SEMIOTIKA DALAM TAFSIR AL

advertisement
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
SEMIOTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’ÃN
Abd. Ghaffar
Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Abstrak
Semiotika, bila dikaitkan dengan al-Qur’ãn sebagai manuskrip
teks (ayat-ayat), maka al-Qur’ãn adalah sebuah teks kitab suci
yang dikemas dengan casing bahasa Arab yang merupakan
kode atau simbol yang mengandung dimensi makna yang
berbilang (zũ wujũh). Oleh karena itu, al-Qur’ãn sebagai teks
(ayat-ayat) yang berbahasa Arab merupakan rangkaian tandatanda yang memiliki berbagai dimensi makna (multiple
meanings) yang dapat dikaji, dianalisis dan ditafsirkan dengan
menggunakan pendekatan semiologi. Itulah sebabnya, maka alQur’ãn dalam ilmu semiotika, merupakan satuan-satuan dasar
yang disebut dengan ayat (tanda). Tanda dalam al-Qur’ãn tidak
hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya, seperti: huruf,
kata (Arab disebut kalimat), dan kalimat (Arab disebut jumlah),
tetapi totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing
unsur termasuk dalam kategori tanda-tanda al-Qur’ãn. Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur’ãn adalah serangkain
tanda-tanda yang memiliki arti (makna).
Kata Kunci: Al-Qur’an, Semiotika, Signifiant (penanda) dan
Signifie (petanda).
A. Pendahuluan
Al-Qur’ãn sebagai teks (tanda-tanda) kitab suci, senantiasa
dapat ditafsirkan, dan selalu terbuka peluang untuk dikaji dan
dipikirkan makna ayat-ayat-nya, sesuai dengan posisinya
sebagai “tibyãn li kulli syai” (referensi penafsiran terhadap
segala sesuatu). Oleh sebab itu, kosa kata sebagai sistem tanda
di dalam ayat-yat al-Qur’ãn dapat dipastikan mengandung
banyak dimensi makna yang berbilang (multiple meanings). ‘Ali
bin Abĩ Ṭãlib, dalam kaitan ini, menyatakan bahwa: “Jangan
kamu (Ibnu ‘Abbas) berdebat dengan mereka (pengikutTAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
1
Abdul Ghaffar
pengikut Khawãrij) tentang makna ayat-ayat al-Qur’an, karena
al-Qur’ãn mengandung dimensi makna yang berbilang (zũ
wujũh)”.1 Senada dengan pernyataan ‘Ali bin Abĩ Ṭãlib, Abũ
Dardã’ juga berkomentar bahwa: “Kamu belum dianggap
mengenal al-Qur’ãn dengan baik, sebelum kamu menyadari
karakter berbilangnya dimensi makna kosa kata yang
dimilikinya”.2
Beda dengan kedua pernyataan sahabat Rasulullah Saw., di
atas, Amin al-Khũli menyatakan bahwa: “Secara historis, alQur’ãn diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Sementara
bahasa Arab itu sendiri merupakan “kode” yang dipakai oleh
Allah Swt., untuk menyampaikan firman-firman-Nya kepada
Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, al-Qur’ãn sebagai
“kode” dalam bentuk manuskrip bahasa Arab, merupakan
sebuah simbol atau tanda yang dapat ditangkap maknanya
melalui analisis tafsir semiotik”.3 Merujuk dari statemen di atas,
maka penulis terinspirasi dan tertarik untuk mengkaji dan
menafsirkan teks al-Qur’ãn melalui pendekatan semiotika
sebagai perangkat analisis dalam mengembangkan pengayaan
khazanah keilmuan dalam dunia penafsiran al-Qur’ãn.
B. Pengertian Semiotika
Secara definitif, semiotika berasal dari kata seme (bahasa
Yunani), yang berarti penafsiran tanda. Ada juga yang
mengatakan semeotika berasal dari kata semeion, yang berarti
tanda.4Oleh karena itu, semiotika sering disebut sebagai ilmu
yang mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sekumpulan tandatanda.
1
As-Sayũṭĩ, Al-Itqãn fĩ ‘Ulũm al-Qur’ãn, Jilid. I., (Bairut: Dãr al-Fikr,
t.t.), 141.
.‫ وال تجادلهم بالقرأن فانه حمال ذي وجوه‬: ‫قال علي ابن أبى طالب‬
2
Ibnu Sa’ad, Aṭ-Ṭabaqãt al-Kabĩr, (Leiden: K.V. Zettersteen, 1905),
114.
...‫ ال تفقه حتى ترى القرأن وجوها‬: ‫قال أبو الدرداء‬
3
Amĩn al-Khũli, Manãhij Tajdĩd fi an-Naḥw wa al-Balãgah wa at-Tafsĩr
wa al-Adab, (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, 1995),
6.
4
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 97.
2 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
Ferdinand de Saussure (1857-1913) mendefinisikan
semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial.5 Secara garis besarnya,
ranah kajian semiotika dibagi menjadi dua, semiotika signifikasi
yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure, dan semiotika
komunikasi yang dimotori oleh Charles Sanders Pierce (18391914). Keduanya tidak dapat dipisahkan karena masing-masing
saling berkaitan erat yang dapat memberikan arti atau makna
dari sebuah tanda.
Semiotika
signifikasi
penekanannya
pada
aspek
penanda6dan petanda,7sedangkan semiotika komunikasi
penekananya pada aspek komunikasi.8Oleh sebab itulah
selanjutnya Saussure menyatakan bahwa semiotika signifikasi
adalah semiotika pada tingkat langue (bahasa) dan semiotika
komunikasi adalah semiotika pada tingkat parole (bicara).9Jadi
antara signifkasi Saussure dan komunikasi Pierce, sebenarnya
tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Karena di dalam
signifikasi sendiri terdapat proses komunikasi, begitu pula
sebaliknya setiap ada kumunikasi dengan sendirinya proses
signifikasi akan terjadi. Oleh sebab itu, suatu tanda dalam
semiotika baru dapat dipahami maknanya dengan baik bila tanda
tersebut dibahasakan lewat komunikasi. Dengan demikian, maka
semiotika adalah ilmu yang mengkaji sistem-sistem, aturanaturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu tanda
dalam masyarakat memiliki arti yang dapat dipahami.
5
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguisties, (London:
Duckworth, 1990), 15.
6
Penanda (signifiant) adalah bentuk formal dalam yang menandai
sesuatu yang disebut petanda.
7
Petanda (signifie) adalah aspek mental, arti atau image makna di balik
penanda yang memaknai sebuah tanda.
8
Komunikasi adalah pengiriman atau penerimaan pesan atau berita
antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Komunikasi dua arah adalah komunikasi yang komunikan dan
komunikatornya dalam satu saat bergantian memberikan informasi.
Komunikasi massa adalah komunikasi penyebaran informasi yang dilakukan
oleh suatu kelompok sosial tertentu kepada pendengar atau khalayak yang
heterogen serta tersebar di mana-mana. Lihat, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 585.
9
Ferdinand de Saussure, Course in ...,17.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
3
Abdul Ghaffar
C. Sejarah Munculnya Terma Semiotika
Pada prinsipnya, istilah semiotika, embrio kemunculannya
sudah ada pada masa filsafat Yunani abad pertengahan. Namun
istilah ini baru diperkenalkan pada abad ke-18 oleh Lambert
(seorang ahli filsafat dari Jerman) sebagai sinonim kata logika.
