PENGARUH KEMATANGAN EMOSI DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ALTRUISME PADA MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Disusun Oleh SAFIRA AINUN ZAHRA 207070000738 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014/1435H MOTTO “Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa. Dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran dan bertaqwalah kalian kepada Allah amat berat siksaanNya.” (QS. Al-Maidah ayat 2) “Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang, tetapi bagaimanapun tetap berbuat baiklah” (Penulis) Karya sederhana ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta, kakak-kakak dan adikku, serta sahabatsahabat terbaikku. Kalian penyemangat ku. Safira Ainun Zahra iv ABSTRAK (A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (B) 20 Agustus 2014 (C) Safira Ainun Zahra (D) xii + 101 Halaman + Lampiran (E) Pengaruh Kematangan Emosi dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Altruisme Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (F) Altruisme adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan demi kebaikan orang lain. Namun seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi pada saat ini semakin banyak individu yang mementingkan dirinya sendiri dan berkurangnya rasa tolong menolong antar sesama, terutama pada mahasiswa. Penulis berhipotesis bahwa variable kematangan emosi (kemandirian, kemampuan menerima kenyataan, kemampuan beradaptasi dan kemampuan menguasai amarah) dan pola asuh orang tua (otoriter, otoritatif dan permisif) serta variable jenis kelamin mempengaruhi perilaku altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kematangan emosi dan pola asuh orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melibatkan 250 responden mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Self-Report Altruism Scale (SRA) untuk mengukur altruisme. Skala kematangan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan karakteristik kematangan emosi menurut Smitson. Dan Parental Authority Questioner (PAQ) untuk mengukur pola asuh orang tua. pengukuran validitas skala penelitian ini menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda dengan penghitungan yang dibantu menggunakan software SPSS versi 18. Berdasarkan hasil perhitungan regresi berganda didapatkan R square sebesar 0.072. Hal ini berarti 7,2% variabel altruisme dapat dijelaskan oleh 8 variabel yaitu kematangan emosi (kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi dan mampu menguasai amarah) dan pola asuh orang tua (otoriter, otoritatif dan permisif) dan jenis kelamin dengan indeks signifikansi sebesar 0.011 (p < 0.05), yang berarti hipotesis utama penelitian (Ho) yang menyatakan ada pengaruh kematangan emosi dan pola asuh orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dapat diterima. Terdapat tiga independen variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap altruisme yaitu variabel kemampuan beradaptasi, kemampuan menguasai amarah, dan pola asuh otoriter-permisif. (G) Daftar bacaan : 20 bacaan + 14 jurnal + 5 artikel + 3 skripsi. v KATA PENGANTAR Assalammualaikum Wr. Wb Syukur alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah swt atas segala rahmat, hidayah, dan kekuatan yang telah diberikan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kematangan Emosi dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Altruisme Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam. Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si sebagai Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi dekan inspiratif. 2. Dosen Pembimbing I, Bambang Suryadi,Ph.D dan Dosen Pembimbing II Ilmi Amalia, M.Psi, Psi atas seluruh nasehat, masukan, motivasi, inspirasi, serta saran dan kritik yang membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 3. Terima kasih untuk kak Puti Febrayosi, M.Si selaku Mentor Psikometri yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan. Semoga ilmu yang telah diberikan kepada penulis menjadi ilmu yang tayyiban lagi barokah. 4. Untuk seluruh dosen Fakultas Psikologi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas seluruh ilmu pengetahuan yang telah diberikan. 5. Seluruh staff akademik Fakultas Psikologi UIN Syarif hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu peneliti dalam menjalani perkuliahan dan menyelesaikan skripsi. 6. Para responden yaitu Mahasiswa/i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bersedia meluangkan waktu dan tenaganya dalam proses pengambilan data. 7. Kedua orangtua penulis A. Malik MTT, M.Si dan Yunia Elvira, S.H terima vi kasih banyak untuk setiap doa, dorongan, cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis. 8. Saudara-saudari penulis Destaria Himmawati, S.Kom, M. Ilmi Rizki Tuanaya, S.Psi, M. Zufar Ramadhani terima kasih atas segala dukungan kepada penulis. 9. Sahabat-sahabat terbaikku, Shinta, Uthe, Dyni, Mala, Maya, Lisa terima kasih karena selalu ada dalam susah senangku, dan atas doa, semangat serta bantuan yang tak pernah berhenti diberikan kepada penulis. Teman seperjuangan skripsiku, Yashinta, Yono, Diky, Tirta, Milcham dan temanteman ekstensi 2007 terima kasih atas dukungannya selama ini kepada penulis. 10. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih. Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan. Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Jakarta, 20 Agustus 2014 Penulis vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... SURAT PERNYATAAN .............................................................................................. MOTTO ................................................................................................................... ABSTRAK .............................................................................................................. KATA PENGANTAR ........................................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. i ii iii iv v vi vii ix x xii BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 1.2.1. Pembatasan Masalah ............................................................. 1.2.1. Perumusan Masalah................................................................. 1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 1.3.1 Tujuan Penelitian .................................................................... 1.3.2 Manfaat Penelitian .................................................................. 1.4.Sistematika Penulisan ........................................................................ 1 1 7 7 8 9 9 10 10 BAB 2. KAJIAN PUSTAKA............................................................................. 2.1. Altruisme.......................................................................................... 2.1.1. Pengertian Altruisme ............................................................. 2.1.2. Teori Altruisme ..................................................................... 2.1.3. Karakteristik Altruisme ......................................................... 2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Altruisme ...................... 2.1.5. Aspek Jenis Kelamin ............................................................. 2.1.6. Pengukuran Altruisme ........................................................... 2.2. Kematangan Emosi.......................................................................... 2.2.1. Pengertian Kematangan Emosi ............................................. 2.2.2. Aspek-aspek Kematangan Emosi .......................................... 2.2.3. Karakteristik Kematangan Emosi.......................................... 2.2.4. Faktor-faktor Kematangan Emosi ......................................... 2.2.5. Hubungan kematangan emosi dengan altruisme ................... 2.2.6. Pengukuran Kematangan Emosi ........................................... 2.3. Pola Asuh Orang Tua ...................................................................... 2.3.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua .......................................... 2.3.2. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua .......................................... 2.3.3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Altruisme ............. 2.3.4. Pengukuran Pola Asuh Orang Tua ........................................ 2.4. Kerangka Berpikir ........................................................................... 2.5. Hipotesis Penelitian ......................................................................... 12 12 12 13 14 17 19 20 20 20 21 24 27 28 29 31 31 32 36 37 38 42 viii BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................... 3.1. Populasi dan Sampel ....................................................................... 3.2. Variabel Penelitian .......................................................................... 3.3. Definisi Operasional ........................................................................ 3.4. Pengumpulan Data .......................................................................... 3.4.1. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data ............................................... 3.4.2.1. Skala Altruisme......................................................... 3.4.2.2. Skala Kematangan Emosi ......................................... 3.4.2.3. Skala Pola Asuh Orang Tua ...................................... 3.5. Uji Validitas Instrumen ................................................................... 3.5.1. Uji Validitas Konstruk Altruisme ......................................... 3.5.2. Uji Validitas Konstruk Kematangan Emosi .......................... 3.5.2.1. Kemandirian.............................................................. 3.5.2.2. Kemampuan Menerima Kenyataan .......................... 3.5.2.3. Kemampuan Beradaptasi .......................................... 3.5.2.4. Kemampuan Menguasai Amarah .............................. 3.5.3. Uji Validitas Konstruk Pola Asuh Orang Tua ....................... 3.5.3.1. Otoriter ...................................................................... 3.5.3.2. Otoritatif.................................................................... 3.5.3.3. Permisif ..................................................................... 3.6. Teknik Analisis Data ....................................................................... 3.7. Prosedur Penelitian ......................................................................... 44 44 45 45 47 47 47 48 49 50 51 54 57 57 59 61 62 64 64 66 68 70 73 BAB 4. HASIL PENELITIAN .......................................................................... 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ............................................... 4.2. Kategorisasi Deskripsi Variabel .......................................................... 4.2.1. Kategorisasi Skor Altruisme ..................................................... 4.2.2. Kategorisasi Skor Kematangan Emosi .................................. 4.2.2.1. Kemandirian.............................................................. 4.2.2.2. Kemampuan Menerima Kenyataan ......................... 4.2.2.3. Kemampuan Beradaptasi .......................................... 4.2.2.4. Kemampuan Menguasai Amarah .............................. 4.2.3. Ketegorisasi Skor Pola Asuh Orang Tua............................... 4.4. Uji Hipotesis Penelitian ................................................................... 4.4.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian ..................................... 4.3.2 Pengujian Varians masing-masing Independen Variabel ....... 74 74 74 76 76 76 77 78 78 79 79 79 84 BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ......................................... 5.1. Kesimpulan .................................................................................. 5.2. Diskusi ......................................................................................... 5.3. Saran............................................................................................. 5.3.1. Saran Teoritis ...................................................................... 5.3.2. Saran Praktis ....................................................................... 87 87 88 92 93 93 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 94 LAMPIRAN ........................................................................................................ 98 ix DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Tabel Tabel Bobot Nilai ...................................................................... Tabel 3.2. Tabel Blue Print Skala Altruisme........................................................ Tabel 3.3. Tabel Blue Print Skala Kematangan Emosi ....................................... Tabel 3.4. Tabel Blue Print Skala Pola Asuh Orang Tua .................................... Tabel 3.5. Tabel Muatan Item Altruisme ............................................................. Tabel 3.6. Tabel Muatan Item Kemandirian......................................................... Tabel 3.7. Tabel Muatan Item Kemampuan Menerima Kenyataan ..................... Tabel 3.8. Tabel Muatan Item Kemampuan Beradaptasi ..................................... Tabel 3.9. Tabel Muatan Item Kemampuan Menguasai Amarah......................... Tabel 3.10. Tabel Muatan Item Otoriter ............................................................ Tabel 3.11. Tabel Muatan Item Otoritatif ............................................................ Tabel 3.12. Tabel Muatan Item Permisif .............................................................. Tabel 4.1. Tabel Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ............. Tabel 4.2. Tabel Deskripsi Statistik Variabel Penelitian ...................................... Tabel 4.3. Tabel Norma Skor ............................................................................... Tabel 4.4. Tabel Kategorisasi Skor Altruisme ..................................................... Tabel 4.5. Tabel Kategorisasi Skor Kemandirian................................................. Tabel 4.6. Tabel Kategorisasi Skor Kemampuan Menerima Kenyataan ............. Tabel 4.7. Tabel Kategorisasi Skor Kemampuan Beradaptasi ............................. Tabel 4.8. Tabel Kategorisasi Skor Kemampuan Menguasai Amarah................. Tabel 4.9. Tabel Kategorisasi Skor Pola Asuh Orang Tua ................................... Tabel 4.10. Tabel R-Square .................................................................................. Tabel 4.11. Tabel Anova ...................................................................................... Tabel 4.12. Tabel Koefisien Regresi .................................................................... Tabel 4.13. Tabel Proporsi Varian Masing-Masing Independent Variable ......... x 48 50 51 52 58 60 62 64 66 68 70 72 77 78 79 79 80 80 81 81 82 83 83 84 88 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir ................................................................. Gambar 3.1 Path Diagram Altruisme ................................................................... Gambar 3.2 Path Diagram Kemandirian .............................................................. Gambar 3.3 Path Diagram Kemampuan Menerima Kenyataan ........................... Gambar 3.4 Path Diagram Kemampuan Beradaptasi ........................................... Gambar 3.5 Path Diagram Kemampuan Menguasai Amarah .............................. Gambar 3.6 Path Diagram Otoriter....................................................................... Gambar 3.5 Path Diagram Otoritatif ................................................................... Gambar 3.5 Path Diagram Permisif...................................................................... xi 42 57 60 62 64 65 67 69 71 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan skripsi. 