BAB I - TESIS | Universitas Narotama Surabaya

advertisement
JURNAL SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAATAS TINDAK PIDANA PEMILU
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM
ANGGOTA DPR, DPD, dan DPRD
Disusun oleh :
MUHAMMAD RYAN KUSUMA PERMADI
NIM : 02113061
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2015
i
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
SURABAYA
DISETUJUI DAN DITERIMA DENGAN BAIK OLEH:
DOSEN PEMBIMBING
M. YUSRON MZ, S.H., M.H
KETUA PROGAM STUDI
TAHEGGA PRIMANDA ALFATH, S.H., M.H
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAATAS TINDAK PIDANA PEMILU
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM
ANGGOTA DPR, DPD, dan DPRD
Oleh:
Muhammad Ryan Kusuma Permadi
Dosen Pembimbing:
M. Yusron MZ, S.H., M.H
Program Studi Ilmu Hukum / Fakultas Hukum
Universitas Narotama
ABSTRAK
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu adalah sebagai cara
untuk mencapai Pemilu yang jujur dan adil dilaksanakan dengan menggunakan
hukum pidana, berupa pidana penjara dan kurungan/denda. Penggunaan sanksi
pidana sebagai instrument penegakan hukum merupakan penerapan hukum pidana
dalam upaya menanggulangi kejahatan sebagai bagian dari politik hukum.
Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang baik). Permasalahan
yang dihadapi yaitu bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana
pemilu, bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pemilu yang terdapat didalam
undang-undang nomor 8 tahun 2012, dan bagaimana bentuk pemidanaannya yang
tedapat didalam undang-undang nomor 8 tahun 2012. Metode penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data
sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum
sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian ini
dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian
terhadap data sekunder. Hasil penelitian menjelaskan bentuk-bentuk tindak pidana
pemilu yang terjadi di Indonesia adalah dalam bentuk pelanggaran pelaksanaan
pemilu, serta dalam bentuk kejahatan tindak pidana pemilihan umum dan bentuk
pemidanaan terhadap pelanggaran dan kejahatan pada waktu pemilu. Pengaturan
hukum mengenai tindak pidana pemilu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam
dua kategori yaitu berupa tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai
pelanggaran dari mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 291. Sedangkan tindak
pidana pemilu yang digolongkan kejahatan dari mulai Pasal 292 sampai dengan
Pasal 321 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah beserta segala sifat yang menyertainya.
vii
Kata kunci : Tindak Pidana Pemilu, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu,
Mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilu di Indonesia, UU Pemilu.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusan
Pemilihan umum selanjutnya disebut (pemilu) merupakan bentuk
kehidupan demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga Negara Republik
Indonesia. Istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa atau
government by the people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti
kekuasaan/berkuasa)”1. Pemiluadalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut pendapat dari R. Soesilo mengenai pemilihan menurut UndangUndang umum adalah sebagai berikut, “pemilihan menurut Undang-Undang
umum misalnya pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik pusat
maupun Propinsi, Kabupaten, Kota Besar, Kota Kecil, dsb. Anggota konstituante,
lurah, desa, dan sebagainya”.2
Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sesuai jadwal yang ditetapkan
oleh penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum selanjutnya disebut
(KPU). Pada tahun 2014 lalu masyarakat Indonesia kembali menentukan siapa
sajaDewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut (DPR), Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut (DPRD Provinsi), Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota yang selanjutnya disebut (DPRD Kabupaten/
Kota) dan Dewan Perwakilan Daerahyang selanjutnya disebut (DPD) yang akan
mewakili mereka dalam sistem pemerintahan. Pemilu untuk anggota DPR , DPD ,
dan DPRD adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD kabupaten/ kotadalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945.
1Miriam
budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hl.105
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, P.T Karya Nusantara, Bandung, 1983, hl.28
2
1
2
Indonesia sejak awal telah mempunyai regulasi tentang pemilu. Ini
menunjukkan bahwa betapa pemilu menjadi sangat penting dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Namun, kondisi ideal tersebut tampaknya tidak senantiasa
berjalan mulus tanpa adanya anomali atau fenomena-fenomena yang mencederai
nilai-nilai idealistik dari pemilu tersebut, sejak awal hingga dengan pelaksanaan
pemilu terakhir pun selalu terjadi pelanggaran terhadap norma-norma pemilu.
Kasus yang sering terjadi pada setiap pelaksanaan pemilu adalah kasus
penggelembungan suara dan atau politik uang (money politic) atau bentuk-bentuk
pelanggaran pemilu lainnya. Penggelembungan suara atau politik uang dan
bentuk-bentuk pelanggaran pemilu lainnya adalah suatu tindak pidana.
Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah:
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana merupakan
perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam
pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu
keadaanatau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu”3
Tindak pidana pemilu di Indonesia dalam perkembangannya mengalami
banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana hingga perbedaan
tentang penambahan sanksi pidana. Hal ini disebabkan karena semakin hari tindak
pidana pemilu semakin menjadi perhatian yang seriuskarena ukuran keberhasilan
Negara demokratis dilihat dari kesuksesannya menyelenggarakan pemilu.
