PERAN SEL MAST DALAM REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE-I

advertisement
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
PERAN SEL MAST DALAM
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE-I
Lie T Merijanti S *
* Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Mast cells are associated to hypersensitivity type I or allergic reactions, which are
initiated by the binding between antigen and immunoglobulin E / Ig E on the surface
of these cells. Ig E binds to specific high affinity receptor designated Fce RI.
Activation of mast cells occur when there is cross-linking or bridging of Fce RI
molecules by the binding of antigen and Ig E to these molecules. Leading to mast
cell degranulation and release of chemical mediators like histamine (the most
important mediator), SRSA (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis),
prostaglandin, ECFA (Eosinofil Chemotactic Fc of Anaphylaxis), PAF (Platelet
Activating Factor), heparin and some enzymes (tryptase, chymase). Chemical
mediator release may
cause local reactions like bronchial asthma, rhinitis,
conjunctivitis, atopic dermatitis or systemic reactions (eg urticaria and anaphylactic
shock).(J Kedokter Trisakti 1999;18(3):145-153)
Key words : Mast cells, hypersensitivity reaction
PENDAHULUAN
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh
terhadap bahan yang ada dalam
lingkungan hidup sehari-hari. Makanan
atau obat yang semula tidak menimbulkan
reaksi,
pada
suatu
saat
dapat
menimbulkan gatal-gatal, eksim, atau
sesak nafas. Pada vaksinasi cacar
pertama, reaksi imun maksimal terjadi
setelah 10 – 15 hari sementara pada
vaksinasi cacar kedua, reaksi terjadi
setelah 5 – 7 hari. Titer widal pada
vaksinasi tifus kedua meningkat lebih
cepat dan lebih tinggi dibandingkan
dengan vaksinasi pertama. Dalam contoh
reaksi vaksinasi cacar, tubuh dirugikan
sedangkan pada peningkatan titer widal,
tubuh mendapat keuntungan. Dewasa ini
reaksi yang merugikan disebut hipersensitif dan yang menguntungkan disebut
imunitas.
Sel mast dan basofil memiliki peran
yang sama dalam mekanisme reaksi
alergi. Reaksi dimulai dengan adanya
ikatan antara antigen dengan Ig E pada
permukaan sel mast. Selanjutnya sel
mast akan mengalami aktivasi dan
melepaskan
mediator
kimia
yang
berkaitan dengan manifestasi klinik alergi.
Gambaran histologik sel mast
Sel mast ditemukan oleh Ehrlich dan
dinamakan sel mast karena sitoplasma-
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
145
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
nya penuh dengan granula. (3) Sel ini
tersebar luas dalam jaringan ikat,
berkelompok kecil-kecil dekat pembuluh
darah. (4) Sel mast Ø + 12 um, berbentuk
lonjong, tidak teratur dan kadang-kadang
memiliki pseudopodia pendek, menunjukkan mobilitasnya yang lambat. (8) Inti
sel berbentuk bulat, relatif kecil dan
berwarna basofil/kebiruan, sering tertutup
granula sitoplasma.
Granula bersifat refraktil dan larut
dalam air. (8) Dengan pewarnaan anilin
basa (biru metilen/Azure A), sel mast
terpulas metakromasia di mana warna
biru berubah menjadi ungu. Hal ini timbul
karena interaksi antara bahan pewarna
dengan proteoglikan (heparin) yang
terdapat di dalam granula. (6) Secara
ultrastruktur, granula sel mast berbentuk
bulat atau oval, diliputi unit membran,
mengandung partikel padat dan matriks
yang kurang padat. Juga ditemukan
sedikit populasi dari granula kecil yang
seragam terletak dekat inti. Sitoplasma
sel mast mengandung ribosom bebas,
mitokondria dan glikogen, sementara itu
pada permukaan sel ada tonjolan2 yang
tumpul dan tidak beraturan yang
merupakan reseptor untuk imunoglobulin
pada waktu sel mast terangsang oleh
suatu antigen. (4,8)
Asal dan distribusi sel mast
Sel mast merupakan bagian dari sel
pengembara jaringan ikat yang memiliki
pseudopodia untuk melakukan mobilisasi.