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Artinya manusia membutuhkan bantuan orang lain dalam segala aspek kehidupannya. Sebagai makhluk sosial, manusia dididik untuk mematuhi serangkaian peraturan dan norma dalam menjalani hidupnya. Salah satu hal yang selalu diajarkan sejak kecil kepada kebanyakan orang adalah kebiasaan untuk menolong orang lain. Perilaku menolong orang lain tersebut biasa disebut perilaku “altruisme”. Menurut Sears (1994), perilaku altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun (kecuali perasaan telah melakukan kebaikan). Dapat dilihat tingkah laku altruisme terhitung cukup banyak seperti bekerja keras, menjual kue, mengadakan konser mengumpulkan uang yang bertujuan untuk disumbangkan kepada orang-orang kelaparan dan menolong anak-anak yang menderita keterbelakangan mental dan ada pula remaja yang mengambil dan merawat kucing yang terluka (Santrock, 2007). 1 2 Perilaku altruisme juga sering kali kita temukan di kalangan remaja. Ada beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia seperti yang diberitakan pada Suara Harian Merdeka yaitu aksi heroik tiga bocah yang telah menggagalkan upaya pemerkosaan terhadap anak di hutan Tapos, Bogor (Suara Merdeka.com, 2013). Fenomena lain masalah perilaku altruisme adalah penggalangan dana untuk korban bencana banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Ratusan siswa SMAN 6 Madiun, Jawa Timur, menggalang dana atas kejadian bencana tersebut (Antara, 2010) Namun seiring dengan kemajuan teknologi dan komunikasi pada saat ini semakin banyak individu mementingkan dirinya sendiri dan berkurangnya rasa tolong menolong antar sesama. Semakin berkembangnya aktivitas pada setiap orang, maka akan semakin sibuk dengan urusannya sendiri, yang memunculkan sifat atau sikap individualisme yang menjadi ciri manusia modern. Adanya sikap individualistik juga berakibat pada semakin tingginya pertimbangan untung rugi dalam setiap perbuatan yang akan dilakukan, termasuk juga perilaku menolong orang lain (Linch & Cohen dalam Sears, 1994), Jika individu cenderung berpikir demi kepentingan sendiri tanpa memperdulikan kepentingan orang lain (individualistik), maka hal itu akan mendorong munculnya perilaku tidak peduli terhadap orang lain, baik dalam keadaan senang atau susah bahkan dalam situasi kritis sekalipun. Akibatnya seseorang lebih memilih apatis, pasif atau pura-pura tidak tahu ketika menjumpai situasi yang membutuhkan pertolongan sebagai reaksi yang dilakukan agar terbebas dari resiko dan tanggung jawab jika menolong dengan segera. 3 Fenomena semakin berkurangnya perilaku altruisme terjadi pada kakak beradik yang yang tewas dalam kecelakaan kendaraan di Trase Kering Kanal Banjir Timur (KBT), Cakung Utara, Jakarta Timur yang menjadi tontonan warga. Jasad dibiarkan tergeletak di lokasi kejadian hingga tiga jam (Kuwado, 2012). Fenomena berkurangnya perilaku altruisme juga terjadi di negara lain, misalnya di New Delhi, dimana mahasiswi india berusia 23 tahun tewas dirumah sakit dua minggu setelah diperkosa di sebuah bis di New Delhi. Orang-orang yang berjalan membiarkan mahasiswi india yang diperkosa tanpa busana dan berdarahdarah di jalan sampai sekita satu jam (Radio Australia, 2013). Fenomena yang lain terjadi di Negeri Tirai Bambu China, dimana Yueyue gadis berusia 2 tahun ditabrak mobil dari arah berlawanan. Pengemudi yang menabraknya kabur dan 18 orang yang melintasi Yueyue lewat begitu saja dan hanya ada seorang wanita tua yang menolongnya. Yueyue dirawat intensif di rumah sakit, tetapi akhirnya meninggal dunia (Zonacoppaser, 2011) Dapat dilihat dari fenomena-fenomena di atas menunjukkan melemahnya perilaku altuisme dalam kehidupan masyarakat. Perilaku altruisme diharapkan ada pada setiap diri remaja yang merupakan generasi penerus bangsa. Pada usia remaja ini diharapkan seseorang mampu mengembangkan pribadinya sesuai dengan nilai etika dan moral dalam bentuk perilaku altruisme. Perilaku altruisme adalah perilaku yang menguntungkan orang lain dan memberi manfaat bagi orang orang yang ditolong. Perilaku altruisme mengacu pada tindakan sukarela yang dilakukan untuk kepentingan orang lain seperti berbagi, menyumbang, merawat, menghibur dan membantu (Batson dalam Caprara et.al., 2011). 4 Secara rinci perilaku altruisme ditentukan oleh beberapa faktor, kita harus melihat berbagai faktor yang dapat diasumsikan memberi pengaruh terhadap munculnya perilaku altruisme. Diantara faktor yang mempengaruhi altruisme dalam Sears (1994) adalah faktor perasaan dalam diri seseorang (emosi). Penelitian yang berkaitan dengan altruisme antara lain penelitian dari Hoffman membuktikan bahwa empati meningkatkan perilaku menolong orang lain (Sears, 1994). Enright and Educational Psychology Study Group (1989), telah melakukan penelitian mengenai altruisme dan ditemukan bahwa kondisi yang melibatkan altruisme adalah empati atau simpati terhadap orang lain yang membutuhkan, atau adanya hubungan yang dekat antara si pemberi dan si penerima (Santrock, 2007). Lebih lanjut mengenai kemampuan mengelola emosi, menurut Hurlock (1990), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) mengatakan, kematangan emosi adalah suatu proses dimana kepribadian secara terus menerus berusaha mencapai keadaan emosi yang sehat baik secara intrafisik maupun secara interpersonal. Kematangan emosi memiliki beberapa karakteristik. karakteristik kematangan emosi menurut Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) terbagi menjadi tujuh karakteristik yaitu: kemandirian, mampu menerima kenyataan, 5 mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu berempati, dan mampu menguasai amarah. Kematangan emosi bagi mahasiswa merupakan unsur yang penting karena individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosinya yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Adapun dukungan emosi yang matang berpengaruh dalam sosialisasi dengan orang lain yang ditunjukkan dengan adanya perilaku menerima dan mengerti orang lain atau kelompok lain. Perkembangan perilaku menolong dipengaruhi oleh banyak faktor selain empati. Salah satunya adalah faktor keluarga. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang amat besar dalam membentuk kepribadian anak yang tangguh sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, berinisiatif, berambisi, beremosi stabil, bertanggung jawab, mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif, dan berprilaku altruisme. Sedangkan pola asuh yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian, dan menerapkan peraturanperaturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak cenderung menghalangi perkembangan perilaku prososial anak (Hastings, ZahnWaxler, Robinson, Usher & Bridge, 2000). Tingkah laku sosial (altruisme) sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh di dalam keluarga. Pola asuh yang bersifar otoritatif secara signifikan memfasilitasi adanya 6 kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam menetapkan standar-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong (Bern dalam Sarlito, 2009) Pola asuh orang tua yang otoritatif juga turut mendukung terbentuknya internal locus of control yang merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik (Baron, Byrne, & Branscombe dalam Sarlito 2009), yaitu orang yang suka menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka menolong. Selain faktor di atas peneliti juga ingin mengetahui apakah jenis kelamin (demografi) juga berperan terhadap perilaku altruisme. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zimmer-Gembeck, et.al, (2005) ditemukan bahwa kecenderungan untuk menolong pada anak remaja lebih besar pada remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki (Sarlito, 2009), dari penelitian tersebut peneliti akan memasukkan jenis kelamin sebagai faktor demografi untuk pengetahui apakan jenis kelamin berpengaruh terhadap altruisme. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai fenomena altruisme pada mahasiswa, karena sebagian orang ada yang memberikan bantuan kepada orang lain, tetapi dilain pihak ada juga orang yang sangat tidak peduli pada kesusahan orang lain. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas apakah ada pengaruh pola asuh orang tua dan kematangan emosi terhadap altruisme. 7 Pernyataan ini perlu dibuktikan lebih lanjut dalam suatu penelitian ilmiah, yang akan dituangkan dalam tulisan dengan judu: “Pengaruh Kematangan Emosi dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Altruisme Pada Mahasiswa UIN Jakarta”. 1.2. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah 1.2.1. Batasan Masalah Agar penelitian ini tidak menyimpang dari sasaran yang dikehendaki dan supaya lebih fokus dan terarah, maka peneliti membatasi hanya pada variabel yang akan diteliti yaitu: altruisme, kematangan emosi, pola asuh orang tua dan jenis kelamin. Adapun pembatasan masalahnya, yaitu: a. Altruisme yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri dan salah satu tindakan dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran akan timbal balik (Myers, 2003). b. Kematangan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada mampu mengatur kondisi emosionalnya dalam menghadapi keadaan sekitar maupun dirinya sendiri dan tidak lagi menampilkan pola emosional anakanak, yang ditandai dengan karakteristik yaitu: kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu berempati, dan mampu menguasai amarah (Smitson dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) c. Kemandirian dalam penelitian ini mengacu pada kemampuan memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut. 8 d. Kemampuan menerima kenyataan dalam penelitian ini mengacu pada kemampuan menghadapi kenyataan dan secara efektif menembangkan pola tingkah laku dan pola hubungan dengan orang lain. e. Kemampuan beradaptasi dalam penelitian ini mengacu pada kemampuan berhubungan dengan orang lain atau situasi tertentu secara produktif. f. Kemampuan menguasai amarah dalam penelitian ini mengacu pada kemampuan dalam mengendalikan emosi. g. Pola asuh orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan kasih sayang kepada anak. Dengan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, permisif (Baumrind dalam Santrock, 2002) h. Pola asuh otoriter yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada sikap orang tua yang membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. i. Pola asuh otoritatif yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada sikap orang tua yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menerapkan batasan pada tindakan mereka. j. Pola asuh permisif yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada sikap orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri, hangat jarang menghukum, tidak mengontrol dan tidak menghukum. k. Jenis kelamin 9 1.2.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh kematangan emosi (kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, dan mampu menguasai amarah) dan pola asuh orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 2. Apakah ada pengaruh kemandirian terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 3. Apakah ada pengaruh kemampuan menerima kenyataan terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 4. Apakah ada pengaruh kemampuan beradaptasi terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 5. Apakah ada pengaruh kemampuan menguasai amarah terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 6. Apakah ada pengaruh pola asuh otoriter orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 7. Apakah ada pengaruh pola asuh otoritatiforang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 8. Apakah ada pengaruh pola asuh permisif orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 9. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji, mengetahui dan menjelaskan pengaruh kematangan emosi dan karakteristiknya (kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu berempati, dan mampu mengendalikan emosi), pola asuh orang tua dan aspek-aspeknya (pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, dan pola asuh permisif) dan jenis kelamin terhadap altruime pada mahasiswa UIN Jakarta. 1.3.2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana keilmuan psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi klinis mengenai pengaruh kematangan emosi dan pola asuh orang tua terhadap perilaku altruisme. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi sebagai penelitian selanjutnya. b. Manfaat Praktis Secara praktis, penulis berharap hasil penelitian ini dapat membantu menerangkan apa yang menyebabkan mahasiswa/i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berprilaku altruisme. 11 1.4. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam bab ini yaitu: BAB 1: Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB 2: Kajian Pustaka: pada bagian kedua merupakan kajian pustaka dari penulis yang berisi tentang teori-teori dari penelitian ini, diantaranya teori tentang altruisme yang terdiri dari pengertian dan penjelasannya. Selain itu juga teori tentang pola asuh orang tua dan kematangan emosi. BAB 3: Metodelogi Penelitian: pada bagian ini penulis juga membagi kedalam beberapa bagian, diantaranya pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian yang terbagi menjadi karakteristik dan jumlah subjek penelitian, banyaknya alat bantu pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan terakhir adalah analisis data. BAB 4: Hasil Penelitian: dalam bab ini penulis akan menjelaskan hasil penelitian pada saat penulis di lapangan yaitu: gambaran umum subjek penelitian dan uji hipotesis penelitian. BAB 5: Penutup. Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi, dan saran yang terdiri dari saran teoriti dan juga saran praktis. 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori dan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku altruisme, pola asuh dan kematangan emosi. Bab ini terdiri dari 5 subbab. Subbab pertama adalah membahas tentang altruisme, subbab kedua membahas tentang kematangan emosi, subbab ketiga membahas tentang pola asuh orang tua, subbab keempat membahas tentang kerangka berpikir dan subbab kelima mengenai hipotesis penelitian. 2.1. Altruisme 2.1.1. Pengertian Altruisme Istilah altruisme kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial. Altruisme adalah keadaan motivasional seseorang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain (Batson, 1991). Sementara itu Sears (1994) menyebutkan altruisme adalah tindakan suka rela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga tindakan tanpa pamrih. Menurut Eisenberg and wang, (dalam Santrock, 2007), altruisme adalah ketertarikan yang tidak egois dalam membantu orang lain. Myers (2003) mendefinisikan altruisme sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri dan salah satu tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran akan timbal balik (imbalan). 12 13 Namun altruisme yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain (Baron & Byrne, 2005). Altruisme adalah tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau sekedar ingin beramal baik (Schroeder, Panner, Dovidio, & Piliavin dalam Taylor, 2009). Bersadarkan definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa altruisme adalah suatu tindakan kepedulian dan sukarela menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. 2.1.2. Teori Altruisme Tiga teori menurut Myers (2003) yang dapat menjelaskan tentang motivasi seseorang melakukan tingkah laku altruisme adalah sebagai berikut: 1. Social-exchange Pada teori ini, tindakan menolong dapat di jelaskan dengan adanya pertukaran sosial-timbal balik (imbalan-reward). Altruisme menjelaskan bahwa imbalanreward yang memotivasi adalah inner-reward (distress). Contohnya adalah kepuasan untuk menolong atau keadaan yang menyulitkan (rasa bersalah) untuk menolong. 