Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan

advertisement
Analisis Stabilitas
dan Sistem Perbankan
Triwulan II 2016
Equity Tower Lt 20, 21 & 39
Sudirman Central Business District
Jl. Jend. Sudirman Kav 52 - 53
(SCBD)
Jakarta 12190
Ringkasan Laporan








Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5,0% pada tahun 2016, turun 30 bps dari proyeksi
kami sebelumnya yang sebesar 5,3%.
Nilai tukar rupiah diprediksi mencapai Rp 13.250/US$ pada akhir tahun 2016, sedikit lebih
lemah dari perkiraan kami sebelumnya di Rp 13.200/US$.
Kami memperkirakan rata-rata inflasi sebesar 4% di sepanjang tahun 2016 dengan posisi akhir
tahun di 4,2%. BI 7-day (reverse) repo rate diprediksi bertahan di 5,25% hingga akhir tahun ini.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan beberapa faktor eksternal-domestik sempat
menimbulkan tekanan kepada pasar SUN Indonesia.
Kebijakan Tax Amnesty yang dikombinasikan dengan kondisi fundamental dalam negeri yang
cukup kuat diperkirakan akan menekan Yield SUN.
Pertumbuhan kredit yang rendah sampai dengan awal kuartal 2-2016 juga dipicu oleh
melemahnya penyaluran kredit dalam valuta asing.
Likuiditas perbankan hingga bulan April 2016 masih terjaga dengan baik. Ditunjukkan dengan
LDR yang berada pada kisaran 89,5%. Pertumbuhan DPK yang rendah diimbangi oleh
pertumbuhan kredit yang juga rendah.
Angka BSI pada bulan Mei 2016 mengalami penurunan sebesar 3 bps bila dibandingkan
dengan angka BSI pada bulan April 2016, yaitu dari 99,65 menjadi 99,62. Angka CP (Credit
Pressure) naik sebesar 2 bps dari 99,88 menjadi 99,90, angka IP (Interbank Pressure) naik
sebesar 45 bps dari 98,63 menjadi 99,08 dan angka MP (Market Pressure) turun sebesar 12
bps dari 100,16 menjadi 100,04. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol
(CMP) angka BSI saat ini masih berada pada kondisi “Normal”.
1
Update Risiko serta Prospek
Perekonomian dan Sistem Keuangan
Update Risiko serta Prospek Perekonomian dan Sistem Keuangan
Mochammad Doddy Ariefianto, Seto Wardono
 Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5,0% pada tahun 2016, turun 30 bps dari proyeksi kami
sebelumnya yang sebesar 5,3%.
 Nilai tukar rupiah diprediksi mencapai Rp 13.250/US$ pada akhir tahun 2016, sedikit lebih lemah
dari perkiraan kami sebelumnya di Rp 13.200/US$.
 Kami memperkirakan rata-rata inflasi sebesar4% di sepanjang tahun 2016 dengan posisi akhir
tahun di 4,2%. BI 7-day (reverse) repo rate diprediksi bertahan di 5,25% hingga akhir tahun ini.
Kami telah melakukan updating terhadap profil risiko serta prospek perekonomian dan sistem
keuangan Indonesia. Ekonomi dan sistem keuangan Indonesia pada kuartal I 2016 secara kualitatif
berada dalam kondisi normal yang sama dengan kondisi pada kuartal sebelumnya. Dari enam aspek
yang kami pantau, terdapat tiga aspek yang mengalami pelemahan kinerja pada kuartal I lalu, yaitu
aktivitas bisnis domestik, kebijakan fiskal, dan sistem perbankan. Kinerja aspek neraca pembayaran
dan nilai tukar serta aspek harga dan kebijakan moneter tidak berubah, namun aspek pasar keuangan
mengalami perbaikan. Sedangkan, aktivitas bisnis domestik menjadi satu-satunya aspek yang
mengalami perbaikan prospek. Prospek harga dan kebijakan moneter stabil, sementara prospek pada
aspek lain melemah.
Normal
Waspada
Ditengarai Krisis
Siaga
6
Outlook
NPNT: Neraca Pembayaran & Nilai Tukar
ABD: Aktivitas Bisnis Domestik
HKM: Harga & Kebijakan Moneter
KBF: Kebijakan Fiskal
PKU: Pasar Keuangan
SPB: Sistem Perbankan
5
4
3
PKU
NPNT
ABD
2
SPB
KBF
1
4Q15
1Q16
HKM
Kinerja
0
0
1
2
3
4
5
6
Sumber: LPS
Gambar 1. Peta Risiko Kualitatif Perekonomian dan Sistem Keuangan
3
Aktivitas Bisnis Domestik
Terhambatnya momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2016 mendasari
pelemahan kinerja aspek aktivitas bisnis domestik. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh
4,92% y/y pada kuartal I lalu, lebih rendah dari 5,04% pada kuartal sebelumnya. Ini terjadi menyusul
percepatan pertumbuhan pada kuartal III dan kuartal IV 2015. Perlambatan pertumbuhan ekonomi
kali ini didorong oleh pelemahan investasi dan konsumsi pemerintah. Investasi fisik (pembentukan
modal tetap bruto atau PMTB) tercatat tumbuh 5,57% pada kuartal itu, turun dari 6,9% pada kuartal
IV 2015. Pada saat yang sama, pertumbuhan konsumsi pemerintah melambat dari 7,31% menjadi
2,93%. Sementara itu, kontraksi ekspor dan impor sebesar 3,88% dan 4,24% y/y berimplikasi pada
kontribusi ekspor bersih terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03 poin persentase (ppts) di
kuartal I lalu, jauh di bawah kontribusi kuartal sebelumnya yang sebesar 0,36 ppts.
Kami melihat perbaikan prospek aktivitas bisnis domestik dalam jangka pendek yang didasari
oleh ekspektasi penguatan konsumsi swasta dan konsumsi pemerintah. Naiknya permintaan barang
dan jasa menjelang Idul Fitri pada awal Juli 2016 diperkirakan akan menopang konsumsi swasta. Selain
itu, konsumsi swasta akan didukung oleh pemulihan penjualan kendaraan bermotor (Gambar 2 kiri).
Percepatan realisasi belanja produktif pemerintah pusat juga dapat mendukung perbaikan aktivitas
ekonomi di kuartal II 2016. Total realisasi belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal
pemerintah pusat (yang diperhitungkan dalam PDB) tumbuh 39,11% y/y pada April 2016. Angka ini
lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan y/y periode Januari, Februari, dan Maret 2016 yang sebesar
31,23%. Di sisi lain, indikator bulanan belum menunjukkan adanya pemulihan investasi fisik (Gambar
2 kanan).
Penjualan Otomotif dan Penjualan Eceran
90 3M Sum,
% y/y
Konsumsi Semen dan Impor Barang Modal
60 3M Sum,
% y/y
45
60
30
30
15
0
0
-15
Konsumsi Semen
Impor Barang Modal
Nov-15
May-16
May-15
Nov-14
Nov-13
May-14
Nov-12
May-13
May-12
Nov-10
May-11
Nov-09
-45
May-10
Eceran
May-09
Mobil
May-06
Nov-06
May-07
Nov-07
May-08
Nov-08
May-09
Nov-09
May-10
Nov-10
May-11
Nov-11
May-12
Nov-12
May-13
Nov-13
May-14
Nov-14
May-15
Nov-15
May-16
-60
-30
Sepeda Motor
Nov-11
-30
Sumber: Astra International, BI, CEIC
Gambar 2. Perkembangan Indikator Konsumsi dan Investasi
Kami menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,3% menjadi 5%.
Pada tahun 2017, PDB diprediksi tumbuh 5,3%, juga lebih rendah dari perkiraan kami sebelumnya
yang sebesar 5,5%. Revisi ke bawah dari angka proyeksi ini terutama didasari oleh realisasi kuartal I
yang lebih rendah dari ekspektasi serta mulai pudarnya momentum pemulihan investasi fisik
sebagaimana terlihat dari perkembangan indikator bulanan investasi seperti konsumsi semen dan
4
impor barang modal. Aktivitas ekonomi pada tahun ini akan didorong oleh konsumsi swasta yang tetap
kuat serta pelonggaran kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia (BI).
