Kritik Teologi Menggugat Kerancuan Nalar Berketuhanan dan

advertisement
Kritik Teologi
Menggugat Kerancuan Nalar Berketuhanan dan Stagnasi Kemasyarakatan
Oleh: Husein Heriyanto
Adakah teologi1 yang mencerahkan intelek dan sekaligus
membebaskan dari belenggu-belenggu mental dan
sosial yang selama ini memasung potensi kreatif dan progresif kita?
I. Prolog
Marilah kita mulai kajian teologi kritis ini dengan mensketsa berbagai fenomena
kehidupan sehari-hari, yang konkret dan nyata, tidak dibuat-buat, tidak direka-reka,
tidak ditebak-tebak. Langkah ini adalah ciri pertama teologi kritis, yaitu refleksi yang
bertitik tolak dari kenyataan riil dan bermuara pula pada kenyataan riil. Teologi kritis
menentang keras setiap refleksi yang direka-reka tanpa dasar realitas, sekaligus sangat
menentang setiap pemikiran yang memusuhi kehidupan nyata, yang menelikung daya
kritis akal, mengelabui kemurnian fitrah, memistifikasi (melegitimasi) status quo.
Teologi kritis bangkit melawan teologi formal-tradisional yang membunuh potensi
kreatif manusia atas nama Tuhan. Teologi kritis menentang setiap pandangan agama
yang melarikan diri dari kehidupan nyata (escapism) atas nama Tuhan, akhirat,
apalagi hanya atas nama kewalian Kyai-Ulama.
Fenomena 1
Hampir semua kasus yang menyangkut tragedi kemanusiaan di negeri kita tidak
kunjung tuntas, entah karena dipetieskan, ditutup-tutupi, diperdagangkan, dengan
konsesi-konsesi politik-ekonomi, ataupun karena intervensi pihak-pihak yang
dominan, termasuk para investor asing. Kita tidak perlu menengok peristiwa masa
lalu seperti pembunuhan Marsinah dan wartawan Udin, pembantaian Tanjung Priok
dan Lampung, perampasan tanah dan perkebunan rakyat oleh negara seperti kasus
Kedung Ombo, Cimacan, BUMN perkebunan (PTP), dan lain sebagainya. Tidak perlu
kita ungkap kasus-kasus penjarahan kekayaan alam yang melimpah ruah oleh para
konglomerat pemegang HPH dan perusahaan-perusahaan (domestik dan asing) di
Aceh, Riau, Kalimantan, Papua, yang sekaligus menyingkirkan penduduk setempat
dan meracuni mereka dengan limbah-limbah berbahaya (asap kebakaran hutan, kasus
Freeport, Indorayon, dan sebagainya). Semua kasus ini raib begitu saja tanpa
penyelesaian yang tuntas dan transparan. Cukuplah bagi kita untuk menengok trageditragedi kemanusiaan semenjak gerakan reformasi bergulir, seperti tragedi Mei 1998,
Trisakti, Semanggi, perampokan ratusan triliun rupiah dana BLBI oleh puluhan bank,
dan teristimewa macetnya pengusutan praktik KKN dan pelanggaran HAM rezim
Suharto. Rezim Gus Dur yang diharapkan dapat menunaikan amanah gerakan
reformasi untuk mengikis praktik KKN justru menambah banyak persoalan. Sebut
saja kasus PLN (menolak menggunakan pendekatan hukum, tapi menggunakan pola
lobi dan konsesi), Buloggate, Bruneigate, dan kasus Syahril Sabirin. Supremasi
hukum yang merupakan salah satu tuntutan utama dari 6 visi Reformasi ditinggalkan
begitu saja. Malah rezim sekarang ini tidak jauh berbeda dengan rezim Orde Baru dan
Orde Lama yang mensubordinasi hukum di bawah supremasi politik dan kekuasaan.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita yang katanya bangsa religius sulit
sekali menerapkan supremasi hukum? Sejak proklamasi (terutama setelah masa
demokrasi terpimpin 1957) sampai sekarang yang terjadi adalah supremasi militer,
politik, ataupun ekonomi. Nilai-nilai budaya dan pandangan hidup manakah yang
menyulitkan kita untuk menyatakan bahwa:
1. Semua orang mulai dari presiden sampai tukang becak sama kedudukannya di mata
hukum.
