuali para pecinta, juga semua yang ada di alam ini adalah pecinta dan tercinta, dan semua dapat direduksi kepada-Nya. Manusia pun mencintai segala hal yang menjadi manifestasi cinta Tuhan, manusia mencintai lawan jenisnya (manusia lain) karena lawan jenisnya pun manifestasi Tuhan, mencintai alam ini, mencintai uang, mencintai jabatan, mencintai segala hal yang termanifestasikan dan segala hal yang termanifestasikan inilah yang non- eksisten. Melalui filosofi transendensi dan immanensi inilah ide “Wahdatul Wujud" terlahir. Dimana Tuhan adalah realitas tunggal yang melingkupi segala sesuatu, dalam beberapa hal, ide ini bukan tanpa kritik. Ibnu Taimiyah misalnya mengkritik Ibnu ‘Arabi karena dianggap menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Tetapi, jika dikaji lebih dalam, pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap transendensi dan immanensi memperlihatkan proyeknya untuk mengintegrasikan seluruh ilmu Islam di bawah naungan Tauhid. Mensistensiskan hasil kerja filosof yang menekankan penalaran dan hasil sufi yang menekankan kedekatan dengan Tuhan-Nya, kehadiran dan merasakan Tuhan-Nya. Itu sebabnya, manusia sempurna atau insan al-kamil adalah seseorang yang dapat memadukan keduanya. Tidak hanya berkhalwat dan menjauhkan diri dari dunia untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui pengalaman mistis, tetapi juga menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, menjaga dan mencintai manifestasi-manifestasi Tuhan. 3. Manusia Sempurna Seperti pemikiran sufi lainnya yang menegaskan proses tertinggi dari perjalanan spiritual, Ibnu 'Arabi pun menegaskan insan kamil atau manusia sempurna sebagai tempat tertinggi dari fase demi fase perjalanan spiritual. Kesempurnaan manusia disini mencakup semua realitas dan "dimunculkan" yakni dia memahami dunia ini, dia juga menghubung antara Tuhan dan alam, karena dia mengetahui Yang Ilahi dan realitas-realitas yang timbul (maujud). Karena kesempurnaannya, manusia ini dapat merangkum yang jamak (alam) dan Yang Esa (Tuhan). Perangkuman diantara alam dan Tuhan ini adalah potensi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya, manusia dituturkan Ibnu 'Arabi dianugerahi persepsi indera yang berpotensi untuk menggali dan memahami yang terjadi di alam ini dan dianugerahi imajinasi yang berhubungan erat dengan wilayah jiwa, yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan dalam kadar-kadar tertentu. Komunikasi inilah yang dideskripsikan sufi melalui maqam demi maqam sampai dengan maqam tertinggi, “ma’rifah", “mahabbah" dan “wahdat al-wujucf'. Konsep insan kamiI Ibnu ‘Arabi ini berusaha diurai al-Qunawi dengan menyatakan bahwa manusia sempurna mengandung "Kehadiran Sifat Ilahi yang lima"; yakni 1). Realitas dari realitas-realitas atau kehadiran pengetahuan; 2). Dunia Ruh; 3). Dunia Imajinasi; 4). Dunia Badaniah dan 5). Kehadiran semua secara menyeluruh, yaitu manusia sempurna dengan totalitas tugasnya. Maka, manusia sempurna adalah makrokosmos sedang manusia adalah mikro kosmos, prototipe ontologis baik bagi alam maupun manusia individu. Khalifah Tuhan di muka bumi ini dan merealisasikan asma’ al-husna dalam sikap-sikapnya. Gagasan tentang manusia sempurna melengkapi pandangan Ibnu 'Arabi tentang Tuhan dan alam semesta, atau tentang wujud dan imajinasi, dengan suatu teleologi. Tuhan menciptakan alam semesta dengan tujuan agar Dia dikenali dan diketahui, karena Tuhan memiliki beragam kekayaan tersembunyi. Namun, pengetahuan ini hanya dapat diaktualisasikan melalui manusia. Diciptakan menurut citra atau bayangan Tuhan, manusia memiliki potensi untuk menghidupkan semua Sifat-Nya. Orang-orang yang mampu melakukan ini dengan tingkat imajinasi yang tinggi dan terkontrol yang menghubungkan diri- Nya dengan Tuhan, yang lazimnya disebut para Nabi dan Wali Tuhan. Imajinasi adalah kata kunci penting dalam filsafat Ibnu 'Arabi, dari kata imajinasi ini pula, Ibnu ‘Arabi menjelaskan segala kemungkinan di alam ini. Ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi tentang imajinasi (khayal, mitsal) memakai ontologi Dia/ bukan Dia pada setiap tingkat eksistensi, la menggunakan kata imajinasi untuk menyebut segala yang berkaitan dengan suatu keadaanantara, bukan hanya dengan daya fikir yang melengkapi akal. Contoh baku tentang realitas imajinal adalah citra atau bayangan cermin, yang bukan merupakan cermin dan bukan pula sesuatu (benda) yang dipantulkan, melainkan merupakan kombinasi dari keduanya. Dari term imajinasi ini ada dua makna mendasar yang dapat diturunkan, arti pertama adalah ‘segala sesuatu yakni selain Tuhan’ adalah imajiner. Atau gambaran di dalam cermin, realitas imajinasi ini dapat berubah dalam setiap keadaan dan nyata dalam setiap bentuk. Karena itu selain Tuhan adalah imajinasi dalam proses perubahan, dari faham ini, bagi Ibnu ‘Arabi segala sesuatu yang ada di dunia ini harus diinterpretasikan (tilta’bir) karena segalanya hanyalah berupa mimpi- mimpi. Kedua, “imajinasi" mengacu pada wilayah ontologis antara dunia spiritual dan dunia lahiriah, juga disebut “isthmus” (barzakh) dan dunia “lembar-lembar imaji" (mitsal). Dunia imajinasi adalah penegas antara ruh yang tidak nyata dengan dunia lahiriah, dunia “antara" ini terbagi ke dalam dua bentuk imajinasi, satu diantaranya berdampingan (muttasil) bagi jiwa kita dan satu lagi tidak berdampingan (munfasil). Untuk memahami posisi alam imajinasi ini, Ibnu ‘Arabi membagi alam semesta dari dua alam besar, yang disebut dalam al- Our'an dan hadis; alam yang tampak (at-Syahadah) dan yang tidak tampak (al-Ghaib) atau alam jasmani dan alam ruhani. Dan diantara kedua alam itu dikatakan Ibnu ‘Arabi terdapat alam imajinasi yang tidak murni jasmani dan tidak murni spiritual. Di alam imajinasi inilah kasyf atau penyingkapan berlangsung, malaikat turun kepada nabi membawa wahyu Tuhan, dan semua kejadian setelah mati seperti yang dilukiskan dalam al-Qur'an dan hadis berlangsung di dunia ini. Pada tingkat mikrokosmik, imajinasi berhubungan erat dengan wilayah jiwa, yang berada di antara ruh dan badan. Tempat konektifitas ini khususnya terjadi pada intuisi, yang dapat menggerakkan seluruh potensialitas dirinya sebagai manusia. Untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya, alQunawi mencoba mengurainya dengan “teori keseimbangan". Manusia seperti dituturkan Ibnu ‘Arabi meliputi tiga dunia; ruh, imajinasi dan jasmani, ketiganya harus berada dalam porsi yang tepat, keseimbangan yang menyeluruh, jika satu dari lainnya menjadi kurang atau lebih, maka penyimpangan akan terjadi. Demi keseimbangan tersebut, Ibnu 'Arabi menganjurkan ketaatan terhadap sunnah Nabi dan Syari'ah. Jalan ini adalah jalan penyucian dan penyempurnaan diri yang tidak hanya diterapkan bagi seorang Sufi tapi juga bagi seorang muslim, dan Ibnu ‘Arabi menekankan betul tingkat konsentrasi setiap peribadatan ini, karena konsentrasi ini menghubungkan tiga kekuatan manusia dalam ketepatan yang sesuai. Untuk kekuatan konsentrasi ini, al-Jani meringkas ajaran-ajaran Ibnu 'Arabi ke dalam sepuluh prinsip: 1). Shalat tepat waktu dan menjaga kesucian moral; 2). Tak henti-hentinya mengingat (dzikr) kepada Tuhan; 3). Menghilangkan semua fikiran kotor; 4). Senantiasa memeriksa kesadaran (muraqabah)\ 5). Meninjau perbuatan sehari-hari (muhasabah)', 6). Perhatian pada kesadaran bathiniah dari seorang Syeikh; 7). Puasa; 8). Waspada; 9). Berbicara baik atau diam; 10). Rendah hati dan wajahnya berlinang air mata. Keseluruhan ajaran Ibnu ‘Arabi yang ini dikatakan murid- muridnya sebagai “penutup kesucian Muhammad’1. Klaim ini diberikan, karena ajaranajarannya mencakup seluruh ajaran Islam, dan yang ketika itu dalam praktek sufi, selalu ada cara-cara berbeda mencapai pengetahuan dan kebenaran dan konon dapat menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Dan Ibnu 'Arabi berhasil menyederhanakannya melalui bahasa-bahasa doktrinal yang selama ini diuraikan dengan rumit oleh para guru sufi dengan menguraikan misteri gnosis. Agaknya, kemampuannya menguraikan karena Ibnu ‘Arabi berupaya juga memahami tingkat logika manusia melalui filsafat dan teologi. Catatan: 1 Gibril adalah simbolisasi yang diberikan Suhrawardi untuk menjelaskan esensi- esensi “Malakut". 2 Murdad adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk menunjukkan cahaya yang memancar dari pepohonan 3 Khurdad adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk menyatakan bahwa air memiliki cahaya pemilik ikon tertentu. r Urbibihisyt adalah simbolisasi yang juga disepakati oleh teosof Persia untuk mendeskripsikan “api”. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta, UIN Press, 2003) Edward W. Said, Orientalism, (New York, Vintage Books, 1979) Ibrahim Madkur, Fial-Falsafatal-lslamiyah Manhaj wa Tathbiqihi, (Mesir, Dar al-Ma'arif, 1976) John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conversation, terj., Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, (Jakarta, Mizan, 2004) Moeflich Hasbullah, ed., Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Cesindo, 2000) Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Flsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006) Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Islam, (Jakarta, UIN Press, 2003) Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., History of Islamic Philosophy, terj., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2003) Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Spirituality: Manifestations, terj., Islam Intelektual; Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, (Depok, Perenial Press, 2001) Drs. H. Achmad Ghalib, MA, lahir di Purworejo pada tanggal 15 Oktober 1954. Setelah menamatkan Madrasah Wajib Belajar tahun 1966, ia memasuki Pendidikan Guru Agama (PGA) al-Ma’arif II Purworejo 4 tahun dan lulus tahun 1970, langsung melanjutkan pada PGA Negeri Purworejo 6 tahun dan lulus tahun 1972. Gelar Sarjana Muda Pendidikan Agama (BA) diperoleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1976 dengan judul risalah: “Sistem Pengajian di Desa Sucenjurutengah dalam Mensukseskan Pembangunan Mental Spiritual”. Gelar Sarjana Lengkap (Drs.) diperolehnya tahun 1989 pada Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat an-Nisa ayat 59 Bagi Remaja Komp. Departemen Agama Bambu Apus”. Kemudian ia melanjutkan ke Program Magister (S2) Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), gelar Magister Agama (M.A) Konsentrasi Pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1999 dengan judul tesis “Kedudukan Akal dalam Pemikiran Teologi Harun Nasution”. Setelah Sarjana Muda (BA) di samping mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah mulai 15 September 1976 sampai 30 September 1979, selama 2 tahun beliau juga menyempatkan diri menjadi Tenaga Kerja Sukarela (TKS) BUTSI di Rantau Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, dengan tugas menjadi pelopor dan penggerak pembangunan dan pembaruan di pedesaan khusus sebagai dinamisator kegiatan remaja. Pada tahun 1980, ia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Tenaga Administrsasi di bagian registrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dijalaninya dengan penuh keyakinan, ketekunan dan semangat tinggi untuk melanjutkan studi lebih tinggi, sehingga semangat untuk melanjutkan studi itu pun dapat terwujud. Dengan penuh kesabaran karena berbagai aturan dan peraturan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka baru pada tahun 1987 memperoleh kesempatan kuliah di luar jam dinas (sore hari) pada Fakultas Tarbiyah Universi¬tas Muhammadiyah Jakarta Jurusan Pendidikan Agama. Sepuluh tahun kemudian baru memperoleh kesempatan mengikuti kuliah program magister (S2) Studi Islam di Univer¬sitas yang sama dengan konsentrasi Pemikiran Islam. Setelah selesai sarjana lengkap pada tahun 1989, ia juga mendapat kesempatan mengajar sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta) dalam mata kuliah Dirasah Islamiyah (Studi Islam) dari tahun 1989-1998. Pada tahun yang sama juga, ia juga bertugas sebagai tutorial Program Penyetaraan GPAI SD/MI di Satgas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Pada tahun 1998-2003 ia menjabat sebagai Kabag Perencanaan dan Sistem Informasi UIN Jakarta. Di samping itu, juga tercatat sebagai Dosen Fakultas Sain dan Teknologi pada Universitas yang sama. Di tengah kesibukannya sekarang, sebagai Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga menyempatkan mengadakan penelitian dan menulis, baik di berbagai jurnal yang terbit di lingkungan UIN Jakarta maupun dalam bentuk buku. Sekarang, status kepegawaiannya adalah sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta dengan pangkat Lektor Kepala sejak tahun 2003.