TOXOPLASMOSIS DAN KEMUNGKINAN PENGARUHNYA

advertisement
TOXOPLASMOSIS DAN KEMUNGKINAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERUBAHAN PERILAKU
Bagus Uda Palgunadi
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Toxoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
Toxoplasma gondii.
Toxoplasmosis tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada hospesnya,
penderita seringkali tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi sebab seringkali asymptomatis, terutama
pada penderita yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toxoplasmosis akan memberikan gejala yang
jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas. Akhir – akhir ini toxoplasmosis diperkirakan
sebagai salah satu factor penyebab perubahan perilaku dan gangguan jiwa , termasuk schizophrenia.
Kata Kunci : Toxoplasmosis, Toxoplasma gondii, perubahan perilaku
TOXOPLASMOSIS AND POSSIBILITY OF ITS EFFECT TOWARD THE
BEHAVIORAL CHANGES
Bagus Uda Palgunadi
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract : Toxoplasmosis is zoonosis disease caused by the infection of Toxoplasma gondii.
Toxoplasmosis does not always cause the pathologic state in its host. Most of the sufferers do not realize
that they are infected as it is mostly asymptomatic, especially in sufferers who have good body immunity.
Toxoplasmosis will give a specific symptom in sufferer who has a decreased immunity level. Lately ,
toxoplasmosis has been predicted as one of the factors that cause behavioral changes and mental disorder,
including schizophrenia.
Keywords: Toxoplasmosis, Toxoplasma gondii, Behavioral changes
PENDAHULUAN:
Toxoplasmosis
adalah
suatu
penyakit zoonosis yang biasanya ditularkan
dari hewan baik hewan peliharaan misalnya
anjing, kucing, burung ataupun dari hewan
ternak misalnya babi, sapi, kambing, domba
dan sebagainya. Parasit ini dijumpai secara
kosmopolitan di seluruh dunia.
Prevalensi
toxoplasmosis
di
Indonesia cukup tinggi. Di beberapa daerah
di Indonesia angka kejadian toxoplasmosis
bervariasi antara dua hingga enampuluhtiga
prosen. (Gandahusada S, 1991)
Toxoplasmosis
tidak
menyebabkan keadaan patologis
hospesnya, penderita seringkali
menyadari bahwa dirinya terinfeksi
selalu
pada
tidak
sebab
tidak mengalami tanda - tanda dan gejala –
gejala yang jelas, terutama pada penderita
yang mempunyai imunitas tubuh yang baik.
Toxoplasmosis akan memberikan kelainan
yang jelas pada penderita yang mengalami
penurunan imunitas misalnya
pada
penderita penyakit keganasan , HIV-AIDS
serta penderita yang mendapatkan obat –
obat imunosupresan. Manifestasi yang
paling jelas adalah apabila infeksi ini terjadi
pada masa kehamilan sehingga dapat terjadi
abortus, lahir mati, lahir hidup dengan
kecacatan misalnya hydrocephalus maupun
microcephalus,
gangguan
motorik,
kerusakan retina dan otak serta tanda –
tanda kelainan jiwa. Toxoplasmosis
mungkin bukanlah suatu penyakit yang
fatal, tetapi bila tidak ditanggulangi dengan
baik maka akan dapat menimbulkan
masalah mulai
infetilitas, abortus,
kecacatan fisik maupun mental. Dengan
meningkatnya penderita HIV –AIDS,
kanker maupun kasus gizi buruk maka
toxoplasmosis tetap harus diwaspadai
karena terbukti bahwa toxoplasmosis dapat
menimbulkan kelainan yang nyata pada
penderita dengan status imun yang rendah.
ETIOLOGI :
Toxoplasmosis disebabkan oleh
parasit Toxoplasma gondii . Parasit ini
termasuk protozoa subfilum apicomplexa,
kelas sporozoa, sub kelas coccidia.
