View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TEORI DASAR
1.
Komunikasi massa
Aneka pesan melalui sejumlah media massa (koran,majalah, televisi, film,
dan media on line/ internet), dengan sajian berbagai peristiwa yang memiliki nilai
berita ringan sampai berita tinggi, mencerminkan proses komunikasi massa yang
selalu menerpa kahidupan manusia. Artinya, tidak ada orang yang terlepas dari
terpaan media massa.
Sejalan dengan dengan perkembangan teknologi komunikasi, media
komunikasi massa pun semakin canggih dan kompleks, serta memiliki kekuatan
yang lebih dari masa-masa sebelumnya, terutama dalam hal menjangkau
komunikan. Sebagaimana dikemukakan Marshal McLuhan, kita sekarang hidup
dalam desa dunia (global village), karena media massa modern memungkinkan
berjuta-juta orang di seluruh dunia untuk berkomunikasi ke hampir setiap pelosok
dunia (Ardianto, 2007:2).
Harold D.Lasswell, seorang ahli politik di Amerika Serikat mengemukakan
suatu ungkapan yang sangat terkenal dalam teori dalam penelitian komunikasi
massa. Ungkapan tersebut merupakan suatu formula dalam menentukan scientific
study dari suatu proses komunikasi massa dengan menjawab pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: who (siapa), says what (berkata apa), in which cannel
(melalui saluran/media apa), to whom (kepada siapa) dan with what effect (dengan
efek apa)?(Ardiyanto,2007:28)
19
Komunikasi massa merupakan suatu proses yang melukiskan bagaimana
komunikator menggunakan teknologi media massa secara proporsional guna
menyebarluaskan pesannya melampaui jarak untuk memperngaruhi khlayak
dalam jumlah yang banyak. Komunikasi massa, seperti bentuk komunikasi
lainnya (komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok atau komunikasi
organisasi), sedikitnya memiliki enam unsur , yakni komunikator (penyampai
pesan), pesan, media, komunikan (penerima pesan), efek, dan umpan balik.
Jikalau kita memasukkan pembahasan pengintepretasian tanda pada profile
picture ke dalam formula rumusan komunikasi Lasswell, maka
kita akan
menjawab pertanyaan sebagai berikut:
(Siapa?) Pemilik akun facebook yang terpilih menjadi informan
(Mengatakan apa?) Eksistensi diri sang pemilik akun
(Dengan saluran apa?) Profile picture pada Media massa on line dalam
situs pertemanan Facebook
(Kepada siapa?) Khalayak pengguna facebook lain yang terdaftar dalam
friendlist pemilik akun
(Dengan akibat apa?) menjadi media komunikasi piktorial atas sebuah
informasi, peristiwa atau menjadi visualisasi dari sebuah pribadi dalam
bersosialisasi demi citraan diri mereka membawa identitas sosial dan
budaya masing-masing dalam bereksistensi.
20
B. Interaksionalisme Simbolik
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup
sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru
Blumer) yang kemudian dimodifikasi oleh Blumer untuk tujuan tertentu.
Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga
premis utama (Kuswarno, 2008:22), yaitu:
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh
orang lain, dan,
3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
sedang berlangsung.
Pada dasarnya teori interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakikat
manusia yang adalah makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi
dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi
simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya.
Alasannya adalah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang
luar dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbolmisalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang dipakai-bersifat dinamis dan
unik.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut
manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan
simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas
21
simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan.
Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup
manusia dan lingkungannya.
Cara Kerja Teori Interaksionisme Simbolis
Teori interaksionisme simbolis adalah suatu faham atau aliran yang
implementasinya menginterpretasikan pemaknaan dalam interaksi sosial antar
individu satu dengan yang lain dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya,
memberinya makna yang dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain yang bukan hanya
sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus respons. Teori ini
dicanangkan sebagai studi perilaku individu dan atau kelompok kecil masyarakat
melalui serangkaian pengamatan dan deskripsi. Metode ini berlandaskan pada
pengamatan atas apa yang diekspresikan orang meliputi penampilannya, gerakgeriknya, dan bahasa simbolik yang muncul dalam situasi sosial. Seperti yang
dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa
interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang
bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis.
Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret
dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari
tindakan sosial dan hubungan sosial (kikyo.blog.uns.ac.id).
C. FOTOGRAFI DAN PEMAKNAANNYA
1.