2. Social Norm Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh "sesuatu" yang mengatakan pada kita untuk "harus" menolong. "Sesuatu" tersebut 14 adalah norma sosial. Pada altruisme, norma sosial tersebut dapat dijelaskan denganadanya social responsibility (tanggung jawab sosial). Adanya tanggung jawab sosial, dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan menolongkarena dibutuhkan dan tanpa mengharapkan imbalan di masa yang akan datang. 3. Evolutionary Psychology Pada teori ini, di jelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah mempertahankan keturunan. Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila "orang lain" yang akan disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik) seperti satu gen, satu suku, satu agama, satu gender, satu negara, perasaan senasib dan Iain-Iain. Dari penjelasan diatas, Myers (2003) menyimpulkan altruisme akan dengan mudah terjadi dengan adanya : 1. Social Responsibility, seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial dengan yang terjadi di sekitamya. 2. Distress-inner reward, kepuasan pribadi-tanpa ada faktor eksternal. 3. Kin Selection, ada salah satu karakteristik dari korban yang hampir sama. 2.1.3. Karakteristik Altruisme Karakteristik individu yang memiliki kecenderungan altruis menurut Bierhoff, Klein, and Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005) antara lain adalah sebagai berikut: 15 1. Empati Mereka yang menolong ditemukan mempunyai empati lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menolong. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka bertanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan, toleran, memiliki self-control, dan termotivasi membuat kesan baik. 2. Mempercayai dunia yang adil Karakteristik dari tingkah laku altruistik adalah percaya pada "a just world", maksudnya adalah orang yang altruis percaya bahwa dunia adalah tempat yang adil dan percaya tingkah laku yang baik diberi imbalan tingkah laku yang buruk mendapat hukuman. Dengan kepercayaan tersebut, mengarah pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan adalah hal yang tepat untuk dilakukan dan adanya pengharapan bahwa orang yang menolong akan mendapat keuntungan dari melakukan sesuatu yang baik. 3. Tanggung jawab sosial Mereka mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan, sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya. 4. Locus Of Control internal Hal ini merupakan kepercayaan individual bahwa dia dapat memilih untuk bertingkah laku dengan cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk. 5. Egosentrisme rendah 16 Seorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan kepentingan dirinya, self absorbed, dan kompetrtif. Cohen (dalam Nashori, 2008) mengungkapkan ada tiga ciri altruisme, yaitu: 1. Empati Empati adalah kemampuan untuk merasakan perasaan yang dialami orang lain. 2. Keinginan memberi Keinginan memberi maksudnya adalah maksud hati untuk memenuhi kebutuhan orang lain. 3. Sukarela Sukarela adalah apa yang diberikan itu semata-mata untuk orang lain, tidak ada keinginan untuk memperoleh imbalan. Dari kedua karakteristik altruisme di atas, peneliti memilih karaktristik yang dikemukakan oleh Bierhoff, Klein, and Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005), yaitu empati, mempercayai dunia yang adil, tanggung jawab sosial, locus of control internal, dan egsentrisme yang rendah. Karena dibandingkan dengan karakteristik menurut Cohen (dalam Nashori, 2008) karakteristik menurut Bierhoff, Klein, and Kramp (dalam Baron & Byrne, 2005) lebih detail dalam menjelaskan karakteristik altruisme. 17 2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aitruisme Menurut Sears (1994), altruisme dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik 1. Faktor Intrinsik a. Perasaan dalam diri seseorang dapat mempengaruhi altruisme karena sudah dapat merasakan manfaat dari menolong itu sendiri. b. Faktor sifat, bahwasannya seseorang menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan sama sekali, kemungkinan karena adanya sifat yang sudah tertanam dalam kepribadian seseorang. 2. Faktor Ekstrinsik a. Bystender, adanya orang lain yang kebetulan berada bersama kita di tempat kejadian. Jadi, semakin banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang untuk menolong. Sebaliknya orang yang sendirian cenderung lebih bersedia untuk menolong. b. Menolong jika orang lain menolon. Hal tersebut sesuai dengan prinsip timbal balik dalam teori norma sosial, adanya seseorang yang sedang menolong orang lain akan memicu yang lain untuk ikut menolong juga. c. Desakan waktu, biasanya orang yang sedang sibuk lebih sulit meluangkan waktunya untuk menolong orang lain di bandingkan orang yang memiliki waktu luang. d. Kemampuan yang dimiliki, jika seseorang merasa mampu maka ia akan cenderung menolong, dan sebaliknya jika ia merasa tidak mampu, maka ia tidak akan menolong. 18 Latane & Darley (Baron & Byrne,2005) menemukan lima langkah penting, yang dapat menimbulkan altruis atau tindakan berdiam diri saja, langkah-langkat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menyadari adanya keadaan darurat, atau tahap perhatian. Untuk sampai pada tahap perhatian terkadang sering terganggu dengan adanya hal-hal lain seperti kesibukan, ketergesahan, mendesaknya kepentingan lain dan sebagainya. 2. Menginterpretasi keadaan sebagai keadaan darurat. Bila pemerhati menginterpretasi suatu kejadian sebagai suatu yang membuat orang membutuhkan pertolongan, maka kemungkinan besar akan diinterpretasikan sebagai korban yang perlu pertolongan. 3. Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong. Ketika individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu darurat, perilaku prososial akan dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong. 4. Mengetahui apa yang harus dilakukan. Bahkan individu yang sudah mengasusmsikan adanya tanggung jawab, tidak ada hal yang berarti yang dapat dilakukan kecuali orang tersebut tahu bagaimana ia dapat menolong. 5. Mengambil keputusan untuk menolong. Meskipun sudah sampai pada tahap dimana individu merasa bertanggung jawab member pertolongan pada korban, masih ada kemungkinan ia memutuskan untuk tidak memberi pertolongan. Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat terlaksananya pemberian pertolongan. Pertolongan pada tahap akhir ini dapat 19 dihambat oleh rasa takut (seringkali rasa takut yang realistis) terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial. 2.1.5. Aspek Jenis Kelamin Peranan jenis kelamin terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh (Deaux, Dane, & Wrightsman dalam Sarlito 2009) Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zimmer-Gembeck, dkk, (2005) ditemukan bahwa kecenderungan untuk menolong pada anak remaja lebih besar pada remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki (Sarlito, 2009) Sedangkan Golberg (1995) mengungkapkan berdasarkan pengamatan terhadap lebih dari 6300 orang pejalan kakidi Boston dan Canbridge, Amerika Serikat, ternyata 1,6% menyumbang kepada peminta-minta jalanan. Di antara para penyumbang itu laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (dalam Sarlito, 2002). Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui hubungan jenis kelamin terhadap perilaku altruisme. 20 2.1.6. Pengukuran Altruisme Dari hasil membaca literatur tentang penelitian mengenai altruisme, peneliti memperoleh instrumen untuk mengukur altruisme, yaitu: 1. Self-Report Altruism Scale (SRA) oleh Rutston, Chisjohn dan Fakken (1981). SRA merupakan alat ukur yang paling popular dan selalu digunakan untuk mengukur altruisme. SRA oleh Rutston, Chisjohn and Fakken (1981) didisain berdasarkan teori Myers (2003) terdiri atas 20 item dan mengukur altruisme dengan 5 aspek yaitu: peduli,penolong,perhatian kepada orang lain,penuh perasaan, rela berkorban. 2. Self-Report Altruism Scale (SRA) oleh Rutston, Chisjohn dan Fakken (1981) dan di adaptasi dan telah dimodifikasi oleh Krueger, Hicks and McGue (2001) menjadi 45 item yang terdiri atas 4 konten klasifikasi yaitu terhadap teman, kenalan, orang asing dan organisasi. Altruisme dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Self-Report Altruism Scale (SRA) yang dikembngkan oleh Rutston, Chisjohn and Fakken (1981). Alat ukur ini diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dan terdiri atas 20 item. Peneliti memilih alat ukur ini dengan alasan alat ukur tersebut merupakan alat ukur altruisme yang paling sering digunakan. 2.2. Kematangan Emosi 2.2.1. Pengertian Kematangan Emosi Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu proses dimana kepribadian secara berkesinambungan berupaya 21 mencapai kematangan emosi yang sehat serta lebih besar baik secara intrafisik maupun interpersonal. Kematangan emosi dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatu pertimbangan dan tidak mudah berubah-ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 2000). Meskipun demikian menurut Chaplin (2006) emotional maturity (kematangan emosional) satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Dari berbagai definisi mengenai kematangan emosi, maka penulis menyimpulkan bahwa kematangan emosi adalah dimana seseorang dikatakan mampu mengatur kondisi emosionalnya dalam menghadapi keadaan sekitar maupun dirinya sendiri dan tidak lagi menampilkan pola emosional anak-anak. 2.2.2. Aspek-aspek Kematangan Emosi Aspek-aspek kematangan emosi menurut Overstreet (dalam Puspitasari & Nuryoto, 2002) dibagi menjadi enam yaitu: 1. Sikap untuk belajar Bersikap terbuka untuk menambah pengetahuan dari pengalaman hidupnya, dalam artian individu yang matang mampu mengambil pelajaran dari 22 pengalaman hidupnya, sehingga memungkinkan individu untuk menjadi matang dalam menyikapi, memahami dan menilai kehidupan ini. 2. Memiliki rasa tanggung jawab Memilki rasa tanggung jawab untuk mengambil keputusan atau melakukan suatu tindakan dan berani untuk menanggung resikonya. Individu yang matang tidak menggantungkan hidup sepenuhnya kepada individu lain karena individu yang matang tahu bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri-sendiri. Hal ini berarti individu tetap meminta saran atau meniru tingkahlaku yang baik dari lingkungannya. 3. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif Adanya kemampuan untuk mengatakan apa yang hendak dikemukakan dan mampu mengatakannya dengan percaya diri, tepat dan peka akan situasi. Bower and Bower (dalam Puspitasari & Nuryoto, 2002) menyebut hal ini sebagai perilaku asertif, yaitu kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, memilih apa yang akan dilakukan, mengemukakan pendapat, meningkatkan penghargaan pada diri, membantu diri sendiri untuk meningkatkan kepercayaan diri, dapat menyatakan ketidaksetujuan, mengemukakan rencana untuk mengubah perilaku kita sendiri dan mampu mengatakan pada orang lain untuk mengubah perilaku buruk mereka. 4. Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial Individu yang matang mampu melihat kebutuhan individu yang lain dan memberikan potensi dirinya; dapat jadi berbentuk uang, waktu ataupun tenaga untuk dibagi dengan individu lain yang membutuhkannya. Hal ini 23 dikarenakan individu yang matang mampu menunjukkan ekspresi cintanya kepada individu lain. Individu ini juga mampu menerima cinta dari individu lain sedangkan individu yang tidak matang ditandai dengan adanya keinginan untuk menerima, tetapi tidak ingin memberi. 5. Beralih dari egosentrisme ke sosiosentrisme Individu yang matang mampu melihat dirinya sebagai bagian dari kelompok individu dan mampu bertindak terhadap individu lain seperti harapannya terhadap individu lain untuk bertindak terhadap dirinya. Dengan demikian individu mengembangkan hubungan afeksi, saling mendukung dan bekerja sama, untuk itu diperlukan adanya empati sehingga dapat memahami perasaan individu lain. Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki rasa aman secara emosi karena dapat menikmati kelebihan dirinya denga n cara membagi dengan individu lain yang membutuhkan. 6. Falsafah hidup yang terintegrasi Hal ini berhubungan dengan cara berpikir individu yang matang bersifat menyeluruh yaitu memperhatikan arti fakta- fakta tertentu secara tersendiri dan menggabungkannya untuk melihat arti keseluruhan yang muncul. Dengan demikian, tindakan saling dan rencana masa depannya dibuat dengan berbagai pertimbangan, didasarkan pada penilaian yang objektif dan terlepas dari prasangka. Dengan hidup yang terintegrasi, individu akan mengerjakan segala sesuatu karena dorongan suara hati dan kesadaran diri bukan karena orang lain sehingga akan melakukan sesuatu itu dengan sungguh-sungguh. 24 2.2.3. Karakteristik kematangan Emosi Smitson seperti dikutip Katskovsky, W and Garlow, L (1976) mengemukakan tujuh karakteristik kematangan emosi. a. Berkembang kearah kemandirian (toward independent) Kemandirian merupakan kapasitas seseorang untuk mengatur kehidupannya sendiri, individu lahir kedunia dalam keadaan tergantung pada orang lain namun dalam perkembangannya mereka belajar untuk mandiri danmengendalikan dorongan yang bersifat pleasure-oriented artinya mereka mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut. b. Mampu menerima kenyataan (ability to accept reality) Seorang yang matang bisa menerima kenyataan hidup baik yang positif maupun negatif tidak menyangkal atau lari darinya.la menggunakan apa yang ada pada dirinya untuk menghadapi kenyataan tersebut dan secara efektif mengembangkan pola tingkah laku dan pola hubungan dengan orang lain. c. Mampu beradaptasi (adaptability) Menurut Smitson (1976) aspek ini merupakan yang terpenting dalam kematangan emosi orang yang matang emosinya mampu beradaptasi dan menerima beragam karakteristik orang serta mampu menghadapi situasi apapun maksudnya, ia dapat dengan fleksibel berhubungan dengan orang atau situasi tertentu secara produktif. Namun bagi mereka yang tidak matang lebih kaku (rigid), mudah menjatuhkan penilaian (judgmental), defensif dan penolak (rejecting).Keadaan ini dapat disebabkan karena mereka terlalu sibuk 25 dengan diri sendiri atau adanya konflik internal maupun eksternal yang berkepanjangan. d. Mampu merespon dengan tepat (readiness to responed) Individu yang matang emosinya memliki kepekaanuntuk berespon terhadap kebutuhan emosi orang lain, baik yang diekspresikan maupun yang tidak di ekspresikan. Hal ini melibatkan kesadaran bahwa setiap individu unik, memiliki hak dan perasaan. e. Kapasitas untuk seimbang (capacity to balance) Seseorang yang kurang matang memandang segala sesuatu dengan pertimbangan apa yang akan ia dapatkan dari situasi atau orang, sedangkan pada individu yang matang emosinya mereka akan menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan sendiri dan orang lain. Mereka mempertimbangkan pula hal-hal apa yang mampu mereka berikan orang yang tingkat kematangan emosi cukup tinggi menyadari bahwa sebagai makhluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain. f. Mampu berempati (empatic understanding) Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan memahami apa yang mereka pikir atau rasakan. Dengan kemampuan ini, individu tidak hanya mengetahui apa yang dirasakan orang lain tetapi juga memakami hal-hal dibalik munculnya pperasaan tersebut. Empati dapat dikembangkan jika individu tidak lagi perhatian pada diri sendiri. 26 g. Mampu menguasai amarah (controlling anger) Menerima rasa marah serta kesadaran akan adanya perasaan-perasaan lain yang mendasari kemarahan tersebut akan membantu mengetahui rasa marah dan menyalurkannya dengan cara yang konstruktif individu yang matang emosinya dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dapat membuatnya marah maka ia dapat mengendalikan perasaan marahnya. Sedangkan Hurlock (1980) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi, antara lain: 1. Kontrol emosi Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial. 2. Pemahaman diri Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut. 3. Penggunaan fungsi kritis mental 27 Individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang. Dari kedua pendapat diatas tentang karakteristik kematangan emosi, peneliti memilih menggunakan karakteristik Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) dan karakteristik tersebut akan dijadikan sebagai alat ukur kematangan emosi tetapi tidak semua karakteristik tersebut digunakan, peneliti membuang karakteristik kapasistas untuk seimbang dan mampu berempati karena memiliki pengertian yang sama dengan altruisme. 