BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Malnutrisi di Rumah Sakit Malnutrisi menggambarkan kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan zat gizi yang menghasilkan efek tidak baik pada komposisi tubuh, fungsi, dan outcome klinis (Barker et al, 2011; Saunders et al, 2011; Brotherton et al, 2010). Manutrisi merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi rumah sakit (RS). Malnutrisi di RS didefinisikan sebagai ketidakseimbangan gizi yang mempengaruhi pasien rawat inap akibat interaksi yang kompleks antara penyakit, makanan dan gizi (Rodriguez et al, 2014; Barker et al, 2011). Pembagian nomenklatur untuk diagnosis malnutrisi pada orang dewasa di rumah sakit adalah (Jensen et al, 2010): a. Starvation-related malnutrition, yaitu adanya kelaparan kronik tanpa disertai inflamasi misalnya pada kondisi medis seperti anoreksia. b. Chronic disease-related malnutrition, yaitu adanya penyakit kronik yang mengakibatkan inflamasi dengan derajat ringan sampai sedang, misalnya pada kegagalan organ, kanker pankreas dan arthritis rematik. c. Acute disease or injury-related malnutrition, yaitu ditandai dengan respon inflamasi dengan derajat tingkat berat, misalnya penyakit infeksi mayor, luka bakar, trauma Etiologi malnutrisi tergolong kompleks dan multifaktorial. Malnutrisi di rumah sakit dapat terjadi sebagai akibat dari intake makanan tidak memenuhi kebutuhan gizi yang disebabkan penurunan asupan zat gizi, anoreksia, mual, muntah, adanya efek samping dari pengobatan, peningkatan kebutuhan gizi karena penyakit yang diderita, gangguan utilisasi zat gizi, gangguan percernaan, gangguan penyerapan atau perubahan metabolisme atau peningkatan kehilangan zat gizi dan terapi/pengobatan tertentu (seperti 5 6 kemoterapi, radioterapi) (Rodriguez et al, 2014; Hernandez et al, 2012; Alberda et al, 2006). Malnutrisi merupakan interaksi kompleks antara penyakit dan gizi. Malnutrisi dapat pula diakibatkan oleh penyakit atau trauma (Tsaousi et al, 2014; ASPEN, 2005) melalui berbagai cara berikut (Tsaousi et al, 2014; Saunders et al, 2011): a. Intake zat gizi yang tidak adekuat karena kurangnya asupan, nafsu makan turun, rasa sakit atau mual terkait makanan, gangguan menelan, depresi dan tidak sadarkan diri. b. Malabsorbsi karena kondisi patologis dari lambung, usus, pankreas dan hati. c. Proses zat gizi yang berubah karena adanya kebutuhan metabolik yang berubah/meningkat dan disfungsi hati. d. Kehilangan zat gizi yang berlebihan: disebabkan oleh muntah, masalah tube feeding, diare, dehidrasi akibat operasi, fistula dan stroma. Malnutrisi di negara berkembang biasanya terjadi akibat perubahan pola makan di suatu populasi atau penyakit tertentu (Hernandez et al, 2012) yang bersifat akut maupun kronik, melalui beberapa mekanisme diantaranya respon terhadap trauma, infeksi atau peradangan sehingga merubah metabolisme, nafsu makan, penyerapan atau asimilasi dari zat gizi. Gangguan mekanisme pada saluran cerna seperti mual atau muntah, efek katabolik, sindrom kakeksia, efek samping pengobatan (seperti kemoterapi, golongan morpin, antibiotik) yang menyebabkan anoreksia atau kesulitan menelan dan demensia pada usia lanjut, immobilisasi, anoreksia, dan gigi geligi rusak yang dapat memperburuk situasi sehingga berisiko malnutrisi (Norman et al, 2008). Beberapa faktor risiko terjadinya malnutrisi di rumah sakit antara lain: a. Usia Usia menjadi salah satu faktor risiko malnutrisi. Semakin tinggi usia dihubungkan dengan peningkatan risiko malnutrisi, peningkatan komplikasi penyakit dan peningkatan perubahan komposisi tubuh (Tsaousi et al, 2014) akibat kondisi fisik, kognitif dan keterbatasan fisiologis tubuh (Ordonez et al, 2013). 7 b. Jenis kelamin Jenis kelamin pun dapat menjadi faktor risiko malnutrisi karena perbedaan perubahan komposisi tubuh antara perempuan dan laki-laki akibat proses penuaan (Tsaousi et al, 2014). Penelitian Tsaousi et al (2014) menunjukkan bahwa kejadian malnutrisi terjadi pada perempuan secara signifikan (60,3%) dibandingkan laki-laki (39,7%). Berbeda dengan penelitian da Siva et al (2012) yang menunjukkan bahwa risiko malnutrisi lebih sering terjadi pada laki-laki karena kurang kesadaran terhadap kesehatan diri sendiri. c. Sosial ekonomi Pengaruh kelas sosial (sosial ekonomi atau status ekonomi) dengan prevalensi malnutrisi rumah sakit belum cukup ada penelitian. Pekerja non formal memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami malnutrisi rumah sakit daripada pekerja formal. Hal tersebut berkaitan dengan prevalensi obesitas yang cenderung lebih tinggi pada kelas-kelas sosial pekerja formal. Pasien yang mengalami buta huruf berisiko mengalami malnutrisi (OR: 2,45, CI 95%: 1,52-3,96) dan status single akibat perceraian dan pasien janda pun rentan mengalami malnutrisi (OR: 1,55, CI 95%: 1,02-2,35) (Burgos et al, 2012). d. Jenis penyakit Faktor lain yang dapat menyebabkan malnutrisi adalah berat dan lamanya penyakit. Indeks Komorbid Charlson berfungsi untuk memperkirakan kematian dalam jangka waktu 10 tahun untuk pasien yang memiliki jangkauan kondisi komorbid. Berdasarkan Charlson Comorbidity Index untuk setiap kondisi penyakit diberi skor 1, 2, 3 atau 6, dimana skor 1 untuk penyakit Myocardial Infark, Congestive Heart Failure, Peripheral Vascular, dementia, cerebrovascular, paru kronik, Connective Tissue, Ulcer Disease, Mild Liver dan diabetes mellitus (DM). Skor 2 untuk penyakit hemiplegia, penyakit ginjal sedang dan berat, DM dengan komplikasi, tumor, leukemia dan limfoma. Skor 3 untuk penyakit hati sedang atau berat sedangkan skor 6 untuk penyakit kanker dan AIDS kemudian skoring Charlson Comorbidity Index dikategorikan tidak ada (skor 0), ringan (skor 1-2), sedang (skor 3-4), berat (skor >5) 8 (Charlson, 1994 dalam Susetyowati, 2013). Penyakit yang mendasari pasien dirawat di rumah sakit merupakan faktor penting dalam terjadinya malnutrisi, tetapi tidak benar juga menganggap bahwa malnutrisi melekat dengan penyakit karena bisa jadi akibat terlambatnya pengobatan (Burgos et al, 2012) dan jenis penatalaksanaan penyakit seperti penggunaan ventilator dan pembedahan (Barker et al, 2011). e. Kemampuan daya beli, mengolah makanan dan konsumsi makanan, termasuk kemampuan mengunyah dan menelan makanan serta kemampuan sensori (pembau dan perasa) (Barker et al, 2011) Masalah utama lain penyebab masih banyaknya jumlah pasien malnutrisi di rumah sakit adalah kurangnya perhatian terhadap gizi dan kerja sama interdisipliner dalam penanganan asuhan gizi dan kurangnya pengetahuan serta perhatian dari tim kesehatan mengenai status gizi pasien akan kemampuan mengidentifikasi pasien yang berisiko malnutrisi (Hernandez et al, 2012). Susetyowati (2013) dan Barker et al (2011) mengungkapkan bahwa kejadian malnutrisi di rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung disebabkan: a. Tinggi dan berat badan tidak diukur dan dicatat secara rutin b. Sarana dan ketrampilan yang belum memadai dalam melakukan penilaian status gizi secara antropometri maupun biokimiawi c. Kurangnya tenaga dalam pelaksanaan sehingga perhatian dalam pemberian makanan berkurang d. Belum ada pencatatan pada rekam medik berapa banyak pasien menghabiskan makanannya sehingga asupan gizi tidak dicatat e. Belum adanya peraturan dan pedoman pelaksanaan asuhan gizi dan dukungan gizi Malnutrisi sering berkaitan dengan penyakit kronis dan memberikan efek negatif terhadap outcome klinis yang buruk (Laky et al¸ 2010). Malnutrisi dapat mengakibatkan gangguan daya tahan tubuh akibat respon humoral dan seluler terhadap infeksi melambat, respon terhadap terapi menurun, penyembuhan luka melambat, penutupan jahitan kurang 9 sempurna, gangguan saluran cerna seperti gangguan pencernaan dan penyerapan, gangguan fungsi organ seperti gangguan ventilasi, berkurangnya cardiac output, gangguan fungsi ginjal, penurunan kekuatan, hipotermia, gangguan fungsi hati, serta kematian (Saunders et al, 2011; Norman et al, 2008). Implikasi klinis dari malnutrisi menunjukkan bahwa ada hubungan konsekuensi malnutrisi di rumah sakit terhadap pemulihan yang tertunda, komplikasi penyakit, morbiditas, mortalitas, lama perawatan dan biaya perawatan (Chen et al, 2015; Tahull et al, 2014; Burgos et al, 2012; Hernandez et al, 2012; Lim et al, 2012; Orfila et al, 2012; Barker et al, 2011; Mueller et al, 2011; Neelemaat et al, 2011; Small, 2010; Beghetto et al, 2009; Norman et al, 2008; Alberda et al, 2006). Berikut ini adalah dampak dari malnutrisi di rumah sakit. a. Morbiditas Secara klinis, malnutrisi berkontribusi pada peningkatan jumlah dan keparahan komplikasi penyakit dengan melemahnya tingkat respon imun dan meningkatkan morbiditas (Orfila et al, 2012). Lebih lanjut Norman et al (2008) mengungkapkan bahwa gangguan fungsi imun, penyembuhan luka melambat, penurunan status fungsional, gangguan fungsional tubuh dan penurunan fungsi otot menyebabkan peningkatan morbiditas pada perioperatif. Malnutrisi umum terjadi pada penyakit kronik, seperti pasien yang mengalami penurunan berat badan ketika menjalani kemoterapi untuk pengobatan kanker dan pasien dengan penyakit paru obstruksi menahun mempunyai prognosis yang tidak baik dibandingkan pasien tanpa malnutrisi. Akibat malnutrisi dimulai pada (Barker et al, 2011): Tingkat seluler yang menyebabkan kemampuan terhadap respon imun terhadap infeksi melambat sehingga terjadi peningkatan risiko pressure ulcer, memperlambat penyembuhan luka, peningkatan infeksi, penurunan absorpsi zat gizi, termoregulasi dan gangguan fungsi ginjal Tingkat fisik menyebabkan kehilangan masa otot dan lemak, penurunan fungsi otot pernafasan dan atropi organ visceral. Kehilangan berat badan sebesar 15% menyebabkan penurunan kekuatan fungsi otot dan fungsi pernafasan sedangkan 10 kehilangan berat badan sebesar 23% dihubungkan dengan penurunan kebugaran fisik (70%) dan penurunan kekuatan otot (30%) Tingkat psikologis menyebabkan rasa lelah dan lemah yang dapat menunda penyembuhan penyakit dan anoreksia b. Mortalitas Penelitian prospektif pada 208 pasien dengan gagal jantung pada bulan Januari 2007 sampai Maret 2008 mendapatkan 13% pasien malnutrisi; 59,9% berisiko malnutrisi dan 27,5% pasien dengan status gizi baik berdasarkan Mini Nutritional Assessment (MNA). Mortalitas pada tiga kelompok setelah diikuti selama 25 bulan adalah 76% untuk malnutrisi; 35,9% risiko malnutrisi dan 18,9% status gizi baik, secara berurutan. Hasil analisis multivariat menunjukkan malnutrisi merupakan prediktor dari mortalitas (Palomas et al, 2011). c. Lama Perawatan Hubungan antara malnutrisi dan lama perawatan sebagai salah satu luaran hasil penyembuhan pasien sangat kompleks dan mungkin merupakan suatu hubungan bidirectional. Sesuai dengan definisi status gizi, maka status gizi dipengaruhi oleh asupan gizi yang akan mempengaruhi fungsi imunitas. Interaksi antara gizi dan imunitas terjadi melalui regulasi langsung oleh zat gizi, modulasi tidak langsung melalui sistem endokrin, pengaturan oleh keadaan gizi (ketersediaan zat gizi yang stabil diperlukan untuk proliferasi limfosit, leukopoesis dan sintesis zat yang disekresikan, zat gizi dibutuhkan hati untuk sekresi protein fase akut), modulasi patologi yang disebabkan respons imun, dan imunitas (Meilyana et al, 2010). Peningkatan morbiditas pada pasien malnutrisi secara signifikan memperpanjang masa pengobatan dan lama perawatan (Barker et al, 2011). Penelitian