BAB III ARSITEKTUR INDIS DI SURAKARTA A. Sekilas Tentang Arsitektur Indis Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya, menimbulkan budaya baru yang didukung sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian juga ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat ditanah Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis juga ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal, misalkan melaui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang kegiatan sehari-hari. Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang. Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus-menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Dalam pertemuan ini dapat terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan, yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut. Atau dapat juga ciri kebudayaan yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok yang lain. Meskipun demikian dalam penggunaannya akhir-akhir ini cenderung diartikan terbatas hanya pada pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral). Misalkan dalam hal pengaruh kebudayaan modern terhadap kebudayaan primitif.1 Proses tersebut bisa timbul bila ada ; (i) golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda, (ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relatif lama sehingga, (iii) kebudayaankebudayaan dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran.2 Proses yang timbul tersebut bisa terjadi jika terpenuhinya suatu prasyarat, yaitu bila terjadi saling penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadi kontak dan komunikasi sebagai landasan untuk dapat berinterkasi dan memahami diantara kedua etnis.3 Keadaan alam tropis pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya seperti bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup dan sebagainya. Wujud dari isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi itu sekurang-kurangnya ada tiga macam,4 yaitu: a) berupa sistem budaya (cultural system) yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan sebagainya, yang berbetuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas). Cultural 1 Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, P.T.Ichtiar Baru-van Hoeve, 1991) 2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980) hal 269 3 Drs. P. Hariyono, Kultur Cina Dan Jawa; Pemahaman Menuju Asimililasi Kultural, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal 15 4 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya Di Jawa (Abad XVII-Medio Abad XX) , (Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000) hal 40-41 System ini kiranya tepat disalin dalam bahasa Indonesia dengan "tata budaya kelakuan". b) berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah berpola, upacara-upacara yang wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud kelakuan. c) berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda, yang disebut material culture atau hasil karya kelakuan. Pada awalnya rumah-rumah mewah yang dibangun diperkebunan yang lazim disebut landhuis, yang dibangun oleh para pejabat tinggi VOC mengikuti model Belanda dari abad 18, dengan ciri-cirinya yang masih sangat dekat. Contoh peralihan menuju kebentuk rumah gaya Indis, yang dibangun pada abad 18 antara lain rumah Japan, Citrap, dan Pondok Gede, yang dapat diamati ciri-cirinya sebagai bangunan landhuis. Bilik-bilik yang terdapat dirumah ini jumlahnya sangat banyak, menunjukkan bahwa rumah ini dihuni oleh keluarga beranggota banyak yang terdiri dari satu keluraga inti, dengan puluhan bahkan ratusan budaknya. Gaya hidup semacam di landhuizen seperti itu tidak dikenal di negeri Belanda.5 Ciri-ciri Belanda pada bangunan rumah Indis pada tingkat awal bisa dimengerti karena pada awal kedatangannya mereka membawa kebudayaan murni 5 Ibid, hal 4 dari negeri Belanda. Namun lama-kelamaan budaya mereka bercampur dengan kebudayaan Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur rumah mereka. Selain itu perubahan pada bangunan mereka bisa pula dikarenakan iklim dan cuaca yang berbeda antara dinegeri Belanda dengan ditanah Jawa. Sehingga bangunan mereka disesuaikan dengan iklim dan lingkungan setempat. Di Surakarta rumah bergaya Indis dengan ciri-ciri landhuis yang masih terawat rapi salah satu contohnya adalah rumah Agustinus De Zentje, yang sekarang menjadi rumah dinas Walikota Surakarta. Rumah ini memiliki bentuk bangunan yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias yang terdapat dirumah ini. Hal ini bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung dijadikan sebuah lambang status sosial yang tinggi. Rumah ini dikenal masyarakat Surakarta dengan sebutan Loji Gandrung. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam. Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Untuk mendapatkan ketentraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. Maka dipasanglah berbagi macam hiasan, baik hiasan yang kontruksional atau yang tidak.6 Arsitektur bukan hanya sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan berbagai aspek keindahan dan kontruksi bangunan. Seorang arsitek dituntut bukan hanya membangun sebuah banguanan semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lainnya sehingga tersebut memiliki jiwa, karakter, yang menjadi ciri khas dari sebuah bangunan. Gaya atau style dapat dijadikan identifikasi dari gaya hidup, gaya seni budaya, atau peradaban suatu masyarakat. Suatu karya yang berupa sebuah bangunan atau barang dapat dikatakan mempunyai gaya bilamana memiliki bentuk (vorm), hiasan (verseing) dari benda tersebut selaras (harmonis) dengan kegunaan dan bahan material yang dipergunakan.7 Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah karya seni yang rumit karena memadukan imajinasi khusus yang digabungkan dengan teori-teori bangun ruang, sehingga harus dipelajari dan disertai dengan latihan-latihan, serta percobaanpercobaan berulang kali. Dalam arsitektur ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu; 1) masalah kenyamanan (convinience), 2) kekuatan atau kekukuhan (strength), 3) keindahan 6 Sugiyato Dakung (penyunting), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982) hal 123 7 Djoko Soekiman, Loc.cit. (beuty). Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitang erat dalam struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan ketiga faktor tersebut. Ketiganya merupakan dasar penciptaan yang memberikan efek estetis.8 Seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang bernama Henri Maclaine Pont berpendapat bahwa selain bentuk dan fungsi bangunan ada hal lain yang sama pentingnya yaitu adanya hubungan logis antara bangunan dengan lingkungan.9 Hal ini bisa diadaptasikan oleh orang-orang Belanda sebelum Maclaine Pont datang ke Hindia-Belanda. Bangunan-bangunan rumah landhuis mengadaptasi bangunan-bangunan rumah tradisional setempat yang sesuai dengan alam dan lingkungan sekitar, kemudian dipadukan dengan teknik bangaunan Eropa, serta kemegahan bangunan-bangunan Eropa serta keindahan dari ornamenornamennya. Dari sini lalu terciptalah bangunan-bangunan bergaya Indis yang mewah dan tidak lagi seperti bangunan dinegeri asalnya. Orang-orang Belanda yang datang dan menetap di Indonesia telah mampu menjawab tantangan dari alam lingkungan Jawa yang tropis. Dalam membangun tempat tinggalnya mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan alam setempat. Selain struktur bangunan yang disesuaikan, fungsi dari tiap-tiap bagian rumahpun mereka perhatikan dengan ketat. 