Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah-Nya sehingga penyusunan buku Tinjauan Ekonomi Regional (TER) triwulan I-2009 dapat diterbitkan. Penyusunan buku TER dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Bank Indonesia dalam mempertajam informasi tentang perekonomian nasional dalam perspektif regional sehingga dapat mendukung formulasi kebijakan moneter Bank Indonesia. Selain itu, juga ditujukan sebagai bahan informasi ataupun masukan bagi stakeholder terkait. Memasuki tahun 2009, perekonomian daerah memperoleh tantangan yang berat terkait dengan dampak berlanjutnya krisis keuangan global. Dalamnya penurunan ekspor produk-produk unggulan di berbagai daerah menjadi perhatian utama pada triwulan laporan. Di sisi lain, laju inflasi menunjukkan arah pergerakan yang cenderung menurun di hampir seluruh daerah. Prospek ekonomi daerah pada triwulan II-2009 diperkirkan masih akan diwarnai oleh tekanan imbas krisis keuangan global. Perlambatan ekonomi diperkirakan masih akan berlanjut seiring prospek perekonomian global yang masih belum menggembirakan. Tekanan inflasi yang cenderung menurun masih akan menyertai melambatnya aktivitas perekonomian. Menghadapi kondisi ini, peran Pemerintah Daerah dalam menstimulasi perekonomian melalui berbagai instrumen yang dimilikinya menjadi sangat penting. Pada akhirnya, kami berharap semoga buku ini bermanfaat dan dapat memberikan masukan bagi berbagai pihak yang membutuhkan. Selanjutnya, saran dan kritik kami nantikan untuk penyempurnaan publikasi ini. Jakarta, 24 April 2009 DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER Hendar Kepala Biro DAFTAR ISI I. KONDISI PEREKONOMIAN REGIONAL ..................................................... 2 A. Gambaran Umum .......................................................................................... 2 B. Wilayah Sumatera .......................................................................................... 5 C. Wilayah Jakarta …………................................................................................... 11 D. Wilayah Jabalnustra ....................................................................................... E. Wilayah Kali-Sulampua II. PROSPEK ................................................................................. 20 ................................................................................................................ III. ISU STRATEGIS 15 .................................................................................................... 26 27 A. Efektivitas Pemanfaatan Dana Pemda dan Dampaknya Terhadap Kondisi Fiskal, Moneter, dan Perekonomian ................................................. 27 B. Stimulus Fiskal dan Prospek Pembiayaan Ekonomi Daerah 2009............... 29 Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi : Biro Kebijakan Moneter Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Ged. Sjafruddin Prawiranegara lt. 18 Kompleks Bank Indonesia Jl MH Thamrin No. 2 Jakarta Ph. 021-381-8199, 381-8161, 8868 Fax. 021-386-4929,345-2489 Email : [email protected] I. KONDISI PEREKONOMIAN REGIONAL A. Gambaran Umum Pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah 1 pada triwulan I-2009 diperkirakan mengalami perlambatan. Perlambatan ekonomi yang paling dalam terjadi di wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua. Namun demikian, terdapat dua zona ekonomi yang diperkirakan mengalami pertumbuhan ekonomi yang meningkat dibanding periode triwulan sebelumnya, yaitu zona Kalimantan dan dan zona Jawa Bagian Tengah. Secara umum, berlanjutnya krisis global berimbas pada melambatnya kinerja perekonomian di berbagai daerah terutama daerah yang mengandalkan ekspor dalam perekonomiannya. Nasional Sumatera Sumatera Bag. Utara Sumatera Bag. Tengah Sumatera Bag. Selatan Jakarta Jabalnustra Jawa Bag. Barat Jawa Bag. Tengah Jawa Bag. Timur Bali-Nusa Tenggara Kali-Sulampua Kalimantan Sulampua 1 6.0 4.3 3.4 4.8 4.6 6.3 5.7 5.7 4.4 5.5 13.0 5.9 2.4 11.3 2007 2 3 6.6 6.6 5.5 5.4 6.3 5.5 4.5 5.1 6.1 5.8 6.3 6.4 6.2 6.0 6.2 6.4 6.1 5.7 6.2 6.3 6.1 2.2 6.2 3.4 3.2 3.6 10.7 3.0 4 5.8 4.7 2.1 5.5 6.7 6.7 6.3 7.1 5.7 6.4 2.5 3.4 4.8 1.4 1 6.2 4.9 3.0 5.2 7.1 6.3 6.2 7.0 6.0 5.9 3.3 3.7 6.1 0.3 P 2008 2009 1 2 3 4 6.4 6.4 5.2 4.6 4.9 4.8 3.9 3.0 1.8 1.8 3.1 2.4 7.1 6.8 5.4 3.6 5.4 5.4 2.6 2.6 6.1 6.1 6.2 5.8 5.1 6.3 5.0 4.5 4.5 6.6 4.9 4.3 5.2 6.4 4.0 4.2 6.0 6.0 5.4 5.4 3.6 4.8 6.0 5.1 5.0 7.6 5.9 5.0 6.4 5.9 2.8 3.4 3.2 10.1 10.4 7.5 P) Proyeksi Kantor Bank Indonesia Di sisi permintaan, melambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh turunnya kinerja seluruh komponen permintaan terutama ekspor. Resesi dunia yang masih berlanjut menyebabkan permintaan terhadap produk ekspor di berbagai daerah mengalami penurunan. Ekspor produk-produk manufaktur mengalami penurunan yang cukup signifikan di wilayah Jabalnustra. Di wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua kinerja ekspor komoditas primer masih mengalami tekanan, meskipun beberapa harga komoditas mulai menunjukkan adanya perbaikan. Tinjauan Ekonomi Regional membagi Indonesia atas empat wilayah analisis yang masing-masing terdiri atas beberapa zona ekonomi (kecuali Jakarta), yaitu: Sumatera (zona Sumatera Bagian Utara: NAD dan Sumatera Utara; zona Sumatera Bagian Tengah: Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi; zona Sumatera Bagian Selatan: Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung), Jakarta, Jabalnustra (zona Jawa Bagian Barat: Banten dan Jawa Barat; zona Jawa Bagian Tengah: Jawa Tengah dan DI Yogyakarta; zona Jawa Bagian Timur: Jawa Timur; zona Balnustra: Bali, NTB, dan NTT), Kali-Sulampua (zona Kalimantan: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Irian Jaya Barat. 1 Penurunan kinerja ekspor dengan disertai meningkatnya PHK dan terbatasnya dukungan kredit konsumsi berimplikasi pada melemahnya daya beli masyarakat di wilayah tersebut. Namun demikian, penyaluran Bantuan Langsung Tunai, kenaikan gaji PNS, dan meningkatnya intensitas kegiatan terkait dengan Pemilu diperkirakan dapat menahan laju perlambatan konsumsi lebih lanjut. Sementara itu, investasi tumbuh terbatas terkait dengan sikap pengusaha yang cenderung untuk menunggu kondisi dalam negeri pasca Pemilu dan perekonomian global. Di sisi penawaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah bersumber dari turunnya kinerja sektor-sektor unggulan. Sektor industri pengolahan di Jabalnustra, Jakarta dan Sumatera mengalami perlambatan yang cukup dalam akibat turunnya kapasitas utilisasi industri sebagai respon dari berkurangnya permintaan dan naiknya biaya produksi. Sektor pertambangan di Sumatera bahkan mengalami kontraksi pertumbuhan akibat jatuhnya harga komoditas tambang di pasar internasional dan terbatasnya produksi migas. Sektor pertanian, di sisi lain, mulai mengalami perbaikan dengan masuknya masa panen raya tanaman bahan makanan (tabama) pada akhir triwulan laporan, meskipun kinerja sub sektor perkebunan masih mengalami tekanan akibat anjloknya harga dan turunnya produktivitas, serta terbatasnya penyerapan hasil-hasil perkebunan oleh industri pengolahan. Sementara itu, masih lemahnya daya beli masyarakat yang