Foto Sebagai Media Representasi
22
Dokumen dari kehidupan sosial salah satunya bisa berupa foto-foto
mewakili realitas dari apa yang dipotret oleh fotografer maupun atas apa yang
dialami oleh objek foto. Secara harfiah, representasi diartikan sebagai perwakilan
atas sesuatu. Melalui media foto sebuah peristiwa diabadikan dalam materi
tertentu, kemudian dihadirkan kembali.
Sesuai dengan fungsinya yaitu representasi. Foto merupakan salah satu
bentuk komunikasi. Foto dianggap bisa mewakili citra/ identitas dari sang
pemilik. Pada titik inilah representasi penting dibicarakan. Istilah representasi itu
sendiri menunjukkan pada seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat
tertentu ditampilkan.
Dalam bukunya yang berjudul Cultural representation and signifying
Practices, Stuart Hall mengatakan adanya dua sistem representasi yaitu: pertama
mental representation: " meaning depend on the system of concepts and images
formed in our thoughts which can stand for a represent the world, enabling as to
refer the things both inside and outside our head". sistem representasi yang kedua
adalah makna yang bergantung pada konstruksi sebuah set korespondensi antara
peta konseptual kita dengan sebuah set tanda.
Sistem
pertama
membuat
kita
memaknai
dunia
dengan
mengkonstruksikan seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan peta
konseptual kita. sistem kedua membuat kita merekonstruksikan seperangkat rantai
korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol merupakan inti
dari produksi makna lewat bahasa. proses yang megnhubungkan ketiganya secara
bersama-sama inilah yang dinamakan dengan repsentasi.
23
Foto adalah medium yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu
dan juga sebagai perantara memproduksi dan mengubah makna. hal ini
dimungkinkan karena foto beroperasi sebagai sistem representasi. lewat foto kita
mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. makna sesuatu
hal sangat tergantung dari cara kita merepresntasikannya. dengan mengamati
tanda-tanda yang ada pada foto kita dapat mengetahui nilai-nilai yang ada pada
foto tersebut.
Terdapat tiga pendekatan dalam representasi untuk menjelaskan
bagaimana representasi makna lewat foto bekerja. pendekatan pertama adalah
pendekatan reflektif yang mengatakan foto sebagai cermin yang merefleksikan
makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada didunia. pendekatan yang
kedua
adalah
pendekatan
intensional,
dimana
foto
digunakan
untuk
mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu.
sedangkan ketiga adalah pendekatan konstruksionis yang mengatakan bahwa kita
mengkostruksi makna lewat foto yang kita pakai (Roby Irsyad,2005:20-21).
2.
Teori Messaris ; Fotografi sebagai keberaksaraan visual
Dalam teori yang digali Paul Messaris, gambar-gambar yang dihasilkan
manusia, termasuk fotografi bisa dipandang sebagai suatu keberaksaraan visual.
Dengan kata lain gambar-gambar itu bisa dibaca. Sehingga konsekuensi pendapat
ini, gambar-gambar pun merupakan bagian dari suatu cara berbahasa karena
penampakan memiliki kapasitas koheresi karena mengkonstitusikan sesuatu yang
mendekati bahasa (Ajidharma, 2002; 26). Berger menyebutnya setengah-bahasa.
24
Dalam hubungannya antara foto dan kata-kata, foto meminta interpretasi dan katakata biasanya akan memberi.
Namun proses menuliskan dan membaca gambar itu berbeda dengan proses
bahasa. Untuk menyisipkan pendapat Brooks Johnson: kegiatan memotret lebih
dekat jika dihubungkan kepada penyuntingan daripada penulisan ; subjek- dunia
fisik disekitar kita- sudah eksis dan fotografer bertanggung jawab untuk
menyusun kembali pemandangan-pemandangan yang tergambar dari sana, dari
fakta-fakta fisik yang sudah merupakan teks tertulis. Tetapi jika dalam bahasa
hubungan antara penanda dan petanda adalah sembarang. Maka dalam gambar
tidaklah sesembarang bahasa. Sebaliknya kembali kepada Messaris, jika dalam
bahasa susunan kalimat sebagai makna lebih mungkin didefinitifkan, maka hal itu
tidak mungkin dilakukan dengan pemaknaan gambar-gambar. Dalam gambargambar yang maknanya hadir secara definitif, terdapat manipulasi. Artinya,
gambar-gambar hanya akan hadir sebagai pengetahuan jika dipandang secara
kritis.
