BAB II MASYARAKAT SURAKARTA AWAL ABAD XX A. Struktur Masyarakat Surakarta Berbicara mengenai masyarakat Surakarta pada masa ini, tidak lepas dari struktur masyarakat kolonial pada umumnya. Secara umum masyarakat Surakarta terbagi dalam tiga golongan, yaitu orang Jawa yang tinggal di pedesaan, orang Eropa yang kebanyakan adalah orang-orang Belanda, orang Cina dan Arab yang tinggal di kota-kota.1 TABEL I PENDUDUK SURAKARTA TAHUN 1900-1930 Tahun Jawa Eropa Cina Arab & Lain-lain Jumlah Melayu 1900* 1.499.438 3.637 9.265 171 262 1.512.773 1905* 1.577.996 3.335 11.725 - - 1.593.056 1917* 2.042.954 3.919 13.997 - - 2.060.870 1920* 2.029.843 5.003 14.701 - - 2.049.547 1930** 2.535.594 6.555 21.224 1.475 - 2.564.848 Sumber: *) Regeeringsalmanak dalam Suhartono, Apanage Dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, ( Gadjah Mada University Prees, Yogyakarta, 1991) hal 196 dan **) Indisch Verslag dalam George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi; Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Gadjah Mada University Prees, Yogyakarta, 1990) hal XVII dalam A. Susana Kurniasih, Pengaruh Politik Etis Terhadap Perkembangan Pendidikan di Surakarta Tahun 1900-1942, (Skripsi, UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah, Surakarta, 1993) hal 58 1 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), Hal 24 Melihat data penduduk di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Surakarta meningkat dari tahun-ketahun seiring dengan perkembangan kota itu sendiri. Dan golongan Eropa sebagai penguasa jumlahnya tidak terlalu banyak jika dibandingkan golongan Cina dan golongan pribumi. Jumlah golongan pribumi (Jawa) di Surakarta menduduki jumlah yang terbanyak namun demikian dalam struktur kolonial golongan ini menempati posisi paling bawah. Mungkin hanya beberapa persen saja yang menduduki posisi lebih baik. Dalam struktur masyarakat Jawa golongan tersebut menduduki tempat teratas, mereka adalah golongan elit pribumi. Gambaran penduduk yang beragam lebih terlihat di kota Surakarta, di mana orang-orang Eropa, Indo, Cina, Arab, dan orang “Timur Asing” lainnya mencapai sepuluh persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, Surakarta menduduki tempat teratas dibandingkan wilayah lain.2 1. Golongan Eropa Golongan Eropa sebagai penguasa menempatkan diri pada lapisan atas. Mereka membentuk lingkungan tersendiri yang terlepas dari adat dan hukum yang berlaku bagi pribumi.3 Pada tahun 1900 ada kurang lebih 70.000 orang Eropa di Jawa. Barangkali hanya seperempatnya saja yang merupakan bansa Eropa yang lahir di Eropa dan 2 Takahshi Shiraishi, (Jakarta, Grafiti, 1997) hal 3 Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Sartono Kartodirjo, “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial” dalam Lembaran Sejarah No.IV (Yogyakarta, Seksi Penelitian Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, 1969) hal 47 3 datang ke Jawa, selebihnya sekitar limapuluh ribu merupakan campuran IndoEropa.4 Mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan orang Eropa totok dalam hierarki sosial masyarakat kolonial. Meskipun jumlah golongan ini tidak terlalu banyak, namun kehadiran mereka sebagai penguasa telah banyak merubah kehidupan sosial, politik, maupun budaya di Surakarta. Rust en Orde ditegakkan bukan saja di wilayah Surakarta, namun pada semua daerah jajahannya di Hindia Belanda dan kegiatan dagang mereka meningkat dengan cepat.5 Ditegakkannya Rust en Orde menjadikan posisi golongan Belanda semakin tidak tergoyahkan. Aktvitas sosial politik sepenuhnya di bawah kendali Belanda melalui dewan yang dibentuk berdasarkan undang-undang desentralisasi tahun 1903. Hal ini juga mengakibatkan adanya perkembangan dalam bidang kebudayaan, karena dalam dewan tersebut duduk wakil dari berbagai golongan masyarakat yang ada di Surakarta menyebabkan bercampurnya pandangan dan gaya hidup dari masing-masing golongan, sehingga tidak dapat dihindari adanya pertemuan kebudayaan yang berbeda yang secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan budaya dari tiap-tiap golongan. Masuknya Belanda dalam urusan politik, sosial, budaya, sudah lama terjadi. Sejak kerajaan Mataram berdiri, sesungguhnya sudah terlihat bila rajaraja Surakarta lemah terhadap Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan raja-raja Surakarta mengenakan segala macam atribut yang berbau Belanda, 