2.2.4. Faktor-faktor Kematangan Emosi Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock (1980) antara lain: a. Usia. Semakin bertambah usia individu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi. b. Perubahan fisik dan kelenjar. Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. c. Pola asuh orang tua. Dari pengalamannya berinteraksi didalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak terhadap orang lain dalam 28 lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orang tua. Cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi ada tiga, yaitu: usia, perubahan fisik dan kelenjar dan pola asuh orang tua. 2.2.5. Hubungan Kematangan Emosi dengan Altruisme Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya. Jika seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi dari pada akal sehat. Emosi yang terkendali menyebabkan seseorang mampu berpikir secara baik, melihat persoalan secara objektif (Walgito, 2004) Kematangan emosi sebagai keadaan seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan matangnya emosi maka individu dapat bertindak tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi dengan tetap mengedepankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga dengan kematangan emosi yang dimilikinya, individu mampu memberikan atau berperilaku prososial sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian Gusti dan Margaretha (2010) menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif yang sangat signifikan antara empati, kematangan emosi, 29 jenis kelamin terhadap perilaku prososial. Empati terhadap perilaku prososial rxy = 0,884 dan p = 0,000. Kematangan emosi terhadap perilaku prososial rxy = 0,794 dan p = 0,000. Jadi dapat dikatakan semakin matang emosi seseorang semakin tinggi pula perilaku menolong. 2.2.6. Pengukuran Kematangan Emosi Dari hasil membaca literatur mengenai kematanga emosi, peneliti memperoleh beberapa instrumen untuk mengukur kematangan emosi, diantaranya yaitu: 1. Emotional Maturity Scale (EMS) yang dikembangkan oleh Singh and Bhargav (1984). Skala tersebut memiliki lima komponen yaitu, ketidakstabilan, regresiemosional, ketidakmampuan sosial, disintegrasi kepribadian dan kurangnya kemerdekaan. Skala ini terdiri atas 10 item dalam setiap komponen kecuali untuk komponen kurangnya kemerdekaan yang memiliki 8 item dengan menggunakan lima poin format Likert dari “sangat sering” sampai “tidak pernah” 2. Skala Kematangan Emosi. Skala ini disusun oleh Fema Rachmawati (2013), skala kematangan emosi ini terdiri atas 50 item. Skala ini disusunberdasarkan ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito (2004), yaitu dapat menerima keadaan diri sendiridan orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi,sabar dan penuh pengertian, dan mempunyai tanggung jawab. 3. Skala Kematangan Emosi. Skala yang disusun oleh Dewi Pratiwi (2013) ini terdiri atas 37 item dengan koefisien validitas bergerak dari 0,305 sampai 0,664. Reliabilitas skala kematangan emosi sebesar 0,919. Skala ini dsusun berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito (2004), yaitu dapat 30 menerima keadaan diri sendiridan orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi,sabar dan penuh pengertian, dan mempunyai tanggung jawab. Dari ketiga skala kematangan emosi yang telah peneliti sampaikan di atas, peneliti tidak menggunakan semua skala kematangan emosi di atas tersebut, Peneliti tidak menggunakan skala kematangan emosi yang pertama yaitu Emotional Maturity Scale yang dikembangkan oleh Singh and Bhargav (1984), karena peneliti tidak dapat menemukan pernyataan dari Emotional Maturity Scale oleh Singh dan Bhargav (1984). Peneliti tidak menggunakan skala yang kedua dan ketiga karena skala kematangan emosi tersebut disusun berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito (2004), yaitu dapat menerima keadaan diri sendiri dan orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi, sabar dan penuh pengertian, dan mempunyai tanggung jawab, Sedangkan kematangan emosi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini diukur menggunakan skala kematangan emosi yang diadaptasi dari karakteristik kematangan emosi menurut Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) yaitu kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, dan mampu menguasai amarah. Karena alasan diatas maka peneliti menyusun sendiri skala kematangan emosi berdasarkan karakteristik Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) dengan menggunakan empat point skala Likert dari “sangat setuju” sampai “ sangat tidak setuju” yang terdiri dari item favorable dan item unfavorable. 31 2.3. Pola Asuh 2.3.1. Pengertian Pola Asuh Pola asuh menurut Bee (2010) adalah kombinasi dari perilaku orangtua saat mengasuh anak yang terdiri dari tingkat kontrol yang diberikan, keterbukaan dalam berkomunikasi, tuntutan terhadap kedewasaan dan kehangatan dalam pengasuhan. Menurut Darling (1999) mendefenisikan pola asuh adalah kegiatan yang kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja dengan sendirinya dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak. Sedangkan Baumrind (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Meskipun setiap orang tua berbeda dalam mengontrol dan bersosialisasi dengan anak-anak mereka dan sejauh mana mereka melakukannya tetapi diasumsikan bahwa peran utama dari semua orang tua adalah untuk mempengaruhi, mengajar, dan mengendali- kan anak-anak mereka. Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh orang tua adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturanaturan dan kasih sayang kepada anak. 32 2.3.2. Jenis-Jenis Pola Asuh Baumrind (dalam Santrock, 2007) menjelaskan tiga jenis pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak diantaranya pola asuh otoriter, otoritatif, dan permisif. Adapun masing-masing jenis pola asuh tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perinta-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Anak-anak yang orang tuanya otoriter seringkali cemas akan perbandingan sosial, gagal memprakarsai kegiatan, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang rendah. Dan di dalam suatu studi baru-baru ini, disiplin awal yangterlalu kasar diasosiasikan dengan agresi anak (Weiss & Other, 1992). Dimensi dalam pola asuh otoriter adalah dimensi kontrol yang mencakup : pembatasan-pembatasan, tuntutan, keketatan, campur tangan, dan penggunaan kekuasaan sewenang-wenang. 2. Pola asuh otoritatif Pola asuh otoritatif ialah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menerapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperhatikan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang 33 otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak-anak. Anak-anak yang memiliki orang tua yang otoritatif berkompeten secara sosial, percaya diri, dan bertanggung jawab secara sosial. Dimensi dalam pola asuh otoritatif adalah dimensi kehangatan yang mencakup: memperhatikan kesejahteraan anak, cepat tanggap, bersedia meluangkan waktu dalam suatu kegiatan, menunjukkan cinta kasih dan peka terhadap keadaan emosi anak. 3. Pola asuh permisif Orang tua yang permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri. Mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor kegiatannya sendiri.Mereka sangat jarang menghukum, tidak mengontrol dan tidak menuntut (Papalia, 2009). Menurut Maccoby and Martin (dalam Santrock, 2007), pola asuh permisif dibagi menjadi dua bentuk yaitu permissive-indifferent dan permissive-indulgent. a. Pola asuh permissive-indifferent Pola asuh permissive-indifferent ialah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkonpetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. Anak-anakyang orang tuanya bergaya permissive-indifferent mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada anak mereka.Anak-anak yang orang tuanya bergaya permissive-indifferent inkompeten secara social, mereka memperlihatkan kendali diri yang buruk dan tidak membangun kemandirian yang baik. 34 b. Pola asuh permissive-indulgent Pola asuh permissive-indulgent, ialah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang permissive-indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. Orang tua seperti itu membiarkan anakanak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya ialah anak-anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan kemauan mereka dituruti. Anak-anak yang orang tuanya permissive-indulgent jarang belajar menaruh hormat pada orang lain dan mengaiami kesulitan mengendalikan perilaku mereka. Menurut Hurlock (1978) ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain: 1. Melindungi secara berlebihan Perlindungan orang tua secara berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan. 2. Permisivitas Terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian. 3. Memanjakan Permisivitas yang berlebihan memanjakan yang membuat anak egois, menuntut dan sering tiranik. 35 4. Penolakan Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka. 5. Penerimaan Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. 6. Dominasi Anak yang di dominasi salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif. 7. Tunduk pada anak Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak memdominasi merekadan rumah mereka 8. Favoritisme Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak mereka samarata, kebanyakan orang tua mempunya favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga. 9. Ambisi orang tua Hampir semua orang tua mempunyai ambisi untuk anak mereka, dan sering kali sangat tinggi sehingga tidak realistis.Ambisi ini sering di pengarui oleh 36 ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial. Dari kedua jenis pola asuh di atas, peneliti memilih menggunakan jenis pola asuh menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007), yaitu pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif dan pola asuh permisif. Karena jenis pola asuh menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007) lebih mudah dipahami dan ketiga jenis pola asuh tersebut telah mencakup semua jenis pola asuh yang biasa diterapkan oleh orang tua. 2.3.3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Altruisme Banyak fakta dari hasil penelitian yang dilakukan beberapa para peneliti telah menemukan hubungan antara pola asuh orang tua dengan altruisme. Dikatakan oleh Staub (1978) bahwa hubungan afeksi antara anak dengan orang tua merupakan dasar bagi perkembangan kecenderungan perilaku prososial. Penelitian yang juga dilakukan oleh Grusec (1994), menunjukkan bahwa ada bukti kuat jika model memperlihatkan perilaku menolong, berbagi atau menunjukkan perharhatian kepada orang lain, maka anak akan melakukan hal yang sama, karena ada proses identifikasi mandiri (dominasi sosial, nonkonformitas dan bertujuan) termasuk didalamnya penggunaan perilaku menolong yang dilakukan oleh orang tuanya. Dari penelitian yang ada esensi hubungan antara orang tua dengan anak sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam mengasuh anak, bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan orang tua. Hal ini bercermin pada pola asuh 37 orang tua, yakni suatu kecenderungan cara-cara yang dipilih dan dilakukan orang tua dalam mengasuh anak. Dayaksini (1988) mengemukakan bahwa pola asuh adalah perilaku orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh orang tua memiliki memiliki pengaruh yang amat besar dalam membentuk kepribadian anak sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, berinisiatif, bertanggung jawab dan berprilaku prososial. 2.3.4. Pengukuran Pola Asuh Dari hasil membaca literatur tentang penelitian mengenai pola asuh, peneliti memperoleh beberapa instrumen untuk mengukur pola asuh, diantaranya yaitu: 1. Skala Pola Asuh Anak. Skala ini disusun oleh Yuniarti (1988) untuk mengungkap jenis pola asuh yang diterima individu dari orang tua. Skala ini terdiri atas 74 item dengan lima alternatif jawaban pilihan ganda a-e. 2. Parenting Style Questionnaire (PSQ) Berdasarkan Robinson, C., Mandleco, B., Olsen, SF, and Hart, CH (1995). PSQ didesain berdasarkan pengukuran tiga pola pengasuhan yaitu pola asuh otoriter, otoritatif dan permisif. PSQ terdiri atas 30 item, 13 item untuk item pola asuh otoritatif, 13 item untuk pola asuh otoriter dan 4 item untuk pola asuh permisif. 3. Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (dalam Riberio, 2009). PAQ didesain berdasarkan pengukuran tiga pola pengasuhan Baumrind (dalam Riberio, 2009) yaitu pola asuh otoriter, otoritatif dan permisif. PAQ terdiri atas 30 item, 10 untuk tiap item yang berbeda dalam empat poin format Likert mulai dari “Sangat Setuju” sampai 38 “Sangat Tidak Setuju”. Pola asuh dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan telah peneliti modifikasi dengan hanya menggunakan satu komponen (orang tua) dimana dalam pengukuran asli dan sebelumnya terdapat dua komponen (pola asuh ibu dan pola asuh ayah). Parental Authority Questionnaire (PAQ) ini digunakan karena merupakan alat ukur pola asuh yang popular, dapat dimodifikasi dan memungkinkan perhitungan skor total dengan mengkombinasikan seluruh item dan didesain berdasarkan teori pola asuh yang peneliti gunakan. Peneliti tidak menggunakan Skala Pola Asuh Anak karena sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja bukan anak-anak. Peneliti tidak menggunakan Parenting Style Questionnaire (PSQ) Berdasarkan Robinson, Mandleco, Olsen, and Hart (1995) karena meskipun sama-sama didesain berdasarkan tiga pola pengasuhan seperti PAQ, PSQ memiliki item yang kurang seimbang antar dimensinya. 2.4. Kerangka Berfikir Perilaku altruisme diharapkan ada pada setiap diri remaja yang merupakan generasi penerus bangsa. Pada usia remaja ini diharapkan seseorang mampu mengembangkan pribadinya sesuai dengan nilai etika dan moral dalam bentuk perilaku altruisme. Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa perilaku altruisme adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang menolong dan bahkan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong. 39 Dalam hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi altruisme diantaranya kematangan emosi dan pola asuh orang tua. Faktor pertama yang mempengaruhi altruisme dalam Sears (1994) adalah faktor perasaan dalam diri seseorang (emosi). Penelitian yang berkaitan dengan altruisme antara lain penelitian dari Hoffman membuktikan bahwa empati meningkatkan perilaku menolong orang lain (Sears, 1994). Kematangan emosi adalah suatu proses dimana kepribadian secara terus menerus berusaha mencapai keadaan emosi yang sehat baik secara intrafisik maupun secara interpersonal. Kematangan emosi memiliki beberapa karakteristik. karakteristik kematangan emosi menurut Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) terbagi menjadi tujuh karakteristik yaitu: kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu berempati, dan mampu menguasai amarah. Faktor kedua yang mempengaruhi altruisme yaitu pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang amat besar dalam membentuk kepribadian anak yang tangguh sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, berinisiatif, berambisi, beremosi stabil, bertanggung jawab, mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif, dan berprilaku altruistik. Sedangkan pola asuh yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian, dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak cenderung menghalangi perkembangan perilaku prososial anak (Hastings, Waxler, Robinson, Usher & Bridge, 2000). 