8 9 Ibid, hal 242 Yulianto Sumalyo, Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia ( Yogyakarta Gadjah Mada University Press, 1993), hal 10 Gaya hidup sehari-hari dari golongan Indis ini menjadikan perlu adanya penyesuaian pada bagian-bagian rumah yang mereka tempati. Seperti telah dibahas pada Bab II, bahwa kebiasaan sehari-hari dari masyarakat Indis ini selalu menunjukkan kemewahan yang menjadi simbol prestise mereka. Aktifitas yang tidak bisa dilewati dalam keseharian mereka seperti acara minum teh, tidak bisa dilakukan dibagian dalam rumah. Karena acara minum teh merupakan sebuah cara untuk menjalin hubungan kekeluargaan, maka diperlukan suatu tempat dengan suasana santai. Oleh sebab itu dipilihlah bagian beranda rumah, selain tempat ini luas penghuninya bisa menikmati hijau tanaman yang dirawat dengan baik dihalaman sekitar mereka, sehingga menambah kesejukan alam sekitar tempat tinggal mereka. Masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mereka, sehingga jangan heran apabila menemukan bangunan yang mewah dan megah yang dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sangat menawan. Ini dikarenakan dalam membangun tempat tinggalnya, kenyamanan, kekuatan, dan keindahan bangunan sangat mereka perhatikan. Tidak mengherankan apabila sampai sekarang karya-karya arsitektur Indis tetap kokoh berdiri walaupun telah melewati usia lebih dari satu abad. Dan yang lebih mengesankan adalah bangunan tersebut tetap serasi bersanding dengan bangunan-bangunan modern yang berdiri disekitarnya. Menarik bila melihat bahwasannya orang-orang Belanda memiliki kemampuan sebagai penguasa ditanah Jawa, namun mereka tetap terpengaruh oleh seni budaya setempat, khususunya dalam membangun rumah tinggal mereka. Barlage menyebutnya sebagai Indo-Europeesche bowkunts.10 Dalam kasus ini proses akulturasi yang panjang sangat berperan dalam perkenbangan arsitektur Indis. Bangunan bergaya Indis bukan hanya terdapat dipusat kota Surakarta saja, namun dikota-kota kecil juga banyak berdiri rumah-rumah bergaya Indis. Misalkan saja rumah-rumah dinas pada komplek pabrik gula Gondang di Klaten. Disana terlihat deretan rumah para pejabat pabrik yang memiliki corak Indis, dan sampai sekarang struktur bangunannya masih terawat keasliannya. Tidak banyak dokumen-dokumen tertulis yang menuliskan tentang bangunan tersebut. Namun gambaran kemewahan gaya hidup mereka dapat kita bayangkan melalui foto-foto tua hitam-putih yang sudah berwarna coklat. Gambaran tersebut juga dapat dilihat dari bangunan-banguan Indis yang masih berdiri sampai sekarang, baik yang masih terawat maupun yang hanya tinggal puing-puing reruntuhan. Banguanan Indis walaupun tidak semuanya dibangun dengan mewah layaknya istana, namun dapat diketahui dengan adanya campuran gaya Eropa klasik yang nampak melalui tiang-tiang dan dinding-dinding berplester tebal, dan dipadukan dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat adanya beranda depan, samping, belakang, serta taman yang luas yang melatarinya. Nuansa alam Jawa yang sejuk tergambar disini dengan berbagai tumbuhan yang menambah kesejukan rumah mereka. 10 Djoko Soekiman, op.cit , hal 17 Sesungguhnya model rumah seperti ini dibangun oleh orang-orang Belanda diluar kota sebagai tempat peristirahatan. Bangunan-bangunan besar nan mewah tersebut menyerupai istana dengan ruangan yang dingin karena atap yang dibangun sangat tinggi, yang dilengkapi dengan galeri dan teras marmer. Namun secara bertahap bangunan-bangunan ini terserap menjadi wilayah pinggiran kota akibat dari perluasan dan perkembangan kota. Gaya arsitektur yang mengambil dan dipengaruhi corak landhuis tesebut oleh Akihary disebut sebagai gaya arsitektur Indische Empire Style.11 Gaya Indische Empire tidak saja diterapkan pada rumah-rumah tinggal saja, tetapi juga pada bangunan umum yang lain seperti gedung-gedung pemerintahan, atau gedung societeit, dan sebagainya. Pada akhirnya gaya arsitektur ini meluas bukan saja dikalangan orang-orang Belanda, namun juga pada bangunan-bangunan rumah tinggal pribumi, terutama mereka yang secara ekonomi merupakan orangorang borjuis, sebut saja para saudagar batik di Laweyan. Yang selalu menjadi ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah adanya halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan kolom-kolom besar didepannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah, dan wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa ditanah jajahannya. Gaya bangunan seperti jelas membutuhkan tanah yang cukup luas. Gaya seperti ini sebenarnya mengambil gaya dari arsitektur Perancis yang dikenal dengan nama Empire Style. Di Hindia-Belanda gaya tersebut diterjemahkan secara bebas sesuai keadaan setempat. Dari hasil penyesuaian ini 11 Akihary dalam Hadinoto dan Paulus. H. Soehargo, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda Di Malang, (Yogyakarta, Andi Offset, 1996) hal 143 terbentuklah gaya yang bercitra kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan serta iklim dan tersedianya meterial.12 Akibat dari perkembangan kota dan ledakan penduduk yang cukup pesat di Surakarta pada awal abad 20, arsitektur gaya Indische Empire ini terpaksa menyesuaikan diri. Adanya halaman yang luas dan model bangunan yang besar dan megah tidak bisa lagi dibangun karena tanah-tanah perkotaan semakin sempit. Ledakan penduduk tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut TABEL II Jumlah Penduduk Dikota Solo13 Pribumi Eropa China A.Vr. Oosterl 1900 101.924 1.973 5.129 433 1920 123.005 2.441 7.979 860 1930 149.585 3.225 11.286 1.388 1941 176.400 4.200 14.000 1.600 Total 109.459 134.285 165.484 196.200 Akibat dari semakin sempitnya tanah-tanah diperkotaan, membuat arsitektur Indis harus menyesuaikan diri termasuk juga detail-detail bangunannya. Bangunan-bangunan megah yang mungkin dibangun pada masa tersebut hanyalah bangunan-bangunan kantor dan fasilitas umum seperti stasiun kereta api. Sementara untuk bangunan rumah tinggal dengan model landhuis tidak 12 13 Ibid, hal 143-14 Sumber dari M.P van Bruggen dan R.S Wassing, Vorstenden, (Asia Major, Nederland, 1998) hal 41 Djokja En Solo;Beld van de memungkinkan lagi dibangun dikota Surakarta. Kalaupun ada hanya beberapa saja dan rumah tersebut pastilah milik orang yang sangat kaya. Pendirian sebuah bangunan dengan menggunakan model bangunan Belanda, semula sangat terkait oleh jiwa nasionalime Belanda. Hal demikian dapat dimengerti karena mereka membawa seni bangunan Belanda, kemudian secara perlahan-lahan terpengaruh oleh alam dan masyarakat sekeliling yang asing bagi mereka. Sehingga dalam membangun rumah tempat tinggal mereka unsurunsur budaya dan iklim alam sekeliling selalu menjadi pengaruh yang kuat dalam corak bangunannya. Orang-orang Belanda sangat menguasai dan mencintai karya-karya pertukangan hingga pada detail-detailnya. Misalnya dalam hal melepa dinding dan lantai, terlihat pekerjaan mereka samngat halus dan terlihat sangat teliti dalam pengerjaannya. Demikian mendalamnya kemampuan dan pengetahuan mereka ini, diakui oleh para ahli bangunan modern sekarang ini. Apabila ada kekurangannya atau kelemahannya, hal ini adalah akibat kecerobohan masyarakat atau orang yang memberi tugas padanya.14 Penguasaan karya-karya seni seperti arsitektur oleh orang-orang Belanda, sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat Reneissance yang melanda negaranegara Eropa sekitar abad 15. Zaman dimana orang-orang Eropa merasakan kegairahan menggabungkan penemuan-penemuan zaman klasik dengan penemuan 14 Djoko Soekiman, op.cit, hal 138 mereka sendiri. Penggabungan ini menghasilkan penemuan yang mendorong ledakan kemajuan dibidang pengetahuan, kesusastraan, dan khususnya arsitektur, seni pahat, dan seni lukis, yang