Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:http://www.researchgate.net/publication/271831879 GENETICALGORITHMUNTUKMENGOPTIMASI RETURNOFINVESTMENTPADAGREEN BUILDING CONFERENCEPAPER·JULY2014 READS 96 1AUTHOR: TotokR.Biyanto InstitutTeknologiSepuluhNopember 26PUBLICATIONS12CITATIONS SEEPROFILE Availablefrom:TotokR.Biyanto Retrievedon:05November2015 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 GENETIC ALGORITHM UNTUK MENGOPTIMASI RETURN OF INVESTMENT PADA GREEN BUILDING Totok R. Biyanto Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya [email protected] Jurusan Teknik Fisika Abstrak Perkembangan green building dari tahun ke tahun semakin berkembang pesat baik dari segi desain maupun kualitas bangunan tersebut. Hanya saja, perkembangan green building terkendala atas biaya investasi yang mahal. Hal ini dikarenakan dalam mengembangkan green building diperlukan biaya investasi terhadap kategori-kategori pada green building. Kategori-kategori yang mampu memberikan perubahan biaya investasi ataupun cost saving yaitu kategori konservasi energi atau energy efficiency and conservation (EEC) dan konservasi air atau water conservation (WAC). Dari kedua kategori tersebut, kategori konservasi energi memiliki pengaruh terpenting dalam penilaian green building. Besarnya pengaruh tersebut terletak pada penggunaan energi pada gedung tersebut. Penggunaan energi pada gedung banyak disebabkan oleh penggunaan sistem pendingin untuk mendinginkan beban panas dalam gedung. Komponen beban panas yang berperan besar dalam membebani penggunaan sistem pendingin adalah beban eksternal. Beban eksternal dipengaruhi oleh jenis selubung baik dinding, kaca maupun atap. Dengan jenis dinding yang sama, penggunaan jenis kaca dan atap yang memiliki spesifikasi baik mampu mengurangi beban panas yang dihasilkan. Hanya saja jenis kaca dan atap memiliki sifat mixed integer non-linier programming terhadap harga investasi dan perhitungan beban panas tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dilakukan optimasi terhadap jenis kaca dan atap menggunakan metode genetic algorithm sehingga didapatkan penggunaan energi yang optimal dengan mempertimbangkan biaya investasi yang minimal. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil optimasi EEC, nilai poin EEC optimal sebesar 16 dengan jenis kaca single glass Planibel G dengan tebal kaca 3.2 mm dan menggunakan insulasi glasswool dengan nilai return of investment maksimal sebesar 36.8486%. Pada nilai EEC optimal tersebut, terlihat bahwa nilai IKE dan emisi CO2 pada baseline gedung jauh lebih besar daripada nilai IKE pada hasil optimasi desain terpilih dengan penurunan IKE dan emisi CO2 berturut-turut sebesar 54 kWh/m2tahun dan 486.8971 ton/tahun. Biaya investasi pada kategori EEC yang dibutuhkan oleh hasil optimasi desain terpilih lebih rendah daripada biaya investasi kategori EEC pada baseline gedung sebesar Rp. 4.078.905.465,-. Kata kunci : Green building, Optimasi, Genetic algorithm, Energy efficiency and conservation 1. PENDAHULUAN Pembangunan dalam bidang konstruksi bangunan atau properti dari tahun ke tahun semakin berkembang baik dari segi desain maupun kualitas bangunan tersebut. Saat ini perkembangan konstruksi bangunan banyak mengarah ke bangunan hijau atau green building. Di Amerika Serikat, para investor mulai melirik peluang green building sebagai investasi jangka panjang dikarenakan biaya operasional green building yang lebih hemat daripada bangunan konvensional (Bradshaw, 2006). Di Indonesia, perkembangan green building dipantau oleh suatu lembaga konsil bangunan hijau Indonesia yang bernama Green Building Council Indonesia (GBCI). GBCI memiliki standar penilaian yaitu GREENSHIP rating (GBCI, 1 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 