(2)
Pada dasarnya sel mast terdapat pada
semua organ, terutama pada jaringan
mukosa paru-paru, traktus digestivus,
dan kulit. Kepadatan sel mast di dalam
kulit normal manusia sekitar 10000/mm3
(2,4)
. Sel mast dari jaringan ikat
mempunyai
beberapa
persamaan
karakteristik sitologikal dan fungsional
dengan basofil, tapi mereka merupakan 2
sel yang berbeda jenis. Basofil berasal
dari sumsum tulang, masuk ke dalam
sirkulasi darah, dan bermigrasi melalui
endotel venula masuk ke dalam jaringan
ikat (2,9). Sel mast berasal dari jaringan
ikat, ditemukan terutama di sekitar
pembuluh darah kecil dan berasal dari
perivascular mesenchymal cell. Penelitian
baru mengindikasikan bahwa keduanya
berdiferensiasi dari sel stem hemopoetik .
Sel stem dari sirkulasi darah masuk ke
dalam jaringan ikat dan berdiferensiasi
menjadi sel mast. Sel mast juga dapat
berkembang dari sel mast yang sudah
ada dengan melakukan pembelahan
mitosis. (1,2,9)
Persamaan dan perbedaan sel mast
dan sel basofil
Sel mast dan basofil memiliki
beberapa persamaan antara lain sebagai
mediator/perantara pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Keduanya mempunyai
jumlah reseptor yang banyak untuk Ig E
pada permukaan selnya. Pada manusia
reseptor Ig E pada sel mast adalah
300000 - 400000/sel sedangkan pada
basofil 40000 - 100000/sel. Sitoplasma
mengandung granula metakromasi yang
spesifik. (1,3,6,8,9)
Ada beberapa perbedaan antara sel
mast dan basofil. Sel mast ditemukan
hanya pada jaringan penyambung, umur
beberapa bulan hingga tahun, dapat
regranulasi, granula mengandung prostaglandin, pelepasan mediator kimia dipengaruhi
oleh
sodium
kromoglikat.
Sedangkan basofil ditemukan di dalam
sirkulasi dan jaringan penyambung, umur
10-12 hari, granulanya tidak mengandung
prostaglandin, pelepasan histamin oleh
basofil tidak dihambat oleh kromoglikat,
granula basofil manusia lebih banyak
mengandung kondroitin sulfat dibanding
sel mast. (1,4,5,6,9)
Aktivasi sel mast pada reaksi
hipersensitivitas tipe I
Ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas
menurut Gell & Coombs, yaitu :
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
146
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
Tipe I : Mastosit mengikat Ig E melalui
reseptor Fc. Ikatan antara antigen dan
Ig E tersebutakan menimbulkan
degranulasi mastosit yang melepas
mediator.
Tipe II : Antibodi dibentuk terhadap
antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Kompleks antigen dan
antibodi
yang
terbentuk
akan
menimbulkan respon sitoksik sel K
(sebagai efektor ADCC) dan atau sel
melalui aktivitas komplemen.
Tipe III : Kompleks imun diendapkan
di
dalam jaringan. Komplemen
diaktifkan, sel polimorfonuklear dikerahkan ke tempat kompleks.
Tipe IV : Sel T yang disensitisasi
melepas limfokin akibat pemaparan
ulang dengan antigen yang sama.
Limfokin mengerahkan dan mengaktifkan makrofag yang selanjutnya
melepas mediator serta menimbulkan
respons inflamas. (1)
Reaksi tipe 1, 2, dan tipe 3
memerlukan antibodi sedang tipe 4 tidak
memerlukannya, oleh karena yang
berperanan pada reaksi tipe 4 adalah sel
T.
Sel mast dan basofil berkaitan erat
dengan reaksi hipersensitivitas tipe I. (1,4)
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai
dengan ikatan antara antigen oleh
minimal 2 molekul Ig E pada permukaan
sel mast. Ig E melekat pada reseptor
spesifik berafinitas tinggi yang disebut
FceRI. Ada 2 macam molekul FceR, yang
berafinitas tinggi terhadap Ig E yaitu
FceRI, dan FceRII yang afinitasnya lebih
rendah. Sel mast dan basofil mempunyai
reseptor
berafinitas
tinggi
FceRI.
Walaupun konsentrasi Ig E di dalam
serum sangat rendah dibandingkan
dengan Ig lain (< 1 g / ml), tetapi sudah
mencukupi untuk mengikat reseptor ini.