4 Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, terjemahan (Jakarta, PT.Dunia Jaya, 1984) hal 26 5 Takhashi Shiraishi, op.cit. hal 36 contohnya dengan mengenakan busana Belanda dalam upacara kraton. Hal tersebut telah mengindikasikan bahwa raja-raja Jawa menunjukkan kelemahannya terhadap pengaruh Belanda. Masalah ini diperumit lagi dengan diperkenankannya “cara Belanda” dalam urusan-urusan kenegaraan mereka. Semua hal tersebut telah mengalahkan raja-raja Surakarta dalam permainan mereka sendiri. Hingga dimasa-masa mendatang semua Pakubuwana akan diwajibkan menyebut gubernur jendral mereka dengan istilah kekeluargaan yang hormat, éyang.6 Ditingkatan yang lebih rendahpun Residen dihormati dengan sebutan kehormatan sebagai “ayah” dari Sunan. Ini terbukti dari surat yang dikirimkan sunan kepada residen tentang pembentukan dewan kota di ibukota Surakarta yang meliputi wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran. Disurat tersebut sunan mengawali suratnya dengan menyebut Ayahanda kepada Residen.7 Di Surakarta Residen Belanda memainkan peran ganda. Pertama, ia memegang hak hukum terhadap orang Eropa dan seluruh penduduk lainnya diluar kekuasaan Sunan atau Mangkunegara. Peran kedua yang lebih penting, ia adalah pejabat politik dan wakil resmi Gubernur Jendral Hindia Belanda bagi kedua raja tersebut. Secara resmi ia adalah “bapak” bagi Sunan dan teman bagi Mangkunegara. Hubungannya dengan Sunan pada umumnya ditentukan oleh persetujuan politik yang telah ditandatangani oleh raja ketika naik tahta, 6 John Pemberton, Jawa; On The Subject of “Java”, (Yogyakarta, Mata Bangsa, 2003) hal 74-80 7 dalam George D. Larson, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942, ( Yogyakarta, Gadjah Mada University Press 1990) hal 238 sementara hubungannya dengan Mangkunegara ditentukan dengan sebuah sertifikat, akte van verband.8 Situasi kolonial ini sengaja dipertahankan dengan dijalankannya politik diskriminasi rasial dan bermacam-macam idiologi yang memperkecil arti pribumi, seperti politik asosiasi ataupun ataupun politik Etis.9 Garis warna yang terdapat dalam masyarakat dikembangkan untuk memisahkan kulit putih dan kulit berwarna. Akibat dari keadaan yang demikian membuat komunitas tersebut hidup dalam isolasi tanpa kontak dalam masyarakat sekitarnya. Disamping kontak formal lewat saluran kedinasan, hampir tidak ada hubungan sosial baik dibidang umum maupun dibidang kehidupan pribadi.10 Intervensi Belanda terhadap kehidupan politik dan sosial di Jawa dimulai sejak masa VOC. Puncaknya adalah saat kemenangan Belanda pada perang Jawa yang telah membawa Belanda masuk kedalam sendi kehidupan masyarakat di Jawa. Akibatnya Belanda memegang kendali penting terhadap segala perubahan yang terjadi di Jawa, baik dalam bidang politik, sosial dan juga kebudayaan. Posisi Belanda yang berada dipuncak juga memungkinkan mereka untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai kemauan mereka. Posisi-posisi strategis dalam pemerintahan seperti seorang kepala, atau pegawai staf sebagian besar adalah orang Eropa. Dapat dimaklumi karena sebagai penguasa mereka tidak 8 Takhashi Shiraishi, op.cit. hal 5 9 Robert Van Niel, op.cit. hal 19 10 Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta, Gramedia, 1990) hal 97 ingin bila posisi-posisi strategis tersebut natinya bisa menggoyahkan kedudukan mereka sebagai penguasa. Oleh sebab itu demi keamanan mereka dipilihlah orang-orang dari golongan mereka sendiri untuk ditempatkan pada posisi tersebut. Satu hal yang menarik dalam struktur sosial orang Eropa, mereka yang merupakan keturunan Indo atau campuran Eropa-Jawa menduduki tempat kedua. Posisi mereka tergantung dari pengakuan sang ayah yang kebanyakan merupakan Eropa totok. Bila ayah mereka mengakuinya sebagi anak, maka kehidupan dunia orang eropa telah menanti mereka.11 Namun pada abad 20 posisi mereka berangsur-angsur membaik, mereka dapat menjadi tenaga teknis pada kantorkantor pemerintah dan department-departemen atau menjadi tenaga ahli. 2. Golongan Cina, Arab, dan Timur Asing Lainnya Golongan ini lebih berjiwa dagang daripada orang Indonesia, dan menempatkan diri mereka dengan sifat tegas dan penuh energi yang memungkinkan mereka sejak semula secara luas menguasai kedudukan sebagai perantara dalam struktur ekonomi di kepuluan Nusantara ini.12 Mereka berhasil memainkan peranan yang amat penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial didaerah-daerah kerajaan di Jawa, terutama dibidang perdagangan. 