Rangkuman Seminar Setengah Hari Kesinambungan Pengobatan ARV di Indonesia Dilaksanakan oleh Yayasan Spiritia, Bekerja Sama dengan Universitas Atmajaya, HCPI dan Ford Foundation Tanggal 20 April 2009 Dilaporkan oleh: Prof. dr. Dewa N. Wirawan, MPH A. Presentasi dari Dr. Muchlis AU Sofro, SpPD-KPTI, RSUP Dr Kariadi, Semarang dan Dr. Yanri dari RSUP Sardjito Yogyakarta MASALAH 1. Jumlah Odha yang terlaporkan di Jawa Tengah adalah 1.915 orang. Jumlah RS rujukan yang tersedia 9 rumah sakit. 2. Perencanaan obat tiap bulan dibuat berdasarkan perkiraan jumlah pasien bulan depan, penggunaan bulan lalu, stok pengaman, dan stok akhir bulan. 3. Pengadaan obat: Pembuatan Laporan dan permintaan bulanan kepada SubDit P2ML dalam format yang sesuai, dikrim setiap bulan lewat email dan lewat faximile 4. Penerimaan obat: Diterima setiap bulan berdasar permintaan dari SubDit HIV/AIDS melalui Kimia Farma dan GF ATM. ARV dari Kimia Farma dan GF ATM pada umumnya datang pada akhir bulan atau awal bulan berikutnya 5. Penyimpanan obat: Di Gudang Farmasi sebagai Persediaan harian terdapat di Depo Farmasi (Apotik) persediaan, 6. Jenis ARV di RSUP Karyadi saat ini adalah: Duviral, Neviral, Efavirenz, Hiviral, Stavudine, Tenofovir, Didanosine, Zidovudine, dan Aluvia 7. Luas wilayah yang dilayani terlalu luas (35 kabupaten/kota) 8. Kekosongan cadangan ARV. Terjadinya kekosongan ARV karena stok ARV hanya cukup untuk pelayanan satu bulan ke depan. Bila ada keterlambatan pengiriman ARV atau permintaan ARV tidak dipenuhi seluruhnya maka bisa terjadi kekosongan ARV. ARV yang sering tersendat adalah: Efavirens 600 mg, Stavudin, Hiviral (Lamivudin), ARV lini kedua(Aluvia, Tenofovir). 9. ARV akan segera kadaluwarsa. Kadang ada pengiriman obat dengan expired date (ED) < 3 bulan (saat ini Stavudin, Mei 2009). Jika tidak dterima maka tidak bisa memberi-kan pelayanan. Jika diterima, kemungkinan ED sebelum diberikan ke pasien. 1 10. Dengan jumlah pasien yang sekarang banyak masalah. Masalah akan bertambah seiring dengan bertambah banyak jumlah pasien karena perubahan batasan CD4 dari <200 menjadi <350. Mengingat stock hanya cukup untuk 1 bulan ke depan dan bila terjadi pelonjakan jumlah Odha yang menjalani ART untuk bulan pertama maka akan sangat mengganggu persediaan. 11. Sering terjadi ketidak cocokan antara jumlah ARV yang diamprah dengan yang diberikan tanpa adanya penjelasan mengapa jumlahnya tidak sesuai. USULAN DARI DR. MUCHLIS UNTUK MENGATASI MASALAH 1. Perlu penambahan sentral rujukan yang lebih banyak dengan supervisi yang lebih baik. 2. Pelatihan “Care Support and Treatment” bagi dokter Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Anak dan dokter Umum, di daerah dilaksanakan secara berkala 3. Pembuatan laporan dan permintaan lebih awal, dengan pengiriman laporan pada tanggal 24 bulan sebelumnya. Laporan dikirim melalui email terlebih dahulu sebelum “print out” dikirimkan melalui pos atau fax. Setelah itu dilakukan pemantauan terhadap permintaan. Selain itu, dilakukan juga pendekatan kepada Pemda untuk penyediaan obat di daerah. 