Sel-sel lain termasuk limfosit, netrofil,
trombosit, monosit, eosinofil dan sel
dendritik juga mempunyai reseptor
terhadap Ig E sehingga juga dapat
mengikat Ig E, tetapi dengan afinitas
yang lebih rendah. Fungsi dari reseptor
berafinitas rendah ini tidak jelas. (1,4)
Sel mast diaktifkan apabila terjadi
cross linking atau bridging dari molekul
FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E
yang menempati molekul tersebut.
Pengaktifan sel mast menghasilkan reaksi
biologik sebagai berikut : (i) terjadi
sekresi sel mast, zat –zat yang telah
terbentuk dan disimpan dalam granula
akan
dilepaskan
keluar
secara
eksositosis/degranulasi. (ii) sel mast
mensintesa
lipid
mediator
secara
enzimatik dari precursor yang tersimpan
di dalam membran sel. (iii) sel mast
membentuk dan mensekresi sitokin. (4)
Pada proses degranulasi sel mast
terjadi pelepasan mediator kimia yang
berkaitan dengan manifestasi klinik alergi.
Interaksi Ig E dengan alergen pada
permukaan sel mast mengakibatkan
aktivasi enzym proesterase (E) menjadi
enzym esterase aktif (E). Enzym ini
mengakibatkan
agregasi
mikrotubuli
dalam sitoplasma sel mast mendekati
membran sel mast. Mikrotubuli ini
berfungsi
sebagai
saluran
tempat
keluarnya mediator yang akan dilepaskan
oleh sel mast. Pelepasan mediator ini
berlangsung bila terjadi influks ion Ca 2+
ekstraselular ke dalam sel mast. Influks
Ca 2+ ini mengakibatkan membran sel
mast tidak stabil sehingga mudah
ditembus oleh mediator kimia. Proses
degranulasi sel mast dapat terjadi akibat
reaksi alergen dengan Ig E dan akibat
gangguan keseimbangan saraf otonom
(Gambar 1).
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
147
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
Gambar 1. Skema Degranulasi Sel Mast. ( 5 )
Degranulasi sel mast juga tergantung
dari kadar siklik AMP (cAMP) dan siklik
GMP (cGMP) pada sitoplasma sel mast
yang dalam keadaan normal selalu
seimbang. Siklik AMP bersifat menghambat proliferasi dan pem-bentukan
mikrotubuli, sedangkan cGMP bersifat
menekan efek cAMP. Bila konsentrasi
cGMP lebih tinggi dari konsentrasi cAMP,
maka efek cAMP akan ditekan. Keadaan
ini memudahkan terjadinya proliferasi
mikrotubuli
yang
pada
akhirnya
memudahkan terjadinya degranulasi sel
mast. Rangsangan reseptor agonis b2
akan meningkatkan kadar cAMP, sedang
rangsangan reseptor alfa akan menurunkan kadar cAMP. Peningkatan
cAMP
menimbulkan
bronkodilatasi,
sedang
penurunan
cAMP
dan
peningkatan cGMP menimbulkan bronkokonstriksi (1,5). Faktor- faktor lain yang
dapat
mengaktifkan
mastosit yaitu
hipoksia, obat opioid, antibiotik, kontras,
pelemas otot. Panas, sinar matahari,
dingin, dan tekanan merupakan rangsangan fisis yang juga mengaktifkan sel
mast.
Mediator kimia yang dilepaskan
sel mast
Banyak mediator kimia dari reaksi
hipersensitivitas tipe I yang dikeluarkan
pada waktu aktivasi sel mast dan basofil.
Ada 2 kategori mediator yang dilepaskan :
(i) mediator yang telah dibentuk sebelumnya (preformed) dan dikeluarkan
pada waktu aktivasi, termasuk biogenic
amine dan makromolekul di dalam
granula. Mediator ini dilepaskan segera
setelah sel mast teraktivasi (1 – 30 menit),
dan menimbulkan respon segera. (ii)
mediator yang baru disintesa pada waktu
aktivasi (newly synthesized), termasuk
lipid mediator dan sitokin. Mediator ini
dilepaskan
24 jam setelah sel mast
teraktivasi, dengan demikian reaksi
hipersensitivitas tipe IV/ delayed lipid
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
148
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
mediator dan sitokin. Mediator ini
diplepaskan 24 jam setelah sel mast
teraktivasi, dengan demikian reaksi
hipersensititas
tipe
IV/
delayed
hipersensitivity merupakan kelanjutan dari
reaksi hipersensitivitas tipe I.
Tabel I.