Dialah yang mempopulerkan penggunaan tanda secara
sistimatis. Kemudian selanjutnya pada abad ke-20 mulailah
semiotika ramai-ramai dibahas dan dikaji oleh ahli
filsafat.10Kehadiran semiotika di abad ini merupakan akibat
stagnasi “strukturalisme”11ketika karya sastranya berhubungan
dengan fungsi tanda-tanda yang terdapat di dalamnya. Pada saat
itu, strukturalisme sangat membutuhkan semiotika untuk
melengkapi dan menyempurnakan karya sastranya. Itulah
sebabnya, maka strukturalisme dan semiotika dipandang
memiliki kajian yang sama dan saling melengkapi antara satu
dengan lainnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna, strukturalisme
dan semiotika merupakan dua teori yang memiliki hubungan
yang saling mengisi. Strukturalisme memusatkan perhatiannya
pada struktur karya sastra, sedangkan semiotika memusatkan
perhatiannya pada persoalan tanda-tanda yang terdapat di dalam
struktur karya sastra. Berangkat dari hal tersebut, maka kedua
teori ini digunakan secara bersamaan untuk menganalisis sebuah
karya sastra.12
Adapun kelahiran semiotika modern, menurut Nyoman
Kutha, tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh yang sering disebut
sebagai bapak semiotika modern, yaitu: Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua
tokoh ini mengembangkan teori semiotika di daerah yang
berbeda. Saussure mengembangkan semotikanya di negara
Perancis, sedangkan Pierce mengembangkan semiotikanya di
negara Amerika. Kedua tokoh ini pun memiliki perbedaanperbedaan terutama dalam penerapan konsep. Perbedaan ini
sesungguhnya disebabkan karena latar belakang akademik
10
Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest, Serba Serbi Semiotika (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama,1996), vii.
11
Strukturalisme adalah aliran bahasa yang mengkaji struktur kalimat
karya sastra secara komprehensif.
12
Nyoman Kutha Ratna, Teori ..., 97.
4 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
masing-masing yang berbeda. Saussure adalah seorang ahli
bahasa yang menjadikan semiotika sebagai cikal bakal linguistik
umum, sementara Pierce adalah seorang ahli filsafat dan logika
yang menjadikan semiotika sebagai filsafat bahasa.13
Saussure membawa semiotika kepada kajian bahasa yang
dikenal dengan semiotika signifikasi. Saussure mendefinisikan
tanda (signe) adalah kombinasi antara konsep (concept) dan
citra akustik (image acoustique).14Kemudian Saussure
menggantikan istilah concept dengan istilah signifiant
(penanda), dan istilah image acoustique dengan istilah signifie
(petanda). Umberto Eco juga menjelaskan pengertian tanda
menurut Saussure adalah sebagai entitas yang memiliki dua sisi,
yaitu: signifiant (penanda) dan signifie (petanda), atau antara
wahana tanda dan makna.15
Selanjutnya
Saussure
mengembangkan semiotika ini dalam berbagai konsep seperti;
dikotomi antara konsep sintagmatik dan paradigmatik, diakronik
dan sinkronik, serta konsep langue dan parole. Meskipun
demikian, dalam kajian semiotika yang terpenting adalah
pemahaman makna sebuah tanda sebagai hasil dari kombinasi
antara signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Menurut
Rachmat Djoko Pradopo penanda adalah bentuk formal yang
menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda
adalah aspek mental, arti atau konsep di balik penanda.16
Misalnya kata burung dalam bahasa Indonesia adalah salah satu
jenis hewan yang bisa terbang. Kata burung (tulisan atau lisan)
dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah tanda yang
mengandung penanda (signifiant)
dan petanda (signifie).
Bentuk formal burung secara totalitas yang meliputi; (kepala,
sayap, bulu, kaki dan lainnya) yang menandai sebuah tanda
(burung) merupakan penanda dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan sikap mental dan makna atau konsep di balik
penanda tersebut merupakan petanda (signifie) yaitu; salah satu
13
Nyoman Kutha Ratna, Teori ..., 98.
Ferdinand de Saussure, Course in ...,15.
15
Umberto Eco, Teori Semiotika, terj. Inyiak Ridwan Muzir
(Yogyakarta: Kreasicana, 2009), 19.
16
Rachmat Djoko Pradopo, “Penelitian Sastra dengan Pendekatan
Semiotik”,dalam buku Jabrohim (ed.), Metodeologi Penelitian Sastra
(yogyakarta: Hanindita, 2002), 68.
14
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
5
Abdul Ghaffar
jenis hewan yang bisa terbang. Hal ini berlaku bagi semua
bahasa komunitas di dunia. Dalam bahasa Arab burung disebut
dengan istilah ṭair, dalam bahasa Inggeris menggunakan istilah
bird, dalam bahasa Jawa memakai istilah manuk, dalam bahasa
bugis dikatakan manu’-manu’, dan lain-lain. Istilah-istilah
bahasa inilah yang disebut sebagai tanda (signe). Menurut
Umberto Eco semiologi yang dikembangkan aliran saussurean
ini lebih mengarah kepada semiotika signifikasi, karena
hubungan antara penanda dengan petanda dikukuhkan
berdasarkan sistem atau aturan-aturan dalam langue (bahasa).17
Berbeda dengan Saussure, Pierce membawa semiotika
kepada kajian logika yang dikenal dengan semiotika komunikasi.
Menurutnya, semiotika harus mempelajari bagaimana orang
bernalar melalui tanda-tanda. Dengan tanda-tanda, orang bisa
berfikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberikan
makna apa yang ditampilkan alam semesta.18 Hal ini, menurut
Ali Imron, menunjukkan bahwa realitas dunia dipenuhi dengan
tanda-tanda yang memiliki sistem, sehingga komunikasi
manusia dapat berjalan dengan baik.19Menurut Alex Sobur,
tanda dalam pandangan Pierce selalu berada di dalam proses
perubahan tanpa henti, yang disebut semiosis tak terbatas
(unlimited semiosis).20Tanda yang ada mengalami proses
produksi dan reproduksi, sehingga tanda pun akan selalu
berkembang. Ketika seseorang menuturkan kata, maka secara
tidak langsung orang tersebut telah memproduksi tanda.
Umberto Eco, dalam hal ini, menggambarkan “ketika saya
mengucapkan kata atau citra (atau semacamnya), saya mesti
bekerja untuk mengucapkan semua itu dengan jelas dalam
serangkaian fungsi tanda-tanda yang bisa diterima dan dipahami
secara semantik. Begitu pula ketika saya menerima sebuah
kalimat, meskipun saya tidak harus memproduksi tanda-tanda
dari kalimat itu, namun saya mesti bekerja untuk menafsirkan
17
Umberto Eco, Teori Semiotika...,19.
Panuti Sudjiman (ed.), Serba Serbi ...,1.
19
Ali Imron, Semiotika al-Qur’ãn: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah
Yusuf, cet. ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2011), 14.
20
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), xiii.
18
6 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
semua itu.21Pernyataan yang disampaikan Eco ini, menurut Ali
Imron, dapat dimisalkan ketika si A menuturkan sebuah kalimat
kepada si B, maka dengan sendirinya si A telah memproduksi
tanda sesuai dengan kode atau aturan yang berlaku supaya
kalimat (pesan) dapat diterima dan dipahami oleh si B.
Demikian pula si B yang mendengarkan kalimat (pesan) dari si
A akan bekerja melakukan penafsiran terhadap kalimat tersebut.
