APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Simulasi Dinamika Aliran Turbulen Pada Flat Plate Boundary Layer Menggunakan Turbulent Model k – ε (Standard, Realizable, RNG) Setyo Hariyadi 1-11 Pengujian Kualitas Part Komposit Pesawat Terbang Menggunakan Metoda Non Destructive Inspection Handoko Subawi, Hartono 12-19 Kajian Teknis Hasil Pemasangan Vhf-Er Ground To Air 20-25 (Studi Kasus : VHF A/G-ER Berau Sebagai Perpanjangan VHF A/G Tarakan) Johan Wahyudi Rancang Bangun High Gain Low Noise Amplifier Untuk 26-38 Meningkatkan Sensitifitas Receiver Pada Vhf Air Ground Communication Muh Wildan, Ibnu Hermawan, Akhmad Teguh Prihandoyo Sistem Baterai Charging pada Solar Energy System dengan Buck Boost Converter untuk Berbagai Tingkat Pencahayaan Di Bandar Udara Suwito, Suhanto, Kustori 39-48 1-48 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Simulasi Dinamika Aliran Turbulen Pada Flat Plate Boundary Layer Menggunakan Turbulent Model k – ε (Standard, Realizable, RNG) Setyo Hariyadi S.P.1,2 1) Laboratorium Mekanika dan Mesin Fluida Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia 2) Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan Surabaya Jemur Andayani I/73 Wonocolo Surabaya 60236 Indonesia Telp. 031-8410871 Email: [email protected] Abstrak Aliran turbulen banyak dijumpai pada kehidupan kita sehari-hari baik di dunia industri, rumah tangga maupun di alam. Besaran-besaran di dalam aliran turbulen terdiri atas komponen rata-rata dan komponen fluktuasi. Di dalam aliran turbulen besaran-besaran seperti kecepatan, densitas, temperatur, entalpi mengalami fluktuasi. Fluktuasi besaranbesaran ini berperan sangat penting terhadap energi kinetik aliran berikut besaran lain yang merupakan derivasi dari fluktuasi tersebut. Studi numerik telah dilaksanakan untuk menguji kinerja aerodinamis pada plat datar dengan menggunakan beberapa turbulen model k – ε (Standard, Realizable, RNG). Kecepatan freestream yang digunakan yaitu kecepatan 10 m/s dan pada kondisi udara standard. Parameter yang dievaluasi meliputi distribusi tekanan, intensitas turbulensi dan turbulence spectra. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan penggunaan turbulent model k – ε Realizable menghasilkan yang terbaik dibandingkan turbulent model yang lain. Kata Kunci: Aliran turbulen, studi numerik, distribusi tekanan, intensitas turbulensi dan turbulence spectra Abstract Turbulent flow is found in our daily life both in the industrial world, household and in nature. The quantities in the turbulent flow consist of average components and fluctuation components. In turbulent currents such as speed, density, temperature, enthalpy fluctuate. This magnitude fluctuation plays a very important role in the kinetic energy of the flow following the other quantities which are the derivation of the fluctuations. Numerical studies have been performed to test aerodynamic performance on flat plates by using some turbulent models k - ε (Standard, Realizable, RNG). Freestream speed used is 10 m/s and in standard air condition. The parameters evaluated include pressure distribution, turbulence intensity and turbulence spectra. From the research it is found that with the use of turbulent model k - ε Realizable produce the best compared to turbulent other model. Keywords:turbulent flow, numerical study, pressure distribution, turbulence intensity and turbulence spectra PENDAHULUAN Suatu fluida yang melewati suatu kontur (baik datar maupun lengkung) akan membentuk suatu lapisan batas. Lapisan batas tersebut terbentuk akibat gesekan yang terjadi antarapermukaan benda dengan fluida. Dareah yang paling besar pengaruh gesekannya terhadap fluida terjadi APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X pada permukaan benda, dimana pada daerah ini kecepatan fluida adalah nol. Semakin menjauh dari permukaan, gaya gesek ini akan semakin melemah hingga batas dimana pengaruh gaya gesek terhadap fluida tidak ada. Daerah dimana pengaruh gaya gesek terhadap fluida tidak ada disebut dengan daerah freestream. Dengan adanya perubahan tekanan (pressure gradient) yang seiring dengan bertambahnya jarak maka akan berpengaruh pada kondisi boundary layer. Pada gambar 1 ditunjukkan bagaimana pengaruh pressure gradient terhadap kondisi boundary layer. Terdapat 3 daerah (region) pressure gradient sebagai berikut: ο· Region 1 (favorable pressure gradient), merupakan daerah terjadinya penurunan tekanan dikarenakan adanya pengecilan luas penampang yang berdampak pada peningkatan kecepatan fluida sehingga gradien tekanan yang terjadi negatif, ππ (ππ₯ < 0). ο· Region 2 (zero pressure gradient), merupakan daerah yang memiliki luas penampang yang konstan (constant area) sehingga gradien tekanan bernilai nol, ππ (ππ₯ = 0), namun tidak menyebabkan aliran fluida berhenti. ο· Region 3 (adverse pressure gradient), merupakan daerah terjadinya penurunan kecepatan karena membesarnya luas penampang sehingga akan terjadi peningkatan tekanan dan gradien tekanannya ππ menjadi positif, (ππ₯ > 0). Vol. 1 No. 1 April 2017 Gambar 1. Perkembangan boundary layer akibat pengaruh pressure gradient(Fox, et al, 2004) Apabila ditinjau mengenai kondisi partikel fluida di dekat area flat plate, maka dapat dijelaskan bahwa terjadi akumulasi tegangan geser pada partikel tersebut. Akumulasi shear stress ini berlaku untuk semua pressure gradient region. Kondisi ini tidak berdampak banyak pada daerah favorable pressure gradient (region 1), karena tekanan pada inlet region lebih besar daripada tekanan outlet maka aliran dapat mengalir dengan lancar dan mengalami peningkatan kecepatan. Dalam kondisi ini partikel fluida dapat dianalogikan sedang menuruni sebuah bukit yang curam, sehingga dengan mudahnya partikel fluida tersebut bergerak pada region ini. Pada region 2 (δp/δx=0), akumulasi tegangan geser tersebut berdampak pada penurunan momentum aliran sebagaimana tampak pada gambar 22. Region 3merupakan daerah yang paling tidak disukai oleh aliran, karena tekanan di inlet region lebih kecil daripada tekanan outlet region. Pada region 3 partikel fluida seakan dipaksa untuk mendaki bukit yang curam. Aliran tidak memiliki cukup energi untuk melanjutkan perjalanan (defisit momentum) sehingga partikel fluida akan terdefleksi keluar dari boundary atau dapat dikatakan bahwa aliran mengalami separasi. Akibat tekanan outlet yang tinggi, maka terjadi aliran balik dari outlet menuju inlet region yang biasa disebut dengan peristiwa backflow. Reynolds number memiliki pengaruh yang penting dalam proses terjadinya separasi. Semakin besar Reynolds number, maka aliran akan semakin turbulen. Profil aliran turbulen lebih uniform sehingga momentum aliran di dekat dinding lebih besar. Hal ini mengakibatkan aliran lebih tahan terhadap tegangan geser dan adverse pressure gradient sehingga separasi bisa tertunda. 2 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Tidak seperti profil aliran laminar, profil aliran turbulen sangat dipengaruhi oleh kekasaran permukaan. Semakin kasar suatu permukaan, maka tegangan geser yang terjadi juga semakin besar. Karena adanya tegangan geser yang besar maka momentum aliran menjadi banyak berkurang sehingga tidak dapat lama menahan adverse pressure gradient, akibatnya aliran dalam diffuser menjadi lebih mudah atau cepat terseparasi. Distribusi tekanan yang terjadi pada kontur benda bisa dinyatakan dalam bilangan tak berdimensi yang disebut koefisien tekanan. Koefisien tekanan (Cp) adalah selisih antara tekanan statis lokal dan tekanan statis freestream dibagi dengan tekanan dinamis. π − π∞ πΆπ = 1 2 ππ∞ 2 dimana: p = tekanan statis lokal pο₯ = tekanan statis freestream U∞ = kecepatan freestream. Walaupun kebanyakan aliran real adalah aliran turbulen, namun aliran laminer melintasi pelat datar dapat digunakan sebagai bahan validasi dalam simulasi numerik. Solusi untuk laminar boundary layer pada pelat datar, tersedia baik secara analitis maupun empirik oleh Blasius (1908). Solusi ini dapat digunakan untuk memvalidasi software CFD. Sedangkan untuk Turbulent Boundary Layer tidak memiliki solusi eksak dan kebanyakan parameter solusi untuk aliran turbulen diperoleh dari hasil eksperimen. Secara umum, ketika fluida mengalir melewati sebuah benda selain plat datar, medan tekanan tidak seragam. Distribusi tekanan yang terjadi pada plat datar cenderung linear dan tidak bervariasi sebagaimana yang terjadi pada silinder. Untuk aliran-aliran yang efek inersianya relatif besar terhadap efek viskos (yaitu aliran dengan bilangan Reynolds besar), perbedaan tekanan π − π∞ berbanding langsung dengan tekanan Vol. 1 No. 1 April 2017 dinamik 1 2 2 ππ∞ dan koefisien tekanan tidak bergantung bilangan Reynolds. (Munson, 2009). Intensitas turbulensi I adalah perbandingan antara akar rata-rata dari fluktuasi kecepatan u’ terhadap kecepatan rata-rata uavg. Intensitas turbulensi sebesar 1 % atau kurang dianggap rendah, sedangkan intesitas turbulensi sebesar 10 % atau lebih dianggap cukup besar. Idealnya untuk pengambilan data harus diberikan estimasi intensitas turbulensi yang baik pada inlet boundary. Simulasi yang dilakukan dengan sebuah wind tunnel, intensitas freestream sesuai dengan karakteristik wind tunnel. Pada simulasi CFD intensitas turbulensi pada inlet secara umum dapat diperkirakan dari beberapa contoh berikut: ο· High turbulence case, yaitu aliran dengan kecepatan tinggi pada geometri yang kompleks seperti alat penukar kalor, turbin, dan kompressor. Intensitas turbulensi pada kasus ini antara 5% - 20%. ο· Medium turbulence case, yaitu aliran yang melalui pipa besar atau aliran dengan Re rendah. Intensitas turbulensi pada kasus ini antara 1% - 5% ο· Low turbulence case, yaitu aliran melintasi mobil, kapal dan pesawat. Intensitas turbulensi pada kasus ini dapat di bawah 1%.(Fluent Inc, 2005). Struktur dan karakteristik turbulensi mungkin bervariasi dari situasi aliran ke situasi lainya. Sebagai contoh, intensitas turbulensi semakin besar intensitas turbulensi maka semakin besar fluktuasi kecepatan dan parameter-parameter lainnya. Pada plat datar, fluktuasi intensitas turbulensi tidak terlalu tinggi namun perlahan-lahan meningkat sebagaimana terlihat pada gambar 2. Setelah melewati sisi inlet, intensitas turbulensi fluida perlahan mulai naik seiring dengan berkembangnya boundary layer. Semakin mendekati sisi outlet pengaruh 3 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X viskos dari wall yang perlahan-lahan meningkatkan pusaran (eddy) semakin nyata. Salah satu karakter dari aliran turbulen adalah adanya fluktuasi sinyal kecepatan secara acak. Sinyal kecepatan yang berfluktuasi secara random tersebut bisa diinterpretasikan sebagai kumpulan dari beberapa sinyal dengan frekuensi dan amplitudo yang berbeda-beda. Karakter dari fluktuasi sinyal kecepatan sangat erat hubungannya dengan kandungan energi kinetik dari aliran turbulen tersebut. Secara umum, aliran turbulen memiliki fluktuasi kecepatan ke arah 3 dimensi, x, y, dan z dengan komponen fluktuasi kecepatannya masing-masing u(t), v(t) dan w(t). Beberapa penulis, seperti Schetz (1993) mendefinisikan energi kinetik turbulen sebagai : Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ Μ π’2 (π‘)π£ 2 (π‘)π€ 2 (π‘) πΎ= 2 Energi yang terkandung untuk harga frekuensi tertentu juga memiliki nilai tertentu pula. Oleh karenanya, sinyal fluktuasi kecepatan di dalam aliran turbulen memiliki kandungan turbulen, dalam hal ini energi kinetik turbulen, yang tersebar sesuai dengan frekuensi yang bisa terjadi di dalam aliran turbulen tersebut. Penjabaran kandungan energi kinetik turbulen ke dalam domain frekuensi yang berkaitan dinamakan spektrum dari energi kinetik turbulen (Sutardi, 2012). Schetz (1993) menampilkan hasil penelitian Klebanoff (1955) bahwa rentang kandungan energi untuk beberapa lokasi di lapis batas turbulen juga berbeda. Semakin dekat dengan dinding maka kandungan energi kinetik maksimum semakin kecil dibandingkan lokasi yang jauh dari dinding. Semakin dekat dengan dinding maka potensi terbentuknya pusaran (eddy) yang lebih besar akan terhambat sehingga menurunkan nilai maksimum dari kandungan energi kinetik turbulen tersebut. (Sutardi, 2012). Vol. 1 No. 1 April 2017 Aliran lapis batas turbulen merupakan fenomena aliran fluida yang sangat kompleks. Di dalamnya terkandung pusaran-pusaran aliran yang memiliki ukuran bervariasi. Di bagian luar, pusaran-pusaran aliran ini pada umumnya sebanding dengan ukuran tebal lapis batas turbulen itu sendiri. Sedangkan pada bagian yang sangat dekat dengan dinding, ukuran pusaran itu umunya mengecil dengan bentuk yang berbeda-beda. Di dalam ukuran pusaran yang besar terdapat pula kumpulan pusaranpusaran yang lebih kecil. Ukuran dari pusaran tersebut sangat erat kaitannya dengan gerakangerakannya pada medan aliran turbulen. Rentang ukuran yang dimiliki oleh pusaran dan besaran dari kecepatan gerak dari pusaran-pusaran tersebut akan disebut sebagai spektrum dari aliran turbulen tersebut. Dengan mendapatkan pasokan energi dari aliran utama atau mean flow (Tennekes dan Lumley, 1972) maka akan menjaga keberlangsungan kondisi aliran turbulen. Gambar 2. Spektrum energi kinetik turbulen untuk komponen kecepatan searah longitudinal di dalam lapis batas turbulen di atas plat datar (Schetz, 1993) METODE 4 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Penelitian ini dilakukan dengan simulasi numerik mengunakan software simulasi dengan model turbulen k – ε (Standard, Realizable, RNG). Kecepatan aliran freestream yang akan digunakan sebesar 10 m/s. Model benda uji berupa plat datar. Gambar 3. merupakan domain simulasi serta kondisi batas yang digunakan dalam simulasi. Gambar 3. Meshing dan domain pemodelan airfoil 2D Dimensi pemodelan selanjutnya ditunjukkan pada gambar 4. karena data aliran saat kondisi keluar tidak diketahui. Wall didefinisikan sebagai dinding dari aliran fluida yang terdapat di dalam saluran untuk membatasi fluida yang melintas. Dalam penggunaan software simulasi memerlukan keakuratan data baik pada langkah post processing maupun preprocessingnya. Langkah grid independensi diperlukan untuk menentukan tingkat serta struktur grid terbaik dan terefisien agar hasil pemodelan mendekati sebenarnya. Pada penelitian ini membandingkan juga beberapa kerapatan meshing sebagaimana tampak pada tabel 1. Tabel 1. Penentuan meshing dan minimal inflation No 1 2 3 4 Gambar 4. Dimensi Pemodelan Pada aplikasi ditentukan analisis 2 dimensi :H2 = 200 cmV1 = 30 cm Setelah ditentukan boundary conditionnya maka selanjutnya meshing yang digunakan adalah quadriateral dan edge sizing di masingmasing sisi boundary condition. Gambar 5. Meshing yang dihasilkan Kondisi batas yang digunakan pada penelitian ini antara lain inlet : velocity inlet; outlet : outflow, dinding : wall. Aliran yang digunakan disini berupa aliran inkompresibel. Velocity inlet untuk mendefinisikan kecepatan aliran yang masuk. Kondisi batas outflow dipilih Vol. 1 No. 1 April 2017 Jumlah Node/Grid 4141 6161 8181 19701 Y+ 14 6.6 4 0.98 Minimal Inflation 0.0005 0.00025 0.00015 0.000035 Reynolds Numberyang digunakan adalah 12,52 x 105 sehingga aliran sudah mencapai turbulen. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Tekanan Pada gambar 6 ditunjukkan kontur distribusi koefisien tekanan sedangkan pada gambar 7, gambar 8, dan gambar 9 ditampilkan perbandingan hasil simulasi koefisien tekanan sepanjang plat datar beberapa turbulence model dengan y+ yang berbeda. Didapatkan bahwa semakin baik nilai y+ maka akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Semakin rapat meshing di sekitar wall akan meningkatkan sensitivitas simulasi ketika iterasi dilakukan. Dengan nilai y+≤ 1 akan mendapatkan hasil yang terbaik meskipun menggunakan turbulence model yang berbeda baik k – ε Standard, k – ε RNG maupun k – ε Realizable. Pada gambar 10, gambar 11, dan gambar 12, dan gambar 13 ditampilkan perbandingan 5 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X hasil simulasi koefisien tekanan sepanjang plat datar dengan y+ yang sama pada turbulence model yang berbeda. Didapatkan bahwa k – ε Realizable mendapatkan hasil yang lebih baik disusul k – εRNG dan k – εStandard.k – ε Realizable mampu mengukur koefisien tekanan yang lebih sensitif dibandingkan k – εRNG dan k – ε Standard. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mulvany (2004) bahwa k – εRealizable mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan k – εRNG dan k – εStandard Gambar 8. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi k – ε RNG dengan y+ yang berbeda Gambar 9. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi k – ε Realizable dengan y+ yang berbeda Gambar 6. Pressure Coefficient (Hasil Ansys Fluent 15) Gambar 10. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 30 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 7. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi k – ε Standard dengan y+ yang berbeda Gambar 11. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 10 dengan turbulence model yang berbeda Vol. 1 No. 1 April 2017 6 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 12. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 5 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 13. Koefisien Tekanan pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 5 dengan turbulence model yang berbeda Intensitas Turbulensi Struktur dan karakteristik turbulensi mungkin bervariasi dari situasi aliran ke situasi lainya. Sebagai contoh, intensitas turbulensi semakin besar intensitas turbulensi maka semakin besar fluktuasi kecepatan dan parameter-parameter lainnya. Pada plat datar, fluktuasi intensitas turbulensi tidak terlalu tinggi namun perlahanlahan meningkat sebagaimana terlihat pada gambar 14. Setelah melewati sisi inlet, intensitas turbulensi fluida perlahan mulai naik seiring dengan berkembangnya boundary layer. Semakin mendekati sisi outlet pengaruh viskos dari wall yang perlahan-lahan meningkatkan pusaran (eddy) semakin nyata. Pada gambar 15, gambar 16, dan gambar 17 ditampilkan perbandingan hasil simulasi intensitas turbulensi sepanjang plat datar beberapa turbulence model dengan y+ yang Vol. 1 No. 1 April 2017 berbeda. Didapatkan bahwa semakin baik nilai y+ maka akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Semakin rapat meshing di sekitar wall akan meningkatkan sensitivitas simulasi ketika iterasi dilakukan. Dengan nilai y+≤ 1 akan mendapatkan hasil yang terbaik meskipun menggunakan turbulence model yang berbeda baik k – ε Standard, k – ε RNG maupun k – εRealizable. Pada gambar 18, gambar 19, gambar 20, dan gambar 21 ditampilkan perbandingan hasil simulasi intensitas turbulensi sepanjang plat datar dengan y+ yang sama pada turbulence model yang berbeda. Didapatkan bahwa k – ε Realizable mendapatkan hasil yang lebih baik disusul k – εRNG dan k – εStandard.k – εRealizable mampu mengukur intensitas turbulensi yang lebih sensitif dibandingkan k – εRNG dan k – εStandard. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mulvany (2004) bahwa k – ε Realizable mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan k – εRNG dan k – εStandard. Gambar 14. Kontur Intensitas Turbulensi (Hasil Ansys Fluent 15) 7 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 15. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi k – εStandard dengan y+ yang berbeda Gambar 16. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi k – εRNG dengan y+ yang berbeda Gambar 17. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi k – εRealizable dengan y+ yang berbeda Gambar 19. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 10 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 20. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 5 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 21. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 1 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 18. Intensitas Turbulensi pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 30 dengan turbulence model yang berbeda Vol. 1 No. 1 April 2017 Turbulence Spectra Pada penelitian ini, berkembangnya lapis batas diiringi dengan pasokan energi dari mean flow sehingga turbulence kinetic energy semakin meningkat sebagaimana terlihat pada gambar 22. Selanjutnya pada gambar 23, gambar 24, gambar 25, gambar 26, gambar 27, gambar 8 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X 28 dan gambar 29 tampak bahwa mendekati outlet, aliran mengalami sedikit kehilangan energi (energy losses) karena peningkatan efek viskos dari fluida yang semakin nyata. Sifat viskos ini menimbulkan tegangan geser yang terjadi antar lapisan aliran fluida. Pada gambar 27, gambar 28, dan gambar 29 ditampilkan perbandingan hasil simulasi turbulen kinetic energysepanjang plat datar beberapa turbulence model dengan y+ yang berbeda. Didapatkan bahwa semakin baik nilai y+ maka akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Semakin rapat meshing di sekitar wall akan meningkatkan sensitivitas simulasi ketika iterasi dilakukan. Dengan nilai y+≤ 1 akan mendapatkan hasil yang terbaik meskipun menggunakan turbulence model yang berbeda baik k – ε Standard, k – ε RNG maupun k – ε Realizable. Pada gambar 33, gambar 34, gambar 35, dan gambar 36 ditampilkan perbandingan hasil simulasi turbulen kinetic energysepanjang plat datar dengan y+ yang sama pada turbulence model yang berbeda. Didapatkan bahwa k – εRealizable mendapatkan hasil yang lebih baik disusul k – εRNG dan k – ε Standard.k – εRealizable mampu mengukur turbulence kinetic energy yang lebih sensitif dibandingkan k – εRNG dan k – εStandard. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mulvany (2004) bahwa k – εRealizable mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan k – εRNG dan k – εStandard. Gambar 23. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi k – ε Standard dengan y+ yang berbeda Gambar 24. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi k – εRNG dengan y+ yang berbeda Gambar 25. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi k – εRealizable dengan y+ yang berbeda Gambar 22. Kontur Turbulence Kinetic Energy (Hasil Ansys Fluent 15) Vol. 1 No. 1 April 2017 9 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 26. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 30 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 27. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 10 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 28. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 5 dengan turbulence model yang berbeda Gambar 29. Turbulence Kinetic Energy pada flat plate hasil simulasi pada y+ ≤ 1 dengan turbulence model yang berbeda PENUTUP Simpulan Penggunaan Computational Fluid Dynamic (CFD) telah dilaksanakan pada penelitian ini. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa k – ε Realizable mendapatkan hasil yang lebih baik disusul k – ε RNG dan k – ε Standard.k – ε Realizable mampu mengukur koefisien tekanan yang lebih sensitif dibandingkan k – ε RNG dan k – ε Standard. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mulvany (2004) bahwa k – ε Realizable mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan k – ε RNG dan k – ε Standard. Dari perbandingan y+ yang berbeda didapatkan bahwa dengan semakin kecil y+ maka ketelitian dari parameter yang diukur semakin baik. Saran Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penambahan obstacle tertentu misalnya bump dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA [1]. Vol. 1 No. 1 April 2017 Fox, Robert W., Mc Donald, Alan T., and Pritchard, Philip J. (2004), 10 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. e-ISSN : 2548-810X Introduction to Fluid Mechanics, 6th edition, John Wiley and Sons, New York. Khatri, Rajesh, Pankaj Agrawal, Mohan Gupta, Jitendra Verma(2012),Laminar Flow Analysis Over A Flat Plate By Computational Fluid Dynamics, International Journal of Advances in Engineering & Technology. Mulvany, Nicholas J., Li Chen, Jiyuan Y. Tu, Brendon Anderson (2004),Steady State Evaluation of Two Equation RANS Turbulence Models for High Reynolds Number Hydrodynamic Flow Simulations, Final Report, Defence Science and Technology Organisation, Departement of Defence, Australian Goverment Munson, Young, Okishi (2009), Fundamentals of Fluid Mechanics 6th Edition, John Wiley & Sons Inc. Schetz, Joseph A., Rodney D.W. Bowersox (1993), Boundary Layer Analysis 2nd Edition, American Institute of Aeronautics and Astronautics, Inc., Reston, Virginia Sutardi (2012), Dasar-dasar Aliran Turbulen, ITSPress Tennekes, H, Lumley, J.L. (1972), A First Course in Turbulence 1st Edition, The MIT Press, Cambridge White, Frank M. (2001). Fluid Mechanics, 4th edition. McGraw Hill, New YorkInformation Technology. Report number: 63. 2005. Vol. 1 No. 1 April 2017 11 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Pengujian Kualitas Part Komposit Pesawat Terbang Menggunakan Metoda Non Destructive Inspection Handoko Subawi1, Hartono2 1) PT Dirgantara Indonesia, Jl. Pajajaran 154 Bandung 40174 Email: [email protected] 2) Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan, Jl. Jemur Andayani I/73, Surabaya 60236 Email: [email protected] Pembuatan detail part dan komponen komposit airframe pesawat terbang mengacu pada persyaratan sesuai kualifikasi jaminan mutu (quality assurance). Prosedur pengujian yang banyak diterapkan adalah metoda inspeksi tak-merusak (non destructive inspection) untuk mengetahui konsistensi kualitas produk komposit tersebut. Teknologi inspeksi tak-merusak terus dikembangkan mengacu pada pemenuhan persyaratan produk komposit yang makin ketat dan juga pertimbangan peningkatan laju produksi. Dalam hal ini, metoda inspeksi ultrasonik dinilai sangat penting. Teknik ini terus mengalami evolusi pengembangan menuju sistem yang lebih praktis dan efisien. Beberapa metoda mengalami pengembangan signifikan termasuk inspeksi ketuk (tapping), inspeksi ultrasonik tanpa couplant (air-coupled), inspeksi berbasis-image (image-basis), dan inspeksi through transmission. Teknik inspeksi through transmission mengalami kemajuan sangat pesat seiring peluang aplikasinya guna pengujian produk komposit berukuran besar dengan bentuk sederhana atau pun komplek. Bahkan teknik ini melibatkan penggunaan robot industri untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas dalam kegiatan inspeksi tak-merusak terhadap komponen komposit pesawat terbang. Kata kunci: Inspeksi, Komposit, Non destructive, Through Transmission, Ultrasonik Pendahuluan Material komposit serat umumnya terdiri dari serat penguat dan material matrix. Serat penguat dapat berupa serat sintetik fiberglass, fiber karbon, fiber aramid, fiber keramik, atau kombinasinya. Konfigurasi produk komposit dapat berupa laminat padat atau konstruksi panel (sandwich). Pertama kali, filamen karbon sebagai bagian dari lampu pijar dikenalkan secara terpisah masing-masing oleh Sir Joseph Wilson Swan pada tahun 1878, dan Thomas Alva Edison pada tahun 1879. Selanjutnya fiber karbon menjadi produk komersial 80 tahun sesudahnya. Pada perkembangannya, fiber karbon digunakan untuk material bangunan tahan panas, bahkan untuk aplikasi militer dan pesawat terbang.[1] Cacat (defect) pada produk komposit dapat muncul ketika proses manufakturing atau selama masa pemakaian. Komposit dapat dibuat menggunakan beberapa jenis teknologi yang berlainan, dan bertujuan menggabungkan antara Vol. 1 No. 1 April 2017 serat dan resin menjadikan produk baru yang kuat. Kualitas produk komposit dikatakan baik apabila tidak ditemukan cacat. Cacat minor mungkin ditemukan asalkan masih memenuhi toleransi yang dipersyaratkan. Pengujian terhadap kualitas komposit dapat dilakukan melalui berbagai metoda. Beberapa metoda yang dikenal untuk identifikasi cacat misalnya: non destructive test (NDT), metoda visual, optikal (mikroskopik, holografi), mekanikal (tap test, impedansi mekanikal), akustik (emisi-akustik, ultrasonik-akustik), radiografi (sinar-X, flouroskopik, neutron dan gamma), metoda termal, dan ultrasonik.