Toxoplasma gondii mula – mula ditemukan
pada binatang pengerat / rodentia di Afrika
Utara yaitu Ctenodactylus gundi pada tahun
1909 oleh Nicolle dan Manceaux.. Janku
pada tahun 1923 menggambatkan adanya
chorioretinitis yang disebabkan oleh
Toxoplasma sedangkan pada tahun 1939
Wolf dan kawan – kawan mengisolasi
parasit ini serta menentukannya sebagai
penyebab penyakit congenital pada
neonatus. Pada tahun 1970 parasit yang
sudah dikenal sebagai pathogen pada
manusia selama setengah abad ini
diklasifikasikan secara taxonomi dalam
coccidia dan diketahui bahwa bangsa
kucing adalah hospes definitifnya serta
menjadi jelas bahwa dalam siklus hidupnya
terdapat siklus seksual yang terjadi pada
pada bangsa kucing (felidae) dan hal ini
mempunyai implikasi epidemiologik yang
penting untuk transmisi parasit ini . ( Neva
FA & Brown HW, 1994 ; Levine DN,1994)
EPIDEMIOLOGI :
Distribusi
geografis
dari
Toxoplasma gondii ini kosmopolit dengan
infeksi terbanyak pada berbagai jenis
hewan yaitu dapat menginfeksi lebih dari
duaratus spesies serta mamalia termasuk
juga manusia. Pada penelitian Hutchison
pada tahun 1965 menyatakan bahwa bila
kucing memakan tikus yang terinfeksi oleh
Toxoplasma gondii maka infeksi tersebut
dapat ditularkan kembali kepada tikus
melalui feces kucing tersebut, bahkan dapat
pula ditransmisikan melalui air serta di
dalam air parasit ini akan bertahan selama
setahun atau lebih. ( Natadisastra D &
Agoes R, 2009)
Walaupun transmisi intrauterine
secara transplacental sudah diketahui tetapi
baru pada tahun 1970 siklus hidup parasit
ini menjadi lebih jelas yaitu ketika
ditemukannya siklus seksualnya pada
kucing. Setelah dikembangkannya test
serologis yang sensitive oleh Sabin dan
Feldman maka diketahui bahwa zat anti
Toxoplasma gondii dapat ditemukan secara
cosmopolitan terutama di daerah dengan
iklim panas dan lembab (Gandahusada S
dkk, 2004)
Dengan merebaknya kasus penyakit
HIV-AIDS,
saat
ini
toxoplasmosis
dihubungkan pula dengan kemampuan
untuk memperparah penyakit HIV-AIDS
oleh karena sifat dari parasit ini yang
opportunistic. Dikalangan penderita HIVAIDS ditengarai toxoplasmosis merupakan
penyebab paling sering dari kelainan
Susunan Saraf Pusatnya. (Natadisastra D &
Agoes R, 2009)
MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP :
Dalam sel epithel usus kecil
bangsa kucing dapat berlangsung siklus
asexual (schizogoni) maupun sexual
(gametogoni, sporogoni) yang akan
menghasilkan oocyst (ookista). Ookista
yang berbentuk oval dengan ukuran 9-11
mikron
x 11-14 mikron akan keluar
bersama feces. Ookista akan menghasilkan
dua sporokista yang masing – masing
mengandung empat sporozoite (sporosoit).
Apabila ookista tertelan oleh
hospes perantara yaitu mamalia lain (
termasuk manusia ) dan golongan burung
(aves), maka pada berbagai jaringan dari
hospes perantara ini akan terbentuk
kelompok – kelompok tropozoite yang
membelah secara aktif dan disebut sebagai
tachyzoite yang membelah sangat cepat.
Selanjutnya kecepatan membelah dari
tachyzoite akan berkurang secara berangsur
dan akan terbentuk cyst (kista) yang
mengandung bradizoite. Masa tersebut
adalah masa infeksi klinis menahun yang
biasanya merupakan infeksi laten. Pada
hospes perantara tidak terdapat stadium
sexual melainkan terjadi stadium istirahat
yaitu adanya kista jaringan.
Apabila hospes definitive ( bangsa
kucing) memangsa hospes perantara yang
terinfeksi , maka akan terbentuk lagi siklus
sexual maupun asexual di dalam ususnya.