sejak saat itu hingga sekarang ini masih menjadi karya-karya monumental bahkan sebuah keajaiban dunia.15 Pada abad Renaissance ini masyarakatnya mencoba mengorek pelajaran dan pengetahuan dari zaman-zaman terdahulu. Mereka tidak hanya memberikan perhatian pada penemuan dan penerbitan buku-buku Yunani dan Romawi semata, tetapi juga memilih unsur-unsur dalam pemikiran kuno yang dapat membantu manusia agar dapat menjalani kehidupan mereka dengan lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Mereka bukan saja mencari ajaran tentang hukum, politik, dan seni, tetapi bahkan untuk mencari bimbingan kesusilaan16 Kemegahan rumah tinggal masyarakat Indis akan lebih terlihat jelas dengan diperkayanya interior dan perabot rumah mereka.Perabotan rumah yang penuh hiasan, barang-barang dari porselin, cermin-cermin berukuran besar, hiasan dari kaca (glass in lood) dan barang-barang mewah lainnya, bukan hanya sebagai hiasan rumah semata, tetapi lebih menunjuk pada sebuah pamer kekayaan. Dan yang lebih penting adalah dijadikan sebagai petunjuk betapa tingginya selera seni, serta perhatian akan karya-karya seni dari sang pemilik rumah. Akhirnya kesemuanya itu berujung pada prestise yang sandang oleh pemilik rumah. 15 John. R. Hale, Abad Besar Manusia; Zaman Reneissance, ( Jakarta, Tira Pustaka, 1984) hal 7 16 Ibid , hal 7-13 Pada rumah-rumah mewah, hiasan-hiasan likisan ikut menyemarakkan ruang sisi dalam yang anggun dan kaya akan hiasan interiornya. Ruang-ruang dan kamar-kamar yang berlangit-langit tinggi membuat rumah terasa sejuk. Hal ini menunjukkan bagaimana orang-orang Belanda beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan cuaca tropis yang panas dan lembab. Mereka menjawab tantangan alam tersebut dengan baik. Tembok-tembok tebal yang terlihat kokoh ternyata memiliki fungsi sebagai isolator panas. Tembok-tembok tersebut terbuat dari batu alam atau batu bata. Untuk menangkal udar basah dan lembab dibuat lantai semacam ubin dan berbatur. Lantai ubin biasanya digunakan pada bangunan gudang, sementara lantai-lantai rumah terbuat dari marmer atau bahan lain yang mahal dengan corak yang indah. Sekali lagi ini menjadi sebuah petunjuk betapa masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mewah. Penggambaran tentang rumah Indis juga dapat dibaca dari sebuah cerpen yang dimuat pada surat kabar Bromartani. Cerita tersebut menkisahkan tentang suatu kejadian gaib yang terjadi pada rumah milik seorang bangsawan di Surakarta. Rumah tersebut digambarkan terbuat dari batu yang berdiding sangat tebal. Pada rumah tersebut terdapat sebuah beranda dan dihiasi dengan tiang-tiang yang kokoh, atapnya sangat tinggi dan lantainya terbuat dari marmer. Kejadian gaib tersebut terjadi pada kamar tidur, yang digambarkan sebagai ruangan yang luas dengan langit-langit yang tinggi sehingga terasa sejuk pada siang hari. Daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu yang tebal dan tinggi. Didalam kamar terdapat tempat tidur yang mewah dan dilengkapi dengan kelambu.17 Dari penggambaran rumah yang terdapat pada kisah "Omah Setan" tersebut, dapat dibayangkan bahwa bangunan rumah tersebut memiliki ciri-ciri rumah Indis dengan adanya percampuran unsur Eropa dan Jawa pada struktur bagunan rumahnya. Namun yang menarik dari kisah tersebut adalah pada pemilik rumahnya. Dituliskan bahwa pemilik dari rumah mewah tersebut adalah milik dari seorang bangsawan pribumi. Ternyata pada perkembangan lebih lanjut, rumah dengan menggunakan corak Indis sudah bukan lagi milik orang-orang Belanda saja, namun kemewahan dari bangunan Indis ternyata mampu diadaptasi oleh golongan aristokrat pribumi. Memang pada awal abad 20 unsur-unsur gaya Indis telah masuk kedalam gaya arsitektur tradisional, terutama pada rumah-rumah milik bangsawan dan para pengusaha kaya pribumi. Pada rumah bangsawan pribumi contoh unsur gaya Indis dapat dilihat pada bangunan Dalem Sasonomulyo atau Dalem Wuryoningrat. Pada dalem Sasonomulyo corak Indis dapat dilihat dari bangunan Lojen dan kopel. Bangunan lojen tersebut dulunya dipergunakan sebagai tempat menjamu para pejabat Belanda. Sementara pada dalem Wuryoningrat dapat dilihat dari ornamen-ornamen yang terdapat pada rumah ini. Contohnya adalah ornamen yang terdapat pada batang tiang penyangga rumah yang bergaya Eropa klasik.18 17 Anonim, Omah Setan, ( Bromartani edisi Rabu, 19 Juni 1929 dan Minggu, 23 Juni 1929 ) 18 Lihat lampiran foto Gaya hidup Indis merupakan suatu proses perkembangan sosial yang muncul dan tumbuh dari segolongan lapisan masyarakat di Hindia-Belanda. Golongan bangsawan dan para terpelajar (kaum intelektual) yang mendapat pendidikan gaya barat, dan para pegawai BB dari berbagai tingkatan yang disebut priyayi, adalah sebagian dari kelompok pendukung kebudayaan Indis, yang masih ditambah lagi dengan goongan pengusaha pribumi. Sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran, budaya Indis menunjukkan suatu proses fenomena historis yang tibul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, sosial, dan seni budaya. Pada masa awal penekanan terjadi pada unsur-unsur yang bersifat subyektif, baru kemudian gerakan tersebut berkembang sebagai gerakan sosial segolongan masyarakat kolonial untuk mencipta kelas sosial tersendiri yang didukung oleh pejabat pemerintah kolonial, khususnya oleh para priyayi baru dan golongan Indo-Eropa.19 Rumah Indis bila ditelusuri lebih dalam, bukan hanya kemewahannya saja yang terlihat. Namun banyak sekali unsur budaya yang meliputinya. Percampuran gay Eropa dengan gaya rumah tradisional membuat bangunan-bangunan Indis memiliki gaya tersendiri yang berbeda dengan gaya arsitektur lain. Dalam bab-bab selanjutnya akan dibahas mengenai gaya (style) dari bangunan Indis serta kemewahan-kemewahan ornamen bangunan yang banyak dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan seni dari Eropa. 19 Djoko Soekiman, op.cit, hal 27 B. Gaya dan Struktur Bangunan Indis Kadang-kadang bangunan menjadi "saksi bisu" dari berbagai kejadian pada masa digunakan baik didalamnya maupun disekitarnya. Oleh karena itu bangunan selain mempunyai nilai arsitektural ( ruang, konstruksi, teknologi, dan lain sebagainya), juga mempunyai nilai sejarah . Makin lama bangunan berdiri, makin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budayanya. Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak terdapat dilain tempat, juga pada negara-negara bekas koloni. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu arsitektur kolonial diberbagai tempat di Indonesia, disatu tempat dengan tempat yang lainnya apabila diteliti lebih jauh mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri20 Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan bangunan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa para pengelola kota dan arsitek Belanda tidak sedikit menerapkan konsep lokal atau tradisional didalam merencana dan mengembangkan kota, pemukiman, dan bangunan-bangunan.21 Henri Maclaine Pont, seorang arsitek Belanda selalu menekankan pendekatan terhadap budaya dan alam dimana ia membangun. Penekanannya 20 Yulianto Sumalyo, op.cit, hal 2 21 Ibid, hal 3 selain pada kesatuan bentuk dan fungsi, juga pada kesatuan dengan konstruksi, sebagai perwujudan dari tradisi dalam hubungannya dengan arsitektur. Dari sini jelas menunjukkan bahwa Maclaine Pont sangat tertarik kepada berbagai macam budaya setempat dan juga religi serta kepercayaan, terutama pada arsitektur tradisional Indonesia. Menurut pandangannya merupakan suatu hal yang penting didalam konsep sebuah arsitektur adanya hubungan logis antara bangunan dengan lingkungan.22 Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa lain yang lebih dulu datang ke Indonesia, antara lain dari Cina, India, Vietnam, Arab, dan Portugis. Kedatangan mereka memberi pengaruh pada budaya asli pribumi. Oleh sebab itu dalam arsitektur tradisional juga sudah terkandung bebagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim dan cuaca, tersedianya material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian dan agama.23 Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda semakin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa) yang berbeda secara etnik dan struktur sosial membaur menjadi satu, ibaratnya darah, budaya campuran ini merasuk kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dimasa itu. Kota Solo sebagai pusat 2001) 22 Ibid, hal 9-10 23 J. Pamudji Suptandar, Arsitektur “Indis” Tinggal Kenangan, (Kompas, 14 Oktober pemerintahan kolonial dimana jumlah orang-orang Eropa lebih banyak dibandingkan wilayah lain di Surakarta, menjadikan kota ini sebagai barometer dari kebudayaan Indis diwilayah Vorstenlanden. Budaya campuran yang disebut dengan budaya Indis ternyata juga telah merasuk kedalam seni arsitektur di Surakarta. Masuknya budaya Indis kedalam arsitektur menyebabkan adanya perubahan yang menuju pada perkembangan arsitektur di Surakarta. Banguan tersebut memiliki karakteristik yang mewakili individu atau kelompok dalam setiap kegiatannya. Perpaduan antara bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional oleh Barlage disebut dengan istilah Indo-Eropeesche Bowkuntst, Van de Wall menyebutnya dengan istilah Indische Huizen, dan Parmono Atmadi menyebutnya sebagai Arsitektur Indis.24Sejarah seni rupa yang mengkhususkan perhatian pada perkembangan gaya bangunan dengan mendasarkan ciri-ciri khusus suatu waktu menyebut gaya bangunan tersebut dengan istilah "bergaya Indis" (indische stijl).25Pengaruh asing pada berbagai rumah tinggal didaerah yang berlainan tentu tidak akan sama karena adanya perbedaan kebutuhan dan status sosial penghuni, daerah dan lingkungannya, khususnya pada masa pengaruh kolonial Barat. Gaya atau style merupakan bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang maupun kelompok, baik dalam unsur-unsur, kualitas, maupun ekspresinya. Misalkan dalam hal berjalan, menulis, gerakan badan, karya seni, dan sebagainya. Hal ini dapat diterapkan atau dipergunakan sebagai ciri pada semua 24 dalam Djoko Soekiman, op.cit, hal 7 25 Ibid kegiatan seseorang atau masyarakat, misalnya gaya hidup, gaya seni budaya, atau peradabannya (life style; style of civilitation), pada suatu kurun waktu tertentu.26 Sedangkan arti kata dari bergaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti sebagai sesuatu yang mempunyai bentuk khusus. Henk Baren menyebutkan bahwa stijl atau style mempunyai empat macam pengertian27, yaitu sebagai berikut: a) Gaya objektif (objective stijl), yaitu gaya dari benda atau barangnya itu sendiri. b) Subjective stijl (persoonlijke stijl), yaitu gaya yang dimiliki oleh seniman, penulis, pemahat, pelukis, dan arsitek, yang merupakan ciri sebagai pertanda hasil kerjanya. c) Stijl massa atau Nationale stijl, yaitu gaya yang menjadi ciri atau pertanda (watak) suatu bangsa, misalnya bangsa Eropa, orang Timur, Jepang, Indonrsia, dan lain-lain. d) Gaya khusus pada suatu keistimewaan tekhnik (technische stijl), yaitu tentang bahan atau material yang dipergunakan, misalnya dari bahan kayu atau besi sesuatu bangunan didirikan orang. Jadi yang memegang peranan yaitu teknik dan material yang dipergunakan. Bangunan–bangunan bergaya Indis memiliki corak atau bentuk yang khusus yang tidak akan ditemui dinegeri asal dari orang-orang Belanda. Dengan memadukan gaya bangunan tradisional dengan gaya bangunan Eropa, membuat 26 Ibid, hal 81 27 Ibid, hal 83 bangunan-bangunan Indis memiliki gaya tersendiri, yaitu gaya Indis itu sendiri. Keindahan, kegunaan, dan kesesuaian akan warna dan bahan yang selaras dengan bentuk dan hiasan dari bangunan tersebut serta dengan digabungkan dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan setempat, menunjukkan bahwa orang-orang Belanda memahami betul bahwa arsitektur merupakan sebuah karya yang monumental. Menentukan sebuah gaya bangunan tidaklah mudah. Dalam menentukan hal tersebut tidak bisa hanya berpatokan pada tahun berdirinya bangunan lalu dimasukkan kedalam katagori suatu gaya tertentu. Dalam menentukan bangunan bergaya Indis selain dilihat dari struktur bangunannya, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu fungsi dari bangunan tersebut dan aktifitas serta gaya hidup dari penghuninya. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada kebingungan terutama bila melihat pada perkenbangan paruh abad 20, dimana banyak bangunan yang didirikan. Secara umum gaya bangunan Indis bisa dilihat dari percampuran dua unsur atau lebih pada suatu bangunan. Namun yang paling pokok adalah unsur Eropa yang terlihat dari struktur bangunannya yang simetri penuh dan tampak kekokohan bangunan tersebut melalui pilar-pilarnya. Pilar-pilar rumah Indis bergaya Doria, Ionia, ataupun Korinthia yang merupakan gaya-gaya pada arsitektur klasik Eropa.28Lalu unsur Jawa banyak 28 Tiang-tiang ini banyak dipergunakan dalam bangunan rumah dewa (kuil) masa Yunani dan Romawi kuno, kemudian dipergunakan juga dalam bangunan-bangunan dari masa Renaissance..baca Djoko Soekiman, op.cit. hal 302 terlihat dari atap rumah mereka dan juga dari halaman yang luas, yang menunjukkan kerindangan alam pedesaan Jawa. Pada arsitektur tradisioanal Jawa, atap rumah biasanya dijadikan sebuah identitas dari pemilik bangunan rumah tersebut. Secara keseluruhan bentuk rumah tradisional terbagi dalam empat macam yaitu, panggangpe, kampung, limasan, dan joglo. Dari tiap-tiap macam bentuk rumah tersebut masih terbagi lagi dalam beberapa macam bentuk.29 Struktur bangunan Indis yang simetris, pada bagian dalam rumah tersebut terbagi kedalam beberapa ruang yang memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pada rumah Indis pembagian ruang didasarkan pada pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, dan lain-lain. Hal seperti ini tidak ditemukan pada struktur bangunan rumah tradisional Jawa. Selain itu dirumah Indis ini fungsi dari tiap-tiap ruang diatur seketat mungkin agar privasi dari tiap-tiap individu dalam rumah tersebut terjamin.30 Ruang tengah yang berada dibelakang ruang depan disebut voorhuis. Pada dinding ruangan ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, disamping piring-piring hias dan jambangan porselin. Pada dinding ini juga tergantung perabotan lain berupa senjata atau alat-alat perang seperti senapan, pedang, perisai, tombak dan sebagainya.31 29 Baca..Sugiyarto Dakung, op.cit G.Sujayanto, “Budaya ( www.arsitekturindis.com, 1 juni 2000) 30 31 Djoko Soekiman, op.cit hal 142 Indis, Jawa Bukan Belanda Bukan”, Ada ruangan lain yang cukup penting artinya dalam struktur bangunan Indis, yaitu ruang zaal. Diruangan ini diletakkan kelengkapan rumah seperti meja makan dan kelengkapannya, yaitu almari tempat rempah-rempah (de spijkast) dan meja teh (thee tafel). Almari hias yang penuh berisi piring, cangkir, yang terbuat dari porselin juga diletakkan didalam atau diatas almari. Pada masa kejayaan kompeni dan pemerintah Hindia-Belanda, ruang zaal ini mendapatkan perhatian yang istimewa. Banyak hiasan dan barang-barang mewah yang menunjukan kedudukan dan kekayaan penghuni rumah.32 Ruang zaal menjadi istemewa karena diruangan inilah perjamuan makan, atau rapat-rapat penting dilaksanakan. Zaal berarti balai atau kamar besar atau ruang besar untuk rapat. Oleh sebab itu barang-barang yang menunjukkan atau menjadi simbol dari kekayaan penghuninya ditempatkan diruangan ini, karena diruangan inilah para kolega atau relasi bisnis atau bahkan para pejabat pemerintah berkumpul. Ciri yang menonjol dari rumah-rumah Indis ialah adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan sekedar sebagai bagian dari sebuah bangunan rumah saja, tetapi mempunyai arti dan kegunaan khusus. Seperti yang telah diungkapkan pada Bab II, bahwa telundak atau teras ini mempunyai fungsi sosial. Diteras inilah jalinan kekeluargaan dibina. Tempat ini merupakan tempat yang ideal antar keluarga dan tetangga. 