[2] Material fiber dan resin dapat ditemukan dalam kondisi terpisah atau sudah disatukan berupa prepreg. Metoda manufakturing yang dipilih biasanya mempertimbangkan ukuran dan kualitas yang diinginkan. Sebagai contoh, lambung kapal berukuran sangat besar dibuat secara manual menggunakan semprotan resin keatas tumpukan fiber, dan penggunaan roller 12 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X untuk meratakan rembesan resin. Namun, metoda konvensional ini sulit menghasilkan komposit dengan kualitas sangat tinggi. Metoda lain, misalnya, cetak injeksi akan menghasilkan kualitas baik namun kekuatan produk tidak terlalu tinggi. Penerapan produk komposit berkualitas tinggi pada pesawat terbang dapat dikerjakan menggunakan pemanasan hot press atau autoclave. Selama proses manufakturing komposit memungkinkan terjadinya cacat, meskipun ukuran dan frekuensi kejadian bergantung pada siklus proses tertentu (Gambar 1). Sejumlah jenis cacat dapat diidentifikasi, misalnya: benda asing tertinggal, cacat bonding selama manufakturing, cacat serat, delamination, fraksi volume fiber tidak tepat, ply misalignment, ply cracking, matrix tidak mengering sempurna, porositas (void), serat bergelombang, atau fiber misalignment. Gambar 1 Distribusi delaminasi melalui ketebalan komposit monolit di area impak Scan kedalaman (kiri) dan image pseudo-3D (kanan) Sumber: EOLSS, 2001 Degradasi pada komposit dimungkinkan terjadi selama masa pemakaian diduga melalui sejumlah mekanisme, terutama bergantung pada faktor lingkungan dan kepekaan material yang digunakan. Mekanisme degradasi dapat dipacu sebagai akibat overload statik, impact, fatigue, dampak higrotermal, overheating, sambaran petir, dan creep. Namun, meskipun mekanisme cacat dimulai titik asal dan menjalar secara bervariasi, namun tidak banyak perbedaan cacat yang ditimbulkan. Cacat tersebut dapat berupa: serat patah atau bengkok (fracture/buckling), serapan lembab (ingress of moisture), retak (crack), kegagalan interface antara serat dan resin, kegagalan bonding, atau delaminasi Vol. 1 No. 1 April 2017 Seringkali cacat selama layanan dapat terdeteksi melalui munculnya gejala delaminasi. Penyebab umum yang biasa diduga adalah kelebihan beban akibat fatigue, bearing damage, impact, dan lain-lain. Kerusakan berupa disbonding juga bisa ditemukan. Metoda untuk mengukur kekuatan adesif mungkin belum memperhitungkan kehandalan daya rekat adesif. Crack cenderung menjalar menuju delaminasi sebelum mencapai kondisi kritikal. Posisi crack dapat diduga sebagai awal rambatan delaminasi dan dapat dideteksi secara ultrasonik. Metoda inspeksi untuk mengidentifikasi cacat komposit banyak dilakukan menggunakan metoda tak-merusak, terutama metoda inspeksi ultrasonik. Prinsip dasar detektor ultrasonik bahwasanya pulsa ultrasonik menggunakan frekuensi dalam rentang 1 MHz hingga 1.5 GHz, apakah dipancarkan melalui material menuju detektor, atau dipantulkan balik menuju detektor oleh ketidakseragaman material, termasuk cacat internal. Transduser Piezoelectric banyak digunakan untuk pengukuran ultrasonik. Transduser ini biasa dipasangkan dengan spesimen melalui cairan, paling umum dengan mencelupkan spesimen kedalam tangki air deionisasi. Amplitudo, ketergantungan frekuensi dan waktu tiba (arrival time) pulsa terdeteksi digunakan dalam karakterisasi cacat.[3] Pada prinsipnya, gelombang elastik dapat merambat pada medium padatan tebal takhingga melalui dua mode, yakni: gelombang tekanan dan gelombang geser. Namun pada medium terhingga, pantulan gelombang terjadi pada batas dan berbagai pola gelombang bersatu. Gelombang Lamb merupakan gelombang pengarah melintasi plat tipis, sedangkan gelombang Rayleigh merupakan gelombang pengarah terbatas pada permukaan. Gelombang pengarah dapat muncul pada silinder padat atau berongga, seperti pada struktur shell. Gelombang Love merupakan gelombang melintasi material berlapis, sedangkan gelombang Stoneley merupakan gelombang terbatas pada interface material. Studi awal gelombang pengarah telah dilakukan oleh Rayleigh (1887), Lamb (1917), Love (1926, 1944), dan Stoneley (1924). Analisis komprehensif gelombang Lamb dilakukan oleh Viktorov (1967), Achenbach (1973), Graff (1975), Rose (1999), Royer dan Dieulesaint (2000), dan lain-lain.[4] 13 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Pemahaman metoda inspeksi terhadap produk part komposit dan konsistensi mutu selama penggunaan (in service) sangat berguna terutama untuk keperluan industri manufakturing komposit dan perawatan pesawat terbang. Pembahasan akan difokuskan pada pengenalan metoda inspeksi tak-merusak (non destructive inspection) dan perkembangannya seiring dengan peningkatan persyaratan mutu produk. Ragam pengembangan metoda inspeksi mengindikasikan bahwa masing-masing metoda memiliki kelebihan, disamping memiliki keterbatasan dalam penerapannya. Metodologi Metoda inspeksi dapat dikelompokkan menjadi dua bergantung tujuan penerapannya. Kelompok pertama, metoda pengujian yang ditujukan untuk menjelaskan sifat material umumnya secara destruktif. Metoda destruktif umumnya dilakukan menggunakan spesimen atau (potongan) komponen. Kelompok kedua, sebaliknya, metoda non-destructive yang digunakan untuk evaluasi kondisi produk komposit dari waktu ke waktu. Sebagai bagian dari jaminan mutu (quality assurance) terhadap kualitas part komposit pesawat terbang, maka perlu dilakukan berbagai jenis pengujian selama proses manufakturing dan selama pemakaian (in service). Identifikasi secara akurat terhadap potensi cacat (defect) dan kelainan (flaws) penting dilakukan, untuk memprediksi dan mengantisipasi terhadap timbulnya cacat dan metoda penyelesaiannya. Pemahaman yang mendalam berkenaan teknik inspeksi tidakmerusak (non destructive inspection) sangat berguna untuk mengetahui kualitas part komposit sesuai standar. Perkembangan teknologi dibidang inspeksi tidak-merusak memiliki dampak signifikan dalam pelaksanaan kegiatan inspeksi. Penerapan metoda inspeksi yang tepat dan akurat sangat bermanfaat guna pemilihan dan penerapan metoda perbaikan terhadap potensi cacat yang mungkin terjadi. Metoda Inspeksi Non-Destruktif Uji tak merusak yang lazim digunakan dalam kegiatan industri mencakup uji tapping Vol. 1 No. 1 April 2017 dan ultrasonik. Teknik inspeksi tapping biasa dilakukan menggunakan alat ketuk atau koin. Inspektor perlu memiliki kemampuan skill inspeksi dan memegang lisensi untuk pekerjaan tersebut. Teknik tapping dilakukan dengan melakukan ketukan pada permukaan part secara berurutan dengan arah sejajar dan selanjutnya dari bagian arah menyilang. Potensi cacat akan terdeteksi berdasarkan perbedaan suara yang ditimbulkan dibandingkan dengan pantulan suara pada bagian normal. Sedangkan teknik inspeksi ultrasonik didasarkan atas suara jenis ultrasound. Ultrasound adalah suara yang memiliki frekuensi diatas batas atas pendengaran manusia, sekitar 20 kHz. Meskipun demikian, evaluasi material ultrasonik paling sering dilakukan pada rentang frekuensi antara 0.5 hingga 50 MHz. Ultrasound, tidak seperti gelombang elektromagnetik, memerlukan medium untuk merambat dan menjalar dalam bentuk gelombang tegangan. Hanya gelombang arah memanjang (atau memendek) yang akan dibahas, dimana gerakan partikel searah dengan arah rambatan. Metoda ultrasonik sangat berperan dalam menyelesaikan masalah inspeksi terhadap produk komposit. Sesuai perkembangan jaman, produk komposit makin banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, dan makin sulit membedakan antara cacat produksi dan cacat setelah penggunaan. Standar inspeksi ultrasonik bagi material komposit telah banyak dikembangkan setidaknya mencakup prosedur operasi, karakterisasi transduser dan pembuatan cacat acuan (kalibrator) dan spesimen.[5] Pada prinsipnya, identifikasi damage lokal dan mendeteksi awal kerusakan struktur kritikal dilakukan melalui sejumlah cara scanning inspeksi. Pertama, inspeksi ultrasonik imaging scan-A banyak digunakan oleh masyarakat engineering selama beberapa dekade. Seperi diketahui, metoda ultrasonik bergantung rambatan dan pantulan gelombang elastik dalam material. Adanya gangguan bidang gelombang menunjukkan kerusakan lokal (damage) dan kelainan (flaws). Pengujian ultrasonik mencakup satu atau lebih parameter: waktu penjalaran (transit gelombang atau kelambatan), panjang penjalaran, frekuensi, sudut phase, amplitudo, impedan akustik, dan sudut defleksi gelombang 14 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X (refleksi dan refraksi). Metoda ultrasonik konvensional terdiri dari: (a) teknik pulsa-echo atau pantulan suara (Gambar 2), (b) pitch-catch atau transmisi pulsa (Gambar 3), dan (c) resonansi pulsa, seperti misalnya harmonic bond tester, dan Fokker bond tester. Gambar 2 Pulsa echo pada oskiloskup atau layar detector cacat [6] Sumber: BCC Tech, 2016 Gambar 3 Metoda pitch catch Sumber: BCC Tech, 2016 Kedua, jenis imaging scan-B ultrasonik didasarkan pada penggambaran seluruh sinyal (biasanya dalam skala abu-abu) terhadap posisi probe ultrasonik ketika probe melakukan scanning sepanjang garis tunggal. Image yang dihasilkan menggambarkan penampang komposit. Scan-B menampilkan baik informasi domain waktu dan domain spatial. Pemrosesan sinyal data scan-B ultrasonik dapat diterapkan untuk mengkuantifikasi damage dalam komposit. Scan-B dianalisa dengan memperhatikan kecepatan, damping dan sifat statistik. Secara umum, metoda ini dapat diterapkan untuk mengukur delaminasi dalam komposit serat. Namun, akurasi metoda ini bergantung pada ukuran dan bentuk delaminasi relatif terhadap ultrasound beam. Vol. 1 No. 1 April 2017 Tingkatan akurasi juga bergantung pada tetapan empirik yang menghubungkan reduksi dalam amplitudo sinyal dari titik cacat yang lebih kecil dibandingkan diameter probe terhadap sinyal dari defect yang sama atau lebih besar dibandingkan diameter probe. Metoda alternatif untuk sizing cacat kecil dilakukan dengan pengukuran amplitude sinyal yang dipantulkan oleh cacat itu sendiri. Scan-B tidak memerlukan scanning area, sehingga dapat dikerjakan menggunakan peralatan portabel sama seperti sistem on-line berbasis mobile automated scanner, peralatan inspeksi ultrasonik portabel untuk inspeksi in-service pesawat terbang. Ketiga, teknik ultrasonik bagi material komposit juga disebut scan-C ultrasonik dimana sinyal ultrasonik (amplitudo, phasa atau kelambatan waktu-terbang sinyal) tersebut diplot sebagai gambar terhadap posisi transduser. Damage dapat dikaji dan profil kedalaman damage diperoleh dengan menvariasikan gate untuk akuisisi data scan-C. Image biasanya dimunculkan dari kedalaman tertentu, yang didefinisikan oleh posisi jendela waktu. Teknik ini banyak digunakan untuk mendeteksi delaminasi, porositas dan inklusi, dan untuk monitor initiasi dan rambatan damage yang ditimbulkan dari beban mekanikal atau faktor degradasi lain. Ketika pengujian menggunakan frekuensi ultrasound melebihi 10 MHz, scan-C ultrasonik seringkali dinamakan scanning acoustic microscopy (SAM). Meskipun scan-C digunakan pada inciden normal, pada kondisi tertentu insiden proyeksi miring (oblique) memberikan kontras lebih baik untuk retak transversal atau delaminasi. Scan-C telah digunakan untuk mengidentifikasi induced damage dan mode failure dalam komposit laminat, woven dan komposit tebal. Image scan-C biasanya dianggap metoda kualitatif murni meskipun banyak upaya untuk menstandarkan scan-C guna menekan ketidakpastian dalam pengukuran atenuasi (Gambar 4). Metoda ini banyak digunakan untuk sizing cacat delaminasi dalam material komposit serat. Namun, terdapat ketidakpastian sistematik tertentu dalam pengukuran ini. Varian teknik scan-C, dikenal dengan nama scanning acoustic tomography, menggambarkan himpunan data oleh peralatan scan-C ultrasonik sebagai 15 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X tampilan informasi kedalaman suatu cacat komposit. Gambar 4 Through transmission Sumber: BCC Tech, 2016 Keterbatasan teknik scan-C ultrasonik untuk mendeteksi damage pada material composite adalah atenuasi tinggi disebabkan dalam resin berpori dan scattering oleh fiber. Oleh karena atenuasi tinggi, sinyal memantul dari dalam bagian cacat komposit memiliki amplitudo sangat rendah dibandingkan yang dipendarkan oleh fiber dekat transduser. Untuk mengurangi ini dengan menggunakan ultrasound non-coherent. Teknik ini dinamakan acoustography. Ini menggunakan sumber ultrasound incoherent (seperti noise) dan receiver sensitif intensitas dibandingkan array sensitif tekanan konventional. Teknik acoustography memerlukan perendaman struktur test didalam air, namun terkadang hal tersebut tidak praktis Perkembangan Metoda Inspeksi NonDestruktif Metoda Inspeksi Uji Ketuk (Tapping) Selain metoda visual, manual, basispendengaran, tap test dinilai sebagai teknik inspeksi komposit paling praktis, khususnya bagi struktur bonded sandwich. Mengingat penggunaannya sangat luas, perbaikan metoda tapping berdampak signifikan terhadap NDI komposit. Beberapa tahun terakhir terdapat tiga jenis pengembangan tap test dilengkapi instrumen. Semuanya mengurangi ketergantungan pada faktor manusia yakni pendengaran operator. Tap tester dilengkapi instrumen misalnya (1) Woodpecker Vol. 1 No. 1 April 2017 dikembangkan oleh Mitsui Heavy Industries, (2) Rapid Damage Detection Device (RD3) dikembangkan oleh Boeing CompanyWichiTech, dan (3) Computer Aided Tap Tester (CATT) dikembangkan oleh Iowa State University. [7] CATT dikembangkan untuk mendapatkan parameter engineering dari tap tester berinstrumen untuk memunculkan parameter images scan. CATT menggunakan akselerator yang dikenal sebagai instrumen tapping. Sirkuit elektronik didalamnya mengukur durasi waktu τ sisa kontak tapping dengan permukaan part composite. Berdasarkan model osilasi harmonik pegas sederhana, waktu kontak τ berkaitan dengan kekakuan lokal (tetapan pegas) k melalui rumus sederhana k = m(π/ τ)2. Nilai k pada titik berlainan pada part, dalam satuan Newton per meter, dapat diplot sebagai image kekakuan struktur komposit. Metoda Inspeksi Ultrasonik Tanpa Couplant (Air-Coupled) Untuk aplikasi lapangan, inspeksi satusisi umumnya menggunakan scanner-C portabel dengan sistem kopling pseudo-kering, atau menggunakan transduser ultrasonik portabel dengan lapisan gel tipis antara tranduser dan spesimen. Ketika terdapat ketidaksesuaian impedan sangat besar, teknik kompresi pulsa digunakan bagi material padat dengan kopling udara untuk memperbaiki rasio sinyal terhadap noise. Dampak langsung transduser penerima dan pengirim membuat inspeksi satu sisi sangat sulit. Oleh karena sulitnya membangkitkan suara frekuensi tinggi dalam udara, biasanya dibatasi hingga frekuensi 100 KHz dan karenanya resolusinya rendah (dalam order inchi). Dewasa ini pasangan transduser berbasis squirter 250 kHz dirancang untuk meningkatkan kepekaan dalam mode transmisi-langsung. Penggunaan transduser air-coupled piezoceramic, inspeksi komposit biasa dikerjakan pada rentang frekuensi 50 kHz hingga 500 kHz. Dalam laminat komposit, cacat diameter kecil 3 mm (1/8”) dapat dideteksi menggunakan imaging berkas air-coupled ultrasound. Pada laminat tebal, koefisien transmisi sangat bergantung pada ketebalan 16 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X akibat perilaku resonansi. Koefisien transmisi dinilai tinggi pada frekuensi yang menghubungkan resonansi mekanikal dimana ketebalan komposit sama dengan integral ganda dari setengah-resonansi. Untuk resonansi struktur sandwich pada frekuensi 100 kHz diperoleh resolusi dan sensitivitas cukup bagus. Panel sandwich honeycomb tebal dapat di-scan menggunakan air-coupled ultrasound untuk mendeteksi dan imaging disbond antara skin-kecore, delaminasi, dan kerusakan honeycomb core. kecil pada deformasi permukaan. Ketika objek uji dikenakan beban, regangan proporsional berdampak pada permukaan uji. Jika terdapat diskontinuitas, permukaan akan deformasi yang dapat terdeteksi oleh inferometer sebagai image shearografik. Shearografi dapat mengukur dan mengkualifikasi permukaan lebar secara cepat, dan real time (Gambar 6).