4. Meminta kepada DepKes agar memberikan ARV yang tanggal kadaluwarsa yang lebih panjang 5. Memberitahukan kepada ODHA agar tidak perlu membuat stok ARV di rumah dan mengkonsumsi ARV dengan tanggal kadaluwarsa yang lebih dekat terlebih dahulu. 6. Ada cadangan ARV yang bisa diakses langsung oleh RS setiap saat. Telah dilakukan pendekatan ke Pemda untuk pengadaan ARV cadangan (buffer stock) 7. “Meminjam” di rumah sakit terdekat dan kadang-kadang sampai ke RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. 8. Persediaan ARV di RS minimal 3 bulan seperti rencana Depkes pada saat memulai pelayanan ARV. 9. Dimungkinkan permintaan obat "Cito" (segera atau mendadak) bila ada kekosongan ARV karena ada Odha yang membutuhkan obat tapi RS belum pernah punya pasien baru atau pasien sudah resisten. 10. Bila RS satelit sudah cukup berkembang, agar bisa mengakses ARV sendiri ke Depkes (untuk ARV lini pertama). Dengan demikian beban pengelolaan ARV bagi RS rujukan menjadi terbagi. 2 B. Presentasi dari Drg. Dyah Erti Mustikawati (Kasubdit AIDS dan PMS, Departemen Kesehatan) MASALAH-MASALAH DALAM HAL PENGADAAN ARV 1. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kesinambungan ART, antara lain: a) jumlah pasien yang terus bertambah karena ART adalah longlive treatment (harapan hidup lebih lama) dan inisiasi ARV baru; b) perubahan regimen dalam satu lini, substitusi, kondisi pasien dan perubahan kebijakan WHO (living treatment/medication) dan substitusi ke regimen lini kedua; c) adherence/kepatuhan berobat pasien; d) tingkat resistensi pada pengobatan; e) akurasi forcasting atau peramalan kebutuhan; f) lead time, yaitu waktu sejak saat permintaan diterima sampai dengan obat tiba ditempat tujuan; g) faktor-faktor diluar kendali Depkes (bencana, dll). 2. Pada tahun 2009 berdasarkan perhitungan pasien sebanyak 21.000 orang, dialokasikan dana APBN Rp. 39 milyar dan dari Global Fund Ronde-4 Phase 2 sebesar 22 milyar. Total: 61 milyar rupiah/tahun. Dengan demikian, untuk tahun 2009, jumlah dana untuk pengadaan ARV boleh dikatakan memadai. 3. Masalah yang banyak muncul pada tahun 2008 dan awal tahun 2009 adalah dalam hal mekanisme pengadaannya. Tender pengadaan ARV dengan sumber dana dari GF tidak berjalan lancar (banyak persyaratan) dan tender berpotensi gagal. Karena kesulitan tender, kemudian Menkes memberi arahan agar pengadaan ARV dilaksanakan melalui mekanisme Direktorat Binfar & Alkes. Setelah melalui jalur Direktorat Binfar & Alkes, waktu yang dibutuhkan ternyata lebih panjang. Dalam situasi ini maka akan ada kekurangan suplai di Jakarta pada pertengahan Maret 2009 dan daerah lain setelah Maret 2009. Untuk mengatasi masalah kritis tersebut kemudian kembali ditempuh pengadaan ARV (dengan dana Global Fund) seperti sebelumnya yaitu melalui Unicef (sesuai dengan MoU antara GF dan Unicef). Setelah ARV tiba di Bandara Sukarno Hatta, kesulitan lain muncul karena adanya restrukturisasi di Bea Cukai. ARV diperlakukan sama dengan obat-obat lainnya sehingga proses cleareance bertambah panjang dan berjalan lambat, sehingga sampai saat ini ARV masih tertahan, kecuali Aluvia yang langsung masuk ke Gudang P2ML karena dikirim langsung (PT Abbot Indonesia, produk Aluvia sudah teregister). Semua ARV diharapkan sudah masuk gudang P2ML sekitar 20 April 2009. 