HUMAN MAST CELL MEDIATORS
Preformed and eluted
Histamin
Chemotactic fc
Superoxide
Aryl sulfatase A
IL 3,4,5,6 & 8
Interferon g, TNF a
(4)
Preformed & granule associated
Heparin – Chondroitin sulfate
Tryptase
Chymase
Carboxypeptidase
Superoxide dismutase
Mediator yang dihasilkan mastosit
dan basofil menimbulkan gejala alergi,
sehingga kedua sel ini disebut juga sel
mediator. Sel mast penuh terisi oleh
bahan vasoaktif yang mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi mikro-sirkulasi
dan
menyebabkan
perubahan
permeabilitas kapiler. Selain itu, mediator ini
dapat mempengaruhi mobilitas sel keluar
masuk jaringan ( kemotaksis), mempengaruhi sistem saraf dengan menimbulkan potensiasi serat saraf lokal,
dan dapat pula merangsang kontraksi
otot polos saluran nafas. Jadi apabila
produk sel mast ini dilepaskan secara
massal, akan terjadi reaksi immediate
type hipersensitivity yang hebat yang
dapat menimbulkan kematian dalam
beberapa saat. Reaksi seperti ini dikenal
dengan reaksi anafilaksis. Mekanisme
kerja sebenarnya didalam tubuh dikaitkan
dengan fungsi biologik sel mast sukar
untuk didefinisikan, karena banyak
mediator yang diproduksi oleh sel lain dan
terjadi banyak interaksi dengan sel - sel
yang lain. (4)
Histamin
Histamin merupakan mediator utama
yang dilepaskan oleh sel mast, berperan
terhadap timbulnya respon segera setelah
Newly synthesized
Leukotrien / SRSA
PAF
Prostaglandin
terpapar oleh alergen. Di dalam tubuh
histamin sebagian besar
disimpan dalam lisosom sel mast dan
basofil dalam bentuk granul, di dalam
granul histamin terikat pada proteoglikan.
Kandungan histamin di dalam sel mast
sekitar 5 - 10 % dari total berat granula. Di
dalam darah normal dapat ditemukan
histamin dalam jumlah sedikit (+500 pg /
ml). Histamin dibentuk dari asam amino
histidin melalui aktivitas enzym histidine
dekarboxilase di dalam sitoplasma.
Struktur kimia histamin berupa beta
imidazolethylamine
disintesa
oleh
aparatus golgi sel mast dan basofil.
Sekitar 3 % diekskresikan melalui urine
dalam bentuk histamin tanpa perubahan,
sisanya dimetabolisir oleh enzym diaminoxidase atau enzym histamin metil
transferase. Hasil metabolit diekskresikan
sebagai metil histamin dan imidazol asam
asetat.
Manifestasi klinik karena pengaruh
histamin terjadi akibat interaksi histamin
dengan reseptornya, yaitu reseptor H1,
H2, H3. Reseptor H1 ditemukan terutama
pada otot polos saluran nafas dan sistem
vaskular. Reseptor H2 ditemukan pada
sel parietal lambung, sedangkan reseptor
H3 terutama pada terminal saraf. Melalui
ikatan pada reseptor, histamin memicu
aktivitas intraselular seperti degradasi
fosfatidil inositol menjadi IP3 dan DAG
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
149
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
yang kemudian menimbulkan perubahan
pada sel tersebut.
Rangsangan pada reseptor H1 menyebabkan kontraksi bronkus dan otot polos,
peningkatan
permeabilitas
vaskular,
vasokonstriksi pulmoner, pening-katan
cGMP intraseluler, dan meningkatkan
sekresi mukosa hidung/ hipersekresi
kelenjar. Keadaan ini mengakibatkan
terjadinya kongesti nasal, rinore, dan
bersin akibat rangsangan pada reseptor
iritan mukosa hidung. Histamin juga
menarik eosinofil dan netrofil untuk
bergerak ke arah yang sesuai dengan
konsentrasi gradient/ kemotaksis. Hampir
semua efek ini dapat diblok oleh
antihistamin (AH 1). Pada sel endotel
kapilar, ikatan histamin menyebabkan
kontraksi sel endotel yang mengakibatkan
keluarnya plasma darah ke jaringan
perivaskular. Histamin juga menyebabkan
sel endotel memproduksi relaksan otot
polos seperti prostasiklin dan oksida nitrat
yang
mengakibatkan
vasodilatasi.
Aktivitas histamin ini menimbulkan wheal
& flare response yaitu edema, flushing
dan pruritus ( triple response of Lewis ).
