Etika Politik Demokrasi Industrial

advertisement
ETIKA POLITIK DEMOKRASI INDUSTRIAL
Oleh Adde M Wirasenjaya
Perbedaan mendasar dari sistem demokrasi dan yang nir-demokrasi adalah dalam hal
dari mana kekuasaan berakar. Pada sistem kerajaan dan otoriter kekuasaan berakar ke atas,
sementara demokrasi membuat kekuasaan (seharusnya) berakar ke bawah. Dengan semangat
vox poplui vox Dei -- suara rakyat suara Tuhan --, demokrasi memberi tempat bagi posisi
publik sebagai pusat akuntabilitas kekuasaan. Dari gagasan ini, demokrasi diikhtiarkan untuk
mengembangkan akar sosial kekuasaan. Siklus demokrasi sebagai bentuk terakhir sistem
politik dalam peradaban umat manusia semata-mata karena dalam demokrasi suara rakyat
dihargai. Demokrasi memberi ruang tegur sapa yang lebih luas antara penguasa dan yang
dikuasai, antara pejabat dan kawula, antara pemimpin dan yang dipimpin. Dari sisi ini
demokrasi seharusnya memberikan frame yang lebih baik dalam soal etika politik.
Namun sejarah juga mencatat bahwa watak demokrasi akan banyak ditentukan oleh
struktur-struktur dominan dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang menopangnya. Pada
masa-masa awal, demokrasi banyak ditopang oleh kalangan cerdik-pandai dan kalangan yang
tercerahkan alias terdidik. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, struktur yang menopang
demokrasi itu mengalami perubahan secara drastis dan radikal. Kaum terdidik mulai
tersingkir. Sebagai gantinya tampilnya aktor-aktor demokrasi dari dunia bisnis dan industri.
Demokrasi masa kini adalah demokrasi industrial yang dimpin oleh dunia korporasi
(corporate-led democracy).
Transformasi demokrasi membawa implikasi besar pada makin mengambangnya akar
sosial demokrasi. Para pemimpin boleh jadi lahir dari sistem demokratis, namun kompleks
industri demokrasi (democracy industrial complex) telah mengelabui massa atas penguasa
yang tampil memimpin sebuah negara. Dalam topangan kompleks industri tersebut,
demokrasi sedang mengalami proses borjuasi yang bukan saja membawa dampak pada watak
kekuasaan, tetapi juga pada moralitas politik yang berkembang di dalamnya. Moralitas politik
saat ini ditentukan oleh kekuatan modal. Inilah yang dapat menjelaskan sejumlah fenomena
politik mutakhir seperti pertumbuhan partai, perilaku elite, pola koalisi serta kualifikasi aktor
dalam panggung politik di tanah air.
1
Demokrasi bazaar
Di negeri ini, proses borjuasi demokrasi mulai menguat sejak reformasi berlangsung.
Berlanjut dengan penyebaran demokrasi di tingkat lokal, semakin menyebar pula proses
borjuasi demokrasi ke berbagai level politik di negeri ini. Institusi penopang demokrasi
utama seperti partai politik, adalah lembaga yang nampaknya cukup kuat terseret arus
borjuasi baik dilihat dari sosok-sosok utama yang muncul maupun dari proses politik yang
mengiringinya. Partailah yang mengkontuksi aktor politik dan menempatkannya dalam
instalasi politik di luar dirinya, seperti parlemen dan pemimpin politik di pusat dan daerah.
Hiruk-pikuk kongres partai selalu dipenuhi oleh ekstravaganza modal. Janji politik
seolah-olah ada dan hidup dalam limpahan modal yang dimiliki seorang tokoh atau golongan.
Komunitas epistemik yang memberi warna ideologis serta identitas partai mulai tersingkir,
digantikan oleh para pengepul politik yang mencari figur-figur yang bisa meraup massa
dengan cepat. Di tengah demokrasi bazaar, kaum elite politik adalah kalangan pemulung
massa.
Meskipun lahir dari produk demokrasi langsung, kaum elite politik kita hari ini sering
dikritik sebagai kaum yang tidak memiliki akar sosial yang jelas, terutama rekam jejak
mereka dalam dunia politik. Demokrasi substansial yang dibayangkan akan melahirkan aktoraktor politik dengan kualifikasi yang berakar dalam kehidupan sosial, nampaknya mulai
digantikan oleh demokrasi industrial yang ditopang oleh kuasa modal.
Apakah pilihan pada demokrasi merupakan kesalahan politik? Rasanya tidak. Selama
demokrasi memiliki instalasi politik dan mekanisme politik yang berakar pada kehidupan
sosial masyarakat, ia adalah sistem politik yang paling mungkin diterapkan di tengah
masyarakat heterogen seperti Indonesia.
Demokrasi
kini
diam-diam
sedang
mengalami
semacam
involusi.
Dalam
perkembangannya kini, demokrasi bergerak ke dalam logika yang amat teknis. Dan kini
logika itu perlahan-lahan mulai berubah. Gagasan demokrasi terus saja diproduksi, tetapi
apakah ia memberi tempat bagi legitimasi dari masyarakat, menjadi problem dasar demokrasi
di hampir semua negara saat ini, tidak terkecuali di Indonesia.
Sialnya, dalam industri demokrasi tersebut tumbuh berbagai bentuk rasionalitas baru
yang mengandaikan bahwa demokrasi tetap kokoh berdiri dan setiap penguasa yang tumbuh
di dalamnya seperti tengah melantunkan lagu emang gue pikirin. Jejaring media, saintisme
politik yang disajikan lembaga jajak pendapat, serta imagologi iklan politik mencoba
menebar bentuk rasionalitas baru tersebut. Begitu takjub – dan kadang terasa ajaib -- melihat
konstruksi tentang “tokoh politik” baru lahir tanpa pernah punya jejak politik yang jelas,
2
tentang calon pemimpin lahir tetapi hikayat kepemimpinannya sungguh miskin. Bahkan,
melalui pencitraan dari mesin media, kepemimpinan yang buruk pada masa lalu melulu
dianggap nostalgia politik.
Aristoteles pernah memberikan warning ketika demokrasi yang bebas memunculkan
tokoh-tokoh yang memiliki legitimasi secara politik, tetapi tidak punya legitimasi secara
sosial. Filsuf ini menyebutnya dengan istilah mobokrasi – suatu bentuk deviasi dari
demokrasi yang hanya menghasilkan orang-orang bodoh sebagai pemimpin atau kaum
elite.***
3
Download