II. TINJAUAN PUSTAKA A. PROBIOTIK Probiotik adalah sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al., 1999). Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi dalam tiga aspek, yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), serta dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus. Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan resiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen (Naidu dan Clemens, 2000). Namun aktivitas terhadap patogen ini juga dapat berasal dari kemampuan adhesi yang dimiliki probiotik (Collado et al., 2007b). Probiotik menurut FAO/WHO (2001) adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inang. Jumlah yang cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2001) ini adalah 106-108 cfu/g dan diharapkan dapat berkembang menjadi 1012 cfu/ g di dalam kolon. International Dairy Federation (IDF) memberikan standar jumlah minimum probiotik hidup sebagai acuan adalah 106 koloni/ml pada produk akhir (Indratingsih et al., 2004). Jumlah probiotik hidup harus mampu untuk melewati kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terekspos asam lambung dan garam empedu, sehingga masih memiliki aktivitas fisiologis (Charteris et al., 1998). Probiotik dipasarkan dalam bentuk kapsul, tablet, powder, granula, pasta, makanan, dan suplemen (Ray, 1996). Kneifel et al. (1999) juga menyatakan probiotik sering ditambahkan ke dalam produk pangan non- fermentasi, seperti makanan formula bayi, jus buah, dan krim biskuit. Aplikasi probiotik ke dalam produk krim terbukti dapat meningkatkan IgA pada balita (Rieuwpassa, 2005). Produk yang mengandung probiotik dikategorikan sebagai pangan fungsional (Kneifel et al., 1999; Hoover, 2000) dan di Indonesia hal ini telah resmi dinyatakan dalam Peraturan Pangan Fungsional dari BPOM tahun 2005, namun belum secara spesifik dinyatakan regulasi dan jumlah minimal kandungannya. Probiotik juga dapat menghambat bakteri patogen, melakukan metabolisme terhadap laktosa sehingga bermanfaat bagi penderita intoleran laktosa (Rusilanti, 2006). Efek positif dari konsumsi probiotik bagi kesehatan adalah mencegah diare karena dapat melawan rotavirus, menstimulasi sistem imun, mencegah pembengkakan usus (irritable bowel diseases), memberi manfaat bagi penderita intoleran laktosa, membantu mengatasi alergi, menurunkan resiko kanker, mencegah infeksi patogen di saluran pernapasan, mencegah konstipasi, dan menurunkan kadar kolesterol (Schmid et al., 2006). Probiotik dapat merupakan mikroorganisme yang umum ditemukan dapat tumbuh di saluran pencernaan manusia maupun pada beberapa sumber pangan fermentasi yang umumnya merupakan Bakteri Asam Laktat atau BAL (Hamilton-Miller, 2003 dalam Hayouni et al., 2008). Kelompok bakteri yang umumnya hidup dalam saluran cerna manusia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada manusia normal terdapat lima kelompok bakteri utama, dengan kelompok terbesar adalah Enterococcus dan Bacteroides. Tabel 1 menunjukkan isolasi dari feses telah mewakili mikroorganisme yang ada di dalam saluran pencernaan manusia karena jumlahnya tidak berbeda jauh. Perbedaan jumlah diakibatkan kondisi pH dan juga kemampuan menempel mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Tabel 1 Populasi rata-rata kelompok bakteri utama pada usus manusia Kelompok Bakteri Jumlah Bakteri (log10 CFU/ml) Jejunum 3 Ileum 5 Kolon 6 Feses 6 Gram positif, tidak berspora, anaerob 2 2 5 6 Enterococcus 3 5 7 7 Bacteroides 3 3 7 9 Lactobacillus Enterobacteriaceae 3 4 6 8 (Sumber: Ray, 1996) Pemberian klaim probiotik harus terlebih dahulu melalui seleksi pemenuhan syarat probiotik. Syarat yang harus dipenuhi oleh galur probiotik dapat dilihat pada Gambar 1. Asal manusia Tahan asam & empedu Terbukti memberi efek