BAB IV PERKEMBANGAN ARSITEKTUR DI SURAKARTA 1900-1942 Perkembangan Kota Surakarta 1. Tata Ruang Kota dan Pola Pemukiman Di Surakarta Perkembangan suatu kota akan sangat tergantung kepada banyak faktor, seperti letak geografi, sosial, ekonomi, budaya masyarakat dan sebagainya. Namun yang paling menentukan dalam perkembangan kota adalah faktor manusianya. Dengan demikian setiap kota akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan manusianya.1 Pada awalnya tipe kota dipedalaman tidak berbeda dengan lingkungan pedesaan disekitarnya, hanya pada rumah-rumah bangsawan dan kraton saja yang tampak menonjol. Bentuk rumahnya kebanyakan masih tradisional, namun lambat laun bangunan Loji, Villa, dan gedung-gedung bermunculan kemudian. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan penduduk Eropa dan bersamaan dengan perluasan sistem pemerintah kolonial yang lengkap dengan birokrasinya telah merubah wajahwajah tradisional sebuah kota. Kota Surakarta yang menjadi tempat kedudukan bagi Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran serta kantor Residen Surakarta, terletak ditengah dataran Solo. Kota Lewis Mumford, dalam Endah Wahyu Wibawati, “Sejarah Tata Ruang Kota Magelang 1906-1942; Magelang Sebagai Kota Militer Belanda”, (UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah, 2002) hal 26 1 ini berada dipinggir kiri Bengawan Solo, dan Kali Pepe mengalir melintasinya. bagian terbesar kota ini menjadi milik Kasunanan dan Mangkunegaran. Menurut konsepsi tradisional Jawa pusat kekuasaan adalah negara, dan pusat negara adalah Kraton2. Struktur kota kolonial sebenarnya telah direncanakan dan tumbuh berdasarkan asumsi bahwa suku dan asal etnis merupakan prinsip utama dari organisasi sosial. Sistem pemisahan etnis dikombinasikan dengan kekhususan pemukiman, baik diantara maupun didalam kelompok etnis. Meskipun ada pemusatan orang-orang berstatus sosial tinggi dan rendah dalam masing-masing kelompok, namun tidak pernah ada percampuran menyeluruh antara suku-suku bangsa dan kelas sosial. Karena pemisahan pemukiman menjadi pedoman pokok, orang-orang dari kelompok etnis yang sama tapi berlainan status sosial ekonomi, cenderung tinggal berdekatan.3 Pemerintah Belanda dalam membangun kota kolonialnya tetap mempertahankan bentuk dan struktur dan tradisi pembangunan kota Jawa. Usaha untuk mengadaptasikan kedalam sejarah bangunan dan lingkungan lokal secara nyata ditemukan pada bentuk dan konstruksi bangunan rumah Residen. Bangunan rumah Residen di Jawa dilengkapi dengan suatu pendopo yang menghadap langsung 2 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta, Grafiti, 1997), hal 9 3 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan ; Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta, LP3ES, 1986), hal 54-56 kealun-alun. Karakter bangunan tempat tinggal Residen ini umumnya dibentuk oleh denah simetris dengan atap piramida yang tinggi.4 Di Surakarta, diantara Keraton Kasunanan dan Kepatihan, tepat disebelah utara alun-alun terletak pemukiman orang-orang Eropa, rumah Residen, pegawaipegawai, gereja, gedung pertunjukkan, klub-klub, dan Benteng Vastenburg, pemukiman orang-orang Tiong Hoa yang utama adalah Pasar Gede. Sementara itu orang pribumi tinggal didaerah yang bernama Kampong yang penduduknya padat.5 Dipusat kota pola-pola pemukiman menunjukkan karakter yang majemuk. Pada bentuk rumah yang terbuat dari tembok (Loji) dengan halaman yang luas merupakan lingkungan dari golongan Eropa dan elit pribumi. Pada lingkungan Tiong Hoa bangunannya rapat dan padat, dan lingkungan mereka disebut dengan Pecinan. Kelompok pribumi yang tinggal di kampong berbeda dengan lingkungan lainnya karena dari kualitas bangunan maupun sistem sanitasinya sangat buruk. Pemukiman sebagai gejala hidup bermasyarakat, terbentuk sejak adanya manusia itu sendiri. Dan untuk keadaan selanjutnya, masalah ini sangat erat kaitannya dengan struktur atau susunan suatu masyarakat. Pada tahap-tahap selanjutnya pemukiman berkembang lalu munculah desa, dukuh, dan kemudian kota. Kemajuan sebuah kota ternyata tidak luput dari masalah pertambahan penduduk yang begitu cepat. Baik yang disebabkan oleh pertambahan penduduk asli ataupun yang disebabkan oleh para pendatang. Masalah tersebut diperumit lagi oleh ledakan penduduk yang tersebut sering kali terjadi dalam waktu yang singkat. 4 Ronald Gilbert dalam Endah Wahyu Wibawati, op.cit, hal 30 5 Takashi Shirashi, op.cit, hal 5-7 Perkotaan juga merupakan wilaya permukiman yang sudaj banyak tersentuh oleh perncanaan-perencanaan yang terperinci atau sering disebut dengan istilah Master Plan. Daerah perkotaan bagaimanapun juga akan menjadi konsentrasi penduduk yang terbesar bila dibandingkan dengan pedesaan. Namun demikian penyediaan perumahan atau permukiman sering kali tidak seimbang dengan pertambahan penduduk yang ada. Dalam pembentukan kota-kota di Hindia-Belanda, perrencanaannya disesuaikan dengan pola orang Eropa. Peremasalahan yang dihadapi tata ruang kota pada masa ini tidak lepas dari politik pemisahan etnis seperti yang telah diungkapkan dimuka. Tetapi politik ini dibuat sedemikan rupa sehingga tidak terlalu mencolok dalam katagori dualistik, yaitu pribumi dan non-pribumi. Emry Jones menjelaskan bahwa kota-kota orang barat mempunyai enam bentuk6, yaitu: a. Bentuk Core (Inti) Bentuk kota ini kepadatan populasi yang sangat tinggi memusat diseluruh kota, baik kepadatan tempat tinggal, perkantoran, maupun pertokoan 6 Emry Jones, dalam Endah Wahyu Wibawati, op.cit, hal 50 b. Bentuk Radial (Jari-jari Lingkaran) Kepadatan dibagi rata, tetapi ada pemusatan pada titik-titik tertentu ditengah kota. Jalan-jalan yang ada selalu melaui daerah terbuka yang menghubungkan pusat kota c. Bentuk Linier (Lurus dan Membujur) Kepadatan populasi berada dibelakang atau pada sisi jalan kota sehingga bentuk dan fungsinya kebelakang atau keluar. Sisi yang satu untuk pertokoan, perkantoran, tempat tinggal, gelanggang olah raga maupun sekolah, sedangkan sisi yang lainnya untuk perindustrian. d. Bentuk Ring (Melingkar) Semula bentuk ini berupa bentuk linier yang lama-lama melengkung dan terjadi pertemuan antara ujung satu dengan ujung lainnya. Kemudian secara besar-besaran akan terjadi pembagian beberapa pusat disepanjang sisinya. Tengahnya menjadi daerah terbuka,luas, dan kosong e. Bentuk Dispersed (Menghambur) Bentuk kota yang menghambur dengan pola permukiman yang tidak teratur dan tidak ada pemusatan populasi. Pola perhitungan ditentukan oleh arus lalu-lintas yang konstan dan sistem pengangkutan yang cepat. f. Bentuk Dispersed with Nodes Seperti bentuk dispersed, tetapi dimodifikasi dengan adanya pemusatan populasi didaerah tertentu. Populasi tersebut dengan sendirinya akan menghambur Sementara itu Prof. Kevin Lynch mengutarakan bahwa ada lima elemen pokok atau dasar pembentuk sebuah kota7, yaitu: 1. Pathways, adalah jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan 2. District, sebuah kota yang terdiri dari lingkungan-lingkungan bagiannya atau district; pusat kota, uptown, midtown, daerah perumahan, daerah industri, sub-urban, kampus, dan sebagainya 3. Edges, adalah pengakhiran dari sebuah district. Beberapa district tidak mempunyai edge yang jelas, tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan district lainnya. Apabila dua district dihubungkan pada sebuah edge, mereka membentuk sebuah seam 4. Landmarks, adalah bentuk-bentuk visual yang menyolok dari sebuah kota. Landmarks adalah elemen-elemen penting dari bentuk kota karena mereka membantu orang-orang untuk mengarahkan diri, dan mengenal suatu daerah dalam kota 5. Nodes, adalah pusat aktifitas. Sesungguhnya adalah sebuah tipe dari landmarks tetapi berbeda karena fungsinya aktif. Sebuah landmarks adalah objek visual yang jelas berbeda, sebuah node adalah aktifitas yang berbeda dan jelas. Pada umumnya semua kota yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, meskipun keadaannya berlainan, tetapi mempunyai susunan yang hampir sama. 7 Kevin Lynch dalam ibid, hal 52 Orang-orang Belanda sangat menyukai perkotaan segi empat dengan satu jalan utama yang menunjang pada poros kota. Begitu pula yang terjadi pada kota Surakarta, dibangun dengan pola persegi empat dengan adanya blok-blok yang dibuat dibelakang atau sisi jalan utama Slamet Riyadi. Jalan-jalan kecil dan blokblok yang dibuat tersebut saling berhubungan dengan berporos pada satu jalan utama.8 Pada kota kolonial bagian kota yang paling teratur, bersih, dan memperoleh prasarana jalan yang teratur, sitem perumahan yang ideal, diikuti fasilitas air ledeng dan penerangan listrik, dan sarana komunikasi modern, biasanya diperuntukkan bagi orang Eropa atau mereka yang dipersamakan. Hal ini dikarenakan peranan paling dominan dalam pembentukan wajah kota dipegang oleh pihak Belanda, sehingga banyak rumah pribumi yang dibangun pada lingkungan elit Belanda harus mengikuti pola yang ada dilingkungan tersebut. Namun sebenarnya pertumbuhan kota di Hindia-Belanda hanya dipenuhi sesuai dengan keperluan dan demi kelancaran kolonialisme. Penciptaan prasarana dan sarana perkotaan ditujukan demi memenuhi kebutuhan penjajah dan demi kelancaran penjajahan mereka, yaitu sebagai pusat perniagaan atau pengumpulan bahan mentah. Maka tidak mengherankan bahwa perkembangan kota pada waktu itu, terutama daerah tempat tinggal dan perkantoran orang Eropa, dibangun berdasarkan konsep atau model yang ada dinegeri Belanda, bila di Surakarta dapat dilihat pada pemukiman elit di Banjarsari (Villapark). 