2013). Kategori utama yang memiliki poin tertinggi dalam GREENSHIP rating adalah efisiensi dan konservasi energi atau Energy Efficiency and Conservation (EEC). Karena dengan melakukan efisiensi energi pada gedung, maka diharapkan mampu mengurangi polusi yang dihasilkan oleh suatu gedung dimana polusi yang dihasilkan oleh gedung merupakan perhatian serius dalam membangun green building (Zigenfus, 2008). Salah satu jenis gedung yang diaudit oleh GBCI yaitu gedung perkantoran. Menurut Bhatt (2005) gedung perkantoran saat ini banyak menggunakan energi dibandingkan dengan jenis gedung yang lain. Besarnya penggunaan energi pada gedung perkantoran banyak disebabkan oleh besarnya beban panas yang didinginkan oleh sistem pendingin gedung tersebut. Menurut Gulati (2012) komponen beban panas yang berperan besar dalam penurunan daya sistem pendingin yaitu beban panas eksternal. Beban panas eksternal dipengaruhi oleh besarnya Overall Thermal Transfer Value (OTTV) dan jenis atap. Besarnya OTTV dipengaruhi oleh jenis kaca dan dinding. Dengan jenis dinding yang sama, besarnya nilai OTTV pada gedung tersebut dipengaruhi oleh jenis kaca yang digunakan. Spesifikasi jenis kaca yang mempengaruhi besarnya beban panas yaitu Shading Coefficient (SC) dan Light Transmittance (LT) pada kaca. Nilai SC berpengaruh terhadap perolehan radiasi panas sinar matahari pada perhitungan OTTV. Semakin kecil nilai SC, maka nilai OTTV menjadi lebih kecil. Hal ini membuat konsumsi energi sistem pendingin pada gedung akan berkurang (Yik, 2005). Spesifikasi jenis kaca yang lain yaitu Light Transmittance (LT), berperan dalam pencahayaan alami (daylight) dalam gedung. Semakin besar nilai LT, maka daylight dalam gedung yang dihasilkan akan semakin besar. Hal ini menyebabkan penggunaan pencahayaan buatan akan semakin kecil (Sandanasamy, 2013). Selain itu juga, besarnya nilai LT pada spesifikasi kaca berbanding lurus terhadap besarnya nilai SC. Semakin besar nilai LT, maka nilai SC akan semakin besar. Ini mengakibatkan beban panas eksternal akan semakin besar walaupun beban pencahayaan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa beban panas eksternal dan beban panas pencahayaan yang disebabkan oleh nilai SC dan LT pada kaca bersifat non-linier. Selain itu, pada spesifikasi kaca tersebut, biaya investasi kaca yang dibutuhkan sangat beragam. Sehingga, besarnya biaya investasi kaca terhadap spesifikasi kaca bersifat non-linier. Selain besarnya nilai OTTV, besarnya beban eksternal juga dipengaruhi oleh jenis atap yang digunakan. Dalam menurunkan beban eksternal pada gedung, bisa juga dilakukan penambahan insulasi pada atap gedung. Menurut Bojic (2014) penambahan insulasi pada atap dapat menurunkan beban panas eksternal sehingga penggunaan energi yang disebabkan oleh beban panas eksternal akan semakin berkurang. Hanya saja, dengan melakukan penambahan insulasi pada atap, maka perlu dibutuhkan biaya investasi yang cukup banyak disamping biaya investasi kaca. Hal ini mempengaruhi besarnya nilai return of investment (ROI) dimana ROI menunjukkan besarnya biaya penghematan atau cost saving yang dihasilkan terhadap biaya investasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu optimasi terhadap penggunaan dua variabel tersebut yakni jenis kaca dan penggunaan insulasi untuk mencapai nilai poin EEC yang optimal. Karena variabel yang dioptimasi yaitu jenis kaca bersifat non-linier dan penggunaan insulasi pada atap bersifat integer, maka variabel optimasi tersebut termasuk dalam permasalahan mixed integer non-linier programming (MINLP). Salah satu metode yang digunakan untuk mengatasi permasalahan MINLP yaitu metode Genetic Algorithm (GA) sehingga didapatkan solusi global optimum (Venkataraman, 2002). Dengan menggunakan metode GA, diharapkan akan didapatkan nilai EEC yang optimal dengan mencari nilai return of investment (ROI) yang maksimal. 