32 Ibid, hal 143 Telundak atau sebut saja sebagai beranda yang lebar ini kebanyakan digunakan untuk bersantai dan menghirup udara segar disore hari. Pada masa berikutnya disudut-sudut dari bagian ini ditaruhkan bangku. Sebuah pagar rendah dibuat untuk memisahkan dari trotoar jalan, yang lalu dihilangkan guna mendapatkan ruang yang lebih luas.33 Pada rumah landhuis, beranda tidak hanya terletak didepan rumah saja tetapi juga terdapat dibelakang rumah. Bagi sebagian golongan yang mampu, pesta yang sering diadakan dibagian belakang rumah, sering kali berupa pesta dansa dengan menghidangkan berbagai macam makanan. Sisi bagian dalam bangunan, untuk mendapatkan citra yang baik dibagi kedalam ruang-ruang sesuai dengan kebutuhan. Apabila orang datang dari arah depan rumah dan terus masuk kedalam, ia akan mendapatkan sebuah lorong yang pada sisi-sisi dari lorong tersebut terdapat kamar-kamar. Apabila terus kebelakang orang akan menuju ruang tengah yang merupakan galerij, yaitu suatu ruangan peristirahatan sebagai tempat bertemu dengan keluarga sehari-hari, dan juga digunakan sebagai ruang makan. Disebelah galerij terdapat lorong yang menuju dapur.34 Secara garis besar dari uraian tersebut terlihat bahwa orang-orang Belanda dalam membangun rumahnya telah memikirkan secara mendalam pembagian ruang-ruang dalam tempat tinggalnya. Fungsi dari tiap-tiap bagian pun ditata dengan baik. 33 G. Sujayanto, loc.cit. 34 Djoko Soekiman, op.cit, hal 148-149 Pada bagian atap rumah Indis banyak dibangun dengan lebar, bahkan ada beberapa yang luas atapnya lebih luas dari pada bangunan rumahnya, misalnya banguan atap dari Loji Gandrung. Ukuran atap yang lebih luas dan tinggi dimaksudkan agar rumah menjadi lebih teduh dari panasnya sinar matahari. Demikian pula dengan adanya teras disekeliling rumah yang menjadi isolator panas matahari agar tidak langsung menerpa bangunan rumah. Secara fungsional struktur bangunan Indis selain menjadi rumah tinggal juga mewakili aktifitas dari penghuninya. Kesenangan masyarakat Indis adalah melakukan hal-hal yang menunjukkan kemewahan dengan mengadakan perjamuan-perjamuan, pesta-pesta dansa. Hal tersebut menjadikan struktur bangunan Indis harus mampu mewakili aktifitas penghuninya, maka dibagilah ruangan dalam rumah Indis menurut fungsinya. Selain bangunan Loji Gandrung, banyak bangunan dengan gaya Indis terdapat di kota Surakarta. Beberapa contohnya antara lain seperti rumah dinas Administratur PG. Colomadu, rumah Gubernur Surakarta di Banjarsari, Omah Lowo di Purwosari, dan masih banyak lagi rumah bergaya Indis terutama di daerah Villapark Banjarsari. Apabila kita masuk kedalam bangunan-bangunan tersebut, akan didapati ruangan-ruangan seperti yang disebutkan diatas. Walaupun tidak semua struktur bangunan dari rumah Indis tersusun dari ruang-ruang yang sama, namun pembagian dari fungsi tiap ruang tetap diperhatikan dan diatur dengan ketat. Bangunan Indis dapat juga merupakan perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan tekhnik yang lebih modern, penggunaan meterial dari batu, besi, dan genteng atau seng. Tolak ukur dari bangunan ini tetap mengacu pada arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya Jawa. Bentuk rumah bergaya Indis ini sepintas seperti bangunan tradisional dengan atap joglo limasan. Pada rumah Indis yang mewah selain terdapat halaman yang luas, juga terdapat angunan-banguan samping yang dipergunakan untuk gudang, tempat menyimpan beras, kayu bakar, tandon air, minyak, dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Bangunan-bangunan samping ini juga terdapat pada rumah-rumah Indis di Surakarta, namun kebanyakan bangunan samping ini terdapat pada rumah-rumah Indis yang besar, seperti rumah Gubernur Surakarta.35 Berdasarkan buku yang ditulis oleh Djoko Soekiman,36 bangunanbangunan samping tersebut selain sebagai gudang, biasanya juga digunakan sebagai tempat tinggal para budak, oleh sebab itu bangunannya dibuat bertingkat. Kebiasaan memelihara budak banyak dilakukan di Batavia, dan sepertinya tidak terjadi di Surakarta. Karena bila dilihat dari struktur bangunan samping yang terdapat di Surakarta tidak bertingkat seperti pada rumah-rumah Indis di Batavia. Kemungkinan besar bangunan samping tersebut hanya digunakan sebagai gudang, atau tempat tinggal para Djongos. Selain bentuk pilar yang mengingatkan pada gaya bangunan kuil-kuil di Yunani dan Romawi, pengaruh Barat juga terlihat dari lampu-lampu gantung yang menghiasi serambi depan rumah. Pintu yang terletak tepat ditengah diapit oleh jendela-jendela besar pada sisi kanan-kirinya. Ruang diantara pintu dan jendela diisi dengan cermin besar dan hiasan patung-patung dari porselin. Kemewahan 35Lihat 36 lampiran Foto Djoko Soekiman, loc.cit yang ditampilkan pada rumah Indis merupakan sebuah simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran para penguasa pada saat itu, baik oleh penguasa kolonial ataupun penguasa pribumi. Sesungguhnya sampai akhir abad ke 19 boleh dikatakan bahwa tidak ada satupun yang pantas disebut sebagai seorang arsitek. Yang dikatakan sebagi seorang arsitek pada masa itu tidak lebih dari opseter plus (pengawas bangunan plus).37 Bisa dipastikan bahwa gaya bangunan dan corak yang dimiliki dari sebuah bangunan pada masa tersebut berasal dari imajinasi para pemilik rumah, sehingga tidak mengherankan bila ciri awal dari bangunan rumah tinggal mereka sangat kental dengan ciri-ciri bangunan di Belanda. Meskipun di Hindia-Belanda belum ada arsitek yang profesional namun mereka dapat menghasilkan sebuah karya arsitektur monumental yang mampu menghiasi hampir disemua kota-kota besar didaerah jajahannya, dan menjadikannya sebuah simbol kekuasaan pada era kolonialisme di Indonesia. Sayangnya arsitek-arsitek Belanda yang datang kemudian diawal tahun 1900-an, memandang gaya arsitektur Indis sebagai de pracht producten van Indische hondehokken renaissance. (produk-produk indah dari bangunan renaissance kandang anjing).38 Bahkan seorang arsitek Belanda yang bernama PAJ. Moojen melukiskan gaya bangunan Indis pada waktu sebagai berikut: “Geesteloze namaaksels van een zeiloos neo Hellenisme, slechte copieen van droeve voorbeelden, dei stomme, witte getuigen van een eeuw van smakeelooshied en onmacht tot scheppen”39 37 Hadinoto dan Paulus. H. Soehargo, op.cit, hal 145 38 Ibid, hal 145 39 Ibid, hal 146 (Karya-karya tiruan tanpa suatu penjiwaan dari neo Helenisme, kopi dari contoh-contoh yang memilukan, yang dungu dan hanya merupakan saksi putih dari suatu abad yang tidak mempunyai selera dan tanpa daya cipta) Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa arsitektur Indis adalah sebuah fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil kreativitas sekolompok golongan masyarakat pada masa kekuasaan kolonial dalam menghadapi tantangan hidup dan berbagai faktor yang menyertainya. Lambat laun gaya Indis menampakkan corak dan bentuknya yang sama sekali berbeda, baik dari kebudayaan dan gaya hidup tradisional Jawa maupun dari gaya Belanda. Tepat kiranya pendapat