Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Anak Perempuan1 Adzkar Ahsinin I. Pendahuluan 1. Tindakan diskriminasi terhadap anak perempuan sampai saat ini masih banyak dijumpai meskipun Negara Republik Indonesia telah mengikatkan diri (consent to be bound) dengan meratifikasi hampir semua instrument Hukum HAM Internasional2, mengatur jaminan hak asasi berdasarkan isu tematik dalam peraturan perundang-undangan, dan program-program yang dicanangkan untuk menangani masalah tersebut. Langkah transformasi norma-norma universal hak asasi manusia menjadi norma-norma hukum positif dapat merujuk pada konstitusi3 dan undang-undang.4 Bahkan untuk memperkuat jaminan tersebut telah terbentuk institusi-institusi nasional5 dan daerah yang mempunyai mandat untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. 6 Di samping upaya-upaya tersebut, saat ini terdapat berbagai program aksi nasional melalui Rencana Aksi Nasional,7 aturan-aturan departemen teknis yang bertanggung jawab dalam bidang tertentu8, dan program-program afirmatif lainnya9 untuk menjamin penikmatan hak asasi manusia. Namun semua upaya tersebut belum mampu secara signifikan menghapus tindakan diskriminatif terhadap anak perempuan. 2. Kegagalan penghapusan tindakan diskriminasi terhadap anak perempuan karena upaya-upaya yang dilakukan hanya sebatas pada upaya mengatur jaminan penikmatan hak asasi manusia dalam peraturan perundangundangan dan kebijakan (legal frame work and state’s policy) tanpa diikuti langkah-langkah implementasi, monitoring dan evaluasi, penegakan hukum, dan penganggaran. Di sisi lain, upaya tranformasi norma-norma universal hak asasi manusia ke dalam hukum domestik mereduksi secara substansi Bahan Masukan untuk Laporan Alternatif Pemerintah Indonesia pelaksanaan Beijing Platform dari perspektif hak anak 1 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (1966) diratifikasi UU No. 12/2005; Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966) diratifikasi UU No. 11/2005; Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (1965) diratifikasi UU No. 29/1999; Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) diratifikasi UU No. 7/1994; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1984) diratifikasi UU No. 5/1998; Konvensi Hak Anak (1989) diratifikasi Keppres No. 36/1990; Konvensi ILO 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk diratifikasi UU No 1/2000 3 Amandemen kedua UUD 1945 tahun 2000 dalam Bab XA Pasal 28A-28J mengatur HAM 4 UU No. 39/1999 tentang HAM; UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAMUU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 5 Saat ini terdapat 3 (tiga) institusi nasional HAM dengan mandat dan konstituen yang berbeda, yakni Komisi Nasional HAM ; Komnas Perempuan; dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia 6 Saat ini telah terbentuk 6 (enam) Komisi HAM Daerah dan beberapa KPAID baik di Propinsi maupun Kota/Kabupaten 7 Keppres No. 59/2000 tentang RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak; Keppres No. 87/2002 tentang RAN Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN PESKA); Keppres No 88/2002 tentang RAN penghapusan perdagangan perempuan dan anak. 8 Surat Edaran No HK.00.07.1.3.1047a Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan; Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak 9 Kampanye Nasional Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di lingkungan Pariwisata pada tanggal 23 Juli 2003; Departemen sosial mengembangkan konsep Rumah Perlindungan Sosial Anak ( RPSA) sejak tahun 2004 yang berfungsi memberikan perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, dan reunifikasi bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus; Departemen pendidikan mengembangkan beberapa program antara lain : Bantuan Operasional Sekolah dan Bantuan Khusus Murid untuk murid SD dan SMP, mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, 2 1|Page semangat yang menjiwai instrumen hukum internasional hak asasi manusia. Proses reduksi tersebut terjadi pada level Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kota/Kabupaten, yakni : a. Tindakan ratifikasi disertai dengan reservasi10 berdampak pada daya laku ketentuan norma-norma universal hak asasi manusia mengalami reduksi b. Tranformasi ke dalam hukum publik melanggar prinsip kesesuaian dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia11 c. Pendelegasian kewenangan (otonomi daerah) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (desentralisasi) berdampak pada