mempengaruhi kinerja sektor perdagangan di Sumatera dan Jakarta. Sumatera Jakarta Jabalnustra Kali-Sulampua Tw IV-08 Tw I-09 Tw IV-08 Tw I-09 Tw IV-08 Tw I-09 Tw IV-08*) Tw I-09P) Pertanian Pertambangan & penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Jasa-jasa PDRB *) Angka Sementara P) Proyeksi Kantor Bank Indonesia *) P) *) P) *) P) 1.5 -0.1 3.1 5.3 7.9 6.0 8.9 7.2 -1.1 3.9 2.8 -1.2 0.5 5.4 5.5 4.3 8.2 4.7 7.9 3.0 1.4 0.0 3.6 5.9 7.8 5.8 14.8 4.8 5.9 6.2 1.4 0.4 2.3 6.5 6.9 5.4 15.4 4.4 5.8 5.8 0.8 5.6 5.4 4.9 9.8 5.4 5.6 7.3 5.1 5.0 0.8 5.0 3.9 2.7 9.6 6.2 5.9 9.8 3.8 4.5 0.1 11.8 0.1 5.8 9.3 7.4 9.5 7.6 8.9 5.9 -0.2 7.0 0.9 7.4 9.1 8.5 10.3 7.1 8.1 5.0 Di sisi pembiayaan, ditengah kondisi perekonomian yang masih mengalami perlambatan, dukungan penyaluran kredit perbankan tumbuh terbatas. Demikian halnya dengan realisasi penyerapan anggaran pemerintah daerah cenderung masih mengikuti pola awal tahun yang terbatas pada pengeluaran yang bersifat rutin. Bahkan masih terdapat beberapa APBD kota/kabupaten yang belum mendapatkan pengesahan. Sejalan dengan kegiatan perekonomian daerah yang melambat, tekanan inflasi di berbagai daerah juga menunjukkan kecenderungan yang melemah. Tekanan permintaan yang minimal dengan disertai relatif terjaganya pasokan kebutuhan pokok yang didukung lancarnya distribusi barang di berbagai daerah merupakan faktor utama yang menyebabkan lemahnya tekanan inflasi pada triwulan I-2009. Namun demikian, inflasi di wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua masih berada di atas pergerakan inflasi nasional. Kondisi infrastruktur di kedua daerah itu yang belum sepenuhnya memadai, dan ketergantungan pasokan antar daerah yang cukup tinggi menjadi faktor penyebab pergerakan inflasi di kedua wilayah tersebut berada di atas nasional. Melambatnya pertumbuhan ekonomi daerah diperkirakan berlanjut pada triwulan mendatang, namun disertai tekanan inflasi yang diperkirakan juga masih akan melemah. Perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan terjadi di seluruh wilayah, terutama bersumber dari: (1) Kinerja ekspor yang masih akan mengalami tekanan akibat lemahnya permintaan dunia, yang direspon oleh (2) Turunnya kapasitas utilisasi produksi sektor-sektor yang berorientasi ekspor, dan (3) Daya beli masyarakat yang belum cukup membaik untuk menstimulasi konsumsi. Namun demikian, puncak masa panen raya pada awal triwulan mendatang, minimalnya tekanan kenaikan harga-harga, dan mulai direalisasikannya proyek-proyek infrastruktur pemerintah diperkirakan dapat menahan laju perlambatan ekonomi triwulan mendatang. Tekanan inflasi yang cenderung masih akan melemah terindikasi di berbagai wilayah. Faktor yang menyebabkan melemahnya tekanan inflasi di triwulan mendatang antara lain: (1) stok bahan kebutuhan pokok yang melimpah seiring dengan puncak panen raya, (2) minimalnya tekanan permintaan yang dipengaruhi oleh belum membaiknya daya beli masyarakat, dan (3) ekspektasi masyarakat terhadap stabilnya harga-harga. Meski demikian, risiko terhadap gangguan distribusi pasokan di berbagai daerah perlu tetap dicermati, selain juga faktor musiman liburan sekolah dan tahun ajaran baru yang akan dimulai pada periode Juni-Juli 2009 mendatang. B. Wilayah Sumatera Perekonomian wilayah Sumatera pada triwulan I-2009 tumbuh 3,0% (yoy), lebih lambat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 3,9% (yoy). Zona Sumatera Bagian Tengah dan zona Sumatera Bagian Utara mengalami perlambatan eknonomi yang lebih dalam, sementara pertumbuhan ekonomi di zona Sumatera Bagian Selatan relatif stabil. Dalamnya perlambatan ekonomi di zona Sumatera Bagian Tengah terutama bersumber dari kontraksi ekonomi yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau dan signifikannya perlambatan ekonomi di Provinsi Riau, yang masing-masing memiliki pangsa 8,5% dan 21,3% dalam PDRB Sumatera. Sementara kontraksi pertumbuhan di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang masih terus terjadi menjadi sumber melambatnya perekonomian zona Sumatera Bagian Utara. Pertumbuhan PDRB (%, yoy) Tw II-08 Tw III-08*Tw IV-08* Tw I-09P Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Sumatera * Angka Sementara P -8.3 5.5 6.1 7.0 8.6 6.8 4.2 5.0 5.7 6.2 4.9 -14.1 7.7 6.4 6.8 6.5 8.5 3.7 5.2 5.8 5.8 4.8 -8.0 7.0 6.3 5.4 3.1 8.8 5.0 2.3 -0.9 3.7 3.9 -4.6 4.6 5.8 3.9 -0.9 8.4 4.0 2.6 -2.2 3.7 3.0 Perkiraan Kantor Bank Indonesia Di sisi permintaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera lebih disebabkan oleh kinerja ekspor yang masih mengalami penurunan signifikan. Anjloknya harga komoditas primer antara lain minyak kelapa sawit, karet, timah dan hasil tambang lainnya di pasar internasional akibat permintaan dunia yang melemah menyebabkan kinerja ekspor di wilayah Sumatera mengalami penurunan yang cukup tajam. Sepanjang tahun 2008, ekspor komoditas berbasis primer ini menyumbang 55,6% dari total nilai ekspor dari wilayah Sumatera yang mencapai US$36,26 milyar. Meskipun harga komoditas primer di pasar internasional mulai berjatuhan seiring dengan intensitas krisis global yang semakin meningkat pada triwulan III-2008, namun lonjakan harga komoditas primer di awal tahun 2008 menjadi berkah tersendiri bagi kinerja ekspor wilayah Sumatera untuk keseluruhan tahun 2008. Berlanjutnya krisis global memasuki tahun 2009 berdampak pada turunnya kinerja ekspor wilayah Sumatera yang bertumpu pada komoditas primer, meskipun harga komoditas primer mulai menunjukkan adanya perbaikan pada akhir triwulan laporan. Pada triwulan I-2009 volume ekspor wilayah Sumatera mengalami pertumbuhan negatif 9,35% (yoy) dengan nilai yang juga terkontraksi 25,8% (yoy). 1,800 (%) (juta US$) 120 1,600 100 1,400 80 1,400 1,200 60 1,000 40 800 800 20 600 600 0 400 (20) 200 (40) - (60) Minyak Sawit 115 Karet 250 200 150 50 400 0 200 (50) - (100) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 2009 Total Impor(lhs) gTotal Ekspor (rhs) 35 (Indeks NTP) 300 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2008 (%) 1,200 1,000 2007 (ton) 110 30 105 25 100 20 2008 gBahan Baku gKonsumsi 2009 gBarang Modal (%) 15 95 10 90 5 85 0 80 6 7 8 9 10 11 12 1 (5) (10) 2008 Sumut Sumbar Riau 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2007 2008 2009 2009 Sumsel Jambi Lampung gKonsumsi Semen gKredit Investasi Anjloknya harga komoditas dan turunnya permintaan ekspor berdampak pada melambatnya konsumsi akibat melemahnya daya beli masyarakat. Perlambatan konsumsi masyarakat diindikasikan oleh nilai tukar petani yang relatif belum mengalami perbaikan yang berarti (Grafik 3), impor barang konsumsi yang tumbuh negatif (Grafik 2), dan kredit konsumsi yang juga tumbuh melambat (Grafik 10). Namun demikian, meningkatnya intensitas kegiatan terkait dengan kampanye menjelang Pemilu, dan adanya kenaikan gaji PNS, serta realisasi penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) diperkirakan menjadi faktor positif yang menahan laju perlambatan konsumsi lebih lanjut. Di sisi lain, investasi tumbuh terbatas sebagaimana tercermin dari pertumbuhan tingkat konsumsi semen dan penyaluran kredit investasi yang relatif stagnan (Grafik 4), serta impor barang modal yang masih tumbuh