kesehatan Aman di makanan & klinis Melekat ke sel usus Bertahan di saluran usus Antagonis Produksi terhadap anti patogen mikroba Gambar 1 Kriteria strain probiotik (Saarela et al.,2000 dalam Surono, 2004b) Shortt (1999) menyatakan bahwa probiotik pada umumnya berasal dari BAL, namun tidak semua BAL merupakan probiotik. Golongan BAL dinamakan demikian karena menghasilkan produk utama asam laktat dalam proses metabolismenya. Sumber karbohidrat difermentasi melalui jalur Embden-Meyerhoff Parnas (EMP) menghasilkan 2 molekul asam piruvat yang kemudian diubah menjadi 2 molekul asam laktat (Surono, 2004b). Proses fermentasi ini menghasilkan 2 molekul ATP sebagai sumber energi bagi BAL. Proses ini terjadi apabila tidak ada oksigen, sehingga proses glikolisis tidak dilanjutkan dengan fosforilasi oksidatif, namun perubahan asam piruvat menjadi asam laktat (Mandelstam dan McQuillen, 1989). Jalur fermentasi asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Jalur fermentasi asam laktat (www.rogers.k12.ar.us) BAL adalah bakteri yang dapat bertahan pada kisaran pH yang luas, sehingga sebagai besar memenuhi klaim probiotik dengan syarat toleransi terhadap asam. Hal ini disebabkan bila probiotik masuk ke dalam saluran pencernaan manusia, maka probiotik harus bertahan dari pH asam lambung sekitar 2 (Almatsier, 2005). Mayes (1996) dalam Evanikastri (2003). menyatakan konsentrasi HCl sebesar 0.2 – 0.5% membuat pH lambung menjadi 1 apabila dalam keadaan benar-benar kosong. Ketahanan BAL terhadap pH rendah karena kemampuannya mempertahankan pH internal lebih alkali dibanding pH eksternal serta dengan mempunyai membran sel yang lebih tahan terhadap kebocoran sel akibat terpapar pH rendah (Bender et al., 1996). Kepekaan bakteri terhadap asam dapat tergantung pada kerja simultan dari faktor-faktor tambahan lain, seperti aktivitas air, kadar garam, potensi redoks, perlakuan panas, dan lain-lain (Jenie, 1996). Ducluzeau et al. (1991) melengkapi dengan pernyataan beberapa probiotik yang telah umum dan aman dipakai, yaitu Lactobacillus acidophillus, L.casei, L.plantarum, Streptococcus cremoris, S. lactis, Enterococcus shermanii, adolescentis, faecium, Pediococcus B. Leuconostoc acidilactii, coagulans, mesentroides, P. Bacteroides Propionibacterium cerevisiae, Bifidobacterium amylophilus, Saccharomyces cerevisiae, Torulopsis candida, Aspergillus niger, dan A. oryzae. Probiotik yang umum dipakai juga dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Probiotik yang umum dipakai Bakteri Lactobacillus bulgaricus L. acidophilus L. paracasei Streptococcus thermophillus Enterococcus faecium E. faecalis Bifidobacterium pseudolongum B. thermophilum B.breve B.bifidum Bacillus cereus B.toyoi B. subtilis Khamir Saccharomyces cerevisiae S.boulardi (Sumber: Lee et al., 1999 dalam Metzler et al., 2005) 1. Enterococcus faecium IS-27526 Enterococcus merupakan kelompok spesies dalam genus Streptococcus, selain Lactococcus, Streptococcus, dan Vagococcus (Surono, 2004b). Klasifikasi ini berdasarkan gen 16S rRNA dalam bidang biologi molekuler. E. faecium terdiri dari E. faecium, E. durans, E. hirae, E. mundtii, E. villorum, E. canis, dan E. azikeevi (Salminen et al., 1999). Golongan enterokoki seringkali masih dikenal rancu antara fungsinya sebagai probiotik karena manfaat dan keberadaannya secara natural di saluran pencernaan manusia, berbanding dengan perannya yang dikenal sebagai patogen dan resisten terhadap antibiotik. E. faecium yang dikenal sebagai probiotik banyak ditemui pada saluran pencernaan hewan seperti babi, sapi, domba, dan ayam. Jumlah E .faecalis di saluran pencernaan hewan sebesar 105 – 107 cfu / gram mengungguli jumlah E.faecium yang hanya sejumlah 10 4 – 105 cfu/ gram. Selain itu E. faecium banyak ditemukan