1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan masyarakat utama bagi
negara maju dan berkembang. WHO mengemukakan bahwa penyakit ini
merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak. Infeksi terbanyak terutama
pada anak-anak di bawah lima tahun (balita) adalah infeksi saluran nafas akut
(ISPA) (Kaur dkk., 2011). Berdasarkan hasil observasi Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta, peringkat pertama penyakit infeksi di seluruh Puskesmas Kota pada
tahun 2014 adalah ISPA. Terdapat 2 Puskesmas dengan persentase ISPA tertinggi
yaitu Puskesmas Umbul Harjo II (13,08%) dan Puskesmas Wirobrajan (13,06%)
(Dinkes DIY, 2014).
Tingginya penyakit infeksi tidak terhindarkannya penggunaan antibiotik
sebagai salah satu penanganan penyakit infeksi. Khusus untuk kawasan Asia
Tenggara, penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% di banyak
provinsi di Indonesia (Depkes RI, 2011). Berbagai studi menemukan, sekitar
40%-62%
antibiotik
digunakan
untuk
penyakit-penyakit
yang
tidak
memerlukannya (Kepmenkes RI, 2011). Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik
mendorong terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Dengan kemajuan teknologi, jumlah dan jenis antibiotik yang bermanfaat
secara klinis semakin meningkat, sehingga diperlukan ketepatan yang tinggi
dalam memilih antibiotik. Pemilihan antibiotik yang kurang tepat dapat
menimbulkan dampak negatif yaitu timbulnya resistensi bakteri dan efektifitas
1
2
antibiotik yang rendah terhadap bakteri tertentu. Resistensi bakteri terhadap
antibiotik mempunyai arti klinis yang amat penting. Suatu bakteri yang awalnya
peka terhadap suatu antibiotik, setelah beberapa tahun kemudian dapat resisten,
dan berakibat pada sulitnya proses pengobatan karena sulitnya memperoleh
antibiotik yang dapat membasmi bakteri tersebut (Jawetz dkk., 2005).
Studi yang telah dilakukan di Indonesia selama 1990-2010 mengenai
resistensi antibiotik, resistensi terjadi hampir pada semua bakteri–bakteri patogen
penting. Hal tersebut merupakan dampak negatif dari pemakaian antibiotik yang
irasional, penggunaan antibiotik dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama
pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, serta pemakaian
antibiotik secara berlebihan. Dampak lainnya dari pemakaian antibiotik secara
irasional dapat berakibat meningkatkan toksisitas, dan efek samping antibiotik
tersebut (WHO, 2011). Hal ini harus ditanggulangi bersama dengan cara yang
efektif, antara lain dengan melakukan monitoring serta evaluasi penggunaan
antibiotik di pusat pelayanan kesehatan, salah satunya dengan melakukan kajian
ketepatan penggunaan antibiotik yang merupakan salah satu bentuk tanggung
jawab farmasis dalam rangka mempromosikan penggunaan antibiotik yang
rasional.
Kajian ketepatan penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui
rasionalitas penggunaan antibiotik. Penilaian ketepatan ini meliputi: tepat indikasi,
pemilihan jenis antibiotik, dosis, interval, dan lama pemberian. Penelitian
mengenai kajian ketepatan penggunaan antibiotik belum pernah dilaksanakan di
Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta sehingga penelitian ini diharapkan dapat
3
meningkatkan kualitas pelayanan pengobatan terutama dalam pemilihan dan
penggunaan antibiotik yang tepat untuk terapi infeksi tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola peresepan antibiotik di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta
pada tahun 2014?
2. Bagaimana
ketepatan
penggunaan
antibiotik
berdasarkan
pedoman
pengobatan dasar puskesmas tahun 2007, guideline WHO tahun 2001, dan
Drug Information Handbook tahun 2006?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pola peresepan antibiotik di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta.