4. Pengadaan ARV dengan dana APBN selama ini menjadi satu kode anggaran dengan pengadaan obat dari Unit di Departemen Kesehatan lainnya. 3 5. Bila ARV disediakan untuk semua odha dengan CD4 <350, maka akan diperlukan ARV untuk sekitar 50.000 orang dengan jumlah anggaran sebanyak 200 milyar per tahun. JALAN KELUAR YANG DIKEMUKAKAN OLEH DR. DYAH DAN PESERTA SEMINAR LAINNYA BERKAITAN DENGAN KESINAMBUNGAN PENGADAAN 1. Produksi ARV generik ditingkatkan sehingga harga dapat ditekan lebih murah 2. Karena ARV berbeda dengan obat-obat lain, akan diupayakan agar pengadaan ARV dilaksanakan secara terpisah tanpa harus menunggu pengadaan obat program dari unit lainnya di Departemen Kesehatan. 3. Peserta dari Kimia Farma mengemukakan bahwa sesuai dengan Keppres Pengadaan dan Distribusi ARV, KF berkewajiban mengadakan ARV atas pesanan dari Depkes saja dan menyalurkan ke rumah sakit yang tercantum dalam Keppres. Dengan demikian, KF tidak bisa melayani pembelian dari provinsi atau kab/kota (dana APBD). Karena itu, jalan keluar yang dikemukakan oleh Dr. Dyah yaitu: penyediaan buffer stock di tingkat provinsi/kab/kota yang mampu, adalah dalam bentuk one time allotment dan terkoordinasi melalui pusat (Depkes) dan refresh periodically by central (Depkes). 4. Dalam upaya untuk antisipasi masalah pendanaan, pemikiran kedepan yang dikemukakan oleh Dr. Dyah adalah pendanaan dari berbagai sumber, antara lain: a. Pemerintah (untuk yang tidak mampu yaitu melalui jamkesmas atau askeskin), b. Perusahaan melalui asuransi, jamsostek dll, c. Swadana dengan minimum subsidi (akses melalui dokter swasta yang terakreditasi dan apotik yang ditunjuk) JALAN KELUAR YANG DIKEMUKAKAN OLEH DR. DYAH DAN PESERTA SEMINAR LAINNYA BERKAITAN DENGAN PENYEMPURNAAN DISTRIBUSI 1. Untuk ARV dengan sumber dana dari GF: procurement selanjutnya (R4 tahun 2009 ) akan menggunakan program VVP dari Global Fund dan untuk clearance, warehousing dan incountry distribution akan bekerjasama dengan PT Kimia Farma. 4 2. Untuk clearance ARV di bea cukai akan diupayakan suatu standard operating procedure (SOP) khusus bekerja sama dengan KPA, KF, bea cukai dan mitra lain yang terkait. 3. Desentralisasi pengadaan ARV di tingkat provinsi seperti diajukan oleh Ibu Nafsiah, masih menunggu hasil uji coba di Jawa Timur. 4. Sehubungan dengan sering terjadi ketidak cocokan antara jumlah ARV yang diamprah dengan yang diberikan tanpa adanya penjelasan mengapa jumlahnya tidak sesuai seperti dikemukakan oleh Dr. Yanri dari RSUP Sardjito Yogyakarta, bisa ditempuh jalan keluar dengan meningkatkan komunikasi antara pusat dan daerah antara lain dengan membuat kolom keterangan pendek/singkat pada surat pengantar obat. Misalnya: “obat yang dikirim tidak sesuai jumlahnya dengan yang diamprah karena adanya ketidak cocokkan antara jumlah pasien yang tercantum di formulir-1 dan jumlah obat yang diamprah di formulir-2” ========== 5