Adolph S. Tomars bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu40. Berdasarkan konsep Tomars tersebut maka golongan Indis telah melahirkan pula kebudayaan Indis. Gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan porosnya. Bangunan Indis terlihat mewah dan megah terkait dengan gaya hidup mewah yang dianut oleh masyarakat Indis. Membuat sebuah bangunan yang mewah dengan hiasan yang mahal, menyambut tamu dengan sebuah perjamuan makan, mangadakan pesta dansa, dam masih banyak lagi, merupakan sebuah prestise bagi kelompok pendukung kebudayaan Indis. Bangunan dan hiasan yang sangat berharga dipergunakan sebagai petunjuk kedudukan sang empunya rumah dalam susunan masyarakat koonial. Selain itu 40 Adolph. S. Tomars dalam Djoko Soekiman op.cit, hal 20 penting bagi mereka memamerkan karya-karya seni yang bercita rasa tinggi, karena hal tersebut dijadikan sebagai petunjuk betapa tingginya perhatian akan seni dari sang pemilik rumah. Selain itu secara politis, suatu bentuk pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa untuk bergaya hidup dan membangun rumah tinggalnya atau gedung dengan menggunakan ciri-ciri yang berbeda dengan rakyat yang dijajahnya, sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya. C. Ornamen Pada Bangunan Indis Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan, dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata, tetapi juga mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan dan lain-lain. Arsitektur sebagai hasil kebudayaan adalah perpaduan suatu karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, dengan demikian arsitektur juga membicarakan bebagai aspek tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Di Eropa beberapa abad lalu dalam arsitektur dengan gaya-gaya seperti Renaissance, Barok, Rokoko, Empire, dan sebagainya, pemakaian ragam hias atau ornamen memgang peranan yang sangat besar. Hal ini membantu memberikan ekspresi alami dalam bangunan. Dengan demikian orang dapat merasakan akan keindahan suatu hiasan yang disertakan.41 41 Ibid, hal 241-243 Penggunaan ragam hias atau ornamen ini sangat terkait dengan sudut keindahan dari sebuah bangunan. Hasil-hasil karya visual yang masuk kedalam berbagai obyek arsitektur seperti bangunan-bangunan rumah tinggal, perkantoran, stasiun kereta api, dan lain sebagainnya, dengan menggunakan desain-desain yang indah dan bagus, semakin menambah nilai artistik dari sebiuah bangunan. Dengan demikian seorang arsitek selain dituntut untuk bisa menciptakan sebuah bangunan yang kokoh dan aman untuk penghuninya, juga dituntut untuk bisa menciptakan keindahan dari bangunan yang dirancangnya. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa ornamen timbul karena diilhami oleh adanya dua faktor, yaitu42: a) faktor emosi, yaitu sebuah hasil cipta yang didapat dari kepercayaan, agama, dan magic untuk mendapatkan kekuatan. Dengan demikian faktor ini merupakan kekuatan alami. b) Faktor teknik, meliputi masalah-masalah seperti dari bahan apakah benda-benda tersebut dibuat dan bagaimana membuatnya. Hal inilah menjadi masalah, tidak saja pada bagaimana pengrajin bekerja, tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang menyenangkan. Orang masa kini menyukai hasil-hasil karya seni kerajinan tangan yang halus Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Oleh sebab itu orang akan berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. 42 Ibid, hal 246-248 Hiasan pada bangunan rumah rumah pada dasarnya ada 2 macam, yaitu hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional. Yang dimaksud hiasan konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini tidak dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar-pilar pada bangunan. Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap kontruksi bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair.43 Keindahan ornamen pada bangunan selain mempercantik bangunan, juga diharapkan akan dapat memberi ketentraman dan kesejukan bagi mereka yang menempatinya. Bagi kalangan orang kaya pada lingkungan Indis ornamenornamen yang terdapat dirumah tersebut juga sebagai sebuah simbol kedudukan yang dimiliki penghuni rumah. Penggunaan ornamen dengan mengambil unsur-unsur tradisional setempat dirasakan sangat tepat, karena sesuai dengan lingkungan budaya lokal. Karyakarya bangunan yang monumental dari arsitektur pribumi misalkan candi-candi yang terdapat di Jawa, merupakan akar kehidupan arsitektur dan ornamen yang mencitrakan gaya hidup dan jiwa dari masyarakat pribumi. Bangunan-bangunan tersebut merupakan hasil cipta dan karsa serta pemikiran yang mendalam, dan terkait dengan alam seni masyarakat pribumi. Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Melalui alam 43 Sugiyarto Dakung, loc.cit seni, rasa budaya manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam kehidupan seharihari, dicurahkan dalam bentuk simbol-simbol.44 Masyarkat Jawa sebagai kelompok manusia juga memiliki simbol-simbol, yang antara lain dipergunakan untuk membedakan dengan kelompok-kelompok sosial yang ada. Kelompok sosial yang ada pada masyarakat ditunjukkan dengan perbedaan-perbedaan ciri tertentu. Contohnya adalah golongan priyayi. Sebagai kelompok sosial golongan priyayi memiliki ciri-ciri tertentu yang dengan jelas menunjukkan perbedaan degan kelompok sosial lainnya, terutama dengan masyarakat kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan tersebut salah satunya adalah bentuk rumah tinggal mereka. Rumah tempat tinggal merupakan salah satu lambang status dan simbol. Pada bangunan Indis penggunaan unsur-unsur tradisional dalam pemakaian ornamennya tidaklah terlalu banyak, tetapi dari penggunaan unsur-unsur alam dan tersedianya material yang ada, dapat ditelusuri bahwa bangunan-bangunan tersebut juga mengambil ragam hias yang ada pada rumah tradisional Jawa. Meskipun kebanyakan rumah-rumah pribumi di Jawa dibuat dari bahan yang murah dan berdinding bambu, namun pada rumah-rumah penbesar Jawa bangunannya tampak bagus dan kaya akan ragam hias yang mewah. Apabila diamati penggunaan ornamen dengan unsur-unsur tradisional pada rumah-rumah bergaya Indis tidak terlalu mencolok. Pada rumah landhuisen dan 44 hal 101 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa ( Yogyakarta, Hanindita, 2001) bangunan-bangunan lainnya, ornamen-ornamen yang terdapat pada bangunan tersebut banyak yang mengambil macam ragam hias dari abad pertengahan dan klasik Eropa. Jika pada bangunan tradisional Jawa, bentuk atap bangunan merupakan penentu nama suatu gaya bangunan, tidak demikian yang terjadi pada arsitektur Eropa. Orang-orang Eropa menggunakan bentuk kepala tiang sebagai penentu ciri dari suatu gaya arsitektur suatu masa atau periode.45 Oleh orang-orang Belanda di Jawa, gaya-gaya bangunan tersebut dipadukan dengan gaya-gaya bangunan tradisional Jawa. Dalam percampuran ini unsur-unsur dari bangunan eropa klasik tidak menunjuk pada satu gaya tertentu. Sehingga jika diperhatikan akan terdapat banyak gaya Eropa pada rumah-rumah Indis di Surakarta. Tetapi hal inilah yang menjadikan bangunan Indis mempunyai daya tarik tersendiri dan berbeda dengan bangunan lainnya. Seperti juga masyarakat pribumi, orang-orang Eropa juga memakai simbol-simbol tertentu dalam penggunaan ragam hiasnya. Namun tindakan tersebut hanyalah sebuah penghormatan terhadap segala tindakan dari nenek moyang mereka sejak dulu. Dengan demikian pada bangunan rumah tinggal mereka, gambaran-gambaran simbolik tersebut dilakukan hanyalah sebagai usaha untuk meneruskan tradisi-tradisi dari pendahulu mereka, tanpa memahami arti dari simbol-simbol tersebut. 