2. Penegakan hukum di atas segala kepentingan politik serta ekonomi, dan tidak dapat
ditawar-tawar lagi (seperti Syahril Sabirin sekarang ini).
3. Hukum adalah penegakkan nilai keadilan.
4. Keadilan adalah tonggak utama bangunan masyarakat, apapun agama dan teologi
yang dianut masyarakat.
5. Keadilan adalah tanah subur bagi tumbuhnya nilai-nilai moral lain seperti kebaikan,
kejujuran, kesucian, keberanian (lihat QS. 16:90) Sejauh mana fenomena ini terkait
dengan teologi formal- tradisional ?
Fenomena 2
Ketertinggalan bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu
pengetahuan adalah tak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah.
Belum tumbuh tradisi intelektual dan diskursus-diskursus ilmiah dalam lembagalembaga pendidikan yang menggairahkan masyarakat kita sehingga memicu untuk
selalu memperluas wawasan dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Pertimbangan
ekonomi (perut), sosial (popularitas), dan politik (kekuasaan) jauh lebih diutamakan
ketimbang urusan pendidikan dan pengembangan SDM yang unggul. Kita bisa lihat
pada alokasi anggaran pendidikan dalam APBN sejak Orla sampai sekarang tidak
pernah mencapai di atas 7%. Padahal, APBN negara-negara Asia Tenggara saja
mencapai rata-rata 20-25 %. Rendahnya alokasi dana pendidikan di Indonesia
merupakan indikator paling jelas betapa rendahnya komitmen kita kepada
pengembangan potensi SDM.
Secara global Cak Nur menulis, "... sekarang ini dunia Islam praktis merupakan
kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar.
Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan
Selandia Baru yang Protestan; Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katholik:
Eropa Timur yang Katholik Ortodox; Israel yang Yahudi; India yang Hindu; Cina,
Korea Selatan, Taiwan Hongkong, Singapura yang Budhis Konfusianis; Jepang yang
Budhis Taois; Thailand yang Budhis. Praktis di semua penganut agama besar di muka
bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi."2
Cukup mengherankan bagaimana etos keilmuan dan tradisi intelektual Islam yang
begitu tinggi pada abad 8-14 M sirna begitu saja. Pesantren-pesantren yang pasti
mengetahui sabda Nabi Saww, "tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat", justru
membelenggu potensi kreatif anak didik. Lembaga-lembaga pendidikan kita telah
melakukan learning shut down (pembisuan kebutuhan belajar) karena dipasung
konsep-konsep dogmatis seperti takdir, nasib, pasrah, pahala, surga. Selain pula
metode pengajaran yang bersifat kultus individu pada guru, dosen, kiai, ulama yang
selalu dianggap benar. Tidak ada budaya kritis dalam masyarakat kita. Sejauh mana
fenomena ini terkait dengan teologi ?
Fenomena 3
Anda letih dan frustrasi dengan program-program pemberdayaan dan pengembangan
SDM karena sulit memperoleh dukungan masyarakat? Alihkan perhatian dan tenaga
kreatif anda pada bidang politik atau ritual religius! Buat parpol yang
mengatasnamakan rakyat, atau buat proposal mendirikan masjid, bimbingan haji, dan
lomba tilawatil Quran, atau ritual-ritual lainnya. Dipastikan Anda jauh lebih mudah
menggalang dana, bantuan moril, dan sebagainya. Kenapa? Masyarakat kita akan
mendukung siapapun, entah koruptor ataupun penguasa lalim, yang mendirikan
masjid atau naik haji meski dengan hasil rampokan uang rakyat. Alasannya, bukankah
masjid adalah simbol kekuasaan Tuhan dan penyembahan manusia yang hina penuh
dosa kepada Tuhan Yang Suci? Sebaliknya masyarakat kita (termasuk pemerintah)
kikir membelanjakan hartanya untuk membangun perpustakaan, sekolah yang
bermutu, apalagi yang namanya litbang-litbang kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Membeli komputer canggih oke, tapi mendirikan pusat penelitian pengembangan
komputer, nanti dulu! Membangun masjid oke, tapi memberdayakan marbot
(pengurus masjid), pedagang kecil, petani, buruh, nanti dulu! Kenapa? Karena
membangun masjid dianggap melayani Tuhan, sedang memberdayakan orang lemah,
hanya melayani manusia, tidak lebih dari itu. Sejauh mana fenomena ini relevan
dengan teologi ?