2. Memperoleh gambaran ketepatan penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman
pengobatan dasar puskesmas tahun 2007, guideline WHO tahun 2001, dan
Drug Information Handbook tahun 2006.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai informasi tambahan bagi tenaga kesehatan dalam penggunaan
antibiotik di Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta.
2. Bermanfaat dalam menambah wawasan tentang kesehatan, terutama tentang
penggunaan antibiotik yang rasional.
4
E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi dan Klasifikasi Antibiotik
Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh mikrobayang
berfungsi untuk membunuh atau menekan pertumbuhan bakteri. Prinsip
umum terapi dengan menggunakan antibiotik yaitu memiliki efek samping
yang rendah bagi tubuh manusia dan mempunyai toksisitas selektif terhadap
bakteri patogen (Nugroho, 2011).
Penggolongan
antibiotik
dapat
diklasifikasikan
sebagai
berikut
(Siswandono dan Soekardjo, 2000):
a. Berdasarkan struktur kimia antibiotik
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Golongan
Aminoglikosida,
gentamisin,
kanamisin,
antara
lain
neomisin,
amikasin,
netilmisin,
dibekasin,
paromomisin,
sisomisin, streptomisin, tobramisin.
2) Golongan
Beta-Laktam,
(ertapenem,
antara
lain
golongan
karbapenem
imipenem, meropenem), golongan sefalosporin
(sefaleksin,
sefazolin,
sefuroksim,
sefadroksil,
seftazidim),
golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin,
amoksisilin).
3) Golongan Glikopeptida, antara lain vankomisin, teikoplanin,
ramoplanin dan dekaplanin.
4) Golongan
Makrolida,
antara
klaritromisin, roksitromisin.
lain
eritromisin,
azitromisin,
5
5) Golongan Tetrasiklin, antara lain doksisiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin.
6) Golongan Polipeptida, antara lain polimiksin dan kolistin.
7) Golongan Kuinolon, antara lain asam nalidiksat, siprofloksasin,
ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.
8) Golongan Oksazolidinon, anatara lain linezolid.
9) Golongan Sulfonamida dan turunannya, antara lain sulfadiazin,
sulfametoksazol, dapson, dan asam paraaminosalisilat.
10) Golongan
Diaminopirimidin,
antara
lain
trimetoprim
dan
pirimetamin.
11) Golongan Turunan Nitrobenzen, antara lain kloramfenikol.
12) Golongan Linkosamida, antara lain klindamisin dan linkomisin.
13) Golongan Nitroimidazol, antara lain metronidazol dan tinidazol.
14) Golongan
Turunan
Asam
Nikotinat,
antara
lain
isoniazid,
pirazinamid, dan etionamid.
15) Golongan Antibiotik Polien, antara lain nistatin dan amfoterisin B.
16) Golongan Turunan Azol, antara lain mikonazol, ketokonazol, dan
flukonazol.
17) Golongan Nitrofuran,antara lain nitrofurantoin dan furazolidin.
18) Antibiotik lain yang penting, seperti rifampisin, etambutol,
spektinomisin,
griseofulvin,
tiasetazon,
clofazimin.
6
b. Berdasarkan toksisitas selektif
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, terdapat antibiotik yang
bersifat bakteriostatik dan bakterisid. Agen bakteriostatik menghambat
pertumbuhan atau multiplikasi bakteri sedangkan agen bakterisida
membunuh bakteri. Kedua istilah tersebut berkaitan dengan istilah kadar
hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Kadar
hambat minimum merupakan kadar minimal yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan mikroba dan KBM merupakan kadar minimal
yang diperlukan untuk membunuh mikroba (Nugroho, 2011). Antibiotik
tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisid apabila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM
(Anonim, 2008).
c. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik
Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik
dikelompokkan sebagai berikut (Kepmenkes RI, 2011):
1) Inhibitor sintesis dinding sel bakteri
Memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim dinding sel
dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya antara
lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin, karbapenem,
monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti
vancomisin, basitrasin, fosfomisin, dan daptomisin.