negatif (Grafik 2) . Berdasarkan hasil liaison yang dilakukan oleh beberapa Kantor Bank Indonesia, perkembangan investasi yang tumbuh terbatas di Sumatera disebabkan oleh permintaan ekspor yang belum membaik sehingga menyebabkan turunnya utilisasi kapasitas produksi. Investasi yang dilakukan oleh pengusaha terbatas pada upaya diversifikasi produk untuk mengatasi turunnya permintaan ekspor, dan adanya sedikit optimisme akan kembali membaiknya permintaan ekspor minyak sawit dan CPO seiring dengan perbaikan harga di pasar internasional – investasi antara lain dilakukan dalam bentuk replanting dan perluasan lahan perkebunan sawit. Di sisi sektoral, melambatnya pertumbuhan PDRB wilayah Sumatera terjadi pada hampir seluruh sektor ekonomi utama kecuali sektor pertanian dan sektor jasajasa. Sektor pertambangan bahkan mengalami kontraksi pertumbuhan yang lebih dalam akibat produksi minyak bumi yang semakin terbatas di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan anjloknya harga komoditas tambang di pasar internasional yang menjadi disinsentive factor bagi produksi hasil-hasil tambang - antara lain timah di provinsi Bangka Belitung. Turunnya permintaan eksternal dan domestik berdampak pada kinerja sektor industri pengolahan di Sumatera, khususnya industri pengolahan berbasis sumber daya alam. Hasil liaison mengindikasikan pemanfaatan kapasitas utilisasi produksi perusahaan yang mengalami penurunan cukup signifikan, sebagaimana dikonfirmasi oleh konsumsi listrik di sektor ini yang mengalami penurunan cukup tajam (Grafik 8), pertumbuhan negatif dari impor bahan baku di Sumatera (Grafik 2) dan penyaluran kredit ke sektor industri yang tumbuh lebih lambat (Grafik 6). Demikian halnya dengan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tumbuh lebih lambat dibanding periode triwulan sebelumnya. Perkembangan sektor PHR yang lebih lambat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang belum cukup membaik, meskipun adanya peningkatan intensitas kegiatan kampanye Pemilu diperkirakan memiliki dampak yang positif dalam menahan perlambatan sektor ini lebih laju. Indikasi perkembangan sektor perdagangan ini tercermin dari cenderung stagnannya penyaluran kredit ke sektor ini (Grafik 7). Sementara itu, perbaikan kinerja di sektor pertanian ditopang oleh masuknya masa panen raya tanaman bahan makanan pada akhir triwulan laporan. Di sisi lain, kinerja sub sektor perkebunan yang belum membaik akibat permintaan ekspor yang rendah, penyerapan di sektor industri pengolahan yang turun, serta dilakukannya replanting pada beberapa jenis tanaman perkebunan. 30 (juta MSCF) (Juta Barrel) 0.35 0.30 25 0.25 20 0.20 15 0.15 10 0.10 5 0.05 0 0.00 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2007 2 3 4 5 6 2008 Minyak Bumi Kondensat 50 1 7 8 9 10 11 12 1 2 2008 Gas (rhs) Karet 5.91 (%) 45 3 2009 Kelapa Sawit Kelapa (ribu pelanggan) Pinang (MwH) 340,000 5.90 330,000 5.89 320,000 35 30 5.88 25 5.87 40 20 310,000 300,000 290,000 5.86 280,000 10 5.85 270,000 5 5.84 15 0 1 2 3 4 5 6 7 8 2008 Pertanian Industri 9 10 11 12 1 2 2009 Perdagangan 260,000 1 2 3 4 5 6 7 2008 Pelanggan Industri 8 9 10 11 12 1 2 2009 Penggunaan daya (rhs) Kondisi global yang kurang menguntungkan bagi kinerja perekonomian domestik berdampak pada melambatnya ekspansi penyaluran kredit di wilayah Sumatera. Data bulan Februari 2009 menunjukkan pertumbuhan penyaluran kredit di wilayah Sumatera masih mengalami perlambatan hingga sebesar 25,16% (yoy), dengan outstanding kredit sebesar Rp165,43 triliun atau lebih rendah dibanding posisi akhir triwulan IV-2008 yang sebesar Rp 165,89 triliun. Berdasarkan jenis penggunaannya, porsi penyaluran kredit terbesar di wilayah Sumatera merupakan kredit modal kerja (45,5%). Sementara itu, meskipun angka Non Performing Loans (NPLs), baik nominal maupun rasio terhadap total kredit, masih dalam batas ambang normal namun risiko peningkatannya lebih lanjut perlu tetap dicermati. Di sisi penghimpunan dana, dana pihak ketiga (DPK) perbankan di wilayah Sumatera pada posisi Februari 2009 mencapai Rp238,75 triliun. 300 (triliun Rp) (%) 250 35 180 30 160 35 140 30 25 200 (%) 120 20 100 15 80 150 100 (triliun Rp) 25 20 15 60 10 40 40 10 50 5 20 5 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 2008 DPK 8 2009 2007 gDPK (rhs) (triliun Rp) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2008 Kredit (%) 7 2009 gKredit (rhs) 7 6 6 5 5 4 4 3 3 Konsumsi 33.7% 2 2 1 1 0 0 Modal Kerja 45.6% Investasi 20.7% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 NPL (triliun Rp) 2008 2009 NPL (Rasio thdp Total Kredit, rhs) Di sisi keuangan daerah, penyerapan realisasi APBD triwulan I-2009 diperkirakan masih mengikuti pola realisasi awal tahun yang terbatas pada belanja rutin. Beberapa Kota/Kabupaten di zona Sumatera Bagian Utara dan Sumatera Bagian Selatan bahkan masih dalam proses pengesahan APBD 2009. Hal ini mencerminkan masih belum optimalnya penyerapan anggaran pemerintah daerah di tengah isu percepatan realisasi fiskal daerah. Rencana belanja dalam APBD 2009 untuk tingkat provinsi se-wilayah Sumatera mencapai Rp28,89 triliun, mengalami kenaikan 7,41% dibanding tahun 2008 dengan total pendapatan mencapai Rp23,90 triliun (naik 7,68%). Secara umum, meskipun seluruh provinsi di Sumatera pada APBD 2009 menggunakan pola defisit anggaran namun dengan alokasi belanja yang masih terkonsentrasi pada belanja rutin mengindikasikan arah stimulus fiskal pada proyekproyek infrastruktur yang lebih mengandalkan pada dana yang bersumber dari pemerintah pusat. Dana APBN yang dialokasikan untuk wilayah Sumatera pada tahun 2009 total mencapai Rp46,17 triliun (untuk provinsi dan kabupaten/kota) dengan alokasi dana perimbangan terbesar adalah untuk Provinsi Riau sebesar Rp14,26 triliun. Berdasarkan jenisnya, 71% anggaran perimbangan adalah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) diikuti Dana Bagi Hasil (DBH) migas sebesar 25%. Kepri SDH KEHUTANAN 0.73% 1.77 Babel 2.10 Bengkulu PPh Pasal 21 PBB PPh WPOPDN 0.09% 0.91% 1.69% DAK 0.00% 2.98 Jambi 4.52 Lampung 5.91 Sumbar DBH Migas 25.18% 6.78 NAD 7.50 Sumsel 9.05 Sumut DAU 71.41% 11.28 Riau 14.26 (triliun Rp) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Perkembangan inflasi di wilayah Sumatera pada triwulan I-2009 menunjukkan kecenderungan yang melemah meskipun secara tahunan masih relatif tinggi. Tekanan inflasi yang paling tinggi terjadi di zona Sumatera Bagian Selatan namun dengan arah pergerakan yang cenderung turun (Grafik 15). Inflasi di zona ini pada bulan akhir periode triwulan laporan (Maret 2009) tercatat sebesar 9,60% (yoy), lebih rendah dibanding periode akhir triwulan IV-2008 yang sebesar 13,00 (yoy). Sementara itu, inflasi di zona Sumatera Bagian Utara dan zona Bagian Tengah masing-masing sebesar 6,79% (yoy) dan 8,00% (yoy). Perkembangan tekanan hargaharga umum di wilayah Sumatera yang cenderung turun, dan secara bulanan bahkan mengalami deflasi pada Maret 2009 (Grafik 16), dipengaruhi terutama oleh berbagai faktor positif turunnya harga BBM bersubsidi pada Desember 2008 yang diikuti turunnya tarif angkutan, membaiknya ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga-harga, dan relatif terjaganya pasokan kebutuhan pokok yang didukung oleh masuknya masa panen raya disejumlah sentra produksi pangan, serta diiringi minimalnya tekanan permintaan akibat belum membaiknya daya beli. Namun demikian, faktor yang mempengaruhi lebih tingginya angka inflasi wilayah Sumatera dibandingkan Nasional antara lain adalah adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan dari wilayah lain, serta ketergantungan pada kondisi cuaca dalam distribusi barang yang disertai dengan belum memadainya dukungan jalur transportasi. 