Pada saat si B melakukan penafsiran terhadap kalimat tersebut,
maka si B berpeluang untuk mengubah kode, sehingga pesan
dapat dipahaminya. Apabila kemudian si B menuturkan pesan
tersebut kepada si C (orang lain) dengan kalimat yang sama,
maka si C pun akan melakukan penafsiran yang mungkin
berbeda dengan si B ketika menafsirkan pesan yang diterima
dari si A.22
D. Fungsi Semiotika dalam Tafsir al-Qur’an
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan
secara ilmiah keseluruhan tanda-tanda dalam kehidupan
manusia, baik tanda verbal maupun tanda non verbal.23Tidak
dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari akan selalu
dijumpai beranekaragam tanda yang harus dipahami dan
ditafsirkan oleh manusia. Pemahaman dan penafsiran tandatanda yang tepat dan akurat merupakan persoalan penting, sebab
pemahaman atau penafsiran yang berbeda antar individu dapat
menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman dalam
memahami maupun menafsirkan tanda-tanda inilah yang
terkadang memicu terjadinya konflik dalam kehidupan
masyarakat. Memang suatu hal yang harus diakui, bahwa
bidang-bidang penerapan semiotika sangat luas dan tidak
terbatas, sesuai dengan realitas dunia ini yang dipenuhi dengan
tanda-tanda yang memiliki sistem, aturan, dan konvesi yang
harus dipahami dan ditafsirkan oleh manusia.
Bila semiotika dikaitkan dengan al-Qur’ãn sebagai
manuskrip teks (ayat), maka al-Qur’ãn yang menggunakan
bahasa Arab sebagai media, merupakan lahan subur bagi kajian
semiotika. Sebab di dalam al-Qur’ãn terdapat tanda-tanda (ayat21
Umberto Eco, Teori Semiotika..., 228.
Ali Imron, Semiotika al-Qur’ãn..., 23.
23
Nyoman Kutha Ratna, Teori ...,105.
22
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
7
Abdul Ghaffar
ayat) yang memiliki arti, yang dapat dikaji, dianalisis dan
ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan semiologi. Sebagai
diketahui, bahwa al-Qur’ãn memiliki satuan-satuan dasar yang
disebut dengan ayat (tanda).24Tanda dalam al-Qur’ãn tidak
hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya, seperti: huruf,
kata (Arab disebut kalimat), dan kalimat (Arab disebut jumlah),
tetapi totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing
unsur termasuk dalam kategori tanda-tanda al-Qur’ãn. Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh wujud al-Qur’ãn adalah serangkain
tanda-tanda yang memiliki arti.
Dunia tafsir, memperlakukan al-Qur’ãn sebagai teks kitab
suci, seperti halnya yang dilakukan oleh banyak ahli tafsir klasik
maupun pemikir Islam kontemporer. Perlakuan seperti ini,
sesungguhnya menurut Isutzu, sangatlah menarik, karena hal ini
mengingat konsekuensi dari perlakuan tersebut yang
menempatkan wahyu sebagai hasil komunikasi antara Tuhan
dengan manusia, yakni dengan utusan-Nya, dimana Tuhan
sebagai pengirim wahyu yang bersifat aktif, dan manusia
sebagai penerima wahyu yang bersifat pasif, sedangkan alQur’ãn (wahyu) adalah sebagai kode komunikasi. Komunikasi
verbal tersebut, dalam kaca mata linguistik bisa dianggap
sebagai model komunikasi antara komunikator dengan
komunikan dengan menggunakan kode, tanda atau simbol
komunikasi.25
Komunikasi yang dimaksud dalam hal ini, adalah Tuhan
sebagai komunikator aktif dan manusia sebagai komunikan
pasif. Dengan kata lain, manusia sebagai komunikan pasif
menerima pesan berupa tanda-tanda ataupun simbol-simbol
(ayat-ayat al-Qur’ãn) melalui kode komunikasi yang dipakai
oleh Tuhan. Komunikasi inilah, berdasarkan kajian Teologi
Islam Klasik, menurut al-Kirmãni (w.786/1384), bisa berupa
dua bentuk; pertama, komunikasi linguistik atau verbal, dalam
bentuk bahasa Arab, dan kedua, komunikasi non-linguistik,
yakni berupa tanda-tanda atau simbol-simbol alam. Komunikasi
linguistik antara Tuhan dengan manusia hanya bisa terjadi
24
Abũ Zayd, An-Naṣ wa as-Sulṭah ...,169.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the
Qura’nic Weltanschaûng, (Kualalumpur: Islamic book Trust, 2002), 154.
25
8 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
tatkala ada “kesetaraan” antara keduanya. Selanjutnya, alKirmãni, menegaskan bahwa pesan Tuhan yang disampaikan
kepada manusia adalah pesan dalam bentuk verbal, dan secara
teoritis, pesan tersebut tidak mungkin dipahami serta dicerna
tanpa didahului kesetaraan status. Dalam hal ini, manusia
ditingkatkan statusnya sampai pada derajat malakut (malaikat).
Sedangkan Tuhan menyesuaikan derajat ketuhanan-Nya.26
Terakait dengan komunikasi sebagai teori filosofis bahasa,
menurut al-Jãḥiz (w.255 H/868 M.), makna-makna (ma‘ãni)
adalah sesuatu yang berada dalam benak seseorang,
terkonsentrasi sedemikian rupa, dan tersimpan di dalam jiwa
manusia yang paling dalam, tersembunyi dalam pikiran yang
sangat jauh, sehingga tidak bisa diketahui oleh siapapun juga
dari si pemilik makna tersebut kecuali dengan menggunakan
perantara. Perantara ini bisa berupa simbol bunyi bahasa yang
tertulis, lisan, dan isyarat yang telah disepakati dalam komunitas
tertentu atau berupa perangkat lainnya.27Dalam istilah linguitik
modern, adalah elemen-elemen bahasa sebagai perangkat
komunikasi, baik tertulis maupun tidak, yang kemudian
dinamakan tanda, kode atau simbol. Selanjutnya al-Jãhiz, dalam
kaitan ini, menyebut lima bentuk kode komunikasi, yaitu; 1)
kata (lafaẓ); 2) tanda atau isyarat (isyãrah); 3) konvensi (‘aqd);
4) kondisi (ḥãl); 5) korelasi (nisbah).28Dengan demikian,
menurut penulis, al-Jãhiz berkeyakinan adanya terdapat
hubungan yang dinamis antara makna-makna kode tersebut
dengan al-Qur’ãn. Baginya, relasi yang dinamis tersebut
tergambar dalam dalãlah (ma‘ãni) yang dimiliki oleh al-Qur’ãn,
ayat-ayatnya, dan prinsip-prinsip kosa katanya.
Dengan mengacu pada pandangan-pandangan semiotika
komunikasi di atas, maka dapat dipahami bahwa teks-teks alQur’ãn merupakan sekumpulan kode-kode atau tanda-tanda
26
Syams ad-Dĩn Ibn Yũsuf al-Kirmãnĩ, Syarh Ṣaḥĩḥ al-Bukhãri (Kairo:
Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, t.t.), I: 28.
27
Al-Jãḥiz, Al-Bayãn wa at-Tabyĩn (Kairo: Dãr aṭ-Ṭabã‘ah wa anNasyr al-Islãmiyyah, 1985), I: 42.
‫ المتصورة فى أذهانهم والمتطلبة فى نفوسهم والمتصلة بخواطرهم‬،‫المعانى القائمة فى صدور العباد‬
‫ ال يعرف االنسان‬،‫ مسـتورة خفية وبعيدة ومحجوبة مكنونة فى معانى معدودة‬،‫والحادثة عن فكـرهم‬
‫ضمبر صاحبه وال حاجة أخبه اال بواسطة‬
28
Al-Jãḥiz, Al-Bayãn wa at-Tabyĩn, 43-44.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
9
Abdul Ghaffar
bersistem yang mengandung pesan-pesan dari Tuhan untuk
disampaikan kepada manusia. Hal ini berarti telah terjadi
komunikasi antara pemberi dan penerima pesan, yaitu
komunikasi antara Tuhan dengan Manusia. Komunikasi ini
terjadi melalui tiga cara sesuai dengan informasi petunjuk dari
al-Qur’ãn itu sendiri dalam Q.S. Asy-Syurã (42) ayat 51,29yaitu
dengan perantara wahyu, di balik tabir, dan dengan mengutus
malaikat. Komunikasi melalui perantara wahyu maksudnya
adalah Allah menyampaikan wahyunya berupa ilham dalam
bentuk makna kepada orang yang menjadi sasaran pemberian
wahyu tanpa melalui lafaẓ yang diciptakannya, tetapi melalui
penyingkapan makna itu kepada orang tersebut, melalui suatu
perbuatan yang diperbuatnya di dalam diri orang yang diajak
berbicara.30Dan komunikasi melalui cara di balik tabir
maksudnya adalah proses komunikasi dua arah secara timbal
balik. Wahyu menggunakan kalam atau bahasa yang hanya bisa
dipahami
oleh
kedua
belah
pihak
yang
31
berkomunikasi. Sedangkan komunikasi melalui utusan
malaikat, maksudnya adalah komunikasi tidak langsung. Jalinan
komunikasi adalah dari Allah kepada malaikat lalu kepada
Rasul.