Fenomena 4
Seorang pejabat tinggi negara kita dua bulan yang lalu pernah berkata, "Kami ini kan
manusia biasa, wajar kami keliru. Hanya Tuhan yang sempurna sajalah yang dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa kita". Dua bulan sebelumnya seorang
menteri juga pernah berkomentar agak mirip. Ketika para wartawan menanyakan
ketidakjelasan dan inkonsistensi pemerintah RI dalam menjalankan program ekonomi
nasional, sang menteri terdesak dan tidak punya jawaban argumentatif lagi. Lalu ia
dengan lirih berkata, "Sudahlah, percayalah kepada kami. Anda tahu siapa presiden
kita sekarang. Beliau kan selama ini jujur dan dekat dengan rakyat. Kenapa kita tidak
percayakan saja kepadanya?" Adakah relevansinya fenomena ini dengan teologi ?
Fenomena 5
Seorang sarjana dari desa tiba-tiba saja telah menjadi direktur perusahaan besar;
lengkap dengan simbol seorang eksekutif sukses: ponsel, mobil mewah, rumah
berkolam renang, dan pacar/istri cantik. Demikian gambaran sebuah sinetron. Dalam
sinetron lain diperagakan bahwa tanpa alur cerita yang logis, seorang suami yang
mengaku pecinta sejati mencoba bunuh diri hanya karena sang istri ‘ngambek’.
Sinetron-sinetron lainnya yang menguasai layar TV tak kalah irasional dan irealistis.
Mereka menjual mimpi-mimpi indah dan imajinasi-imajinasi yang mematikan
kreativitas melalui tokoh-tokoh jin, tuyul, manusia super, atau lampu aladin. Ketika
dikritik keras bahwa film-filmnya hanya menjual mimpi-mimpi kosong yang
meninabobokan masyarakat, sang produser Raam Punjabi membela diri dengan
berkata, "Ya, saya memproduksi film seperti itu karena laku dan diminati publik.
Masyarakat kita tidak suka melihat kenyataan yang sesungguhnya bahwa mereka
tengah mengalami kesulitan hidup." Benarkah masyarakat kita tidak berani
menghadapi kenyataan atau realitas, malah lari darinya, kemudian berpaling pada
mimpi-mimpi yang dijajakan sinetron, judi arisan berantai, dan sebagainya? Adakah
relevansi fenomena ini dengan teologi ?
II. Membedah Teologi Formal-Tradisional
Kelima fenomena di atas perlu kita angkat untuk keperluan analisis pandangan hidup
dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut masyarakat. Disadari atau tidak, diakui atau
tidak, sistem kepercayaan masyarakat turut mengkonstitusi (memberikan bentuk)
pandangan hidup dan nilai-nilai sosial yang pada gilirannya berdampak pada tataran
sosial dan praksis. Sistem kepercayaan yang mengendap dalam alam kesadaran atau
ketidaksadaran masyarakat itulah yang kita sebut sebagai teologi formal-tradisional.
Apa yang dimaksud dengan teologi formal-tradisional? Tak lain dari teologi yang
dianut secara turun temurun tanpa pernah melakukan kajian ilmiah kritis. Disebut
formal karena sistem kepercayaan ini lebih berfungsi sebagai simbol identitas
kelompok/mazhab daripada sumber pemahaman yang konstruktif terhadap nilai-nilai
agama itu sendiri. Misalnya, kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja)
mengklaim diri sebagai pengikut Asy’ari atau Maturidi, tanpa pernah mengkaji secara
kritis faktor-faktor sejarah, sosial politik, dan budaya yang ikut mengkonstruksi
teologi Asy’ari. Bahkan, ajaran-ajarannya pun mungkin banyak yang tidak
mengenalnya. Demikian pula dengan kaum cendekiawan yang merasa bangga dan
mengklaim diri sebagai pengikut Mu’tazilah, lebih sebagai simbol kaum rasionalis
yang merupakan ciri Mu’tazilah, daripada pemahaman otentik terhadap Tuhan (Zat,
Sifat, Perbuatan). Kelima fenomena yang dipaparkan di atas lebih berkaitan dengan
teologi yang dianut mayoritas bangsa kita, yaitu Asy’ari. Kita menganalisis
fenomena-fenomena itu secara relatif dan mendasar, serta mengkaji relevansi
fenomena tersebut dengan teologi mayoritas umat Islam dewasa ini. Sebagaimana kita
ketahui, teologi Asy’ari menjadi teologi mayoritas setelah penguasa Abbasiyah AlMutawakkil menjadikan Asy’ari sebagai teologi resmi kekhalifahan, dan menganiaya
tokoh-tokoh teologi lainnya, serta membakar buku-buku yang dianggap bertentangan
dengan teologi resmi. Teologi ini juga memperoleh justifikasi yang lebih kuat setelah
Al-Ghazali menyatakan diri sebagai pengikut Asy’ari serta memadukan teologi ini
dengan ajaran tasawufnya (abad 12 M).