Histamin
yang
menduduki
H2
reseptor menyebabkan meningkatnya
produksi mukus pada jalan nafas,
meningkatkan keluarnya asam lambung
dan
meninggikan
level
cAMP,
menstimulasi
sel
T
suppresor,
menghambat sel T cytotoxic, menurunkan
pelepasan histamin dari basofil dan sel
mast
(feedback regulation) dan
bronkodilatasi. Efek ini dapat diblok oleh
H2 antagonis. Histamin berperanan
merangsang reseptor saraf yang disebut
nociceptive type C serabut saraf/
reseptor H3. Neuron nociceptive mempunyai banyak cabang pada epitelium
dan daerah submukosa. Serabut saraf ini
berasal dari saraf trigeminus. Pada
mukosa, depolarisasi dari neuron dapat
menyebabkan terbentuknya neurotransmiter seperti substansi P, kalsitonin,
neurokinin A, peptida menyerupai gastrin
dan neuro-transmiter lain melalui me-
kanisme akson respons. Mekanisme
akson respons menambah permeabilitas
kapiler dan mempermudah infiltrasi
lekosit. Substansi P mempunyai potensi
kuat terhadap mukosa dan menimbulkan
eksudasi cairan yang kaya dengan
albumin.
Rangsangan terhadap nociceptor dapat pula menimbulkan refleks
bersin, rasa gatal, eksositosis dari
kelenjar dengan akibat sekresi mukus
(7)
Pelepasan histamin dari sel mast
diduga juga akibat rangsangan PAF,
influks ion Ca 2+ ekstrasel, dan beberapa
sitokin seperti IL1, IL 3, IL5 dan IF
gamma.
Hal
ini
terbukti
adanya
peningkatan kadar sitokin tersebut pada
reaksi lambat rhinitis alergi. Penelitian
dilakukan dengan inkubasi sel mast dan
basofil dalam media yang mengandung
ion Ca 2+, kemudian dilakukan provokasi
dengan PAF, maka dalam waktu 0 -1
menit terjadi pelepasan histamin (4,5).
SRSA ( Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis )
Mediator ini tidak berasal dari granul
sel mast, tetapi berasal dari asam
arakidonat membran sel mast yang
molekul fosfolipidnya terlepas. Apabila
pelepasan molekul fosfolipid terjadi oleh
enzym siklooksigenase, akan terbentuk
prostaglandin D2 dan tromboksan, tetapi
apabila oleh enzym lipooksigenase akan
terbentuk SRSA. Mediator ini dahulu
belum teridentifikasi dengan jelas, hanya
karena pengaruh kliniknya yang lambat
sehingga disebut SRSA, dan kini disebut
leukotrien.
Sintesa leukotrien diawali oleh
hidrolisis asam arakidonat membran sel
mast sehingga terbentuk asam arakidonat
bebas. Asam arakidonat ini kemudian
mengalami
lipooksigenasi
sehingga
terbentuk lekotrin yang tidak stabil (LTA
4). LTA 4 mengalami hidrolisis menjadi
LTB 4 dan LTC 4. LTB 4 merupakan
faktor kemotaktik untuk netrofil, eosinofil,
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
150
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
limfosit dan makrofag. Bila LTC 4
mengalami proses enzymatik tertentu
akan terbentuk LTD 4 dan LTE 4. Potensi
LTD lebih besar dibandingkan LTC dan
LTE.
Leukotrien tidak hanya dihasilkan
oleh sel mast tetapi dapat juga dihasilkan
oleh makrofag alveoli paru dan netrofil.
Injeksi intracutan dari substansi ini
menimbulkan rasa terbakar, erithematous
wheal & flare reaction yang dapat
berlangsung sampai 4 jam. Mikroskopis
tampak edema kulit, dilatasi venula dan
kapiler, dan aktivasi sel endotel. Inhalasi
LTC 4 dan LTD 4 menyebabkan konstriksi
jalan nafas. Dalam hal ini kekuatannya
dapat 100 - 1000 kali kekuatan histamin.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
leukotrien mempunyai aktivitas serupa
dengan histamin namun jauh lebih potent
dan berlangsung lebih lama. (1,4,5)
Prostaglandin
Prostaglandin
disintesa
melalui
proses siklooksigenasi asam arakidonat
mem-bran sel mast. Ada bermacammacam prostaglandin, tergantung dari sel
yang
memproduksinya.