8 Prof. Sardono W. Kusumo, “ Identitas Kota Sebagai Kekayaan Budaya yang Harus Dilestarikan Keberadaannya “, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Lustrum Ke-V Jurusan Arsitektur UNS, Kamis 17 Februari 2005 Lingkungan Villapark dinyatakan sebagai lingkungan elit dengan peraturan tersendiri yang terlihat dari Undang-Undang tentang penggunaan tanah negara di Surakarta, khususnya daerah Mangkunegaran. Peraturan tentang penggunaan tanah negara di Mangkunegaran tidak meliputi daerah Villapark, karena daerah ini sudah terdapat peraturan tersendiri yang ditetapkan tanggal 1 November 1913.9 Secara historis kota kolonial, termasuk juga Surakarta, memisahkan pemukiman penduduk berdasarkan garis warna. Namun pada perkembangan berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras (etnis), dengan adanya pembangunan perumahan, dan perbaikan ekonomi, serta mobilitas sosial masyarakat pribumi, telah menjurus pada pemisahan permukiman berdasarkan kelas sosial. Wilayah-wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni orang-orang Eropa saja, tetapi juga oleh usahawan-usahawan lokal, jendral-jendral pribumi, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintah, dan juga pengusaha-pengusaha Cina. Dengan kata lain permukiman kelas atas terdiri dari berbagai macam etnis.10 Begitu pula yang terjadi di Surakarta pada tahun-tahun 1930-an. Pemukiman orang-orang Eropa tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Belanda saja. Memang pada awalnya daerah Villapark merupakan daerah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda, namun karena perkembangan dan kemajuan jaman telah 9 Rijksblad Mangkunegaran, 15 Januari 1918. No. 1.1918, artikel No. 2 pasal 3 10 Hans-Dieter Evers, op.cit, hal 57 membuat golongan pribumi masuk kedalam lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1913 : "bahwa yang boleh bertempat tinggal didaerah Villapark hanyalah bangsa Belanda, namun jika karena kemajuan jaman bangsa Jawa juga boleh bertempat tinggal seperti juga layaknya orang-orang Belanda"11 Dari beberapa tahap perkembangan kota yang dipengaruhi oleh situasi kolonial, maka Abdurachman Sarjomihardja, menggambarkan tahap-tahap perkembangan kota kolonial sebagai berikut: "Bermula dari sebuah jalan raya, kemudian didirikan kantor-kantor pemerintahan kolonial dan sebuah benteng, selanjutnya dibangun daerahdaerah permukiman orang-orang Eropa, sebuah klub (kamar bola) dan sebuah arena balap kuda. Daerah sekitar kota menjadi usaha orang-orang Eropa dalam bentuk perkebunan, pertanian, dan industri. Jalan kereta api dan jembatan penghubungnya banyak didirikan, demikian juga halnya dengan gudang-gudang penimbunan. Kota menjadi pusat pemerintahan kolonial dan berdatangan kaum imigran baru".12 2. Perkembangan Pendidikan Di Surakarta Sejarah Kolonial Belanda di Indonesia tidak semata-mata hanya mencari keuntungan ekonomi semata. Sejalan dengan perkembangan ideologi yang bersifat humanisme diseluruh dunia, negarawan-negarawan Belanda ari berbagai aliran politik berusaha memperbaiki motif kolonialnya kearah yang lebih manusiawi.13 11 M. N Rijkswaterstaat, 29 November 1936, (koleksi Arsip Mangkunegaran, tanpa nomor katalog) 12 Abdurrachman Surjomihardja "Rekonstruksi Sejarah Kota Melalui Perkembangan Tiga Jalur Pranata Sosial" dalam T. Ibrahim (edt), Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1987), hal 256-270 13 Gambaran ini berusaha dimunculkan oleh negarawan-negarawan Belanda dengan tujuan agar mereka tetap memperoleh pasar dalam perdagangan Intenasional. Lihat : Sartono Kartodirjo,Pergerakan Nasional, Jilid 2, (Jakarta, Gramedia, 1990), hal 38 Berdasarkan itu maka politik Etis dimunculkan pada tahun 1900. Inti dari politk ini adalah mengusahakan pendidikan dan memperjuangankan emansipasi bangsa Hindia-Belanda secara berangsur-angsur. Sedang tujuan secara garis besar adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, pendewasaan, dan perwakilan. Dalam semua bidang tersebut, pendidikan memainkan peranan yang penting.14 Berdasarkan pada ide-ide humanisme tersebut, pendidikan mendapatkan perhatian yang utama. Sebab golongan Liberal menaruh kepercayaan pada pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial mesyarakat. Untuk memulai usaha itu mereka harus mulai dari awal, sebab dimasa sebelumnya pengadaan pendidikan mengalami kegagalan karena tidak dikerjakan dengan serius. Pada jaman VOC pengadaan sekolah sebenarnya sudah diadakan, namun karena tidak adanya keseriusan dari pihak VOC maka usaha tersebut gagal, bahkan untuk pengadaan guru-guru pengajar pihak VOC mengambil dari pegawai VOC yang ditunjuk oleh gereja. Kebanyakan tenaga pengajar tersebut belum memiliki pengalaman apa pun dalam bidang pendidikan, bahkan diantara mereka terdapat penjahat, tentara, dan bekas pastor Katolik dan rabbi Yahudi.15Pengelolaan pendidikan yang seperti itu menyebabkan kegagalan pendidikan dan runtuh bersama kehancuran VOC. Lebih-lebih diluar Jawa, tidak ada satu sekolah pun yang masih berdiri. Secara keseluruhan keadaan pendidikan saat itu lebih menyedihkan 14 S. Nasution, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Bandung, Jemmurs, 1983), hal 15 15 Baca...Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia Dari Jaman ke Jaman, ( Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1979) hal 47-50 dibanding pada waktu orang Belanda Pertama kali menginjakkan kakinya di HindiaBelanda.16 Pada dasarnya ada dua macam sekolah yang didirikan oleh pemerintah, yaitu sekolah untuk anak Belanda atau yang sederajat, dan sekolah untuk anak pribumi. Dikalangan pejabat pemerintahan Hindia-Belanda, ada perbedaan pendapat untuk menentukan sifat dan cara pemerintah untuk menangani pendidikan dan pengajaran bagi pribumi. Demi kepentingan politiknya, pemerintah berpendapat bahwa pendidikan hanya diberikan pada lapisan atas pribumi, untuk melakukan tugas-tugas administrasi pemerintahan dalam negeri. Dilain pihak demi kepentingan ekonomi pendidikan harus harus diberikan sampai pada lapisan bawah.17 Perkembangan pendidikan yang dijadikan program oleh pemerintah melalui Politik Ethisnya di Hindia-Belanda, mengawali perubahan pola pikir pada masyarakat. Di Surakarta perkembangan pendidikan menunjukkan adanya peningkatan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dibuktikan dengan jumlah sekolah yang terus bertambah dari tahun-ketahun. Penambahan jumlah sekolah ini tentu saja berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pendidikan modern tersebut mempercepat perubahan-perubahan sosial pada umumnya, dan mobilitas sosial pada khususnya.18 16 S. Nasution, op.cit, hal 7 17 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hal 49-50 18 Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1984), Bab II Kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan ini didasarkan pada luasnya lapangan kerja bagi orang-orang terpelajar yang disediakan oleh pemerintah. Lebihlebih dari kalangan priyayi tradisional, yang karena kemampuan mereka menyediakan dana untuk keperluan pendidikan, sehingga berhasil menyekolahkan anak-anak mereka mencapai jenjang pendidikan yang tinggi. Keberhasilan golongan priyayi dalam menyelesaikan pendidikannya selain dikarenakan adanya "ijin khusus" yang diberikan pemerintah Belanda sehingga golongan ini dapat memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga mampu menyediakan dana pendidikan yang memang sangat mahal. Nampaknya golongan ini juga mempunyai kesadaran akan pendidikan barat yang lebih tinggi dibanding dengan golongan rakyat jelata. Hanya saja mereka sering kali frustasi, karena peraturan kolonial sering kali menjadi penghalang dalam jenjang pendidikan mereka.19 Dalam budaya Jawa, sebelum pendidikan menjadi berperan dalam kehidupan masyarakat, ada sebuah fenomena keyakinan yang menekankan bahwa pekerjaan yang paling mulia dalam masyarakat adalah menjadi abdi raja. Darsiti Soeratman menceritakan bahwa banyak orang yang ingin menjadi priyayi, sehingga tidak jarang mereka harus magang atau suwito dirumah kerabat yang sudah menjadi priyayi. Dalam proses ini mereka harus mau melakukan pekerjaan kasar, disamping mempelajari adat-istiadat kehidupan priyayi.20 A. Susana Kurniasih, “Pengaruh Politik Etis Terhadap Perkembangan Pendidikan di Surakarta Tahun 1900-1942”, (Skripsi, UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah, 1993), hal 103 19 20 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta, Taman Siswa, 1989), hal 67-68 Adanya perkembangan birokrasi dan perusahaan serta perkebunan di Surakarta, yang didukung oleh adanya pendidikan, menjadikan masyarakat lebih memilih profesi lain dari pada menjadi pangreh praja. Lebih-lebih profesi-profesi baru dalam masyarakat tersebut dapat membuktikan kemampuannya mendapatkan penghasilan yang layak, sehingga dapat menaikkan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Perkembangan perusahaan dan perkebunan membutuhkan tenaga-tenaga terdidik yang mampu menjalankan roda kehidupan perusahaan. Tenaga-tenaga kerja tersebut diperoleh dari sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi. Oleh sebab itu sekolah-sekolah yang merupakan jalur untuk mengantarkan seseorang pada lapangan kerja yang baru tersebut semakin diminati oleh masyarakat. Melalui jalur sekolah tersebut mereka berharap akan dapat mencapai kedudukan yang tinggi dalam strata sosial masyarakat kolonial. Kondisi ini bisa diartikan sebagai keberhasilan pemerintah kolonial dalam menancapkan sistem birokrasi dalam masyarakat, sehingga berhasil memakai penduduk asli yang mempunyai corak agraris menjadi suatu bagian instrumen industri. Dapat juga diartikan bahwa hal ini menunjukkan keberhasilan kaum liberal mengubah sistem perekonomian Hindia-Belanda