40 Selain faktor di atas peneliti juga ingin mengetahui apakah jenis kelamin (demografi) juga berperan terhadap perilaku altruisme. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gembeck, et. all, (2005) ditemukan bahwa kecenderungan untuk menolong pada anak remaja lebih besar pada remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki (Sarlito, 2009), dari penelitian tersebut peneliti akan memasukkan jenis kelamin sebagai faktor demografi untuk pengetahui apakan jenis kelamin berpengaruh terhadap altruisme. Dalam penelitian ini penulis menjelaskan tentang pengaruh kematangan emosi dan pola asuh orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa. Peneliti mencoba mengembangkan teori Myers (2003) untuk Altruisme, teori Smitson (dalam Katkovsky & Gorlow, 1976) kematangan emosi dan teori Baumrind (dalam Santrock, 2007) untuk pola asuh orang tua. Penulis menyajikan kerangka teoritis untuk mempermudah memahami permasalahan yang sedang diteliti. Perkiraan kerangka teoritis ini disajikan dalam bentuk skema atau gambar yang menunjukkan hubungan masing-masing variabel sebagai berikut: 41 Bagan 2.1. Gambar kerangka berpikir Kematangan Emosi Kemandirian Mampu menerima kenyataan Mampu beradaptasi Mampu menguasai amarah Pola asuh orang tua Pola Asuh Otoriter Pola Asuh Otoritatif Pola Asuh Permisif Demografi Jenis Kelamin Altruisme 42 2.6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori yang telah dibahas sebelumnya, maka diajukan hipotesis yang akan diuji secara empiris. Hipotesis tersebut sebagai berikut: Major : Kematangan emosi (kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, dan mampu menguasai amarah) dan pola asuh orang tua berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Minor: Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan kemandirian terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha2 :Ada pengaruh yang signifikan kemampuan menerima kenyataan terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan kemampuan beradaptasi terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan kemampuan menguasai amarah terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan pola asuh otoriter orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan pola asuh otoritatif orang tua 43 terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan pola asuh permisif orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan jenis kelamin terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dipaparkan tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data, teknik uji instrumen, dan prosedur pengumpulan data. 3.1. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah mahasiswa S1 yang tercatat aktif kuliah pada tahun ajaran 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 19.123 mahasiswa (Sistem Informasi UIN Jakarta, 2013). Jumlah sampel penelitian yang digunakan sebanyak 250 responden. Penetapan jumlah tersebut disesuaikan dengan kemampuan peneliti berdasarkan pertimbangan waktu, tenaga dan dana penelitian. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah teknik non-probabilty sampling yang berarti peluang setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi subyek penelitian tidak diketahui. Sedangkan metode sampling yang di gunakan adalah accidental sampling, yaitu teknik sampling berdasarkan faktor spontanitas. Artinya siapa saja yang bertemu dengan peneliti maka orang tersebut akan dijadikan sampel. 44 45 3.2. Variabel Penelitian Adapun variabel penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Altruisme 2. Kematang emosi yang meliputi: a. Kemandirian b. Kemampuan menerima kenyataan c. Kemampuan beradaptasi d. Kemampuan menguasai amarah 3. Pola asuh orang tua yang meliputi: a. Pola asuh otoriter b. Pola asuh otoritatif c. Pola asuh permisif 4. Jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) Dependent variable dalam penelitian ini adalah altruisme, sedangkan Independent variable dalam penelitian ini adalah kematangan emosi, pola asuh orang tua dan jenis kelamin. 3.3. Definisi Operasional Definisi operasional penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut: a. Altruisme adalah suatu tindakan kepedulian dan sukarela menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Aspek-aspek altruisme menurut Rushton, Chrisjonh dan 46 Fakken (1981) terdiri dari peduli (caring), Penolong (helpful), Perhatian kepada orang lain (considerate of others), Penuh perasaan (feelings), Rela berkorban (willing to make a sacrifice. b. Kematangan emosi adalah kemampuan mengatur kondisi emosi dalam menghadapi keadaan sekitar maupun dirinya sendiri dan tidak lagi menampilkan pola emosional anak-anak. Karakteristik kematangan emosional menurut Smitson (dalam Katkovsky dan Golman, 1976) c. Kemandirian adalah mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut. d. Mampu menerima kenyataan adalah mampu menghadapi kenyataan dan secara efektif mengembangkan pola tingkah laku dan pola hubungan dengan orang lain. e. Mampu beradaptasi adalah mampu berhubungan dengan orang lain atau situasi tertentu secara produktif. f. Mampu menguasai amarah adalah mampu mengendalikan emosinya. g. Pola asuh orang tua adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih saying kepada anak. Berdasarkan tiga pola pengasuhan Baumrind (dalam Santrock, 2007). h. Pola asuh otoriter adalah sikap orang tua yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk mengikuti perintah orang tua. i. Pola asuh otoritatif adalah sikap orang tua yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menerapkan batasan pada tindakan mereka. j. Pola asuh permisif adalah sikap orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri, hangat jarang menghukum dan tidak mengontrol. 47 k. Jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. 3.4. Pengumpulan Data 3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Selain itu pernyataannya dibuat dengan kategori positif atau kesetujuan (favorable) dan item yang disebut negatif atau ketidaksetujuan (unfavorable) Adapun perolehan skor dari item-item berdasarkan dari jawaban yang dipilih sesuai dengan jenis pernyataan yakni favorable atau unfavorable. Jika digambarkan dalam bentuk tabel, maka hasilnya sebagai berikut: Tabel 3.1 Bobot Nilai Kategori Respon SS S TS STS Favorable 4 3 2 1 Unfavorable 1 2 3 4 3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data. Pada penelitian ini instrumen penelitian ini terdiri atas tiga skala, yaitu (1) skala altruisme (2) skala pola asuh orang tua, dan (3) skala kematangan emosi yang 48 menggunakan model skala Likert. Masing-masing skala akan diuraikan sebagai berikut. 3.4.2.1 Skala Altruisme Dalam penelitian ini, pernyataan mengenai altruisme dibuat berdasarkan SelfReport Altruism Scale (SRA) yang dikembangkan oleh Rutston, Chrisjonh dan Fakken (1981) yang telah dibakukan. Adapun blue print skala altruisme terdapat dalam tabel berikut ini. Tabel 3.2 Blue Print Skala Altruisme No Aspek Indikator Item Jumlah 1 Peduli Prihatin terhadap masalah orang lain 2,4,12,13 4 2 Penolong Memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain 1,8,9,20 4 3 Perhatian kepada orang lain Tidak acuh terhadap orang lain 6,7,10,15 4 4 Penuh perasaan Empati dan mampu memahami orang lain 5,16,17,18 4 5 Rela berkorban Keinginan untuk memberikan kesejahteraan terhadap orang lain 3,11,14,19 4 Jumlah 20 Skala altruisme yang diuji terdiri atas 20 item. Selanjutnya untuk menginterpretasi skor responden, peneliti menentukan 4 kategori jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). 49 3.4.2.2 Skala Kematangan Emosi Dalam penelitian ini, pernyataan mengenai kematangan emosi dibuat berdasarkan karakteristik menurut Smitson (dalam Katkovsky dan Golman, 1976) yaitu kemandirian, kemampuan menerima kenyataan, kemampuan beradaptasi, dan kemampuan menguasai amarah. Adapun blue print skala kematangan emosi terdapat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.3 Blue Print Skala Kematangan Emosi No Aspek Indikator 1 Kemandirian Item Jumlah Favorable 16,20 Unfavorable 1,5 4 Berani mengambil keputusan sendiri 10,14 11 3 2,13 7,21 4 9,15,17 3,12,18 6 6, 4 8,19 4 11 10 Tidak bergantung kepada orang lain 2 Kemampuan menerima kenyataan Mampu menerima kekurangan dan kelebihan dirinya dan orang lain 3 Kemampuan beradaptasi Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan 4 Kemampuan menguasai amarah Mampu mengendalikan emosi Jumlah 21 Skala kematangan emosi yang diuji terdiri atas 21 item, terdiri atas 11 item favorable dan 10 item unfavorable. Selanjutnya untuk menginterpretasi skor 50 responden, peneliti menentukan 4 kategori jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). 3.4.2.3. Skala Pola Asuh Orang Tua Dalam penelitian ini, pernyataan mengenai pola asuh orang tua dibuat berdasarkan Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (dalam Riberio, 2009). Skala ini didesain berdasarkan pengukuran tiga pola pengasuhan Baumrind (dalam Riberio, 2009) yaitu pola asuh otoriter, otoritatif dan permisif yang telah dibakukan dan peneliti adaptasi kedalam bahasa Indonesia dengan hanya menggunakan satu komponen orang tua sedangkan skala asli terbagi menjadi dua komponen ayah dan ibu. Adapun blue print skala pola asuh orang tua terdapat dalam tabel dibawah ini. Tabel 3.4 Blue Print Skala Pola Asuh Orang Tua No 1 2 3 Dimensi Otoriter Otoritatif Permisif Indikator Item Jumlah a. Orang tua bersifat membatasi, menghukum, dan hanya sedikit melakukan komunikasi verbal b. Mendesak anak untuk mengikuti petunjuk dan usaha orang tua 7,12,18,25 4 2,3,9,26,29,1 6 6 8,22,27,15 4 11,20,23,30,4 ,5 6 6,14,19,24,1, 10 13,17,21,28 6 23 30 a. Mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan anak b. Penetapat aturan dalam keluarga berdasarkan kesepakatan bersama a. Orang tua bersikap membebaskan b. Tidak memberikan pengawasan dan pengarahan pada tingkah laku anak Jumlah 4 51 Skala pola asuh orang tua yang akan diuji terdiri atas 30 item. Selanjutnya untuk menginterpretasi skor responden, peneliti menentukan 4 kategori jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). 3.5. Uji Validitas Instrumen Dalam penelitian ini validitas konstruk dari setiap instrument diuji dengan analisis faktor konfirmatori atau Confirmatory Factor Analysis (CFA). Adapun yang dimaksud dengan CFA adalah model teori-penguji yang bertentangan dengan metode teori yang menghasilkan faktor seperti eksploratori. Dalam CFA, penelitian dimulai dengan membuat hipotesis sebelum analisis. Model atau hipotesis dengan spesifik menentukan variabel mana yang akan berkorelasi dengan faktor dan faktor mana yang berkorelasi. Hipotesis ini berdasarkan teori yang kuat atau landasan empiris. Menurut Umar (dalam Afifah, 2011) tujuan CFA adalah: 1. Untuk menguji hipotesis tentang satu atau lebih faktor serta saling keterkaitan antara faktor tersebut sesuai model teori yang ditetapkan. 2. Untuk menguji validitas dari setiap indikator yang digunakan untuk mengukur faktor atau konstruk tersebut. CFA sering digunakan dalam proses pengembangan skala untuk memeriksa struktur laten dari suatu alat tes (Brown, 2006). Dalam konteks ini, CFA digunakan untuk verifikasi jumlah dimensi yang mendasari instrument (faktor) dengan pola hubungan item dengan faktor (faktor loading). Hasil CFA 52 dapat memberikan bukti kuat validitas convergent dan diskriminan dari sebuah konstruk teoritis. Validitas konvergen diindikasi oleh bukti bahwa alat tes dengan konstruk yang sama dan secara teori juga mengukur hal yang sama, maka korelasi antar tes tersebut tinggi. Sedangkan validitas diskriminan diindikasikan oleh hasil yang menunjukkan bahwa indikator secara teoritis berbeda konstruk tidak saling berkorelasi tinggi. Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan CFA (Joreskog & Sorbom, 1988). Caranya terdiri dari tiga langkah, yaitu: 1. Menguji apakah hanya satu faktor saja yang menyebabkan item-item saling berkorelasi (hipotesis unidimensionalitas item). Hipotesis ini diuji dengan chi-square. Untuk memutuskan apakah memang tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari data dengan matriks korelasi yang dihitung menurut teori/model. Jika hasil chi-square tidak signifikan (p>0.05), maka hipotesis nihil yang menyatakan bahwa “tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari data dan model” tidak ditolak yang artinya item yang diuji mengukur satu faktor saja (unidimensional). Sedangkan, jika nilai chi-square signifikan (p<0.05) maka hipotesis nihil tersebut ditolak yang artinya item-item yang diuji ternyata mengukur lebih dari satu faktor (multidimensional). Dalam keadaan demikian maka peneliti melakukan modifikasi terhadap model dengan cara memperbolehkan item-item saling berkorelasi tetapi dengan tetap menjaga bahwa item hanya mengukur satu faktor (unidimensional). Jika sudah 53 diperoleh model yang fit (tetapi tetap unidimensional) maka dilakukan langkah selanjutnya. 2. Menganalisis item mana yang menjadi sumber tidak fit. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui item mana yang menjadi sumber tidak fit, yaitu: a. Melakukan uji signifikansi terhadap koefisien muatan faktor dari masingmasing item dengan menggunakan t-test. Jika nilai t yang diperoleh pada sebuah item tidak signifikan (t<1.96) maka item tersebut akan didrop karena dianggap tidak signifikan sumbangannya terhadap pengukuran yang sedang dilakukan. b. Melihat arah dari koefisien muatan faktor (factor loading). Jika suatu item memiliki muatan faktor negatif, maka item tersebut didrop karena tidak sesuai dengan pengukuran (berarti semakin tinggi nilai pada item tersebut semakin rendah nilai pada faktor yang diukur). c. Sebagai kriteria tambahan (optional) dapat dilihat juga banyaknya korelasi partial antar kesalahan pengukuran, yaitu kesalahan pengukuran pada suatu item yang berkorelasi dengan kesalahan pengukuran pada item lain. Jika pada suatu item terdapat terlalu banyak korelasi seperti ini (lebih dari tiga), maka item tersebut juga akan didrop. Alasannya adalah karena item yang demikian selain mengukur apa yang ingin diukur juga mengukur hal lain (multidimensional item). 54 3. Menghitung faktor skor. Jika langkah-langkah di atas telah dilakukan, maka diperoleh item-item yang valid untuk mengukur apa yang ingin diukur. Item-item inilah yang kemudian diolah untuk mendapatkan faktor skor pada tiap skala. Dengan demikian perbedaan kemampuan masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak diukur ikut menentukan dalam menghitung faktor skor (true score). True score inilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan row score/skor mentah (hasil menjumlahkan skor item). Oleh karena itu sebenarnya tidak diperlukan informasi tentang reliabilitas masing-masing alat ukur (misalnya, cronbach alpha) karena true score itu reliabilitasnya sama dengan satu (100%). Untuk kemudahan di dalam penafsiran hasil analisis maka penulis mentransformasikan faktor skor yang diukur dalam skala baku (Z score) menjadi T score yang memiliki mean=50 dan standar deviasi (SD)=10 sehingga tidak ada responden yang mendapat skor negatif. Adapun rumus T score adalah: T skor = (10 x faktor skor) + 50 3.5.1 Uji Validitas Konstruk Altruisme Peneliti menguji apakah 20 item yang ada bersifat unidimensional, artinya itemitem tersebut benar-benar hanya mengukur altruisme. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi 56 Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran altruisme disajikan pada tabel 3.5 di bawah ini : Tabel 3.5 Muatan Faktor Item altruisme No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 0,27 0,05 0,14 1,39 0,41 0,40 0,33 0,11 0,16 0,03 0,20 0,28 0,38 0,47 0,57 0,04 -0,08 0,19 0,11 0,09 0,04 0,03 0,03 0,06 0,08 0,05 0,05 0,04 0,07 0,03 0,04 0,05 0,05 0,05 0,08 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 6,12 1,64 3,97 22,67 5,28 7,67 6,92 3,08 2,19 1,02 5,14 6,17 7,62 8,76 7,39 1,40 -2,26 3,19 3,19 3,07 V X V V V V V V V X V V V V V X X V V V Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 16 item yang signifikan ( t > 1,96) dan 4 item yang tidak signifikan (t < 1,96) yaitu item nomor 2,10,16 dan 17. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. 57 Dari nilai koefisien item diperoleh item yang bermuatan faktor negatif yaitu item nomor 17. Dengan demikian item nomor 17 akan didrop. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. Dalam model pengukuran ini terdapat beberapa kesalahan pengukuran yang saling berkorelasi satu sama lain, artinya dapat disimpulkan bahwa item - item tersebut bersifat multidimensional atau tidak hanya mengukur satu faktor saja. terdapat dua item yang memiliki lebih dari dua kesalahan pengukuran yang berkorelasi dengan kesalahan pengukuran item lainnya, yaitu item nomor 9 dan 20. Dengan demikian item nomor 2,10,16,17, 9, dan 20 akan didrop dan tidak digunakan dalam analisa. 3.5.2 Uji Validitas Konstruk Kematangan Emosi 3.5.2.1 Kemandirian Peneliti menguji apakah 7 item yang benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur kemandirian. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata fit dengan Chi Square =13,63 , df = 14 , P-value = 0,47738 , RMSEA = 0,000 . Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu kemandirian. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar 3.2. 59 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh item nomor 1,5,dan 20 tidak signifikan (t >1,96) Dengan demikian item-item tersebut akan di-drop. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. Dari nilai koefisien item diperoleh item yang bermuatan faktor negatif yaitu item nomor 5, dengan demikian item nomor 5 akan didrop. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. 3.5.2.2 Kemampuan Menerima Kenyataan Peneliti menguji apakah 4 item yang benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur kemampuan menerima kenyataan. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 62,96 , df = 2 , P-value = 0, RMSEA = 0,350 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 2 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 0 , df = 0 , P-value = 1 , RMSEA = 0 . Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu mampu menerima kenyataan. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar 3.3. 62 Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran kemampuan beradaptasi disajikan pada tabel di bawah ini : Tabel 3.8 Muatan Item Kemampuan Beradaptasi No Koefisien Standard Nilai t Signifikan Error 3 1,26 0,13 9,73 V 9 -0,29 0,07 -4,17 X 12 0,15 0,05 2,80 V 15 0,23 0,06 4,01 V 17 0,66 0,09 7,61 V 24 -0,19 0,06 -3,17 X Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 4 item yang signifikan ( t > 1,96) dan 2 item yang tidak signifikan (t < 1,96) yaitu item nomor 9 dan 24. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. Dari nilai koefisien item diperoleh item yang bermuatan faktor negatif yaitu item nomor 9 dan 24. Dengan demikian item nomor 9 dan 24 akan didrop. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. 3.5.2.3 Kemampuan Menguasai Amarah Peneliti menguji apakah 4 item yang benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur kemampuan menguasai amarah. Dari hasil analisis 64 Tabel 3.9 Muatan Item Kemampuan Menguasai Amarah No Koefisien Standard Nilai t Signifikan Error 6 0,66 0,06 10,58 V 8 0,65 0,06 10,47 V 19 0,67 0,06 10,80 V 25 0,83 0,06 13,89 V Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-drop. 3.5.3 Uji Validitas Konstruk Pola Asuh Orang Tua 3.5.3.1 Otoriter Peneliti menguji apakah 10 item yang benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur otoriter. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 58,84 , df = 35 , P-value = 0,00705 , RMSEA = 0,052. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 1 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 46,14, df = 34 , P-value = 0,08000 , RMSEA = 0,038 . Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu otoriter. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar 3.6. 67 Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran otoritatif disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 3.11 Muatan Item Otoritatif No Koefisien Standard Nilai t Signifikan Error 4 -0,11 0,10 -1,13 X 5 -0,16 0,10 -1,65 X 8 0,29 0,10 2,77 V 11 0,54 0,13 3,98 V 15 -0,04 0,10 -0,13 X 20 0,22 0,10 2,17 V 22 0,22 0,10 2,19 V 23 0,17 0,10 1,74 X 27 0,06 0,04 1,68 X 30 0,26 0,10 2,59 V Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 5 item yang signifikan ( t > 1,96) dan 5 item yang tidak signifikan (t < 1,96) yaitu item nomor 4,5,15,23 dan 27. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. Dari nilai koefisien item diperoleh item yang bermuatan faktor negatif yaitu item nomor 4,5 dan 15, dengan demikian item tersebut akan didrop. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. Dengan demikian item yang akan didrop dengan tidak ikut dianalisis adalah item nomor 4,5,15,23 dan 27 69 Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran permisif disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 3.12 Muatan Item Permisif No Koefisien Standard Nilai t Signifikan Error 1 0,33 0,08 3,94 V 6 0,21 0,08 2,58 V 10 -0,12 0,08 -1,47 X 13 -0,45 0,09 -4,98 X 14 -0,07 0,08 -0,88 X 17 0,16 0,08 2,02 V 19 -0,14 0,11 -1,22 X 21 -0,15 0,08 -1,85 X 24 0,70 0,12 5,83 V 28 0,06 0,08 0,78 X Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 4 item yang signifikan ( t > 1,96) dan 6 item yang tidak signifikan (t < 1,96) yaitu item nomor 10,13,14,19,21 dan 28. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. Dari nilai koefisien item diperoleh item yang bermuatan faktor negatif yaitu item nomor 10,13,14,19 dan 21 dengan demikian item tersebut akan didrop. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. Dengan demikian item yang akan didrop dengan tidak ikut dianalisis adalah item nomor 10,13,14,19,21 dan 28. 70 3.6. Teknik Analisis Data Metode pengolahan data adalah suatu metode yang digunakan untuk menganalisa data hasil penelitian dalam rangka menguji hipotesis. Untuk menjawab pernyataan penelitian, peneliti menggunakan teknik analisis regresi berganda. Teknik analisis berganda ini digunakan untuk menentukan ketepatan prediksi dan ditujukan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari variabel bebas (IV), yaitu kematangan emosi dan pola asuh terhadap variabel terikat (DV) altruism Regresi berganda merupakan metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara variabel terikat (dependen; respon; Y) dengan lebih dari satu variabel bebas (independen; predictor; X). Persamaan garis regresi penelitian, yaitu: Y` = a + b1X1 + b2X2 + …… + bpXp Keterangan: Y` = Dependent Variable (DV) a = Konstanta X1, X2,….,Xp = Independent Variable(IV) p = Jumlah independent variable (IV) b1, b2,….,bp = Koefisien regresi untuk masing-masing IV Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil) dibutuhkan beberapa pengujian dan analisis, yaitu: 71 1. R2 (koefisien determinasi berganda) Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi berganda antara komitmen organisasi dengan independent variable. Besarnya komitmen organisasi yang disebabkan faktorfaktor yang telah disebutkan tadi ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda R2. R2 menunjukkan variasi atau perubahan variabel terikat (Y) disebabkan variabel bebas (X) atau digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) atau merupakan perkiraan proporsi varians dari komitmen organisasi yang dijelaskan oleh independent variable. Untuk mendapatkan nilai R2, digunakan rumus: Keterangan: R2 = Proporsi varians SSreg = Sum of Square Regression (jumlah kuadrat regresi) SSy = Sum of Square Y (jumlah kuadrat Y) 2. Uji F Untuk membuktikan apakah regresi Y pada X signifikan atau tidak, maka digunakan uji F. dari hasil uji F yang dilakukan, maka dapat dilihat apakah independent variable yang diujikan memiliki pengaruh terhadap 72 dependent variable. Untuk membuktikan hal tersebut menggunakan rumus: ⁄ ( ) ( ) Keterangan: R2 = Proporsi varians K = Jumlah independent variable N = Jumlah sampel 3. Uji T Uji T digunakan untuk melihat apakah pengaruh yang diberikan variabel bebas (X) signifikan terhadap variabel terikat (Y) secara sendiri-sendiri atau parsial. Uji ini digunakan untuk menguji apakah sebuah variabel bebas (X) benar-benar memberikan kontribusi terhadap variable terikat (Y). Hasil uji T ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya. Uji T yang akan dilakukan menggunakan rumuas sebagai berikut: Keterangan: b = Koefisien regresi Sb = Standart error Estimate 73 3.7. Prosedur Penelitian Penelitian ini berjalan dengan melalui tiga tahapan prosedur penelitian, yaitu tahap persiapan, pengambilan data, serta pengolahan data. 1. Tahap persiapan penelitian Dimulai dengan perumusan masalah, menentukan variabel yang akan diteliti, melakukan kajian teori untuk mendapat gambaran, dan penjelasan yang tepat mengenai variabel penelitian. Kemudian menentukan, menyusun, dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan. 2. Tahap pengmbilan data Peneliti melakukan pengambilan data penelitian dengan memberikan instrumen yang telah dipersiapkan kepada subyek penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Pengolahan data Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data dari hasil instrumen penelitian yang telah diisi oleh responden. Melakukan analisis data dengan bantuan software LISREL 8.80 untuk menguji hipotesis dan regresi antar variabel penelitian. 74 BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bab empat ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi, gambaran umum subyek penelitian, hasil analisis deskriptif, dan hasil uji hipotesis. 4.1. Gambaran Umum Subyek Penelitian Subbab ini membahas mengenai gambaran umum subyek penelitian. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tercatat aktif di tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 250 orang. Berdasarkan jenis kelamin responden dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan jenis kelamin JENIS KELAMIN JUMLAH PERSENTASE Perempuan 136 54,4% Laki-laki 114 45,6% JUMLAH 250 100% Berdasarkan data pada tabel 4.1 diatas, diketahui bahwa responden penelitian ini terdiri atas perempuan dan laki-laki. Perempuan sebanyak 136 orang (54,4%), dan laki-laki sebanyak 65 orang (29,54%). 4.2. Kategorisasi Deskripsi Variabel Berikut ini akan diuraikan penggolongan kategorik dan penyebaran skor altruisme, skor kematangan emosi, dan pola asuh orang tua menjadi dua kategorisasi yaitu tinggi dan rendah. Untuk mengkategorisasikanya, terlebih 74 75 dahulu peneliti menghitung mean, standar deviasi (SD) , nilai maksimum dan minimum dari masing-masing variabel. Nilai tersebut dapat dilihat dari tabel 4.2. Tabel 4.2 Statistik Deskriprif Variabel Penelitian N Min Altruis 250 34,80 Kemandirian 250 32,63 Kemampuan 250 20,98 menerima kenyataan Kemampuan 250 29,32 Beradaptasi Kemampuan 250 25,09 menguasai amarah Valid (listwise) 250 Max 63,78 68,63 58,35 Mean 46,80 49,99 50,00 SD 8,30 9,51 9,74 66,94 50,00 9,49 60,11 50,00 8,60 Berdasarkan tabel di atas, data yang didapat dengan sampel berjumlah 250 responden untuk skor terendah skala altruisme adalah 34,80, skor tertinggi adalah 63,78 dengan rata-rata sebesar 46,80 dan standar deviasi sebesar 8,30. Skor kemandirian terendah adalah 32,63, skor tertinggi adalah 68,63, dengan rata-rata sebesar 49,99, dan standar deviasi sebesar 9,51. Skor kemampuan menerima kenyataan terendah adalah 20,98, skor tertinggi adalah 58,35, dengan rata-rata skor adalah 50.00, dan standar defiasinya adalah 9,74. Skor kemampuan beradaptasi terendah adalah 29,32, skor tertinggi adalah 66.94, dengan skor ratarata adalah 50.00 dan standar deviasinya sebesar 9,49. Skor kemampuan menguasai amarah terendah adalah 25,09, skor tertinggi 60,11, dengan rata-rata adalah 50,00 dan standar deviasinya sebesar 8,60. Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari norma skor, maka dapat ditetapkan norma seperti tertera pada tabel 4.3. 76 Tabel 4.3 Norma Skor Kategori Kategori Norma Tinggi X ≥ Mean Rendah X < Mean Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase kategorisasi untuk altruisme, kematangan emosi dan pola asuh orang tua. 4.2.1 Kategorisasi Skor Altruisme Adapun untuk kategorisasi skor altruisme pada 250 responden, dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Altruisme Kategorisasi Nilai Jumlah Responden Tinggi 47,34 - 63,78 102 Rendah 34,8 - 44,6 148 Total 250 Persentasi 40.8% 59.2% 100% Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki skor altruisme yang tinggi sebanyak 102 (40,8%) dan 148 responden (59,2%) memiliki skor altruisme yang rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku altruisme yang dimiliki sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki skor altruisme yang rendah. 4.2.2 Ketegorisasi Skor Kematangan Emosi 4.2.2.1 Kategorisasi Skor Kemandirian Adapun untuk kategorisasi skor kemandirian pada 250 responden dapat dilihat pada tabel 4.5. 77 Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Kemandirian Kategorisasi Nilai Jumlah Responden Tinggi 53,33 - 68,63 114 Rendah 32,63 - 47,73 136 Total 250 Persentasi 45,6% 54,4% 100% Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki skor kemamdirian yang tinggi sebanyak 114 orang (45,6%) dan 136 responden (54,4%) memiliki skor kemandirian yang rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki skor kemamdirian yang rendah. 4.2.2.2 Kategorisasi Skor Kemampuan Menerima Kenyataan Adapun untuk kategorisasi skor kemampuan menerima kenyataan pada 250 responden dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Kategorisasi Skor Kemampuan Menerima Kenyataan Kategorisasi Nilai Jumlah Responden Tinggi 56,05 - 58,35 132 Rendah 20,98 - 46,08 118 Total 250 Persentasi 52,8% 47,2% 100% Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki skor kemampuan menerima kenyataan yang tinggi sebanyak 132 orang (52,8%) dan 118 responden (47,2%) memiliki skor kemampuan menerima kenyataan yang rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki skor kemampuan menerima kenyataan yang tinggi. 78 4.2.2.3 Kategorisasi Skor Kemampuan Beradaptasi Adapun untuk kategorisasi skor kemampuan beradaptasi pada 250 responden dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Kemampuan Beradaptasi Kategorisasi Nilai Jumlah Responden Tinggi 52,98 - 66,94 167 Rendah 29,32 - 49,52 83 Total 250 Persentasi 66,8% 33,2% 100% Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki skor kemampuan menerima kenyataan yang tinggi sebanyak 167 orang (66,8%) dan 83 responden (33,2%) memiliki skor kemampuan beradaptasi yang rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki skor kemampuan beradaptasi yang tinggi. 4.2.2.4 Kategorisasi Skor Kemampuan Menguasai Amarah Adapun untuk kategorisasi skor kemampuan menguasai amarah pada 250 responden dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Kategorisasi Skor Kemampuan Menguasai Amarah Kategorisasi Nilai Jumlah Responden Tinggi 50,06 - 60,11 157 Rendah 25,09 - 47,48 93 Total 250 Persentasi 62,8% 37,2% 100% Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki skor kemampuan menerima kenyataan yang tinggi sebanyak 157 orang (62,8%) dan 93 responden (37,2%) memiliki skor kemampuan menguasai amarah yang 79 rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki skor kemampuan menguasai amarah yang tinggi. 4.2.3 Ketegorisasi Skor Pola Asuh Orang Tua Adapun untuk kategorisasi skor pola asuh orang tua pada 250 responden dapat dilihat pada tabel 4.9. Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Pola Asuh Orang Tua Pola asuh Jumlah Otoriter Otoritatif Permisif Total 76 74 100 250 Persentase 30,4% 29,6% 40% 100% Dari tabel di atas, dapat dilihat dari 250 responden, 76 responden (30,4%) pola asuh orang tua cenderumg bersifat otoriter, 74 responden (29,6%) pola asuh orang tua cenderung bersifat otoritatif, dan 100 responden (40%) pola asuh orang tua bersifat permisif. Dengan demikian responden terbanyak pada penelitian ini yaitu pola asuh permisif. 