Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an SEMIOTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’ÃN Abd. Ghaffar Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi Abstrak Semiotika, bila dikaitkan dengan al-Qur’ãn sebagai manuskrip teks (ayat-ayat), maka al-Qur’ãn adalah sebuah teks kitab suci yang dikemas dengan casing bahasa Arab yang merupakan kode atau simbol yang mengandung dimensi makna yang berbilang (zũ wujũh). Oleh karena itu, al-Qur’ãn sebagai teks (ayat-ayat) yang berbahasa Arab merupakan rangkaian tandatanda yang memiliki berbagai dimensi makna (multiple meanings) yang dapat dikaji, dianalisis dan ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan semiologi. Itulah sebabnya, maka alQur’ãn dalam ilmu semiotika, merupakan satuan-satuan dasar yang disebut dengan ayat (tanda). Tanda dalam al-Qur’ãn tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya, seperti: huruf, kata (Arab disebut kalimat), dan kalimat (Arab disebut jumlah), tetapi totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing unsur termasuk dalam kategori tanda-tanda al-Qur’ãn. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur’ãn adalah serangkain tanda-tanda yang memiliki arti (makna). Kata Kunci: Al-Qur’an, Semiotika, Signifiant (penanda) dan Signifie (petanda). A. Pendahuluan Al-Qur’ãn sebagai teks (tanda-tanda) kitab suci, senantiasa dapat ditafsirkan, dan selalu terbuka peluang untuk dikaji dan dipikirkan makna ayat-ayat-nya, sesuai dengan posisinya sebagai “tibyãn li kulli syai” (referensi penafsiran terhadap segala sesuatu). Oleh sebab itu, kosa kata sebagai sistem tanda di dalam ayat-yat al-Qur’ãn dapat dipastikan mengandung banyak dimensi makna yang berbilang (multiple meanings). ‘Ali bin Abĩ Ṭãlib, dalam kaitan ini, menyatakan bahwa: “Jangan kamu (Ibnu ‘Abbas) berdebat dengan mereka (pengikutTAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 1 Abdul Ghaffar pengikut Khawãrij) tentang makna ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’ãn mengandung dimensi makna yang berbilang (zũ wujũh)”.1 Senada dengan pernyataan ‘Ali bin Abĩ Ṭãlib, Abũ Dardã’ juga berkomentar bahwa: “Kamu belum dianggap mengenal al-Qur’ãn dengan baik, sebelum kamu menyadari karakter berbilangnya dimensi makna kosa kata yang dimilikinya”.2 Beda dengan kedua pernyataan sahabat Rasulullah Saw., di atas, Amin al-Khũli menyatakan bahwa: “Secara historis, alQur’ãn diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Sementara bahasa Arab itu sendiri merupakan “kode” yang dipakai oleh Allah Swt., untuk menyampaikan firman-firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, al-Qur’ãn sebagai “kode” dalam bentuk manuskrip bahasa Arab, merupakan sebuah simbol atau tanda yang dapat ditangkap maknanya melalui analisis tafsir semiotik”.3 Merujuk dari statemen di atas, maka penulis terinspirasi dan tertarik untuk mengkaji dan menafsirkan teks al-Qur’ãn melalui pendekatan semiotika sebagai perangkat analisis dalam mengembangkan pengayaan khazanah keilmuan dalam dunia penafsiran al-Qur’ãn. B. Pengertian Semiotika Secara definitif, semiotika berasal dari kata seme (bahasa Yunani), yang berarti penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan semeotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda.4Oleh karena itu, semiotika sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sekumpulan tandatanda. 1 As-Sayũṭĩ, Al-Itqãn fĩ ‘Ulũm al-Qur’ãn, Jilid. I., (Bairut: Dãr al-Fikr, t.t.), 141. . وال تجادلهم بالقرأن فانه حمال ذي وجوه: قال علي ابن أبى طالب 2 Ibnu Sa’ad, Aṭ-Ṭabaqãt al-Kabĩr, (Leiden: K.V. Zettersteen, 1905), 114. ... ال تفقه حتى ترى القرأن وجوها: قال أبو الدرداء 3 Amĩn al-Khũli, Manãhij Tajdĩd fi an-Naḥw wa al-Balãgah wa at-Tafsĩr wa al-Adab, (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, 1995), 6. 4 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 97. 2 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an Ferdinand de Saussure (1857-1913) mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.5 Secara garis besarnya, ranah kajian semiotika dibagi menjadi dua, semiotika signifikasi yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure, dan semiotika komunikasi yang dimotori oleh Charles Sanders Pierce (18391914). Keduanya tidak dapat dipisahkan karena masing-masing saling berkaitan erat yang dapat memberikan arti atau makna dari sebuah tanda. Semiotika signifikasi penekanannya pada aspek penanda6dan petanda,7sedangkan semiotika komunikasi penekananya pada aspek komunikasi.8Oleh sebab itulah selanjutnya Saussure menyatakan bahwa semiotika signifikasi adalah semiotika pada tingkat langue (bahasa) dan semiotika komunikasi adalah semiotika pada tingkat parole (bicara).9Jadi antara signifkasi Saussure dan komunikasi Pierce, sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Karena di dalam signifikasi sendiri terdapat proses komunikasi, begitu pula sebaliknya setiap ada kumunikasi dengan sendirinya proses signifikasi akan terjadi. Oleh sebab itu, suatu tanda dalam semiotika baru dapat dipahami maknanya dengan baik bila tanda tersebut dibahasakan lewat komunikasi. Dengan demikian, maka semiotika adalah ilmu yang mengkaji sistem-sistem, aturanaturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu tanda dalam masyarakat memiliki arti yang dapat dipahami. 5 Ferdinand de Saussure, Course in General Linguisties, (London: Duckworth, 1990), 15. 6 Penanda (signifiant) adalah bentuk formal dalam yang menandai sesuatu yang disebut petanda. 7 Petanda (signifie) adalah aspek mental, arti atau image makna di balik penanda yang memaknai sebuah tanda. 8 Komunikasi adalah pengiriman atau penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi dua arah adalah komunikasi yang komunikan dan komunikatornya dalam satu saat bergantian memberikan informasi. Komunikasi massa adalah komunikasi penyebaran informasi yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial tertentu kepada pendengar atau khalayak yang heterogen serta tersebar di mana-mana. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 585. 9 Ferdinand de Saussure, Course in ...,17. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 3 Abdul Ghaffar C. Sejarah Munculnya Terma Semiotika Pada prinsipnya, istilah semiotika, embrio kemunculannya sudah ada pada masa filsafat Yunani abad pertengahan. Namun istilah ini baru diperkenalkan pada abad ke-18 oleh Lambert (seorang ahli filsafat dari Jerman) sebagai sinonim kata logika. Dialah yang mempopulerkan penggunaan tanda secara sistimatis. Kemudian selanjutnya pada abad ke-20 mulailah semiotika ramai-ramai dibahas dan dikaji oleh ahli filsafat.10Kehadiran semiotika di abad ini merupakan akibat stagnasi “strukturalisme”11ketika karya sastranya berhubungan dengan fungsi tanda-tanda yang terdapat di dalamnya. Pada saat itu, strukturalisme sangat membutuhkan semiotika untuk melengkapi dan menyempurnakan karya sastranya. Itulah sebabnya, maka strukturalisme dan semiotika dipandang memiliki kajian yang sama dan saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna, strukturalisme dan semiotika merupakan dua teori yang memiliki hubungan yang saling mengisi. Strukturalisme memusatkan perhatiannya pada struktur karya sastra, sedangkan semiotika memusatkan perhatiannya pada persoalan tanda-tanda yang terdapat di dalam struktur karya sastra. Berangkat dari hal tersebut, maka kedua teori ini digunakan secara bersamaan untuk menganalisis sebuah karya sastra.12 Adapun kelahiran semiotika modern, menurut Nyoman Kutha, tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh yang sering disebut sebagai bapak semiotika modern, yaitu: Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh ini mengembangkan teori semiotika di daerah yang berbeda. Saussure mengembangkan semotikanya di negara Perancis, sedangkan Pierce mengembangkan semiotikanya di negara Amerika. Kedua tokoh ini pun memiliki perbedaanperbedaan terutama dalam penerapan konsep. Perbedaan ini sesungguhnya disebabkan karena latar belakang akademik 10 Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest, Serba Serbi Semiotika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1996), vii. 11 Strukturalisme adalah aliran bahasa yang mengkaji struktur kalimat karya sastra secara komprehensif. 12 Nyoman Kutha Ratna, Teori ..., 97. 4 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an masing-masing yang berbeda. Saussure adalah seorang ahli bahasa yang menjadikan semiotika sebagai cikal bakal linguistik umum, sementara Pierce adalah seorang ahli filsafat dan logika yang menjadikan semiotika sebagai filsafat bahasa.13 Saussure membawa semiotika kepada kajian bahasa yang dikenal dengan semiotika signifikasi. Saussure mendefinisikan tanda (signe) adalah kombinasi antara konsep (concept) dan citra akustik (image acoustique).14Kemudian Saussure menggantikan istilah concept dengan istilah signifiant (penanda), dan istilah image acoustique dengan istilah signifie (petanda). Umberto Eco juga menjelaskan pengertian tanda menurut Saussure adalah sebagai entitas yang memiliki dua sisi, yaitu: signifiant (penanda) dan signifie (petanda), atau antara wahana tanda dan makna.15 Selanjutnya Saussure mengembangkan semiotika ini dalam berbagai konsep seperti; dikotomi antara konsep sintagmatik dan paradigmatik, diakronik dan sinkronik, serta konsep langue dan parole. Meskipun demikian, dalam kajian semiotika yang terpenting adalah pemahaman makna sebuah tanda sebagai hasil dari kombinasi antara signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Menurut Rachmat Djoko Pradopo penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah aspek mental, arti atau konsep di balik penanda.16 Misalnya kata burung dalam bahasa Indonesia adalah salah satu jenis hewan yang bisa terbang. Kata burung (tulisan atau lisan) dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah tanda yang mengandung penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Bentuk formal burung secara totalitas yang meliputi; (kepala, sayap, bulu, kaki dan lainnya) yang menandai sebuah tanda (burung) merupakan penanda dalam bahasa Indonesia. Sedangkan sikap mental dan makna atau konsep di balik penanda tersebut merupakan petanda (signifie) yaitu; salah satu 13 Nyoman Kutha Ratna, Teori ..., 98. Ferdinand de Saussure, Course in ...,15. 15 Umberto Eco, Teori Semiotika, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: Kreasicana, 2009), 19. 16 Rachmat Djoko Pradopo, “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”,dalam buku Jabrohim (ed.), Metodeologi Penelitian Sastra (yogyakarta: Hanindita, 2002), 68. 14 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 5 Abdul Ghaffar jenis hewan yang bisa terbang. Hal ini berlaku bagi semua bahasa komunitas di dunia. Dalam bahasa Arab burung disebut dengan istilah ṭair, dalam bahasa Inggeris menggunakan istilah bird, dalam bahasa Jawa memakai istilah manuk, dalam bahasa bugis dikatakan manu’-manu’, dan lain-lain. Istilah-istilah bahasa inilah yang disebut sebagai tanda (signe). Menurut Umberto Eco semiologi yang dikembangkan aliran saussurean ini lebih mengarah kepada semiotika signifikasi, karena hubungan antara penanda dengan petanda dikukuhkan berdasarkan sistem atau aturan-aturan dalam langue (bahasa).17 Berbeda dengan Saussure, Pierce membawa semiotika kepada kajian logika yang dikenal dengan semiotika komunikasi. Menurutnya, semiotika harus mempelajari bagaimana orang bernalar melalui tanda-tanda. Dengan tanda-tanda, orang bisa berfikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberikan makna apa yang ditampilkan alam semesta.18 Hal ini, menurut Ali Imron, menunjukkan bahwa realitas dunia dipenuhi dengan tanda-tanda yang memiliki sistem, sehingga komunikasi manusia dapat berjalan dengan baik.19Menurut Alex Sobur, tanda dalam pandangan Pierce selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut semiosis tak terbatas (unlimited semiosis).20Tanda yang ada mengalami proses produksi dan reproduksi, sehingga tanda pun akan selalu berkembang. Ketika seseorang menuturkan kata, maka secara tidak langsung orang tersebut telah memproduksi tanda. Umberto Eco, dalam hal ini, menggambarkan “ketika saya mengucapkan kata atau citra (atau semacamnya), saya mesti bekerja untuk mengucapkan semua itu dengan jelas dalam serangkaian fungsi tanda-tanda yang bisa diterima dan dipahami secara semantik. Begitu pula ketika saya menerima sebuah kalimat, meskipun saya tidak harus memproduksi tanda-tanda dari kalimat itu, namun saya mesti bekerja untuk menafsirkan 17 Umberto Eco, Teori Semiotika...,19. Panuti Sudjiman (ed.), Serba Serbi ...,1. 19 Ali Imron, Semiotika al-Qur’ãn: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf, cet. ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2011), 14. 