Di sisi lain, berlanjutnya perlambatan ekonomi China dan penurunan harga komoditas menjadi
downside risk bagi prospek ekonomi Indonesia ke depan. Survei Consensus Economics pada Juni 2016
terhadap para ekonom menunjukkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,6% pada tahun
2016 dan 6,3% pada tahun 2017, lebih rendah dari 6,9% pada tahun 2015. Sementara, Dana Moneter
Internasional (IMF) pada April lalu memprediksi penurunan indeks harga komoditas sebesar 20,77%
pada tahun 2016, meski indeks harga ini diyakini akan naik 6,54% pada tahun 2017. Pada tahun ini,
harga beberapa produk ekspor utama Indonesia seperti minyak mentah, gas alam, batu bara, karet,
tembaga, timah, dan nikel diperkirakan masih akan turun. Akan tetapi, IMF melihat adanya kenaikan
pada harga minyak sawit.
Harga dan Kebijakan Moneter
Kinerja aspek harga dan kebijakan moneter pada kuartal I 2016 secara kualitatif tidak berbeda
dengan kinerja di kuartal sebelumnya. Inflasi y/y mengalami kenaikan dari 3,35% pada Desember 2015
menjadi 4,45% pada Maret 2016, terutama disebabkan oleh kenaikan harga komoditas pangan yang
bersifat musiman. Meski demikian, inflasi inti malah mengalami penurunan dari 3,95% menjadi 3,5%
pada periode yang sama. Faktor kenaikan inflasi secara umum pada kuartal I lalu diimbangi oleh faktor
pelonggaran kebijakan moneter. BI menurunkan policy rate-nya masing-masing sebesar 25 basis poin
(bps) pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016. Di bulan Februari, BI juga memutuskan untuk
menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) primer rupiah dari 7,5% menjadi 6,5%. Pelonggaran
kebijakan ini ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah membaiknya prospek
inflasi, yang terpengaruh oleh penurunan harga minyak, dan terkendalinya defisit neraca berjalan.
Inflasi Indeks Harga Konsumen
18
% y/y
% y/y
%
Bunga Deposit Facility
20
Bunga Lending Facility
15
8
BI Rate
16
12
6
12
4
8
2
4
Inflasi Headline
3
Jun-16
Jun-15
Jun-14
Jun-13
Jun-11
Jun-10
Jun-09
Jun-08
0
Jun-07
Nov-15
May-16
May-15
Nov-14
Nov-13
May-14
May-13
Nov-12
Nov-11
May-12
Nov-10
May-11
Nov-09
0
May-10
6
Inflasi Pangan (Kanan)
0
May-09
9
Jun-06
Inflasi Inti
BI 7-Day (Reverse) Repo Rate
Jun-12
10
Sumber: BI, BPS, CEIC, LPS
Gambar 3. Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Kebijakan
Kami tidak melihat adanya perubahan pada prospek harga dan kebijakan moneter dibanding
pada kuartal IV 2015. Dalam jangka pendek, inflasi diperkirakan menguat akibat lonjakan permintaan
barang dan jasa selama bulan puasa, namun setelah itu tekanan harga akan mengalami normalisasi.
Sementara, BI telah memanfaatkan ruang yang ada untuk melonggarkan kebijakannya pada bulan Juni
5
ini. Setelah memangkas BI rate sebesar 75 bps selama kuartal I 2016, BI kembali menurunkan bunga
acuan itu sebesar 25 bps menjadi 6,5% pada 16 Juni 2016. Pada saat yang sama, BI 7-day (reverse)
repo rate, bunga acuan baru yang akan diberlakukan mulai Agustus mendatang, juga dipangkas 25 bps
menjadi 5,25%. Penurunan suku bunga ini dilengkapi dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial
yang mencakup: 1) relaksasi ketentuan loan to value (LTV) dan financing to value (FTV)
kredit/pembiayaan properti; 2) pelonggaran kredit/pembiayaan melalui mekanisme inden dengan
pengaturan pencairan kredit/pembiayaan bertahap sesuai progress pembangunan properti sampai
dengan fasilitas kredit/pembiayaan kedua; serta 3) peningkatan batas bawah loan to funding ratio
terkait giro wajib minimum (GWM-LFR) dari 78% menjadi 80% dengan batas atap tetap sebesar 92%.
Sama seperti BI 7-day (reverse) repo rate, kebijakan makroprudensial yang baru tersebut juga akan
berlaku pada bulan Agustus 2016.
Kami merevisi proyeksi inflasi rata-rata tahun 2016 dari 4,3% menjadi 4%. Pada akhir tahun ini,
inflasi diprediksi mencapai 4,2%. Perubahan angka proyeksi ini merespons realisasi inflasi hingga bulan
Mei 2016 yang terbilang sangat rendah (3,33% y/y atau 0,4% year to date)dan di bawah perkiraan
kami. Selain itu, perbaikan prospek inflasi ke depan juga dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi dan harga
komoditas yang masih lemah. Perbaikan realisasi dan prospek inflasi yang terjadi di tengah kondisi
ekonomi makro yang stabil telah mendorong BI untuk melonggarkan kembali kebijakan moneternya
di bulan Juni. Pada semester II 2016, BI 7-day (reverse) repo rate kami perkirakan akan bertahan di
level 5,25%. Di tengah potensi kenaikan Fed rate di paruh kedua tahun ini, keputusan untuk
mempertahankan policy rate kami nilai sangat penting untuk menjaga daya tarik aset berbasis rupiah
di mata investor global dan mengurangi tekanan capital outflow. Di sisi lain, kami juga melihat risiko
penurunan bunga acuan lebih lanjut jika pertumbuhan kredit dan aktivitas ekonomi tidak bergerak
sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) juga dapat menjadi
game changer yang mendorong masuknya arus modal dan mengurangi kebutuhan untuk
mempertahankan suku bunga di level saat ini.
Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar
Secara kualitatif, kinerja aspek neraca pembayaran dan nilai tukar bisa dikatakan tidak berubah
pada kuartal I 2016 karena munculnya defisit neraca pembayaran diimbangi oleh apresiasi rupiah dan
kenaikan cadangan devisa. Neraca pembayaran mengalami defisit sebesar US$ 287 juta pada kuartal
I 2016, menyusul surplus sebanyak US$ 5,09 miliar pada kuartal sebelumnya. Defisit ini muncul akibat
anjloknya surplus neraca finansial dari US$ 9,83 miliar menjadi US$ 4,17 miliar, meski di sisi lain terjadi
penurunan defisit neraca berjalan dari US$ 5,08 miliar menjadi US$ 4,67 miliar.
Meski defisit neraca pembayaran kembali muncul, cadangan devisa mengalami kenaikan dari
US$ 105,93 miliar pada akhir Desember 2015 menjadi US$ 107,54 miliar pada akhir Maret 2016.
Penambahan cadangan devisa ini antara lain didukung oleh penerbitan sukuk valas pemerintah dan
lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas. Sejalan dengan peningkatan cadangan devisa ini,
rata-rata nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dari Rp 13.773/US$ pada kuartal IV 2015 menjadi Rp
13.527/US$ pada kuartal I 2016. Secara point to point, rupiah juga menguat dari Rp 13.795/US$ pada
akhir Desember 2015 menjadi Rp 13.276/US$ pada akhir Maret 2016. Penguatan rupiah juga terjadi
terhadap satu keranjang mata uang secara nominal dan riil, sebagaimana terlihat dari kenaikan indeks
nilai tukar efektif nominal (NEER) dan nilai tukar efektif riil (REER).
