Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus

advertisement
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–2 SKP
Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus
Beny Rilianto
RS Pekanbaru Medical Center, Pekanbaru, Riau, Indonesia
ABSTRAK
Status epileptikus (SE) membutuhkan penanganan awal yang cepat. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai
setelah 30 menit aktivitas kejang yang terus-menerus. Penilaian awal berfokus pada kemungkinan adanya gangguan metabolik ataupun
kondisi yang membutuhkan tatalaksana segera. Penatalaksanaan tahap awal menyarankan penggunaan benzodiazepin dan fenitoin untuk
menghentikan kejang, anestesi dipertimbangkan pada SE refrakter. Prognosis SE sangat bergantung pada etiologi yang mendasarinya.
Kata Kunci: Status epileptikus, kejang, obat antiepilepsi
ABSTRACT
Status epilepticus (SE) requires immediate initial treatment. Loss of cerebral autoregulation and neuronal damage begin after 30
minutes of continuous seizure activity. Initial assessments focus on a possibility of underlying metabolic disorders or condition that
requires immediate management. Early management use benzodiazepines and phenytoin to terminate seizures, the use of anesthesia
is considered in refractory SE. Prognosis of SE is dependent on the underlying etiology. Beny Rilianto. Evaluation and Management
of Status Epilepticus.
Keywords: Status epilepticus, seizure, antiepilepsy drug
PENDAHULUAN
Status epileptikus (SE) merupakan keadaan
emergensi medis berupa kejang (seizure)
persisten atau berulang yang dikaitkan
dengan mortalitas tinggi dan kecacatan
jangka panjang.1 Etiologi yang mendasari
sangat menentukan prognosis SE. Pendekatan penatalaksanaan SE telah mengalami
perubahan dibandingkan beberapa tahun
yang lalu seiring pemahaman mengenai
patofisiologi aktivitas kejang; namun penatalaksaan SE saat ini sangat bervariasi
antar institusi, karena masih kurangnya data
pendukung.2
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy
Foundation of America (EFA) mendefinisikan
SE sebagai kejang yang terus-menerus selama
paling sedikit 30 menit atau adanya dua
atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan
kesadaran di antaranya.3 Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang
Alamat korespondensi
750
lebih singkat dapat merupakan suatu
SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap
sebagai SE jika kejang terus-menerus
lebih dari 5 menit.4 Saat ini, ada beberapa
versi pengklasifikasian SE sebagai berikut
(Treiman):5
Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan
berbahaya. Generalized mengacu pada
aktivitas listrik kortikal yang berlebihan,
sedangkan convulsive mengacu kepada
aktivitas motorik suatu kejang.
Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang
pada otak yang bertahan saat tidak ada
respons motorik. Terminologi ini dapat
membingungkan, karena subtle SE seperti
tipe NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus).
Walaupun secara definisi subtle SE merupakan
nonconvulsive, namun harus dibedakan dari
NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai
prognosis yang buruk.
Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
absence SE dan complex partial SE. Perbedaan
2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana,
etiologi, dan prognosis; focal motor SE
mempunyai prognosis lebih buruk.
Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari
kejang yang terlokalisasi pada area korteks
serebri dan tidak menyebabkan perubahan
kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE,
simple partial SE tidak dihubungkan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan
menjadi convulsive dan nonconvulsive, namun
istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru
klasifikasi ILAE (International League Against
Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan
suatu keadaan yang beragam seperti kejang
fokal pada limbic SE ataupun generalized
seperti absence SE. Di samping itu, keadaan
email: [email protected]
CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
convulsive, khususnya kejang myoclonic,
dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral.
Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai
aktivitas kejang yang terus-menerus dan
mengklasifikasikan SE menjadi dua kategori,
yaitu generalized dan focal SE. Laporan
ILAE Core Group (2006) mengklasifikasikan
bermacam-macam tipe SE (Tabel 1), serta
berusaha menghindari istilah generalized
dan focal.6
SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai
berikut:10
Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fisiologis cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan
jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau
kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait dengan meningkatnya
aliran darah dan metabolisme otak, aktivitas
otonom, dan perubahan kardiovaskuler.
EPIDEMIOLOGI
Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41
per 100.000 individu setiap tahun, sekitar 27
per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per
100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian
restropektif di Jerman mendapatkan insidens
17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE
(kematian dalam 30 hari) pada penelitian
Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak
hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%.
Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas
hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi
kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien
stroke dan anoksia mempunyai mortalitas
paling tinggi. Sedangkan pasien dengan
etiologi penghentian alkohol atau kadar
obat antiepilepsi dalam darah yang rendah,
mempunyai mortalitas relatif rendah.3,7
Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik
serebral sangat meningkat dan tidak
dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga
menyebabkan hipoksia dan perubahan
metabolik sistemik. Perubahan autonom
tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan
homeostasis.
MANAJEMEN
Penatalaksanaan Umum2,3,7,11,12
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang baik klinis maupun
elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan
SE meliputi penggunaan obat intravena
yang poten, sehingga dapat menimbulkan
efek samping yang serius. Oleh karena itu,
langkah awal adalah memastikan bahwa
pasien sedang mengalami SE. Kejang tunggal
yang pulih tidak membutuhkan tatalaksana,
namun jika diagnosis SE ditegakkan harus
ditatalaksana secepat mungkin.
Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi
sangat penting. Jika jalan napas telah
bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan,
tekanan darah dan nadi harus diobservasi.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk
mencari tanda lesi fokal intrakranial.
Langkah selanjutnya mendapatkan akses
intravena, pengambilan sampel darah untuk
penilaian serum elektrolit, ureum, glukosa,
kadar obat antiepilepsi dalam darah, skrining
toksisitas obat, dan hitung darah lengkap.
Infus cairan isotonik harus sudah diberikan.
Hipoglikemia merupakan pencetus status
epileptikus yang reversibel, glukosa 50
ml 50% dapat diberikan jika diduga suatu
hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk
mencegah ensefalopati Wernicke.
ETIOLOGI
SE sering merupakan manifestasi akut dari
penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke
akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam
darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada
sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler
merupakan penyebab SE tersering di negara
maju, sedangkan di negara berkembang
penyebab tersering karena infeksi susunan
saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai
prediktor mortalitas dan morbiditas.3,8
MANIFESTASI KLINIS SE
SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis
sistemik hasil peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan
autonom termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia,
hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi
medis. Kehilangan autoregulasi serebral dan
kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit
aktivitas kejang yang terus menerus.10
CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
Gambar. Perubahan sistemik selama SE tonik-klonik
751
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Setelah pemberian oksigen, kadar gas
darah seharusnya diukur untuk memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis,
hiperpireksia, dan hipertensi tidak perlu ditangani, karena merupakan keadaan umum
pada tahap awal SE dan akan membaik
setelah penatalaksanaan umum dilakukan.
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah
stabilisasi jalan napas dan sirkulasi. Jika hasil
pencitraan negatif, pungsi lumbal dapat
dipertimbangkan untuk menyingkirkan
etiologi infeksi.
Monitoring Elektroensefalografi (EEG)
Continuous EEG (cEEG) sangat berguna
pada penatalaksanaan SE di ruang intensive
care unit (ICU), dilakukan dalam satu jam
sejak onset jika kejang masih berlanjut.
Ini bermanfaat untuk mempertahankan
dosis obat antiepilepsi selama titrasi dan
mendeteksi berulangnya kejang. Indikasi
penggunaan cEEG pada SE adalah kejang
klinis yang masih berlangsung atau SE
yang tidak pulih dalam 10 menit, koma,
postcardiac arrest, dugaan nonconvulsive
SE pada pasien dengan perubahan kesadaran. Durasi cEEG seharusnya paling
sedikit dalam 48 jam.3,9
TERAPI
Sampai saat ini belum ada konsensus baku
penatalaksanaan SE berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang
ideal untuk tatalaksana SE. Banyak penulis
setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau
diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan
pada tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/
kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB).
Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal,
fenobarbital dapat diberikan dengan dosis
20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan
perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap
berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi
umum, dapat digunakan agen seperti
midazolam, propofol, atau pentobarbital.2,3,5,12
1. Benzodiazepin
Diazepam3
Diazepam merupakan obat pilihan pertama
(level evidence A pada banyak penelitian).
Obat memasuki otak secara cepat, setelah
15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh.
Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu
paruh mendekati 24 jam. Sangat berpotensi
752
sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada
pemberian berulang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena
dapat menghentikan kejang pada sekitar
75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara
intramuskuler atau rektal. Efek samping
termasuk depresi pernapasan, hipotensi,
sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi
hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya
barbiturat. Walaupun demikian, diazepam
masih merupakan obat penting dalam
manajeman SE karena efeknya yang cepat
dan berspektrum luas.
Lorazepam3
Lorazepam merupakan pilihan golongan
benzodiazepin untuk menajemen SE.
Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam
beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam
lemak dibandingkan diazepam dengan waktu
paruh dua hingga tiga jam dibandingkan
diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga
mengikat reseptor GABAergic lebih kuat
daripada diazepam, sehingga durasi aksinya
lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam
berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8
mg. Agen ini berspektrum luas dan berhasil
menghentikan kejang pada 75-80% kasus.
Efek sampingnya sangat identik dengan
diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga
merupakan pilihan untuk manjemen SE.
Midazolam3,5
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi cepat, penetrasi
cepat melewati sawar darah otak, dan
durasi yang singkat. Midazolam dapat
digunakan sebagai agen alternatif untuk
SE refrakter. Walaupun midazolam jarang
merupakan pilihan per tama untuk kejang
akut di Amerika Serikat, obat ini sangat
umum digunakan di Eropa.
2. Agen Antikonvulsan
Fenitoin3,5
Fenitoin merupakan salah satu obat yang
efektif mengobati kejang akut dan SE.
Disamping itu, obat ini sangat efektif pada
manajemen epilepsi kronik, khususnya pada
kejang umum sekunder dan kejang parsial.
Keuntungan utama fenitoin adalah efek
sedasinya yang minim. Namun, sejumlah
efek samping serius dapat muncul seperti
aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien
di atas usia 40 tahun. Efek tersebut sangat
dihubungkan dengan pemberian obat yang
terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, flebitis,
dan pusing dapat muncul pada pemberian
intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur
dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal
untuk menghindari pembentukan kristal.
Fosfenitoin3,5
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin
yang larut dalam air yang akan dikonversi
menjadi fenitoin setelah diberikan secara
intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut
tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin
dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu
8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh
hati dan mempunyai waktu paruh 14 jam.
Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan
1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan
kecepatan infus intravena digambarkan
sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal
15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan
dengan kecepatan 150 mg PE per menit,
kecepatan pemberian infus tiga kali lebih
cepat dari fenitoin intravena.
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih
cepat dan iritasi vena yang lebih minimal
(menghindari risiko purple-glove syndrome
yang terjadi pada fenitoin). Efek samping
dari fosfenitoin termasuk parestesia dan
pruritus, namun muncul jika diberikan dalam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian
intravena dihubungkan dengan hipotensi,
sehingga monitoring jantung dan tekanan
darah yang ketat dilakukan. Walaupun
fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun
kelemahannya adalah harga yang mahal dan
tidak terdapat di semua rumah sakit.
3. Barbiturat
Fenobarbital3,5
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin gagal mengontrol
SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB.
Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat
sedatif, proteksi jalan napas sangat penting,
dan risiko aspirasi merupakan perhatian
khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika
dilakukan pemberian intramuskuler, maka
dilakukan pada otot besar, seperti gluteus
maximus. Defisit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan
CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE
refrakter lebih sering digunakan agen lain
(midazolam, propofol, pentobarbital) daripada fenobarbital.
Pentobarbital1,5,13
Merupakan barbiturat kerja singkat yang
bersifat sedatif, hipnotif, dan besifat
antikonvulsan. Digunakan hanya untuk
SE refrakter, jika agen lain gagal untuk
menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital
mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan
waktu paruh yang lebih singkat, sehingga
dapat sadar lebih cepat dari koma ketika
penyapihan (weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol dalam mengakhiri SE
refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat
keberhasilan pentobarbital yang tinggi
(92% dengan perbandingan 80% untuk
midazolam dan 73% untuk propofol). Namun
demikian, sangat dihubungkan dengan
tingginya kejadian hipotensi dibandingkan
midazolam dan propofol (77% vs 42% dan
30%).
4. Anestesi Umum
Propofol1,5,11-13
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik
yang tidak berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat larut dalam
lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat,
mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara
intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat
efektif dan nontoksik. Beberapa publikasi
melaporkan penggunaan infus jangka panjang propofol dapat diterapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi
napas dan depresi serebral, sehingga
membutuhkan intubasi dan ventilasi.
Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera. Penggunaan jangka
panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam
dalam 48 jam) dapat menyebabkan asidosis,
aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol
infusion syndrome) yang fatal, khususnya
pada anak usia muda, sehingga propofol
sebaiknya tidak digunakan digunakan pada
kelompok ini.
Tapering off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan
infus kontinu obat antiepilepsi harus di-
teruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off
terdapat kejang, maka pengobatan dengan
infus kontinu harus diperpanjang dengan
memperhatikan adanya kejang baik secara
klinis maupun EEG. Jika tidak ada kejang,
maka tapering off dapat diteruskan.4
SIMPULAN
Status epileptikus merupakan masalah
neuroemergensi
yang
membutuhkan
tatalaksana yang cepat dan komprehensif.