20 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), xiii. 18 6 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an semua itu.21Pernyataan yang disampaikan Eco ini, menurut Ali Imron, dapat dimisalkan ketika si A menuturkan sebuah kalimat kepada si B, maka dengan sendirinya si A telah memproduksi tanda sesuai dengan kode atau aturan yang berlaku supaya kalimat (pesan) dapat diterima dan dipahami oleh si B. Demikian pula si B yang mendengarkan kalimat (pesan) dari si A akan bekerja melakukan penafsiran terhadap kalimat tersebut. Pada saat si B melakukan penafsiran terhadap kalimat tersebut, maka si B berpeluang untuk mengubah kode, sehingga pesan dapat dipahaminya. Apabila kemudian si B menuturkan pesan tersebut kepada si C (orang lain) dengan kalimat yang sama, maka si C pun akan melakukan penafsiran yang mungkin berbeda dengan si B ketika menafsirkan pesan yang diterima dari si A.22 D. Fungsi Semiotika dalam Tafsir al-Qur’an Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda-tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun tanda non verbal.23Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari akan selalu dijumpai beranekaragam tanda yang harus dipahami dan ditafsirkan oleh manusia. Pemahaman dan penafsiran tandatanda yang tepat dan akurat merupakan persoalan penting, sebab pemahaman atau penafsiran yang berbeda antar individu dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman dalam memahami maupun menafsirkan tanda-tanda inilah yang terkadang memicu terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat. Memang suatu hal yang harus diakui, bahwa bidang-bidang penerapan semiotika sangat luas dan tidak terbatas, sesuai dengan realitas dunia ini yang dipenuhi dengan tanda-tanda yang memiliki sistem, aturan, dan konvesi yang harus dipahami dan ditafsirkan oleh manusia. Bila semiotika dikaitkan dengan al-Qur’ãn sebagai manuskrip teks (ayat), maka al-Qur’ãn yang menggunakan bahasa Arab sebagai media, merupakan lahan subur bagi kajian semiotika. Sebab di dalam al-Qur’ãn terdapat tanda-tanda (ayat21 Umberto Eco, Teori Semiotika..., 228. Ali Imron, Semiotika al-Qur’ãn..., 23. 23 Nyoman Kutha Ratna, Teori ...,105. 22 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 7 Abdul Ghaffar ayat) yang memiliki arti, yang dapat dikaji, dianalisis dan ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan semiologi. Sebagai diketahui, bahwa al-Qur’ãn memiliki satuan-satuan dasar yang disebut dengan ayat (tanda).24Tanda dalam al-Qur’ãn tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya, seperti: huruf, kata (Arab disebut kalimat), dan kalimat (Arab disebut jumlah), tetapi totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing unsur termasuk dalam kategori tanda-tanda al-Qur’ãn. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur’ãn adalah serangkain tanda-tanda yang memiliki arti. Dunia tafsir, memperlakukan al-Qur’ãn sebagai teks kitab suci, seperti halnya yang dilakukan oleh banyak ahli tafsir klasik maupun pemikir Islam kontemporer. Perlakuan seperti ini, sesungguhnya menurut Isutzu, sangatlah menarik, karena hal ini mengingat konsekuensi dari perlakuan tersebut yang menempatkan wahyu sebagai hasil komunikasi antara Tuhan dengan manusia, yakni dengan utusan-Nya, dimana Tuhan sebagai pengirim wahyu yang bersifat aktif, dan manusia sebagai penerima wahyu yang bersifat pasif, sedangkan alQur’ãn (wahyu) adalah sebagai kode komunikasi. Komunikasi verbal tersebut, dalam kaca mata linguistik bisa dianggap sebagai model komunikasi antara komunikator dengan komunikan dengan menggunakan kode, tanda atau simbol komunikasi.25 Komunikasi yang dimaksud dalam hal ini, adalah Tuhan sebagai komunikator aktif dan manusia sebagai komunikan pasif. Dengan kata lain, manusia sebagai komunikan pasif menerima pesan berupa tanda-tanda ataupun simbol-simbol (ayat-ayat al-Qur’ãn) melalui kode komunikasi yang dipakai oleh Tuhan. Komunikasi inilah, berdasarkan kajian Teologi Islam Klasik, menurut al-Kirmãni (w.786/1384), bisa berupa dua bentuk; pertama, komunikasi linguistik atau verbal, dalam bentuk bahasa Arab, dan kedua, komunikasi non-linguistik, yakni berupa tanda-tanda atau simbol-simbol alam. Komunikasi linguistik antara Tuhan dengan manusia hanya bisa terjadi 24 Abũ Zayd, An-Naṣ wa as-Sulṭah ...,169. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qura’nic Weltanschaûng, (Kualalumpur: Islamic book Trust, 2002), 154. 25 8 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an tatkala ada “kesetaraan” antara keduanya. Selanjutnya, alKirmãni, menegaskan bahwa pesan Tuhan yang disampaikan kepada manusia adalah pesan dalam bentuk verbal, dan secara teoritis, pesan tersebut tidak mungkin dipahami serta dicerna tanpa didahului kesetaraan status. Dalam hal ini, manusia ditingkatkan statusnya sampai pada derajat malakut (malaikat). Sedangkan Tuhan menyesuaikan derajat ketuhanan-Nya.26 Terakait dengan komunikasi sebagai teori filosofis bahasa, menurut al-Jãḥiz (w.255 H/868 M.), makna-makna (ma‘ãni) adalah sesuatu yang berada dalam benak seseorang, terkonsentrasi sedemikian rupa, dan tersimpan di dalam jiwa manusia yang paling dalam, tersembunyi dalam pikiran yang sangat jauh, sehingga tidak bisa diketahui oleh siapapun juga dari si pemilik makna tersebut kecuali dengan menggunakan perantara. Perantara ini bisa berupa simbol bunyi bahasa yang tertulis, lisan, dan isyarat yang telah disepakati dalam komunitas tertentu atau berupa perangkat lainnya.27Dalam istilah linguitik modern, adalah elemen-elemen bahasa sebagai perangkat komunikasi, baik tertulis maupun tidak, yang kemudian dinamakan tanda, kode atau simbol. Selanjutnya al-Jãhiz, dalam kaitan ini, menyebut lima bentuk kode komunikasi, yaitu; 1) kata (lafaẓ); 2) tanda atau isyarat (isyãrah); 3) konvensi (‘aqd); 4) kondisi (ḥãl); 5) korelasi (nisbah).28Dengan demikian, menurut penulis, al-Jãhiz berkeyakinan adanya terdapat hubungan yang dinamis antara makna-makna kode tersebut dengan al-Qur’ãn. Baginya, relasi yang dinamis tersebut tergambar dalam dalãlah (ma‘ãni) yang dimiliki oleh al-Qur’ãn, ayat-ayatnya, dan prinsip-prinsip kosa katanya. Dengan mengacu pada pandangan-pandangan semiotika komunikasi di atas, maka dapat dipahami bahwa teks-teks alQur’ãn merupakan sekumpulan kode-kode atau tanda-tanda 26 Syams ad-Dĩn Ibn Yũsuf al-Kirmãnĩ, Syarh Ṣaḥĩḥ al-Bukhãri (Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, t.t.), I: 28. 27 Al-Jãḥiz, Al-Bayãn wa at-Tabyĩn (Kairo: Dãr aṭ-Ṭabã‘ah wa anNasyr al-Islãmiyyah, 1985), I: 42. المتصورة فى أذهانهم والمتطلبة فى نفوسهم والمتصلة بخواطرهم،المعانى القائمة فى صدور العباد ال يعرف االنسان، مسـتورة خفية وبعيدة ومحجوبة مكنونة فى معانى معدودة،والحادثة عن فكـرهم ضمبر صاحبه وال حاجة أخبه اال بواسطة 28 Al-Jãḥiz, Al-Bayãn wa at-Tabyĩn, 43-44. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 9 Abdul Ghaffar bersistem yang mengandung pesan-pesan dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia. Hal ini berarti telah terjadi komunikasi antara pemberi dan penerima pesan, yaitu komunikasi antara Tuhan dengan Manusia. Komunikasi ini terjadi melalui tiga cara sesuai dengan informasi petunjuk dari al-Qur’ãn itu sendiri dalam Q.S. Asy-Syurã (42) ayat 51,29yaitu dengan perantara wahyu, di balik tabir, dan dengan mengutus malaikat. Komunikasi melalui perantara wahyu maksudnya adalah Allah menyampaikan wahyunya berupa ilham dalam bentuk makna kepada orang yang menjadi sasaran pemberian wahyu tanpa melalui lafaẓ yang diciptakannya, tetapi melalui penyingkapan makna itu kepada orang tersebut, melalui suatu perbuatan yang diperbuatnya di dalam diri orang yang diajak berbicara.30Dan komunikasi melalui cara di balik tabir maksudnya adalah proses komunikasi dua arah secara timbal balik. Wahyu menggunakan kalam atau bahasa yang hanya bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang 31 berkomunikasi. Sedangkan komunikasi melalui utusan malaikat, maksudnya adalah komunikasi tidak langsung. Jalinan komunikasi adalah dari Allah kepada malaikat lalu kepada Rasul. Adapun kode-kode32yang digunakan untuk berkomunikasi mulai dari Allah Swt., ke Jibril, lalu ke nabi Muhammad Saw., merupakan persoalan problematik. Jawaban yang diberikan para ilmuan cenderung spekulatif, meskipun berlandaskan argumen. Namun demikian, persoalan penting mengenai proses komunkasi selanjutnya adalah komunikasi antara nabi Muhammad Saw., dengan umatnya. Media yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Arab, bahkan al29 Q.S. Asy-Syurã (42): 51. Artinya:”Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. 30 Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), 41. 31 Naṣr Ḥamid Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ: Dirãsah fi ‘Ulũm al-Qur’ãn (Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, 1993), 41. Kutipan selanjutnya ditulis Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ… 32 Kode-kode adalah tata aturan yang sesuai dengan konvensi-konvensi yang berlaku di dalam al-Qur’ãn. 10 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an Qur’ãn sendiri dalam beberapa teksnya menyatakan bahwa dirinya sebagai qur’ãnan ‘arabiyyan,33sehingga kode-kode yang dipakai adalah kode-kode bahasa yang digunakan oleh alQur’ãn. Dalam hal ini, kode-kode lingguistik Arab merupakan persoalan penting untuk menemukan makna semiotik alQur’ãn.34 E. Teori Semiotika dalam menafsirkan al-Qur’ãn Dalam ranah kajian semiotik, teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn adalah sekumpulan tanda yang di dalamnya terdapat hubungan dialektika antara sinifiant (penanda) dan signifie (petanda). Penanda al-Qur’ãn adalah eksistensi teks yang berupa bahasa Arab, meliputi: huruf, kata, kalimat (ayat), surah maupun hubungan masing-masing unsur. Kompleksitas unsur-unsur yang saling berhubungan tersebut juga termasuk tanda alQur’ãn. Sedangkan petanda al-Qur’ãn merupakan aspek mental, arti (makna) atau konsep yang berada di balik penanda alQur’ãn.35Hubungan antara penanda dan petanda al-Qur’ãn ditentukan oleh konvensi36yang melingkupi teks al-Qur’ãn. Menurut Naṣr Hamĩd Abũ Zayd, al-Qur’ãn memiliki satuansatuan dasar yang dinamakan ayat (tanda).37Ayat dalam alQur’ãn tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya, seperti: huruf, kata dan kalimat saja, akan tetapi termasuk totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing unsur tersebut termasuk dalam kategori tanda (signe) dalam al-Qur’ãn. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wujud penampakan alQur’ãn adalah serangkaian tanda-tanda yang memili makna atau arti. 33 Q.S.Asy-Syurã (42):7. Artinya: “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) al-Qur’ãn dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk syurga dan segolongan masuk neraka”. 34 Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ ..., 40. 35 Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ ..., 41. 36 Konvensi bahasa merupakan kode atau tata aturan dalam ruang lingkup kajian lingguistik yang meliputi: garammatikal, semantik dan semiotik. 37 Abũ Zayd, An-Naṣ wa as-Sulṭah…, 169. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 11 Abdul Ghaffar Totalitas teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn adalah bahasa Arab. Bahasa Arab adalah sistem tanda. Maka ayat-ayat al-Qur’ãn adalah sistem tanda. Pengkajian makna (arti) ayat-ayat alQur’ãn sebagai sistem tanda disebut meaning dalam kajian semiotik. Menurut Ibnu ‘Arabi, sebagai dikutip oleh as-Suyũṭi, menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’ãn saling berhubungan antara satu dengan lain, sehingga diibaratkan satu kata yang serasi maknanya dan terstruktur bangunannya.38Keserasian struktur dan makna ayat-ayat inilah yang disebut munasabah. Menurut Naṣr Hamĩd Abũ Zayd dasar munãsabah (keserasian) antar ayat dan antars urah disebabkan ayat-ayat al-Qur’ãn itu sendiri merupakan kesatuan struktural yang masing-masing bagian saling berkaitan.39Hal ini menunjukkah bahwa homologi totalitas struktur internal teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn merupakan sistem tanda yang saling berhubungan dan memiliki konvensikonvensi atau aturan-aturan sendiri untuk menemukan maknamakna yang terkandung di dalam ayat-ayatnya. Karena totalitas ayat-ayat al-Qur’ãn merupakan rangkaian kumpulan tanda-tanda yang memiliki makna tersendiri sesuai dengan konvensikonvensi atau aturan-aturan bahasa Arab, maka untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam setiap kata, kalimat dan strukturnya diperlukan kajian analisis lingguistik secara komprehensip. Dalam studi semiotik, ayat adalah tanda yang memiliki makna. Makna yang terkandung dalam ayat dapat diketahui lewat kajian semiotika bahasa yang disebut semiotika signifikasi. Menurut Muhammad Arkoun, seorang pakar semiotika alQur’ãn, secara umum seorang mufassir harus memulai pembahasannya (penafsirannya) dengan pengantar linguistik secara panjang lebar.40 Muhammad Arkoun, dalam kajian semiotiknya menjelaskan bahwa al-Qur’ãn sebagai sumber primer ajaran Islam dan salah satu teks keagamaan terpenting mengandung bahasa-bahasa simbolis yang kaya akan analisisanalisis tematik dan konsepual. Analisis itu tidak melemahkan 38 As-Suyũṭĩ, Al-Itqãn ..., 470. Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ…, 160. 40 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 1998), 113. 39 12 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 al-Qur’ãn, terj. Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an jaringan hubungan antarkata, tetapi justeru memperkaya dan memperluas lewat metaforisasi, simbolisasi, dan mitisisasi (bukan mitologisasi). Semua itu adalah lahan subur untuk menggunakan teori-teori modern yang secara semiotis dan antropologis melampaui bangunan teologi yang bisa membebaskan dari dogmatisme tradsional. Sebab selama ini, teks-teks kitab suci keagamaan telah berkembang sedemikian rupa sehingga banyak terbebani oleh muatan-muatan ideologis. Lebih parah lagi, tafsir-tafsir al-Qur’ãn yang penuh muatan ideologis semacam ini justeru berkembang dengan klaim-klaim kebenaran tunggal sehingga ia menjadi terlalu hegemonik, mendominasi, menindas, tidak kontekstual, dan membelenggu kebebasan berpikir.41 Adapun upaya Arkoun untuk menerapkan teori semiotika al-Qur’ãn adalah dalam rangka membebaskan wacana alQur’ãniah dari belenggu-belenggu tafsir ideologis tersebut. Proyek pembebasan teks-teks keagamaan semacam itu diterapkan dalam kajian al-Qur’ãn, khususnya melalui penerapan semiotika. Alasan Arkoun menggunakan semiotika untuk mengkaji al-Qur’ãn adalah karena ungkapan-ungkapan di dalam teks-teks kitab suci yang penuh dengan simbolisme merupakan lahan subur bagi semiotika. Secara lingguistik, alQur’ãn kaya dengan kajian semiotis, namun kekayaan bahasa simbolism al-Qur’ãn yang mencerahkan dan membebaskan telah dinalar dan dikaji dengan konsep logosentris yang semenamena. Meskipun ini merupakan dampak dari bahasa Arab (sebagai bahasa al-Qur’ãn) dan bahasa-bahasa lain yang telah dilogiskan dalam struktur bahasa al-Qur’ãn juga bersifat mitis, dimana mitos bukanlah fabel atau kisah khayalan (ustũrah), yang tidak memiliki dasar nyata.42 F. Pembacaan Semiotik dalam Memahami al-Qur’an Tulisan Muhammad Arkoun di dalam bukunya yang berjudul “Berbagai Pembacaan Al-Qur’ãn”, secara khusus memperkenalkan metode pembacaan al-Qur’ãn yang lebih bersifat epistemologis-teoritis. Dalam konteks ini, Arkoun dalam kerangka grand design kritik nalar Islam melihat 41 42 Muhammad Arkoun, Lectures du Coran (Tunis: Alif, 1991), 44. Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, 45-46. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 13 Abdul Ghaffar pendekatan kontemporer, seperti hermeneutika dan semiotika merupakan instrumen pembacaan yang tidak bisa dielakkan oleh umat Islam. Semiotika misalnya, membantu memahami teksteks al-Qur’ãn dalam relasinya dengan jaringan makna yang terajut dalam sistem penanda dan petanda.43 Menurut Muhammad Arkoun, pembacaan al-Qur’ãn secara semiotik, harus diperkaya dan diperluas dengan berbagai perkembangan antropologi sosial, budaya, dan politik. Penggunaan multi-disipliner ini dimaksudkan untuk membebaskan wawasan intelektual dari praduga-praduga teologis dan filosofis kuno agar bisa membukakan jalan baru serta dimungkinkannya penafsiran ulang atas pemahaman konvensional atas teks-teks keagamaan yang didominasi dan dibelenggu dengan muatan-muatan ideologis.44Meskipun Arkoun memanfaatkan dan menggunakan semiotika untuk mengkaji teks al-Qur’ãn, akan tetapi dia tidak mau terbelenggu oleh batas-batas semiotika yang ketat. Oleh Karena itu, analisis semiotika Arkoun lebih tepat disebut sebagai “pembahasan linguistik atau hermeneutik” dari pada “pembahasan semiotis”. Pelampauan batas-batas analisis semiotika Arkoun bisa dilihat, misalnya, pada pernyataannya tentang Kitab Suci. Menurutnya, al-Qur’ãn telah menjadi Corpus Officielle Clos (Korpus Resmi Tertutup), padahal sebenarnya al-Qur’ãn tetap terbuka untuk dimaknai secara berbeda dan beragam.45Meskipun al-Qur’ãn dianggap korpus resmi tertutup, namun tetap terbuka dalam setiap pemaknaan karena al-Qur’ãn sendiri merupakan hudan li an-nãs (petunjuk bagi manusia) untuk selalu dipedomani dalam kehidupan di dunia ini, dan selalu dipahami, dianalisis dan dinterpretasikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan pembahasan tentang tanda (ayat) ini, kita akan merujuk pada Q.S. Fuṣṣilat (41): 53. Dalam kamus Lisãn al-‘Arab dijelaskan bahwa ayat 53 surah Fuṣṣilat ini merupakan rujukan dasar pengetahuan tanda lewat fenomena alam, 43 Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’ãn (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 14. 44 Baedhowi, Antropologi al-Qur’ãn, (Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang Press, 2009), 185. 45 Baedhowi, Antropologi al-Qur’ãn, 187. 14 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an fenomena sosial, atau tentang diri manusia, baik dari sudut psikologis, sosiologis, maupun filosofis, yang semuanya akan mengantarkan manusia pada kebenaran (al-ḥaq) atas keesaan Allah.46Sedangkan secara etimologis, menurut pendapat arRũmi, tanda atau ayat memiliki beberapa arti, di antaranya: (a). Mu‘jizat47dalam surah al-Baqarah ayat 211; (b). 48 ’Alãmah adalah tanda di dalam surah al-Baqarah ayat 248; (c). ‘Ibrah49(ungkapan bijak) di dalam surah al-Baqarah ayat 248; (d). Ãyãt50(tanda-tanda) dalam surah ar-Rũm ayat 22.51Semua terma al-Qur’ãn ini dapat dikaitkan pembahasannya dengan semiotika al-Qur’ãn. Sedangkan menurut Montgomery Watt dan Ricard Bell mengartikan ayat sebagai; (a) fenomena alam yang merujuk pada tanda-tanda kekuasaan dan keagungan Tuhan; (b) kejadiankejadian atau objek yang disampaikan oleh seorang Rasul untuk memperkuat pesan-pesan yang datang dari Allah; (c) tandatanda yang diterima oleh seorang rasul; dan (d) sebagai tanda bagian dari al-Qur’ãn.52Dari keempat makna ayat (tanda) tersebut, semuanya tepat untuk dikaitkan dengan pembahasan semiotika al-Qur’ãn. Selain itu, di dalam al-Qur’ãn sendiri juga terdapat banyak ayat-ayat mutasyãbihah dengan bentuk-bentuk redaksi metaforis yang bermakna simbolis. Oleh sebab itu, bukanlah suatu bentuk pemaksaan jika al-Qur’ãn dikaji dari sisi kebahasaan dengan pendekatan semiotik, meskipun tentunya al-Qur’ãn itu bukan kitab semiotika. Jadi tujuan semiotika dalam kajian al-Qur’ãn, menurut Muhammad Arkoun, adalah untuk memperkaya kajian lewat disiplin keilmuan tersebut, di samping juga untuk menemukan keluasan dan kedalaman makna kandungan alQur’ãn. Dengan penggunaan analisis semiotika, kita akan bisa 46 Ibnu Manẓũr, Lisãn al-‘Arab, (Beirũt: Dãr al-Ma‘ãrif, t.t.), I: 235. Q.S. Al-Baqarah(2): 211. 