16 16 (%) 14 14 12 12 10 10 8 8 6 6 4 4 2 2 0 (%) (%) 2.5 1.5 0.5 (0.5) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2007 Nasional 2008 Sumbagut 14 (1.5) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2009 Sumbagteng 3.5 2007 Sumbagsel 2008 Sumatera (mtm, rhs) Sumatera (yoy) 2009 Nasional (yoy) (%) 12 10 Nasional 8 6 4 2 Bd.Lampung Tj. Pinang Pkl. Pinang Dumai Bengkulu Lhokseumawe Jambi Padang Pd.Sidempuan Sibolga Palembang Banda Aceh Pekanbaru Pmtg Siantar Batam Medan 0 C. Wilayah Jakarta Perekonomian wilayah Jakarta pada triwulan I-2009 tumbuh lebih lambat dibanding triwulan sebelumnya yaitu sebesar 5,8% (yoy). Sumber perlambatan ekonomi di sisi permintaan terutama adalah konsumsi masyarakat dan investasi. Konsumsi diperkirakan tumbuh 6,0%, lebih lambat dibanding periode triwulan sebelumnya yang sebesar 6,4%. Lebih lambatnya laju konsumsi ini dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat, terlebih dengan masih berlanjutnya kasus PHK terkait dampak krisis global pada kinerja usaha, serta terbatasnya dukungan pembiayaan (Grafik 23). Namun demikian, masih cukup terjaganya optimisme masyarakat dan adanya dorongan belanja konsumsi pemerintah yang melebihi target penyerapan – meskipun masih terbatas pada belanja yang bersifat rutin seperti pembayaran gaji - untuk triwulan I-2009 dapat menahan laju perlambatan konsumsi lebih lanjut. Sementara itu, investasi tumbuh 8,1% (yoy) atau lebih lambat dibading periode triwulan IV-2008 yang sebesar 8,9% (yoy). Preferensi dunia usaha yang cenderung memilih untuk melihat perkembangan kondisi perekonomian lebih lanjut dalam merealisasikan investasinya diperkirakan menjadi faktor yangQ2-2009p mempengaruhi Kontribusi Q1-2008 Q2-2008 Q3-2008 Q4-2008* 2008* Q1-2009* DKI Q2-2009 melambatnya pertumbuhan investasi. Di6.4sisi lain, ekspor menunjukkan peningkatan 7.8 6.1 6.4 6.7 6.0 4.8 2.8 Konsumsi Investasi oleh adanya didorong 8.3 8.6 pengiriman 8.9 8.1 barang-barang 8.7 industri 7.6 7.4 pengolahan 2.5 (Grafik Ekspor 6.4 0.8 0.5 0.7 2.7 3.8 1.8 0.1 PD RB 6.3 6.1 6.1 6.2 6.2 5.8 5.3 5.3 18) yang diduga terkait dengan kontrak12.9 eskpor12.8 yang disepakati 2008. 17.3 pemenuhan 12.5 8.5 11.1 3.0 tahun -0.2 Impor p proyeksi BI 1 Konsumsi Investasi Ekspor Impor PDRB 2 7.8 8.3 6.4 17.3 6.3 3 6.1 8.6 0.8 12.5 6.1 2009 1* 4* 6.4 8.9 0.5 8.5 6.1 6.4 8.1 0.7 12.9 6.2 6 7.6 3.8 11.1 5.8 *) Angka Sementara 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 - % 400 ton 350 300 250 200 150 100 50 0 (50) (100) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2007 Manufactured Goods 2008 Chemical gManufactured Goods(rhs) 2,500 140 120 2,000 100 80 1,500 60 40 1,000 20 0 500 (20) (40) - (60) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2007 2009 gChemical (rhs) % ton Total Impor 2008 gBahan Baku gKonsumsi 2009 gBarang Modal Di sisi sektoral, perlambatan ekonomi terjadi pada hampir seluruh sektor andalan yang memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Jakarta. Sektor industri pengolahan tumbuh lebih lambat dibanding triwulan IV-2009, yaitu dari sebesar 3,6% (yoy) menjadi 5.0 7.4 2.7 4.8 5.5 * angka sementara 2008 2009p 2,3% (yoy) pada triwulan laporan. Melambatnya kinerja sektor industri ini terutama disebabkan oleh melemahnya permintaan dunia dan domestik yang menyebabkan perusahaan melakukan penyesuaian penggunaan kapasitas utilisasi produksi dan berbagai efisiensi. Hal ini antara lain dicerminkan oleh penurunan volume impor bahan baku (Grafik 19) dan kredit modal kerja (Grafik 23). Sektor bangunan juga mengalami penurunan kinerja yang dipengaruhi oleh realisasi kegiatan proyek infrastruktur swasta dan pemerintah yang masih terbatas pada setiap awal tahun. Pada triwulan laporan, sektor bangunan tumbuh 6,9% (yoy), lebih lambat dibanding periode triwulan IV-2008 yang tumbuh sebesar 7,8% (yoy). Kinerja sektor perdagangan juga mengalami perlambatan, yaitu tumbuh sebesar 5,4% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 5,8% (yoy). Faktor yang menyebabkan sektor perdagangan mengalami perlambatan antara lain dipengaruhi oleh penurunan konsumsi masyarakat akibat terbatasnya daya beli. Sementara itu, pertumbuhan penyaluran kredit yang menurun (Grafik 21) dengan selektifnya perbankan dan relatif tingginya suku bunga diperkirakan menjadi faktor yang mempengarui melambatnya kinerja sektor keuangan triwulan I-2009 yang tumbuh 4,4% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,8% (yoy). Kegiatan dan kinerja perbankan di wilayah Jakarta pada triwulan I-2009 mengalami perkembangan yang melambat. Tingkat suku bunga yang relatif tinggi dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyimpan dananya di sistem perbankan. Data bulan Februari 2009 menunjukkan total DPK yang dihimpun perbankan Jakarta mencapai Rp881,88T, atau secara tahunan tumbuh mencapai 21,4% (Grafik 20). Sementara kredit yang disalurkan oleh perbankan tumbuh lebih lambat dibanding akhir triwulan IV-2008 yaitu dari 27,11% (yoy) menjadi 25,11% (yoy) (Grafik 21), namun dengan disertai adanya peningkatan risiko kredit, sebagaimana dicerminkan oleh NPL, meskipun masih berada dalam batas yang wajar (Grafik 22). 1000 (triliun Rp) 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 (%) 25 20 15 10 5 800 35 30 500 25 400 20 300 15 200 10 100 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2008 DPK 35 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2009 2007 gDPK (rhs) (triliun Rp) 2008 Kredit (%) 8 7 30 40 (%) 600 0 2007 (triliun Rp) 700 60 2009 gKredit (rhs) (%) 50 6 25 5 20 15 10 4 30 3 20 2 5 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 NPL (triliun Rp) 2008 2009 NPL (Rasio thdp Total Kredit, rhs) 40 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 gKonsumsi 2008 gModal Kerja 2009 gInvestasi Perkembangan penyerapan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada triwulan I-2009 masih terbatas pada pengeluaran rutin. Pada APBD Tahun 2009 ini, Pemerintah Jakarta menargetkan pendapatan sebesar Rp20,7T dengan komposisi Pendapatan Asli Daerah mencapai 53,9% (Rp11,1T). Sementara belanja daerah dianggarkan sebesar Rp22,4T dengan komposisi belanja modal mencapai 26,9% (Rp5,94T), meningkat dibanding anggaran belanja dalam APBD-P 2008 dengan pangsa sebesar 22,7%. Sepanjang triwulan I-2009 penyerapan APBD Jakarta relatif sesuai target yang direncanakan oleh Pemda DKI, namun masih terbatas pada pengeluaran yang bersifat rutin seperti belanja pegawai. Hal ini lebih disebabkan karena kegiatan yang bersifat realisasi proyek masih dalam tahap penyelesaian administrasi tender. Sementara itu, perkembangan pergerakan inflasi triwulan I-2009 di wilayah Jakarta menunjukkan arah yang cenderung melemah. Secara umum, baik secara tahunan maupun bulanan, pergerakan inflasi menunjukkan arah yang menurun, meskipun pada akhir triwulan laporan – Maret 2009 – Jakarta kembali mencatat kenaikan inflasi setelah dua bulan sebelumnya berturut-turut mengalami deflasi (Grafik 24). Faktor yang mempengaruhi pergerakan inflasi di Jakarta yang cenderung menurun antara lain disebabkan oleh penurunan harga komoditas makanan yang penting seperti daging, telur, sayur-sayuran, dan beras seiring dengan pasokan yang cukup melimpah dan kelancaran distribusi yang memadai, serta ekspektasi masyarakat yang cenderung membaik. Sementara itu, inflasi yang kembali pada bulan Maret 2009 dipengaruhi oleh intensitas belanja kampanye menjelang Pemilu. 