pada makanan, khususnya produk daging olahan babi dan keju (Salminen et al., 1999). Netherwood et al. (1999) menggunakan ayam berumur 1 hari hingga 4 minggu untuk diberi probiotik 105 cfu/g. Pemberian probiotik dilakukan selama 28 hari dengan pasca perlakuan selama 7 hari. Setelah 4 minggu terjadi peningkatan E. faecium menjadi 107 cfu/g di usus. Keberadaan E. faecium ini dapat menghambat keberadaan E. faecalis. Probiotik E. faecium adalah isolat asal dadih, yaitu produk fermentasi tradisional yang terbuat dari susu kerbau (Akuzawa dan Surono, 2002). Pada dadih terdapat pertumbuhan BAL dan salah satu strain yang diperoleh adalah E. faecium IS-27526. Strain ini telah terbukti sebagai probiotik karena tahan asam lambung, garam empedu, dapat menempel di mukosa usus, dan dapat melawan bakteri patogen (Collado et al., 2007a; 2007b). Probiotik ini juga telah diidentifikasi secara molekuler dengan teknik Polymerase Chain Reaction. E. faecium IS-27526 terbukti secara signifikan meningkatkan total serum imunoglobulin A (IgA) pada anak balita (Surono 2004a; Rieuwpassa 2005). Konsumsi susu yang ditambahkan dengan probiotik E. faecium IS-27526 juga secara signifikan dapat meningkatkan konsentrasi total serum IgA pada kaum lanjut usia dengan selang kepercayaan 95% (Rusilanti, 2006). 2. Lactobacillus plantarum IS-10506 Lactobacillus plantarum termasuk salah satu spesies Lactobacillus yang diperoleh dari isolat beberapa makanan tradisional, misalnya saja dadih dan tempoyak. Bakteri ini juga sering ditemui pada pikel, sawi asin dan sauerkraut. Bakteri ini diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri perusak makanan sehingga seringkali digunakan dalam pengawetan produk pangan. Efek antimikroba ini berasal dari produksi asam-asam organik dan salah satunya adalah asam laktat (Larsen et al., 1993). Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan pH dan menghasilkan penghambatan luas pada bakteri (Jenie, 1996). L. plantarum memiliki nilai pH minimum pertumbuhan 3.34 (Jay, 1996). L. plantarum merupakan BAL berbentuk batang lurus dengan kisaran lebar 0.9 – 1.2 µm dan panjang 3 µm, berukuran tunggal atau membentuk rantai pendek, serta merupakan gram positif (Salminen dan Wright, 1998). L. plantarum mampu memfermentasi glukosa membentuk produk DL-asam laktat tanpa gas. L. plantarum dapat memfermentasi amigdalin, selobiosa, laktosa, manitol, sukrosa, galaktosa, maltosa, sorbitol, dan trehalosa. Kemampuan memfermentasi melibosa dan rafinosa membedakan L. plantarum dan L. casei. (Ono et al., 1992). Koloninya berwarna putih atau kuning dan beberapa galur bersifat motil. Koloni bakteri ini dalam media agar mempunyai ciri - ciri bulat, licin, padat, putih, kadang-kadang kuning terang atau gelap, berdiameter 3 mm, bersifat anaerobik fakultatif. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 15oC pada umumnya dan tidak dapat tumbuh pada suhu 45oC, dengan suhu optimalnya berkisar 3035oC (Gilliland, 1986). Strain L. plantarum IS-10506 merupakan hasil isolasi dari dadih yang telah terbukti sebagai probiotik. Penelitian yang telah dilakukan oleh Collado et al. (2007b) menunjukkan kemampuan L. plantarum IS-10506 yang tertinggi di antara strain probiotik asal dadih lainnya dalam pengujian bacteriological adhesion to hydrocarbon (BATH) untuk melihat hidrofobisitas permukaan sel BAL dan dalam pengujian autoagregasi. Kemampuan autoagregasi ini merupakan faktor penting dalam kolonisasi di saluran pencernaan. Kemampuan adhesi yang tinggi ini memperkuat klaim probiotik L. plantarum IS-10506 yang berdasarkan penelitian Collado et al. (2007a) bahwa L. plantarum IS-10506 memiliki kemampuan terbaik dalam interaksi melawan adesi patogen. 