[11] Metoda Inspeksi Basis-Image (ImageBasis) Metoda inspeksi thermografi, shearografi, acoustografi dan acoustocam termasuk inspeksi basis image. Selanjutnya, metoda inspeksi tak-merusak frekuensi radio mencakup teknik eddy current, teknik microwave dan thermografi basis frekuensi radio dapat dikategorikan kedalam empat tipe yakni induksi electromagnetik, resonansi, thermografi basis frekuensi radio dan rambatan gelombang frekuensi radio. [8] Thermografi sebagai teknik inspeksi tak-merusak menggunakan radiasi electro-magnetik spectrum infrared (IR), diatas spektrum penglihatan mata, pada panjang gelombang sekitar 700 nm hingga 1 mm (Gambar 5). Lebar pita dapat dirasakan oleh tubuh manusia sebagai panas, dan teknik ini telah banyak diaplikasikan untuk alat deteksi di industri. [9] Gambar 5 Thermografi Sumber: CEA Tech, 2013.[10] Shearography menggunakan sinar laser, interferometer geser mampu mendeteksi cacat Vol. 1 No. 1 April 2017 Gambar 6 Shearografi Sumber: BCC Tech, 2016 Dalam inspeksi struktur komposit, kelebihan teknik berbasis image tidak dapat direkayasa. Bagi inspektor, image juga dapat membedakan antara kelainan (flaws) dan kondisi normal. Image scan dapat membuktikan ukuran dan bentuk kelainan (flaws) atau kerusakan (damage) secara lebih akurat, sehingga bermanfaat bagi perencanaan repair struktur komposit. Metoda Inspeksi Ultrasonik Transmisi (Through Transmission Ultrasonic) Prinsip utama otomatisasi dalam proses inspeksi adalah mengurangi waktu inspeksi, dan panjang lintasan dan secara bersamaan untuk mencapai 100% permukaan inspeksi termasuk bagian tepi. Sistem mekanikal tipe gantry atau jembatan menggunakan 6 derajat kebebasan dan memudahkan akses pada area berlainan. Tahap selanjutnya adalah evolusi sistem mekanikal dengan melibatkan robot industri canggih, dimana inspeksi lebih fleksibel, meningkatkan produktivitas. Sebagai contoh, Rabit sebagai produk alat inspeksi hasil pengembangan Tecnatom dan Kuka melalui penggunaan robot industri dalam sistem inspeksi takmerusak.[12,13] Dibandingkan track linear, sistem robot ganda dimaksudkan sebagai dua robot tunggal 17 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X bekerja mandiri mengerjakan pulsa-echo atau through transmission menggunakan yoke. Satu sistem robot ganda melakukan inspeksi through transmissions ultrasonic terhadap komponen besar dan kompleks. Jika perlu, peralatan ini mengerjakan inspeksi pulse-echo. Sistem robot ganda dipasang pada gantry untuk inspeksi part besar. Sistem robot tunggal menggunakan track lurus atau pada gantry. Sistem ini diadopsi menjadi lebih sederhana dan lebih ekonomis. Inspeksi dikerjakan menggunakan pulse-echo untuk geometri kompleks, dan melalui throughtransmission dengan bantuan yoke untuk kasus khusus. Sebagai tambahan, robot tunggal ini dapat dikembangkan dengan robot kedua menjadi sistem robot ganda (Gambar 7).[14] dinilai sangat penting guna menjamin kualitas produk dari waktu ke waktu. Teknologi inspeksi tak-merusak (non destructive inspection) terus berkembang mengikuti persyaratan produk komposit yang makin ketat, selain untuk perbaikan efektivitas pengujian. Metoda inspeksi tak-merusak tipe ultrasonik konvensional terus mengalami evolusi pengembangan menuju sistem yang lebih efektif dan produktif. Kemajuan teknologi inspeksi dapat ditemukan pada metoda inspeksi ketuk (tapping), inspeksi ultrasonik tanpa couplant (air-coupled), inspeksi berbasis-image (image-basis), dan inspeksi through transmission. Penggunaan robot industri sebagai bagian dari metoda inspeksi through transmission diharapkan dapat meningkatkan jaminan mutu dan efektivitas pengujian terhadap part dan komponen komposit pesawat terbang. Daftar Pustaka [1] [2] Gambar 7 Through transmission ultrasonic tipe robotik Sumber: USL, 2017 Sistem inspeksi robotik juga dikembangkan kolaborasi dengan pembuat robot lain, Staubli, untuk mencapai kecepatan scanning setara dengan sistem konvensional dengan gerakan lurus. Robot ini memiliki kelebihan yakni teruji waterproof (memenuhi sertifikasi IP65 dan IP67 untuk gerakan daerah sambungan (wrist) sehingga cocok untuk inspeksi squirter. Robot standar industri menawarkan kecepatan scanning, scan tunggal dapat dibuatkan beberapa image, dapat mengurangi jumlah scan yang diperlukan, imun terhadap gangguan noise, teknik analisis data yang canggih sesuai standar spesifikasi Boeing dan Airbus.[15] [3] [4] [5] Kesimpulan Aplikasi metoda inspeksi tak-merusak, selama proses manufakturing maupun in servise sesudahnya, terhadap komponen komposit Vol. 1 No. 1 April 2017 [6] Runar Unnborsson, M. T. Jonsson, T. P. Runarsson. NDT Methods for Evaluating Carbon Fiber Composites. University of Iceland, IS-107 Reykjavik, Iceland, 2004. US Department of Defence. Nondestructive Active Testing Techniques for Structural Composites. US Army Material Command’s Engineering Design Handbook Program, AMSC N/A, AREA NDTI, MIL-HDBK-793(AR), 6 November 1989. Timothy Fowler, Vikram K Kinra, Konstantin Maslov, Tess J Moon. Inspecting FRP Composite Structures with Nondestructive Testing. U.S. Department of Transportation, Research Report No. FHWA/TX-03/1892-1, Austin, TX, 2001. Victor Giurgiutiu, Adrian Cuc. Embedded Non-destructive Evaluation for Structural Health Monitoring, Damage Detection, and Failure Prevention. The Shock and Vibration Digest, March 2005; 37(2): 83– 105. R. A. Smith. Composite Defects and Their Detection. Materials Science and Engineering, Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), London, UK, 2001; Vol. III. Steve Kane. Composites Inspection and Repair. BCC Aerospace Technology18 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] e-ISSN : 2548-810X SpaceTEC, Brevard Community College, 2016. David K. HSU. Nondestructive Inspection of Composite Structures: Methods and Practice. 17th World Conference on Nondestructive Testing, Shanghai, China, 25-28 Oct 2008. Zhen Li, Zhaozong Meng. A Review of the Radio Frequency Non-destructive Testing for Carbon-fibre Composites. Measurement Science Review, 2016; 16(2): 68-76. M.E. Ibrahim. Nondestructive testing and structural health monitoring of marine composite structures. Marine Applications of Advanced Fibre-Reinforced Composites, Melbourne, Australia, 2016; (7): 147-183. S. Mahaut, S. Legoupil, F. Grassin, H. Walaszek. Ultrasonic Inspection of Composites: Challenges and Solutions for Improved Product Quality. CEA-CETIM, France, 2013. P. Toost. Practical applications new NDT techniques on composite material in the aerospace industry. Tia T Europe BV, The Netherlands, 2014. Esmeralda Cuevas, Miquel Lopez, Monica García. Ultrasonic Techniques and Industrial Robots: Natural Evolution of Inspection Systems. 4th International Symposium on NDT in Aerospace, 2012. C. Mineo, D. Herbert, M. Morozov, S. G. Pierce, P. I. Nicholson, I. Cooper. Robotic Non-Destructive Inspection. UK Research Centre in NDE, EP/F017332/1, 2012. Javier Guerra. Tecnatom’s robotic systems provide more flexibility, more accuracy and more productivity. Tecnatom Newsletter no.1, Spain, June 2013. Ultrasonic Sciences Ltd. A Robot Based Ultrasonic C Scan Inspection System for Complex Composite Parts. USL Products Specification, London, UK, 2017. Vol. 1 No. 1 April 2017 19 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X KAJIAN TEKNIS HASIL PEMASANGAN VHF-ER GROUND TO AIR (Studi Kasus : VHF A/G-ER BERAU SEBAGAI PERPANJANGAN VHF A/G TARAKAN) JOHAN WAHYUDI Air Traffic System Engineer, Perum Lembagan Penyelenggara Navigasi Penerbangan Airnav Cabang Pratama Tarakan Jl. Mulawarman No. 1 , Tarakan 77111 Email: [email protected] Abstrak Penambahan koridor W-18 dengan ketinggian 6000 feet dan jarak hingga 182,5 mengakibatkan terdapat area yang tidak bisa berkomunikasi antara pilot dengan Air Traffic Controller (ATC) dengan menggunakan peralatan komunikasi Very High Frequency Air To Grond (VHF A/G).hal ini disebabkan sifat VHF yang Line of Sight dan tertutup oleh lekukan bumi. Untuk mengatasinya, dilakukan pemasangan peralatan VHF A/G Extended Range (VHF A/G-ER) di Kalimarau Berau. Metode analisa dari penelitian ini adalah metode analisis deskriptif untuk menggambarkan kondisi eksisting serta metode analisa kesenjangan untuk melihat apakah kondisi eksisting sesuai dengan yang diinginkan atau tidak. Dari peralatan kondisi teknis peralatan sesuai dengan buku manual peralatan, kinerja peralatan yang dihitung menurut SKEP/157/IX/2003 sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun 2011. Sedangkan dari hasil pemasangan, didapatkan hasil bahwa area yang sebelumnya ATC dan Pilot tidak bisa berkomunikasi menjadi bisa berkomunikasi. Dari hasil survei didapatkan pula gangguan baru yang muncul dikarenakan terdapat pertemuan area antara VHF A/G Tarakan dengan VHF A/G-ER Kalimarau Berau berupa delay dengan beda waktu 500 milidetik yang diterima bersama. Kata Kunci: Komunikasi, VHF, Ground to Air, Extended Range, Analisa Kesenjangan, ATC Abstract The addition of corridor W-18 that have altitude base 6000 feets and distance until 182,5 nautcal miles so there is an area that area that unable to communicate between pilot and air traffic controller (ATC) by using Very High Frequency Air To Ground. This is caused by the characteristic of VHF is line of sight and covered by sperical earth. To avoid the problem, VHF A/G Extended Range VHF A/G-ER was being installed at Kalimarau Berau. The method of this analisys are descriptive analisys to describe existing condition and Gap Analisys to compare between existing condition and required condition. From the equipment, datas show that the condition is compliance to equipment manual book, the performance of the equipment that analized by SKEP/157/IX/2003 is compliance to Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun 2011. But the result of installation, got the result that the pilot can communicate with the ATC in area which unable to communicate before. But from the survey also got a new issue caused by interference area between VHF A/G Tarakan And VHF A/G Kalimarau Berau as voice delay about 500 milisecond that simultanuously received. Keywords: Communication, VHF, Ground toAir, Extended Range, Gap Analisys, ATC. Vol. 1 No. 1 April 2017 20 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X PENDAHULUAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2012 : Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia adalah badan usaha yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia serta tidak berorientasi mencari keuntungan, berbentuk Badan Usaha Milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Airnav merupakan operator tunggal pelayanan navigasi penerbangan dan terlatak di seluruh bandar udara di Indonesia. Salah satu cabang perusahaan yang dimiliki oleh Airnav Indonesia adalah Airnav Cabang Pratama Tarakan. Airnav Cabang Pratama Tarakan mempunyai daerah pemanduan pesawat udara sejauh 100NM dari pemancar. Dan mempunyai koridor pemanduan ke arah Balikpapan dengan ketinggian 6000 feet selebar 20 NM sejauh 112,5NM dimulai dari 70NM arah selatan Tarakan, jadi area control tarakan, sejauh 182.5 NM dengan ketinggian paling rendah 6000 feet. Fasilitas Telekomunikasi yang digunakan adalah peralatan komunikasi radio yang bekerja pada frekuensi 117,975 Mhz sampai dengan 137 MHz yang termasuk spektrum Very High Frequency (VHF). Fasiltas yang dimaksud adalah fasilitas VHF Air Ground Communication (VHF-A/G) yaitu fasilitas telekomunikasi penerbangan yang mempunyai fungsi sebagai sarana komunikasi petugas pemandu lalu lintas penerbangan di suatu unit pelayanan lalu lintas penerbangan (Air Traffic services) dengan pilot pesawat udara. Vol. 1 No. 1 April 2017 Sifat pancaran VHF A/G adalah line of sight dengan rata-rata ketinggian 6000 feet, hanya bisa menjangkau 100NM. Hal mengakibatkan terjadi blank di sebagian area di koridor setelah 100NM. Gambar 1 Ruang Udara Tarakan dan Koridor W-18 Gangguan ini diasumsikan merupakan salah satu potensi bahaya bagi pelayanan lalu lintas penerbangan. Sebagai bagian dari solusi, maka dilakukan optimalisasi dan maksimalisasi peralatan komunikasi VHF A/G Tarakan. Optimalisi yang dilakukan adalah dengan dengan cara menaikan perfoma peralatan yang sedang digunakan. Maksimalisasi yang dilakukan adalah dengan memasang peralatan VHF A/G- ER yang dipasang di Airnav Cabang Pembantu Berau. Peralatan VHFA/G-ER adalah peralatan pemancar VHF-A/G yang dipasang untuk memancarkan ulang sinyal dari Air Traffic Controller (ATC) ke Pilot dan menerima serta meneruskan sinyal dari pilot ke ATC dengan frequency sama 21 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X menggunakan media Very Small Aparture Terminal. Pemasangan Peralatan VHF A/G-ER di Bandar Udara Kalimarau Berau diharapkan dapat membantu meminimalisir masalah gangguan komunikasi. Sehingga pemanduan lalu lintas udara dapat dilakukan dengan maksimal. Dalam prosesnya tentunya harus ada proses uji coba selama beberapa waktu untuk survey. Dari survey tersebut, ternyata ada beberapa masalah baru yang muncul yang memungkinkan dapat mengganggu jalanya komunikasi antar pilot dengan ATC. Dari uraian diatas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi teknis dan kinerja peralatan VHF A/G-ER setelah dipasang ? 