Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 GAMBARAN SPLENOSIT, LIMPA DAN KEKEBALAN PADA MENCIT GALUR BALB/C YANG DIBERI ALANTOIN DAN DIINFEKSI Toxoplasma gondii (The Feature of Splenocyt, Lien and Immunity on Mice Balb/C Strain Treated by Allantoin and RH Strain Toxoplasma gondii) TOLIBIN ISKANDAR1, DIDIK T. SUBEKTI1 dan EKA FITRI DIANI2 2 1 Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640 ABSTRACT Toxoplasmosis is a zoonotic disease caused by Toxoplasma gondii which included in coccidian group. One of infecting form of T. gondii is tachyzoite. Tachyzoite can infect nucleated cell and spread rapidly. Therefore it cause damage to many cells. To prevent the damage neded drugs which can reduce tachyzoite regenerate the damage cells. Based on the prior research of allantoin 0,4%, recovery of incision was in sheep. The research was aim study the effect of allantoin treatment per oral on mice which infected by T. gondii. Mice was divided into four groups (10 mice respectively) consist of normal control with aquadest, infected without drugs, infected + allantoin 0,4%, noinfected + allantoin 0,4%. All of mice on each groups were infected intra peritoneally by 2.5 x 103 RH strain of T. gondii. The result have shown that allantoin 0,4 mg/20 g bw was successfully regeneration. Splenocyst increased and immunity improved the quality of lif, therefore the treatment of allantoin was good. Key Words: Splenocyst, Immunity, Survivality, Allantoin, T. gondii ABSTRAK Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii yang tergolong koksidia. Salah satu bentuk infektif T. gondii adalah takizoit. Takizoit mampu menginfeksi sel berinti dan mampu berkembang biak dengan cepat di dalam sel berinti. Sehingga bisa menyebabkan keruksakan yang lebih luas. Upaya untuk menghindari kerusakan yang lebih luas dibutuhkan obat-obat yang mampu mereduksi takizoit atau obat-obat yang mampu meregenerasi sel-sel yang rusak. Berdasarkan penelitian sebelumnya pemberian alantoin 0,4% mampu mempercepat penyembuhan luka insisi pada domba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian alantoin secara oral terhadap mencit yang diinfeksi T. gondii. Hewan coba sebanyak 40 ekor dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol normal (KI) hanya diberi aquadest; kontrol negatif (KII) diinfeksi tapi tidak diobati; kelompok (KIII) diinfeksi + alantoin 0,4% sebanyak 0,2 ml ≈ 0,8 mg/0,2 ml; kelompok alantoin (KIV) tidak diinfeksi hanya diberi alantoin 0,4% sebanyak 0,2 ≈ 0,8 mg/0,2 ml. Masing-masing grup mencit diinfeksi dengan dosis 2,5 x 103 takizoit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian alantoin 0,4 mg/20g BB mampu meregenerasi splenosit dan kekebalan, juga mampu memperpanjang daya hidup mencit yang terinfeksi T. gondii. Kata Kunci: Splenosit, Kekebalan, Daya Hidup, T. Gondii, Alantoin PENDAHULUAN Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang merupakan salah satu protozoa golongan koksidia, yang menyerang hewan dan manusia (HARIYONO, 2000). Secara umum parasit ini 1074 mempunyai tiga bentuk infektif yaitu takizoit yang terdapat dalam cairan tubuh; bentuk bradizoit (kista) yang terdapat di dalam jaringan tubuh; dan bentuk ookista yang akan bersporulasi dan terdapat di dalam tinja kucing (ISKANDAR, 1999). Induk semang sejati parasit ini adalah kucing dan hewan sejenisnya Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 (Felidae), sedangkan induk semang perantara bisa mencit, manusia, domba, sapi, ikan (RESENDES et al., 2002). Secara alami invasi parasit umumnya terjadi di usus, dan kemudian akan memasuki sel. Parasit berkembang biak di dalam sel induk semang, sehingga menyebabkan sel induk semang pecah dan parasit yang baru keluar dari sel dan masuk ke dalam sel yang lain di sekitarnya. Dengan demikian akan terjadi kerusakan jaringan yang lebih luas. Sesungguhnya parasit tersebut dapat berkembang biak di dalam hampir semua sel berinti, kecuali sel darah merah yang tidak berinti (NOER, 1996). Infeksi yang disebabkan T. gondii khususnya tipe I di perkirakan dapat mengakibatkan terjadinya imunosupresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mencit yang sebelumnya telah terpapar oleh antigen T. gondii galur RH (salah satu galur dari tipe I) dan kemudian diinfeksi oleh penyakit yang sama, ternyata berakibat gagalnya limfosit dari limpa untuk berproliferasi pada stimulasi in vitro (SUBEKTI et al., 2004). Selain itu protein soluble dari takizoit T. gondii dapat menyebabkan terjadinya paralisis temporer pada sel target seperti sel dendritik (ALIBERTI dan SHER, 2002). Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen professional yang lebih efektif dan efisien dibandingkan makrofag dalam mengawali respon imun. CHANON et al. (2000) menyatakan takizoit dapat menginfeksi semua sel berinti, ternyata sel dendritik, monosit, (dan makrofag), limfosit dan neutrofil dilaporkan cukup sering dan dominan di infeksi. Implikasi lanjut dari terinfeksi dan terdestruksi sel-sel tersebut akan berdampak serius pada berbagai jaringan dan organ yang dibangun oleh sel-sel berinti maupun komponen sistem imun natural (innate immunity) sehingga berakibat kematian. Upaya mempercepat regenerasi sel-sel dan jaringan khususnya pada limpa (splenosit) dan darah (leukosit) di harapkan dapat meningkatkan harapan hidup dari individu atau hewan coba yang terinfeksi T. gondii. Bahan yang berpotensi dapat menstimulasi proliferasi sel, tentu dapat pula melakukan regenerasi selsel dan jaringan yang rusak. Salah satu bahan yang berperan sebagai stimulator sel adalah alantoin (SUBEKTI, 1996). Selama ini alantoin lebih dikenal sebagai salah satu bahan yang banyak digunakan dalam produk komestik. Alantoin sesungguhmya merupakan metabolit hasil katabolisme dari purin. Pada mamalia alantoin berasal dari adenosine, adenine dan guanosin yang didegradasi menjadi asam urat dan selanjutnya oleh enzim urikase diubah menjadi alantoin (SUBEKTI, 1996). Penggunaan alantoin sebagai stimulator proliferasi sel untuk tujuan regenerasi sel yang rusak dan akselerasi proliferasi sel pada luka telah banyak dilaporkan dan memberikan hasil yang memuaskan pada konsentrasi 0,4% (SUBEKTI et al., 1998). Walaupun kemampuan alantoin dalam akselerasi dan regenerasi sel secara topikal cukup baik, namun sampai sejauh ini masih belum diketahui aplikasi alantoin secara oral, khususnya yang berkaitan dengan toksoplasmosis. Kekebalan yang muncul terhadap infeksi T. gondii berupa respon imun seluler dan humoral, baik yang sistemik maupun mukosal. Kedua tipe respon imun tersebut secara sinergis memberikan proteksi atau perlindungan pada setiap individu yang normal (SUBEKTI, 2004; BARRAGAN dan SIBLEY, 2002). Respon imun humoral sangat esensial dalam memberikan perlindungan pada inang. Kepentingan respon imun humoral tersebut berkaitan dengan bentuk takizoit ekstraseluler yang aktif dan invasif dalam sistem sirkulasi. Pada sistem sirkulasi yang berperan utama adalah IgM dan IgG (SUBEKTI, 2004). Tujuan penelitian ini dengan penggunaan alantoin secara oral diharapkan dapat meregenerasi selsel berinti seperti limpa, respon kekebalan dan memperpanjang daya hidup mencit. MATERI DAN METODE Hewan coba yang digunakan adalah mencit BALB/c yang dilakukan di Kelti Parasitologi pada Balai Penelitian Veteriner (BALITVET), Bogor. Dengan berat badan 15 – 20 g, umur 2 – 3 bulan sebanyak 40 ekor. Inokulasi dilakukan secara intraperitoneal masingmasing dengan dosis 2,5 x 103 takizoit per mencit. Pengambilan sampel hari ke-8 setelah inokulasi, mencit dieutanasi. Kemudian diambil cairan peritoneum, darah dan organ limpa. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan respon imun menurut DEBARD et 1075 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 al. (1996) dengan metode atau teknik yang digunakan adalah Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Menghitung jumlah sel limpa menurut OLGICA et al. (2001). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan metode Uji Sidik Ragam eka arah (One Way ANOVA) maupun deskriptif. Uji sidik ragam eka arah dilakukan dengan menggunakan program MINITAB 10,5TM HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian oral alantoin terhadap berat limpa Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian oral alantoin terhadap berat limpa mencit yang diinfeksi T. gondii. Pada Tabel 1. berikut dapat dilihat gambaran anatomi limpa mencit baik yang diinfekssi dengan T. gondii maupun tidak. Terlihat perbedaan warna antara kelompok normal dengan yang diinfeksi maupun yang diinfeksi diberi alantoin. Hal ini karena sel limpa yang diinfesi T. gondii banyak yang rusak mengalami degenerasi sehingga pucat. Karena limpa banyak sel-sel fagositik dan hubungan erat antara darah yang beredar dalam sel-sel ini seperti halnya dengan organ-organ limpatik lain. Limpa merupakan tempat berkumpulnya limfosit-limfosit aktif yang masuk ke dalam darah. Limpa memberi reaksi dengan cepat terhadap antigen yang dibawa oleh APC (Antigen Presenting Cell) dalam darah dan merupakan organ penting dalam proses aktivasi sistem imun adaptif. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa limpa merupakan filter imunologik dari sistem sirkulasi (SHEERWOOD, 2001). Pengaruh pemberian oral alantoin terhadap berat limpa mencit yang diinfeksi T. gondii dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisa statistik. Menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara KI dengan KII dan KI dengan KIV. Sementara itu, KII dengan KIII, KII dengan KIV, KIII dengan KIV, dan KI dengan KIII tidak ada perbedaan yang nyata. Dari hasil pengamatan dapat dilihat perbedaan anatomi antara limpa mencit yang diinfeksi T. gondii. Limpa yang diinfeksi memiliki warna yang lebih pucat, ukuran dan bobot yang lebih kecil dibandingkan dengan mencit yang tidak diinfeksi. Pada kelompok infeksi diperoleh bobot yang lebih kecil dari kelompok normal. Gambar 1. Diagram batang berat limpa KI: Normal; KII: Infeksi; KIII: Uji (Infeksi + alantoin); KIV: Alantoin a, b: Bila terdapat satu atau lebih superskrip yang sama antar Kelompok menunjukan tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok tersebut 1076 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 Pengaruh pemberian oral alantoin terhadap jumlah total sel limpa (splenosit) Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian oral alantoin terhadap jumlah sel limpa mencit yang diinfeksi dengan T. gondii. Grafik nilai rata-rata jumlah sel limpa dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil statistik di atas menunjukkan tidak ada beda yang nyata pada KIV dengan KI, KII dan KIII Pada kelompok infeksi diperoleh jumlah sel limpa lebih kecil dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini dikarenakan kerusakan jaringan terutama jaringan yang disusun oleh sel-sel retikuloendotel dan otot polos. Sementara itu, jumlah sel limpa pada kelompok uji lebih besar dibandingkan dengan kelompok infeksi. Meskipun demikian bobot limpa pada kelompok uji lebih kecil dibandingkan dengan kelompok normal dan jumlah sel limpa yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini disebabkan kemampuan alantoin dalam meregenerasi sel, namun tidak dapat memulihkan jaringan yang terdestruksi oleh infeksi takizoit T. gondii dalam waktu 4 hari. Sementara itu, pada kelompok alantoin diperoleh bobot dan jumlah sel limpa yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok normal, dan secara statistik berbeda nyata. Mungkin hal ini merupakan salah satu efek dari pemberian alantoin per oral, karena sejauh ini masih belum banyak diketahui mengenai efek pemberian oral alantoin. Respon kekebalan Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon imun IgG mempunyai nilai negatif dan memiliki titer 0, karena pada hari ke 4 IgG belum terdeteksi oleh alat ELISA Reader dan dianggap negatif karena nilai kerapatan optik (OD) di bawah nilai kerapatan optik control normal, yaitu 0,2305, terkecuali pada K II terdapat satu ekor mencit yang menunjukkan nilai OD yang positif yaitu 0,282. Gambar 2. Batang nilai rata-rata sel limpa pada hari ke 8 post infeksi KI: Normal; KII: Infeksi; KIII: Uji (Infeksi + alantoin); KIV: Alantoin a, b: Bila terdapat satu atau lebih superskrip yang sama antar kelompok menunjukan tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok tersebut 1077 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 Walaupun pada analisis statistik terhadap titer IgM antara kelompok infeksi, kelompok infeksi + alantoin, dan kelompok alantoin. tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun bila dilihat secara biologis interprestasinya sangat berbeda. Pada KII respon imun IgM muncul tetapi tetap mati. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan takizoit. Di dalam sel, takizoit mampu bereplikasi secara cepat dan aktif yang menyebabkan kerusakan pada jaringan dan organ yang semakin parah dan dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian dapat dibuktikan bahwa dengan terbentuknya respon imun berupa IgM, tidak selalu menyebabkan terjadinya proteksi terhadap suatu infeksi. Khususnya pada kasus toksoplasmosis yang disebabkan oleh T. gondii galur RH yang tergolong tipe I, walaupun respon IgM terbentuk, namun kematian pada mencit tetap tidak dapat dihindarkan. Secara teoritis respon imun terbentuk di dalam tubuh apabila antigen dapat dikenali dan diikat oleh antibody membentuk komplek antigen-antibodi kemudian masuk atau difagositosis melalui perantaraan reseptor Fc (FcR). Respon imun merupakan pertahanan tubuh terhadap suatu infeksi (MC LEOD, 1991). Maka pada infeksi T. gondii terjadi kerusakan jaringan khususnya jaringan sistem imun. Hal ini disebabkan karena kecepatan replikasi dan destruksi jaringan oleh takizoit T. gondii lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan pembentukan respon imun IgM yang protektif. Pada KIII memiliki rataan titer IgM yaitu 4,536 dan mencit tetap hidup. Respon imun pada KIII kemungkinan merupakan hasil induksi dari takizoit yang mati atau inaktif dan protein yang diekskresi oleh takizoit. Hal tersebut memberikan bukti secara jelas bahwa alantoin dapat memodulasi system imun untuk memberikan respon, terbukti dengan tinginya rataan IgM. IgG IgM 1078 KI 0,196 0,017 0,251 0,0301 KII 0,228 0,049 0,498 0,087 Pada KIV respon imun IgM yang terbentuk tidak mampu melindungi dan memberikan peluang hidup pada mencit dari kematian. Hal ini disebabkan alantoin tidak dapat mereduksi takizoit T. gondii (SUBEKTI et al., 2005). Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa pada kasus infeksi T. gondii, penggunaan alantoin mampu untuk meregenerasi sel. Daya hidup Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada KIII terdapat 15% mencit yang mampu bertahan hidup lebih dari 10 hari. Persentase daya hidup mencit bias dilihat pada Gambar 5. Menurut penelitian sebelumnya, mencit yang diinfeksi dengan takizoit T. gondii tipe I dengan dosis 103 memiliki LD100 8-9 hari (SIBLEY et al., 2002). Hal ini serupa dengan hasil percobaan dimana pada hari ke 9 terjadi kematian menyeluruh pada kelompok infeksi. Fenomena tersebut disebabkan karena takizoit T. gondii tipe I memiliki kemampuan menyebar sangat cepat. Akibat utamanya adalah, jika suatu bahan tidak mampu mereduksi takizoit maka kematian mencit dengan cepat tidak dapat dihindari. Kematian takizoit dengan cepat dikarenakan terjadi kerusakkan jaringan yang luas, sehingga menyebabkan gangguan, bahkan kegagalan fungsi organ dan hipersekresi sitokin proinflamatorik yang tinggi. Penggunaan alantoin dengan konsentrasi 0,4% sebanyak 0,2 ml tidak mampu memberikan hasil yang signifikan. Meskipun demikian terdapat 2 ekor mencit yang mampu bertahan hidup lebih dari 10 hari, dengan jumlah takizoit 0. Mungkin takizoit telah menjadi kista (bradizoit) yang perbahannya dipengaruhi oleh status imun individu (DARCY dan SANTORO, 1994). KIII 0,171 0,002 0,563 0,114 KIV 0,188 0,007 0,386 0,095 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 120 100 KI 80 KII % 60 KIII 40 KIV 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Hari Gambar 5. Kurva daya hidup mencit KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data yang ada pemberian alantoin secara oral pada kelompok alantoin mampu meregenerasi