3. Lactobacillus casei strain Shirota Lactobacillus acidophillus dan Lactobacillus casei merupakan bakteri yang sering terdapat di usus manusia, mampu mencapai usus dan tetap berada di dalamnya, tahan bakteriosidal, getah lambung, dan cairan empedu (Yakult Honsha, 1990; Winarno, 2003). Speck (1978) menyatakan bahwa L. casei dapat diisolasi dari saluran usus manusia dan Robinson (1981) menambahkan bahwa L. casei dapat diisolasi dari susu dan produk turunan susu. L. casei strain Shirota, pertama kali ditemukan oleh Dr. Shirota tahun 1935, memiliki ukuran panjang 1.5 – 5.0 μm dan lebar 0.6 – 0.7 μm (Mutai, 1981). L. casei strain Shirota merupakan bakteri dengan morfologi bentuk batang, koloni tunggal atau berantai, gram positif, katalase negatif, tidak berspora atau flagel, dan fakultatif anaerob. Bakteri ini hidup baik pada 15 – 41oC dan pH 3.5 atau lebih (Meutia, 2003). L. casei strain Shirota termasuk homofermentatif yang memecah glukosa menjadi asam laktat 90% dengan sejumlah kecil asam sitrat, malat, asetat, suksinat, asetaldehid, diasetil, dan asetoin yang berperan dalam pembentukan flavor (Selamat, 1992). L. casei tidak memproduksi amonia dari arginin, dapat memfermentasi amigdalin, manitol, solobiosa, dan salisin. L. casei juga tidak dapat memfermenrasi substrat melobiosa, rafinosa, rhamnosa, gliserol dan jarang memfermentasi inositol atau sorbosa (Robinson, 1981). Konsumsi susu fermentasi dengan kandungan L. casei strain Shirota pada manusia memiliki potensi menurunkan resiko kanker kandung kemih (Ohashi et al., 2002). Penelitian lain dilakukan oleh Ishikawa et al. (2005) menunjukkan L.casei strain Shirota juga berpotensi mencegah kanker pada saluran kandung kemih pada studi in vivo. Penelitian terkait peran L.casei strain Shirota pada sistem imun dilakukan oleh Nagao et al. (2000) yang menunjukkan bahwa asupan L. casei strain Shirota dapat meningkatkan aktivitas sel Natural Killer (NK) pada manusia. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa aktivitas sel NK dapat ditingkatkan oleh L. casei strain Shirota pada manusia yang memiliki kebiasaan merokok (Morimoto et al., 2005). B. PERTUMBUHAN BAKTERI Istilah pertumbuhan pada bakteri mengacu pada perubahan populasi total, bukan hanya pada suatu individu organisme saja (Pelczar dan Chan, 2008). Pertumbuhan bakteri terbagi menjadi empat fase atau tahapan yang masing-masing memiliki ciri pertumbuhan yang berbeda. Pertumbuhan bakteri secara umum terlihat pada kurva pertumbuhan, yaitu kurva antara waktu inkubasi dengan nilai log jumlah organisme. Gambar 3 Kurva pertumbuhan bakteri Inokulum yang dipindahkan ke suatu media baru akan mengalami adaptasi terlebih dahulu pada kondisi media baru. Tahap yang disebut lag phase ini membutuhkan waktu sehingga pada kurva pertumbuhan terlihat stagnan. Media dengan nutrisi yang semakin lengkap akan mempercepat fase lag yang berarti mempercepat memasuki fase eksponensial (Lichstein, 1959 dalam Sokatch, 1969). Sel bakteri kemudian memasuki tahap pembelahan biner dengan laju konstan. Fase pertumbuhan ini disebut sebagai fase eksponensial atau fase log, karena menunjukkan kenaikan dalam bentuk garis linear lurus dalam kurva pertumbuhan (Moat dan Foster, 1988). Pembelahan ini mengikuti pola geometrik yaitu dihasilkan 2n sel baru setelah melalui satuan waktu yang disebut sebagai waktu generasi. Kondisi ini juga disebut sebagai pertumbuhan seimbang, karena terjadi laju pertumbuhan dan aktivitas metabolik yang konstan (Pelczar dan Chan, 2008). Kondisi ini berlanjut hingga sumber karbon dan energi di lingkungan telah habis. Kondisi ini berbeda-beda pada kondisi substrat yang memberikan laju pertumbuhan yang berbeda pula (Sokatch, 1969). Kondisi nutrisi media yang semakin berkurang serta mulai jenuhnya kondisi lingkungan dengan metabolit sekunder yang bersifat toksik membuat