bertumpu pada ekspor komoditi hasil pertanian dan perkebunan serta hasil alam lainnya. Sehingga pemerintah merasakan betapa perlunya tenaga-tenaga terdidik yang dihasilkan melalui jalur pendidikan. Perluasan lapangan kerja tersebut telah mengantarkan sebagian penduduk Hindia-Belanda pada perubahan taraf hidup yang menggembirakan. Adanya beraneka ragam profesi dalam masayarakat ini memungkinkan penduduk mencapai taraf hidup yang lebih baik dari keadaan orang tua mereka sebelumnya. Skala penghasilan yang didapat oleh tenaga-tenaga kerja tersebut sangat beragam, tergantung dari kedudukan yang mereka sandang. Dan kedudukan tersebut tergantung juga pada tingkat dan jenis sekolah yang mereka jalani sebelumnya. Pada awalnya tidaklah mudah bagi seseorang untuk memperoleh status yang tinggi dalam masyarakat Hindia-Belanda. Hal ini disebabkan pendidikan Barat yang dipercaya mampu membawa pada jenjang tersebut mempunyai berbagai macam aturan yang sangat ketat. Namun pada proses perkembangan selanjutnya, makin banyak golongan rakyat biasa yang berhasil menduduki kedudukan yang baik dalam masyarakat. Fasilitas pendidikan untuk orang Indonesia di Surakarta bertambah dengan pesat. Dari perluasan dan perkembangan pendidikan inilah ditemukan akar dari perubahan sosial yang mempengaruhi elit Indonesia. Dengan bertambah luasnya kekuasaan Belanda, kebutuhan akan tenaga birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat semakin bertambah besar. Bila sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru membuat pendidikan menjadi suplemen pada asal keturunan, dan dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama.21 Kesadaran tersebut mendorong makin kuatnya peranan pendidikan dalam masyarakat. Proses ini merupakan proses modernisasi dalam masyarakat yang merupakan proses tranformasi dasar aksi manusia yang menyangkut antara lain; 1) Adanya orientasi pada diri sendiri, menggantikan orientasi kepada kolektifitas, 2) dari oerintasi kepada askripsi keorientasi kepada achievment.22 Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari Politik Etis. Pendidikan ini tidak hanya memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan kegiatan bisnis swasta, tetapi juga menjadi alat utama untuk "mengangkat" bumiputra dan menuntun mereka menuju modernitas serta "persatuan Timur dan Barat"23 Dalam pendidikan gaya Barat ini, semakin tinggi seseorang maka ia semakin dekat dengan pusat-pusat kota dunia kolonial, namun hal ini mengakibatkan mereka terserap kedalam dunia Belanda. Makin modern mereka dan makin jauh ia dari cara hidup yang dijalani generasi orang tuanya. Masyarakat Surakarta pada masa ini, khususnya kaum muda yang telah mendapatka pendidikan Barat, melakukan hal-hal yang berbau modern, hal-hal yang berbau Belanda. Mereka menggunakan kata-kata Belanda yang disispkan pada pembicaraan bahasa daerah meraka sehari-harinya. 21 Robert van Niel, op.cit, hal 75 22 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992) hal 164 23 Takashi Shiraishi, op.cit, hal 37 Banyak kaum tersebut memakai pakaian gaya barat, makan-makan direstaurant, menonton film bioskop, dan banyak lagi hal-hal yang dilakukan dan pastinya bernuansa Belanda. Ditahun 1930-an kegiatan-kegiatan ini banyak dilakukan oleh golongan priyayi termasuk mereka yang bertempat tinggal dikotakota kecil.24 Seiring dengan makin modernnya masyarakat Surakarta, maka bermunculanlah organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang didirikan oleh kaum intelektual muda. Pada awalnya kegiatan berkumpul disatu tempat dan mengadakan suatu acara tertentu yang sifatnya hiburan atau sekedar mengobrol dan membahas sesuatu hal merupakan kebiasan orang-orang Belanda. Namun pada perkembangan selanjutnya banyak kaum intelektual pribumi mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang Belanda tersebut. Tempat berkumpul orang-orang Belanda tersebut dinamakan societeit. Di societeit ini banyak sekali kegiatan yang dilakukan, terutama kegiatan-kegiatan yang melibatkan publik atau banyak orang, seperti kegiatan rekreasi, pementasan drama, pesta sekolah, pertandingan permainan dan lain sebagainya,25 ditempat ini pula pesta-pesta dansa sering dilakukan, dan biasanya pada akhir pekan.26 24 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994) hal 286 25 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1987), hal 109 26 Joost Cote dan Loes Weterbeek, Recaling The Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Pos Kolonial, (Yogyakarta, Syarikat, 2004), hal 130 Didaerah Villapark ada sebuah societeit yang khusus mengelola pacuan kuda27 dan diperkumpulan seperti inilah orang-orang Belanda saling memamerkan kedudukan dan status mereka, baik sesama orang Belanda maupun orang pribumi. Dengan menjamurnya organisasi modern, para golongan priyayi ini sering pula berkumpul disatu tempat, layaknya orang-orang Belanda dengan perkumpulan elitnya, golongan priyayi ini pun tidak mau ketinggalan. Banyak kegiatan yang dilakukan meniru cara-cara orang Belanda dengan menggunakan societeitnya, begitu pula dengan golongan priyayi dengan soosnya. Seperti yang dilakukan oleh soos Mangkunegaran yang mengadakan pesta hiburan dengan menghadirkan band beraliran musik Jazz.28 Pengaruh barat rupanya telah memasuki alam pikiran intelektual pribumi tersebut. Mereka berpendapat bahwa supaya berhasil, suatu organisasi harus mengikuti pola-pola barat. Pola-pola pikir barat juga telah masuk pada lingkungan sekolah pribumi, karena disekolah-sekolah tersebut guru-guru telah menjalankan teknik mengajar cara barat.29 Semua hal tersebut telah membuat masyarakat Surakarta yang mendapat pendidikan modern hidup diantara dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Jawa dan budaya Belanda. Kaum muda pada masa ini walaupun telah terpengaruh oleh pola berfikir orang Belanda, namun mereka tidak menjadi barat secara menyeluruh dan terpotong dari gagasan, persepsi, kebiasan, dan etika tradisional begitu saja. Dalam kasus 27 Gelpke, MvO, (Rekso Pustoko, Mangkunegaran) 28 Darmo Kondo, Senin 15 Juli 1935, (Sasono Pustoko, Kasunanan) 29 Robert van Niel, op.cit, hal 99 seperti ini hal-hal yang tradisional telah kehilangan maknanya yang utuh dan mereka dipaparkan berdampingan dengan hal-hal modern sehingga sesuai dengan gaya modernnya kaum muda, dan maknanya pun mengalami perubahan. Persejajaran inilah yang menjadikan masa ini menarik dan unik untuk diteliti. Pendidikan gaya Barat memang menyediakan kunci bagi mobilitas masyarakat, namun mobilitas tersebut adalah mobilitas tertutup yang mana tatanan rasial tetaplah menjadi yang utama dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda. Jadi masyarakat pribumi tetaplah berada pada tingkata paling bawah betapa pun tingginya pendidikan mereka dan jabatan yang dimiliki, mereka tetaplah seorang pribumi dan tidak bisa disejajarkan dengan orang-orang Tiong Hoa dan Timur Asing lainnya, apalagi dengan orang-orang Belanda. 3. Sarana Tranportasi Kereta Api Seperti diketahui bersama, keberadaan masyarakat dalam suatu kelompok sosial awal abad 20 sangat diwarnai oleh aktivitas ekonomi, termasuk sektor perkebunan. Salah satu sarana yang terkait dengan kedudukan ekonomi suatu daerah adalah transportasi. Kelancaran transportasi semakin menunjukkan tingkat perkembangan tersendiri bagi daerah yang bersangkutan. Tidak terkecuali dengan kondisi daerah koloni sebagai pusat eksploitasi bahan-bahan yang bernilai ekspor bagi pasaran Eropa. Transportasi sebagai alat pengangkutan hasil-hasil produksi dari daerah pedalaman kedaerah pantai, memegang peranan penting yang kemudian akan menentukan kalancaran sirkulasi hasil-hasil produksi. Pembangunan jalur kereta api bukan saja berdampak ekonomis bagi pemerintah kolonial semata, namun secara tidak langsung dirasakan juga berdampak pada kehidupan masyarakat pribumi. Pembukaan jalur kereta api yang tidak jarang melalui daerah pedesaan yang sebelumnya terisolir, telah membuka peluang kepada masyarakat yang dilalui jaringan kereta api untuk ikut memanfaatkan sarana transportasi tersebut. Masyarakat pedesaan semakin berpeluang untuk berkembang, dan mulai masuk pada jaringan sistem perekonomian modern. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial masih menampakkan sifat pengembangan sektor transportasi di Surakarta. Tindakan itu dilakukan dengan bertolak dari kepentingan mereka ditanah koloni yang tidak dapat dipisahkan dari sektor transportasi dan komunikasi.30 Aturan konstitusional pengoprasian kereta api dapat terwujud pada tahun 1928-1929, walaupun pembangunan sebenarnya jalur kereta api sudah selesai pada tahun 1920-1925. Dasar hukum tertinggi dan menjadi dasar pembuatan peraturan atau UU yang lain mengenai perkereta apian di Hindia-Belanda yang telah ditetapkan pemerintah kolonial Belanda adalah Koninklijk Besluit. Di Hindia-Belanda aturan konstitusional tertinggi adalah Ordonansi. Ordonansi pada dasarnya merupakan aturan pelaksanaan Koninklijk Besluit. Pelaksanaan ordonansi diatur dengan verordering, lazimnya verordering mengatur ketentuan-ketentuan teknis.31 Untuk kebijaksanaan yang diberlakukan di Surakarta, tentunya juga berhubungan dengan penguasa tradisional. Kesepakatan antara penguasa tradisional dengan pemerintah kolonial nantinya akan menghasilkan peraturan-peraturan Sri Harsini, “Peranan Kereta Api Pada Masa Depresi Ekonomi Tahun 1930 dan Masa Sesudahnya Di Surakarta”, (Skripsi, UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah,1994) hal 50 30 31 Imam Subarkah, Sekilas 125 Tahun Kereta Api; 1867-1992, (Bandung, Grafika, 1992) hal 43 perekeretaapian didaerah Surakarta dan sekitarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain berisi tentang tugas dan peranan NISM dalam fungsinya sebagai pengemban tugas pengadaan teransportasi kereta api ditingkat lokal. Hal itu diatur dalam Besluit 25-4-1890, No.16, Besluit 18-11-1899, No. 1, serta Permohonan Gubernur Surakarta yang ditujukan kepada pemerintah kerajaan, yang antara lain berupa permintaan tanah untuk pembangunan jalur kereta api, yang tercantum pada surat tertanggal 20 Juli 1933, No. 278 / C / 4 / II.32 Keberhasilan NISM membuka jaringan Semarang-Vorstenlanden merupakan alat ukur keseriusan pihak swasta untuk ikut meramaikan bisnis bidang jasa angkutan kereta api antara pelabuhan dengan pedalaman. Keberhasilan demi keberhasilan NISM dalam melaksanakan konsesi pemerintah semakin memapankan posisi NISM dalam dunia perkeretaapian di Hindia-Belanda, hasilnya adalah jalur usaha dari perusahaan ini semakin luas.33 Pada awal tahun 1900, kota Solo mulai memperkenalkan trem sebagai angkutan umum. Perjalanan dimulai dari pusat kota, tepat didepan benteng Vastenburg. Jalurnya kearah selatan, belok kebarat sampai Purwosari. Dari Purwosari kereta terus kebarat sampai desa Gembongan. Di Gembongan ada pabrik gula, dan trem tersebut digunakan sekaligus sebagai angkutan pegawai pabrik yang akan ke Solo. Kereta trem ini ditarik oleh empat ekor kuda dan hanya memiliki satu gerbong yang dapat menampung 20-25 orang. Pada setiap empat kilometernya kuda- 32 Sri Harsini, op.cit, hal 52 33 Ibid, hal 58 kuda tersebut diganti. Lalu pada tahun 1905, kereta yang ditarik dengan kuda ini digantikan dengan lokomotif yang memakai tenaga uap, dan gerbongnya ditambah sampai berjumlah 10 gerbong. Sebagian gerbong untuk penumpang dan sebagian lagi digunakan sebagai tempat barang.34 Selang beberapa waktu kemudian perusahaan-perusahaan besar kereta api seperti SS dan NISM mulai masuk ke vorstenlanden. Seperti telah diketahui, dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar tersebut maka perpindahan orang dan barang semakin meningkat, seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut : TABEL III Transportasi Kereta Api Melalui Jalur Timur-Barat dan Semarangvorstenlanden35 Tahun Kilometer Penumpang 1895 1900 1905 1910 1915 1.319 1.609 1.704 2.174 2.448 5.759.000 9.738.000 13.361.000 28.420.000 42.579.000 Penghasilan dari Penumpang barang 3.054 6.588 4.022 9.743 4.979 10.216 8.825 15.738 13.685 22.194 Perkembangan jaringan kereta api dan trem ini secara lebih efisien menghubungkan daerah pedesaan vorstenlanden dengan pusat perdagangan dipusatpusat kota. Namun bukan itu saja, jalur-jalur kereta api secara langsung menghubungkan vorstenlanden dengan kota-kota perdagangan seperti Semarang, 34 R.M. Sayid, Babad Solo, (Rekso Pustoko, Mangkunegaran) hal 64 35 Sumber: Kolonial Verslag, 1896,1901,1906,1911,dan 1916, dalam Takashi Shiraishi, op.cit, hal 11 Surabaya, Batavia, dan Bandung. Efek yang didapat adalah pembukaan pasar-pasar baru bagi industri-industri di Surakarta.36 Dibukanya jalur kereta api diantara daerah-daerah pedalaman, khususnya daerah Surakarta, telah dapat mempercepat proses interaksi desa dengan kota. Efisiensi, baik dari segi waktu maupun finansial telah memacu upaya peningkatan penggunaan jasa kereta api. Peluang untuk membuka diri terhadap berbagai pengaruh perkembangan teknologi telah terbuka lebar bagi desa. Salah satu akibat yang tampak menonjol adalah peningkatan mobilitas penduduk, seperti yang ditunjukkan oleh tabel diatas. Penetrasi kepentingan kolonial ternyata mampu menciptakan transformasi struktural dilingkungan pedesaan. Hal itu dimaksudkan untuk mendukung ekspansi ekonomi pemerintah kolonial, sehingga untuk mewujudkannya pemerintah harus berupaya mengubah masyarakat yang semula bertipe agraris menjadi masyarakat agra-industri. Perubahan yang tampak adalah struktur kekuasaan dipedesaan, kekuasaan bekel yang semula sebagai penebas pajak bagi kepentingan patih, bergeser fungsi dan kedudukannya sebagai kepala desa. Tindakan pemerintah tersebut cukup beralasan mengingat sistem yang diterapkan oleh pemerintah sendiri, yaitu memperoleh tanah dan tenaga kerja sebanyak-banyak guna kepentingan perusahaan perkebunan. Secara langsung pemerintah berusaha untuk merealisasikan dengan otoritas kepala desa yang bersifat 36 Ibid, hal 31 tradisional diharapkan mampu menggerakkan massa, sehingga peran mereka dapat secara lugas difungsikan oleh pemerintah kolonial.37 Efek dari semua kemajuan yang dibuat oleh pemerintah kolonial adalah mobilitas penduduk. Para penduduk mencoba mengadu untung kekota, sehingga konsep-konsep urbanisasi menjadi tepat untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut. Urbanisasi mengacu pada dua pemahaman, yaitu; 1) perpindahan penduduk dari desa kekota; dan 2) proses pengkotaan. Definisi pertama lebih mengacu pada proses perpindahan atau pergeseran penduduk, sedangkan definisi yang kedua lebih menekankan perkembangan masyarakatnya. Definisi pertama lebih merupakan akibat dari definisi yang kedua.38 Oleh karena itu walaupun daerah atau lingkungan, baik secara geografi atau berdasar ketentuan pemerintah masih termasuk katagori bukan atau belum kota, namun kalau penduduknya telah mulai menempuh cara hidup kekota-kotaan, maka berarti lingkungan tersebut telah mengalami pengkotaan.39 Dari uraian mengenai jenis transportasi kereta api dengan segala efek yang ditimbulkannya, menunjukkan bahwa transportasi jenis ini memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat. Selain tingkat mobilitas dan daya angkut yang tinggi seperti tabel diatas, kereta api mampu menghubungkan daerah pedesaan 37 Suhartono, Apanage dan Bekel; Perubahan Sosial Pedesaan Di Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), hal 169-170 38 Rahardjo, Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya; Sebuah Bacaan Pelengkap Untuk Sosiologi Masyarakat Kota, (Yogyakarta, Fakultas Sosial dan Politik Unversitas Gadjah Mada, 1993) hal 85 39 Ibid, hal 57 dengan kota. Desa yang sebelumnya sangat identik dengan daerah tertutup lambat laun menjadi terbuka, demikian pula dengan masyarakatnya. Kehadiran kereta api di Surakarta, secara teoritis diharapkan mampu memberi perubahan yang mendasar dalam tatanan kehidupan tradisional masyarakatnya. Namun masayrakat Surakarta tetap hanya sebagai pengguna jasa kereta api, tidak lebih. Perubahan yang tampak dari masyarakat hanya masalah masuknya ekonomi uang dan model pemasaran tenaga kerja yang baru dalam sektor perkebunan dan industri,40 sehingga hal ini menyebabkan masyarakatnya tidak berubah menjadi masyarakat industrialis seperti halnya masyarakat di Eropa. 4. Perkembangan Rumah-rumah di Surakarta Perkembangan dan perluasan kota-kota besar di Jawa terutama di Surakarta menimbulkan kesulitan akan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Pendirian rumah tersebut diusahakan dengan membuat peraturan-peraturan agar rumah-rumah baru yang bermunculan kemudian tidak menimbulkan kesemrawutan, sehingga tidak mengganggu bagi perluasan tata ruang kota. Pada tahun 1930-an rumah-rumah orang Belanda yang berukuran besar dan halaman yang luas sudah sangat sedikit. Ditahun-tahun tersebut ukuran rumah dibuat sesuai dengan kebutuhan, hal ini dengan pertimbangan antara lain41: a) makin mahalnya harga tanah dan material 40 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung, Mizan, 1993) hal 175 41 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Pendukungnya di Jawa (Abad XVIIMedio Abad XX), (Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000), hal 225-226 b) orang mulai menyukai hal-hal yang praktis dan memenuhi segala keperluan dan selera (comfort), golongan masyarakat Indis meniru gaya hidup seperti cara hidup orang-orang Eropa c) susunan keluarga keluarga inti dianggap lebih penting sehingga mempersempit adanya kemungkinan keluarga diluar keluarga inti untuk ngengger, ngindung, magersari, dan sebagainya d) karena keluarga Indis kebanyakan adalah pegawai BB yang kemungkinan sering dipindah kekota lain sangat besar, atau karena promosi jabatan dan terbukanya kenaikan kareir seseorang sangat dimungkinkan. Akibatnya orang suka membuat rumah sesuai dengan kebutuhan. Mahalnya harga tanah dapat dilihat dari surat yang dikeluarkan oleh pemerintah Mangkunegaran tentang harga tanah terletak didaerah Villapark Banjarsari. Surat tersebut ditujukan kepada R. Sastrosoeratmo yang ingin membeli tanah dan mendirikan bangunan didaerah tersebut. Dalam surat tersebut tercantum harga tanah yang harus dibayar oleh R. Sastrosoeratmo sebesar f. 13,20 untuk luas 66m². 42 Selain beberapa tersebut diatas, satu demi satu tuan tanah dan pemilik rumah mewah tidak lagi melanjutkan kebiasaan-kebiasaan gaya hidup Indis yang mewah karena dirasa merupakan suatu pemborosan dan ditambah lagi dengan adanya zaman Malaise dan pecahnya Perang Dunia, membuat kemewahan dan kegagahan rumah 42 Rooiwezen M.N. 18 Juni 1938 (dokumen R. Sastrosoeratmo, M.N, tanpa nomor katalog) tinggal Indis menjadi tidak berarti lagi. Namun gaya tersebut tidak hilang begitu saja, namun yang tepat adalah gaya Indis menyesuaikan dengan keadaan. Pada rumah-rumah didaerah Villapark pada tahun 1920-an sudah tidak lagi membangun rumah dengan menggunakan beranda rumah yang lebar didepan dan disamping rumah. Walaupun demikian aktifitas yang dilakukan oleh para penghuninya tetap menunjukkan gaya hidup Indis. Pesta-pesta tetap diadakan walaupun tidak sebesar pesta-pesta masyarakat Indis jaman dulu. Kebiasaan minum tehpun tetap dilakukan, bahkan kebiasaan ini ditiru oleh para ambtenar. Ketika landhuizen banyak dijual kepada orang-orang Cina akibat