2 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Green Building Gedung merupakan suatu bangunan tembok yang berukuran besar yang digunakan sebagai tempat kegiatan manusia. Selama daur hidupnya, gedung membutuhkan energi, air, dan material serta menghasilkan limbah baik padat, cair maupun gas. Tentu saja, hal ini dapat memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Bangunan hijau atau green building adalah gedung yang dapat meminimalkan dampak negatif tersebut. Menurut GBCI bangunan hijau juga mengarah pada struktur dan pemakaian proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan penggunaan sumber daya yang hemat sepanjang siklus hidup bangunan tersebut. Bangunan ramah lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dimana mampu menghemat penggunaan energi dalam bangunan dan memiliki efek terhadap biaya operasional yang kecil dibandingkan dengan bangunan konvensional lainnya. Menurut Ng Ban (2011) hal ini dipengaruhi oleh desain bangunan, ventilasi udara, dan penggunaan energi terbarukan. Prerequisite OTTV Calculation Prerequisite Energy Efficiency Calculation 20 Natural Lighting 4 Ventilation 1 Climate Change Impact 1 On Site Renewable Energy (Bonus) 5 Sumber: GBCI, 2013 Di dalam kategori EEC, terdapat tiga perhitungan utama yaitu perhitungan OTTV, simulasi atau perhitungan pencahayaan alami dan pencahayaan buatan, dan perhitungan penggunaan energi. Perhitungan OTTV setiap arah menurut SNI 03-6389-2011 tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: (1) dengan: adalah selubung bangunan satu arah (W/m2) adalah absorbtansi panas adalah transmitansi termal dinding tak tembus cahaya (W/m2. °K) adalah perbandingan luas jendela dan luas seluruh dinding adalah beda temperatur ekivalen (°K) adalah transmitansi termal pada kaca (W/m2.K) adalah perbedaan suhu (°K) adalah koefisien peneduh kaca adalah koefisien peneduh gedung adalah faktor radiasi matahari 2 (W/m ) 2.2 GREENSHIP Rating Greenship rating merupakan sistem penilaian standar GBCI yang digunakan sebagai alat bantu bagi para pelaku industri bangunan maupun pelaku lainnya dalam menerapkan sertifikasi suatu gedung menjadi green building. Sistem penilaiannya dikelompokkan berdasarkan enam kategori, yaitu Appropriate Site Development (17 poin), Energy Efficiency and Conservation (26 poin), Water Conservation (21 poin), Material Resources and Cycle (14 poin), Indoor Health and Comfort (10 poin), dan Building and Environment Management (13 poin). Dari 6 kategori tersebut, Energy Efficiency and Conservation (EEC) memiliki poin tertinggi di Greenship rating. Di dalam kategori EEC, terdapat kategori poin seperti ditunjukkan pada Tabel 1. berikut ini. Perhitungan pencahayaan alami dan buatan dilakukan dengan menggunakan software DIALux. Dengan menggunakan software, maka akan didapatkan poin perhitungan pencahayaan alami sebesar 2 poin. Perhitungan efisiensi energi pada gedung memakai standar GBCI yaitu menggunakan worksheet dengan menggunakan perbandingan data baseline dan data desain, yaitu: Tabel 1. Nilai Pada Kategori EEC Kategori Electrical Sub Metering Poin 3 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 a. Data baseline adalah data acuan gedung dengan nilai standar SNI/ASHRAE/ ketentuan dari GBCI. b. Data desain adalah data yang digunakan oleh arsitek dalam merencakan gedung yang sesuai dengan yang diinginkan. dimana: adalah biaya investasi kategori EEC desain gedung (Rupiah) adalah biaya investasi kaca jendela (Rupiah) adalah biaya investasi sistem pendingin (Rupiah) adalah biaya investasi lampu (Rupiah) adalah biaya investasi electrical sub