sel baru yang bertumbuh menjadi sebanding dengan banyaknya sel yang mati, sehingga jumlah sel hidup menjadi tetap. Fase ini disebut sebagai fase stasioner dan terlihat sebagai garis lurus pada kurva pertumbuhan (Thimann, 1955). Fase pertumbuhan bakteri diakhiri dengan fase kematian ketika akhirnya jumlah sel yang mati melebihi jumlah terbentuknya sel baru. Berbagai macam teknik dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan dan dapat dipilih aplikasi yang paling sesuai dengan tujuan pengukuran. Beberapa cara pengukuran pertumbuhan tersebut adalah pengukuran turbiditas, penghitungan total sel, penghitungan sel hidup (White, 1995). Pengukuran tercepat yang sering diaplikasikan adalah pengukuran dengan metode turbiditas (kekeruhan) dengan spektrofotometer. Prinsip pengukurannya adalah mengukur jumlah cahaya yang dipantulkan organisme dalam sampel. Hasil yang diperoleh mewakili massa bakteri yang ada (Lay dan Hastowo, 1992). Penghitungan total sel dilakukan dengan alat bantu electronic cell counting. Metode ini memiliki kelemahan yaitu sel hidup dan sel mati seluruhnya terhitung tanpa pembedaan. Selain itu, metode ini tidak memberikan performa baik pada populasi sel yang densitas selnya rendah, yaitu kurang dari 106 sel/ml (White, 1995). Penghitungan sel hidup dilakukan dengan melakukan pengenceran dan pencawanan dengan penambahan medium padat. Setiap sel hidup akan tumbuh membentuk satu koloni, sehingga jumlah sel hidup di awal dapat diketahui dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk. Metode ini paling umum dilakukan dalam pengujian mikrobiologi. Metode ini banyak digunakan karena memiliki kelebihan antara lain menghitung sel yang masih hidup, dapat menghitung beberapa mikroorganisme sekaligus, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi karena koloni berasal dari mikroorganisme spesifik dengan penampakan pertumbuhan spesifik (Fardiaz, 1989b). Walaupun demikian, Fardiaz (1989b) menyatakan adanya beberapa kelemahan, seperti kondisi media dan inkubasi menghasilkan nilai yang berbeda, koloni yang tumbuh harus jelas dan tersebar, serta memerlukan waktu yang realtif lama. White (1995) juga menyatakan adanya kelemahan yaitu penurunan jumlah sel hidup akibat adanya sel yang saling menempel sehingga tumbuh berhimpit dan terlihat sebagai satu koloni. Kelemahan lain adalah adanya beberapa sel yang tidak dapat hidup dalam pencawanan secara efisien (viable but non culturable). Sel viable but non culturable terjadi saat tumbuh di lingkungan penuh tekanan, sehingga membentuk subpopulasi sel dengan fenotip yang cenderung jauh dari rumus pembelahan biner 2n. Kondisi ini tidak dapat dideteksi jumlahnya dengan teknik tradisional pencawanan total koloni (Kell dan Young, 2000 dalam Hayouni et al., 2008). Metode yang digunakan untuk menghitung viable but non culturable adalah flow cytometry yang dinyatakan oleh Hewitt dan nebe-Von-Caron (2001) dalam Hayouni et al. (2008) sebagai alat pengukur populasi dalam waktu singkat. Flow cytometry merupakan teknik menghitung dan mengetahui partikel mikroskopik yang tersuspensi dalam suatu aliran fluida. Teknik ini memungkinkan analisis fisik maupun kimia dari multiparameter simultan pada sel tunggal melalui peralatan deteksi elektronik maupun optikal. Penggunaan flow cytometry dilakukan oleh Hayouni et al. (2008) dalam analisis efek minyak esensial terhadap BAL. Metode ini dipilih karena memiliki keunggulan, yaitu cepat menganalisis data dalam jumlah besar, dapat membedakan sel hidup, mati, dan terluka (injured atau viable but non culturable), dan hasilnya berkorelasi dengan pengujian pencawanan. Prinsip pengukuran dengan flow cytometry adalah memberikan cahaya pada panjang gelombang tertentu terhadap suspensi sel yang mengalir. Aliran ini