Di samping itu, evaluasi penyebab SE sangat
penting untuk menentukan prognosis.
Walaupun sampai saat ini belum ada
konsensus penatalaksanaan SE yang baku,
beberapa
peneliti
merekomendasikan
penggunaan benzodiazepin sebagai obat
lini pertama untuk mengakhiri kejang akut
dan fenitoin untuk lini kedua. Jika kejang
tidak berhenti dan menjadi status epleptikus
refrakter, dapat dipertimbangkan pemberian agen anestesi umum. Pentobarbital
merupakan terapi paling efektif untuk SE
refrakter dibandingkan midazolam dan
propofol pada banyak kasus, namun efek
samping seperti depresi pernapasan perlu
mendapat perhatian khusus.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abend NS, Duglas DJ. Treatment of refractory status epilepticus. Pediatric Neurol. 2008; 38(6): 377.
2.
Manno EM. New management strategies in the treatment of status epilepticus. Mayo Clin Proc. 2003; 78: 508-18.
3.
Sirven JI, Waterhouse E. Management of status epilepticus. Am Fam Physician 2003; 68(3): 469-76.
4.
Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Semin Neurol. 2008; 28: 342-54.
5.
Roth Jl. Status epilepticus [Internet]. 2014 Apr 28 [cited 2014 Aug 1]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview
6.
Panayiotopolus CP. Status epilepticus. A clinical guide to epileptic syndrome and their treatment. Springer; 2010: 65-91.
7.
Chen JWY, Wasterlain CG. Status epilepticus: Pathophysiology and managemenet in adults. Lancet Neurology; 6: 246-56.
8.
Murthy JMK. Convulsive status epilepticus: Treatment. The association of physician of India [Internet]. [cited 2 Agustus 2014]. Available from http://www.apiindia.org/
9.
Lowenstein DH. Current concepts: Status epilepticus. N Engl J Med. 1998; 338(14): 970.
10. Shorvon S. Treatment of status epilepticus. J Neurol Nerusurg Psychiatry 2001; 70: 22-7.
11. Rajshekher J. Recent in the management status epilepticus: Article review. Indian J Crit Care Med. 2005; 9: 52-63.
12. Durham D. Management of status epilepticus. Critical care and resuscitation. 1999; 1: 344-53.
13. Claassen J, Hirsch LJ, Emerson RG, Mayer SA. Treatment of refractory status epilepticus with pentobarbital, propofol, or midazolam: A systematic review. Epilepsia 2002; 43:
146-53.
CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
753
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Lampiran. Manajemen Status Epileptikus3,4
WAKTU
TINDAKAN
0-5 menit
Tatalaksana umum:
• Oksigenasi
• Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan hemodinamik
• Akses IV dan berikan infus normal salin dengan tetesan lambat
• Pemeriksaan darah ke laboratorium
• Cek kadar glukosa
• Monitoring EKG
5-10 menit
–
–
–
754
Tiamin 100 mg IV dan D50% 50 ml IV
Diazepam 0,15 mg/kg IV atau lorazepam 0,1 mg/kg IV dalam 1-2 menit, ulangi setelah 5 menit jika masih
kejang
Jika tidak ada akses IV, berikan diazepam per rektal atau midazolam intranasal, bukal, atau intramuskuler
10-20 menit
–
Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 20 mg/kg IV (50 mg/menit) atau fosfenitoin 20 mg/kg IV (150 mg/
menit). Jika masih kejang, tambahkan 5-10 mg/kg
20-30 menit
–
–
Intubasi, pasang kateter urin, mulai perekaman EEG, cek temperatur
Berikan fenobarbital dengan loading dose 20 mg/kg IV (100 mg/menit)
40-60 menit
Jika kejang masih berlanjut, induksi koma dengan pilihan:
• Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis 0,2-0,4 mg/kg IV bolus setiap 5 menit hingga maksimal loading dose 2
mg/kg, kemudian dosis pemeliharaan 0,05-2,9 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG.
Atau
• Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap 3-5 menit sampai kejang berhenti dengan loading dose maksimal
10 mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG.
Atau
• Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV, selanjutnya 5 mg/kg IV bolus hingga kejang berhenti, lanjutkan infus
pentobarbital 1 mg/kg/jam, infus dilambatkan setiap 6 jam untuk memastikan bangkitan kejang berhenti
dengan pedoman monitoring EEG, observasi tekanan darah dan pernapasan. Jika perlu berikan pressor
untuk mempertahankan tekanan darah.
CDK-233/ vol. 42 no. 10, th. 2015
Download