Adapun
kode-kode32yang
digunakan
untuk
berkomunikasi mulai dari Allah Swt., ke Jibril, lalu ke nabi
Muhammad Saw., merupakan persoalan problematik. Jawaban
yang diberikan para ilmuan cenderung spekulatif, meskipun
berlandaskan argumen. Namun demikian, persoalan penting
mengenai proses komunkasi selanjutnya adalah komunikasi
antara nabi Muhammad Saw., dengan umatnya. Media yang
digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Arab, bahkan al29
Q.S. Asy-Syurã (42): 51. Artinya:”Dan tidak ada bagi seorang
manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.
30
Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (Yogyakarta:
Safiria Insani Press, 2004), 41.
31
Naṣr Ḥamid Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ: Dirãsah fi ‘Ulũm al-Qur’ãn
(Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, 1993), 41. Kutipan
selanjutnya ditulis Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ…
32
Kode-kode adalah tata aturan yang sesuai dengan konvensi-konvensi
yang berlaku di dalam al-Qur’ãn.
10 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
Qur’ãn sendiri dalam beberapa teksnya menyatakan bahwa
dirinya sebagai qur’ãnan ‘arabiyyan,33sehingga kode-kode yang
dipakai adalah kode-kode bahasa yang digunakan oleh alQur’ãn. Dalam hal ini, kode-kode lingguistik Arab merupakan
persoalan penting untuk menemukan makna semiotik alQur’ãn.34
E. Teori Semiotika dalam menafsirkan al-Qur’ãn
Dalam ranah kajian semiotik, teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn
adalah sekumpulan tanda yang di dalamnya terdapat hubungan
dialektika antara sinifiant (penanda) dan signifie (petanda).
Penanda al-Qur’ãn adalah eksistensi teks yang berupa bahasa
Arab, meliputi: huruf, kata, kalimat (ayat), surah maupun
hubungan masing-masing unsur. Kompleksitas unsur-unsur
yang saling berhubungan tersebut juga termasuk tanda alQur’ãn. Sedangkan petanda al-Qur’ãn merupakan aspek mental,
arti (makna) atau konsep yang berada di balik penanda alQur’ãn.35Hubungan antara penanda dan petanda al-Qur’ãn
ditentukan oleh konvensi36yang melingkupi teks al-Qur’ãn.
Menurut Naṣr Hamĩd Abũ Zayd, al-Qur’ãn memiliki satuansatuan dasar yang dinamakan ayat (tanda).37Ayat dalam alQur’ãn tidak hanya bagian-bagian terkecil dari unsur-unsurnya,
seperti: huruf, kata dan kalimat saja, akan tetapi termasuk
totalitas struktur yang menghubungkan masing-masing unsur
tersebut termasuk dalam kategori tanda (signe) dalam al-Qur’ãn.
Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wujud penampakan alQur’ãn adalah serangkaian tanda-tanda yang memili makna atau
arti.
33
Q.S.Asy-Syurã (42):7. Artinya: “Demikianlah Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) al-Qur’ãn dalam bahasa Arab supaya kamu
memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekkah) dan penduduk
(negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari
berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk
syurga dan segolongan masuk neraka”.
34
Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ ..., 40.
35
Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ ..., 41.
36
Konvensi bahasa merupakan kode atau tata aturan dalam ruang
lingkup kajian lingguistik yang meliputi: garammatikal, semantik dan
semiotik.
37
Abũ Zayd, An-Naṣ wa as-Sulṭah…, 169.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
11
Abdul Ghaffar
Totalitas teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn adalah bahasa Arab.
Bahasa Arab adalah sistem tanda. Maka ayat-ayat al-Qur’ãn
adalah sistem tanda. Pengkajian makna (arti) ayat-ayat alQur’ãn sebagai sistem tanda disebut meaning dalam kajian
semiotik. Menurut Ibnu ‘Arabi, sebagai dikutip oleh as-Suyũṭi,
menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’ãn saling berhubungan
antara satu dengan lain, sehingga diibaratkan satu kata yang
serasi maknanya dan terstruktur bangunannya.38Keserasian
struktur dan makna ayat-ayat inilah yang disebut munasabah.
Menurut Naṣr Hamĩd Abũ Zayd dasar munãsabah (keserasian)
antar ayat dan antars urah disebabkan ayat-ayat al-Qur’ãn itu
sendiri merupakan kesatuan struktural yang masing-masing
bagian saling berkaitan.39Hal ini menunjukkah bahwa homologi
totalitas struktur internal teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn merupakan
sistem tanda yang saling berhubungan dan memiliki konvensikonvensi atau aturan-aturan sendiri untuk menemukan maknamakna yang terkandung di dalam ayat-ayatnya. Karena totalitas
ayat-ayat al-Qur’ãn merupakan rangkaian kumpulan tanda-tanda
yang memiliki makna tersendiri sesuai dengan konvensikonvensi atau aturan-aturan bahasa Arab, maka untuk
mengetahui makna yang terkandung di dalam setiap kata,
kalimat dan strukturnya diperlukan kajian analisis lingguistik
secara komprehensip. Dalam studi semiotik, ayat adalah tanda
yang memiliki makna. Makna yang terkandung dalam ayat dapat
diketahui lewat kajian semiotika bahasa yang disebut semiotika
signifikasi.
Menurut Muhammad Arkoun, seorang pakar semiotika alQur’ãn, secara umum seorang mufassir harus memulai
pembahasannya (penafsirannya) dengan pengantar linguistik
secara panjang lebar.40 Muhammad Arkoun, dalam kajian
semiotiknya menjelaskan bahwa al-Qur’ãn sebagai sumber
primer ajaran Islam dan salah satu teks keagamaan terpenting
mengandung bahasa-bahasa simbolis yang kaya akan analisisanalisis tematik dan konsepual. Analisis itu tidak melemahkan
38
As-Suyũṭĩ, Al-Itqãn ..., 470.
Abũ Zayd, Mafhũm an-Naṣ…, 160.
40
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer
Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 1998), 113.
39
12 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
al-Qur’ãn,
terj.
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
jaringan hubungan antarkata, tetapi justeru memperkaya dan
memperluas lewat metaforisasi, simbolisasi, dan mitisisasi
(bukan mitologisasi). Semua itu adalah lahan subur untuk
menggunakan teori-teori modern yang secara semiotis dan
antropologis melampaui bangunan teologi yang bisa
membebaskan dari dogmatisme tradsional. Sebab selama ini,
teks-teks kitab suci keagamaan telah berkembang sedemikian
rupa sehingga banyak terbebani oleh muatan-muatan ideologis.
Lebih parah lagi, tafsir-tafsir al-Qur’ãn yang penuh muatan
ideologis semacam ini justeru berkembang dengan klaim-klaim
kebenaran tunggal sehingga ia menjadi terlalu hegemonik,
mendominasi, menindas, tidak kontekstual, dan membelenggu
kebebasan berpikir.41
Adapun upaya Arkoun untuk menerapkan teori semiotika
al-Qur’ãn adalah dalam rangka membebaskan wacana alQur’ãniah dari belenggu-belenggu tafsir ideologis tersebut.