Pemerintah kemudian memperketat aturan hukum tentang pemilu dengan semakin
memperberat sanksi pidana untuk pelaku tindak pidana pemilu dengan dibuatnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang selanjutnya disebut (UU Pemilu) sebagai Undang-Undang terbaru
tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU Pemilu juga sebagai aturan
pelaksanaan pemilu yang telah disempurnakan dari Undang-Undang sebelumnya.
3
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hl.54
3
Penjelasan tentang tindak pidana pemilu dinyatakan dalam UU Pemilu
bagian ke-4 (empat) yang mengatur tentang Tindak Pidana Pemilu, dalam pasal
260 UU Pemilu menyatakan, “Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana
pelanggaran dan/ atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
Definisi mengenai tindak pidana pemilu menurut Djoko Prakoso adalah
“setiap orang, badan hukum atau organisasi dengan sengaja melanggar hukum,
mengacaukan menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilu yang
diselenggarakan menurut undang-undang”.4
Berdasarkan uraian dan dasar hukum serta kajian pustaka sebagaimana di
atas, maka yang dipermasalahkan adalah:
1. Apa bentuk-bentuk tindak pidana pemilu ditinjau dari UU Pemilu?
2. Apa bentuk pertanggungjawabanpidana terhadap tindak pidana pemilu
ditinjau dari UU Pemilu?
2. Alasan Pemilihan Judul
Skripsi ini berjudul: “Pertanggung jawaban atas tindak pidana pemilu
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Melihat pentingnya terjaminnya pemilu yang free and fair tersebut, maka penulis
mengambil judul Pertanggungjawaban pidana atas tindak Pemilu Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana pemilu dan
bentuk pemidanaannya ditinjau dari UU Pemilu tersebut.
3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisisbentuk-bentuk tindak pidana pemilu
ditinjau dari UU Pemilu.
2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak pidana
pemilu ditinjau dari UU Pemilu.
4. Manfaat Penelitian
4Djoko
Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, CV. Rajawali, Jakarta, 1987, hl. 148
4
Hasil penelitian dalam tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
bersifat teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan
pemahaman di bidang akademik maupun non akademik terkait dengan
perlindungan pihak-pihak yang turut serta dalam pemilu.
2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran bagi mahasiswa, pemerintah, penegak hukum
maupun sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Berdasarkan permasalahan hukum yang telah diuraikan di atas tersebut,
maka tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Yuridis
Normatif. Metode yuridis normatif yang dimaksud adalah suatu penelitian
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
literatur-literatur lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan sebagai
pendukung.
b. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif,
maka penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan undangundang (statue approach),dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Yang dimaksud dengan statue approach yaitu,“pendekatan yang dilakukan
dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang
berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Peraturan perundang-undangan
dalam hal ini adalah UU Pemilu dan peraturan lain yang ada hubungan
denganmateri yang dibahas. pendekatan secara conceptual approach yaitu suatu
pendekatan yang diperoleh melalui literatur-literatur dan bahan bacaan lainnya
sebagai teori pendukung dari pembahasan skripsi”.5
c.
Bahan Hukum
Sumber atau bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
5Peter
134
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hl.133-
5
-
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
-
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang sifatnya menjelaskan atau
menunjang bahan hukum primer, dalam hal ini adalah pendapat para
sarjana, buku-buku diktat, literatur-literatur, hasil karya tulis ilmiah, serta
bahan tertulis lain.
d. Langkah Penelitian
langkah pengumpulan bahan hukum dalam skripsi ini adalah melalui studi
kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait
dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang
terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk
lebih mudah membaca dan mempelajarinya.
Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang
bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum
yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian
diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga memperoleh
jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya
digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengaitkan pengertian antara
peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.
BAB II
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILU DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN
UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD
2.1 Tujuan, Jenis, dan Asas Pelaksanaan Pemilu
Pemilihan umum selanjutnya disebut (pemilu) merupakan bentuk kehidupan
demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga Negara Republik Indonesia. Istilah
demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa atau government by the
people
(kata
yunani
demos
berarti
rakyat,
kratos/kratein
berarti
kekuasaan/berkuasa)”6. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
a. Tujuan Pemilu
Tujuan Pemilu adalah untuk memilih para wakil yang duduk dalam
pemerintahan atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan
Perwakilan Daerah). Pemilu juga bertujuan memilih Presiden/Wakil
Presiden, dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).Dengan
penyelenggaraan Pemilu menandakan, bahwa sistem pemerintahan kita
menganut sistem demokrasi.
b. Jenis-jenis Pemilu
Ketentuan UUD 1945 hasil amendemen III pasal 22E ayat (2), ada
dua jenis Pemilu. Dua jenis yang dimaksud meliputi :
Pemilu Legislatif, yakni untuk memilih para wakil rakyat (DPR, DPD, dan
DPRD provinsi dan kabupaten/kota).Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
untuk memilih presiden dan wakil presiden7.
c. Asas Pelaksanaan Pemilu
Dalam asas pelaksanaannya, Pemilu dilakukan dengan langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
6
Miriam budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hl.105
Sanit. Sistem politik Indonesia, Rajawali pers, PT Raja Grafindo Fersada, Jakarta, 2000, hl.