4.3 Uji Hipotesis Penelitian 4.3.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software SPSS 18. Uji regresi dilakukan untuk melihat tiga hal yaitu, apakah IV berpengaruh signifikan terhadap DV, melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang 80 dijelaskan oleh IV, yang terakhir untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing IV. Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh dari IV secara bersama-sama terhadap DV. Hasil analisis determinasi dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut. Tabel 4.10 R-Square Model R .269a 1 R Square .072 Adjusted R Square .045 Std. Error of the Estimate 8.11927 a. Predictors: (Constant), JK, MANDIRI, PA2, AMARAH, KENYATAAN, MENYESUAIKAN, PA1 Dari tabel 4.10 di atas dapat kita lihat bahwa perolehan R-square sebesar 0.072 atau 7,2%. Artinya proporsi varians dari altruisme yang dijelaskan oleh semua variabel independen adalah sebesar 7,2% sedangkan 92,8% sisanya dipengaruhi oleh variabel di luar penelitian ini. Langkah selanjutnya menganalisis dampak dari keseluruhan variabel independen terhadap altruisme. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut. Table 4.11 ANOVAb Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 1241.324 15953.265 17194.588 Df 7 242 249 Mean Square 177.332 65.923 F Sig. 2.690 .011a a. Predictors: (Constant), JK, MANDIRI, PA2, AMARAH, KENYATAAN, MENYESUAIKAN, PA1 b. Dependent Variable: ALTRUIS 81 Hasil penghitungan pada tabel 4.10 diatas menunjukkan bahwa nilai p = 0,011 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh variabel independen terhadap altruisme ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin, kemandirian, pola asuh 2, kemampuan menguasai amarah, kemampuan menerima kenyataan, kemampuan beradaptasi dan pola asuh 1 terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap variabel independen pada tabel 4.12. Tabel 4.12 Koefisien Regresi Model Unstandardized Coefficients B 1 (Constant) MANDIRI KENYATAAN BERADAPTASI AMARAH PA1 PA2 JK a. Dependent Variable: ALTRUIS Std. Error Standardized Coefficients T Sig. Beta 27.452 -.010 .094 .117 .208 6.703 .056 .055 .058 .063 -.012 .111 .134 .215 4.095 -.186 1.720 2.030 3.303 .000 .852 .087 .043 .001 -2.546 -1.084 -.083 1.251 1.248 1.038 -.139 -.060 -.005 -2.036 -.869 -.080 .043 .386 .936 Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 4.11 koefisien IV, dapat disampaikan bahwa persamaan regresi adalah sebagai berikut: Self control = 27,452 - 0,010 kemandirian + 0,094 kemampuan menerima kenyataan + 0,117 kemampuan beradaptasi* + 0,208 82 kemampuan menguasai amarah* -2,546 pola asuh 1* - 1,084 pola asuh 2 – 0,083 jenis kelamin Keterangan: Tanda (*) menunjukan variabel signifikan Selanjutnya untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan , cukup melihat pada nilai signifikan pada kolom ke-6 pada tabel 4.12 di atas. Jika signifikansinya kurang dari 0,05 (p<0,05), maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan juga pengaruhnya terhadap altruisme, begitu pula sebaliknya. Dari hasil tabel di atas, terdapat tiga IV yang signifikan terhadap altruisme yaitu kemampuan beradaptasi, kemampuan menguasai amarah dan pola asuh 1. Sedangkan konstanta sebesar 27,452 pada tabel, diartikan jika seluruh IV dalam penelitian diasumsikan nilainya 0, maka altruisme nilainya 27,452. Adapun penjelasan mengenai nilai koefisien regresi yang diperoleh dari masing-masing IV adalah sebagai berikut: 1. Kemandirian, diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,010 dengan signifikansi sebesar 0,852 (p>0,05), yang berarti bahwa kemandirian pada kematangan emosi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. 2. Kemampuan menerima kenyataan, diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,094 dengan signifikansi sebesar 0,087 (p>0,05), yang berarti bahwa kemampuan menerima kenyataan pada kematangan emosi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. 3. Kemampuan beradaptasi, diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,117 dengan signifikansi sebesar 0,043 (p<0,05), yang berarti bahwa kemampuan 83 beradaptasi pada kematangan emosi secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap altruisme. Artinya jika semakin tinggi kemampuan beradaptasi pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maka semakin tinggi pula tingkat altruisme. 4. Kemampuan menguasai amarah, diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,208 dengan signifikansi sebesar 0,001 (p<0.05), yang berarti bahwa kemampuan menguasai amarah pada kematangan emosi secara positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap altruisme. Artinya jika semakin tinggi kemampuan menguasai amarah pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maka semakin tinggi pula tingkat altruisme. 5. Pola asuh (Otoriter-Permisif), diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 2,546 dengan signifikansi sebesar 0,043 (p<0.05), yang berarti bahwa pola asuh otoriter-permisif secara negatif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap altruisme. Jadi semakin rendah skor pola asuh otoriter-permisif maka semakin tinggi altruisme. 6. Pola asuh (Otoritatif-Permisif), diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 1,084 dengan signifikansi sebesar 0,386 (p>0,05), yang berarti bahwa variabel pola asuh otoritatif-permisif tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. 84 7. Jenis kelamin, diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,083 dengan signifikansi sebesar 0,936 (p>0,05), yang berarti bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. Selanjutnya, dari tabel 4.12 di atas dapat juga diketahui urutan IV yang berpengaruh secara signifikan terhadap DV dari yang terbesar sampai yang terkecil. Untuk melihat urutan dari yang terbesar sampai yang terkecil dari pengaruh tiap IV terhadap DV dapat diketahui melalui dua cara, yaitu melalui nilai signifikansi (p) dan melalui standardized coefficient beta (Umar dalam Anggis,2014). Maka dari tabel Koefisien Regresi di atas dapat diketahui urutan IV yang memiliki pengaruh dari yang terbesar terhadap DV, yaitu: 1. Kemampuan menguasai amarah dengan beta = 0,215 2. PA (otoriter-permisif) dengan beta = 0.139 3. Kemampuan beradaptasi dengan beta = 0.134 4.3.2 Pengujian Varians Masing-masing Independen Variabel Peneliti ingin mengetahui sumbangan atau kontribusi dari masing-masing independent variable terhadapa dependent variabl. Besarnya sumbangan masingmasing IV yaitu kemamdirian, kemampuan menerima kenyataan, kemampuan beradaptasi, kemampuan menguasai amarah, pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif dan jenis kelamin terhadap DV yaitu altruisme dapat dilihat pada tabel 4.13. 85 Tabel 4.13 Proporsi Varians Masing-masing Independent Variabel Model R R R Sumbangan F Sig. Square Square Change Change Cahnge .040a .002 .002 0,2% .395 .530 1 b .092 .008 .006 0,6% 1.698 .194 2 .112c .012 .004 0,4% 1.008 .316 3 d .237 .056 .044 4,4% 11.381 .001 4 e .263 .069 .013 1,3% 3.398 .066 5 .269f .072 .003 0,3% .763 .383 6 g .269 .072 .000 0% .006 .936 7 Sig X X X V X X X a. Predictors: (Constant), MANDIRI b. Predictors: (Constant), MANDIRI, KENYATAAN c. Predictors: (Constant), MANDIRI, KENYATAAN, BERADAPTASI d. Predictors: (Constant), MANDIRI, KENYATAAN, BERADAPTASI, AMARAH e. Predictors: (Constant), MANDIRI, KENYATAAN, BERADAPTASI, AMARAH, PA1 f. Predictors: (Constant), MANDIRI, KENYATAAN, BERADAPTASI, AMARAH, PA1, PA2 g. Predictors: (Constant), MANDIRI, KENYATAAN, BERADAPTASI, AMARAH, PA1, PA2, JK Besarnya kontribusi masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 4.13 yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Kemamdirian memberikan sumbangan sebesar 0,2% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut tidak signifikan (sig>0,05) dengan F change=0,395. 2. Kemampuan menerima kenyataan memberikan sumbangan sebesar 0,6% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut tidak signifikan (sig>0,05) dengan F change=1.698 3. Kemampuan beradaptasi memberikan sumbangan sebesar 0,4% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut tidak signifikan (sig>0,05) dengan F change=1.008. 4. Kemampuan menguasai amarah memberikan sumbangan sebesar 4,4% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut signifikan (sig<0,05) dengan F 86 change=11.381. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kemampuan menguasai amarah, diikuti dengan semakin tinggi altruisme. 5. Pola asuh 1 memberikan sumbangan sebesar 1,3% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut tidak signifikan (sig>0,05) dengan F change=3,398. 6. Pola asuh 2 memberikan sumbangan sebesar 0,3% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut tidak signifikan (sig>0,05) dengan F change=0,763. 7. Jenis kelamin memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians altruisme. Sumbangan tersebut tidak signifikan (sig>0,05) dengan F change=0,006. Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat satu IV yaitu kemampuan menguasai amarah yang sumbanganya signifikan terhadap DV. BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini dikemukakan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang hasil penelitian serta saran teoritis dan saran praktis. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uji hipotesis utama yang dilakukan dengan menggunakan uji multiple regression, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kematangan emosi dan pola asuh orang tua terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hari hasil uji hipotesis minor yang menguji masing-masing koefisien regresi terhadap depenndent variable diperoleh tiga koefisien regresi yang signifikan, yaitu kemampuan beradaptasi, kemampuan menguasai amarah dan pola asuh otoriter-permisif. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa independent variable yang memiliki pengaruh positif maupun pengaruh negatif yang signifikan terhadap altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun variabel yang berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap dependent variable diantaranya adalah kemampuan beradaptasi dan kemampuan menguasai amarah. Sedangkan untuk variabel yang berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap dependent variable adalah pola asuh otoriter-permisif. Kontribusi variabel kematangan emosi (kemamdirian, kemampuan menerima kenyataan, kemampuan beradaptasi dan kemapuan menguasai amarah), 87 88 pola asuh orang tua (otoriter, otoritatif dan permisif) dan jenis kelamin dalam penelitian ini memberikan sumbangsih sebanyak 7,2% terhadap bervariasinya variabel altruisme pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5.2 Diskusi Variabel independen pertama adalah kematangan emosi. Secara keseluruhan kematangan emosi berpengaruh signifikan terhadap perilaku menolong (altruisme), hasil ini sesuai dengan penelitian Gusti dan Margaretha (2010), bahwa kematangan emosi berpengaruh positif terhadap perilaku altruisme. Selanjutnya terdapat dua aspek kematangan emosi yang terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap altruism, yaitu: a. aspek kemampuan beradaptasi, memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap altruisme, hal ini berarti semakin tinggi kemampuan seseorang beradaptasi maka semakin tinggi tingkat altruis seseorang, hal ini selaras dengan penelitian Gusti dan Margaretha (2010). Menurut Smitson (dalam Katskovsky & Garlow, 1976), seseorang yang mampu beradaptasi dengan baik, ia dapat dengan fleksibel berhubungn dengan orang lain atau situasi tertentu secara produktif, sehingga lebih mudah untuk memberi pertolongan kepada orang lain. b. Aspek kemampuan menguasai amarah, memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap altruisme, hal ini berarti semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai amarah maka semakin tinggi tingkat altruis seseorang, 89 hal ini selaras dengan penelitian Gusti dan Margaretha (2010). Seseorang yang mampu menguasai amarah tahu bagaimana mengontrol emosi yang tidak dapat diterima secara sosial dan mampu bertahan dengan cara yang diteriama sosial (Hurlock, 1980). Jadi dapat dikatakan seseorang yang mampu mengontrol emosinya tahu kapan ia harus menolong orang lain. Selanjutnya mengenai aspek kematangan emosi yang terbukti tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. a. Aspek kemandirian, hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang mampu mengatur kehidupannya sendiri, mampu memutuskan apa yang dikehendakinya dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut (Smitson, dalam Katskovsky & Gorlow, 1976). Overstreet (dalam Puspitasari & Nuryoto, 2002) mengungkapkan seseorang yang matang tidak menggantungkan hidup sepenuhnya kepada orang lain karena seseorang yang matang tahu bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri-sendiri. Peneliti menduga kemandirian tidak berpengaruh terhadap altruisme karena adanya perasaan bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri-sendiri. b. Aspek kemampuan menerima kenyataan, hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan menerima kenyataan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. Ini tidak sesuai dengan pendapat Smitson ( Katskovsky & Gorlow, 1976) yang mengatakan seseorang yang mampu menerima 90 kenyataan adalah seseorang yang menggunakan apa yang ada pada dirinya untuk menghadapi kenyataan dan secara efektif mengembangkan pola tingkah laku dan pola hubungan dengan orang lain. Sehingga, seharusnya seseorang yang mampu menerima kenyataan adalah seseorang yang memahami kondisi orang lain yang membutuhkan pertolongan. Peneliti menduga kemampuan menerima kenyataan tidak berpengaruh terhadap altruisme karena tidak semua mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah mapu menerima kenyataan hidup dan lebih memilih untuk menyangkal atau lari dari masalah karena takut akan resiko yang dihadapi. Variabel independen yang kedua adalah pola asuh orang tua. a. Pola asuh 1 (otoriter-permisif) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku altruism dengan arah yang negatif. Artinya bahwa ada perbedaan rata-rata altruisme kelompok pola asuh otoriter dengan kelompok pola asuh permisif diman nilai rata-rata kelompok pola asuh permisif lebih besar dibandingkan nilai rata-rata kelompok pola asuh otoriter. b. Pola asuh 2 (otoritatif-permisif) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap altruisme. Variabel demografi jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku altruisme. Hal ini selaras dengan pendapat Deaux, Dane, and Wrightsman (dalam Sarlito 2009). Peranan jenis kelamin terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas 91 menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena konteks budaya yang berbeda antara budaya wilayah asal digunakannya skala dengan budaya Indonesia. Skala baku yang dipergunakan dalam penelitian ini awalnya digunakan pada negara dengan pola masyarakat yang lebih terbuka. Dibandingkan dengan penggunaan pada masyarakat Indonesia yang lebih banyak menolong karena adanya faktor personal dan situasional. Robert Trivers (dalam Sears, 1994) mengungkapkan bahwa seseorang lebih mudah menolong orang yang disukainya, atau memiliki kesamaan dengan dirinya, faktor situasional juga diduga menjadi pengaruh seseorang dalam menolong orang lain, seperti saat adanya bencana nasional, atau dalam kondisi yang mengharuskan seseorang menolong orang lain. Perbedaan-perbedaan inilah mempengaruhi sudut pandang responden terhadap item-item yang ada pada skala. 