7
2) Inhibitor sintesis protein bakteri
Memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara
menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan
menghambat
tahap-tahap
aktivitasnya
menginhibitor
sintesis
protein.
sintesis
protein
Obat-obat
bakteri
yang
seperti
aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin,
oksazolidinon, kloramfenikol.
3) Menghambat sintesa folat
Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti sulfonamida dan
trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi
harus membuat asam folat dari PABA (asam paraaminobenzoat),
pteridin, dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat
merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal
ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawasenyawa antimikroba.
4) Mengubah permeabilitas membran sel
Memiliki
efek
bakteriostatik
dan
bakteriostatik
dengan
menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya
substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat-obat yang
memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B,
gramisidin, nistatin, kolistin.
8
5) Mengganggu sintesis DNA
Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti metronidasol,
kinolon,
novobiosin.
Obat-obat
ini
menghambat
asam
deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis
DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang
menyebabkan terbukanya danterbentuknya superheliks pada DNA
sehingga menghambat replikasi DNA.
6) Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin.
d.
Berdasarkan aktivitas antibiotik
Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai
berikut (Kee dan Hayes, 1996):
1) Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
Golongan ini efektif untuk melawan beberapa jenis organisme,
contohnya seperti tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap
organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik
berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit
infeksi yang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
2) Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)
Golongan ini efektif untuk melawan satu jenis organisme, contohnya
penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum
sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam
melawan
organisme
tunggal
tersebut
daripada
antibiotik
9
berspektrum luas.
e. Berdasarkan pola bunuh antibiotik
Terdapat 2 pola bunuh antibiotik terhadap kuman yaitu (Anonim,
2008):
1) Time dependent killing.
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal
jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat
minimal (KHM) kuman, sebagai contoh adalah pada antibiotik
penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.
2) Concentration dependent killing.
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal
jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tetapi tidak
memerlukan mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama,
misalnya
pada
antibiotik
golongan
aminoglikosida
dan
fluorokuinolon.
f. Berdasarkan indikasi penggunaan antibiotik, maka terapi antibiotik dapat
dibagi tiga, yakni terapi empiris, terapi definitif, dan terapi profilaksis
(Kepmenkes RI, 2011).
1) Terapi empiris, antibiotik diberikan pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik
untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan
10
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pemilihan jenis
dan dosis antibiotik berdasarkan data epidemiologi dan pola
resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit
setempat. Rute pemberian antibiotik pada terapi empirik secara per
oral seharusnya namun bila pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Pemberian antibiotik
empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi
klinis pasien serta data penunjang lainnya.
2) Terapi definitif, antibiotik diberikan pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Pemberian
antibiotik untuk terapi definitif bertujuan untuk eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab
infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Rute
pemberian antibiotik secara per oral namun pada infeksi sedang
sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik
parenteral dan jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian
antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per
oral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi
klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
11
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang
lainnya.
3) Terapi profilaksis, antibiotik yang diberikan untuk pencegahan
pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik yang berspektrum sempit dan spesifik.
Untuk menentukan penggunaan antibiotik dalam menangani penyakit
infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip umum dibawah ini
(Leekha dkk., 2011):
a. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini dapat dilakukan secara klinis
berdasarkan
kriteria
diagnosa
ataupun
pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan lain yang diperlukan. Gejala panas sama sekali bukan kriteria
untuk diagnosis adanya infeksi.
b.
Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan
ilmiah berdasarkan pengalaman atau epidemiologi di daerah setempat
atau dari informasi-informasi ilmiah lain.
c.
Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan terapi antibiotik misalnya
infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena
kontaminasi kuman-kuman enterik.
d.
Jika diperlukan antibiotik, pemilihan antibiotik yang sesuai berdasarkan
spektrum antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi
pada pasien, ada tidaknya interaksi yang merugikan, bukti akan adanya
manfaat klinik dari masing-masing antibiotik untuk infeksi yang
bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya. Dari
12
sisi bakteri, pertimbangkan site of infection and most likely colonizing,
berdasar pengalaman atau evidence based sebelumnya bakteri apa yang
paling sering, pola kepekaan antibiotik yg beredar.
e.
Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat
kinetika masing-masing antibiotik dan fungsi fisiologis sistem tubuh
(misalnya
fungsi
ginjal,
fungsi
hepar
dan
lain-lain).
Perlu
dipertimbangkan dengan cermat pemberian antibiotik, misalnya pada ibu
hamil dan menyusui, anak-anak, dan orang tua.
f.
Evaluasi efek obat, meliputi apakah obat bermanfaat, kapan dinilai,
kapan harus diganti atau dihentikan serta adakah efek samping yang
terjadi.
2. Faktor Kegagalan Terapi Antibiotik
Keberhasilan terapi dengan antibiotik pada kasus infeksi dapat
dilihat secara klinik dan mikrobiologi dimana secara klinik dapat
digambarkan dengan kondisi pasien yang membaik, sedangkan secara
mikrobiologi dapat dilihat dari eradikasi mikroorganisme yang menginfeksi.
Berikut ini adalah faktor–faktor yang dapat menyebabkan kegagalan terapi
antibiotik (Tripathi, 2008).
a. Pemilihan jenis antibiotik, dosis, rute pemberian, durasi pengobatan yang
tidak sesuai dengan kasus infeksi.
b. Penatalaksaan terapi dengan antibiotik yang terlambat diberikan.
c. Pertahanan tubuh pasien yang menerima antibiotik sangat buruk, seperti
pada pasien leukimia, neutropenia dan kasus infeksi lainnya.
13
d. Kesalahan atau kegagalan dalam mengatasi hal-hal mekanik seperti
drainase abses, empisema, pengeluaran batu ginjal, pencucian luka,
teknik debrimen.
e. Terapi penyakit yang tidak tepat penyebabnya dengan antibiotik
misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus, malignansi, parasit.
f. Munculnya organisme resisten atau organisme yang menginfeksi berubah
sehingga dapat menyebabkan kekambuhan.
3. Resistensi Bakteri
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan
bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal
yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya (Tripathi, 2003). Resistensi
terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan
turun atau hilangnya efektivitas obat dalam mengobati infeksi. Bakteri yang
mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak
bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat
minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari dkk.,2008).
Suatu bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik karena sebagai
berikut (Nugroho, 2011):
a.
Bakteri mensintesis suatu enzim yang dapat menginaktivasi antibiotik,
misalnya Staphylococci merupakan bakteri memproduksi enzim β
lactamase yang dapat memecah cincin β-lactam dari penisilin (antibiotik
golongan β-lactam).
14
b.
Bakteri mengubah sisi ikatan obat (drug-binding site), misalnya
perubahan protein sisi ikatan pada subunit 50S yang diperatarai plasmid
mengakibatkan resistensi terhadap eritromisin.
c.
Bakteri
mengembangkan jalur lainuntuk menghindari reaksi yang
dihambat oleh antibiotik, misalnyapada kasus resistensi bakteri terhadap
trimetropim. Produksi dihidrofolat reduktase oleh plasmid yang tidak
mempunyai afinitas terhadap trimetropim mengakibatkan resistensi
terhadap antibiotik tersebut. Resistensi sulfonamid juga diperantarai
plasmid, menghasilkan bentuk dihidropteroat sintetase oleh plasmid
tersebut dengan afinitas rendah terhadap sulfonamid, namun berafinitas
tinggi terhadap p-amino benzoic acid (PABA).
d.
Bakteri menurunkan pengambilan obat kembali (drug uptake), misalnya
gen resisten dalam plasmid yang mengkode protein yang dapat terinduksi
dalam membran bakteri, mengakibatkan proses efluks yang tergantung
energi (energy-dependent efflux) terhadap tetrasiklin.
Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang
meluas dan irasional. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk
kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang
tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa faktor yang mendukung
terjadinya resistensi, antara lain (Depkes RI, 2011):
a. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) dimana pemakaiannya
terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang
salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
15
b.
