peranan masyarakat sipil menuju

advertisement
PERANAN MASYARAKAT SIPIL MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA YANG
DEMOKRATIS
Oleh: Idi Jahidi
Abstrak
Studi tentang masyarakat sipil (civil society) kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya
membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara
sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif masyarakat.
Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi
politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau
kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi
politik itu sendiri dan partisipasi sosial.
Pendahuluan
Demokrasi dan masyarakat sipil (civil society) bagaikan dua sisi mata uang, keduanya
bersifat ko-eksistensi. Dengan civil society yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik
(Putnam, 1993). Dan dalam suasana negara yang demokratis, civil society akan berkembang dan
tumbuh dengan kuat pula. Nurcholish Madjid (1999) membuat metafor yang cukup menarik, civil
society adalah “rumah” persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam
pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian dalam “rumah”, yaitu civil
society.
Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa civil society memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya
politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara.
Asosiasi independen dan media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara
melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai
kepentingannya, bila diorganisasi dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar
yang penting bagi persaingan yang demokratis. Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai
politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran
kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil
society, karena kemandiriannya terhadap negara, mampu menjaga independensinya yang berarti
1
secara diam-diam mengurangi peran negara. Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para
pemimpin politik yang baru. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter.
Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan pada kendala antara lain adalah masih
minimnya tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melakukan agregasi dan
artikulasi aspirasi politik mereka untuk disalurkan melalui prosedur dan mekanisme politik yang
sah, konstitusional dan beradab. Kondisi seperti ini dapat dipahami sebagai proses awal dari
dekratisasi. Sebuah demokrasi tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah kesadaran dari
masyarakat yang merupakan pelaku demokrasi. Ketidaksadaran masyarakat akan membuat
mereka terbimbing masuk dalam sikap politik yang membuat mereka menjadi massa yang tidak
lagi mengerti tentang pilihan-pilihan politik. Depotisme kemudian terjadi akibat dikorupsinya
public spirit yang menyebabkan civil society menjadi kehilangan arah (Keane, 1988).
Pengertian Masyarakat Sipil (civil society)
Istilah “civil society” masih menjadi perdebatan baik secara terminologis maupun
etimologis. Beberapa kalangan akademisi di Indonesia, menterjemahkan kata “civil society”
sebagai “masyarakat madani” (Nurcholish Madjid, 1999; Dawam Rahardjo, 1999), “masyarakat
warga” (Lembaga Etika Atmajaya, 1997), dan “masyarakat sipil” (Mansour Fakih, 1996).
Harus diakui, konsep civil society dipahami dari perspektif yang berbeda-beda dan hal itu
merupakan perkembangan yang dinamis sesuai dengan konteks, setting, ideologi dan kepentingan
setiap subjek (INCIS, 2002). Dalam pendekatan Hegelian, penekanannya lebih pada pentingnya
kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi pembangunan civil
society yang kuat. Sementara itu dalam perspektif Gramscian penguatan civil society sebagai alat
untuk menghadapi hegemoni ideologi negara. Civil society adalah sebuah arena tempat para
intelektual organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah mendukung upaya melakukan
perlawanan terhadap hegemoni negara. Dalam pendekatan Tocquevellian, penguatan civil society
lebih menekankan pada penguatan organisasi-organisasi dan asosiasi independen dalam
masyarakat dan melakukan inkubasi budaya keadaban (civic culture) untuk membangun jiwa
demokrasi.
Terlepas dari beragamnya pendekatan dalam memahami civil society, sepertinya relevan
untuk mengemukakan definisi civil society menurut Alfred Stepan (1988) :
... arena where manifold social movement (such as neighborhood associations, women’s
groups, religious groupings, and intellectual currents) and civic organization from all classes
2
(such as lawyers, journalist, trade union, and enterpreneurs) attempt to constitute themselves in
an ensemble of arrangements so that they can express themselves and advance their interest.
Dari definisi Stepan ini, sesungguhnya secara eksplisit mengisyaratkan bahwa civil society
bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk mengartikulasikan kepentingan mereka,
tetapi juga ada kesadaran secara horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya
dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerjasama dalam bingkai keteraturan (ensemble of
arrangement). Hal ini dikemukakan pula oleh AS. Hikam (1996), bahwa civil society adalah
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara,
dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.
Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah semacam sistem yang lebih berorientasikan masyarakat (based on
communities). Berbeda dengan sistem otoritarianisme yang bisa berdiri tegak dengan memakai
aparatus ideologi negara saja, demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapatkan
dukungan riil masyarakat. Demokrasi yang hanya melibatkan segelintir elite politik biasanya
menjurus pada “otoritarianisme baru” atas nama demokrasi itu sendiri.
Pemerintahan demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut: setiap
kebijakan diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam
pemerintahan (participation), tanggap terhadap aspirasi
yang berkembang di bawah
(responsiveness), bertumpu pada aspek penegakkan hukum (law enforcement) dan aturan hukum
(rule of law), terbuka terhadap keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu pada
konsensus, dapat dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability), efisien, efektif,
stabil, bersih (check and balance) dan adanya proses yang transparan (Saiful Mujani, 2001).
Dengan demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada seberapa besar keterlibatan politik
(civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja
pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil
pertarungan di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, demokrasi memiliki beberapa definisi sebagai berikut: (1)
Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan
kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala; (2) Adanya sikap toleransi
terhadap pendapat yang berlawanan; (3) Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan
sikap tunduk kepada “rule of law” tanpa membedakan kedudukan politik; (4) Adanya pemilihan
3
yang bebas disertai model perwakilan yang efektif (5) Diberikannya kebebasan berpartisipasi dan
beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta prasarana pendapat umum seperti
pers atau media massa; (6) Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan
pandangannya; dan (7) Dikembangkan sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan
dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan
represif.
Antara Masyarakat Sipil (Civil Society) dan Demokrasi
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, civil society memiliki tiga fungsi, yaitu:
Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas
memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public
services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian
aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani
kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau
counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society melakukan advokasi,
pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik
negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.
Fungsi-fungsi di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan
civil society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup politik. Iwan Gardono (2001)
berpendapat, bahwa civil society yang menekankan pada aspek sosial budaya dapat bersifat
horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau keberadaan dan “fraternity”. Indigenisasi
konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan.
Sedangkan civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga
lebih dekat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan titik-tekan tersebut berimplikasi pada
pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk menyebutkan civil
society.
Dengan mengkombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer,
subtitutor, dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali
persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of
concern dari aktivitas yang mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi
yang berbasis masyarakat.
4
Membangun Pemerintahan Demokratis Melalui Peran Masyarakat Sipil
Pemerintahan demokratis adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
Pemerintahan demokratis bergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement)
warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan
politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di
masyarakat. Keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang potensial menumbuhkan
sikap terbuka, trust, toleransi dan sikap positif lainnya kemudian menjadi penting dalam bangunan
politik nasional (Putnam, 1993). Dengan demikian, demokrasi tidak menjadi makanan kaum elite
saja, tapi mengalami reeksaminasi oleh masyarakat secara transparan dan terus-menerus di ruang
publik, tidak saja pada masa pemilu.
Dalam konteks penumbuhan elemen-elemen demokrasi, kita tidak bisa melepaskan diri
dari komponen dasar demokrasi, yakni partisipasi aktif dari civil society. Hal ini berarti perlu
mengembalikan hak-hak rakyat sebagai stakeholders di dalam pengambilan keputusan sehingga
menunjukkan keterkaitan antara demokrasi, otonomi, dan partisipasi.
1. Modal Sosial dan Trust
Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang demokrasi adalah adatidaknya civic culture dalam suatu masyarakat. Civic culture menjadi model demokrasi berbasis
masyarakat dan merupakan bagian integral dari civil society selain civic knowledge dan civic
value.
Elemen dasar keterlibatan publik (civic engagement) menjadi akar tunjang civil society
yang menyuburkan demokrasi. Adanya kultur demokrasi yang bersemai dalam masyarakat
menjadi ukuran seberapa jauh keterlibatan publik tersebut dihargai keberadaannya. Demokrasi
tidak akan tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tidak memiliki kultur demokrasi. Inglehart
(1999) meyakinkan bahwa kultur demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling percaya
(interpersonal trust) antarwarganegara yang diyakini menjadi pendorong yang cukup kuat ke arah
demokrasi.
Memang tidak mudah untuk membangun saling percaya di antara warga. Minimnya
interpersonal trust pada gilirannya nanti menyebabkan kurangnya kepercayaan pada lembagalembaga publik. Misalnya, kurangnya rasa percaya warga terhadap lembaga pengadilan, polisi,
parlemen, dan lembaga-lembaga publik yang nota bene adalah institusi demokrasi lainnya.