6
Neraca Pembayaran
16
15.000
Miliar US$
65
Rp/US$
14.000
12
8
4
70
NEER (Kanan)
13.000
75
REER (Kanan)
12.000
80
11.000
85
10.000
90
9.000
95
100
105
Nov-15
May-16
Nov-14
May-15
Nov-13
May-14
Nov-12
May-13
Nov-11
May-12
Nov-10
May-11
1Q16
3Q15
3Q14
1Q15
1Q14
3Q13
1Q13
7.000
1Q12
Neraca Finansial
3Q12
Neraca Berjalan
3Q11
Neraca Pembayaran
1Q11
1Q10
-16
Basic Balance
3Q10
-12
8.000
Nov-09
-8
May-10
-4
May-09
0
Sumber: BI, BIS, LPS
Gambar 4. Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar Rupiah
Prospek neraca pembayaran dan nilai tukar dalam jangka pendek mengalami pelemahan akibat
potensi pelebaran defisit neraca berjalan yang sesuai dengan pola musimannya. Ekspektasi kenaikan
defisit neraca berjalan ini terutama didasari oleh potensi kenaikan impor untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang tinggi menjelang Idul Fitri. Meski demikian, kami mempertahankan proyeksi defisit
neraca berjalan tahun 2016 dan 2017 di angka 2,3% dan 2,5% dari PDB, melebihi realisasi defisit
sebesar 2% pada tahun 2015. Dengan memperhitungkan dampak kebijakan pengampunan pajak yang
kemungkinan akan mulai diberlakukan pada semester II 2015, kami melihat adanya surplus neraca
modal dan finansial yang besar, terutama ditopang oleh investasi langsung dan investasi portofolio
asing yang masih tinggi. Dengan perkembangan tersebut, neraca pembayaran diprediksi mengalami
surplus sebanyak US$ 12,34 miliar pada tahun ini, sehingga mendukung kenaikan cadangan devisa dari
US$ 105,93 miliar pada akhir 2015 menjadi US$ 118,85 miliar pada akhir 2016.
Kami memperkirakan rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun ini di level Rp 13.300/US$, lebih
lemah dari perkiraan kami sebelumnya yang sebesar Rp 13.200/US$. Kami juga merevisi proyeksi
rupiah di akhir 2016 dari Rp 13.200/US$ menjadi Rp 13.250/US$. Revisi proyeksi ini dilatarbelakangi
oleh meningkatnya ketidakpastian eksternal yang bersumber dari referendum Inggris untuk keluar
dari Uni Eropa (Brexit) pada bulan Juni ini dan ekspektasi kenaikan Fed rate menjelang akhir tahun.
Brexit, jika benar terjadi, dikhawatirkan akan mendorong perekonomian Inggris ke arah resesi serta
akan berdampak negatif bagi perekonomian dan pasar keuangan Eropa.
Sementara itu, 9 dari 17 anggota komite pembuat kebijakan (FOMC) di Federal Reserve (the
Fed) melihat kenaikan Fed rate sebesar 50 bps pada semester II 2016. Berbeda dengan anggota FOMC,
mayoritas pelaku pasar masih memprediksi bahwa Fed rate akan bertahan di posisi 0,25%–0,5%, tapi
peluang kenaikan Fed rate sebesar 25 bps mengalami peningkatan. Pergerakan futures pada akhir
2015 menunjukkan probabilita 21,6% bahwa Fed rate akan berada di kisaran 0,5%–0,75% pada akhir
2016. Namun demikian, data per 15 Juni 2016 menunjukkan probabilita peristiwa yang sama sebesar
33,8%.
7
2012
2013
2014
2015
2016P
2017P
-24,418
-29,109
-27,510
-17,654
-21,665
-25,471
8,680
5,833
6,983
13,289
9,872
7,569
Ekspor
187,346
182,089
175,293
148,365
137,532
139,945
Impor
-178,667
-176,256
-168,310
-135,076
-127,660
-132,376
Jasa-Jasa
-10,564
-12,070
-10,010
-8,301
-5,931
-6,309
Pendapatan Primer
-26,628
-27,050
-29,703
-28,151
-31,256
-32,644
4,094
4,178
5,220
5,508
5,651
5,913
24,909
21,971
44,943
16,911
33,801
32,596
Investasi Langsung
13,716
12,170
14,733
9,943
10,035
12,939
Investasi Portofolio
9,206
10,873
26,067
16,750
22,401
17,722
Transaksi Modal dan Finansial Lain
1,986
-1,072
4,143
-9,782
1,365
1,935
215
-7,325
15,249
-1,098
12,343
7,125
112,781
99,387
111,862
105,931
118,845
124,820
-2.7
-3.2
-3.1
-2.0
-2.3
-2.5
Transaksi Berjalan
Barang
Pendapatan Sekunder
Transaksi Modal dan Finansial
Neraca Keseluruhan
Memorandum:
Cadangan Devisa (akhir periode)
Transaksi Berjalan (% PDB)
Sumber: BI, LPS
Tabel 1. Neraca Pembayaran:Aktual dan Proyeksi (Juta US$)
Sistem Perbankan
Pelemahan kualitas kredit serta perlambatan pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK)
menjelaskan pelemahan kinerja aspek perbankan di kuartal I 2016. Rasio kredit bermasalah (NPL)
bruto perbankan naik dari 2,49% pada Desember 2015 menjadi 2,83% pada Maret 2016. Kenaikan
rasio NPL ini juga dibarengi oleh percepatan pertumbuhan y/y NPL nominal dari 27,14% menjadi
27,91%. Di periode yang sama, pertumbuhan y/y kredit perbankan melambat dari 10,44% menjadi
8,71%, bersamaan dengan turunnya pertumbuhan DPK dari 7,26% ke 6,44%. Walau demikian,
indikator profitabilitas dan permodalan perbankan mengalami perbaikan. Rasio laba terhadap aset
(ROA) di saat yang sama naik dari 2,32% menjadi 2,44%, sedangkan rasio kecukupan modal (CAR)
meningkat ke 22% dari 21,39%. Selain itu, kinerja aspek perbankan juga didukung oleh pelonggaran
likuiditas yang tercermin dari penurunan rasio kredit terhadap simpanan (LDR) dari 91,95% menjadi
89,52%.
Prospek aspek perbankan juga kami pandang melemah, selaras dengan ekspektasi berlanjutnya
tekanan terhadap kualitas kredit serta pertumbuhan kredit dan DPK akibat aktivitas ekonomi yang
masih lemah. Rasio NPL pada April 2016 terus meningkat menjadi 2,93%, meski pertumbuhan NPL
nominal sedikit melambat ke 27,3%. Sedangkan, pertumbuhan y/y kredit dan DPK terus menurun di
bulan April hingga mencapai 7,95% dan 6,18%. Dengan memperhatikan perkembangan ini, kami pun
menurunkan proyeksi pertumbuhan kredit tahun ini dari 13% menjadi 10%. Proyeksi pertumbuhan
DPK tahun ini juga dipangkas dari 10,2% menjadi 8%. Pada semester II 2016, eksekusi anggaran belanja
pemerintah pusat dan daerah akan menjadi faktor terpenting yang menentukan arah DPK.
8
90
28
80
21
70
14
60
7
50
Kredit
DPK
LDR (Kanan)
0
Apr-15
Apr-16
Apr-14
Apr-13
Apr-11
Apr-12
Apr-10
40
Apr-08
Apr-16
Apr-14
Apr-15
Apr-13
Apr-11
Apr-12
-40
Apr-10
0
Apr-08
0
Apr-09
2
Apr-07
40
Apr-06
4
Apr-04
80
Apr-05
6
100
35
Apr-09
120
NPL Nominal (Kanan)
% y/y
%
Apr-07
Rasio NPL
8
42
Apr-05
160
Apr-06
% y/y
%
Apr-04
10
Sumber: BI, CEIC, LPS
Gambar 5. NPL, Kredit, dan DPK Perbankan
Pasar Keuangan
Kenaikan harga saham dan surat berharga negara (SBN) serta penurunan credit default swap
(CDS) Indonesia melatarbelakangi perbaikan kinerja pasar keuangan pada kuartal I 2016. Indeks harga
saham gabungan (IHSG) secara point to point mengalami kenaikan sebanyak 5,49% pada kuartal
tersebut, terutama didorong oleh pembelian bersih (net buy) investor asing sebanyak Rp 4,11 triliun.
Di segmen SBN, peningkatan kepemilikan asing sebanyak Rp 47,56 triliun juga menjadi faktor penting
yang memicu penurunan yield. Yield SBN bertenor 10 tahun, misalnya, mengalami penurunan sekitar
108 bps dari posisi akhir Desember 2015 menjadi 7,67% pada akhir Maret 2016. Kondisi ini sejalan
dengan membaiknya persepsi risiko investasi di Indonesia yang tercermin dari penurunan CDS. Data
Bloomberg menunjukkan penurunan CDS Indonesia bertenor lima tahun sebanyak 36,34 poin selama
kuartal I 2016 menjadi 196,67.