2. Bagaimana hasil dari Penempatan peralatan VHF A/G-ER di Kalimarau Berau ? METODE Rancangan penelitian ini bisa dilihat pada diagram alir pada Gambar 2. Gambar 2 diagram alir rancangan penelitian Sasaran dari penelitian ini difokuskan pada peralatan VHF A/G-ER dengan membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi yang diinginkan. Data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung dari survai di lapangan serta wawancara dengan pengguna dalam hal ini ATC. Sedangkan data sekunder didapatkan dari log-book, manual book. Sedangkan metode analisa dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan metode gap analysis untuk mengetahui kesenjangan dari kondisi yang seharusnya dan kondisi saat ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/157/IX/2003 didapatkan hasil. - Mean Time Between Failure = MTBF =(Waktu operasi yang aktual)/(Jumlah kegagalan) Vol. 1 No. 1 April 2017 22 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 - - - - e-ISSN : 2548-810X MTBF=2187 Aviability = A = (Waktu yang aktual)/(Waktu operasi yang ditetapkan) X 100% A=99,863% Mean Time To Repair = MTTR = (Jumlah waktu tidak beroperasinya peralatan karena kegagalan)/(Jumlah kegagalan) MTTR=3 jam Reliability = R = 100 eWaktu yang ditetapkan/MTBF t = 4380 (satu tahun) dari peralatan VHF A/G ER tersebut adalah: R = 13.45% Hasil Pemasangan Sebelum terpasang peralatan VHF A/G ER di Berau terdapat area yang mempunyai kondisi dimana Pilot dengan ATC Tarakan, tidak bisa berkomunikasi (blank area). Menurut hasil wawancara dengan Unit ATC Tarakan. ATC tidak bisa berkomunikasi di area berikut. - Pada ketinggian di bawah 7000 feet pada jarak diatas 120 NM. - Pada ketingian di bawah 15000 NM sampai pada jarak 160 NM keatas. - Pada Ketinggian 20000 feet kebawah pada jarak 182,5 NM Hal ini disebabkan oleh sifat pancaran gelombang VHF yang Line Of Sight yaitu sifat gelombang yang lurus sehingga area yang tertutup oleh lekuk bumi tidak dapat berkomunikasi. Untuk mencari titik line of sight menggunakan berdasarkan rata-rata lekuk bumi adalah : D = 2,5 X (√H + √h) Dimana D = Jarak (Nautical Miles) H = Tinggi Pesawat h = Tinggi Antenna Vol. 1 No. 1 April 2017 (1) Area yang tidak bisa berkomunikasi (Blank) dan plot garis line of sight berdasarkan persamaan ditampilkan pada Gambar 3. Gambar 3 Area Pemanduan, Blank Area dan Line Of Sight Tarakan Satuan Jarak Mil Laut, Satuan Tinggi Feet Berdasarkan hasil survei, setelah di pasang VHF A/G-ER, maka area yang sebelumnya blank menjadi bisa berkomunikasi, tetapi terdapat masalah baru yang mucul yaitu terdapat gangguan pada area suara pada daerah yang sebelumnya tidak terjadi gangguan. Gangguan tersebut berupa dua suara yang di terima dengan beda waktu minimal 500 milisecond sehingga suara yang diterima menjadi tidak jelas. Ilustrasi dari bertemunya 2 suara yang sama dengan waktu yang berbeda ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 Deskripsi gangguan suara pada penerimaan Hal ini disebabkan oleh waktu delay sekali pancar ke satelit yang dibutuhkan dalam proses pengiriman data dari tarakan 23 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X ke berau dan sebaliknya melalui menggunakan fasilitas Very Small Aparture Terminal. Ditampilkan pada Gambar 5. APP TARAKAN Gambar komunikasi 7 Area W18 Pertemuan jangakuan Tarakan dan Berau Satuan Jarak Mil Laut, Satuan Tinggi Feet Gambar 5 Delay minimal komunikasi menggunakan satelit dari hasil survei penerimaan di darat, terdapat tiga kondisi komunikasi dengan pesawat berdasarkan letaknya. Yaitu kondisi hanya bisa berkomunikasi dengan VHF A/G Tarakan saja (Kondisi A), kondisi hanya bisa berkomunikasi dengan VHF A/G-ER Kalimarau Berau saja (Kondisi B). Dan kondisi bisa berkomunikasi VHF A/G Tarakan dan VHF A/G-ER Kalimarau Berau (Kondisi C). kondisi tersebut tampil pada Gambar 6. Analisis kesenjangan Anilisa kesenjangan Kondisi teknis peratatan dianalisa dengan cara membandingkan kondisi eksisting dengan kondisi menurut buku manual peralatan VHF-A/G yang di tampilkan pada Tabel 1. Analisa kesenjangan pada kinerja dilakukan dengan membandingkan kinerja peralatan menurut SKEP/157/IX/2003 dengan Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun 2011 . Analisa kesenjangan kondisi komunikasi dilakukan pemasangan dan dengan kondisi yang diinginkan oleh pengguna dalam hal ini adalah ATC Tabel 1 analisis kesenjangan kondisi teknis Pengujian di darat Tx1 no 1 2 3 4 Gambar 6 kondisi-kondisi area komunikasi Dengan menggunakan grafik Line Of Sight VHF A/G Tarakan denga VHF A/GER Kalimarau Berau. Dan area potensi gangguan yang muncul setelah pemasangan adalah seperti Gambar 7. Vol. 1 No. 1 April 2017 no parameter Frequncy (MHz) Offset (Khz) Fwd Power (Watt) VSWR Hasil PD Yang diinginkan Tx2 keterangan 125.5 125.5 5 0;+2.5;+5; +7.5 Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan 95 100 kesenjangan 1.2 1.7 max 5 Modulation 86% 80% + 10% 6 Change Over OK OK 7 Interkoneksi OK OK 8 Indikator lamp & metering OK OK 9 Squeld 30/OK 0-50 (skala pabrik) Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan Hasil PD Yang diinginkan keterangan 125.5 125.5 5 0;+2.5;+5;+7. 5 Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan 95 100 kesenjangan 1.2 1.7 max 87% 80% + 10% OK OK OK OK OK OK Tidak ada kesenjangan 30/OK 0-50 (Skala pabrik) Tidak ada kesenjangan Tabel 2 Analisis kesenjangan kinerja Kondisi Kinerja PM 57 Keterangan existing 24 Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan Tidak ada kesenjangan APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Tidak ada kesenjangan Tidak ada Aviability 99,863% 99,00% kesenjangan Tabel 3 Analisa Kesenjangan Kondisi Komunikasi 1 MTBF 2 No Parameter 1 2 1 Menutup blank area 2 Kualitas Suara 3 Peletakan VHF A/G ER 2487 jam Kondisi terakhir 3 Pada proses penerimaan saja Terjadi interfern dikarenakan delay satelit Pada daerah perpotongan Daerah perpotongan yang relatif kecil pancaran. 1000 jam Kondisi yang diiginkan 4 Dapat berkomunikasi dua arah Keterangan 5 Ada kesenjangan Suara bisa diterima dengan baik di semua area pemanduan Ada kesenjangan Terdapat daerah perpotongan yang cukup besar. Ada kesenjangan Berdasarkan analisis kesenjangan diperoleh - Tidak ada kesenjangan antara kondisi teknis dan kinerja peralatan antara kondisi yang seharusnya dan kondisi saat ini - Diperoleh hasil kondisi antara kondisi komunikasi antara peralatan dan kondisi yang diinginkan terdapat kesenjangan atau kondisi komunikasi tidak sesuai. Dimana terdapat gangguan berupa pertemuan antara sinyal VHF-A/G Tarakan dan VHF-A/G dengan beda waktu minimal 240 milisecond yang merusak kualitas suara. PENUTUP Simpulan Kondisi teknis peralatan VHF A/G-ER yang dipasang di Kalimarau Berau sesuai dengan buku manual peralatan, sedangkan kinerja peralatan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun Vol. 1 No. 1 April 2017 2011 Kondisi penempatan di Kalimarau Berau dapat menutup Blank Area tetapi menimbulkan masalah baru yaitu kualitas suara yang tidak jelas akibat pertemuan sinyal VHF-A/G Tarakan dengan VHF A/G-ER Kalimarau Berau yang tertunda dikarenakan delay pada VSAT. Saran Guna meminimalkan daerah pertemuan antara sinyal VHF A/G Tarakan dan VHF A/G-ER, disarankan untuk relokasi dengan menggunakan analisis Line of Sight pancaran sehingga didapatkan temuan seminimal mungkin. Disarankan pengkajian pengalihan koridor W-18 atau pembagian dalam sektor sehingga penggunaan VHF A/G ER dengan frekuensi yang sama dengan VHF A/G utama dapat dihindari. DAFTAR PUSTAKA [1] IRAC SUPLEMENT 13/08 ATTACHMENT “D” Directorate General of Civil Aviation, Indonesia, 2008. [2] Dannis Roddy. Satellite Communications, Third Edition TLFeBOOK: 301. [3] Merez, Laszlo. Marine VHF Radio Handbook, Queensland : Mercator 2010 : 45. [4] Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/157/IX/2003 Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun 2011 25 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X RANCANG BANGUN HIGH GAIN LOW NOISE AMPLIFIER UNTUK MENINGKATKAN SENSITIFITAS RECEIVER PADA VHF AIR GROUND COMMUNICATION Muh WildanS.T;M.T , Ibnu Hermawan,SSiT;SiP; MSc, Akhmad Teguh Prihandoyo Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Tangerang. Abstrak Kata Kunci I. Radio receiver VHF A/G communication is a super heterodyne radio system, so that the radio system has a couple of blocks of the circuit and has own function. One part of the radio receiver is a Low Noise Amplifier (LNA). LNA is an important part of a radio receiver system and almost all communication equipment systems. LNA serves to strengthen the extremely weak signals captured by the antenna by adding a little bit of noise and minimize signal distortion. LNA has a specification that must be considered, such as stability, noise figure, gain, bandwidth, linearity, and dynamic range. Therefore, the LNA is very important, it is necessary to design the LNA. To increase the production of the gain can be done by designing a multistage LNA. This multistage LNA was designed using a voltage divider biasing. It was fabricated by using the Print Circuit Board with FR4 material or epoxy and using surface mounting device components. The operating point of amplifier at Ic = 5mA, VCC = 12V and VCE = 8V, requires power consumption DC by 151.2mW. This multistage LNA was simulated and the result of parameter in bandwidth show good performance and still meet the design specification. The value of parameter are stability factor in bandwidth was obtained 1.966-2.15 and noise figure 1.481-1.636dB, gain (S21) 40,168 until 43.28dB, reverse voltage gain (S12) -55.3dB until -53.53dB, output return loss (S22) below -9.4dB, at the center frequency 127.5MHz got S21=42.3dB, S11=-52.3dB, S22=-46.7dB, input VSWR=1.005 and output VSWR=1.01. This design has a good parameter and the corresponding design specifications, is expected to be applied to VHF A/G communication equipment in Sultan Bantilan Tolitoli Airport. By increasing the LNA gain can increase the sensitivity of the equipment VHF A/G communication so that air traffic controller and the pilot did not have communication problems. Multistage LNA, LC-Resonator, VHF A/G Communication PENDAHULUAN Radio VHF Air Ground (VHG A/G) Communication memiliki spesifikasi khusus yang telah diatur oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) antara lain bekerja pada frekuensi 117,975 MHz sampai dengan 137 MHz dan memiliki kestabilan fekuensi yang dianjurkan pada sistem peralatan radio komunikasi adalah ±0.0001% dari frekuensi yang digunakan.[1] Faktor sensifitas dari receiver yang diberikan peralatan setelah dikurangi rugi-rugi transmisi dan antena seharusnya masih dapat menerima dan mengolah sinyal sampai dengan – 107 dBm.[1] Ketika peralatan bekerja pada suatu bandwidth sebaiknya mempunyai keefektifan sinyal yang dapat diterima sebesar ±0.0005% dari bandwidth frekuensi yang digunakan. Dan yang terakhir radio penerima VHF A/G sebaiknya mempunyai adjacent channel rejection sebesar 60dB atau lebih. RF amplifier atau disebut Low Noise Amplifier (LNA) berfungsi menguatkan sinyal yang sangat lemah yang ditangkap oleh antena dengan mengurangi Vol. 1 No. 1 April 2017 noise yang dihasilkan dan meminimalisasi terjadinya distorsi. LNA ini memegang peran penting pada sistem radio penerima karena akan mempengaruhi noise figure sistem secara keseluruhan terkait dengan sensitifitas radio penerima, selektifitas dan produksi kegagalan penerimaan. Perancangan LNA menjadi sangat penting dan harus memiliki spesifikasi yang harus diperhatikan antara lain stability, noise figure, gain, bandwidth, linearity, dan dynamic range. [2] Perancangan co-design dual band LNA pada radio navigation aids yang dilakukan oleh Muh Wildan menggunakan single stage LNA konfigurasi bias collector feedback. Hasil simulasi yang dihasilkan pada frekuensi 113 MHz menghasilkan gain sebesar 24.111dB dengan noise figure sebesar 1.148 dB.[3] Sedangkan perancangan low noise amplifier dan bandpass filter pada sistem receiver payload komunikasi satelit oleh Rhyando Anggoro Adi. Rancangan ini menggunakan single 26 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 1. Diagram blok Radio Penerima VHG Air Ground Communication dan posisi bagian perancangan LNA stage LNA kelas A dengan menggunakan VHF A/G yang murah dan memiliki dimensi bias voltage divider menunjukan nilai yang lebih kecil maka perlu dilakukan simulasi didapatkan gain 22.8dB dan noise perancangan LNA dengan berbasis figure sebesar 1.2 dB.[4] Perancangan single komponen lumped SMD yang nantinya stage LNA pada peralatan radar ADSB pada diharapkan dapat memiliki parameter LNA frekuensi 1090 MHz menggunakan single didalam bandwidth frekuensi kerja dari VHF stub matching yang dilakukan Daverius A/G terpenuhi.. Gambar 2. Ilustrasi Penempatan Gambar/Diagram 2. Untuk gambar dengan lebar melebihi lebar 1 kolom atau Blok diagram penerima radio VHF Ma’arang gaindimensi sebesar 17.081dB mendekatidiperoleh lebar 2 kolom, gambar dapat disesuaikan hingga lebar sistem maksimal sama dengan lebar Air total dandua noise figure sebesar 1.95 dB.[5] Ground Communication terlihat pada Gambar 1. kolom (14,2 cm). Gambar diposisikan di bagian paling atas (pada MsWord, pilih position pada menu Format) atau paling bawah halaman seperti contoh ini. Nama dan keterangan gambar ditulis di bawah gambar. Untuk meningkatkan kinerja sensitifitas Sementara pada bagian tersebut juga terlihat Nomor gambar tebal. Gambar dibuat tanpa frame tepi. Dimensi dan jenis huruf nama dan keterangan peralatan dandicetakmemudahkan dalam bagian perancangan High Gain Low Noise gambar mengikuti template ini. Resolusi gambar minimal 150 dpi. ketersediaan modul LNA pada peralatan Amplifier multistage yang akan diusulkan. PERANCANGAN HIGH GAIN LOW NOISE AMPLIFIER LNA merupakan rangkaian terdepan dari perangkat radio penerima yang memegang peranan sangat penting dalam perangkat receiver. Apabila blok LNA ini terjadi kegagalan maka sistem radio penerima akan mengalami kegagalan fungsi sistem secara keseluruhan. Kegagalan tersebut antara lain penurunan sensitifitas penerimaan dan produksi noise yang dihasilkan akan besar sehingga akan mengganggu kualitas keluaran yang dihasilkan peralatan sistem radio penerima. Oleh karena itu blok LNA ini sangat penting dalam sistem radio penerima VHF A/G Vol. 1 No. 1 April 2017 sehingga diperlukan perancangan blok LNA yang baik untuk meningkatkan kinerja peralatan LNA dan menyediakan modul LNA yang murah dan kemudahan dalam perawatan. rangkaian LNA yang baik perlu memperhatikan beberapa parameter antara lain noise figure, kestabilan, gain, VSWR, input return loss, dan output return loss.