Proyek pembebasan teks-teks keagamaan semacam itu
diterapkan dalam kajian al-Qur’ãn, khususnya melalui
penerapan semiotika. Alasan Arkoun menggunakan semiotika
untuk mengkaji al-Qur’ãn adalah karena ungkapan-ungkapan di
dalam teks-teks kitab suci yang penuh dengan simbolisme
merupakan lahan subur bagi semiotika. Secara lingguistik, alQur’ãn kaya dengan kajian semiotis, namun kekayaan bahasa
simbolism al-Qur’ãn yang mencerahkan dan membebaskan telah
dinalar dan dikaji dengan konsep logosentris yang semenamena. Meskipun ini merupakan dampak dari bahasa Arab
(sebagai bahasa al-Qur’ãn) dan bahasa-bahasa lain yang telah
dilogiskan dalam struktur bahasa al-Qur’ãn juga bersifat mitis,
dimana mitos bukanlah fabel atau kisah khayalan (ustũrah),
yang tidak memiliki dasar nyata.42
F. Pembacaan Semiotik dalam Memahami al-Qur’an
Tulisan Muhammad Arkoun di dalam bukunya yang
berjudul “Berbagai Pembacaan Al-Qur’ãn”, secara khusus
memperkenalkan metode pembacaan al-Qur’ãn yang lebih
bersifat epistemologis-teoritis. Dalam konteks ini, Arkoun
dalam kerangka grand design kritik nalar Islam melihat
41
42
Muhammad Arkoun, Lectures du Coran (Tunis: Alif, 1991), 44.
Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, 45-46.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
13
Abdul Ghaffar
pendekatan kontemporer, seperti hermeneutika dan semiotika
merupakan instrumen pembacaan yang tidak bisa dielakkan oleh
umat Islam. Semiotika misalnya, membantu memahami teksteks al-Qur’ãn dalam relasinya dengan jaringan makna yang
terajut dalam sistem penanda dan petanda.43
Menurut Muhammad Arkoun, pembacaan al-Qur’ãn secara
semiotik, harus diperkaya dan diperluas dengan berbagai
perkembangan antropologi sosial, budaya, dan politik.
Penggunaan
multi-disipliner
ini
dimaksudkan
untuk
membebaskan wawasan intelektual dari praduga-praduga
teologis dan filosofis kuno agar bisa membukakan jalan baru
serta dimungkinkannya penafsiran ulang atas pemahaman
konvensional atas teks-teks keagamaan yang didominasi dan
dibelenggu dengan muatan-muatan ideologis.44Meskipun
Arkoun memanfaatkan dan menggunakan semiotika untuk
mengkaji teks al-Qur’ãn, akan tetapi dia tidak mau terbelenggu
oleh batas-batas semiotika yang ketat. Oleh Karena itu, analisis
semiotika Arkoun lebih tepat disebut sebagai “pembahasan
linguistik atau hermeneutik” dari pada “pembahasan semiotis”.
Pelampauan batas-batas analisis semiotika Arkoun bisa dilihat,
misalnya, pada pernyataannya tentang Kitab Suci. Menurutnya,
al-Qur’ãn telah menjadi Corpus Officielle Clos (Korpus Resmi
Tertutup), padahal sebenarnya al-Qur’ãn tetap terbuka untuk
dimaknai secara berbeda dan beragam.45Meskipun al-Qur’ãn
dianggap korpus resmi tertutup, namun tetap terbuka dalam
setiap pemaknaan karena al-Qur’ãn sendiri merupakan hudan li
an-nãs (petunjuk bagi manusia) untuk selalu dipedomani dalam
kehidupan di dunia ini, dan selalu dipahami, dianalisis dan
dinterpretasikan makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Berkaitan dengan pembahasan tentang tanda (ayat) ini, kita
akan merujuk pada Q.S. Fuṣṣilat (41): 53. Dalam kamus Lisãn
al-‘Arab dijelaskan bahwa ayat 53 surah Fuṣṣilat ini merupakan
rujukan dasar pengetahuan tanda lewat fenomena alam,
43
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Usaha
Memaknai Kembali Pesan al-Qur’ãn (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
14.
44
Baedhowi, Antropologi al-Qur’ãn, (Yogyakarta: LKis Printing
Cemerlang Press, 2009), 185.
45
Baedhowi, Antropologi al-Qur’ãn, 187.
14 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
fenomena sosial, atau tentang diri manusia, baik dari sudut
psikologis, sosiologis, maupun filosofis, yang semuanya akan
mengantarkan manusia pada kebenaran (al-ḥaq) atas keesaan
Allah.46Sedangkan secara etimologis, menurut pendapat arRũmi, tanda atau ayat memiliki beberapa arti, di antaranya: (a).
Mu‘jizat47dalam
surah
al-Baqarah
ayat
211;
(b).
48
’Alãmah adalah tanda di dalam surah al-Baqarah ayat 248; (c).
‘Ibrah49(ungkapan bijak) di dalam surah al-Baqarah ayat 248;
(d). Ãyãt50(tanda-tanda) dalam surah ar-Rũm ayat 22.51Semua
terma al-Qur’ãn ini dapat dikaitkan pembahasannya dengan
semiotika al-Qur’ãn.
Sedangkan menurut Montgomery Watt dan Ricard Bell
mengartikan ayat sebagai; (a) fenomena alam yang merujuk
pada tanda-tanda kekuasaan dan keagungan Tuhan; (b) kejadiankejadian atau objek yang disampaikan oleh seorang Rasul untuk
memperkuat pesan-pesan yang datang dari Allah; (c) tandatanda yang diterima oleh seorang rasul; dan (d) sebagai tanda
bagian dari al-Qur’ãn.52Dari keempat makna ayat (tanda)
tersebut, semuanya tepat untuk dikaitkan dengan pembahasan
semiotika al-Qur’ãn.
Selain itu, di dalam al-Qur’ãn sendiri juga terdapat banyak
ayat-ayat mutasyãbihah dengan bentuk-bentuk redaksi metaforis
yang bermakna simbolis. Oleh sebab itu, bukanlah suatu bentuk
pemaksaan jika al-Qur’ãn dikaji dari sisi kebahasaan dengan
pendekatan semiotik, meskipun tentunya al-Qur’ãn itu bukan
kitab semiotika. Jadi tujuan semiotika dalam kajian al-Qur’ãn,
menurut Muhammad Arkoun, adalah untuk memperkaya kajian
lewat disiplin keilmuan tersebut, di samping juga untuk
menemukan keluasan dan kedalaman makna kandungan alQur’ãn. Dengan penggunaan analisis semiotika, kita akan bisa
46
Ibnu Manẓũr, Lisãn al-‘Arab, (Beirũt: Dãr al-Ma‘ãrif, t.t.), I: 235.
Q.S. Al-Baqarah(2): 211.
48
Q.S. Al-Baqarah(2): 248.
49
Q.S. Al-Baqarah(2): 248.
50
Q.S ar-Rũm (30): 22.
51
Ar-Rũmĩ, Ulũm al-Qur’ãn, Studi Kompleksitas al-Qur’ãn
(Yogyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997), 152-153.
52
Montgomery Watt and Ricard Bell, Introduction to the Qur’an
(Edinburg: Edinburg University Press, 1977), 122.