48 Q.S. Al-Baqarah(2): 248. 49 Q.S. Al-Baqarah(2): 248. 50 Q.S ar-Rũm (30): 22. 51 Ar-Rũmĩ, Ulũm al-Qur’ãn, Studi Kompleksitas al-Qur’ãn (Yogyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997), 152-153. 52 Montgomery Watt and Ricard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburg: Edinburg University Press, 1977), 122. 47 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 15 Abdul Ghaffar melihat teks secara global dan melihatnya sebagai suatu sistem kesatuan internal yang saling terkait. Kesatuan tersebut bisa dianalisis lewat tanda-tanda yang ada sehingga menghasilkan berbagai makna.53 Keterkaitan dengan keberadaan al-Qur’ãn sebagai teks bahasa Arab, maka mengharuskan seorang mufassir melakukan analisis semiotik sehingga kode, simbol dan tanda atau konvensi linguistik memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam ranah kajian semiotika al-Qur’ãn, mengharuskan pemahaman dan penafsirannya melalui pembacaan ayat-ayat al-Qur’ãn sebagai sistem tanda yang menekankan analisis konvensi linguistik untuk melahirkan makna. Pembacaan model inilah yang disebut semiotika tingkat pertama (meaning).54Selain itu, pembacaan al-Qur’ãn juga menekankan analisis konvensikonvensi yang lebih tinggi dari konvensi bahasa, seperti hubungan internal dan eksternal teks dan intertekstualitas, latar belakang historis, kritik sejarah, maupun perangkat studi ulũm al-Qur’ãn yang lain. Konvensi-konvensi inilah yang disebut semiotika tingkat kedua (signifikansi atau al-magzã).55Dalam semiotika al-Qur’ãn, semua ayat-ayat al-Qur’ãn merupakan rangkaian tanda-tanda yang mengandung arti. Model pembacaan ayat-ayat al-Qur’ãn sebagai salah satu sistem tanda, dapat diteliti maknanya melalui dua tahapan pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif.56Kedua pembacaan ini masing-masing menghasilkan tingkatan makna yang berbeda. 1. Ṭãgũt dalam Makna Heuristik Pembacaan heuristik adalah upaya analisis teks untuk melacak maknanya dilihat dari aspek linguistik (bahasa) yang penekanannya diarahkan kepada kajian morfologis (ilmu ṣaraf),57sintaksis (ilmu naḥw)58dan semantik (ilmu 53 Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, (Tunis: Alif, 1991), 40-41. Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta: UGM Press, 2007), 122. 55 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, 123. 56 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 135. 57 Morfologi adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Tugasnya menganalisis kosa kata jenis tertentu untuk mengubah bentuknya, seperti 54 16 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an sastra).59Pembacaan model ini sangat penting untuk mencari makna semiotika tingkat pertama yang disebut meaning. Pembacaan model ini terhadap ayat-ayat dalam al-Qur’ãn, sesungguhnya dapat dilacak dan diteliti maknanya dalam perspektif semiotika signifikasi. Oleh sebab itu, untuk melacak makna ayat-ayat al-Qur’ãn sebagai sistem tanda diperlukan pembacaan heuristik sebagai langkah awal. Dalam makalah ini, penulis berusaha melacak makna kata ṭãgũt melalui analisis pembacaan heuristik untuk menemukan makna-maknanya pada tingkat pertama. Pembacan ini akan menitikberatkan penafsirannya pada aspek analisis linguistik (konvensi-konvensi bahasa). Pada prinsipnya pembacaan heuristik terhadap ayatayat al-Qur’an adalah analisis tanda-tanda (ayat-ayat) yang memiliki unsur penanda dan petanda. Dalam hal ini, dapat dimisalkan manuskrip kata ṭãgũt dalam al-Qur’ãn adalah sebuah tanda, dan bahasa Arab adalah sebuah penanda (signifiant or interpretandus) yang mengandung konsep di balik tanda tersebut, dan sikap mental atau konsep makna di balik penanda tersebut adalah petanda. Maka dengan demikian, pembacaan heuristik terhadap ayat-ayat tentang ṭãgũt bertujuan untuk menganalisis tanda untuk mencari penanda dan petanda sehingga pada kesimpulannya akan menemukan makna (signifie or interpretant) sesuai dengan pembacaan semiotik tingkat pertama. Sebagai contoh, ungkapan ṭãgũt dalam al-Qur’ãn pada surah al-Baqarah ayat 256, yang berbunyi: فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن باهلل فقد استمسك بالعروة الوثقى الانصام لها... ... nomina (isim), kata kerja(fi‘il), pronomina(ḍamĩr), maunpun afiksasi (kata imbuhan). Baca buku J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum (Yogyakarta: UGM Press, 2008), 99. 58 Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan kata dalam tuturan. Setiap kata menduduki posisi tertentu secara gramatikal, sehingga melahirkan kalimat yang dapat dipahami. Ibid, 161. 59 Semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschaung (pandangan dunia) dari masyarakat pengguna bahasa tersebut. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man..., 3. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 17 Abdul Ghaffar Artinya “karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada ṭãgũt dan beriman kepada Allah, maka sesunggunya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…”.60 Dalam perspektif semiotika al-Qur’ãn, kata ṭãgũt dan rangkaian struktur (ayat)nya adalah tanda-tanda yang terdiri dari unsur-unsur penanda dan petanda. Penanda, dalam ayat ini, adalah bentuk formal (acuan) yang menandai manuskrip kata ṭãgũt sebagai bahasa Arab. Sedangkan petanda dalam ayat ini adalah sikap mental atau konsep makna yang berada di balik penanda tersebut. Maka kata ṭãgũt, dalam perspektif semiotika al-Qur’ãn, merupakan sebuah tanda yang mengacu kepada bahasa Arab yang menunjukkan kepada makna (arti) berdasarkan konvensi-konvensi pengguna bahasa. Kata aṭ-ṭãgũt الطااغوتpada ayat 256 surah al-Baqarah di atas, berdasarkan pembacaan heuristik adalah sebuah tanda (simbol) yang mengandung acuan tanda (penanda) dan makna (petanda). Sebagai tanda, aṭ-ṭãgũt merupakan manuskrip yang berbahasa Arab dalam bentuk isim (nomina) yang memiliki kata dasar sebagai penanda, dan juga memiliki konsep makna sebagai petanda. Dalam terma morfologis sebagai bagian dari kajian etimologis (ilmu asal-usul kata) atau kajian leksikologis (berhubungan dengan kamus), kata aṭ-ṭãgũt berasal dari kata: طغااى يطغااو طغااوا وطغوانااا: artinya: 61.