kebangkrutan yang dialami tuan-tuan tanah, ciri Indis berkembang memancar dalam kehidupan kota sebagai bagian dari urban cultur kota kolonial. Ada tiga ciri yang harus diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu; budaya, teknologi, dan struktur kekuasaan kolonial.43 Kebijaksanaan baru pemerintah kolonial yang dituntut oleh perkembangan alam pikiran manusia dalam berbagai paham baru, memungkinkan kota0kota besar di Jawa mengalami babakan baru dalam ciri Indisnya. Dengan kehadiran orang-orang Eropa dikabupaten-kabupaten, berkat perluasan sistem pemerintah kolonial yang lengkap dengan birokrasinya, dan karena jarak negeri Belanda dan Indonesia makin dekat akibat dibukanya terusan Suez, wajah kota mulai berubah. Pusat kota kabupaten bertambah dengan adanya bangunan baru, terutama gedung-gedung pemerintahan dan kediaman para pejabat pribumi dan Belanda.44 43 Djoko Soekiman, op.cit, hal 195 44 Ibid, hal195-196 Pengaruh Belanda dan hasil-hasil pemikiran orang-orang Eropa berhasil memberikan jalan keluar dalam menanggulangi kekurangan-kekurangan yang ada dalam cara membangun kota dan rumah. Selainitu mereka memberikan petunjukpetunjuk, saran-saran, dalam penggunaan teknik konstruksi bangunan, dan metodemetode pembangunan kepada orang Jawa, agar rumah dapat berdiri dengan kokoh dan modern, namun tetap sesuai dengan lingkungan alam sekitar. Karakter jiwa masyarakat Jawa sangat penting diperhatikan karena berhubungan dengan kenyamanan dan ketrentaman dari penghuninya. Struktur kota kolonial jaman dulu sebenarnya sudah direncanakan dan tumbuh berdasarakan asumsi, bahwa suku dan asal etnis merupakan prinsip-prinsip utama dari organisasi sosial. Sistem pemisahan etnis dikombinasikan dengan kekhususan pemukiman baik diantara maupun didalam kelompok-kelompok etnis. Meskipun ada pemusatan orang-orang yang berstatus sosial tinggi dan rendah namun tidak pernah ada percampuran menyeluruh antara suku-suku bangsa dan kelas sosial. Karena pemisahan etnis pemukiman menjadi pedoman pokok, orang-orang dari kelompok etnis yang sama tapi berlainan status sosio-ekonomi cenderung tinggal berdekatan.45 Menurut Babad Sala, tempat tinggal bangsa lain seperti bangsa Cina, tidak boleh terpisah-pisah, harus menyatu, berada disekitar Pasar Gede, ketimur sampai Ketandan, Limasan, keutara sampai Balong, keutara lagi sampai Warung Pelem. 45 Hans-Dieter Evers, op.cit, hal 54-56 Lingkungan tersebut dinamakan kampung Pecinan. Dan sebagai pemimpinnya adalah Mayor. Sementara bangsa Arab juga bertempat tinggal sendiri, berada disekitar pasar Kliwon, keselatan sampai Baturana, disebelah Timur Istana, kemudian lingkungan tersebut dinamakan Pakampungan Arab. Yang duduk sebagai pimpinan adalah Kapten Arab Sungkar. Dan orang Arab tersebut bekerja sebagai pengusaha Batik. Sementara orang-orang Belanda kebanyakan tinggal disekitar Benteng Vastenburg, pada loji-loji disebelah timur benteng. Karena rumah-rumah bangsa Belanda ini semuanya berbentuk loji, maka kampungnya dinamakan Loji Wetan, dan dipimpin oleh Asisten-Residen.46 Namun pada perkembangan berikutnya kota tidak lagi embagi pemukiman berdasarkan ras etnis, namun dengan adanya pembangunan perumahan telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial. Wilayah-wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni oleh orang-orang Eropa, tetapi juga oleh usahawanusahawan lokal, pejabat-pejabat pribumi, serta pengusaha-pengusah Cina. Meskipun orang-orang pribumi akhirya dapat bertempat tinggal dilingkungan elit orang-orang Belanda, namun mereka harus tetap menaati peraturan yang ada tentang pendirian dan ,model bangunan yang wajib didirikan didaerah tersebut, misalkan tentang garis sepadan (rooilijn). Bangunan-bangunan yang berdiri dilingkungan Villapark harus sejajar dengan bangunan lainnya demi kerapian dan tidak mengganggu pemandangan jalan.47 46 R.M. Sayid, op.cit, hal 65 47 Rooiwezen M.N. loc. cit. Peraturan-peratuan yang dibuat dilingkungan elit tersebut selain untuk memperindah pemandangan, juga dimaksudkan agar kesehatan dari penghuninya terjamin. Kejadian yang terjadi pada tahun 1915 diharapkan tidak terulang kembali. Pada tahun tersebut merupakan tahun dimana wabah penyakit pes merajalela di Solo. Meninggalnya seorang Belanda pada tanggal 19 Maret 1915 dianggap sebagai kasus pertama timbulnya wabah tersebut. Dalam bulan Agustus epidemi tersebut semakin hebat dan dalam bulan-bulan berikutnya sudah menyebar keseluruh kota.48 Pada tahun-tahun berikutnya dilakukan perbaikan rumah lebih dari 1200 rumah penduduk di Solo. Dan pada rumah-rumah yang telah diperbaiki tersebut setiap penghuninya diwajibkan untuk mengadakan pembersihan rumah. Pembersihan rumah tersebut dilakukan dibawah pengawasan para mantri dan sinder, selainitu Kepala Pemerintahan setempat menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan rumah salah satunya adalah pengaturan mengenai saluran pembuangan.49 Pengaturan tentang garis sepadan dan perbaikan selokan merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh pemilik rumah, khususnya bagi mereka yang ingin membangun rumah dilingkungan perumahan elit Belanda. R. Sastrosoeratmo yang ingin mendirikan rumah dikawasan Villapark menyatakan bahwa beliau sanggup menaati aturan yang berlaku didaerah tersebut.50 Dari surat tersebut menunjukkan bahwa bentuk bangunan dan lain sebagainya yang menyangkut tatanan bangunan 48 Gelpke, MvO, loc. cit. 49 Ibid 50 Surat permohonan pendirian rumah di Villapark, ditujukan kepada pemerintah Mangkunegaran oleh R. Sastrosoeratmo, ( Arsip M.N, tanpa nomor katalog) mengikuti bentuk dan tatanan yang ada, yaitu mengikuti model rumah orang-orang Belanda. Ada perkembangan yang menarik tentang bangunan-bangunan rumah pribumi di Surakarta. Penduduk pribumi telah banyak membangun rumah tempat tinggal mereka dengan memakai bahan dari batu dan semen. Dinding-dinding rumah mereka telah dibuat dengan tembok, tidak lagi seperti rumah tradisional pribumi yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu atau balok-balok kayu. Koran Bromartani memberitakan pada waktu itu di Solo masyarkatnya sedang dilanda "demam rumah gedong". Mereka berame-rame membangun rumah berbahan dasar batumerah. "Demam" ini melanda semua lapisan penduduk pribumi baik dari golongan rakyat jelata maupun orang-orang partikelir.51 Pada umumnya rumah-rumah yang memakai bahan dasar batu merah dan semen pada masa sebelumnya hanya milik orang-orang kulit putih dan golongan bangsawan atau golongan pedagang kaya. Namun ber dasarkan berita tersebut diatas menunjukkan bahwa masyarakat jelatapun mulai membangun rumah tinggal mereka dengan tembok. Sebuah pergeseran dalam teknik pembangunan rumah yang dahulunya masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Sayangnya meskipun mereka membangun rumah mereka dengan memakai bahan-bahan dasar yang modern, namun pembuatannya masihlah sangat kasar. Ada kesan yang mendalam bahwa untuk membangun dan mendirikan rumah beserta ragam hias bangunannya masyarakat pribumi masih sangat miskin akan ide.52 51 Bromertani, Djoem'at 23 Juni 1929 (Sasono Pustoko, Kasunanan) 52 Djoko Soekiman, op.cit, hal 251 Keadaan ini dapat dipahami karena membangun sebuah rumah yang indah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi sebagai golongan sosial terbawah masyarakat pribumi banyak yang hidup miskin. Berbeda dengan orang Cina dan Arab yang rumahnya terpelihara dengan baik dan dengan perabotan yang bagus, serta terdapat ruang-ruang pribadi (eigendommen).53 Perbedaan ini bisa disebabkan karena keberuntungan atau kesejahteraan hidup orang Cina atau Arab, dan dapat juga disebabkan oleh penjajahan dan penghisapan habisan-habisan oleh penjajah kepada penduduk pribumi.54 Dibalik semual hal tersebut, pola perumahan masyarakat Surakarta menemukan sebuah babak baru dimana pemisahan wilayah berdasarkan ras atau etnis sudah mulai luntur, digantikan dengan pembagian wilayah berdasarkan kelas sosial. Ini dapat dilihat dsari perkembangan bentuk dan tipe rumah tinggal mereka. Bentuk rumah yang mewah dengan ragam hias yang menawan, atau tipe villa, berada ditempat yang terbaik, dapat dipastikan penghuninya merupakan golongan atas atau orang kaya, namun belum tentu rumah tersebut milik orang Belanda. Bisa saja rumah tersebut milik seorang saudagar kaya Cina, atau bahkan milik seorang saudagar kaya pribumi, seperti rumah-rumah milik saudagar batik Laweyan yang dibangun layaknya rumah bangsawan. Pada masa ini sudah sulit untuk megidentifikasikan pemilik rumah hanya berdasar pada bentuk luar bangunan saja. 53 G.P. Rouffer dalam ibid, hal 253 54 Ibid Sejak awal abad 20 memang tidak banyak lagi rumah dari golongan Indis dibangun dengan mewah. Namun corak Indis masih terlihat dari struktur bangunan yang tetap membagi ruangan-ruangan menurut fungsinya. Dan meskipun rumah mereka tidak terlalu besar, mereka tetap mengusahakan agar ada ruang yang dapat difungsikan sebagai ruangan untuk bersantai berasama keluarga, teman-teman, dan kolega-kolega mereka. Seperti rumah yang ditempatin oleh Bapak Dasto di Jl. Sabang, No. 4, Banjarsari. rumah yang dibangun tahun 1923 merupakan warisan dari kakek buyutnya. Rumah ini sejak dibangun sampai sekarang belum mengalami perubahan fisik, hanya beberapa renovasi bagian rumah yang sudah lapuk dimakan usia.55 Struktur bangunan rumah ini terdiri dari ruang tamu, kemudian ada lorong yang menuju ruang makan. Dikanan-kiri lorong terdapat kamar-kamar yang berfungsi sebagai kamar tidur. Diruang tamu tergantung sebuah lampu kristal yang meskipun kecil harganya sangat mahal. Dirumah ini juga terdapat pavilyun yang digunakan