sel, serta menurunkan jumlah splenosit dan berat limpa dibandingkan dengan kelompok normal secara berbeda nyata. Pemberian alantoin dapat menstimulir titer IgM tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif. Pemberian alantoin mampu meningkatkan peluang daya hidup pada mencit. Disarankan walaupun pemberian alantoin secara oral tidak mampu mereduksi takizoit, tetapi dari data daya hidup terdapat 2 ekor mencit yang mampu bertahan hidup sampai dengan hari kesepuluh. Sehingga perlu dipelajari lebih lanjut tentang penggunaan alantoin secara oral terutama untuk meregenerasi sel-sel yang rusak. Perlu diteliti lagi dengan menggunakan tipe toksoplasma yang lain dan dalam konsentrasi takizoit yang lebih kecil. DAFTAR PUSTAKA ALIBERTI and SHER. 2002. Role of G-ProteinCoupled signaling in the induction of dendritic cell function of T. gondii. Microbes and Infection. 4: 991 – 997. BARRAGAN, A. and L.D. SIBLEY. 2002. Transepithelial migration of Toxoplasma gondii is linked to parasite motility and virulence. J. Exp. Med. 195: 1625 – 1633. CHANON, J,Y., R.M. SEGUIN and L.H. KASPER. 2000. Differential infectivity and division of Toxoplasma gondii in human peripheral blood leukocytes. Infect. Immunol. 68: 4822 – 4826. DARCY, F., SANTORO F. 1994. Toxoplasmosis in Kierszenbaum. F. Parasitic Infection and The immune System. Academic Press. London. DEBARD, N., D. BUZONI-GATEL and D. BOUT. 1996. Intranasal immunization with SAG1 protein of T. gondii in association with cholera toxin dramatically reduces development of cerebral cyst after oral infection. Infect. Immun. 64: 2158 – 2166 HARIYONO, T. 2000. Serebral Toksolplasmosis. Medika. 377 – 379. ISKANDAR, T. 1999. Tinjauan Tentang Toksoplasmosis Pada Hewan dan Manusia. Wartazoa. 8(2): 58 – 63. ISKANDAR, T. 1998. Pengisolasian T. gondii dari otot diafragma yang titer Ab tinggi dan tanah tinja dari seekor kucing. JITV. 111 – 115. MC LEOD, R., D. MACK and C. BROWN. 1991. Toxoplasma gondii-new advances in cellular and molecular biology. Exp. Parasitol. 72: 109 – 121. 1079 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006 NOER, S.M. 1996. Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. OLGICA, R and VLADINNIR M. 2001 . Murine model of drug-induced reactivation of T. gondii. Acta Protozoa. 99 – 106. RESENDES, A.R., S. ALMERIA, J.P. DUBEY, E. OBON, C.J. SALLES, E. DEGOLLA-DA, F. ALEGRE, O. CABEZON, S. PONT and DOMINGO. 2002. Disseminated Toxoplasmosis in a Mediterranean pregnant Risso,s Dolphin (Grampus grisseus) with tranplacental fetal infection. J. Parasitol. 88: 1029 – 1032. SHEERWOOD, L. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke system Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. SUBEKTI, D.T. 1996. Pengantar Alantoin. Fakultas Kedokteran Hewan Universiras Airlangga. Surabaya. SUBEKTI, D.T., ARRASYID N.K. dan L. WIJAYANTI. 2004. Respon imun selluler dan humoral pada mencit setelah imunisasi intranasal menggunakan protein soluble T. gondii dengan ajuvan toksikan kolera dan entero toksin tidak tahan panas tipe I. Ked. Tropis Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. SUBEKTI, D.T., T. ISKANDAR, E.S.P. SARI, D. RATIH, R. HAERLANI, E.F. DIANI dan D.R. WIDYASTUTI. 2005. Leukositopenia pada mencit setelah diinfeksi T. gondii dengan dosis tinggi dan dosis rendah. J. Biol. Ind. 10: 421 – 431. SIBLEY, L.D., D.G. MORDUE, C. SU, P.M. ROBBEN and D.K. HOWE. 2002. Genetic approaches to studying virulence and pathogenesis in T. gondii. Phil. Trans. R. Soc Lond. B. 357: 81 – 88. DISKUSI Pertanyaan: 1. Strain isolat Toxoplasma apa yang digunakan dalam penelitian ini? 2. Mengapa menggunakan dosis 2,5 x 103 3. Berapa LD50 ? 4. Pengaruh intoning untuk menyembuhkan atau untuk memperbaiki sel? 5. Bagaimana pemberiannya pada ternak sapi (dosisnya)? Jawaban: 1. Toxoplasmosis gondii strain RH (Tipe I). 2. Agar mencit tidak mati semua pada hari ke-4 post inokulasi. 3. Tidak ada LD50 karena dosis kecil akan menyebabkan kematian pada hari ke-11. 4. Memperbaiki sel-sel epitel yang rusak. 5. Pada ternak sapi belum dicoba. 1080