Masa
prepaten
(
masa
sampai
dikeluarkannya ookista dari bangsa kucing)
adalah tiga sampai lima hari, sedangkan
apabila bangsa kucing makan tikus yang
mengandung tachyzoite biasanya masa
prepaten adalah lima sampai sepuluh hari,
tetapi apabila bangsa kucing langsung
menelan ookista maka masa prepatennya
adalah duapuluh sampai duapuluhempat
hari. Bangsa kucing lebih mudah terinfeksi
oleh kista jaringan daripada terinfeksi oleh
ookista.
Pada berbagai jaringan tubuh
bangsa kucing yang terinfeksi juga dapat
diketemukan bentuk tachizoite ( tropozoite)
dan kista jaringan sedangkan pada manusia
yang terinfeksi dapat diketemukan adanya
tachizoite pada masa infeksi akut serta
tachizoite ini dapat memasuki setiap jenis
sel yang berinti.
Bentuk tachizoite menyerupai
bulan sabit dengan satu ujungnya
meruncing dan ujung yang lainnya agak
membulat dengan ukuran sekitar 4 – 8
mikron dan mempunyai 1 inti yang terletak
kira kira ditengah. Tachizoite ini bersifat
obligat
intraseluler.
Tachizoite
berkembangbiak
dalam
sel
secara
endodiogeni. Bila sel menjadi penuh
dengan adanya tachizoite maka sel tersebut
akan pecah dan tachizoite akan keluar serta
memasuki sel sel disekitarnya atau terjadi
fagositosis terhadap tachizoite tersebut oleh
makrofag.
Kista jaringan dibentuk di dalam
sel hospes apabila tachizoite yang
membelah telah membentuk dinding dan
kista jaringan ini dapat diketemukan
terutama di dalam jaringan otak, otot
jantung dan otot bergaris hospes seumur
hidup (latent). Di otak, kista jaringan akan
berbentuk oval sedangkan di sel otot bentuk
kista jaringan akan mengikuti bentuk sel
otot. ( Gandahusada S dkk, 2004 ; Neva
FA & Brown HH,1994 ; Markell EK et al,
1992 )
Adapun cara infeksi dari parasit ini
pada manusia dapat melalui berbagai cara
yaitu yang pertama
toxoplasmosis
congenital , transmisi parasit ini kepada
janin terjadi in utero melalui placenta bila
ibunya mendapat infeksi primer pada saat
kehamilan
;
yang
kedua
adalah
toxoplasmosis aquisita , infeksi ini dapat
terjadi bila makan daging mentah atau
kurang matang yang mengandung kista
atau tachizoite parasit ini atau melalui
tertelannya ookista yang dikeluarkan oleh
kucing penderita
bersama fecesnya ;
kemungkinan yang ketiga adalah infeksi di
laboratorium yaitu melalui jarum suntik dan
alat laboratorium lain yang terkontaminasi
oleh parasit ini serta kemungkinan ke
empat adalah melalui transplantasi organ
dari donor penderita toxoplasmosis latent.
(Gandahusada S dkk, 2004)
PATOGENESA DAN MANIFESTASI
KLINIS PADA MANUSIA :
Toxoplasma
gondii
dapat
menyerang semua sel yang berinti sehingga
dapat menyerang semua organ dan jaringan
tubuh hospes kecuali sel darah merah. Bila
terjadi invasi oleh parasit ini yang biasanya
di usus , maka parasit ini akan memasuki
sel hospes ataupun difagositosis. Sebagian
parasit yang selamat dari proses fagositosis
akan memasuki sel, berkembangbiak yang
selanjutnya akan menyebabkan sel hospes
menjadi pecah dan parasit akan keluar serta
menyerang sel - sel lain. Dengan adanya
parasit ini di dalam sel makrofag atau sel
limfosit
maka
penyebaran
secara
hematogen dan limfogen ke seluruh bagian
tubuh menjadi lebih
mudah terjadi.
Parasitemia ini dapat berlangsung selama
beberapa minggu.