Realitas sui-generis tersebut, tentu menyulitkan pertumbuhan demokrasi karena demokrasi
membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial (social capital). Modal sosial
5
biasanya didefinisikan sebagai organisasi sosial itu sendiri atau jaringan sosial yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial ini berisi berbagai interaksi sosial. Interaksi
sosial yang menumbuhkan civil society harus dimulai dengan sikap berkeadaban yang
mensyaratkan sikap saling percaya, fairness, toleran, dan kesukarelaan. Secara normatif (Ace
Hasan, 2002) setiap agama manapun selalu mengajarkan sikap toleran dan saling percaya.
Modal sosial ditentukan oleh seberapa jauh dua jenis trust (sikap toleran dan saling
percaya) tersebut melembaga dalam kehidupan sosial. Memang social capital hanya
“penyumbang” bukan determinan faktor bagi demokrasi. Modal sosial lebih khusus lagi
menyumbang bagi “stabilnya”, bukan “munculnya” demokrasi. Modal sosial terjadi melalui
perubahan hubungan antarindividu yang mempengaruhi perbuatan atau tindakan. Menurut Imam
Prasodjo (2002), modal sosial adalah akumulasi rasa saling percaya sebagaimana ditunjukkan
oleh keragaman dan kombinasi aksi sukarela yang pada akhirnya menghasilkan pemerintahan
yang efektif.
2. Partisipasi Sosial
Partisipasi sosial dan sikap percaya (trust) menjadi parameter civic engagement dan
merupakan satu sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan politik (political
engagement). Jika political engagement menyangkut keterlibatan dan keterkaitan warga negara
secara psikologis dengan urusan-urusan politik dan pemerintahan, maka civic engagement
menyangkut keterlibatan warga negara di dalam kegiatan sosial secara sukarela dan trust
antarsesama warga negara.
Studi tentang civil society kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya membicarakan
serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela. Dengan
demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif masyarakat. Dalam
pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi politik, secara
umum diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan
publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi politik itu
sendiri dan partisipasi sosial.
Partisipasi sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial
atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau civic engagement dalam
kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial. Kelompok sosial itu sendiri, ditandai oleh dua
aktivitas. Pertama, intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara.
Artinya, sesama warga negara memiliki kepedulian dan tindakan konkret menyelesaikan problem6
problem sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan melakukan aksi atau kegiatan kolektif
(collective action). Hal ini dimungkinkan bila masing-masing warga mau membuka diri untuk
terlibat dalam berkomunikasi dan bergaul dengan warga lainnya. Semakin intensif pergaulan
antarwarga terjadi, maka peluang terjadinya kegiatan kolektif secara positif dapat terbuka lebih
lebar. Keterlibatan warga negara dalam komunitas-komunitas kemasyarakatan atau kelompok
sosial jelas mempertebal jaringan sosial antarwarga. Pada gilirannya nanti, jaringan sosial tersebut
membuka kemungkinan besar bagi pemecahan-pemecahan masalah publik. Sebaliknya, bila
jaringan sosial menipis, yang ditandai sikap selfish yang menguat dan enggan melibatkan diri
dalam komunitas, bisa ditebak akan melahirkan fenomena “bermain bola boling sendirian
(bowling alone)”.
Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh intensitas dalam membentuk organisasi sosial.
Aktivitas sosial yang kedua ini jelas membutuhkan skill atau keterampilan, adanya aspek
kepemimpinan (leadership), memiliki pengetahuan dasar tentang keorganisasian dan tahu
bagaimana menjalankannya, mempunyai syarat-syarat atau elemen pokok organisasi dan lain-lain.
Seberapa jauh suatu intensitas warga membentuk kelompok atau organisasi sosial biasanya
ditentukan oleh seberapa kuat jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam
komunitas untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga.
Intensitas partisipasi warga dalam memecahkan masalah-masalah sosial di sekitarnya
relatif tidak membutuhkan keahlian dan pengelolaan serta intensitas yang besar ketimbang jenis
kegiatan kelompok sosial yang pertama. Semakin sering warga bertemu (berinteraksi) dan
membicarakan masalah sosial, maka peluang pemecahan masalah sosial tersebut semakin besar.
Oleh karena itu, tidak heran bila aktivitas sosial yang pertama lebih banyak frekuensinya
ketimbang jenis aktivitas sosial yang kedua. Partisipasi warga dalam menyelesaikan masalah
sosial juga lebih banyak ketimbang warga yang punya prakarsa membentuk organisasi sosial.