16 (%) (%) 14 2.5 2.0 12 1.5 10 8 1.0 6 0.5 4 0.0 2 0 (0.5) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2007 2008 Jakarta (mtm) Jakarta (yoy) 2009 Nasional (yoy) D. Wilayah Jabalnustra Perekonomian wilayah Jabalnustra pada triwulan I-2009 mengalami perlambatan. Pada triwulan laporan pertumbuhan ekonomi Jabalnustra diperkirakan sebesar 4,5% (yoy), melambat dibanding periode triwulan IV-2008 yang sebesar 5,0% (yoy). Melambatnya perekonomian di wilayah ini disebabkan oleh penurunan kinerja perekonomian di hampir seluruh provinsi, terutama provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi wilayah Jabalnustra. Meskipun demikian, zona Jawa Bagian Tengah diperkirakan masih dapat tumbuh lebih baik dibanding periode triwulan sebelumnya yang didukung oleh kinerja ekonomi di Jawa Tengah yang mengalami perbaikan ditengah meningkatnya intensitas krisis global (Tabel 7). Provinsi/Zona Banten Jabar Jabagbar DIY Jateng Jabagteng Jatim Jabagtim Bali NTB NTT Balnustra Jabalnusra 2007 2008 2009 1 2 3 4 1 2 3 4* 1 P) 5.6 5.7 5.7 (4.0) 5.4 4.4 5.5 5.5 21.3 5.3 7.1 13.0 5.7 6.1 6.2 6.2 8.4 5.9 6.1 6.2 6.2 6.2 5.1 7.2 6.1 6.2 6.3 6.4 6.4 6.2 5.6 5.7 6.3 6.3 (0.1) 3.0 5.9 2.2 6.0 6.4 7.2 7.1 7.2 5.5 5.7 6.4 6.4 (1.2) 6.4 4.8 2.5 6.3 6.0 7.3 7.0 10.3 5.5 6.0 5.9 5.9 0.3 6.3 5.9 3.3 6.2 5.9 4.2 4.5 (1.3) 6.0 5.2 6.0 6.0 5.1 0.4 5.3 3.6 5.1 5.9 6.8 6.6 6.6 6.4 6.4 6.0 6.0 8.3 (0.1) 5.4 4.8 6.3 5.7 4.7 4.9 4.9 3.9 4.0 5.4 5.4 10.3 2.3 2.9 6.0 5.0 5.3 4.1 4.3 3.5 4.3 4.2 4.8 4.8 5.0 6.3 3.6 5.1 4.5 *) Angka Sementara P) Perkiraan Bank Indonesia Di sisi permintaan, sumber perlambatan ekonomi wilayah Jabalnustra adalah dalamnya penurunan kinerja ekspor. Resesi dunia yang terus berlanjut berimbas pada turunnya permintaan produk ekspor industri manufaktur – antara lain TPT (Jateng, Jabar), alas kaki (Jateng), otomotif dan elektronik (Jabar), kerajinan (Bali, DIY), kertas, plastik dan aluminium (Jatim) – yang merupakan penyumbang ekspor terbesar dari wilayah Jabalnustra (Grafik 25). Sementara itu, melemahnya konsumsi akibat daya beli masyarakat yang mengalami tekanan dengan disertai kasus-kasus PHK di berbagai sektor usaha, dan adanya dukungan pembiayaan yang terbatas dapat ditahan oleh meningkatnya intensitas belanja terkait kampanye Pemilu. Di sisi lain, mulai masuknya masa panen raya pada pertengahan Maret 2009 di beberapa daerah diperkirakan akan mendorong perbaikan daya beli petani (Grafik 27). Kinerja investasi juga terindikasi masih sangat terbatas sebagaimana tercermin dari impor barang modal yang tumbuh negatif (Grafik 26) dan konsumsi semen yang masih relatif stagnan (Grafik 28). 1,400 (%) ton 1,200 1,000 800 600 20 200 10 2,500 150 0 2,000 100 (10) 1,500 50 (20) 400 % ton 3,000 200 (30) 0 (40) 1,000 0 500 (50) - (100) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2007 2007 2008 Manufactured Goods 115 Chemical 2009 Total Impor gBahan Baku (rhs) 2008 gKonsumsi (rhs) 2009 gBarang Modal (rhs) gTotal Vol. Ekspor 35 Indeks NTP 110 30 105 25 (%) 20 100 15 95 10 90 5 85 0 80 (5) 10 11 12 1 2008 Jabar DIY 2 (10) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2007 2008 2009 Jateng Jatim Bali NTB NTT gKonsumsi Semen gKredit Investasi 2009 Di sisi penawaran, sumber utama perlambatan kinerja ekonomi wilayah Jabalnustra pada triwulan I-2009 adalah sektor industri pengolahan. Dampak dari turunnya permintaan ekspor direspon oleh pengurangan produksi di industri pengolahan yaitu dengan pengurangan kapasitas utilisasi produksi terutama pada industri berorientasi ekspor seperti industri tekstil, barang kulit dan alas kaki, alat angkut mesin dan peralatannya – antara lain industri otomotif -, produk furniture, dan kerajinan. Berbagai industri tersebut tersebar di hampir seluruh wilayah Jabalnustra dengan konsentrasi terbesarnya di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil liaison, industri pengolahan yang lebih berorientasi pada pasar domestik relatif memiliki daya tahan terhadap terjadinya shock yang bersifat eksternal. Hal ini terindikasi di zona Jawa Bagian Tengah yang relatif masih dapat menunjukkan adanya perbaikan kinerja didukung oleh adanya program pemerintah untuk penggunaan produkproduk lokal – antara lain industri batik, makanan dan minuman. Meskipun di sisi lain, industri pengolahan berorientasi ekspor di zona Jawa Bagian Tengah ini juga mengalami pukulan yang cukup berat akibat imbas krisis global. Perlambatan kinerja perekonomian wilayah Jabalnustra pada triwulan I-2009 mempengaruhi aktivitas kegiatan perbankan yang cenderung melambat. Relatif tingginya suku bunga perbankan mendorong masyarakat untuk lebih selektif dalam melakukan konsumsi dan memilih untuk menyimpan dananya di perbankan. DPK perbankan di wilayah Jabalnustra hingga bulan Februari 2009 mencapai Rp489,5T tercatat tumbuh 19,8%, lebih tinggi dibanding periode akhir triwulan lalu yang sebesar 16,3% (Grafik 29). Sebagian besar DPK masyarakat tersebut tersimpan dalam bentuk deposito (48,5%). Sementara itu, pertumbuhan penyaluran kredit mengalami perlambatan yaitu tumbuh 25,16% dari posisi akhir triwulan IV-2008 yang tumbuh sebesar 27,11% (Grafik 30). Pada posisi Februari 2009, outsanding kredit yang disalurkan di wilayah Jabalnustra mencapai Rp349,91T, dengan komposisi terbesarnya berupa modal kerja. Di sisi lain, seiring dengan tekanan imbas krisis global yang dirasakan dunia usaha, perbankan di wilayah Jabalnustra juga dibayangi peningkatan risiko kredit meskipun rasio NPLs di wilayah ini masih relatif rendah. NPLs (gross) di Jabalnustra pada periode triwulan laporan tercatat sebesar 2,96%, sedikit meningkat dibanding periode triwulan sebelumnya yang sebesar yaitu dari 2,59% (Grafik 31). 