Fenomena 1: Teologi Kekuasaan-Voluntarisme
Kesulitan kita menerapkan supremasi hukum ada kaitannya dengan teologi yang
dianut mayoritas umat Islam, yaitu Asy’ari. Teologi ini menjadikan sifat Tuhan Yang
Mahakuasa dan berkehendak apa saja sebagai sifat yang utama di atas sifat-sifat
lainnya, seperti Mahaadil, Mahabijak, Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena
itu, kata ‘Kuasa’ dan ‘Kehendak’ menjadi kata kunci teologi Asy’ari. Frithjof Schuon
menyebutnya teologi voluntarisme’3 Tesis utama teologi ini adalah Tuhan Yang
Mahakuasa berkehendak apa saja, dan apapun yang terjadi di dunia adalah hasil
kehendak Tuhan. ‘Baik’ dan ‘buruk’, keduanya diciptakan Tuhan. Asy’ari bahkan
mengatakan, Tuhan dapat saja menghukum orang yang tak bersalah dan
memasukkannya kedalam neraka jika Ia menghendaki, dan sebaliknya mengganjar
orang fasiq dan zhalim ke dalam surga.
Pandangan Asy’ariyyin tentang Tuhan dengan gamblang menggambarkan Tuhan Raja
Diraja Yang Maha Berkehendak tanpa ada kriteria-kriteria rasional. Akal harus di
tundukkan demi pengagungan kekuasaan Tuhan. Kriteria lain harus dicampakkan
karena dianggap membatasi kekuasaan-Nya. Misalnya kriteria bahwa Tuhan pasti
membalas kebaikan orang yang berbuat kebaikan; bahwa Tuhan adalah Zat Yang
Mahaadil dan menepati janji, tidak mungkin Tuhan melanggar hukum-hukum yang
Dia buat sendiri. Kriteria semacam ini ditolak Asy’ari. Dengan demikian, makna kata
‘Kuasa’ oleh Asy’ari dipahami sebagai fakta yang diterima begitu saja (seringkali
dianalogikan dengan raja yang berkuasa tanpa batas dan hukum); sebagai kata benda
yang berkonotasi kepemilikan , hegemoni. Tidak ada nilai-nilai lain yang menyertai
kekuasaan Tuhan seperti keadilan, kebijakan, kasih sayang. Kuasa lebih dipahami
sebagai ‘Fakta’ atau thing (sesuatu) daripada sebagai Nilai yang termanifestasikan
(memancar) kepada segala sesuatu. Untuk membedakan kuasa dalam konsepsi fakta
dengan nilai, kita dapat mengutip Sabda Nabi Suci saw, "al-ilm nuurun" (ilmu adalah
cahaya) dan sabda Sayyidina Ali kw, "Harta akan berkurang jika diberikan, sedang
ilmu akan bertambah jika diberikan". Dari dua sabda ini ingin ditunjukkan bahwa apa
yang disebut harta berkonotasi sebagai fakta atau thing. Sedangkan ilmu adalah nilai
atau cahaya yang memancar ke segala arah tanpa mengurangi sumbernya. Asy’ari
lebih melihat Tuhan sebagai thing, fakta. Oleh karena itu, untuk meneguhkan
kekuasaan Tuhan, ia harus menafikan kebebasan kehendak manusia dan alam (hukum
alam; Asy’ariyyah menolak prinsip kausalitas). Jelaslah teologi kekuasaan
Voluntarisme ini merupakan lahan subur bagi sang penguasa untuk mengelabui rakyat
dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan, takdir Tuhan terhadap segala perilaku
hegemoniknya. Sang penguasa memaksa rakyat percaya bahwa, "Situasi Anda atau
masyarakat Anda adalah situasi yang harus di terima karena merupakan manifestasi
kehendak Tuhan. Itu adalah takdir dan nasib..." Ali Syariati menyebut konsepsi takdir