akan melewati titik yang akan mendeteksi, yaitu sejajar pada sumber cahaya (Forward Scatter/FSC), beberapa di bagian pinggir (Side Scatter/SSC), dan beberapa detektor fluoresen. Senyawa fluoresen yang menempel pada sel akan memancarkan panjang gelombang yang akan terdeteksi berbeda pada setiap sel. Nilai FSC menunjukkan volume sel serta SSC menunjukkan kompleksitas dalam partikel seperti bentuk nukleus, jumlah dan tipe granula sitoplasmik, dan kekasaran membran. C. PREBIOTIK Prebiotik didefinisikan oleh Gibson dan Roberfroid (1995) dalam Surono (2004b) sebagai suatu bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang memberikan manfaat positif bagi tubuh karena secara selektif menstimulir pertumbuhan dan aktivitas bakteri baik dalam usus besar. FAO (2007) menyatakan bahwa prebiotik adalah komponen pangan tak hidup yang memberi keuntungan kesehatan inang berasosiasi dengan memodulasi mikrobiota. Peraturan FAO (2007) juga menegaskan bahwa prebiotik bukan merupakan organisme ataupun obat, dapat dikarakterisasi secara kimia, dan aman (foodgrade). Bahan pangan prebiotik telah diklasifikasikan sebagai Generally Recognized as Safe (GRAS). Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya asupan prebiotik tergantung kepada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO, 2007). Dosis konsumsi harian 5 – 8 g/hari dari FOS atau GOS memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Venter (2007) menyatakan bahwa peraturan Foodstuffs Cosmetics and Disinfectans Act (Act No 54 of 1972) di Afrika Selatan menyatakan bahwa jumlah dan sumber prebiotik yang harus tercantum pada label suatu produk dengan klaim prebiotik adalah minimal 3 gram prebiotik per penyajian harian. Indonesia mengatur regulasi prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlahnya masih belum dikeluarkan. Reid et al., (2001) dalam Surono (2004b) menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1 – 3 g per hari untuk anak-anak dan 5 – 15 g per hari untuk orang dewasa. Konsumsi prebiotik yang berlebih (lebih dari 20 gram per hari) dikhawatirkan memberi efek laksatif yaitu mempercepat pengeluaran pada sistem saluran pencernaan atau melunakkan sisa pencernaan (Bouhnik et al., 1999). Sumber prebiotik secara alami diperoleh dari Air Susu Ibu (ASI), yaitu dalam bentuk oligosakarida N-acetyl glucosamine dalam kolustrum. Prebiotik ini hanya tercerna kurang dari 5% di usus serta dapat mendukung pertumbuhan probiotik Bifidobacterium. Prebiotik dapat diperoleh dari sumber tanaman seperti bawang, asparagus, pidsng, chicory, artichoke, dan beberapa oligosakarida pada kedelai. (Surono, 2004b). Prebiotik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu ektraksi langsung polisakarida alami dari tumbuhan, hidrolisis polisakarida alami, atau sistesis enzimatik dengan enzim hidrolase atau glikosil transferase yang mengkatalisis reaksi transglikosilasi hingga terbentuk oligosakarida sintetik dari mono serta disakarida (Grizard dan Barthomeuf, 1999). Bahan pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan antara lain (1) tidak terhidrolisa atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas sehingga dapat mencapai kolon tanpa perubahan struktur atau diekskresikan dalam feses; (2) berperan sebagai substrat yang secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon; (3) mengubah komposisi mikrobiota usus sehingga menguntungkan bagi kesehatan dengan menekan pertumbuhan bakteri patogen; (4) meningkatkan efek yang positif bagi kesehatan inang (Gibson, 1999). Menurut Arief (2007), penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Prebiotik yang telah difermentasi dalam usus besar menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid /SCFA), menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk lactobacilli dan bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Fortifikasi menggunakan bifidobacteria/lactobacilli usus dengan prebiotik dapat memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme patogen dalam usus. Prebiotik umumnya adalah karbohidrat yang tidak dicerna dan diserap, yaitu bentuk oligosakarida dan serat pangan seperti inulin (Reddy, 1999). Collins dan Gibson (1999) menyatakan beberapa jenis prebiotik antara lain FOS, inulin, galaktooligosakarida (GOS), laktulosa, dan laktitol. Manning dan Gibson (2004) melengkapi pernyataan tersebut dengan beberapa bahan potensi prebiotik lainnya yaitu rafinosa, galaktosil laktosa, laktusukrosa, isomalto- oligosakarida, gluko-oligosakarida, xylo-oligosakarida. Bouhnik et al., (1999) menyatakan bahwa prebiotik yang umum digunakan adalah inulin dan FOS. Prebiotik (oligofruktosa) dapat meningkatkan pertumbuhan B. infantis dan mampu menghasilkan senyawa seperti CO2, asam asetat, propionat, butirat, laktat, dan suksinat yang dapat menghambat E. coli dan C. perfringens serta dapat menurunkan pH awal dari 7.0 menjadi 5.3 (Wang dan Gibson, 1994). Prebiotik yang umum digunakan adalah FOS yang terbukti dapat difermentasi oleh bifidobacteria (Surono, 2004b). Asupan inulin terbukti dapat mempengaruhi secara signifikan aktivitas probiotik dalam pertumbuhan dan performa pengasaman (Oliviera et al., 2009). Audisio et al. (2001) meneliti pertumbuhan E. faecium CRL1385 isolat dari sistem pencernaan ayam dalam beberapa sumber karbon kompleks yang mengandung FOS. Asupan prebiotik dari konsumsi harian tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan prebiotik yang berkhasiat menekan infeksi penyakit, sehingga konsumsi tambahan prebiotik menjadi penting untuk dilakukan (Daud, 2005). Konsumsi prebiotik memberikan beberapa manfaat, antara lain: (1) menghambat patogen melalui mekanisme langsung atau tidak langsung dengan memblok sisi reseptor pelekatan patogen pada mukosa usus dan secara tidak langsung dengan mendukung pertumbuhan probiotik (Rastall et al., 2005); (2) mencegah kanker usus; (3) meningkatkan penyerapan kalsium karena fermentasi prebiotik menjadi SCFA (Ouwehand, et al., 1999); (4) menurunkan kolesterol dengan memicu pertumbuhan probiotik atau BAL yang memproduksi enzim atau pengikatan kolesterol oleh membran (Surono, 2004b); (5) meningkatkan imunitas dengan meningkatkan pertumbuhan probiotik yang berinteraksi dengan sistem imun (Tzianabos, 2000). Penambahan prebiotik ke dalam pangan telah banyak dilakukan untuk klaim produk prebiotik ataupun klaim produk sinbiotik ketika digabung dengan penambahan probiotik. Prebiotik dimanfaatkan secara luas untuk meningkatkan kadar serat pangan dalam produk susu, sereal, kue kering, yogurt, serta salad (Karyadi, 2003). Gibson (1998) juga menyatakan adanya penambahan prebiotik FOS pada susu bubuk balita. D. INULIN Inulin merupakan homopolimer fruktan yang diisolasi pertama kali dari tanaman Inula helenium. Inulin juga ditemukan pada chicory, dandelion, artichoke (Roberfroid, 2000). Inulin dapat diperoleh dari bawang merah, bawang daun, bawang putih, asparagus, pisang, gandum, barley (Tungland, 2000). Inulin juga dapat diektraksi dari umbi dahlia (Zaharanti, 2005). Inulin tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan seperti α-amilase ataupun enzim penghidrolisis lainnya, yaitu sukrase, maltase, dan isomaltase baik pada pH rendah maupun tinggi (Oku et al., 1984). Inulin dapat sampai di usus dengan utuh sehingga dapat difermentasi probiotik. Inulin adalah fruktan dengan ikatan β(2-1) antar monomer pada poli atau oligomernya. Terdapat unit glukosa pada ujungnya dengan ikatan α(1-2) dengan monomer fruktosa, sehingga membentuk sukrosa (Niness, 1999). Roberfroid (1999) menyatakan