tereduksinya jaminan penikmatan hak asasi manusia suatu kelompok masyarakat12 d. Politik kebijakan anggaran publik berdampak pada tertutupnya akses penikmatan hak karena program pembangunan yang terkait dengan pemenuhan hak asasi tidak menjadi prioritas utama13 3. Proses reduksi tersebut bersumber pada : a. Terdapatnya kesenjangan informasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah b. Persoalan promosi hak asasi manusia masih terbatas pada instansi pemerintah yang mempunyai keterkaitan dan menjadi ruang lingkup kewenangannya berdasarkan tugas pokok dan fungsi institusi tersebut c. Paradigma kebijakan publik berdasar pendekatan berbasis hak anak (children mainstreaming public policy) belum terinstitusionalisasi dan terinternalisasi di kalangan aparat pemerintah baik pada level pusat maupun daerah d. Tidak terdapat data dasar (data base) mengenai peta permasalahan anak yang komprehensif dan tersegregasi berdasarkan kategorisasi jenis kelamin dan usia Reservasi yang seringkali dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia justru terkait dengan upaya untuk menekan komitmen Pemerintah melalui mekanisme hukum internasional. Upaya ratifikasi CRC, disertai reservasi melalui deklarasi yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pasal 1, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 29 akan disesuaikan dengan merujuk pada ketentuan UUD 1945. Ratifikasi terhadap CEDAW juga disertai dengan reservasi terhadap Pasal 29 paragraf 1. Lihat Canadian Human Rigths Foundation, Pemantauan dan AdvokasiHak Asasi Manusia, Lokakarya Pengawasan dan Advokasi Hak Asasi Manusia, 5-9 Mei, Jakarta, Indonesia, 2003, hal. 51-52 11 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak didasari pendekatan sekterian (berbasis agama) yang mana dampaknya akan menghalangi anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan perlindungan dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Adopsi merupakan alternatif bagi anak untuk medapatkan haknya tersebut. Prinsip yang mendasari hak ini menurut KHA adalah kepentingan terbaik untuk anak bukan berdasarkan agama atau keyakinan. Namun prinsip ini dilanggar oleh Pemerintah RI dalam mengatur permasalahan kuasa asuh, perwalian, pengasuhan, dan adopsi anak. Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan : Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya. Demikian pula masalah perwalian anak, Pasal 33 ayat (2) menyatakan : Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak. Kemudian masalah pengasuhan anak, Pasal 37 ayat (3) menyatakan : Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. Ayat selanjutnya menyatakan : Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. Pengaturan yang sama juga dijumpai Pasal 39 ayat (3) : Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Ayat (5) dari pasal yang sama menegaskan : Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. 12 Perda-Perda yang mengatur kemaksiatan yang ditetapkan oleh beberapa pemerintah daerah pasca desentralisasi lebih banyak menghalangi penikmatan hak asasi kelompok perempuan 13 Alokasi APBN/APBD lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin daripada alokasi untuk belanja pembangunan. Di samping itu alokasi anggaran antarsektor juga sering timpang. Kasus keluarnya PP No. 37/2006 menjadi bukti ketidakberpihakan Pemerintah terhadap pemenuhan hak asasi warga negara 10 2|Page 4. Berdasar sumber di atas maka terdapat fenomena-fenomena sebagai berikut : a. Wilayah potensi tindakan diskriminasi terhadap anak perempuan berada tidak hanya berada pada level Pemerintah Pusat saja, tetapi wilayah potensi tersebut meluas pada level Pemerintah Dearah seiring dengan otonomi daerah. Potensi ini dilakukan oleh aparat pemerintah daerah melalui kebijakan publik yang ditetapkannya b. Politik hak asasi manusia yang ditetapkan Pemerintah tidak memprioritaskan sumber daya yang ada untuk pemenuhan hak asasi anak khususnya bagi anak perempuan c. Pemerintah gagal merespon permasalahan-permasalahan (isu-isu) yang sangat spesifik yang dialami oleh sekelompok masyarakat d. Pemerintah gagal melaksanakan kewajibannya untuk menghapus tradisitradisi yang mendiskriminasi anak perempuan (harmful tradition against girl-child)14 II. Negara Belum Merespon Isu-Isu Spesifik terkait dengan Diskriminasi terhadap Anak Perempuan 5. Ketidakberpihakan Pemerintah dalam merespon isu-isu spesifik dan khas yang dialami oleh anak perempuan nampak dari ketiadaan undang-undang yang mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Kewajiban