13 Prestasi ini menempatkan mereka pada kedudukan yang baik dalam hubungannya dengan pengusaha-pengusaha Eropa dan pribumi sehingga 11 Pengakuan dari seorang ayah yang merupakan Eropa totok sangatlah penting bagi seorang anak campuran, karena hanya dengan pengakuan dari ayahnyalah ia bisa masuk dalam dunia orang Eropa. Pada masa pemerintahankolonial, kedudukan orang Indo terombang-ambing diantara golongan Eropa dan pribumi. Baca…Recalling the Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Poskolonial, editor Joost Cote’ dan Loes Westerbeek (Yogyakarta, Syarikat, 2004) Bab II 12 13 Liem Twan Djie, dalam Robert Van Niel, op.cit. hal 29 Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825), (Jakarta, Pustaka Azit, 1986) hal 16 mereka memperoleh kedudukan administrasi dan hukum yang istimewa yang diberikan oleh kedua golongan terakhir tersebut.14 Pada mulanya pemerintah kolonial menempatkan golongan Cina pada satu daerah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini untuk mencegah terjadinya percampuran golongan Cina dan pribumi.15 Peraturan tersebut telah membuat golongan Cina marah, mereka menuntut pemerintah kolonial untuk mencabut paraturan tersebut. Akhirnya perjuangan mereka berhasil. Berdasarkan staatsblaad No.150, pasal 2 tahun 1919 yang berbunyi: “Bangsa Timoer Asing jang mempoenjai hak beroemah tinggal di poelau Djawa dan Madoera dan poelau-poelau ketjil jang toeroet dibawah pemerintahannya, adalah mempoenjai kemerdekaan diatas memilih tempat tinggalnya”16 dengan ini bangsa timur asing memiliki kemerdekaan untuk menentukan tempat tinggalnya. Selanjutnya pada pada tahun 1925, tercapai persamaan kedudukan bangsa Timur Asing dengan bangsa Eropa. Namun demikian pemerintah tetap mengangkat seorang kapten untuk dijadikan seorang pengawas.17 Permukiman orang Tiong Hoa yang utama adalah Pasar Gede yang terletak ditengah kota, di tepi utara Kali Pepe. Didaerah ini ditunjuk pula seorang 14 Ibid, hal 17-18 15 A. Susana Kurniasih, op.cit. hal 61 16 Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1919 17 Poeniko Serat Babad Tanah Djawi Saking Nabi Adam Doemogi Ing Tahun 1647, dalam A. Susana Jurniasih, op.cit. hal 63 pengawas. Ia memiliki hubungan keluarga dan bisnis yang dekat dengan perdagangan opium milik orang-orang Cina.18 Di Surakarta perdagangan dikuasai oleh orang Cina dan Arab, terutama dalam perdagangan kain batik. Selain berdagang batik menjelang akhir dekade pertama abad 20 orang-orang Cina bergerak bukan saja dibidang dibidang pertanian, mereka memperoleh kebebasan untuk menjalankan kegiatan dagang, mereka mulai mencari tempat menanam uang pada perkebunan tebu dan industri lokalerti rokok kretek.19 Bukan hanya golongan Cina dan Arab saja yang menguasai di Surakarta, golongan Timur Asing lainnya walaupun jumlahnya kecil juga mengambil peranan dalam kegiatan dagang. Golongan tersebut terdiri dari orang-orang Benggala, Tamil dan Bombay. Dikota Solo sendiri jumlah mereka meningkat dari tahun ketahun, walaupun peningkatan tersebut tidak terlalu drastis. Pada tahun 1941 jumlah mereka sudah mencapai 1.600 jiwa dikota Solo.20 Golongan Cina memang mendapatkan persamaan hak dengan orang Eropa yang diberikan oleh pemerintah Belanda, namun dari segi persaingan dan keuntungan dalam berdagang, orang Arab sedikit lebih baik daripada orang-orang 18 Takhashi Shiraishi, loc.cit. 19 Ibid, hal 48 20 M.P van Bruggen dan R.S. Wassing, Djokja En Solo; Beeld van de Vorsteden, ( Asia Major, Nederland, 1998) hal 41 Cina. Hal ini disebabkan karena ikatan keagamaan mereka dengan penduduk pribumi, mereka sama-sama memeluk agama Islam. 3.Golongan Pribumi Golongan ini mempunyai struktur sendiri. Adapun struktur masyarakat pribumi di Surakarta pada masa kolonial tidak lepas dari kondisi daerah tersebut yang merupakan daerah kerajaan. Masyarakat pribumi terbagi dalam dua golongan sosial yang besar, yaitu golongan atas yang terdiri dari bangsawan dan priyayi dan golongan bawah yang terdiri dari para petani, pedagang, tukang, pengrajin, dan sebagainya. Golongan atas yaitu priyayi memiliki gaya hidup yang sangat berbeda dengan golongan bawah. Golongan ini menunjukkan gaya aristokrat dengan kebiasaan, makanan, dan pakaian serta dengan simbol-simbol yang menunjukkan bahwa mereka adalah golongan elit. Dilain pihak golongan bawah yang lebih biasa disebut sebagai wong cilik menunjukkan sifat yang sungguh berbeda. Banyak ahli menulis bahwa golongan ini mempunyai kebiasaan polos, terbuka, dan kasar.21 Pada awal abad 20 terjadi perubahan pada masyarakat pribumi. Golongan elit yang pada mulanya hanya diduduki oleh kaum bangsawan, kini meluas dengan masuknya elit atau priyayi baru. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat pendidikan gaya barat dan menduduki tempat-tempat distruktur birokrasi pemerintahan, mereka adalah priyayi profesional. 21 Lihat Suhartono, op.cit. hal 32-35 Pendidikan gaya barat merupakan akar dari perubahan sosial pada masyarakat yang ada di Surakarta dan di Hindia Belanda pada umumnya. Bertambah luasnya kekuasaan Belanda mengakibatkan kebutuhan akan tenaga kerja yang berpendidikan Barat bertambah besar. Bila awalnya kedudukan dalam hirarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar keturunan, maka politik kolonial baru menjadikan pendidikan sebagi gantinya.22 Dalam pendidikan gaya barat yang modern, telah membuat golongan pribumi terserap kedalam kehidupan orang Eropa. Misalnya dengan penggunaan kata-kata Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka, mengenakan pakaian dan sepatu gaya barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan minum limun, menonton film, dan hal-hal yang berbau barat lainnya.23 Namun bagaimanapun juga pribumi tetaplah pribumi seberapun tinggi pendidikannya. Hal ini disebabkan oleh stratifikasi rasial yang diciptakan oleh pemerintah Belanda.24 Meskipun golongan pribumi mempunyai kedudukan dalam pemerintahan Belanda (Amtenaren), namun tetap saja posisinya berada dibawah orang-orang Eropa. Di Surakarta, Sunan menduduki puncuk struktur politik yang mencakup kekuasaan politik maupun agama. Sunan adalah penguasa tertinggi dan menurut ajaran Hindu, Sunan merupakan reinkarnasi dewa. Oleh karena itu segala perintah Sunan harus dilaksanakan oleh rakyatnya.25 Hal ini tetap berlangsung walaupun 22 Robert Van Niel, op.cit. hal 75 23 Takhashi Shiraishi, op.cit. hal 40 24 Ibid, hal 39 25 Suhartono, op.cit. hal 64 sesungguhnya kekuasaan Sunan sudah berkurang akibat kekalahan raja-raja dalam perang Jawa.26 Akibat pertumbuhan penduduk yang pesat, tanah-tanah dikota menjadi semakin sempit. Lahan-lahan untuk pertanian juga menjadi berkurang. Namun disisi lain penduduk pribumi mulai mencari mata pencaharian lain, misalnya dengan berdagang batik. Pada akhir abad 19 hingga memasuki abad 20 Surakarta khususnya di kota Solo merupakan pusat utama industri batik. Sampai akhirnya dihantam lonjakan harga bahan mentah karena Perang Dunia I.27 Daerah Laweyan merupakan daerah dimana pengusaha batik pribumi mendirikan tempat produksi batik dalam skala besar. Para pengusaha batik di Laweyan memasarkan produksinya tidak hanya untuk pasar setempat, tetapi diproduksi untuk pasar yang berskala “nasional”. Mereka membuat jaringan dagang sendiri dibagian timur dan barat Jawa, dan cenderung bebas dari pedagang borongan Tiong Hoa dan Arab.28 Kampung Laweyan membentuk komunitas tersendiri, dengan saudagar sebagai pusat hierarki. Sistem gelar juga berlaku pada mereka, namun gelar 26 Setelah berakhirnya perang Jawa pada tahun 1830, Belanda benar-benar memulia penjajahannya dan untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau Jawa. Baca M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press,1998) bab 11 27 Takhashi Shiraishi, op.cit. hal 35 28 Ibid, hal 33 tersebut hanya berlaku kedalam untuk menandai status sosial dan tidak berlaku terhadap komunitas lainnya.29 Dengan keuntungan yang besar dari berdagang batik, mereka mampu membangun rumah-rumah yang besar dan mewah menyerupai bangunanbangunan rumah tinggal para pejabat pemerintah kolonial Belanda. Para pengusaha dan pedagang di Laweyan merupakan salah satu golongan yang berperan besar dalam perkembangan arsitektur gaya Indis di Surakarta.30 B. Pendukung Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidupnya Di Surakarta 1. Gaya Hidup Golongan Indis Sebelum Tahun 1900 Kelompok pendukung kebudayaan Indis dimasa ini kebanyakan adalah para pejabat kolonial, pemilik perkebunan, dan sebagian abdi kerajaan. Seiring masuknya modal swasta pada bidang-bidang pertanian maka budaya indis tumbuh subur dilingkungan perkebunan. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pribumi memungkinkan mereka untuk dapat bergaya hidup mewah. Didaerah pedalaman, yaitu dikota-kota besar Jawa masyarakat indis dalam hidupnya mengacu pada kehidupan para raja dan bangsawan Jawa. Mereka berupaya menjaga prestise dan kedudukannya melalui berbagai cara agar dapat 29 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, Dan Kawula, (Yogyakarta, Ombak, 2004) hal 75-76 30 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Pendukungnya di Jawa (Awal Abad XVII-Medio Abad XX), hal 26 dibedakan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dan dalam pandangan hidup sehari-hari, mereka dipengaruhi oleh pandangan hidup yang berakar pada dua budaya, yaitu Eropa dan Jawa. Kewibawaan, kekayaan, dan kebesaran mereka ditampilkan agar tampak lebih daripada masyarakat kebanyakan. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan sebagai penguasa di Nusantara.31 Rumah tempat tinggal Belanda dimasa awalnya mempunyai susunan tersendiri yang secara umum mirip dengan negeri asalnya. Sementara itu rumahrumah peristirahatan yang dibangun didaerah pertanian dibangun menyesuaikan lingkungan alam sekitar. Hal ini menghasilkan suatu bentuk campuran antara rumah Belanda dengan rumah tradisional Jawa. Bentuk campuran tersebut menghasilkan rumah-rumah bergaya indis. Rumah bergaya indis ini mempunyai ciri bentuk bangunan dengan ukuran yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagi ragam hias yang terdapat dirumah, ditambah dengan penataan halaman dan lingkungan sekeliling dengan rapi, dan kelengkapan berbagai macam perabot rumah tangga. Semua itu bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung mewah dijadikan sebuah lambang status sosial yang tinggi. Yohanes Augustinus Dezentje adalah salah satu orang yang menunjukkan gaya hidup mewah kelompok indis di Surakarta. Dezentje merupakan pemilik perkebunan yang cukup luas didaerah Ampel, yang disewanya pada tahun 1820. 31 Ibid, hal 127 Sebagai pengusaha perkebunan ia cukup berhasil, dan ia merupakan salah satu pendukung kebudayaan indis, bila melihat dari gaya hidupnya. Sebagai seorang tuan tanah yang berhasil ia membangun gaya hidupnya seperti layaknya seorang raja di Jawa. Dalam Nederlands Oost Indie (1859) menuliskan bahwa : “daerahnya merupakan kerajaan kecil, dimana ia nampak sebagai bangsawan yang berdaulat. Orang-orang memandangnya sebagai raja pribumi. Begitu luasnya tanah yang ia miliki. Begitu banyak ladang dan kebun kopinya.begitu pula penduduknya. Rumahnya dibangun pada ketinggian 2041 kaki dan dibangun dengan corak rumah-rumah pangeran di Solo atau para bupati di Jawa, dan juga ditata dan dilengkapi dengan perabot rumah yang indah dan dikelilingi tembok yang tebal dan tinggi laksana benteng dimana diatasnya terdapat gardu penjagaan yang terbuat dari batu. Disebelah dalam dinding dapat dilihat sejumlah bangunan tambahan berupa gardu-gardu, pondok-pondok, kolam-kolam, kamarkamar mandi. Selanjutnya terdapat senjata-senjata, tombak-tombak, lembing-lembing, genderang, ayam-ayam didalam kurungan, serta burung-burung perkutut, dan ada pula seperangkat gamelan, jam besar”.32 Dari tulisan diatas dapat diketahui bahwa Agustinus Dezentje merupakan salah satu contoh bagaimana gaya hidup mewah yang banyak dianut oleh golongan indis demi mempertahankan martabat dan kekuasaannya. Hal tyersebut dapat pula dilihat dari arsitektur rumahnya yang berada dijantung kota Solo, masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Loji Gandrung. Daya tarik khas indis dan tradisi Eropa nampak dalam tiang-tiang dan dinding berplester tebal bergaya neo-klasik, sedangkan pengaruh Asia dapat ditelusuri dalam beranda depan, belakang, dan samping, serta taman luas yang 32 Dalam M.P van Bruggen dan R.S Wassing op.cit. hal 23 melatarinya.33 Ciri-ciri bangunan Indis tersebut sangat kental dan terlihat jelas pada arsitektur rumah Agustinus Dezentje. Salah satu bagian rumah yang cukup penting artinya dari bangunan Indis adalah beranda rumah. Beranda cukup penting artinya karena di beranda rumah inilah ikatan keluarga Indis terjalin. Masyarakat Indis memiliki kebiasaan untuk berkumpul dan minum teh disore hari. Dan beranda adalah tempat selalu digunakan.34 Kebiasaan pagi setelah bangun tidur mereka minum teh diserambi belakang dengan masih mengenakan pakaian tidur. Yang pria mengenakan baju takwa dengan celana atau sarung batik. Perempuannya mengenakan sarung batik dan baju