47
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
15
Abdul Ghaffar
melihat teks secara global dan melihatnya sebagai suatu sistem
kesatuan internal yang saling terkait. Kesatuan tersebut bisa
dianalisis lewat tanda-tanda yang ada sehingga menghasilkan
berbagai makna.53
Keterkaitan dengan keberadaan al-Qur’ãn sebagai teks
bahasa Arab, maka mengharuskan seorang mufassir melakukan
analisis semiotik sehingga kode, simbol dan tanda atau konvensi
linguistik memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam
ranah kajian semiotika al-Qur’ãn, mengharuskan pemahaman
dan penafsirannya melalui pembacaan ayat-ayat al-Qur’ãn
sebagai sistem tanda yang menekankan analisis konvensi
linguistik untuk melahirkan makna. Pembacaan model inilah
yang disebut semiotika tingkat pertama (meaning).54Selain itu,
pembacaan al-Qur’ãn juga menekankan analisis konvensikonvensi yang lebih tinggi dari konvensi bahasa, seperti
hubungan internal dan eksternal teks dan intertekstualitas, latar
belakang historis, kritik sejarah, maupun perangkat studi ulũm
al-Qur’ãn yang lain. Konvensi-konvensi inilah yang disebut
semiotika tingkat kedua (signifikansi atau al-magzã).55Dalam
semiotika al-Qur’ãn, semua ayat-ayat al-Qur’ãn merupakan
rangkaian tanda-tanda yang mengandung arti. Model pembacaan
ayat-ayat al-Qur’ãn sebagai salah satu sistem tanda, dapat diteliti
maknanya melalui dua tahapan pembacaan, yaitu pembacaan
heuristik dan pembacaan retroaktif.56Kedua pembacaan ini
masing-masing menghasilkan tingkatan makna yang berbeda.
1. Ṭãgũt dalam Makna Heuristik
Pembacaan heuristik adalah upaya analisis teks untuk
melacak maknanya dilihat dari aspek linguistik (bahasa) yang
penekanannya diarahkan kepada kajian morfologis (ilmu
ṣaraf),57sintaksis
(ilmu
naḥw)58dan
semantik
(ilmu
53
Muhammad Arkoun, Lectures du Coran, (Tunis: Alif, 1991), 40-41.
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta: UGM Press,
2007), 122.
55
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, 123.
56
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 135.
57
Morfologi adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari
satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Tugasnya
menganalisis kosa kata jenis tertentu untuk mengubah bentuknya, seperti
54
16 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
sastra).59Pembacaan model ini sangat penting untuk mencari
makna semiotika tingkat pertama yang disebut meaning.
Pembacaan model ini terhadap ayat-ayat dalam al-Qur’ãn,
sesungguhnya dapat dilacak dan diteliti maknanya dalam
perspektif semiotika signifikasi. Oleh sebab itu, untuk melacak
makna ayat-ayat al-Qur’ãn sebagai sistem tanda diperlukan
pembacaan heuristik sebagai langkah awal. Dalam makalah ini,
penulis berusaha melacak makna kata ṭãgũt melalui analisis
pembacaan heuristik untuk menemukan makna-maknanya pada
tingkat pertama. Pembacan ini akan menitikberatkan
penafsirannya pada aspek analisis linguistik (konvensi-konvensi
bahasa). Pada prinsipnya pembacaan heuristik terhadap ayatayat al-Qur’an adalah analisis tanda-tanda (ayat-ayat) yang
memiliki unsur penanda dan petanda. Dalam hal ini, dapat
dimisalkan manuskrip kata ṭãgũt dalam al-Qur’ãn adalah sebuah
tanda, dan bahasa Arab adalah sebuah penanda (signifiant or
interpretandus) yang mengandung konsep di balik tanda
tersebut, dan sikap mental atau konsep makna di balik penanda
tersebut adalah petanda. Maka dengan demikian, pembacaan
heuristik terhadap ayat-ayat tentang ṭãgũt bertujuan untuk
menganalisis tanda untuk mencari penanda dan petanda
sehingga pada kesimpulannya akan menemukan makna (signifie
or interpretant) sesuai dengan pembacaan semiotik tingkat
pertama.
Sebagai contoh, ungkapan ṭãgũt dalam al-Qur’ãn pada
surah al-Baqarah ayat 256, yang berbunyi:
‫ فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن باهلل فقد استمسك بالعروة الوثقى الانصام لها‬...
...
nomina (isim), kata kerja(fi‘il), pronomina(ḍamĩr), maunpun afiksasi (kata
imbuhan). Baca buku J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum
(Yogyakarta: UGM Press, 2008), 99.
58
Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan kata dalam
tuturan. Setiap kata menduduki posisi tertentu secara gramatikal, sehingga
melahirkan kalimat yang dapat dipahami. Ibid, 161.
59
Semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu
bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian
konseptual Weltanschaung (pandangan dunia) dari masyarakat pengguna
bahasa tersebut. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man..., 3.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
17
Abdul Ghaffar
Artinya “karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada
ṭãgũt dan beriman kepada Allah, maka sesunggunya ia
telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus…”.60
Dalam perspektif semiotika al-Qur’ãn, kata ṭãgũt dan
rangkaian struktur (ayat)nya adalah tanda-tanda yang terdiri dari
unsur-unsur penanda dan petanda. Penanda, dalam ayat ini,
adalah bentuk formal (acuan) yang menandai manuskrip kata
ṭãgũt sebagai bahasa Arab. Sedangkan petanda dalam ayat ini
adalah sikap mental atau konsep makna yang berada di balik
penanda tersebut. Maka kata ṭãgũt, dalam perspektif semiotika
al-Qur’ãn, merupakan sebuah tanda yang mengacu kepada
bahasa Arab yang menunjukkan kepada makna (arti)
berdasarkan konvensi-konvensi pengguna bahasa.
Kata aṭ-ṭãgũt ‫ الطااغوت‬pada ayat 256 surah al-Baqarah di
atas, berdasarkan pembacaan heuristik adalah sebuah tanda
(simbol) yang mengandung acuan tanda (penanda) dan makna
(petanda). Sebagai tanda, aṭ-ṭãgũt merupakan manuskrip yang
berbahasa Arab dalam bentuk isim (nomina) yang memiliki kata
dasar sebagai penanda, dan juga memiliki konsep makna sebagai
petanda. Dalam terma morfologis sebagai bagian dari kajian
etimologis (ilmu asal-usul kata) atau kajian leksikologis
(berhubungan dengan kamus), kata aṭ-ṭãgũt berasal dari kata:
‫طغااى يطغااو طغااوا وطغوانااا‬: artinya: 61.‫( جاااوا القاادر والحااـد‬melampaui
ukuran dan batas), dan kata ṭãgũt ‫ (طااغوت‬artinya adalah setiap
sesuatu yang melampaui ukuran dan batas. Makna ini senada
dalam kamus al-Munawwir, bahwa ṭãgũt berasal dari akar kata:
‫طغاى يطغاى طغياا و طغياناا‬, artinya: melampauai batas. Bisa juga dari
akar kata: ‫طغااى يطغااو طغااوا وطغااوا وطغوانااا‬, artinya: melampaui
ukuran dan batas, dan kata ṭãgũt ‫ (طااغوت‬artinya adalah setiap
yang disembah selain Allah Swt.62Maka dengan demikian, katakata dari ṭagã-yaṭgũ-ṭagwun dan seterusnya merupakan sistem
60
Q.S. Al-Baqarah (2) : 256.
Lewis Ma’lũf, Al-Munjid fî al-Lugah wa al-A‘lãm, cet. ke-24, (Beirũt:
Dãr al-Masyriq, 1989), 466-467.
62
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, cet. ke-25, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), 854.
61
18 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
tanda yang mengacu kepada perubahan kata yang dapat
mempengaruhi perubahan makna sesuai dengan ṣĩgah (bentuk)
masing-masing.