Secara kualitatif, prospek pasar keuangan kami nilai melemah akibat pertumbuhan ekonomi
yang belum optimal serta potensi kenaikan volatilitas pasar yang merespons ketidakpastian timing
kenaikan Fed rate dan risiko geopolitik eksternal. Kenaikan volatilitas di pasar keuangan global telah
terlihat dari peningkatan indeks VIX dari 13,95 pada akhir Maret 2016 menjadi 19,41 pada 17 Juni
2016. Berbagai faktor ini mendasari pemikiran kami untuk merevisi proyeksi yield SBN kami ke atas.
Kami kini memperkirakan rata-rata yield SBN bertenor 5 dan 10 tahun di posisi 7,4% dan 7,8% pada
tahun ini, lebih tinggi dari proyeksi kami sebelumnya yang berada di angka 7,1% dan 7,5%. Meski
demikian, angka proyeksi terbaru itu tetap lebih rendah dari realisasi yield tahun 2015 yang sebesar
8,1% dan 8,2%. Penurunan yield SBN pada tahun ini didukung oleh permintaan investor yang tetap
kuat, penurunan inflasi, serta pelonggaran kebijakan moneter.
Kebijakan Fiskal
Kami melihat adanya pelemahan kinerja pada aspek kebijakan fiskal yang disebabkan oleh
kenaikan realisasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), penurunan pendapatan
negara, serta kenaikan rasio utang pemerintah. Realisasi defisit APBN selama kuartal I 2016 mencapai
Rp 143,27 triliun atau 4,86% PDB. Jika dilihat selama setahun (kuartal II 2015 hingga kuartal I 2016),
9
defisit anggaran tercatat sebanyak Rp 351,65 triliun atau 2,99% PDB, mendekati batas atas total defisit
yang sebesar 3% PDB. Defisit yang besar ini muncul akibat penurunan pendapatan negara sebesar
12,73% y/y yang terjadi bersamaan dengan kenaikan belanja sebesar 6,39%. Sementara, rasio utang
pemerintah terhadap PDB meningkat dari 26,85% pada kuartal IV 2015 menjadi 27,82% pada kuartal
I 2016, yang tertinggi sejak kuartal III 2009.
Prospek kebijakan fiskal juga kami pandang melemah, sejalan dengan prospek pertumbuhan
ekonomi yang masih terbatas. Pelemahan prospek pertumbuhan ekonomi berimbas pada penurunan
proyeksi pendapatan negara. Pemerintah sendiri telah mengajukan revisi target pendapatan tahun ini
dari Rp 1.822,55 triliun menjadi Rp 1.734,5 triliun untuk mendapat persetujuan parlemen. Pelemahan
di sisi penerimaan juga mendorong pemerintah untuk menurunkan anggaran belanjanya dari Rp
2.095,72 triliun menjadi Rp 2.047,84 triliun agar defisit anggaran tetap berada di level yang aman.
10
Pasar Keuangan
Yield Obligasi ditengah isu Fed Rate, Brexit dan Tax Amnesty
Hendra Syamsir
 Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan beberapa faktor eksternal-domestik sempat
menimbulkan tekanan kepada pasar SUN Indonesia.
 Kebijakan Tax Amnesty yang dikombinasikan dengan kondisi fundamental dalam negeri yang
cukup kuat diperkirakan akan menekan Yield SUN.
Isu-Isu yang menggerakan pasar selama Bulan Mei dan Juni 2016
Pasar obligasi selama dua bulan terakhir ini digerakkan oleh tiga isu besar dari luar negeri dan
dua isu besar dari dalam negeri. Isu besar dari luar negeri terkait dengan keputusan Federal Reserve
(the Fed) dan pertemuan Bank Sentral Jepang (BOJ) tanggal 15 Juni 2016 serta referendum terkait
keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) tanggal 23 juni 2016. Sementara dari dalam negeri, isu yang
menggerakan pasar datang dari rapat dewan gubernur Bank Indonesia (BI) tanggal 15-16 Juni 2016
dan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty).
Ketika tulisan ini dibuat, lima isu besar di atas telah diketahui hasilnya, di mana the Fed tetap
mempertahankan suku bunganya serta merevisi target kenaikan suku bunga di 2017 dan 2018 dari
empat kali menjadi tiga kali dan merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS)
tahun 2016 dan 2017. Dari Jepang, BOJ telah mengumumkan untuk mempertahankan kebijakan
moneternya dengan suku bunga negatif dan BI mengumumkan penurunan BI rate dari 6,75% menjadi
6,5%. Terakhir dari Inggris, kita bisa melihat hasil referendum yang memutuskan Inggris untuk keluar
dari Uni Eropa dan akhirnya isu puncak pemberlakuan Tax Amnesty akhirnya disetujui oleh DPR.
Secara urutan, sebenarnya isu kenaikan Fed rate dan Brexit lebih banyak mempengaruhi
pergerakan pasar sepanjang bulan Mei dan awal Juni, di mana yield obligasi pemerintah bertenor 10
tahun sempat naik hingga 17–19 basis poin (bps) per Mei 2015 yang lalu. Namun demikian, setelah
kembali diundurnya jadwal kenaikan Fed rate dan turunnya BI rate, pasar kembali barbalik arah dan
yield pun kembali bergerak turun di paruh pertama bulan Juni 2016, terutama setelah pengumuman
turunnya BI rate dan disahkannya tax amnesty.
Dari lima isu di atas, menurut kami ada dua isu yang yang membawa dampak terbesar pada
pasar finansial, yaitu keputusan keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebagaimana hasil referendum dan
isu tax amnesty. Harian the Guardian (www.theguardian.com) menulis paska kemenangan kubu leave
dari referendum brexit, pasar finansial dunia mengalami penurunan nilai sekitar US$ 2 triliun,
sementara pound sterling mencetak pelemahan terbesar dalam 31 tahun terakhir. Secara teori,
tentunya kejadian di pasar finanssial global ini tentu sedikit banyak akan berpengaruh pula pada pasar
financial domestic.
Sementara itu, disisi lain penerapan tax amnesty dengan potensi masuknya dana repatriasi akan
menjadi faktor dominan untuk menekan Yield. Berdasarkan survei dari Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) atas 10 ribu pengusaha pada bulan Mei 2016 yang lalu, 2.000 di antara mereka menyatakan
akan menarik modalnya di luar negeri kembli ke Indonesia. Jumlah dana yang diperkirakan akan ditarik
berdasarkan survey tersebut mencapai jumlah hingga Rp 1.000 triliun. Jika dana tersebut selanjutnya
diarahkan untuk masuk ke dalam obligasi negara dan reksa dana penyertaan terbatas misalnya, maka
12
tentu saja dana ini akan menjadi potensi yang sangat besar bagi pasar finansial. Dalam updating yield
SUN periode ini, faktor Brexit dan tax amnesty diperhitungkan secara kualitatif.
Model Prediksi Yield Obligasi Pemerintah
Dalam model prediksi imbal hasil (yield) obligasi pemeritah yang kami miliki, kami memandang
bahwa yield obligasi Indonesia dipengaruhi oleh dua variabel eksogen, yaitu tingkat Inflasi Indonesia
dan yield generik obligasi pemerintah AS (US generic government bond) dengan tenor 10 tahun.
Sementara, yield obligasi Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh obligasi bertenor satu, tiga, lima,
dan 10 tahun adalah variabel yang bersifat endogen satu sama lain.
Keterangan :
Yield 1 :
Yield 3 :
Yield 5 :
Yield 10 :
JIIn12M :
JIIN1M:
Yield SUN 1 Tahun
Yield SUN 3 Tahun
Yield SUN 5 Tahun
Yield SUN 10 Tahun
JIBOR 12 Bulan
JIBOR 1 Bulan
Inflasi :
USGG12M :
USGG3YR :
USGG5YR :
USGG10YR :
Inflasi
US Generic Gov Bond 12 Bulan
US Generic Gov Bond 3 Tahun
US Generic Gov Bond 5 Tahun
US Generic Gov Bond 10 Tahun
Sumber: LPS
Gambar 6. Model Prediksi Yield Obligasi Negara
Pemilihan US generic government bond (USGG) bertenor 10 tahun sebagai parameter eksogen
selain karena kriteria statistik, juga karena minat investor asing terhadap obligasi domestik Indonesia
lebih banyak menyasar pada obligasi obligasi bertenor panjang. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa dari tahun 2013 hingga 2016,
44%–48% minat investor asing atas surat utang negara (SUN) jatuh pada SUN bertenor 10 tahun atau
lebih.