7Arbi
23
6
7
Penyelenggara dan Peserta Pemilu
Dalam melaksanakan pemilu tentu saja ada pihak penyelenggara
danada pula pesertanya.
a. Penyelenggaraan Pemilu
Sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 22 E,
penyelenggara Pemilu adalah sebuah organisasi mandiri yang bernama
KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Susunan keorganisasian KPU tersebut adalah sebagai berikut:
1. KPU Pusat, beranggota 11 orang.
2. KPU Provinsi, beranggota 5 orang.
3. KPU Kabupaten/Kota, beranggota 5 orang.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPU Kabupaten/Kota membentuk:
1. PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan)
2. PPS (Panitia Pemungutan Suara)
3. KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)8
b. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPU
1. Tugas dan wewenang KPU adalah :
a. merencanakan penyelenggaraan Pemilu;menetapkan organisasi dan tata
cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
b. mengkoordinasikan,
menyelenggarakan,
dan
mengendalikan
semua
tahapan pelaksanaan
c. menetapkan peserta Pemilu;
d. menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
e. menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan
pemungutan suara;
f. menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
g. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu melaksanakan
tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
2. Kewajiban KPU:
8jimly
asshiddiqie, menegakkan etika penyelenggaraan pemilu, Rajawali Pers, jakarta, 2013, hl 77.
8
a. memperlakukan Pemilu secara adil dan serta guna menyukseskan Pemilu;
b. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundangundangan;
c. memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris
KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
e. melaporkan
penyelenggaraan,
Pemilu
kepada
Presiden
selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR
dan DPR.
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
APBN dan
g. melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
2.3. Syarat-Syarat Peserta Pemilu Menurut UU No. 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DAN DPRD:
1. Peserta Pemilu
Peserta pemilu ada dua macam, yakni partai politik dan perseorangan.
Peserta partai politik dalam Pemilu adalah untuk memilih anggota DPR
dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu peserta
perseorangan dalam Pemilu adalah untuk memilih DPD (Dewan
Perwakilan Daerah)9.
Belum ada (persyaratan lain yang mengatur di luar UU 8 tahun
2012). Kalau ada pengaturan lain di luar Undang-undang, tanggung
jawab penerapannya ada pada parpol tersebut10.
2.4. Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang, serta Pemilu Lanjutan,
dan Susulan
a. Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang
Penghitungan suara dari suatu TPS dapat diulang jika menurut
penelitian dan pemeriksaan, terjadi penyimpangan dalam penghitungan
9Tim
Divaro, Yugha E dkk ,Profil Partai Politik Peserta Pemilu., Erlangga , 2014 ,Jakarta hl. 86
10http://news.detik.com/berita/2154868/ini-dia-syarat-menjadi-caleg-menurut-undang-
undangdiakses pada tanggal 13 juni 2015
9
suara. Sebagai contoh penghitungan dilakukan di tempat tertutup, tidak
ada pengawas, saksi, atau warga masyarakat.
b. Pemungutan suara di TPS dapat diulang jika di suatu tempat terjadi
kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat
dipakai, atau pemungutan tidak dapat dilakukan.
c. Pemilu Lanjutan dan Susulan
Jika dalam suatu daerah terjadi peristiwa yang mengakibatkan
sebagian tahapan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka Pemilu
susulan dilakukan. Pemilu lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan
Pemilu yang terhenti. Sementara itu Pemilu susulan dilakukan
manakala di suatu daerah (pemilihan) terjadi peristiwa yang
menyebabkan semua tahapan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
2.5. Pengawasan dan Pemantauan Pemilu
Agar benar-benar jujur dan adil, maka dalam penyelenggaraan Pemilu juga
diikuti kegiatan pengawasan dan pemantauan.Masing-masing kegiatan tersebut
dilaksanakan oleh Panitia Pengawasan Pemilu dan Badan Pemantau Pemilu.
a.
Pengawasan pelaksanaan pemilu
Panitia Pengawas PemiluPanitia pengawas ini dibentuk oleh KPU.
Tugasnya
menerima
dan
meneruskan
berbagaiaduan
tentang
pelanggaran pelaksanaan Pemilu. Jumlah panitia pengawas Pemilu
adalah :
b.

Panitia pengawas pusat : 9 orang

Panitia pengawas provinsi : 7 orang

Panitia pengawas kabupaten/kota : 7 orang

Panita pengawas Pemilu kecamatan : 5 orang11
Pemantau Pelaksanaan Pemilu
Dalam pelaksanaan Pemilu ada kegiatan pemantauan yang dilaksanakan
oleh “Pemantau Pelaksanaan Pemilu”.Keanggotaan Pemantau ini berasal dari
masyarakat, atau bahkan dari perwakilan pemerintahan dari luar negeri.