( جاااوا القاادر والحااـدmelampaui ukuran dan batas), dan kata ṭãgũt (طااغوتartinya adalah setiap sesuatu yang melampaui ukuran dan batas. Makna ini senada dalam kamus al-Munawwir, bahwa ṭãgũt berasal dari akar kata: طغاى يطغاى طغياا و طغياناا, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari akar kata: طغااى يطغااو طغااوا وطغااوا وطغوانااا, artinya: melampaui ukuran dan batas, dan kata ṭãgũt (طااغوتartinya adalah setiap yang disembah selain Allah Swt.62Maka dengan demikian, katakata dari ṭagã-yaṭgũ-ṭagwun dan seterusnya merupakan sistem 60 Q.S. Al-Baqarah (2) : 256. Lewis Ma’lũf, Al-Munjid fî al-Lugah wa al-A‘lãm, cet. ke-24, (Beirũt: Dãr al-Masyriq, 1989), 466-467. 62 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. ke-25, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 854. 61 18 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an tanda yang mengacu kepada perubahan kata yang dapat mempengaruhi perubahan makna sesuai dengan ṣĩgah (bentuk) masing-masing. Sedangkan dalam terma sintaksis, kata aṭ-ṭãgũt dalam ayat 256 surah al-Baqarah di atas, juga merupakan sebuah tanda yang mengacu kepada posisinya sebagai obyek dari subjek man dan predikat yakfur, sehingga maknanya adalah barangsiapa ingkar kepada ṭãgũt. Clausa ini belum bisa dipahami dengan sempurna, karena di dalamnya terdapat unsur clausa bersyarat yang membutuhkan jawaban. Demikian pula clausa sesudahnya yaitu; kata Allah (هللا, posisinya adalah objek dari subjek man dan predikat yu’min, sehingga maknanya adalah barangsiapa beriman kepada Allah. Kedua clausa bersyarat ini, dipisahkan oleh huruf aṭaf waw ()و, dan keduanya membutuhkan jawaban yang sama, yaitu clausa sesudahnya yang berbunyi: فقاـد اسـاـتمسك بالعاـروة الاوثقى الانفصاـام لهاا. Artinya : “maka sesunggunya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. Dengan demikian, maka struktur ayat di atas dapat dipahami maknanya dengan sempurna, yaitu barangsiapa yang ingkar kepada ṭãgũt dan beriman kepada Allah maka sesunggunya ia telah berpegang pada buhul tali (agama) yang amat kuat yang tidak akan putus. Maka dengan demikian, analisis sintaksis ini menunjukkan bahwa kata aṭ-ṭãgũt adalah sebuah tanda yang mengacu kepada aktifitas kekufuran (keingkaran) sebagai antonim (lawan kata) dari pada aktifitas keimanan. Adapun dalam terma semantik, kata at-ṭãgũt dalam ayat 256 surah al-Baqarah di atas, juga merupakan sebuah tanda yang memiliki konvensi-konvensi sesuai dengan kaidah-kaidah atau konvensi-konvensi semantik. Namun bila hal ini, dikaitkan dengan semiotika komunikasi dalam memperlakukan al-Qur’ãn sebagai teks, seperti yang dilakukan oleh banyak pemikir klasik maupun kontemporer, maka sesungguhnya persoalan tersebut sangat menarik. Mengingat bahwa konsekuensi dari perlakuan tersebut menempatkan wahyu sebagai hasil komunikasi Allah dengan manusia (Muhammad Saw) sebagai utusan-Nya, dimana Allah sebagai penyampai atau pengirim wahyu yang bersifat aktif, dan manusia sebagai penerima wahyu yang bersifat pasif, sedangkan ayat-ayat al-Qur’ãn, dalam hal ini, adalah sebagai TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 19 Abdul Ghaffar kode komunikasi verbal. Dalam kacamata linguistik, menurut Isutzu, bisa juga disebut sebagai model komunikasi antara komunikator dan komunikan dengan menggunakan kode komunikasi.63 Oleh karena itu, kosa kata ṭãgũt dalam kajian semantik, menurut istilah semiotika komunikasi, adalah komunikasi verbal (linguistik) atau komunikasi non verbal (tanda-tanda) yang memiliki makna dasar dan makna relasional. Makna dasarnya adalah setiap sesuatu yang melampaui batas ketentuan Allah, sedang makna relationalnya mengandung banyak arti (multi meanings) sesuai dengan aspek pendekatan ilmu yang digunakan dalam mendialogkan kosa kata tersebut. 2 Ṭãgũt dalam Makna Retroaktif Pembacaan retroaktif adalah upaya analisis teks untuk memperoleh maknanya dilihat aspek hubungan internal teks (ayat-ayat), intertekstualitas, kontekstualitas, latar belakang historis (asbãb an-nuzũl), kritik sejarah, dan perangkat studi ulum al-Qur’ãn lainnya yang berkaitan dengan konvensikonvensi di luar konvensi linguistik.64Pembacaan model seperti ini lebih penting dari pada pembacaan tingkat pertama, karena pembacaan model ini melahirkan makna semiotika tingkat kedua, yang disebut dengan signifikansi atau disebut al-magzã meminjam istilah Ḥassan Ḥanafi, Abũ Zayd dan Fazlurrahman. Analisis signifikansi inilah yang akan melahirkan multi makna dari sebuah tanda berdasarkan konvensi-konvensi pengguna bahasa. Asy-Syãṭibi, dalam aspek internal teks atau ayat-ayat alQur’ãn, menyatakan bahwa kosa kata dari rangkaian ayat-ayat al-Qur’ãn adalah sebuah teks yang karakter tekstualitasnya terefleksikan dalam kosa kata yang dimaksud. Oleh sebab itu, dalam keserjanaan Islam klasik telah dikenal secara umum bahwa membiarkan al-Qur’ãn berbicara tentang dirinya sendiri merupakan metode unggulan dalam menafsirkan al-Qur’ãn. Itulah sebabnya, asy-Syãṭibi, menetapkan bahwa banyak ayatayat al-Qur’ãn yang hanya dapat dipahami dengan benar melalui 63 64 Isutzu, God and Man ..., 154. Ali Imron, Semiotika..., 49. 20 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an ayat-ayat yang lain.65Menurut Lemke, metode asy-Syãṭibi ini, mendekati dengan konsep intertekstualitas dalam ilmu sastra modern. Dalam khasanah teologi ilmu keserjanaan Islam klasik telah disepakati bahwa untuk memahami al-Qur’ãn sebagai teks tidak memerlukan teks yang lain. Oleh karenanya, konsep intertekstualitas hanya berlaku dalam intra teks-teks al-Qur’ãn itu sendiri.66Sebagai contoh, makna kata al-qãri‘ah, dalam surah al-Qãri‘ah,67ditafsirkan maknanya dengan ayat-ayat sesudahnya sehingga maknanya dengan jelas dapat dipahami oleh siapa saja yang membacanya dan ingin menafsirkannya dengan baik dan benar. Banyak lagi contoh ayat-ayat al-Qur’ãn yang berbicara tentang dirinya sendiri, yang dikenal dengan istilah tafsĩr alQur’ãn bi al-Qur’ãn. Contoh lain, dengan analisis kesatuan struktural ayat 256 surah al-Baqarah di atas, masing-masing bagian saling berkaitan. Homologi yang terjalin antarbagian teks tersebut memiliki kedudukan penting. Kesatuan struktural yang terjalin dalam teks ayat tersebut menuntut adanya analisis terhadap masing-masing bagian secara menyeluruh. Oleh sebab itu, salah satu tugas semiotika al-Qur’ãn adalah mecari hubunganhubungan tersebut. Dalam hal ini, munasabah internal teks ayatayat di atas mempunyai peran penting dalam kajian ini. Contoh lain pembacaan retroaktif yang berkaitan dengan makna signifikansi (al-magzã) adalah penafsiran makna ṭãgũt yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid68 di dalam Ensiklopedinya, bahwa kata ṭãgũt dalam al-Qur’ãn, dapat diartikan sebagai “sistem tiranik atau kecenderungan tiranik”. Alasannya, karena al-Qur’ãn sendiri mengingatkan manusia bahwa kecenderungan tiranik itu ada dalam diri setiap orang, berakar dalam titik-titik kelemahan manusia. Kecenderungan tiranik itu muncul setiap kali seorang kehilangan wawasan yang lebih luas, yang menjerumuskannya kepada tujuan-tujuan hidup 65 Asy-Syãṭibi, Al-Muwafaqat fi Uṣul al-Aḥkãm (Kairo: t.p., 1341 H.), II: 254. 