sebagai ruang tidur tamu bila menginap dirumah ini. Kebelakang adalah dapur dan kamar untuk pembantu, dulu orang Indis menyebut dengan nama djongos.56 Kebiasaan-kebiasaan penghuni rumah Indis pada masa inipun tidak banyak berubah. Memang mereka sudah jarang sekali mengadakan perjamuan makan dengan hidangan yang mewah-mewah, tapi mereka masih tetap mengadakan pesta-pesta dengan lebih sederhana. Oleh sebab itu selai ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, 55 Wawancara dengan Bapak Dasto 10 Februari 2005 56 Lihat lampiran foto rumah Bapak Dasto dan denah ada satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang santai. Didalam ruangan ini diletakkan sebuah meja billard, yang menurut pak Dasto kakeknya sering berkumpul dengan teman-temannya diruangan ini. Menurutnya setiap rumah yang ada dilingkungan tersebut pasti ada satu ruang santai, mereka menyebutnya sebagai "kamar bola". Sayang sekali pak Dasto tidak berkenan bila kamar tersebut difoto sebagai dokumentasi. Meskipun rumah indis pada kurun waktu 1900-1940-an mengalami perubahan secara fisik yang cukup mencolok dengan berkurangnya halaman yang luas, namun budaya Indis yang menyesuaikan diri dengan keadaan zamannya masih tetap terlihat dari gaya hidup para penghuninya. A. Perkembangan Arsitektur Indis Di Surakarta 1. Ir. Herman Thomas Karsten Bebicara mengenai arsitektur pada masa kolonial tidak bisa lepas dari peranan aritek-arsitek Belanda. Salah satu contoh arsitek yang berhasil merancang dan membangun karya-karya momumental di Hindia-Belanda adalah Ir. Herman Thomas Karsten. Lahir pada tanggal 22 April 1884 di Amsterdam sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, yang merupakan putra dari keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang profesor sejarah Romawi. Dalam keluarganya terdapat beberapa profesor dan seoarang rektor. Pamannya, Charles, adalah seorang ahli hukum. Ayah dari Charles F. Karsten adalah arsitek dan planner yang cukup terkenal di Belanda. Bibinya, Barta adalah wanita pertama yang lulus dalam bidang kimia dari sebuah universitas di Belanda dan menjadi kepala sekolah khusus putri di Groningen.57 Karsten adalah lulusan sekolah Tinggi Tekhnik di Delf pada tahun 1909 dengan mengambil jurusan bangunan. Pada tahun 1914, dengan menumpang kapal yang terakhir, Karsten pergi menuju Hindia-Belanda. Kedatangannya ke HindiaBelanda atas dasar undangan dari teman lamanya sesama arsitek yaitu Henri Maclaine Pont. Disamping berprofesi sebagai perencana kota dan arsitek, Karsten banyak menaruh minat pada kebudayaan dan politik. Ia senantiasa berusaha untuk memasukan hasil kebudayaan setempat kedalam karya-karyanya. Bentuk candi, relief yang terdapat pada candi, serta bentuk-bentuk lokal, selalu memberi inspirasi kepadanya didalam usaha mengasimilasikan arsitektur Barat dengan seni bangunan tradisional.58 Karsten melihat kota-kota tua di Jawa, seperti Yogyakarta dan Surakarta dengan alin-alunnya mempunyai pusat yang jelas. Jaringan jalan utama kota dibentuk dengan tujuan alaun-alun, sehingga alun-alun menjadi pusat dari kota. Penduduk di Jawa sudah sejak dulu terbiasa dengan pola kota yang demikian. Ciri lain dari kotakota di Jawa adalah dominasi dari dedaunan yang hijau. Oleh sebab itu Karsten berpendapat bahwa jika merencanakan suatu daerah baru maka harus diberikan banyak perhatian pada penghijauan.59 57 Hadinoto dan Paulus H. Soeharjo, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda Di Malang, (Yogyakarta, Andi Offset, 1996), hal 115 58 Ibid, hal 122 59 Ibid, hal 124 Berdasarkan pola kota tradisional Jawa tersebut, maka Karsten menerapkan apa yang ia lihat dan pelajari dari kota-kota tradisional Jawa kedalam karyakaryanya. Seperti rencana perluasan kota Semarang, Kota Magelang, Malang, Batavia, dan beberapa kota lainnya termasuk Surakarta dan Yogyakarta.60 Di Surakarta Karsten mendapat pelajaran yang mendalam mengenai bangunan tradisional Jawa. Ia mendapat kepercayaan untuk meronavasi dan perluasan bangunan Kraton Mangkunegaran. Kelak apa yang dipelajari Karsten di Istana Mangjunegaran akan membantunya dalam membangun sebuah karya monumental lainnya di kota Yogyakarta, yaitu bangunan Museum Sonobudoyo. Karya-karya Karsten tidak hanya merupakan racangan perkembangan kota saja, bahkan beberapa karya beliau berupa pembangunan pasar. Dimata Karsten pasar tidak sekedar berfungsi sebagai kegiatan ekonomi semata, tetapi juga adalah suatu ruang bebas untuk melakukan kegiatan seremonial atau temporer.61 Pasar secara umum ialah tempat jalinan hubungan-hubungan antara pembeli dan penjual. Pengertian pasar dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai seluruh permintaan dan penawaran barang atau jasa tertentu.62 Lebih jauh Clifford Geertz menjelaskan bahwa pasar bukan hanya suatu pranata ekonomi, tetapi sekaligus cara hidup.63 Baca…Yulianto Sumalyo, Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia,(Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1993) hal 45 60 Wiharto, “Pasar Gede” (artikel yang ditulis pada Pameran Arsitektur, Balai Soejatmoko, Surakarta, 14 Februari 2005) 61 62 Winardi, C.E, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Bandung, Tarsito, 1975) hal 64 konsep Geertz mengenai pasar baca…Clifford Geertz, Penjaja dan Raja, (Jakarta, Yayasan Obor, 1984) hal 30-50 63 Dalam memahami pasar sebagai sebuah konteks yang luas tidak hanya sekedar tempat, Geertz melihatnya dalam tiga sudut pandang, pertama; sebagai arus barang dan jasa menurut pola tertentu, kedua; sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa, dan ketiga; sebagai sebagai sitem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu tertanam. Pada kota-kota Indonesia kuno, terutama kota-kota pedalaman, lokasi pasar banyak terletak dipusat-pusat kota, daerah-daerah permukiman penduduk, ditepi sarana perhubungan. Berawal dari pusat-pusat keramaian seperti pasar inilah pertumbuhan dan perkembangan kota terjadi. Perdagangan bagi seorang pedagang sama halnya pertanian bagi seorang petani, merupakan latar belakang yang permanen dimana segala kegiatannya dilakukan. Pasar adalah lingkungannya dan keseluruhan dari kehidupannya dibentuk oleh pasar itu, oleh karena itu pasar juga merupakan sistem sosial.64 Secara arsitektural Pasar Gede yang ada di Kota Solo dikalangan arsitek disebut sebagai bangunan monumental. Alasan mereka, pasar tersebut merupakan representasi pasar yang nyaris sempurna secara tipologis, yakni pembangunan pasar itu memperhatikan pandekatan yang rasional dan mempertimbangkan iklim budaya lokal. Pasar Gede juga menjadi simbol keterpaduan kerja harmonis antara penggagas Kuntowijoyo, dalam Agus Mohammad Jumali, “Pasar Kebumen Masa Pemerintahan Bupati Aroeng Binang VII tahun 1908-1934”, (Skripsi, UNS, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu Sejarah, 1991) hal 8 64 PB X dan arsitek Ir. Thomas Karsten. Hasilnya berupa karya arsitektur Indis yang oleh arsitek David Hyun disebut sebagai karya yang membumi. Sebab kata dia: “Word architeture is not one intenational style for all nation, but one set of principle to create anarchitekture bearing the many colour of world cultur” (Kata arsitektur bukanlah gaya internasional untuk seluruh bangsa, melainkan sebuah tatanan prinsip untuk menciptakan karya arsitektur yang melahirkan banyak warna dari kebudayaan dunia)65 Lokasi dari Pasar Gede terletak ditengah kota, ditepi utara Kali Pepe, merupakan daerah permukiman orang-orang Cina yang utama dikota Solo. Oleh sebab itu dipasar inilah pertemuan antara etnis Jawa dan etnis Cina yang membawa budaya masing-masing bertemu, sehingga Pasar Gede berperan sebagai ajang pembauran dua etnis dan budaya yang berbeda tersebut. Dengan adanya pembauran tersebut maka ciri dari bangunan Pasar Gede juga memperlihatkan gaya arsitektural Cina yang dipadu dengan gaya Jawa dan Eropa. Dalam tatanan filosofis arsitektural, Pasar Gede terbuti memberikan rasa ruang (sense of space) dan rasa tempat (sense of place) yang khas.66 Karsten menganggap bahwa pasar selain sebagai tempat kegiatan ekonomi , juga merupakan sebuah ruang bebas untuk melakukan kegiatan seremonial atau temporer. Hal ini tercermin dari adanya satu ruangan terbuka yang terletak dibagian depan ketika memasuki pintu utama. Bahkan ada satu tempat refresing yang terletak Saroni Asikin, “Pasar Gede, Poros Perpaduan Budaya”, (Suara Merdeka, Rabu 19 Juni 65 2002) 66 Ibid tepat dibalkon atas pada pintu masuk utama, tempat tersebut adalah sebuah restaurant.67 Pasar Gede dulunya merupakan pemberian PB VII kepada Tuan Bek Wat Koe yang menjabat sebagai Mayor Cina. Kemudian hari negara membelinya kembali dengan harga f 35.000. karena keadaan dan kondisi pasar yang buruk, negara merasa perlu untuk membangunnya dengan model yang baru sehingga cocok dengan peraturan kesehatan. Bangunan pasar yang baru tersebut tiada bandingannya dengan pasar-pasar yang ada ditanah Jawa. Setelah selasai pembangunannya pasar tersebut diresmikan pada hari Senin tanggal 13 Januari 1930 dan dinamakan pasar Hardjonegoro,68 dengan menghabiskan biaya sebesar f 650.000.69 Pada malam hari pembukaan Pasar Hardjonegoro diadakan keramaian dengan mengadakan pementasan wayang kulit, reyog, ketoprak, dan pertunjukkan sirkus yang dimainkan oleh orang-orang tunanetra. Tamu-tamu undangan mendapatkan jamuan makan dan minum, sedangkan masyarakat Solo berbondong-bondong untuk melihat pertunjukkan yang digelar pada malam itu.70 Penderian pasar tersebut selain berhubungan dengan kesehatan dan peraturan jalan atau peraturan pendirian bangunan, juga berhubungan dengan keinginan Gubernur Surakarta untuk