institusi pendidikan untuk menjamin hak anak perempuan yang hamil dan atau telah menikah tetap dapat melanjutkan ke jenjang pendidik yang lebih tinggi b. Penanganan, pelayanan, dan fasilitas aborsi yang aman bagi anak perempuan c. Larangan praktik-praktik sunat bagi anak perempuan (female genital mutilation/cutting) yang masih dilakukan dalam kehidupan masyarakat d. Larangan mempekerjakan anak perempuan sebagai pekerja rumah tangga dan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga e. Larangan perdagangan anak, perlindungan, dan penanganan khusus terhadap anak korban perdagangan anak f. Penghapusan praktik-praktik perhambaan yang sampai saat ini masih ditemui dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Sumba15 g. Penghapusan praktik-praktik kekerasan dengan alasan dan cara apapun yang menurunkan martabat kemanusiaan anak h. Penghapusan terhadap praktik-praktik budaya yang berpotensi melanggar hak-hak anak. III. Dampak Ketidakberpihakan Kebijakan Publik terhadap Anak Perempuan Kewajiban ini dicantumkan dalam Pasal 5 huruf a CEDAW yang menyatakan bahwa Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat; (a) untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapal penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan; 14 Praktek budaya perhambaan di Sumba Timur dapat di kategorikan dalam pelayanan (servitude) dimana karena adat istiadat, kelompok yang di sebut “ata” atau “anak-anak dalam rumah” terikat untuk hidup dan bekerja diatas tanah milik maramba nya dan memberikan pelayanan yang telah ditentukan kepada maramba tersebut baik dengan imbalan atau tidak, dan para ata atau “anak-anak dalam rumah” tersebut tidak bebas untuk merubah statusnya. Antarini Arna, et.al, Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Anak Berbasis Budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak ( LPA) Nusa Tenggara Timur, 2007 15 3|Page 6. Pendidikan Anak perempuan yang hamil dan atau telah menikah tidak dapat lagi melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi ini menyumbang tingginya angka anak perempuan putus sekolah. Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP. Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besardibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan jender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).16 7. Kesehatan Ketiadaan perlindungan hukum bagi anak perempuan yang melakukan aborsi dan tidak tersedianya fasilitas aborsi yang aman berakibat mereka melakukan aborsi secara terselebung tanpa ada jaminan terhadap kualitas layanan yang diberikan. Padahal angka aborsi di Inonesia mencapai 750.000 sampai 1.000.000 kejadian per tahun. Antara 40%-50% (sebagian besar adalah aborsi yang tidak aman) dilakukan oleh remaja perempuan. 17 Sementara itu, ketiadaan larangan praktik sunat terhadap anak perempuan berakibat di berbagai wilayah di Indonesia praktik-praktik tersebut masih dilakukan. Survey pada 2002 di Yogyakarta dan Madura menunjukkan tingginya pravelansi female genital cutting. Di Yogyakarta terdapat 43,5% dan di Madura 94,7%. Praktik semacam ini dimaknai sebagai sebuah ritual agama. Hasil survey menunjukkan indikasi tersebut. Di Yogyakarta masyarakat yang masih memaknai tradisi ini berdasarkan alasan agama mencapai 31%, sementara itu di Madura menunjukkan 79,3%.18 8. Perlindungan Hukum Pekerja rumah tangga di Indonesia tidak dianggap sebagai pekerja dan tidak termasuk dalam peraturan ketenagakerjaan nasional yang menjamin hak-hak dasar di bidang ketenagakerjaan seperti upah minimum, upah lembur, delapan jam kerja per hari dan empat puluh jam kerja seminggu, satu hari libur dalam seminggu, liburan, dan jaminan sosial bagi pekerja di sektor formal. Pengecualian dari hak-hak di atas yang dialami oleh pekerja rumah tangga menyebabkan tidak adanya perlindungan setara bagi mereka di mata hukum; hal ini menimbulkan dampak diskriminatif terhadap perempuan dan anak-anak yang merupakan mayoritas terbesar pekerja rumah tangga. Menurut ILO, saat ini ada 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, sedikitnya 688.132, sebagian besar adalah anak-anak perempuan di bawah usia delapan belas tahun, adalah pekerja rumah tangga- anak.19 Upaya penghapusan praktik-praktik perhambaan yang berdampak pada terjadinya kekerasan fisik sudah semestinya dirubah melalui aturan hukum. Di Sumba, Lembar Fakta UNICEF : Pendidikan untuk Anak Perempuan Indonesia PKBI, Kebutuhan akan Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja : Laporan Need