Filsafat_Islam

advertisement
Page |1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala
sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri
adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang
disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasardasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita
adalah beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang
tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh-tokoh filsafat
muslim yang bernama, diantaranya Al-kindi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi. Alasannya adalah
karena tiga tokoh tersebut merupakan tokoh yang sangat penting dari berbagai tokoh
dalam filsafat islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari filsafat islam?
2. Bagaimana sejarah/historis munculnya filsafat islam?
3. Siapakah tokoh-tokoh filsafat islam dan apa pemikirannya?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari filsafat islam.
2. Mengetahui sejarah/historis munculnya filsafat islam.
3. Mengetahui tokoh-tokoh filsafat islam dan pemikirannya.
Page |2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Islam
Menurut Mustofa Abdul Razik, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di
negeri Islam dan di bawah kekuasaan negara Islam. Sedangkan menurut Ibrahim Madkur,
Filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan
zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
Sedangkan menurut beberapa filosuf, Filsafat Islam adalah sebagai berikut :
1. Filsafat Islam adalah filsafat yang diajarkan oleh orang Islam.
2. Filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat
kebenaran sesuatu.
3. Filsafat Islam adalah suatu hasil pemikiran para filsuf tentang ketuhanan, kenabian,
manusia, dan alam yang disinari ajaran ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran
yang logis dan sistematis.
4. Filsafat islam adalah filsafat orang Arab.[1]
B. Sejarah/Historis Munculnya Filsafat Islam
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Agung membawa
bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.Tujuannya bukanlah hanya meluaskan
daerah kekuasaannya ke luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang
Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian
berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir,
Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarangBalkh) diIran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah
tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di
Mesir, Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,dengan
menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam
agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang
Page |3
dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk
agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan
kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang
agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. [5]
Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu
tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu
mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.Kedudukan akal yang tinggi dalam
pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam alQur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran
Islam teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Teologi rasional Mu'tazilah
inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam
berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada
perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke
VIII dank e XIII M. Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam maka yang terjadi bahwa
filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok persoalan yang bermuara pada sumber-sumber
Wahyu Islam. Semua filosof muslim seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Mulla Sadra,
Suhrawardi dan lain sebagainya hidup dan bernafas dalam realitas Al Quran dan Sunnah.
Kehadiran Al Quran dan Sunnah telah mengubah pola berfilsafat dalam konteks Dunia
Islam. Realitas dan proses penyampaian Al Quran merupakan perhatian utama para
pemikir Islam dalam melakukan kegiatan berfilsasfat.
Kita ketahui bersama bahwasanya filsafat di bagi tiga periode, periode pertama
yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari Yunani, karena di sana
terdapat beberapa orang yang cenderung menggunakan otak sebagai landasan berpikir.
Tokoh – tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristotales. Periode kedua yang merupakan
masa pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada
masa al-Kindi, yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya tidak ada seorangpun
filosof Islam kecuali al-Kindi, karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama
dalam Islam begitu juga merupakan filosof Arab pertama. Dalam pengembangan
filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Arestoteles. Hal itu bisa dibuktikan dari buku-
Page |4
buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih banyak mengarah pada buku-buku
karangan Aristotales.[6]
Al-Kindi merupakan seorang Aristotelian, ia mengartikan filsafat sebagai pola
pikir manusia untuk lebih mengetahui dirinya, dari pengertian tersebut al-Kindi berusaha
lebih “mengetahui dirinya sendiri” yang kemudian ia jadikan sebagai cara atau alat untuk
lebih mengetahui hal-hal yang sifatnya lebih besar, misalnya tentang lingkungan
sekitarnya tempat ia berdiam, adat istiadat, alam ciptaan yang mana karenanya manusia
diciptakan. Dari semua itu al-Kindi semata-mata bertujuan untuk lebih mengetahui
bahwasanya di balik semua ini ada dzat yang merupakan pencipta atau penggagas
keseluruhan dimuka bumi yaitu Allah SWT.
Filsafat al-Kindi juga mengarah kepada al-Ilmu al-Insani Wa Ilmu al-Ilâhi, yang
mana bagi al-Kindi filsafat merupakan segala upaya untuk menyerupai segala perbuatan
Tuhan sesuai dengan batas kemampuan manusia. Sehingga dari pengertian tersebut alKindi mengatakan bahwa seorang filosof adalah sosok yang menjadikan kesempurnaan
dan kemuliaan Tuhan sebagai contoh atau sandaran utama. Dengan demikian seorang
filosof berusaha sekuat tenaga untuk menyerupai keutamaan dan keunggulan Tuhan
sehingga pada akhirnya mereka menjadi manusia sempurna/supermen (manusia
super).Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Kindi merupakan filosof
yang mengatakan bahwa filsafat adalah larutan pewarna agama yang dengan demikian
secara sekilas ada korelasi atau keterkaitan antara agama dan filsafat. Pola filsafat alKindi yang menyatukan antara agama dan filsafat, senada dengan filosof yunani yaitu
Arestoteles.
Selanjutnya yaitu al-Farabi yang merupakan al-Muallim al-Tsani yang
mempunyai nama lengkap Abu Nasr al-Faraby. Al-farabi memaknai filsafat sebagai ilmu
yang mengkaji tentang alam fisika sebagaimana keberadaannya. Ia juga mengatakan
bahwa tujuan filsafat adalah untuk mengetahui Tuhan sebagai Dzat yang Esa dan tidak
digerakkan dan Tuhan merupakan sebab utama bagi segala sesuatu. Filsafat al-Farabi
sedikit banyak dipengaruhi oleh Arestoteles yang mana ia juga mengatakan bahwa
adanya Tuhan adalah yang menggerakkan dan tidak digerakan, dalam hal ini filsafat alFarabi lebih ditekankan pada disiplin ilmu filsafat (analisis filsafat). Filosof ketiga dari
filosof masa pertengahan adalah Ibnu Shina, yaitu sekitar tahun 370H, ia terkenal dengan
Page |5
sebutan "al-syeikh al-raîs". Ibnu Sina memaknai filsafat sebagai kreativitas pemikiran
yang denganya manusia memperoleh berbagai pengetahun tentang dirinya. Sehingga
dengan pengetahuan dirinya tersebut manusia bisa menentukan segala amal perbuatan
yang seharusnya ia lakukan untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang mulia, logis
sesuai dengan alam fisika dan menyiapkan diri untuk meraih kebahagian di akhirat sesuai
dengan batas kemampuan manusia. Dengan pengertian tersebut, maka Ibnu Sina adalah
seorang filosof yang berusaha menyatukan antara analisa filsafat dan aplikasinya.
C. Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya
1. Al-Kindi
a) Biografi
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah
ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan
suatu nama kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang
terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk
memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan
terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan
lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan AlMutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi
bahasa dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani
Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai
ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,,
optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan
ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan
Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang
gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).
Page |6
b) Pemikirannya
1) Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya
filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat
tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan
mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan
sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal,
dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan.
Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya.
Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi
telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar.
Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang
Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus
menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang
lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu
tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan
mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran,
sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka
orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Page |7
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan
dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu
dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara
keduanya, yaitu:

Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar,
sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena
diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh
para Rasul dalam bentuk wahyu.

Jawaban filsafat menunjukan ketidak-pastian ( semu ) dan memerlukan berpikir
atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an
memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.

Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan
keimanan.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia
tidak mendewa-dewakan akal.
2) Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting,
sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan
Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual,
ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu
dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan
saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari
badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang
melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato
ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu,
karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan
jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
Page |8
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa.
Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam
ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya
pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh
Tuhan.
3) Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri
dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para
ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara.
Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi
pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalaukalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu
dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
2. Al-Farabi
a) Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn
Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan
Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H.
Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah alHamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai
seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih
hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal
sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan
memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna,
sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak
mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Page |9
b) Pemikirannya
1) Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran
filsafat yang berkembang
sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan
filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan
politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh
Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea,
karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau
sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri
sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini,
yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya.
Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar
alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat
Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:

Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar

Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara
keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.

Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal
definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang
yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya
mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara
memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari
kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada
hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian,
filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak
berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
Islam mutlak kebenarannya.
P a g e | 10
2) Jiwa
Adapun
jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang
berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut alnafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq,
berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap
menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa
fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat
melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
3) Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia
tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ alMadinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi
oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan,
kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang
paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala
perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan
oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam
negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya
sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturutturut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan
kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik,
pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan,
minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada
keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
P a g e | 11
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau
terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara
seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang
pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat
dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya
konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah
memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri,
sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan
urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu
adalah situasi
pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai
gejolak, pertentangan dan pemberontakan.
3. Ibnu Sina
a) Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai
kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu
menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah
banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat
dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
b) Pemikirannya
1) Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia
kedalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru
sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang
demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka
yang tajam mereka
mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini
dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak
mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak
P a g e | 12
praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman
daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu
memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat
sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga
seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi,
melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal
murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang
demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi
percaya
tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus,
imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman.
Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan
dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
2) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia
memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan
pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa
jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai
mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk
berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri
manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada
Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa
puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena
manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar
tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
P a g e | 13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-A’raf, 1945
2. Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta: rajawali
pers, 2004
3. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997
4. Nasution Hasyimsyah, filsafat islam, jakarta, Gaya media Pratama, 1998.
Download