Selanjutnya, yield US generic government bond 10 tahun dalam model kami dimodelkan dengan
sebuah model yang memiliki variabel endogen dengan yield obligasi serupa pada berbagai tenor yaitu
12 bulan (USSG12M), tiga tahun (USSG3YR), lima tahun (USSG5YR), dan 10 tahun (USSG10YR).
13
Model yield Indonesia kami namakan dengan model Indonesia sementara model yield AS kami
namakan dengan model Amerika, di mana masing masing model kami susun dengan metode vector
autoregression. Inflasi sendiri kami prediksikan dengan model yang berdiri sendiri dan berada diluar
cakupan pembahasan dalam tulisan kali ini.
Dari hasil running model, kami memperoleh output bahwa peningkatan yang semula kami
prediksi di bulan juni 2016 ternyata bergerak sebaliknya (turun).
Sumber: LPS
Gambar 7. Prediksi Yield SUN 1,3,5, dan 10 tahun
Turunnya prediksi Yield kami pada model yang kami susun kami nilai berasal dari dua faktor
utama, yaitu potensi masuknya dana dalam jumlah besar kedalam pasar SUN sebagai dampak dari Tax
Amnesty dan turunnya proyeksi Inflasi kami.
Adapun dampak dari perkiraan penurunan Yield sebagai dampak dari penerapan kebijakan Tax
Amnesty pada tahun 2016 telah menekan perkiraan rata –rata yield kami sebelumnya sebesar 4 hingga
32 basis point, dimana menurut kami dampak penurunan akan lebih terasa seiring dengan semakin
panjangnya tenor.
14
Sumber: LPS
Gambar 8. Prediksi Rata-Rata Yield SUN Tahun 2016
Selain dampak dari penerapan Tax Amnesty serta turunnya proyeksi inflasi masih terdapat
beberapa faktor fundamental yang melandasi keyakinan kami akan penurunan Yield Obligasi. Faktorfaktor tersebut di antaranya: 1) semakin stabilnya kondisi makro dalam negeri dan masih relatif belum
kuatnya permintaan dalam negeri serta tren harga komoditas yang belum menunjukkan perbaikan
yang berarti; 2) penurunan yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun dibandingkan dengan tren
yang kami prediksikan sebelumnya. Paska pengumuman hasil referendum di Inggris yang secara
mengejutkan memenangkan kubu leave, yield Obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun (USGG10YR)
turun ke posisi 1,4 yang nyaris sama dengan posisi terendah di tahun 2012. Dengan demikian, maka
Brexit menurut kami akan membuat the Fed semakin dovish dalam menaikkan suku bunganya, karena
menaikkan Fed rate di tengah kondisi dan potensi menguatnya dolar AS tentu akan berdampak kurang
baik bagi aktivitas ekspor AS.
Sumber: LPS
Gambar 9. Prediksi Inflasi
15
Selain faktor-faktor yang kami uraikan diatas, posisi yield Indonesia yang masih menarik dan
stabilitas ekonomi yang terjaga telah mendorong masuknya dana asing ke dalam pasar obligasi
Indonesia. Oleh karena itulah, maka jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, Indonesia
cukup banyak menerima aliran dana asing ke dalam pasar obligasi.
.
Aliran dana asing kepasar
Negara
Obligasi (Hingga Juni 2016)
(Juta Dolar)
India
-1,196.80
Indonesia
5,607.00
Japan
44,542.90
Malaysia
3,676.60
Philpines
-147.50
S Korea
6,697.10
Thailand
6,745.20
Sumber: Bloomberg
Tabel 2. Posisi Dana Masuk dari Asing ke Pasar Obligasi YTD Hingga Juni 2016
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan membuat the Fed sangat berhati-hati dalam menaikkan suku
bunga, yang pada akhirnya akan membantu kelanjutan trend penurunan Yield di dalam negeri.
2. Tax amnesty, kondisi makro yang stabil dan imbal hasil yang masih menarik menjadikan pasar
obligasi Indonesia sebagai salah satu pasar yang diminati investor global.
3. Meskipun kami tetap optimis pada penurunan yield obligasi pemerintah, namun demikian efek
dari Brexit kedepan tetap harus diperhatikan secara seksama.
16
Perbankan : Di Tengah Pusaran Ekonomi
Global
Perbankan : Ditengah Pusaran Ekonomi Global
Seno Agung Kuncoro


Pertumbuhan kredit yang rendah sampai dengan awal kuartal 2-2016 juga dipicu oleh
melemahnya penyaluran kredit dalam valuta asing.
Likuiditas perbankan hingga bulan April 2016 masih terjaga dengan baik. Ditunjukkan dengan LDR
yang berada pada kisaran 89,5%. Pertumbuhan DPK yang rendah diimbangi oleh pertumbuhan
kredit yang juga rendah.
Kabar mengenai perlambatan ekonomi global masih mendominasi tajuk berita ekonomi media
cetak maupun elektronik. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergantung pada penerimaan
ekspor terkena dampak yang tidak sedikit. Perlambatan ekonomi domestik tidak terlepas dari
pemulihan ekonomi global yang masih lemah. Akselerasi belanja modal dan barang pemerintah pusat
terkait pembangunan infrastruktur belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut
disebabkan faktor pendorong lain yakni investasi, ekspor, dan konsumsi rumah tangga belum
memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan.
Kinerja industri perbankan Indonesia sampai dengan periode kuartal 1 tahun 2016 masih belum
solid dengan perhatian kepada penanganan kinerja kredit bermasalah. Diyakini kinerja sektor
perbankan pada kuartal II-2016 tidak akan jauh berbeda jika faktor pendorong pertumbuhan ekonomi
masih tersendat. Dampak dari pergerakan kinerja pertumbuhan ekonomi global mulai dirasakan
langsung oleh para pelaku usaha. Di Indonesia salah satu indikatornya adalah menurunnya consumer
confidence index dan retail sales termasuk depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar.
Sumber: OJK, diolah
Gambar 10. Pertumbuhan Kredit dan DPK
12
Total penyaluran kredit hingga April 2016 kembali melambat hanya tumbuh 7,95% year on
year(Gambar 10),atau sebesar 0,16% bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (mom). Bila
diperhatikan lebih lanjut, dampak dari melemahnya sektor riil dan konsumsi masyarakat menjadi
faktor utama dari melambatnya pertumbuhan kredit. Seperti bisa dilihat di media cetak dan
elektronik, beberapa proyek infrastruktur pemerintah tersendat dalam pelaksanaannya.
Pembangunan jalan raya dan jalan tol, pembangkit listrik, pelabuhan dan renovasi pelabuhan, banyak
yang tertunda. Akibatnya pengucuran kredit atas pembangunan infrastruktur tersebut cukup
terhambat. Selain itu industri perbankan sendiri juga masih berhati-hati dengan hanya melakukan
penyaluran kredit ke sektor-sektor yang dianggap aman.
Pertumbuhan kredit yang rendah sampai dengan awal kuartal 2-2016 juga dipicu oleh
melemahnya penyaluran kredit dalam valuta asing. Hingga periode April 2016, kredit valuta asing
(valas) mengalami kontraksi sebesar -6,44% (yoy) menjadi Rp582 triliun dibandingkan dengan periode
yang sama pada tahun lalu senilai Rp622 triliun (Gambar 10). Sementara, dengan kondisi yang bertolak
belakang pertumbuhan kredit rupiah mampu mencapai 10,85% (yoy) di periode yang sama. Kredit
valas biasanya digunakan untuk pembiayaan aktivitas impor. Tetapi dengan aktivitas impor saat ini
yang menurun karena depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan luar negeri, menjadi salah satu
penyebab menurunnya penyaluran kredit valas.