Messaris menyatakan adanya empat aspek keberaksaraan visual:
a. Keberaksaraan visual sebagai prasyarat pemahaman media visual. Citra
media visual termasuk foto, sering sangat berbeda dari penampilan dunia nyata.
Karena perbedaan sering dikatakan bahwa kemampuan mengintepretasi media
visual tergantung dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dengan argumen ini
istilah “keberaksaraan visual” mengacu kepada keakraban dengan konvesi visual
yang diperoleh seseorang lewat keterbukaan terhadap media visual.
25
b. Konsekuensi kesadaran umum keberaksaraan visual. Pengalaman dengan
media visual merupakan jalan kearah pemahaman visual yang lebih baik, tapi juga
membawa ke arah peningkatan kemampuan untuk memahami tersebut.
Keterampilan ini dibentuk oleh intepretasi atas media visual, yang akan terpakai
untuk kegiatan intelektual lainnya.
c. Kewaspadaan atas manipulasi visual. Pendidikan visual akan membuat
pemandangan lebih tahan atas manipulasi media visual yang diupayakan iklan
TV, majalah, dan kampanye politk. Meski pembelajaran ini tidak berdampak
banyak atas pemahaman komprehensif pemandang, tapi akan membuatnya
waspada tentang bagaimana makna diciptakan secara visual , dan ini akan
mengurangi terkorbankan dari proses tersebut.
d. Apresiasi estetik. Kewaspadaan atas pengembangan makna media visual
dalam tenggapan pemandang juga bisa dilihat sebagai pembentukan dasar
apresiasi estetik, juga bisa dilihat sebagai pembentukan dasar apresiasi estetik.
Mengetahui bagaimana efek visual tampil, bukan hanya akan mengurangi
ketergetaran yang sebaliknya mungkin dialami dari media visual, namun suatu
pengetahuan terbukti merupakan prasyarat bagi evaluasi keterampilan artistik.
Pendapat Messaris ini mendukung asumsi bahwa dalam suatu foto sebagai
media visual, bukan hanya dimungkinkan untuk menarik suatu makna, melainkan
bahwa makna itu mungkin direkayasa untuk tampil dengan gagasan menghujam.
Sebuah foto jadinya bukan hanya representasi visual objek yang reproduksinya,
melainkan mengandung pesan.
26
D. SEMIOTIKA SEBAGAI BIDANG KAJIAN DAN PISAU ANALISIS
1.
Memahami semiotika visual
Semiotika (semiotics) adalah studi tentang tanda dan kode-kode serta
penggunaannya dalam masyarakat. Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam
konteks komunikasi yang lebih luas, yaitu melibatkan berbagai elemen
komunikasi.
Semiotika visual (visual semiotics) pada dasarnya merupakan salah sebuah
bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan
terhadap segala jenis makna yang disampaiakan melalui sarana indra lihatan
(visual senses). Adapun isu-isu pokok di dalam semiotika visual berdasarkan atas
pembedaan tiga cabang penyelidikan semotika menurut Charles Morris, dapat
diklasifikasikan setidak-tidaknya ke dalam tiga dimensi, yakni dimensi sintaktik,
semanatik, dan pragmatik.(Budiman,2011:10-15)
a. Dimensi sintaktik
Persoalan di dalam dimensi sintaktik berkisar pada homologi di antara
bahasa dan gambar/ lukisan. Dapatkah istilah atau kiasan “ bahasa
gambar” (the language of pictures) diperlakukan secara harfiah
sedemikian sehingga tiba pada tahap ditemukannya struktur pictorial
yang setara dengan tataran gramatika bahasa? Sebagian pakar
semiotika berpendapat bahwa struktur sebuah represntasi visual dapat
dipilah kedalam satuan-satuan pembentuknya yang sedikit-banyak
analog dengan sistem kebahasaan, kendati hal ini tidak sekaligus
menunjukkan adanya artikulasi ganda (double articulation). Di dalam
27
sistem bahasa. Artikulasi ganda tersebut terwujud sebagai satuan
terkecil yang bermakna dan satuan terkecil yang membedakan makna.