Sel
mast
menghasilkan prostaglandin D2 (PGD2),
makrofag menghasilkan PGE2, PGF2,
dan tromboksan, sedangkan sel endotel
pembuluh darah menghasilkan PGI1 dan
prostasiklin. PGD2 merupakan bronkokonstriktor dan dapat meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan sekresi
mukus. (1,5)
ECFA ( Eosinophyl Chemotactic Fc
of Anaphylaxis )
Beberapa produk sel mast telah
diidentifikasi berfungsi sebagai mediator
dalam proses migrasi granulosit dan sel
mononuklear. Diantaranya adalah high
molecular weight neutrophyl chemotactic
factors (HMW - NCF) yang ditemukan
pada
penderita
asthma
apabila
diprovokasi dengan pemberian antigen.
Selain itu leukotrien (LTB4), PAF dan
histamin juga bersifat kemotaktik terhadap
netrofil. Eosinophylic chemotactic factors
terdapat pada supernatant dari sel mast.
Faktor ini disebut eosinophyl chemotactic
factor of anaphylaxis (ECF -A). Hal ini
dapat menjelaskan mengapa sering
terlihat infiltrasi eosinofil pada reaksi
alergi. (4)
PAF ( Platelet Activating Factor )
PAF dihasilkan oleh sel mast,
makrofag, eosinofil dan netrofil. PAF juga
bersifat kemoatraktan terhadap sel
penghasilnya yaitu eosinofil dan netrofil,
serta meningkatkan degranulasi sel mast.
Diberi nama PAF karena kemampuannya dalam mengaktifkan trombosit
(membentuk
mikrotrombus).
Bila
diinjeksikan ke kulit PAF menimbulkan
wheal and flare response yang disertai
dengan infiltrasi lekosit. Inhalasi PAF
akan menimbulkan bronkokonstriksi akut,
infiltrasi eosinofil dan mengakibatkan
keadaan hiperaktivitas bronkus nonspesifik yang dapat berlangsung beberapa
hari
atau
minggu.
Pada
pemberian intravena dapat menimbulkan
spasme otot polos ileum, aktivasi netrofil,
trombosit dan basofil, dapat juga terjadi
hipotensi dan kolaps vaskular. (1,4,5)
Heparin
Granula sel mast dan basofil kaya
dengan molekul protein karbohidrat
kompleks yang disebut proteoglikan.
Proteoglikan merupakan bahan inti
struktur matriks granula. Sifat metakromasia dari sel mast terjadi karena
pengaruh proteoglikan yang banyak
mengandung ikatan sulfida. Proteoglikan
yang terdapat pada granula sel mast
manusia terutama adalah heparin yang
mempunyai berat molekul 60000 kD.
Setiap sel mast manusia mengandung
sekitar 5 pg heparin. Berbeda dengan sel
mast, pada granula basofil manusia lebih
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
151
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
banyak mengan-dung kondroitin sulfat.
Perbedaan antara heparin dan kondroitin
sulfat adalah pada cabang rantai
glikosaminoglikan. Heparin terdiri dari
rantai asam uronat yang terikat dengan
glukosamin sedangkan kondroitin sulfat
terdiri dari asam uronat yang terikat
dengan galaktosamin. Proteoglikan di
dalam granula mempunyai beberapa
fungsi, diantaranya sebagai tempat
melekat, sekaligus stabilizer dari bahan
aktif lain yang tersimpan didalam granula.
atau menunjukkan gejala klinis dari salah
satu jenis penyakit alergi. Lima puluh
persen
orang
dari
masyarakat
menunjukkan reaksi tes kulit positif
terhadap
satu
atau
lebih bahan
lingkungan hidup sehari- hari, tetapi
hanya 3 - 10 % yang menderita asma
bronkial dan sekitar 20 % menderita
rhinitis alergi. Timbulnya manifestasi klinis
alergi tergantung dari faktor hospes dan
faktor lingkungan seperti
derajat
pemaparan. (1)
Enzym
Pseudoalergi
Ada 2 jenis enzym yang terdapat
pada sel mast : (i) triptase, sekitar 25 %
dari berat sel mast, terdapat dalam
bentuk aktif melalui ikatan yang kuat
dengan heparin. Identifikasi sel mast di
dalam jaringan dapat dilakukan dengan
cara melokalisir enzym triptase secara
imu-nologi. Peninggian kadar triptase
di dalam sirkulasi darah dapat dipakai
se-bagai indikator untuk menunjukkan
ada-nya aktivasi sel mast. Triptase
mencair-kan matriks jaringan ikat melalui
peng-aktivan enzym metalloproteinase.