Faktor yang berhubungan dengan pasien yaitu pada pasien dengan
pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan
antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus,
misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat.
Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan
terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan.
Bahkan pasien membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan dari dokter
(self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang
rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
c.
Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care
expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan
meningkat ketika diagnosa awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan
dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan
dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
d.
Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan penggunaan terapi
kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
e.
Perilaku hidup tidak sehat terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya
tidak mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat
yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
f.
Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak dimana antibiotik juga
dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan
ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin
untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila
16
dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya
resistensi.
g.
Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi
serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran
barang sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas. Hal ini
memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotik.
h.
Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan
antibiotik baru
i.
Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan
pemakaian
antibiotik,
misalnya,
pasien
dapat
dengan
mudah
mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu
juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan
mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi
4. Penggunaan Antibiotik yang Rasional
WHO menyatakan bahwa lebih dari setengah peresepan obat diberikan
secara tidak rasional. Kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain
(Depkes RI, 2008):
a. Sesuai dengan indikasi penyakit
Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik
yang akurat.
b. Diberikan dengan dosis yang tepat
Pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan kronologis
penyakit.
17
c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat
Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.
d. Lama pemberian yang tepat
Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu
tertentu.
e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin
f. Hindari pemberian obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis
keluhan penyakit. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis
obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah.
g. Meminimalkan efek samping dan alergi obat
Prinsip umum peresepan antibiotik berdasarkan WHO tahun 2001, yaitu:
a. Aktivitas spektrum
Informasi antibiotik yang digunakan dalam terapi sebaiknya telah
diketahui aktivitasnya terhadap bakteri penyebab infeksi, selain itu
pemilihan jenis antibiotik memperhatikan keefektivan dan keamanan
untuk kasus infeksi yang dituju.
b. Farmakokinetik dan farmakodinamik
Farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik ditentukan oleh 3 faktor,
yakni waktu paruh dalam serum, distribusi antibiotik dalam cairan dan
jaringan tubuh serta akumulasi antibiotik dalam sel fagositik. Dosis
antibiotik yang diberikan harus konsisten dengan waktu paruh dalam
tubuh. Infeksi patogen intraseluler membutuhkan antibiotik dengan level
18
yang lebih tinggi. Selain itu, jumlah ikatan obat dengan protein
menentukan kadar obat antibiotik dalam darah.
c. Rute administrasi antibiotik
Rute administrasi antibiotik berkaitan dengan ketersediaan antibiotik
dalam tubuh. Antibiotik diberikan melalui rute yang paling sesuai dengan
kondisi pasien dan dosis optimum untuk infeksi yang terjadi. Umumnya
antobiotik diberikan melalui oral namun pada beberapa kondisi pasien
membutuhkan injeksi antibiotik seperti infeksi berat, kolaps, gangguan
usus, dan lainnya.
d. Dampak antibiotik terhadap kondisi tubuh
Jika ada pilihan antibiotik yang memiliki rata-rata penyembuhan, biaya
dan toleransi yang sama maka antibiotik yang dipilih dalam mengatasi
infeksi hendaknya memiliki efek merugikan sekecil mungkinj pada flora
normal host. Sehingga adverse drug reaction dapat dihindari seperti
beberapa kasus diare terkait antibiotik.
e. Biaya
Harga antibiotik yang cost effective mejadi hal yang perlu diperhatikan.
Antibiotik yang memiliki efikasi, toleransi dan keefektifan yang sesuai
dengan harga murah adalah pertimbangan dalam pengobatan.
f. Kombinasi antibiotik
Pada beberapa pertimbangan klinis kombinasi antibiotik diperlukan untuk
mendapatkan efek yang diinginkan. Indikasi umum terapi kombinasi
antibiotik antara lain untuk memperoleh efek sinergis antibiotik, mencegah
19
terjadinya resistensi, dan untuk memperluas spektrum aktivitas antibiotik
dari penyebab yang belum diketahui atau infeksi oleh berbagai macam
bakteri.
g. Pedoman Pengobatan
Literatur dan pustaka seperti formularium sebaiknya mencantumkan
pilihan antibiotik yang sesuai untuk berbagai macam indikasi infeksi
berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM) yang telah disetujuia para
ahli. Formularium ini perlu dievaluasi pada selang waktu tertentu.