tipis warna putih berhiaskan renda putih.35 Tetapi bila mereka bepergian untuk sebuah acara resmi, pakaian Eropa tetap menjadi sebuah kewajiban. Dalam urusan perkawinan, para pemilik perkebunan Indis mendidik anakanak perempuan dengan hati-hati untuk menikah dengan seseorang dari lingkungannya sendiri atau dengan seorang pendatang baru. Meskipun pendatang itu biasanya tidak memiliki harta kekayaan, namun mereka sering kali membanggakan diri pada pendidikannya yang tinggi sebagai perwira tentara, pendeta, praktisi umum atau pegawai sebuah perusahaan dagang. Dengan adanya pernikahan tersebut diharapkan dapat membantu memperkuat ikatan dengan pusat Joost Coté dan Loes Westerbeek, Recalling The Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Poskolonial, (Yogyakarta, Syarikat, 2004) hal 34 33 34 Dari berbagai literatur yang membahas tentang budaya indis menuliskan bahwa beranda merupakan tempat berlangsungnya acara kumpulan keluarga. Beranda depan biasanya digunakan untuk acara minum the atau kopi disore hari dengan menghidangkan makanan kecil, sementara beranda belakang biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul dan berdansa dengan kerabat, teman, atau relasi mereka. 35 Djoko Soekiman, op.cit. hal 153 kolonial juga untuk menyerap para pendatang baru kedalam komunitas indis. Hal ini menjadi landasan bagi penegasan bersama yang berasal dari zaman VOC bahwa sekali seseorang menikah dengan seorang indis, maka mereka selamanya terikat dengan identitas indis.36 Para pendatang baru abad kesembilanbelas, yang juga disebut totok tidak menempatkan dirinya berdiri sendiri sebagai kelas atas di Hindia. Banyak pendatang baru dari kalangan kelas tinggi harus menyesuaikan posisinya dalam hukum Hindia. Bahkan dalam konteks abad kesembilanbelas, ketika modal metropolitan pengaruhnya semakin terasa, para pendatng baru masih terserap dalam jaringan keluarga Indis. Jaringan sosial dan ekonomi Indis pada abad kesembilanbelas pada dasarnya merupakan jaringan keluarga. Keluarga yang memiliki posisi terbaik dalam ekonomi kolonial memiliki ikatan lama dengan Hindia dan mereka jarang-jarang merupakan kulit putih yang asli (totok).37 2. Para Pendukung Baru Kebudayaan Indis Pada awalnya pendukung kebudayaan Indis adalah orang-orang Belanda, baik yang totok maupun yang Indo. Namun pada perkembangan selanjutnya golongan ini meluas sampai dengan penduduk pribumi. Di Surakarta pada awal abad 20 bukan hanya golongan bangsawan dan priyayi saja yang menjadi pendukung kebudayaan indis, namun golongan pengusaha atau pedagang mempunyai andil yang cukup besar dalam 36 Joost Coté dan Loes Westerbeek, op.cit. hal 64 37 Ibid, hal 64-65 perkembangan budaya Indis, salah satu contohnya dalah para pengusaha batik di Laweyan. Dalam hal membangun rumah tinggalnya para pengusaha ini juga memasukkan unsur-unsur barat dalam arsitekturnya. Perkembangan budaya Indis pada masa ini didukung pula oleh situasi sosial politik yang berkembangan saat itu. Adanya politik ethis telah membuat golongan sosial baru pada masyarakat pribumi menjadi lebih dihargai. Golongan sosial baru tersebut adalah para priyayi profesional yang mendapat pendidikan gaya barat. Priyayi semula hanya mengacu pada golongan bangsawan yang turun temurun, kemudian oleh penjajah Belanda mereka telah dilepas dari ikatan kerajaan dan dijadikan pegawai pemerintah yang diangkat dan digaji. Golongan ini tetap mempertahankan dan memelihara tradisi keraton yang halus, kesenian, dan mistik Hindu Budha. Priyayi ini dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki gelar-gelar kehormatan dan dalam arti tertentu gelar tersebut berlaku secara turuntemurun.38 Golongan ini sebelum tahun 1900 masih kuat dalam mempertahankan hubungan darah atau keturunan. Namun menjelang tahun 1900 pembatasan ini mulai luntur sehingga sebutan priyayi bukan lagi berdasarkan keturunan tetapi dipandang dari fungsi sosial mereka. 