De-ngan demikian melalui cara ini sel
mast mungkin berperan pada homeostasis jaringan. (ii) chimase, enzym ini
men-degradasi
komponen
membran
basalis termasuk laminin dan dapat
menimbulkan kerusakan jaringan apabila
dilepaskan pada proses degranulasi sel
mast (4).
Yang dimaksud dengan pseudoalergi
ialah reaksi serupa alergi, tetapi bukan
disebabkan alergen dan Ig E. Sebagai
contoh yaitu urtikaria atau syok yang
terjadi setelah suntikan kontras yang
digunakan pada pemeriksaan radiologi.
Atopi
Atopi ialah kemampuan tubuh untuk
memberikan reaksi kulit yang positif
(membentuk Ig E) terhadap satu/lebih
bahan yang ditemukan dalam lingkungan
hidup sehari-hari, misalnya debu rumah,
tepungsari tumbuhan . Faktor atopi dapat
diturunkan. Dalam praktek sehari-hari,
istilah atopi sering disamakan dengan
alergi. Sebenarnya hal itu tidak benar.
Seseorang yang atopik belum tentu alergi
(1)
Desensitisasi
Desensitisasi atau imunoterapi ialah
terapi yang dilakukan dengan cara
memberikan ekstrak alergen sedikit demi
sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig G yang disebut blocking
antibody. Ig G tersebut akan mengikat
alergen yang masuk tubuh sehingga tidak
ada lagi alergen yang dapat diikat oleh Ig
E. Desensitisasi memerlukan waktu yang
lama, mahal, mempunyai resiko terjadinya
syok anafilaksis, dan hanya dilakukan
pada indikasi kuat. Pengobatan ini
memberi hasil baik pada alergi serangga
dan rinitis musiman. Desensitisasi pada
asma
bronkial
masih
merupakan
kontroversi. (1)
KESIMPULAN
Sel mast memegang peranan penting
dalam mekanisme timbulnya gejala klinis
dalam reaksi hipersensitivitas tipe I . Hal
ini berkaitan dengan kemampuan sel
mast dalam mengikat Ig E melalui
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
152
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
reseptor Fc. Ikatan antara antigen dan Ig
E akan menimbulkan degranulasi sel
mast dan melepaskan mediator kimia
ke dalam jaringan. Hal ini mengakibatkan
timbulnya gejala alergi berupa reaksi lokal
seperti asma bronkial, rinitis, konjungtivitis, dermatitis atopik, atau reaksi
sistemik seperti urtikaria dan syok
anafilaksis. Histamin merupakan mediator
utama yang dilepaskan oleh sel mast,
mediator yang lain adalah
SRSA,
Prostaglandin, ECFA, PAF, Heparin, dan
Enzym.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baratawidjaja, K. 1993. Penyakit alergi.
Yayasan Penerbit IDI. Jakarta.
2. Fawcett, D.W. 1986. Connective tissue
proper. A textbook of
Histology. In:
Bloom, W. and Fawcett, D.W. WB
Saunders Co. Japan. 11 th ed : 160 – 64.
3. Gunawijaya, F. A. 1994.
Jaringan
penyambung. Buku Teks Histologi jilid I.
Binarupa Aksara. Jakarta. 169 – 70.
4. Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru
tentang ciri morfologik dan fungsinya.
Jurnal Kedokteran Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.
5. Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka
patogenesis dan mediator kimia pada
rinitis alergi. Maj. Kedokter Diponegoro. 1
& 2 : 119 – 27.
6. Juncqueira, L. , Carneiro, J. 1980.
Connective tissue. Basic Histology. Lange.
Canada. 3 rd ed : 100 – 03.
7. Konthen, P. G. 1998. Pandangan baru
penatalaksanaan
penyakit
alergi
berdasarkan imunopatogenesis. Surabaya
J.Int. Med. 24 (1) : 9 – 13.
8. Leeson, C. R. , Leeson, T. S., Papparo, A.
A. 1981. Connective tissue. Histology.
WB Saunders Co. 4 th ed. 123 – 25.
9. Stevens, A. , Lowe, J. 1997. Blood cells.
Human Histology. Mosby Co. U K. 2 nd
ed, : 105.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3
153
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
Download