600 (triliun Rp) (%) 500 400 25 20 400 15 300 10 200 100 5 0 0 2008 DPK 14 35 30 250 25 200 20 150 15 100 10 50 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2007 2009 (triliun Rp) 2008 Kredit gDPK (rhs) (%) 12 40 (%) 300 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 (triliun Rp) 350 6 5 40 2009 gKredit (rhs) (%) 35 30 10 4 25 3 20 8 6 2 4 15 10 2 1 5 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 NPL (triliun Rp) 2008 2009 NPL (Rasio thdp Total Kredit, rhs) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 gKonsumsi 2008 gModal Kerja 2009 gInvestasi Di sisi keuangan daerah, penyerapan anggaran belanja APBD Triwulan I-2009 di wilayah Jabalnustra relatif masih terbatas. Hal ini terindikasi dari tingginya dana milik Pemda, tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang tersimpan di perbankan wilayah Jabalnustra yaitu mencapai Rp32,2T. Penyerapan anggaran pada triwulan laporan di wilayah ini diperkirakan masih terbatas pada pengeluaran yang bersifat rutin, sementara realisasi proyek-proyek pemerindah daerah masih dalam proses administrasi. Selain itu, berbagai provinsi di wilayah ini upaya Pemerintah Daerah belum secara khusus mengalokasikan anggaran untuk mitigasi dampak krisisi global pada perekonomian daerah. Namun dengan rasio belanja modal yang lebih tinggi dibanding periode tahun 2008 (Grafik 33), Pemda lebih banyak melakukan modifikasi program-program kegiatan yang diarahkan pada antisipasi dampak berlanjutnya krisis global. Alokasi anggaran yang lebih spesifik untuk program kegiatan dalam rangka mitigasi dampak krisis diperkirakan akan tersedia dalam APBD-Perubahan yang dilakukan pada pertengahan tahun berjalan. Secara keseluruhan, target pendapatan Pemerintah Daerah pada APBD 2009 di tingkat provinsi di wilayah Jabalnustra mencapai Rp25,2T, dengan PAD sebagai motor utama pendapatan mencapai 65% (Grafik 32). 0.70 0.14 (%) 0.60 (%) Belanja Modal 0.12 0.50 0.10 0.40 0.08 0.30 0.06 0.20 0.04 0.10 0.02 0.00 2007 2008 PAD 2009 0.00 Dana Perimbangan 2007 2008 2009 Di wilayah Jabalnustra, perkembangan inflasi secara tahunan pada triwulan I-2009 menunjukkan arah pergerakan yang cenderung turun di hampir semua zona. Tekanan inflasi di zona Balnustra mengalami kecenderungan yang meningkat setelah pada awal tahun juga menunjukkan perkembangan yang relatif menurun. Sementara tiga zona lainnya yang berada di Pulau Jawa cenderung mengalami penurunan (Grafik 34) yang bersumber dari melemahnya tekanan inflasi di kota-kota dengan bobot perhitungan inflasi yang besar seperti Bandung, Surabaya, Bekasi, Depok, Semarang. Melimpahnya pasokan seiring dengan mulai masuknya masa panen, relatif lancarnya distribusi barang, dan tekanan permintaan yang minimal merupakan beberapa faktor yang menyebabkan melemahnya tekanan inflasi secara umum di tiga zona tersebut. Namun demikian, kendala faktor cuaca yang mengganggu kelancaran distribusi barang produk-produk makanan jadi melalui transportasi laut – sebagian besar di pasok dari Jawa Timur - diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya tekanan inflasi di zona Balnustra. Hal ini menyebabkan tiga kota yang mengalami inflasi tertinggi sepanjang triwulan I-2009 berada di zona Balnustra, yaitu Mataram, Maumere dan Bima. 14 16 (%, yoy) 12 14 10 12 (%) (%) 2.5 10 8 3.5 1.5 8 6 0.5 6 4 4 2 (0.5) 2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2007 Nasional Jabagbar 2008 Jabagteng Jabagtim 2009 Balnustra (1.5) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2007 Jabalnustra (mtm, rhs) 2008 Jabalnustra (yoy) 2009 Nasional (yoy) (%) Nasional Surakarta Tegal Depok Kediri Surabaya Bandung Semarang Bekasi Yogyakarta Malang Jember Bogor Sumenep Kupang Proboling… Denpasar Tangerang Madiun Purwoker… Cilegon Tasikmala… Sukabumi Serang Cirebon Mataram Maumere Bima 16 14 12 10 8 6 4 2 0 E. Wilayah Kali-Sulampua Perekonomian wilayah Kali-Sulampua pada triwulan I-2009 tumbuh sebesar 5,0% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,9%. Perlambatan ini terutama dipicu oleh perlambatan di zona Sulampua yaitu dari 10,4% menjadi 7,5%. Sementara perekonomian di zona Kalimantan masih mengalami kenaikan pertumbuhan yaitu dari 2,8% menjadi 3,4%. Di sisi permintaan, perlambatan pertumbuhan ekonomi didorong oleh perlambatan komponen investasi, yaitu dari 9,21% menjadi 7,30%. Perlambatan tersebut dipicu oleh penurunan iklim usaha sebagai dampak lanjutan krisis global terutama di sektor perkebunan, industri pengolahan dan kayu serta sektor pertambangan (nikel). Kondisi ini diindikasikan oleh beberapa faktor, antara lain: (i) penurunan tingkat penjualan semen sejak November 2008 hingga pada Februari 2009 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,22% (yoy); (ii) penurunan laju impor barang modal pada Januari 2009 yaitu sebesar 63,1% (yoy) dibandingkan Desember 2008 yang sebesar 92,2% (yoy); serta (iii) perlambatan pertumbuhan kredit investasi di luar sektor perkebunan, yaitu dari 31,34% (yoy) pada Desember 2008 menjadi 30,27% (yoy) pada Januari 2009. Konsumsi Semen Kali-Sulampua Impor Barang Modal Kali - Sulampua 14.00% 12.00% 10.00% 8.00% 6.00% 4.00% 2.00% 0.00% 250.0% 200.0% 150.0% 100.0% 50.0% 0.0% -50.0% -100.0% g.PMTB (y-o-y) 2008 50.00% 0.00% 40.00% 0.00% 30.00% 0.00% 20.00% 0.00% 10.00% 0.00% 0.00% 0.00% -10.00% 0.00% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2007 (y-o-y) 0.00% -20.00% 1 2 3 4 5 2009 6 7 2008 g.impor brg modal Kali-Sulampua (y-o-y) g.PMTB (y-o-y) 8 9 10 11 12 1 2 2009 Growth Kons Semen Kali-Sulampua (y-o-y) Kredit Investasi Wil. Kali-Sulampua (di luar sektor perkebunan) 14.00% 12.00% 10.00% 8.00% 6.00% 4.00% 2.00% 0.00% 45.00% 40.00% 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 1 2 3 4 5 6 7 2008 g.PMTB (y-o-y) 8 9 10 11 12 1 2 3 2009 g.kredit investasi* (y-o-y) Kinerja ekspor luar negeri beberapa komoditas unggulan wilayah Kalisulampua pada triwulan I-2009 (data Januari) juga mengalami penurunan, antara lain: komoditas perkebunan (kakao, CPO, karet) turun 49,60% (yoy), komoditas hasil tambang ( nikel, tembaga, emas) turun 28% (yoy) dan komoditas kayu olahan turun 56,97% (yoy). Namun demikian, berdasarkan zona, kinerja ekspor di zona Kalimantan masih tumbuh positif. Hal ini berdampak kepada masih terus naiknya pertumbuhan ekonomi di zona tersebut. Membaiknya kinerja ekspor ini ditopang oleh masih stabilnya permintaan terhadap batubara terkait kontrak jangka panjang dan peningkatan kebutuhan domestik (pembangkit listrik). Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Konsumsi swasta juga masih mengalami pertumbuhan yang positif terkait dengan kenaikan gaji PNS dan konsumsi menjelang Pemilu seperti ditunjukkan oleh kenaikan indeks keyakinan konsumen wilayah Kalisulampua dari 101,16 pada akhir tahun 2008 menjadi 113,19 pada Januari 2009. – Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 3.50% 3.00% 2.50% 2.00% 1.50% 1.00% 0.50% 0.00% 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 2007 2008 g.PDRB Konsumsi Rmh Tangga (y-o-y) 2009 IKK Kali-Sulampua Di sisi sektoral, melambatnya pertumbuhan PDRB wilayah Kali-Sulampua dipengaruhi oleh perlambatan di sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, bangunan, keuangan dan jasa-jasa. Dari kelima sektor yang melambat tersebut, sektor pertambangan tercatat mengalami kontraksi paling dalam akibat melambatnya permintaan ekspor dunia terhadap komoditas pertambangan seperti nikel, tembaga, emas dan batu bara yang merupakan penyumbang 84,01% volume ekspor non migas zona Kalisulampua. Namun demikian, diantara komoditas tambang unggulan Kalisulampua tersebut, tingkat ekspor komoditas batubara masih positif ditopang oleh kontrak jangka panjang perusahaan-perusahaan besar batubara dan peningkatan permintaan domestik terkait proyek kelistrikan. Perlambatan di sektor pertanian terutama terjadi pada subsektor perkebunan yang semakin tertekan oleh penurunan harga komoditas. Secara tahunan (yoy) volume ekspor CPO Kali-Sulampua