38 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, ( Jakarta, Pustaka Jaya, 1984) hal 307 Mereka yang bekerja dalam kegiatan negara seperti pegawai administrasi bumiputra telah membengkakkan golongan ini. Mereka semua mempunyai satu kesamaan yang umum yaitu pendidikan yang bergaya barat. Pendidikan tersebut membuka jalan bagi mereka pada dunia kolonial. Pada masa politik ethis tersebut modernitas menunjukkan sebuah kemajuan. Hal-hal yang berbau barat sudah menjadi bagian dalam gaya hidup mereka. Dalam novel Student Hidjo yang berlatar belakang di kota Solo, bisa dicermati bahwa gaya hidup masyarakat Solo pada masa tersebut sudah berbeda dengan gaya hidup sebelumnya. Terlihat dalam pembicaraan berikut ini: “Marilah Djo melihat bioscoop, apa wajang orang?” tanja Raden Adjeng dan tangannya memegang tangan Hidjo. “Nee, lieve” (tidak jantung hatikoe) kata Hidjo dan soeranja jang tidak keras itoe didekatkan ditelinga Raden Adjeng seolah-olah hendak kasih tjioem kepadanja. “Kita mentjari tempat di Restaurant sadja jang sedikit gelap dan omongomong disitoe”39 Dari percakapan tersebut dapat diamati bahwa pada tahun-tahun awal abad 20 penggunaan bahasa Belanda yang dicampur dengan bahasa daerah menjadi percakapan sehari-hari pada masa tersebut. Dan satu lagi gaya hidup yang berbau eropa adalah dipilihnya restaurant sebagai tempat berbincang-bincang, hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh masyarakat Jawa tradisional. Percakapan tersebut juga menunjukkan bahwa budaya Belanda kedudukannya lebih dominan, hal ini dikarenakan Belanda sebagai penguasa 39 Marco Kartodikromo, dalam Takhashi Shiraishi, op.cit. hal 40-41 memiliki peranan yang sangat dominan, semantara itu masyarakat pribumi nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri dengan aparat.40 Masyarakat Surakarta pada masa ini, khususnya kaum muda yang telah mendapatkan pendidikan barat melakukan hal-hal yang berbau modern, hal-hal yang berbau Belanda. Mereka menggunakan kata-kata Belanda yang dicampur dengan bahasa daerah dalam pembicaraan sehari-hari mereka. Mengenakan pakaian bergaya barat, makan –makan direstaurant, menonton bioskop, dan banyak hal baru lainnya. Di tahun 1930-an kegiatan ini banyak dilakukan oleh golongan priyayi, termasuk mereka yang tinggal dikota-kota kecil yang sudah ada aliran listriknya.41 Ditahun-tahun berikutnya diawal abad 20 hal-hal yang berbau Eropa (Belanda) ternyata sudah masuk dalam keseharian keluarga priyayi. Salah satu contohnya adalah kebiasaan makan sehari-hari. Seperti layaknya orang-orang Belanda, para ambtenaren pribumi banyak yang meniru kebiasaan makan orangorang Belanda. Makan pagi (omtbyt) biasanya dilakukan pada pukul tujuh hanya dengan menu sarapan berupa roti. Pada pukul delapan sampai dengan pukul sembilan adalah waktunya minum teh dengan menghidangkan snack (makanan ringan) sebagai pendampingnya. Makan siang mereka biasa melakukannya pada jam satu. Untuk menu makan siang sangat bervariasi dengan dibuka dengan hidangan sop atau salad, kemudian dihidangkan nasi atau kentang, dan ditutup dengan hidangan 40 Djoko Soekiman, op.cit, hal 39-40 41 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994) hal 286 cocktail yang bisa berupa buah atau puding. Sore hari sekitar jam empat merupakan waktu untuk minum teh seperti dipagi hari. Lalu makan malam diklaksanakan pada pukul tujuh malam.42 Golongan bangsawan lebih banyak lagi menyerap kebiasaan dan gaya hidup Belanda. Ditahun-tahun ini mereka sering mengadakan pesta-pesta pernikahan yang dikhususkan bagi mereka para pejabat Belanda, bahkan ada yang menyelaenggarakan lebih dari satu kali pesta untuk mereka. dipesta tersebut tentu saja perjamuannya memakai kebiasaan pesta ala Belanda.43 Menurut Ny. Netty perjamuan pesta yang memakai perjamuan pesta ala barat (Belanda) tersebut biasanya merupakan perjamuan makan malam. Dalam perjamuan tersebut, baik yang merupakan perjamuan makan malam biasa atau perjamuan yang lebih besar seperti pesta pernikahan, pasti didahului dengan toast minuman anggur.44 Hal yang tidak akan pernah kita temui dalam kebiasaan dan gaya hidup masyarakat tradisional. Kebiasaan mengadakan pesta yang memakai tata cara barat merupakan sebuh indikasi bahwasannya golongan bangsawan sudah masuk dalam lingkaran kebudayaan indis. Dan mereka satu contoh dari golongan pendukung kebudayaan tersebut. Walaupun sebenarnya pesta-pesta tersebut merupakan sebuah formalitas untuk menghormati pejabat kolonial, namun pada akhirnya hal ini sudah menjadi sebuah gaya hidup tersendiri dari golongan elit pribumi. 