metering (Rupiah) adalah biaya investasi lux sensor (Rupiah) 2.3 Biaya Investasi Salah satu tujuan perhitungan penggunaan energi pada green building selain mendapatkan poin maksimal dalam penilaian GREENSHIP yaitu menentukan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan untuk mendesain suatu bangunan menjadi bangunan berstandar green building. Analisa biaya investasi pada green building dilakukan dengan melakukan perhitungan besarnya biaya investasi bangunan baseline dan bangunan desain dimana biaya investasi baseline yaitu biaya investasi yang dihasilkan pada bangunan yang dihitung menggunakan data acuan gedung dengan nilai standar SNI/ASHRAE/ ketentuan dari GBCI. Sedangkan biaya investasi desain didapatkan dari biaya investasi yang dihasilkan menggunakan data yang digunakan oleh arsitek dalam merencanakan gedung yang sesuai dengan yang diinginkan untuk mencapai target sebagai green building. Secara umum, perhitungan biaya investasi EEC pada baseline ditunjukkan pada perhitungan berikut ini. Selain menentukan besarnya biaya investasi, perlu juga dilakukan perhitungan untuk menentukan biaya tambahan investasi total yang didapat dari biaya investasi desain dikurangi biaya investasi baseline seperti persamaan berikut ini. (4) dimana adalah biaya investasi tambahan kategori lain (Rupiah). Biaya tambahan investasi pada kategorikategori green building yang lain yaitu: (5) dimana: adalah biaya tambahan investasi kategori ASD (Rupiah) adalah biaya tambahan investasi kategori MRC (Rupiah) adalah biaya tambahan investasi kategori WAC (Rupiah) adalah biaya tambahan investasi kategori IHC (Rupiah) adalah biaya tambahan investasi kategori BEM (Rupiah) (2) dimana: adalah biaya investasi kategori EEC baseline gedung (Rupiah) adalah biaya investasi kaca jendela (Rupiah) adalah biaya investasi sistem pendingin (Rupiah) adalah biaya investasi lampu (Rupiah) Selain itu juga, dengan diterapkannnya konsep green building tersebut, akan terlihat konsumsi energi listrik dan air setiap tahunnya pada gedung desain akan berkurang dibandingkan gedung baseline. Hal ini berdampak pada penghematan dari biaya operasional yang didapatkan oleh gedung berstandar green building tersebut setiap Sedangkan perhitungan biaya investasi EEC pada desain green building ditunjukkan pada perhitungan berikut ini. (3) 4 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 tahunnya. Biaya penghematan ini nantinya dapat menutupi biaya tambahan investasi pada pembangunan bangunan berstandar green building tersebut yang dinamakan sebagai return of investment (ROI). Adapun persamaan perhitungan ROI ditunjukkan pada persamaan berikut ini. pada gedung perkantoran Waskita Karya Jakarta menggunakan standar penilaian GBCI yaitu Greenship rating. Dalam perhitungan kategori EEC, dilakukan perbandingan perhitungan konsumsi energi pada baseline dan variasi desain gedung. Variasi desain tersebut akan dijadikan variabel optimasi. Variabel yang akan dioptimasi dalam penelitian ini adalah variasi jenis kaca dan variasi penggunaan insulasi pada atap bangunan. Variasi jenis kaca terdiri atas 154 jenis kaca dengan spesifikasi yang berbedabeda yang diproduksi oleh PT. Asahimas Flat Glass Tbk. Sedangkan variasi penggunaan insulasi pada atap terdiri atas 3 jenis yaitu dengan ketentuan jenis insulasi dengan nilai 1 menunjukkan tanpa memakai insulasi, nilai 2 menunjukkan memakai insulasi rockwool, dan nilai 3 menunjukkan memakai insulasi glasswool. Karena variasi jenis kaca yang digunakan sebanyak 154 dan penggunaan insulasi sebanyak 3, maka jumlah bit yang digunakan sebanyak 10 bit dimana 8 bit awal menunjukkan jumlah variasi kaca dan 2 bit akhir menunjukkan penggunaan insulasi. Dari 2 variabel tersebut, akan dihasilkan nilai poin EEC dan