[6] Perancangan LNA ini membutuhkan gain yang tinggi sehingga penggunaan single stage LNA belum cukup untuk mencapai target gain yang diinginkan. Guna meningkatkan gain yang lebih tinggi, perancangan amplifier dibuat dengan multistage amplifier,[7] perancangan multistage LNA ini hanya menggunakan dua 27 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X tingkat. Ini berarti menggunakan keluaran dari tingkat pertama sebagai masukan tingkat kedua, sehingga gain yang dihasilkan akan bertambah. Gambar 2. Blok Diagram Multistage LNA Gambar 2. memperlihatkan blok diagram sistem perancangan multistage LNA yang akan dibuat. Pada design ini menggunakan komponen lumped berupa inductor dan kapasitor. Spesifikasi ini digunakan sebagai acuan pencapaian target kerberhasilan kerja rangkaian yang akan dicapai. Tabel 1. memperlihatkan data spesifikasi rancangan multi stage LNA yang harus terpenuhi dalam merancang. Tabel 1. Spesifikasi Rancangan Multistage LNA No. Spesifikasi Nilai 1. Frekuensi kerja 118– MHz 2. Frekuensi tengah 127.5 MHz 3. Bandwidth 19 MHz 4. Gain > 30 dB 5. Noise Figure < 2 dB 6. Input Return Loss < -10 dB 7. Output Return Loss < -10 dB 8. Kestabilan (K) >1 9. Power Supply 12 Volt 10. Power Consumption Vol. 1 No. 1 April 2017 137 LNA dirancang menggunakan transistor 2SC3583 yang memiliki karakteristik small amplifier untuk LNA dan dapat dioperasikan pada band VHF, sehingga cocok untuk diterapkan pada rancangan, disamping memiliki gain yang tinggi dan noise yang rendah. DC bias menggunakan konfigurasi collector feedback biasing. Kelas amplifier yang digunakan pada perancangan telah ditentukan sebelumnya, yaitu menggunakan kelas amplifier tipe A. Penentuan titik kerja agar bekerja pada kelas A adalah menentukan titik operasi pada bagian tengah garis beban kurva IV yang telah dibuat [7][8][9]. Titik operasi transistor yang dipilih pada VCC = 12 Volt, VCE = 8 Volt, IC = 5 mA, Hfe = 75 dikarenakan titik operasi ini berada pada tengah garis beban sehingga termasuk kedalan amplifier kelas A dan titik kerja ini direkomendasikan pada datasheet dengan asumsi gain, noise figure dan karakteristik lainnya diharapkan sesuai untuk mencapai target spesifikasi. Dengan target bias diatas, maka power consumption quesient = 40 mW. A. Bias Transistor Pada perancangan bias transistor menggunakan topologi voltage divider yang tidak terpengaruh terhadap perubahan suhu. Terlebih dengan penambahan kapasitor yang diparalelkan dengan tahanan emitter agar rangkaian lebih stabil ketika ada perubahan suhu tanpa mengganggu kinerja operasi DC. Perhitungan penentuan nilai tahanan menggunakan aturan rule of thumb target bias sesuai dengan yang telah direncanakan. Pada Gambar 3 menunjukkan perancangan bias yang digunakan. DC <150 mW 28 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 4. Rangkaian DC Blok dan DC Feed Gambar 3. Rancangan topologi bias transistor Pada rangkaian bias DC juga ditambahkan DC block dan DC Feed. DC blok berfungsi untuk memblok arus DC agar tidak keluar dari rangkaian bias transistor dan mengalirkan sinyal AC, sehingga tidak mempengaruhi titik kerja rangkaian amplifier dan DC feed berfungsi untuk mencegah sinyal AC masuk kedalam operasi DC dan mengijinkan sinyal DC untuk melalui komponen tersebut. Perhitungan nilai C menggunakan frequency terendah yaitu 118,0 MHz dan diharapakan nilai XC mendekati 0 (ideal) dan nilai L menggunakan frequency tertinggi yaitu 137,0 MHz dan diharapkan nilai XL mendekati 0 (ideal). Rangkaian bias secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 4. Rangkaian tersebut kemudian disimulasikan untuk mengetahui besaran nilai Voltage gain pada rentang frequency yang akan diterapkan pada VHF A/G Communication. Input tegangan sebesar 1Volt diberikan pada amplifier tersebut dan hasil pengukuran didapatkan output tegangan sebesar 7Volt. Ini berarti amplifier bekerja dengan baik, dan bila dikonversikan dalam satuan decibel maka didapatkan penguatan gain sebesar 17dB. Seperti terlihat dalam grafik pengukuran Voltage gain pada gambar 5. Gambar 5. Grafik Voltage Gain Volt vs Voltage Gain dB B. Kestabilan LNA Salah satu cara untuk mengetahui kestabilan rangkaian adalah dengan melakukan pengujian nilai rollet’s stability factor (K) dan nilai β sesuai dengan persamaan , rangkaian dikatakan dalam kondisi stabil apabila nilai K>1 dan β<1. [10]. Perhitungan dapat dilakukan dengan mengetahui S-parameter rangkaian yang telah ditambahkan rangkaian bias dengan DC Blok dan DC Feed. βββ = π11. S22 − S12. S21 πΎ= 1−βπ11β2−βπ22β2 +βββ² 2βπ12.S21β (1) (2) Hasil simulasi S-parameter pada frequency 118,0MHz adalah S11=0.652 ∠- Vol. 1 No. 1 April 2017 29 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X 8.429° S21=7.042° ∠120.610 ° S12=0.024 ∠87.227 ° S22=0.739 ∠-5.988 °. Sehingga hasil perhitungan didapatkan K=1,2. Ini menunjukkan bahwa LNA dalam kondisi unconditionally stable. C. Impedance Matching Rangkaian impedance matching ini bertujuan untuk menyesuaikan impedansi rangkaian amplifier dengan impedansi media transmisi sebesar 50 Ohm, sehingga penguatan akan lebih optimal dengan noise figure yang kecil. Perancangan impedance matching ini dilakukan dengan menggunakan smith chart sehingga akan tidak perlu melakukan perhitungan-perhitungan yang rumit. Impedance matching ini dilakukan pada input dan output rangkaian amplifier. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari nilai source reflection coeffcient dan load reflection coeffcient optimal dengan noise figure yang kecil dan berada pada kondisi unconditionally stable.[10] Pemilihan source reflection coeffcient dan load reflection coeffcient harus hati-hati dengan memperhatikan rangkaian masih dalam kondisi unconditionaly stable sehingga perlu dilakukan penggambaran input stability circle dan output stability circle pada smith chart untuk memastikan pemilihan reflection coefficient nantinya berada dalam kondisi unconditionally stable. Frekuensi matching yang digunakan adalah 127.5 MHz sebagai frekuensi tengah dengan S-parameter yang telah diketahui. Langkah pertama menghitung nilai βββ : dan didapatkan nilai sebesar 0,6203 dan selanjutnya menghitung nilai C1 sebagai berikut : C1 = π11 − βs. S22° (3) Dari hasil perhitungan didapatkan nilai C1 0.210∠ − 29.91 Langkah kedua menghitung nilai C2 sebagai berikut. C2 = π22 − βs. S11° (4) Dari hasil perhitungan didapatkan nilai C2 sebesar 0.350∠ − 17.295° . Langkah ketiga menghitung letak pusat Vol. 1 No. 1 April 2017 lingkaran dari input stability circle dengan persamaan. Cs = πΆ1° (5) βπ11β2 −βπ₯π β² Langkah keempat menghitung jari-jari lingkaran dari input stability circle dengan persamaan Rs = β π12π21 βπ11β2 −βπ₯π β² β (6) Langkah kelima menghitung letak pusat lingkaran dari output stability circle dengan persamaan. Cl = πΆ2° (7) βπ22β2 −βπ₯π β² Langkah keenam menghitung jari-jari lingkaran dari output stability circle dengan persamaan. Rl = β π12π21 βπ22β2 −βπ₯π β² β (8) Setelah semuanya telah diketahui selanjutnya menggambarkan stability circle tersebut untuk frekuensi 127.5 MHz pada smith chart letak input stability circle dan output stability circle hanya tergambar garis dikarenakan radius dari keduanya sangat besar dan berada diluar smith chart. Oleh karena S11 dan S22 pada bernilai kurang dari satu maka semua area dialam smith chart adalah area stabil. Oleh karena semua area didalam smith chart adalah area stabil, maka proses perancangan dapat dilanjutkan dengan mencari nilai konjugasi impedansi sumber dan impedansi beban dengan langkah pertama mencari nilai source reflection coefficient dan load reflection coefficient.[11] Dengan perhitungan nilai C2 sebesar 0.350∠-17.295° dan nilai β sebesar 0.6203∠3.881°. Sehingga perhitungan B2 dapat dilakukan dengan persamaan : π΅2 = 1 + βπ22β2 − βπ11β2 − βπ·π β² (9) Dari hasil perhitungan B2 didapatkan nilai positif maka untuk penggunaan rumus 30 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X mencari magnitude ΓL (load reflection coefficient) [11] menggunakan tanda negatif sehingga persamaan : βπ€πβ = π΅2−√π΅22 −4βπΆ2β² 2βπΆ2β (10) Dari perhitungan diatas dihasilkan magnitude untuk load reflection coefficient berada di 0.726, sedangkan untuk besar sudutnya didapatkan dengan membalikan tanda bilangan pada sudut C2. Sehingga magnitude dan sudut untuk koefisien refleksi beban berada pada 0.726∠17.925°. Nilai load reflection coefficient ini kemudian digunakan untuk mencari nilai source reflection coefficient dengan menggunakan persamaan π€π = βπ11 + π12∗π21∗π€π β° 1−(π€π∗π22) karena nilai dari ZIN ini bernilai komplek maka perlu dikonjugasikan terlebih dahulu menjadi 212-j66.755 Ohm. Kedua nilai ini perlu dinormalisasikan dengan 50 Ohm terlebih dahulu agar mudah untuk penggambaran pada smith chart, sehingga menjadi ZO=1+J0 Ohm dan ZS=4.24-J1.335 Ohm. (11) Dari perhitungan diatas dihasilkan source reflection coefficient berada pada 0.6363∠9.684°. ΓS dan ΓL ini kemudian digambarkan pada smith chart yang tergambar pada lampiran 3. Dengan melihat smith chart secara langsung sehingga nilai impedansi beban (Zout) diketahui sebesar 5.92+J1.95 Ohm, kemudian nilai ini dinormalisasikan dengan 50 Ohm menjadi Zout= 296.164+j97.638 Ohm. Untuk impedansi sumber (Zin) sebesar 4.24+J1.335 Ohm, kemudian dinormalisasikan dengan 50 Ohm menjadi Zin=212+j66.755 Ohm. Setelah impedansi sumber dan beban diketahui langkah selanjutnya adalah membuat rangkaian input matching impedance dan output matching impedance. D. Rangkaian Input Impedance Matching Gambar 6. Input Impedance Matching Dikarenakan input impedance matching menggunakan tiga elemen mathcing maka perlu ditentukan nilai Q terlebih dahulu. Nilai Q ini berpengaruh terhadap bandwidth frekuensi kerja yang digunakan, semakin rendah nilai Q maka bandwidth frekuensi semakin lebar.[11] Nilai Q yang digunakan adalah 2. Nilai Q ini digambarkan pada smith chart. Gambar 6 menunjukkan rancangan rangkaian input impedance yang akan digunakan sedangkan gambar 7 menjelaskan proses penentuan nilai C dan L yang akan digunakan menggunakan smith chart. Perancangan input impedance matching menggunakan rangkaian tiga komponen dengan konfigurasi “T” dengan susunan high pass filter. Penggunaan konfigurasi ini dikarenakan input LNA diinginkan bandwidth frekuensi yang sempit dan menghasilkan noise figure yang kecil. Pada input impedance matching ini dilakukan penyesuaian impedansi saluran transmisi (Zo) sebesar 50 Ohm dengan ZIN yang bernilai komplek sebesar 212+j66.755 Ohm. Oleh Vol. 1 No. 1 April 2017 31 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Pada penambahan nilai seri kapasitor C5 mengasilkan capasitive reactance sebesar – JX= 0.449 Ohm sehingga nilai kapasitor C5 dihitung dengan persamaan 1 πΆ5 = πππ 1 = 2 ∗ 3.14 ∗ 127.5 106 ∗ 0.449 ∗ 50 1 = 17984.8 ∗ 106 = 55.6 ππ» E. Rangkaian Output Impedance Matching Gambar 7. Penggambaran smith chart untuk input impedance matching pada LNA Perancangan output impedance matching ini menggunakan rangkaian tiga komponen konfigurasi “Pi” karena untuk keluaran LNA menginginkan bandwidth yang lebar. Konfigurasi “Pi” ini dirangkai dengan cara low pass filter yang ditandakan induktor yang dihubungkan secara seri. Cara membuar impedance matching network dengan menggariskan poin ZIN menuju ke ZO. Pada penambahan nilai seri kapasitor C4 menghasilkan capasitive reactance sebesar –JX= 1.99 Ohm sehingga nilai kapasitor C4 dapat dihitung dengan persamaan: πΆ4 = 1 πππ 1 2 ∗ 3.14 ∗ 127.5 106 ∗ 1.99 ∗ 50 1 = 79710 ∗ 106 = 12.54 ππΉ = Pada penambahan nilai paralel induktor L5 mengasilkan inductive susceptance sebesar –JB = 0.483 mhO sehingga nilai kapasitor L5 dapat dihitung dengan persamaan π πΏ5 = π∗π΅ 1 = 2 ∗ 3.14 ∗ 127.5 106 ∗ 0.483 = 129.1 ππ» Vol. 1 No. 1 April 2017 Gambar 8. Output Impedance Matching Pada output impedance matching ini dilakukan penyesuaian impedansi konjugasi sumber rangkaian (ZOut) sebesar 296.164+j97.638 Ohm dengan impedansi saluran transmisi rangkaian (ZL) yang bernilai 50 Ohm. Kedua nilai ini perlu dinormalisasikan dengan 50 Ohm terlebih dahulu agar mudah untuk penggambaran pada smith chart, sehingga menjadi ZOut=5.92+J1.95 Ohm dan ZS=1+J0 Ohm dan ZOUT dikonjugasikan menjadi 5.92-J1.95, 32 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X proses output impedance digambarkan pada gambar 9. matching πΏ6 = ππ π 1.74 ∗ 50 2 ∗ 3.14 ∗ 127.5 106 87 = 801 ∗ 106 = 108.6 ππ» = Pada penambahan nilai paralel kapasitor C6 mengasilkan capasitive susceptance sebesar +JB= 0.79 mhO sehingga nilai kapasitor C6 dapat dihitung sebagai berikut. πΆ6 = π΅ π∗π 0.79 2 ∗ 3.14 ∗ 127.5 106 ∗ 50 = 19.7 ππΉ = Setelah diketahui nilai-nilai komponen impedance matching maka rancangan single stage LNA tergambar pada gambar 10. Gambar 9. Penggambaran smith chart untuk output impedance matching pada LNA Sama halnya dengan input impedance matching, output impedance matching juga menggunakan tiga elemen matching, sehingga maka perlu ditentukan nilai Q terlebih dahulu dengan Q sebesar 2. Cara menyesuaikan kedua impedansi ini adalah dengan menggariskan poin ZL menuju ke ZOut pada smith chart.