Caccialanza et al (2010) menunjukkan pasien yang berisiko malnutrisi memiliki lama rawat lebih panjang daripada yang tidak berisiko malnutrisi (RR: 2,63; CI 95%: 2,13-3,26). d. Dampak Ekonomi Tidak hanya memiliki implikasi klinis, malnutrisi pun berdampak pada implikasi ekonomi mengingat bahwa peningkatan lama rawat di rumah sakit dan komplikasi 11 klinis yang berasal dari malnutrisi menyebabkan peningkatan biaya rawat inap dan biaya tidak langsung (Susetyowati, 2013; Orfila et al, 2012). Biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih mahal akibat lama rawat inap di rumah sakit yang lebih panjang serta perawatan yang lebih intensif pada pasien malnutrisi (Norman et al, 2008). Penelitian tentang hubungan malnutrisi dan dampak ekonomi di 2 RS Portugal, dan didapatkan pasien yang masuk RS dengan malnutrisi mengeluarkan biaya lebih tinggi sebesar 19,3% yaitu antara 200-1500 euro (Amaral et al, 2007). Bahkan ESPEN dalam Rodriguez et al (2014) telah menghitung biaya kesehatan akibat malnutrisi di rumah sakit sebesar 170 juta euro per tahun. Biaya tersebut 30-70% lebih tinggi pada pasien dengan malnutrisi dibandingkan tanpa risiko malnutrisi. a. Malnutrisi pada Kanker Malnutrisi menjadi salah satu faktor penentu kelangsungan hidup pasien kanker selain usia, stadium, metastase kanker, lokasi metastase, takikardi, penanda tumor dan kualitas hidup (Gupta dan Lis, 2010). Insiden malnutrisi pada pasien kanker diperkirakan antara 40 dan 80%. Hampir 20% dari pasien kanker dilaporkan meninggal akibat malnutrisi atau komplikasi terkait penyakit ganas itu sendiri (Laky et al, 2008). Risiko malnutrisi pada pasien kanker sebesar 1,509 kali lebih tinggi (CI 95%: 1,180-1,930) (Burgos et al, 2012). Prevalensi malnutrisi tergantung pada jenis tumor, lokasi tumor, tahap penyakit, pengobatan yang diterima dan jenis metode assessment gizi yang digunakan (Gupta et al, 2011). Pasien kanker sangat rentan terhadap malnutrisi karena efek gabungan dari penyakit ganas dan pengobatannya. Penyebab utama terkait dengan terapi kanker terhadap malnutrisi adalah efek samping yang umum dialami seperti mual, muntah, anoreksia, lesu, diare, esofagitis dan disfagia yang dapat mempengaruhi asupan makan (Ferreira et al, 2013; Gupta et al, 2011; Nourissat et al, 2007). Penyebab lainnya berupa penurunan respon terhadap pengobatan dan peningkatan risiko toksisitas akibat kemoterapi (Gupta dan Lis, 2010). Hal tersebut mengakibatkan penurunan berat badan yang merupakan gejala utama kanker yang terkait malnutrisi (Merhi et al, 2011). 12 Malnutrisi pada kanker berkaitan dengan sindrom anoreksia dan kakeksia atau cancer anorexia-cachexia syndrome (CACS) yang merupakan proses hiperkatabolisme yang dikarakteristikkan dengan anoreksia dan penurunan berat badan yang dihubungkan dengan penurunan massa otot dan jaringan adiposa. Anoreksia didefinisikan sebagai kehilangan asupan makan yang menyebabkan penurunan asupan energi sedangkan kakeksia merupakan kompleks sindrom metabolik yang dihubungkan dengan keparahan penyakit dan dikarakteristikkan dengan penurunan massa otot dan/atau massa lemak tubuh. CACS dikarakteristikkan dengan beberapa tanda dan gejala yang mengganggu asupan (seperti penurunan asupan, perubahan indera perasa/pembau) dan mempengaruhi status gizi (seperti peningkatan metabolisme, penurunan berat badan, gangguan hormon, kehilangan jaringan otot dan adiposa, gangguan fungsional dan kelelahan) (Muliawati et al, 2012). Penyebab kakeksia pada kanker dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer akibat induksi perubahan metabolik tumor. Proses katabolisme yang semakin cepat sedangkan anabolisme melambat menyebabkan kehilangan jaringan. Kanker juga memicu respon inflamasi sistemik. Respon inflamasi ini mencakup tingkat metabolisme tinggi dan pelepasan produk biomekanis yang menekan nafsu makan dan menyebabkan cepat kenyang. Konsekuensi dari kelainan metabolik adalah anoreksia dan kehilangan massa otot dan lemak. Kelompok sekunder disebabkan oleh faktor-faktor yang mengganggu asupan makanan yang menyebabkan malnutrisi seperti mual, muntah, stomatitis, gangguan indera perasa/pembau akibat kemoterapi, diare, sembelit dan kelelahan (Muliawati et al, 2012). Jadi, malnutrisi dan kakeksia melibatkan respon tubuh terhadap tumor dan gangguan asupan makan akibat terapi kanker (Gupta dan Lis, 2010). Patogenesis CACS bersifat multifaktorial. Anoreksia berhubungan dengan gangguan mekanisme fisiologis pusat dalam mengendalikan asupan makanan. Asupan energi dalam kondisi normal dikendalikan terutama di hipotalamus oleh neuron tertentu yang mengintegrasikan sinyal melalui darah perifer untuk menyampaikan informasi tentang energi dan status adiposit. Kakeksia ditandai dengan penurunan jaringan adiposa 13 yang disebabkan peningkatan lipolisis daripada penurunan lipogenesis. Selain itu, metabolisme energi terganggu akibat pertumbuhan tumor yang menyebabkan pengeluaran energi meningkat terus menerus (Muliawati et al, 2012). Integrasi fisiologi CACS sebagaimana tersaji pada Gambar 1. Gambar tersebut menjelaskan bahwa kanker dikaitkan dengan aktivasi proinflamasi dan respon neuroendokrin yang menyebabkan penurunan asupan makanan dan perubahan metabolisme. Aktivasi adrenergic dan kanker terkait faktor lipolitik menyebabkan peningkatan lipolisis. Pengaruh hypogonadism, resistensi insulin, aktivasi adrenergic dan peradangan sistemik dengan semistarvation menyebabkan atropi otot. Hati mensintesis protein yang dirangsang sebagai bagian dari respon fase akut dan peningkatan siklus Cori berkontribusi terjadinya hipermetabolisme (Fearon et al, 2012). Gambar 1. Integrasi fisiologi CACS (Fearon et al, 2012) Prevalensi malnutrisi