Walaupun kinerja industri perbankan masih dalam tekanan, dengan kondisi fundamental
makroekonomi yang stabil menjanjikan imbal hasil investasi yang menarik bagi para investor. Dengan
skala perekonomian yang besar, tingkat konsumsi yang tinggi, dan kelas menengah yang tumbuh pesat
menjadikan Indonesia salah satu tujuan utama investasi sekaligus pasar yang menarik. Salah satu cara
untuk meningkatkan kredit yang digunakan oleh sejumlah bank swasta sepanjang tahun 2016 adalah
menurunkan tingkat bunga kredit, terutama untuk kredit pemilikan rumah (KPR).
Sumber: CEIC
Gambar 11. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Sektor dan Jenis
13
Kredit modal kerja yang mencapai 46% dari total kredit,pertumbuhannya lebih lambat
dibanding jenis kredit lainnya yaitu sebesar 8,1% (yoy) di April 2016 (Gambar 11).Sementara kredit
investasi dengan bagian 25% dari total kredit, tumbuh 12,4%. Melambatnya pertumbuhan kredit
modal kerja dan kredit investasi pada disebabkan iklim dunia usaha yang lesu di tengah melambatnya
pertumbuhan ekonomi sehingga para pelaku bisnis masih enggan untuk meningkatkan nilai investasi
dan capital expenditure (capex) untuk ekspansi usahanya. Sementara kredit konsumsi dengan porsi
29% dari total penyaluran kredit tumbuh 9,7% (yoy)dan menjadi penopang pertumbuhan kredit
keseluruhan.
Untuk jenis kredit berdasarkan sektor, sektor rumah tangga dan perdagangan sebagai sektor
yang dominan dalam portofolio kredit perbankan, pertumbuhannya sedikit menurun. Kredit sektor
rumah tangga dengan porsi 29% dari total kredit, pada periode April 2016 tumbuh sebesar 9,69% (yoy)
turun 27 bps dari periode bulan sebelumnya. Sementara kredit sektor perdagangan tumbuh 9,00%
turun 43 bps dari bulan sebelumnya. Pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) pada tiga bulan pertama 2016 sepertinya belum mampu mengangkat antusiasme
pelaku usaha untuk meningkatkan permintaan kredit.
Pertumbuhan kredit yang melambat, juga juga disebabkan oleh kebijakan industri perbankan
yang memperketat syarat penyaluran kredit. Kecemasan terhadap potensi kenaikan jumlah kredit
bermasalah dari melambatnya pergerakan roda perekonomian akan mempengaruhi kinerja
perbankan secara keseluruhan. Rasio kredit bermasalah (NPL ratio) periode April 2016 kembali
meningkat 10 bps dibanding bulan sebelumnya menjadi sebesar 2,93% (Gambar 12).Begitu pula
pertumbuhan nominal NPL di April 2016 sebesar 38,53% (yoy) kembali dalam tren meningkat.Kami
memperkirakan rasio kredit bermasalah (NPL) masih berpotensi meningkat hingga kuartal III 2016,
karena proses pemulihan ekonomi dan dampak belanja pemerintah yang belum bergerak cepat.
Sumber: CEIC dan OJK
Gambar 12. Rasio danPertumbuhan NPL
14
Penyebab utama dari kenaikan NPL tersebut tentunya adalah perlambatan ekonomi global
yang dimulai sejak tahun 2015, sehingga ekonomi Indonesia menjadi turut tidak kondusif. Mayoritas
nasabah korporasi yang di dalam portofolio bisnisnya terdapat komponen ekspor atau impor, secara
langsung terimbas dan berpotensi untuk menjadi nasabah kredit macet. Kenaikan pertumbuhan NPL
disebabkan oleh kenaikan signifikan (year on year) kolektibilitas “Kurang Lancar” (Gambar
12),sementara kolektibilitas “Macet” masih kencang pertumbuhannya sebesar 37,92% (yoy) atau
menjadi sebesar Rp78 triliun. Bila melihat kenaikan nominal kredit bermasalah dari bulan sebelumnya
(month on month), meningkatnya rasio NPL disebabkan kenaikan dari jumlah kolektibilitas kredit
“Macet” sebesar 7,3% dan kolektibilitas “Diragukan” sebesar 12,1%. Sementara kolektibilitas “Kurang
Lancar” menurun -5,4%. Besarnya pertumbuhan kolektibilitas “Macet” dan “Diragukan” memperkuat
indikasi bahwa pelaku usaha masih tertekan oleh kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dampak kebijakan yang dikeluarkan OJK terkait restrukturisasi kredit yang ditujukan untuk
menahan laju penurunan kualitas kredit sepertinya belum optimal untuk membendung kenaikan
kredit bermasalah. Sebenarnya dari 35 kebijakan yang dikeluarkan OJK, kebijakan restrukturisasi
kredit yang paling banyak dampaknya terhadap kinerja perbankan. Kebijakan tersebut akan membuat
perbankan lebih fleksibel dalam mengelola dan mengantisipasi nasabah-nasabah yang memiliki
gangguan cash flow karena pelambatan ekonomi. Tetapi perlu tetap diwaspadai moral hazard dari
kebijakan tersebut, walaupun memiliki jangka waktu selama 2 tahun, terutama dampak reversal dari
kebijakan stimulus yang akan mempengaruhi kinerja keuangan perbankan bila dilakukan tidak pada
waktu yang tepat.
Sumber: OJK
Gambar 13. NPL Sektor Ekonomi dan NPL Jenis Kredit
15
Sektor ekonomi yang mengalami penurunan kualitas kredit cukup signifikan adalah sektor
pertambangan (Gambar 13). Peningkatan kredit bermasalah atau NPL sektor ini disebabkan karena
anjloknya harga komoditas global, sehingga para debitur mangalami permasalahan dalam mengatur
cash flow perusahaannya. NPL nominal sektor pertambangan pada April 2016 mengalami
pertumbuhan substansial yakni sebesar 35,53% (yoy).
Sektor manufaktur sebagai salah satu penyumbang portofolio kredit perbankan terbesar masih
memperlihatkan adanya kenaikan pertumbuhan mencapai 48,13% year on year (Gambar 13).
Sedangkan pada sektor perdagangan, pertumbuhan NPL nominal dalam tren menurun sebesar 31,32%
(yoy).Bila melihat dari jenis kredit, keseluruhan jenis kredit dalam tren meningkat dalam 3 bulan
terakhir. Sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor secara keseluruhan mengalami
pertumbuhan namun masih terbatas. Penyebab lainnya yakni pelemahan pada nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS menyebabkan banyak tertundanya rencana peningkatan kapasitas maupun
ekspansi.
Secara umum kondisi likuiditas perbankan hingga periode April 2016 masih terjaga. Meski tren
pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) masih melambat tetapi pertumbuhan kredit juga mengalami
hal yang sama sehingga Loan to Deposit Ratio (LDR) menjadi sebesar 89,52%. Bank umum yang berada
di BUKU 3 mencatatkan rasio LDR tertinggi sebesar 96,74%, sementara bank umum yang berada di
BUKU 1 mencatat rasio LDR terendah sebesar 71,96%.
Sumber: CEIC, diolah
Gambar 14. Pertumbuhan Komponen Dana Pihak Ketiga
Melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan di periode April 2016
merupakan yang terendah dalam 10 bulan terakhir. DPK pada bulan April 2016 tercatat sebesar
Rp4.478 triliun atau membukukan kenaikan hanya sebesar 6,18% (yoy), lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,44%. Antisipasi kenaikan suku bunga The Fed membawa
implikasi pada penurunan Net Foreign Asset karena outflow investor asing di pasar keuangan.
Akibatnya DPK valas pada posisi April 2016 mengalami kontraksi.
16
Pertumbuhan simpanan giro dan deposito terlihat mengalami perlambatan dibandingkan
pertumbuhan simpanan tabungan (Gambar 14). Dampak dari perlambatan ekonomi dan front loading
pemerintah yang cukup besar di akhir tahun 2015 dan awal tahun 2016 membuat simpanan giro dan
deposito ikut melambat. Dari segi sumber simpanan, pertumbuhan simpanan yang masih diatas
pertumbuhan rata-rata sistem perbankan adalah pada Korporasi Non Keuangan dan Pemerintah.