Persoalan sintaktik visual pun pada akhirnya perlu lebih banyak
mencurahkan perhatiannya kepada relasi-relasi yang selalu sudah
terjalin di antara sebuah teks visual (misalnya sebuah foto) dengan
teks-teks yang lain agar tidak kehilangan keutuhan, bahkan pluralitas
maknanya. Sebab sebuah teks baru bermakna dalam kaitan atas
pertentangannya dengan teks-teks lain. Pada titik inilah antara lain,
persoalan sintaktik akan bertemu dengan semantik.
b. Dimensi Semantik dan Pragmatik
Masalah-masalah yang menyangkut dimensi semantik juga merupakan
salah satu isu sentral dalam pendekatan semiotika visual. Hal-hal
menjadi pokok perdebatan, antara lain adalah pertanyaan : apakah
tanda-tanda visual dicirikan oleh ikonisitas atau justru indeksikalitas
dan simbolisitas? Sebagian dari pakar semiotika, Charles Morris
misalnya, percaya bahwa gambar tersusun dari tanda-tanda ikonik
seperti dipahami di dalam tipologi Pierce.
2. Semiotika Charles Sanders Pierce
Sedemikian jauh karena banyaknya varitas penampilan karya fotografi
maka diperlukan berbagai sisi pandang dalam menyikapi terutama dalam upaya
untuk memberikan makna kehadirannya yang memang berbeda tujuan dan
keberadaannya. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk mencoba memberi
makna yang paling tepat pada setiap kehadiran karya fotografi. Soedjono dalam
28
bukunya Pot Pouri Fotografi (2007: 38) menyatakan bahwa sebagai karya visual
dwimatra, karya fotografi hanya dapat di maknai dengan persepsi/pengindraan
visual pula. Keberadaannya menstimulasi daya persepsi visual dengan
mengirimkan sinyal-sinyal refleksi pantulan cahaya melalui retina mata menuju
pusat syaraf otak manusia. Hal ini terjadi melalui suatu proses berpikir empiricalreferential yang melibatkan pusat bawah sadar manusia guna mendapatkan
konfirmasi visual terhadap apa yang dipersepsinya.
Segala bentuk pengalaman dan akumulasi wawasan pengetahuan
seseorang akan menentukan seberapa besar atau luas hasil proses cognitive-nya.
Proses ini pula sering disebut sebagai upaya intepretasi. Yaitu suatu cara dalam
memahami dan memberikan satu pemaknaan berdasarkan berbagai aspek analisis
yang terkonfirmasikan dari referensi yang ada. Hasil dari konfirmasi visual inilah
yang akan mewarnai makna kehadiran sebuah karya fotografi. Dalam konteks ini
peranan kajian semiotika diperlukan sebagai salah satu cara menyikapi cara
pandang pencarian makna tersebut yang terkadung dalam tanda-tanda yang
dihadirkan. Gudykunts dan Kim memberikan suatu asumsi bahwa manusia dalam
kehidupan komunikasinya dalam budaya tertentu tidak bisa lepas dari simbol
simbol atau tanda tanda (Gudykunts and Kim dalam Seto, 2001 :119).
Menurutnya bahwa manusia pada dasarnya hidup dalam dunia tanda yang
memperngaruhi cara bertindak dan berinteraksi. Little John mengatakan bahwa
tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantara tanda bisa
melakukan komunikasi dengan sesamanya.
29
Biasanya dalam sebuah gambar, foto atau lukisan, didalamnya pati
terdapat unsur-unsur yang menjadi tanda dan akhirnya menimbulkan suatu makna
tertentu sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi yang melihatnya.
Charles Sanders pierce (1939-1914) melihat suatu hubungan antara tanda,
objek, dan makna. Pemikiran Pierce ini bisa dijelaskan melalui bagan segitiga
makna pada gambar berikut:
sign
intepretan
Menurut
Pierce,
tanda
dibentuk
object
oleh
hubungan
segitiga
yaitu
Representamen yang oleh pierce disebut juga tanda (sign) berhubungan objek
yang dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan intepretant.
Tanda atau representasi adalah bagian tanda yang merujuk pada sesuatu
menurut cara atau berdasarkan kapasitas tertentu.
Pierce mengistilahkan representament sebagai benda atau objek yang
berfungsi sebagai tanda.
Objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Biasanya objek merupakan
sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri atau objek dan tanda bisa jadi merupakan
entitas yang sama.
Ada beberapa macam objek dalam teori semiotika yang dikemukakan
Pierce. Yaitu
e. Objek Representasi
30
(Objek sebagaimana direpresentasikan oleh tanda)
f. Objek dinamik
(objek yang tidak bergantung pada tanda, objek inilah yang
merangsang penciptaan tanda)
Intepretant merupakan efek yang ditimbulkan dari proses penandaan atau
bisa juga intepretant adalah tandasebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai
hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri (Seto,2011:140).