pada kanker tergantung jenis kanker dan tingkatan penyakit. Prevalensi malnutrisi pada kanker terkait ginekologi berkisar 20% (Laky et al, 2008). Penelitian Laky et al (2008) menunjukkan pasien pada kanker ginekologi yang 14 mengalami malnutrisi secara signifikan terjadi pada usia yang lebih tua, rendahnya IMT, penurunan berat badan dan rendahnya albumin tetapi tidak signifikan dengan massa bebas lemak dan massa lemak tubuh. Mengingat seriusnya dampak malnutrisi pada pasien kanker yang terjadi di rumah sakit maka perlu dilakukan skrining dan penilaian status gizi awal pasien baru yang akan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan intervensi gizi berdasarkan permasalahan gizi yang dialami pasien (Huang et al, 2014; Harimawan et al, 2011). Pertimbangan ini memberikan alasan yang kuat untuk manajemen assessment gizi reguler untuk semua pasien kanker selama perjalanan penyakit kanker (Gupta et al, 2011). b. Skrining Gizi Langkah pertama dalam pencegahan malnutrisi di rumah sakit dengan melakukan skrining gizi (Hernandez et al, 2012). Skrining gizi adalah proses mengidentifikasi dan pencatatan karakteristik yang ditemukan dalam membantu proses identifikasi pasien yang berisiko malnutrisi atau malnutrisi (Lim et al, 2009). Skrining gizi menjadi aspek penting karena kondisi patologis tertentu menyebabkan malnutrisi (Lomivorotov et al, 2013). Oleh karena itu, The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) menyarankan bahwa skrining gizi minimal dilakukan dalam waktu 24 jam terhitung saat pasien mulai masuk rumah sakit (Kemenkes RI, 2014). Identifikasi pasien malnutrisi atau berisiko malnutrisi merupakan langkah awal dalam rangka membangun dukungan nutrisi yang memadai secepatnya (Orfila et al, 2012). Pasien yang segera dilakukan skrining gizi akan menghasilkan ketepatan dalam intervensi gizi sehingga dapat mencegah malnutrisi di rumah sakit dan mempercepat proses penyembuhan (Susetyowati, 2013). Bila hasil skrining gizi menunjukkan pasien berisiko malnutrisi, maka dilakukan pengkajian/assesmen gizi dan dilanjutkan dengan langkah-langkah proses asuhan gizi terstandar oleh Dietisien. Pasien dengan status gizi baik atau tidak berisiko malnutrisi, dianjurkan dilakukan skrining ulang setelah 1 minggu. Jika hasil skrining ulang berisiko malnutrisi maka dilakukan proses asuhan gizi terstandar 15 (Kemenkes RI, 2013). Algoritme skrining dan assessment gizi pada pasien dewasa disajikan pada Gambar 2. Skrining Gizi: Penyakit akut: dalam waktu 24 jam Pasien kronis atau pasien baru masuk : dalam waktu maksimal 48 jam Home care: pada saat kunjungan tenaga kesehatan pertama Pasien berisiko: Pasien dewasa yang berisiko malnutrisi adalah apabila mempunyai tanda-tanda sbb: 1. Penurunan/peningkatan Berat badan yang tidak diinginkan >10% berat badan biasanya dalam 6 bulan terakhir, atau >5% dari berat badan biasanya dalam waktu 1 bulan terakhir, atau berat badan > 120% atau < 80% berat badan ideal, mengalami penyakit kronis atau peningkatan metabolisme 2. Perubahan diet (mendapat TPN/makanan enteral, pembedahan, kesakitan atau trauma) 3. Asupan zat gizi yang tidak adekuat (karena tidak mendapatkan makanan/produk makanan, penurunan kemampuan pencernaan dan penyerapan) > 7 hari Tidak Berisiko Skrining ulang pada: 1. Interval waktu tertentu atau 2. Ada perubahan kondisi klinis/status gizi 3. Stabil Berisiko Dilakukan assessment gizi meliputi: Review riwayat gizi Evaluasi data antropometri, dan biokimia terkait gizi Review data klinis Penilaian data fisik Berisiko Buat perencanaan asuhan gizi berdasarkan: Pendekatan inter disiplin Tujuan asuhan gizi baik jangka pendek maupun jangka panjang, kebutuhan pendidikan gizi, rencana pemulangan pasien dan atau pelatihan saat di rumah Perencanaan preskripsi diet Pemberian nutrisi enteral/parenteral Re-assessment berdasarkan pada: Perubahan data klinis Pola pemberian nutrisi enteral/parenteral Protokol/ketentuan yang tersedia Gambar 2. Algoritme Skrining dan Asesmen Gizi pada Pasien Dewasa (ADA, 2009) 16 Rekomendasi ESPEN dan ASPEN menetapkan bahwa skrining gizi perlu dilakukan pada awal pasien masuk rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko masalah gizi dan diulang secara periodik. Pasien yang mempunyai masalah gizi dievaluasi oleh tenaga kesehatan yang bekerjasama dalam tim dukungan gizi (Mueller, 2011; Lorenzo, 2005). Tujuan skrining gizi adalah untuk mengidentifikasi seseorang mengalami malnutrisi atau berisiko malnutrisi untuk dilakukan pengkajian lanjut dan intervensi gizi lebih dini (Kemenkes RI, 2013; Hernandez et al, 2012; Lim et al, 2009). Pendapat serupa diungkapkan Rasmussen et al (2010) dan Gupta et al (2011) bahwa tujuan dari skrining gizi adalah untuk memprediksi probabilitas membaik atau memburuknya outcome yang berkaitan dengan faktor gizi dan mengetahui pengaruh dari intervensi gizi. Outcome dari intervensi gizi dapat dinilai dari beberapa cara, yaitu perbaikan atau pencegahan penurunan fungsi mental dan fisik, pengurangan komplikasi penyakit, percepatan pemulihan dari penyakit dan penurunan lama perawatan. Neelemaat et al (2011) mengungkapkan bahwa skrining gizi dapat meningkatkan deteksi dini pasien malnutrisi hingga 50-80% dan dapat menurunkan lama rawat inap. Skrining gizi umumnya mempunyai dua peran. Peran pertama dapat mengidentifikasi atau memprediksi risiko dari berkembangnya suatu kondisi diantaranya komplikasi termasuk kematian dan biaya. Skrining dapat untuk mencegah atau mengatasi kondisi atau komplikasi yang terjadi, karena dapat digunakan sebagai dasar tindak lanjut dalam memberikan intervensi yang sesuai. Peranan skrining yang kedua adalah dapat mengidentifikasi individu yang mungkin atau tidak