Kista jaringan akan terbentuk
apabila telah ada kekebalan tubuh hospes
terhadap parasit ini. Kista jaringan dapat
ditemukan di berbagai organ dan jaringan
dan dapat menjadi laten seumur hidup
penderita. Derajad kerusakan yang terjadi
pada jaringan tubuh tergantung pada umur
penderita , virulensi strain parasit ini,
jumlah parasit ini dan jenis organ yang
diserang.
Lesi pada susunan saraf pusat dan
pada mata biasanya bermanifestasi lebih
berat dan bersifat permanent sebab jaringan
– jaringan
tersebut tidak mempunyai
kemampuan untuk melakukan regenerasi.
Kelainan – kelainan pada Susunan Saraf
Pusat umumnya berupa nekrosis yang
disertai dengan kalsifikasi sedangkan
terjadinya penyumbatan aquaductus sylvii
akibat ependymitis dapat mengakibatkan
kelainan berupa hydrocephalus pada bayi.
Infeksi yang bersifat akut pada retina akan
mengakibatkan reaksi peradangan fokal
dengan oedema dan infiltrasi leucocyte
yang dapat menyebabkan kerusakan total
pada
mata
serta
pada
proses
penyembuhannya akan terjadi cicatrix.
Akibat dari pembentukan cicatrix ini maka
akan dapat terjadi atrophi retina dan coroid
disertai pigmentasi. . ( Natadisastra D &
Agoes R,2009 ; Gandahusada S dkk, 2004 ;
Neva FA & Brown HH,1994 )
Pada toxoplasmosis aquisita ,
infeksi pada orang dewasa biasanya tidak
diketahui sebab jarang menimbulkan gejala
, tetapi bila infeksi primer terjadi pada masa
kehamilan maka akan terjadi toxoplasmosis
congenital pada bayinya. Manifestasi klinis
yang
paling
sering
terjadi
pada
toxoplasmosis
aquisita
adalah
limfadenopati, rasa lelah, demam dan sakit
kepala dan gejala ini mirip dengan
mononucleosis infeksiosa,
kadang –
kadang dapat terjadi eksantema. ( Markell
EK et al, 1992 )
Toxoplasmosis
sistemik
pada
penderita dengan imunitas yang normal
dapat
bermanifestasi
dalam bentuk
hepatitis,
pericarditis
dan
meningoencephalitis. Penyakit ini dapat
berakibat fatal walaupun itu sangat jarang
terjadi. Pada penderita dengan keadaan
immunocompromised
misalnya
pada
penderita HIV –AIDS atau pada orang –
orang yang mengkonsumsi imunosupresan,
infeksi oleh parasit ini mungkin dapat
meluas yang ditandai dengan ditemukannya
proliferasi tachizoite di jaringan otak, mata,
paru, hepar, jantung dan organ – organ
lainnya sehingga dapat berakibat fatal.
Apabila infeksi oleh parasit ini tidak diobati
dengan baik dan penderita masih tetap
hidup, maka penyakit ini akan memasuki
fase kronik yang ditandai dengan
terbentuknya kista jaringan yang berisi
bradizoite dan ini terutama didapatkan di
jaringan otak serta kadang kadang tidak
memberikan gejala klinik yang jelas. Fase
kronik ini dapat berlangsung lama selama
bertahun- tahun bahkan dapat berlangsung
seumur hidup . (Dharmana E,2007)
PERUBAHAN PERILAKU :
Akhir – akhir ini toxoplasmosis
diperkirakan sebagai salah satu factor
penyebab gangguan jiwa , termasuk
schizophrenia. Pada suatu penelitian telah
dibuktikan bahwa tikus yang diinfeksi
dengan
Toxoplasma
gondii
akan
menunjukkan perubahan tingkah laku yang
diantaranya adalah hilangnya perasaan
takut terhadap kucing yang tentu saja dalam
hal ini sangat menguntungkan bagi
Toxoplasma gondii ini karena dengan
demikian akan dengan mudah bagi parasit
ini untuk melengkapi siklus seksualnya
pada usus kucing. (Torrey FE & Yolken
RH, 2006)
PEMBAHASAN :
Meskipun infeksi laten yang
diakibatkan oleh parasit Toxoplasma gondii
adalah salah satu infeksi yang sudah umum
terjadi pada manusia serta biasanya
dianggap suatu infeksi yang tidak
mempunyai gejala
atau asymptomatis
kecuali pada toxoplasmosis congenital ,
tetapi asumsi ini kembali ditelaah dengan
adanya bukti bahwa ternyata infeksi laten
dari Toxoplasma gondii dapat mengubah
perilaku rodentia.