Biasanya jenis keanggotaan kelompok sosial dibagi menjadi tiga, yakni anggota aktif, anggota
tidak aktif, dan bukan anggota.
Selain
berkemampuan
masyarakat
dalam
memecahkan
masalah-masalah
sosial,
terbentuknya asosiasi-asosiasi berdasarkan kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan
berorganisasi juga menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat ditinjau dari kemampuan
masyarakat untuk mau mengatur dirinya secara kolektif.
7
3. Partisipasi Politik
Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat biasa untuk
menyampaikan aspirasi atau kepentingan, dan ikut memutuskan kebijakan publik yang harus
diambil pemerintah. Partisipasi menentukan siapa yang harus menjadi pejabat publik, keputusankeputusan apa yang harus diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan bagaimana
pelaksanaan amanat dari rakyat tersebut dikontrol hingga penyimpangannya dapat ditekan, kalau
bukan sama sekali dihilangkan.
Partisipasi politik didefinisikan sebagai tindakan –bukan keyakinan atau sikap- warga
negara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu misalnya, dan
secara sukarela, bukan dipaksa (Laporan Penelitian Islam dan Good Governance, 2002).
Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang
terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mendarat pada level
psikomotorik yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan
aspirasinya, maka tidak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Partisipasi
politik paling tidak mencakup beberapa dimensi: ikut dalam pemilihan umum (voting), kegiatankegiatan yang berkaitan dengan kampanye dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatankegiatan sosial di tingkat kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait
dengan protes dan demonstrasi (protes).
Pemilihan umum berarti menyalurkan suaranya dalam bilik-bilik suara dengan asumsi
telah memenuhi beberapa tahapan untuk dapat mencoblos. Partisipasi dalam kampanye misalnya,
menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan atribut partai kepada
orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai politik yang sedang berkampanye,
menonton atau mendengarkan program kampanye partai di televisi atau radio dan lain-lain.
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam
pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik
warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk
memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas
partisipasi meningkat, yang terjadi warga tidak punya keleluasaan untuk otonom dari jari jemari
kekuasaan dan tidak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang
sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan
8
jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga
yang bersifat merusak sarana umum.
Proporsi terbesar masyarakat dalam berpartisipasi secara politik adalah melalui pemilu. Di
luar pemilu, yang paling besar proporsinya adalah partisipasi sosial, kemudian diikuti oleh
partisipasi yang terkait dengan partai politik dan kampanye (mengahadiri kampanye partai atau
pawai partai, memakai tanda gambar partai, menyebarkan selebaran partai, dan membantu partai),
dan yang paling rendah proporsinya adalah partisipasi dalam bentuk protes (demontrasi, mogok,
memboikot, dan protes dengan merusak sarana umum) yang dilakukan untuk mendukung atau
menolak keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Di belahan dunia manapun, protes
merupakan bentuk partisipasi yang relatif jarang dilakukan oleh warga negara.
Dilihat dari kuantitasnya, di luar pemilu, hanya sekitar 17% yang tidak pernah
berpartisipasi dalam kegiatan politik. Yang menyatakan pernah melakukan minimal satu bentuk
partisipasi politik di luar pemilu sekitar 16%, dua bentuk partisipasi 19%, dan sekitar tiga bentuk
atau lebih partisipasi 48%. Proporsi kuantitas partisipasi ini tidak banyak berbeda dengan di
negara-negara demokrasi lain di dunia (TB Ace Hasan Syadzily, 2003). Keikutsertaan dan
ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauh mana tingkat partisipasi konvensional
warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan
komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu
bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin
mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan
maupun partai dengan cara golput.
Mekanisme pemilu biasanya telah disepakati melalui institusi demokrasi seperti
perwakilan rakyat di parlemen dan dieksekusi oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Waktu
pemilu telah ditentukan secara reguler –apakah empat, lima, atau tujuh tahunan- yang biasanya
termaktub dalam konstitusi negara, meskipun tanggal pelaksanaannya secara pasti biasanya
dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu yang telah disepakati bersama dan telah ditentukan
prosedur dan teknis operasionalnya.
Demikian pula dengan prosedur dan waktu kampanye dimasukkan dalam tahapan-tahapan
pemilu. Seorang warga yang mengikuti kampanye partai lebih bermakna atau berarti ketimbang
yang ikut pemilu saja. Apalagi jika partisipasi dalam pemilu bersifat ritual dan dimaknai sebagai
kewajiban warga negara, bukan hak sebagai citizenship. Hal ini sudah mengasumsikan bahwa
mobilisasi warga untuk berpartisipasi dalam pemilu diekslusikan karena mobilisasi pada dasarnya
9
bukanlah partisipasi. Mobilisasi selalu mengandung unsur keterpaksaan, bukan atas dasar
kesukarelaan.