mungkin memperoleh manfaat dari pengobatan tersebut (Elia dan Stratton, 2012). Komponen skrining gizi menurut ESPEN terdiri dari empat komponen utama (Rasmussen et al, 2010), yaitu: a. Kondisi sekarang, digambarkan melalui pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks pengukuran status gizi yang sederhana dan objektif serta menjadi komponen penting dalam skrining gizi namun IMT tidak dapat digunakan sebagai penentu status malnutrisi 17 secara akurat. Pasien yang memiliki IMT tinggi dapat menjadi malnutrisi karena kurangnya asupan makan atau keganasan penyakit (Tsaousi et al, 2014). Bila pengukuran berat badan dan tinggi badan tidak dapat dilakukan maka dapat menggunakan pengukuran lingkar lengan atas. b. Kondisi stabil, digambarkan dengan kehilangan berat badan yang didapat dari riwayat pasien. Penurunan berat badan (baik disengaja maupun tidak disengaja) merupakan salah satu bagian penting dalam pengkajian gizi yang dihubungkan dengan mortalitas (Tsaousi et al, 2014). Kehilangan berat badan tidak disengaja sebesar 5% atau lebih selama 3 bulan biasanya dianggap signifikan. c. Kondisi memburuk, digambarkan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan asupan makan yang menurun meliputi jumlah dan lamanya penurunan asupan. d. Pengaruh penyakit terhadap penurunan status gizi, digambarkan dengan pengaruh penyakit yang menyebabkan penurunan nafsu makan dan peningkatan kebutuhan terkait stres metabolik. Hubungan antara malnutrisi dan komplikasi pencernaan pada fistula (OR=2,4; CI 95%: 1,1-5,1) dan kegagalan usus (OR=4,3; CI 95%: 1,8-10,4). Penyakit gagal ginjal mengalami malnutrisi lebih tinggi (OR=2,8; CI 95%: 1,9-4,0) karena gagal ginjal sering dikaitkan dengan sepsis, trauma dan kegagalan multi-organ (Orfila et al, 2012). Karakteristik metode skrining sebaiknya memenuhi syarat berikut: a. Sederhana, artinya metode tersebut dapat mudah digunakan oleh orang lain tenaga rumah sakit. b. Mudah diterima, artinya metode tersebut dapat diterima subyek dan orang lain. c. Biaya. d. Ketelitian, artinya derajat dari kemampuan untuk menghasilkan pengukuran antara variabel yang diukur sama dengan kenyataan. e. Ketepatan, artinya kedekatan hasil pengukuran dengan kenyataannya. f. Sensitivitas, artinya proporsi subyek yang sakit dan hasil tesnya juga positif. g. Spesifisitas, artinya proporsi subyek yang sehat dan hasil tesnya juga negatif. 18 h. Nilai prediksi, artinya probabilitas/kemungkinan pada subyek yang memiliki hasil tes positif adalah benar sakit atau pada subyek yang memiliki hasil negatif adalah benar sehat. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk pengembangan alat skrining gizi yang paling baik dan tepat digunakan pada berbagai kondisi, tempat, dan populasi. Adapun macam alat/metode skrining gizi antara lain adalah Malnutrition Screening Tool (MST), Malnutrition Universal Screening Tool (MUST), Nutritional Risk Screening-2002 (NRS2002), Short Nutritional Assessment Questionaire (SNAQ), Subjective Global Assessment (SGA), Mini Nutritional Assessment-Short Form (MNA-SF), Paediatric Yorkhill Malnutrition Score (PYMS) dan lain-lain (Kemenkes, 2013). MST merupakan metode skrining gizi yang sederhana, cepat, valid dan fleksibel untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko malnutrisi. MST dikembangkan berdasarkan pemilihan pertanyaan-pertanyaan skrining gizi dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas paling tinggi dibandingkan dengan skor SGA (Susetyowati, 2013). Metode skrining MST terdiri dari dua pertanyaan yaitu kehilangan berat badan yang tidak diharapkan dan penurunan nafsu makan yang telah divalidasi digunakan untuk pasien umum, pembedahan dan kanker (Barker et al, 2011). Kehilangan berat badan pada metode skrining MST: (1) jika kehilangan berat badan 1 kg sampai 5 kg, maka diberi skor 1, (2) jika kehilangan berat badan 6 kg sampai 10 kg, maka diberi skor 2, (3) jika kehilangan berat badan 11 kg sampai 15 kg, maka diberi skor 3, (4) jika kehilangan berat badan lebih dari 15 kg maka diberi skor 4, dan (5) jika ragu-ragu dalam mengidentifikasi kehilangan berat badan, maka diberi skor 2. Adanya penurunan nafsu makan diberikan skor 1. Kesimpulan hasil skrining yaitu pasien dengan kategori risiko malnutrisi, jika jumlah skor lebih atau sama dengan 2, maka disimpulkan pasien mengalami risiko malnutrisi (Susetyowati, 2013). Metode skrining MST telah dibuktikan dengan tingkat keakuratan pada evaluasi yang terdiri dari 1513 kutipan dan 9 penelitian dari jurnal elektronik yang ditambahkan dengan hasil kongres dan abstrak ASPEN dan ESPEN pada tahun 2000 sampai 2005, 19 didapatkan MST merupakan metode yang tingkat keakuratannya lebih tinggi daripada metode skrining lainnya (Venrooij et al, 2007). Hasil Konsensus Ahli Gizi dari Nutrition Education Materials Online (NEMO) tahun 2014 pun menunjukkan MST memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi sebesar masing-masing 93%; kappa antar ahli gizi 0,88 dan pasien yang dideteksi mengalami risiko malnutrisi mampu memprediksi LOS lebih panjang. Namun, MST tidak bisa diterapkan untuk pasien yang mengalami kesulitan komunikasi (Herawati et al, 2014). 