Sejumlah test mengenai sifat dan
kepribadian atau melalui panel penilaian
perilaku terhadap manusia usia dewasa,
ternyata didapatkan fakta bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna terhadap
perubahan perilaku manusia yang terinfeksi
oleh Toxoplasma gondii dengan manusia
yang tidak terinfeksi oleh Toxoplasma
gondii. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa kinerja psikomotorik pada orang
yang terinfeksi Toxoplasma gondii menjadi
berkurang dibandingkan dengan orang yanf
tidak terinfeksi oleh Toxoplasma gondii.
Dugaan bahwa infeksi laten dari parasit
Toxoplasma gondii ini dapat berdampak
pada tingkah laku manusia dan bahkan pada
perbedaan transkultural adalah suatu hal
yang wajar mengingat telah pula dilakukan
studi tentang kemungkinan bahwa infeksi
Toxoplasma gondii berpengaruh terhadap
watak dan kinerja psikomotorik. Infeksi
Toxoplasma gondii dapat meningkatkan
kadar dopamine pada rodentia. Mekanisme
meningkatnya dopamine pada manusia
yang terinfeksi Toxoplasma gondii belum
diketahui, tetapi mungkin melibatkan
pelepasan factor inflamasi dopamine
dengan cara peningkatan pelepasan
cytokines
misalnya
Interleukin-2.
Ketidakseimbangan
dopamine
antara
bagian
mesolimbic
dengan
bagian
mesocotical dari
otak diduga sangat
berperan
dalam
perkembangan
schizophrenia. Hal ini dapat menjelaskan
tentang hubungan antara schizophrenia
dengan toxoplasmosis. Perbedaan kadar
testosterone juga mungkin dapat menjadi
factor yang mempengaruhi perbedaan
perilaku antara subyek peneletian yang
terinfeksi
toxoplasma gondii
dengan
subyek penelitian yang tidak terinfeksi
toxoplasma gondii. Subyek penelitian yang
terinfeksi
Toxoplasma
gondii
mengindikasikan
memiliki
kadar
testosterone ynag lebih tinggi. Kadar
hormone steroid yang tinggi telah banyak
dihubungkan dengan imunitas sel yang
rendah, oleh sebab itu maka hubungan
antara kadar testosterone
dengan
toxoplasmosis adalah sebagai berikut :
bahwa resiko toxoplasmosis akan lebih
besar pada subyek dengan kadar
testosterone yang tinggi dan tentu saja
dengan imunitas yang lebih rendah.
Kemungkinan lain adalah bahwa perubahan
perilaku yang dipicu oleh Toxoplasmosis
dapat
merupakan
efek
samping
meningkatnya
testosterone
untuk
mengurangi imunitas sel hospes dan
selanjutnya akan meningkatkan peluang
kelangsungan hidup Toxoplasma gondii
tersebut dalam sel hospes. ( Flegr J,2007)
Terdapat bukti yang meyakinkan
bahwa protozoa Toxoplasma gondii dapat
menyebabkan perubahan perilaku pada
hospesnya , termasuk diantaranya adalah
infeksi latennya. Perubahan perilaku
tersebut muncul sebagai hasil dari desakan
yang kuat pada parasit untuk meningkatkan
penularan dari intermediate hostnya yang
umumnya adalah rodentia kepada definitive
hostnya yaitu genus feline. Dalam
penularan
ini
dapat
terjadi
perkembangbiakan sexual yang akan
menyempurnakan siklus hidup Toxoplasma
gondii. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa infeksi Toxoplasma gondii dapat
mengubah perilaku rodentia yaitu untuk
membuat keadaan mereka cenderung
menarik dan hal tersebut dimaksudkan agar
rodentia dimangsa oleh bangsa kucing yang
merupakan definitive host dari Toxoplasma
gondii. Selanjutnya perubahan perilaku ini
ternayata dapat berbalik secara bertahap
dengan
pengobatan
menggunakan
antipsikosis dan mood stabilizer. (Webster
JP, 2007)
PENUTUP :
. Toxoplasmosis tidak selalu menyebabkan
keadaan patologis pada hospesnya,
penderita seringkali tidak menyadari bahwa
dirinya
terinfeksi
sebab
seringkali
asymptomatis, terutama pada penderita
yang mempunyai imunitas tubuh yang baik.