Sedangkan dalam terma sintaksis, kata aṭ-ṭãgũt dalam ayat
256 surah al-Baqarah di atas, juga merupakan sebuah tanda
yang mengacu kepada posisinya sebagai obyek dari subjek man
dan predikat yakfur, sehingga maknanya adalah barangsiapa
ingkar kepada ṭãgũt. Clausa ini belum bisa dipahami dengan
sempurna, karena di dalamnya terdapat unsur clausa bersyarat
yang membutuhkan jawaban. Demikian pula clausa sesudahnya
yaitu; kata Allah ‫(هللا‬, posisinya adalah objek dari subjek man
dan predikat yu’min, sehingga maknanya adalah barangsiapa
beriman kepada Allah. Kedua clausa bersyarat ini, dipisahkan
oleh huruf aṭaf waw (‫)و‬, dan keduanya membutuhkan jawaban
yang sama, yaitu clausa sesudahnya yang berbunyi: ‫فقاـد اسـاـتمسك‬
‫بالعاـروة الاوثقى الانفصاـام لهاا‬. Artinya : “maka sesunggunya ia telah
berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus”. Dengan demikian, maka struktur ayat di atas dapat
dipahami maknanya dengan sempurna, yaitu barangsiapa yang
ingkar kepada ṭãgũt
dan beriman kepada Allah maka
sesunggunya ia telah berpegang pada buhul tali (agama) yang
amat kuat yang tidak akan putus. Maka dengan demikian,
analisis sintaksis ini menunjukkan bahwa kata aṭ-ṭãgũt adalah
sebuah tanda yang mengacu kepada aktifitas kekufuran
(keingkaran) sebagai antonim (lawan kata) dari pada aktifitas
keimanan.
Adapun dalam terma semantik, kata at-ṭãgũt dalam ayat
256 surah al-Baqarah di atas, juga merupakan sebuah tanda
yang memiliki konvensi-konvensi sesuai dengan kaidah-kaidah
atau konvensi-konvensi semantik. Namun bila hal ini, dikaitkan
dengan semiotika komunikasi dalam memperlakukan al-Qur’ãn
sebagai teks, seperti yang dilakukan oleh banyak pemikir klasik
maupun kontemporer, maka sesungguhnya persoalan tersebut
sangat menarik. Mengingat bahwa konsekuensi dari perlakuan
tersebut menempatkan wahyu sebagai hasil komunikasi Allah
dengan manusia (Muhammad Saw) sebagai utusan-Nya, dimana
Allah sebagai penyampai atau pengirim wahyu yang bersifat
aktif, dan manusia sebagai penerima wahyu yang bersifat pasif,
sedangkan ayat-ayat al-Qur’ãn, dalam hal ini, adalah sebagai
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
19
Abdul Ghaffar
kode komunikasi verbal. Dalam kacamata linguistik, menurut
Isutzu, bisa juga disebut sebagai model komunikasi antara
komunikator dan komunikan dengan menggunakan kode
komunikasi.63
Oleh karena itu, kosa kata ṭãgũt dalam kajian semantik,
menurut istilah semiotika komunikasi, adalah komunikasi verbal
(linguistik) atau komunikasi non verbal (tanda-tanda) yang
memiliki makna dasar dan makna relasional. Makna dasarnya
adalah setiap sesuatu yang melampaui batas ketentuan Allah,
sedang makna relationalnya mengandung banyak arti (multi
meanings) sesuai dengan aspek pendekatan ilmu yang
digunakan dalam mendialogkan kosa kata tersebut.
2 Ṭãgũt dalam Makna Retroaktif
Pembacaan retroaktif adalah upaya analisis teks untuk
memperoleh maknanya dilihat aspek hubungan internal teks
(ayat-ayat), intertekstualitas, kontekstualitas, latar belakang
historis (asbãb an-nuzũl), kritik sejarah, dan perangkat studi
ulum al-Qur’ãn lainnya yang berkaitan dengan konvensikonvensi di luar konvensi linguistik.64Pembacaan model seperti
ini lebih penting dari pada pembacaan tingkat pertama, karena
pembacaan model ini melahirkan makna semiotika tingkat
kedua, yang disebut dengan signifikansi atau disebut al-magzã
meminjam istilah Ḥassan Ḥanafi, Abũ Zayd dan Fazlurrahman.
Analisis signifikansi inilah yang akan melahirkan multi makna
dari sebuah tanda berdasarkan konvensi-konvensi pengguna
bahasa.
Asy-Syãṭibi, dalam aspek internal teks atau ayat-ayat alQur’ãn, menyatakan bahwa kosa kata dari rangkaian ayat-ayat
al-Qur’ãn adalah sebuah teks yang karakter tekstualitasnya
terefleksikan dalam kosa kata yang dimaksud. Oleh sebab itu,
dalam keserjanaan Islam klasik telah dikenal secara umum
bahwa membiarkan al-Qur’ãn berbicara tentang dirinya sendiri
merupakan metode unggulan dalam menafsirkan al-Qur’ãn.
Itulah sebabnya, asy-Syãṭibi, menetapkan bahwa banyak ayatayat al-Qur’ãn yang hanya dapat dipahami dengan benar melalui
63
64
Isutzu, God and Man ..., 154.
Ali Imron, Semiotika..., 49.
20 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
ayat-ayat yang lain.65Menurut Lemke, metode asy-Syãṭibi ini,
mendekati dengan konsep intertekstualitas dalam ilmu sastra
modern. Dalam khasanah teologi ilmu keserjanaan Islam klasik
telah disepakati bahwa untuk memahami al-Qur’ãn sebagai teks
tidak memerlukan teks yang lain. Oleh karenanya, konsep
intertekstualitas hanya berlaku dalam intra teks-teks al-Qur’ãn
itu sendiri.66Sebagai contoh, makna kata al-qãri‘ah, dalam surah
al-Qãri‘ah,67ditafsirkan maknanya dengan ayat-ayat sesudahnya
sehingga maknanya dengan jelas dapat dipahami oleh siapa saja
yang membacanya dan ingin menafsirkannya dengan baik dan
benar. Banyak lagi contoh ayat-ayat al-Qur’ãn yang berbicara
tentang dirinya sendiri, yang dikenal dengan istilah tafsĩr alQur’ãn bi al-Qur’ãn.
Contoh lain, dengan analisis kesatuan struktural ayat 256
surah al-Baqarah di atas, masing-masing bagian saling
berkaitan. Homologi yang terjalin antarbagian teks tersebut
memiliki kedudukan penting. Kesatuan struktural yang terjalin
dalam teks ayat tersebut menuntut adanya analisis terhadap
masing-masing bagian secara menyeluruh. Oleh sebab itu, salah
satu tugas semiotika al-Qur’ãn adalah mecari hubunganhubungan tersebut. Dalam hal ini, munasabah internal teks ayatayat di atas mempunyai peran penting dalam kajian ini.
Contoh lain pembacaan retroaktif yang berkaitan dengan
makna signifikansi (al-magzã) adalah penafsiran makna ṭãgũt
yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid68 di dalam
Ensiklopedinya, bahwa kata ṭãgũt dalam al-Qur’ãn, dapat
diartikan sebagai “sistem tiranik atau kecenderungan tiranik”.
Alasannya, karena al-Qur’ãn sendiri mengingatkan manusia
bahwa kecenderungan tiranik itu ada dalam diri setiap orang,
berakar dalam titik-titik kelemahan manusia. Kecenderungan
tiranik itu muncul setiap kali seorang kehilangan wawasan yang
lebih luas, yang menjerumuskannya kepada tujuan-tujuan hidup
65
Asy-Syãṭibi, Al-Muwafaqat fi Uṣul al-Aḥkãm (Kairo: t.p., 1341 H.), II:
254.
66
Lemke, Ideology, Intertextuality and Notion of Register, dalam
Benson & Greaves, (ed.), Systematic Perspectives and Discourse (London:
Nerwood N.J., 1958), 158.