2.6. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu Yang Terdapat Di Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
11Kumpulan
Peraturan Pengawasan Pemilu 2004, Panitia Pengawas Pemilu, Jakarta, 2003, hl.100
10
1. Pelanggaran tindak pidana pemilu
Melihat pemberitaan dan iklan masyarakat di Media tentang tindak
pidana Pemilu, muncul pertanyaan di dalam benak masyarakat yang
dimaksud dengan tindak pidana Pemilu. Terdapat beberapa pendapat dan
tafsiran mengenai tindak pidana Pemilu oleh para pakar pidana di
Indonesia, hal ini terjadi karena di dalam Undang-undang (baik KUHP
maupun UU Pemilu) tidak mendefenisikan apa yang dimaksud dengan
tindak pidana Pemilu12.
Adapun bentuk-bentuk tindak pidana pemilu dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun2012 dibagi dalam dua kategori yaitu berupa
tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai
Pasal 273 sampai dengan Pasal 291. Sedangkan tindak pidana pemilu yang
digolongkan kejahatan dari mulai Pasal 292 sampai dengan Pasal 321
beserta segala sifat yang menyertainya.
Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran menurut moeljatno,
yaitu :
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan
(kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan di situ, harus
dibuktikan
oleh
jaksa,
sesangkan
jika
menghadapi
pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu
kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan
culpa.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana
(pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak
dipidana (pasal 60 KUHP).
4. Tenggang daluarsa, baik untuk hak menentukan maupun
hak perjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih
pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah
satu tahun dan dua tahun.
12Ariwibowo,
Op.Cit., hl.45
11
5. Dalam hal perbarengan (concursus) pada pemidanaan
berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana
yang ringan lebih mudah daripada pidana berat13
Bentuk-bentuk
tindak
pidana
pemilu
berupa
pelanggaran
berdasarkan Undang-UndangNomor 8 Tahun 2012 adalah:
1. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri
sendiri atau diri orang lain suatu hal yang diperlukan untuk pengisian
daftar Pemilih sebagaimana tentang diatur dalam Pasal 273.
2. Anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar
pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta
Pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 274.
3. Mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye
Pemilu, sesuai dengan Pasal 275.
4. Pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa yang
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) yaitu
menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta
Pemilu yang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 278.
5. Pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye yang
dengan sengaja maupun karena kelalaian mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat desa atau nama lain/kelurahan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 279.
6. Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar
dalam laporan dana Kampanye Pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal
280.
2. Kejahatan tindak pidana pemilu
“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain
kehilangan hak pilihnya”, sebagaimana diatur dalam Pasal 292.
“Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan,
atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran
13
Moeljatno, op.cit, hl 72
12
Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu
menurut Undang-Undang”, sebagaimana diatur dalam Pasal 293.
“Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK,
PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran
data Pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara,
perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan,
penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan,
daftar pemilih khusus, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan
Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih”, sebagaimana diatur dalam
Pasal 294.
“Setiap anggota KPU Kabupaten/Kota yang sengaja tidak memberikan
salinan daftar pemilih tetap kepada Partai Politik Peserta Pemilu, sebagaimana
diatur dalam Pasal 295.
“Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang
tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dan/atau pelaksanaan
verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, sebagaimana diatur dalam Pasal 296.
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan seseorang, dengan memaksa, dengan menjanjikan atau dengan
memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi
pencalonan anggota DPD dalam Pemilu”, sebagaimana diatur dalam Pasal
297.
“Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap
orang yang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi
bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau
calon Peserta Pemilu”, sebagaimana diatur dalam Pasal 298.
13
“Setiap pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye Pemilu yang
dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 299.
Tindak
pidana
pemilu,
merupakan
tindakan
yang
dalam
Undang-
undangPemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana
pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang
lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara.Perselisihan hasil pemilihan
umum, adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil
suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan
hasil suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Pelanggaran atau kejahatanpada pemilu hanya pada wilayah tindak pidana
pemilu.Pelanggaran atau kejahatan tindak pidana pemilu dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2012 yang terbagi atas pelanggaran dan kejahatan.Mulai dari
Pasal 273 s/d Pasal 321.
BAB III
Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemilu
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2012.
3.1. Pengaturan Pemidanaan
Sebagaimana diketahui bahwa pengertian dari tindak pidana secara
sederhana dapat didefinisikan adalah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan
perundang-undangan diancam dengan pidana.Dengan demikian semua kelakuan
manusia yang diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang
itulah yang disebut dengan tindak pidana.14Jika itu diatur dalam KUHP maka hal
itu biasanya disebutkan dengan tindak pidana umum, dan jika diatur dalam
Undang-undang di luar KUHP biasanya disebut dengan tindak pidana
khusus.Meskipun dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat, khususnya
tentang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP yang
sifatnyahanya mengatur tentang hukum administrasi, yang didalamnya memuat
ketentuan pidana, misalnya Undang-Undang tentang Pemilu ini15.