Sebagaimana objek menurut Pierce, intepretant dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Immediate intepretant (makna pertama) makna yang muncul ketika kita
memahami tanda secara bebas. Efek pertama atau potensi makna sebuah
tanda, sebelum adanya penafsiran. Contoh seseorang menengadah ke
langit
b. Dynamic interpretant (makna dinamis). Makna yang merupakan efek
langsung tanda. Efek langsung yang betul-betul dihasilkan sebuah tanda
pada penafsir, yang berbeda dari satu penafsiran lainnya (meskipun
ditafsirkan oleh seorang penafsir). Contoh seorang tanpa bermaksud
memfokuskan diri pada benda tertentu, sebagai tanggapan langsung dari
tangan yang menunjuk ke langit.
c. Final intepretant (makna akhir). Makna yang merupakan efek tanda yang
relatif jarang secara penuh berfungsi pada setiap contoh penggunaan.
Sesuatu yang pada akhirnya diputuskan sebagai tafsiran yang sebenarnya.
Contoh langsung mengarah pada bintang tertentu yang ditunjukkan oleh
31
jari dan menyadari bahwa jari yang diacungkan tersebut selalu berarti
bahwa bintang yang dimaksudkan sudah pasti proxima centauri.
Apabila ketiga elemen makna tersebut berinteraksi dalam benak seseorang
maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.
Di antara tipologi Pierce yang terkenal adalah pengelompokan tanda
menjadi tiga macam oleh Pierce dalam Sobur (2004: 41), yaitu:
1. Ikon, yaitu hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan.
2. Indeks, yaitu tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara signifier dan signified yang bersifat kausal atau hubungan sebab
akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
3. Simbol, yaitu tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
signifier
dan
signified.
Hubungan
ini
berdasarkan
konvensi
(kesepakatan masyarakat).
Dalam menganalisis Profile Picture, metode analisis yang diterapkan jika
mengacu pada kerangka analisis Charles Sanders Pierce yang dilakukan dengan
mengadaptasi jenis-jenis tanda berdasarkan hubungan objek dengan tanda akan
berbentuk sebagai berikut:
Jenis tanda
Icon
Penjelasan
Unit Analisa
(yaitu hubungan antara tanda
-gambar diri
dan objek atau acuan yang
-gambar latar belakang
bersifat kemiripan)
Indeks
(Adanya kedekatan eksistensi
-warna dominan
32
antara tanda dengan objek atau
-arah telunjuk,arah pandang
adanya hubungan sebab akibat
-gesture tubuh
contohnya
-pakaian yang digunakan dan
sebuah
tiang
penunjuk jalan, ada asap maka
warnanya
ada api)
Symbol
(hubungan
ini
konvensional
dalam
adanya
persetujuan
bersifat
artian
Logo, teks slogan, teks body
copy
tertentu
antara para pemakai tanda,
contohnya
adalah
bahasa,bendera)
E. Tinjauan Penelitian
Analisis mengenai Facebook telah diteliti sebelumnya pada tahun 2009 Oleh
Erma Musrianti. Hasil penelitian yang dilakukan dengan analisis semiotika
sederhana ini menyimpulkan bahwa melalui teks-teks informan, hubungan sosial
dalam Facebook secara dominan direpresentasikan sebagai hubungan yang high
context. Selain itu juga
Penelitian ini juga menemukan hasil bahwa para
pengguna Facebook memaknai hubungan sosial dalam Facebook sebagai
perpanjangan dari ekspresi diri dan hubungan sosial mereka di ruang fisik (Erma
Musrianti. 2009)
Analisis semiotika foto di media massa telah dilakukan terhadap foto-foto
tentara AS di halaman satu surat kabar Republika selama 21 hari pertama perang
irak dengan kerangka semiotika Roland Barthes. Dari hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa representasi tentara AS tampil sejalan dengan kebijakan
33
republika yang anti AS dalam pemberitaan Irak. tentara AS direpresentasikan
sebagai tentara penjajah, pihak yang ingin menguasai sumber daya minyak irak.
Tentara yang tidak kompeten sehingga mengakibatkan rekannya sendiri menjadi
korban, dan tentara yang bisa dikalahkan meskipun didukung dengan persenjataan
yang canggih. (Roby Irsyad. 2005: 55-92).
Download