Oleh karena itu, seseorang yang ikut kampanye membuktikan tingkat kepedulian yang
lebih baik ketimbang mencoblos pemilu karena partisipasi politik juga ditentukan oleh seberapa
besar tingkat partisanship warga. Turut serta dalam kampanye partai politik menunjukkan
keingintahuan (curiosity) seseorang terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan
suaranya dalam perhelatan pemilu.
Lain halnya jika orang ikut kampanye karena dimobilisasi oleh partai atau ditawari
mendapatkan keuntungan ekonomis. Lepas daripada itu, kampanye tetap menjadi indikasi
seberapa jauh sikap partisan warga terhadap partai. Namun demikian, orang yang ikut kampanye
tidak berkorelasi secara positif dengan pilihannya waktu pemilu. Kampanye suatu partai mungkin
diikuti secara meriah, tapi waktu pemilu partai politik bersangkutan hanya mendapat sedikit suara.
Hal ini menunjukkan kampanye hanya dilihat sebagai bagian mencari kesesuaian program partai
tersebut dengan pilihan konstituennya.
Penutup/Kesimpulan
1. Civil society bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk mengartikulasikan
kepentingan mereka, tetapi juga ada kesadaran secara horizontal dari kelompok masyarakat
untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerjasama dalam bingkai
keteraturan (ensemble of arrangement).
2. Demokrasi adalah semacam sistem yang lebih berorientasikan masyarakat (based on
communities). Berbeda dengan sistem otoritarianisme yang bisa berdiri tegak dengan memakai
aparatus ideologi negara saja, demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapatkan
dukungan riil masyarakat. Demokrasi yang hanya melibatkan segelintir elite politik biasanya
menjurus pada “otoritarianisme baru” atas nama demokrasi itu sendiri.
3. Pemerintahan demokratis selalu dicirikan oleh karakteristik sebagai berikut: setiap kebijakan
diputuskan dengan melibatkan keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam pemerintahan
(participation), tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di bawah (responsiveness),
bertumpu pada aspek penegakkan hukum (law enforcement) dan aturan hukum (rule of law),
terbuka terhadap keanekaragaman anggotanya (inclusiveness), bertumpu pada konsensus,
dapat dipertanggungjawabkan kepada anggotanya (accountability), efisien, efektif, stabil,
bersih (check and balance) dan adanya proses yang transparan (Saiful Mujani, 2001). Dengan
demikian, pemerintahan demokratis tergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic
10
engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja
pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan
hasil pertarungan di masyarakat.
11
DAFTAR PUSTAKA
Diamond, Larry. “Rethinking Civil Society”. Journal of Democracy 5 (1994)
Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Gardono, Iwan. “Wacana Civil Society di Indonesia”, dalam Jurnal Masyarakat Sipil, Nomor 9,
Tahun 2001.
Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1996.
Inglehart, Ronald. “The Renaissance of Political Culture”, Journal American Political Science
Review 82 (1999).
Laporan Penelitian Respons Pegawai Terhadap Pengembangan Etika Birokrasi di Lingkungan
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta (Jakarta: INCIS dan Bapinroh, 2002)
Putnam, Robert D. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton, NJ:
Princenton University Press. 1993.
Madjid,
Nurcholis. “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan
Kemungkinan”, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani:
Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka
Hidayah. 1999.
Mujani, Saiful. Religious Democrats: Democratic culture and Muslim Participation in Post
Suharto Era. Columbus: Ohio State University. 2001.
Stepan, Alfred. Rethinking Military Politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton University
Press. 1998.
Syadzily, Tb Ace Hasan dkk. Civil Society dan Demokrasi. Jakarta: INCIS.2003.
)* Penulis adalah Dosen Tetap Akademi Sekretari dan Manajemen Ariyanti
12
PERANAN MASYARAKAT SIPIL MENUJU
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA YANG DEMOKRATIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Ujian Akhir Semester
Matakuliah Teori Ilmu Administrasi (SPN-601)
Program Magister Pascasarjana
UNPAD
Disusun Oleh
13
Nama
: Idi Jahidi
NPM
: L2G 03024
Prog. Studi/BKU
: Ilmu Sosial/Ilmu Administrasi
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2004
14
Download