Pertumbuhan yang tinggi pada Korporasi Non Keuangan menunjukkan animo perusahaan seperti
perusahaan pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan perusahannya lainnya masih mempercayakan
dananya untuk disimpan pada sistem perbankan.
Sumber: CEIC, Bank Indonesia
Gambar 15. Likuiditas Sistem Keuangan
Data terakhir menunjukkan, tren pertumbuhan uang beredar (M2) kembali mengalami
perlambatan. Secara nominal posisi M2 pada April 2016 sebesar Rp4.580 triliun atau tumbuh sebesar
10,07% (yoy)sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan M2 tersebut
terutama bersumber dari melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga, namun demikian
perlambatan pertumbuhan M2 tersebut tertahan oleh akselerasi pertumbuhan M1 pada April 2016
(Gambar 15).
Posisi M1 yang tumbuh sebesar 11,62% year on year pada April 2016, sejalan dengan ekspansi
operasi keuangan Pemerintah Pusat, berbeda dari pola historisnya yang biasanya mengalami kontraksi
pada awal tahun. Ekspansi tersebut merupakan hasil upaya pemerintah dalam rangka percepatan
realisasi belanja negara.
Tren suku bunga bank benchmark untuk simpanan rupiah yang dipantau LPS (suku bunga pasar
atau SBP) secara rata-rata sampai dengan periode awal Juni 2016 masih dalam tren menurun. Tren
penurunan suku bunga deposito ini kami perkirakan masih akan berlanjut sepanjang tahun 2016 walau
dengan nilai penurunan yang semakin rendah.Begitu pula dengan suku bunga pasar simpanan valas
yang dipantau masih memperlihatkan tren penurunan, walau sudah tidak sebanyak penurunan
simapnan rupiah, yang menjadi cerminan likuiditas valas yang masih longgar apalagi kredit valas juga
menurun jumlahnya (Gambar 16).
17
Sumber: LPS
Gambar 16. Suku Bunga Pasar Rupiah dan Valas
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 24 Juni 2016 kembali menurunkan tingkat
bunga penjaminan untuk simpanan dalam rupiah di Bank Umum sebesar 25 bps menjadi 6,75%, dan
untuk simpanan valas tetap sebesar 0,75%. Sementara untuk simpanan di Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) juga turun 25 bps menjadi sebesar 9,25%. Tingkat bunga tersebut berlaku efektif mulai tanggal
24 Juni 2016 sampai dengan 14 September 2016.
Dengan efisiensi biaya bunga yang dilakukan oleh perbankan sedikit banyak bisa menahan
kontraksi pertumbuhan laba. Pada periode April 2016, pertumbuhan laba industri perbankan masih
dalam teritori negatif dalam 12 bulan terakhir sebesar -6,46% year on year (Gambar 17). Perbaikan
laba tersebut disumbang oleh bisa ditekannya pertumbuhan beban bunga periode April 2016
dibanding beban bunga di tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan bunga sebesar 6,2% year on
year di periode April 2016 lebih tinggi dibanding beban bunga yang mengalami kontraksi sebesar 0,2% (yoy), sehingga pertumbuhan pendapatan bunga bersih menjadi sebesar 13,8% (yoy).
18
Sumber: OJK
Gambar 17. Pertumbuhan Laba dan Laba Bersih
Rasio Modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Capital Adequacy Ratio
(CAR) relatif mengalami peningkatan dalam 3 bulan terakhir hingga berada di level 21,95% di periode
April 2016 (Gambar 18). Adanya kebijakan peraturan OJK yang lebih longgar dalam penilaian aktiva
tertimbang menurut risiko (ATMR) mulai terlihat imbasnya pada industri perbankan.
19
Sumber: OJK
Gambar 18. Perkembangan Permodalan Perbankan
Peningkatan jumlah ATMR sebesar 0,58% (mom) di bulan April 2016 tidak terlalu besar untuk
mengangkat level rasio CAR. Sementara total modal hanya meningkat sebesar 0,35% (mom).
Begitupun dengan rasio modal tier-1 yang meningkat sebesar 4 bps dibanding bulan lalu menjadi
sebesar 19,46% di periode April 2016, masih cukup tinggi dibandingkan kebutuhan modal berdasarkan
Basel 3.
Keadaan yang terjadi saat ini hampir serupa dengan beberapa tahun ke belakang, dimana
perbankan pernah enggan untuk menyalurkan kredit kepada nasabah karena ketakutan terhadap
faktor likuiditas. Sementara yang terjadi saat ini adalah perbankan didorong oleh pemerintah untuk
menyalurkan kredit kepada masyarakat ditengah kondisi perekonomian yang kurang kondusif. Bentuk
keengganan tersebut terjadi melalui credit rationing yaitu ketika bank menaikkan standar dalam
penyaluran kreditnya baik dari sisi bunga maupun non-bunga. Beberapa indikasi telah mengarah pada
kondisi tersebut, diantaranya target penyaluran kredit perbankan nasional dikisaran 12-14% untuk
tahun 2016. Kebijakan tersebut cukup signifikan mengingat masih rendahnya realisasi pertumbuhan
kredit sepanjang tahun 2016 yang sebesar 7,95% di April 2016. Kami perkirakan bank lebih memilih
strategi mempertahankan likuiditasnya untuk bersiap menghadapi kemungkinan volatilitas ekonomi
global.
20
Update Indeks Stabilitas Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)
Agus Afiantara
Angka BSI pada bulan Mei 2016 mengalami penurunan sebesar 3 bps bila dibandingkan dengan
angka BSI pada bulan April 2016, yaitu dari 99,65 menjadi 99,62. Angka CP (Credit Pressure) naik
sebesar 2 bps dari 99,88 menjadi 99,90, angka IP (Interbank Pressure) naik sebesar 45 bps dari 98,63
menjadi 99,08 dan angka MP (Market Pressure) turun sebesar 12 bps dari 100,16 menjadi 100,04.
Angka BSI pada bulan Mei 2016 menunjukkan kondisi risiko industri perbankan indonesia masih
berada dalam kondisi “Normal”.
Sumber: LPS
Gambar 19. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP)
Kualitas aset perbankan mengalami pemburukan dengan meningkatnya angka NPL gross bank
umum dari 2,83% pada Maret 2016 menjadi 2,93% pada bulan April 2016. Berdasarkan data yang kami
dapatkan, angka NPL gross pada bulan Mei 2015 merupakan angka NPL Gross tertinggi sejak 3 tahun
terakhir, meskipun NPL masih dalam batas wajar karena masih dibawah 5% tapi tren peningkatan NPL
harus tetap diwaspadai.
Perolehan laba perbankan nasional pada bulan April 2016 mengalami penurunan sebesar 38
bps bila dibandingkan dengan Maret 2016 sebagai akibat terjadinya pemburukan kualitas aset bank
umum. Untuk menjaga tingkat kualitas aset netto-nya pihak perbankan meningkatkan Cadangan
Kerugian Perolehan Nilai Aset Keuangan (CKPN) sehingga laba yang dikumpulkan perbankan tergerus.
angka ROE turun dari 15,22% pada bulan Maret 2016 menjadi 14,84% pada bulan April 2016.
Pertumbuhan DPK perbankan pada bulan April 2016 yang melampaui pertumbuhan kreditnya
menyebabkan likuiditas perbankan pada bulan April 2016 sedikit melonggar. Hal ini ditandai dengan
turunnya LDR dari level 89,60% pada bulan Maret 2016 menjadi 89,52% pada bulan April 2016.
Meskipun LDR secara MoM mengalami penurunan namun bila dibandingkan dengan angka LDR secara
YoY, LDR pada bulan Mei 2016 masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan LDR pada bulan Mei 2015
yang berada pada level 87,94%.
Suku bunga kredit perbankan pada periode April 2016 mengalami penurunan dari 12,67% pada
bulan Maret 2016 menjadi 12,59% pada bulan April 2016. Penurunan suku bunga kredit yang terjadi
disumbang oleh kredit modal kerja dari 12,28% pada April 2016 menjadi 12,14% (14 bps), dan kredit
28
investasi dari 11,83% pada Maret 2016 menjadi 11,71% pada Mei 2016 (12 bps), sementara itu kredit
konsumsi tidak mengalami perubahan di level 13,91%.