45 Djoko Soekiman, op.cit, hal 257 1.Tiang Penyangga Bangunan Indis pada rumah pejabat pemerintah seperti Gubernur, Residen, Asisten Residen, Bupati, dan kontrolir diwilayah, terlihat mencolok dengan adanya batang-batang tiang penyangga. Batang tiang gaya Doria, Ionia, dan Korinthia, yang tersusun atas kepala, tubuh, dan kaki tiang (soubasement). Masing-masing gaya memiliki arti dan lambang tersendiri.46 Dizaman Renaissance para seniman sangat bergairah untuk menggali kembali hasil-hasil budaya kuno yang sangat memuja keindahan dan peka terhadap proporsi harmonis. Teori-teori kesenian zaman kuno dicari dan dipelajari secara mendalam. Banguan-bangunan tua dan juga seluruh serambi uil Panthenon diukur serta digambar kembali. Pengaturan tiang dan bentuk kapitel serta ornamen pada masa pembaruan ini mengalami masa surut dan bangunan gaya Romawi menjadi contoh yang diagung-agungkan.47 Tiang yang bergaya Doria memiliki simbol kekuatan, sesuai dengan jiwa bangsa Doria yang berjiwa militer. Gaya Doria menghendaki bentuk bangunan yang diciptakan tampak kokoh, kuat, perkasa, sekaligus juga dapat dijadikan sebagai lambang kekuasaan, dengan demiian gaya Doria sangat cocok sebagai hiasan bangunan pemerintah atau pemguasa.48 Bentuk tiang gaya doria ini banyak sekali pada bangunan Indis di Surakarta. Rumah pejabat pamerintahan mengunakan tiang yang bergaya Doria 46 Ibid, hal 303 47 M.A. Endang Budiono, Sejarah Arsitektur 2 (terjemahan), (Yogyakarta, Kanisius, 1997) hal 14 48 Djoko Soekiman, op.cit, hal 302 ini sebagai simbol penguasa. Contoh bangunan yang memakai tiang gaya Doria misalkan saja rumah Gubernur Surakarta, atau rumah Administratur Pabrik Gula Colomadu. Efek yang diperlihatkan dari kedua rumah tersebut selain rumah tampak kokoh, bangunan tersebut terlihat seperti perpaduan antara rumah tradisional dengan kuil-kuil Yunani dizaman kuno. Serlio, seorang ahli sejarah seni, pernah menuliskan: “Bila kita hendak membangun gereja untuk menghormati Yesus, Sang Juru Selamat, ataupun orang-orang suci yang mempunyai keberanian dan kekuatan untuk menyerahkan hidupnya demi mempertahankan iman dan kepercayaannya, seperti St. Petrus, St. Paulus, St. George, dan lain-lain, maka gaya yang paling sesuai adalah gaya Dorian”.49 Bila dipahami lebih mendalam ucapan Serlio tersebut, tersirat bagaimana gaya bangunan yang seharusnya didirikan bagi para penguasa dan orang-orang terhormat. Pada abad pertengahan bangunan yang paling dihormati adalah Gereja. Hampir semua arsitek yang berkarya dimasa ini menghasilkan karya-karya monumental berupa bangunan Gereja. Sebagai bangunan suci yang dihormati dan mewakili kekusaan saat itu, maka para arsitek mencoba menuangkan segala imajinasi dan kemampuan mereka untuk membangun sebuah Gereja yang megah dan Indah. Gaya Dorian lebih banyak dipilih karena memiliki proporsi yang lebih besar dan lebih kokoh serta berkesan maskulin. Gaya ini pun dianggap bisa mencerminkan sifat yang pemberani dan kuat, berbeda dengan gaya Korintian dan gaya Ionia yang penuh garis-garis halus pencerminan kelembutan. Meskipun 49 dalam M.A. Endang Budiono, op.cit hal 122 demikian, ornamen kapitel tiang gaya Korintian yang mewah banyak juga menghiasi tiang-tiang gereja pada zaman tersebut. Penggunaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia, berhubungan dengan perkembangan arsitektur di Eropa abad 17. Pada sekitar tahun 1660-1760 arsitektur yang berkembang pada masa ini adalah arsitektur Barock. Pada zaman Barock arsitektur manjadi sebuah karya seni yang utama, dengan mengunakan lukisan dan ukiran yang merupakan elemen dari keseluruhan bangunan. Tema dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung dengan bangunan memanjang. Barock menyatukan berbagai unsur gaya tiang pada bangunan, yang pada zaman Renaissance bagian tiang dipisahkan berdasarkan ruang-ruang pada struktur bangunan.50 Kesan Barock terlihat pada bagunan Loji Gandrung dengan adanya pilar ganda pada bangunan teras. Pilar ganda ini merupakan ciri awal dari gaya Barock pada permulaan abad 17 yang masih mencari unsur-unsur pelengkap yang sesuai agar kesan monoton tidak terlihat. Unsur arsitektur Barock juga terdapat pada bangunan Javasche Bank yang sekarang menjadi Bank Indonesia. Unsur tersebut dapat ditelusuri dengan banyaknya pilar yang terdapat pada tubuh bangunan. Bangunan yang dulunya pernah dijadikan rumah Gubernur di Surakarta ini memakai setengah pilar yang menempel pada dindingnya. Setengah pilar yang menempel pada dinding juga merupakan gaya dari arsitektur Barock. 50 Ibid hal 120-122 Denah dari bangunan Javasche Bank seperti juga pada bangunan-bangunan Belanda klasik menunjukkan bentuk simetri yang kuat. Kesan bangunan neoklasik tercermin juga melalui kolom-kolom khas bangunan Yunani sehingga tampak dan kokoh. Ciri seperti ini terdapat pada semua bangunan Javasche Bank di Hindia-Belanda. Pada perkembangan selanjutnya gaya Indis juga ikut mempengaruhi gaya dari bangunan-bangunan lainnya. Pada bangunan fasilitas umum penggunaan unsur gaya Barock juga nampak pada pilar-pilar dan ornamen yang terdapat pada tubuh bangunan Stasiun Jebres. Bangunan ini juga memiliki denah yang simetris khas gaya arsitektur Belanda. Bila mengacu pada perkataan Serlio, cukup kuat alasannya mengapa bangunan-bangunan milik orang-orang Belanda banyak mengandung unsur-unsur arsitektur Eropa. Kesan bahwa orang-orang pemerintah kolonial Belanda ingin menunjukkan superioritasnya pada masyarakat Jawa, terwakili melalui arsitektur bangunan mereka. Rumah Gubernur, Javasche Bank, rumah Adm. Pabrik Gula Colomadu, Loji Gandrung, beberapa bangunan milik pembesar Jawa seperti Dalem Wuryoningrat, banyak menggunakan tiang-tiang bergaya Eropa, yang membuktikan bahwa mereka menginginkan pencerminan kekuasaan melalui bangunan tempat tinggalnya. Sehingga apabila masyarakat umum melihat bangunan tersebut mereka dapat langsung mengetahui bahwa yang bertempat tinggal dirumah tersebut adalah orang yang memiliki kakuasaan atau orang yang terpandang dan dihormati. 2. Hiasan Atap dan Kemuncak Masyarakat Surakarta seperti juga masyarakat Jawa pada umumnya tidak terlalu memperhatikan hiasan-hiasan yang terdapat pada bagian puncak rumah mereka. Selain pada bangunan-bangunan rumah ibadah, hiasan kemuncak tidak terlalu mendapat tempat yang spesial pada pembangunan sebuah rumah. Sepertinya hal ini menular pada masyarakat Indis di Surakarta, hanya beberapa rumah saja yang memiliki hiasan kemuncak, dan itu hanya dimiliki oleh rumah dari pejabat tinggi atau golongan orang kaya. Dulunya hiasan-hiasan pada bagian atap dan kemuncak tersebut memiliki arti simbolis tertentu. Dinegeri Belanda dulunya hiasan-hiasan tersebut dijadikan sebuah petunjuk kedudukan dan status masyarakat Belanda. Mengenai arti dan makna simbolis yang ditunjukkan oleh hiasan-hiasan tersebut tergantung dari bentuk apa yang diambil sebagai hiasan.51 Bagi bangunan rumah gaya Indis di Indonesia, lambang-lambang dan makna-makna yang terkandung dari berbagai macam ragam hias tersebut sudah kehilangan maknanya. Ragam-ragam tersebut hanya dijadikan sebuah hiasan penghias rumah belaka, sehingga terjadi keterputusan budaya (missing link) antara budaya aslinya dinegeri Belanda dengan budaya dinegeri jajahannya, HindiaBelanda.52 51 Makna dari berbagi macam bentuk ragam hias atap dan kemuncak baca.. Djoko Soekiman, op.cit, hal 275-289 52 Ibid hal 291 Berikut ini akan dibahas beberapa hiasan kemuncak yang terdapat pada rumah-rumah Indis di Surakarta: a. Penunjuk Arah Angin (Windwijzer) Penunjuk arah angin atau tadhah angin ini terletak diatas sebuah kubah kecil yang terdapat dipuncak bangunan, dan terbuat