dan nasib sebagai bentuk teologi persembahan Mu’awiyah. Menurut Hasan Hanafi,
teologi tradisional ini merupakan sejarah persembahan kepada sang penguasa,
pengabdian kepada para sultan. Memuji sultan berarti sama dengan bersyukur kepada
Tuhan. Sebaliknya, menentang sultan berarti menentang Tuhan. Bagaimana cara kerja
teologi Asy’ari menghambat terciptanya supremasi hukum? Jawabannya bahwa,
pertama, teologi Asy’ari menolak segala kriteria rasional terhadap konsepsi kuasa,
sedangkan supremasi hukum justru bersandarkan pada kriteria-kriteria yang dapat
diuji dan dipertanggungjawabkan. Kedua, teologi Asy’ari adalah teologi kekuasaan,
sedangkan supremasi hukum menurut teologi keadilan yang merupakan teologi yang
ditegakkan di atas nilai-nilai keadilan, rasionalitas, transparansi, dan dapat diuji
(variability, flexifiable)
Fenomena 2: Teologi Sim Salabim
Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan terkait erat dengan teologi yang
dianut mayoritas umat Islam. Watak esensial ilmu dengan watak esensial teologi
Asy’ari sangat bertolak belakang. Perbedaan mendasar kedua paradigma itu adalah:
1. Ilmu pengetahuan tegak atas dasar prinsip kausalitas yang bisa dipelajari,
sedangkan teologi Asy’ari justru menolak prinsip kausalitas (teologi mukjizat, sim
salabim).
2. Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan daya kritis, kreativitas, dan rasa
ingin tahu manusia. Sementara teologi Asy’ari justru menekankan ketundukan
manusia tanpa banyak menggunakan nalar.
3. Ilmu pengetahuan mengandalkan kegiatan ilmiah yang bekerja secara proses
(process oriented). Adapun teologi Asy’ari lebih terfokus pada hasil (product
oriented).
Fenomena 3: Teologi Dikotomis-Ritualisme
Kurangnya apresiasi terhadap program-program pemberdayaan SDM dibanding
program-program ritual, berkorelasi erat dengan teologi Asy’ari. Fenomena ini
merupakan implikasi alamiah dari pandangan Asy’ariyyin yang kurang mengapresiasi
potensi-potensi insaniah manusia. Manusia hanya dilihat sebagai budak atau pelayan
Tuhan, tanpa kemampuan sedikit pun untuk memahami atau mengenalNya (sifat dan
perbuatan Tuhan). Frithjof Schuon menyebutkan bahwa teologi Asy’ari ini tidak
memungkinkan manusia mencintai Tuhan, karena cinta mensyaratkan pengenalan dan
apresiasi kepada Tuhan yang Maha Bijak, Indah, Mengetahui, Kasih. Untuk
menunjukkan kekuasaan Tuhan, potensi manusia harus dinegasikan, kecuali budak
Tuhan belaka. Asy’ari menganggap bahwa bila kita mengakui potensi-potensi insani
yang kreatif, mandiri, bebas, maka kekuasaan Tuhan akan berkurang. Logika yang
dipakai Asy’ari adalah logika biner (dikotomi), yaitu logika on-off (either or logic).
Pilih Tuhan atau manusia saja. Logika biner ini juga digunakan Nietzsche dan Sartre.
Asy’ari memilih Tuhan dengan menafikan manusia, sedangkan Nietzsche dan Sartre
memilih manusia dan menafikan Tuhan.
Fenomena 4: Teologi Legitimatif (Mistis)
Ucapan kedua pejabat itu merepresentasikan cara pandang mayoritas masyarakat kita,
yaitu membela diri dengan jalan mengalihkan persoalan kepada Tuhan atau penguasa.