presentase return of investment ROI yang tergantung pada variasi jenis kaca dan insulasi yang digunakan seperti ditunjukkan pada Figure 1. berikut ini. (6) 2.4 Genetic Algorithm Genetic algorithm (GA) merupakan bagian terpenting dalam kelompok Evolutionary Computation. GA didasarkan pada proses genetika dan secara ilmiah digunakan untuk menemukan solusi optimal. Elemen GA secara umum terdiri atas seleksi dan rekombinasi pada kromosom di dalam suatu populasi. GA banyak digunakan pada berbagai permasalahan diantaranya yaitu desain teknik, kecocokan parameter, permasalahan transportasi, pengolahan citra, traveling salesman problem (TSP), scheduling, dan lain sebagainya. GA termasuk pelopor dalam bidang konsep metaheuristik dikarenakan banyak algoritma komputasi muncul dan menggunakan beberapa langkah dari GA. Yang membedakan GA dengan metode optimasi lainnya yaitu, prosedur pencarian dalam GA hanya didasarkan pada nilai fungsi tujuan tanpa ada pemakaian gradient atau teknik kalkulus. Dengan prosedur inilah, akhirnya akan didapatkan solusi akhir dari permasalahan optimasi yang dihadapi (Vekataraman, 2002). Untuk dapat menyelesaikan permasalahan optimasi, secara garis besar algoritma GA dasar dapat dijelaskan sebagai berikut, diantaranya yaitu: Inisialisasi populasi Pengkodean kromosom Fungsi fitness Proses seleksi Proses crossover Proses mutasi Proses elitisme Pergantian Populasi Gambar 1. Variabel optimasi Setelah mengetahui perhitungan poin EEC, maka dapat dilakukan penyusunan fitness function. Karena fitness function yang digunakan yakni Pers. (6) dengan mencari nilai investasi tambahan yang minimal dan biaya penghematan yang besar, maka objective function sama dengan fitness function yaitu: (7) 3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan perhitungan kategori EEC dengan n menunjukkan desain yang digunakan dengan mempertimbangkan nilai OTTV dan pencahayaan alami sesuai 5 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 standar GBCI. Objective function ini nantinya akan digunakan sebagai fungsi tujuan dalam optimasi yang dilakukan. Pada Pers. (7) besarnya biaya tambahan investasi didapatkan dari Pers. (4). Selain itu, data-data pada baseline dan desain terdapat beberapa perbedaan yang mengacu pada standar GBCI. Secara umum, diagram alir metode penelitian yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 1. spesifikasi kaca yang mempengaruhi besarnya daylight yaitu LT. Kemudian dilakukan simulasi pencahayaan buatan pada desain gedung. Hal yang pertama dilakukan dalam simulasi pencahayaan buatan yaitu menentukan jenis lampu yang cocok untuk bangunan tersebut. Karena tujuan dari desain gedung Waskita Karya yaitu menjadikan gendung Waskita Karya sebagai green building, maka jenis lampu yang digunakan yaitu lampu Philips CoreLine Batten LED Module 40 W. Penggunaan jenis lampu ini sebagai penerangan buatan dikarenakan lifetime lampu LED lebih lama daripada jenis lampu lainnya dan biaya operasional akan jauh lebih sedikit daripada jenis lampu lainnya. Secara umum, data teknis lampu tersebut yaitu: Tipe : BN120CL12001Xled38S/830 Total Lamp Flux : 3800 lm Light Output Ratio : 1.00 System Flux : 3800 lm System Power : 40 W LxBxH : 1.13x0.06x0.06 m Adapun hasil simulasi dibagi menjadi beberapa lantai gedung yaitu lantai dasar dan mezzanine, lantai 2 hingga lantai 7, dan lantai 8. Lantai 9 hingga lantai 16 memiliki kesamaan terhadap lantai 8, jadi hasil output lantai 8 dapat mewakili lantai 9 hingga lantai 16. Adapun hasil output setiap lantai ditunjukkan pada Gambar 3. Dari Gambar 3., terlihat bahwa pencahayaan buatan mayoritas berada di atas 350 lux walaupun terdapat nilai di bawahnya di setiap sisi ruangan. Hal ini menunjukkan bahwa pencahayaan pada setiap lantainya