hal yang sama, bahwa fruktan tipe inulin memiliki komposisi β-D-fruktofuranosa yang saling terhubung dengan ikatan β(2-1), dengan monomer pertama dari rantainya adalah residu β-Dglukopiranosil atau β-D-fruktopiranosil. Inulin hasil ekstrak dari chicory umumnya memiliki jumlah total unit yang dinyatakan dalam derajat polimer (DP) yaitu sekitar 3 hingga 60, sehingga dapat dikatakan mengandung oligo dan polisakarida (Crittenden, 1999). Inulin memiliki struktur GFn, dengan huruf G menunjukkan unit glukosil, F menunjukkan unit fruktosil, dan n menunjukkan jumlah unit fruktosil yang berantai satu sama lainnya (Gibson dan Angus, 2000). Inulin merupakan homopolimer furanosidik, yang berarti inulin merupakan polimer yang tersusun atas monomer yang sama. Monomer penyusun inulin adalah fruktosa yang berbentuk cincin bersegi lima atau furanosa (Sinnott, 2007). Struktur kimia inulin dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Struktur kimia inulin (www.wikipedia.org) Aplikasi inulin perlu diperhatikan karena derajat polimerisasi yang tinggi membuatnya larut sempurna di air panas, namun sedikit larut dalam air dingin maupun alkohol (Bergner, 1997). Aplikasi inulin dalam produk pangan telah dilakukan secara luas, tidak hanya sebagai prebiotik saja. Inulin sering ditambahkan untuk pengganti lemak, sebagai bahan pengental, ataupun pemanis untuk produk bagi penderita diabetes. Inulin telah dilakukan ke dalam berbagai produk seperti produk susu dan turunannya, selai, roti dan produk panggangan, sereal sarapan, bahkan dalam bentuk tablet suplemen dengan tujuan untuk memperkaya kandungan serat serta berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher, 2005). E. FRUKTOOLIGOSAKARIDA (FOS) Fruktooligosakarida, yang sering disebut FOS, merupakan kelas karbohidrat yang terkandung di beberapa tanaman secara alami. FOS dapat ditemukan pada bawang, artichoke, dan pisang. FOS umumnya digunakan sebagai pemanis pengganti sukrosa karena rendah kalori dalam produk seperti kue, roti, permen, produk susu, dan beberapa minuman (Trenev, 2000). FOS dapat terbentuk dari hasil sintesis sukrosa dengan bantuan enzim transfruktosilase atau dengan hidrolisis enzimatik terkontrol dari ekstrak alami (IFT, 2001; Crittenden, 1999). FOS merupakan oligosakarida yang terdiri dari monomer fruktosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Oligosakarida merupakan rantai gula dengan jumlah 3 – 20 unit (Manning et al., 2004). FOS memiliki struktur GFn atau Fm, dengan huruf G menunjukkan satu terminal glukosa, F merupakan unit fruktosa, dan huruf n dan m menunjukkan banyaknya unit fruktosa dalam oligomer FOS (Niness, 1999). Antar unit fruktosa penyusunnya terdapat ikatan yang tidak dapat dipecah oleh enzim pencernaan, yaitu ikatan β(2-1) (Rouzaud, 2007). FOS memiliki nilai DP yang lebih rendah dari inulin, yaitu berkisar antara 2 – 8 (De Leenheer dan Hoebregs, 1994 dalam Franck dan De Leenheer, 2005). Struktur FOS dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Struktur kimia fruktooligosakarida (FOS) (www.nutrition-partner.com) FOS telah diteliti tidak terhidrolisis dan tidak diserap usus halus pada sistem pencernaan (Tsuji et al. dalam Tungland, 2000). FOS difermentasi oleh bakteri menghasilkan produk berupa asam laktat dan asam karboksilat rantai pendek lainnya (Roberfroid, 2000). Umumnya dosis FOS dalam asupan terhadap percobaan klinis yang pernah dilakukan berkisar antara 3 – 20 gram per hari untuk orang dewasa serta 0.4 – 3 gram per hari untuk balita. Dosis ini merupakan dosis aman karena mewakili rata-rata kandungan FOS yang terkandung secara alami pada bahan pangan, khususnya sayuran. Dosis yang dibutuhkan untuk memberikan efek bifidogenic adalah minimal 4 – 10 gram per hari (Roberfroid et al., 1998).