67
Q.S. Al-Qãri`ah (101): 1-5.
68
Nurcholish Madjid, Ensiklopedi ..., 3390-3391.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
21
Abdul Ghaffar
jangka pendek berupa “kepentingan-kepentingan tertanam”
(vested interests), yaitu kepentingan dalam kehidupan duniawi
yang kurang luhur, seperti penguasaan kepada harta benda.
Sebagaimana firman Allah Swt., dalam surah al-‘Alaq (96): 6-7,
‫ أن س‬،‫ ان االنسااان ليطغااى‬Artinya menurut
yang berbunyi: ‫راه اسااتغنى‬
Nurcholish Madjid: “Sesungguhnya manusia itu cenderung
berlaku tiranik, yaitu ketika ia melihat dirinya serba
berkecukupan”.69Serba berkecukupan (istagnã, yakni merasa
kaya), adalah permulaan dari tindakan dan sikap tiranik, dimana
dengan perasaan serba cukup itu seseorang menjadi tidak lagi
cukup rendah hati untuk menunjukkan respek kepada orang lain.
Inilah salah satu pangkal bencana hidup manusia dalam tatanan
sosialnya. Pendapat Nurcholish Madjid ini didukung oleh firman
Allah Swt. yang termaktub dalam surah an-Nãzi‘ãt (79): 37-39,
yang berbunyi: ‫فأمااا ماان طغااى وأثاار الحياااة الاادنيا فااان الجحاايم هااى المااأوى‬
(Artinya: “Maka ada pun orang yang bertindak tiranik (ṭagã),
dan lebih mementingkan kehidupan duniawi, maka neraka
jahim-lah tempat ia kembali”).70
Ketika manusia kehilangan wawasan kemanusiaan sebagai
hamba Allah Swt., dan tergiur dengan kepentingan-kepentingan
pribadi yang bersifat duniawi semata, dan di dalam dirinya
tertanam keingiman-keinginan ambisius untuk mengejar tujuan
hidup dalam jangka pendek, serta di dalam hati dan pikirannya
terkontaminasi dengan kotoran-kotoran atau dosa-dosa, untuk
menghalalkan segala cara dan mengharamkan yang halal, maka
pada saat itu manusia akan berpotensi untuk melakukan
tindakan-tindakan tiranik (ṭãgũt) dalam kehidupannya.
G. Penutup
Al-Qur’ãn sebagai teks (manuskrip) kitab suci umat Islam
yang ditulis dalam bentuk Muṣhaf (Korpus) Usmani, adalah
merupakan kumpulan dari kode-kode atau simbol-simbol berupa
rangkaian ayat-ayat Allah yang terdiri dari kalãm (parole) dan
qaul (langue), yang dapat diucapkan atau dibaca lalu dipahami
oleh pikiran manusia, yang kemudian dari pengucapan atau
pembacaan itu dapat dipahami dan dipikirkan oleh manusia,
69
70
Nurcholish Madjid, Ensiklopedi ..., 3390-3391.
Q.S. An-Nãzi‘ãt (79): 37-39.
22 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Semiotika dalam Tafsir Al-Qur’an
yang pada akhirnya memproduksi makna-makna yang
diinginkan oleh pengarang dan pembaca.
Pengucapan dan pembacaan al-Qur’ãn secara semiologis,
senantiasa membuka peluang bagi para mufassir untuk
mengembangkan interpretasi makna ayat-ayat-nya yang
terkandung di dalamnya, karena secara totalitas teks-teks alQur’ãn merupakan wahyu Ilahi yang berbentuk sekumpulan
kode-kode atau tanda-tanda (signals) yang bersistem dan
mengandung dimensi makna yang berbilang. Dengan demikian,
maka setiap kosa kata dari teks-teks (ayat-ayat) al-Qur’ãn
sebagai sistem tanda, kode atau simbol harus dapat dipahami
dan ditafsirkan berdasarkan siyãq (konteks) al-kalãm, siyaq allugah, siyaq al-hãl, dan siyaq aṡ-ṡaqãfah (budaya).
Daftar Pustaka
Arkoun, Muhammad, Kajian Kontemporer al-Qur’ãn, terj.
Hidayatullah, Bandung: Pustaka, 1998.
------, Lectures du Coran, Tunis: Alif, 1991.
Baedhowi, Antropologi al-Qur’ãn, Yogyakarta: LKis Printing
Cemerlang Press, 2009.
Eco, Umberto, Teori Semiotika, terj. Inyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta: Kreasicana, 2009.
Imron, Ali,
Semiotika al-Qur’ãn: Metode dan Aplikasi
Terhadap Kisah Yusuf, cet. ke-1, Yogyakarta: Teras, 2011.
Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Qur’an: Semantics of the
Qura’nic Weltanschaûng, Kualalumpur: Islamic book
Trust, 2002.
Jãḥiz (Al), Al-Bayãn wa at-Tabyĩn, Kairo: Dãr aṭ-Ṭabã‘ah wa
an-Nasyr al-Islãmiyyah, 1985, I.
Khũli (Al), Amĩn, Manãhij Tajdĩd fi an-Naḥw wa al-Balãgah
wa at-Tafsĩr wa al-Adab, Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah
al-‘Ammah li al-Kitãb, 1995.
Kirmãnĩ (Al), Syams ad-Dĩn Ibn Yũsuf, Syarh Ṣaḥĩḥ al-Bukhãri,
Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitãb, t.t.
Lemke, Ideology, Intertextuality and Notion of Register, dalam
Benson & Greaves, (ed.), Systematic Perspectives and
Discourse, London: Nerwood N.J., 1958.
Ma’luf (Al-), Lewis, Al-Munjid fî al-Lugah wa al-A‘lãm, cet.
ke-24, Beirũt: Dãr al-Masyriq, 1989.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
23
Abdul Ghaffar
Manẓũr, Ibnu, Lisãn al-‘Arab, Jilid I., Beirũt: Dãr al-Ma‘ãrif,
t.t., I.
Pradopo, Rachmat Djoko, “Penelitian Sastra dengan
Pendekatan Semiotik”, Yogyakarta: Hanindita, 2002.
------, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode dan Teknik Penelitian
Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Rũmĩ (Ar-), Ulũm al-Qur’ãn, Studi Kompleksitas al-Qur’ãn,
Yogyakarta: Titihan Ilahi Press, 1997.
Sa’ad, Ibnu, Aṭ-Ṭabaqãt al-Kabĩr, Leiden: K.V. Zettersteen,
1905.
Saussure, Ferdinand, de, Course in General Linguisties,
London: Duckworth, 1990.
Sayũṭĩ (As-), Abd. Ar-Rahmãn, Al-Itqãn fĩ ‘Ulũm al-Qur’ãn,
Jilid. I., Bairut: Dãr al-Fikr, t.t.
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006.
Sudjiman, Panuti, dan Aart van Zoest, Serba Serbi Semiotika,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1996.
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Usaha
Memaknai Kembali Pesan al-Qur’ãn, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Syãṭibi (Asy-), Al-Muwafaqat fi Uṣul al-Aḥkãm, Kairo: t.p.,
1341 H., II
Verhaar, J.W.M., Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta:
UGM Press, 2008.
Watt, Montgomery Watt and Ricard Bell, Introduction to the
Qur’an, Edinburg: Edinburg University Press, 1977.
Wijaya, Aksin, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan,
Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004.
Zayd, Naṣr Ḥamid Abũ, Mafhũm an-Naṣ: Dirãsah fi ‘Ulũm alQur’ãn Kairo: Al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah li alKitãb, 1993.
______, An-Naṣ wa as-Sulṭah wa al-haqĩqãh, Beirũt: Al-Markaz
aś-Śaqãfĩ al-‘Arabĩ, 2000.
24 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Download