merata dan mampu menghasilkan penerangan optimal yang sesuai dengan standar SNI 03-6575-2001 untuk pencahayaan buatan dimana untuk gedung perkantoran harus memiliki pencahayaan minimal 350 lux. Adapun specific connected load rata-rata semua lantai bernilai 5.80 W /m2. Selanjutnya dilakukan perhitungan OTTV pada baseline gedung menggunakan standar SNI. Gambar 2. Diagram alir GA 4. Hasil dan Pembahasan Hal pertama yang perlu dilakukan simulasi pencahayaan alami dengan menggunakan DIALux. Dari hasil simulasi untuk mengetahui daylight pada setiap variasi kaca, maka dapat dihasilkan persebaran data daylight terhadap 6 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 Gambar 3. Pencahayaan buatan pada (a) lantai dasar dan mezzanine, (b) lantai 2, (c) lantai 3, (d) lantai 4, (e) lantai 5, (f) lantai 6, (g) lantai 7, dan (h) lantai 8 hingga 16 Setelah itu, maka dilakukan perhitungan penggunaan energi pada baseline gedung. Perhitungan penggunaan energi pada baseline gedung menggunakan standar yang ditentukan oleh GBCI. Kemudian, dilanjutkan perhitungan biaya investasi kategori EEC pada baseline gedung terdiri atas investasi kaca jendela atau fasad, investasi lampu, dan investasi sistem pendingin. Sedangkan untuk biaya investasi yang dibutuhkan oleh setiap variasi jenis kaca dan insulasi pada atap sama dengan perhitungan biaya investasi pada baseline gedung, dengan terdapat perbedaan seperti adanya perbedaan jenis lampu, penambahan sensor lux, electrical sub metering, dan penggunaan insulasi atap. Setelah itu, dapat dilakukan perhitungan biaya tambahan investasi pada setiap variasi jenis kaca dan insulasi seperti ditunjukkan pada Pers. (4). Setelah melakukan perhitungan penggunaan energi pada baseline gedung dan simulasi daylight pada setiap variasi desain gedung, maka dapat dilakukan optimasi variasi desain gedung. Optimasi dilakukan menggunakan software komputasi dan mendefinisikan parameter GA sebagai berikut. Variabel desain =2 Jumlah bit = 10 Populasi = 100 Generasi = 200 Probabilitas kawin silang = 0.8 Probabilitas mutasi = 0.001 Dalam running program tersebut, dilakukan pencarian fitness ROI terbaik pada setiap nilai poin EEC untuk melihat nilai fitness ROI terbaik di setiap nilai poin EEC. Hasilnya dalam beberapa kali running dengan nilai poin EEC antara poin 14 hingga poin 20 didapatkan grafik ROI maksimal seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. Fitness ROI terhadap generasi 7 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 double glass. Dari Tabel 2. diatas, terlihat bahwa pada poin EEC sebesar 16 memiliki nilai fitness ROI maksimal sebesar 36.8486%. Semakin besar nilai ROI, maka keuntungan yang didapat akan semakin besar pula. Pada nilai poin EEC terbesar yaitu sebesar 20 didapat ROI yang lebih sedikit yaitu 15.1297%. Ini menunjukkan bahwa keuntungan yang didapat pada poin EEC 20 lebih rendah daripada keuntungan yang didapat pada poin EEC 16. Besarnya penghematan desain gedung menunjukkan besarnya pengurangan konsumsi energi yang dihasilkan oleh setiap variasi jenis kaca. Hal ini juga mempengaruhi besarnya poin EEC yang dihasilkan. Indeks Konsumsi Energi (IKE) optimal yang dihasilkan pada setiap poin EEC ditunjukkan pada Gambar 5. Dari hasil optimasi tersebut, dapat diketahui kombinasi jenis kaca dan penggunaan insulasi seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kombinasi Desain Terpilih Poin EEC ROI Kombinasi Desain 14 Tipe Kaca Panasap Dark Grey (3mm) 15 16 Insulasi % Glasswool 30.2424 Panasap Green (5mm) Tanpa 31.9647 Planibel G (3.2mm) Glasswool 36.8486 17 Panasap Green (8mm) Glasswool 29.5671 18 Sunergy Green (6mm) Stopsol Blue Green (6mm) + Air + Clear (6mm) Stopsol Green (8mm) + Air + Planibel G (6mm) Glasswool 20.6389 Glasswool 