5.3 Saran Peneliti menyadari banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian ini sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk melengkapi kekurangan dan keterbatasan tersebut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti 92 membagi saran menjadi dua, yaitu saran teoritis dan saran praktis. Saran tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang hendak meneliti variabel terikat yang sama. 5.3.1. Saran Teoritis 1. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, pada penelitian selanjutnya disarankan meneliti lebih lanjut mengenai altruisme dengan menambah variabel yang memiliki hubungan dengan altruisme, seperti faktor kepribadian, religiusitas. 2. Disarankan juga agar tidak menggunakan item terlalu banyak, hal ini untuk mengurangi kelelahan dan kejenuhan responden saat mengisi kuestioner penelitian. 3. Diharapkan mengadakan penelitian dengan sampel yang lebih banyak lagi, sehingga dapat diperoleh jawaban yang lebih bervariasi tentang perilaku altruisme. 2.1.5 Saran Praktis 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang positif bagi perkembangan ilmu psikologi remaja. 2. Setiap orang tua memiliki cara dan pola asuh yang berbeda, namun sebaiknya mampu memilih pola asuh yang tepat dan yang terpenting adalah orang tua dapat mendidik dan mengasuh anak-anak sehingga mereka dapat menumbuhkan rasa percaya diri, kemandirian, serta mengembangkannya. Sehingga anak mampu menghadapi situasi dan kondisi yang serba tak terduga dikemudian hari. 93 3. Bagi remaja disarankan untuk belajar membiasakan diri untuk bersikap saling tolong menolong dalam hal kebaikan, karena sangat berguna demi terciptanya hubungan sosial yang baik. 94 DAFTAR PUSTAKA Afifah. (2011). Studi validitas konstruk general aptitude test battery (gatb) dengan metode CFA. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Antara. (2010). Siswa SMA galang bantuan untuk wasior. Diunduh tanggal 2 februari dari http://www.merdeka.com/pernik/siswa-sma-galangbantuan-untuk-wasior.html Azwar, S. (2010). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Baron, Robert A., Donn Byrne. (2005). Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga Batson, C. Daniel. (1991). Empathy-induced altruistic motivation. Department of Psychology University of Kansas. Bee, H.L. (2010). The developing child. Boston: Pearson Education. Brown, T. A. (2006). Confirmatory factor analysis for applied research, New York, NY ;London, New York, NY ; London : Guilford Press. Caprara, G, V., Alessandri, G,. & Eisenberg, N. (2011). Prosociality: The contribution of traits, value, and self-afficacy belief. Journal of Personality and Social Psychology. 1-15. Doi: 10.1037/a0025626 Carlo, G., Meginley, M., Hayes, R., Batenhorst, C., & Wilkinson, J. (2007). Parenting styles or practice? Parenting, sympaty, and prosocial behavior among adolescents. The Journal of Genetic Psychology, 168(2), 147-176. Chaplin J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada. Darling, N. (1999). Parenting style and its correlates. University of Illinois; Eric Digest EDO-PS-99-3. Dayakisni, T. ( 1988). Perbedaan intensi prososial siswa-siswi ditinjau dari pola asuh orang tua, Jurnal Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Grusec, J. E., & Goodnow, J. J. (1994). Impact of parental discipline methods on the child’sinternalization of values: A reconceptualization of current points of view. Journal of Developmental Psychology. 95 Gusti dan Margaretha. (2010). Perilaku sosial ditinjau dari empati dan kematangan emosi. Volume (I). Universitas Muria Kudus. Hastings, Zahn-Waxler, Robinson, Usher & Bridge, (2000). The development of concern for others in children with behavior problems. Development Psychology. 36 (5): 531-546 Hurlock, E. B. (1978). Child Development. Perkembangan anak. Meitasari Tjandrasa (terj). Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. B . (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. B. (1990). Adolescent development. McGraw-Hill Kogakusha LTD. Tokyo. Hurlock E. B. (2000). Adolescent development. McGraw-Hill Kogakusha LTD. Tokyo Joreskog, K.G. & Sorbom. (1988). D. LISREL 8: A guide to the program and application SPSS inc. 2nd. Edition. Katkovsky, Walter & Gorlow, Leon. (1976). The psychology of adjusment; current concepts and application. McGraw-Hill Book Company, New York. Krueger, Hicks & McGue. (2001). Altruism and antisocial behavior: independent tendencies, unique personality correlates, Distinct Etiologies. Psychological Science 12:397-402. Kuwado, F. J. (2012). Jasad korban tabrakan pick up vs motor dibiarkan 3 jam. Diunduh tanggal 13 september 2014 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/02/21331021/artikel-detailkomentar-mobile.html. Myers, D. G. (2003). Social psychology 8th edition. New York: Mc Graw Hill Nashori, H. F. (2008). Psikologi sosial islam, Jakarta: PT Refika Aditama. Pertiwi, Dewi dkk. (2013). Kematangan emosi dan psikosomatis pada mahasiswa tingkat akhir. Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta. Pradini, A. (2014). Pengaruh kepribadian dan resiliensi terhadap kepuasan hidup perempuan korban KDRT. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 96 Puspitasari, E. Sartini N. (2002). Penerimaan diri pada lanjut usia ditinjau dari kematangan emosi. Yogyakarta: Universias Gajah Mada. Rachmawati, F. (2013). Hubungan kematangan emosi dengan konformitas pada remaja. Skripsi. Jakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Radio Australia. (2013). Saksi pemerkosaan India: 'Tidak ada yang menolong kami sampai satu jam. Diunduh tanggal 12 september 2014 dari http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-01-05/saksipemerkosaan-india-tidak-ada-yang-menolong-kami-sampai-satujam/1070046 Riberio, (2009). Parental authority questionnaire. Journal of Personality Assessmant, 1991, 57 (1), 110-119. Robinson, C., Mandleco, B., Olsen, SF, &Hart, CH. (1995). Authoritative, authoritarian, and permisive parenting practice: Development of A New Measure. Psychological Report, 77, 819-830. Rushton, J. P., Chrisjohn, R. D., & Fekken, G. C. (1981). The altruistic personality and the self-report altruism scale. Personality and Individual Differences, 2(4), 293-302.doi:10.1016/0191-8869(81)90084-2. Santrock, J. W. (2007). Life-span development. Perkembangan anak. Milla Rachmawati & Anna Kuswati (terj). Jakarta: Erlangga. Sarlito, W. S. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sarlito, W. S., & Eko, A. M. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Sears, D. O., Freedman, J, L., & Peplau, L. A. (1994). Psikologi sosial. Michael Adryanto (terj). Jakarta: Erlangga. Suara Merdeka. (2013). Trio MIA dapat penghargaan. Diunduh tanggal 13 september 2014 dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/24/2257 25/Trio-MIA-Dapat-Penghargaan. Staub, E. (1978). The psychology of good and evil: Why children. adults and group help and harm others. Cambridge: University Press. Taylor, S. E., Peplue, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial, edisi kedua 97 belas. Tri wibowo B.S (terj). Jakarta: Erlangga. Walgito, B. (2004). Pengantar psikologi umum. Yogyakarta: Andi. Zonacoppaser. (2011). Seorang anak tertabrak, 18 orang lewat tak ada yang menolong. Diunduh pada tanggal 13 september 2014 dari http://forum.viva.co.id/aneh-dan-lucu/214731-seorang-anak-tertabrak18-orang-lewat-tak-ada-yang-menolong-nya.html. LAMPIRAN PERYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN Assalamu’alaikumWr. Wb Saya, Safira Ainun Zahra mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Kemtangan Emosi Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Altruisme”. Penelitian ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Oleh karena itu, saya mengharapkan kesediaan anda untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Silahkan anda mengisi kuesioner ini dengan mengikuti petunjuk yang diberikan. TIDAK ADA JAWABAN YANG SALAH dalam kuesioner ini. Pilihlah jawaban sesuai dengan keadaan anda saat ini. Data diri dan semua jawaban anda akan sangat bermanfaat bagi penelitian dan dijamin KERAHASIAANNYA. Atas perhatian dan partisipasinya, saya ucapkan terima kasih. HormatPeneliti, SafiraAinun Zahra PERNYATAAN PERSETUJUAN PARTISIPASI Dengan ini saya secara sukarela menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. (WAJIB DIISI) Inisial : Jenis Kelamin : P / L (Lingkari) SKALA A PETUNJUK Di bawah ini terdapat pernyataan-pernyataan, baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan. Saudar/i diminta untuk mengemukakan apakah peryataan-pernyataan tersebut sesuai dengan diri saudara/i, dengan cara memberikan tanda checklist (√) dalam pilihan jawaban yang telah tersedia. Tidak ada jawaban yang benar atau salah, semua jawaban saudara/i adalah benar. SS : Sangat sesuai S : Sesuai TS : Tidak sesuai STS : Sangat tidak sesuai Contoh No. Pernyataan Saya sukamenolongteman yang sedang kesusahan 1 No Pernyataan 1 Saya bersedia menolong seseorang mendorong mobilnya yang mogok 2 Saya memberikan petunjuk kepada seseorang yang tidak saya kenal 3 Saya membuat perubahan untuk orang yang tidak saya kenal 4 Saya memberikan uang untuk amal 5 Saya akan memberikan uang untuk seseorang yang membutuhkannya (atau yang meminta kepada saya) 6 Saya menyumbangkan barang atau pakaian untuk sebuah amal 7 Saya melakukan kerja suka rela untuk sebuah amal 8 Saya memdonorkan darah saya 9 Saya menolong membawakan sesuatu milik orang yang tidak saya kenal (buku, parcel, dll) 10 Saya menunda elevator dan memencet tombol untuk membuka pintu untuk orang yang tidak saya kenal 11 Saya mengijinkan seseorang kedepan saya dalam sebuah antrian (loket, supermarket) 12 Saya memberikan tumpangan di mobil saya kepada seseorang yang tidak saya kenal 13 Saya memjelaskan kesalahan pramuniaga (di sebuah bank, supermarket) yang melakukan pengurangan pembayaran untuk saya pada barang/item yang saya ambil SS SS S √ TS S TS STS STS No Pernyataan 14 Saya membiarkan tetangga yang tidak terlalu saya kenal meminjam benda berharga saya (piring, peralatan, dll) 15 Saya membeli kartu natal/lebaran “amal” karna saya tahu itu memiliki tujuan yang baik 16 Saya menolong teman sekelas yang tidak terlalu saya kenal baik mengerjakan tugasnya ketika pengetahuan saya lebih baik dari pada yang lain 17 Sebelum diminta, saya dengan sukarela ikut menjaga binatang peliharaan atau anak seorang tetangga tanpa upah 18 Saya menawarkan diri untuk membantu seseorang yang cacat atau orang tua yang tidak saya kenal menyebrang jalan 19 Saya menawarkan tempat duduk saya di bus atau kereta kepada orang yang tidak saya kenal yang sedang berdiri 20 Saya menolong orang yang cacat memindahkan perabotan rumahnya SS S TS STS SS S TS STS SKALA B No 1 Pernyataan 2 Saya meminta bantuan teman dalam memecahkan masalah yang saya hadapi Saya dapat menyelesaikan tugas saya sendiri 3 Saya meminta teman saya untuk mengerjakan tugas saya 4 Saya selalu membuat catatan kegiatan harian saya sendiri 5 8 Saya mengandalkan pendapat sendiri dalam mengambil keputusan meskipun itu masalah besar Saya memerlukan bantuan orang lain untuk mengambil keputusan Saat saya dihadapka dengan dua pilihan, maka saya dapat memastikan pilihan saya sendiri Saya menyukai diri saya apa adanya 9 Terkadang saya merasa bodoh diantara teman-teman saya 10 Saya bangga dengan kemampuan yang saya miliki 11 14 Kadang saya merasa iri dengan teman yang lebih beruntung dari saya Saya tidak malu untuk memulai pembicaraan dengan seseorang yang baru saya kenal Saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri di lingkungan baru Saya aktif dalam kegiatan di lingkungan saya 15 Berada di tengah banyak orang membuat saya gugup 6 7 12 13 No Pernyataan 16 Saya berani mengemukakan pendapat saya didepan umun 17 Saya tidak berani mengemukakan pendapat saya sendiri bahkan cenderung hanya mengikuti pendapat orang lain 18 Saya peka apabila ada perubahan suasana hati teman saya 19 Saya acuh pada masalah teman saya 20 Saya mengetahui apa yang dirasakan sahabat saya meskipun dia tidak cerita Ketika marah saya lebih suka diam 21 22 23 24 SS S TS STS SS S TS STS saya mudah marah ketika teman saya menyinggung perasaan saya saya berusaha tidak marah ketika teman saya menyinggung saya Saya memaki dan mengumpat jika sedang marah SKALA C No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pernyataan Orang tua saya merasa, bahwa anak-anak memiliki cara mereka sendiri didalam keluarga Menurut orang tua, saya harus setuju dengan pendapat mereka, karena hal tersebut demi kebaikan saya sendiri Setiap kali orang tua menyuruh saya melakukan sesuatu, ia mengharapkan saya melakukannya segera mungkin tanpa bertanya Meskipun kebijakan keluarga telah ditetapkan, orang tua membahas alasan kebikajan tersebut dengan anak-anak. Orang tua saya memberikan penjelasan setiap kali saya merasa aturan dan batasan dalam keluarga tidak masuk akal Orang tua membebaskan saya untuk berfikir dan berbuat sesuai dengan apa yang ingin saya lakukan, bahkan jika hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan Orang tua tidak mengijinkan saya untuk bertanya pada setiap keputusan yang mereka buat Orang tua saya mengarahkan kegiatan dan keputusan anakanak dalam keluarga melalui pemahaman dan kedisiplinan Orang tua saya merasa bahwa paksaan harus lebih digunakan agar anak-anak bersikap sesuai dengan apa yang orang tua inginkan Orang tua saya tidak merasa saya perlu mematuhi peraturan dan mengatur perilaku saya Saya mengetahui apa yang orang tua saya harapkan dari saya, tapi ketika saya merasa bahwa harapan tersebut tidak masuk akal, saya bebas untuk mendiskusikan harapanharapan itu dengan orang tua Orang tua saya menganggap bahwa orang tua yang bijaksana harus mengajari anak-anak mereka sejak kecil tentang siapakah pemimpin dalam keluarga No Pernyataan 13 Orang tua saya jarang memberi saya harapan dan bimbingn untuk perilaku saya Orang tua saya mengikuti apa yang anak-anak inginkan ketika membuat keputusan keluarga Orang tua saya secara konsisten memberikan arahan dan bimbingan dengan rasional dan objektif Orang tua saya akan marah jika saya mencoba untuk tidak setuju dengannya Orang tua saya merasa bahwa tidak seharusnya orang tua membatasi kegatan, keputusan, dan keinginan anak-anak mereka Orang tua memberi tahu perilaku apa yang mereka harapkan dari saya, dan jika saya tidak memenuhi harapan mereka, mereka akan menghukum saya Orang tua saya memperbolehkan saya untuk memutuskan suatu hal sendiri tanpa banyak arahan dari mereka Orang tua mempertimbangkan pendapat dari anak-anaknya ketika membuat keputusan keluarga, tapi meraka tidak akan memutuskan sesuatu hanya karena anak-anak menginginkannya Orang tua jarang memberikan contoh kepada saya tentang cara berprilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari Orang tua memiliki aturan tentang perilaku anak-anaknya dirumah, tetapi mereka bersedia menyesuaikan aturan tersebut dengan kebutuhan masing-masing anak dalam keluarga Orang tua memberi arahan untuk perilaku dan kegiatan saya dan mereka mengharapkan saya mengikuti arahannya, tetapi mereka selalu bersedia mendengarkan keinginan saya dan mendiskusikan arahan itu dengan saya Orang tua mengizinkan saya untuk memutuskan sendiri apa yang akan saya lakukan Orang tua saya bersikap memaksa dan ketat dalam membuat kesepakatan dengan anak-anaknya ketika tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan Orang tua saya sering mengatakan kepada saya apa yang mereka inginkan dari saya mereka mengharapkan agar saya dapat mewujudkan keinginan tersebut Orang tua saya memberikan arahan yang jelas untuk perilaku dan kegiatan saya, tetapi mereka juga memahami ketika saya tidak setuju dengannya Orang tua saya tidak mengarahkan perilaku, kegiatan, dan keinginan anak-anaknya Orang tua bersikeras bahwa saya harus sesuai dengan harapan-harapannya Jika orang tua saya membuat suatu keputusan di dalam keluarga yang menyakiti saya, mereka bersedia membicarakan keputusan itu dengan saya dan mengakui jika mereka melakukan kesalahan 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Terima Kasih SS S TS STS