dari logam mulia, kebanyakan terbuat dari dari perak. Hiasan ini masih terdapat pada bangunan BI,masih terawat dengan baik meskipun tidak lagi berfungsi dengan benar. Selain di BI, yang menarik hiasan ini juga terdapat pada bangunan Kraton Surakarta. Ini menunjukkan bahwa budaya orang Belanda juga telah masuk kelingkungan budaya Kraton. Sebenarnya sejak dulu dilingkungan Kraton sudah banyak unsur-unsur budaya Eropa yang masuk. Dinegri asalnya dahulu penunjuk arah angin ini banyak terdapat diatapatap rumah penduduk yang juga dijadikan sebagai hiasan rumah. Di Belanda tadhah angin ini bermacam-macam bentuknya, seringkali menunjukkan macam usaha dan pekerjaan dari pemilik rumah. Pada abad pertengahan tidak semua orang dapat dengan sekehendak hati membuat hiasan ini, karena dikeluarkan ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik tentang bentuknya maupun perwujudannya.53 Sementara itu di Surakarta, dokumen-dokumen tentang peraturan yang mengatur bentuk dan macam dari hiasan tadhah angin tidak ditemukan, namun demikian bentuk dan macam yang ada di Surakarta hanya terdapat pada bangunan 53 Ibid, hal 262-264 Indis yang mewah. Sayangnya hiasan ini sekarang hanya tinggal beberapa saja yang masih ada, semantara sebagian yang lain sudah hilang, yang tertinggal hanyalah sebuah kubah kecil dibagian atap rumah. Hiasan kemuncak pada rumah-rumah Indis di Surakarta tidak terlalu kaya. Hal ini bertolak belakang dengan dinegeri asalnya yang mana tiap-tiap rumah saling bersaing dalam menghias rumahnya. Semangat menghias rumah yang demikian tidak terdapat pada masyarakat Indis di Jawa. Prof.Dr. Djoko Soekiman memperkirakan hal demikian terjadi akibat tekanan ekonomi atau kemiskinan jaman Malaise dan akibat PD I.54 b. Makelaar Makelaar adalah papan kayu berukir dengan panjang kurang lebih 2 meter dan ditempel secara vertikal. Hiasan ini terdapat didepan rumah yang disebut voorschot, yaitu bentuk segitiga yang terdapat didepan rumah. Biasanya merupakan atap dari teras. Mekelaar sesungguhnya mempunyai arti simbolis tertentu. Namun seperti juga hiasan-hiasan lainnya pada rumah Indis, makna-makna tersebut sudah hilang. Hiasan hanyalah sebagai hiasan. Hiasan makelaar ini kebanyakan melambangkan roh-roh baik dan jahat sesuai dengan kepercayaan masyarakat. Diantara makelaar ada hiasan yang biasanya berupa dua ekor angsa yang bertolak belakang yang bersandar pada 54 Ibid, hal 271 makelaar. Hiasan ini dinamakan oelebord atau uilebord. Oelebord ini mulanya merupakan hiasan yang terdapat pada rumah petani di Freisland.55 3. Hiasan dari Kaca Hiasan dari kaca yang berwarna dan menempel pada tubuh bangunan (glass in lood), pada awalnya merupakan ornamen-ornamen yang banyak terdapat di gereja-gereja zaman klasik Eropa. Gereja-gereja yang dibangun pada masa ini walaupun terlihat keramat dari luar, namun kemegahan dan keindahan terdapat didalamnya dengan adanya pantulan cahaya matahari oleh kaca emas warna-warni sehingga menimbulkan mozaik yang indah. Pada zaman lalu para seniman mencurahkan segala daya imajinasi dan ketrampilannya untuk menghiasi gereja agar tampak indah. Menurut perkiraan di Perancis saja pada abad 11 dibangun 1.587 gereja, sehingga Raoul Glaber, biarawan di Cluny, menuliskan bahwa seakan-akan dunia bangkit dan menanggalkan usia tuanya, dan dimana-mana mengenakan pakaian putih dalam bentuk gereja.56Dan Suger yang mendapat kepercayaan memugar gereja St. Denis melihat bahwa gereja dapat juga mengobarkan semangat nasionalisme sesama rakyat senegerinya.57 Sekelumit kecil dari beberapa faktor itulah yang menyebabkan mengapa banyak seniman pada abad pertengahan sangat tertarik membuat karya-karya yang indah unruk menghiasi gereja. Pada masa ini masyarakat tidak hanya 55 Ibid hal 294 56 Anne Frematle, Abad Besar Manusia; Abad Iman (Jakarta, Tira Pustaka,1984) hal 122 57 Ibid, hal 123 menyumbangkan uang mereka untuk membangun gereja, namun juga menyumbangkan tenaga dan pemikiran mereka untuk kemajuan gereja. Seni pembuatan kaca warna-warni sebagai hiasan ornamen pada bangunan semakinmeluas karena pengaruh dari perkembangan arsitektur gaya Gothik sekitar tahun 1140-an, dan mencapai puncaknya setengah ababd kemudian berkat jasa para pengerajin di Chartres. Rumus dasar pembuatan kaca, mencampurkan pasir, garam, dan abu. Kaca berwarna dibuat dengan memanasi campuran ini sampai cair, yang kemudian diwarnai dengan oksidasi logam, tembaga untuk warna merah, besi untuk warna kuning, kobalt untuk warna biru. Keping-keping kecil kaca warna-warni tersebut dimasukkan dalam alur bingkai timah yang bentuknya bermacam-macam sehingga membentuk panel. Baru setelah panel dipasang pada jendela, tukang kaca dapat mengetahui kecerahan warna dan kesan seluruh desain. Pada abad pertengahan hiasan-hiasan kaca tersebut banyak menceritakan dan melukiskan tokoh-tokoh dalam sejarah kitab Injil serta manusia sejak penciptaan alam semesta.58 Awalnya bentuk jendela dengan penutup rotan yang dianyam seperti kursi banyak terdapat di Hindia-Belanda zaman dulu. Cara ini didapat oleh orang-orang Portugis dengan meniru cara orang pribumi. Kelemahan jendela dengan penutup anyaman rotan ini ialah terbuka dan tidak dapat melindungi ruangan dalam dari hujan dan panas matahari, juga terpaan angin, dan apabila ditutup ruangan menjadi gelap dan pengap. Jendela dengan menggunakan penutup dari kepingan 58 Ibid, hal 133 kaca yang berwarna-warni bagi penghuni Nusantara waktu itu sangatlah mahal, kecuali pada rumah-rumah orang kaya. Baru kira0kira tahun 1750 di Batavia terjadi perubahan dengan menggunakan jendela-jendela yang mewah, yaitu jendela lebar dan tinggi, yang keseluruhannya merupakan petek-petek kaca.59 Perkembangan selanjutnya terutama awal abad 20 hiasan dari kaca (glass in lood) banyak menghias rumah-rumah di Surakarta. Pada rumah-rumah pejabat dan saudagar-saudagar terutama di Laweyan, hiasan dari kaca ini dibentuk dengan panel-panel yang membentuk relief tertentu biasanya relief tumbuhan. Pada rumah tradisional ada tempat yang disebut tebeng, yaitu bidang segi empat yang terletak diatas pintu atau diatas jendela. Tebeng ini dihiasi dengan ornamen yang namanya dalam bahasa Kawi disebut sebagai warayang. Wujud dari ornamen warayang berupa beberapa anak panah yang distilisasi menuju kesatu titik. Secara teknis ragam hias ini berfungsi ganda yaitu sebagai ventilasi atau jalan udara agar terjadi sirkulasi udara didalam rumah. selainitu juga berfungsi sebagai penambah penerangan dalam ruangan.60Pada rumah Indis hiasan tersebut diganti dengan glass in lood sehingga menambah keindahan bangunan tersebut. Kaca-kaca panel berwarna ini semakin mendapat tempat pada seperempat awal abab 20 dengan munculnya aliran baru dalam perkembangan arsitektur yaitu Art Deco. Dalam aliran gaya baru ini selain menerima ornamen-ornamen historis, 59 Djoko Soekiman, op.cit hal 139-140 60 Sugiyarto Dakung, op.cit, hal 166 terutama hiasan-hiasan tradisional namun ia juga terbuka terhadap sesuatu yang baru. Keterbukaan ini aliran ini tercermin dalam pemakaian material yang baru, dan hiasan panel kaca adalah salah satunya. Art Deco memberikan sentuhansentuhan modern yang diartikan dengan berani tampil beda dan baru, tampil lebih menarik dari yang lain dan tidak kuno. Kesemuanya itu dimanifestasikan dengan pemilihan warna yang mencolok, proporsi yang tidak biasa, material yang baru dan dekorasi.61 Dalam perkembangannya arsitektur Art Deco dipengaruhi oleh banyak macam aliran lainnya, sehingga menambah unsur dekoratif yang menjadi unsur utama dalam aliran Art Deco. 61 Tanti Johana, “Arsitektur Art Deco” (www.arsitekturindis.com, 2 Oktober 2004)