mempercantik kota Solo. Dalam sambutannya pada saat peremian pasar beliau berkata; 67 Wiharto, Loc.cit. 68 Darmo Kondo, Senin 13 Januari 1930, (Sasono Pustoko, Kasunanan) 69 Saroni Asikin, Loc.cit. 70 Darmo Kondo, Selasa 14 Januari 1930, (Sasono Pustoko, Kasunanan) “Kota Solo harus dihias oleh keadaan yang indah-indah, sehingga dapat menambah kebagoesan Kota Solo”71 Dari segi ekonomi pemerintah Kolonial Belanda berharap dengan pembangunan pasar tersebut mampu meningkatkan pendapatan negara. Dengan dibangunnya pasar yang dicap sebagai yang terbesar ditanah Jawa, pemerintah Belanda memperkirakan pendapatan negara yang diperoleh dari pasar ini sebesar f9000 dalam sebulannya. Pendapatan tersebut meningkat dari sebelumnya yang hanya f 3000 dalam setiap bulannya. Jadi setiap tahunnya pemerrintah Kolonial Belanda menghitung pendapatan yang diperoleh negara sebesar f108.000, sementara hutang yang harus dibayar untuk keperluan pembangunan pasar tersebut hanya f 94.000 tiap tahunnya. Maka keuntungan yang diperoleh negara dari Pasar Gede tiap tahunnya sebesar f 14.000.72 Masuknya unsur-unsur budaya setempat pada setiap rancangan Karsten tidak lepas dari pandangan politiknya serta minat kultural yang dimilikinya. Pandangan politikdan minat pada kebudayaanyang begitu dalam telah menempatkan Karsten sebagai seseorang yang istimewa dimata orang-orang Eropa yang tinggal di HindiaBelanda. Karsten adalah seorang pekerja keras, seorang yang teguh pendirian, serta amat teliti. Ia akan tetap mempertahankan hasil penelitiannya sampai orang-orang yakin pada hasil penelitiannya tersebut, dan ia amat cermat dalam menganalisa masalah danmelewati sintesasampai pada pemecahan masalah.73 Darmo Kondo, Jum’at 17 Januari 1930, (Sasono Pustoko, Kasunanan) 71 72 Ibid 73 Hadinoto dan Paulus H. Soehargo, op.cit, hal 119 Karsten menarik pandangan politiknya yang sosialis kedalam rancangan pembangunan kota. Baginya kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, dan dalam rancangannya yang terpenting adalah total beld, suatu kesan umum dari kota sebagai suatu kesatua, dimana didalamnya berbagai golongan penduduk yang masing-masing dengan ciri ekonomi, kultural, dan sosial. Untuk memudahkan integrasi, terutama golongan pribumi, harus ditingkatkan hidupnya dan dididik agar dapat memasuki kebiasan hidup dikota.74 JasaKarsten yang terbesar ialah dalam hal penerapan tipe-tipe bangunan yang disesuaikan dengan keadaan sosial yang ada. Ide terdahulu selalu membagi tempat tinggal berdasarkan ras atau etnis. Menurut Karsten tidak mungkinlagi mengadakan tempat tinggal berdasakan ras.75 Oleh karena itu Karsten dalam merancang tipe-tipe rumah berdasarkan kemampuan ekonomi dan kelas sosial. Semua pandangan hidup, ketertarikaanya pada kebudayaan, serta pengalaman-pengalaman dalam perencanaan dan perancangan kota, telah membuat Karsten menjadi seorang “legenda arsitek” di Hindia-Belanda. Bukan hanya dikarenakan rancangannya disembilanbelas kota besar di Hindia-Belanda saja, namun juga karena dalam setiap rancangannya Karsten selalu memasukan unsur 74 Ibid, ha123-124 75 Ibid, hal 125 budaya setempat yang menyebabkan rancangannya tersebut tetap sesuai dengan lingkungan setempat walaupun telah melewati kurun waktu yang lama. 2. Bangunan Soos (Societeit) Perkembangan politik di Hindia-Belanda telah mendorong perubahanperubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Adanya politik Etis telah membuat golongan sosial baru pada masyarakat lebih dihargai. Pada bab-bab sebelumnya telah dibahas bagaimana pendidikan telah memberikan pengaruh yang cukup luas, terutama pada gaya hidup masyarakat pribumi. Pendidikan tersebut menunjukkan sebuah kemajuan dimana hal-hal baru yang berbau Barat dijadikan sebuah tolak ukur kemodernan seseorang. Kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup orang-orang Belanda banyak yang ditiru. Percakapan-percakapan dengan mamasukan kata-kata Belanda dalam bahasa daerah banyak dijumpai dalam keseharian masyarakat. Percampuran ini merupakan sebuah indikasi bahwa pada kurun waktu 1900-an budaya Indis telah menyebar hampir pada semua sendi kehidupan masyarakat Surakarta. Dengan munculnya organisasi modern, para priyayi yang tergabungdalam organisasi-organisasi tersebut sering berkumpul disatu tempat pertemuan. Tempat pertemuan ini dikenal dengan nama Soos, yang diambil dari kata Belanda Societeit, yaitu tempat pertemuanbangsa Belanda yang eksklusif. Disamping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk bebagai keperluan seperti kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah, pertandingan permainan, dan lain sebagainya.76 Pada awalnya kebiasaan-kebiasaan berkumpul di soos merupakan kebiasaan orang-orang Belanda. Mereka berkumpuldigedung yang cukup luas untuk melakukan berbagai kegiatan, yang kebanyakan merupakan pesta-pesta diakhir pekan. Selain pesta permainan yang sangat digemari adala permainan bola sodok. Hampir setiap kali orang-orang Belanda berkumpul mereka memainkan permainan ini. Berawal dari permainan inilah kemudian banyak orang awam memakai istilah Kamar Bola sebagai nama lain dari societeit.77 Societeit besar artinya bagi orang-orang Belanda, karena dari perkumpulan inilah jalinan atau interaksi antar sesama orang Belanda terjalin. Selain itu perkumpilan seperti ini dijadikan sebuah simbol yang membedakan antara bangsa Belanda dengan bangsa-bangsa lainnya ditanah jajahannya. Kebiasaan-kebiasaan dan gaya hidup Eropa dicerminkan dengan adanya pesta-pesta dansa, dan perjamuan makan yang mewah, atau dengan mengadakan pertandingan-pertandingan tertentu, atau datang keacara pacuan kuda didaerah Manahan. Olah raga adalah pengisi waktu luang yang menyenangkan selain mengobrol sambil minum teh. Di Surakarta ada societeit yang khusus mengelola pacuan kuda di arena balap kuda Manahan.78 Seperti halnya berdansa dan pesta-pesta lainnya, 76 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press) hal 109 77 Wawancara dengan Ny. Netty di Klaten 14 Desember 2004 dan Bapak Dasto, di Banjarsari 10 Februari 2005 78 Gelpke, loc. cit. pacuan kuda menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan bagi kalangan elit Belanda. Dengan meluasnya pendidikan Barat yang mempunyai daya tarik yang kuat bagi golongan priyayi, telah membuat sebuah kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan Barat. Akibatnya secara luas akan dapat terasa dalam formasi gaya hidup mereka. Para priyayi ini cenderung mengikuti cara dan gaya hidup Belanda untuk menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti perkembangan jaman dan menunjukkan bahwa mereka ini lebih maju, lebih modern, bila dibandingkan dengan para orang tua mereka. Ini dijadikan sebuah pembeda antara golongan tua dengan golongan muda. Pada masyarakat tradisional yang statis, usia tinggi berarti akumulasi dari pengalaman dan kebijakan. Sehingga generasi muda yang kurang pengalaman perlu untuk mengikuti jejak langkah mereka. Pada lingkungan ini kedudukan generasi tua senantiasa terhormat, dipatuhi dan dianut. Dengan dimulainya abad 20, sebuah zaman dimana semangat modernitas seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Belanda dipahami sebagai peradaban Barat yang telah mengikis sikap penghormatan terhadap orang tua. Mereka menyebut diri dengan istilah kaum muda, yang lebih modern dan maju ketimbang orang tua mereka dan orang-orang yang tidak berpendidikan Barat. Namun semua itu tidak berarti mereka kehilangan identitasnya sebagai orang Jawa. Yang terpenting pada masa ini adalah hal-hal tradisional telah kehilangan maknanya yang utuh dan mereka dipaparkan berdampingan dengan hal-hal yang modern79 Ditahun-tahun pada empat dekade awal abad 20, ternyata hal-hal yang berbau Belanda sudah semakin dalam memasuki kehidupan masyarakat Surakarta. Pada masa ini mereka lebih sering mengujungi bioskop, makan direstoran, dan mengadakan pesta-pesta layaknyaorang-orang Belanda. Akibat dari itu semua, bangunan soos menjadi penting artinya bagi tahaptahap perkembangan budaya Indis pada awal abad 20, karena ditempat inilah semua aktivitas budaya Belanda bersumber, dan ditempat inilah kemudian terjadi kontak antara orang pribumi dengan orang Belanda yang membawa kebudayaan masingmasing. Keadaan yang demikian ini tidak hanya terjadi dikota-kota besar saja, namun dikota-kota kecil keadaan ini lebih terasa lagi. Ini dikarenakan dikota-kota kecil bangunan soos tidak terlalu banyak, sehingga mau tidak mau orang-orang Belanda harus berbagi tempat dengan orang-orang elit pribumi. Dengan demikian interaksi antara keduanya tidak bisa dielakkan lagi. Disamping itu bangunan soos merupakan pencerminan akan kebutuhan ruang bagi kegiatan yang dilakukan oleh para pendukung kebudayaan Indis. Kebiasaan berpesta bagi golongan pendukung kebudayaan Indis tidak mungkin dilakukan dirumah dengan struktur bangunan tradisional atau dirumah Indis yang sudah kian menyempit ruangnya. Bagi orang-orang Jawa mengadakan pesta seperti layaknya orang-orang Belanda tidak dikenal dalam kebudayaan mereka, sehingga struktur 79 Takashi Shiraishi, op.cit, hal 41 bangunan rumah tinggal mereka tidak mengadaptasikan kegiatan tersebut, sehingga bangunan soos merupakan cara pemecahan yang rasional dan terbaik yang dipilih agar aktivitas yang melibatkan banyak orang dan membutuhkan tempat yang luas tersebut dapat dilaksanakan. Secara fisik pengaruh budaya Eropa pada bangunan soos dapat ditelusuri dari adamnya jendela-jendela yang berukuran besar. Contohnya adalah bangunan soos Harmoni, yang terletak di timur benteng Vastenberg, atao soos Mangkunegaran. Hampir pada semua bangunan soos memiliki ciri seperti ini, baik yang dikota-kota besar maupun dikota-kota kecil. Kesan Indis tidak saja terlihat dari fisik bangunannya saja, namun lebih dari itu tersirat dari berbagai macam kegiatan dan aktivitas dari pengguna bangunan tersebut. Bangunan soos selain menjadi tempat interaksi sosial, juga merupakan perwujudan akan kebutuhan tempat untuk mendukung gaya hidup mereka. Pestapesta dansa serta perjamuan makan yang dulu sering dilakukan dirumah tinggal Indis yang luas dan megah sudah jarang dilakukan, karena terbatasnya ruang yang ada. Namun karena para pendukung budaya Indis ini menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier, jabatan, dan prestise dalam kehidupan masyarakat kolonial, maka mereka menganggap perlunya budaya masa lampau yang dibanggakan.80 80 Djoko Soekiman, op.cit, hal 36 Oleh karena keinginan mereka untuk tetap menjaga budaya masa lau tersebut, maka diwujudkan dalam bentuk sebuah bangunan yang mampu menampung berbagai adat kebiasaan masyarakat Indis masa lalu. Bangunan soos merupakan representasi dari tujuh unsur universal kebudayaan. 