18.7667 Glasswool 15.1297 19 20 Pada Tabel 2. terlihat bahwa besarnya fitness ROI pada masing-masing poin EEC sangat bervariasi. Pada dasarnya, fitness ROI yang dihasilkan menunjukkan solusi ROI paling maksimum yang dihasilkan dari setiap poin EEC karena setelah optimasi, fitness yang dihasilkan selalu sama sepanjang generasi atau iterasi dan running berulang-ulang tetap akan menghasilkan nilai fitness maksimum yang sama. Hanya saja, dalam GA, solusisolusi pada awal generasi belum tentu sama dikarenakan pembangkitan populasi untuk mencari solusi dilakukan secara random atau acak. Pada penelitian ini, nilai fitness ROI ditentukan oleh seberapa besar penghematan energi yang dihasilkan oleh variasi jenis kaca dan penggunaan insulasi atap terhadap biaya tambahan investasi yang dibutuhkan oleh setiap variasi tersebut. Besarnya penghematan yang dihasilkan terhadap besarnya biaya investasi menunjukkan besarnya laba atau keuntungan yang didapat atas biaya investasi tambahan. Besarnya penghematan energi sendiri dipengaruhi oleh jenis kaca dan insulasi yang digunakan. Hal ini terlihat bahwa dengan penambahan kaca dari sebelumnya single glass menjadi double glass, maka poin EEC yang dihasilkan bisa bertambah. Hal ini dikarenakan spesifikasi nilai Uf pada single glass lebih besar besar daripada Gambar 5. Nilai IKE dan Investasi Pada Gambar 5. diatas, terlihat bahwa IKE yang dihasilkan pada poin EEC 16 sebesar 107 kWh/m2Tahun. Besarnya IKE menunjukkan besarnya konsumsi energi yang dihasilkan pada suatu gedung setiap meter persegi. Semakin kecil konsumsi energi pada gedung tersebut, maka semakin hemat pula penggunaan energi pada gedung tersebut dan tentu saja biaya operasional untuk biaya listrik akan jauh lebih kecil. Pada Gambar 6. diatas, terlihat bahwa IKE yang dihasilkan pada poin EEC 20 lebih kecil daripada IKE yang dihasilkan pada poin EEC 16 yakni sebesar 96 kWh/m2 Tahun. Hal ini menunjukkan bahwa biaya operasional poin EEC 20 lebih hemat daripada poin EEC 16. Namun, hal ini tidak menjamin keuntungan yang didapatkan dalam 8 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 kWh/m2Tahun. Besarnya penurunan nilai IKE menunjukkan efisiensi penggunaan energy pada desain terpilih terhadap baseline sebesar 33.44%. Besarnya efisiensi penghematan ini memiliki pengaruh besar dalam penilain EEC pada green building. Dari efisiensi tersebut, nilai poin EEC yang dihasilkan sebesar 11 poin. Besarnya IKE juga mempengaruhi besarnya emisi CO2 yang dihasilkan oleh suatu gedung. Pada Tabel 3. terlihat bahwa emisi CO2 yang dihasilkan oleh hasil optimasi desain terpilih lebih kecil 486.8971 ton/tahun daripada emisi CO2 yang dihasilkan oleh baseline gedung. Dari sisi ekonomi, terlihat bahwa biaya investasi pada kategori EEC yang dibutuhkan oleh hasil optimasi desain terpilih lebih sedikit dikarenakan adanya penurunan harga sistem pendingin dan harga kaca yang digunakan. Besarnya biaya investasi yang dibutuhkan pada desain bangunan sebesar Rp. 4.078.905.465,atau selisih Rp. 735.969.969,- lebih rendah daripada baseline bangunan. Selain itu, dikarenakan dalam perhitungan juga menggunakan software dalam penentuan besarnya lighting dan daylight serta menunjukkan besarnya emisi CO2, maka besarnya poin EEC ditambahkan 5 poin menjadi 16 poin. mengembangkan suatu gedung menjadi green building semakin besar mengingat ROI yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada poin EEC 16 serta kendala dalam mengembangkan green building terletak pada biaya investasi yang terlampau besar. Hal ini menunjukkan biaya investasi pada kategori EEC untuk mengembangkan suatu gedung menjadi gedung berstandar green building dengan poin EEC sebesar 20 lebih besar daripada poin EEC 16 seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Dari