Kasus penggunaan antibiotik yang tidak rasional perlu dikendalikan,
beberapa guideline kini memiliki kebijakan dalam peresepan antibiotik
diantaranya adalah (Ritter dkk, 2008):
a. Tidak meresepkan antibiotik pada penyakit ringan seperti batuk dan
demam atau penyakit saluran pernafasan karena virus seperti sakit
tenggorokan atau faringitis.
b. Membatasi peresepan antibiotik pada penyakit sistitis akut hanya sampai 3
hari pada wanita sehat.
c. Membatasi peresepan antibiotik melalui telepon kecuali pada kasus –
kasus tertentu.
20
Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak menurut Kepmenkes tahun
2011, yaitu:
a. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum
sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan
lama pemberian yang tepat.
b. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan
pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan
antibiotik lini pertama.
c. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan
pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara
terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan
antibiotik tertentu (reserved antibiotics).
d. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang
lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).
e. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
1) Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
kuman terhadap antibiotik.
2) Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab
infeksi.
3) Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
21
4) Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi
dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
5) Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan
aman.
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan
beberapa langkah sebagai berikut (Kepmenkes RI, 2011):
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan
antibiotik secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidanginfeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim
(teamwork).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara
bijak yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih
rincidi tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
dan masyarakat.
5. Profil Puskesmas Wirobrajan
Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 74 Tahun 2008
Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta merupakan unit pelaksana teknis untuk
menunjang operasional dinas dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat
di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Puskesmas Wirobrajan
beralamatkan di Jalan Bugisan WB II/437 Gang Dorodasih Kecamatan
22
Wirobrajan Kota Yogyakarta. Kegiatan pelayanan kesehatan di puskesmas ini
meliputi Balai Pengobatan Umum (BPU), Balai Pengobatan Gigi (BPG),
BKIA/KB, unit farmasi, unit puskesmas keliling, konseling gizi, kesehatan
lingkungan, promosi kesehatan, poli lansia.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
128/Menkes/SK/II/2004
Tentang
Kebijakan
Dasar
Pusat
Kesehatan
dan
memantau
Masyarakat, fungsi puskesmas adalah sebagai berikut:
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas
selalu
berupaya
menggerakkan
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat
dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta
mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif
memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan
setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah
mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas
selalu
berupaya
agar
perorangan
terutama
pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki
kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan
masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan
kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
23
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan
dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya
masyarakat setempat.
c. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama
Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab
puskesmas meliputi:
1) Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat
pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan
penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan
perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu
ditambah dengan rawat inap.
2) Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat
publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan
meningkatkan
kesehatan
serta
mencegah
penyakit
tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi
kesehatan,
pemberantasan
penyakit,
penyehatan
lingkungan,
24
perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana,
kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan obat dan bahan medis
habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan pengelolaan obat
dan bahan medis habis kakai dimulai dari perencanaan, permintaan,
penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan serta pemantauan dan evaluasi yang bertujuan untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan bedis habis
pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi atau
kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen,
dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan, sedangkan kegiatan
pelayanan farmasi klinik berhubungan langsung dengan pasien terkait obat
dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes RI, 2006).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh keterangan mengenai ketepatan
penggunaan antibiotik melalui distribusi peresepan antibiotik berdasarkan jenis
antibiotik yang paling banyak diresepkan, bentuk sediaan yang paling banyak
diresepkan, serta kesesuaian indikasi, jenis antibiotik, dosis, frekuensi, dan durasi
antibiotik yang digunakan berdasarkan pedoman yang diacu di Puskesmas
Wirobrajan Yogyakarta pada tahun 2014.
Download