Assessment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon, dan Tasikmalaya, PKBI, UNPF, dan BKKBN, 2001, hal. 8 18 Muhajir Darwin, et.al, Male and Female Genital Cutting : Konteks, Makna, dan Keberlangsungan Praktik dalam Masyarakat Yogyakarta dan Madura, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, tanpa tahun, hal. 13-15 19 Human Rights Watch, Selalu Siap Disuruh Pelecehan dan Eksploitasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, Vol. 17, No. 7 (C), Juni 2005, hal. 10 16 17 4|Page kekerasan fisik karena praktik perhambaan dialami oleh anak-anak terutama anak-anak golongan ata karena kondisi subordinasi orang tuanya di karenakan status sosialnya. Anak-anak golongan ata mengalami kekerasan ganda, yakni yang dilakukan oleh orang tuanya dan maramba serta keluarga maramba lainnya.20 Sementara ketiadaan undang-undang yang mengatur tindak pidana perdagangan anak memicu kenaikan angka perdangangan anak. Di Indonesia, diperkirakan 30% pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun.21 IV. Rekomendasi 9. Tindakan diskriminasi yang masih terjadi dan dialami oleh anak perempuan seharusnya direspon oleh Pemerintah melalui upaya-upaya sebagai berikut : a. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip normanorma hak asasi manusia universal. Peraturan perundang-undangan yang perlu segera direvisi meliputi : 1) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak karena berbasis sekterian (pendekatan agama) khususnya yang menyangkut dan mengatur permasalahan kuasa asuh, perwalian, pengasuhan, dan adopsi anak. 2) UU No. 23 /1992 tentang Kesehatan karena UU ini sangat minim mengatur tentang pemenuhan hak anak atas derajat kesehatan yang optimal. Hak anak atas kesehatan hanya diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 17. Pasal-pasal tersebut tidak secara eksplisit mengatur hak anak atas fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan reproduksi termasuk hak anak perempuan untuk melakukan aborsi yang aman. 3) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional belum mengatur hak anak perempuan yang hamil dan atau menikah untuk melanjutkan pendidikan dan kewajiban institusi pendidikan untuk membuka akses dan perlakuan khusus bagi mereka. Di samping itu larangan praktek penghukuman fisik (corporal punishment) dan pendisiplinan dengan kekerasan di sekolah-sekolah semestinya juga diatur dalam revisi tersebut. 4) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur perlindungan hukum bagi PRT dan larangan untuk mempekerjakan anak sebagai PRT 5) Peningkatan landasan hukum ratifikasi Konvensi Hak Anak berdasarkan Keppres 36/1990 menjadi undang-undang karena tidak dapat menjadi rujukan hukum 6) Meninjau kembali Peraturan Daerah yang mengatur dan membatasi perempuan termasuk anak perempuan untuk mengekspresikan hakhak asasi mereka berbasis syariah melalui executive review Hukum HAM Internasional secara konsisten tetap melarang perbudakan dan praktek yang menyerupai perbudakan. Statuta Roma untuk Pengadilan Pidana Internasional yang di adopsi PBB pada tahun 1998 memasukkan praktek memperbudak (enslavement) sebagai salah satu kategori Kejahatan Kemanusiaan (crimes against humanity). Pasal 7 C Statuta Roma tahun 1978 menjelaskan bahwa yang disebut memperbudak adalah :”tindakan penguasaan atas diri seseorang berdasarkan hak kepemilikan, termasuk tindakan penguasaan untuk memperjual-belikan manusia terutama perempuan dan anakanak.”. Antarini Arna, et.al, Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Anak Berbasis Budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak ( LPA) Nusa Tenggara Timur, 2007 21 Lembar Fakta UNICEF : Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak. 20 5|Page b. Menerbitkan kebijakan di bidang pendidikan yang menjamin agar setiap anak perempuan yang hamil dan atau telah menikah dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak perempuan c. Mendorong adanya mekanisme penanganan dan pendekatan khusus anak korban perdagangan orang d. Meningkatkan akses layanan fasilitas bagi anak perempuan yang akan melakukan aborsi yang aman dan memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan aborsi tersebut e. Menghapus praktik-praktik budaya dan ritualitas agama yang mengancam integritas, kehormatan, dan martabat anak perempuan seperti : budaya ngenger merupakan ancaman terhadap PRT Anak; female genital cutting yang mengancam hak reproduksi perempuan; dan perhambaan di Sumba f. Mengalokasikan anggaran secara khusus untuk menjamin pemenuhan hak asasi anak perempuan 6|Page