Toxoplasmosis akan memberikan gejala
yang jelas pada penderita yang mengalami
penurunan imunitas. Penyakit ini dapat
berakibat fatal walaupun itu sangat jarang
terjadi.
Akhir – akhir ini toxoplasmosis
diperkirakan sebagai salah satu factor
penyebab perubahan perilaku dan gangguan
jiwa , termasuk schizophrenia..Infeksi
Toxoplasma gondii dapat mengubah
perilaku rodentia yaitu untuk membuat
keadaan mereka cenderung menarik dan hal
tersebut dimaksudkan
agar rodentia
dimangsa oleh bangsa kucing yang
merupakan definitive host dari Toxoplasma
gondii.
Perubahan perilaku yang dipicu
oleh Toxoplasmosis dapat merupakan efek
samping meningkatnya testosterone untuk
mengurangi imunitas sel hospes dan
selanjutnya akan meningkatkan peluang
kelangsungan hidup Toxoplasma gondii
tersebut dalam sel hospes.
Infeksi Toxoplasma gondii dapat
meningkatkan kadar dopamine pada
rodentia.
Mekanisme
meningkatnya
dopamine pada manusia yang terinfeksi
Toxoplasma gondii belum diketahui, tetapi
mungkin melibatkan pelepasan factor
inflamasi
dopamine
dengan
cara
peningkatan pelepasan cytokines misalnya
Interleukin-2.
Ketidakseimbangan
dopamine antara bagian mesolimbic dengan
bagian mesocotical dari otak diduga sangat
berperan
dalam
perkembangan
schizophrenia
DAFTAR PUSTAKA
Flegr J.2007. Effects of Toxoplasma on
Human Behaviour. Schizophrenia Bulletin.
Vol.33 no.3.pp757-760.
Dharmana E. 2007. Toxoplasma gondii :
Musuh Dalam Selimut. Pidato Pengukuhan
Guru
Besar
Parasitologi
Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Levine DN. 1994. Parasitologi Veteriner.
Gajah Mada University Press. Hal.75-78.
Markell EK et al. 1992. Medical
Parasitologi. 7th edition. W.B. Saunders
Company. pp.
160-170.
Natadisastra D dan Agoes R. 2009.
Parasitologi Kedokteran di Tinjau dari
Organ Tubuh
yang Diserang. EGC. Hal. 233 - 247
Neva A and Brown HW. 1994. Basic
Clinical Parasitology. 6 th edition. PrenticeHall
Intenational Inc. pp. 44 - 50
Gandahusada, S. 1991. Study on the
prevalence of Toxoplasmosis in Indonesia.
A Review. Southeast Asian Journal of
Tropical Medicine Public Health,1991 ;
22:93-98.
Gandahusada S dkk. 2004. Parasitologi
Kedokteran. Ed 3. hal 153-161.
Torrey FE and Yolken RH. 2006.
Toxoplasma gondii and Schiszophrenia.
Webster
JP.2007. The
Effect
of
Toxoplasma gondii on Animal behavior :
Playing Cat and Mouse. Schizophrenia
Bulletin.Vol.33
no.3
pp.752-756.
Download