Pengaturan terkait tindak pidana Pemilu sebenarnya sudah terdapat di
dalam pasal 148 sampai 152 KUHP tentang kejahatan terhadap melakukan
kewajiban dan hak kenegaraan yang dimana memiliki klasifikasi perbuatan
sebagai berikut :
1. Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 148 KUHP).
a. Penyuapan
b. Perbuatan Tipu Muslihat
c. Mengaku Sebagai Orang Lain
d. Menggagalkan Pemungutan Suara yang Telah Dilakukan atau Melakukan
Tipu Muslihat
3.2 Ketentuan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pemilu
Tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan atau kejahatan
terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012.Pelanggaran tindak pidana merupakan tindakan
yang dalam Undang-undang Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai
14Definisi tindak pidana ini dikemukakan oleh H.B.Vos yang merupakan salah satu dari sekian
banyak defi nisi yang dikemukakan oleh para Sarjana. Lihat Sudarto. Hukum Pidana I. (Semarang: Yayasan
Sudarto, 1990) hl. 42. Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hl. 66.
15Andi Hamzah. Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Rineka Cipta. 1991. hl. 1-5.
14
15
contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain,
menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara. Dengan
definisi pelanggaran tindak pidana yang telah dipaparkan tersebut diatas, maka
daridefinisi tersebut terbagi menjadi dua mengenai pelanggaran tindak pidana
pemilu di antaranya yaitu16:
a. Tindak pidana pemilu khusus adalah tindak pidana yang berkaitan dengan
pemilu dan dilaksanakan dan diselesaikan pada tahapan penyelenggaraan
pemilu baik yang diatur dalam undang-undang pemilu maupun undangundang tindak pidana pemilu. Dengan demikian maka semua jenis
pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana,
termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi, dimana pelanggaran
administrasi pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya.
b. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan
dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik
yang diatur dalam undang-undang pemilu maupun undang-undang tindak
pidana pemilu dan menyelesaikannya diluar tahapan pemilu. Maka proses
penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak
hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Penyelesaian
pelanggaran pidana pemilu dilaksanakan melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Penegak hukum yang berperan dalam
penyelesaian tindak pidana pemilu adalah kepolisisan, kejaksaan, dan
pengadilan. Dalam pemilu,
kepolisisan bertugas
dan
berwenang
melakukan penyidikan terhadap laporan atau temuan tindak pidana pemilu
yang diterima dari pengawas pemilu dan menyampaikan berkas perkara
kepada penuntut umum sesuai waktu yang ditentukan. Penuntut umum
bertugas dan berwenang melimpahkan berkas perkara tindak pidana
pemilu yang disampaikan oleh penyidik atau polri ke pengadilan sesuai
waktu yang ditentukan. Perkara tindak pidana pemilu diselesaikan oleh
peradilan umum, di tingkat pertama oleh pengadilan negeri, di tingkat
banding dan terakhir oleh pengadilan tinggi. Pengadilan negeri dan
16Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif Dalam Perpektif Hukum di
indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2013, hl. 212.
16
pengadilan tinggi memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak
pidana pemilu menggunakan kitab Undang-Undang Acara Pidana
(KUHAP), ditambah beberapa ketentuan khusus dalam undang-undang
pemilu. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim khusus, yaitu hakim karir yang
ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara pidana pemilu. Putusan pengadilan tinggi tidak dapat dilakukan
upaya hukum lain17.
3.3Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak PidanaPemilu
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
Pengertian perbuatan pidana telah menjelaskan bahwa dalam istilah
tersebut tidak termasuk hal pertanggungjawaban.Perbuatan pidana hanya
menggolongkan perbuatan yang dilarang beserta sanksi pidananya apabila
perbuatan tersebut dilakukan.Sedangkan mengenai apakah seseorang yang
melakukan perbuatan dapat dipidana atau tidak, hal tersebut bergantung dari soal
apakah dalam melakukan perbuatan ini, pembuat mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana mempunyai asas, “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum, nisi mens sit rea). Asas
ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tetapi dalam hukum yang tak tertulis yang
juga di Indonesia berlaku”.18 Mengenai seseorang yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban Roeslan Saleh menjelaskan:
“Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.Manakala dia tidak mempunyai
kesalahan, walaupun dia melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia
tentu tidak dipidana.Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya seseorang
bukan bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak,
melainkan pada apakah seseorang tersebut tercela atau tidak karena telah
melakukan perbuatan pidana itu.Dapat juga dikatakan, dasar dari pada adanya
perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa
sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa
17
Ibid 230
18Moeljatno,
Op.Cit, hl.153
17
yang melakukannya sedangkan dasar dari pada dipidananya seseorang adalah
asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.19
Melihat penjelasan pertanggungjawaban diatas maka untuk dapat
dipidananya seseorang harus terdapat kesalahan atau seseorang tersebut tercela
karena telah melakukan perbuatan pidana, hal-hal apa saja yang dapat menentukan
adanya kesalahan adalah sebagai berikut:
“Hal pertama yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan
perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut
masalah kemampuan bertanggungjawab.Hal kedua yaitu mengenai hubungan
antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah
kesengajaan
kealpaan,
serta
bertanggungjawab.Selanjutnya,
alasan
tidaklah
pemaaf
sehingga
mampu
gunanya
untuk
ada
mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatannya apabila perbuatannya
itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, dapat pula dikatakan harus ada
kepastian tentang adanya perbuatan pidana kemudian semua unsur-unsur
kesalahan tadi harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan”.20
Setelah diuraikan mengenai pertanggungjawaban pidana dapat dipahami
bahwa seseorang untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya
harus terdapat kesalahan, ada beberapa syarat untuk dapat mengatakan seseorang
memiliki kesalahan. Kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus
memenuhi unsur-unsur:
1. Adanya perbuatan melawan hukum (perbuatan pidana);
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya perbuatan pidana menurut
Moeljatno sebagai berikut:
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut.Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
merupakan perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,
asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan
(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
19Roeslan
Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam
Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hl. 75-76
20Ibid., hl.78-79
18
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya
kejadian itu”.21
2. Mampu bertanggungjawab;
Ada beberapa faktor mengenai pengertian bertanggungjawab berdasarkan
Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP, menurut S.R Sianturi faktor-faktor seseorang
mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) adalah:
a. “Keadaan jiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
(temporair);
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya);
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap.