pada Januari 2009 turun 48,94%, volume ekspor karet turun 45,71% dan volume ekspor kakao turun 58,52%. Perkembangan Volume Ekspor Karet dan Harga Karet Dunia 4000 3500 200.0 3000 2500 150.0 2000 100.0 1500 Ribu Ton Ribu Ton Perkembangan Volume Ekspor CPO & Harga CPO Internasional 250.0 120.0 350 100.0 300 250 80.0 200 60.0 150 40.0 100 1000 50.0 500 - 0 I II III 2005 IV I II III 2006 Vol.Ekspor CPO Kalimantan IV I II III 2007 IV I II III 2008 Harga CPO (MYR/metric ton) IV 20.0 50 - 0 I II III 2005 IV I II III 2006 Vol. Ekspor Karet Kalimantan IV I II III IV 2007 I II III IV 2008 Harga Karet Dunia (US$/kg) Perlambatan di beberapa sektor memicu naiknya Non-Performing Loans di wilayah Kali-Sulampua dari 2,65% pada akhir tahun 2008 menjadi 3,04% pada triwulan I-2009. Namun demikian, secara keseluruhan kinerja perbankan di wilayah ini masih cukup baik Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat sebesar 49,13% menjadi Rp158,4 T, sementara kredit lokasi proyek tumbuh sebesar 32,37% (yoy) atau Rp134,4 triliun, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan IV-2008 sebesar 30,74% (yoy). Lebih tingginya peningkatan DPK dibandingkan kredit menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) di Kali-Sulampua pada triwulan I-2009 hanya sebesar 65,51%, sedikit menurun dibandingkan akhir triwulan IV-2008 yang sebesar 65,90%. Sedikit turunnya kinerja kredit tersebut dapat diamati dari cenderung turunnya pertumbuhan kredit di semua sektor usaha kecuali pertanian dan industri pengolahan. 180 (triliun Rp) (%) 25 120 20 100 160 140 120 35 30 25 60 80 10 60 40 0 2008 DPK 20 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2009 2007 7 6 5 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2008 2008 Kredit (%) NPL (triliun Rp) 5 gDPK (rhs) (triliun Rp) 2007 15 10 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 20 40 20 6 40 (%) 80 15 100 (triliun Rp) 2009 NPL (Rasio thdp Total Kredit, rhs) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2009 gKredit (rhs) (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 2007 gKonsumsi 2008 gModal Kerja 2009 gInvestasi Di sisi keuangan daerah, realisasi keuangan pemerintah daerah pada triwulan I2009 diperkirakan masih terbatas untuk kegiatan rutin. Sementara itu, realisasi pelaksanaan proyek infrastruktur pemerintah baru akan dimulai pada pertengahan triwulan mendatang. Pola anggaran pemerintah daerah di tingkat provinsi se-KaliSulampua pada tahun 2009 mengarah pada defisit anggaran yang semakin rendah. Pada APBD 2009 total pendapatan yang ditargetkan oleh Pemda adalah sebesar Rp26,2T yang sebagian besar (53,0%) bersumber dari dana perimbangan. Belanja daerah, khususnya belanja modal, pada tahun ini dialokasikan sebesar Rp6,90T yang diprioritaskan pada pembangunan Jalan Trans Kalimantan dan beberapa proyek infrastruktur lainnya. Meskipun terjadi peningkatan, namun secara rasio, belanja modal pada tahun ini tidak mengalami perubahan yang berarti bahkan cenderung lebih rendah. 0.70 0.26 (%) 0.60 (%) Belanja Modal 0.26 0.50 0.26 0.40 0.26 0.30 0.25 0.20 0.25 0.10 0.25 0.00 2007 2008 PAD 2009 0.25 Dana Perimbangan 2008 2009 Perkembangan inflasi di wilayah Kali-Sulampua pada triwulan I-2009 masih berada pada level yang lebih tinggi dibanding inflasi nasional, namun dengan arah pergerakan yang menurun. Berdasarkan kelompoknya, tekanan inflasi yang melemah di wilayah Kali-Sulampua bersumber dari kelompok transportasi dan komunikasi, serta kelompok bahan makanan dan makanan jadi. Membaiknya pasokan di wilayah ini, dengan disertai cukup lancarnya distribusi menjadi faktor utama yang mempengaruhi turunnya pergerakan inflasi. Namun demikian, tingkat inflasi di wilayah Kali-Sulampua yang berada diatas tingkat inflasi nasional lebih disebabkan adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan dari wilayah lain, khususnya dari Jabalnustra. Pada triwulan laporan, terdapat 17 kota di wilayah Kali-Sulampua yang mengalami inflasi di atas nasional. 16 16 (%, yoy) 14 14 12 12 10 10 8 8 6 6 4 4 2 2 0 (%) (%) 2.5 1.5 0.5 (0.5) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2007 Nasional 2008 Kalimantan 2009 Sulampua 3.5 (1.5) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2007 Kali-Sulampua (mtm) 2008 Kali-Sulampua (yoy) 2009 Nasional (yoy) 25 (%) 20 Nasional 15 10 II. Sorong Kendari Manokwari Watamp… Tarakan* Palu Palopo Gorontalo Samarinda Parepare Ambon Manado Singkawa… Pontianak Jayapura Makassar Sampit Banjarma… Ternate Balikpapan Mamuju 0 Palangkar… 5 PROSPEK Pada Triwulan II-2009 perekonomian di berbagai daerah masih akan dibayangi oleh dampak melemahnya permintaan dunia, dengan disertai tekanan inflasi yang masih cenderung turun. Semakin dalamnya perlambatan ekspor diperkirakan menjadi sumber utama perlambatan ekonomi, terutama di daerah yang memiliki basis ekonomi berorientasi ekspor komoditas primer seperti di Sumatera dan Kalimantan, serta wilayah yang merupakan basis ekspor manufaktur seperti di zonazona ekonomi di Pulau Jawa. Mulai adanya kenaikan harga beberapa komoditas primer – seperti kakao, CPO, dan karet - yang terindikasi pada awal triwulan I-2009 diperkirakan belum dapat secara optimal mendorong kinerja ekspor komoditas primer. Sementara ekspor industri manufaktur masih akan mengalami tekanan berat akibat prospek permintaan dunia yang cenderung melemah dengan masih minimnya kontrak ekspor baru hingga periode akhir triwulan I-2009. Di sisi konsumsi, masuknya puncak masa panen raya, realisasi pembayaran kenaikan gaji PNS pada awal triwulan II-2009 dengan disertai kecenderungan harga-harga yang masih akan turun diperkirakan belum akan cukup mendorong perbaikan daya beli masyarakat ditengah ancaman PHK yang masih akan terus berlanjut. Dorongan stimulus fiskal dengan mulai direalisasikannya beberapa proyek pemerintah diharapkan dapat menahan perlambatan konsumsi di triwulan mendatang. Secara sektoral, respon dari melemahnya permintaan dunia masih akan memberikan tekanan yang berat terhadap kinerja sektor-sektor ekonomi berorientasi ekspor. Sektor industri pengolahan yang bergerak di bidang TPT, elektronik, otomotif, dan berbagai produk kerajinan untuk pasar ekspor di Jabalnustra masih akan mengalami tekanan yang berat yang diikuti dengan berlanjutnya kasus-kasus PHK. Asosiasi Pertekstilan di Jawa Barat bahkan memperkirakan terjadinya stagnasi industri TPT hingga triwulan III-2009, dan akan mulai menunjukkan adanya perbaikan pada akhir tahun 2009. Kinerja sektor pertambangan diperkirakan juga masih akan mengalami tekanan akibat penurunan harga komoditas – antara lain timah di Sumatera dan nikel di zona Sulampua. Namun demikian, penyerapan pasar domestik terkait dengan domestic market obligation (DMO) untuk produk batu bara mampu menopang kinerja sektor ini di wilayah Kali-Sulampua. Inflasi secara umum diperkirakan masih akan menunjukkan arah pergerakan yang cenderung menurun. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penurunan tekanan inflasi daerah pada triwulan mendatang antara lain stok bahan pangan yang mencukupi seiring panen raya di berbagai daerah, harga komoditas dunia yang diperkirakan masih rendah sejalan dengan resesi dunia yang masih akan berlanjut, minimalnya kebijakan pemerintah di bidang harga, serta tekanan permintaan domestik yang melambat dengan diiringi terjaganya ekspektasi masyarkat terhadap harga-harga. Sementara faktor risiko yang bersifat persistent terutama disebabkan oleh kondisi infrastruktur yang belum memadai, dan ketergantungan pasokan antar wilayah yang cukup tinggi berpotensi mendorong terjadinya kenaikan harga terutama di daerah-daerah luar Jawa. III. ISU STRATEGIS Membuka lembaran tahun 2009, tantangan berat terkait dengan upaya menopang kinerja perekonomian daerah di tengah berlanjutnya krisis keuangan global menjadi isu sentral yang perlu dicermati sepanjang tahun ini. Setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian, yaitu: A. Efektivitas Pemanfaatan Dana Pemda dan Dampaknya Terhadap Kondisi Fiskal, Moneter, dan Perekonomian Sejak diterapkannya otonomi daerah yang juga menyangkut penyerahan pengelolaan keuangan daerah kepada Pemda telah memberikan dampak yang signifikan. Di satu sisi, upaya pembangunan ekonomi yang bertujuan mensejahteraan masyarakat sebagian menjadi tanggung jawab Pemda melalui pengelolaan keuangan daerah yang baik. Di sisi lain, Pemda memperoleh kewenangan besar dalam mengatur sumber dan pengeluaran keuangan daerahnya. Secara umum, melalui pengelolaan keuangan daerah Pemda telah berusaha menjalankan tanggung jawabnya dalam mendorong ekonomi daerah dalam derajat yang berbeda-beda. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan belanja APBD yang mampu menjadi stimulus ekonomi dan memperbaiki tingkat kesejahteraan. Di sisi penerimaan, Pemda berusaha meningkatkan penerimaan secara lebih realistis dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam perjalanan otonomi daerah, kondisi keuangan daerah secara umum mengalami kondisi surplus. Terjadinya surplus APBD secara persisten telah mengakibatkan peningkatan dana Pemda yang dominan disimpan pada perbankan. Terus terjadinya surplus, khususnya di beberapa daerah, disebabkan oleh dua hal, yaitu tingginya realisasi penerimaan dibandingkan target dan rendahnya realisasi pengeluaran dibandingkan targetnya. Di samping menghadapi rendahnya realisasi pengeluaran, APBD masih memegang pola pengeluaran yang baru membesar pada akhir tahun. Keadaan ini menyebabkan stimulus fiskal daerah terhadap perekonomian daerah relatif tidak optimal, sebagaimana ditunjukkan dari peranan APBD terhadap pertumbuhan PDRB yang hanya berkisar antara 6-11% dalam bentuk konsumsi dan investasi Pemda. % PDB % PDB 6.0 10.0 Total Konsumsi Pemerintah Pusat Total Konsumsi Pemerintah Daerah Investasi Pemerintah Pusat Investasi Pemerintah Daerah 8.0 4.0 6.0 4.0 2.0 2.0 0.0 0.0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Perkembangan keuangan daerah menunjukkan bahwa transfer dana dari Pemerintah Pusat ke daerah, terutama dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), terus meningkat seiring meningkatnya penerimaan APBN. Meningkatnya transfer ke daerah menjadi salah satu faktor2 yang menyebabkan penerimaan APBD selalu melebihi target, yaitu rata-rata sebesar 113%3. Sementara di sisi pengeluaran, rata-rata realisasi pengeluaran APBD mencapai 100% dari targetnya. Kondisi keduanya telah menyebabkan APBD mengalami surplus, terutama di Sumatera dan Kalimantan yang memperoleh DBH relatif besar. Implikasinya adalah dana APBD yang mengendap di perbankan relatif tinggi yaitu sekitar Rp71 triliun 4. Pertumbuhan PDRB (yoy) Pertumb % yoy 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 Sumatera Jakarta Jawa Kalimantan Sulampua 0.0 2003 2004 2005 2006 2007 2008* Dengan dana Pemda yang masih relatif besar dapat menjadi sumber yang bermanfaat dalam men-stimulus ekonomi daerah. Bahkan manfaat tersebut akan signifikan mengingat perekonomian daerah mengalami perlambatan sebagai dampak dari krisis global terutama yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Di sisi lain, kekuatan fiskal daerah di kedua wilayah relatif cukup kuat. Di sisi lain, akselerasi stimulus fiskal daerah dapat dilakukan dengan mengubah pola pengeluaran yang rendah di semester pertama. B. Stimulus Fiskal dan Prospek Pembiayaan Ekonomi Daerah 2009 Dalam mengantisipasi dan mitigasi dampak berlanjutnya krisis keuangan global pada perekonomian, pada tahun 2009 Pemerintah pusat menerapkan kebijakan yang bersifat countercyclical melalui stimulus fiskal yang bertujuan untuk 5: 1. Memelihara dan/atau meningkatkan daya beli masyarakat untuk menjaga agar konsumsi rumah tangga tumbuh di atas 4%; 2. Menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha menghadapi krisis global; 3. Meningkatkan daya serap tenaga kera dan mengatasi PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Dihitung dari data realisasi APBD 2004-2007 Per Desember 2008 5 “Mengatasi Dampak Krisis Global Melalui Program Stimulus Fiskal APBN 2009, Departemen Keuangan 3 4 Dalam melaksanakan kebijakan ini, Pemerintah Pusat mengalokasikan total dana sebesar Rp73,3T dengan Rp56,3T diantaranya sudah ditetapkan dalam APBN 2009 berupa stimulus perpajakan dan kepabeanan – berupa penurunan tarif PPh, kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), Bea Masuk DTP, Fasilitas PPh Pasar 21 dan PPh Panas Bumi – dan sebesar Rp17,0T berupa stimulus belanja negara termasuk didalamnya belanja infrastruktur sebesar Rp12,2T dengan lokasi proyek tersebar di berbagai daerah. Program pembangunan infrastruktur ini digunakan untuk pembiayaan kegiatankegiatan (a) penanganan bencana (termasuk banjir Bengawan Solo), (b) perluasan jaringan distribusi dan pembangunan instalasi pengelolaan air minum, (c) percepatan penyelesaian infrastruktur lanjutan, (d) jalan inspeksi dan irigasi sentra produksi tambak, (e) rehabilitasi jaringan irigasi dalam rangka ketahanan pangan, (f) jalan, jembatan, dan irigasi, dan (g) pengembangan infrastruktur pemukiman. Di sisi lain, kegiatan ekonomi yang mengalami perlambatan secara signifikan mempengaruhi pola kebijakan kredit perbankan yang lebih cenderung untuk berhati-hati dalam melakukan ekspansi kredit. Hal ini terindikasi dari melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit di sektor riil pada awal tahun 2009. Namun demikian, masih bertumbuhnya ekonomi di beberapa daerah diharapkan menjadi potensi pembiayaan perbankan. Beberapa daerah diperkirakan masih akan optimis pertumbuhan kredit akan sesuai target, seperti di Jawa Barat dengan sektor utama untuk penyaluran kreditnya pada sektor Perdagangan/Hotel/Restoran dan sektor Pertanian. Di Jawa Timur, Kredit UMKM diperkirakan dapat tumbuh sebesar 23%. Dalam kondisi pembiayaan dari perbankan yang terbatas tersebut, peran pemerintah daerah untuk mendukung pembiayaan dengan memaksimalkan stimulus fiskal menjadi sangat penting. Pemda memiliki potensi yang relatif besar untuk dapat menstimulasi perekonomian daerah. Beberapa daerah berencana akan meningkatkan belanja APBD pada tahun 2009, yaitu : a. Jakarta, APBD meningkat Rp2,1T dari 2008 menjadi Rp22,4T – belanja untuk pekerjaan umum Rp3,9T dan kesejahteraan Rp6,8T. b. APBD Jabar di sisi pengeluaran naik 37% menjadi Rp8,3T. c. Kalteng, APBD belanja naik 23,1% dengan belanja modal sebesar Rp597,2M. d. Jambi, APBD sebesar Rp1,6T atau meningkat 13,4%.