Ucapan pejabat yang pertama kerap kita dengar, yaitu berlindung di bawah nama
Tuhan untuk menutupi kesalahan diri, atau atas nama makhluk yang hina penuh dosa
(seraya menyebut Tuhan yang suci ) untuk membersihkan diri. Teknik ini disebut juga
mistifikasi, karena membawa persoalan aktual yang nyata ke dalam wacana mistis,
gaib yang tak bisa diverifikasi/difalsifikasi. Karena tidak bisa diverifikasi, maka diri
yang bersangkutan menjadi terlindungi/terselamatkan. Ucapan pejabat yang kedua
lebih sebagai upaya pelarian dari tanggung jawab rasionalitas dan transparansi
kebijakan dengan berlindung di bawah pernyataan "kehendak baik penguasa".
Penguasa yang dianggap baik dan jujur tak perlu lagi diminta pertanggungjawaban
yang reasonable dan transparan. Cukup kita yakini bahwa penguasa itu jujur, dan
tinggal percaya saja kepadanya. Jika ada ucapan penguasa yang tidak dimengerti,
maka anggap saja ‘pemikiran penguasa itu melampaui pemikiran kita orang biasa’,
karenanya tidak perlu repot-repot mempertanyakan. Bahkan, jikapun keadaan telah
sampai melahirkan indikator-indikator yang gamblang tentang kegagalan penguasa,
maka kita tetap saja harus harus ’husnuzhan’ (berprasangka baik) pada penguasa.
Mungkin saja ini adalah proses awal yang membutuhkan pengorbanan kita semua.
Logika mistifikasi untuk melegitimasi /status quo/ penguasa ini adalah sebagai berikut
:
Premis mayor : Penguasa adalah orang baik dan selalu benar Premis Minor : Jika
penguasa Salah, lihat premis mayor Konklusi : Penguasa selalu baik dan benar
Dalam argumen yang digunakan logika legitimatif ini disebut argumentum ad
hominem (kebenaran ditentukan manusia). Logika ini bertolak belakang dengan
ucapan Sayyidina Ali, ‘Carilah kebenaran, lalu nilailah manusia atas kriteria
kebenaran itu’.
Fenomena 5: Teologi Eskapisme
Sikap dan cara pandang masyarakat kita yang mudah terbuai mimpi-mimpi indah
merupakan implikasi lebih lanjut dari teologi sim salabim, teologi legitimatif. Karena
menolak rasionalitas, keteraturan, dan kejelasan kriteria (transparancy), dan
sebaliknya cenderung melegitimasi status quo yang ada, maka penganut teologi ini
cenderung tidak berani menghadapi realitas. Mereka lebih senang mengkhayalkan
realitas imajinatif melalui mimpi-mimpi dan penciptaan tokoh-tokoh ilusif —mitos
seperti Ratu Adil, Nyi Roro Kidul. Masyarakat kita juga mudah sekali dibujuk dengan
program-program irrasional seperti judi, arisan berantai, ‘nyepi’, jampi-jampi, yang
semuanya adalah pelarian dari kegagalan meraih cita-cita dalam konteks realitas
nyata.
III. Teologi Alternatif: Teologi Kritis
Antitesis dari teologi formal-tradisional yang telah membelenggu potensi kreatif dan
progresif umat Islam harus dicari, entah dengan penemuan atau melalui konstruksi di
atas prinsip-prinsip Tauhid. Teologi alternatif itu dapat kita namakan teologi kritis.
Disebut kritis karena menekankan daya nalar yang tajam, sikap yang selalu ingin tahu
(sense of curiosity) dan sebagai sikap tengah antara absolutisme dan nihilisme. Di
satu sisi, kita meyakini adanya Kebenaran Mutlak, yaitu Tuhan itu sendiri. Akan
tetapi di sisi lain, kita juga menyadari relativitas diri dalam mencerap kebenaran
sehingga tak pernah sempurna atau selesai. Oleh karena itu, konsekuensinya adalah
sikap yang selalu terbuka, mencari ilmu tiada henti, selalu bergerak ke arah yang lebih
baik/sempurna.
Beberapa prinsip yang melandasi Teologi Kritis adalah :
1. Pandangan bahwa Tuhan bukan sebagai ‘Fakta’ atau ‘Thing’, tapi sebagai ‘Nilai’
atau ‘Cahaya’. Allah swt sendiri memperkenalkan diriNya sebagai Cahaya (QS.