hasil optimasi desain gedung tersebut, dapat dibandingkan dengan baseline gedung tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan Hasil Optimasi dan Baseline Deskripsi Cooling System Capacity IKE CO2 emission Cost of Investment Cooling System Cost of Investment CHWP Cost of Investment CWP Cost of Investment AHU Cost of Investment Kaca Cost of Investment Insulasi Cost of Investment Lamp Cost of Investment ESM Cost of Investment Lux Sensor Perbandingan Baseline Hasil Optimasi 242.84 TR 200.11 TR 161 kWh/m2.Tahun 1456.195 ton/tahun 107 kWh/m2.Tahun Rp. 1457069420 Rp. 1200675063 Rp. 118110930 Rp. 66088490 Rp. 73819331 Rp. 41305307 Rp. 188443896 Rp. 93751561 Rp. 1455111856 Rp. 335795044 Rp. 1522320000 969.298 ton/tahun 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil optimasi EEC, nilai poin EEC optimal sebesar 16 dengan jenis kaca yang digunakan yaitu single glass tipe Planibel G dengan tebal kaca 3.2 mm dan menggunakan insulasi glasswool dengan nilai ROI maksimal sebesar 36.8486%. Besarnya nilai poin EEC sangat tergantung pada variasi pergantian jenis kaca dan insulasi atap. Selain itu, pergantian jenis kaca dan insulasi atap juga berpengaruh terhadap besarnya biaya investasi EEC. Semakin baik spesifikasi jenis kaca dengan ditambahkan insulasi atap, maka sistem pendingin yang dibutuhkan akan semakin kecil. Hal ini berdampak pada penurunan biaya investasi sistem pendingin dan biaya investasi EEC total. Rp. 27750000 Rp. 2218500000 - Rp. 24000000 - Rp. 71040000 Pada Tabel 3. terlihat bahwa hasil optimasi desain terpilih memiliki kapasitas sistem pendingin yang lebih kecil daripada kapasitas sistem pendingin yang dibutuhkan oleh baseline gedung. Hal ini menunjukkan bahwa beban panas yang dihasilkan pada hasil optimasi desain terpilih lebih kecil daripada beban panas yang dihasilkan oleh baseline gedung. Hal ini juga menyebabkan nilai IKE pada baseline gedung jauh lebih besar daripada nilai IKE pada hasil optimasi desain terpilih dengan penurunan IKE sebesar 54 9 Totok R. Biyanto, GA untuk Mengoptimasi ROI pada Green Building, Seminar Nasional CITIES 2014 DAFTAR PUSTAKA Bhatt, M. S., Rajkumar, N., Jothibasu, S., Sudirkumar, R., Pandian, G., Nair, K. R. C., Commercial and residential building energy labeling, Journal of Scientific & Industrial Research 64(1), pp. 30-34, 2005. Bojic, M., Miletic, M., Bojic, L., Optimization of thermal insulation to achieve energy savings in low energy house (refurbishment), Elsevier Ltd: Energy Conversion and Management, 84, pp. 681-690, 2014. Bradshaw, W. B., Buying Green, Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2006. Divisi Rating dan Teknologi, GREENSHIP untuk BANGUNAN BARU Versi 1.2, Jakarta: Green Building Council Indonesia, 2013. Gulati, N., Cost Effectiveness in HVAC by Building Envelope Optimization, Nottingham: University of Nottingham, 2012. Ng Ban H., Zainal Abidin., An Overview of Malaysia Green Technology Corporation Office Building: A Showcase Energy-Efficient Building Project in Malaysia, Journal of Sustainable Development 4(5), pp. 212-228, 2011. Sandanasamy, D., Govindarajane, S., Sundararajan, T., Natural Lighting In Green Buildings-An Overview and A Case Study, International Journal of Engineering Science and Technology 5(1), pp. 119-122, 2013 Venkataraman, P., Applied optimization with MATLAB Programming, New York: John Wiley & Sons, 2002. Yik, F. W. H., Wan, K. S. Y., An evaluation of the appropriateness of using overall thermal transfer value (OTTV) to regulate envelope energy performance of airconditioned buildings, Elsevier Ltd: Energy, 30, pp. 41-71, 2005. Zigenfus, Richard E., Element Analysis of the Green Building Process, New York: Rochester Institute of Technology, 2008. 10