66 Lemke, Ideology, Intertextuality and Notion of Register, dalam Benson & Greaves, (ed.), Systematic Perspectives and Discourse (London: Nerwood N.J., 1958), 158. 67 Q.S. Al-Qãri`ah (101): 1-5. 68 Nurcholish Madjid, Ensiklopedi ..., 3390-3391. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 21 Abdul Ghaffar jangka pendek berupa “kepentingan-kepentingan tertanam” (vested interests), yaitu kepentingan dalam kehidupan duniawi yang kurang luhur, seperti penguasaan kepada harta benda. Sebagaimana firman Allah Swt., dalam surah al-‘Alaq (96): 6-7, أن س، ان االنسااان ليطغااىArtinya menurut yang berbunyi: راه اسااتغنى Nurcholish Madjid: “Sesungguhnya manusia itu cenderung berlaku tiranik, yaitu ketika ia melihat dirinya serba berkecukupan”.69Serba berkecukupan (istagnã, yakni merasa kaya), adalah permulaan dari tindakan dan sikap tiranik, dimana dengan perasaan serba cukup itu seseorang menjadi tidak lagi cukup rendah hati untuk menunjukkan respek kepada orang lain. Inilah salah satu pangkal bencana hidup manusia dalam tatanan sosialnya. Pendapat Nurcholish Madjid ini didukung oleh firman Allah Swt. yang termaktub dalam surah an-Nãzi‘ãt (79): 37-39, yang berbunyi: فأمااا ماان طغااى وأثاار الحياااة الاادنيا فااان الجحاايم هااى المااأوى (Artinya: “Maka ada pun orang yang bertindak tiranik (ṭagã), dan lebih mementingkan kehidupan duniawi, maka neraka jahim-lah tempat ia kembali”).70 Ketika manusia kehilangan wawasan kemanusiaan sebagai hamba Allah Swt., dan tergiur dengan kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat duniawi semata, dan di dalam dirinya tertanam keingiman-keinginan ambisius untuk mengejar tujuan hidup dalam jangka pendek, serta di dalam hati dan pikirannya terkontaminasi dengan kotoran-kotoran atau dosa-dosa, untuk menghalalkan segala cara dan mengharamkan yang halal, maka pada saat itu manusia akan berpotensi untuk melakukan tindakan-tindakan tiranik (ṭãgũt) dalam kehidupannya. G. Penutup Al-Qur’ãn sebagai teks (manuskrip) kitab suci umat Islam yang ditulis dalam bentuk Muṣhaf (Korpus) Usmani, adalah merupakan kumpulan dari kode-kode atau simbol-simbol berupa rangkaian ayat-ayat Allah yang terdiri dari kalãm (parole) dan qaul (langue), yang dapat diucapkan atau dibaca lalu dipahami oleh pikiran manusia, yang kemudian dari pengucapan atau pembacaan itu dapat dipahami dan dipikirkan oleh manusia, 69 70 Nurcholish Madjid, Ensiklopedi ..., 3390-3391. Q.S. An-Nãzi‘ãt (79): 37-39. 22 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an yang pada akhirnya memproduksi makna-makna yang diinginkan oleh pengarang dan pembaca. Pengucapan dan pembacaan al-Qur’ãn secara semiologis, senantiasa membuka peluang bagi para mufassir untuk mengembangkan interpretasi makna ayat-ayat-nya yang terkandung di dalamnya, karena secara totalitas teks-teks alQur’ãn merupakan wahyu Ilahi yang berbentuk sekumpulan kode-kode atau tanda-tanda (signals) yang bersistem dan mengandung dimensi makna yang berbilang. Dengan demikian, maka setiap kosa kata dari teks-teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn sebagai sistem tanda, kode atau simbol harus dapat dipahami dan ditafsirkan berdasarkan siyãq (konteks) al-kalãm, siyaq allugah, siyaq al-hãl, dan siyaq aṡ-ṡaqãfah (budaya). Daftar Pustaka Arkoun, Muhammad, Kajian Kontemporer al-Qur’ãn, terj. Hidayatullah, Bandung: Pustaka, 1998. ------, Lectures du Coran, Tunis: Alif, 1991. Baedhowi, Antropologi al-Qur’ãn, Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang Press, 2009. Eco, Umberto, Teori Semiotika, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: Kreasicana, 2009. Imron, Ali, Semiotika al-Qur’ãn: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf, cet. ke-1, Yogyakarta: Teras, 2011. Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qura’nic Weltanschaûng, Kualalumpur: Islamic book Trust, 2002. Jãḥiz (Al), Al-Bayãn wa at-Tabyĩn, Kairo: Dãr aṭ-Ṭabã‘ah wa an-Nasyr al-Islãmiyyah, 1985, I. Khũli (Al), Amĩn, Manãhij Tajdĩd fi an-Naḥw wa al-Balãgah wa at-Tafsĩr wa al-Adab, Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, 1995. Kirmãnĩ (Al), Syams ad-Dĩn Ibn Yũsuf, Syarh Ṣaḥĩḥ al-Bukhãri, Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, t.t. Lemke, Ideology, Intertextuality and Notion of Register, dalam Benson & Greaves, (ed.), Systematic Perspectives and Discourse, London: Nerwood N.J., 1958. Ma’luf (Al-), Lewis, Al-Munjid fî al-Lugah wa al-A‘lãm, cet. ke-24, Beirũt: Dãr al-Masyriq, 1989. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014 23 Abdul Ghaffar Manẓũr, Ibnu, Lisãn al-‘Arab, Jilid I., Beirũt: Dãr al-Ma‘ãrif, t.t., I. Pradopo, Rachmat Djoko, “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”, Yogyakarta: Hanindita, 2002. ------, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Rũmĩ (Ar-), Ulũm al-Qur’ãn, Studi Kompleksitas al-Qur’ãn, Yogyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997. Sa’ad, Ibnu, Aṭ-Ṭabaqãt al-Kabĩr, Leiden: K.V. Zettersteen, 1905. Saussure, Ferdinand, de, Course in General Linguisties, London: Duckworth, 1990. Sayũṭĩ (As-), Abd. Ar-Rahmãn, Al-Itqãn fĩ ‘Ulũm al-Qur’ãn, Jilid. I., Bairut: Dãr al-Fikr, t.t. Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Sudjiman, Panuti, dan Aart van Zoest, Serba Serbi Semiotika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1996. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’ãn, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Syãṭibi (Asy-), Al-Muwafaqat fi Uṣul al-Aḥkãm, Kairo: t.p., 1341 H., II Verhaar, J.W.M., Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta: UGM Press, 2008. Watt, Montgomery Watt and Ricard Bell, Introduction to the Qur’an, Edinburg: Edinburg University Press, 1977. Wijaya, Aksin, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004. Zayd, Naṣr Ḥamid Abũ, Mafhũm an-Naṣ: Dirãsah fi ‘Ulũm alQur’ãn Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li alKitãb, 1993. ______, An-Naṣ wa as-Sulṭah wa al-haqĩqãh, Beirũt: Al-Markaz aś-Śaqãfĩ al-‘Arabĩ, 2000. 24 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014