2. Albumin Albumin adalah protein plasma yang paling banyak dalam tubuh dan berperan penting sebagai pembawa berbagai molekul. Albumin memiliki afinitas tinggi dalam mengikat kation valensi tertentu, bilirubin, asam lemak bebas dan molekul lainnya, termasuk xenobiotik. Hal tersebut disebabkan oleh jumlahnya melimpah dan berat molekul rendah. Albumin bertanggung jawab sekitar 80% dari tekanan onkotik plasma total. Oleh karena itu, albumin sebagai pengatur distribusi cairan antara plasma dan interstisial pada kondisi fisiologis (Figueira et al, 2010). Kadar albumin normal adalah 3,5 g/dl sampai 5,2 g/dl. Bila cadangan albumin kurang dalam sirkulasi darah, konsentrasi darah akan menurun dan sejumlah albumin dapat kembali ke sirkulasi darah. Ketika sintesa meningkat, albumin akan mencukupi cadangan ekstravaskuler (Gibson, 2005). Serum albumin mempunyai ukuran body pool besar (3-5 g per kg BB) dengan waktu paruh 14-20 hari sehingga albumin tidak terlalu sensitif terhadap perubahan status protein yang singkat (Gibson, 2005). Hal tersebut menjadikan albumin sebagai alat penanda biokimia yang paling umum digunakan untuk menilai status malnutrisi dan mencerminkan kekurangan protein (Ishida et al, 2014; Basu et al, 2011; Gupta dan Lis, 2010), tingkat keparahan penyakit, perkembangan penyakit dan prognosa (Laky et al, 2010; Gupta et al, 2009). Bahkan selama malnutrisi kronis, ketika sintesis albumin di hati menurun, konsentrasi albumin di dalam serum akan dipertahankan melalui sebuah mekanisme 20 kompensasi yaitu melalui penurunan katabolisme albumin bersama dengan redistribusi albumin ekstravaskuler ke intravaskuler (Gibson, 2005). Malnutrisi dan inflamasi dapat menekan sintesis albumin (Gupta dan Lis, 2010). Sebagai bagian dari sistem respon inflamasi terhadap tumor, sitokin proinflamasi dan growth factor dikeluarkan akan menyebabkan proses katabolik pada tubuh. IL-6 yang diproduksi oleh tumor atau sekitar sel tumor akan merangsang produksi hati dari reaksi protein fase akut seperti protein C-reaktif (CRP) dan fibrinogen. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan asam amino tertentu, bila terbatas dalam makanan akan diperoleh dari pemecahan skeletal otot. Rendahnya kadar serum albumin diakibatkan produksi sitokin seperti IL-6 yang memodulasi produksi albumin oleh hepatosit. Penyebab lainnya yaitu tumor necrosis factor (TNF) meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler sehingga mengakibatkan peningkatan transkapiler albumin (Gupta dan Lis, 2010). Penanda biokimia sederhana seperti albumin telah lama dianggap sebagai penanda yang dapat mencerminkan risiko malnutrisi terkait komplikasi dan merupakan alat skrining sederhana bagi pasien berisiko malnutrisi. Namun, penggunaan penanda tersebut sebagai indikator malnutrisi masih kontroversial. Perdebatan tersebut terkait apakah faktor biokimia normal dapat mencerminkan malnutrisi atau apakah hanya mencerminkan tingkat keparahan penyakit fisiologis (Basu et al, 2011). Pendapat lainnya diungkapkan Gupta dan Lis (2010) bahwa serum albumin memiliki kelemahan karena faktor-faktor non-gizi, seperti hidrasi dan jenis penyakit. Gibson (2005) menyatakan bahwa hipoalbumin dapat disebabkan oleh beberapa penyakit terkait saluran pencernaan seperti kolitis ulseratif, crohn disease, gagal ginjal, gangguan hati, hipotiroid dan gagal jantung kongestif. Albumin tidak hanya sebagai indikator status gizi pasien tetapi juga berguna dalam memprediksi prognosis pasien sehingga albumin dapat digunakan sebagai indikator independen dari intervensi gizi (Gupta dan Lis, 2010). Albumin juga telah terbukti menjadi prediksi dari LOS, infeksi nosokomial dan kematian di rumah sakit (Basu et al, 2011; Laky et al, 2010; Gupta et al, 2009). Penelitian da Silva et al (2012) menunjukkan 21 bahwa rendahnya albumin tidak berhubungan dengan LOS karena adanya perbedaan jenis penyakit dan asupan makan yang kurang. Rendahnya albumin atau hipoalbumin diduga menjadi indikator prognosis pada pasien kanker namun penelitian ini masih terdapat perbedaan satu sama lainnya berkaitan dengan populasi yang diteliti, desain penelitian, ukuran sampel, definisi hipoalbumin yang digunakan dan faktor lain yang dianalisis. Prognostik serum albumin pada pasien dengan kanker ovarium menunjukkan bahwa setiap satu gram peningkatan per dl serum albumin dikaitkan dengan RR 0,39 (CI 95%: 0,29-0,53; p <0,001) (Gupta et al, 2009). Alphs et al (2006) memprediksi hasil bedah dan kelangsungan hidup pada wanita lansia dengan diagnosis kanker ovarium dan kanker peritoneal primer menemukan bahwa pasien yang berusia lebih dari 80 tahun dikaitkan dengan peningkatan hampir 2 kali lipat risiko kematian dan kadar albumin pra operasi ≥3,7 g/dl dikaitkan dengan penurunan risiko kematian sebesar 40%. Hasil sistematik review Gupta dan Lis (2010) menunjukkan serum albumin menjadi prognostik kelangsungan hidup pasien kanker ovarium pada semua penelitian retrospektif. 3. Lama Rawat Inap Lama rawat inap atau length of stay (LOS) adalah masa rawat seorang pasien di rumah sakit dihitung sejak pasien masuk rumah sakit dan keluar rumah sakit, dipengaruhi oleh faktor usia, komorbiditas, hipermetabolisme, dan kegagalan organ serta defisiensi gizi (Meilyana et al, 2010). LOS dikaitkan dengan usia pasien karena semakin bertambahnya usia maka kemampuan sistem kekebalan tubuh berkurang (Wartawan, 2012). Faktor lain yang dihubungkan dengan lamanya perawatan di rumah sakit antara lain clinical setting, jenis dan keparahan penyakit, kualitas dan jumlah intervensi (Caccialanza et al, 2010). Pekerjaan pasien dan kelas perawatan yang dipilih pun berperan terhadap LOS. Pekerjaan tidak secara langsung mempengaruhi lama hari rawat pasien, namun mempengaruhi cara pasien dalam membayar biaya perawatan. Pekerjaan menentukan penghasilan serta ada atau tidaknya jaminan kesehatan untuk menanggung biaya selama perawatan di rumah sakit. Pasien yang dirawat pada kelas yang lebih tinggi 22 akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek daripada pasien yang dirawat pada kelas yang lebih rendah terkait pelayanan baik medis dan non medis yang diperoleh pasien (Wartawan, 2012). LOS digunakan sebagai penanda perbaikan kesehatan pasien selama perawatan