3. Budaya Indis Pada Rumah Tradisional Jawa Di Surakarta Dipergunakannya tenaga kerja pribumi yang berpendidikan Barat didalam pemerintahan kolonial ataupun perusahaan-perusahaan swasta asing, mendorong terciptanya golongan sosial baru yaitu golongan priyayi. Golongan baru hasil pengangkatan pemerintah Belanda ini berperan besar pada perkembangan kebudayaan Indis pada awal abad 20. Dengan meningkatnya status dan kesejahteraan seseorang menuntut adanya perubahan gaya hidup yang baru, seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan perabot alat rumah tangga, mata pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan atau agama, dan menghargai waktu. Disini terjadi pertukaran yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan juga sebaliknya.81 Golongan bangsawan dan para terpelajar serta pegawai pemerintahan kolonialdari berbagai tingkatan yang disebut priyayi adalah kelompok utama pendukung kebudayaan Indis. Golongan inilah yang pada dasarnya menerima politik moderat dan kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda.82 Diantara golongan priyayi tersebut, golongan bangsawan telah lebih dulu tersentuh oleh budaya Eropa. Sejak zaman raja-raja berkuasa ditanah Jawa, golongan 81 Djoko Soekiman, op.cit, hal 18 82 Ibid, hal 26 aristokrat ini telah banyak bersentuhan dengan budaya Eropa, khususnya budaya Belanda yang pada akhirnya menjadi penguasa ditanah Jawa. Menurut Geertz, priyayi adalah kelompok sosial yang mempunyai tingkah laku dan mempunyai nilai-nilai hidup sendiri. Priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Karena kelompok sosial ini pada waktu se belum PD II menjadi pemegang kekuasaan, maka pola kebudayaannya pernah enjadi pola umum. Tingkah laku dan pandangan hidupnya menjadi ukuran umum bagi tingkah laku dan hidup yang baik dan ideal.83 Pada masa pemerintahan kolonial, adat kebiasaan lama golongan priyayi tetap dipertahankan. Pemerintah kolonial tidak berani mengambil resiko dengan memutus hubungan tradisional antara pejabat-pejabat pribumi dengan desa yang bersifat feodal. Hal ini dimaksudkan demi kelancaran eksploitasi kolonial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ataupun para pengusaha swasta Belanda. Dengan dipertahankanya adat kebiasaan kebangsawanan lama beserta lambang-lambang dan upacaranya, maka ini berarti warisam budaya kebangsawanan dari masa yang lalu tetap hidup, tetapi dimodifikasi sesuai dengan keadaan jaman dan kemampuan pendukungannya. Golongan ini telah berubah statusnya menjadi birokrat yang menerima gaji dari pemerintah kolonial. Dengan demikian nilai-nilai 83 Clifford Geertz, dalam Sartono Kartodirjo, A. Sudewo, Suhardjo Hatmosuprobo, op.cit, hal 9 dan norma-norma yang menjadi ukuran kehidupan yang “pantas dan baik” tetap hidup.84 Bentuk bangunan rumah tradisional sebagai satu hasil karya budaya Jawa memang tidak dapat dilepaskan dari konteks keseluruhan budaya msyarakat Jawa itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, maka bentuk bangunan rumah tradisional Jawa hampir dapat dikatakan sebagai manifestasi dari pandangan hidupnya. Rumah tradisional Jawa merupakan hasil budaya yang syarat dengan simbolsimbol, baik itu dalam bentuk religi, adat-istiadat, dan tradisi. Semua ini menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa hasil karya kebudayaan fisik tidak saja mengandung fungsi kegunaan, melainkan juga fungsi simbolis dan religius. Dari pandangan tersebut mengakibatkan bentuk-bentuk bangunan rumah tradisional Jawa mempunyai aspek simbolis dari pemiliknya. Dan dengan masuknya budaya Barat maka pengaruh budaya Eropa telah menyentuh budaya masyarakat pribumi. Bukan hanya secara politis saja namun juga gaya hidup penduduknya. Rumah tempat tinggal juga merupakan salah satu dari lambang kepriyayian. Menurut etika Jawa, pada masa yang lalu tidak akan ada seseorang yang membangun rumah melebihi atau setidaknya menyamai rumah pembesarnya, atau rumah orangorang yang kedudukannya lebih tinggi dari pada dirinya. Keadaan sosial ekonomi yang lebih baik dari pada keadaan sosial rakyat kebanyakan, dan juga posisi politiknya, menunjang golongan priyayi untuk menyelenggarakan tempat tinggal yang lebih baik dari pada golongan sosial lainnya.85 84 Ibid, hal 21 85 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo, Suhardjo HatmoSuprobo, op.cit, hal 26-28 Menginjak abad 20 dapat dikatakan sudah tidak ada bangunan-bangunan dari rumah bangsawan yang memiliki corak asli. Bangunan tersebut sudah banyak yang dibangun baru dan sedikit banyak sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur arsitektur Barat, walaupun bentuknya masih tradisional, yaitu bangunan dengan atap Limasan atau Joglo.86 Pengaruh-pengaruh Eropa terlihat pada ornamen-ornamen yang menempel pada tubuh bangunan, seperti ornamen pada tiang penyangga. Ornamen-ornamen pada tiang tersebut bergaya klasik, selain itu batang tiang yang disebut sebagai saka guru, saka rawa, dan saka emper banyak yang sudah tidak lagi terbuat dari kayu jati, namun diganti dengan pilar-pilar yang di cor dari batu dan semen.87 Halaman yang luas disekitar pendapa dan dalem ageng, dengan masuknya budaya Belanda maka ruangan-ruangan yang luas tersebut didirikan bangunanbangunan baru seperti lojen, pavilyun, dan juga kopel.88 Pavilyun dan lojen biasanya dipergunakan untuk menjamu pejabat Belanda yang datang berkunjung. Perjamuan dan pesta yang diadakan dengan gaya Belanda tidak mungkin dilakukan pada bangunan utama, karena bentuk rumah joglo mengharuskan banyak tiang penyangga yang dibangun. Oleh karena itu pesta-pesta dansa dan perjamuan makan yang membutuhkan tempat yang luas dilakukan pada bangunan lojen yang memiliki ruang gerak yang cukup leluasa. Selain itu pada 86 Ibid, hal 32 87 Lihat pada lampiran foto kepala tiang dan batang tiang pada Dalem Wuryaningrat 88 Lihat denah Dalem Sasonomulyo rumah tradisional ada ruangan-ruangan yang dianggap sakral oleh masyarakat Jawa, sehingga dituntut adanya tatacara dan sopan santun yang dijunjung tinggi. Berbeda dengan golongan bangsawan, golongan priyayi intelektual pada permulaan abad 20 memiliki bangunan rumah yang hampir mirip atau bahkan serupa dengan struktur bangunan orang Eropa. Bangunan rumah mereka tidak besar, dan hanya cukup untuk satu keluarga inti. Struktur bangunan rumah mereka mirip seperti yang telah dibahas pada Sub Bab IV, tentang Perkembangan Rumah-Rumah Di Surakarta. Rumah golongan priyayi ini selain bentuk rumahnya tidak besar, halaman yang dimilikinya pun tidak luas, tetapi halaman tersebut cukup untuk menanam tumbuhan sehingga kesan hijau dan sejuk tetap terlihat. Selain itu untuk sebagai penunjuk bahwa rumah tersebut milik seorang priyayi, dapat dilihat dari simbolsimbol kepriyayian yang dipasang didalam rumah mereka. Pada masa-masa ini, meskipun rumah-rumah dari golongan priyayi tetap berusaha menjaga keaslian bentuknya, namun bangunan tersebut telah banyak menerima pengaruh-pengaruh Barat, terutama pada rumah-rumah bangsawan. Ini membuktikan bahwa suku Jawa memiliki open minded tolerance dan savior vivre (lapang dada) dalam berbagai hal menanggapi kebudayaan asing yang hadir sepanjang sejarah Indonesia.89 Dengan adanya jalinan yang erat antara dua budaya, yaitu budaya Jawa dan Belanda, maka timbul dan berkembanglah budaya baru yaitu “Kebudayaan Indis”90 89 R.O.G. Benedict Anderson dalam Djoko Soekiman, op.cit , hal 14 90 Ibid, hal 18 Ini diawali dengan adanya saling mengisi dan mengambil dikedua pihak, dimulai dengan kelompok pertama yaitu bangsa Belanda yang membawa pola peradaban Belanda kedaerah koloninya dan kemudian kelompok kedua yaitu masyarakat Jawa yang memasukkan unsur-unsur budaya Belanda tersebut kedalam unsur-unsur budaya Jawa.91 Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan, kebesaran kekuasaan, bukan hanya bagi golongan Belanda saja tetapi juga oleh penguasa pribumi. Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh peraturan-peraturan dan menjadi kaharusan yang wajib ditaati oleh para ambtenar. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Mengamati arsitektur Indis hendaknya tidak hanya terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel92 yaitu pencerminan budaya Indis menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi didalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya. Manusia Belanda berbaur kedalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya. 91 Barlege dalam ibid 92 dalam Pamudji Suptandar, Arsitekturindis.com, 14 Oktober 2001) “Arsitektur “Indis” Tinggal Kenangan” (www.