[11] Pada penambahan nilai paralel kapasitor C7 mengasilkan capasitive susceptance sebesar +JB= 1.67 mHO sehingga nilai kapasitor C7 dapat dihitung dengan persamaan π΅ πΆ7 = π∗π 1.67 = 2 ∗ 3.14 ∗ 127.5 106 ∗ 50 = 41.7 ππΉ Pada penambahan nilai seri induktor L6 mengasilkan inductive reactance sebesar +JX= 1.74 Ohm sehingga nilai kapasitor L6 dapat dilakukan perhitungan dengan persamaan Vol. 1 No. 1 April 2017 Gambar 10. Single LNA dengan Input dan Output Impedance Mathcing F. Perancangan Multistage LNA Pada tahapan ini dirancang multistage LNA dengan dua tingkat sehingga dilakukan dengan cara bagian output amplifier pertama digabungkan dengan input amplifier kedua. Perancangan ini tidak perlu melakukan impedance matching lagi karena VSWR yang dihasilkan oleh single stage LNA telah matching, diidentifikasikan dengan nilai input dan output VSWR bernilai satu. Tujuan perancangan untuk mendapatkan gain sesuai 33 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X dengan spesifikasi yang diharapkan yaitu >30 dB yang tidak dapat di capai dengan hanya single stage LNA. Gambar rangkaian dapat dilihat pada gambar 11. Gambar 11. Rancangan Rangkaian Multistage LNA pada VHF A/G Communication HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN Analisis simulasi ini dilakukan pada parameter-parameter penting guna melihat parameter sudah sesuai dengan spesifikasi multistage LNA yang telah ditentukan. Simulasi menggunakan software ADS versi 2009. II. a. Analisis Simulasi Kestabilan Analisis ini dilakukan untuk memastikan rangkaian multistage berada pada kondisi unconditionally stable. Gambar 12 memperlihatkan grafik nilai stability factor dari frekuensi 118 MHz sampai dengan 137 MHz. Data didapatkan dengan melakukan perhitungan rollet’s stability. Grafik tersebut menunjukan nilai K>1 yaitu berada pada nilai 1.99 sampai dengan 2.15. Gambar 12. Analisis Simulasi Kestabilan Multistage LNA b. Analisis Simulasi S21 dan S11 Analisis simulasi gain dan input return loss ini diperlihatkan pada gambar 13. (a) (b) Vol. 1 No. 1 April 2017 34 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 13. Grafik (a) S21 dan (b)S11 Multistage LNA Nilai S21 multistage pada frekuensi tengah 127.5 MHz sebesar 42. 245 dB naik sebesar 21.123 dB dari single stage LNA sedangkan nilai S11 multistage pada frekuensi 127.5 MHz sebesar -52.47 dB turun sebesar -3.598 dB dari single stage LNA. Data tersebut telah memenuhi spesifikasi rancangan dengan input return loss <-10dB dan gain >30dB c. Analisis Simulasi S12 dan S22 Analisis reverse voltage gain dan output return loss ini diperlihatkan pada gambar 14. frekuensi 127.5 MHz sebesar -46.169 dB turun sebesar -3.598 dB dari single stage LNA. Data tersebut telah memenuhi spesifikasi rancangan mesikipun S22 pada frekuensi 137 MHz sedikit dibawah spesifikasi dengan output return loss <10dB dan reverse voltage gain <-30dB. d. Analisis Simulasi VSWR Analisis simulasi Voltage Standing Wave Ratio bertujuan memeriksa frekuensi tengah dalam kondisi matching. Gambar 15 menggambarkan grafik data simulasi VSWR tiap frekuensi, dan data pada frekuensi tengah dihasilkan input VSWR sebesar 1.005 dan output VSWR sebesar 1.01 maka rancangan telah matching dan syarat parameter VSWR terpenuhi. (a) Gambar 15. Grafik VSWR MultiStage LNA e. Analisis Simulasi Noise Figure Gambar 16 menunjukan grafik data noise figure rancangan multistage LNA. (b) Gambar 14. Grafik (a) S12 dan (b) S22 Multistage LNA Nilai S12 multistage pada frekuensi tengah 127.5 MHz sebesar -53.823 dB turun sebesar -26.912 dB dari single stage LNA. Untuk nilai S22 multistage pada Vol. 1 No. 1 April 2017 35 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 16. Grafik Data Noise Figure Multistage LNA Dari data grafik didapatkan noise figure sebesar 1.636 dB pada frekuensi 118 MHz dan nilai terendah sebesar 1.481 dB pada frekuensi 137 MHz. sehingga dinyatakan parameter noise figure sudah memenuhi target spesifikasi rancangan. III. HASIL FABRIKASI DAN PENGUKURAN Pabrikasi PCB dengan double layer (dua sisi) dengan transmisi grounded coplanar dengan mengisi jalur yang kosong sebagai ground pada sisi atas dan ditambahkan seluruh sisi bawah hanya sebagai ground. Lebar jalur hubungan komponen sebesar 0.4064 mm dan untuk lebar isolasi PCB dengan jalur komponen sebesar 0.8126 mm agar aman dari hubungan singkat. Sisi atas dengan sisi bawah dihubungkan dengan melalui through hole planting. Gambar 17 menunjukkan hasil pabrikasi rancangan multistage LNA pada Receiver VHF A/G Communication Vol. 1 No. 1 April 2017 Gambar 17. Hasil Fabrikasi rangkaian multistage LNA VHF A/G Communication Uji coba rancangan dan melakukan pengukuran menggunakan Network Analyzer untuk memastikan bahwa rancangan multistage LNA dapat beroperasi sesuai dengan rencana perancangan yang sudah dibuat. Gambar 18 menunjukan cara melakukan ujicoba rancangan. Hasil pengukuran S21 dan S11 pada frekuensi tengah 127.5 MHz menunjukan hasil yang berbeda dengan hasil simulasi yaitu sebesar S21 = 16.875 dB dan S11= 7.137dB. Hasil pengukuran S12 dan S22 pada frekuensi tengah 127.5 MHz menunjukan hasil yang berbeda dengan hasil simulasi yaitu sebesar S12 = -47.554 dB dan S22= -9.712 dB. Pada frekuensi tengah diperlihatkan input VSWR adalah 1.020 dan untuk output VSWR adalah 1.050. Hasil pengukuran pabrikasi masih kurang sempurna hasilnya karena beberapa factor pengaruh kondisi lingkungan sekitar rancangan, karena kurang presisinya hasil pabrikasi, penyolderan komponen SMD yang kurang baik, dan ketidak homogenan subtract 36 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X (FR4), nilai toleransi dan kualitas komponen (factor Q) dari komponen SMD yang digunakan, serta faktor kemungkinan terjadinya skin effect pada jalur pcb yang membuat nilai parasitic resistansi, induktansi, dan kapasitansi sehingga akan mempengaruhi nilai impedance matching pada rangkaian. IV. Gambar 18. Ujicoba hasil pabrikasi dengan Network Analyzer VSWR=1.005 dan output VSWR=1.01. Dari hasil pengukuran pada frekuensi 127.5 didapatkan hasil S21= 16.875dB S11=-7.157dB, S12=-47.554dB, S22=-9.712, stability factor=>5 dan VSWR=1.050, perbedaan hasil simulasi dengan hasil pengukuran dikarenakan faktor lingkungan mempengaruhi nilai komponen. KESIMPULAN V. BERDASARKAN PERANCANGAN RANGKAIAN DIDAPATKAN HASIL DAN ANALISA KINERJA MULTISTAGE KESIMPULAN LNA SEBAGAI BERIKUT : 1. Telah dirancang dan dipabrikasi rancangan mutistage LNA VHF A/G communication dengan menggunakan komponen Surface Mounting Divice (SMD). Dari hasil analisis simulasi rancangan multistage LNA VHF A/G ini dihasilkan nilai-nilai parameter LNA didalam bandwith antara lain kestabilan =1.966-2.15 dan noise figure= 1.481-1.636dB, gain=40,168dB-43.28dB, input return loss <-13.63dB, reverse gain=-55.3dB- -53.53dB, output return loss <-9.4dB pada frekuensi 127.5MHz dihasilkan S21=42.3dB, S11=-52.3dB, S22=-46.7dB, input 2. Hasil simulasi rancangan ini memiliki parameter yang bagus dan sesuai spesifikasi rancangan dengan power consumption DC yang kecil sebesar 151.2mW, sehingga diharapkan dapat diterapkan pada peralatan VHF A/G communication. 3. Bertambahnya gain pada LNA diharapkan dapat meningkatkan sensitifitas peralatan VHF A/G communication, sehingga kinerja peralatan VHF A/G semakin bagus. REFERENSI Vol. 1 No. 1 April 2017 [1] ……, Annex 10 Communication System, Vol III 2nd Edition, ICAO, 2007 [2] Ravinder Kumar, Munis Kumar, and Viranjay M. Srivastava, Design and Noise Optimization of RF Low Noise Amplifier for IEEE Standard 802.11A 37 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X WLAN, VLSI design & Communication System (VLSICS) Vol.3 No.2, 2012 [3] Muh Wildan, Co-Design Dual band LNA dan Bandpass Filter Untuk Ground Check Monitoring pada Radio Navigation Aids, Depok: Tesis UI, 2014 [4] Rhyando Anggoro Adi, Rancang Bangun Low Noise Amplifier dan Bandpass Filter pada Sistem Receiver Payload Komunikasi IiNusat, Depok: Skripsi UI, 2011 [5] Daverius Ma’arang, Rancang Bangun LNA untuk ADSB dengan dual stub matching, Depok: Skripsi UI, 2011 [6] Mike Golio, RF and Microwave Passive and Active Technologies, New York: CRC Press, 2008 [7] Malvino, Prinsip-Prinsip Elektronika, Alih Bahasa oleh Ir.Alb.Joko Santoso, Jakarta: Salemba Teknika, 2003 [8] David M. Pozar, Microwave Engineering, 4th Edition, USA: John Wiler & Sons, 2012 [9] Guillermo Gonzalez, Microwave Transistor Amplifier Analysis and Design, New Jersey: Prentice-Hall, 1984 [10] Michael Steer, Microwave and RF Design, North Carolina: Scitech Publishing, 2010 [11] Chris Bowick, RF Circuit Design, Washington: Newnes, 1982 Vol. 1 No. 1 April 2017 38 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Sistem Baterai Charging pada Solar Energy System dengan Buck Boost Converter untuk Berbagai Tingkat Pencahayaan Di Bandar Udara SUWITO1), SUHANTO2), KUSTORI3) Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Surabaya E-mail: [email protected] Abstrak–Indonesia memiliki kurang lebih 237 bandara, sebagai wilayah di daerah khatulistiwa memiliki potensi sumber energi dari matahari yang cukup besar dan dapat digunakan untuk mensuplai energi listrik di bandara terutama di pedalaman. Pemanfaatan energi matahari menggunakan solar cell memerlukan media penyimpanan berupa baterai dan sebuah charge controller. Saat ini charge controller yang banyak digunakan adalah jenis regulator tegangan konvensional dimana proses charging berlangsung hanya saat tegangan luaran solar cell (tegangan masukan regulator) diatas tegangan charging baterai. Sehingga saat solar cell tertutup awan, saat pagi atau sore dimana intensitas cahaya matahari sangat rendah, charging baterai akan berhenti. Akibatnya saat musim penghujan, proses charging baterai pada sistem bekerja tidak maksimal. Pada penelitian ini dibuat sebuah sistem battery charging dengan buck-boost converter. Sistem battery charging ini merupakan sistem pengendali close loop, mikrokontroler sebagai pusat kendali dengan sinyal balikan dari sensor arus dan tegangan yang ada pada luaran solar cell dan masukan baterai. Tegangan luaran sistem ini dijaga sesuai standar tegangan pengisian baterai. Meskipun luaran tegangan dari solar cell dibawah atau diatas tegangan pengisian baterai, luaran sistem battery charging ini tetap konstan dan stabil. Hasil pengujian battery charging menunjukkan efisiensi sistem 78 % saat intensitas matahari tinggi yaitu pada pukul 10.00 sampai 14.00 dan secara keseluruhan tegangan charging rata-rata sekitar 13,6 Volt dengan arus charging rata – rata 1 A. Charging battery 12 Volt membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam.. Kata kunci : Solar Cell, Mikrokontroler, BuckBoost Converer, Battery Charging. I. PENDAHULUAN Tahun 2016 lalu Kementerian ESDM mengalokasikan dana sebesar Rp 1,4 triliun untuk pengembangan aneka energi terbarukan, diantaranya untuk pemasangan solar cell atau panel surya dikantor-kantor pemerintahan, bandara, hingga Lembaga Pemasyarakatan (LP). Perangkat elektronik yang menggunakan sumber energi dari solar cell disimpan dalam sebuah baterai. Baterai merupakan sumber listrik portable yang dapat di isi ulang. Penggunaan listrik PLN untuk pengisian baterai secara terus menerus akan mengakibatkan pemborosan energi listrik dari PLN. Agar tidak terjadi pemborosan energi listrik maka digunakan energi alternatif yang terbarukan. Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia banyak energi alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk dikonversi menjadi Vol. 1 No. 1 April 2017 energi listrik, misalnya angin, cahaya matahari, ombak dan sebagainya. Energi matahari sangat cocok jika dikonversi ke energi listrik karena sinar matahari jumlahnya tak terbatas. Pengkonversian energi matahari ke energi listrik menggunakan solar cell. Karena tegangan solar cell berubah terhadap intensitas cahaya matahari, maka diperlukan sebuah metode untuk mengkonversi agar dihasilkan luaran tegangan yang stabil. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah menggunakan metode buck boost converter bersumber solar cell untuk membuat sistem pengendali pengisian baterai. Metode Buck Boost Converter dipilih karna dapat menstabilkan tegangan keluaran dari solar cell ketika cuaca tidak menentu. Jika intensitas cahaya matahari redup tegangan keluaran panel juga akan rendah, maka converter 39 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X akan berada dalam mode boost untuk meningkatkan level tegangan, sebaliknya jika intensitas cahaya terang tegangan keluaran panel juga akan tinggi, maka converter akan berada dalam mode buck untuk menurunkan level tegangan. Tegangan output dari sistem pengendali ini dijaga sesuai standar tegangan pengisian baterai yaitu 13,6 volt DC. II. TEORI A. 2.1. Solar Cell [1] Solar cell, atau Photovoltaic, adalah perangkat listrik yang mengubah energi cahaya menjadi energy listrik oleh efek photovoltaic. .Solar cell terbentuk dari susunan balok modul photovoltaic, atau dikenal sebagai panel surya. Konvensi energi Photovoltaic dalam solar cell adalah penyerapan cahaya matahari yang menghasilkan hole dan electron.Electron dan hole inilah yang menimbulkan beda potensial dan jika dibuat rangkaian tertutup akan menghasilkan arus listrik. 2.1.2. Baterai Charging[2]. Baterai atau akumulator adalah sebuah sel listrik di mana di dalamnya berlangsung proses elektrokimia yang reversibel (dapat berbalikan) dengan efisiensinya yang tinggi. Proses pengisian baterai adalah proses untuk menempatkan energi ke dalam sel sekunder atau baterai isi ulang dengan mentransfer arus listrik. Pengisian baterai tergantung dari ukuran dan jenis baterai yang sedang diisi. Secara sederhana, proses pengisian baterai isi ulang adalah dengan memasukkan arus secara terusmenerus pada baterai sehingga tegangan bertambah hingga batas tertentu. Proses pengisian baterai secara berlebihan dapat merusak baterai sehingga umur baterai tidak dapat bertahan lama. Secara sederhana, proses pengosongan baterai isi ulang adalah dengan cara menghabiskan arus pada baterai sehingga muatan pada baterai berkurang yang menyebabkan tegangan baterai semakin menurun pada batas tertentu. Kapasitas energi yang disimpan (C) dari sebuah baterai diukur dalam ampere hours atau mA hours. Pada kebanyakan kasus, mode trickle charging (slow Vol. 1 No. 1 April 2017 rate) dengan laju I, sumber arus sebesar C/100 hingga C/10 akan menyebabkan baterai selalu dalam kondisi yang baik untuk waktu yang lama sedangkan pada mode fast chargingdapat menimbulkan panas sehingga gas kimia yang ada pada baterai dapat bereaksi akan menyebabkan baterai akan cepat rusak. C-Rate merupakan definisi untuk arus pengisian dan pengosongan baterai isi ulang. C-Rate dapat dirumuskan menjadi hour .............................................. (2.1) 2.1 Buck- Boost Converter [2] Buck Boost Converter berfungsi untuk mengubah level tegangan DC, baik ke level yang lebih rendah dan ke level yang lebih tinggi. Rangkaian Non-inverting Buck-Boost (NIBB) menggunakan dua buah switch mode buck dan switch mode boost. Rangkaian NIBB mempunyai tiga mode pengoperasian, yakni mode buck , boost dan buckboost. Ketika tegangan input dibawah tegangan yang diinginkan maka rangkaian akan berubah menjadi mode boost. Sebaliknya ketika tegangan input diatas tegangan yang diinginkan, maka mode akan berubah ke mode buck. MODE BUCK Pada mode buck, Switch buck akan mendapat sinyal switching PWM1, sedangkan Switch boost pada kondisi open. Gambar 2.2 Rangkaian Non Inverting Buck Boost Converter mode buck Saat switch buck kondisi ON (close), dioda 1 bekerja reversebias dan dioda 2 bekerja forwardbias, sehingga arus akan mengisi induktor sekaligus menyuplai beban. .............................................. (2.2) ........................................ (2. 3) ........................................... (2.4) 40 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Saat switch buck open, dioda 1 dan diode 2 bekerja forward-bias, arus yang tersimpan di induktor akan menyuplai beban (discharging). .................................................... (2.5) ................................................ (2.6) Sehingga persamaan Vout adalah: ................................. (2.14) Dengan persamaan nilai Vout adalah sebagai berikut: ................................ (2.15) ............................. (2.16) ...................................... (2.7) ....................................... (2.8) ....................................... (2.17) Vout = Vin . D .............................................. (2.9) VI. III. PERANCANGAN SISTEM MODE BOOST A. 3.1 Diagram Blok Sistem Pada mode boost, switch boost mendapat sinyal Diagra fungsional sistem baterai charging switching PWM2 dan switch buck selalu close. dengan buck boost converter untuk berbagai tingkat pencahayaan seperti pada gambar 3.1 berikut. Gambar 2.5 Rangkaian Non Inverting Buck Boost Convertermode boost Saat switch boost pada kondisi ON (close) , D1 dan D2 bekerja reverse-bias, sehingga arus akan mengisi induktor. Polaritas induktor pada sisi kiri lebih positif dibandingkan sisi kanannya. .................................................. (2. 10) .................................................. (2.11) i .............................................. (12) Saat switch boost open maka D1 bekerja reverse bias dan D2 bekerja forward-bias, arus yang tersimpan di induktor akan berkurang karena impedansi yang lebih tinggi. Berkurangnya arus pada induktor menyebabkan induktor tersebut membalik polaritasnya (lebih negatif dari sisi kiri) sehingga arus yang mengalir pada dioda dan pada beban adalah penjumlahan antara arus pada sumber dan arus pada induktor. Disaat yang bersamaan kapasitor akan melakukan penyimpanan energi dalam bentuk tegangan. Boost Converter memiliki luaran lebih tinggi dibandingkan tegangan input. ........................................ (2.13) Vol. 1 No. 1 April 2017 41 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Gambar 3.1 Blok Fungsional sistem baterai charging dengan buck boost converter untuk berbagai tingkat pencahayaan Sistem battery charging menggunakan solar cell sebagai sumber energi listrik .Tegangan luaran solar cell berkisar 0-21 Volt maka diperlukan rangkaian buck boost converter untuk menstabilkan tegangan. Tegangan luaran solar cell dikontrol agar stabil di 13,6 volt sebagai standart pengisian baterai. Pusat pengendali sistem battery charging menggunakan Mikrokontroler. Sumber tegangan Mikrokontoler berasal dari luaran solar cell yang diregulasi dengan dc to dc voltage regulator. Mikrokontroler menghasilkan PWM untuk mengatur switch mosfet pada buck boost converter. Terdapat dua mosfet pada buck boost converter, yaitu mosfet untuk buck dan mosfet untuk boost. Ketika tegangan luaran solar cell dibawah 13,6 volt, maka mosfet mode buck selalu ON dan MOSFET mode boost switching. Sebaliknya ketika tegangan luaran solar cell diatas 13,6 volt, maka mosfet mode buck switching dan mosfet mode boost OFF. Voltage divider mengirimkan sinyal ke mikrokontroler untuk mengubah duty cycle PWM secara otomatis. Sensor arus mengirim sinyal ke mikrokontroler untuk menunjukkan arus yang mengalir pada sumber dan luaran buck boost converter. Tegangan luaran yang telah stabil sebesar 13,6 volt digunakan untuk mengisi baterai. B. Tabel 3.1 Konfigurasi Port Mikrokontroler No Pin Arduino Keterangan 1 Pin A0 2 Voltage (input) Divider 1 Pin A1 Voltage Divider (output) 2 3 Pin A2 Sensor Arus 1 (input) 4 Pin A3 Sensor (output) 5 Pin 9 PWM mode buck 6 Pin 10 PWM mode boost 7 Pin SDA,SCL LCD Arus 2 3.2 Perancangan Perangkat Keras (Hardware) 1) 3.2.1. Sistem Mikrokontroler Pada penelitian ini mikrokontroler berfungsi sebagai pusat kendali sistem. Jenis mikrokontroler yang digunakan adalah ATMEGA 328. Sistem ini terhubung dengan beberapa perangkat pendukung seperti pada Tabel 3.1. Vol. 1 No. 1 April 2017 42 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X c. Menentukan nilai kapasitor ..................................... (3.3) Gambar 3.2. Rangkain Sistem Mikrokontroler 3.2.2. Perancangan Buck-Boost converter Perancangan buck-boost convereter didasarkan beberapa parameter masukan dan luaran dari buck boost yang akan di desain, adapun parameter tersebut seperti pada tabel 3.2. Tabel 3.2 Parameter Perhitungan Buck Boost converter P ( daya ) 27 Watt Vinput ( tegangan input minimal ) 7V Vinput ( tegangan input rata rata tinggi ) 17 V Voutput ( tegangan output yang diinginkan) 13,6 V Ripple Tegangan Output 1% Ripple Arus Induktor 10% Io 2A Rbeban 12 β¦ 2. Perhitungan dengan input 17 Volt a. Menentukan nilai Duty Cycle ..................................... (3.4) b. Menentukan nilai induktor ...................................... (3.5) c. Menentukan nilai kapasitor ................................. (3.6) Berikut perhitungan untuk menentukan nilai dari komponen-komponen yang digunakan : 1. Perhitungan dengan input 7 Volt a. Menentukan nilai Duty Cycle .............................. (3.1) b. Menentukan nilai induktor Dari perhitungan buck boost converter dipilih nilai induktor terkecil 560 mikroHenry dan nilai kapasitor terbesar 470 mikroFarad. Induktor yang digunakan menggunakan jenis toroida dengan spesifikasi sebagai berikut: - Diameter luar toroida = 575 mm - Diameter dalam toroida = 36 mm - Ketebalan toroida = 145 mm - Relative magnetic permeability (µ) = 52 - Diameter kawat = 1.2 mm - Jumlah lilitan =88 lilitan. ............................. (3.2) Vol. 1 No. 1 April 2017 43 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X Pada rangkaian buck boost konverter ini menggunakan 2 buah solid state switch berupa transistor MOSFET, bagian buck menggunakan MOSFET tipe P yaitu IRF9640 dan bagian boost menggunakan MOSFET tipe N yaitu IRF4905. 3.2.3. Perancangan sensor arus dan tegangan Sensor arus dan sensor tegangan digunakan untuk mengukur besarnya arus dan tegangan pada luaran solar cell dan besarnya arus charging pada baterai. Sensor arus pada sistem ini menggunakan tipe ACS712, diaman sensor ini menggunakan prinsip efek hall. Luaran sensor ini adalah sinyal analog dengan range tegangan 0-5 VDC. Rangkaian sensor arus seperti pada gambar 3.3, diaman luaran sensor arus solar cell masuk ke port A2 dan sensor arus pada Gambar 3.5Rangkaian Sistem Battery Charging luaran buck-boost masuk ke port A3 pada C. 3.3 Perancangan Perangkat Lunak (software) mikrokontroler. Bagian perangakat lunak merupakan algoritma pengontrolan pada sistem battery charging ini. Algoritma pengendalian tegangan charging seperti pada flow chart digambar 3.6. Penjelasan flow chart tersebut adalah sebagai berikut: 1. Start adalah ketika program dimulai 2. Inisialisasi port ADC sebagai pembaca sensor Gambar 3.3 Rangkaian Sensor Arus tegangan input pada pin A0, sensor tegangan output pada pin A1, sensor arus input pada A2, Sistem pengukuran tegangan pada sistem ini menggunakan rangkaian pembagi tegangan seperti dan sensor arus output pada A3 pada gambar 3.4. 3. Jika tegangan baterai kurang dari 12,00 volt maka masuk pada proses charging. 4. Jika tegangan luaran solar cell kurang dari 7,50 volt maka sistem tidak berjalan 5. Jika tegangan luaran solar cell diantara 7,50 sampai 13,00 volt, maka PWM_Buck akan ON 2) Gambar 3.4 Rangkaian sensor tegangan Luaran sensor tegangan solar cell masuk ke port A0 dan luaran sensor tegangan pada luaran buckboost pada port A1 pada mikrokontroler. Hasil integrasi perangkat keras dari sistem Battery Chargingini seperti pada gamabr 3.5 berikut. Vol. 1 No. 1 April 2017 dan PWM_Boost akan switching agar tegangan luaran buck-boost terjaga di 13,60 volt (Boost Mode) 6. Jika tegangan luaran solar cell diantara 13,00 sampai 14,00 volt maka PWM_Buck akan switching dan PWM_Boost akan switching agar tegangan luaran buck-boost terjaga di 13,60 volt (Buck-Boost Mode). 44 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X 7. Jika tegangan luaran solar cell diatas 14,00 volt dan sampai batas maksimal 21 volt, maka PWM_Buck akan switching dan PWM_Boost akan OFF agar tegangan luaran buck-boost terjaga di 13,60 volt (Buck Mode) 8. Jika arus output kurang dari 0,2 ampere, dan tegangan luaran buck-boost lebih dari sama dengan 13,60 volt maka proses charge akan berhenti. Gambar 3.17Flowchart algoritma Sistem BatteryCharging sensor tegangan, pengujian sensor arus pengujian VII. IV. PENGUJIAN DAN ANALISA buck boost converter, dan pengujian secara Pengujian sistem bertujuan untuk mengetahui keseluruhan. karakteristik dan kemampuan sistem dalam melakukan fungsinya. Pengujian pada sistem batteryA. 4.1. Pengujian Solar Cell Pengujian bertujuan untuk mengetahui tegangan chargingmeliputi pengujian solar cell, , pengujian tertinggi dan tegangan terendah dari solar cell Vol. 1 No. 1 April 2017 45 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X terhadap pencahayaan matahari mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Pengujian dilakukan dengan mengukur arus dan tegangan luaran solar cell yang diberi beban 12 Ohm. Hasil pengujian terlihat seperti pada grafik luaran solar cel terhadap pencahayaan matahari pada gambar 4.1. Gambar 4.3. Grafik pengujian pembacaan sensor arus oleh sistem terhadap pengukuran dengan amperemeter. Berdasarkan data hasil pengukuran, rerata kesalahan pengukuran arus oleh sistem sebesar 0% hingga 0,8%. Gambar 4.1 Grafik Vout dan Iout Yang DihasilkanC. Solar cell Berdasarkan Gambar 4.1 diperoleh nilai tegangan tertinggi 19,1 Volt dengan arus 1,5 A dan tegangan terendah 15 Volt dengan arus 0,41 A. Pengujian sensor tegangan dan sensor dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi sensor. Hasil pengukuran anta ra pembacaan oleh sistem dengan pembacaan oleh voltmeter seperti grafik pada gambar 4.2. 4.3. Pengujian Buck-Boost Converter Pengujian buck-boost converter bertujuan untuk mengetahui kemampuan sistem dalam mempertahankan tegangan output yang direncanakan yaitu 13,6V (tegangan standar charging battery 12V ) terhadap tegangan masukan arus Gambar 4.4 Grafik Voutputbuck-boost terhadap masukan tegangan yang berubah. 4.4. Pengujian Sistem menyeluruh Pengujian keseluruhan B. 4.2. Pengujian Sensor tegangan dan arus Gambar 4.2.Grafik pengujian pembacaan sensor tegangan oleh sistem terhadap pengukuran dengan voltmeter. Berdasarkan data hasil pengukuran, rerata kesalahan pengukuran tegangan oleh sistem sebesar 0,06% hingga 0,8%. Hasil pengukuran antara pembacaan oleh sistem dengan pembacaan oleh amperemeter seperti grafik pada gambar 4.3. Vol. 1 No. 1 April 2017 bertujuan sistem yang berubah – ubah. Pada pengujian ini tegangan input bervariasi antara 9,5 V hingga 21 V, dan hasilnya seperti grafik pada gambar 4.4, terlihat luarannya tetap konstan. Hasil pengukuran menunjukkan rerata kesalahan outputnya adalah 0,07% hingga 0,2%. 46 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X untuk mengetahui performa sistem sebagai pengisi baterai 12 Volt. Pengujian dilakukan dengan meletakkan solar cell pada ruang terbuka dengan paparan sinar matahari dari pagi hingga sore. Instalasi sistem seperti pada gambar 4.5, yang terdiri atas solar cell, sistem baterai Charging yang dibuat dan sebuah Accu kering 12V 10AH. Gambar 4.7 Grafik Arus luaran solar cell dan luaran buckboost converter pada pengujian sistem secara menyeluruh mulai pukul 08.00 hingga pukul 14.00. Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 merupakan hasil pengujian mulai pukul 08.00 WIB hingga 14.20 WIB. Tegangan charging rata-rata yang terbaca sekitar 13,6 Volt dan arus charging yang dihasilkan rata-rata dibawah 1 Ampere. Charging battery 12 Volt membutuhkan waktu sekitar 5 jam dari keadaan battery 12,12 Volt sampai 12.81 Volt (Full). Charging baterai lebih lama karena cuaca berawan sehingga intensistas cahaya matahari rendah. V. KESIMPULAN Dari pengujian terhadap sistem yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan: 1. Battery charging dapat digunakan untuk mengisi baterai 12 Volt dengan tegangan charging baterai sebesar 13.6 Volt ,arus keluaran rata rata 1 A dengan waktu proses charging baterai rata-rata 4 jam. 2. Tegangan luaran sistem battery charging tetap stabil meskipun tegangan input berubah-ubah. 3. Saat intensitas matahari tinggi yaitu pada pukul 10.00 sampai 14.00 efisiensi mencapai 78%. 4. Sistem charging battery terputus ketika tegangan luaran panel kurang dari 7,5 volt atau pada keadaan arus charging kurang dari 0,2 ampere. 5. Ketelitian sistem dalam mengukur teganganluaran solar cell dan tegangan luaran buck-boost sebesar0.8%. 6. Ketelitian sistem dalam mengukur arus charge dan discharge baterei sebesar 0.8%. VIII. Gambar 4.5Instalasi pengujian sistem battery charge controller. Gambar 4.6 Grafik tegangan luaran solar cell dan luaran buck-boost converter pada pengujian sistem secara menyeluruh mulai pukul 08.00 hingga pukul 14.00. Vol. 1 No. 1 April 2017 47 APPROACH Jurnal Teknologi Penerbangan ISSN : 2548-8090 e-ISSN : 2548-810X DAFTAR PUSTAKA [1] McEVOY Augustin Tom, Castaner Luis, 2013, “Solar Cell Material, Structur, and Operation”, USA. [2] Wiwien Widyastuti, 2011, “Alat Pengukur Tegangan Pengisian dan Pengosongan untuk Baterai Isi Ulang”, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. [3] Datasheet Microcontroller ATMega 128 [4] Haifeng,”Design tips For an Efficient NonInverting Buck-Boost Converter”,Jurnal, Texas Instrument [5] Datasheet ACS712, 2009 “Fully Integrated, Hall Effect-Based Linear Current Sensor with 2.1 kVRMS Voltage Isolation and a LowResistance Current Conductor”, Allegro MicroSystem, diakses pada tanggal 10 April 2016. [6] Pujiono,”Rangkaian Listrik”, Graha Ilmu,Yogyakakarta,2013. [7] ……”Battery State Of-Charge Chart For Voltage & Specific Gravity”. http://modernsurvivalblog.com/alternativeenerg y/battery-state-of-charge-chart .Diakses tanggal 15 April 2016 IX. Vol. 1 No. 1 April 2017 48