24:35), Tuhan Mahakuasa dengan Keadilan dan Kearifannya, Tuhan Adil dengan
Kekuasaanya. Sifat-sifat Tuhan satu sama lain tidak terpisahkan. Tidak ada sifat yang
saling mensubordinasi, melainkan aspek-aspek pemahaman terhadap Wujud Yang
Satu. Sifat dan Zat Tuhan tidak terpisahkan, bahkan identik. Oleh karena itu, ketika
Tuhan menepati janjiNya, itu tidak dipahami sebagai keterikatan Tuhan, melainkan
sifat menepati janji (Adil) itu sendiri adalah esensi dari Wujud Tuhan sendiri. ’Alim,
Hakim, Rahman, Rahim, adalah Tuhan itu sendiri.
2. Pandangan Tuhan sebagai ‘Nilai’ bermakna juga bahwa Tuhan berhubungan erat
dengan nilai-nilai eksistensial kita selaku makhlukNya. Nilai-nilai kita sebagai
manusia adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan, seperti keadilan, pengetahuan, kearifan,
kebaikan, harapan kesempurnaan, kebenaran, kreativitas, kasih sayang, keindahan.
Setidaknya, terdapat 6 gugus nilai:
1. Nilai Vital: hidup, kehendak, melihat, mendengar, mencipta.
2. Nilai etis: baik, adil, jujur, amanah, sabar.
3. Nilai estetis: indah, terpuji, keharmonisan.
4. Nilai intelektual: mengetahui, bijak, arif.
5. Nilai keagungan (jalal): kuasa, mulia, perkasa.
6. Nilai kudus (kesucian): suci, ikhlas, asketis, sederhana. Konsekuensi dari
pandangan ini adalah bahwa melayani manusia berarti identik dengan melayani
Tuhan. Menegakkan keadilan berarti ingin menghadirkan Tuhan, karena Tuhan
adalah Al-’Adl. Menuntut ilmu bermakna mendekati Tuhan, karena Tuhan adalah Al’Alim.
3. Sebagai konsekuensi logis dari prinsip kedua, teologi kritis menolak logika
dikotomis yang diciptakan Asy’ari. Ada lima (5) jenis dikotomi yang hendak
dihilangkan, yaitu :
a. Tuhan-Alam (Alam adalah ayat-ayat, manifestasi sifat-sifat Tuhan).
b. Tuhan-Manusia (manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia)
c. Iman-Ilmu
d. Ruh-Jasad
e. Wahyu-Intelek (Intelek atau qalb adalah wahyu batin imanen)
4 Teologi kritis lebih menekankan isi dari pada formal ritual, artinya lebih
memfokuskan diri kepada upaya menyingkap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dalam
keseluruhan eksistensi, alias tidak hanya dalam ritual formal belaka. Menyingkap
nama Tuhan tidak hanya dilakukan di masjid atau Ka’bah, tapi di mana dan kapan
saja manusia berada dalam totalitas eksistensinya yang darinya termanifestasikan
nama-nama Tuhan. Penyingkapan nama-nama Tuhan (Asma Al-Husna) itu juga
dilakukan dengan seluruh fakultas dan potensi manusia yang terintegrasi, baik secara
teoritis maupun praksis . Dzikir, tafakkur, amal shaleh (amal sosial) merupakan
modus-modus penyingkapan nama-nama Tuhan.
5 Konsekuensi dari persoalan keempat adalah terbukanya peluang bagi siapa saja
tanpa pandang mazhab, ideologi, dan bahkan agama, untuk masuk dalam anutan
teologi kritis, teologi nilai, teologi cahaya, teologi rasional-iluminasionis, sepanjang ia
menyingkap nama-nama Allah dalam keseluruhan eksistensinya.
TEOLOGI NILAI
TEOLOGI FORMAL
Tuhan sebagai Thing, fakta
Teologi Kekuasaan - Voluntarisme
Teologi Sim Salabim
Teologi Dikotomis - Ritualisme
Teologi Eskapisme
Teologi Legitimatif
Teologi Formal Eksklusif
Tuhan sebagai 'Nilai', Cahaya
Teologi Keadilan - Rasionalisme
Teologi Pengetahuan
Teologi Integrasi
Teologi Realisme
Teologi Eksplanasi - Kritis
Teologi Pluralisme
Download