Pengaruh bawah-sadar/ reflexe beweging, nelindur/ sleep wandel,
mengigau karena demam/ koorts, nyidam dan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Kemampuan
bertanggungjawab
didasarkan
pada
keadaan
dan
kemampuan jiwa (geestelijke) dan bukan kepada keadaan dan
kemampuan berfikir (verstandelijke vermogens) dari seseorang”.22
3. Mempunyai salah satu bentuk kesalahan yaitu kesengajaan atau kealpaan;
Kesengajaan dan kealpaan merupakan bentuk-bentuk kesalahan, apabila
tidak ada satu diantara keduanya berarti tidak ada kesalahan, sesuai dengan asas
yang tidak tertulis yang menyatakan tidak ada kesalahan maka tidak dapat
dipidana. Tentang arti kesengajaan, tidak ada keterangan secara eksplisit dalam
KUHP, namun dalam Memorie van Toelicting yang selanjutnya disebut (MvT)
terdapat definisi opzet sebagai berikut, “pidana umumnya hendaknya dijatuhkan
21Moeljanto,
22E.Y.
Loc.Cit., hl. 54
Kanter dan S.R Sianturi, Op.Cit., hl. 249-250
19
hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki
dan diketahui.”23
Mengenai kesengajaan yang dikehendaki dan diketahui menurut A. Fuad
Usfa terdapat 2 (dua) paham di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana yaitu:
1. “Teori kehendak (wils-theories)
Paham ini menafsirkan kesengajaan sebagai bentuk kehendak.Menurut
paham ini, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan untuk
menimbulkan suatu akibat, yang dikehendaki orang tersebut bukan dengan
perbuatannya saja, tetapi juga dari perbuatan itu. Jalan pikiran ini
memberikan seseorang, bahwa apabila orang itu tidak menghendaki
timbulnya akibat perbuatannya, dengan demikian orang tersebut tidak akan
melakukan perbuatan itu.
2. Teori menghubungkan (voorstellings theories)
Sementara dalam teori ini, “akibat” tidak dapat dikehendaki, akibatnya
hanya dapat “diharapkan/ dibayangkan”.Para pengikut voorstellings
theories berpendapat, bahwa suatu dugaan terhadap kemungkinan
timbulnya suatu akibat karena perbuatan seseorang itu, tidak dengan
begitu saja boleh dianggap sebagai opzet, melainkan harus dilihat terlebih
dahulu apakah kesadaran akan kemungkinan timbulnya suatu akibat itu
telah tidak menyebabkan si pelaku membatalkan perbuatannya”.24
Kesengajaan mengenal beberapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Opzet sebagai Tujuan
Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan
dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang menjadi tujuan si
pelaku.Atau dalam hal delik materiil, bila seorang melakukan perbuatan
itu dengan sengaja untuk menimbulkan akibat, sedang akibat itu memang
tujuan dari si pelaku.
2. Opzet dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan.
Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang mempunyai tujuan untuk
menimbulkan suatu akibat tertentu.Tetapi disamping akibat yang dituju
23Moeljatno,
24A.
Op.cit., hl. 171
Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi, UMM Press, Malang, 2006, hl. 82
20
tersebut si pelaku insyaf menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan
untuk mencapai/ menimbulkan akibat lain (yang tidak dikehendaki).
3. Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan atau dolus eventualis.
Opzet ini disbut juga opzet dengan syarat (scorwaardelijk opzet). Jenis
opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan
maksud untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, tetapi orang tersebut
sadar bahwa apabila ia melakukan perbuatan untuk mencapai akibat
tertentu itu, perbuatan tersebut “mungkin” menimbulkan akibat lain yang
juga dilarang dan diancam pidana atau undang-undang. Terhadap akibat
lain, mana, bukan merupakan tujuan yang dikehendaki tetapi harus
disadari kemungkinan terjadinya.