Penempatan dana antar bank mengalami peningkatan pada bulan April 2016 bila dibandingkan
dengan bulan Maret 2016 sebesar 2,3% seiring dengan melonggarnya tingkat likuiditas perbankan
pada bulan April 2016, dari Rp. 123.913 Milyar pada bulan Maret 2016 menjadi Rp. 126.768 Milyar
pada bulan April 2016. Meskipun secara MoM mengalami peningkatan, namun bila dibandingkan
dengan penempatan dana pada bulan Agustus 2015 mengalami penurunan sebesar 7,3% dari Rp.
136.841 Milyar menjadi 126.768 Milyar pada April 2016.
Suku bunga rata-rata perbankan dengan tenor overnight (JIBOR overnight) mengalami
peningkatan yang cukup tajam menjelang minggu ke-4 di bulan Apri 2016 sampai dengan minggu ke1 di bulan Mei 2016, JIBOR o/n meningkat hampir 11 bps dari level 4,89% (25 April 2016) menjadi
5,00% (5 Mei 2016), dan di penghujung minggu ke-4 di bulan Mei 2016 JIBOR o/n kembali turun ke
level 4,90% karena likuiditas pada bulan April 2015 kembali mengalami pelonggaran. Namun secara
tahunan JIBOR overnight pada bulan Mei 2016 turun sebesar 90 bps dibandingkan dengan JIBOR
overnight pada bulan Mei 2015 yang berada pada level 5,83%.
Sumber: LPS
Gambar 20. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP)
Mata uang Rupiah mengalami depresasi terhadap dollar Amerika Serikat. Posisi Rupiah pada
akhir bulan Mei 2016 yang berada pada posisi 13.615 melemah 3,4% bila dibandingkan dengan
posisi rupiah di akhir bulan April 2016 yang berada pada posisi 13.162. Namun demikian bila
dibandingkan dengan Agustus 2015 dimana rupiah berada pada posisi 14.027, posisi Mei 2016
masih lebih baik.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan saham di akhir
bulan Mei 2016 dengan posisi pada level 4.796,87. Bila dibandingkan dengan periode akhir bulan
April 2016 yang berada pada level 4.838,58, IHSG telah turun 41,71 poin.
Pada kuartal II tahun 2016, yield obligasi pemerintah berada dalam tren yang meningkat.
Yield pada akhir Maret 2016 berada pada level 7,67% dan meningkat sekitar 26 bps pada akhir Mei
2016 yang berada pada level 7,93%. Namun demikian yield pada bulan Mei 2016 masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan Mei 2015 yang berada pada kisaran 8,17%.
29
PENGARAH
Fauzi Ichsan, Salusra Satria
KOORDINATOR
Moch. Doddy Ariefianto,Hendra Syamsir,Seno Agung Kuncoro
ANALIS
Ahmad Subhan Irani, Seto Wardono, Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah, Citra Amanda
Laporan Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi
Lembaga Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan
penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap
berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Analisis Stabilitas dan
Sistem Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai
perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, dan indeks stabilitas perbankan.
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada :
Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko
Equity Tower lantai 39
Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9
Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12190
Telp
: +62 21 515 1000 ext 340
Email
: [email protected]
Website : www.lps.go.id
30
Lampiran
31
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih
Variabel
2012
2013
2014
2015
2016P
2017P
PDB Nominal (Triliun Rp)
8,616
9,546
10,566
11,541
12,442
13,777
PDB Nominal (Miliar US$)
918
916
890
862
938
1,037
PDB Riil (% y/y)
6.0
5.6
5.0
4.8
5.0
5.3
Inflasi (akhir periode, % y/y)
3.7
8.1
8.4
3.4
4.2
4.5
Inflasi (rata-rata, % y/y)
4.0
6.4
6.4
6.4
4.0
4.2
USD/IDR (akhir periode)
9,793
12,189
12,440
13,795
13,250
13,350
USD/IDR (rata-rata)
9,396
10,452
11,879
13,392
13,300
13,300
5.75
7.50
7.75
7.50
-
-
-
6.25
5.25
5.00
(2.5)
(2.5)
(2.5)
Variabel Kunci
BI Rate (akhir periode)
BI 7-Day Reverse Repo Rate (akhir periode)
Surplus/Defisit Fiskal (% PDB)
(1.8)
(2.2)
(2.2)
Sustainabilitas Eksternal
Ekspor Barang (% y/y)
Ekspor Barang (Miliar US$)
Impor (% y/y)
(2.0)
(2.8)
(3.7)
(15.4)
(7.3)
1.8
187.3
182.1
175.3
148.4
137.5
139.9
13.6
(1.3)
(4.5)
(19.7)
(5.5)
3.7
Impor (Miliar US$)
178.7
176.3
168.3
135.1
127.7
132.4
Neraca Berjalan (Miliar US$)
(24.4)
(29.1)
(27.5)
(17.7)
(21.7)
(25.5)
Neraca Berjalan (% PDB)
(2.7)
(3.2)
(3.1)
(2.0)
(2.3)
(2.5)
112.8
99.4
114.3
105.9
118.8
124.8
27.4
29.1
33.0
36.1
36.4
35.8
Konsumsi Swasta
5.5
5.5
5.3
4.8
5.1
5.2
Konsumsi Pemerintah
4.5
6.7
1.2
5.4
5.8
6.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto
9.1
5.0
4.6
5.1
5.7
5.8
Ekspor Barang dan Jasa
1.6
4.2
1.0
(2.0)
(1.0)
2.3
Impor Barang dan Jasa
8.0
1.9
2.2
(5.8)
(2.2)
5.9
Sektor Primer
3.9
3.5
2.8
0.3
0.9
1.4
Sektor Sekunder
5.6
4.4
4.6
4.2
4.5
4.7
Sektor Tersier
6.8
6.3
6.2
5.7
6.5
6.7
1 Tahun
4.6
5.7
6.9
7.3
6.5
5.8
3 Tahun
5.1
5.9
7.6
7.9
7.0
6.4
5 Tahun
5.4
6.0
7.9
8.1
7.2
6.6
10 Tahun
6.0
6.5
8.2
8.2
7.4
7.0
20 Tahun
6.8
7.3
8.7
8.5
7.9
7.6
Pinjaman
23.1
21.6
11.6
10.4
10.0
12.0
Dana Pihak Ketiga
15.7
13.6
12.3
7.3
8.0
10.1
Loan to Deposit Ratio (%)
84.0
89.9
89.3
92.0
93.6
95.2
Cadangan Devisa (Miliar US$)
Utang Luar Negeri (% PDB)
PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
Perbankan (% y/y)
32
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 Juli - 31 Juli 2016
Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
7-Juli-16
Suku Bunga Acuan
8-Juli-16
Tingkat Pengangguran Juni 2016
15-Juli-16
Inflasi Juni 2016
7-Juli-16
Suku Bunga Acuan Juli 2016
15-Juli-16
Neraca Perdagangan Mei 2016
20-Juli-16
Transaksi Berjalan Mei 2016
8-Juli-16
Transaksi Berjalan Mei 2016
25-Juli-16
Neraca Perdagangan Juni 2016
29-Juli-16
Suku Bunga Acuan
2-Juli-16
Neraca Perdagangan Juni 2016
26-Juli-16
Transaksi Berjalan Juni 2016
28-Juli-16
Suku Bunga Acuan
29-Juli-16
Tingkat Pengangguran Juni 2016
5-Juli-16
Inflasi Juni 2016
12-Juli-16
Neraca Perdagangan Mei 2016
8-Juli-16
Neraca Perdagangan Juni 2016
12-Juli-16
Inflasi Juni 2016
10-Juli-16
Inflasi Juni 2016
15-Juli-16
Pertumbuhan Ekonomi 2Q16
1-Juli-16
Inflasi Juni 2016
1-Juli-16
Cadangan Devisa Juni 2016
15-Juli-16
Neraca Perdagangan Juni 2016
21-Juli-16
Suku Bunga Acuan
Zona Euro
Jepang
Brazil
Rusia
India
China
Indonesia
33
www.lps.go.id
Download