42 Wawancara dengan Ny. Netty Koesrina Suwardi, putri seorang ambtenaren yang tinggal di Klaten, 14 Desember 2004 43 Van Wijk, MvO, ( Rekso Pustaka, Mangkunegaran) 44 Lihat lampiran I Dengan munculnya organisasi modern para priyayi ini sering juga berkumpul disatu tempat pertemuan. Dikota-kota kecil tempat pertemuan ini terkenal dengan nama Soos, yang diambil dari kata Belanda Sosieteit, yaitu tempat pertemuan bangsa Belanda yang eksklusif. Disamping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah, pertandingan permainan dan lain sebagainya.45 Pada awalnya kegiatan seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda, namun pada perkembangan selanjutnya banyak pribumi yang melakukan kegiatan tersebut. Berawal dari sini, bisa dikatakan bahwa golongan intelektual ini merupakan golongan pendukung kebudayaan Indis yang baru. Golongan pribumi yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan disarankan untuk memperkenalkan dan mendidik keluarganya dengan kebiasaan dan gaya barat dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut Ny Netty yang ayahnya juga seorang pejabat disatu instansi pemerintah kolonial, mendidik keluarga dengan memperkenalkan kebiasaan barat merupakan aturan tidak tertulis, tetapi sepertinya hal tersebut merupakan sebuah kewajaban. Dikarenakan pada saat tersebut bila atasan yang merupakan orang Belanda akan sangat malu dan merasa tidak dihormati bila ada bawahannya yang tidak mengerti apalagi tidak mengetahui kebiasaan hidup atasan mereka, kebiasaan orang Belanda sebagai penguasa tanah kolonial. 45 Sartono Kartodirjo, A, Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Prees), hal 109 Seperti telah diungkapkan dimuka bahwa golongan lain selain golongan priyayi, golongan lain yang memiliki peranan dan andil yang cukup besar dalam perkembangan budaya Indis diawal abad 20 adalah golongan pedagang. Di Surakarta golongan pedagang yang berperan besar adalah para pedagang batik di Laweyan. Sesungguhnya para pedagang Laweyan ini dalam gaya hidupnya mengacu pada gaya hidup golongan priyayi. Hal tersebut bisa terlihat dari kepemilikan barang-barang yang mereka kenakan sebagai simbol kekayaan mereka, misalnya mereka memiliki krobongan, dubang, gigi emas, perhiasan, dan tata cara berpakaian jawa seperti layaknya seorang priyayi. 46 Memang dalam gaya hidupnya para saudagar ini mengacu pada kehidupan para bangsawan kraton Surakarta. Namun dalam pembangunan rumah, mereka mampu membangun rumah yang mewah layaknya rumah para pejabat Belanda. Banyak bangunan rumah para saudagar ini dilengkapi dengan cermin dipendapa rumah, menggunakan tiang rumah yang kokoh dan berukir serta lantai dari marmer. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya disana akan dijumpai pintu gerbang bersusun seperti gerbang rumah para bangsawan dikraton dan diatas pintu tersebut dilengkapi dengan ukiran crown, semacam lambang mahkota kerajaan Belanda.47 Dari struktur gerbang tersebut bisa dilihat adanya campuran ciri bangunan tradisional dengan ciri-ciri dari bangunan Belanda. Banyak rumah para saudagar di Laweyang yang memiliki ciri-ciri campuran tersebut. Sedikit banyak hal ini 46 Soedarmono, “Munculnya Kelompok Pengusaha Batik Di Laweyan Pada Awal Abad XX”, (Tesis, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1987) hal 98 47 Ibid, hal 101 bisa membuktikan bahwa budaya Indis masuk dalam kehidupan orang Laweyan melalui arsitektur rumah mereka. Kebudayaan Indis bila disamakan dengan budaya “priyayi baru” (priyayi bukan bangsawan) memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan masyarakat, yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukkan karakteristik priyayi. Akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran (bazar cultur) yang terasa aneh bagi bangsa eropa sendiri maupun masyarakat Jawa.48 Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya dibidang politik dan sosial saja namun juga memberi dampak pada kebudayaan dinegara koloni mereka. Pengusahaan perkebunan ditanah jajahan melahirkan lingkungan yang berbeda. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan lebih tertuju kedunia luar, menjadikan perkebunan seolah-olah terpisah sdari lingkungan agraris setempat. Ditempat inilah pada mulanya kebudayaan indis berkembang. 48 Djoko Soekiman, op.cit, hal 37 Seiring dengan perkembangan awal abad 20 dimana modernisasi dan halhal yang berbau Eropa telah mulai masuk dan menyatu dalam kehidupan seharihari masyarakat serta telah bergesernya gaya hidup masyarakat, dimasa inlah kebudayaan indis berkembang dengan subur. Didukung oleh golongan priyayi dan pedagang, kebudayaan indis cukup memberikan warna yang lain dalam perkembangan kota Surakarta.