di rumah sakit, mencerminkan tingkat kegawatan penyakit dan status kesehatan pasien yang dipengaruhi oleh genetika, jenis trauma atau penyakit, pengobatan atau pembedahan, kualitas perawatan pasien, dan ketersediaan fasilitas perawatan (Huang et al, 2014; Gupta et al, 2011; Laky et al, 2010). Penurunan LOS berpotensi untuk mengurangi biaya perawatan kesehatan, risiko infeksi dan komplikasi penyakit serta meningkatkan kualitas hidup pasien (Gupta et al, 2011). Laporan Departemen Kesehatan Spanyol dalam Hernandez et al (2012) menunjukkan rata-rata LOS pada tahun 2009 adalah 7,31 hari. Penelitian Hernandez et al (2012) menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata LOS menjadi 8,3 hari (tanpa bangsal anak dan oftalmologi). Lebih lanjut penelitian tersebut mengungkapkan bahwa satu diantara empat pasien yang dirawat di rumah sakit berisiko malnutrisi yang berdampak pada penambahan biaya kesehatan. Berbagai penelitian menyatakan bahwa adanya malnutrisi pada saat pasien masuk rumah sakit mengakibatkan pasien tersebut memiliki LOS yang lebih panjang bila dibandingkan dengan pasien berstatus gizi baik dan memiliki risiko lebih tinggi mengalami malnutrisi selama perawatan (Meilyana et al, 2010; Nourissat et al, 2007). Pasien yang mengalami malnutrisi secara signifikan mengalami LOS lebih lama (10,5 ± 9,5 hari vs 7,7 ± 7,8 hari, p <0,0001) dan tingginya mortalitas (8,6% vs 1,3%, p <0,0001) (Burgos et al, 2012). Menurut Orfila et al (2012), pasien yang mengalami malnutrisi meningkatkan lama rawat di rumah sakit sebesar 30%. Delapan penelitian yang menggunakan SGA/PG-SGA sebagai alat assessment menunjukkan rata-rata LOS secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang malnutrisi dibandingkan kelompok tanpa malnutrisi (Gupta et al, 2011). Pasien yang berisiko malnutrisi 1,5 kali tinggal lebih lama dibandingkan pasien tanpa risiko malnutrisi setelah mengontrol usia, jenis kelamin dan jenis penyakit (Lim et al, 2014). Bahkan penelitian Tsaousi et al (2014) menunjukkan 23 bahwa LOS pasien yang mengalami malnutrisi hampir empat kali lebih tinggi daripada pasien tanpa malnutrisi (14,1 hari dibandingkan dengan 3,7 hari). LOS dihubungkan dengan clinical outcome yang buruk, penurunan asupan makanan, tingkatan asuhan gizi, diagnosis dari SGA dan diagnosis malnutrisi berdasarkan alat ukur yang dikombinasi tetapi LOS tidak menunjukkan perbedaan menurut usia, jenis kelamin, perubahan konsistensi makanan dan pengukuran antropometri. Pasien yang mengalami penurunan asupan makan memiliki lama rawat 3 hari lebih lama daripada pasien tanpa penurunan asupan makanan (p=0,001). LOS pasien malnutrisi 5 hari lebih lama dibandingkan pasien tanpa malnutrisi. LOS pasien malnutrisi berat yang dikombinasikan dengan beberapa alat ukur memiliki masa rawat 5 hari lebih lama dibandingkan pasien tanpa malnutrisi dan 10 hari lebih lama dibandingkan pasien obesitas (Ordonez et al, 2013). Status gizi yang optimal dikaitkan dengan singkatnya lama perawatan (Orfila et al, 2012). Pengukuran status gizi menggunakan IMT tidak ditemukan sebagai indikator yang baik dari LOS. IMT mencerminkan berat dan tinggi badan pasien kemudian diasumsikan sebagai komposisi tubuh. Hal tersebut tidak memperhitungkan penurunan asupan oral atau perubahan berat badan yang signifikan secara klinis dengan penurunan massa sel tubuh yang mungkin telah terjadi sebelum rawat inap. Penurunan berat badan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas (Gupta et al, 2011). Status gizi berdasarkan IMT juga memiliki indikator dengan sensitivitas rendah dalam mendeteksi malnutrisi di rumah sakit. Hal tersebut disebabkan proses malnutrisi akut terjadi akibat penurunan berat badan tanpa disertai penurunan simpanan lemak (Merhi et al, 2011). Individu dengan IMT <18,5 tidak selalu mengalami malnutrisi atau berisiko malnutrisi sedangkan individu dengan IMT normal dapat mengalami malnutrisi. IMT pun tidak memperhitungkan penurunan asupan oral atau perubahan berat badan yang signifikan secara klinis dengan kehilangan massa sel tubuh, yang mungkin telah terjadi sebelum rawat inap. Hal ini juga kemungkinan bahwa ada variasi yang luas dalam komposisi tubuh dan status gizi pada populasi kelebihan berat badan dan obesitas serta tingkat keparahan penyakit (Gupta et al, 2011). 24 Berbeda dengan penelitian Caccialanza et al (2010) bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit cenderung memiliki rawat inap lebih panjang (≥3 hari) akibat IMT rendah, mengalami malnutrisi, mengalami penurunan berat badan tidak disengaja >5% baik sebelum masuk maupun selama di rumah sakit, menderita penyakit berat, kanker dan adanya komorbiditas penyakit. Status gizi awal yang diukur menggunakan SGA juga berpengaruh terhadap lama rawat pasien. Pasien yang tidak berisiko malnutrisi mengalami lama rawat pendek 3 kali daripada pasien yang mengalami malnutrisi (Merhi et al, 2011). Hal tersebut disebabkan sebagian besar zat gizi baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sintesis protein dan respon imun tergantung dari protein-protein dengan fungsi spesifik. Zat gizi makro akan mempengaruhi sistem imunitas sedangkan zat gizi mikro seperti zink, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E dan B6 serta asam folat merupakan immunomodulator yang sangat penting dalam menentukan respon tubuh terhadap antigen maupun keadaan patologis yang terjadi dalam tubuh sehingga berdampak pada proses penyembuhan (Harimawan et al, 2011). Rendahnya serum albumin dihubungkan dengan LOS dan tingginya mortalitas selama masa rawat inap di rumah sakit (Cabrerizo et al, 2015). Penelitian Laky et al (2008) menunjukkan bahwa konsentrasi serum albumin yang rendah dikaitkan dengan risiko malnutrisi pada pasien kanker ginekologi. LOS dihubungkan dengan kejadian malnutrisi pada beberapa tipe kanker. LOS berbeda antar jenis kanker. Kanker ovarium memiliki LOS lebih lama (96%) dibandingkan kanker endometrium (50%) dan pasien dengan tumor pelvis (42%) pada wanita (Laky et al, 2010). Mengingat seriusnya dampak malnutrisi pada LOS pasien kanker maka perlu dilakukan skrining dan penilaian status gizi awal pasien baru yang akan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan intervensi gizi berdasarkan permasalahan gizi yang dialami pasien (Huang et al, 2014; Harimawan et al, 2011). 