Perbedaan antara opzet dengan tujuan pasti dengan opzet dengan
kesadaran akan kemungkinan tidaklah nampak secara jelas. Batas kedua
opzet tersebut sangat tipis dan tidak pasti (kabur).”25
Selain adanya kesengajaan untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban
kepada seseorang atas perbuatannya, tetapi disamping kesengajaan orang juga
dapat dipidana karena kesalahannya yang berbentuk kealpaan. Mengenai kealpaan
ini keterangan resmi dari pihak W.v.S (Smidt 1-825) adalah sebagai berikut:
“Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak
terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahayanya
terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi
menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap
mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek yang
menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang
menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang laranganlarangan tersebut: dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang
terlarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat
25Ibid.,
hl. 83-84
21
sehingga
menimbulkan
hal
yang dilarang ialah bahwa ia kurang
mengindahkan larangan itu”.26
Kealpaan itu mengandung 2 (dua) syarat menurut Van Hamel, “yang
pertama adalah tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh
hukum, lalu yang kedua ialah tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana
diharuskan oleh hukum”.27
Andi Hamzah menjelaskan bahwa delik culpa dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu:
“delik kelalaian dalam rumusan Undang-Undang ada 2 (dua) macam yaitu
delik kelalaian culpa yang menimbulkan akibat (culpose gevolgsmisdjriven)
dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi diancam dengan pidana ialah
perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri. Perbedaan antara keduanya sangat
mudah dipahami, yaitu kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat, dengan
terjadinya akibat maka terciptalah delik kelalaian (culpa), sedangkan bagi
yang tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian atau kekurang hatihatian itu sendiri sudah diancam dengan pidana”.28
4. Tidak adanya alasan pemaaf
Penggunaan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf sebenarnya
tidak ada didalam KUHP, dalam KUHP hanya menyatakan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan
kesalahan seseorang karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, namun
orang tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan, walaupun
perbuatan itu merupakan perbuatan pidana. Roeslan Saleh memberikan penjelasan
mengenai
alasan
pemaaf
sebagai
berikut,
“dalam
hal
tidak
mampu
bertanggungjawab keadaan bathinnya tidak normal adalah karena organ bathinnya
memang tidak normal, sedangkan dalam hal alasan pemaaf funtie bathinnya yang
tidak normal, dan ini disebabkan karena keadaan dari luar”.29
Sehubungan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang
melakukan perbuatan pidana namun tidak dapat dipidana, A.Fuad Usfa
menjelaskan sebagai berikut:
26Moeljatno,
Op.Cit., hl. 198
hl. 217
28Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hl.129
29Roeslan Saleh, Op.Cit., hl. 81
27Ibid.,
22
“Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah
melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipidana dapat terletak pada
orangnya sendiri yang diatur dalam pasal 44 KUHP (karena tidak mampu
bertanggungjawab yang disebabkan karena jiwanya terganggu oleh suatu
penyakit atau karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna/ cacat dalam
tubuhnya).Selain dari dalam dapat juga disebabkan karena sebab dari luar
(diri) orang yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam:
a. Pasal 48 tentang daya paksa (overmacht);
b. Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa (noodweer);
c. Pasal 50 tentang menjalankan undang-undang;
d. Pasal 51 tentang menjalankan perintah jabatan”.30
Apabila seluruh unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana tersebut terpenuhi
oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka orang tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahannya.Adapun bentuk-bentuk
pemidanaan yang dapat diberikan kepada seseorang yang telah melakukan
perbuatan pidana, hal tersebut tergantung bagaimana rumusan yang ada didalam
peraturan perundang-undangan. Bentuk-bentuk pidana menurut Pasal 10 KUHP
adalah sebagai berikut:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati,
2. Pidana penjara,
3. Pidana Kurungan,
4. Pidana Denda,
5. Tutupan,
b. Pidana Tambahan:
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.
30A.
Fuad Usfa, Op.Cit., hl. 92
23
Bentuk pemidanaan untuk Tindak Pidana Pemilu yang berbentuk
pelanggaran, antara lain yaitu:
Pasal 273 UU Pemilu, subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana
menurut pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan
pasal ini adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 274 UU Pemilu, subyek hukuman yang dapat dikenakan sanksi pidana
menurut pasal ini adalah setiap anggota PPS atau PPLN. Bentuk pemidanaan
berdasarkan pasal ini adalah pidana kurungan paling lama 6(enam) bulan dan
denda paling banyak 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 275 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut
pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini
adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Bentuk pemidanaan untuk Tindak Pidana Pemilu yang berbentuk
kejahatan, antara lain yaitu:
Pasal 292 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut
pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini
adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
Pasal 293 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut
pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini
adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
Pasal 294 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut
pasal ini adalah setiap anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK,
PPS, dan PPLN. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini adalah
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanggungjawaban pidana adalah
diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif
kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena
24
perbuatannya tersebut31. Dengan demikian dasar adanya tindak pidana adalah asas
legalitas , sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
31Wirjono
2003 hl 13.
Prodjodikoro. Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Refika Aditama, Bandung,
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan analisa yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana pemilu ditemui di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam dua kategori yaitu berupa
tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai
pasal 273 sampai dengn pasal 291 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Sedangkan tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai kejahatan dari
mulai pasal 292 sampai dengan pasal 321 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012.