25 B. Penelitian yang Relevan No Judul 1 Association Between Nutritional Risk and Routine Clinical Laboratory Measurements and Adverse Outcomes: a Prospective Study in Hospitalized Patients of Wuhan Tongji Hospital (Chen et al, 2015) Tabel 1. Penelitian yang Relevan Tujuan Metode Mengetahui Rancangan hubungan antara penelitian: risiko gizi prospective berdasarkan NRS- observational 2002 dan study pengukuran Lokasi: RS biokimia rutin Wuhan Tongji terhadap outcome Cina Subyek: 916 pasien Hasil Insiden outcome pasien berdasarkan: Risiko malnutrisi (OR=1,34; CI 95%: 0,89-1,99) dan hipoalbumin (OR=1,61; CI 95%: 1,30-1,97) 2 Kajian Metode Subjective Global Assessment (SGA) dan Nutrition Services Screening Assessment (NSSA) sebagai Status Gizi Awal Pasien Dewasa sebagai Prediktor Lama Rawat Inap dan Status Pulang (Harimawan et al, 2011) Menilai status gizi awal pasien penyakit dalam yang baru dirawat dengan menggunakan metode SGA dan NSSA serta membandingkan kemampuan keduanya dalam memprediksi lama rawat inap dan status pulang Rancangan penelitian: prospective cohort Lokasi: RSD Anuntaloko Parigi Kab. Parigi Moutong Sulteng Subyek: 162 pasien Kemampuan indikator SGA lebih baik dari indicator NSSA dalam memprediksi lama rawat inap sedangkan status pulang pasien tidak dapat ditentukan 3 Pengaruh Hasil Skrining berdasarkan Metode MNA terhadap Lama Rawat Inap dan Status Pulang Pasien Lansia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Prasetiyo, 2010) Mengetahui pengaruh hasil skrining berdasarkan metode MNA terhadap lama rawat inap dan status pulang pasien lansia di bangsal penyakit dalam dan saraf Rancangan penelitian: prospective cohort Lokasi: RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Subyek: 83 orang Pasien yang terpapar (malnutrisi) berisiko dirawat selama ≥ 7 hari adalah 1,63 kali lebih besar daripada pasien yang tidak terpapar (tidak malnutrisi). Berdasarkan hasil regresi logistik tidak ada pengaruh antara hasil skrining dengan lama rawat inap. 26 No Judul 4 Hubungan Skrining Gizi NRS-2002 dan MUST dengan Assessment Biokimia pada Pasien di Bangsal Penyakit Dalam dan Saraf RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Simanjuntak, 2010) Tujuan Mengetahui hubungan skrining gizi NRS-2002 dan MUST dengan assessment biokimia (albumin dan hemoglobin) Metode Rancangan penelitian: cross sectional Lokasi: RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Subyek: 195 pasien Hasil NRS-2002 dan MUST tidak berhubungan dengan indikator biokimia pasien di bangsal penyakit dalam dan syaraf 5 Perbandingan Metode Skrining Gizi NRS 2002 dengan Assesmen Biokimia (Albumin dan TLC) untuk Mendeteksi Malnutrisi di Bangsal Bedah dan Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Ansari, 2011) Mengetahui hubungan skrining gizi NRS-2002 dengan assessment biokimia (albumin dan TLC) Rancangan penelitian: cross sectional Lokasi: RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Subyek: 95 pasien NRS-2002 tidak berhubungan dengan albumin dan TLC di bangsal penyakit dalam dan bedah meskipun nilai albumin lebih rendah pada pasien yang berisiko malnutrisi 6 Accuracy of Nutritional Assessment Tools for Predicting Adverse Hospital Outcomes (Baghetto et al, 2009) Membandingkan akurasi IMT, prosentasi penurunan BB tidak disengaja selama 6 bulan terakhir, SGA, albumin dan TLC dalam memprediksi kematian, infeksi dan lama rawat Rancangan penelitian: prospective observational study Lokasi: University Hospital Subyek: 434 pasien Metode assessment gizi dievaluasi sebagai prediktor yang lemah terhadap outcome pasien. Hipoalbumin terkait dengan LOS (OR: 2,40; CI 95%; 1,463,94) setelah mengendalikan faktor diagnosis kanker dan rawat inap non-bedah C. Kerangka Berpikir Organizational: Personal: Albumin Usia Tindakan (operasi, ventilator) Jenis Kelamin Asupan Mental illness (demensia, depresi) Jenis penyakit Ketidakmampuan daya beli Gangguan mengunyah, menelan Mobilitas terbatas Gangguan sensori (perasa, pembau) Pengobatan Kurangnya kemampuan mendeteksi malnutrisi Sarana dan keterampilan kurang dalam melakukan skrining dan assessment Belum dilakukan pengukuran dan pencatatan tinggi badan dan berat badan Belum ada pencatatan asupan makan Kurangnya tenaga dalam pemberian makanan Belum ada peraturan dan pedoman pelaksanaan asuhan gizi dan dukungan gizi Risiko Malnutrisi kanker di RS Tingkat seluler: Kemampuan terhadap respon imun terhadap infeksi melambat Physical level: Kehilangan massa otot dan lemak Atropi organ visceral Psikologis: Mudah lelah Apatis Penurunan daya tahan dan respon terhadap terapi/pengobatan Lama rawat Mortalitas Morbiditas Peningkatan biaya RS Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian Hubungan Risiko Malnutrisi dan Kadar Albumin terhadap Lama Rawat Inap Pasien Kanker Obstetri Ginekologi variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti 28 D. Hipotesis 1. Ada hubungan risiko malnutrisi terhadap lama rawat inap pasien kanker obstetri ginekologi 2. Ada hubungan kadar albumin terhadap lama rawat inap pasien kanker obstetri ginekologi