2. Penerapan pertanggungjawaban terhadap Undang – Undang Nomor 8
Tahun 2012 harus terwujud dengan ketentuan Undang – Undang yang
unsur – unsur didalamnya telah ada pembuktiannya untuk memenuhi
unsur tindak pidana pemilu. Pilihan terhadap sistem pemilu harus
memperhatikan implikasi dan berusaha mengantisipasi akibat – akibat dari
kompleksitas faktor secara komprehensif. Tidak ada sistem pemilu yang
sempurna dan berjalan lancar tanpa kendala, kunci utama dalam sistem
pemilu
adalah
mengoptimalkan
pencapaian
tujuan
pemilu
dan
mempersempit akibat negatif pemilu. Hemat penulis, implementasi dari
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD masih belum mencapai hasil yang
maksimal. Proses penanganan tindak pidana merupakan yang terdiri dari 3
(tiga) lembaga hukum yakni panwaslu , kepolisian dan kejaksaan . Ketiga
lembaga tersebut menangani temuan dan laporan yang telah panwaslu
terima sebelumnya dari masyarakat. Misalnya, ada beberapa kasus yang
diteruskan oleh pengawas Pemilu, tapi ditolak Kepolisian karena dinilai
tidak cukup bukti. Potensi pelanggaran pidana Pemilu cukup tinggi dalam
setiap tahapan Pemilu 2014. Dengan demikian, diperlukan satu langkah
25
26
preventif dan terpadu antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan untuk
mengatasi potensi pelanggaran yang mungkin terjadi
pada proses
penanganan tindak pidana memberikan solusi agar suatu pelanggaran dan
kejahatan tindak pidana pemilu mendapatkan penanganan yang lebih
menjamin suatu kepastian hukum.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan sesuai hasil penelitian yang penulis
peroleh sebagai berikut :
1. Perlunya pengkajian lebih spesifik lagi tentang prosedur pengananan
tindak pidana pemilu sesuai dengan dasar penyelenggarannya yang
termuat dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012. Penulis
mengharapkan penerapan hukum untuk kasus tindak pidana pemilu harus
lebih mengutamakan pemberian efek jera agar pelaku tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi karena dapat kita lihat pada prakteknya,
pidana penjara masih sangat sulit diterapkan yang ada hanyalah hukuman
percobaan yang menurut penulis itu masih belum bisa dikatakan
memberikan efek jera bagi pelaku.
2. Akan lebih baik lagi apabila Standar Operasional Prosedur pola
penanganan tindak pidana Pemilu ini dapat menyelesaikan tindak pidana
Pemilu secara objektif, cepat, sederhana, dan memenuhi rasa keadilan.
Penulis berharap akan lebih baik lagi dengan adanya perbaikan dari
Standar Operasional Prosedur tentang Tindak lanjut dari hasil rapat
bersama yang digelar oleh Sentra Penegakan Hukum terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Ardianto, Elvinaro dkk, Komunikasi Massa, Suatu pengantar, Simbiosa
Rakatama Media, Bandung, 2007
Ariwibowo, Negara, Pemilihan Umum dan Demokrasi, Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005
Asshiddiqie, Jimly, Menegakkan Etika Penyelenggaraan Pemilu, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013
Azed,Abdul Bari,Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan
Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
Cahyono,Heru et al,Menabur Uang, Menuai suara. ACILS.Jakarta. 2000
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2013
Hamzah, Andi,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
-----------------Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Rineka
Cipta. 1991
Hidayat, Komarudin,Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Huda, Ni’MatuHukum Tata Negara. PT.Raja Grafido Persada, Jakarta,
2010
Janedjri, M.Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Konpress, Jakarta, 2012
Kartawidjaja, Pipit rochijat, alokasi kursi, kadar keterwakilan penduduk
dan pemilih, Jakarta,ELSAM, 2003
Kumpulan Peraturan Pengawasan Pemilu 2004, Panitia Pengawas Pemilu,
Jakarta, 2003
Lutfi, Mustafa,Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia,UII Press,
Yogyakarta, 2010
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2013
27
28
Mashudi, Pengertian-pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum
Pemilihan Umum di Indonesia Menurut UUD 1945, Mandar Maju,
Bandung, 1993
Miriam, Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008
Muhtadi, Buhanuddin,Perang Bintang 2014, Noura Book, Jakarta, 2013
Mulyadi, Dedi,Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif Dalam
Perpektif Hukum di indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2013
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Panwas Pemilu, Buku Saku Pedoman Operasional Pengawas Pemilu
2004, Jakarta, 2004
Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Pemilu, CV. Rajawali, Jakarta, 1987
Sanit, ArbiSistem politik Indonesia, Rajawali pers, PT Raja Grafindo
Fersada, Jakarta, 2000
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua
Pengertian Dasar-Dasar Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983
Santoso, Topo, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Supriyanti, Didik dan Lia Wulandari, Basa-Basi Dana Kampanye:
Pengabaian Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu,
Yayasan Perludem, Jakarta
Tim Divaro, Yugha E dkk ,Profil Partai Politik Peserta Pemilu.,
Erlangga ,Jakarta, 2014
Usfa, A.Fuad, Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi, UMM Press,
Malang, 2006
Wahidin, Samsul,Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
INTERNET
29
http://news.detik.com/berita/2154868/ini-dia-syarat-menjadi-caleg-menurutundang-undang
www.Rumahpemilu.com diakses pada tanggal 13 juni 2015
www.Mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 14 juni 2015
Download